Sabtu, 08 Maret 2025

Metode Skeptis dalam Kajian Filsafat

Metode Skeptis

Konsep, Sejarah, dan Implementasi


Abstrak

Metode skeptis merupakan salah satu pendekatan utama dalam filsafat yang berfungsi sebagai alat kritik terhadap klaim kebenaran serta sebagai strategi epistemologis dalam membangun pengetahuan yang lebih kuat dan teruji. Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai konsep, sejarah, dan implementasi metode skeptis dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan menelusuri perkembangan metode skeptis dari filsafat Yunani Kuno—yang berakar pada ajaran Pyrrho dari Elis dan dikembangkan lebih lanjut oleh Sextus Empiricus—hingga pemikiran filsafat modern seperti René Descartes dan David Hume, artikel ini menyoroti peran skeptisisme dalam membentuk epistemologi dan metode ilmiah.

Variasi dalam metode skeptis, termasuk skeptisisme akademik, skeptisisme Pyrrhonian, skeptisisme radikal, dan skeptisisme moderat, menjadi bagian penting dalam perkembangan filsafat. Dalam ilmu pengetahuan, skeptisisme berperan dalam membangun metode ilmiah berbasis verifikasi dan falsifikasi, sebagaimana dikembangkan oleh Karl Popper. Namun, skeptisisme juga menghadapi kritik dari berbagai aliran filsafat, seperti rasionalisme, empirisme, dan pragmatisme, yang menekankan bahwa metode skeptis tidak dapat menjadi landasan epistemologi yang memadai tanpa batasan yang jelas.

Meskipun skeptisisme sering dikritik karena dapat mengarah pada relativisme ekstrem dan nihilisme epistemologis, pendekatan ini tetap memiliki relevansi dalam diskursus filsafat kontemporer dan ilmu pengetahuan modern. Dengan mengadopsi skeptisisme yang lebih moderat dan berbasis pada verifikasi ilmiah dan kritik rasional, skeptisisme tetap menjadi alat yang berharga dalam membangun pemikiran yang lebih kritis dan sistematis.

Kata Kunci: Skeptisisme, Metode Skeptis, Epistemologi, Skeptisisme Pyrrhonian, Skeptisisme Akademik, Verifikasi Ilmiah, Karl Popper, Filsafat Ilmu, Falsifikasi, Nihilisme Epistemologis.


PEMBAHASAN

Metode Skeptis dalam Kajian Filsafat


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Pentingnya Metode dalam Kajian Filsafat

Filsafat sebagai disiplin ilmu tidak hanya berfokus pada hasil pemikiran, tetapi juga menekankan pentingnya metode dalam memperoleh dan menguji kebenaran suatu gagasan. Salah satu metode yang telah lama menjadi bagian dari kajian filsafat adalah metode skeptis, yang bertujuan untuk meragukan kebenaran klaim tertentu sebelum menerimanya sebagai pengetahuan yang sahih. Metode ini muncul sebagai respons terhadap berbagai pendekatan dogmatis yang mengasumsikan kebenaran tanpa proses pengujian yang memadai. Sebagaimana dikemukakan oleh Richard Popkin, skeptisisme telah memainkan peran fundamental dalam perkembangan filsafat Barat, terutama dalam merangsang pemikiran kritis dan penyelidikan yang lebih mendalam terhadap klaim kebenaran yang dianggap mapan.¹

Dalam sejarah filsafat, metode skeptis memiliki peran penting dalam membangun dasar-dasar epistemologi, yang merupakan cabang filsafat yang membahas asal-usul, batasan, dan validitas pengetahuan. Skeptisisme tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menguji klaim kebenaran, tetapi juga sebagai pendekatan metodologis yang membantu membedakan antara keyakinan yang bersifat spekulatif dan yang didasarkan pada bukti atau rasionalitas.² Oleh karena itu, pemahaman mengenai metode skeptis menjadi esensial bagi siapa pun yang ingin mendalami filsafat, khususnya dalam upaya mengembangkan pemikiran yang kritis dan sistematis.

1.2.       Pengertian Metode Skeptis dalam Konteks Filsafat

Secara umum, metode skeptis dalam filsafat merujuk pada pendekatan yang menekankan keraguan metodis terhadap klaim pengetahuan sebelum suatu kebenaran dapat diterima.³ Pendekatan ini digunakan untuk menghindari kesimpulan yang didasarkan pada asumsi atau prasangka yang tidak diuji secara rasional. René Descartes adalah salah satu filsuf yang memanfaatkan skeptisisme sebagai metode filsafat dalam pencarian kebenaran yang lebih kokoh. Dalam karyanya, Meditations on First Philosophy, Descartes menggunakan skeptisisme metodis untuk meragukan segala sesuatu hingga ia menemukan prinsip yang tak terbantahkan, yaitu cogito, ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).⁴

Selain Descartes, David Hume juga memberikan kontribusi besar dalam pengembangan metode skeptis, khususnya dalam menyoroti keterbatasan akal manusia dalam memperoleh pengetahuan secara objektif.⁵ Hume menunjukkan bahwa banyak dari keyakinan kita didasarkan pada pengalaman dan kebiasaan, bukan pada kepastian logis atau empiris yang mutlak. Dengan demikian, skeptisisme menjadi alat yang penting dalam filsafat, baik untuk mengkritisi teori-teori yang ada maupun untuk membangun dasar epistemologi yang lebih kuat.

1.3.       Tujuan dan Ruang Lingkup Pembahasan

Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman komprehensif mengenai metode skeptis dalam filsafat, mulai dari pengertian, sejarah, hingga implementasinya dalam berbagai bidang keilmuan. Pembahasan akan mencakup perkembangan metode skeptis dari filsafat klasik hingga filsafat modern, serta bagaimana metode ini diterapkan dalam kajian filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan memahami metode skeptis secara mendalam, kita dapat melihat bagaimana pendekatan ini tidak hanya membentuk tradisi berpikir kritis dalam filsafat tetapi juga memberikan kontribusi signifikan dalam disiplin ilmu lainnya.

Melalui kajian ini, pembaca diharapkan dapat:

1)                  Memahami prinsip-prinsip dasar metode skeptis dalam filsafat.

2)                  Menelusuri perkembangan sejarah skeptisisme dan tokoh-tokoh utama yang berperan dalam mengembangkannya.

3)                  Mengeksplorasi penerapan metode skeptis dalam berbagai bidang keilmuan, terutama dalam epistemologi dan filsafat sains.

4)                  Mengidentifikasi kritik terhadap metode skeptis serta relevansinya dalam diskursus filsafat kontemporer.

Dengan pendekatan sistematis ini, artikel ini bertujuan untuk menyoroti peran sentral metode skeptis dalam pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, serta bagaimana skeptisisme dapat digunakan sebagai alat analisis dalam memahami realitas secara lebih objektif.


Footnotes

[1]                Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 2-5.

[2]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 143.

[3]                Michael Williams, Problems of Knowledge: A Critical Introduction to Epistemology (Oxford: Oxford University Press, 2001), 89.

[4]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 21.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 45-47.


2.           Pengertian dan Karakteristik Metode Skeptis

2.1.       Pengertian Metode Skeptis dalam Filsafat

Metode skeptis dalam filsafat merujuk pada pendekatan yang menekankan keraguan sistematis terhadap klaim kebenaran sebelum menerima suatu pengetahuan sebagai sahih.¹ Pendekatan ini bertujuan untuk menguji validitas argumen dengan mempertanyakan asumsi, bukti, dan konsekuensi logis dari suatu pernyataan. Skeptisisme, dalam konteks filsafat, bukan berarti menolak kebenaran secara mutlak, tetapi lebih kepada menangguhkan penilaian (epoché) terhadap suatu klaim hingga ditemukan dasar yang lebih kuat untuk menerimanya.²

Filsafat skeptis memiliki akar dalam pemikiran Pyrrho dari Elis (360–270 SM), yang dikenal sebagai bapak skeptisisme. Ia berpendapat bahwa manusia tidak dapat mencapai pengetahuan yang pasti karena persepsi indrawi dan pemikiran rasional selalu rentan terhadap kesalahan.³ Konsep ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Sextus Empiricus (160–210 M), yang membedakan skeptisisme dari dogmatisme dengan menekankan bahwa skeptisisme tidak membuat klaim kebenaran apa pun, melainkan hanya menjeda penilaian terhadap semua pernyataan.⁴ Dalam hal ini, skeptisisme lebih berfungsi sebagai metode pengujian kebenaran dibandingkan sebagai suatu doktrin yang menetapkan kebenaran absolut.

Metode skeptis kemudian berkembang dalam pemikiran filsuf modern seperti René Descartes, yang menggunakan skeptisisme metodis untuk menemukan dasar pengetahuan yang tak terbantahkan. Dalam Meditations on First Philosophy, Descartes meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan, termasuk pengalaman indrawi dan logika, hingga ia menemukan satu prinsip yang tidak dapat diragukan: cogito, ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).⁵ Pendekatan ini menunjukkan bahwa metode skeptis bukan hanya alat untuk menolak klaim kebenaran, tetapi juga sarana untuk menemukan fondasi yang lebih kokoh dalam epistemologi.

2.2.       Karakteristik Metode Skeptis

Metode skeptis dalam filsafat memiliki beberapa karakteristik utama yang membedakannya dari metode lain dalam kajian filsafat dan ilmu pengetahuan. Karakteristik ini meliputi:

2.2.1.    Keraguan Metodis

Skeptisisme menekankan keraguan metodis, yaitu proses meragukan segala klaim kebenaran sebelum diterima sebagai pengetahuan yang sahih. Descartes menggunakannya sebagai langkah awal dalam pencarian kebenaran dengan cara menguji validitas pengetahuan melalui perenungan kritis.⁶ Dalam tradisi empirisme, David Hume juga menerapkan skeptisisme dengan menunjukkan bahwa hubungan sebab-akibat tidak dapat diketahui secara pasti, melainkan hanya didasarkan pada kebiasaan dan pengalaman manusia.⁷

2.2.2.    Epoché (Penangguhan Penilaian)

Konsep epoché atau penangguhan penilaian adalah inti dari metode skeptis yang pertama kali dikemukakan oleh para skeptis Yunani.⁸ Sextus Empiricus menjelaskan bahwa dengan menangguhkan penilaian, seseorang dapat mencapai keadaan mental yang lebih stabil dan tidak terpengaruh oleh klaim-klaim yang belum terbukti.⁹ Dengan demikian, skeptisisme tidak mengarah pada nihilisme, tetapi lebih kepada sikap kehati-hatian dalam menerima suatu klaim kebenaran.

2.2.3.    Penolakan terhadap Dogmatisme

Salah satu prinsip utama metode skeptis adalah penolakan terhadap dogmatisme, yaitu keyakinan yang diterima tanpa bukti atau pengujian rasional. Skeptisisme berusaha menghindari klaim-klaim yang tidak dapat diuji kebenarannya, baik dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, maupun teologi.¹⁰ Dalam konteks ini, skeptisisme sering kali menjadi alat kritis terhadap tradisi intelektual yang menerima doktrin tanpa pengujian lebih lanjut.

2.2.4.    Relativisme Pengetahuan

Metode skeptis juga sering dikaitkan dengan relativisme pengetahuan, yaitu gagasan bahwa tidak ada kebenaran absolut yang dapat diklaim secara mutlak.¹¹ Sextus Empiricus, misalnya, menegaskan bahwa setiap klaim pengetahuan harus selalu diuji karena kebenaran dapat berubah tergantung pada perspektif dan konteksnya.¹² Namun, skeptisisme tidak selalu mengarah pada relativisme ekstrem, karena beberapa skeptis seperti Descartes menggunakan metode ini untuk menemukan kepastian yang lebih kuat dalam pengetahuan.

2.2.5.    Relevansi dalam Kajian Ilmu Pengetahuan

Dalam dunia modern, metode skeptis memiliki peran penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Karl Popper memperkenalkan konsep falsifikasi, yang merupakan pendekatan skeptis terhadap teori ilmiah dengan menekankan bahwa suatu teori harus selalu terbuka untuk diuji dan dibuktikan salah.¹³ Dengan demikian, skeptisisme menjadi fondasi bagi metode ilmiah yang menuntut bukti empiris sebelum menerima klaim sebagai kebenaran.


Kesimpulan

Metode skeptis dalam filsafat merupakan pendekatan yang berfokus pada keraguan metodis, penangguhan penilaian, dan penghindaran dogmatisme dalam mengevaluasi klaim kebenaran. Dengan akar yang kuat dalam pemikiran Yunani kuno dan perkembangan lebih lanjut dalam filsafat modern, metode ini tidak hanya berfungsi sebagai alat kritik terhadap klaim pengetahuan, tetapi juga sebagai sarana untuk membangun dasar epistemologi yang lebih kuat. Karakteristik utama metode skeptis, seperti epoché, relativisme pengetahuan, dan falsifikasi, menunjukkan bahwa pendekatan ini masih sangat relevan dalam kajian filsafat dan ilmu pengetahuan kontemporer.


Footnotes

[1]                Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 3-5.

[2]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 145.

[3]                Gisela Striker, Essays on Hellenistic Epistemology and Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 68.

[4]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 1.4.

[5]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 23.

[6]                Michael Williams, Problems of Knowledge: A Critical Introduction to Epistemology (Oxford: Oxford University Press, 2001), 91.

[7]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 72-75.

[8]                Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 34.

[9]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, 1.10.

[10]             Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents, and His Legacy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 112.

[11]             Paul K. Moser, The Oxford Handbook of Epistemology (Oxford: Oxford University Press, 2002), 75.

[12]             Sextus Empiricus, Against the Logicians, trans. R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1935), 1.23.

[13]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 40-45.


3.           Sejarah dan Perkembangan Metode Skeptis

Metode skeptis memiliki sejarah yang panjang dalam filsafat dan telah mengalami perkembangan signifikan dari era filsafat Yunani Kuno, abad pertengahan, filsafat modern, hingga filsafat kontemporer. Skeptisisme tidak hanya menjadi alat kritik terhadap klaim pengetahuan, tetapi juga berperan penting dalam membentuk epistemologi dan metode ilmiah.

3.1.       Skeptisisme dalam Filsafat Yunani Kuno

Skeptisisme dalam filsafat pertama kali muncul dalam pemikiran Pyrrho dari Elis (360–270 SM), seorang filsuf Yunani yang dianggap sebagai bapak skeptisisme.¹ Pyrrho mengembangkan ajaran bahwa manusia tidak dapat mencapai kebenaran mutlak karena persepsi indrawi dan akal selalu rentan terhadap kesalahan. Oleh karena itu, ia menyarankan epoché (penangguhan penilaian) sebagai sikap terbaik untuk mencapai ketenangan batin (ataraxia).²

Aliran skeptisisme Pyrrhonian kemudian dikodifikasi lebih lanjut oleh Sextus Empiricus (160–210 M) dalam karyanya Outlines of Pyrrhonism.³ Sextus menegaskan bahwa skeptisisme bukan sekadar keraguan pasif, tetapi suatu metode yang digunakan untuk menangguhkan penilaian dan mencapai keseimbangan intelektual.⁴ Ia membedakan skeptisisme dari dogmatisme dengan menunjukkan bahwa para skeptis sejati tidak membuat klaim kebenaran apa pun, melainkan hanya menunda kesimpulan sampai bukti yang cukup tersedia.

Selain skeptisisme Pyrrhonian, terdapat juga skeptisisme akademik, yang berkembang dalam Platonisme Akademi melalui pemikiran Arkesilaos (316–241 SM) dan Karnades (214–129 SM).⁵ Berbeda dengan skeptisisme Pyrrhonian yang menangguhkan penilaian, skeptisisme akademik menolak kemungkinan pengetahuan yang pasti dan berargumen bahwa semua keyakinan harus selalu diuji ulang.

3.2.       Skeptisisme dalam Abad Pertengahan dan Renaisans

Pada abad pertengahan, metode skeptis kurang berkembang karena dominasi pemikiran skolastik yang berbasis pada teologi Kristen. Namun, beberapa pemikir tetap mempertahankan sikap skeptis terhadap dogma keagamaan dan filsafat Aristotelian. Al-Ghazali (1058–1111 M) dalam karyanya Tahafut al-Falasifah menggunakan skeptisisme untuk mengkritik filsafat rasionalis para filosof Muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina.⁶ Al-Ghazali menegaskan bahwa akal memiliki keterbatasan dan bahwa kebenaran sejati hanya dapat diperoleh melalui wahyu.

Pada era Renaisans, skeptisisme mengalami kebangkitan melalui karya Michel de Montaigne (1533–1592), seorang filsuf Prancis yang memperkenalkan skeptisisme dalam esai-esainya.⁷ Montaigne menggunakan skeptisisme untuk mempertanyakan otoritas ilmu pengetahuan dan agama, serta menekankan pentingnya pengalaman pribadi dalam pencarian kebenaran.

3.3.       Skeptisisme dalam Filsafat Modern

Filsafat modern menandai era penting dalam perkembangan metode skeptis, terutama melalui pemikiran René Descartes (1596–1650). Dalam Meditations on First Philosophy, Descartes menggunakan skeptisisme metodis untuk meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan, termasuk pengalaman indrawi dan logika, hingga ia menemukan satu kebenaran fundamental: cogito, ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).⁸ Pendekatan Descartes menandai perubahan skeptisisme dari sekadar metode kritik menjadi alat untuk membangun dasar pengetahuan yang lebih kokoh.

Selain Descartes, David Hume (1711–1776) mengembangkan skeptisisme lebih lanjut dalam konteks empirisme. Dalam An Enquiry Concerning Human Understanding, Hume berpendapat bahwa pengetahuan manusia terutama didasarkan pada pengalaman, tetapi pengalaman itu sendiri tidak dapat menjamin kepastian absolut.⁹ Ia menyoroti bahwa hubungan sebab-akibat hanyalah kebiasaan berpikir manusia, bukan hukum alam yang pasti. Dengan demikian, skeptisisme Hume menantang dasar-dasar rasionalisme dan epistemologi klasik.

3.4.       Skeptisisme dalam Filsafat Kontemporer

Dalam filsafat kontemporer, skeptisisme tetap menjadi tema penting, terutama dalam epistemologi dan filsafat ilmu. Karl Popper (1902–1994) mengembangkan metode falsifikasi, yang berakar pada prinsip skeptisisme, dengan menekankan bahwa teori ilmiah tidak bisa diklaim sebagai kebenaran absolut, tetapi harus selalu diuji dan berpotensi untuk dibantah.¹⁰

Di sisi lain, Richard Rorty (1931–2007) dalam karyanya Philosophy and the Mirror of Nature mengkritik pandangan tradisional tentang objektivitas pengetahuan dan mengajukan perspektif pragmatis skeptis, yang menekankan bahwa kebenaran adalah hasil dari kesepakatan sosial daripada realitas absolut.¹¹ Pendekatan ini menunjukkan bahwa skeptisisme tetap relevan dalam diskursus filsafat kontemporer, terutama dalam menanggapi persoalan postmodernisme dan relativisme.


Kesimpulan

Sejarah metode skeptis menunjukkan bahwa pendekatan ini telah berkembang dari skeptisisme Yunani Kuno, yang menekankan epoché dan penangguhan penilaian, hingga skeptisisme modern yang digunakan sebagai alat metodologis untuk membangun dasar epistemologi yang lebih kuat. Dalam filsafat modern, skeptisisme berkembang menjadi metode untuk menguji validitas klaim ilmiah, seperti yang dikembangkan oleh Descartes, Hume, dan Popper. Hingga saat ini, metode skeptis tetap menjadi bagian penting dalam kajian filsafat, epistemologi, dan ilmu pengetahuan, terutama dalam menghadapi tantangan relativisme dan postmodernisme.


Footnotes

[1]                Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 5-7.

[2]                Gisela Striker, Essays on Hellenistic Epistemology and Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 72-75.

[3]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 1.10.

[4]                Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 34.

[5]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 148.

[6]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 23-27.

[7]                Michel de Montaigne, The Complete Essays, trans. M.A. Screech (London: Penguin Books, 1991), 215.

[8]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 25.

[9]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 78.

[10]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 50-53.

[11]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 176-178.


4.           Variasi dalam Metode Skeptis

Metode skeptis dalam filsafat tidak bersifat monolitik, tetapi memiliki variasi yang berkembang sepanjang sejarah pemikiran manusia. Variasi ini muncul dalam bentuk pendekatan yang berbeda dalam meragukan, menangguhkan penilaian, atau bahkan menolak kemungkinan pengetahuan yang pasti. Secara umum, terdapat tiga bentuk utama dari skeptisisme dalam filsafat, yaitu skeptisisme akademik, skeptisisme Pyrrhonian, dan skeptisisme radikal versus skeptisisme moderat.

4.1.       Skeptisisme Akademik (Academic Skepticism)

Skeptisisme akademik berkembang dalam tradisi Platonisme Akademi setelah periode Plato, terutama melalui ajaran Arkesilaos (316–241 SM) dan Karnades (214–129 SM).¹ Skeptisisme akademik menegaskan bahwa pengetahuan yang pasti tidak mungkin dicapai oleh manusia, karena semua informasi yang kita terima melalui indra atau akal selalu bisa diragukan.²

Para skeptis akademik berargumen bahwa manusia sebaiknya tidak menerima klaim apa pun sebagai kebenaran absolut, tetapi tetap mempertimbangkan klaim berdasarkan tingkat probabilitasnya. Karnades, misalnya, menolak konsep kebenaran mutlak yang dikemukakan oleh para Stoa dan mengembangkan teori bahwa manusia seharusnya membuat keputusan berdasarkan probabilitas daripada kepastian mutlak.³ Pendekatan ini berpengaruh besar dalam perkembangan metode ilmiah modern yang mengandalkan probabilitas dan verifikasi empiris dalam menentukan validitas suatu teori.

4.2.       Skeptisisme Pyrrhonian (Pyrrhonism)

Skeptisisme Pyrrhonian berasal dari pemikiran Pyrrho dari Elis (360–270 SM) dan dikembangkan lebih lanjut oleh Sextus Empiricus (160–210 M).⁴ Berbeda dengan skeptisisme akademik yang menolak kemungkinan pengetahuan yang pasti, skeptisisme Pyrrhonian lebih menekankan epoché, yaitu sikap penangguhan penilaian terhadap semua klaim kebenaran.⁵

Menurut Sextus Empiricus, para skeptis Pyrrhonian tidak menerima atau menolak klaim kebenaran, tetapi hanya menunda penilaian hingga bukti yang cukup tersedia.⁶ Sikap ini dianggap dapat menghasilkan ataraxia (ketenangan batin), karena dengan tidak terikat pada klaim kebenaran tertentu, seseorang dapat menghindari konflik dan ketegangan intelektual.⁷

Skeptisisme Pyrrhonian memiliki tiga tahap utama dalam metodenya, yaitu:

1)                  Menghadapi kontradiksi antara berbagai argumen (misalnya, klaim yang bertentangan dalam filsafat atau ilmu pengetahuan).

2)                  Menangguhkan penilaian (epoché) karena tidak ada alasan yang cukup kuat untuk menerima satu klaim dibandingkan klaim lainnya.

3)                  Mencapai ataraxia, yaitu keadaan ketenangan mental akibat tidak terjebak dalam dogma atau keyakinan yang dipaksakan.

Pendekatan ini menjadi landasan bagi berbagai teori skeptis dalam epistemologi modern dan masih digunakan dalam diskusi filsafat kontemporer tentang relativisme dan kebenaran.

4.3.       Skeptisisme Radikal vs. Skeptisisme Moderat

Dalam perkembangannya, skeptisisme terbagi menjadi dua bentuk utama: skeptisisme radikal dan skeptisisme moderat.

4.3.1.    Skeptisisme Radikal

Skeptisisme radikal adalah bentuk skeptisisme yang menolak kemungkinan memperoleh pengetahuan yang pasti tentang realitas apa pun.⁸ Tokoh utama skeptisisme radikal adalah David Hume (1711–1776), yang berpendapat bahwa induksi dan hubungan sebab-akibat dalam ilmu pengetahuan tidak dapat dibuktikan secara logis.⁹ Hume berargumen bahwa pengalaman manusia hanya didasarkan pada kebiasaan, bukan pada kepastian objektif.

Skeptisisme radikal juga tercermin dalam filsafat Immanuel Kant (1724–1804), yang mengakui keterbatasan akal manusia dalam memahami realitas "dalam dirinya sendiri" (noumenon).¹⁰ Kant menyatakan bahwa kita hanya dapat memahami dunia sebagaimana yang ditangkap oleh indra dan struktur kognitif kita (phenomenon), tetapi tidak dapat mengetahui realitas secara objektif.

4.3.2.    Skeptisisme Moderat

Skeptisisme moderat, di sisi lain, tidak menolak kemungkinan pengetahuan secara total, tetapi lebih kepada sikap kritik dan kehati-hatian dalam menerima klaim kebenaran.¹¹ Tokoh seperti Karl Popper (1902–1994) menggunakan prinsip skeptisisme dalam metode falsifikasinya, yang menyatakan bahwa teori ilmiah tidak bisa diklaim sebagai kebenaran mutlak, tetapi harus selalu terbuka untuk diuji dan dibantah jika ditemukan bukti yang berlawanan.¹²

Dalam filsafat analitik, skeptisisme moderat juga berkembang dalam bentuk fallibilisme, yang diajukan oleh Charles Sanders Peirce (1839–1914) dan Willard Van Orman Quine (1908–2000). Fallibilisme berpendapat bahwa semua pengetahuan bersifat sementara dan selalu dapat diperbaiki melalui penelitian lebih lanjut.¹³


Kesimpulan

Variasi dalam metode skeptis mencerminkan perbedaan pendekatan dalam meragukan, menangguhkan penilaian, atau menolak kepastian dalam pengetahuan. Skeptisisme akademik lebih berfokus pada probabilitas dalam penilaian, sementara skeptisisme Pyrrhonian lebih menekankan penangguhan penilaian (epoché) untuk mencapai ketenangan batin. Di sisi lain, skeptisisme modern berkembang menjadi skeptisisme radikal, yang menolak kemungkinan pengetahuan mutlak, dan skeptisisme moderat, yang lebih bersikap kritis tetapi tetap mengakui kemungkinan pengetahuan yang berkembang.

Keberagaman pendekatan ini menunjukkan bahwa skeptisisme tetap menjadi bagian penting dalam epistemologi, filsafat ilmu, dan filsafat analitik, serta memiliki implikasi yang luas dalam berbagai disiplin ilmu lainnya.


Footnotes

[1]                Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 10-12.

[2]                Gisela Striker, Essays on Hellenistic Epistemology and Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 80.

[3]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 150.

[4]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 1.14.

[5]                Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 40.

[6]                Sextus Empiricus, Against the Logicians, trans. R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1935), 2.23.

[7]                Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents, and His Legacy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 120.

[8]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 85.

[9]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 45.

[10]             Paul K. Moser, The Oxford Handbook of Epistemology (Oxford: Oxford University Press, 2002), 92.

[11]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 185.

[12]             Karl Popper, Conjectures and Refutations (London: Routledge, 1963), 75.

[13]             W.V.O. Quine, Word and Object (Cambridge: MIT Press, 1960), 56.


5.           Metode Skeptis dalam Kajian Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

Metode skeptis tidak hanya berfungsi sebagai alat kritik dalam filsafat, tetapi juga memainkan peran penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam kajian filsafat, metode skeptis digunakan untuk menguji validitas klaim epistemologis, sementara dalam ilmu pengetahuan, skeptisisme menjadi dasar bagi metode ilmiah yang menekankan verifikasi dan falsifikasi. Dalam bagian ini, kita akan membahas bagaimana metode skeptis diterapkan dalam epistemologi, analisis argumen filosofis, serta dalam ilmu pengetahuan dan penelitian ilmiah.

5.1.       Penggunaan Metode Skeptis dalam Epistemologi

Epistemologi, atau teori pengetahuan, adalah salah satu cabang filsafat yang paling banyak memanfaatkan metode skeptis. Skeptisisme epistemologis mempertanyakan apakah manusia dapat memperoleh pengetahuan yang benar dan sejauh mana kebenaran itu dapat dipastikan.¹ Tokoh penting dalam skeptisisme epistemologis adalah David Hume (1711–1776), yang berpendapat bahwa hubungan sebab-akibat tidak dapat dibuktikan secara mutlak, melainkan hanya didasarkan pada kebiasaan manusia dalam mengamati pola dalam realitas.²

Selain Hume, René Descartes (1596–1650) menggunakan skeptisisme metodis untuk menemukan dasar pengetahuan yang tidak dapat diragukan. Dalam Meditations on First Philosophy, Descartes meragukan segala sesuatu, termasuk eksistensi dunia luar, hingga ia menemukan prinsip dasar cogito, ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).³ Pendekatan ini menunjukkan bahwa skeptisisme bukan hanya alat untuk menolak klaim kebenaran, tetapi juga metode untuk membangun dasar pengetahuan yang lebih kuat.

Selain itu, skeptisisme epistemologis juga memunculkan konsep fallibilisme, yang dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce (1839–1914) dan Willard Van Orman Quine (1908–2000). Fallibilisme menyatakan bahwa semua klaim pengetahuan bersifat sementara dan selalu dapat direvisi berdasarkan bukti baru.⁴ Pendekatan ini menjadi dasar bagi metode ilmiah modern yang selalu terbuka terhadap koreksi dan pembaruan.

5.2.       Skeptisisme dalam Analisis Argumen Filosofis

Metode skeptis juga digunakan dalam analisis argumen filosofis untuk menguji koherensi, validitas, dan kelayakan klaim filosofis. Dalam filsafat analitik, skeptisisme sering diterapkan dalam debat mengenai realitas, eksistensi Tuhan, dan batasan pengetahuan manusia.

Sebagai contoh, dalam filsafat bahasa, skeptisisme digunakan untuk mempertanyakan hubungan antara bahasa dan realitas. Ludwig Wittgenstein (1889–1951) dalam Philosophical Investigations menolak gagasan bahwa bahasa dapat menggambarkan dunia secara objektif, dengan menyatakan bahwa makna bahasa bergantung pada konteks penggunaannya.⁵ Pendekatan skeptis ini mengarah pada teori pragmatisme dalam filsafat bahasa dan epistemologi.

Dalam filsafat agama, skeptisisme digunakan untuk menguji argumen keberadaan Tuhan. Sextus Empiricus (160–210 M) dalam Outlines of Pyrrhonism menunjukkan bahwa klaim-klaim teologis seringkali tidak dapat diuji secara empiris, sehingga para skeptis memilih untuk menangguhkan penilaian terhadap klaim-klaim tersebut.⁶ Hal ini berkontribusi pada berkembangnya agnostisisme, yaitu pandangan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat dipastikan secara rasional.

5.3.       Penerapan Metode Skeptis dalam Ilmu Pengetahuan

Metode skeptis memainkan peran krusial dalam perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam membangun metode ilmiah yang berbasis pengamatan, eksperimen, dan falsifikasi.

5.3.1.    Skeptisisme dan Metode Ilmiah

Skeptisisme dalam ilmu pengetahuan pertama kali dikodifikasi oleh Francis Bacon (1561–1626), yang memperkenalkan induksi empiris sebagai dasar metode ilmiah. Bacon menolak dogmatisme Aristotelian yang mendasarkan pengetahuan pada logika deduktif tanpa verifikasi empiris.⁷

Selanjutnya, Karl Popper (1902–1994) memperkenalkan metode falsifikasi, yang merupakan bentuk skeptisisme dalam ilmu pengetahuan. Menurut Popper, suatu teori ilmiah tidak dapat dianggap benar secara absolut, tetapi hanya dianggap sahih sejauh teori tersebut belum terbantahkan oleh bukti empiris.⁸ Dengan demikian, ilmu pengetahuan selalu bersifat tentatif dan terbuka terhadap koreksi berdasarkan data baru.

Pendekatan skeptis ini juga mempengaruhi perkembangan sains modern, terutama dalam bidang fisika kuantum dan teori relativitas. Albert Einstein (1879–1955), misalnya, menggunakan skeptisisme terhadap fisika Newtonian untuk mengembangkan teori relativitas, yang merevolusi pemahaman tentang ruang dan waktu.⁹

5.3.2.    Skeptisisme dalam Pseudoscience dan Hoaks Ilmiah

Dalam era modern, skeptisisme juga digunakan untuk membedakan sains sejati (science) dari pseudoscience dan hoaks ilmiah. Carl Sagan (1934–1996), dalam bukunya The Demon-Haunted World: Science as a Candle in the Dark, menekankan pentingnya skeptisisme ilmiah dalam menghadapi klaim-klaim tanpa dasar ilmiah, seperti astrologi, teori konspirasi, dan pengobatan alternatif yang tidak terbukti.¹⁰

Skeptisisme dalam ilmu pengetahuan membantu dalam memerangi misinformasi, terutama dalam era digital yang dipenuhi dengan berita palsu dan klaim yang tidak diverifikasi. Dengan menerapkan metode skeptis, seseorang dapat lebih kritis dalam menilai keabsahan informasi yang beredar.


Kesimpulan

Metode skeptis memiliki peran yang signifikan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam filsafat, skeptisisme digunakan untuk menguji validitas epistemologi, analisis argumen filosofis, dan perdebatan tentang realitas. Sementara dalam ilmu pengetahuan, skeptisisme menjadi dasar bagi metode ilmiah yang berbasis falsifikasi, verifikasi empiris, dan penolakan terhadap dogmatisme.

Dengan memahami dan menerapkan metode skeptis, kita dapat mengembangkan pemikiran kritis yang lebih tajam, menghindari kesesatan logika, serta membangun ilmu pengetahuan yang lebih akurat dan dapat diuji.


Footnotes

[1]                Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 15-18.

[2]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 78.

[3]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 30.

[4]                W.V.O. Quine, Word and Object (Cambridge: MIT Press, 1960), 65.

[5]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 43-45.

[6]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 1.10.

[7]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. J. Spedding (London: Routledge, 2000), 42-44.

[8]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 50.

[9]                Albert Einstein, Relativity: The Special and the General Theory (Princeton: Princeton University Press, 1920), 12-15.

[10]             Carl Sagan, The Demon-Haunted World: Science as a Candle in the Dark (New York: Random House, 1995), 25-30.


6.           Kritik terhadap Metode Skeptis

Metode skeptis dalam filsafat memiliki peran yang penting dalam menguji kebenaran suatu klaim dan menolak dogmatisme yang tidak didasarkan pada bukti yang cukup. Namun, metode ini tidak terlepas dari kritik. Berbagai filsuf telah mengajukan keberatan terhadap skeptisisme, baik dalam bentuk skeptisisme radikal maupun moderat. Kritik ini muncul dari berbagai aliran filsafat, termasuk rasionalisme, empirisme, dan pragmatisme, yang menganggap bahwa skeptisisme dapat mengarah pada relativisme ekstrem atau bahkan nihilisme epistemologis.

Bagian ini akan membahas tiga kritik utama terhadap metode skeptis, yaitu tantangan terhadap skeptisisme radikal, pendekatan alternatif dalam epistemologi, dan relevansi metode skeptis dalam filsafat kontemporer.

6.1.       Tantangan terhadap Skeptisisme Radikal

Salah satu bentuk skeptisisme yang paling sering dikritik adalah skeptisisme radikal, yang berpendapat bahwa tidak ada pengetahuan yang dapat diperoleh dengan kepastian mutlak.¹ Kritik utama terhadap skeptisisme radikal adalah bahwa jika semua klaim kebenaran diragukan, maka skeptisisme itu sendiri juga harus diragukan.

Immanuel Kant (1724–1804) dalam Critique of Pure Reason menolak skeptisisme radikal dengan menyatakan bahwa meskipun pengetahuan manusia terbatas, ada struktur bawaan dalam akal manusia yang memungkinkan kita memahami dunia secara objektif.² Menurut Kant, skeptisisme Hume yang menyatakan bahwa hubungan sebab-akibat hanyalah kebiasaan pikiran manusia mengabaikan peran kategori-kategori apriori dalam memahami realitas.

Selain itu, G.E. Moore (1873–1958) dalam esainya Proof of an External World mengajukan argumen bahwa skeptisisme radikal bertentangan dengan akal sehat.³ Moore berargumen bahwa jika skeptisisme radikal benar, maka kita harus meragukan realitas keberadaan benda-benda di sekitar kita, yang secara praktis tidak dapat dipertahankan.

6.2.       Pendekatan Alternatif dalam Epistemologi

Banyak filsuf menganggap bahwa skeptisisme, meskipun memiliki manfaat sebagai metode kritik, tidak dapat menjadi landasan epistemologi yang memadai. Oleh karena itu, berbagai pendekatan alternatif telah diajukan untuk menjawab skeptisisme, termasuk rasionalisme, empirisme, dan pragmatisme.

6.2.1.    Rasionalisme sebagai Jawaban terhadap Skeptisisme

Rasionalisme, yang diwakili oleh René Descartes, menanggapi skeptisisme dengan mencari kebenaran yang tidak dapat diragukan.⁴ Dalam Meditations on First Philosophy, Descartes menggunakan skeptisisme metodis untuk meragukan semua hal hingga ia menemukan kepastian dalam cogito, ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).⁵ Dengan pendekatan ini, Descartes menunjukkan bahwa skeptisisme bukanlah tujuan akhir, tetapi alat untuk menemukan fondasi pengetahuan yang lebih kokoh.

6.2.2.    Empirisme sebagai Jawaban terhadap Skeptisisme

Sebagai reaksi terhadap skeptisisme Hume, filsuf empiris seperti John Locke (1632–1704) dan Thomas Reid (1710–1796) menekankan bahwa meskipun semua pengetahuan berasal dari pengalaman, itu tidak berarti bahwa semua pengalaman harus diragukan secara ekstrem.⁶ Reid, dalam teori common sense realism, berargumen bahwa manusia secara alami mempercayai realitas dunia luar dan tidak perlu membuktikan keberadaannya melalui argumen filosofis yang kompleks.⁷

6.2.3.    Pragmatisme sebagai Jawaban terhadap Skeptisisme

Pragmatisme, yang dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce (1839–1914) dan William James (1842–1910), menawarkan pendekatan yang lebih praktis terhadap skeptisisme.⁸ Pragmatisme menolak pertanyaan tentang apakah kita bisa mengetahui realitas secara absolut dan lebih fokus pada bagaimana suatu gagasan dapat berfungsi dalam praktik.

Peirce, dalam konsep fallibilisme, menyatakan bahwa semua klaim pengetahuan bersifat sementara dan dapat direvisi berdasarkan bukti baru.⁹ Dengan demikian, skeptisisme yang berlebihan dianggap tidak produktif karena tidak memberikan dasar yang jelas untuk kemajuan pengetahuan.

6.3.       Relevansi Metode Skeptis dalam Filsafat Kontemporer

Meskipun skeptisisme telah dikritik dari berbagai sudut pandang, metode ini tetap memiliki peran penting dalam filsafat kontemporer. Namun, skeptisisme yang ekstrem sering kali dianggap tidak praktis dan tidak relevan dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa filsuf, seperti Richard Rorty (1931–2007) dalam Philosophy and the Mirror of Nature, berpendapat bahwa skeptisisme telah kehilangan relevansinya karena tidak ada "cermin alam" yang dapat menunjukkan realitas sebagaimana adanya.¹⁰ Sebaliknya, ia menekankan bahwa kebenaran adalah hasil konstruksi sosial dan bukan sesuatu yang harus dicari melalui skeptisisme ekstrem.

Dalam bidang ilmu pengetahuan, Karl Popper (1902–1994) menunjukkan bahwa skeptisisme radikal tidak sesuai dengan metode ilmiah.¹¹ Dalam The Logic of Scientific Discovery, Popper memperkenalkan konsep falsifikasi, di mana teori ilmiah harus dapat diuji dan dibuktikan salah, tetapi tidak perlu diragukan sepenuhnya jika terbukti berfungsi dalam praktik.


Kesimpulan

Meskipun metode skeptis memiliki peran penting dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, ia juga menghadapi kritik yang signifikan. Skeptisisme radikal ditantang karena dianggap tidak koheren dan bertentangan dengan pengalaman manusia sehari-hari. Sebagai alternatif, rasionalisme, empirisme, dan pragmatisme menawarkan cara lain untuk memahami pengetahuan tanpa harus terjebak dalam skeptisisme ekstrem.

Dalam filsafat kontemporer, skeptisisme tetap digunakan sebagai alat kritik, tetapi tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya metode dalam memperoleh kebenaran. Dalam ilmu pengetahuan, skeptisisme telah berkembang menjadi metode falsifikasi, yang tetap terbuka terhadap koreksi tetapi tidak menolak kemungkinan adanya kebenaran ilmiah yang sementara.

Dengan demikian, meskipun skeptisisme tetap menjadi elemen penting dalam filsafat dan sains, pendekatan yang lebih moderat dan pragmatis sering kali dianggap lebih produktif dalam pengembangan pengetahuan.


Footnotes

[1]                Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 20.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 131.

[3]                G.E. Moore, Proof of an External World (Oxford: Oxford University Press, 1939), 24.

[4]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 170.

[5]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 32.

[6]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 1689), 87.

[7]                Thomas Reid, Essays on the Intellectual Powers of Man (Cambridge: MIT Press, 1969), 112.

[8]                William James, Pragmatism (Cambridge: Harvard University Press, 1907), 14.

[9]                Charles Sanders Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce (Cambridge: Harvard University Press, 1931), 5.17.

[10]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 205.

[11]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 55.


7.           Kesimpulan

Metode skeptis telah menjadi salah satu pendekatan paling berpengaruh dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Sejarahnya yang panjang, mulai dari skeptisisme Yunani kuno hingga penerapannya dalam ilmu pengetahuan modern, menunjukkan bahwa metode ini tidak hanya berfungsi sebagai alat kritik terhadap klaim kebenaran, tetapi juga sebagai strategi epistemologis untuk membangun pengetahuan yang lebih kuat dan dapat diuji.

Dalam filsafat, metode skeptis berperan dalam mengembangkan pendekatan yang lebih hati-hati terhadap klaim pengetahuan. Skeptisisme Pyrrhonian, sebagaimana dijelaskan oleh Sextus Empiricus (160–210 M), menekankan pentingnya epoché, atau penangguhan penilaian, untuk mencapai ketenangan batin (ataraxia).¹ Sementara itu, skeptisisme akademik yang berkembang dalam tradisi Platonisme Akademi berfokus pada probabilitas dalam pengambilan keputusan daripada pencarian kebenaran absolut.²

Pada masa modern, skeptisisme berperan dalam membentuk epistemologi dan metode ilmiah. René Descartes (1596–1650) menggunakan skeptisisme metodis untuk meragukan segala sesuatu hingga ia menemukan dasar yang tak terbantahkan dalam prinsip cogito, ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).³ David Hume (1711–1776) kemudian melanjutkan tradisi skeptisisme dengan menunjukkan bahwa hubungan sebab-akibat dalam ilmu pengetahuan hanyalah hasil kebiasaan berpikir manusia, bukan sesuatu yang dapat dibuktikan secara absolut.⁴

Dalam ilmu pengetahuan modern, skeptisisme berkembang menjadi dasar bagi metode ilmiah, terutama dalam bentuk falsifikasi yang diperkenalkan oleh Karl Popper (1902–1994).⁵ Menurut Popper, teori ilmiah tidak bisa diklaim sebagai kebenaran mutlak, tetapi harus selalu terbuka untuk diuji dan dibantah berdasarkan bukti empiris baru. Pendekatan ini memungkinkan kemajuan ilmu pengetahuan dengan tetap mempertahankan sikap skeptis terhadap klaim yang tidak dapat diuji secara objektif.

Namun, meskipun skeptisisme memiliki banyak manfaat, metode ini juga menghadapi kritik yang serius. Immanuel Kant (1724–1804) dalam Critique of Pure Reason menolak skeptisisme radikal dengan berargumen bahwa akal manusia memiliki struktur bawaan yang memungkinkan kita memahami realitas.⁶ Selain itu, G.E. Moore (1873–1958) dalam Proof of an External World mengkritik skeptisisme dengan menunjukkan bahwa keraguan ekstrem terhadap realitas bertentangan dengan akal sehat.⁷

Beberapa filsuf kontemporer juga menolak skeptisisme yang ekstrem. Richard Rorty (1931–2007) berpendapat bahwa skeptisisme radikal telah kehilangan relevansinya karena kebenaran lebih bersifat konstruksi sosial daripada sesuatu yang dapat ditemukan melalui keraguan ekstrem.⁸ Sebaliknya, pendekatan yang lebih moderat, seperti fallibilisme, yang diajukan oleh Charles Sanders Peirce (1839–1914), menegaskan bahwa semua pengetahuan bersifat sementara tetapi tetap dapat digunakan secara praktis.⁹

Secara keseluruhan, metode skeptis tetap relevan dalam kajian filsafat dan ilmu pengetahuan karena memungkinkan kita untuk mempertanyakan asumsi dan mengembangkan pemikiran yang lebih kritis. Namun, skeptisisme yang ekstrem sering kali dianggap tidak praktis dan tidak produktif, karena dapat menghambat perkembangan pengetahuan. Oleh karena itu, pendekatan skeptis yang lebih moderat dan berbasis verifikasi ilmiah dan kritik rasional sering dianggap sebagai alternatif yang lebih bermanfaat dalam membangun pengetahuan yang dapat diuji dan diperbaiki secara berkelanjutan.

Metode skeptis bukan sekadar alat untuk meragukan, tetapi juga sebagai pendekatan kritis yang membantu manusia dalam membangun dasar pemikiran yang lebih kuat dan rasional. Dengan demikian, skeptisisme tetap menjadi bagian penting dalam kajian filsafat dan ilmu pengetahuan, selama diterapkan dengan cara yang seimbang dan tidak mengarah pada relativisme atau nihilisme epistemologis.


Footnotes

[1]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 1.10.

[2]                Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 10-12.

[3]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 32.

[4]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 85.

[5]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 55.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 131.

[7]                G.E. Moore, Proof of an External World (Oxford: Oxford University Press, 1939), 24.

[8]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 205.

[9]                Charles Sanders Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce (Cambridge: Harvard University Press, 1931), 5.17.


Daftar Pustaka

Annas, J., & Barnes, J. (1985). The modes of scepticism. Cambridge University Press.

Bacon, F. (2000). Novum organum (J. Spedding, Ed.). Routledge.

Bett, R. (2000). Pyrrho, his antecedents, and his legacy. Oxford University Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Einstein, A. (1920). Relativity: The special and the general theory. Princeton University Press.

Hume, D. (1999). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kenny, A. (2010). A new history of western philosophy. Oxford University Press.

Locke, J. (1689). An essay concerning human understanding. Oxford University Press.

Moore, G. E. (1939). Proof of an external world. Oxford University Press.

Montaigne, M. (1991). The complete essays (M. A. Screech, Trans.). Penguin Books.

Moser, P. K. (2002). The Oxford handbook of epistemology. Oxford University Press.

Peirce, C. S. (1931). Collected papers of Charles Sanders Peirce. Harvard University Press.

Popkin, R. (2003). The history of scepticism: From Savonarola to Bayle. Oxford University Press.

Popper, K. (2002). The logic of scientific discovery. Routledge.

Popper, K. (1963). Conjectures and refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge.

Quine, W. V. O. (1960). Word and object. MIT Press.

Reid, T. (1969). Essays on the intellectual powers of man. MIT Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Sagan, C. (1995). The demon-haunted world: Science as a candle in the dark. Random House.

Sextus Empiricus. (1933). Outlines of Pyrrhonism (R. G. Bury, Trans.). Harvard University Press.

Sextus Empiricus. (1935). Against the logicians (R. G. Bury, Trans.). Harvard University Press.

Striker, G. (1996). Essays on Hellenistic epistemology and ethics. Cambridge University Press.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.

Williams, M. (2001). Problems of knowledge: A critical introduction to epistemology. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar