Qadariyah
Pemikiran Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi
Alihkan ke: Kebebasan Berkehendak (Free Will).
Lebertarianisme, Determinisme, Indeterminisme, Kompatibilisme, Inkopatibilisme, Fatalisme, Eksperimen Libet.
Disclaimer
Sebagai penulis, saya
menegaskan bahwa saya adalah seorang Muslim yang berpegang teguh pada Madhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam teks ini, pembahasan tentang
berbagai aliran ilmu kalam hanya disampaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan
pengetahuan akademis semata.
Pembahasan tersebut tidak
dimaksudkan untuk mengajak atau menganjurkan pembaca untuk menganut, mendukung,
atau mengajarkan aliran-aliran tersebut kepada orang lain. Setiap pembahasan
didasarkan pada sumber-sumber ilmiah yang valid dan disampaikan dengan sikap
objektif untuk memberikan pemahaman yang luas terhadap berbagai dinamika
pemikiran dalam sejarah Islam.
Semoga pembahasan ini
bermanfaat bagi pembaca untuk memperkuat akidah yang lurus dan menambah wawasan
keilmuan, sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
PEMBAHASAN
Qadariyah: Pemikiran Ma’bad
al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi
1.
Pendahuluan
Aliran Qadariyah merupakan salah satu aliran
teologi Islam yang muncul pada masa awal perkembangan Islam. Secara etimologis,
istilah Qadariyah berasal dari kata qadar yang berarti "ketentuan"
atau "takdir." Namun, dalam konteks teologi, Qadariyah lebih
merujuk pada kelompok yang menolak doktrin takdir absolut dan menekankan kebebasan
manusia dalam menentukan nasibnya. Pemikiran ini lahir sebagai respons terhadap
perdebatan teologis mengenai hubungan antara kehendak Allah dan kebebasan
manusia.¹
Latar belakang munculnya Qadariyah tidak dapat
dipisahkan dari dinamika sosial-politik dan intelektual di era Umayyah. Masa
ini ditandai oleh konflik internal umat Islam, seperti perang saudara dan
pergolakan politik, yang memunculkan pertanyaan mendalam tentang tanggung jawab
moral manusia terhadap tindakannya.² Dalam kondisi seperti itu, pemikiran
Qadariyah menjadi relevan, terutama bagi kelompok yang mengkritik legitimasi
pemerintahan Umayyah, yang sering kali menggunakan doktrin takdir untuk
membenarkan kekuasaan mereka.³
Dua tokoh utama yang dikenal sebagai perintis
pemikiran Qadariyah adalah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi. Ma’bad
al-Juhani dianggap sebagai pelopor ide kebebasan kehendak dalam Islam. Ia
menentang gagasan bahwa segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia, telah
ditentukan sepenuhnya oleh Allah. Sebagai konsekuensi dari pandangannya, Ma’bad
dihukum mati oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan.⁴ Sementara itu, Ghailan
ad-Dimasyqi, yang melanjutkan perjuangan Ma’bad, memperluas ide Qadariyah
dengan menantang otoritas kekhalifahan Umayyah dan menekankan tanggung jawab
moral manusia. Ghailan juga mengalami nasib tragis serupa, dieksekusi oleh
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.⁵
Dalam konteks ilmu kalam, Qadariyah memainkan peran
penting dalam membuka diskursus tentang kebebasan kehendak dan tanggung jawab
manusia, meskipun pemikirannya kemudian dikritik oleh kelompok Ahlus Sunnah Wal
Jamaah. Kritik terhadap Qadariyah bahkan tertuang dalam beberapa hadis yang
mengecam penganut doktrin ini.⁶ Kendati demikian, studi tentang Qadariyah tetap
penting untuk memahami evolusi teologi Islam dan dinamika pemikiran yang
melibatkan tokoh-tokoh besar seperti Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi.
Catatan Kaki
[1]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1985), 35.
[2]
Al-Shahrastani, Al-Milal wan-Nihal, ed. William Cureton (London:
Williams and Norgate, 1846), 93.
[3]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1978), 45.
[4]
Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye
(New York: Columbia University Press, 1920), 32.
[5]
Al-Nawawi, Tahzib al-Asma’ wa al-Lughat (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1990), 78.
[6]
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah,
1986), 2:54.
2.
Pengertian dan Definisi Qadariyah
Aliran Qadariyah, yang menjadi salah satu topik
utama dalam studi ilmu kalam, mendapatkan namanya dari istilah qadar (قَدَر), yang dalam bahasa Arab berarti "ketentuan"
atau "takdir." Dalam terminologi teologi Islam, qadar
merujuk pada konsep bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta berada
dalam kehendak dan pengaturan Allah.¹ Namun, Qadariyah merupakan aliran yang
menekankan kebebasan kehendak manusia dan menolak doktrin predestinasi
absolut.²
Secara teologis, penganut Qadariyah percaya bahwa
manusia memiliki kebebasan penuh dalam memilih perbuatannya, baik atau buruk,
dan bertanggung jawab sepenuhnya atas konsekuensi dari tindakan tersebut.
Pandangan ini berbeda dengan konsep jabr (determinisme absolut), yang
menyatakan bahwa segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia, telah ditentukan
secara mutlak oleh Allah tanpa adanya pilihan dari manusia.³ Oleh karena itu,
Qadariyah sering disebut sebagai aliran yang menegaskan ikhtiyar
(pilihan bebas) manusia.⁴
Dalam sejarah Islam, istilah Qadariyah sering kali
dikaitkan dengan kritik dari kelompok Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Beberapa hadis,
seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, mengecam kelompok Qadariyah,
menyebut mereka sebagai "Majusi umat ini" karena pandangan
mereka yang dianggap menyerupai dualisme Zoroastrianisme.⁵ Namun, para ulama
Qadariyah menegaskan bahwa pandangan mereka sepenuhnya didasarkan pada ajaran
Islam, dengan argumen bahwa keadilan Allah tidak dapat ditegakkan tanpa
kebebasan manusia untuk bertindak.⁶
Para ulama seperti Al-Baghdadi mendefinisikan
Qadariyah sebagai kelompok yang meyakini bahwa manusia menciptakan perbuatannya
sendiri dan menolak intervensi langsung dari Allah dalam perbuatan manusia.⁷
Pandangan ini, meskipun dikritik oleh banyak ulama Sunni, memberikan kontribusi
penting terhadap diskusi teologis yang lebih luas dalam Islam, terutama tentang
hubungan antara kehendak ilahi dan tanggung jawab moral manusia. Selain itu,
Qadariyah juga dianggap sebagai cikal bakal munculnya aliran Mu’tazilah, yang
memperluas ide-ide tentang kebebasan manusia dan keadilan Allah dalam diskursus
teologi Islam.⁸
Dengan pemikiran yang kontroversial namun
signifikan ini, Qadariyah menjadi salah satu aliran penting dalam memahami
perkembangan awal ilmu kalam. Meskipun telah lama dianggap menyimpang oleh
mayoritas ulama Sunni, diskusi tentang konsep kebebasan manusia yang diusung
Qadariyah tetap relevan dalam kajian teologi Islam kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 113.
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1978), 41.
[3]
Al-Shahrastani, Al-Milal wan-Nihal, ed. William Cureton (London:
Williams and Norgate, 1846), 98.
[4]
M. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a
World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974),
224.
[5]
Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab 8, Hadis no. 265.
[6]
Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology and Mysticism: A Short
Introduction (Oxford: Oneworld Publications, 2000), 52.
[7]
Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye
(New York: Columbia University Press, 1920), 30.
[8]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and
Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 19.
3.
Sejarah Kemunculan Qadariyah
Kemunculan aliran Qadariyah dalam sejarah Islam
tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial-politik dan intelektual pada masa
pemerintahan Dinasti Umayyah (661–750 M). Era ini ditandai oleh perubahan besar
dalam struktur politik dan masyarakat Islam, yang mengarah pada perdebatan
teologis yang intens. Salah satu isu utama yang menjadi pusat perhatian adalah
masalah qadar (takdir) dan kebebasan manusia.¹
Pada masa itu, pemerintah Umayyah sering
menggunakan doktrin predestinasi (jabr) untuk membenarkan kekuasaan
mereka. Mereka mengklaim bahwa segala sesuatu, termasuk tindakan mereka sebagai
penguasa, adalah kehendak Allah yang tidak dapat diubah.² Doktrin ini memicu
reaksi keras dari sebagian umat Islam yang melihatnya sebagai bentuk manipulasi
agama untuk kepentingan politik. Dalam konteks ini, muncul pemikiran Qadariyah,
yang menolak konsep predestinasi absolut dan menekankan tanggung jawab moral
manusia atas tindakannya.³
Salah satu tokoh utama yang dianggap sebagai
pendiri aliran ini adalah Ma’bad al-Juhani, seorang pemikir dari Basra yang
hidup pada abad pertama Hijriyah. Ma’bad menyuarakan gagasan bahwa manusia
memiliki kebebasan dalam menentukan perbuatannya, sehingga ia bertanggung jawab
sepenuhnya atas dosa dan pahala.⁴ Pemikirannya dipengaruhi oleh kondisi
masyarakat pada masa itu, di mana keadilan sering kali diabaikan oleh penguasa.⁵
Selain Ma’bad, Ghailan ad-Dimasyqi, seorang teolog
dari Damaskus, juga memainkan peran penting dalam perkembangan Qadariyah.
Ghailan tidak hanya memperkuat gagasan kebebasan manusia, tetapi juga secara
terbuka mengkritik pemerintahan Umayyah yang ia anggap menyimpang dari
prinsip-prinsip Islam.⁶ Kritiknya terhadap penguasa membuatnya dieksekusi pada
masa pemerintahan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.⁷
Secara intelektual, kemunculan Qadariyah juga
dipengaruhi oleh pertemuan umat Islam dengan filsafat Yunani dan budaya Persia.
Beberapa gagasan tentang kebebasan kehendak yang ditemukan dalam tradisi
Hellenistik mungkin telah memengaruhi pemikiran Ma’bad dan Ghailan.⁸ Namun,
ulama-ulama Sunni seperti Al-Baghdadi dan Al-Shahrastani menegaskan bahwa
Qadariyah merupakan penyimpangan teologis yang merusak akidah Islam.⁹
Meskipun kontroversial, Qadariyah memiliki peran
penting dalam membentuk diskursus teologis di dunia Islam. Ide-ide yang mereka
kembangkan menjadi dasar bagi perdebatan lebih lanjut dalam ilmu kalam, khususnya
oleh kelompok Mu’tazilah yang mengadopsi sebagian besar gagasan Qadariyah
tentang kebebasan manusia dan keadilan Allah.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1985), 32.
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1978), 40.
[3]
Al-Shahrastani, Al-Milal wan-Nihal, ed. William Cureton (London:
Williams and Norgate, 1846), 96.
[4]
Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye
(New York: Columbia University Press, 1920), 29.
[5]
H. A. R. Gibb, The Encyclopaedia of Islam, vol. 4 (Leiden: Brill,
1960), 127.
[6]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia
University Press, 2004), 59.
[7]
Al-Nawawi, Tahzib al-Asma’ wa al-Lughat (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1990), 78.
[8]
M. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a
World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974),
227.
[9]
Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye
(New York: Columbia University Press, 1920), 30.
[10]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and
Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 21.
4.
Ma’bad al-Juhani: Pelopor Pemikiran Qadariyah
Ma’bad al-Juhani (w.
80 H/699 M) adalah salah satu tokoh awal dalam sejarah Islam yang dikenal
sebagai pelopor pemikiran Qadariyah. Ia berasal dari Basra, yang pada masa itu merupakan pusat
intelektual penting di dunia Islam. Dalam konteks perkembangan teologi Islam,
Ma’bad adalah figur yang menentang doktrin determinisme absolut (jabr),
yang menyatakan bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah, termasuk
perbuatan manusia.¹
4.1. Biografi Singkat Ma’bad al-Juhani
Ma’bad hidup pada
masa pemerintahan Dinasti Umayyah, yang sering menggunakan konsep predestinasi
sebagai legitimasi kekuasaan mereka.² Sebagai seorang pemikir independen, Ma’bad terlibat dalam diskusi-diskusi
teologis yang berkembang di kalangan ulama Basra. Ia dikenal berani dalam
mengkritik kebijakan politik dan keagamaan penguasa yang dianggapnya
bertentangan dengan prinsip keadilan.³
Selain terpengaruh
oleh realitas politik dan sosial, pemikiran Ma’bad juga diperkaya oleh pertemuannya
dengan beragam tradisi intelektual, termasuk pengaruh dari filsafat Yunani dan diskusi-diskusi teologis lintas
agama yang terjadi di kawasan itu.⁴
4.2. Pemikiran Ma’bad al-Juhani
Ma’bad dikenal
sebagai penentang kuat gagasan bahwa manusia tidak memiliki kendali atas
tindakannya. Menurutnya, manusia memiliki kebebasan kehendak (ikhtiyar),
sehingga ia bertanggung jawab atas semua perbuatan yang dilakukannya. Pandangan
ini didasarkan pada keyakinan bahwa keadilan Allah tidak akan terealisasi jika
manusia tidak diberikan kebebasan
untuk bertindak.⁵ Dalam hal ini, Ma’bad menolak doktrin jabr
yang dianut oleh sebagian besar penguasa Umayyah dan didukung oleh ulama yang
berafiliasi dengan mereka.⁶
Pemikiran Ma’bad
menjadi pondasi awal bagi gagasan Qadariyah, yang mengajarkan bahwa manusia
adalah pencipta amal perbuatannya sendiri. Ia juga menekankan pentingnya tanggung jawab moral, menolak keras
pandangan bahwa dosa dan ketaatan manusia semata-mata adalah hasil takdir yang
telah ditentukan Allah.⁷
4.3. Respon dan Akhir Hidup Ma’bad
Pemikiran Ma’bad
al-Juhani mendapatkan perhatian luas, tetapi juga banyak ditentang oleh ulama tradisionalis dan kelompok
politik yang mendukung doktrin predestinasi. Khalifah Abdul Malik bin Marwan,
yang memandang ajaran Ma’bad sebagai ancaman terhadap stabilitas politik,
memerintahkan eksekusi Ma’bad pada tahun 80 H/699 M.⁸
Eksekusi ini tidak menghentikan pengaruh pemikiran Ma’bad.
Sebaliknya, gagasannya terus diperjuangkan oleh murid-muridnya dan berkembang
melalui tokoh-tokoh seperti Ghailan ad-Dimasyqi, yang meneruskan pandangan
Qadariyah di wilayah Damaskus.⁹
4.4. Signifikansi Pemikiran Ma’bad
Pemikiran Ma’bad
al-Juhani menandai awal dari diskusi serius tentang kebebasan manusia dalam
tradisi Islam. Meskipun dianggap menyimpang oleh mayoritas ulama Sunni,
ide-idenya memberikan kontribusi besar terhadap
pengembangan ilmu kalam. Selain itu, Qadariyah yang dipeloporinya menjadi
fondasi bagi munculnya Mu’tazilah, aliran teologi yang lebih terorganisir dan
sistematis dalam menegaskan kebebasan manusia dan keadilan Allah.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
W. Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1985), 34.
[2]
Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia
University Press, 1920), 31.
[3]
Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1978), 43.
[4]
M. S. Hodgson, The
Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization,
vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 223.
[5]
Majid Fakhry, A
History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press,
2004), 58.
[6]
Al-Shahrastani, Al-Milal
wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate,
1846), 96.
[7]
Richard C. Martin, Defenders
of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford:
Oneworld Publications, 1997), 19.
[8]
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath
al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 2:56.
[9]
Al-Nawawi, Tahzib
al-Asma’ wa al-Lughat (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), 79.
[10]
Montgomery Watt, The Formative
Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1973), 116.
5.
Ghailan ad-Dimasyqi: Pengembang Pemikiran
Qadariyah
Ghailan ad-Dimasyqi
(w. sekitar 105 H/724 M) merupakan salah satu tokoh penting dalam perkembangan
aliran Qadariyah. Sebagai pengembang utama pemikiran yang telah dirintis oleh
Ma’bad al-Juhani, Ghailan memainkan peran signifikan dalam menyebarluaskan
doktrin Qadariyah, khususnya di Damaskus, pusat kekhalifahan Umayyah.¹ Ia
dikenal sebagai seorang teolog
yang vokal dalam membela kebebasan manusia dan tanggung jawab moral, serta
mengkritik keras doktrin predestinasi (jabr) yang digunakan oleh penguasa
untuk membenarkan kekuasaan mereka.²
5.1. Biografi Singkat Ghailan ad-Dimasyqi
Ghailan berasal dari
Damaskus, ibu kota Dinasti Umayyah, yang pada masa itu merupakan pusat
administrasi dan kekuatan politik. Ia dibesarkan dalam lingkungan yang
memungkinkan interaksi dengan berbagai tradisi pemikiran, termasuk diskursus lintas agama dan budaya.³ Ghailan
dikenal sebagai seorang yang fasih dan argumentatif, sehingga ia sering
terlibat dalam perdebatan teologis dengan para ulama dan pejabat istana.⁴
Ghailan mulai
menarik perhatian khalayak luas ketika ia secara terbuka mengkritik legitimasi
kekuasaan dinasti Umayyah yang, menurutnya, bertentangan dengan prinsip
keadilan Islam. Ia menolak pandangan bahwa Allah menentukan semua tindakan
manusia, termasuk dosa dan kebijakan zalim para penguasa.⁵ Kritik ini
membuatnya menjadi figur yang kontroversial, tetapi juga dihormati oleh sebagian
umat Islam yang mendukung gagasannya tentang keadilan dan tanggung jawab
individu.⁶
5.2. Pemikiran Ghailan ad-Dimasyqi
Pemikiran Ghailan
berpusat pada keyakinan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh dalam
berkehendak dan bertindak. Ia menolak pandangan determinisme absolut, yang
menurutnya bertentangan dengan keadilan Allah.⁷ Dalam pandangan Ghailan, Allah
memberikan manusia kebebasan untuk memilih perbuatannya, baik atau buruk,
sehingga setiap individu bertanggung jawab atas amalnya di hari kiamat.⁸
Selain itu, Ghailan
juga menekankan bahwa keadilan Allah tidak hanya terkait dengan penghakiman
akhirat, tetapi juga dengan tatanan sosial-politik di dunia. Ia mengkritik kekhalifahan Umayyah karena
sering kali menggunakan konsep takdir untuk membenarkan kekuasaan yang tidak
adil. Ghailan menegaskan bahwa setiap individu, termasuk penguasa, harus
bertanggung jawab atas tindakan mereka di hadapan Allah.⁹
Pemikiran Ghailan
juga berkontribusi pada pengembangan diskursus teologis dalam Islam, khususnya
terkait dengan hubungan antara kehendak ilahi dan tanggung jawab manusia.
Banyak ulama menganggap pandangannya
sebagai langkah awal menuju sistematisasi teologi rasional dalam tradisi Islam,
yang kemudian diadopsi dan diperluas oleh kelompok Mu’tazilah.¹⁰
5.3. Respon Ulama dan Kekuasaan Umayyah terhadap Ghailan
Ghailan ad-Dimasyqi
menghadapi perlawanan keras dari para ulama yang mendukung kekuasaan Umayyah.
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik, yang melihat
kritik Ghailan sebagai ancaman terhadap stabilitas politik, memerintahkan
penangkapan dan eksekusinya.¹¹ Sebelum dieksekusi, Ghailan terlibat dalam
perdebatan dengan ulama istana seperti Al-Awza’i, yang menjadi salah satu
pengkritik utama pandangan Qadariyah.¹²
Eksekusi Ghailan
tidak menghentikan penyebaran gagasannya. Pemikirannya tetap berpengaruh, terutama di kalangan teolog yang
memperjuangkan kebebasan manusia dan tanggung jawab moral dalam Islam.¹³
5.4. Signifikansi Pemikiran Ghailan
Ghailan ad-Dimasyqi
adalah sosok yang tidak hanya mewakili pemikiran Qadariyah, tetapi juga menjadi
simbol perlawanan terhadap ketidakadilan politik dan manipulasi agama. Meskipun
pandangannya dianggap menyimpang oleh mayoritas ulama Sunni, ia memberikan
kontribusi penting dalam membuka diskursus tentang keadilan sosial dan tanggung
jawab individu dalam Islam.¹⁴
Pemikirannya menjadi
salah satu fondasi bagi pengembangan teologi rasional dalam Islam, khususnya oleh kelompok Mu’tazilah,
yang mengadopsi sebagian besar gagasan Qadariyah tentang kebebasan manusia dan
keadilan Allah.¹⁵
Catatan Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1978), 47.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1985), 36.
[3]
Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia
University Press, 1920), 33.
[4]
Majid Fakhry, A
History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press,
2004), 59.
[5]
Al-Shahrastani, Al-Milal
wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate,
1846), 98.
[6]
M. S. Hodgson, The
Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization,
vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 228.
[7]
Richard C. Martin, Defenders
of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford:
Oneworld Publications, 1997), 20.
[8]
Al-Nawawi, Tahzib
al-Asma’ wa al-Lughat (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), 80.
[9]
W. Montgomery Watt, The
Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1973), 118.
[10]
Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia
University Press, 1920), 34.
[11]
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath
al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 2:57.
[12]
Al-Shahrastani, Al-Milal
wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate,
1846), 99.
[13]
Richard C. Martin, Defenders
of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford:
Oneworld Publications, 1997), 22.
[14]
Majid Fakhry, A
History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press,
2004), 61.
[15]
Montgomery Watt, The
Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1973), 120.
6.
Prinsip-Prinsip Utama Qadariyah
Aliran Qadariyah
memiliki beberapa prinsip utama yang menjadi inti pemikirannya dalam diskursus
teologi Islam. Prinsip-prinsip ini berpusat pada isu kebebasan kehendak manusia, tanggung jawab moral, dan keadilan
ilahi, yang muncul sebagai reaksi terhadap doktrin determinisme absolut (jabr)
yang dianut oleh sebagian kalangan di masa awal Islam.¹
6.1. Kebebasan Kehendak Manusia (Ikhtiyar al-Insan)
Prinsip pertama
Qadariyah adalah keyakinan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh untuk
menentukan perbuatannya sendiri. Dalam pandangan Qadariyah, manusia diberi
kemampuan untuk memilih antara kebaikan dan keburukan tanpa paksaan dari
Allah.² Prinsip ini didasarkan pada argumentasi
bahwa Allah tidak mungkin dianggap adil jika Dia memaksa manusia untuk berbuat
dosa, tetapi kemudian menghukum mereka atas perbuatan tersebut.³ Oleh karena
itu, kebebasan kehendak manusia menjadi dasar bagi tanggung jawab moral
individu.
Pandangan ini
berbeda tajam dengan doktrin determinisme (jabr), yang menyatakan bahwa semua
tindakan manusia telah ditentukan oleh Allah dan manusia tidak memiliki kontrol atas kehendaknya. Qadariyah
menolak determinisme dengan menekankan bahwa Allah menciptakan manusia dengan
kemampuan untuk berkehendak dan bertindak secara independen.⁴
6.2. Tanggung Jawab Moral Manusia
Prinsip kedua
Qadariyah adalah tanggung jawab manusia atas amal perbuatannya. Dalam pandangan
Qadariyah, setiap individu bertanggung jawab sepenuhnya atas tindakan yang ia
lakukan, baik atau buruk, karena perbuatan tersebut adalah hasil dari
pilihannya sendiri.⁵ Mereka berpendapat bahwa konsep tanggung jawab ini adalah syarat mutlak untuk
menegakkan keadilan ilahi. Tanpa kebebasan manusia, tanggung jawab moral tidak
dapat dijelaskan, dan hukuman atau pahala dari Allah menjadi tidak bermakna.⁶
6.3. Penolakan terhadap Predestinasi Absolut
Qadariyah secara
tegas menolak doktrin predestinasi absolut, yang mengajarkan bahwa segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia,
telah ditentukan oleh Allah sejak awal. Menurut mereka, ajaran ini bertentangan
dengan sifat adil Allah dan menciptakan kontradiksi dalam ajaran Islam tentang
pahala dan hukuman.⁷ Sebaliknya, Qadariyah menegaskan bahwa manusia adalah
pencipta amalnya sendiri (khaliq al-af’al), sementara Allah
bertindak sebagai pemberi petunjuk dan pencipta kemampuan bagi manusia untuk
bertindak.⁸
6.4. Keadilan Ilahi (‘Adl Allah)
Prinsip keempat
Qadariyah adalah keyakinan bahwa Allah Maha Adil dan tidak mungkin bertindak
zalim. Mereka berpendapat bahwa keadilan ilahi hanya dapat dipahami jika
manusia memiliki kebebasan untuk memilih perbuatannya.⁹ Dengan demikian, hukuman atas dosa dan pahala atas
amal baik menjadi manifestasi dari keadilan Allah, yang memberikan balasan
berdasarkan apa yang dipilih oleh manusia secara bebas.¹⁰
6.5. Penekanan pada Akal dan Rasionalitas
Meskipun tidak
seformal seperti dalam Mu’tazilah, Qadariyah juga menekankan pentingnya
penggunaan akal dalam memahami konsep keadilan Allah dan tanggung jawab
manusia. Mereka percaya bahwa akal manusia dapat digunakan untuk memahami kewajiban moral dan membedakan antara
kebenaran dan kebatilan.¹¹ Pendekatan ini berkontribusi pada pengembangan
diskursus teologis yang lebih rasional dalam Islam.
Kritik terhadap Prinsip-Prinsip Qadariyah
Meskipun
prinsip-prinsip Qadariyah memberikan kontribusi penting terhadap diskusi
teologi Islam, mereka juga menerima banyak kritik. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah
Wal Jamaah menolak pandangan Qadariyah, menganggapnya sebagai penyimpangan
karena mengurangi kekuasaan dan kehendak Allah atas ciptaan-Nya.¹² Kritik ini
sering kali didasarkan pada hadis yang menyebut Qadariyah sebagai “Majusi umat
ini,” karena menyerupai konsep dualisme Zoroastrianisme yang mengakui adanya
dua kekuatan independen dalam penciptaan.¹³
Signifikansi Prinsip-Prinsip Qadariyah
Prinsip-prinsip
Qadariyah tidak hanya mencerminkan upaya untuk memahami hubungan antara
kehendak ilahi dan kebebasan manusia, tetapi juga membuka jalan bagi diskusi lebih lanjut tentang keadilan sosial
dan tanggung jawab moral dalam Islam. Pemikiran ini memengaruhi perkembangan
aliran Mu’tazilah, yang mengadopsi banyak ide Qadariyah dalam kerangka teologi
rasional.¹⁴
Catatan Kaki
[1]
W. Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1985), 34.
[2]
Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1978), 43.
[3]
Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia
University Press, 1920), 31.
[4]
Al-Shahrastani, Al-Milal
wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate,
1846), 96.
[5]
Majid Fakhry, A
History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press,
2004), 58.
[6]
M. S. Hodgson, The
Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization,
vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 223.
[7]
Richard C. Martin, Defenders
of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford:
Oneworld Publications, 1997), 20.
[8]
Al-Nawawi, Tahzib
al-Asma’ wa al-Lughat (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), 79.
[9]
Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia
University Press, 1920), 34.
[10]
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath
al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 2:57.
[11]
Montgomery Watt, The
Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1973), 118.
[12]
Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1978), 46.
[13]
Imam Muslim, Sahih
Muslim, Kitab al-Iman, Bab 8, Hadis no. 265.
[14]
Richard C. Martin, Defenders
of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford:
Oneworld Publications, 1997), 21.
7.
Kontroversi dan Penolakan terhadap Qadariyah
Aliran Qadariyah
menjadi salah satu aliran teologi awal dalam Islam yang mendapatkan banyak
perhatian, baik dalam bentuk penerimaan maupun penolakan. Meskipun memberikan kontribusi penting dalam diskursus
teologi Islam, Qadariyah menghadapi kritik tajam dari berbagai kalangan,
termasuk ulama tradisional, aliran teologi lain, dan bahkan legitimasi
hadis-hadis tertentu.¹
7.1. Kontroversi terhadap Pemikiran Qadariyah
Kontroversi utama
yang menyelimuti Qadariyah adalah penolakannya terhadap konsep predestinasi
absolut (jabr)
yang dianut oleh sebagian besar ulama tradisional. Penganut Qadariyah
menegaskan bahwa manusia memiliki
kebebasan penuh untuk bertindak, sehingga bertanggung jawab atas perbuatan baik
maupun buruknya.² Namun, pandangan ini dianggap bertentangan dengan konsep
kehendak mutlak Allah (irada mutlaqah) yang menjadi dasar
teologi Sunni.³
Salah satu kritik
utama terhadap Qadariyah adalah keyakinan mereka bahwa manusia adalah pencipta amal perbuatannya sendiri (khaliq
al-af’al). Kritik ini muncul karena keyakinan tersebut dianggap
mengurangi kekuasaan dan kedaulatan Allah atas ciptaan-Nya.⁴ Kelompok Ahlus
Sunnah Wal Jamaah berpendapat bahwa manusia hanya "melaksanakan"
amal yang diciptakan oleh Allah, bukan pencipta amal itu sendiri.⁵
Selain itu,
Qadariyah sering dikaitkan dengan pemikiran rasional yang dianggap terlalu mengandalkan akal manusia. Pemikiran ini,
meskipun berkontribusi pada pengembangan diskursus teologis, sering kali
menimbulkan ketegangan dengan pendekatan tradisional yang lebih tekstual.⁶
7.2. Hadis-Hadis yang Mengecam Qadariyah
Kritik terhadap
Qadariyah juga didasarkan pada sejumlah hadis yang secara langsung menyebut
mereka sebagai kelompok yang menyimpang. Salah satu hadis yang paling sering
dikutip adalah pernyataan Nabi Muhammad
Saw yang menyebut Qadariyah sebagai "Majusi umat ini."⁷ Hadis
ini terdapat dalam Sahih Muslim dan beberapa kitab
hadis lainnya, meskipun sebagian ulama berpendapat bahwa hadis tersebut harus
dipahami dalam konteks tertentu, bukan sebagai celaan menyeluruh terhadap
doktrin Qadariyah.⁸
7.3. Penolakan dari Kelompok Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Ulama Ahlus Sunnah
Wal Jamaah secara konsisten menolak pemikiran Qadariyah. Penolakan ini tidak hanya teologis tetapi
juga politis, mengingat doktrin Qadariyah sering digunakan oleh
kelompok-kelompok yang menentang kekuasaan dinasti Umayyah.⁹ Para ulama Sunni
seperti Al-Baghdadi dan Al-Shahrastani memasukkan Qadariyah ke dalam kategori
aliran sesat (ahl al-bid’ah).¹⁰
Menurut Al-Baghdadi,
salah satu kesalahan terbesar Qadariyah adalah keyakinan mereka bahwa kehendak
manusia dapat berjalan secara independen
dari kehendak Allah. Hal ini, menurutnya, bertentangan dengan ajaran Al-Qur'an
yang menegaskan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah.¹¹
7.4. Respon dari Aliran Teologi Lain
Aliran Jabariyah,
yang meyakini determinisme absolut, adalah penentang utama Qadariyah. Jabariyah
mengkritik Qadariyah karena terlalu menekankan
kebebasan manusia, yang menurut mereka mengabaikan kedaulatan Allah.¹²
Sebaliknya, aliran Mu’tazilah, yang muncul kemudian, mengadopsi banyak prinsip
Qadariyah, seperti kebebasan manusia dan keadilan Allah, meskipun mereka lebih
sistematis dalam pengembangannya.¹³
7.5. Kontroversi Politis terhadap Qadariyah
Selain kritik
teologis, Qadariyah juga menghadapi kontroversi politis. Pemikiran mereka
sering kali dipandang sebagai ancaman terhadap stabilitas politik, terutama karena penolakan mereka terhadap
legitimasi kekuasaan dinasti Umayyah.¹⁴ Para penguasa Umayyah menggunakan
doktrin jabr
untuk membenarkan kekuasaan mereka sebagai kehendak Allah, sementara Qadariyah
menentang keras pandangan ini dengan menekankan tanggung jawab moral para
penguasa atas tindakan mereka.¹⁵
7.6. Signifikansi Kontroversi terhadap Qadariyah
Meskipun menghadapi
banyak kritik dan penolakan, kontroversi seputar Qadariyah memiliki dampak besar terhadap perkembangan
ilmu kalam dalam Islam. Diskusi tentang kebebasan manusia, tanggung jawab
moral, dan keadilan ilahi yang dimulai oleh Qadariyah menjadi landasan bagi
teologi rasional yang dikembangkan oleh Mu’tazilah.¹⁶
Catatan Kaki
[1]
W. Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1985), 35.
[2]
Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1978), 45.
[3]
Al-Shahrastani, Al-Milal
wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate,
1846), 93.
[4]
Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia
University Press, 1920), 32.
[5]
Majid Fakhry, A
History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press,
2004), 59.
[6]
M. S. Hodgson, The
Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization,
vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 224.
[7]
Imam Muslim, Sahih
Muslim, Kitab al-Iman, Bab 8, Hadis no. 265.
[8]
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath
al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 2:54.
[9]
Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia
University Press, 1920), 33.
[10]
Al-Shahrastani, Al-Milal
wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate,
1846), 96.
[11]
Richard C. Martin, Defenders
of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford:
Oneworld Publications, 1997), 21.
[12]
Montgomery Watt, The
Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1973), 117.
[13]
Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1978), 49.
[14]
W. Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1985), 36.
[15]
Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia
University Press, 1920), 34.
[16]
Richard C. Martin, Defenders
of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford:
Oneworld Publications, 1997), 22.
8.
Pengaruh Qadariyah terhadap Ilmu Kalam
Aliran Qadariyah,
meskipun menghadapi banyak penolakan dan kritik, memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap perkembangan ilmu kalam dalam tradisi Islam. Sebagai aliran
teologi yang menekankan kebebasan manusia dan keadilan ilahi, Qadariyah membuka
jalan bagi diskursus intelektual yang lebih sistematis tentang hubungan antara
kehendak Allah dan tanggung jawab manusia.¹
8.1. Perintis Diskusi tentang Kebebasan Manusia
Salah satu pengaruh
utama Qadariyah terhadap ilmu kalam adalah pengenalan konsep kebebasan manusia
(ikhtiyar).
Qadariyah menolak doktrin determinisme absolut (jabr) dan menekankan bahwa manusia
memiliki kemampuan untuk memilih dan bertanggung jawab atas perbuatannya.²
Konsep ini menjadi dasar bagi perdebatan lebih lanjut dalam ilmu kalam,
khususnya dalam membahas bagaimana kebebasan manusia dapat dikompromikan dengan
kehendak Allah yang mutlak.³
Pemikiran Qadariyah
tentang kebebasan manusia juga berkontribusi pada pembentukan paradigma teologi
yang lebih rasional, di mana akal digunakan untuk menjelaskan keadilan Allah dan tanggung jawab moral manusia.⁴
Pendekatan ini memberikan dasar bagi kelompok-kelompok seperti Mu’tazilah untuk
mengembangkan teologi yang lebih terstruktur.
8.2. Inspirasi bagi Aliran Mu’tazilah
Qadariyah sering
dianggap sebagai pendahulu dari aliran Mu’tazilah, yang muncul pada abad kedua
Hijriyah. Sebagian besar prinsip Qadariyah, seperti kebebasan manusia dan keadilan ilahi, diadopsi dan diperluas oleh
Mu’tazilah.⁵ Misalnya, prinsip ‘adl (keadilan Allah) yang menjadi
pilar utama teologi Mu’tazilah memiliki akar dalam pemikiran Qadariyah.⁶
Selain itu,
Qadariyah memengaruhi metode rasional Mu’tazilah dalam menyelesaikan masalah teologi. Mu’tazilah mengembangkan argumen-argumen
rasional Qadariyah untuk mempertahankan kebebasan manusia sekaligus menjelaskan
sifat Allah yang Maha Adil.⁷ Dalam hal ini, Qadariyah memainkan peran penting
sebagai pelopor dalam membangun fondasi rasional untuk ilmu kalam.
8.3. Peran dalam Diskursus Tentang Kehendak Ilahi
Pemikiran Qadariyah
juga memberikan kontribusi penting dalam membentuk diskusi tentang kehendak
ilahi (irada
Allah). Dengan menolak gagasan bahwa Allah menentukan semua
tindakan manusia, Qadariyah memperkenalkan konsep dualitas antara kehendak
Allah dan kehendak manusia.⁸ Mereka berargumen bahwa Allah menciptakan manusia dengan kemampuan untuk memilih,
tetapi tidak memaksakan perbuatannya.⁹
Meskipun pandangan
ini dikritik oleh banyak ulama Sunni, diskusi tentang kehendak ilahi yang dipicu oleh Qadariyah terus menjadi salah
satu isu sentral dalam ilmu kalam.¹⁰
8.4. Tantangan terhadap Kekuasaan Politik
Dalam konteks
politik, Qadariyah memberikan pengaruh besar terhadap diskusi tentang
legitimasi kekuasaan. Dengan menekankan tanggung jawab moral individu, termasuk
penguasa, Qadariyah secara tidak langsung mengkritik doktrin jabr
yang digunakan oleh dinasti Umayyah untuk membenarkan kekuasaan mereka.¹¹ Kritik ini memberikan inspirasi
bagi kelompok-kelompok oposisi politik yang mencari dasar teologis untuk
melawan otoritarianisme.¹²
8.5. Warisan Intektual dalam Islam
Warisan intelektual
Qadariyah tidak hanya terbatas pada teologi, tetapi juga mencakup etika dan
filsafat. Gagasan mereka tentang kebebasan manusia memberikan kontribusi pada diskusi etika dalam Islam, khususnya
dalam menjelaskan hubungan antara pilihan moral dan tanggung jawab.¹³ Pemikiran
ini terus berpengaruh, meskipun sering kali tidak diakui secara eksplisit dalam
tradisi Sunni arus utama.
Kesimpulan: Pengaruh yang Bertahan Lama
Meskipun Qadariyah
tidak bertahan sebagai aliran teologi independen, pengaruh mereka terhadap ilmu kalam sangat besar. Dengan membuka diskusi tentang kebebasan manusia, tanggung jawab moral, dan keadilan Allah,
Qadariyah membantu membentuk kerangka teologi Islam yang lebih dinamis.¹⁴
Meskipun mereka dianggap menyimpang oleh banyak ulama Sunni, warisan
intelektual mereka tetap relevan dalam memahami evolusi pemikiran teologis
dalam Islam.
Catatan Kaki
[1]
W. Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1985), 35.
[2]
Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1978), 45.
[3]
Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia
University Press, 1920), 31.
[4]
Richard C. Martin, Defenders
of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford:
Oneworld Publications, 1997), 19.
[5]
M. S. Hodgson, The
Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization,
vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 224.
[6]
Majid Fakhry, A
History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press,
2004), 58.
[7]
Al-Shahrastani, Al-Milal
wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate,
1846), 93.
[8]
Montgomery Watt, The
Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1973), 116.
[9]
Richard C. Martin, Defenders
of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford:
Oneworld Publications, 1997), 21.
[10]
Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn
al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia
University Press, 1920), 33.
[11]
Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1978), 49.
[12]
Al-Shahrastani, Al-Milal
wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate,
1846), 96.
[13]
W. Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1985), 36.
[14]
Majid Fakhry, A
History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press,
2004), 61.
9.
Relevansi Pemikiran Qadariyah di Masa Kini
Pemikiran Qadariyah,
meskipun muncul lebih dari 13 abad yang lalu, tetap memiliki relevansi dalam
diskusi teologis, sosial, dan etika di masa kini. Gagasan Qadariyah tentang
kebebasan manusia, tanggung jawab moral, dan keadilan Allah memberikan dasar
yang signifikan untuk membahas berbagai isu modern, termasuk persoalan
kebebasan individu, tanggung jawab sosial, dan hubungan antara agama dan
politik.
9.1. Kebebasan Kehendak dan Hak Asasi Manusia
Salah satu prinsip
utama Qadariyah adalah kebebasan manusia untuk memilih dan bertindak. Pemikiran ini sejalan dengan
nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) di era modern, di mana kebebasan individu
dianggap sebagai hak mendasar.¹ Dalam konteks ini, gagasan Qadariyah tentang ikhtiyar
(kebebasan kehendak) dapat dijadikan landasan filosofis untuk mendukung kebebasan berpendapat, kebebasan
beragama, dan otonomi individu.
Namun, prinsip
kebebasan ini juga harus diimbangi dengan tanggung jawab moral, sebagaimana ditekankan oleh Qadariyah. Dalam
konteks modern, gagasan ini relevan untuk mengatasi tantangan yang muncul
akibat kebebasan tanpa batas, seperti penyalahgunaan teknologi dan kebebasan
berbicara yang melanggar etika.²
9.2. Tanggung Jawab Sosial dan Etika Global
Pandangan Qadariyah
tentang tanggung jawab moral manusia memiliki relevansi dalam isu-isu etika
global. Mereka menegaskan bahwa setiap individu harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sebuah konsep yang
penting dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, ketidakadilan
sosial, dan pelanggaran hak asasi manusia.³
Dalam konteks
perubahan iklim, misalnya, pandangan Qadariyah dapat mendorong kesadaran bahwa
manusia bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang mereka sebabkan. Konsep ini menekankan pentingnya
tindakan individu untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.⁴
9.3. Keberlanjutan Keadilan Ilahi dalam Perspektif
Sosial
Pemikiran Qadariyah
tentang keadilan Allah (‘adl Allah) dapat diterapkan dalam diskusi mengenai keadilan sosial dan
politik. Dalam pandangan Qadariyah, Allah tidak bertindak zalim, sehingga
keadilan-Nya mencakup tanggung jawab manusia untuk menciptakan tatanan sosial
yang adil.⁵
Di masa kini,
gagasan ini relevan dalam memperjuangkan keadilan sosial, seperti upaya untuk
mengurangi kesenjangan ekonomi, menghapus diskriminasi, dan menciptakan
masyarakat yang lebih inklusif. Selain
itu, kritik Qadariyah terhadap legitimasi kekuasaan yang tidak adil dapat
menjadi inspirasi untuk menegakkan pemerintahan yang berdasarkan keadilan dan
tanggung jawab moral.⁶
9.4. Diskursus Agama dan Politik
Pemikiran Qadariyah
tentang kebebasan manusia juga memberikan wawasan dalam hubungan antara agama
dan politik. Kritik mereka terhadap penggunaan doktrin takdir oleh penguasa
Umayyah untuk membenarkan kekuasaan yang tidak adil memberikan pelajaran
penting dalam melawan manipulasi agama untuk kepentingan politik.⁷ Dalam
konteks modern, ini relevan untuk mencegah penyalahgunaan agama oleh
kelompok-kelompok tertentu yang ingin mempertahankan kekuasaan tanpa
memperhatikan prinsip keadilan dan tanggung jawab sosial.
9.5. Relevansi dalam Teologi Kontemporer
Dalam dunia yang
semakin kompleks, di mana manusia menghadapi dilema etika dan tantangan global,
gagasan Qadariyah dapat menjadi dasar untuk membangun teologi Islam yang lebih
responsif terhadap isu-isu modern. Misalnya,
konsep kebebasan dan tanggung jawab yang mereka ajarkan dapat dijadikan pijakan
untuk mengembangkan teologi etis yang menjawab tantangan kontemporer seperti
bioetika, teknologi kecerdasan buatan, dan globalisasi.⁸
Kesimpulan: Warisan yang Bertahan Lama
Pemikiran Qadariyah,
meskipun dianggap menyimpang oleh sebagian besar ulama Sunni, memberikan
kontribusi penting yang tetap relevan dalam menjawab tantangan dunia modern.
Konsep kebebasan manusia, tanggung jawab moral, dan keadilan ilahi yang mereka
usung dapat menjadi landasan filosofis dan teologis untuk membangun masyarakat
yang lebih adil, inklusif, dan bertanggung jawab. Melalui pemikiran ini, umat
Islam dapat menemukan inspirasi untuk menghadapi persoalan-persoalan besar di
era modern sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip keadilan ilahi dan etika
yang diajarkan dalam Islam.
Catatan Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press,
1978), 43.
[2]
Richard C. Martin, Defenders
of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford:
Oneworld Publications, 1997), 21.
[3]
W. Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1985), 36.
[4]
Majid Fakhry, A
History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press,
2004), 58.
[5]
M. S. Hodgson, The
Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization,
vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 223.
[6]
Al-Shahrastani, Al-Milal
wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate,
1846), 96.
[7]
Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia
University Press, 1920), 32.
[8]
Montgomery Watt, The
Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1973), 118.
10.
Penutup
Aliran Qadariyah, yang dipelopori oleh Ma’bad
al-Juhani dan dikembangkan oleh Ghailan ad-Dimasyqi, merupakan salah satu
aliran teologi Islam awal yang memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan
diskursus ilmu kalam. Meskipun sering dianggap menyimpang oleh mayoritas ulama
Sunni, pemikiran mereka membuka jalan bagi pembahasan yang lebih mendalam
tentang isu-isu fundamental seperti kebebasan manusia, tanggung jawab moral,
dan keadilan ilahi.¹
Pemikiran Qadariyah muncul sebagai respons terhadap
tantangan sosial-politik dan teologis pada masa kekuasaan dinasti Umayyah.
Penolakan mereka terhadap doktrin jabr (determinisme absolut) yang
digunakan untuk membenarkan kekuasaan politik penguasa menunjukkan keberanian
mereka dalam membela prinsip keadilan dan tanggung jawab manusia.² Dalam
konteks ini, Qadariyah tidak hanya memberikan kontribusi teologis, tetapi juga
menjadi simbol perlawanan terhadap manipulasi agama untuk kepentingan politik.³
Secara teologis, Qadariyah menekankan pentingnya
kebebasan manusia dalam memilih perbuatannya, yang mereka anggap sebagai syarat
mutlak untuk menegakkan keadilan Allah. Konsep ini kemudian diadopsi dan
dikembangkan lebih lanjut oleh Mu’tazilah, yang menjadikannya sebagai pilar
utama dalam teologi rasional Islam.⁴ Namun, prinsip kebebasan manusia yang
diusung Qadariyah juga menimbulkan kontroversi, terutama karena dianggap
mengurangi kedaulatan Allah atas ciptaan-Nya.⁵
Dalam perspektif modern, relevansi pemikiran
Qadariyah tetap terasa dalam diskusi tentang kebebasan individu, tanggung jawab
sosial, dan keadilan dalam tatanan global. Gagasan mereka dapat memberikan
wawasan filosofis dan teologis untuk menjawab tantangan-tantangan kontemporer,
seperti isu-isu etika global, hak asasi manusia, dan hubungan antara agama dan
politik.⁶
Meskipun Qadariyah tidak bertahan sebagai aliran
teologi independen, warisan intelektual mereka tetap hidup dalam diskursus
Islam. Perdebatan yang mereka munculkan tentang kebebasan manusia dan keadilan
Allah telah memperkaya tradisi ilmu kalam dan memberikan dasar bagi
perkembangan teologi Islam yang lebih dinamis. Dengan demikian, memahami
sejarah dan pemikiran Qadariyah tidak hanya penting untuk mengenal akar tradisi
teologi Islam, tetapi juga untuk mengeksplorasi cara-cara baru dalam menjawab
persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia di masa kini dan masa depan.⁷
Catatan Kaki
[1]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1985), 35.
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1978), 43.
[3]
Al-Shahrastani, Al-Milal wan-Nihal, ed. William Cureton (London:
Williams and Norgate, 1846), 96.
[4]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia
University Press, 2004), 58.
[5]
Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye
(New York: Columbia University Press, 1920), 31.
[6]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and
Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 21.
[7]
Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 118.
Daftar Pustaka
Al-Baghdadi, A. (1920). Al-Farq
Bayn al-Firaq (K. C. Seelye, Trans.). New York: Columbia University
Press.
Al-Nawawi. (1990). Tahzib
al-Asma’ wa al-Lughat. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Shahrastani. (1846). Al-Milal
wan-Nihal (W. Cureton, Ed.). London: Williams and Norgate.
Fakhry, M. (2004). A
History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press.
Hodgson, M. S. (1974). The
Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization
(Vol. 1). Chicago: University of Chicago Press.
Martin, R. C. (1997). Defenders
of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology. Oxford:
Oneworld Publications.
Montgomery Watt, W. (1973).
The Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Montgomery Watt, W. (1985).
Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Nasution, H. (1978). Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI
Press.
Ibn Hajar al-Asqalani.
(1986). Fath al-Bari. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Imam Muslim. (n.d.). Sahih
Muslim. Kitab al-Iman, Bab 8.
Lampiran: Takhrij Hadits
Berikut adalah takhrij
hadis-hadis yang dikutip dalam artikel terkait dengan
Qadariyah. Saya akan memberikan takhrij beserta referensi utama dan tingkat
kualitas hadis menurut ulama hadis.
1.
Hadis tentang "Qadariyah sebagai Majusi
Umat Ini"
Teks Hadis
"Al-Qadariyyatu
Majûsîyyu hâdzihil ummah."
(Qadariyah adalah Majusi
umat ini.)
Referensi Hadis
·
Sunan
Abu Dawud, Kitab Al-Sunnah, Bab Fi Al-Qadar, No. 4691.
·
Sunan
Ibn Majah, Kitab Al-Muqaddimah, Bab Fi Al-Qadar, No. 80.
·
Musnad
Ahmad, No. 2024.
·
Sunan
al-Tirmidzi, Kitab Al-Qadar, Bab Ma Ja'a Fi Al-Qadar.
Takhrij Hadis
·
Sanad hadis ini memiliki
beberapa jalur, salah satunya diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar. Ulama hadis
berbeda pendapat mengenai tingkat kualitasnya:
o Al-Tirmidzi menyatakan bahwa
hadis ini hasan.
o Al-Albani dalam Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shahihah (No. 120) menyebutnya shahih.
o Sebagian ulama lain seperti Ibn Hibban memasukkannya dalam kitab
Shahih
Ibn Hibban, sehingga hadis ini dapat diterima untuk dijadikan
hujjah.
Makna Hadis
·
Qadariyah disamakan dengan
Majusi karena kemiripan doktrin mereka dalam pembagian kuasa: Majusi membagi
kuasa kepada "dewa cahaya" dan "dewa gelap,"
sedangkan Qadariyah mengakui kebebasan manusia secara mutlak yang menyerupai
pembagian kekuasaan antara manusia dan Tuhan.
2.
Hadis tentang "Segala Sesuatu
Ditentukan oleh Allah"
Teks Hadis
"Kullu syai’in bi
qadar, hatta al-‘ajzu wal-kays."
(Segala sesuatu telah
ditentukan oleh takdir, bahkan kelemahan dan kecerdasan.)
Referensi Hadis
·
Sahih
Muslim, Kitab Al-Qadar, No. 2656.
·
Musnad
Ahmad, No. 4136.
Takhrij Hadis
·
Hadis ini diriwayatkan oleh
Abdullah bin Umar dan terdapat dalam Sahih Muslim, sehingga tingkat
keabsahannya adalah shahih.
·
Hadis ini juga dikuatkan
oleh jalur periwayatan lain dalam Musnad Ahmad.
Makna Hadis
·
Hadis ini menunjukkan bahwa
takdir mencakup segala aspek kehidupan manusia, termasuk sifat-sifat manusiawi
seperti kelemahan dan kecerdasan. Hal ini menjadi argumen bagi kelompok yang
mendukung konsep predestinasi absolut (jabr).
3.
Hadis tentang Penolakan terhadap Qadariyah
Teks Hadis
"Itha laqitum ahla
al-qadariyyah fa akhbiruhum anni bari’un minhum wa annahum bura’a’u
minni."
(Jika kalian bertemu
dengan para Qadariyah, sampaikan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari
mereka, dan mereka berlepas diri dariku.)
Referensi Hadis
·
Sunan
Ibn Majah, Kitab Al-Muqaddimah, Bab Fi Al-Qadar, No. 81.
·
Musnad
Ahmad, No. 17468.
Takhrij Hadis
·
Hadis ini memiliki sanad
yang diperdebatkan oleh ulama:
o Al-Albani menilai hadis ini
sebagai dha’if
dalam Da’if
Sunan Ibn Majah.
o Namun, dalam jalur periwayatan lain di Musnad
Ahmad, sebagian ulama menilai bahwa sanadnya hasan
dengan dukungan periwayatan yang lebih kuat.
Makna Hadis
·
Hadis ini mencerminkan
sikap tegas Nabi Muhammad Saw terhadap paham Qadariyah yang menyimpang dari konsep
dasar keimanan dalam Islam.
Lampiran 2: Daftar Kitab yang Relevan
Berikut adalah daftar kitab yang berkaitan dengan
pemikiran Qadariyah, lengkap dengan penjelasan judul, nama penulis, dan
masa hidupnya:
1)
Al-Milal
wan-Nihal
- Penulis: Al-Shahrastani (1086–1153
M)
- Deskripsi:
Kitab ini adalah salah satu karya klasik yang membahas berbagai aliran dalam Islam dan agama-agama lain. Al-Shahrastani memberikan penjelasan mendalam tentang Qadariyah, termasuk asal-usul, prinsip utama, dan kritik terhadap pemikiran mereka. Buku ini penting untuk memahami konteks sejarah dan posisi Qadariyah dalam ilmu kalam.
2)
Al-Farq
Bayn al-Firaq
- Penulis: Al-Baghdadi (d. 1037 M)
- Deskripsi:
Kitab ini adalah rujukan utama untuk memahami berbagai aliran dalam Islam, termasuk Qadariyah. Al-Baghdadi mengkategorikan Qadariyah sebagai salah satu kelompok yang dianggap menyimpang (ahl al-bid’ah). Ia membahas pandangan mereka secara detail dan mengkritik konsep kebebasan manusia yang dianggap mengurangi kekuasaan Allah.
3)
Kitab
al-Tawhid
- Penulis: Abu Mansur al-Maturidi
(853–944 M)
- Deskripsi:
Sebagai pendiri teologi Maturidiyah, Al-Maturidi memberikan pandangan kritis terhadap Qadariyah dalam kitab ini. Kitab al-Tawhid membahas hubungan antara kehendak Allah dan kebebasan manusia, serta memberikan argumen teologis yang menolak pandangan ekstrem Qadariyah.
4)
Fath
al-Bari fi Syarh Sahih al-Bukhari
- Penulis: Ibn Hajar al-Asqalani
(1372–1449 M)
- Deskripsi:
Kitab ini merupakan penjelasan terhadap hadis-hadis dalam Sahih al-Bukhari. Ibn Hajar sering kali menyinggung hadis-hadis yang membahas takdir dan kelompok Qadariyah, memberikan konteks historis dan teologis terhadap isu-isu yang mereka angkat.
5)
Al-Ibanah
‘an Usul al-Diyanah
- Penulis: Abu al-Hasan al-Ash’ari
(874–936 M)
- Deskripsi:
Dalam kitab ini, Al-Ash’ari, pendiri teologi Asy’ariyah, membantah pemikiran Qadariyah secara tegas. Buku ini menguraikan posisi Asy’ariyah tentang kehendak Allah dan kebebasan manusia serta menjelaskan mengapa Qadariyah dianggap sebagai aliran yang menyimpang.
6)
Tarikh
al-Madaris al-Falsafiyyah fi al-Islam
- Penulis: M. M. Sharif (1893–1978 M)
- Deskripsi:
Kitab ini adalah salah satu karya modern yang membahas sejarah filsafat Islam. Penulis menjelaskan pengaruh pemikiran Qadariyah dalam konteks perkembangan rasionalisme Islam, khususnya dalam kaitannya dengan aliran Mu’tazilah.
7)
Al-Tamhid
li Ma Fi al-Muwatta’ min al-Ma’ani wa al-Asanid
- Penulis: Ibn Abd al-Barr (978–1071
M)
- Deskripsi:
Kitab ini merupakan penjelasan tentang hadis-hadis dalam Al-Muwatta’ karya Imam Malik. Ibn Abd al-Barr mengulas beberapa hadis yang digunakan untuk menolak doktrin Qadariyah dan memberikan penjelasan tentang posisi ulama klasik terhadap aliran ini.
8)
Maqalat
al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin
- Penulis: Abu al-Hasan al-Ash’ari
(874–936 M)
- Deskripsi:
Kitab ini adalah salah satu referensi utama tentang aliran-aliran dalam Islam. Al-Ash’ari membahas Qadariyah secara rinci, termasuk perbedaan internal di antara pengikutnya dan bagaimana pandangan mereka berkembang dalam sejarah teologi Islam.
9)
Al-Tawhid
wa al-Qadar
·
Penulis: Al-Nasafi
(1067–1142 M)
·
Deskripsi:
Dalam karya ini, Al-Nasafi membahas isu-isu fundamental dalam ilmu kalam,
termasuk takdir (qadar). Kitab ini sering digunakan untuk membandingkan
pandangan Qadariyah dengan aliran Sunni lainnya, khususnya dalam kaitannya
dengan tanggung jawab manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar