Minggu, 23 Maret 2025

Prinsip-Prinsip Berpikir Filosofis

Prinsip-Prinsip Berpikir Filosofis

Fondasi Menuju Pemikiran yang Kritis dan Mendalam


Alihkan ke: Perintah Berpikir dalam Al-Qur'anKarakteristik FilsafatCara Berpikir dan Peran Filsafat dalam Pembentukannya.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif prinsip-prinsip dasar berpikir filosofis sebagai fondasi penting dalam membentuk cara berpikir yang kritis, rasional, reflektif, dan sistematis. Dalam era modern yang sarat dengan informasi cepat dan tantangan etika yang kompleks, berpikir filosofis hadir sebagai pendekatan yang relevan untuk menavigasi realitas secara mendalam dan bertanggung jawab. Pembahasan diawali dengan pengertian dan ciri khas berpikir filosofis, diikuti dengan landasan teoritis yang mencakup keterkaitannya dengan logika dan epistemologi, serta pandangan dari berbagai mazhab filsafat. Artikel ini mengidentifikasi enam prinsip utama berpikir filosofis: kritis, koheren, rasional, sistematis, reflektif, dan universal. Selanjutnya diuraikan manfaat penerapannya dalam pendidikan, kehidupan sosial, pengambilan keputusan etis, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Artikel ini juga mengkaji berbagai tantangan yang menghambat pengembangan berpikir filosofis, seperti budaya pragmatis, minimnya pembiasaan kritis, hambatan bahasa, dogmatisme, dan ketakutan terhadap ketidakpastian. Di bagian akhir, dipaparkan strategi untuk menumbuhkan kemampuan berpikir filosofis, antara lain melalui pembiasaan bertanya, membaca teks filsafat, berdiskusi, menulis reflektif, dan menciptakan lingkungan intelektual yang terbuka. Dengan demikian, artikel ini menekankan pentingnya membangun kesadaran akan nilai berpikir filosofis dalam kehidupan individu dan masyarakat untuk menciptakan dunia yang lebih rasional, adil, dan bermakna.

Kata Kunci: Berpikir filosofis, prinsip berpikir, berpikir kritis, rasionalitas, refleksi, pendidikan filsafat, kemampuan intelektual.


PEMBAHASAN

Prinsip-Prinsip Berpikir Filosofis


1.           Pendahuluan

Dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, filsafat telah memainkan peran penting sebagai landasan dalam membentuk cara berpikir yang mendalam, kritis, dan reflektif. Berbeda dari cara berpikir sehari-hari yang seringkali bersifat praktis dan spontan, berpikir filosofis menuntut seseorang untuk mengkaji realitas secara lebih fundamental dan menyeluruh. Filsafat bertanya bukan hanya tentang apa yang terjadi, tetapi juga mengapa dan bagaimana sesuatu itu mungkin terjadi, dengan pendekatan yang rasional dan sistematis. Seperti yang diungkapkan oleh Bertrand Russell, filsafat tidak memberikan jawaban pasti seperti ilmu-ilmu eksakta, namun ia memperluas cakrawala pemikiran manusia dan membebaskan akal dari dogma yang tak diuji.¹

Berpikir filosofis bukanlah sekadar aktivitas akademik, melainkan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia yang ingin hidup secara sadar dan bertanggung jawab. Dalam konteks modern yang ditandai dengan arus informasi cepat, polarisasi sosial, dan tantangan etika yang kompleks, kemampuan untuk berpikir secara filosofis menjadi semakin penting. Individu yang mampu berpikir filosofis akan lebih siap untuk menganalisis informasi secara kritis, menyusun argumen yang logis, serta mengambil keputusan berdasarkan penalaran yang matang, bukan sekadar dorongan emosi atau tekanan sosial.²

Lebih jauh, berpikir filosofis membantu manusia untuk memahami dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya. Ia melatih seseorang untuk tidak menerima sesuatu begitu saja, tetapi mengevaluasi secara mendalam asumsi-asumsi yang tersembunyi di balik keyakinan, nilai, dan norma yang berlaku. Menurut Richard Paul dan Linda Elder, berpikir filosofis yang baik ditandai oleh upaya sadar untuk meningkatkan kualitas berpikir melalui pengendalian unsur-unsur berpikir dan penerapan standar intelektual.³ Ini menunjukkan bahwa berpikir filosofis bersifat aktif dan terarah, bukan pasif atau abstrak semata.

Oleh karena itu, memahami prinsip-prinsip dasar dalam berpikir filosofis adalah langkah awal yang penting untuk membangun fondasi pemikiran yang sehat. Prinsip-prinsip ini menjadi panduan dalam mengembangkan cara berpikir yang koheren, rasional, dan terbuka terhadap dialog. Artikel ini akan membahas secara sistematis prinsip-prinsip utama berpikir filosofis beserta urgensinya dalam kehidupan intelektual dan praktis manusia.


Footnotes

[1]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 90.

[2]                Michael Scriven and Richard Paul, “Defining Critical Thinking,” The Foundation for Critical Thinking, 2003, https://www.criticalthinking.org/pages/defining-critical-thinking/766.

[3]                Richard Paul and Linda Elder, Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life, 3rd ed. (Boston: Pearson, 2012), 4.


2.           Pengertian Berpikir Filosofis

Berpikir filosofis merupakan suatu bentuk aktivitas intelektual yang bertujuan untuk memahami realitas secara mendalam, menyeluruh, dan rasional. Ia berbeda dari bentuk berpikir biasa yang umumnya berfokus pada kebutuhan praktis sehari-hari. Dalam tradisi filsafat Barat, berpikir filosofis pertama kali ditelusuri dari para filsuf Yunani kuno seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles yang mengembangkan pendekatan reflektif terhadap kehidupan, pengetahuan, dan nilai. Bagi Plato, filsafat adalah the love of wisdom—cinta terhadap kebijaksanaan—yang mengarahkan manusia untuk mencari kebenaran yang abadi dan tidak hanya puas pada penampakan luar.¹

Berpikir filosofis ditandai oleh kemampuannya untuk mengangkat pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti: Apa hakikat kebenaran? Apa makna kehidupan? Apa yang bisa kita ketahui dengan pasti? Pertanyaan-pertanyaan ini disebut sebagai pertanyaan filosofis karena tidak dapat dijawab dengan cara biasa atau empiris, melainkan memerlukan perenungan rasional, logis, dan sistematis.² Seperti yang dijelaskan oleh Immanuel Kant, berpikir filosofis adalah aktivitas akal yang menelusuri syarat-syarat kemungkinan dari pengalaman dan pengetahuan manusia, bukan hanya menerima apa yang tampak.³

Ciri utama berpikir filosofis adalah kedalaman, keterbukaan, dan ketelitian. Richard Paul dan Linda Elder menyebut bahwa berpikir filosofis melibatkan kemampuan untuk melihat keterkaitan antara ide, mempertanyakan asumsi, dan memeriksa konsekuensi dari suatu pandangan.⁴ Ia juga bersifat reflektif, yakni melibatkan kesadaran diri atas proses berpikir itu sendiri, termasuk menilai apakah cara berpikir yang digunakan benar dan adil.⁵

Secara umum, terdapat beberapa karakteristik yang membedakan berpikir filosofis dari bentuk berpikir lainnya:

1)                  Mendalam (Deep Thinking): Tidak hanya melihat permukaan, tetapi menelusuri akar dari suatu persoalan.

2)                  Kritis: Tidak menerima begitu saja suatu pendapat, tetapi mempertanyakan, menguji, dan menimbang-nimbang secara logis.

3)                  Sistematis: Menggunakan urutan pemikiran yang teratur dan konsisten dalam membangun argumen.

4)                  Universal: Menyangkut persoalan yang tidak hanya bersifat personal atau lokal, tetapi menyentuh dimensi kemanusiaan yang luas.

5)                  Reflektif: Sadar terhadap landasan berpikir dan keterbatasan diri sendiri dalam menilai sesuatu.

Perbedaan mencolok antara berpikir filosofis dan berpikir biasa dapat terlihat dalam pendekatan terhadap masalah. Berpikir biasa cenderung reaktif dan pragmatis, lebih fokus pada solusi jangka pendek. Sebaliknya, berpikir filosofis bersifat kontemplatif, menelusuri nilai dan makna yang lebih dalam dari setiap keputusan atau keyakinan.⁶ Oleh karena itu, berpikir filosofis tidak hanya berguna dalam bidang akademik, tetapi juga dalam kehidupan pribadi dan sosial sebagai sarana untuk menjadi manusia yang berpikir, bertanggung jawab, dan bijaksana.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised by C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 473c–e.

[2]                Nigel Warburton, Philosophy: The Basics, 5th ed. (London: Routledge, 2012), 3.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 115.

[4]                Richard Paul and Linda Elder, Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life, 3rd ed. (Boston: Pearson, 2012), 9.

[5]                Matthew Lipman, Thinking in Education, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 26.

[6]                Henry D. Aiken, Reason and Conduct: An Introduction to Philosophy (New York: Alfred A. Knopf, 1962), 5.


3.           Landasan Teoritis Berpikir Filosofis

Untuk memahami berpikir filosofis secara mendalam, penting untuk mengkaji landasan teoritis yang melatarbelakangi cara kerja dan struktur pemikiran filosofis. Landasan ini meliputi hubungan erat antara filsafat dengan logika dan epistemologi, serta kontribusi berbagai aliran filsafat dalam merumuskan cara berpikir yang rasional, sistematis, dan reflektif.

3.1.       Hubungan antara Filsafat, Logika, dan Epistemologi

Berpikir filosofis tidak terlepas dari tiga bidang kajian utama dalam filsafat, yaitu filsafat itu sendiri, logika, dan epistemologi. Filsafat berperan sebagai wadah pemikiran kritis dan kontemplatif, logika menyediakan struktur formal untuk berpikir yang benar, sedangkan epistemologi memberikan landasan mengenai bagaimana pengetahuan diperoleh, divalidasi, dan dibatasi

Logika, sebagai alat bantu utama dalam berpikir filosofis, memungkinkan seseorang menyusun argumen secara sahih dan menghindari kesalahan berpikir (fallacies). Aristoteles dalam karyanya Organon menjelaskan pentingnya silogisme sebagai bentuk deduksi yang sahih dalam penalaran filosofis.² Dengan menggunakan logika, filsuf dapat menilai validitas argumen dan menjamin bahwa kesimpulan yang dihasilkan mengikuti premis yang ditetapkan.

Sementara itu, epistemologi menjawab pertanyaan mendasar: Apa yang dapat kita ketahui? dan Bagaimana kita mengetahui sesuatu? Ini membantu membedakan antara opini (doxa) dan pengetahuan yang sahih (episteme), sebagaimana dibahas oleh Plato dalam dialog-dialognya.³ Dengan kata lain, epistemologi menjadi kompas dalam berpikir filosofis untuk tetap berpijak pada dasar rasional, bukan sekadar kepercayaan atau tradisi.

3.2.       Peran Rasionalitas dan Argumentasi

Berpikir filosofis bertumpu pada rasionalitas, yaitu kemampuan akal untuk menilai, membedakan, dan menyusun ide secara logis. Rasionalitas bukan sekadar kecerdasan, melainkan kemampuan untuk mengikuti aturan berpikir yang konsisten dan terbuka terhadap koreksi.⁴ Sebagaimana ditegaskan oleh René Descartes dalam metode keraguannya (methodical doubt), setiap pengetahuan harus diuji melalui keraguan sistematis agar ditemukan kebenaran yang kokoh.⁵

Rasionalitas ini mewujud dalam bentuk argumentasi, yaitu upaya menyatakan dan membela suatu posisi dengan bukti serta alasan yang logis. Filsuf kontemporer Stephen Toulmin mengembangkan struktur argumentasi praktis yang tidak hanya formal tetapi juga kontekstual, mencakup unsur data, klaim, justifikasi, dan sanggahan.⁶ Model ini menunjukkan bahwa berpikir filosofis harus fleksibel tetapi tetap tunduk pada standar penalaran yang dapat diuji.

3.3.       Pandangan Filsuf tentang Struktur Berpikir Filosofis

Sepanjang sejarah filsafat, para pemikir telah mengembangkan pendekatan dan metode berbeda dalam memahami dan membentuk struktur berpikir filosofis:

·                     Metode Sokrates (Socratic Method)

Bertumpu pada dialog dan pertanyaan mendalam untuk menggali kebenaran melalui klarifikasi konsep dan pengujian keyakinan. Metode ini mengembangkan refleksi kritis dan kesadaran epistemik.⁷

·                     Rasionalisme (Descartes, Spinoza)

Menekankan pada akal sebagai sumber utama pengetahuan. Penalaran deduktif menjadi dasar utama dalam menyusun pengetahuan filosofis.⁸

·                     Empirisme (Locke, Hume)

Menyatakan bahwa pengetahuan bersumber dari pengalaman inderawi, dan berpikir filosofis harus bertumpu pada pengamatan serta pembuktian.⁹

·                     Fenomenologi (Husserl, Heidegger)

Menyuguhkan pendekatan kesadaran akan pengalaman langsung. Berpikir filosofis tidak lepas dari makna yang muncul dalam fenomena subjektif yang disadari secara reflektif.¹⁰

Setiap pendekatan tersebut memberi kontribusi penting dalam membentuk landasan teoritis berpikir filosofis: bahwa berpikir bukan sekadar mengikuti arus ide, tetapi menuntut kejelasan konsep, ketepatan logika, serta keterbukaan terhadap makna yang lebih dalam.


Footnotes

[1]                Nicholas Bunnin and Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2004), 225–230.

[2]                Aristotle, Prior Analytics, trans. Robin Smith (Indianapolis: Hackett Publishing, 1989), I.1.

[3]                Plato, Theaetetus, trans. M. J. Levett, revised by Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201c–210a.

[4]                Richard Paul and Linda Elder, Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life, 3rd ed. (Boston: Pearson, 2012), 17–18.

[5]                René Descartes, Discourse on Method and Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 17–22.

[6]                Stephen Toulmin, The Uses of Argument (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 87–93.

[7]                Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 1–20.

[8]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), Introduction.

[9]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), Book II.

[10]             Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), §27–§34.


4.           Prinsip-Prinsip Dasar Berpikir Filosofis

Berpikir filosofis bukan hanya tentang memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak, tetapi juga tentang bagaimana seseorang membangun cara berpikir yang kritis, logis, dan reflektif. Dalam proses ini, terdapat prinsip-prinsip dasar yang menjadi fondasi dalam menjalankan aktivitas berpikir secara filosofis. Prinsip-prinsip ini tidak hanya membantu dalam menyusun argumen yang kuat, tetapi juga menjaga kejujuran intelektual dan keterbukaan terhadap kemungkinan koreksi.

4.1.       Prinsip Kritis

Prinsip kritis menekankan pada kemampuan untuk mengevaluasi ide, argumen, atau keyakinan secara objektif dan tidak menerima sesuatu begitu saja tanpa alasan yang memadai. Berpikir kritis dalam konteks filsafat menuntut penggunaan standar penilaian intelektual seperti kejelasan, akurasi, relevansi, dan logika.¹ Seperti ditegaskan oleh Richard Paul dan Linda Elder, berpikir kritis adalah "berpikir yang secara aktif dan terampil memadukan informasi yang dikumpulkan dari observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi."_²

Dalam berpikir filosofis, prinsip kritis ini melibatkan kemampuan untuk mendeteksi asumsi tersembunyi, menilai validitas argumen, serta mempertimbangkan sudut pandang alternatif dengan jujur. Sokrates merupakan contoh klasik dari penerapan prinsip ini melalui metode elenktiknya yang mempertanyakan secara mendalam pemahaman orang lain.³

4.2.       Prinsip Koherensi

Prinsip koherensi berkaitan dengan keselarasan internal suatu sistem pemikiran atau argumen. Suatu pemikiran dikatakan koheren apabila tidak mengandung kontradiksi dan setiap bagian dari argumen saling mendukung secara logis.⁴ Prinsip ini penting dalam filsafat karena ia menjadi tolok ukur apakah suatu pandangan dunia (worldview) dapat dipertahankan secara rasional.

Immanuel Kant menekankan pentingnya koherensi dalam struktur berpikir, khususnya dalam kaitannya dengan prinsip non-kontradiksi: “Sesuatu tidak dapat sekaligus benar dan tidak benar dalam pengertian yang sama.”_⁵ Oleh karena itu, berpikir filosofis selalu berupaya menghindari kontradiksi dan menjaga konsistensi argumen.

4.3.       Prinsip Rasionalitas

Prinsip rasionalitas menyatakan bahwa setiap pemikiran dan argumen harus dilandasi oleh penalaran yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam filsafat, rasionalitas menjadi kriteria utama bagi diterimanya suatu pandangan. Filosof rasionalis seperti René Descartes mengembangkan metode deduktif yang sistematis untuk mencapai pengetahuan yang pasti, dimulai dari premis-premis yang jelas dan tak terbantahkan.⁶

Prinsip ini juga menuntut bahwa setiap keyakinan harus memiliki alasan yang memadai, bukan semata berdasarkan tradisi, otoritas, atau intuisi pribadi. Rasionalitas memberi ruang untuk koreksi dan dialog, serta membuka kemungkinan pengembangan pemikiran secara berkelanjutan.

4.4.       Prinsip Sistematis

Prinsip sistematis menekankan pentingnya susunan berpikir yang runtut dan terorganisir, di mana setiap argumen dibangun atas dasar yang jelas dan mengikuti urutan logis.⁷ Filsafat bukan sekadar kumpulan gagasan lepas, melainkan struktur pemikiran yang saling terkait satu sama lain. Aristoteles dalam karya Metaphysics mencontohkan bagaimana pencarian prinsip pertama (first principles) harus dilakukan dengan metode yang sistematik.⁸

Pemikiran yang sistematis membantu seseorang menghindari kekacauan berpikir, menjaga arah argumen, dan memudahkan komunikasi ide kepada orang lain secara jelas dan dapat diuji ulang.

4.5.       Prinsip Refleksif

Prinsip ini mengacu pada kemampuan untuk menilai kembali proses berpikir sendiri, menyadari keterbatasan dan bias yang mungkin memengaruhi penilaian.⁹ Seorang pemikir filosofis tidak hanya bertanya, tetapi juga mempertanyakan kembali dirinya: Mengapa saya percaya hal ini? Apakah saya memiliki alasan yang cukup? Bagaimana jika saya salah?

Reflektivitas adalah kunci dalam pendekatan filsafat modern, terutama dalam tradisi fenomenologi dan eksistensialisme. Edmund Husserl, misalnya, mendorong sikap epoché (penangguhan penilaian) agar seseorang dapat mengamati kembali asumsi-asumsi dasar yang tidak disadari.¹⁰

4.6.       Prinsip Universalitas

Prinsip universalitas dalam berpikir filosofis menuntut bahwa suatu argumen atau prinsip yang benar tidak hanya berlaku untuk kasus pribadi atau lokal, tetapi memiliki cakupan umum.¹¹ Dalam etika, misalnya, prinsip ini diwujudkan dalam bentuk "kaidah emas" atau imperatif kategoris Kant: “Bertindaklah hanya menurut asas yang darinya engkau dapat sekaligus menghendaki bahwa ia menjadi hukum universal.”_¹²

Dengan prinsip ini, berpikir filosofis melampaui subjektivitas dan memperhatikan dampak serta penerimaan suatu argumen dalam cakupan kemanusiaan yang luas.


Footnotes

[1]                Matthew Lipman, Thinking in Education, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 25–26.

[2]                Richard Paul and Linda Elder, Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life, 3rd ed. (Boston: Pearson, 2012), 6.

[3]                Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 3–5.

[4]                Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth (Oxford: Clarendon Press, 1973), 13–14.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A151/B190.

[6]                René Descartes, Discourse on Method and Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 17–22.

[7]                John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (New York: Henry Holt and Company, 1938), 14–15.

[8]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Book I.

[9]                Richard Paul, Critical Thinking: What Every Person Needs to Survive in a Rapidly Changing World (Santa Rosa: Foundation for Critical Thinking, 1993), 41.

[10]             Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), §30.

[11]             Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W. W. Norton & Company, 2006), 57–59.

[12]             Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 421.


5.           Manfaat Penerapan Prinsip-Prinsip Berpikir Filosofis

Penerapan prinsip-prinsip berpikir filosofis tidak hanya memberikan manfaat di ranah teori atau akademik, tetapi juga berpengaruh signifikan dalam berbagai aspek kehidupan praktis. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip seperti berpikir kritis, rasional, reflektif, sistematis, dan koheren, seseorang akan lebih siap menghadapi kompleksitas realitas, membuat keputusan yang matang, serta mengembangkan sikap intelektual yang dewasa dan bertanggung jawab.

5.1.       Dalam Dunia Pendidikan dan Pembelajaran

Dalam konteks pendidikan, berpikir filosofis sangat penting dalam menumbuhkan budaya intelektual yang sehat. Siswa dan mahasiswa yang dibiasakan berpikir filosofis akan memiliki kemampuan untuk bertanya secara mendalam, menganalisis konsep, serta menyusun argumen secara rasional dan sistematis.¹ Pendidikan yang hanya menekankan hafalan dan informasi tanpa melatih berpikir kritis akan menghasilkan individu yang pasif dan mudah menerima dogma tanpa pertimbangan.²

Matthew Lipman, penggagas gerakan Philosophy for Children (P4C), menekankan bahwa berpikir filosofis mendorong anak-anak dan remaja untuk mengembangkan pemikiran reflektif dan tanggung jawab moral sejak dini.³ Hal ini akan membekali mereka untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat (lifelong learners) yang tidak hanya menguasai pengetahuan, tetapi juga memahami dan mengevaluasinya secara kritis.

5.2.       Dalam Pengambilan Keputusan Etis dan Moral

Berpikir filosofis memberikan kerangka untuk menimbang berbagai pilihan moral secara rasional dan bertanggung jawab. Dengan prinsip universalitas dan reflektivitas, seseorang dapat mengevaluasi apakah suatu tindakan memiliki dasar moral yang dapat dibenarkan secara umum dan apakah ia bersedia jika tindakan itu menjadi norma bagi semua orang (seperti dalam imperatif kategoris Kant).⁴

Dalam dunia yang semakin kompleks, di mana manusia dihadapkan pada dilema-dilema etis—baik dalam bidang kesehatan, teknologi, hukum, maupun politik—berpikir filosofis memberikan alat untuk berpikir jernih, menghindari relativisme moral, dan tetap terbuka terhadap dialog lintas perspektif.⁵

5.3.       Dalam Kehidupan Sosial dan Politik

Penerapan prinsip-prinsip berpikir filosofis juga bermanfaat dalam kehidupan sosial dan politik. Masyarakat yang dibentuk oleh individu-individu yang mampu berpikir kritis dan rasional akan lebih mampu membangun diskusi publik yang sehat, menghindari polarisasi, serta menolak manipulasi informasi.⁶

Filsuf politik seperti John Rawls menunjukkan bahwa keadilan sosial dapat dicapai jika warga negara menggunakan prinsip-prinsip rasional dalam menilai struktur dasar masyarakat, bukan sekadar berdasarkan kepentingan pribadi atau kelompok.⁷ Di tengah era disinformasi dan populisme, berpikir filosofis menjadi senjata utama untuk mempertahankan nilai-nilai demokrasi, kebebasan berpikir, dan toleransi.

5.4.       Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan modern tidak bisa dipisahkan dari filsafat. Ilmuwan yang memiliki kemampuan berpikir filosofis akan lebih mampu memahami kerangka epistemologis dari ilmu yang dipelajarinya, mempertanyakan asumsi dasar metodologinya, serta lebih kritis terhadap implikasi sosial dari hasil penelitiannya.⁸

Karl Popper, dalam teori falsifikasinya, menunjukkan bahwa kemajuan ilmu tidak datang dari pembuktian mutlak, melainkan dari kemampuan mengkritisi dan menguji ulang teori yang ada.⁹ Artinya, berpikir filosofis memberi landasan agar sains tetap dinamis dan terbuka terhadap koreksi, bukan menjadi dogma baru yang tidak boleh disentuh.


Kesimpulan Antara

Dari keempat bidang tersebut dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip berpikir filosofis berperan penting dalam membentuk manusia yang berpikir secara matang, berkeadaban, dan bertanggung jawab terhadap realitas. Kemampuan untuk berpikir secara kritis dan reflektif menjadi modal dasar dalam membangun kehidupan yang lebih adil, rasional, dan bermakna.


Footnotes

[1]                Matthew Lipman, Thinking in Education, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 27.

[2]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 72.

[3]                Maughn Gregory, “Philosophy for Children and Its Critics: A Mendham Dialogue,” Journal of Philosophy of Education 45, no. 2 (2011): 199–219.

[4]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 421.

[5]                Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 7th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 2–4.

[6]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 85–87.

[7]                John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 17–19.

[8]                Robert Nola and Howard Sankey, Theories of Scientific Method: An Introduction (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2007), 45–46.

[9]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. from German (London: Routledge, 2002), 40–41.


6.           Tantangan dan Hambatan dalam Berpikir Filosofis

Meskipun berpikir filosofis memberikan banyak manfaat dalam kehidupan pribadi maupun sosial, penerapan prinsip-prinsipnya tidaklah mudah. Terdapat berbagai tantangan dan hambatan yang kerap dihadapi dalam mengembangkan kemampuan berpikir filosofis, baik yang bersifat internal (dalam diri individu) maupun eksternal (dalam lingkungan sosial dan budaya). Hambatan-hambatan ini perlu diidentifikasi dan dipahami agar proses berpikir filosofis dapat ditumbuhkan secara efektif dan berkelanjutan.

6.1.       Dominasi Pola Pikir Pragmatis dan Instant Thinking

Di era modern, khususnya dalam budaya digital dan teknologi cepat guna, berpikir pragmatis dan instan lebih diutamakan ketimbang berpikir reflektif dan mendalam. Pola pikir pragmatis menekankan kecepatan dan hasil akhir, bukan proses pencarian makna atau nilai-nilai kebenaran yang mendasar.¹ Hal ini menjadikan berpikir filosofis dianggap sebagai aktivitas yang “tidak praktis” atau “terlalu abstrak”, padahal justru filsafat membantu manusia menghadapi kompleksitas hidup secara lebih utuh.

Neil Postman menyebut bahwa masyarakat modern seringkali mengalami information glut—banjir informasi tanpa makna—yang mengakibatkan penurunan kapasitas berpikir kritis karena individu terlalu sibuk menerima, bukan merefleksikan.² Akibatnya, prinsip-prinsip berpikir filosofis seperti kedalaman dan reflektivitas cenderung diabaikan.

6.2.       Kurangnya Pembiasaan Berpikir Kritis dalam Pendidikan

Salah satu penyebab utama sulitnya berpikir filosofis adalah minimnya pelatihan berpikir kritis dalam sistem pendidikan. Banyak lembaga pendidikan yang masih menekankan hafalan dan ketundukan pada otoritas, daripada melatih siswa untuk bertanya, meragukan, dan menyusun argumen.³

Matthew Lipman, pelopor Philosophy for Children, menegaskan bahwa kemampuan berpikir filosofis tidak muncul secara otomatis, tetapi perlu dilatih sejak dini dalam lingkungan yang menghargai dialog, keterbukaan, dan ketelitian berpikir.⁴ Kurikulum yang tidak memberi ruang pada diskusi reflektif menjadikan siswa tidak terbiasa mengeksplorasi ide secara mendalam.

6.3.       Hambatan Bahasa dan Abstraksi Konseptual

Bahasa filsafat seringkali menggunakan istilah-istilah yang abstrak dan kompleks, sehingga menimbulkan kesulitan pemahaman, terutama bagi pemula.⁵ Konsep-konsep seperti “eksistensi”, “epistemologi”, “ontologi”, atau “imperatif kategoris” memerlukan kedalaman bahasa dan pemahaman teoritis yang tidak bisa langsung dikuasai.

Dalam konteks ini, peran bahasa menjadi ganda: di satu sisi menjadi alat berpikir, di sisi lain dapat menjadi penghalang bila tidak diikuti dengan pembiasaan dan penjelasan yang memadai. Ludwig Wittgenstein menyatakan bahwa banyak masalah filsafat muncul karena penyalahgunaan atau ketidakjelasan bahasa dalam berpikir.⁶ Maka, tantangan berpikir filosofis juga mencakup tantangan dalam menguasai bahasa konseptual secara tepat dan jernih.

6.4.       Sikap Dogmatis dan Fanatisme Ideologis

Berpikir filosofis mensyaratkan keterbukaan terhadap pertanyaan dan kemungkinan revisi keyakinan, namun hal ini bertentangan dengan sikap dogmatis yang menolak kritik atau dialog. Sikap fanatisme terhadap suatu pandangan tertentu, baik dalam bidang agama, politik, maupun budaya, seringkali menutup pintu terhadap refleksi rasional dan pertimbangan alternatif.⁷

Karl Popper dalam The Open Society and Its Enemies menekankan pentingnya masyarakat terbuka, yaitu masyarakat yang bersedia menguji dan mengoreksi ide-ide melalui argumen dan bukti, bukan melalui kekuasaan atau pemaksaan.⁸ Dalam masyarakat tertutup, berpikir filosofis sering dianggap ancaman, bukan sebagai upaya untuk mencari kebenaran.

6.5.       Ketakutan terhadap Ketidakpastian dan Keraguan

Berpikir filosofis sering kali membawa seseorang pada pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah dijawab, bahkan menimbulkan keraguan terhadap keyakinan yang telah lama dipegang. Bagi sebagian orang, kondisi ini menimbulkan ketidaknyamanan. Padahal, keraguan adalah titik awal dari pencarian pengetahuan yang lebih valid, sebagaimana ditegaskan oleh René Descartes dalam metode keraguannya (methodical doubt).⁹

Namun dalam praktiknya, banyak orang justru memilih kenyamanan keyakinan yang tidak dipertanyakan ketimbang menjalani proses berpikir yang mungkin mengguncang. Ini menjadi salah satu tantangan mendasar bagi berpikir filosofis yang menuntut keberanian intelektual.


Kesimpulan Antara

Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa berpikir filosofis bukanlah kemampuan yang bersifat alamiah semata, melainkan keterampilan yang perlu dilatih, difasilitasi, dan dikondisikan dalam lingkungan yang mendukung. Mengatasi hambatan-hambatan tersebut adalah langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang berpikir secara dewasa, bertanggung jawab, dan terbuka terhadap kebenaran.


Footnotes

[1]                Zygmunt Bauman, Thinking Sociologically, 2nd ed. (Malden: Blackwell Publishing, 2001), 102–103.

[2]                Neil Postman, Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the Age of Show Business (New York: Penguin Books, 2006), 69.

[3]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 73–74.

[4]                Matthew Lipman, Thinking in Education, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 29–30.

[5]                Anthony C. Grayling, Philosophy 1: A Guide through the Subject (Oxford: Oxford University Press, 1998), 15–17.

[6]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §38–§43.

[7]                Alasdair MacIntyre, Whose Justice? Which Rationality? (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1988), 6.

[8]                Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 1 (Princeton: Princeton University Press, 1966), 113–114.

[9]                René Descartes, Discourse on Method and Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 18–19.


7.           Strategi Menumbuhkan Kemampuan Berpikir Filosofis

Kemampuan berpikir filosofis bukanlah bakat bawaan yang dimiliki secara alamiah, melainkan keterampilan intelektual yang dapat dikembangkan melalui latihan, pembiasaan, dan lingkungan yang kondusif. Mengingat berbagai tantangan yang menghambat praktik berpikir filosofis, diperlukan strategi strategis dan sistematis untuk menumbuhkan cara berpikir yang reflektif, kritis, rasional, dan terbuka terhadap kebenaran.

7.1.       Melatih Diri dengan Pertanyaan-Pertanyaan Filosofis

Salah satu ciri utama berpikir filosofis adalah kemampuannya untuk mengajukan pertanyaan mendalam tentang hakikat, nilai, dan makna dari sesuatu. Oleh karena itu, strategi awal yang dapat diterapkan adalah membiasakan diri dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis seperti: Apa itu kebenaran? Apakah kebebasan itu mutlak? Apa makna keadilan dalam konteks sosial?

Menurut Matthew Lipman, proses filsafat dimulai dari keheranan dan pertanyaan yang mengganggu kemapanan berpikir.¹ Dengan membiasakan diri mempertanyakan hal-hal yang dianggap biasa, seseorang akan terdorong untuk mengevaluasi kembali pemahamannya secara lebih kritis dan mendalam.

7.2.       Membaca Karya-Karya Filsafat Klasik dan Modern

Sumber daya intelektual yang sangat penting dalam menumbuhkan cara berpikir filosofis adalah membaca karya-karya filsafat, baik klasik maupun kontemporer.² Melalui pembacaan ini, seseorang dapat berkenalan dengan tokoh-tokoh filsafat besar seperti Plato, Aristoteles, Descartes, Kant, hingga Sartre dan Nussbaum, serta memahami bagaimana mereka memecahkan persoalan melalui pemikiran logis dan sistematis.

Anthony C. Grayling menegaskan bahwa pembelajaran filsafat tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan aktif dengan teks-teks besar, karena melalui pembacaan itu, pembelajar memperoleh wawasan tentang cara berpikir, teknik argumen, serta struktur logika filosofis.³ Oleh karena itu, pembacaan aktif dan kritis menjadi salah satu strategi paling efektif dalam melatih pemikiran filosofis.

7.3.       Terlibat dalam Diskusi dan Dialog Terbuka

Diskusi adalah medan latihan penting bagi kemampuan berpikir filosofis.⁴ Melalui dialog terbuka, seseorang diuji kemampuannya dalam menyampaikan gagasan secara logis, menanggapi argumen orang lain secara jujur, serta mempertahankan pendapat dengan alasan yang sahih.

Tradisi filsafat Yunani kuno telah menempatkan dialog (dialektika) sebagai metode utama dalam pencarian kebenaran. Sokrates tidak mengajar dengan ceramah, melainkan dengan bertanya dan berdialog.⁵ Dalam konteks pendidikan modern, kegiatan semacam debat ilmiah, seminar, dan diskusi kelompok dapat menjadi wadah untuk menumbuhkan nalar filosofis dan memperkuat keberanian berpikir kritis.

7.4.       Menulis Refleksi dan Analisis Pemikiran

Menulis adalah bentuk konkret dari berpikir. Dalam konteks filsafat, menulis tidak hanya sekadar menyampaikan informasi, tetapi merupakan latihan menyusun pemikiran secara logis dan sistematis.⁶ Dengan menulis esai, jurnal reflektif, atau analisis konsep, seseorang akan terlatih untuk mengorganisasi ide, membangun argumen, dan mengembangkan sudut pandang yang rasional.

John Dewey berpendapat bahwa menulis mendorong seseorang untuk menyaring gagasan secara lebih hati-hati dan runtut, sehingga dapat memperkuat pemahaman dan memperdalam sikap reflektif.⁷ Latihan menulis juga mendorong evaluasi diri terhadap cara berpikir dan kemungkinan bias yang muncul.

7.5.       Menciptakan Lingkungan yang Mendukung Kebebasan Berpikir

Lingkungan sosial, budaya, dan pendidikan sangat menentukan apakah seseorang dapat tumbuh sebagai pemikir filosofis.⁸ Budaya otoritarianisme atau fanatisme dapat menjadi penghambat serius. Oleh karena itu, perlu dibangun suasana belajar yang inklusif, terbuka, dan menghargai perbedaan pendapat, sehingga setiap individu merasa aman untuk menyampaikan dan mengembangkan gagasan secara bebas.

Karl Popper menekankan bahwa masyarakat terbuka adalah prasyarat utama bagi berkembangnya filsafat, karena hanya dalam lingkungan seperti itu ide-ide dapat diuji dan disaring melalui rasionalitas, bukan ditekan oleh kekuasaan.⁹ Maka dari itu, pendidikan dan masyarakat harus menyediakan ruang-ruang dialog yang sehat sebagai fondasi tumbuhnya pemikiran filosofis.


Kesimpulan Antara

Strategi menumbuhkan kemampuan berpikir filosofis menuntut kombinasi antara latihan individual dan dukungan struktural. Dengan mengintegrasikan pembiasaan bertanya, membaca filsafat, berdiskusi, menulis, dan menciptakan lingkungan intelektual yang terbuka, individu akan berkembang menjadi pemikir yang rasional, reflektif, dan bertanggung jawab secara moral.


Footnotes

[1]                Matthew Lipman, Thinking in Education, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 26.

[2]                Nigel Warburton, Philosophy: The Basics, 5th ed. (London: Routledge, 2012), 4–6.

[3]                Anthony C. Grayling, Philosophy 1: A Guide through the Subject (Oxford: Oxford University Press, 1998), 8–9.

[4]                Richard Paul and Linda Elder, Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life, 3rd ed. (Boston: Pearson, 2012), 15.

[5]                Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 6.

[6]                Hugo Bedau, Thinking and Writing about Philosophy (Boston: Bedford/St. Martin’s, 2001), xii–xv.

[7]                John Dewey, How We Think, rev. ed. (Lexington: D. C. Heath, 1933), 51.

[8]                Paulo Freire, Education for Critical Consciousness, trans. Myra Bergman Ramos (London: Bloomsbury, 2021), 42–44.

[9]                Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 1 (Princeton: Princeton University Press, 1966), 120.


8.           Penutup

Berpikir filosofis bukan sekadar aktivitas intelektual yang bersifat teoretis, melainkan sebuah keterampilan hidup yang mendalam, sistematis, dan menyeluruh. Prinsip-prinsip dasar dalam berpikir filosofis—seperti kritis, koheren, rasional, reflektif, sistematis, dan universal—membentuk fondasi penting bagi manusia dalam mengembangkan pemahaman yang benar terhadap dirinya, masyarakat, dan dunia.¹

Dalam konteks kehidupan modern yang ditandai oleh arus informasi yang deras, polarisasi sosial, dan kecenderungan pragmatisme, berpikir filosofis menjadi semakin urgen untuk membantu manusia tetap jernih dalam menimbang informasi, bijak dalam mengambil keputusan, dan adil dalam menyikapi perbedaan.² Seperti ditegaskan oleh Martha C. Nussbaum, filsafat membantu kita “melatih pikiran untuk menjadi warga dunia yang penuh empati, reflektif, dan mampu memahami perspektif orang lain.”³

Artikel ini telah menguraikan secara sistematis mengenai pengertian, landasan teoritis, prinsip-prinsip, manfaat, tantangan, serta strategi untuk menumbuhkan kemampuan berpikir filosofis. Setiap pembahasan menunjukkan bahwa berpikir filosofis bukanlah keterampilan elitis yang hanya dimiliki para filsuf, melainkan kompetensi dasar yang seharusnya dimiliki setiap individu yang ingin hidup secara sadar dan bertanggung jawab.⁴

Namun, penerapan prinsip-prinsip berpikir filosofis tidak dapat terjadi secara instan. Ia memerlukan komitmen pribadi untuk terus bertanya, membaca, berdialog, menulis, serta keberanian untuk meragukan dan memperbaiki keyakinan lama. Dalam hal ini, peran lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat menjadi krusial untuk membangun kultur berpikir yang terbuka dan reflektif.

Sebagaimana disampaikan oleh Bertrand Russell, “Filsafat, meskipun tidak memberikan jawaban pasti, tetap memiliki nilai dalam kemampuannya memperluas cakrawala kita dan membebaskan akal dari tirani kebiasaan.”_⁵ Dengan demikian, memahami dan menerapkan prinsip-prinsip berpikir filosofis merupakan langkah penting untuk menciptakan pribadi yang matang secara intelektual dan moral, serta masyarakat yang rasional, adil, dan toleran.


Footnotes

[1]                Richard Paul and Linda Elder, Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life, 3rd ed. (Boston: Pearson, 2012), 6–7.

[2]                Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 119.

[3]                Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 8.

[4]                Nigel Warburton, Philosophy: The Basics, 5th ed. (London: Routledge, 2012), 10.

[5]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 90.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1989). Prior analytics (R. Smith, Trans.). Hackett Publishing Company. (Original work published ca. 350 BCE)

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press. (Original work published ca. 350 BCE)

Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism: Ethics in a world of strangers. W. W. Norton & Company.

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity Press.

Bauman, Z. (2001). Thinking sociologically (2nd ed.). Blackwell Publishing.

Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2013). Principles of biomedical ethics (7th ed.). Oxford University Press.

Bedau, H. (2001). Thinking and writing about philosophy. Bedford/St. Martin’s.

Dewey, J. (1933). How we think (Rev. ed.). D. C. Heath.

Dewey, J. (1938). Logic: The theory of inquiry. Henry Holt and Company.

Descartes, R. (1998). Discourse on method and meditations on first philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing Company. (Original work published 1637/1641)

Freire, P. (2005). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Original work published 1970)

Freire, P. (2021). Education for critical consciousness (M. B. Ramos, Trans.). Bloomsbury. (Original work published 1974)

Grayling, A. C. (1998). Philosophy 1: A guide through the subject. Oxford University Press.

Gregory, M. (2011). Philosophy for children and its critics: A Mendham dialogue. Journal of Philosophy of Education, 45(2), 199–219. https://doi.org/10.1111/j.1467-9752.2011.00794.x

Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff. (Original work published 1913)

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781/1787)

Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1785)

Lipman, M. (2003). Thinking in education (2nd ed.). Cambridge University Press.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1689)

MacIntyre, A. (1988). Whose justice? Which rationality? University of Notre Dame Press.

Nola, R., & Sankey, H. (2007). Theories of scientific method: An introduction. McGill-Queen’s University Press.

Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A classical defense of reform in liberal education. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube, Trans., & C. D. C. Reeve, Rev. ed.). Hackett Publishing Company. (Original work published ca. 375 BCE)

Plato. (1992). Theaetetus (M. J. Levett, Trans., & M. Burnyeat, Rev.). Hackett Publishing Company. (Original work published ca. 369 BCE)

Paul, R. (1993). Critical thinking: What every person needs to survive in a rapidly changing world. Foundation for Critical Thinking.

Paul, R., & Elder, L. (2012). Critical thinking: Tools for taking charge of your learning and your life (3rd ed.). Pearson.

Popper, K. R. (2002). The logic of scientific discovery. Routledge. (Original work published 1934)

Popper, K. R. (1966). The open society and its enemies (Vol. 1). Princeton University Press.

Postman, N. (2006). Amusing ourselves to death: Public discourse in the age of show business. Penguin Books.

Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.

Rescher, N. (1973). The coherence theory of truth. Clarendon Press.

Russell, B. (1998). The problems of philosophy. Oxford University Press. (Original work published 1912)

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). Penguin Classics. (Original work published 1677)

Toulmin, S. (2003). The uses of argument. Cambridge University Press. (Original work published 1958)

Vlastos, G. (1994). Socratic studies. Cambridge University Press.

Warburton, N. (2012). Philosophy: The basics (5th ed.). Routledge.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar