Aliran-Aliran Ontologi dalam Filsafat
Pembahasan Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
Alihkan ke: Aliran-Aliran dalam Filsafat.
Materialisme, Idealisme, Realisme, Nominalisme,
Dualisme, Monisme, Pluralisme, Eksistensialisme, Fenomenalisme, Naturalisme,
Determinisme, Indeterminisme, Panpsikisme, Vitalisme.
Apa yang ada?; Apa esensi dari realitas?.
Abstrak
Kajian tentang ontologi dalam
filsafat merupakan upaya untuk memahami hakikat keberadaan dan realitas.
Artikel ini membahas berbagai aliran ontologi yang berkembang sepanjang sejarah
pemikiran filsafat, termasuk realisme, nominalisme, idealisme, materialisme,
fenomenologi, eksistensialisme, serta strukturalisme dan post-strukturalisme.
Setiap aliran menawarkan perspektif unik dalam menjelaskan realitas, baik dari
sudut pandang metafisika klasik maupun filsafat kontemporer. Perbandingan dan
perdebatan antaraliran ontologi menunjukkan bahwa tidak ada konsensus tunggal
mengenai sifat dasar realitas, yang mengarah pada berbagai implikasi dalam ilmu pengetahuan, etika, dan epistemologi. Dengan menggunakan referensi dari
literatur akademik yang kredibel, artikel ini menyajikan analisis komprehensif
tentang bagaimana berbagai pendekatan ontologis telah membentuk pemikiran
filsafat sepanjang sejarah. Kajian ini menegaskan bahwa ontologi tetap menjadi
bidang filsafat yang dinamis dan relevan dalam memahami hakikat eksistensi di
berbagai disiplin ilmu.
Kata Kunci: Ontologi,
realisme, nominalisme, idealisme, materialisme, fenomenologi, eksistensialisme,
strukturalisme, post-strukturalisme, filsafat.
PEMBAHASAN
Aliran-Aliran Ontologi dalam Filsafat
1.
Pendahuluan
1.1.
Definisi
Ontologi
Ontologi merupakan cabang
filsafat yang membahas tentang hakikat keberadaan (being) serta
kategori-kategori fundamental dari realitas dan hubungan antara entitas yang
ada. Secara etimologis, istilah "ontologi" berasal dari bahasa
Yunani, yaitu ontos (οντος) yang berarti "keberadaan"
dan logos (λογος) yang berarti "ilmu" atau "kajian."
Istilah ini pertama kali digunakan oleh filsuf Jerman Rudolf Göckel (Goclenius)
pada tahun 1606 dan kemudian dipopulerkan oleh Christian Wolff dalam karyanya Philosophia
Prima sive Ontologia pada abad ke-18.1
Ontologi menelaah pertanyaan
mendasar seperti: Apa
yang ada? Apa hakikat keberadaan? Apakah keberadaan bersifat objektif atau
subjektif? Berbagai aliran dalam ontologi menawarkan jawaban yang berbeda
terhadap pertanyaan-pertanyaan ini. Sebagai contoh, realisme berpendapat bahwa
keberadaan bersifat independen dari pemikiran manusia, sementara idealisme
menyatakan bahwa realitas bergantung pada persepsi atau pikiran.2
1.2.
Sejarah
Ontologi
Perkembangan ontologi sebagai
disiplin filsafat dapat ditelusuri sejak zaman filsuf Yunani Kuno. Parmenides
(515–450 SM) dianggap sebagai salah satu pelopor pemikiran ontologis dengan
gagasannya bahwa keberadaan itu satu dan tidak berubah. Sebaliknya, Herakleitos
(535–475 SM) menyatakan bahwa realitas bersifat dinamis dan terus berubah.3
Plato (427–347 SM) mengembangkan
konsep "Dunia Ide" (Theory of Forms), yang menyatakan bahwa
realitas sejati terdiri atas ide-ide atau bentuk-bentuk abstrak yang tidak
dapat diakses oleh indra, tetapi hanya dapat dipahami melalui akal. Di sisi
lain, muridnya, Aristoteles (384–322 SM), menolak konsep dunia ide Plato dan
merumuskan pendekatan ontologis berbasis kategori-kategori substansi dalam
karyanya Metaphysica.4
Pada Abad Pertengahan, filsuf
seperti Thomas Aquinas (1225–1274) menggabungkan pemikiran Aristotelian dengan
teologi Kristen, menegaskan bahwa keberadaan (ens) merupakan bagian dari
hakikat Tuhan sebagai "actus purus" (keberadaan murni). Di
sisi lain, nominalisme yang diperkenalkan oleh William of Ockham (1287–1347)
menolak keberadaan universal abstrak dan menyatakan bahwa hanya
individu-individu konkret yang benar-benar ada.5
Dalam filsafat modern, René Descartes (1596–1650) mengusulkan pendekatan ontologis berdasarkan
rasionalisme, di mana ia mengidentifikasi "cogito" (kesadaran
berpikir) sebagai dasar keberadaan (cogito, ergo sum). Sementara itu,
Immanuel Kant (1724–1804) mengkritik pendekatan metafisika tradisional dengan
membedakan antara fenomena (dunia yang tampak) dan noumena (dunia yang tidak
dapat diakses oleh pengalaman indrawi).6
Ontologi kontemporer
berkembang dengan berbagai cabang pemikiran, seperti eksistensialisme yang
menekankan keberadaan subjektif individu (Jean-Paul Sartre, Martin Heidegger),
fenomenologi yang meneliti struktur pengalaman kesadaran (Edmund Husserl),
serta pendekatan analitis yang fokus pada bahasa dan logika dalam menjelaskan
keberadaan (Willard Van Orman Quine).7
1.3.
Signifikansi
Kajian Ontologi
Kajian ontologi memiliki
dampak yang luas dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam filsafat sains, ontologi
membantu dalam memahami konsep entitas dan struktur realitas ilmiah, seperti
dalam perdebatan antara realisme ilmiah dan konstruktivisme sosial.8
Dalam filsafat agama, ontologi digunakan untuk membahas keberadaan Tuhan dan
hubungan antara yang transenden dan yang imanen.9
Selain itu, ontologi juga
berperan dalam bidang teknologi informasi, terutama dalam pengembangan sistem
kecerdasan buatan (artificial intelligence), di mana konsep ontologi
digunakan untuk merepresentasikan pengetahuan dan memahami hubungan
antar-entitas dalam suatu sistem.10
Secara keseluruhan, kajian
ontologi tetap menjadi salah satu cabang filsafat yang fundamental dalam
menjawab pertanyaan mendasar tentang hakikat realitas dan keberadaan, serta
memiliki relevansi yang kuat dalam berbagai disiplin ilmu modern.
Footnotes
[1]
Christian Wolff, Philosophia Prima sive Ontologia (Halle:
Renger, 1730).
[2]
E. J. Lowe, The Possibility of Metaphysics: Substance, Identity,
and Time (Oxford: Oxford University Press, 1998), 12-18.
[3]
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London:
Routledge, 1982), 56-78.
[4]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon
Press, 1924), 987b.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, Q.3, Art.4.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (London: Macmillan, 1929), 115-120.
[7]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 47-53.
[8]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 14-25.
[9]
Alvin Plantinga, God and Other Minds (Ithaca: Cornell
University Press, 1967), 32-40.
[10]
Barry Smith, "Ontology and Information Systems," Formal
Ontology in Information Systems, ed. Nicola Guarino (Amsterdam: IOS Press,
1998), 3-10.
2.
Aliran-Aliran Ontologi
Dalam kajian filsafat,
ontologi memiliki berbagai aliran pemikiran yang menawarkan pandangan berbeda
mengenai hakikat realitas dan keberadaan. Beberapa aliran utama dalam ontologi
meliputi realisme, nominalisme, idealisme, materialisme, eksistensialisme ontologis, fenomenologi ontologis, serta strukturalisme dan
post-strukturalisme.
2.1.
Realisme
Realisme adalah pandangan
dalam ontologi yang menyatakan bahwa realitas bersifat independen dari pikiran
manusia. Artinya, dunia luar tetap ada meskipun tidak dipersepsi oleh individu.
Dalam filsafat klasik, Plato
(427–347 SM) mengembangkan realisme dalam bentuk Theory of Forms
(Teori Bentuk), yang menyatakan bahwa realitas sejati terdiri dari
bentuk-bentuk ideal yang ada secara objektif dan terpisah dari dunia material.1
Berbeda dengan gurunya, Aristoteles (384–322 SM) tetap mempertahankan realisme,
tetapi dengan pendekatan yang lebih empiris, yakni bentuk atau esensi suatu
benda ada dalam benda itu sendiri, bukan di luar realitas material.2
Dalam filsafat modern,
realisme berkembang ke dalam berbagai cabang, termasuk realisme ilmiah, yang
berpendapat bahwa entitas ilmiah seperti atom dan medan gravitasi benar-benar
ada, meskipun tidak dapat diamati secara langsung.3
2.2.
Nominalisme
Nominalisme adalah aliran
yang menolak keberadaan universal atau abstrak di luar pikiran manusia. Menurut
paham ini, konsep-konsep umum seperti "keadilan" atau "keberanian"
hanyalah sekadar nama (nomina) yang diberikan oleh manusia untuk
menggambarkan entitas individu.4
Tokoh utama nominalisme
adalah William of Ockham (1287–1347), yang berargumen bahwa hanya individu
konkret yang ada, sementara universal hanyalah konstruksi bahasa.5
Nominalisme memiliki pengaruh besar dalam perkembangan filsafat bahasa dan
epistemologi, terutama dalam perdebatan tentang bagaimana manusia memahami
realitas melalui konsep-konsep linguistik.
2.3.
Idealisme
Idealisme adalah aliran
ontologi yang menyatakan bahwa realitas pada hakikatnya bersifat mental atau
bergantung pada kesadaran.
·
Idealisme
Objektif: Plato dan G.W.F. Hegel (1770–1831) berpendapat
bahwa ide atau pikiran universal memiliki eksistensi independen dan mendasari
realitas material.6
·
Idealisme
Subjektif: George Berkeley (1685–1753) menyatakan bahwa
realitas bergantung sepenuhnya pada persepsi individu—"esse est percipi"
(ada berarti dipersepsi).7
Dalam filsafat modern,
idealisme banyak dikritik karena dianggap mengabaikan keberadaan realitas
eksternal yang independen dari kesadaran manusia.
2.4.
Materialisme
Materialisme menyatakan bahwa
semua fenomena, termasuk pikiran dan kesadaran, dapat dijelaskan dalam istilah
materi dan proses fisik.
Materialisme klasik muncul
dalam filsafat Yunani dengan tokoh seperti Demokritos (460–370 SM) yang
merumuskan teori atomisme.8 Dalam filsafat modern, materialisme
berkembang ke dalam materialisme dialektis, yang dipopulerkan oleh Karl Marx
(1818–1883) dan Friedrich Engels (1820–1895), yang berpendapat bahwa realitas
sosial dan sejarah didorong oleh konflik ekonomi dan material.9
Dalam filsafat kontemporer,
materialisme telah berkembang menjadi reduksionisme fisikalis, yang menyatakan
bahwa semua fenomena, termasuk pikiran manusia, pada akhirnya dapat dijelaskan
oleh ilmu fisika.10
2.5.
Eksistensialisme Ontologis
Eksistensialisme menekankan
keberadaan individu sebagai aspek fundamental dari ontologi. Jean-Paul Sartre
(1905–1980) menyatakan bahwa "eksistensi mendahului esensi,"
yang berarti manusia pertama-tama ada, lalu menentukan makna dan identitasnya
sendiri.11
Martin Heidegger (1889–1976),
dalam karyanya Being and Time, meneliti konsep Dasein
(keberadaan manusia), yang menekankan kesadaran diri dan keterlemparan manusia
ke dalam dunia.12 Eksistensialisme berpengaruh besar dalam filsafat
kontemporer, terutama dalam kajian tentang kebebasan, tanggung jawab, dan
autentisitas manusia.
2.6.
Fenomenologi Ontologis
Fenomenologi merupakan
pendekatan ontologis yang berfokus pada pengalaman subjektif dan struktur
kesadaran.
Edmund Husserl (1859–1938)
mengembangkan metode fenomenologi sebagai cara untuk memahami esensi pengalaman
dengan menangguhkan asumsi tentang dunia luar (epoché).13
Heidegger kemudian mengembangkan fenomenologi eksistensial dengan meneliti
hubungan manusia dengan dunia melalui konsep "keberadaan-di-dunia" (being-in-the-world).14
Fenomenologi telah
mempengaruhi berbagai bidang, termasuk filsafat kognitif, psikologi, dan ilmu
sosial.
2.7.
Strukturalisme
dan Post-Strukturalisme dalam Ontologi
Strukturalisme dalam ontologi
menyatakan bahwa realitas dipahami melalui struktur-struktur bahasa dan sistem
simbolik. Ferdinand de Saussure (1857–1913) menyatakan bahwa makna muncul
melalui perbedaan dalam sistem bahasa, bukan melalui referensi langsung ke
realitas objektif.15
Post-strukturalisme, yang
dipelopori oleh Michel Foucault (1926–1984) dan Jacques Derrida (1930–2004),
mengkritik gagasan bahwa ada struktur tetap dalam realitas. Derrida, dalam
teori dekonstruksinya, menyatakan bahwa makna selalu bersifat tidak stabil dan
bergantung pada konteks interpretasi.16
Kesimpulan
Aliran-aliran ontologi di
atas menunjukkan beragam cara pandang terhadap hakikat keberadaan. Dari
realisme yang menekankan realitas independen, hingga idealisme yang melihat
keberadaan sebagai konstruksi mental, masing-masing aliran memberikan wawasan
yang unik terhadap pertanyaan mendasar dalam filsafat. Kajian ontologi tetap
relevan dalam berbagai disiplin ilmu, mulai dari filsafat ilmu, filsafat
bahasa, hingga kecerdasan buatan.
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett,
1992), 509d.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon
Press, 1924), 1017b.
[3]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 22.
[4]
William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1951), 15-20.
[6]
G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller
(Oxford: Oxford University Press, 1977), 78.
[7]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 23.
[8]
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London:
Routledge, 1982), 112-120.
[9]
Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C.
J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 46-50.
[10]
Jaegwon Kim, Physicalism, or Something Near Enough (Princeton:
Princeton University Press, 2005), 3-10.
[11]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes
(New York: Philosophical Library, 1956), 45.
[12]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 89.
[13]
Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology,
trans. W. R. Boyce Gibson (London: Routledge, 1931), 54.
[14]
Heidegger, Being and Time, 78.
[15]
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans.
Roy Harris (London: Duckworth, 1983), 120.
[16]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Spivak
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 25.
3.
Perbandingan dan Perdebatan dalam Ontologi
Ontologi, sebagai cabang
filsafat yang membahas hakikat realitas, telah menjadi arena perdebatan
intelektual selama berabad-abad. Berbagai aliran ontologi seperti realisme,
nominalisme, idealisme, materialisme, eksistensialisme ontologis, fenomenologi,
dan post-strukturalisme tidak hanya menawarkan perspektif yang berbeda, tetapi
juga sering kali saling bertentangan dalam memahami sifat keberadaan.
Perdebatan utama dalam
ontologi berkisar pada tiga aspek fundamental: (1) apakah realitas bersifat
objektif atau subjektif, (2) apakah konsep universal memiliki eksistensi
independen atau hanya merupakan konstruksi linguistik, dan (3) apakah materi
atau kesadaran merupakan entitas fundamental dalam keberadaan.
3.1.
Realisme
vs. Nominalisme: Perdebatan tentang Universal
Salah satu perdebatan
ontologis tertua adalah antara realisme dan nominalisme terkait keberadaan
entitas universal.
·
Realisme
Platonis berpendapat bahwa universal memiliki keberadaan
independen di luar dunia material. Plato menyatakan bahwa konsep seperti "keadilan"
atau "kebenaran" eksis dalam bentuk ideal di dunia ide.1
·
Nominalisme
menolak pandangan ini dengan berargumen bahwa universal hanyalah label yang
diberikan oleh manusia untuk mengelompokkan objek-objek individu. William of
Ockham menegaskan bahwa hanya individu konkret yang memiliki eksistensi nyata.2
Perdebatan ini berlanjut
dalam filsafat modern dengan munculnya realisme ilmiah, yang berpendapat bahwa
entitas ilmiah seperti elektron dan medan gravitasi memiliki eksistensi
independen, sementara konstruktivisme sosial menyatakan bahwa pengetahuan
ilmiah bergantung pada kerangka linguistik dan sosial.3
3.2.
Idealisme
vs. Materialisme: Apakah Realitas Bersifat Mental atau Fisik?
Perdebatan lain dalam
ontologi berkaitan dengan sifat dasar realitas: apakah realitas pada dasarnya
bersifat mental atau fisik?
·
Idealisme
Subjektif yang dipelopori oleh George Berkeley menegaskan bahwa
eksistensi suatu objek bergantung pada persepsi manusia ("esse est
percipi" – ada berarti dipersepsi).4
·
Materialisme,
sebaliknya, menyatakan bahwa segala sesuatu, termasuk kesadaran, dapat
direduksi menjadi fenomena material. Dalam konteks ini, materialisme dialektis
yang dikembangkan oleh Karl Marx menghubungkan realitas material dengan
struktur sosial dan ekonomi.5
Dalam filsafat kontemporer,
perdebatan ini berlanjut dalam diskusi tentang reduksionisme fisikalis, yang
menganggap bahwa fenomena mental dapat dijelaskan sepenuhnya oleh ilmu saraf
dan fisika.6
3.3.
Eksistensialisme
dan Fenomenologi vs. Metafisika Tradisional
Eksistensialisme dan
fenomenologi menawarkan pendekatan yang lebih subjektif terhadap ontologi,
berbeda dari metafisika tradisional yang sering kali bersifat spekulatif.
·
Eksistensialisme,
seperti yang dikembangkan oleh Jean-Paul Sartre, berfokus pada kebebasan
individu dan menolak konsep esensi yang telah ditentukan sebelumnya. Sartre
menyatakan bahwa "eksistensi mendahului esensi," yang berarti
manusia pertama-tama ada, lalu menentukan maknanya sendiri.7
·
Fenomenologi
yang diperkenalkan oleh Edmund Husserl menekankan pengalaman subjektif sebagai
dasar realitas. Ia berusaha memahami "esensi" pengalaman
melalui metode epoché, yaitu menangguhkan asumsi
tentang dunia luar.8
Kritik terhadap
eksistensialisme dan fenomenologi datang dari para pendukung realisme dan
empirisme, yang menganggap pendekatan ini terlalu subjektif dan tidak
memberikan dasar yang cukup untuk pemahaman objektif tentang realitas.9
3.4.
Strukturalisme
dan Post-Strukturalisme: Kritik terhadap Esensi dan Kebenaran
Pada abad ke-20, muncul
kritik baru terhadap pemikiran ontologis tradisional melalui pendekatan
strukturalisme dan post-strukturalisme.
·
Strukturalisme,
seperti yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, menegaskan bahwa makna
ditentukan oleh sistem tanda dalam bahasa, bukan oleh entitas eksternal itu
sendiri.10
·
Post-strukturalisme,
dengan tokohnya seperti Jacques Derrida dan Michel Foucault, mengkritik gagasan
bahwa ada struktur tetap dalam realitas. Derrida, dalam teori dekonstruksinya,
menunjukkan bahwa makna selalu tidak stabil dan bergantung pada interpretasi.11
Pendekatan ini bertentangan
dengan ontologi klasik yang berusaha menemukan esensi tetap dalam realitas.
Kritik terhadap post-strukturalisme sering kali datang dari filsafat analitik,
yang menganggap bahwa pendekatan ini terlalu relativistik dan melemahkan klaim
terhadap kebenaran objektif.12
Kesimpulan
Perdebatan dalam ontologi
mencerminkan kompleksitas dalam memahami realitas. Tidak ada satu pendekatan
yang dapat mengklaim kebenaran absolut, karena masing-masing memiliki kelebihan
dan keterbatasannya sendiri. Kajian perbandingan antara berbagai aliran
ontologi tetap menjadi bidang diskusi yang dinamis, terutama dalam kaitannya
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan filsafat bahasa.
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett,
1992), 509d.
[2]
William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1951), 15-20.
[3]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 22.
[4]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 23.
[5]
Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C.
J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 46-50.
[6]
Jaegwon Kim, Physicalism, or Something Near Enough (Princeton:
Princeton University Press, 2005), 3-10.
[7]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes
(New York: Philosophical Library, 1956), 45.
[8]
Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology,
trans. W. R. Boyce Gibson (London: Routledge, 1931), 54.
[9]
Paul M. Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge: MIT
Press, 1984), 110-115.
[10]
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans.
Roy Harris (London: Duckworth, 1983), 120.
[11]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Spivak
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 25.
[12]
Willard Van Orman Quine, Word and Object (Cambridge: MIT
Press, 1960), 50-55.
4.
Kesimpulan
Kajian tentang aliran-aliran
ontologi dalam filsafat menunjukkan bahwa pertanyaan mengenai hakikat realitas
telah menjadi pusat perhatian para filsuf sepanjang sejarah. Dari realisme dan
nominalisme hingga idealisme dan materialisme, setiap aliran menawarkan
perspektif yang berbeda dalam memahami apa yang benar-benar ada. Perdebatan ini
tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga memiliki implikasi terhadap ilmu
pengetahuan, etika, dan epistemologi.
Realisme dan nominalisme,
misalnya, telah mempengaruhi pemahaman kita tentang konsep universal dan
bagaimana kita mengkategorikan dunia. Realisme Platonis menganggap bahwa
entitas abstrak memiliki eksistensi independen, sementara nominalisme menolak
gagasan ini dengan menyatakan bahwa universal hanyalah konstruksi linguistik
manusia.1 Perdebatan ini terus berlanjut dalam filsafat analitik
modern, khususnya dalam realisme ilmiah dan konstruktivisme sosial.2
Di sisi lain, pertentangan antara
idealisme dan materialisme menunjukkan perbedaan mendasar dalam memahami
realitas. George Berkeley, sebagai penganut idealisme subjektif, berpendapat
bahwa keberadaan sesuatu bergantung pada persepsi, sementara Karl Marx dalam
materialisme dialektisnya berpendapat bahwa realitas terutama ditentukan oleh
faktor material dan ekonomi.3 Pandangan ini berdampak besar pada
perkembangan teori sosial, psikologi, dan filsafat ilmu.
Pendekatan fenomenologi dan
eksistensialisme menekankan pengalaman subjektif sebagai dasar keberadaan.
Edmund Husserl, melalui metode reduksi fenomenologis, mencoba mengungkap esensi
pengalaman manusia, sedangkan Jean-Paul Sartre menekankan kebebasan individu
dalam menciptakan makna keberadaan.4 Namun, pendekatan ini mendapat
kritik dari para pendukung realisme dan empirisme, yang menganggapnya terlalu
subjektif dan kurang memberikan dasar yang kuat untuk pemahaman objektif
tentang realitas.5
Akhirnya, strukturalisme dan
post-strukturalisme telah mengubah cara kita memahami ontologi dengan
mengkritik gagasan tentang esensi dan makna tetap dalam realitas. Jacques Derrida, dengan teori dekonstruksinya, menunjukkan bahwa makna selalu bersifat
relatif dan tidak stabil.6 Pandangan ini mendapat kritik dari
filsafat analitik, yang berusaha mempertahankan pendekatan yang lebih logis dan
berbasis bahasa terhadap realitas.7
Secara keseluruhan, tidak ada
satu pendekatan ontologis yang secara mutlak benar atau dapat diterima secara
universal. Setiap aliran memiliki keunggulan dan keterbatasan dalam menjelaskan
realitas. Oleh karena itu, studi tentang ontologi tetap menjadi bidang yang
dinamis dan terus berkembang, dengan relevansi yang luas dalam berbagai
disiplin ilmu, termasuk sains, etika, dan teknologi.
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett,
1992), 509d.
[2]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 22.
[3]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 23;
Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C. J.
Arthur (New York: International Publishers, 1970), 46-50.
[4]
Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology,
trans. W. R. Boyce Gibson (London: Routledge, 1931), 54; Jean-Paul Sartre, Being
and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library,
1956), 45.
[5]
Paul M. Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge: MIT
Press, 1984), 110-115.
[6]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Spivak
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 25.
[7]
Willard Van Orman Quine, Word and Object (Cambridge: MIT
Press, 1960), 50-55.
Daftar Pustaka
Berkeley, G. (1998). A
treatise concerning the principles of human knowledge (J. Dancy, Ed.).
Oxford University Press.
Churchland, P. M. (1984). Matter
and consciousness. MIT Press.
Derrida, J. (1976). Of
grammatology (G. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Fraassen, B. C. van.
(1980). The scientific image. Clarendon Press.
Husserl, E. (1931). Ideas:
General introduction to pure phenomenology (W. R. B. Gibson, Trans.).
Routledge.
Marx, K., & Engels, F.
(1970). The German ideology (C. J. Arthur, Trans.). International
Publishers.
Plato. (1992). Republic
(G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.
Quine, W. V. O. (1960). Word
and object. MIT Press.
Sartre, J.-P. (1956). Being
and nothingness (H. Barnes, Trans.). Philosophical Library.
Saussure, F. de. (1983). Course
in general linguistics (R. Harris, Trans.). Duckworth.
William of Ockham. (1951). Summa
logicae (P. Boehner, Trans.). University of Notre Dame Press.
Lampiran: Daftar Aliran
Ontologi dan Tokoh yang Mempengaruhinya
Berikut adalah daftar
aliran-aliran dalam ontologi beserta tokoh-tokoh utama yang mengajukan atau
memengaruhinya:
1)
Realisme
Tokoh dan Periode Sejarah:
·
Plato (427–347 SM) –
Mengembangkan realisme metafisik melalui teori Idea atau Forms.1
·
Aristoteles (384–322 SM) –
Menolak realisme ekstrem Plato dan mengajukan realisme moderat, di mana
universal hanya ada dalam benda-benda konkret.2
·
Thomas Aquinas (1225–1274)
– Memadukan realisme Aristotelian dengan teologi Kristen dalam filsafat
skolastik.3
2)
Nominalisme
Tokoh dan Periode Sejarah:
·
William of Ockham
(1287–1347) – Mengembangkan nominalisme dengan menolak eksistensi universal
sebagai entitas independen, menyatakan bahwa universal hanyalah nama (nomina).4
·
Roscellinus (c. 1050–1125)
– Salah satu pionir nominalisme yang menyatakan bahwa hanya individu yang
nyata, bukan konsep universal.5
3)
Idealisme
Tokoh dan Periode Sejarah:
·
George Berkeley (1685–1753)
– Mengembangkan idealisme subjektif dengan gagasan esse est percipi (ada berarti
dipersepsi).6
·
Immanuel Kant (1724–1804) –
Memadukan realisme dan idealisme dalam teori transcendental idealism, yang
menyatakan bahwa pengetahuan dibentuk oleh kategori-kategori a priori.7
·
Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831) – Mengembangkan idealisme absolut, di mana realitas adalah
ekspresi rasional dari roh absolut (Geist).8
4)
Materialisme
Tokoh dan Periode Sejarah:
·
Demokritos (c. 460–370 SM)
– Mengajukan atomisme, bahwa segala sesuatu terdiri dari atom dan ruang kosong.9
·
Karl Marx (1818–1883) –
Mengembangkan materialisme dialektis, yang menyatakan bahwa perubahan sejarah
ditentukan oleh kondisi material dan ekonomi.10
5)
Fenomenologi
Tokoh dan Periode Sejarah:
·
Edmund Husserl (1859–1938)
– Mengembangkan metode reduksi fenomenologis untuk memahami esensi pengalaman
subjektif.11
·
Martin Heidegger
(1889–1976) – Mengaitkan fenomenologi dengan eksistensialisme, menekankan
konsep Dasein
(keberadaan manusia di dunia).12
6)
Eksistensialisme
Tokoh dan Periode Sejarah:
·
Søren Kierkegaard
(1813–1855) – Merupakan pelopor eksistensialisme yang menekankan pentingnya
subjektivitas dalam keberadaan manusia.13
·
Jean-Paul Sartre
(1905–1980) – Mengembangkan eksistensialisme ateistik, menekankan kebebasan dan
tanggung jawab individu dalam menciptakan makna hidup.14
7)
Strukturalisme
dan Post-Strukturalisme
Tokoh dan Periode Sejarah:
·
Ferdinand de Saussure
(1857–1913) – Mengembangkan linguistik struktural yang menjadi dasar bagi
pemikiran ontologi strukturalis.15
·
Michel Foucault (1926–1984)
– Menolak konsep subjektivitas tetap dan menunjukkan bagaimana wacana membentuk
realitas sosial.16
·
Jacques Derrida (1930–2004)
– Mengembangkan dekonstruksi sebagai pendekatan terhadap ontologi yang
menunjukkan ketidakstabilan makna.17
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett,
1992), 509d.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon
Press, 1924), 1003a.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I, Q. 84, Art.
7.
[4]
William of Ockham, Summa Logicae, trans. P. Boehner
(University of Notre Dame Press, 1951), 21.
[5]
Roscellinus, quoted in J. Marenbon, Early Medieval Philosophy
(London: Routledge, 1983), 78.
[6]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 23.
[7]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (London: Macmillan, 1929), A51/B75.
[8]
G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller
(Oxford: Oxford University Press, 1977), 67.
[9]
Democritus, quoted in Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers
(London: Routledge, 1982), 135.
[10]
Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C.
J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 46-50.
[11]
Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology,
trans. W. R. Boyce Gibson (London: Routledge, 1931), 54.
[12]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27.
[13]
Søren Kierkegaard, Either/Or, trans. Alastair Hannay (London:
Penguin, 1992), 220.
[14]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes
(New York: Philosophical Library, 1956), 45.
[15]
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans.
Roy Harris (London: Duckworth, 1983), 15.
[16]
Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human
Sciences (New York: Vintage, 1994), xxii.
[17]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Spivak
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar