Rabu, 25 Desember 2024

Qadariyah: Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi

 Qadariyah

Pemikiran Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi


Alihkan ke: Kebebasan Berkehendak (Free Will).

LebertarianismeDeterminisme, Indeterminisme, Kompatibilisme, Inkopatibilisme, Fatalisme, Eksperimen Libet.


Disclaimer

Sebagai penulis, saya menegaskan bahwa saya adalah seorang Muslim yang berpegang teguh pada Madhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam teks ini, pembahasan tentang berbagai aliran ilmu kalam hanya disampaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan pengetahuan akademis semata.

Pembahasan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengajak atau menganjurkan pembaca untuk menganut, mendukung, atau mengajarkan aliran-aliran tersebut kepada orang lain. Setiap pembahasan didasarkan pada sumber-sumber ilmiah yang valid dan disampaikan dengan sikap objektif untuk memberikan pemahaman yang luas terhadap berbagai dinamika pemikiran dalam sejarah Islam.

Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi pembaca untuk memperkuat akidah yang lurus dan menambah wawasan keilmuan, sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah.


PEMBAHASAN

Qadariyah: Pemikiran Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi


1.           Pendahuluan

Aliran Qadariyah merupakan salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada masa awal perkembangan Islam. Secara etimologis, istilah Qadariyah berasal dari kata qadar yang berarti "ketentuan" atau "takdir." Namun, dalam konteks teologi, Qadariyah lebih merujuk pada kelompok yang menolak doktrin takdir absolut dan menekankan kebebasan manusia dalam menentukan nasibnya. Pemikiran ini lahir sebagai respons terhadap perdebatan teologis mengenai hubungan antara kehendak Allah dan kebebasan manusia.¹

Latar belakang munculnya Qadariyah tidak dapat dipisahkan dari dinamika sosial-politik dan intelektual di era Umayyah. Masa ini ditandai oleh konflik internal umat Islam, seperti perang saudara dan pergolakan politik, yang memunculkan pertanyaan mendalam tentang tanggung jawab moral manusia terhadap tindakannya.² Dalam kondisi seperti itu, pemikiran Qadariyah menjadi relevan, terutama bagi kelompok yang mengkritik legitimasi pemerintahan Umayyah, yang sering kali menggunakan doktrin takdir untuk membenarkan kekuasaan mereka.³

Dua tokoh utama yang dikenal sebagai perintis pemikiran Qadariyah adalah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi. Ma’bad al-Juhani dianggap sebagai pelopor ide kebebasan kehendak dalam Islam. Ia menentang gagasan bahwa segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia, telah ditentukan sepenuhnya oleh Allah. Sebagai konsekuensi dari pandangannya, Ma’bad dihukum mati oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan.⁴ Sementara itu, Ghailan ad-Dimasyqi, yang melanjutkan perjuangan Ma’bad, memperluas ide Qadariyah dengan menantang otoritas kekhalifahan Umayyah dan menekankan tanggung jawab moral manusia. Ghailan juga mengalami nasib tragis serupa, dieksekusi oleh Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.⁵

Dalam konteks ilmu kalam, Qadariyah memainkan peran penting dalam membuka diskursus tentang kebebasan kehendak dan tanggung jawab manusia, meskipun pemikirannya kemudian dikritik oleh kelompok Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Kritik terhadap Qadariyah bahkan tertuang dalam beberapa hadis yang mengecam penganut doktrin ini.⁶ Kendati demikian, studi tentang Qadariyah tetap penting untuk memahami evolusi teologi Islam dan dinamika pemikiran yang melibatkan tokoh-tokoh besar seperti Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi.


Catatan Kaki

[1]              W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 35.

[2]              Al-Shahrastani, Al-Milal wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate, 1846), 93.

[3]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1978), 45.

[4]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia University Press, 1920), 32.

[5]              Al-Nawawi, Tahzib al-Asma’ wa al-Lughat (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), 78.

[6]              Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 2:54.


2.           Pengertian dan Definisi Qadariyah

Aliran Qadariyah, yang menjadi salah satu topik utama dalam studi ilmu kalam, mendapatkan namanya dari istilah qadar (قَدَر), yang dalam bahasa Arab berarti "ketentuan" atau "takdir." Dalam terminologi teologi Islam, qadar merujuk pada konsep bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta berada dalam kehendak dan pengaturan Allah.¹ Namun, Qadariyah merupakan aliran yang menekankan kebebasan kehendak manusia dan menolak doktrin predestinasi absolut.²

Secara teologis, penganut Qadariyah percaya bahwa manusia memiliki kebebasan penuh dalam memilih perbuatannya, baik atau buruk, dan bertanggung jawab sepenuhnya atas konsekuensi dari tindakan tersebut. Pandangan ini berbeda dengan konsep jabr (determinisme absolut), yang menyatakan bahwa segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia, telah ditentukan secara mutlak oleh Allah tanpa adanya pilihan dari manusia.³ Oleh karena itu, Qadariyah sering disebut sebagai aliran yang menegaskan ikhtiyar (pilihan bebas) manusia.⁴

Dalam sejarah Islam, istilah Qadariyah sering kali dikaitkan dengan kritik dari kelompok Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Beberapa hadis, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, mengecam kelompok Qadariyah, menyebut mereka sebagai "Majusi umat ini" karena pandangan mereka yang dianggap menyerupai dualisme Zoroastrianisme.⁵ Namun, para ulama Qadariyah menegaskan bahwa pandangan mereka sepenuhnya didasarkan pada ajaran Islam, dengan argumen bahwa keadilan Allah tidak dapat ditegakkan tanpa kebebasan manusia untuk bertindak.⁶

Para ulama seperti Al-Baghdadi mendefinisikan Qadariyah sebagai kelompok yang meyakini bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri dan menolak intervensi langsung dari Allah dalam perbuatan manusia.⁷ Pandangan ini, meskipun dikritik oleh banyak ulama Sunni, memberikan kontribusi penting terhadap diskusi teologis yang lebih luas dalam Islam, terutama tentang hubungan antara kehendak ilahi dan tanggung jawab moral manusia. Selain itu, Qadariyah juga dianggap sebagai cikal bakal munculnya aliran Mu’tazilah, yang memperluas ide-ide tentang kebebasan manusia dan keadilan Allah dalam diskursus teologi Islam.⁸

Dengan pemikiran yang kontroversial namun signifikan ini, Qadariyah menjadi salah satu aliran penting dalam memahami perkembangan awal ilmu kalam. Meskipun telah lama dianggap menyimpang oleh mayoritas ulama Sunni, diskusi tentang konsep kebebasan manusia yang diusung Qadariyah tetap relevan dalam kajian teologi Islam kontemporer.


Catatan Kaki

[1]              W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 113.

[2]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1978), 41.

[3]              Al-Shahrastani, Al-Milal wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate, 1846), 98.

[4]              M. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 224.

[5]              Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab 8, Hadis no. 265.

[6]              Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology and Mysticism: A Short Introduction (Oxford: Oneworld Publications, 2000), 52.

[7]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia University Press, 1920), 30.

[8]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 19.


3.           Sejarah Kemunculan Qadariyah

Kemunculan aliran Qadariyah dalam sejarah Islam tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial-politik dan intelektual pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah (661–750 M). Era ini ditandai oleh perubahan besar dalam struktur politik dan masyarakat Islam, yang mengarah pada perdebatan teologis yang intens. Salah satu isu utama yang menjadi pusat perhatian adalah masalah qadar (takdir) dan kebebasan manusia.¹

Pada masa itu, pemerintah Umayyah sering menggunakan doktrin predestinasi (jabr) untuk membenarkan kekuasaan mereka. Mereka mengklaim bahwa segala sesuatu, termasuk tindakan mereka sebagai penguasa, adalah kehendak Allah yang tidak dapat diubah.² Doktrin ini memicu reaksi keras dari sebagian umat Islam yang melihatnya sebagai bentuk manipulasi agama untuk kepentingan politik. Dalam konteks ini, muncul pemikiran Qadariyah, yang menolak konsep predestinasi absolut dan menekankan tanggung jawab moral manusia atas tindakannya.³

Salah satu tokoh utama yang dianggap sebagai pendiri aliran ini adalah Ma’bad al-Juhani, seorang pemikir dari Basra yang hidup pada abad pertama Hijriyah. Ma’bad menyuarakan gagasan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam menentukan perbuatannya, sehingga ia bertanggung jawab sepenuhnya atas dosa dan pahala.⁴ Pemikirannya dipengaruhi oleh kondisi masyarakat pada masa itu, di mana keadilan sering kali diabaikan oleh penguasa.⁵

Selain Ma’bad, Ghailan ad-Dimasyqi, seorang teolog dari Damaskus, juga memainkan peran penting dalam perkembangan Qadariyah. Ghailan tidak hanya memperkuat gagasan kebebasan manusia, tetapi juga secara terbuka mengkritik pemerintahan Umayyah yang ia anggap menyimpang dari prinsip-prinsip Islam.⁶ Kritiknya terhadap penguasa membuatnya dieksekusi pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.⁷

Secara intelektual, kemunculan Qadariyah juga dipengaruhi oleh pertemuan umat Islam dengan filsafat Yunani dan budaya Persia. Beberapa gagasan tentang kebebasan kehendak yang ditemukan dalam tradisi Hellenistik mungkin telah memengaruhi pemikiran Ma’bad dan Ghailan.⁸ Namun, ulama-ulama Sunni seperti Al-Baghdadi dan Al-Shahrastani menegaskan bahwa Qadariyah merupakan penyimpangan teologis yang merusak akidah Islam.⁹

Meskipun kontroversial, Qadariyah memiliki peran penting dalam membentuk diskursus teologis di dunia Islam. Ide-ide yang mereka kembangkan menjadi dasar bagi perdebatan lebih lanjut dalam ilmu kalam, khususnya oleh kelompok Mu’tazilah yang mengadopsi sebagian besar gagasan Qadariyah tentang kebebasan manusia dan keadilan Allah.¹⁰


Catatan Kaki

[1]              W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 32.

[2]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1978), 40.

[3]              Al-Shahrastani, Al-Milal wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate, 1846), 96.

[4]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia University Press, 1920), 29.

[5]              H. A. R. Gibb, The Encyclopaedia of Islam, vol. 4 (Leiden: Brill, 1960), 127.

[6]              Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 59.

[7]              Al-Nawawi, Tahzib al-Asma’ wa al-Lughat (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), 78.

[8]              M. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 227.

[9]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia University Press, 1920), 30.

[10]          Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 21.


4.           Ma’bad al-Juhani: Pelopor Pemikiran Qadariyah

Ma’bad al-Juhani (w. 80 H/699 M) adalah salah satu tokoh awal dalam sejarah Islam yang dikenal sebagai pelopor pemikiran Qadariyah. Ia berasal dari Basra, yang pada masa itu merupakan pusat intelektual penting di dunia Islam. Dalam konteks perkembangan teologi Islam, Ma’bad adalah figur yang menentang doktrin determinisme absolut (jabr), yang menyatakan bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah, termasuk perbuatan manusia.¹

4.1.       Biografi Singkat Ma’bad al-Juhani

Ma’bad hidup pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, yang sering menggunakan konsep predestinasi sebagai legitimasi kekuasaan mereka.² Sebagai seorang pemikir independen, Ma’bad terlibat dalam diskusi-diskusi teologis yang berkembang di kalangan ulama Basra. Ia dikenal berani dalam mengkritik kebijakan politik dan keagamaan penguasa yang dianggapnya bertentangan dengan prinsip keadilan.³

Selain terpengaruh oleh realitas politik dan sosial, pemikiran Ma’bad juga diperkaya oleh pertemuannya dengan beragam tradisi intelektual, termasuk pengaruh dari filsafat Yunani dan diskusi-diskusi teologis lintas agama yang terjadi di kawasan itu.⁴

4.2.       Pemikiran Ma’bad al-Juhani

Ma’bad dikenal sebagai penentang kuat gagasan bahwa manusia tidak memiliki kendali atas tindakannya. Menurutnya, manusia memiliki kebebasan kehendak (ikhtiyar), sehingga ia bertanggung jawab atas semua perbuatan yang dilakukannya. Pandangan ini didasarkan pada keyakinan bahwa keadilan Allah tidak akan terealisasi jika manusia tidak diberikan kebebasan untuk bertindak.⁵ Dalam hal ini, Ma’bad menolak doktrin jabr yang dianut oleh sebagian besar penguasa Umayyah dan didukung oleh ulama yang berafiliasi dengan mereka.⁶

Pemikiran Ma’bad menjadi pondasi awal bagi gagasan Qadariyah, yang mengajarkan bahwa manusia adalah pencipta amal perbuatannya sendiri. Ia juga menekankan pentingnya tanggung jawab moral, menolak keras pandangan bahwa dosa dan ketaatan manusia semata-mata adalah hasil takdir yang telah ditentukan Allah.⁷

4.3.       Respon dan Akhir Hidup Ma’bad

Pemikiran Ma’bad al-Juhani mendapatkan perhatian luas, tetapi juga banyak ditentang oleh ulama tradisionalis dan kelompok politik yang mendukung doktrin predestinasi. Khalifah Abdul Malik bin Marwan, yang memandang ajaran Ma’bad sebagai ancaman terhadap stabilitas politik, memerintahkan eksekusi Ma’bad pada tahun 80 H/699 M.⁸

Eksekusi ini tidak menghentikan pengaruh pemikiran Ma’bad. Sebaliknya, gagasannya terus diperjuangkan oleh murid-muridnya dan berkembang melalui tokoh-tokoh seperti Ghailan ad-Dimasyqi, yang meneruskan pandangan Qadariyah di wilayah Damaskus.⁹

4.4.       Signifikansi Pemikiran Ma’bad

Pemikiran Ma’bad al-Juhani menandai awal dari diskusi serius tentang kebebasan manusia dalam tradisi Islam. Meskipun dianggap menyimpang oleh mayoritas ulama Sunni, ide-idenya memberikan kontribusi besar terhadap pengembangan ilmu kalam. Selain itu, Qadariyah yang dipeloporinya menjadi fondasi bagi munculnya Mu’tazilah, aliran teologi yang lebih terorganisir dan sistematis dalam menegaskan kebebasan manusia dan keadilan Allah.¹⁰


Catatan Kaki

[1]              W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 34.

[2]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia University Press, 1920), 31.

[3]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1978), 43.

[4]              M. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 223.

[5]              Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 58.

[6]              Al-Shahrastani, Al-Milal wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate, 1846), 96.

[7]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 19.

[8]              Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 2:56.

[9]              Al-Nawawi, Tahzib al-Asma’ wa al-Lughat (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), 79.

[10]          Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 116.


5.           Ghailan ad-Dimasyqi: Pengembang Pemikiran Qadariyah

Ghailan ad-Dimasyqi (w. sekitar 105 H/724 M) merupakan salah satu tokoh penting dalam perkembangan aliran Qadariyah. Sebagai pengembang utama pemikiran yang telah dirintis oleh Ma’bad al-Juhani, Ghailan memainkan peran signifikan dalam menyebarluaskan doktrin Qadariyah, khususnya di Damaskus, pusat kekhalifahan Umayyah.¹ Ia dikenal sebagai seorang teolog yang vokal dalam membela kebebasan manusia dan tanggung jawab moral, serta mengkritik keras doktrin predestinasi (jabr) yang digunakan oleh penguasa untuk membenarkan kekuasaan mereka.²


5.1.       Biografi Singkat Ghailan ad-Dimasyqi

Ghailan berasal dari Damaskus, ibu kota Dinasti Umayyah, yang pada masa itu merupakan pusat administrasi dan kekuatan politik. Ia dibesarkan dalam lingkungan yang memungkinkan interaksi dengan berbagai tradisi pemikiran, termasuk diskursus lintas agama dan budaya.³ Ghailan dikenal sebagai seorang yang fasih dan argumentatif, sehingga ia sering terlibat dalam perdebatan teologis dengan para ulama dan pejabat istana.⁴

Ghailan mulai menarik perhatian khalayak luas ketika ia secara terbuka mengkritik legitimasi kekuasaan dinasti Umayyah yang, menurutnya, bertentangan dengan prinsip keadilan Islam. Ia menolak pandangan bahwa Allah menentukan semua tindakan manusia, termasuk dosa dan kebijakan zalim para penguasa.⁵ Kritik ini membuatnya menjadi figur yang kontroversial, tetapi juga dihormati oleh sebagian umat Islam yang mendukung gagasannya tentang keadilan dan tanggung jawab individu.⁶


5.2.       Pemikiran Ghailan ad-Dimasyqi

Pemikiran Ghailan berpusat pada keyakinan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh dalam berkehendak dan bertindak. Ia menolak pandangan determinisme absolut, yang menurutnya bertentangan dengan keadilan Allah.⁷ Dalam pandangan Ghailan, Allah memberikan manusia kebebasan untuk memilih perbuatannya, baik atau buruk, sehingga setiap individu bertanggung jawab atas amalnya di hari kiamat.⁸

Selain itu, Ghailan juga menekankan bahwa keadilan Allah tidak hanya terkait dengan penghakiman akhirat, tetapi juga dengan tatanan sosial-politik di dunia. Ia mengkritik kekhalifahan Umayyah karena sering kali menggunakan konsep takdir untuk membenarkan kekuasaan yang tidak adil. Ghailan menegaskan bahwa setiap individu, termasuk penguasa, harus bertanggung jawab atas tindakan mereka di hadapan Allah.⁹

Pemikiran Ghailan juga berkontribusi pada pengembangan diskursus teologis dalam Islam, khususnya terkait dengan hubungan antara kehendak ilahi dan tanggung jawab manusia. Banyak ulama menganggap pandangannya sebagai langkah awal menuju sistematisasi teologi rasional dalam tradisi Islam, yang kemudian diadopsi dan diperluas oleh kelompok Mu’tazilah.¹⁰


5.3.       Respon Ulama dan Kekuasaan Umayyah terhadap Ghailan

Ghailan ad-Dimasyqi menghadapi perlawanan keras dari para ulama yang mendukung kekuasaan Umayyah. Khalifah Hisyam bin Abdul Malik, yang melihat kritik Ghailan sebagai ancaman terhadap stabilitas politik, memerintahkan penangkapan dan eksekusinya.¹¹ Sebelum dieksekusi, Ghailan terlibat dalam perdebatan dengan ulama istana seperti Al-Awza’i, yang menjadi salah satu pengkritik utama pandangan Qadariyah.¹²

Eksekusi Ghailan tidak menghentikan penyebaran gagasannya. Pemikirannya tetap berpengaruh, terutama di kalangan teolog yang memperjuangkan kebebasan manusia dan tanggung jawab moral dalam Islam.¹³


5.4.       Signifikansi Pemikiran Ghailan

Ghailan ad-Dimasyqi adalah sosok yang tidak hanya mewakili pemikiran Qadariyah, tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan politik dan manipulasi agama. Meskipun pandangannya dianggap menyimpang oleh mayoritas ulama Sunni, ia memberikan kontribusi penting dalam membuka diskursus tentang keadilan sosial dan tanggung jawab individu dalam Islam.¹⁴

Pemikirannya menjadi salah satu fondasi bagi pengembangan teologi rasional dalam Islam, khususnya oleh kelompok Mu’tazilah, yang mengadopsi sebagian besar gagasan Qadariyah tentang kebebasan manusia dan keadilan Allah.¹⁵


Catatan Kaki

[1]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1978), 47.

[2]              W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 36.

[3]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia University Press, 1920), 33.

[4]              Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 59.

[5]              Al-Shahrastani, Al-Milal wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate, 1846), 98.

[6]              M. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 228.

[7]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 20.

[8]              Al-Nawawi, Tahzib al-Asma’ wa al-Lughat (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), 80.

[9]              W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 118.

[10]          Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia University Press, 1920), 34.

[11]          Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 2:57.

[12]          Al-Shahrastani, Al-Milal wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate, 1846), 99.

[13]          Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 22.

[14]          Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 61.

[15]          Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 120.


6.           Prinsip-Prinsip Utama Qadariyah

Aliran Qadariyah memiliki beberapa prinsip utama yang menjadi inti pemikirannya dalam diskursus teologi Islam. Prinsip-prinsip ini berpusat pada isu kebebasan kehendak manusia, tanggung jawab moral, dan keadilan ilahi, yang muncul sebagai reaksi terhadap doktrin determinisme absolut (jabr) yang dianut oleh sebagian kalangan di masa awal Islam.¹


6.1.       Kebebasan Kehendak Manusia (Ikhtiyar al-Insan)

Prinsip pertama Qadariyah adalah keyakinan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh untuk menentukan perbuatannya sendiri. Dalam pandangan Qadariyah, manusia diberi kemampuan untuk memilih antara kebaikan dan keburukan tanpa paksaan dari Allah.² Prinsip ini didasarkan pada argumentasi bahwa Allah tidak mungkin dianggap adil jika Dia memaksa manusia untuk berbuat dosa, tetapi kemudian menghukum mereka atas perbuatan tersebut.³ Oleh karena itu, kebebasan kehendak manusia menjadi dasar bagi tanggung jawab moral individu.

Pandangan ini berbeda tajam dengan doktrin determinisme (jabr), yang menyatakan bahwa semua tindakan manusia telah ditentukan oleh Allah dan manusia tidak memiliki kontrol atas kehendaknya. Qadariyah menolak determinisme dengan menekankan bahwa Allah menciptakan manusia dengan kemampuan untuk berkehendak dan bertindak secara independen.⁴


6.2.       Tanggung Jawab Moral Manusia

Prinsip kedua Qadariyah adalah tanggung jawab manusia atas amal perbuatannya. Dalam pandangan Qadariyah, setiap individu bertanggung jawab sepenuhnya atas tindakan yang ia lakukan, baik atau buruk, karena perbuatan tersebut adalah hasil dari pilihannya sendiri.⁵ Mereka berpendapat bahwa konsep tanggung jawab ini adalah syarat mutlak untuk menegakkan keadilan ilahi. Tanpa kebebasan manusia, tanggung jawab moral tidak dapat dijelaskan, dan hukuman atau pahala dari Allah menjadi tidak bermakna.⁶


6.3.       Penolakan terhadap Predestinasi Absolut

Qadariyah secara tegas menolak doktrin predestinasi absolut, yang mengajarkan bahwa segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia, telah ditentukan oleh Allah sejak awal. Menurut mereka, ajaran ini bertentangan dengan sifat adil Allah dan menciptakan kontradiksi dalam ajaran Islam tentang pahala dan hukuman.⁷ Sebaliknya, Qadariyah menegaskan bahwa manusia adalah pencipta amalnya sendiri (khaliq al-af’al), sementara Allah bertindak sebagai pemberi petunjuk dan pencipta kemampuan bagi manusia untuk bertindak.⁸


6.4.       Keadilan Ilahi (‘Adl Allah)

Prinsip keempat Qadariyah adalah keyakinan bahwa Allah Maha Adil dan tidak mungkin bertindak zalim. Mereka berpendapat bahwa keadilan ilahi hanya dapat dipahami jika manusia memiliki kebebasan untuk memilih perbuatannya.⁹ Dengan demikian, hukuman atas dosa dan pahala atas amal baik menjadi manifestasi dari keadilan Allah, yang memberikan balasan berdasarkan apa yang dipilih oleh manusia secara bebas.¹⁰


6.5.       Penekanan pada Akal dan Rasionalitas

Meskipun tidak seformal seperti dalam Mu’tazilah, Qadariyah juga menekankan pentingnya penggunaan akal dalam memahami konsep keadilan Allah dan tanggung jawab manusia. Mereka percaya bahwa akal manusia dapat digunakan untuk memahami kewajiban moral dan membedakan antara kebenaran dan kebatilan.¹¹ Pendekatan ini berkontribusi pada pengembangan diskursus teologis yang lebih rasional dalam Islam.


Kritik terhadap Prinsip-Prinsip Qadariyah

Meskipun prinsip-prinsip Qadariyah memberikan kontribusi penting terhadap diskusi teologi Islam, mereka juga menerima banyak kritik. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah menolak pandangan Qadariyah, menganggapnya sebagai penyimpangan karena mengurangi kekuasaan dan kehendak Allah atas ciptaan-Nya.¹² Kritik ini sering kali didasarkan pada hadis yang menyebut Qadariyah sebagai “Majusi umat ini,” karena menyerupai konsep dualisme Zoroastrianisme yang mengakui adanya dua kekuatan independen dalam penciptaan.¹³


Signifikansi Prinsip-Prinsip Qadariyah

Prinsip-prinsip Qadariyah tidak hanya mencerminkan upaya untuk memahami hubungan antara kehendak ilahi dan kebebasan manusia, tetapi juga membuka jalan bagi diskusi lebih lanjut tentang keadilan sosial dan tanggung jawab moral dalam Islam. Pemikiran ini memengaruhi perkembangan aliran Mu’tazilah, yang mengadopsi banyak ide Qadariyah dalam kerangka teologi rasional.¹⁴


Catatan Kaki

[1]              W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 34.

[2]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1978), 43.

[3]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia University Press, 1920), 31.

[4]              Al-Shahrastani, Al-Milal wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate, 1846), 96.

[5]              Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 58.

[6]              M. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 223.

[7]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 20.

[8]              Al-Nawawi, Tahzib al-Asma’ wa al-Lughat (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), 79.

[9]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia University Press, 1920), 34.

[10]          Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 2:57.

[11]          Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 118.

[12]          Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1978), 46.

[13]          Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab 8, Hadis no. 265.

[14]          Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 21.


7.           Kontroversi dan Penolakan terhadap Qadariyah

Aliran Qadariyah menjadi salah satu aliran teologi awal dalam Islam yang mendapatkan banyak perhatian, baik dalam bentuk penerimaan maupun penolakan. Meskipun memberikan kontribusi penting dalam diskursus teologi Islam, Qadariyah menghadapi kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk ulama tradisional, aliran teologi lain, dan bahkan legitimasi hadis-hadis tertentu.¹

7.1.       Kontroversi terhadap Pemikiran Qadariyah

Kontroversi utama yang menyelimuti Qadariyah adalah penolakannya terhadap konsep predestinasi absolut (jabr) yang dianut oleh sebagian besar ulama tradisional. Penganut Qadariyah menegaskan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh untuk bertindak, sehingga bertanggung jawab atas perbuatan baik maupun buruknya.² Namun, pandangan ini dianggap bertentangan dengan konsep kehendak mutlak Allah (irada mutlaqah) yang menjadi dasar teologi Sunni.³

Salah satu kritik utama terhadap Qadariyah adalah keyakinan mereka bahwa manusia adalah pencipta amal perbuatannya sendiri (khaliq al-af’al). Kritik ini muncul karena keyakinan tersebut dianggap mengurangi kekuasaan dan kedaulatan Allah atas ciptaan-Nya.⁴ Kelompok Ahlus Sunnah Wal Jamaah berpendapat bahwa manusia hanya "melaksanakan" amal yang diciptakan oleh Allah, bukan pencipta amal itu sendiri.⁵

Selain itu, Qadariyah sering dikaitkan dengan pemikiran rasional yang dianggap terlalu mengandalkan akal manusia. Pemikiran ini, meskipun berkontribusi pada pengembangan diskursus teologis, sering kali menimbulkan ketegangan dengan pendekatan tradisional yang lebih tekstual.⁶

7.2.       Hadis-Hadis yang Mengecam Qadariyah

Kritik terhadap Qadariyah juga didasarkan pada sejumlah hadis yang secara langsung menyebut mereka sebagai kelompok yang menyimpang. Salah satu hadis yang paling sering dikutip adalah pernyataan Nabi Muhammad Saw yang menyebut Qadariyah sebagai "Majusi umat ini."⁷ Hadis ini terdapat dalam Sahih Muslim dan beberapa kitab hadis lainnya, meskipun sebagian ulama berpendapat bahwa hadis tersebut harus dipahami dalam konteks tertentu, bukan sebagai celaan menyeluruh terhadap doktrin Qadariyah.⁸

7.3.       Penolakan dari Kelompok Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah secara konsisten menolak pemikiran Qadariyah. Penolakan ini tidak hanya teologis tetapi juga politis, mengingat doktrin Qadariyah sering digunakan oleh kelompok-kelompok yang menentang kekuasaan dinasti Umayyah.⁹ Para ulama Sunni seperti Al-Baghdadi dan Al-Shahrastani memasukkan Qadariyah ke dalam kategori aliran sesat (ahl al-bid’ah).¹⁰

Menurut Al-Baghdadi, salah satu kesalahan terbesar Qadariyah adalah keyakinan mereka bahwa kehendak manusia dapat berjalan secara independen dari kehendak Allah. Hal ini, menurutnya, bertentangan dengan ajaran Al-Qur'an yang menegaskan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah.¹¹

7.4.       Respon dari Aliran Teologi Lain

Aliran Jabariyah, yang meyakini determinisme absolut, adalah penentang utama Qadariyah. Jabariyah mengkritik Qadariyah karena terlalu menekankan kebebasan manusia, yang menurut mereka mengabaikan kedaulatan Allah.¹² Sebaliknya, aliran Mu’tazilah, yang muncul kemudian, mengadopsi banyak prinsip Qadariyah, seperti kebebasan manusia dan keadilan Allah, meskipun mereka lebih sistematis dalam pengembangannya.¹³

7.5.       Kontroversi Politis terhadap Qadariyah

Selain kritik teologis, Qadariyah juga menghadapi kontroversi politis. Pemikiran mereka sering kali dipandang sebagai ancaman terhadap stabilitas politik, terutama karena penolakan mereka terhadap legitimasi kekuasaan dinasti Umayyah.¹⁴ Para penguasa Umayyah menggunakan doktrin jabr untuk membenarkan kekuasaan mereka sebagai kehendak Allah, sementara Qadariyah menentang keras pandangan ini dengan menekankan tanggung jawab moral para penguasa atas tindakan mereka.¹⁵

7.6.       Signifikansi Kontroversi terhadap Qadariyah

Meskipun menghadapi banyak kritik dan penolakan, kontroversi seputar Qadariyah memiliki dampak besar terhadap perkembangan ilmu kalam dalam Islam. Diskusi tentang kebebasan manusia, tanggung jawab moral, dan keadilan ilahi yang dimulai oleh Qadariyah menjadi landasan bagi teologi rasional yang dikembangkan oleh Mu’tazilah.¹⁶


Catatan Kaki

[1]              W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 35.

[2]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1978), 45.

[3]              Al-Shahrastani, Al-Milal wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate, 1846), 93.

[4]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia University Press, 1920), 32.

[5]              Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 59.

[6]              M. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 224.

[7]              Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab 8, Hadis no. 265.

[8]              Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 2:54.

[9]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia University Press, 1920), 33.

[10]          Al-Shahrastani, Al-Milal wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate, 1846), 96.

[11]          Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 21.

[12]          Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 117.

[13]          Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1978), 49.

[14]          W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 36.

[15]          Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia University Press, 1920), 34.

[16]          Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 22.


8.           Pengaruh Qadariyah terhadap Ilmu Kalam

Aliran Qadariyah, meskipun menghadapi banyak penolakan dan kritik, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan ilmu kalam dalam tradisi Islam. Sebagai aliran teologi yang menekankan kebebasan manusia dan keadilan ilahi, Qadariyah membuka jalan bagi diskursus intelektual yang lebih sistematis tentang hubungan antara kehendak Allah dan tanggung jawab manusia.¹

8.1.       Perintis Diskusi tentang Kebebasan Manusia

Salah satu pengaruh utama Qadariyah terhadap ilmu kalam adalah pengenalan konsep kebebasan manusia (ikhtiyar). Qadariyah menolak doktrin determinisme absolut (jabr) dan menekankan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan bertanggung jawab atas perbuatannya.² Konsep ini menjadi dasar bagi perdebatan lebih lanjut dalam ilmu kalam, khususnya dalam membahas bagaimana kebebasan manusia dapat dikompromikan dengan kehendak Allah yang mutlak.³

Pemikiran Qadariyah tentang kebebasan manusia juga berkontribusi pada pembentukan paradigma teologi yang lebih rasional, di mana akal digunakan untuk menjelaskan keadilan Allah dan tanggung jawab moral manusia.⁴ Pendekatan ini memberikan dasar bagi kelompok-kelompok seperti Mu’tazilah untuk mengembangkan teologi yang lebih terstruktur.

8.2.       Inspirasi bagi Aliran Mu’tazilah

Qadariyah sering dianggap sebagai pendahulu dari aliran Mu’tazilah, yang muncul pada abad kedua Hijriyah. Sebagian besar prinsip Qadariyah, seperti kebebasan manusia dan keadilan ilahi, diadopsi dan diperluas oleh Mu’tazilah.⁵ Misalnya, prinsip ‘adl (keadilan Allah) yang menjadi pilar utama teologi Mu’tazilah memiliki akar dalam pemikiran Qadariyah.⁶

Selain itu, Qadariyah memengaruhi metode rasional Mu’tazilah dalam menyelesaikan masalah teologi. Mu’tazilah mengembangkan argumen-argumen rasional Qadariyah untuk mempertahankan kebebasan manusia sekaligus menjelaskan sifat Allah yang Maha Adil.⁷ Dalam hal ini, Qadariyah memainkan peran penting sebagai pelopor dalam membangun fondasi rasional untuk ilmu kalam.

8.3.       Peran dalam Diskursus Tentang Kehendak Ilahi

Pemikiran Qadariyah juga memberikan kontribusi penting dalam membentuk diskusi tentang kehendak ilahi (irada Allah). Dengan menolak gagasan bahwa Allah menentukan semua tindakan manusia, Qadariyah memperkenalkan konsep dualitas antara kehendak Allah dan kehendak manusia.⁸ Mereka berargumen bahwa Allah menciptakan manusia dengan kemampuan untuk memilih, tetapi tidak memaksakan perbuatannya.⁹

Meskipun pandangan ini dikritik oleh banyak ulama Sunni, diskusi tentang kehendak ilahi yang dipicu oleh Qadariyah terus menjadi salah satu isu sentral dalam ilmu kalam.¹⁰

8.4.       Tantangan terhadap Kekuasaan Politik

Dalam konteks politik, Qadariyah memberikan pengaruh besar terhadap diskusi tentang legitimasi kekuasaan. Dengan menekankan tanggung jawab moral individu, termasuk penguasa, Qadariyah secara tidak langsung mengkritik doktrin jabr yang digunakan oleh dinasti Umayyah untuk membenarkan kekuasaan mereka.¹¹ Kritik ini memberikan inspirasi bagi kelompok-kelompok oposisi politik yang mencari dasar teologis untuk melawan otoritarianisme.¹²

8.5.       Warisan Intektual dalam Islam

Warisan intelektual Qadariyah tidak hanya terbatas pada teologi, tetapi juga mencakup etika dan filsafat. Gagasan mereka tentang kebebasan manusia memberikan kontribusi pada diskusi etika dalam Islam, khususnya dalam menjelaskan hubungan antara pilihan moral dan tanggung jawab.¹³ Pemikiran ini terus berpengaruh, meskipun sering kali tidak diakui secara eksplisit dalam tradisi Sunni arus utama.


Kesimpulan: Pengaruh yang Bertahan Lama

Meskipun Qadariyah tidak bertahan sebagai aliran teologi independen, pengaruh mereka terhadap ilmu kalam sangat besar. Dengan membuka diskusi tentang kebebasan manusia, tanggung jawab moral, dan keadilan Allah, Qadariyah membantu membentuk kerangka teologi Islam yang lebih dinamis.¹⁴ Meskipun mereka dianggap menyimpang oleh banyak ulama Sunni, warisan intelektual mereka tetap relevan dalam memahami evolusi pemikiran teologis dalam Islam.


Catatan Kaki

[1]              W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 35.

[2]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1978), 45.

[3]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia University Press, 1920), 31.

[4]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 19.

[5]              M. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 224.

[6]              Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 58.

[7]              Al-Shahrastani, Al-Milal wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate, 1846), 93.

[8]              Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 116.

[9]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 21.

[10]          Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia University Press, 1920), 33.

[11]          Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1978), 49.

[12]          Al-Shahrastani, Al-Milal wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate, 1846), 96.

[13]          W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 36.

[14]          Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 61.


9.           Relevansi Pemikiran Qadariyah di Masa Kini

Pemikiran Qadariyah, meskipun muncul lebih dari 13 abad yang lalu, tetap memiliki relevansi dalam diskusi teologis, sosial, dan etika di masa kini. Gagasan Qadariyah tentang kebebasan manusia, tanggung jawab moral, dan keadilan Allah memberikan dasar yang signifikan untuk membahas berbagai isu modern, termasuk persoalan kebebasan individu, tanggung jawab sosial, dan hubungan antara agama dan politik.

9.1.       Kebebasan Kehendak dan Hak Asasi Manusia

Salah satu prinsip utama Qadariyah adalah kebebasan manusia untuk memilih dan bertindak. Pemikiran ini sejalan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) di era modern, di mana kebebasan individu dianggap sebagai hak mendasar.¹ Dalam konteks ini, gagasan Qadariyah tentang ikhtiyar (kebebasan kehendak) dapat dijadikan landasan filosofis untuk mendukung kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, dan otonomi individu.

Namun, prinsip kebebasan ini juga harus diimbangi dengan tanggung jawab moral, sebagaimana ditekankan oleh Qadariyah. Dalam konteks modern, gagasan ini relevan untuk mengatasi tantangan yang muncul akibat kebebasan tanpa batas, seperti penyalahgunaan teknologi dan kebebasan berbicara yang melanggar etika.²

9.2.       Tanggung Jawab Sosial dan Etika Global

Pandangan Qadariyah tentang tanggung jawab moral manusia memiliki relevansi dalam isu-isu etika global. Mereka menegaskan bahwa setiap individu harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sebuah konsep yang penting dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, ketidakadilan sosial, dan pelanggaran hak asasi manusia.³

Dalam konteks perubahan iklim, misalnya, pandangan Qadariyah dapat mendorong kesadaran bahwa manusia bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang mereka sebabkan. Konsep ini menekankan pentingnya tindakan individu untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.⁴

9.3.       Keberlanjutan Keadilan Ilahi dalam Perspektif Sosial

Pemikiran Qadariyah tentang keadilan Allah (‘adl Allah) dapat diterapkan dalam diskusi mengenai keadilan sosial dan politik. Dalam pandangan Qadariyah, Allah tidak bertindak zalim, sehingga keadilan-Nya mencakup tanggung jawab manusia untuk menciptakan tatanan sosial yang adil.⁵

Di masa kini, gagasan ini relevan dalam memperjuangkan keadilan sosial, seperti upaya untuk mengurangi kesenjangan ekonomi, menghapus diskriminasi, dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif. Selain itu, kritik Qadariyah terhadap legitimasi kekuasaan yang tidak adil dapat menjadi inspirasi untuk menegakkan pemerintahan yang berdasarkan keadilan dan tanggung jawab moral.⁶

9.4.       Diskursus Agama dan Politik

Pemikiran Qadariyah tentang kebebasan manusia juga memberikan wawasan dalam hubungan antara agama dan politik. Kritik mereka terhadap penggunaan doktrin takdir oleh penguasa Umayyah untuk membenarkan kekuasaan yang tidak adil memberikan pelajaran penting dalam melawan manipulasi agama untuk kepentingan politik.⁷ Dalam konteks modern, ini relevan untuk mencegah penyalahgunaan agama oleh kelompok-kelompok tertentu yang ingin mempertahankan kekuasaan tanpa memperhatikan prinsip keadilan dan tanggung jawab sosial.

9.5.       Relevansi dalam Teologi Kontemporer

Dalam dunia yang semakin kompleks, di mana manusia menghadapi dilema etika dan tantangan global, gagasan Qadariyah dapat menjadi dasar untuk membangun teologi Islam yang lebih responsif terhadap isu-isu modern. Misalnya, konsep kebebasan dan tanggung jawab yang mereka ajarkan dapat dijadikan pijakan untuk mengembangkan teologi etis yang menjawab tantangan kontemporer seperti bioetika, teknologi kecerdasan buatan, dan globalisasi.⁸


Kesimpulan: Warisan yang Bertahan Lama

Pemikiran Qadariyah, meskipun dianggap menyimpang oleh sebagian besar ulama Sunni, memberikan kontribusi penting yang tetap relevan dalam menjawab tantangan dunia modern. Konsep kebebasan manusia, tanggung jawab moral, dan keadilan ilahi yang mereka usung dapat menjadi landasan filosofis dan teologis untuk membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan bertanggung jawab. Melalui pemikiran ini, umat Islam dapat menemukan inspirasi untuk menghadapi persoalan-persoalan besar di era modern sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip keadilan ilahi dan etika yang diajarkan dalam Islam.


Catatan Kaki

[1]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1978), 43.

[2]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 21.

[3]              W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 36.

[4]              Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 58.

[5]              M. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 223.

[6]              Al-Shahrastani, Al-Milal wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate, 1846), 96.

[7]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia University Press, 1920), 32.

[8]              Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 118.


10.       Penutup

Aliran Qadariyah, yang dipelopori oleh Ma’bad al-Juhani dan dikembangkan oleh Ghailan ad-Dimasyqi, merupakan salah satu aliran teologi Islam awal yang memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan diskursus ilmu kalam. Meskipun sering dianggap menyimpang oleh mayoritas ulama Sunni, pemikiran mereka membuka jalan bagi pembahasan yang lebih mendalam tentang isu-isu fundamental seperti kebebasan manusia, tanggung jawab moral, dan keadilan ilahi.¹

Pemikiran Qadariyah muncul sebagai respons terhadap tantangan sosial-politik dan teologis pada masa kekuasaan dinasti Umayyah. Penolakan mereka terhadap doktrin jabr (determinisme absolut) yang digunakan untuk membenarkan kekuasaan politik penguasa menunjukkan keberanian mereka dalam membela prinsip keadilan dan tanggung jawab manusia.² Dalam konteks ini, Qadariyah tidak hanya memberikan kontribusi teologis, tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap manipulasi agama untuk kepentingan politik.³

Secara teologis, Qadariyah menekankan pentingnya kebebasan manusia dalam memilih perbuatannya, yang mereka anggap sebagai syarat mutlak untuk menegakkan keadilan Allah. Konsep ini kemudian diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut oleh Mu’tazilah, yang menjadikannya sebagai pilar utama dalam teologi rasional Islam.⁴ Namun, prinsip kebebasan manusia yang diusung Qadariyah juga menimbulkan kontroversi, terutama karena dianggap mengurangi kedaulatan Allah atas ciptaan-Nya.⁵

Dalam perspektif modern, relevansi pemikiran Qadariyah tetap terasa dalam diskusi tentang kebebasan individu, tanggung jawab sosial, dan keadilan dalam tatanan global. Gagasan mereka dapat memberikan wawasan filosofis dan teologis untuk menjawab tantangan-tantangan kontemporer, seperti isu-isu etika global, hak asasi manusia, dan hubungan antara agama dan politik.⁶

Meskipun Qadariyah tidak bertahan sebagai aliran teologi independen, warisan intelektual mereka tetap hidup dalam diskursus Islam. Perdebatan yang mereka munculkan tentang kebebasan manusia dan keadilan Allah telah memperkaya tradisi ilmu kalam dan memberikan dasar bagi perkembangan teologi Islam yang lebih dinamis. Dengan demikian, memahami sejarah dan pemikiran Qadariyah tidak hanya penting untuk mengenal akar tradisi teologi Islam, tetapi juga untuk mengeksplorasi cara-cara baru dalam menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia di masa kini dan masa depan.⁷


Catatan Kaki

[1]              W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 35.

[2]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1978), 43.

[3]              Al-Shahrastani, Al-Milal wan-Nihal, ed. William Cureton (London: Williams and Norgate, 1846), 96.

[4]              Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 58.

[5]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn al-Firaq, trans. Kate Chambers Seelye (New York: Columbia University Press, 1920), 31.

[6]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 21.

[7]              Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 118.


Daftar Pustaka

Al-Baghdadi, A. (1920). Al-Farq Bayn al-Firaq (K. C. Seelye, Trans.). New York: Columbia University Press.

Al-Nawawi. (1990). Tahzib al-Asma’ wa al-Lughat. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Al-Shahrastani. (1846). Al-Milal wan-Nihal (W. Cureton, Ed.). London: Williams and Norgate.

Fakhry, M. (2004). A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press.

Hodgson, M. S. (1974). The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization (Vol. 1). Chicago: University of Chicago Press.

Martin, R. C. (1997). Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology. Oxford: Oneworld Publications.

Montgomery Watt, W. (1973). The Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Montgomery Watt, W. (1985). Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Nasution, H. (1978). Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.

Ibn Hajar al-Asqalani. (1986). Fath al-Bari. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Imam Muslim. (n.d.). Sahih Muslim. Kitab al-Iman, Bab 8.


Lampiran: Takhrij Hadits

Berikut adalah takhrij hadis-hadis yang dikutip dalam artikel terkait dengan Qadariyah. Saya akan memberikan takhrij beserta referensi utama dan tingkat kualitas hadis menurut ulama hadis.


1.           Hadis tentang "Qadariyah sebagai Majusi Umat Ini"

Teks Hadis

"Al-Qadariyyatu Majûsîyyu hâdzihil ummah."

(Qadariyah adalah Majusi umat ini.)

Referensi Hadis

·                     Sunan Abu Dawud, Kitab Al-Sunnah, Bab Fi Al-Qadar, No. 4691.

·                     Sunan Ibn Majah, Kitab Al-Muqaddimah, Bab Fi Al-Qadar, No. 80.

·                     Musnad Ahmad, No. 2024.

·                     Sunan al-Tirmidzi, Kitab Al-Qadar, Bab Ma Ja'a Fi Al-Qadar.

Takhrij Hadis

·                     Sanad hadis ini memiliki beberapa jalur, salah satunya diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar. Ulama hadis berbeda pendapat mengenai tingkat kualitasnya:

o    Al-Tirmidzi menyatakan bahwa hadis ini hasan.

o    Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (No. 120) menyebutnya shahih.

o    Sebagian ulama lain seperti Ibn Hibban memasukkannya dalam kitab Shahih Ibn Hibban, sehingga hadis ini dapat diterima untuk dijadikan hujjah.

Makna Hadis

·                     Qadariyah disamakan dengan Majusi karena kemiripan doktrin mereka dalam pembagian kuasa: Majusi membagi kuasa kepada "dewa cahaya" dan "dewa gelap," sedangkan Qadariyah mengakui kebebasan manusia secara mutlak yang menyerupai pembagian kekuasaan antara manusia dan Tuhan.


2.           Hadis tentang "Segala Sesuatu Ditentukan oleh Allah"

Teks Hadis

"Kullu syai’in bi qadar, hatta al-‘ajzu wal-kays."

(Segala sesuatu telah ditentukan oleh takdir, bahkan kelemahan dan kecerdasan.)

Referensi Hadis

·                     Sahih Muslim, Kitab Al-Qadar, No. 2656.

·                     Musnad Ahmad, No. 4136.

Takhrij Hadis

·                     Hadis ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar dan terdapat dalam Sahih Muslim, sehingga tingkat keabsahannya adalah shahih.

·                     Hadis ini juga dikuatkan oleh jalur periwayatan lain dalam Musnad Ahmad.

Makna Hadis

·                     Hadis ini menunjukkan bahwa takdir mencakup segala aspek kehidupan manusia, termasuk sifat-sifat manusiawi seperti kelemahan dan kecerdasan. Hal ini menjadi argumen bagi kelompok yang mendukung konsep predestinasi absolut (jabr).


3.           Hadis tentang Penolakan terhadap Qadariyah

Teks Hadis

"Itha laqitum ahla al-qadariyyah fa akhbiruhum anni bari’un minhum wa annahum bura’a’u minni."

(Jika kalian bertemu dengan para Qadariyah, sampaikan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dariku.)

Referensi Hadis

·                     Sunan Ibn Majah, Kitab Al-Muqaddimah, Bab Fi Al-Qadar, No. 81.

·                     Musnad Ahmad, No. 17468.

Takhrij Hadis

·                     Hadis ini memiliki sanad yang diperdebatkan oleh ulama:

o    Al-Albani menilai hadis ini sebagai dha’if dalam Da’if Sunan Ibn Majah.

o    Namun, dalam jalur periwayatan lain di Musnad Ahmad, sebagian ulama menilai bahwa sanadnya hasan dengan dukungan periwayatan yang lebih kuat.

Makna Hadis

·                     Hadis ini mencerminkan sikap tegas Nabi Muhammad Saw terhadap paham Qadariyah yang menyimpang dari konsep dasar keimanan dalam Islam.


Lampiran 2: Daftar Kitab yang Relevan

Berikut adalah daftar kitab yang berkaitan dengan pemikiran Qadariyah, lengkap dengan penjelasan judul, nama penulis, dan masa hidupnya:


1)           Al-Milal wan-Nihal

  • Penulis: Al-Shahrastani (1086–1153 M)
  • Deskripsi:
    Kitab ini adalah salah satu karya klasik yang membahas berbagai aliran dalam Islam dan agama-agama lain. Al-Shahrastani memberikan penjelasan mendalam tentang Qadariyah, termasuk asal-usul, prinsip utama, dan kritik terhadap pemikiran mereka. Buku ini penting untuk memahami konteks sejarah dan posisi Qadariyah dalam ilmu kalam.

2)           Al-Farq Bayn al-Firaq

  • Penulis: Al-Baghdadi (d. 1037 M)
  • Deskripsi:
    Kitab ini adalah rujukan utama untuk memahami berbagai aliran dalam Islam, termasuk Qadariyah. Al-Baghdadi mengkategorikan Qadariyah sebagai salah satu kelompok yang dianggap menyimpang (ahl al-bid’ah). Ia membahas pandangan mereka secara detail dan mengkritik konsep kebebasan manusia yang dianggap mengurangi kekuasaan Allah.

3)           Kitab al-Tawhid

  • Penulis: Abu Mansur al-Maturidi (853–944 M)
  • Deskripsi:
    Sebagai pendiri teologi Maturidiyah, Al-Maturidi memberikan pandangan kritis terhadap Qadariyah dalam kitab ini. Kitab al-Tawhid membahas hubungan antara kehendak Allah dan kebebasan manusia, serta memberikan argumen teologis yang menolak pandangan ekstrem Qadariyah.

4)           Fath al-Bari fi Syarh Sahih al-Bukhari

  • Penulis: Ibn Hajar al-Asqalani (1372–1449 M)
  • Deskripsi:
    Kitab ini merupakan penjelasan terhadap hadis-hadis dalam Sahih al-Bukhari. Ibn Hajar sering kali menyinggung hadis-hadis yang membahas takdir dan kelompok Qadariyah, memberikan konteks historis dan teologis terhadap isu-isu yang mereka angkat.

5)           Al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah

  • Penulis: Abu al-Hasan al-Ash’ari (874–936 M)
  • Deskripsi:
    Dalam kitab ini, Al-Ash’ari, pendiri teologi Asy’ariyah, membantah pemikiran Qadariyah secara tegas. Buku ini menguraikan posisi Asy’ariyah tentang kehendak Allah dan kebebasan manusia serta menjelaskan mengapa Qadariyah dianggap sebagai aliran yang menyimpang.

6)           Tarikh al-Madaris al-Falsafiyyah fi al-Islam

  • Penulis: M. M. Sharif (1893–1978 M)
  • Deskripsi:
    Kitab ini adalah salah satu karya modern yang membahas sejarah filsafat Islam. Penulis menjelaskan pengaruh pemikiran Qadariyah dalam konteks perkembangan rasionalisme Islam, khususnya dalam kaitannya dengan aliran Mu’tazilah.

7)           Al-Tamhid li Ma Fi al-Muwatta’ min al-Ma’ani wa al-Asanid

  • Penulis: Ibn Abd al-Barr (978–1071 M)
  • Deskripsi:
    Kitab ini merupakan penjelasan tentang hadis-hadis dalam Al-Muwatta’ karya Imam Malik. Ibn Abd al-Barr mengulas beberapa hadis yang digunakan untuk menolak doktrin Qadariyah dan memberikan penjelasan tentang posisi ulama klasik terhadap aliran ini.

8)           Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin

  • Penulis: Abu al-Hasan al-Ash’ari (874–936 M)
  • Deskripsi:
    Kitab ini adalah salah satu referensi utama tentang aliran-aliran dalam Islam. Al-Ash’ari membahas Qadariyah secara rinci, termasuk perbedaan internal di antara pengikutnya dan bagaimana pandangan mereka berkembang dalam sejarah teologi Islam.

9)           Al-Tawhid wa al-Qadar

·                     Penulis: Al-Nasafi (1067–1142 M)

·                     Deskripsi:
Dalam karya ini, Al-Nasafi membahas isu-isu fundamental dalam ilmu kalam, termasuk takdir (qadar). Kitab ini sering digunakan untuk membandingkan pandangan Qadariyah dengan aliran Sunni lainnya, khususnya dalam kaitannya dengan tanggung jawab manusia.


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar