Selasa, 25 Maret 2025

Supremasi Sipil dalam Negara Demokrasi

Supremasi Sipil dalam Negara Demokrasi

Fondasi, Tantangan, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Negara Demokrasi


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep supremasi sipil sebagai pilar utama dalam sistem demokrasi modern. Supremasi sipil mengacu pada dominasi otoritas sipil atas institusi militer dalam proses pengambilan keputusan politik dan pemerintahan. Dengan menggunakan pendekatan historis, konseptual, dan komparatif, artikel ini menguraikan definisi, pilar institusional, serta tantangan-tantangan kontemporer yang dihadapi dalam mewujudkan supremasi sipil. Studi kasus dari Amerika Serikat, Turki, Indonesia, dan Myanmar menunjukkan variasi keberhasilan dan kegagalan penerapan prinsip ini dalam konteks politik yang berbeda. Artikel ini juga menegaskan urgensi supremasi sipil di era modern, terutama dalam menjaga prinsip demokrasi, mencegah politisasi militer, dan menghadapi ancaman keamanan non-tradisional. Dengan landasan teoretis dari para ahli seperti Huntington, Diamond, dan Stepan, artikel ini menyimpulkan bahwa supremasi sipil bukan hanya prasyarat demokrasi, tetapi juga kunci untuk membangun negara yang adil, stabil, dan akuntabel.

Kata Kunci: supremasi sipil, demokrasi, hubungan sipil-militer, kontrol militer, institusi politik, stabilitas demokrasi, politisasi militer, hak asasi manusia.


PEMBAHASAN

Supremasi Sipil Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Supremasi sipil (civilian supremacy) merupakan prinsip fundamental dalam sistem politik demokrasi yang menegaskan bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan otoritas sipil yang dipilih secara demokratis, bukan di bawah dominasi institusi militer atau kekuatan bersenjata. Dalam konteks ini, supremasi sipil tidak hanya bermakna pengendalian militer oleh pemerintah sipil, tetapi juga mencerminkan keberdaulatan rakyat melalui institusi-institusi demokratis yang sah. Tanpa pengakuan dan penerapan prinsip ini, demokrasi menjadi rapuh, mudah tergerus oleh otoritarianisme, dan rentan terhadap politisasi militer.

Gagasan tentang pentingnya supremasi sipil telah lama menjadi perhatian dalam ilmu politik modern. Samuel P. Huntington, dalam karyanya yang terkenal The Soldier and the State, menegaskan bahwa keberhasilan demokrasi sangat bergantung pada adanya “kontrol objektif” atas militer oleh otoritas sipil profesional yang kuat dan terlembaga.¹ Huntington menyatakan bahwa ketika militer memperoleh otonomi politik yang terlalu luas, maka stabilitas demokrasi akan terancam.²

Dalam praktiknya, supremasi sipil bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan negara dan kebebasan warga negara, serta mencegah terjadinya kekuasaan koersif yang tidak terkendali. Pengalaman sejarah di berbagai negara membuktikan bahwa supremasi sipil menjadi prasyarat mutlak bagi keberlangsungan sistem demokrasi konstitusional. Di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris, kontrol sipil atas militer telah lama menjadi bagian integral dari sistem ketatanegaraan mereka.³ Sementara itu, banyak negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin masih bergulat dengan problematika intervensi militer dalam politik dan pemerintahan, yang kerap menghambat proses konsolidasi demokrasi.⁴

Indonesia sebagai negara yang pernah mengalami pemerintahan otoriter dengan peran militer yang dominan, menjadikan isu supremasi sipil sebagai salah satu agenda penting dalam proses reformasi politik pasca-1998. Pemisahan TNI dan Polri, pembentukan undang-undang yang membatasi peran militer dalam kehidupan sipil, serta penguatan lembaga legislatif dan yudikatif, adalah bagian dari upaya institusionalisasi supremasi sipil dalam kerangka negara hukum demokratis.⁵ Namun demikian, berbagai tantangan masih muncul, baik dalam bentuk nostalgia terhadap kekuasaan militer masa lalu, lemahnya kapasitas lembaga sipil, maupun rendahnya literasi politik masyarakat.

Melalui artikel ini, penulis berupaya mengkaji secara komprehensif konsep, sejarah, pilar, tantangan, serta studi kasus terkait supremasi sipil, guna memberikan pemahaman yang utuh tentang perannya dalam menjaga stabilitas dan kualitas demokrasi. Dengan pendekatan analitis dan referensi ilmiah yang kuat, diharapkan pembahasan ini dapat menjadi kontribusi akademik sekaligus bahan refleksi kebangsaan.


Footnotes

[1]                Samuel P. Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil–Military Relations (Cambridge: Harvard University Press, 1957), 80.

[2]                Ibid., 83.

[3]                Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 94.

[4]                Alfred Stepan, Rethinking Military Politics: Brazil and the Southern Cone (Princeton: Princeton University Press, 1988), 3–4.

[5]                Marcus Mietzner, “Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation,” in Democratization 15, no. 2 (2008): 312–334.


2.           Definisi dan Landasan Konseptual

2.1.       Pengertian Supremasi Sipil

Supremasi sipil (civilian supremacy) adalah prinsip yang menempatkan kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan otoritas sipil yang dipilih secara demokratis, bukan pada institusi militer. Prinsip ini bertujuan memastikan bahwa kekuatan bersenjata berada di bawah kendali institusi-institusi sipil, terutama pemerintah yang sah, dan tidak memiliki otonomi politik dalam menentukan arah kebijakan negara.¹ Dengan demikian, supremasi sipil adalah fondasi dari sistem politik demokratis yang sehat, karena menjamin bahwa keputusan-keputusan publik ditentukan oleh wakil-wakil rakyat, bukan oleh institusi yang mengandalkan kekuatan koersif.

Samuel P. Huntington menguraikan bahwa supremasi sipil ideal dicapai melalui apa yang ia sebut sebagai kontrol sipil objektif, yaitu suatu kondisi di mana militer secara profesional mengabdikan dirinya pada otoritas sipil tanpa intervensi politik, sementara pihak sipil juga tidak terlalu mencampuri teknis kemiliteran.² Dalam kerangka ini, keseimbangan antara otoritas sipil dan militer dijaga melalui pembagian peran yang jelas dan saling menghormati.

Supremasi sipil juga sering dikaitkan dengan konsep civilian control of the military, yakni pengawasan dan pengendalian institusi militer oleh pemerintah sipil berdasarkan hukum dan konstitusi.³ Konsep ini menjadi elemen penting dalam demokrasi konstitusional, karena bertujuan membatasi ruang gerak militer dalam politik dan memastikan bahwa kekuasaan berada di tangan warga sipil yang bertanggung jawab secara demokratis.

2.2.       Supremasi Sipil vs. Dominasi Militer

Kontras antara supremasi sipil dan dominasi militer terletak pada sumber legitimasi kekuasaan. Dalam supremasi sipil, kekuasaan bersumber dari mandat rakyat melalui pemilihan umum dan dijalankan oleh lembaga-lembaga sipil. Sebaliknya, dalam sistem yang didominasi militer, kebijakan negara sering ditentukan oleh elit militer tanpa proses demokratis atau akuntabilitas publik.⁴ Dominasi militer dapat menciptakan pemerintahan yang stabil secara koersif namun tidak demokratis, sebagaimana terjadi dalam banyak rezim militer di abad ke-20, seperti di Myanmar, Pakistan, atau Mesir.

Menurut Alfred Stepan, dominasi militer muncul ketika militer tidak hanya menjaga keamanan eksternal, tetapi juga terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik, ekonomi, bahkan kebudayaan, yang bukan merupakan wilayah keahliannya.⁵ Kondisi ini seringkali disertai dengan lemahnya lembaga sipil dan rendahnya partisipasi politik masyarakat.

2.3.       Landasan Teoritis

Dalam kajian ilmu politik dan hubungan sipil-militer, teori kontrol sipil memainkan peran penting. Terdapat dua pendekatan utama yang dikembangkan oleh para ahli:

1)                  Pendekatan Objektif (Huntingtonian)

Menekankan profesionalisme militer dan pemisahan tegas antara ranah sipil dan militer. Semakin profesional militer, maka semakin kecil keinginannya untuk terlibat dalam politik.⁶

2)                  Pendekatan Subjektif

Mengandalkan subordinasi militer kepada kekuasaan politik sipil melalui infiltrasi, penunjukan politik, atau kontrol ideologis. Pendekatan ini cenderung melemahkan profesionalisme militer dan justru berisiko menciptakan militer yang terpolitisasi.⁷

Dalam konteks negara demokrasi, pendekatan objektif lebih ideal karena menciptakan keseimbangan antara kontrol dan otonomi teknis. Di sisi lain, Larry Diamond menegaskan bahwa supremasi sipil bukan hanya tentang subordinasi militer, tetapi juga tentang penguatan kapasitas lembaga sipil, supremasi hukum, dan partisipasi masyarakat dalam proses demokratis.⁸

Dengan demikian, supremasi sipil tidak dapat dipahami secara sempit sebagai hubungan hierarkis antara sipil dan militer saja, tetapi sebagai bagian dari ekosistem demokrasi yang menuntut interaksi antara hukum, institusi, dan budaya politik warga negara.


Footnotes

[1]                Thomas C. Bruneau and Florina Cristiana Matei, The Routledge Handbook of Civil-Military Relations (New York: Routledge, 2013), 9–10.

[2]                Samuel P. Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil–Military Relations (Cambridge: Harvard University Press, 1957), 83.

[3]                Richard H. Kohn, "How Democracies Control the Military," Journal of Democracy 8, no. 4 (1997): 140.

[4]                Zoltan Barany, The Soldier and the Changing State: Building Democratic Armies in Africa, Asia, Europe, and the Americas (Princeton: Princeton University Press, 2012), 45.

[5]                Alfred Stepan, Rethinking Military Politics: Brazil and the Southern Cone (Princeton: Princeton University Press, 1988), 93.

[6]                Huntington, The Soldier and the State, 83–85.

[7]                Amos Perlmutter, The Military and Politics in Modern Times: On Professionals, Praetorians, and Revolutionary Soldiers (New Haven: Yale University Press, 1977), 34.

[8]                Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 109–110.


3.           Sejarah Perkembangan Supremasi Sipil

3.1.       Supremasi Sipil di Dunia Barat

Konsep supremasi sipil pertama kali mengemuka secara sistematis dalam pemikiran politik Barat, terutama setelah berkembangnya gagasan rule of law dan pemerintahan konstitusional. Revolusi Inggris (1688) dan Revolusi Amerika (1776) menjadi tonggak penting dalam menegaskan prinsip bahwa militer harus tunduk pada otoritas sipil.¹ Di Inggris, Bill of Rights 1689 secara eksplisit menyatakan bahwa raja tidak dapat mempertahankan pasukan tetap dalam waktu damai tanpa persetujuan parlemen, sebuah prinsip awal dari supremasi sipil modern.²

Amerika Serikat mengembangkan prinsip ini lebih jauh, terutama melalui Konstitusi yang secara tegas menempatkan Presiden sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata, namun tetap tunduk pada pengawasan legislatif.³ Salah satu peristiwa paling menonjol dalam praktik supremasi sipil di AS adalah ketika Presiden Harry S. Truman memecat Jenderal Douglas MacArthur pada tahun 1951 karena membangkang terhadap kebijakan sipil dalam Perang Korea.⁴ Keputusan tersebut menegaskan bahwa dalam sistem demokrasi, otoritas sipil memiliki kekuasaan tertinggi atas militer, meskipun keputusan tersebut secara politis tidak populer.

Di Eropa Barat pasca-Perang Dunia II, negara-negara seperti Jerman dan Italia juga menata kembali struktur hubungan sipil-militer mereka dengan memberikan peran minimal kepada militer dalam urusan politik, sebagai respons terhadap pengalaman traumatis otoritarianisme dan militerisme sebelumnya.⁵

3.2.       Supremasi Sipil dalam Sejarah Dunia Islam

Dalam sejarah dunia Islam klasik, relasi antara otoritas sipil dan militer tidak selalu jelas terpisah seperti dalam sistem Barat modern. Pada masa Khulafaur Rasyidin, otoritas politik, agama, dan militer terpusat pada sosok khalifah sebagai pemimpin umat. Namun seiring waktu, muncul pergeseran di mana kekuatan militer (terutama para amīr atau panglima) mulai mengambil peran lebih besar, terutama sejak era kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah.⁶

Pada masa-masa kemunduran politik Islam, terjadi fragmentasi kekuasaan di mana militer seringkali menjadi aktor politik yang dominan, bahkan menggantikan otoritas sipil formal. Contoh utamanya dapat ditemukan dalam Dinasti Mamluk di Mesir, yang secara harfiah merupakan dinasti militer.⁷ Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks sejarah Islam, supremasi sipil tidak selalu menjadi norma, melainkan bersifat kontekstual dan tergantung pada formasi kekuasaan yang berlaku.

Namun demikian, dalam khazanah fiqih siyasah (politik Islam), banyak ulama yang menekankan pentingnya syura, keadilan, dan tanggung jawab pemimpin kepada rakyat sebagai prinsip dasar pemerintahan yang bermoral dan tidak sewenang-wenang, termasuk dalam penggunaan kekuatan militer.⁸

3.3.       Supremasi Sipil di Indonesia

Di Indonesia, relasi sipil-militer mengalami dinamika yang kompleks sepanjang sejarah kemerdekaan. Pada masa awal kemerdekaan, TNI dibentuk dari laskar-laskar rakyat dan menjadi simbol perjuangan nasional. Namun, lemahnya institusi sipil pasca-revolusi kemerdekaan membuat militer sering mengambil peran politik yang lebih luas.⁹

Dominasi militer semakin kuat pada masa Orde Baru (1966–1998) di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang merupakan tokoh militer. Konsep dwi fungsi ABRI memberi legitimasi bagi militer untuk menjalankan fungsi keamanan sekaligus fungsi sosial-politik, sehingga militer memiliki peran langsung dalam pemerintahan dan parlemen.¹⁰

Reformasi 1998 menjadi titik balik penting dalam upaya mewujudkan supremasi sipil. Langkah-langkah penting dilakukan seperti: pemisahan TNI dan Polri (1999), penghapusan dwi fungsi, pembentukan Undang-Undang TNI (UU No. 34 Tahun 2004), serta penegasan peran militer dalam bidang pertahanan, bukan keamanan dalam negeri.¹¹ Meski demikian, sebagian kalangan menilai bahwa supremasi sipil di Indonesia belum sepenuhnya matang, mengingat masih adanya kecenderungan politisasi militer, minimnya kapasitas lembaga sipil dalam mengawasi pertahanan, dan sentimen publik yang kadang justru mendukung peran militer dalam politik.¹²


Footnotes

[1]                John Locke, Two Treatises of Government (London: Awnsham Churchill, 1689), Book II, §§ 131–139.

[2]                William Blackstone, Commentaries on the Laws of England, vol. 1 (Oxford: Clarendon Press, 1765), 408.

[3]                U.S. Constitution, Article II, Section 2.

[4]                Richard H. Kohn, Eagle and Sword: The Federalists and the Creation of the Military Establishment in America, 1783–1802 (New York: Free Press, 1975), 375.

[5]                Thomas C. Bruneau and Scott D. Tollefson, eds., Who Guards the Guardians and How: Democratic Civil-Military Relations (Austin: University of Texas Press, 2006), 119.

[6]                Bernard Lewis, The Political Language of Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 43–44.

[7]                Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates (London: Longman, 1986), 285.

[8]                Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985), 14–16.

[9]                Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1978), 45–46.

[10]             Ibid., 149.

[11]             Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation (Singapore: ISEAS, 2009), 213.

[12]             Jaleswari Pramodhawardani and Rizal Sukma, eds., Tentara dan Politik: Perjalanan Supremasi Sipil di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: CSIS, 2005), 59–60.


4.           Pilar-Pilar Utama Supremasi Sipil

Agar supremasi sipil tidak hanya menjadi konsep normatif semata, diperlukan pilar-pilar institusional dan budaya yang menopangnya. Pilar-pilar ini merupakan bagian integral dari sistem demokrasi konstitusional dan menjadi prasyarat agar kontrol sipil terhadap militer dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan.

4.1.       Konstitusi sebagai Hukum Tertinggi

Konstitusi merupakan fondasi utama bagi penegakan supremasi sipil karena menetapkan secara jelas pembagian kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dan merinci batasan peran militer. Dalam sistem demokrasi, konstitusi menegaskan bahwa militer berada di bawah otoritas sipil, terutama eksekutif dan legislatif, serta tunduk pada hukum.¹

Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 (hasil amandemen) secara eksplisit menyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan alat negara di bawah presiden dan memiliki peran khusus dalam pertahanan, bukan keamanan dalam negeri.² Penegasan konstitusional ini merupakan langkah penting dalam memperkuat supremasi sipil dan mencegah dualisme kekuasaan.

4.2.       Peran Lembaga Sipil (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif)

Lembaga-lembaga sipil yang kuat dan independen merupakan instrumen utama dalam mengendalikan kekuasaan militer secara efektif. Pemerintah sipil (eksekutif) berperan dalam merumuskan kebijakan pertahanan nasional, sementara parlemen berwenang mengawasi anggaran, menyetujui deklarasi perang, dan melakukan evaluasi terhadap kebijakan militer.³

Parlemen yang aktif dan kompeten menjadi mekanisme kontrol yang penting terhadap kecenderungan militerisasi kebijakan.⁴ Selain itu, lembaga yudikatif juga memegang peran penting dalam menjamin supremasi hukum, termasuk dalam menangani pelanggaran hukum oleh anggota militer yang berada di luar lingkup peradilan militer.⁵

4.3.       Transparansi dan Akuntabilitas Militer

Salah satu indikator utama dari keberhasilan supremasi sipil adalah sejauh mana institusi militer dapat diawasi secara transparan dan akuntabel. Ini mencakup transparansi dalam pengelolaan anggaran pertahanan, belanja militer, rekrutmen, serta operasi-operasi militer baik di dalam maupun luar negeri.⁶

Dalam beberapa negara demokrasi yang matang, seperti Amerika Serikat dan Jerman, proses audit anggaran militer dilakukan secara ketat oleh lembaga independen dan dilaporkan secara berkala kepada publik.⁷ Akuntabilitas juga mencakup kesediaan militer untuk tunduk pada otoritas sipil dan tidak terlibat dalam politik praktis.

4.4.       Peran Masyarakat Sipil dan Media

Keberadaan masyarakat sipil (civil society) yang aktif—termasuk organisasi non-pemerintah, akademisi, aktivis, dan lembaga think tank—berperan besar dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan pertahanan serta mendorong transparansi di sektor militer.⁸

Media massa sebagai pilar keempat demokrasi juga memiliki tanggung jawab untuk melaporkan isu-isu terkait militer secara objektif dan kritis. Investigasi jurnalis yang independen mampu mengungkap penyimpangan kekuasaan militer yang tidak terjangkau oleh lembaga formal.⁹ Oleh karena itu, kebebasan pers dan jaminan perlindungan terhadap jurnalis menjadi prasyarat penting bagi terciptanya kontrol sipil yang efektif.

4.5.       Pendidikan Politik dan Literasi Demokrasi

Supremasi sipil tidak akan bertahan lama tanpa kesadaran politik warga negara yang tinggi. Pendidikan politik yang menanamkan nilai-nilai demokrasi, supremasi hukum, dan peran sipil dalam negara sangat penting untuk membentuk budaya politik yang mendukung supremasi sipil.¹⁰

Literasi demokrasi juga diperlukan di kalangan militer agar mereka memahami batasan peran institusinya dalam sistem ketatanegaraan. Beberapa negara bahkan menjadikan pelatihan tentang prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia sebagai bagian dari kurikulum militer.¹¹ Dengan demikian, baik warga sipil maupun militer memahami posisi dan tanggung jawabnya masing-masing dalam kerangka negara hukum.


Footnotes

[1]                Richard H. Kohn, "How Democracies Control the Military," Journal of Democracy 8, no. 4 (1997): 140.

[2]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 10 dan Pasal 30 Ayat (3).

[3]                Thomas C. Bruneau and Florina Cristiana Matei, The Routledge Handbook of Civil-Military Relations (New York: Routledge, 2013), 45–46.

[4]                Zoltan Barany, The Soldier and the Changing State: Building Democratic Armies in Africa, Asia, Europe, and the Americas (Princeton: Princeton University Press, 2012), 78–79.

[5]                Andrew Cottey, Timothy Edmunds, and Anthony Forster, Democratic Control of the Military in Postcommunist Europe: Guarding the Guards (Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2002), 118.

[6]                Samuel E. Finer, The Man on Horseback: The Role of the Military in Politics (London: Pall Mall Press, 1962), 163.

[7]                Bruneau and Matei, Routledge Handbook, 152.

[8]                Larry Diamond and Marc F. Plattner, eds., Civil-Military Relations and Democracy (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1996), 24.

[9]                Thomas Carothers, "The Role of the Media in Democracy," Journal of Democracy 7, no. 4 (1996): 84–86.

[10]             Juan J. Linz and Alfred Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1996), 28.

[11]             Bruneau and Matei, Routledge Handbook, 234.


5.           Tantangan-Tantangan terhadap Supremasi Sipil

Meskipun secara normatif prinsip supremasi sipil telah menjadi bagian dari sistem politik demokratis, implementasinya di banyak negara sering kali menghadapi tantangan yang kompleks. Tantangan ini bisa bersifat struktural, kultural, maupun politis, dan jika tidak ditangani dengan serius dapat melemahkan tatanan demokrasi itu sendiri. Beberapa tantangan utama terhadap supremasi sipil antara lain:

5.1.       Militerisme dan Intervensi Politik

Salah satu tantangan paling nyata terhadap supremasi sipil adalah kecenderungan militer untuk turut campur dalam urusan politik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam sejarah politik banyak negara berkembang, militer tidak hanya berperan sebagai penjaga kedaulatan negara, tetapi juga menjadi aktor politik yang dominan—mengambil alih kekuasaan, membentuk partai politik, hingga mengatur kebijakan pemerintahan.¹

Militerisme yang kuat biasanya muncul ketika militer menganggap dirinya sebagai satu-satunya institusi yang mampu menjaga stabilitas dan keutuhan negara, terutama di tengah lemahnya otoritas sipil.² Hal ini sering dijumpai dalam rezim-rezim otoriter atau transisi demokrasi yang belum stabil, seperti yang terjadi di Mesir pasca-revolusi 2011 dan di Myanmar sejak kudeta militer 2021.³

5.2.       Lemahnya Kapasitas Lembaga Sipil

Supremasi sipil hanya dapat ditegakkan bila lembaga-lembaga sipil memiliki kapasitas yang cukup untuk menjalankan fungsi kontrol, legislasi, dan pengawasan terhadap militer. Namun dalam banyak kasus, lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tidak memiliki sumber daya, keahlian, atau keberanian politik untuk mengawasi institusi militer secara efektif.⁴

Menurut Bruneau dan Matei, kurangnya kompetensi dalam memahami isu-isu pertahanan, transparansi anggaran, serta kelemahan dalam mekanisme audit menyebabkan para aktor sipil tidak dapat memainkan peran pengawasan yang memadai.⁵ Hal ini membuka peluang bagi militer untuk menjalankan fungsi-fungsi politik secara informal dan tidak akuntabel.

5.3.       Kultus Individu dan Politik Figuratif

Tantangan lain yang sering menggerus supremasi sipil adalah tumbuhnya kultus individu terhadap tokoh militer atau mantan militer yang masuk ke ranah politik sipil. Dalam sistem demokrasi yang rapuh, figur militer sering kali dielu-elukan sebagai “penyelamat bangsa” atau simbol stabilitas, sehingga mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan militer.⁶

Fenomena ini diperparah oleh strategi populisme militer yang mengedepankan disiplin, nasionalisme, dan ketertiban sebagai daya tarik politik, mengesampingkan prinsip checks and balances.⁷ Akibatnya, supremasi sipil terancam oleh personalisasi kekuasaan yang bertumpu pada karisma individu ketimbang mekanisme institusional.

5.4.       Rendahnya Literasi Demokrasi di Kalangan Publik

Kurangnya pemahaman publik tentang prinsip-prinsip demokrasi, termasuk pentingnya supremasi sipil, menjadikan masyarakat kurang kritis terhadap campur tangan militer dalam urusan sipil. Dalam banyak kasus, publik justru mendukung keterlibatan militer dalam politik, terutama saat pemerintahan sipil dianggap lemah, korup, atau tidak efektif.⁸

Rendahnya literasi demokrasi membuat masyarakat gagal membedakan antara stabilitas semu yang disediakan militer dengan stabilitas demokratis yang diperoleh melalui tata kelola sipil yang transparan dan akuntabel.⁹ Dalam konteks ini, pendidikan kewargaan dan penguatan kesadaran sipil menjadi tantangan jangka panjang dalam membangun budaya politik demokratis.

5.5.       Praktik Otoritarianisme Berkedok Demokrasi

Dalam beberapa dekade terakhir, muncul fenomena yang dikenal sebagai authoritarianism with democratic façade—yakni pemerintahan yang secara formal menjalankan proses demokratis seperti pemilu, namun secara substantif mempertahankan kontrol militer atau praktik otoriter lainnya.¹⁰

Negara-negara seperti Turki di bawah pemerintahan pasca-2016 dan Thailand pasca-kudeta 2014 menunjukkan bagaimana militer tetap memainkan peran sentral dalam politik nasional, meskipun secara formal tunduk pada institusi sipil.¹¹ Fenomena ini membuktikan bahwa proses demokratisasi tidak otomatis menghasilkan supremasi sipil, jika tidak disertai komitmen kuat terhadap prinsip konstitusionalisme dan rule of law.


Footnotes

[1]                Zoltan Barany, The Soldier and the Changing State: Building Democratic Armies in Africa, Asia, Europe, and the Americas (Princeton: Princeton University Press, 2012), 34–36.

[2]                Alfred Stepan, Rethinking Military Politics: Brazil and the Southern Cone (Princeton: Princeton University Press, 1988), 1–3.

[3]                Freedom House, Freedom in the World 2022: The Global Expansion of Authoritarian Rule (Washington, DC: Freedom House, 2022), 14–16.

[4]                Richard H. Kohn, "How Democracies Control the Military," Journal of Democracy 8, no. 4 (1997): 143–145.

[5]                Thomas C. Bruneau and Florina Cristiana Matei, The Routledge Handbook of Civil-Military Relations (New York: Routledge, 2013), 172–173.

[6]                Marcus Mietzner, “Authoritarian Elections, Electoral Authoritarianism, and Political Militancy in Indonesia,” Indonesia 96 (2013): 1–24.

[7]                Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The Struggle to Build Free Societies Throughout the World (New York: Times Books, 2008), 88–90.

[8]                Juan J. Linz and Alfred Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1996), 16.

[9]                Larry Diamond and Leonardo Morlino, Assessing the Quality of Democracy (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2005), 108–109.

[10]             Steven Levitsky and Lucan A. Way, Competitive Authoritarianism: Hybrid Regimes after the Cold War (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 5–6.

[11]             International Crisis Group, Thailand’s New Order: Military, Monarchy and Bureaucracy (Bangkok/Brussels: ICG Report No. 105, 2019), 3–4.


6.           Studi Kasus

Untuk memahami dinamika supremasi sipil secara lebih konkret, penting untuk menelaah pengalaman berbagai negara dalam mengelola hubungan antara otoritas sipil dan militer. Studi kasus berikut menyoroti keberhasilan dan kegagalan dalam menerapkan prinsip-prinsip supremasi sipil dalam konteks sistem politik yang berbeda.

6.1.       Amerika Serikat: Pemecatan Jenderal MacArthur (1951)

Amerika Serikat sering dijadikan contoh klasik supremasi sipil yang mapan. Salah satu peristiwa penting adalah keputusan Presiden Harry S. Truman pada tahun 1951 untuk memecat Jenderal Douglas MacArthur, komandan tertinggi pasukan AS dalam Perang Korea. MacArthur secara terbuka tidak sejalan dengan kebijakan Presiden, bahkan mengusulkan perluasan perang ke wilayah Tiongkok, yang bertentangan dengan strategi pemerintah.¹

Meskipun MacArthur sangat populer di mata publik dan militer, Truman tetap memecatnya untuk menegaskan prinsip bahwa militer harus tunduk pada otoritas sipil.² Peristiwa ini menjadi preseden penting dalam hubungan sipil-militer dan menunjukkan bahwa kontrol sipil yang kuat dapat diterapkan bahkan dalam situasi krisis militer.

6.2.       Turki: Perubahan Peran Militer Pasca-2000

Turki memiliki sejarah panjang dominasi militer dalam politik. Sejak 1960-an, militer Turki telah melakukan beberapa kudeta atas nama menjaga sekularisme negara, sesuai dengan warisan Mustafa Kemal Atatürk.³ Namun, sejak awal 2000-an, terjadi pergeseran besar. Pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di bawah Recep Tayyip Erdoğan secara sistematis melemahkan pengaruh militer melalui reformasi hukum, peradilan terhadap jenderal-jenderal senior, serta penataan ulang Dewan Keamanan Nasional.⁴

Meskipun langkah-langkah ini awalnya memperkuat supremasi sipil, banyak pengamat menilai bahwa penguatan otoritas sipil justru dibarengi dengan kemunduran demokrasi secara keseluruhan. Konsolidasi kekuasaan oleh eksekutif pasca-kudeta gagal 2016 mengaburkan batas antara supremasi sipil dan otoritarianisme sipil.⁵

6.3.       Indonesia: Transisi Supremasi Sipil Pasca-Reformasi

Indonesia pasca-Orde Baru telah mencatat kemajuan signifikan dalam mewujudkan supremasi sipil. Reformasi 1998 menghasilkan pemisahan TNI dan Polri, penghapusan dwi fungsi ABRI, dan pengesahan UU TNI No. 34 Tahun 2004 yang menegaskan batasan peran militer di luar bidang pertahanan.⁶

Namun demikian, tantangan masih tersisa. Masih terjadi praktik perwira aktif yang menempati jabatan sipil, peran militer dalam penanganan konflik domestik, serta lemahnya kontrol parlemen dalam pengawasan kebijakan pertahanan.⁷ Selain itu, munculnya figur-figur militer dalam kontestasi politik memperlihatkan adanya tarik-menarik antara aspirasi supremasi sipil dan kenyataan politik elektoral.

6.4.       Myanmar: Supremasi Militer dan Gagalnya Demokrasi

Myanmar merupakan contoh tragis dari kegagalan supremasi sipil. Setelah masa reformasi politik yang relatif terbuka sejak 2010, militer (Tatmadaw) tetap mempertahankan kontrol besar dalam konstitusi, termasuk alokasi 25% kursi parlemen dan kewenangan atas kementerian strategis.⁸

Pada tahun 2021, militer kembali mengambil alih kekuasaan melalui kudeta terhadap pemerintahan sipil terpilih Aung San Suu Kyi, dengan alasan kecurangan pemilu.⁹ Kudeta ini menunjukkan bahwa supremasi sipil tidak dapat bertahan jika konstitusi dan institusi demokrasi tidak sepenuhnya membatasi dominasi militer. Myanmar menjadi bukti bahwa keberadaan pemilu saja tidak menjamin demokrasi tanpa fondasi supremasi sipil yang kuat.


Footnotes

[1]                Richard H. Kohn, "The MacArthur-Truman Controversy and the Korean War," Military Affairs 33, no. 4 (1969): 127–138.

[2]                Samuel P. Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil–Military Relations (Cambridge: Harvard University Press, 1957), 237–240.

[3]                Gareth Jenkins, Context and Circumstance: The Turkish Military and Politics (Oxford: Oxford University Press, 2001), 5–8.

[4]                Ersel Aydınlı, Paradigmatic Shift for the Turkish Generals and an End to the Coup Era in Turkey (Middle East Journal, 2011), 582–583.

[5]                Aslı Aydıntaşbaş, The New Turkey and Its Discontents (London: European Council on Foreign Relations, 2019), 7–10.

[6]                Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation (Singapore: ISEAS, 2009), 118–123.

[7]                Rizal Sukma and Jaleswari Pramodhawardani, eds., Tentara dan Politik: Perjalanan Supremasi Sipil di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: CSIS, 2005), 63–67.

[8]                International Crisis Group, Myanmar’s Stalled Transition (Brussels: ICG Report No. 314, 2020), 12.

[9]                Human Rights Watch, Myanmar: Military Coup Unleashes Wave of Abuses (New York: HRW Report, February 2021), 2–4.


7.           Urgensi Supremasi Sipil di Era Modern

Di tengah dinamika global abad ke-21, supremasi sipil menjadi semakin penting sebagai pilar utama demokrasi yang stabil, akuntabel, dan berkeadilan. Tantangan baru yang muncul dalam bentuk hibridisasi ancaman keamanan, berkembangnya populisme otoriter, serta penetrasi teknologi informasi dalam politik menuntut negara-negara demokratis untuk menegaskan kembali supremasi sipil sebagai kerangka normatif dan praktis dalam tata kelola pemerintahan.

7.1.       Menjaga Prinsip Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Supremasi sipil adalah jaminan bahwa keputusan-keputusan strategis negara berada di tangan aktor-aktor politik yang dipilih secara demokratis dan bertanggung jawab kepada rakyat. Hal ini menjadi dasar bagi akuntabilitas publik dan perlindungan hak asasi manusia.¹ Jika militer diberi ruang untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan sipil, apalagi dalam kondisi damai, maka prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, dan perlindungan terhadap kebebasan sipil rentan dilanggar.

Sejarah dunia menunjukkan bahwa negara-negara dengan supremasi sipil yang lemah sering kali mengalami pelanggaran HAM, pembatasan kebebasan pers, dan represi politik, sebagaimana terlihat dalam banyak rezim militer di Amerika Latin, Timur Tengah, dan Asia Tenggara pada abad ke-20.²

7.2.       Mencegah Politisasi Militer dan Militerisasi Politik

Urgensi supremasi sipil juga terletak pada perlunya membatasi godaan politisasi militer maupun militerisasi politik. Dalam konteks ini, militer seharusnya menjadi alat negara yang profesional dan netral secara politik, bukan menjadi alat kekuasaan untuk mempertahankan rezim tertentu atau menekan oposisi.³

Sebaliknya, politisi sipil juga perlu menghindari penggunaan simbol dan retorika militer untuk tujuan politik elektoral, seperti glorifikasi kekerasan, pengkultusan ketertiban di atas kebebasan, atau penyalahgunaan aparat dalam kampanye politik.⁴ Kedua bentuk penyimpangan ini menciptakan ketidakseimbangan dalam sistem demokrasi yang berujung pada melemahnya institusi-institusi sipil.

7.3.       Mewujudkan Stabilitas Nasional melalui Pemerintahan Sipil yang Kuat

Sebagian kalangan masih beranggapan bahwa keterlibatan militer diperlukan untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan. Namun, berbagai studi menunjukkan bahwa stabilitas yang bertumpu pada kekuatan koersif militer bersifat jangka pendek dan semu, karena tidak dibangun di atas konsensus sipil yang berkelanjutan.⁵

Sebaliknya, pemerintahan sipil yang kuat, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi publik mampu menciptakan stabilitas jangka panjang melalui tata kelola yang demokratis. Dalam hal ini, supremasi sipil menjadi prasyarat untuk membangun sistem pemerintahan yang menjamin keseimbangan antara keamanan dan kebebasan, antara ketertiban dan partisipasi.⁶

7.4.       Supremasi Sipil dalam Menghadapi Ancaman Hibrida

Di era modern, ancaman terhadap negara tidak lagi datang secara eksklusif dari aktor militer asing, tetapi juga dari aktor non-negara seperti kelompok teroris, jaringan siber, hingga disinformasi digital. Ancaman-ancaman ini bersifat asimetris dan tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan militeristik.⁷

Penanganan terhadap ancaman hibrida memerlukan sinergi antara institusi militer dan sipil, di mana otoritas sipil tetap menjadi pengarah utama kebijakan keamanan nasional. Menurut Diamond dan Plattner, jika kebijakan keamanan dikendalikan secara eksklusif oleh logika militer, maka respons negara cenderung represif dan tidak adaptif terhadap kompleksitas tantangan era digital.⁸

Dengan demikian, supremasi sipil memastikan bahwa pendekatan terhadap ancaman modern bersifat holistik, melibatkan peran aktif masyarakat sipil, sektor pendidikan, dunia digital, dan lembaga legislatif dalam merumuskan kebijakan yang adil, efektif, dan demokratis.


Kesimpulan

Supremasi sipil bukan hanya syarat formal demokrasi, tetapi juga elemen substansial untuk menjamin keadilan, stabilitas, dan kemajuan bangsa. Di era yang penuh kompleksitas seperti sekarang, supremasi sipil harus dipelihara melalui penguatan konstitusi, pendidikan politik, serta profesionalisme militer yang berorientasi pada perlindungan negara dan rakyat, bukan pada kepentingan kekuasaan.


Footnotes

[1]                Richard H. Kohn, "How Democracies Control the Military," Journal of Democracy 8, no. 4 (1997): 141–142.

[2]                Alfred Stepan, Rethinking Military Politics: Brazil and the Southern Cone (Princeton: Princeton University Press, 1988), 15–18.

[3]                Thomas C. Bruneau and Florina Cristiana Matei, The Routledge Handbook of Civil-Military Relations (New York: Routledge, 2013), 74.

[4]                Marcus Mietzner, “Authoritarian Elections, Electoral Authoritarianism, and Political Militancy in Indonesia,” Indonesia 96 (2013): 12.

[5]                Zoltan Barany, The Soldier and the Changing State: Building Democratic Armies in Africa, Asia, Europe, and the Americas (Princeton: Princeton University Press, 2012), 143–145.

[6]                Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The Struggle to Build Free Societies Throughout the World (New York: Times Books, 2008), 205.

[7]                NATO, Hybrid Threats: A Strategic Communications Perspective (Brussels: NATO Strategic Communications Centre of Excellence, 2017), 3–4.

[8]                Larry Diamond and Marc F. Plattner, eds., Democracy in Decline? (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2015), 93.


8.           Penutup

Supremasi sipil merupakan fondasi tak tergantikan bagi tegaknya sistem demokrasi yang sehat, stabil, dan berkeadilan. Tanpa adanya kontrol yang jelas dari otoritas sipil terhadap institusi militer, demokrasi akan rapuh, mudah tergelincir ke dalam bentuk-bentuk otoritarianisme, dan rentan terhadap pelemahan prinsip-prinsip konstitusionalisme serta hak asasi manusia.¹

Pembahasan dalam artikel ini telah menunjukkan bahwa supremasi sipil bukan sekadar doktrin normatif, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk institusionalisasi yang kuat, pilar-pilar hukum yang kokoh, serta budaya politik yang demokratis. Studi kasus dari berbagai negara mengindikasikan bahwa supremasi sipil dapat membawa kestabilan politik yang berkelanjutan, seperti di Amerika Serikat dan Turki pasca-reformasi, namun juga dapat runtuh bila tidak ditopang oleh konstitusi dan institusi yang memadai, seperti yang terjadi di Myanmar.²

Tantangan terhadap supremasi sipil di era modern tidak datang hanya dari dominasi militer tradisional, tetapi juga dari bentuk-bentuk baru seperti populisme militeristik, politisasi militer, lemahnya kapasitas lembaga sipil, hingga rendahnya literasi demokrasi publik.³ Oleh karena itu, pembangunan demokrasi tidak hanya memerlukan reformasi institusional, tetapi juga pendidikan politik yang terus-menerus bagi warga negara dan profesionalisme tinggi di kalangan militer.⁴

Menjaga supremasi sipil juga berarti menjaga keseimbangan antara keamanan dan kebebasan, antara stabilitas dan partisipasi.⁵ Dalam dunia yang semakin kompleks dengan tantangan keamanan hibrida, supremasi sipil menjamin bahwa kebijakan negara tetap dijalankan dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara.

Sebagai penutup, supremasi sipil bukan hanya agenda politik, tetapi juga amanat moral dan konstitusional bagi setiap bangsa yang berkomitmen terhadap demokrasi. Negara-negara yang ingin maju secara demokratis harus memastikan bahwa militer tetap berada dalam kerangka kontrol sipil yang demokratis, profesional, dan tunduk pada hukum. Supremasi sipil adalah penyangga utama agar demokrasi tidak hanya berlangsung, tetapi juga berkelanjutan dan bermartabat.


Footnotes

[1]                Samuel P. Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil–Military Relations (Cambridge: Harvard University Press, 1957), 80.

[2]                Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation (Singapore: ISEAS, 2009), 117–123; International Crisis Group, Myanmar’s Stalled Transition (Brussels: ICG Report No. 314, 2020), 3–4.

[3]                Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The Struggle to Build Free Societies Throughout the World (New York: Times Books, 2008), 213–215.

[4]                Thomas C. Bruneau and Florina Cristiana Matei, The Routledge Handbook of Civil-Military Relations (New York: Routledge, 2013), 233–236.

[5]                Alfred Stepan, Rethinking Military Politics: Brazil and the Southern Cone (Princeton: Princeton University Press, 1988), 12.


Daftar Pustaka

Aydınlı, E. (2011). Paradigmatic shift for the Turkish generals and an end to the coup era in Turkey. Middle East Journal, 65(4), 581–596. https://doi.org/10.3751/65.4.14

Aydıntaşbaş, A. (2019). The new Turkey and its discontents. European Council on Foreign Relations. https://ecfr.eu/publication/the_new_turkey_and_its_discontents/

Barany, Z. (2012). The soldier and the changing state: Building democratic armies in Africa, Asia, Europe, and the Americas. Princeton University Press.

Blackstone, W. (1765). Commentaries on the laws of England (Vol. 1). Clarendon Press.

Bruneau, T. C., & Matei, F. C. (Eds.). (2013). The Routledge handbook of civil-military relations. Routledge.

Bruneau, T. C., & Tollefson, S. D. (Eds.). (2006). Who guards the guardians and how: Democratic civil-military relations. University of Texas Press.

Carothers, T. (1996). The role of the media in democracy. Journal of Democracy, 7(4), 80–92. https://doi.org/10.1353/jod.1996.0064

Cottey, A., Edmunds, T., & Forster, A. (2002). Democratic control of the military in postcommunist Europe: Guarding the guards. Palgrave Macmillan.

Crouch, H. (1978). The army and politics in Indonesia. Cornell University Press.

Diamond, L. (1999). Developing democracy: Toward consolidation. Johns Hopkins University Press.

Diamond, L. (2008). The spirit of democracy: The struggle to build free societies throughout the world. Times Books.

Diamond, L., & Morlino, L. (2005). Assessing the quality of democracy. Johns Hopkins University Press.

Diamond, L., & Plattner, M. F. (Eds.). (1996). Civil-military relations and democracy. Johns Hopkins University Press.

Diamond, L., & Plattner, M. F. (Eds.). (2015). Democracy in decline?. Johns Hopkins University Press.

Finer, S. E. (1962). The man on horseback: The role of the military in politics. Pall Mall Press.

Freedom House. (2022). Freedom in the world 2022: The global expansion of authoritarian rule. https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2022/global-expansion-authoritarian-rule

Human Rights Watch. (2021). Myanmar: Military coup unleashes wave of abuses. https://www.hrw.org/news/2021/02/01/myanmar-military-coup-unleashes-wave-abuses

Huntington, S. P. (1957). The soldier and the state: The theory and politics of civil–military relations. Harvard University Press.

International Crisis Group. (2019). Thailand’s new order: Military, monarchy and bureaucracy (Report No. 105). https://www.crisisgroup.org

International Crisis Group. (2020). Myanmar’s stalled transition (Report No. 314). https://www.crisisgroup.org

Jenkins, G. (2001). Context and circumstance: The Turkish military and politics. Oxford University Press.

Kennedy, H. (1986). The prophet and the age of the caliphates. Longman.

Kohn, R. H. (1997). How democracies control the military. Journal of Democracy, 8(4), 140–153. https://doi.org/10.1353/jod.1997.0076

Kohn, R. H. (1975). Eagle and sword: The Federalists and the creation of the military establishment in America, 1783–1802. Free Press.

Levitsky, S., & Way, L. A. (2010). Competitive authoritarianism: Hybrid regimes after the Cold War. Cambridge University Press.

Lewis, B. (1988). The political language of Islam. University of Chicago Press.

Linz, J. J., & Stepan, A. (1996). Problems of democratic transition and consolidation: Southern Europe, South America, and post-communist Europe. Johns Hopkins University Press.

Locke, J. (1689). Two treatises of government. Awnsham Churchill.

Mawardi, A. (1985). Al-Ahkam al-Sultaniyyah. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Mietzner, M. (2009). Military politics, Islam, and the state in Indonesia: From turbulent transition to democratic consolidation. ISEAS–Yusof Ishak Institute.

Mietzner, M. (2013). Authoritarian elections, electoral authoritarianism, and political militancy in Indonesia. Indonesia, 96, 1–24.

NATO Strategic Communications Centre of Excellence. (2017). Hybrid threats: A strategic communications perspective. https://stratcomcoe.org

Perlmutter, A. (1977). The military and politics in modern times: On professionals, praetorians, and revolutionary soldiers. Yale University Press.

Pramodhawardani, J., & Sukma, R. (Eds.). (2005). Tentara dan politik: Perjalanan supremasi sipil di Indonesia pasca-Orde Baru. CSIS.

Stepan, A. (1988). Rethinking military politics: Brazil and the Southern Cone. Princeton University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar