Selasa, 11 Maret 2025

Aliran Ontologi dalam Filsafat

Aliran-Aliran Ontologi dalam Filsafat

Pembahasan Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


Alihkan ke: Aliran-Aliran dalam Filsafat.

Materialisme, Idealisme, Realisme, Nominalisme, Dualisme, Monisme, Pluralisme, Eksistensialisme, Fenomenalisme, Naturalisme, Determinisme, Indeterminisme, Panpsikisme, Vitalisme.

Apa yang ada?; Apa esensi dari realitas?.


Abstrak

Kajian tentang ontologi dalam filsafat merupakan upaya untuk memahami hakikat keberadaan dan realitas. Artikel ini membahas berbagai aliran ontologi yang berkembang sepanjang sejarah pemikiran filsafat, termasuk realisme, nominalisme, idealisme, materialisme, fenomenologi, eksistensialisme, serta strukturalisme dan post-strukturalisme. Setiap aliran menawarkan perspektif unik dalam menjelaskan realitas, baik dari sudut pandang metafisika klasik maupun filsafat kontemporer. Perbandingan dan perdebatan antaraliran ontologi menunjukkan bahwa tidak ada konsensus tunggal mengenai sifat dasar realitas, yang mengarah pada berbagai implikasi dalam ilmu pengetahuan, etika, dan epistemologi. Dengan menggunakan referensi dari literatur akademik yang kredibel, artikel ini menyajikan analisis komprehensif tentang bagaimana berbagai pendekatan ontologis telah membentuk pemikiran filsafat sepanjang sejarah. Kajian ini menegaskan bahwa ontologi tetap menjadi bidang filsafat yang dinamis dan relevan dalam memahami hakikat eksistensi di berbagai disiplin ilmu.

Kata Kunci: Ontologi, realisme, nominalisme, idealisme, materialisme, fenomenologi, eksistensialisme, strukturalisme, post-strukturalisme, filsafat.

 


PEMBAHASAN

Aliran-Aliran Ontologi dalam Filsafat


1.           Pendahuluan

1.1.           Definisi Ontologi

Ontologi merupakan cabang filsafat yang membahas tentang hakikat keberadaan (being) serta kategori-kategori fundamental dari realitas dan hubungan antara entitas yang ada. Secara etimologis, istilah "ontologi" berasal dari bahasa Yunani, yaitu ontos (οντος) yang berarti "keberadaan" dan logos (λογος) yang berarti "ilmu" atau "kajian." Istilah ini pertama kali digunakan oleh filsuf Jerman Rudolf Göckel (Goclenius) pada tahun 1606 dan kemudian dipopulerkan oleh Christian Wolff dalam karyanya Philosophia Prima sive Ontologia pada abad ke-18.1

Ontologi menelaah pertanyaan mendasar seperti: Apa yang ada? Apa hakikat keberadaan? Apakah keberadaan bersifat objektif atau subjektif? Berbagai aliran dalam ontologi menawarkan jawaban yang berbeda terhadap pertanyaan-pertanyaan ini. Sebagai contoh, realisme berpendapat bahwa keberadaan bersifat independen dari pemikiran manusia, sementara idealisme menyatakan bahwa realitas bergantung pada persepsi atau pikiran.2

1.2.           Sejarah Ontologi

Perkembangan ontologi sebagai disiplin filsafat dapat ditelusuri sejak zaman filsuf Yunani Kuno. Parmenides (515–450 SM) dianggap sebagai salah satu pelopor pemikiran ontologis dengan gagasannya bahwa keberadaan itu satu dan tidak berubah. Sebaliknya, Herakleitos (535–475 SM) menyatakan bahwa realitas bersifat dinamis dan terus berubah.3

Plato (427–347 SM) mengembangkan konsep "Dunia Ide" (Theory of Forms), yang menyatakan bahwa realitas sejati terdiri atas ide-ide atau bentuk-bentuk abstrak yang tidak dapat diakses oleh indra, tetapi hanya dapat dipahami melalui akal. Di sisi lain, muridnya, Aristoteles (384–322 SM), menolak konsep dunia ide Plato dan merumuskan pendekatan ontologis berbasis kategori-kategori substansi dalam karyanya Metaphysica.4

Pada Abad Pertengahan, filsuf seperti Thomas Aquinas (1225–1274) menggabungkan pemikiran Aristotelian dengan teologi Kristen, menegaskan bahwa keberadaan (ens) merupakan bagian dari hakikat Tuhan sebagai "actus purus" (keberadaan murni). Di sisi lain, nominalisme yang diperkenalkan oleh William of Ockham (1287–1347) menolak keberadaan universal abstrak dan menyatakan bahwa hanya individu-individu konkret yang benar-benar ada.5

Dalam filsafat modern, René Descartes (1596–1650) mengusulkan pendekatan ontologis berdasarkan rasionalisme, di mana ia mengidentifikasi "cogito" (kesadaran berpikir) sebagai dasar keberadaan (cogito, ergo sum). Sementara itu, Immanuel Kant (1724–1804) mengkritik pendekatan metafisika tradisional dengan membedakan antara fenomena (dunia yang tampak) dan noumena (dunia yang tidak dapat diakses oleh pengalaman indrawi).6

Ontologi kontemporer berkembang dengan berbagai cabang pemikiran, seperti eksistensialisme yang menekankan keberadaan subjektif individu (Jean-Paul Sartre, Martin Heidegger), fenomenologi yang meneliti struktur pengalaman kesadaran (Edmund Husserl), serta pendekatan analitis yang fokus pada bahasa dan logika dalam menjelaskan keberadaan (Willard Van Orman Quine).7

1.3.           Signifikansi Kajian Ontologi

Kajian ontologi memiliki dampak yang luas dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam filsafat sains, ontologi membantu dalam memahami konsep entitas dan struktur realitas ilmiah, seperti dalam perdebatan antara realisme ilmiah dan konstruktivisme sosial.8 Dalam filsafat agama, ontologi digunakan untuk membahas keberadaan Tuhan dan hubungan antara yang transenden dan yang imanen.9

Selain itu, ontologi juga berperan dalam bidang teknologi informasi, terutama dalam pengembangan sistem kecerdasan buatan (artificial intelligence), di mana konsep ontologi digunakan untuk merepresentasikan pengetahuan dan memahami hubungan antar-entitas dalam suatu sistem.10

Secara keseluruhan, kajian ontologi tetap menjadi salah satu cabang filsafat yang fundamental dalam menjawab pertanyaan mendasar tentang hakikat realitas dan keberadaan, serta memiliki relevansi yang kuat dalam berbagai disiplin ilmu modern.


Footnotes

[1]                Christian Wolff, Philosophia Prima sive Ontologia (Halle: Renger, 1730).

[2]                E. J. Lowe, The Possibility of Metaphysics: Substance, Identity, and Time (Oxford: Oxford University Press, 1998), 12-18.

[3]                Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London: Routledge, 1982), 56-78.

[4]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 987b.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, Q.3, Art.4.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), 115-120.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 47-53.

[8]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 14-25.

[9]                Alvin Plantinga, God and Other Minds (Ithaca: Cornell University Press, 1967), 32-40.

[10]             Barry Smith, "Ontology and Information Systems," Formal Ontology in Information Systems, ed. Nicola Guarino (Amsterdam: IOS Press, 1998), 3-10.


2.           Aliran-Aliran Ontologi

Dalam kajian filsafat, ontologi memiliki berbagai aliran pemikiran yang menawarkan pandangan berbeda mengenai hakikat realitas dan keberadaan. Beberapa aliran utama dalam ontologi meliputi realisme, nominalisme, idealisme, materialisme, eksistensialisme ontologis, fenomenologi ontologis, serta strukturalisme dan post-strukturalisme.

2.1.           Realisme

Realisme adalah pandangan dalam ontologi yang menyatakan bahwa realitas bersifat independen dari pikiran manusia. Artinya, dunia luar tetap ada meskipun tidak dipersepsi oleh individu.

Dalam filsafat klasik, Plato (427–347 SM) mengembangkan realisme dalam bentuk Theory of Forms (Teori Bentuk), yang menyatakan bahwa realitas sejati terdiri dari bentuk-bentuk ideal yang ada secara objektif dan terpisah dari dunia material.1 Berbeda dengan gurunya, Aristoteles (384–322 SM) tetap mempertahankan realisme, tetapi dengan pendekatan yang lebih empiris, yakni bentuk atau esensi suatu benda ada dalam benda itu sendiri, bukan di luar realitas material.2

Dalam filsafat modern, realisme berkembang ke dalam berbagai cabang, termasuk realisme ilmiah, yang berpendapat bahwa entitas ilmiah seperti atom dan medan gravitasi benar-benar ada, meskipun tidak dapat diamati secara langsung.3

2.2.           Nominalisme

Nominalisme adalah aliran yang menolak keberadaan universal atau abstrak di luar pikiran manusia. Menurut paham ini, konsep-konsep umum seperti "keadilan" atau "keberanian" hanyalah sekadar nama (nomina) yang diberikan oleh manusia untuk menggambarkan entitas individu.4

Tokoh utama nominalisme adalah William of Ockham (1287–1347), yang berargumen bahwa hanya individu konkret yang ada, sementara universal hanyalah konstruksi bahasa.5 Nominalisme memiliki pengaruh besar dalam perkembangan filsafat bahasa dan epistemologi, terutama dalam perdebatan tentang bagaimana manusia memahami realitas melalui konsep-konsep linguistik.

2.3.           Idealisme

Idealisme adalah aliran ontologi yang menyatakan bahwa realitas pada hakikatnya bersifat mental atau bergantung pada kesadaran.

·                     Idealisme Objektif: Plato dan G.W.F. Hegel (1770–1831) berpendapat bahwa ide atau pikiran universal memiliki eksistensi independen dan mendasari realitas material.6

·                     Idealisme Subjektif: George Berkeley (1685–1753) menyatakan bahwa realitas bergantung sepenuhnya pada persepsi individu—"esse est percipi" (ada berarti dipersepsi).7

Dalam filsafat modern, idealisme banyak dikritik karena dianggap mengabaikan keberadaan realitas eksternal yang independen dari kesadaran manusia.

2.4.           Materialisme

Materialisme menyatakan bahwa semua fenomena, termasuk pikiran dan kesadaran, dapat dijelaskan dalam istilah materi dan proses fisik.

Materialisme klasik muncul dalam filsafat Yunani dengan tokoh seperti Demokritos (460–370 SM) yang merumuskan teori atomisme.8 Dalam filsafat modern, materialisme berkembang ke dalam materialisme dialektis, yang dipopulerkan oleh Karl Marx (1818–1883) dan Friedrich Engels (1820–1895), yang berpendapat bahwa realitas sosial dan sejarah didorong oleh konflik ekonomi dan material.9

Dalam filsafat kontemporer, materialisme telah berkembang menjadi reduksionisme fisikalis, yang menyatakan bahwa semua fenomena, termasuk pikiran manusia, pada akhirnya dapat dijelaskan oleh ilmu fisika.10

2.5.           Eksistensialisme Ontologis

Eksistensialisme menekankan keberadaan individu sebagai aspek fundamental dari ontologi. Jean-Paul Sartre (1905–1980) menyatakan bahwa "eksistensi mendahului esensi," yang berarti manusia pertama-tama ada, lalu menentukan makna dan identitasnya sendiri.11

Martin Heidegger (1889–1976), dalam karyanya Being and Time, meneliti konsep Dasein (keberadaan manusia), yang menekankan kesadaran diri dan keterlemparan manusia ke dalam dunia.12 Eksistensialisme berpengaruh besar dalam filsafat kontemporer, terutama dalam kajian tentang kebebasan, tanggung jawab, dan autentisitas manusia.

2.6.           Fenomenologi Ontologis

Fenomenologi merupakan pendekatan ontologis yang berfokus pada pengalaman subjektif dan struktur kesadaran.

Edmund Husserl (1859–1938) mengembangkan metode fenomenologi sebagai cara untuk memahami esensi pengalaman dengan menangguhkan asumsi tentang dunia luar (epoché).13 Heidegger kemudian mengembangkan fenomenologi eksistensial dengan meneliti hubungan manusia dengan dunia melalui konsep "keberadaan-di-dunia" (being-in-the-world).14

Fenomenologi telah mempengaruhi berbagai bidang, termasuk filsafat kognitif, psikologi, dan ilmu sosial.

2.7.           Strukturalisme dan Post-Strukturalisme dalam Ontologi

Strukturalisme dalam ontologi menyatakan bahwa realitas dipahami melalui struktur-struktur bahasa dan sistem simbolik. Ferdinand de Saussure (1857–1913) menyatakan bahwa makna muncul melalui perbedaan dalam sistem bahasa, bukan melalui referensi langsung ke realitas objektif.15

Post-strukturalisme, yang dipelopori oleh Michel Foucault (1926–1984) dan Jacques Derrida (1930–2004), mengkritik gagasan bahwa ada struktur tetap dalam realitas. Derrida, dalam teori dekonstruksinya, menyatakan bahwa makna selalu bersifat tidak stabil dan bergantung pada konteks interpretasi.16


Kesimpulan

Aliran-aliran ontologi di atas menunjukkan beragam cara pandang terhadap hakikat keberadaan. Dari realisme yang menekankan realitas independen, hingga idealisme yang melihat keberadaan sebagai konstruksi mental, masing-masing aliran memberikan wawasan yang unik terhadap pertanyaan mendasar dalam filsafat. Kajian ontologi tetap relevan dalam berbagai disiplin ilmu, mulai dari filsafat ilmu, filsafat bahasa, hingga kecerdasan buatan.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), 509d.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1017b.

[3]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 22.

[4]                William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1951), 15-20.

[5]                Ibid., 30-35.

[6]                G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 78.

[7]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 23.

[8]                Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London: Routledge, 1982), 112-120.

[9]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 46-50.

[10]             Jaegwon Kim, Physicalism, or Something Near Enough (Princeton: Princeton University Press, 2005), 3-10.

[11]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 45.

[12]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 89.

[13]             Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology, trans. W. R. Boyce Gibson (London: Routledge, 1931), 54.

[14]             Heidegger, Being and Time, 78.

[15]             Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans. Roy Harris (London: Duckworth, 1983), 120.

[16]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 25.


3.           Perbandingan dan Perdebatan dalam Ontologi

Ontologi, sebagai cabang filsafat yang membahas hakikat realitas, telah menjadi arena perdebatan intelektual selama berabad-abad. Berbagai aliran ontologi seperti realisme, nominalisme, idealisme, materialisme, eksistensialisme ontologis, fenomenologi, dan post-strukturalisme tidak hanya menawarkan perspektif yang berbeda, tetapi juga sering kali saling bertentangan dalam memahami sifat keberadaan.

Perdebatan utama dalam ontologi berkisar pada tiga aspek fundamental: (1) apakah realitas bersifat objektif atau subjektif, (2) apakah konsep universal memiliki eksistensi independen atau hanya merupakan konstruksi linguistik, dan (3) apakah materi atau kesadaran merupakan entitas fundamental dalam keberadaan.

3.1.           Realisme vs. Nominalisme: Perdebatan tentang Universal

Salah satu perdebatan ontologis tertua adalah antara realisme dan nominalisme terkait keberadaan entitas universal.

·                     Realisme Platonis berpendapat bahwa universal memiliki keberadaan independen di luar dunia material. Plato menyatakan bahwa konsep seperti "keadilan" atau "kebenaran" eksis dalam bentuk ideal di dunia ide.1

·                     Nominalisme menolak pandangan ini dengan berargumen bahwa universal hanyalah label yang diberikan oleh manusia untuk mengelompokkan objek-objek individu. William of Ockham menegaskan bahwa hanya individu konkret yang memiliki eksistensi nyata.2

Perdebatan ini berlanjut dalam filsafat modern dengan munculnya realisme ilmiah, yang berpendapat bahwa entitas ilmiah seperti elektron dan medan gravitasi memiliki eksistensi independen, sementara konstruktivisme sosial menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah bergantung pada kerangka linguistik dan sosial.3

3.2.           Idealisme vs. Materialisme: Apakah Realitas Bersifat Mental atau Fisik?

Perdebatan lain dalam ontologi berkaitan dengan sifat dasar realitas: apakah realitas pada dasarnya bersifat mental atau fisik?

·                     Idealisme Subjektif yang dipelopori oleh George Berkeley menegaskan bahwa eksistensi suatu objek bergantung pada persepsi manusia ("esse est percipi" – ada berarti dipersepsi).4

·                     Materialisme, sebaliknya, menyatakan bahwa segala sesuatu, termasuk kesadaran, dapat direduksi menjadi fenomena material. Dalam konteks ini, materialisme dialektis yang dikembangkan oleh Karl Marx menghubungkan realitas material dengan struktur sosial dan ekonomi.5

Dalam filsafat kontemporer, perdebatan ini berlanjut dalam diskusi tentang reduksionisme fisikalis, yang menganggap bahwa fenomena mental dapat dijelaskan sepenuhnya oleh ilmu saraf dan fisika.6

3.3.           Eksistensialisme dan Fenomenologi vs. Metafisika Tradisional

Eksistensialisme dan fenomenologi menawarkan pendekatan yang lebih subjektif terhadap ontologi, berbeda dari metafisika tradisional yang sering kali bersifat spekulatif.

·                     Eksistensialisme, seperti yang dikembangkan oleh Jean-Paul Sartre, berfokus pada kebebasan individu dan menolak konsep esensi yang telah ditentukan sebelumnya. Sartre menyatakan bahwa "eksistensi mendahului esensi," yang berarti manusia pertama-tama ada, lalu menentukan maknanya sendiri.7

·                     Fenomenologi yang diperkenalkan oleh Edmund Husserl menekankan pengalaman subjektif sebagai dasar realitas. Ia berusaha memahami "esensi" pengalaman melalui metode epoché, yaitu menangguhkan asumsi tentang dunia luar.8

Kritik terhadap eksistensialisme dan fenomenologi datang dari para pendukung realisme dan empirisme, yang menganggap pendekatan ini terlalu subjektif dan tidak memberikan dasar yang cukup untuk pemahaman objektif tentang realitas.9

3.4.           Strukturalisme dan Post-Strukturalisme: Kritik terhadap Esensi dan Kebenaran

Pada abad ke-20, muncul kritik baru terhadap pemikiran ontologis tradisional melalui pendekatan strukturalisme dan post-strukturalisme.

·                     Strukturalisme, seperti yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, menegaskan bahwa makna ditentukan oleh sistem tanda dalam bahasa, bukan oleh entitas eksternal itu sendiri.10

·                     Post-strukturalisme, dengan tokohnya seperti Jacques Derrida dan Michel Foucault, mengkritik gagasan bahwa ada struktur tetap dalam realitas. Derrida, dalam teori dekonstruksinya, menunjukkan bahwa makna selalu tidak stabil dan bergantung pada interpretasi.11

Pendekatan ini bertentangan dengan ontologi klasik yang berusaha menemukan esensi tetap dalam realitas. Kritik terhadap post-strukturalisme sering kali datang dari filsafat analitik, yang menganggap bahwa pendekatan ini terlalu relativistik dan melemahkan klaim terhadap kebenaran objektif.12


Kesimpulan

Perdebatan dalam ontologi mencerminkan kompleksitas dalam memahami realitas. Tidak ada satu pendekatan yang dapat mengklaim kebenaran absolut, karena masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasannya sendiri. Kajian perbandingan antara berbagai aliran ontologi tetap menjadi bidang diskusi yang dinamis, terutama dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan filsafat bahasa.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), 509d.

[2]                William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1951), 15-20.

[3]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 22.

[4]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 23.

[5]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 46-50.

[6]                Jaegwon Kim, Physicalism, or Something Near Enough (Princeton: Princeton University Press, 2005), 3-10.

[7]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 45.

[8]                Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology, trans. W. R. Boyce Gibson (London: Routledge, 1931), 54.

[9]                Paul M. Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge: MIT Press, 1984), 110-115.

[10]             Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans. Roy Harris (London: Duckworth, 1983), 120.

[11]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 25.

[12]             Willard Van Orman Quine, Word and Object (Cambridge: MIT Press, 1960), 50-55.


4.           Kesimpulan

Kajian tentang aliran-aliran ontologi dalam filsafat menunjukkan bahwa pertanyaan mengenai hakikat realitas telah menjadi pusat perhatian para filsuf sepanjang sejarah. Dari realisme dan nominalisme hingga idealisme dan materialisme, setiap aliran menawarkan perspektif yang berbeda dalam memahami apa yang benar-benar ada. Perdebatan ini tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga memiliki implikasi terhadap ilmu pengetahuan, etika, dan epistemologi.

Realisme dan nominalisme, misalnya, telah mempengaruhi pemahaman kita tentang konsep universal dan bagaimana kita mengkategorikan dunia. Realisme Platonis menganggap bahwa entitas abstrak memiliki eksistensi independen, sementara nominalisme menolak gagasan ini dengan menyatakan bahwa universal hanyalah konstruksi linguistik manusia.1 Perdebatan ini terus berlanjut dalam filsafat analitik modern, khususnya dalam realisme ilmiah dan konstruktivisme sosial.2

Di sisi lain, pertentangan antara idealisme dan materialisme menunjukkan perbedaan mendasar dalam memahami realitas. George Berkeley, sebagai penganut idealisme subjektif, berpendapat bahwa keberadaan sesuatu bergantung pada persepsi, sementara Karl Marx dalam materialisme dialektisnya berpendapat bahwa realitas terutama ditentukan oleh faktor material dan ekonomi.3 Pandangan ini berdampak besar pada perkembangan teori sosial, psikologi, dan filsafat ilmu.

Pendekatan fenomenologi dan eksistensialisme menekankan pengalaman subjektif sebagai dasar keberadaan. Edmund Husserl, melalui metode reduksi fenomenologis, mencoba mengungkap esensi pengalaman manusia, sedangkan Jean-Paul Sartre menekankan kebebasan individu dalam menciptakan makna keberadaan.4 Namun, pendekatan ini mendapat kritik dari para pendukung realisme dan empirisme, yang menganggapnya terlalu subjektif dan kurang memberikan dasar yang kuat untuk pemahaman objektif tentang realitas.5

Akhirnya, strukturalisme dan post-strukturalisme telah mengubah cara kita memahami ontologi dengan mengkritik gagasan tentang esensi dan makna tetap dalam realitas. Jacques Derrida, dengan teori dekonstruksinya, menunjukkan bahwa makna selalu bersifat relatif dan tidak stabil.6 Pandangan ini mendapat kritik dari filsafat analitik, yang berusaha mempertahankan pendekatan yang lebih logis dan berbasis bahasa terhadap realitas.7

Secara keseluruhan, tidak ada satu pendekatan ontologis yang secara mutlak benar atau dapat diterima secara universal. Setiap aliran memiliki keunggulan dan keterbatasan dalam menjelaskan realitas. Oleh karena itu, studi tentang ontologi tetap menjadi bidang yang dinamis dan terus berkembang, dengan relevansi yang luas dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk sains, etika, dan teknologi.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), 509d.

[2]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 22.

[3]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 23; Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 46-50.

[4]                Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology, trans. W. R. Boyce Gibson (London: Routledge, 1931), 54; Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 45.

[5]                Paul M. Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge: MIT Press, 1984), 110-115.

[6]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 25.

[7]                Willard Van Orman Quine, Word and Object (Cambridge: MIT Press, 1960), 50-55.


Daftar Pustaka

Berkeley, G. (1998). A treatise concerning the principles of human knowledge (J. Dancy, Ed.). Oxford University Press.

Churchland, P. M. (1984). Matter and consciousness. MIT Press.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Fraassen, B. C. van. (1980). The scientific image. Clarendon Press.

Husserl, E. (1931). Ideas: General introduction to pure phenomenology (W. R. B. Gibson, Trans.). Routledge.

Marx, K., & Engels, F. (1970). The German ideology (C. J. Arthur, Trans.). International Publishers.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.

Quine, W. V. O. (1960). Word and object. MIT Press.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. Barnes, Trans.). Philosophical Library.

Saussure, F. de. (1983). Course in general linguistics (R. Harris, Trans.). Duckworth.

William of Ockham. (1951). Summa logicae (P. Boehner, Trans.). University of Notre Dame Press.


Lampiran: Daftar Aliran Ontologi dan Tokoh yang Mempengaruhinya

Berikut adalah daftar aliran-aliran dalam ontologi beserta tokoh-tokoh utama yang mengajukan atau memengaruhinya:

1)           Realisme

Tokoh dan Periode Sejarah:

·                     Plato (427–347 SM) – Mengembangkan realisme metafisik melalui teori Idea atau Forms.1

·                     Aristoteles (384–322 SM) – Menolak realisme ekstrem Plato dan mengajukan realisme moderat, di mana universal hanya ada dalam benda-benda konkret.2

·                     Thomas Aquinas (1225–1274) – Memadukan realisme Aristotelian dengan teologi Kristen dalam filsafat skolastik.3

2)                 Nominalisme

Tokoh dan Periode Sejarah:

·                     William of Ockham (1287–1347) – Mengembangkan nominalisme dengan menolak eksistensi universal sebagai entitas independen, menyatakan bahwa universal hanyalah nama (nomina).4

·                     Roscellinus (c. 1050–1125) – Salah satu pionir nominalisme yang menyatakan bahwa hanya individu yang nyata, bukan konsep universal.5

3)                 Idealisme

Tokoh dan Periode Sejarah:

·                     George Berkeley (1685–1753) – Mengembangkan idealisme subjektif dengan gagasan esse est percipi (ada berarti dipersepsi).6

·                     Immanuel Kant (1724–1804) – Memadukan realisme dan idealisme dalam teori transcendental idealism, yang menyatakan bahwa pengetahuan dibentuk oleh kategori-kategori a priori.7

·                     Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831) – Mengembangkan idealisme absolut, di mana realitas adalah ekspresi rasional dari roh absolut (Geist).8

4)                 Materialisme

Tokoh dan Periode Sejarah:

·                     Demokritos (c. 460–370 SM) – Mengajukan atomisme, bahwa segala sesuatu terdiri dari atom dan ruang kosong.9

·                     Karl Marx (1818–1883) – Mengembangkan materialisme dialektis, yang menyatakan bahwa perubahan sejarah ditentukan oleh kondisi material dan ekonomi.10

5)                 Fenomenologi

Tokoh dan Periode Sejarah:

·                     Edmund Husserl (1859–1938) – Mengembangkan metode reduksi fenomenologis untuk memahami esensi pengalaman subjektif.11

·                     Martin Heidegger (1889–1976) – Mengaitkan fenomenologi dengan eksistensialisme, menekankan konsep Dasein (keberadaan manusia di dunia).12

6)                 Eksistensialisme

Tokoh dan Periode Sejarah:

·                     Søren Kierkegaard (1813–1855) – Merupakan pelopor eksistensialisme yang menekankan pentingnya subjektivitas dalam keberadaan manusia.13

·                     Jean-Paul Sartre (1905–1980) – Mengembangkan eksistensialisme ateistik, menekankan kebebasan dan tanggung jawab individu dalam menciptakan makna hidup.14

7)                 Strukturalisme dan Post-Strukturalisme

Tokoh dan Periode Sejarah:

·                     Ferdinand de Saussure (1857–1913) – Mengembangkan linguistik struktural yang menjadi dasar bagi pemikiran ontologi strukturalis.15

·                     Michel Foucault (1926–1984) – Menolak konsep subjektivitas tetap dan menunjukkan bagaimana wacana membentuk realitas sosial.16

·                     Jacques Derrida (1930–2004) – Mengembangkan dekonstruksi sebagai pendekatan terhadap ontologi yang menunjukkan ketidakstabilan makna.17


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), 509d.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1003a.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I, Q. 84, Art. 7.

[4]                William of Ockham, Summa Logicae, trans. P. Boehner (University of Notre Dame Press, 1951), 21.

[5]                Roscellinus, quoted in J. Marenbon, Early Medieval Philosophy (London: Routledge, 1983), 78.

[6]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 23.

[7]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A51/B75.

[8]                G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 67.

[9]                Democritus, quoted in Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London: Routledge, 1982), 135.

[10]             Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 46-50.

[11]             Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology, trans. W. R. Boyce Gibson (London: Routledge, 1931), 54.

[12]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27.

[13]             Søren Kierkegaard, Either/Or, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1992), 220.

[14]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 45.

[15]             Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans. Roy Harris (London: Duckworth, 1983), 15.

[16]             Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences (New York: Vintage, 1994), xxii.

[17]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 25.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar