Supremasi Sipil dalam Negara Demokrasi
Fondasi, Tantangan, dan Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Negara Demokrasi
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep
supremasi sipil sebagai pilar utama dalam sistem demokrasi modern. Supremasi
sipil mengacu pada dominasi otoritas sipil atas institusi militer dalam proses
pengambilan keputusan politik dan pemerintahan. Dengan menggunakan pendekatan
historis, konseptual, dan komparatif, artikel ini menguraikan definisi, pilar
institusional, serta tantangan-tantangan kontemporer yang dihadapi dalam
mewujudkan supremasi sipil. Studi kasus dari Amerika Serikat, Turki, Indonesia,
dan Myanmar menunjukkan variasi keberhasilan dan kegagalan penerapan prinsip
ini dalam konteks politik yang berbeda. Artikel ini juga menegaskan urgensi
supremasi sipil di era modern, terutama dalam menjaga prinsip demokrasi,
mencegah politisasi militer, dan menghadapi ancaman keamanan non-tradisional.
Dengan landasan teoretis dari para ahli seperti Huntington, Diamond, dan
Stepan, artikel ini menyimpulkan bahwa supremasi sipil bukan hanya prasyarat
demokrasi, tetapi juga kunci untuk membangun negara yang adil, stabil, dan
akuntabel.
Kata Kunci: supremasi sipil, demokrasi, hubungan
sipil-militer, kontrol militer, institusi politik, stabilitas demokrasi,
politisasi militer, hak asasi manusia.
PEMBAHASAN
Supremasi Sipil Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Supremasi sipil (civilian supremacy) merupakan
prinsip fundamental dalam sistem politik demokrasi yang menegaskan bahwa
kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan otoritas sipil yang dipilih
secara demokratis, bukan di bawah dominasi institusi militer atau kekuatan
bersenjata. Dalam konteks ini, supremasi sipil tidak hanya bermakna
pengendalian militer oleh pemerintah sipil, tetapi juga mencerminkan keberdaulatan
rakyat melalui institusi-institusi demokratis yang sah. Tanpa pengakuan dan
penerapan prinsip ini, demokrasi menjadi rapuh, mudah tergerus oleh
otoritarianisme, dan rentan terhadap politisasi militer.
Gagasan tentang pentingnya supremasi sipil telah
lama menjadi perhatian dalam ilmu politik modern. Samuel P. Huntington, dalam
karyanya yang terkenal The Soldier and the State, menegaskan bahwa
keberhasilan demokrasi sangat bergantung pada adanya “kontrol objektif” atas
militer oleh otoritas sipil profesional yang kuat dan terlembaga.¹ Huntington
menyatakan bahwa ketika militer memperoleh otonomi politik yang terlalu luas,
maka stabilitas demokrasi akan terancam.²
Dalam praktiknya, supremasi sipil bertujuan untuk
menjaga keseimbangan antara kekuatan negara dan kebebasan warga negara, serta
mencegah terjadinya kekuasaan koersif yang tidak terkendali. Pengalaman sejarah
di berbagai negara membuktikan bahwa supremasi sipil menjadi prasyarat mutlak
bagi keberlangsungan sistem demokrasi konstitusional. Di negara-negara Barat
seperti Amerika Serikat dan Inggris, kontrol sipil atas militer telah lama
menjadi bagian integral dari sistem ketatanegaraan mereka.³ Sementara itu,
banyak negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin masih bergulat dengan
problematika intervensi militer dalam politik dan pemerintahan, yang kerap
menghambat proses konsolidasi demokrasi.⁴
Indonesia sebagai negara yang pernah mengalami
pemerintahan otoriter dengan peran militer yang dominan, menjadikan isu
supremasi sipil sebagai salah satu agenda penting dalam proses reformasi
politik pasca-1998. Pemisahan TNI dan Polri, pembentukan undang-undang yang
membatasi peran militer dalam kehidupan sipil, serta penguatan lembaga
legislatif dan yudikatif, adalah bagian dari upaya institusionalisasi supremasi
sipil dalam kerangka negara hukum demokratis.⁵ Namun demikian, berbagai
tantangan masih muncul, baik dalam bentuk nostalgia terhadap kekuasaan militer
masa lalu, lemahnya kapasitas lembaga sipil, maupun rendahnya literasi politik
masyarakat.
Melalui artikel ini, penulis berupaya mengkaji
secara komprehensif konsep, sejarah, pilar, tantangan, serta studi kasus
terkait supremasi sipil, guna memberikan pemahaman yang utuh tentang perannya
dalam menjaga stabilitas dan kualitas demokrasi. Dengan pendekatan analitis dan
referensi ilmiah yang kuat, diharapkan pembahasan ini dapat menjadi kontribusi
akademik sekaligus bahan refleksi kebangsaan.
Footnotes
[1]
Samuel P. Huntington, The Soldier and the State:
The Theory and Politics of Civil–Military Relations (Cambridge: Harvard
University Press, 1957), 80.
[2]
Ibid., 83.
[3]
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward
Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 94.
[4]
Alfred Stepan, Rethinking Military Politics:
Brazil and the Southern Cone (Princeton: Princeton University Press, 1988),
3–4.
[5]
Marcus Mietzner, “Military Politics, Islam, and the
State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation,” in Democratization
15, no. 2 (2008): 312–334.
2.
Definisi
dan Landasan Konseptual
2.1.
Pengertian Supremasi Sipil
Supremasi sipil (civilian supremacy) adalah
prinsip yang menempatkan kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan
otoritas sipil yang dipilih secara demokratis, bukan pada institusi militer.
Prinsip ini bertujuan memastikan bahwa kekuatan bersenjata berada di bawah
kendali institusi-institusi sipil, terutama pemerintah yang sah, dan tidak
memiliki otonomi politik dalam menentukan arah kebijakan negara.¹ Dengan
demikian, supremasi sipil adalah fondasi dari sistem politik demokratis yang
sehat, karena menjamin bahwa keputusan-keputusan publik ditentukan oleh
wakil-wakil rakyat, bukan oleh institusi yang mengandalkan kekuatan koersif.
Samuel P. Huntington menguraikan bahwa supremasi
sipil ideal dicapai melalui apa yang ia sebut sebagai kontrol sipil objektif,
yaitu suatu kondisi di mana militer secara profesional mengabdikan dirinya pada
otoritas sipil tanpa intervensi politik, sementara pihak sipil juga tidak
terlalu mencampuri teknis kemiliteran.² Dalam kerangka ini, keseimbangan antara
otoritas sipil dan militer dijaga melalui pembagian peran yang jelas dan saling
menghormati.
Supremasi sipil juga sering dikaitkan dengan konsep
civilian control of the military, yakni pengawasan dan pengendalian
institusi militer oleh pemerintah sipil berdasarkan hukum dan konstitusi.³
Konsep ini menjadi elemen penting dalam demokrasi konstitusional, karena
bertujuan membatasi ruang gerak militer dalam politik dan memastikan bahwa
kekuasaan berada di tangan warga sipil yang bertanggung jawab secara
demokratis.
2.2.
Supremasi Sipil vs.
Dominasi Militer
Kontras antara supremasi sipil dan dominasi militer
terletak pada sumber legitimasi kekuasaan. Dalam supremasi sipil, kekuasaan
bersumber dari mandat rakyat melalui pemilihan umum dan dijalankan oleh
lembaga-lembaga sipil. Sebaliknya, dalam sistem yang didominasi militer,
kebijakan negara sering ditentukan oleh elit militer tanpa proses demokratis
atau akuntabilitas publik.⁴ Dominasi militer dapat menciptakan pemerintahan
yang stabil secara koersif namun tidak demokratis, sebagaimana terjadi dalam
banyak rezim militer di abad ke-20, seperti di Myanmar, Pakistan, atau Mesir.
Menurut Alfred Stepan, dominasi militer muncul
ketika militer tidak hanya menjaga keamanan eksternal, tetapi juga terlibat
dalam proses pengambilan keputusan politik, ekonomi, bahkan kebudayaan, yang
bukan merupakan wilayah keahliannya.⁵ Kondisi ini seringkali disertai dengan
lemahnya lembaga sipil dan rendahnya partisipasi politik masyarakat.
2.3.
Landasan Teoritis
Dalam kajian ilmu politik dan hubungan
sipil-militer, teori kontrol sipil memainkan peran penting. Terdapat dua
pendekatan utama yang dikembangkan oleh para ahli:
1)
Pendekatan Objektif (Huntingtonian)
Menekankan
profesionalisme militer dan pemisahan tegas antara ranah sipil dan militer.
Semakin profesional militer, maka semakin kecil keinginannya untuk terlibat
dalam politik.⁶
2)
Pendekatan Subjektif
Mengandalkan
subordinasi militer kepada kekuasaan politik sipil melalui infiltrasi,
penunjukan politik, atau kontrol ideologis. Pendekatan ini cenderung melemahkan
profesionalisme militer dan justru berisiko menciptakan militer yang
terpolitisasi.⁷
Dalam konteks negara demokrasi, pendekatan objektif
lebih ideal karena menciptakan keseimbangan antara kontrol dan otonomi teknis.
Di sisi lain, Larry Diamond menegaskan bahwa supremasi sipil bukan hanya
tentang subordinasi militer, tetapi juga tentang penguatan kapasitas lembaga
sipil, supremasi hukum, dan partisipasi masyarakat dalam proses demokratis.⁸
Dengan demikian, supremasi sipil tidak dapat
dipahami secara sempit sebagai hubungan hierarkis antara sipil dan militer
saja, tetapi sebagai bagian dari ekosistem demokrasi yang menuntut interaksi
antara hukum, institusi, dan budaya politik warga negara.
Footnotes
[1]
Thomas C. Bruneau and Florina Cristiana Matei, The
Routledge Handbook of Civil-Military Relations (New York: Routledge, 2013),
9–10.
[2]
Samuel P. Huntington, The Soldier and the State:
The Theory and Politics of Civil–Military Relations (Cambridge: Harvard
University Press, 1957), 83.
[3]
Richard H. Kohn, "How Democracies Control the
Military," Journal of Democracy 8, no. 4 (1997): 140.
[4]
Zoltan Barany, The Soldier and the Changing
State: Building Democratic Armies in Africa, Asia, Europe, and the Americas
(Princeton: Princeton University Press, 2012), 45.
[5]
Alfred Stepan, Rethinking Military Politics:
Brazil and the Southern Cone (Princeton: Princeton University Press, 1988),
93.
[6]
Huntington, The Soldier and the State,
83–85.
[7]
Amos Perlmutter, The Military and Politics in
Modern Times: On Professionals, Praetorians, and Revolutionary Soldiers
(New Haven: Yale University Press, 1977), 34.
[8]
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward
Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 109–110.
3.
Sejarah
Perkembangan Supremasi Sipil
3.1.
Supremasi Sipil di Dunia
Barat
Konsep supremasi sipil pertama kali mengemuka
secara sistematis dalam pemikiran politik Barat, terutama setelah berkembangnya
gagasan rule of law dan pemerintahan konstitusional. Revolusi Inggris
(1688) dan Revolusi Amerika (1776) menjadi tonggak penting dalam menegaskan
prinsip bahwa militer harus tunduk pada otoritas sipil.¹ Di Inggris, Bill of
Rights 1689 secara eksplisit menyatakan bahwa raja tidak dapat mempertahankan
pasukan tetap dalam waktu damai tanpa persetujuan parlemen, sebuah prinsip awal
dari supremasi sipil modern.²
Amerika Serikat mengembangkan prinsip ini lebih
jauh, terutama melalui Konstitusi yang secara tegas menempatkan Presiden
sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata, namun tetap tunduk pada
pengawasan legislatif.³ Salah satu peristiwa paling menonjol dalam praktik
supremasi sipil di AS adalah ketika Presiden Harry S. Truman memecat Jenderal
Douglas MacArthur pada tahun 1951 karena membangkang terhadap kebijakan sipil
dalam Perang Korea.⁴ Keputusan tersebut menegaskan bahwa dalam sistem
demokrasi, otoritas sipil memiliki kekuasaan tertinggi atas militer, meskipun
keputusan tersebut secara politis tidak populer.
Di Eropa Barat pasca-Perang Dunia II, negara-negara
seperti Jerman dan Italia juga menata kembali struktur hubungan sipil-militer
mereka dengan memberikan peran minimal kepada militer dalam urusan politik,
sebagai respons terhadap pengalaman traumatis otoritarianisme dan militerisme
sebelumnya.⁵
3.2.
Supremasi Sipil dalam
Sejarah Dunia Islam
Dalam sejarah dunia Islam klasik, relasi antara
otoritas sipil dan militer tidak selalu jelas terpisah seperti dalam sistem
Barat modern. Pada masa Khulafaur Rasyidin, otoritas politik, agama, dan
militer terpusat pada sosok khalifah sebagai pemimpin umat. Namun seiring
waktu, muncul pergeseran di mana kekuatan militer (terutama para amīr
atau panglima) mulai mengambil peran lebih besar, terutama sejak era
kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah.⁶
Pada masa-masa kemunduran politik Islam, terjadi
fragmentasi kekuasaan di mana militer seringkali menjadi aktor politik yang
dominan, bahkan menggantikan otoritas sipil formal. Contoh utamanya dapat
ditemukan dalam Dinasti Mamluk di Mesir, yang secara harfiah merupakan dinasti militer.⁷
Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks sejarah Islam, supremasi sipil tidak
selalu menjadi norma, melainkan bersifat kontekstual dan tergantung pada
formasi kekuasaan yang berlaku.
Namun demikian, dalam khazanah fiqih siyasah
(politik Islam), banyak ulama yang menekankan pentingnya syura,
keadilan, dan tanggung jawab pemimpin kepada rakyat sebagai prinsip dasar
pemerintahan yang bermoral dan tidak sewenang-wenang, termasuk dalam penggunaan
kekuatan militer.⁸
3.3.
Supremasi Sipil di
Indonesia
Di Indonesia, relasi sipil-militer mengalami
dinamika yang kompleks sepanjang sejarah kemerdekaan. Pada masa awal
kemerdekaan, TNI dibentuk dari laskar-laskar rakyat dan menjadi simbol
perjuangan nasional. Namun, lemahnya institusi sipil pasca-revolusi kemerdekaan
membuat militer sering mengambil peran politik yang lebih luas.⁹
Dominasi militer semakin kuat pada masa Orde Baru
(1966–1998) di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang merupakan tokoh
militer. Konsep dwi fungsi ABRI memberi legitimasi bagi militer untuk menjalankan
fungsi keamanan sekaligus fungsi sosial-politik, sehingga militer memiliki
peran langsung dalam pemerintahan dan parlemen.¹⁰
Reformasi 1998 menjadi titik balik penting dalam
upaya mewujudkan supremasi sipil. Langkah-langkah penting dilakukan seperti:
pemisahan TNI dan Polri (1999), penghapusan dwi fungsi, pembentukan
Undang-Undang TNI (UU No. 34 Tahun 2004), serta penegasan peran militer dalam
bidang pertahanan, bukan keamanan dalam negeri.¹¹ Meski demikian, sebagian
kalangan menilai bahwa supremasi sipil di Indonesia belum sepenuhnya matang,
mengingat masih adanya kecenderungan politisasi militer, minimnya kapasitas
lembaga sipil dalam mengawasi pertahanan, dan sentimen publik yang kadang
justru mendukung peran militer dalam politik.¹²
Footnotes
[1]
John Locke, Two Treatises of Government
(London: Awnsham Churchill, 1689), Book II, §§ 131–139.
[2]
William Blackstone, Commentaries on the Laws of
England, vol. 1 (Oxford: Clarendon Press, 1765), 408.
[3]
U.S. Constitution, Article II, Section 2.
[4]
Richard H. Kohn, Eagle and Sword: The
Federalists and the Creation of the Military Establishment in America,
1783–1802 (New York: Free Press, 1975), 375.
[5]
Thomas C. Bruneau and Scott D. Tollefson, eds., Who
Guards the Guardians and How: Democratic Civil-Military Relations (Austin:
University of Texas Press, 2006), 119.
[6]
Bernard Lewis, The Political Language of Islam
(Chicago: University of Chicago Press, 1988), 43–44.
[7]
Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the
Caliphates (London: Longman, 1986), 285.
[8]
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985), 14–16.
[9]
Harold Crouch, The Army and Politics in
Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1978), 45–46.
[10]
Ibid., 149.
[11]
Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and
the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation
(Singapore: ISEAS, 2009), 213.
[12]
Jaleswari Pramodhawardani and Rizal Sukma, eds., Tentara
dan Politik: Perjalanan Supremasi Sipil di Indonesia Pasca-Orde Baru
(Jakarta: CSIS, 2005), 59–60.
4.
Pilar-Pilar
Utama Supremasi Sipil
Agar supremasi sipil tidak hanya menjadi konsep
normatif semata, diperlukan pilar-pilar institusional dan budaya yang
menopangnya. Pilar-pilar ini merupakan bagian integral dari sistem demokrasi
konstitusional dan menjadi prasyarat agar kontrol sipil terhadap militer dapat
berjalan secara efektif dan berkelanjutan.
4.1.
Konstitusi sebagai Hukum Tertinggi
Konstitusi merupakan fondasi utama bagi penegakan
supremasi sipil karena menetapkan secara jelas pembagian kekuasaan antara
lembaga-lembaga negara dan merinci batasan peran militer. Dalam sistem
demokrasi, konstitusi menegaskan bahwa militer berada di bawah otoritas sipil,
terutama eksekutif dan legislatif, serta tunduk pada hukum.¹
Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 (hasil amandemen)
secara eksplisit menyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan
alat negara di bawah presiden dan memiliki peran khusus dalam pertahanan, bukan
keamanan dalam negeri.² Penegasan konstitusional ini merupakan langkah penting
dalam memperkuat supremasi sipil dan mencegah dualisme kekuasaan.
4.2.
Peran Lembaga Sipil
(Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif)
Lembaga-lembaga sipil yang kuat dan independen
merupakan instrumen utama dalam mengendalikan kekuasaan militer secara efektif.
Pemerintah sipil (eksekutif) berperan dalam merumuskan kebijakan pertahanan
nasional, sementara parlemen berwenang mengawasi anggaran, menyetujui deklarasi
perang, dan melakukan evaluasi terhadap kebijakan militer.³
Parlemen yang aktif dan kompeten menjadi mekanisme
kontrol yang penting terhadap kecenderungan militerisasi kebijakan.⁴ Selain
itu, lembaga yudikatif juga memegang peran penting dalam menjamin supremasi
hukum, termasuk dalam menangani pelanggaran hukum oleh anggota militer yang
berada di luar lingkup peradilan militer.⁵
4.3.
Transparansi dan
Akuntabilitas Militer
Salah satu indikator utama dari keberhasilan
supremasi sipil adalah sejauh mana institusi militer dapat diawasi secara
transparan dan akuntabel. Ini mencakup transparansi dalam pengelolaan anggaran
pertahanan, belanja militer, rekrutmen, serta operasi-operasi militer baik di
dalam maupun luar negeri.⁶
Dalam beberapa negara demokrasi yang matang,
seperti Amerika Serikat dan Jerman, proses audit anggaran militer dilakukan
secara ketat oleh lembaga independen dan dilaporkan secara berkala kepada
publik.⁷ Akuntabilitas juga mencakup kesediaan militer untuk tunduk pada
otoritas sipil dan tidak terlibat dalam politik praktis.
4.4.
Peran Masyarakat Sipil dan
Media
Keberadaan masyarakat sipil (civil society) yang
aktif—termasuk organisasi non-pemerintah, akademisi, aktivis, dan lembaga think
tank—berperan besar dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan pertahanan serta
mendorong transparansi di sektor militer.⁸
Media massa sebagai pilar keempat demokrasi juga
memiliki tanggung jawab untuk melaporkan isu-isu terkait militer secara
objektif dan kritis. Investigasi jurnalis yang independen mampu mengungkap
penyimpangan kekuasaan militer yang tidak terjangkau oleh lembaga formal.⁹ Oleh
karena itu, kebebasan pers dan jaminan perlindungan terhadap jurnalis menjadi
prasyarat penting bagi terciptanya kontrol sipil yang efektif.
4.5.
Pendidikan Politik dan
Literasi Demokrasi
Supremasi sipil tidak akan bertahan lama tanpa
kesadaran politik warga negara yang tinggi. Pendidikan politik yang menanamkan
nilai-nilai demokrasi, supremasi hukum, dan peran sipil dalam negara sangat
penting untuk membentuk budaya politik yang mendukung supremasi sipil.¹⁰
Literasi demokrasi juga diperlukan di kalangan
militer agar mereka memahami batasan peran institusinya dalam sistem
ketatanegaraan. Beberapa negara bahkan menjadikan pelatihan tentang
prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia sebagai bagian dari kurikulum
militer.¹¹ Dengan demikian, baik warga sipil maupun militer memahami posisi dan
tanggung jawabnya masing-masing dalam kerangka negara hukum.
Footnotes
[1]
Richard H. Kohn, "How Democracies Control the
Military," Journal of Democracy 8, no. 4 (1997): 140.
[2]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pasal 10 dan Pasal 30 Ayat (3).
[3]
Thomas C. Bruneau and Florina Cristiana Matei, The
Routledge Handbook of Civil-Military Relations (New York: Routledge, 2013),
45–46.
[4]
Zoltan Barany, The Soldier and the Changing
State: Building Democratic Armies in Africa, Asia, Europe, and the Americas
(Princeton: Princeton University Press, 2012), 78–79.
[5]
Andrew Cottey, Timothy Edmunds, and Anthony Forster,
Democratic Control of the Military in Postcommunist Europe: Guarding the
Guards (Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2002), 118.
[6]
Samuel E. Finer, The Man on Horseback: The Role
of the Military in Politics (London: Pall Mall Press, 1962), 163.
[7]
Bruneau and Matei, Routledge Handbook, 152.
[8]
Larry Diamond and Marc F. Plattner, eds., Civil-Military
Relations and Democracy (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1996),
24.
[9]
Thomas Carothers, "The Role of the Media in
Democracy," Journal of Democracy 7, no. 4 (1996): 84–86.
[10]
Juan J. Linz and Alfred Stepan, Problems of
Democratic Transition and Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 1996), 28.
[11]
Bruneau and Matei, Routledge Handbook, 234.
5.
Tantangan-Tantangan
terhadap Supremasi Sipil
Meskipun secara normatif prinsip supremasi sipil
telah menjadi bagian dari sistem politik demokratis, implementasinya di banyak
negara sering kali menghadapi tantangan yang kompleks. Tantangan ini bisa
bersifat struktural, kultural, maupun politis, dan jika tidak ditangani dengan
serius dapat melemahkan tatanan demokrasi itu sendiri. Beberapa tantangan utama
terhadap supremasi sipil antara lain:
5.1.
Militerisme dan Intervensi
Politik
Salah satu tantangan paling nyata terhadap
supremasi sipil adalah kecenderungan militer untuk turut campur dalam urusan
politik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam sejarah politik
banyak negara berkembang, militer tidak hanya berperan sebagai penjaga
kedaulatan negara, tetapi juga menjadi aktor politik yang dominan—mengambil
alih kekuasaan, membentuk partai politik, hingga mengatur kebijakan
pemerintahan.¹
Militerisme yang kuat biasanya muncul ketika
militer menganggap dirinya sebagai satu-satunya institusi yang mampu menjaga
stabilitas dan keutuhan negara, terutama di tengah lemahnya otoritas sipil.²
Hal ini sering dijumpai dalam rezim-rezim otoriter atau transisi demokrasi yang
belum stabil, seperti yang terjadi di Mesir pasca-revolusi 2011 dan di Myanmar
sejak kudeta militer 2021.³
5.2.
Lemahnya Kapasitas Lembaga
Sipil
Supremasi sipil hanya dapat ditegakkan bila
lembaga-lembaga sipil memiliki kapasitas yang cukup untuk menjalankan fungsi
kontrol, legislasi, dan pengawasan terhadap militer. Namun dalam banyak kasus,
lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tidak memiliki sumber daya,
keahlian, atau keberanian politik untuk mengawasi institusi militer secara
efektif.⁴
Menurut Bruneau dan Matei, kurangnya kompetensi
dalam memahami isu-isu pertahanan, transparansi anggaran, serta kelemahan dalam
mekanisme audit menyebabkan para aktor sipil tidak dapat memainkan peran
pengawasan yang memadai.⁵ Hal ini membuka peluang bagi militer untuk
menjalankan fungsi-fungsi politik secara informal dan tidak akuntabel.
5.3.
Kultus Individu dan Politik
Figuratif
Tantangan lain yang sering menggerus supremasi
sipil adalah tumbuhnya kultus individu terhadap tokoh militer atau
mantan militer yang masuk ke ranah politik sipil. Dalam sistem demokrasi yang
rapuh, figur militer sering kali dielu-elukan sebagai “penyelamat bangsa”
atau simbol stabilitas, sehingga mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan
militer.⁶
Fenomena ini diperparah oleh strategi populisme
militer yang mengedepankan disiplin, nasionalisme, dan ketertiban sebagai daya
tarik politik, mengesampingkan prinsip checks and balances.⁷ Akibatnya,
supremasi sipil terancam oleh personalisasi kekuasaan yang bertumpu pada
karisma individu ketimbang mekanisme institusional.
5.4.
Rendahnya Literasi
Demokrasi di Kalangan Publik
Kurangnya pemahaman publik tentang prinsip-prinsip
demokrasi, termasuk pentingnya supremasi sipil, menjadikan masyarakat kurang
kritis terhadap campur tangan militer dalam urusan sipil. Dalam banyak kasus,
publik justru mendukung keterlibatan militer dalam politik, terutama saat
pemerintahan sipil dianggap lemah, korup, atau tidak efektif.⁸
Rendahnya literasi demokrasi membuat masyarakat
gagal membedakan antara stabilitas semu yang disediakan militer dengan
stabilitas demokratis yang diperoleh melalui tata kelola sipil yang transparan
dan akuntabel.⁹ Dalam konteks ini, pendidikan kewargaan dan penguatan kesadaran
sipil menjadi tantangan jangka panjang dalam membangun budaya politik
demokratis.
5.5.
Praktik Otoritarianisme
Berkedok Demokrasi
Dalam beberapa dekade terakhir, muncul fenomena
yang dikenal sebagai authoritarianism with democratic façade—yakni
pemerintahan yang secara formal menjalankan proses demokratis seperti pemilu,
namun secara substantif mempertahankan kontrol militer atau praktik otoriter
lainnya.¹⁰
Negara-negara seperti Turki di bawah pemerintahan
pasca-2016 dan Thailand pasca-kudeta 2014 menunjukkan bagaimana militer tetap
memainkan peran sentral dalam politik nasional, meskipun secara formal tunduk
pada institusi sipil.¹¹ Fenomena ini membuktikan bahwa proses demokratisasi
tidak otomatis menghasilkan supremasi sipil, jika tidak disertai komitmen kuat
terhadap prinsip konstitusionalisme dan rule of law.
Footnotes
[1]
Zoltan Barany, The Soldier and the Changing
State: Building Democratic Armies in Africa, Asia, Europe, and the Americas
(Princeton: Princeton University Press, 2012), 34–36.
[2]
Alfred Stepan, Rethinking Military Politics:
Brazil and the Southern Cone (Princeton: Princeton University Press, 1988),
1–3.
[3]
Freedom House, Freedom in the World 2022: The
Global Expansion of Authoritarian Rule (Washington, DC: Freedom House,
2022), 14–16.
[4]
Richard H. Kohn, "How Democracies Control the
Military," Journal of Democracy 8, no. 4 (1997): 143–145.
[5]
Thomas C. Bruneau and Florina Cristiana Matei, The
Routledge Handbook of Civil-Military Relations (New York: Routledge, 2013),
172–173.
[6]
Marcus Mietzner, “Authoritarian Elections,
Electoral Authoritarianism, and Political Militancy in Indonesia,” Indonesia
96 (2013): 1–24.
[7]
Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The
Struggle to Build Free Societies Throughout the World (New York: Times
Books, 2008), 88–90.
[8]
Juan J. Linz and Alfred Stepan, Problems of
Democratic Transition and Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 1996), 16.
[9]
Larry Diamond and Leonardo Morlino, Assessing
the Quality of Democracy (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2005),
108–109.
[10]
Steven Levitsky and Lucan A. Way, Competitive
Authoritarianism: Hybrid Regimes after the Cold War (Cambridge: Cambridge
University Press, 2010), 5–6.
[11]
International Crisis Group, Thailand’s New
Order: Military, Monarchy and Bureaucracy (Bangkok/Brussels: ICG Report No.
105, 2019), 3–4.
6.
Studi
Kasus
Untuk memahami dinamika supremasi sipil secara
lebih konkret, penting untuk menelaah pengalaman berbagai negara dalam
mengelola hubungan antara otoritas sipil dan militer. Studi kasus berikut
menyoroti keberhasilan dan kegagalan dalam menerapkan prinsip-prinsip supremasi
sipil dalam konteks sistem politik yang berbeda.
6.1.
Amerika Serikat: Pemecatan
Jenderal MacArthur (1951)
Amerika Serikat sering dijadikan contoh klasik
supremasi sipil yang mapan. Salah satu peristiwa penting adalah keputusan
Presiden Harry S. Truman pada tahun 1951 untuk memecat Jenderal Douglas
MacArthur, komandan tertinggi pasukan AS dalam Perang Korea. MacArthur secara
terbuka tidak sejalan dengan kebijakan Presiden, bahkan mengusulkan perluasan
perang ke wilayah Tiongkok, yang bertentangan dengan strategi pemerintah.¹
Meskipun MacArthur sangat populer di mata publik
dan militer, Truman tetap memecatnya untuk menegaskan prinsip bahwa militer
harus tunduk pada otoritas sipil.² Peristiwa ini menjadi preseden penting dalam
hubungan sipil-militer dan menunjukkan bahwa kontrol sipil yang kuat dapat
diterapkan bahkan dalam situasi krisis militer.
6.2.
Turki: Perubahan Peran
Militer Pasca-2000
Turki memiliki sejarah panjang dominasi militer
dalam politik. Sejak 1960-an, militer Turki telah melakukan beberapa kudeta
atas nama menjaga sekularisme negara, sesuai dengan warisan Mustafa Kemal
Atatürk.³ Namun, sejak awal 2000-an, terjadi pergeseran besar. Pemerintahan
Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di bawah Recep Tayyip Erdoğan secara
sistematis melemahkan pengaruh militer melalui reformasi hukum, peradilan
terhadap jenderal-jenderal senior, serta penataan ulang Dewan Keamanan
Nasional.⁴
Meskipun langkah-langkah ini awalnya memperkuat
supremasi sipil, banyak pengamat menilai bahwa penguatan otoritas sipil justru
dibarengi dengan kemunduran demokrasi secara keseluruhan. Konsolidasi kekuasaan
oleh eksekutif pasca-kudeta gagal 2016 mengaburkan batas antara supremasi sipil
dan otoritarianisme sipil.⁵
6.3.
Indonesia: Transisi
Supremasi Sipil Pasca-Reformasi
Indonesia pasca-Orde Baru telah mencatat kemajuan
signifikan dalam mewujudkan supremasi sipil. Reformasi 1998 menghasilkan
pemisahan TNI dan Polri, penghapusan dwi fungsi ABRI, dan pengesahan UU
TNI No. 34 Tahun 2004 yang menegaskan batasan peran militer di luar bidang
pertahanan.⁶
Namun demikian, tantangan masih tersisa. Masih
terjadi praktik perwira aktif yang menempati jabatan sipil, peran
militer dalam penanganan konflik domestik, serta lemahnya kontrol parlemen
dalam pengawasan kebijakan pertahanan.⁷ Selain itu, munculnya figur-figur
militer dalam kontestasi politik memperlihatkan adanya tarik-menarik antara
aspirasi supremasi sipil dan kenyataan politik elektoral.
6.4.
Myanmar: Supremasi Militer
dan Gagalnya Demokrasi
Myanmar merupakan contoh tragis dari kegagalan
supremasi sipil. Setelah masa reformasi politik yang relatif terbuka sejak
2010, militer (Tatmadaw) tetap mempertahankan kontrol besar dalam konstitusi,
termasuk alokasi 25% kursi parlemen dan kewenangan atas kementerian strategis.⁸
Pada tahun 2021, militer kembali mengambil alih
kekuasaan melalui kudeta terhadap pemerintahan sipil terpilih Aung San Suu Kyi,
dengan alasan kecurangan pemilu.⁹ Kudeta ini menunjukkan bahwa supremasi sipil
tidak dapat bertahan jika konstitusi dan institusi demokrasi tidak sepenuhnya
membatasi dominasi militer. Myanmar menjadi bukti bahwa keberadaan pemilu saja
tidak menjamin demokrasi tanpa fondasi supremasi sipil yang kuat.
Footnotes
[1]
Richard H. Kohn, "The MacArthur-Truman
Controversy and the Korean War," Military Affairs 33, no. 4 (1969):
127–138.
[2]
Samuel P. Huntington, The Soldier and the State:
The Theory and Politics of Civil–Military Relations (Cambridge: Harvard
University Press, 1957), 237–240.
[3]
Gareth Jenkins, Context and Circumstance: The
Turkish Military and Politics (Oxford: Oxford University Press, 2001), 5–8.
[4]
Ersel Aydınlı, Paradigmatic Shift for the
Turkish Generals and an End to the Coup Era in Turkey (Middle East Journal,
2011), 582–583.
[5]
Aslı Aydıntaşbaş, The New Turkey and Its
Discontents (London: European Council on Foreign Relations, 2019), 7–10.
[6]
Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and
the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation
(Singapore: ISEAS, 2009), 118–123.
[7]
Rizal Sukma and Jaleswari Pramodhawardani, eds., Tentara
dan Politik: Perjalanan Supremasi Sipil di Indonesia Pasca-Orde Baru
(Jakarta: CSIS, 2005), 63–67.
[8]
International Crisis Group, Myanmar’s Stalled
Transition (Brussels: ICG Report No. 314, 2020), 12.
[9]
Human Rights Watch, Myanmar: Military Coup
Unleashes Wave of Abuses (New York: HRW Report, February 2021), 2–4.
7.
Urgensi
Supremasi Sipil di Era Modern
Di tengah dinamika global abad ke-21, supremasi
sipil menjadi semakin penting sebagai pilar utama demokrasi yang stabil,
akuntabel, dan berkeadilan. Tantangan baru yang muncul dalam bentuk hibridisasi
ancaman keamanan, berkembangnya populisme otoriter, serta penetrasi teknologi
informasi dalam politik menuntut negara-negara demokratis untuk menegaskan
kembali supremasi sipil sebagai kerangka normatif dan praktis dalam tata kelola
pemerintahan.
7.1.
Menjaga Prinsip Demokrasi
dan Hak Asasi Manusia
Supremasi sipil adalah jaminan bahwa
keputusan-keputusan strategis negara berada di tangan aktor-aktor politik yang
dipilih secara demokratis dan bertanggung jawab kepada rakyat. Hal ini menjadi
dasar bagi akuntabilitas publik dan perlindungan hak asasi manusia.¹ Jika
militer diberi ruang untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan sipil, apalagi
dalam kondisi damai, maka prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, dan
perlindungan terhadap kebebasan sipil rentan dilanggar.
Sejarah dunia menunjukkan bahwa negara-negara
dengan supremasi sipil yang lemah sering kali mengalami pelanggaran HAM,
pembatasan kebebasan pers, dan represi politik, sebagaimana terlihat dalam
banyak rezim militer di Amerika Latin, Timur Tengah, dan Asia Tenggara pada
abad ke-20.²
7.2.
Mencegah Politisasi Militer
dan Militerisasi Politik
Urgensi supremasi sipil juga terletak pada perlunya
membatasi godaan politisasi militer maupun militerisasi politik. Dalam konteks
ini, militer seharusnya menjadi alat negara yang profesional dan netral secara
politik, bukan menjadi alat kekuasaan untuk mempertahankan rezim tertentu atau
menekan oposisi.³
Sebaliknya, politisi sipil juga perlu menghindari
penggunaan simbol dan retorika militer untuk tujuan politik elektoral, seperti
glorifikasi kekerasan, pengkultusan ketertiban di atas kebebasan, atau
penyalahgunaan aparat dalam kampanye politik.⁴ Kedua bentuk penyimpangan ini
menciptakan ketidakseimbangan dalam sistem demokrasi yang berujung pada
melemahnya institusi-institusi sipil.
7.3.
Mewujudkan Stabilitas
Nasional melalui Pemerintahan Sipil yang Kuat
Sebagian kalangan masih beranggapan bahwa
keterlibatan militer diperlukan untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan.
Namun, berbagai studi menunjukkan bahwa stabilitas yang bertumpu pada kekuatan
koersif militer bersifat jangka pendek dan semu, karena tidak dibangun di atas
konsensus sipil yang berkelanjutan.⁵
Sebaliknya, pemerintahan sipil yang kuat,
akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi publik mampu menciptakan stabilitas
jangka panjang melalui tata kelola yang demokratis. Dalam hal ini, supremasi
sipil menjadi prasyarat untuk membangun sistem pemerintahan yang menjamin
keseimbangan antara keamanan dan kebebasan, antara ketertiban dan partisipasi.⁶
7.4.
Supremasi Sipil dalam
Menghadapi Ancaman Hibrida
Di era modern, ancaman terhadap negara tidak lagi
datang secara eksklusif dari aktor militer asing, tetapi juga dari aktor
non-negara seperti kelompok teroris, jaringan siber, hingga disinformasi
digital. Ancaman-ancaman ini bersifat asimetris dan tidak dapat
diselesaikan hanya dengan pendekatan militeristik.⁷
Penanganan terhadap ancaman hibrida memerlukan
sinergi antara institusi militer dan sipil, di mana otoritas sipil tetap
menjadi pengarah utama kebijakan keamanan nasional. Menurut Diamond dan
Plattner, jika kebijakan keamanan dikendalikan secara eksklusif oleh logika
militer, maka respons negara cenderung represif dan tidak adaptif terhadap
kompleksitas tantangan era digital.⁸
Dengan demikian, supremasi sipil memastikan bahwa
pendekatan terhadap ancaman modern bersifat holistik, melibatkan peran aktif
masyarakat sipil, sektor pendidikan, dunia digital, dan lembaga legislatif
dalam merumuskan kebijakan yang adil, efektif, dan demokratis.
Kesimpulan
Supremasi sipil bukan hanya syarat formal
demokrasi, tetapi juga elemen substansial untuk menjamin keadilan, stabilitas,
dan kemajuan bangsa. Di era yang penuh kompleksitas seperti sekarang, supremasi
sipil harus dipelihara melalui penguatan konstitusi, pendidikan politik, serta
profesionalisme militer yang berorientasi pada perlindungan negara dan rakyat,
bukan pada kepentingan kekuasaan.
Footnotes
[1]
Richard H. Kohn, "How Democracies Control the
Military," Journal of Democracy 8, no. 4 (1997): 141–142.
[2]
Alfred Stepan, Rethinking Military Politics:
Brazil and the Southern Cone (Princeton: Princeton University Press, 1988),
15–18.
[3]
Thomas C. Bruneau and Florina Cristiana Matei, The
Routledge Handbook of Civil-Military Relations (New York: Routledge, 2013),
74.
[4]
Marcus Mietzner, “Authoritarian Elections,
Electoral Authoritarianism, and Political Militancy in Indonesia,” Indonesia
96 (2013): 12.
[5]
Zoltan Barany, The Soldier and the Changing
State: Building Democratic Armies in Africa, Asia, Europe, and the Americas
(Princeton: Princeton University Press, 2012), 143–145.
[6]
Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The
Struggle to Build Free Societies Throughout the World (New York: Times
Books, 2008), 205.
[7]
NATO, Hybrid Threats: A Strategic Communications
Perspective (Brussels: NATO Strategic Communications Centre of Excellence,
2017), 3–4.
[8]
Larry Diamond and Marc F. Plattner, eds., Democracy
in Decline? (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2015), 93.
8.
Penutup
Supremasi sipil merupakan fondasi tak tergantikan
bagi tegaknya sistem demokrasi yang sehat, stabil, dan berkeadilan. Tanpa
adanya kontrol yang jelas dari otoritas sipil terhadap institusi militer,
demokrasi akan rapuh, mudah tergelincir ke dalam bentuk-bentuk otoritarianisme,
dan rentan terhadap pelemahan prinsip-prinsip konstitusionalisme serta hak
asasi manusia.¹
Pembahasan dalam artikel ini telah menunjukkan
bahwa supremasi sipil bukan sekadar doktrin normatif, tetapi harus diwujudkan
dalam bentuk institusionalisasi yang kuat, pilar-pilar hukum yang kokoh, serta
budaya politik yang demokratis. Studi kasus dari berbagai negara
mengindikasikan bahwa supremasi sipil dapat membawa kestabilan politik yang
berkelanjutan, seperti di Amerika Serikat dan Turki pasca-reformasi, namun juga
dapat runtuh bila tidak ditopang oleh konstitusi dan institusi yang memadai,
seperti yang terjadi di Myanmar.²
Tantangan terhadap supremasi sipil di era modern
tidak datang hanya dari dominasi militer tradisional, tetapi juga dari
bentuk-bentuk baru seperti populisme militeristik, politisasi militer, lemahnya
kapasitas lembaga sipil, hingga rendahnya literasi demokrasi publik.³ Oleh
karena itu, pembangunan demokrasi tidak hanya memerlukan reformasi
institusional, tetapi juga pendidikan politik yang terus-menerus bagi warga
negara dan profesionalisme tinggi di kalangan militer.⁴
Menjaga supremasi sipil juga berarti menjaga
keseimbangan antara keamanan dan kebebasan, antara stabilitas dan partisipasi.⁵
Dalam dunia yang semakin kompleks dengan tantangan keamanan hibrida, supremasi
sipil menjamin bahwa kebijakan negara tetap dijalankan dengan prinsip
akuntabilitas, transparansi, dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara.
Sebagai penutup, supremasi sipil bukan hanya agenda
politik, tetapi juga amanat moral dan konstitusional bagi setiap bangsa yang
berkomitmen terhadap demokrasi. Negara-negara yang ingin maju secara demokratis
harus memastikan bahwa militer tetap berada dalam kerangka kontrol sipil yang
demokratis, profesional, dan tunduk pada hukum. Supremasi sipil adalah
penyangga utama agar demokrasi tidak hanya berlangsung, tetapi juga
berkelanjutan dan bermartabat.
Footnotes
[1]
Samuel P. Huntington, The Soldier and the State:
The Theory and Politics of Civil–Military Relations (Cambridge: Harvard
University Press, 1957), 80.
[2]
Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and
the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation
(Singapore: ISEAS, 2009), 117–123; International Crisis Group, Myanmar’s
Stalled Transition (Brussels: ICG Report No. 314, 2020), 3–4.
[3]
Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The
Struggle to Build Free Societies Throughout the World (New York: Times
Books, 2008), 213–215.
[4]
Thomas C. Bruneau and Florina Cristiana Matei, The
Routledge Handbook of Civil-Military Relations (New York: Routledge, 2013),
233–236.
[5]
Alfred Stepan, Rethinking Military Politics:
Brazil and the Southern Cone (Princeton: Princeton University Press, 1988),
12.
Daftar Pustaka
Aydınlı, E. (2011). Paradigmatic shift for the
Turkish generals and an end to the coup era in Turkey. Middle East Journal,
65(4), 581–596. https://doi.org/10.3751/65.4.14
Aydıntaşbaş, A. (2019). The new Turkey and its
discontents. European Council on Foreign Relations. https://ecfr.eu/publication/the_new_turkey_and_its_discontents/
Barany, Z. (2012). The soldier and the changing
state: Building democratic armies in Africa, Asia, Europe, and the Americas.
Princeton University Press.
Blackstone, W. (1765). Commentaries on the laws
of England (Vol. 1). Clarendon Press.
Bruneau, T. C., & Matei, F. C. (Eds.). (2013). The
Routledge handbook of civil-military relations. Routledge.
Bruneau, T. C., & Tollefson, S. D. (Eds.).
(2006). Who guards the guardians and how: Democratic civil-military
relations. University of Texas Press.
Carothers, T. (1996). The role of the media in
democracy. Journal of Democracy, 7(4), 80–92. https://doi.org/10.1353/jod.1996.0064
Cottey, A., Edmunds, T., & Forster, A. (2002). Democratic
control of the military in postcommunist Europe: Guarding the guards.
Palgrave Macmillan.
Crouch, H. (1978). The army and politics in
Indonesia. Cornell University Press.
Diamond, L. (1999). Developing democracy: Toward
consolidation. Johns Hopkins University Press.
Diamond, L. (2008). The spirit of democracy: The
struggle to build free societies throughout the world. Times Books.
Diamond, L., & Morlino, L. (2005). Assessing
the quality of democracy. Johns Hopkins University Press.
Diamond, L., & Plattner, M. F. (Eds.). (1996). Civil-military
relations and democracy. Johns Hopkins University Press.
Diamond, L., & Plattner, M. F. (Eds.). (2015). Democracy
in decline?. Johns Hopkins University Press.
Finer, S. E. (1962). The man on horseback: The
role of the military in politics. Pall Mall Press.
Freedom House. (2022). Freedom in the world
2022: The global expansion of authoritarian rule. https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2022/global-expansion-authoritarian-rule
Human Rights Watch. (2021). Myanmar: Military
coup unleashes wave of abuses. https://www.hrw.org/news/2021/02/01/myanmar-military-coup-unleashes-wave-abuses
Huntington, S. P. (1957). The soldier and the
state: The theory and politics of civil–military relations. Harvard
University Press.
International Crisis Group. (2019). Thailand’s
new order: Military, monarchy and bureaucracy (Report No. 105). https://www.crisisgroup.org
International Crisis Group. (2020). Myanmar’s
stalled transition (Report No. 314). https://www.crisisgroup.org
Jenkins, G. (2001). Context and circumstance:
The Turkish military and politics. Oxford University Press.
Kennedy, H. (1986). The prophet and the age of
the caliphates. Longman.
Kohn, R. H. (1997). How democracies control the
military. Journal of Democracy, 8(4), 140–153. https://doi.org/10.1353/jod.1997.0076
Kohn, R. H. (1975). Eagle and sword: The
Federalists and the creation of the military establishment in America,
1783–1802. Free Press.
Levitsky, S., & Way, L. A. (2010). Competitive
authoritarianism: Hybrid regimes after the Cold War. Cambridge University
Press.
Lewis, B. (1988). The political language of
Islam. University of Chicago Press.
Linz, J. J., & Stepan, A. (1996). Problems
of democratic transition and consolidation: Southern Europe, South America, and
post-communist Europe. Johns Hopkins University Press.
Locke, J. (1689). Two treatises of government.
Awnsham Churchill.
Mawardi, A. (1985). Al-Ahkam al-Sultaniyyah.
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Mietzner, M. (2009). Military politics, Islam,
and the state in Indonesia: From turbulent transition to democratic
consolidation. ISEAS–Yusof Ishak Institute.
Mietzner, M. (2013). Authoritarian elections,
electoral authoritarianism, and political militancy in Indonesia. Indonesia,
96, 1–24.
NATO Strategic Communications Centre of Excellence.
(2017). Hybrid threats: A strategic communications perspective. https://stratcomcoe.org
Perlmutter, A. (1977). The military and politics
in modern times: On professionals, praetorians, and revolutionary soldiers.
Yale University Press.
Pramodhawardani, J., & Sukma, R. (Eds.).
(2005). Tentara dan politik: Perjalanan supremasi sipil di Indonesia
pasca-Orde Baru. CSIS.
Stepan, A. (1988). Rethinking military politics:
Brazil and the Southern Cone. Princeton University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar