Prinsip-Prinsip Berpikir Filosofis
Fondasi Menuju Pemikiran yang Kritis dan Mendalam
Alihkan ke: Perintah Berpikir dalam Al-Qur'an, Karakteristik Filsafat. Cara
Berpikir dan Peran Filsafat dalam Pembentukannya.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
prinsip-prinsip dasar berpikir filosofis sebagai fondasi penting dalam
membentuk cara berpikir yang kritis, rasional, reflektif, dan sistematis. Dalam
era modern yang sarat dengan informasi cepat dan tantangan etika yang kompleks,
berpikir filosofis hadir sebagai pendekatan yang relevan untuk menavigasi
realitas secara mendalam dan bertanggung jawab. Pembahasan diawali dengan
pengertian dan ciri khas berpikir filosofis, diikuti dengan landasan teoritis
yang mencakup keterkaitannya dengan logika dan epistemologi, serta pandangan
dari berbagai mazhab filsafat. Artikel ini mengidentifikasi enam prinsip utama
berpikir filosofis: kritis, koheren, rasional, sistematis, reflektif, dan
universal. Selanjutnya diuraikan manfaat penerapannya dalam pendidikan,
kehidupan sosial, pengambilan keputusan etis, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Artikel ini juga mengkaji berbagai tantangan yang menghambat
pengembangan berpikir filosofis, seperti budaya pragmatis, minimnya pembiasaan
kritis, hambatan bahasa, dogmatisme, dan ketakutan terhadap ketidakpastian. Di
bagian akhir, dipaparkan strategi untuk menumbuhkan kemampuan berpikir
filosofis, antara lain melalui pembiasaan bertanya, membaca teks filsafat,
berdiskusi, menulis reflektif, dan menciptakan lingkungan intelektual yang
terbuka. Dengan demikian, artikel ini menekankan pentingnya membangun kesadaran
akan nilai berpikir filosofis dalam kehidupan individu dan masyarakat untuk
menciptakan dunia yang lebih rasional, adil, dan bermakna.
Kata Kunci: Berpikir filosofis, prinsip berpikir, berpikir
kritis, rasionalitas, refleksi, pendidikan filsafat, kemampuan intelektual.
PEMBAHASAN
Prinsip-Prinsip Berpikir Filosofis
1.
Pendahuluan
Dalam perjalanan
sejarah peradaban manusia, filsafat telah memainkan peran penting sebagai
landasan dalam membentuk cara berpikir yang mendalam, kritis, dan reflektif.
Berbeda dari cara berpikir sehari-hari yang seringkali bersifat praktis dan
spontan, berpikir filosofis menuntut seseorang untuk mengkaji realitas secara
lebih fundamental dan menyeluruh. Filsafat bertanya bukan hanya tentang apa
yang terjadi, tetapi juga mengapa dan bagaimana
sesuatu itu mungkin terjadi, dengan pendekatan yang rasional dan sistematis.
Seperti yang diungkapkan oleh Bertrand Russell, filsafat tidak memberikan
jawaban pasti seperti ilmu-ilmu eksakta, namun ia memperluas cakrawala
pemikiran manusia dan membebaskan akal dari dogma yang tak diuji.¹
Berpikir filosofis
bukanlah sekadar aktivitas akademik, melainkan kebutuhan mendasar bagi setiap
manusia yang ingin hidup secara sadar dan bertanggung jawab. Dalam konteks
modern yang ditandai dengan arus informasi cepat, polarisasi sosial, dan
tantangan etika yang kompleks, kemampuan untuk berpikir secara filosofis menjadi
semakin penting. Individu yang mampu berpikir filosofis akan lebih siap untuk
menganalisis informasi secara kritis, menyusun argumen yang logis, serta
mengambil keputusan berdasarkan penalaran yang matang, bukan sekadar dorongan
emosi atau tekanan sosial.²
Lebih jauh, berpikir
filosofis membantu manusia untuk memahami dirinya sendiri dan dunia di
sekitarnya. Ia melatih seseorang untuk tidak menerima sesuatu begitu saja,
tetapi mengevaluasi secara mendalam asumsi-asumsi yang tersembunyi di balik
keyakinan, nilai, dan norma yang berlaku. Menurut Richard Paul dan Linda Elder,
berpikir filosofis yang baik ditandai oleh upaya sadar untuk meningkatkan
kualitas berpikir melalui pengendalian unsur-unsur berpikir dan penerapan
standar intelektual.³ Ini menunjukkan bahwa berpikir filosofis bersifat aktif
dan terarah, bukan pasif atau abstrak semata.
Oleh karena itu,
memahami prinsip-prinsip dasar dalam berpikir filosofis adalah langkah awal
yang penting untuk membangun fondasi pemikiran yang sehat. Prinsip-prinsip ini menjadi
panduan dalam mengembangkan cara berpikir yang koheren, rasional, dan terbuka
terhadap dialog. Artikel ini akan membahas secara sistematis prinsip-prinsip
utama berpikir filosofis beserta urgensinya dalam kehidupan intelektual dan
praktis manusia.
Footnotes
[1]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 1998), 90.
[2]
Michael Scriven and Richard Paul, “Defining Critical Thinking,” The
Foundation for Critical Thinking, 2003, https://www.criticalthinking.org/pages/defining-critical-thinking/766.
[3]
Richard Paul and Linda Elder, Critical Thinking: Tools for Taking Charge of
Your Learning and Your Life, 3rd ed. (Boston: Pearson, 2012), 4.
2.
Pengertian Berpikir Filosofis
Berpikir filosofis merupakan suatu bentuk aktivitas
intelektual yang bertujuan untuk memahami realitas secara mendalam, menyeluruh,
dan rasional. Ia berbeda dari bentuk berpikir biasa yang umumnya berfokus pada
kebutuhan praktis sehari-hari. Dalam tradisi filsafat Barat, berpikir filosofis
pertama kali ditelusuri dari para filsuf Yunani kuno seperti Sokrates, Plato,
dan Aristoteles yang mengembangkan pendekatan reflektif terhadap
kehidupan, pengetahuan, dan nilai. Bagi Plato, filsafat adalah the love of
wisdom—cinta terhadap kebijaksanaan—yang mengarahkan manusia untuk mencari
kebenaran yang abadi dan tidak hanya puas pada penampakan luar.¹
Berpikir filosofis ditandai oleh kemampuannya untuk
mengangkat pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti: Apa hakikat kebenaran?
Apa makna kehidupan? Apa yang bisa kita ketahui dengan pasti?
Pertanyaan-pertanyaan ini disebut sebagai pertanyaan filosofis karena tidak
dapat dijawab dengan cara biasa atau empiris, melainkan memerlukan perenungan
rasional, logis, dan sistematis.² Seperti yang dijelaskan oleh Immanuel Kant,
berpikir filosofis adalah aktivitas akal yang menelusuri syarat-syarat
kemungkinan dari pengalaman dan pengetahuan manusia, bukan hanya menerima apa
yang tampak.³
Ciri utama berpikir filosofis adalah kedalaman, keterbukaan,
dan ketelitian. Richard Paul dan Linda Elder menyebut bahwa berpikir
filosofis melibatkan kemampuan untuk melihat keterkaitan antara ide,
mempertanyakan asumsi, dan memeriksa konsekuensi dari suatu pandangan.⁴ Ia juga
bersifat reflektif, yakni melibatkan kesadaran diri atas proses berpikir itu
sendiri, termasuk menilai apakah cara berpikir yang digunakan benar dan adil.⁵
Secara umum, terdapat beberapa karakteristik yang
membedakan berpikir filosofis dari bentuk berpikir lainnya:
1)
Mendalam (Deep Thinking): Tidak hanya melihat permukaan, tetapi menelusuri akar dari suatu
persoalan.
2)
Kritis: Tidak
menerima begitu saja suatu pendapat, tetapi mempertanyakan, menguji, dan
menimbang-nimbang secara logis.
3)
Sistematis: Menggunakan
urutan pemikiran yang teratur dan konsisten dalam membangun argumen.
4)
Universal: Menyangkut
persoalan yang tidak hanya bersifat personal atau lokal, tetapi menyentuh
dimensi kemanusiaan yang luas.
5)
Reflektif: Sadar
terhadap landasan berpikir dan keterbatasan diri sendiri dalam menilai sesuatu.
Perbedaan mencolok antara berpikir filosofis dan
berpikir biasa dapat terlihat dalam pendekatan terhadap masalah. Berpikir biasa
cenderung reaktif dan pragmatis, lebih fokus pada solusi jangka pendek.
Sebaliknya, berpikir filosofis bersifat kontemplatif, menelusuri nilai
dan makna yang lebih dalam dari setiap keputusan atau keyakinan.⁶ Oleh karena
itu, berpikir filosofis tidak hanya berguna dalam bidang akademik, tetapi juga
dalam kehidupan pribadi dan sosial sebagai sarana untuk menjadi manusia yang
berpikir, bertanggung jawab, dan bijaksana.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube,
revised by C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 473c–e.
[2]
Nigel Warburton, Philosophy: The Basics, 5th
ed. (London: Routledge, 2012), 3.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 115.
[4]
Richard Paul and Linda Elder, Critical Thinking:
Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life, 3rd ed. (Boston:
Pearson, 2012), 9.
[5]
Matthew Lipman, Thinking in Education, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 26.
[6]
Henry D. Aiken, Reason and Conduct: An
Introduction to Philosophy (New York: Alfred A. Knopf, 1962), 5.
3.
Landasan Teoritis Berpikir Filosofis
Untuk memahami berpikir filosofis secara mendalam,
penting untuk mengkaji landasan teoritis yang melatarbelakangi cara kerja dan
struktur pemikiran filosofis. Landasan ini meliputi hubungan erat antara
filsafat dengan logika dan epistemologi, serta kontribusi berbagai aliran
filsafat dalam merumuskan cara berpikir yang rasional, sistematis, dan
reflektif.
3.1.
Hubungan antara
Filsafat, Logika, dan Epistemologi
Berpikir filosofis tidak terlepas dari tiga bidang
kajian utama dalam filsafat, yaitu filsafat itu sendiri, logika,
dan epistemologi. Filsafat berperan sebagai wadah pemikiran kritis dan
kontemplatif, logika menyediakan struktur formal untuk berpikir yang benar,
sedangkan epistemologi memberikan landasan mengenai bagaimana pengetahuan
diperoleh, divalidasi, dan dibatasi.¹
Logika, sebagai alat bantu utama dalam berpikir
filosofis, memungkinkan seseorang menyusun argumen secara sahih dan menghindari
kesalahan berpikir (fallacies). Aristoteles dalam karyanya Organon
menjelaskan pentingnya silogisme sebagai bentuk deduksi yang sahih dalam
penalaran filosofis.² Dengan menggunakan logika, filsuf dapat menilai validitas
argumen dan menjamin bahwa kesimpulan yang dihasilkan mengikuti premis yang
ditetapkan.
Sementara itu, epistemologi menjawab pertanyaan
mendasar: Apa yang dapat kita ketahui? dan Bagaimana kita mengetahui
sesuatu? Ini membantu membedakan antara opini (doxa) dan pengetahuan
yang sahih (episteme), sebagaimana dibahas oleh Plato dalam
dialog-dialognya.³ Dengan kata lain, epistemologi menjadi kompas dalam berpikir
filosofis untuk tetap berpijak pada dasar rasional, bukan sekadar kepercayaan
atau tradisi.
3.2.
Peran Rasionalitas
dan Argumentasi
Berpikir filosofis bertumpu pada rasionalitas,
yaitu kemampuan akal untuk menilai, membedakan, dan menyusun ide secara logis.
Rasionalitas bukan sekadar kecerdasan, melainkan kemampuan untuk mengikuti
aturan berpikir yang konsisten dan terbuka terhadap koreksi.⁴ Sebagaimana
ditegaskan oleh René Descartes dalam metode keraguannya (methodical doubt),
setiap pengetahuan harus diuji melalui keraguan sistematis agar ditemukan
kebenaran yang kokoh.⁵
Rasionalitas ini mewujud dalam bentuk argumentasi,
yaitu upaya menyatakan dan membela suatu posisi dengan bukti serta alasan yang
logis. Filsuf kontemporer Stephen Toulmin mengembangkan struktur argumentasi
praktis yang tidak hanya formal tetapi juga kontekstual, mencakup unsur data,
klaim, justifikasi, dan sanggahan.⁶ Model ini menunjukkan bahwa berpikir
filosofis harus fleksibel tetapi tetap tunduk pada standar penalaran yang dapat
diuji.
3.3.
Pandangan Filsuf
tentang Struktur Berpikir Filosofis
Sepanjang sejarah filsafat, para pemikir telah
mengembangkan pendekatan dan metode berbeda dalam memahami dan membentuk
struktur berpikir filosofis:
·
Metode Sokrates (Socratic Method)
Bertumpu
pada dialog dan pertanyaan mendalam untuk menggali kebenaran melalui
klarifikasi konsep dan pengujian keyakinan. Metode ini mengembangkan refleksi
kritis dan kesadaran epistemik.⁷
·
Rasionalisme (Descartes, Spinoza)
Menekankan
pada akal sebagai sumber utama pengetahuan. Penalaran deduktif menjadi dasar
utama dalam menyusun pengetahuan filosofis.⁸
Menyatakan
bahwa pengetahuan bersumber dari pengalaman inderawi, dan berpikir filosofis
harus bertumpu pada pengamatan serta pembuktian.⁹
·
Fenomenologi (Husserl, Heidegger)
Menyuguhkan
pendekatan kesadaran akan pengalaman langsung. Berpikir filosofis tidak lepas
dari makna yang muncul dalam fenomena subjektif yang disadari secara
reflektif.¹⁰
Setiap pendekatan tersebut memberi kontribusi
penting dalam membentuk landasan teoritis berpikir filosofis: bahwa berpikir
bukan sekadar mengikuti arus ide, tetapi menuntut kejelasan konsep, ketepatan
logika, serta keterbukaan terhadap makna yang lebih dalam.
Footnotes
[1]
Nicholas Bunnin and Jiyuan Yu, The Blackwell
Dictionary of Western Philosophy (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2004),
225–230.
[2]
Aristotle, Prior Analytics, trans. Robin
Smith (Indianapolis: Hackett Publishing, 1989), I.1.
[3]
Plato, Theaetetus, trans. M. J. Levett,
revised by Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201c–210a.
[4]
Richard Paul and Linda Elder, Critical Thinking:
Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life, 3rd ed. (Boston:
Pearson, 2012), 17–18.
[5]
René Descartes, Discourse on Method and
Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), 17–22.
[6]
Stephen Toulmin, The Uses of Argument
(Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 87–93.
[7]
Gregory Vlastos, Socratic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 1–20.
[8]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 1996), Introduction.
[9]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press,
1975), Book II.
[10]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1982), §27–§34.
4.
Prinsip-Prinsip Dasar Berpikir Filosofis
Berpikir filosofis bukan hanya tentang memikirkan
hal-hal yang bersifat abstrak, tetapi juga tentang bagaimana seseorang
membangun cara berpikir yang kritis, logis, dan reflektif. Dalam proses
ini, terdapat prinsip-prinsip dasar yang menjadi fondasi dalam menjalankan
aktivitas berpikir secara filosofis. Prinsip-prinsip ini tidak hanya membantu
dalam menyusun argumen yang kuat, tetapi juga menjaga kejujuran intelektual dan
keterbukaan terhadap kemungkinan koreksi.
4.1.
Prinsip Kritis
Prinsip kritis menekankan pada kemampuan untuk mengevaluasi
ide, argumen, atau keyakinan secara objektif dan tidak menerima sesuatu
begitu saja tanpa alasan yang memadai. Berpikir kritis dalam konteks filsafat
menuntut penggunaan standar penilaian intelektual seperti kejelasan, akurasi,
relevansi, dan logika.¹ Seperti ditegaskan oleh Richard Paul dan Linda Elder,
berpikir kritis adalah "berpikir yang secara aktif dan terampil memadukan
informasi yang dikumpulkan dari observasi, pengalaman, refleksi, penalaran,
atau komunikasi."_²
Dalam berpikir filosofis, prinsip kritis ini melibatkan kemampuan untuk mendeteksi asumsi tersembunyi, menilai validitas argumen, serta mempertimbangkan sudut pandang alternatif dengan jujur. Sokrates merupakan contoh klasik dari penerapan prinsip ini melalui metode elenktiknya yang mempertanyakan secara mendalam pemahaman orang lain.³
4.2.
Prinsip Koherensi
Prinsip koherensi berkaitan dengan keselarasan
internal suatu sistem pemikiran atau argumen. Suatu pemikiran dikatakan
koheren apabila tidak mengandung kontradiksi dan setiap bagian dari argumen
saling mendukung secara logis.⁴ Prinsip ini penting dalam filsafat karena ia
menjadi tolok ukur apakah suatu pandangan dunia (worldview) dapat dipertahankan
secara rasional.
Immanuel Kant menekankan pentingnya koherensi dalam
struktur berpikir, khususnya dalam kaitannya dengan prinsip non-kontradiksi:
“Sesuatu tidak dapat sekaligus benar dan tidak benar dalam pengertian yang
sama.”_⁵ Oleh karena itu, berpikir filosofis selalu berupaya menghindari
kontradiksi dan menjaga konsistensi argumen.
4.3.
Prinsip Rasionalitas
Prinsip rasionalitas menyatakan bahwa setiap
pemikiran dan argumen harus dilandasi oleh penalaran yang logis dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam filsafat, rasionalitas menjadi kriteria utama
bagi diterimanya suatu pandangan. Filosof rasionalis seperti René Descartes
mengembangkan metode deduktif yang sistematis untuk mencapai pengetahuan yang
pasti, dimulai dari premis-premis yang jelas dan tak terbantahkan.⁶
Prinsip ini juga menuntut bahwa setiap keyakinan
harus memiliki alasan yang memadai, bukan semata berdasarkan tradisi,
otoritas, atau intuisi pribadi. Rasionalitas memberi ruang untuk koreksi dan
dialog, serta membuka kemungkinan pengembangan pemikiran secara berkelanjutan.
4.4.
Prinsip Sistematis
Prinsip sistematis menekankan pentingnya susunan
berpikir yang runtut dan terorganisir, di mana setiap argumen dibangun atas
dasar yang jelas dan mengikuti urutan logis.⁷ Filsafat bukan sekadar kumpulan
gagasan lepas, melainkan struktur pemikiran yang saling terkait satu sama lain.
Aristoteles dalam karya Metaphysics mencontohkan bagaimana pencarian
prinsip pertama (first principles) harus dilakukan dengan metode yang
sistematik.⁸
Pemikiran yang sistematis membantu seseorang
menghindari kekacauan berpikir, menjaga arah argumen, dan memudahkan komunikasi
ide kepada orang lain secara jelas dan dapat diuji ulang.
4.5.
Prinsip Refleksif
Prinsip ini mengacu pada kemampuan untuk menilai
kembali proses berpikir sendiri, menyadari keterbatasan dan bias yang
mungkin memengaruhi penilaian.⁹ Seorang pemikir filosofis tidak hanya bertanya,
tetapi juga mempertanyakan kembali dirinya: Mengapa saya percaya hal ini?
Apakah saya memiliki alasan yang cukup? Bagaimana jika saya salah?
Reflektivitas adalah kunci dalam pendekatan
filsafat modern, terutama dalam tradisi fenomenologi dan eksistensialisme.
Edmund Husserl, misalnya, mendorong sikap epoché (penangguhan penilaian)
agar seseorang dapat mengamati kembali asumsi-asumsi dasar yang tidak
disadari.¹⁰
4.6.
Prinsip Universalitas
Prinsip universalitas dalam berpikir filosofis
menuntut bahwa suatu argumen atau prinsip yang benar tidak hanya berlaku
untuk kasus pribadi atau lokal, tetapi memiliki cakupan umum.¹¹ Dalam
etika, misalnya, prinsip ini diwujudkan dalam bentuk "kaidah emas"
atau imperatif kategoris Kant: “Bertindaklah hanya menurut asas yang darinya
engkau dapat sekaligus menghendaki bahwa ia menjadi hukum universal.”_¹²
Dengan prinsip ini, berpikir filosofis melampaui
subjektivitas dan memperhatikan dampak serta penerimaan suatu argumen dalam
cakupan kemanusiaan yang luas.
Footnotes
[1]
Matthew Lipman, Thinking in Education, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 25–26.
[2]
Richard Paul and Linda Elder, Critical Thinking:
Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life, 3rd ed. (Boston:
Pearson, 2012), 6.
[3]
Gregory Vlastos, Socratic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 3–5.
[4]
Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth
(Oxford: Clarendon Press, 1973), 13–14.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A151/B190.
[6]
René Descartes, Discourse on Method and
Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), 17–22.
[7]
John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry
(New York: Henry Holt and Company, 1938), 14–15.
[8]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), Book I.
[9]
Richard Paul, Critical Thinking: What Every
Person Needs to Survive in a Rapidly Changing World (Santa Rosa: Foundation
for Critical Thinking, 1993), 41.
[10]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1982), §30.
[11]
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in
a World of Strangers (New York: W. W. Norton & Company, 2006), 57–59.
[12]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
421.
5.
Manfaat Penerapan Prinsip-Prinsip Berpikir
Filosofis
Penerapan prinsip-prinsip berpikir filosofis tidak
hanya memberikan manfaat di ranah teori atau akademik, tetapi juga berpengaruh
signifikan dalam berbagai aspek kehidupan praktis. Dengan berpegang pada
prinsip-prinsip seperti berpikir kritis, rasional, reflektif, sistematis, dan
koheren, seseorang akan lebih siap menghadapi kompleksitas realitas, membuat
keputusan yang matang, serta mengembangkan sikap intelektual yang dewasa dan
bertanggung jawab.
5.1.
Dalam Dunia
Pendidikan dan Pembelajaran
Dalam konteks pendidikan, berpikir filosofis sangat
penting dalam menumbuhkan budaya intelektual yang sehat. Siswa dan mahasiswa
yang dibiasakan berpikir filosofis akan memiliki kemampuan untuk bertanya
secara mendalam, menganalisis konsep, serta menyusun argumen secara rasional
dan sistematis.¹ Pendidikan yang hanya menekankan hafalan dan informasi
tanpa melatih berpikir kritis akan menghasilkan individu yang pasif dan mudah
menerima dogma tanpa pertimbangan.²
Matthew Lipman, penggagas gerakan Philosophy for Children (P4C), menekankan bahwa berpikir filosofis mendorong anak-anak dan
remaja untuk mengembangkan pemikiran reflektif dan tanggung jawab moral sejak
dini.³ Hal ini akan membekali mereka untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat
(lifelong learners) yang tidak hanya menguasai pengetahuan, tetapi juga
memahami dan mengevaluasinya secara kritis.
5.2.
Dalam Pengambilan
Keputusan Etis dan Moral
Berpikir filosofis memberikan kerangka untuk menimbang
berbagai pilihan moral secara rasional dan bertanggung jawab. Dengan
prinsip universalitas dan reflektivitas, seseorang dapat mengevaluasi apakah
suatu tindakan memiliki dasar moral yang dapat dibenarkan secara umum dan
apakah ia bersedia jika tindakan itu menjadi norma bagi semua orang (seperti
dalam imperatif kategoris Kant).⁴
Dalam dunia yang semakin kompleks, di mana manusia
dihadapkan pada dilema-dilema etis—baik dalam bidang kesehatan, teknologi,
hukum, maupun politik—berpikir filosofis memberikan alat untuk berpikir jernih,
menghindari relativisme moral, dan tetap terbuka terhadap dialog lintas
perspektif.⁵
5.3.
Dalam Kehidupan
Sosial dan Politik
Penerapan prinsip-prinsip berpikir filosofis juga
bermanfaat dalam kehidupan sosial dan politik. Masyarakat yang dibentuk oleh
individu-individu yang mampu berpikir kritis dan rasional akan lebih mampu
membangun diskusi publik yang sehat, menghindari polarisasi, serta menolak
manipulasi informasi.⁶
Filsuf politik seperti John Rawls menunjukkan bahwa
keadilan sosial dapat dicapai jika warga negara menggunakan prinsip-prinsip
rasional dalam menilai struktur dasar masyarakat, bukan sekadar berdasarkan
kepentingan pribadi atau kelompok.⁷ Di tengah era disinformasi dan populisme,
berpikir filosofis menjadi senjata utama untuk mempertahankan nilai-nilai
demokrasi, kebebasan berpikir, dan toleransi.
5.4.
Dalam Pengembangan
Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan modern tidak bisa dipisahkan dari
filsafat. Ilmuwan yang memiliki kemampuan berpikir filosofis akan lebih mampu memahami
kerangka epistemologis dari ilmu yang dipelajarinya, mempertanyakan asumsi
dasar metodologinya, serta lebih kritis terhadap implikasi sosial dari hasil
penelitiannya.⁸
Karl Popper, dalam teori falsifikasinya,
menunjukkan bahwa kemajuan ilmu tidak datang dari pembuktian mutlak, melainkan
dari kemampuan mengkritisi dan menguji ulang teori yang ada.⁹ Artinya, berpikir
filosofis memberi landasan agar sains tetap dinamis dan terbuka terhadap
koreksi, bukan menjadi dogma baru yang tidak boleh disentuh.
Kesimpulan Antara
Dari keempat bidang tersebut dapat disimpulkan
bahwa prinsip-prinsip berpikir filosofis berperan penting dalam membentuk
manusia yang berpikir secara matang, berkeadaban, dan bertanggung jawab
terhadap realitas. Kemampuan untuk berpikir secara kritis dan reflektif
menjadi modal dasar dalam membangun kehidupan yang lebih adil, rasional, dan
bermakna.
Footnotes
[1]
Matthew Lipman, Thinking in Education, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 27.
[2]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed,
trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 72.
[3]
Maughn Gregory, “Philosophy for Children and Its
Critics: A Mendham Dialogue,” Journal of Philosophy of Education 45, no.
2 (2011): 199–219.
[4]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
421.
[5]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics, 7th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 2–4.
[6]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011),
85–87.
[7]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed.
(Cambridge: Harvard University Press, 1999), 17–19.
[8]
Robert Nola and Howard Sankey, Theories of
Scientific Method: An Introduction (Montreal: McGill-Queen’s University
Press, 2007), 45–46.
[9]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery, trans. from German (London: Routledge, 2002), 40–41.
6.
Tantangan dan Hambatan dalam Berpikir Filosofis
Meskipun berpikir filosofis memberikan banyak
manfaat dalam kehidupan pribadi maupun sosial, penerapan prinsip-prinsipnya
tidaklah mudah. Terdapat berbagai tantangan dan hambatan yang kerap dihadapi
dalam mengembangkan kemampuan berpikir filosofis, baik yang bersifat internal
(dalam diri individu) maupun eksternal (dalam lingkungan sosial dan budaya).
Hambatan-hambatan ini perlu diidentifikasi dan dipahami agar proses berpikir
filosofis dapat ditumbuhkan secara efektif dan berkelanjutan.
6.1.
Dominasi Pola Pikir
Pragmatis dan Instant Thinking
Di era modern, khususnya dalam budaya digital dan
teknologi cepat guna, berpikir pragmatis dan instan lebih diutamakan ketimbang
berpikir reflektif dan mendalam. Pola pikir pragmatis menekankan kecepatan
dan hasil akhir, bukan proses pencarian makna atau nilai-nilai kebenaran
yang mendasar.¹ Hal ini menjadikan berpikir filosofis dianggap sebagai
aktivitas yang “tidak praktis” atau “terlalu abstrak”, padahal justru filsafat
membantu manusia menghadapi kompleksitas hidup secara lebih utuh.
Neil Postman menyebut bahwa masyarakat modern
seringkali mengalami information glut—banjir informasi tanpa makna—yang
mengakibatkan penurunan kapasitas berpikir kritis karena individu terlalu sibuk
menerima, bukan merefleksikan.² Akibatnya, prinsip-prinsip berpikir filosofis
seperti kedalaman dan reflektivitas cenderung diabaikan.
6.2.
Kurangnya Pembiasaan
Berpikir Kritis dalam Pendidikan
Salah satu penyebab utama sulitnya berpikir
filosofis adalah minimnya pelatihan berpikir kritis dalam sistem pendidikan.
Banyak lembaga pendidikan yang masih menekankan hafalan dan ketundukan pada
otoritas, daripada melatih siswa untuk bertanya, meragukan, dan menyusun
argumen.³
Matthew Lipman, pelopor Philosophy for Children,
menegaskan bahwa kemampuan berpikir filosofis tidak muncul secara otomatis,
tetapi perlu dilatih sejak dini dalam lingkungan yang menghargai dialog,
keterbukaan, dan ketelitian berpikir.⁴ Kurikulum yang tidak memberi ruang pada
diskusi reflektif menjadikan siswa tidak terbiasa mengeksplorasi ide secara
mendalam.
6.3.
Hambatan Bahasa dan
Abstraksi Konseptual
Bahasa filsafat seringkali menggunakan istilah-istilah
yang abstrak dan kompleks, sehingga menimbulkan kesulitan pemahaman,
terutama bagi pemula.⁵ Konsep-konsep seperti “eksistensi”, “epistemologi”,
“ontologi”, atau “imperatif kategoris” memerlukan kedalaman
bahasa dan pemahaman teoritis yang tidak bisa langsung dikuasai.
Dalam konteks ini, peran bahasa menjadi ganda: di
satu sisi menjadi alat berpikir, di sisi lain dapat menjadi penghalang bila
tidak diikuti dengan pembiasaan dan penjelasan yang memadai. Ludwig
Wittgenstein menyatakan bahwa banyak masalah filsafat muncul karena
penyalahgunaan atau ketidakjelasan bahasa dalam berpikir.⁶ Maka, tantangan
berpikir filosofis juga mencakup tantangan dalam menguasai bahasa konseptual
secara tepat dan jernih.
6.4.
Sikap Dogmatis dan
Fanatisme Ideologis
Berpikir filosofis mensyaratkan keterbukaan
terhadap pertanyaan dan kemungkinan revisi keyakinan, namun hal ini
bertentangan dengan sikap dogmatis yang menolak kritik atau dialog. Sikap
fanatisme terhadap suatu pandangan tertentu, baik dalam bidang agama, politik,
maupun budaya, seringkali menutup pintu terhadap refleksi rasional dan
pertimbangan alternatif.⁷
Karl Popper dalam The Open Society and Its
Enemies menekankan pentingnya masyarakat terbuka, yaitu masyarakat yang
bersedia menguji dan mengoreksi ide-ide melalui argumen dan bukti, bukan
melalui kekuasaan atau pemaksaan.⁸ Dalam masyarakat tertutup, berpikir
filosofis sering dianggap ancaman, bukan sebagai upaya untuk mencari kebenaran.
6.5.
Ketakutan terhadap
Ketidakpastian dan Keraguan
Berpikir filosofis sering kali membawa seseorang
pada pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah dijawab, bahkan menimbulkan
keraguan terhadap keyakinan yang telah lama dipegang. Bagi sebagian orang,
kondisi ini menimbulkan ketidaknyamanan. Padahal, keraguan adalah titik awal
dari pencarian pengetahuan yang lebih valid, sebagaimana ditegaskan oleh
René Descartes dalam metode keraguannya (methodical doubt).⁹
Namun dalam praktiknya, banyak orang justru memilih
kenyamanan keyakinan yang tidak dipertanyakan ketimbang menjalani proses
berpikir yang mungkin mengguncang. Ini menjadi salah satu tantangan mendasar
bagi berpikir filosofis yang menuntut keberanian intelektual.
Kesimpulan Antara
Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa berpikir
filosofis bukanlah kemampuan yang bersifat alamiah semata, melainkan
keterampilan yang perlu dilatih, difasilitasi, dan dikondisikan dalam
lingkungan yang mendukung. Mengatasi hambatan-hambatan tersebut adalah langkah
penting untuk menciptakan masyarakat yang berpikir secara dewasa, bertanggung
jawab, dan terbuka terhadap kebenaran.
Footnotes
[1]
Zygmunt Bauman, Thinking Sociologically, 2nd
ed. (Malden: Blackwell Publishing, 2001), 102–103.
[2]
Neil Postman, Amusing Ourselves to Death: Public
Discourse in the Age of Show Business (New York: Penguin Books, 2006), 69.
[3]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed,
trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 73–74.
[4]
Matthew Lipman, Thinking in Education, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 29–30.
[5]
Anthony C. Grayling, Philosophy 1: A Guide
through the Subject (Oxford: Oxford University Press, 1998), 15–17.
[6]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953),
§38–§43.
[7]
Alasdair MacIntyre, Whose Justice? Which
Rationality? (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1988), 6.
[8]
Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies,
vol. 1 (Princeton: Princeton University Press, 1966), 113–114.
[9]
René Descartes, Discourse on Method and
Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), 18–19.
7.
Strategi Menumbuhkan Kemampuan Berpikir
Filosofis
Kemampuan berpikir filosofis bukanlah bakat bawaan
yang dimiliki secara alamiah, melainkan keterampilan intelektual yang dapat dikembangkan
melalui latihan, pembiasaan, dan lingkungan yang kondusif. Mengingat
berbagai tantangan yang menghambat praktik berpikir filosofis, diperlukan
strategi strategis dan sistematis untuk menumbuhkan cara berpikir yang
reflektif, kritis, rasional, dan terbuka terhadap kebenaran.
7.1.
Melatih Diri dengan
Pertanyaan-Pertanyaan Filosofis
Salah satu ciri utama berpikir filosofis adalah
kemampuannya untuk mengajukan pertanyaan mendalam tentang hakikat, nilai,
dan makna dari sesuatu. Oleh karena itu, strategi awal yang dapat
diterapkan adalah membiasakan diri dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
filosofis seperti: Apa itu kebenaran? Apakah kebebasan itu mutlak? Apa
makna keadilan dalam konteks sosial?
Menurut Matthew Lipman, proses filsafat dimulai
dari keheranan dan pertanyaan yang mengganggu kemapanan berpikir.¹ Dengan
membiasakan diri mempertanyakan hal-hal yang dianggap biasa, seseorang akan
terdorong untuk mengevaluasi kembali pemahamannya secara lebih kritis dan mendalam.
7.2.
Membaca Karya-Karya
Filsafat Klasik dan Modern
Sumber daya intelektual yang sangat penting dalam
menumbuhkan cara berpikir filosofis adalah membaca karya-karya filsafat,
baik klasik maupun kontemporer.² Melalui pembacaan ini, seseorang dapat
berkenalan dengan tokoh-tokoh filsafat besar seperti Plato, Aristoteles,
Descartes, Kant, hingga Sartre dan Nussbaum, serta memahami bagaimana mereka
memecahkan persoalan melalui pemikiran logis dan sistematis.
Anthony C. Grayling menegaskan bahwa pembelajaran
filsafat tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan aktif dengan teks-teks besar,
karena melalui pembacaan itu, pembelajar memperoleh wawasan tentang cara
berpikir, teknik argumen, serta struktur logika filosofis.³ Oleh karena itu,
pembacaan aktif dan kritis menjadi salah satu strategi paling efektif dalam
melatih pemikiran filosofis.
7.3.
Terlibat dalam
Diskusi dan Dialog Terbuka
Diskusi adalah medan latihan penting bagi kemampuan
berpikir filosofis.⁴ Melalui dialog terbuka, seseorang diuji
kemampuannya dalam menyampaikan gagasan secara logis, menanggapi argumen orang
lain secara jujur, serta mempertahankan pendapat dengan alasan yang sahih.
Tradisi filsafat Yunani kuno telah menempatkan dialog
(dialektika) sebagai metode utama dalam pencarian kebenaran. Sokrates tidak
mengajar dengan ceramah, melainkan dengan bertanya dan berdialog.⁵ Dalam
konteks pendidikan modern, kegiatan semacam debat ilmiah, seminar, dan diskusi
kelompok dapat menjadi wadah untuk menumbuhkan nalar filosofis dan memperkuat
keberanian berpikir kritis.
7.4.
Menulis Refleksi dan
Analisis Pemikiran
Menulis adalah bentuk konkret dari berpikir. Dalam
konteks filsafat, menulis tidak hanya sekadar menyampaikan informasi, tetapi merupakan
latihan menyusun pemikiran secara logis dan sistematis.⁶ Dengan menulis
esai, jurnal reflektif, atau analisis konsep, seseorang akan terlatih untuk
mengorganisasi ide, membangun argumen, dan mengembangkan sudut pandang yang
rasional.
John Dewey berpendapat bahwa menulis mendorong
seseorang untuk menyaring gagasan secara lebih hati-hati dan runtut, sehingga
dapat memperkuat pemahaman dan memperdalam sikap reflektif.⁷ Latihan menulis
juga mendorong evaluasi diri terhadap cara berpikir dan kemungkinan bias yang
muncul.
7.5.
Menciptakan
Lingkungan yang Mendukung Kebebasan Berpikir
Lingkungan sosial, budaya, dan pendidikan sangat
menentukan apakah seseorang dapat tumbuh sebagai pemikir filosofis.⁸ Budaya
otoritarianisme atau fanatisme dapat menjadi penghambat serius. Oleh karena
itu, perlu dibangun suasana belajar yang inklusif, terbuka, dan menghargai
perbedaan pendapat, sehingga setiap individu merasa aman untuk menyampaikan
dan mengembangkan gagasan secara bebas.
Karl Popper menekankan bahwa masyarakat terbuka
adalah prasyarat utama bagi berkembangnya filsafat, karena hanya dalam
lingkungan seperti itu ide-ide dapat diuji dan disaring melalui rasionalitas,
bukan ditekan oleh kekuasaan.⁹ Maka dari itu, pendidikan dan masyarakat harus
menyediakan ruang-ruang dialog yang sehat sebagai fondasi tumbuhnya pemikiran
filosofis.
Kesimpulan Antara
Strategi menumbuhkan kemampuan berpikir filosofis
menuntut kombinasi antara latihan individual dan dukungan struktural.
Dengan mengintegrasikan pembiasaan bertanya, membaca filsafat, berdiskusi,
menulis, dan menciptakan lingkungan intelektual yang terbuka, individu akan
berkembang menjadi pemikir yang rasional, reflektif, dan bertanggung jawab
secara moral.
Footnotes
[1]
Matthew Lipman, Thinking in Education, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 26.
[2]
Nigel Warburton, Philosophy: The Basics, 5th
ed. (London: Routledge, 2012), 4–6.
[3]
Anthony C. Grayling, Philosophy 1: A Guide
through the Subject (Oxford: Oxford University Press, 1998), 8–9.
[4]
Richard Paul and Linda Elder, Critical Thinking:
Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life, 3rd ed. (Boston:
Pearson, 2012), 15.
[5]
Gregory Vlastos, Socratic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 6.
[6]
Hugo Bedau, Thinking and Writing about
Philosophy (Boston: Bedford/St. Martin’s, 2001), xii–xv.
[7]
John Dewey, How We Think, rev. ed.
(Lexington: D. C. Heath, 1933), 51.
[8]
Paulo Freire, Education for Critical
Consciousness, trans. Myra Bergman Ramos (London: Bloomsbury, 2021), 42–44.
[9]
Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies,
vol. 1 (Princeton: Princeton University Press, 1966), 120.
8.
Penutup
Berpikir filosofis bukan sekadar aktivitas
intelektual yang bersifat teoretis, melainkan sebuah keterampilan hidup yang
mendalam, sistematis, dan menyeluruh. Prinsip-prinsip dasar dalam berpikir
filosofis—seperti kritis, koheren, rasional, reflektif, sistematis, dan
universal—membentuk fondasi penting bagi manusia dalam mengembangkan pemahaman
yang benar terhadap dirinya, masyarakat, dan dunia.¹
Dalam konteks kehidupan modern yang ditandai oleh
arus informasi yang deras, polarisasi sosial, dan kecenderungan pragmatisme,
berpikir filosofis menjadi semakin urgen untuk membantu manusia tetap
jernih dalam menimbang informasi, bijak dalam mengambil keputusan, dan adil
dalam menyikapi perbedaan.² Seperti ditegaskan oleh Martha C. Nussbaum,
filsafat membantu kita “melatih pikiran untuk menjadi warga dunia yang penuh
empati, reflektif, dan mampu memahami perspektif orang lain.”³
Artikel ini telah menguraikan secara sistematis
mengenai pengertian, landasan teoritis, prinsip-prinsip, manfaat, tantangan,
serta strategi untuk menumbuhkan kemampuan berpikir filosofis. Setiap
pembahasan menunjukkan bahwa berpikir filosofis bukanlah keterampilan elitis
yang hanya dimiliki para filsuf, melainkan kompetensi dasar yang seharusnya
dimiliki setiap individu yang ingin hidup secara sadar dan bertanggung jawab.⁴
Namun, penerapan prinsip-prinsip berpikir filosofis
tidak dapat terjadi secara instan. Ia memerlukan komitmen pribadi untuk
terus bertanya, membaca, berdialog, menulis, serta keberanian untuk meragukan
dan memperbaiki keyakinan lama. Dalam hal ini, peran lembaga pendidikan,
keluarga, dan masyarakat menjadi krusial untuk membangun kultur berpikir yang
terbuka dan reflektif.
Sebagaimana disampaikan oleh Bertrand Russell,
“Filsafat, meskipun tidak memberikan jawaban pasti, tetap memiliki nilai dalam
kemampuannya memperluas cakrawala kita dan membebaskan akal dari tirani
kebiasaan.”_⁵ Dengan demikian, memahami dan menerapkan prinsip-prinsip berpikir
filosofis merupakan langkah penting untuk menciptakan pribadi yang matang
secara intelektual dan moral, serta masyarakat yang rasional, adil, dan
toleran.
Footnotes
[1]
Richard Paul and Linda Elder, Critical Thinking:
Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life, 3rd ed. (Boston:
Pearson, 2012), 6–7.
[2]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge:
Polity Press, 2000), 119.
[3]
Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A
Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1997), 8.
[4]
Nigel Warburton, Philosophy: The Basics, 5th
ed. (London: Routledge, 2012), 10.
[5]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 90.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1989). Prior
analytics (R. Smith, Trans.). Hackett Publishing Company. (Original work
published ca. 350 BCE)
Aristotle. (1924). Metaphysics
(W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press. (Original work published ca. 350 BCE)
Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism:
Ethics in a world of strangers. W. W. Norton & Company.
Bauman, Z. (2000). Liquid
modernity. Polity Press.
Bauman, Z. (2001). Thinking
sociologically (2nd ed.). Blackwell Publishing.
Beauchamp, T. L., &
Childress, J. F. (2013). Principles of biomedical ethics (7th ed.).
Oxford University Press.
Bedau, H. (2001). Thinking
and writing about philosophy. Bedford/St. Martin’s.
Dewey, J. (1933). How
we think (Rev. ed.). D. C. Heath.
Dewey, J. (1938). Logic:
The theory of inquiry. Henry Holt and Company.
Descartes, R. (1998). Discourse
on method and meditations on first philosophy (D. A. Cress, Trans.).
Hackett Publishing Company. (Original work published 1637/1641)
Freire, P. (2005). Pedagogy
of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Original work
published 1970)
Freire, P. (2021). Education
for critical consciousness (M. B. Ramos, Trans.). Bloomsbury. (Original
work published 1974)
Grayling, A. C. (1998). Philosophy
1: A guide through the subject. Oxford University Press.
Gregory, M. (2011).
Philosophy for children and its critics: A Mendham dialogue. Journal of
Philosophy of Education, 45(2), 199–219. https://doi.org/10.1111/j.1467-9752.2011.00794.x
Husserl, E. (1982). Ideas
pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy
(F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff. (Original work published 1913)
Kant, I. (1998). Critique
of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University
Press. (Original work published 1781/1787)
Kant, I. (1998). Groundwork
for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press. (Original work published 1785)
Lipman, M. (2003). Thinking
in education (2nd ed.). Cambridge University Press.
Locke, J. (1975). An
essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford
University Press. (Original work published 1689)
MacIntyre, A. (1988). Whose
justice? Which rationality? University of Notre Dame Press.
Nola, R., & Sankey, H.
(2007). Theories of scientific method: An introduction. McGill-Queen’s
University Press.
Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating
humanity: A classical defense of reform in liberal education. Harvard
University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating
capabilities: The human development approach. Harvard University Press.
Plato. (1992). The
Republic (G. M. A. Grube, Trans., & C. D. C. Reeve, Rev. ed.). Hackett
Publishing Company. (Original work published ca. 375 BCE)
Plato. (1992). Theaetetus
(M. J. Levett, Trans., & M. Burnyeat, Rev.). Hackett Publishing Company.
(Original work published ca. 369 BCE)
Paul, R. (1993). Critical
thinking: What every person needs to survive in a rapidly changing world.
Foundation for Critical Thinking.
Paul, R., & Elder, L.
(2012). Critical thinking: Tools for taking charge of your learning and
your life (3rd ed.). Pearson.
Popper, K. R. (2002). The
logic of scientific discovery. Routledge. (Original work published 1934)
Popper, K. R. (1966). The
open society and its enemies (Vol. 1). Princeton University Press.
Postman, N. (2006). Amusing
ourselves to death: Public discourse in the age of show business. Penguin
Books.
Rawls, J. (1999). A
theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.
Rescher, N. (1973). The
coherence theory of truth. Clarendon Press.
Russell, B. (1998). The
problems of philosophy. Oxford University Press. (Original work published
1912)
Spinoza, B. (1996). Ethics
(E. Curley, Trans.). Penguin Classics. (Original work published 1677)
Toulmin, S. (2003). The
uses of argument. Cambridge University Press. (Original work published
1958)
Vlastos, G. (1994). Socratic
studies. Cambridge University Press.
Warburton, N. (2012). Philosophy:
The basics (5th ed.). Routledge.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar