Metode Skeptis
Konsep, Sejarah, dan Implementasi
Abstrak
Metode skeptis merupakan salah satu pendekatan
utama dalam filsafat yang berfungsi sebagai alat kritik terhadap klaim
kebenaran serta sebagai strategi epistemologis dalam membangun pengetahuan yang
lebih kuat dan teruji. Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai
konsep, sejarah, dan implementasi metode skeptis dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan menelusuri perkembangan metode skeptis dari filsafat Yunani
Kuno—yang berakar pada ajaran Pyrrho dari Elis dan dikembangkan lebih
lanjut oleh Sextus Empiricus—hingga pemikiran filsafat modern seperti René
Descartes dan David Hume, artikel ini menyoroti peran skeptisisme
dalam membentuk epistemologi dan metode ilmiah.
Variasi dalam metode skeptis, termasuk skeptisisme
akademik, skeptisisme Pyrrhonian, skeptisisme radikal, dan skeptisisme moderat,
menjadi bagian penting dalam perkembangan filsafat. Dalam ilmu pengetahuan,
skeptisisme berperan dalam membangun metode ilmiah berbasis verifikasi dan
falsifikasi, sebagaimana dikembangkan oleh Karl Popper. Namun,
skeptisisme juga menghadapi kritik dari berbagai aliran filsafat, seperti rasionalisme,
empirisme, dan pragmatisme, yang menekankan bahwa metode skeptis tidak
dapat menjadi landasan epistemologi yang memadai tanpa batasan yang jelas.
Meskipun skeptisisme sering dikritik karena dapat
mengarah pada relativisme ekstrem dan nihilisme epistemologis,
pendekatan ini tetap memiliki relevansi dalam diskursus filsafat kontemporer
dan ilmu pengetahuan modern. Dengan mengadopsi skeptisisme yang lebih moderat
dan berbasis pada verifikasi ilmiah dan kritik rasional, skeptisisme
tetap menjadi alat yang berharga dalam membangun pemikiran yang lebih kritis
dan sistematis.
Kata Kunci: Skeptisisme, Metode Skeptis, Epistemologi,
Skeptisisme Pyrrhonian, Skeptisisme Akademik, Verifikasi Ilmiah, Karl Popper,
Filsafat Ilmu, Falsifikasi, Nihilisme Epistemologis.
PEMBAHASAN
Metode Skeptis dalam Kajian Filsafat
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang Pentingnya Metode dalam Kajian
Filsafat
Filsafat sebagai
disiplin ilmu tidak hanya berfokus pada hasil pemikiran, tetapi juga menekankan
pentingnya metode dalam memperoleh dan menguji kebenaran suatu gagasan. Salah
satu metode yang telah lama menjadi bagian dari kajian filsafat adalah metode
skeptis, yang bertujuan untuk meragukan kebenaran klaim
tertentu sebelum menerimanya sebagai pengetahuan yang sahih. Metode ini muncul
sebagai respons terhadap berbagai pendekatan dogmatis yang mengasumsikan
kebenaran tanpa proses pengujian yang memadai. Sebagaimana dikemukakan oleh
Richard Popkin, skeptisisme telah memainkan peran fundamental dalam
perkembangan filsafat Barat, terutama dalam merangsang pemikiran kritis dan
penyelidikan yang lebih mendalam terhadap klaim kebenaran yang dianggap mapan.¹
Dalam sejarah
filsafat, metode skeptis memiliki peran penting dalam membangun dasar-dasar
epistemologi, yang merupakan cabang filsafat yang membahas asal-usul, batasan,
dan validitas pengetahuan. Skeptisisme tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk
menguji klaim kebenaran, tetapi juga sebagai pendekatan metodologis yang
membantu membedakan antara keyakinan yang bersifat spekulatif dan yang
didasarkan pada bukti atau rasionalitas.² Oleh karena itu, pemahaman mengenai
metode skeptis menjadi esensial bagi siapa pun yang ingin mendalami filsafat,
khususnya dalam upaya mengembangkan pemikiran yang kritis dan sistematis.
1.2.
Pengertian Metode Skeptis dalam Konteks
Filsafat
Secara umum, metode
skeptis dalam filsafat merujuk pada pendekatan yang menekankan keraguan
metodis terhadap klaim pengetahuan sebelum suatu kebenaran
dapat diterima.³ Pendekatan ini digunakan untuk menghindari kesimpulan yang
didasarkan pada asumsi atau prasangka yang tidak diuji secara rasional. René
Descartes adalah salah satu filsuf yang memanfaatkan
skeptisisme sebagai metode filsafat dalam pencarian kebenaran yang lebih kokoh.
Dalam karyanya, Meditations on First Philosophy,
Descartes menggunakan skeptisisme metodis untuk meragukan segala sesuatu hingga
ia menemukan prinsip yang tak terbantahkan, yaitu cogito, ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).⁴
Selain Descartes, David
Hume juga memberikan kontribusi besar dalam pengembangan metode
skeptis, khususnya dalam menyoroti keterbatasan akal manusia dalam memperoleh
pengetahuan secara objektif.⁵ Hume menunjukkan bahwa banyak dari keyakinan kita
didasarkan pada pengalaman dan kebiasaan, bukan pada kepastian logis atau
empiris yang mutlak. Dengan demikian, skeptisisme menjadi alat yang penting
dalam filsafat, baik untuk mengkritisi teori-teori yang ada maupun untuk
membangun dasar epistemologi yang lebih kuat.
1.3.
Tujuan dan Ruang Lingkup Pembahasan
Artikel ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman komprehensif mengenai metode
skeptis dalam filsafat, mulai dari pengertian, sejarah, hingga
implementasinya dalam berbagai bidang keilmuan. Pembahasan akan mencakup
perkembangan metode skeptis dari filsafat klasik hingga filsafat modern, serta
bagaimana metode ini diterapkan dalam kajian filsafat dan ilmu pengetahuan.
Dengan memahami metode skeptis secara mendalam, kita dapat melihat bagaimana
pendekatan ini tidak hanya membentuk tradisi berpikir kritis dalam filsafat
tetapi juga memberikan kontribusi signifikan dalam disiplin ilmu lainnya.
Melalui kajian ini,
pembaca diharapkan dapat:
1)
Memahami prinsip-prinsip
dasar metode skeptis dalam filsafat.
2)
Menelusuri perkembangan
sejarah skeptisisme dan tokoh-tokoh utama yang berperan dalam mengembangkannya.
3)
Mengeksplorasi penerapan
metode skeptis dalam berbagai bidang keilmuan, terutama dalam epistemologi dan
filsafat sains.
4)
Mengidentifikasi kritik
terhadap metode skeptis serta relevansinya dalam diskursus filsafat
kontemporer.
Dengan pendekatan
sistematis ini, artikel ini bertujuan untuk menyoroti peran
sentral metode skeptis dalam pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan,
serta bagaimana skeptisisme dapat digunakan sebagai alat analisis dalam
memahami realitas secara lebih objektif.
Footnotes
[1]
Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to
Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 2-5.
[2]
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 143.
[3]
Michael Williams, Problems of Knowledge: A Critical Introduction
to Epistemology (Oxford: Oxford University Press, 2001), 89.
[4]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 21.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 45-47.
2.
Pengertian
dan Karakteristik Metode Skeptis
2.1.
Pengertian Metode Skeptis dalam Filsafat
Metode skeptis dalam
filsafat merujuk pada pendekatan yang menekankan keraguan
sistematis terhadap klaim kebenaran sebelum menerima suatu
pengetahuan sebagai sahih.¹ Pendekatan ini bertujuan untuk menguji validitas
argumen dengan mempertanyakan asumsi, bukti, dan konsekuensi logis dari suatu
pernyataan. Skeptisisme, dalam konteks filsafat, bukan berarti menolak
kebenaran secara mutlak, tetapi lebih kepada menangguhkan penilaian (epoché)
terhadap suatu klaim hingga ditemukan dasar yang lebih kuat untuk menerimanya.²
Filsafat skeptis
memiliki akar dalam pemikiran Pyrrho dari Elis (360–270 SM),
yang dikenal sebagai bapak skeptisisme. Ia berpendapat bahwa manusia tidak
dapat mencapai pengetahuan yang pasti karena persepsi indrawi dan pemikiran
rasional selalu rentan terhadap kesalahan.³ Konsep ini kemudian dikembangkan
lebih lanjut oleh Sextus Empiricus (160–210 M), yang membedakan skeptisisme
dari dogmatisme dengan menekankan bahwa skeptisisme tidak membuat klaim
kebenaran apa pun, melainkan hanya menjeda penilaian terhadap
semua pernyataan.⁴ Dalam hal ini, skeptisisme lebih berfungsi sebagai metode
pengujian kebenaran dibandingkan sebagai suatu doktrin yang menetapkan
kebenaran absolut.
Metode skeptis
kemudian berkembang dalam pemikiran filsuf modern seperti René
Descartes, yang menggunakan skeptisisme metodis untuk
menemukan dasar pengetahuan yang tak terbantahkan. Dalam Meditations
on First Philosophy, Descartes meragukan segala sesuatu yang dapat
diragukan, termasuk pengalaman indrawi dan logika, hingga ia menemukan satu
prinsip yang tidak dapat diragukan: cogito, ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).⁵ Pendekatan ini menunjukkan bahwa metode skeptis bukan hanya
alat untuk menolak klaim kebenaran, tetapi juga sarana untuk menemukan fondasi
yang lebih kokoh dalam epistemologi.
2.2.
Karakteristik Metode Skeptis
Metode skeptis dalam
filsafat memiliki beberapa karakteristik utama yang membedakannya dari metode
lain dalam kajian filsafat dan ilmu pengetahuan. Karakteristik ini meliputi:
2.2.1.
Keraguan Metodis
Skeptisisme
menekankan keraguan metodis, yaitu proses
meragukan segala klaim kebenaran sebelum diterima sebagai pengetahuan yang
sahih. Descartes menggunakannya sebagai langkah awal dalam pencarian kebenaran
dengan cara menguji validitas pengetahuan melalui perenungan kritis.⁶ Dalam
tradisi empirisme, David Hume juga menerapkan skeptisisme dengan menunjukkan
bahwa hubungan sebab-akibat tidak dapat diketahui secara pasti, melainkan hanya
didasarkan pada kebiasaan dan pengalaman manusia.⁷
2.2.2.
Epoché (Penangguhan
Penilaian)
Konsep epoché
atau penangguhan penilaian adalah inti dari metode skeptis yang pertama kali
dikemukakan oleh para skeptis Yunani.⁸ Sextus Empiricus menjelaskan bahwa
dengan menangguhkan penilaian, seseorang dapat mencapai keadaan mental yang
lebih stabil dan tidak terpengaruh oleh klaim-klaim yang belum terbukti.⁹
Dengan demikian, skeptisisme tidak mengarah pada nihilisme, tetapi lebih kepada
sikap kehati-hatian dalam menerima suatu klaim kebenaran.
2.2.3.
Penolakan terhadap
Dogmatisme
Salah satu prinsip
utama metode skeptis adalah penolakan terhadap dogmatisme,
yaitu keyakinan yang diterima tanpa bukti atau pengujian rasional. Skeptisisme
berusaha menghindari klaim-klaim yang tidak dapat diuji kebenarannya, baik
dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, maupun teologi.¹⁰ Dalam konteks ini,
skeptisisme sering kali menjadi alat kritis terhadap tradisi intelektual yang
menerima doktrin tanpa pengujian lebih lanjut.
2.2.4.
Relativisme
Pengetahuan
Metode skeptis juga
sering dikaitkan dengan relativisme pengetahuan, yaitu gagasan bahwa tidak ada
kebenaran absolut yang dapat diklaim secara mutlak.¹¹ Sextus Empiricus,
misalnya, menegaskan bahwa setiap klaim pengetahuan harus selalu diuji karena
kebenaran dapat berubah tergantung pada perspektif dan konteksnya.¹² Namun,
skeptisisme tidak selalu mengarah pada relativisme ekstrem, karena beberapa
skeptis seperti Descartes menggunakan metode ini untuk menemukan kepastian yang
lebih kuat dalam pengetahuan.
2.2.5.
Relevansi dalam
Kajian Ilmu Pengetahuan
Dalam dunia modern,
metode skeptis memiliki peran penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Karl
Popper memperkenalkan konsep falsifikasi, yang merupakan
pendekatan skeptis terhadap teori ilmiah dengan menekankan bahwa suatu teori
harus selalu terbuka untuk diuji dan dibuktikan salah.¹³ Dengan demikian,
skeptisisme menjadi fondasi bagi metode ilmiah yang menuntut bukti empiris
sebelum menerima klaim sebagai kebenaran.
Kesimpulan
Metode skeptis dalam
filsafat merupakan pendekatan yang berfokus pada keraguan
metodis, penangguhan penilaian, dan penghindaran dogmatisme
dalam mengevaluasi klaim kebenaran. Dengan akar yang kuat dalam pemikiran
Yunani kuno dan perkembangan lebih lanjut dalam filsafat modern, metode ini
tidak hanya berfungsi sebagai alat kritik terhadap klaim pengetahuan, tetapi
juga sebagai sarana untuk membangun dasar epistemologi yang lebih kuat.
Karakteristik utama metode skeptis, seperti epoché, relativisme pengetahuan, dan
falsifikasi, menunjukkan bahwa pendekatan ini masih sangat
relevan dalam kajian filsafat dan ilmu pengetahuan kontemporer.
Footnotes
[1]
Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to
Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 3-5.
[2]
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 145.
[3]
Gisela Striker, Essays on Hellenistic Epistemology and Ethics
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 68.
[4]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G.
Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 1.4.
[5]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 23.
[6]
Michael Williams, Problems of Knowledge: A Critical Introduction
to Epistemology (Oxford: Oxford University Press, 2001), 91.
[7]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 72-75.
[8]
Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism (Cambridge:
Cambridge University Press, 1985), 34.
[9]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, 1.10.
[10]
Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents, and His Legacy
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 112.
[11]
Paul K. Moser, The Oxford Handbook of Epistemology
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 75.
[12]
Sextus Empiricus, Against the Logicians, trans. R.G.
Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1935), 1.23.
[13]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 40-45.
3.
Sejarah
dan Perkembangan Metode Skeptis
Metode skeptis
memiliki sejarah yang panjang dalam filsafat dan telah mengalami perkembangan
signifikan dari era filsafat Yunani Kuno, abad
pertengahan, filsafat modern, hingga filsafat
kontemporer. Skeptisisme tidak hanya menjadi alat kritik
terhadap klaim pengetahuan, tetapi juga berperan penting dalam membentuk
epistemologi dan metode ilmiah.
3.1.
Skeptisisme dalam Filsafat Yunani Kuno
Skeptisisme dalam
filsafat pertama kali muncul dalam pemikiran Pyrrho dari Elis (360–270 SM),
seorang filsuf Yunani yang dianggap sebagai bapak skeptisisme.¹ Pyrrho
mengembangkan ajaran bahwa manusia tidak dapat mencapai kebenaran mutlak karena
persepsi indrawi dan akal selalu rentan terhadap kesalahan. Oleh karena itu, ia
menyarankan epoché (penangguhan penilaian)
sebagai sikap terbaik untuk mencapai ketenangan batin (ataraxia).²
Aliran skeptisisme
Pyrrhonian kemudian dikodifikasi lebih lanjut oleh Sextus
Empiricus (160–210 M) dalam karyanya Outlines
of Pyrrhonism.³ Sextus menegaskan bahwa skeptisisme bukan sekadar
keraguan pasif, tetapi suatu metode yang digunakan untuk menangguhkan penilaian
dan mencapai keseimbangan intelektual.⁴ Ia membedakan skeptisisme dari
dogmatisme dengan menunjukkan bahwa para skeptis sejati tidak membuat klaim
kebenaran apa pun, melainkan hanya menunda kesimpulan sampai bukti yang cukup
tersedia.
Selain skeptisisme
Pyrrhonian, terdapat juga skeptisisme akademik, yang
berkembang dalam Platonisme Akademi melalui
pemikiran Arkesilaos (316–241 SM) dan Karnades
(214–129 SM).⁵ Berbeda dengan skeptisisme Pyrrhonian yang
menangguhkan penilaian, skeptisisme akademik menolak kemungkinan pengetahuan
yang pasti dan berargumen bahwa semua keyakinan harus selalu diuji ulang.
3.2.
Skeptisisme dalam Abad Pertengahan dan
Renaisans
Pada abad
pertengahan, metode skeptis kurang berkembang karena dominasi
pemikiran skolastik yang berbasis pada teologi Kristen. Namun,
beberapa pemikir tetap mempertahankan sikap skeptis terhadap dogma keagamaan
dan filsafat Aristotelian. Al-Ghazali (1058–1111 M) dalam
karyanya Tahafut
al-Falasifah menggunakan skeptisisme untuk mengkritik filsafat
rasionalis para filosof Muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina.⁶ Al-Ghazali
menegaskan bahwa akal memiliki keterbatasan dan bahwa kebenaran sejati hanya
dapat diperoleh melalui wahyu.
Pada era
Renaisans, skeptisisme mengalami kebangkitan melalui karya Michel
de Montaigne (1533–1592), seorang filsuf Prancis yang
memperkenalkan skeptisisme dalam esai-esainya.⁷ Montaigne menggunakan
skeptisisme untuk mempertanyakan otoritas ilmu pengetahuan dan agama, serta
menekankan pentingnya pengalaman pribadi dalam pencarian kebenaran.
3.3.
Skeptisisme dalam Filsafat Modern
Filsafat modern
menandai era penting dalam perkembangan metode skeptis, terutama melalui pemikiran
René
Descartes (1596–1650). Dalam Meditations on First Philosophy,
Descartes menggunakan skeptisisme metodis untuk
meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan, termasuk pengalaman indrawi dan
logika, hingga ia menemukan satu kebenaran fundamental: cogito, ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).⁸ Pendekatan Descartes
menandai perubahan skeptisisme dari sekadar metode kritik menjadi alat untuk
membangun dasar pengetahuan yang lebih kokoh.
Selain Descartes, David
Hume (1711–1776) mengembangkan skeptisisme lebih lanjut dalam
konteks empirisme. Dalam An Enquiry Concerning Human Understanding,
Hume berpendapat bahwa pengetahuan manusia terutama didasarkan pada pengalaman,
tetapi pengalaman itu sendiri tidak dapat menjamin kepastian absolut.⁹ Ia
menyoroti bahwa hubungan sebab-akibat hanyalah kebiasaan berpikir manusia,
bukan hukum alam yang pasti. Dengan demikian, skeptisisme Hume menantang
dasar-dasar rasionalisme dan epistemologi klasik.
3.4.
Skeptisisme dalam Filsafat Kontemporer
Dalam filsafat
kontemporer, skeptisisme tetap menjadi tema penting, terutama
dalam epistemologi
dan filsafat ilmu. Karl Popper (1902–1994)
mengembangkan metode falsifikasi, yang berakar pada prinsip skeptisisme, dengan
menekankan bahwa teori ilmiah tidak bisa diklaim sebagai kebenaran absolut,
tetapi harus selalu diuji dan berpotensi untuk dibantah.¹⁰
Di sisi lain, Richard
Rorty (1931–2007) dalam karyanya Philosophy and the Mirror of Nature
mengkritik pandangan tradisional tentang objektivitas pengetahuan dan
mengajukan perspektif pragmatis skeptis, yang
menekankan bahwa kebenaran adalah hasil dari kesepakatan sosial daripada
realitas absolut.¹¹ Pendekatan ini menunjukkan bahwa skeptisisme tetap relevan
dalam diskursus filsafat kontemporer, terutama dalam menanggapi persoalan
postmodernisme dan relativisme.
Kesimpulan
Sejarah metode
skeptis menunjukkan bahwa pendekatan ini telah berkembang dari skeptisisme
Yunani Kuno, yang menekankan epoché dan penangguhan penilaian,
hingga skeptisisme modern yang digunakan sebagai alat metodologis untuk
membangun dasar epistemologi yang lebih kuat. Dalam filsafat modern,
skeptisisme berkembang menjadi metode untuk menguji validitas klaim ilmiah,
seperti yang dikembangkan oleh Descartes, Hume, dan Popper.
Hingga saat ini, metode skeptis tetap menjadi bagian penting dalam kajian
filsafat, epistemologi, dan ilmu pengetahuan, terutama dalam menghadapi
tantangan relativisme dan postmodernisme.
Footnotes
[1]
Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to
Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 5-7.
[2]
Gisela Striker, Essays on Hellenistic Epistemology and Ethics
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 72-75.
[3]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G.
Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 1.10.
[4]
Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism (Cambridge:
Cambridge University Press, 1985), 34.
[5]
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 148.
[6]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers,
trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 23-27.
[7]
Michel de Montaigne, The Complete Essays, trans. M.A.
Screech (London: Penguin Books, 1991), 215.
[8]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 25.
[9]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 78.
[10]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 50-53.
[11]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 176-178.
4.
Variasi
dalam Metode Skeptis
Metode skeptis dalam
filsafat tidak bersifat monolitik, tetapi memiliki variasi yang berkembang
sepanjang sejarah pemikiran manusia. Variasi ini muncul dalam bentuk pendekatan
yang berbeda dalam meragukan, menangguhkan penilaian, atau bahkan menolak kemungkinan
pengetahuan yang pasti. Secara umum, terdapat tiga bentuk utama dari
skeptisisme dalam filsafat, yaitu skeptisisme akademik, skeptisisme Pyrrhonian,
dan skeptisisme radikal versus skeptisisme moderat.
4.1.
Skeptisisme Akademik (Academic Skepticism)
Skeptisisme akademik
berkembang dalam tradisi Platonisme Akademi setelah
periode Plato, terutama melalui ajaran Arkesilaos (316–241 SM) dan Karnades (214–129
SM).¹ Skeptisisme akademik menegaskan bahwa pengetahuan yang pasti
tidak mungkin dicapai oleh manusia, karena semua informasi yang kita terima
melalui indra atau akal selalu bisa diragukan.²
Para skeptis
akademik berargumen bahwa manusia sebaiknya tidak menerima klaim apa pun
sebagai kebenaran absolut, tetapi tetap mempertimbangkan klaim berdasarkan
tingkat probabilitasnya. Karnades, misalnya, menolak
konsep kebenaran mutlak yang dikemukakan oleh para Stoa dan mengembangkan teori
bahwa manusia seharusnya membuat keputusan berdasarkan probabilitas
daripada kepastian mutlak.³ Pendekatan ini berpengaruh besar dalam perkembangan
metode ilmiah modern yang mengandalkan probabilitas dan verifikasi empiris
dalam menentukan validitas suatu teori.
4.2.
Skeptisisme Pyrrhonian (Pyrrhonism)
Skeptisisme
Pyrrhonian berasal dari pemikiran Pyrrho dari Elis (360–270 SM)
dan dikembangkan lebih lanjut oleh Sextus Empiricus (160–210 M).⁴
Berbeda dengan skeptisisme akademik yang menolak kemungkinan pengetahuan yang
pasti, skeptisisme Pyrrhonian lebih menekankan epoché, yaitu sikap penangguhan
penilaian terhadap semua klaim kebenaran.⁵
Menurut Sextus
Empiricus, para skeptis Pyrrhonian tidak menerima atau menolak klaim kebenaran,
tetapi hanya menunda penilaian hingga bukti yang cukup tersedia.⁶ Sikap ini
dianggap dapat menghasilkan ataraxia (ketenangan batin),
karena dengan tidak terikat pada klaim kebenaran tertentu, seseorang dapat
menghindari konflik dan ketegangan intelektual.⁷
Skeptisisme
Pyrrhonian memiliki tiga tahap utama dalam metodenya, yaitu:
1)
Menghadapi
kontradiksi antara berbagai argumen (misalnya, klaim yang
bertentangan dalam filsafat atau ilmu pengetahuan).
2)
Menangguhkan
penilaian (epoché) karena tidak ada alasan yang cukup kuat
untuk menerima satu klaim dibandingkan klaim lainnya.
3)
Mencapai
ataraxia, yaitu keadaan ketenangan mental akibat tidak terjebak
dalam dogma atau keyakinan yang dipaksakan.
Pendekatan ini
menjadi landasan bagi berbagai teori skeptis dalam epistemologi modern dan
masih digunakan dalam diskusi filsafat kontemporer tentang relativisme dan
kebenaran.
4.3.
Skeptisisme Radikal vs. Skeptisisme Moderat
Dalam
perkembangannya, skeptisisme terbagi menjadi dua bentuk utama: skeptisisme
radikal dan skeptisisme moderat.
4.3.1.
Skeptisisme Radikal
Skeptisisme radikal
adalah bentuk skeptisisme yang menolak kemungkinan memperoleh pengetahuan yang
pasti tentang realitas apa pun.⁸ Tokoh utama skeptisisme
radikal adalah David Hume (1711–1776), yang
berpendapat bahwa induksi dan hubungan
sebab-akibat dalam ilmu pengetahuan tidak dapat dibuktikan secara logis.⁹ Hume
berargumen bahwa pengalaman manusia hanya didasarkan pada kebiasaan, bukan pada
kepastian objektif.
Skeptisisme radikal
juga tercermin dalam filsafat Immanuel Kant (1724–1804), yang
mengakui keterbatasan akal manusia dalam memahami realitas "dalam dirinya
sendiri" (noumenon).¹⁰ Kant menyatakan bahwa
kita hanya dapat memahami dunia sebagaimana yang ditangkap oleh indra dan
struktur kognitif kita (phenomenon), tetapi tidak dapat
mengetahui realitas secara objektif.
4.3.2.
Skeptisisme Moderat
Skeptisisme moderat,
di sisi lain, tidak menolak kemungkinan pengetahuan secara
total, tetapi lebih kepada sikap kritik
dan kehati-hatian dalam menerima klaim kebenaran.¹¹ Tokoh
seperti Karl Popper (1902–1994)
menggunakan prinsip skeptisisme dalam metode falsifikasinya, yang menyatakan
bahwa teori ilmiah tidak bisa diklaim sebagai kebenaran mutlak, tetapi harus
selalu terbuka untuk diuji dan dibantah jika ditemukan bukti yang berlawanan.¹²
Dalam filsafat
analitik, skeptisisme moderat juga berkembang dalam bentuk fallibilisme,
yang diajukan oleh Charles Sanders Peirce (1839–1914)
dan Willard
Van Orman Quine (1908–2000). Fallibilisme berpendapat bahwa
semua pengetahuan bersifat sementara dan selalu dapat diperbaiki melalui
penelitian lebih lanjut.¹³
Kesimpulan
Variasi dalam metode
skeptis mencerminkan perbedaan pendekatan dalam meragukan, menangguhkan penilaian, atau menolak
kepastian dalam pengetahuan. Skeptisisme akademik lebih
berfokus pada probabilitas dalam penilaian, sementara skeptisisme
Pyrrhonian lebih menekankan penangguhan penilaian (epoché)
untuk mencapai ketenangan batin. Di sisi lain, skeptisisme modern berkembang
menjadi skeptisisme radikal, yang
menolak kemungkinan pengetahuan mutlak, dan skeptisisme moderat, yang lebih
bersikap kritis tetapi tetap mengakui kemungkinan pengetahuan yang berkembang.
Keberagaman
pendekatan ini menunjukkan bahwa skeptisisme tetap menjadi bagian penting dalam
epistemologi,
filsafat ilmu, dan filsafat analitik, serta memiliki implikasi
yang luas dalam berbagai disiplin ilmu lainnya.
Footnotes
[1]
Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to
Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 10-12.
[2]
Gisela Striker, Essays on Hellenistic Epistemology and Ethics
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 80.
[3]
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 150.
[4]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G.
Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 1.14.
[5]
Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism (Cambridge:
Cambridge University Press, 1985), 40.
[6]
Sextus Empiricus, Against the Logicians, trans. R.G.
Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1935), 2.23.
[7]
Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents, and His Legacy
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 120.
[8]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 85.
[9]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 45.
[10]
Paul K. Moser, The Oxford Handbook of Epistemology
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 92.
[11]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 185.
[12]
Karl Popper, Conjectures and Refutations
(London: Routledge, 1963), 75.
[13]
W.V.O. Quine, Word and Object (Cambridge: MIT
Press, 1960), 56.
5.
Metode
Skeptis dalam Kajian Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Metode skeptis tidak
hanya berfungsi sebagai alat kritik dalam filsafat, tetapi juga memainkan peran
penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam kajian filsafat, metode
skeptis digunakan untuk menguji validitas klaim epistemologis, sementara dalam
ilmu pengetahuan, skeptisisme menjadi dasar bagi metode ilmiah yang menekankan
verifikasi dan falsifikasi. Dalam bagian ini, kita akan membahas bagaimana
metode skeptis diterapkan dalam epistemologi, analisis argumen filosofis, serta
dalam ilmu pengetahuan dan penelitian ilmiah.
5.1.
Penggunaan Metode Skeptis dalam Epistemologi
Epistemologi, atau
teori pengetahuan, adalah salah satu cabang filsafat yang paling banyak
memanfaatkan metode skeptis. Skeptisisme epistemologis mempertanyakan apakah
manusia dapat memperoleh pengetahuan yang benar dan sejauh mana kebenaran itu
dapat dipastikan.¹ Tokoh penting dalam skeptisisme
epistemologis adalah David Hume (1711–1776), yang
berpendapat bahwa hubungan sebab-akibat tidak dapat dibuktikan secara mutlak,
melainkan hanya didasarkan pada kebiasaan manusia dalam mengamati pola dalam
realitas.²
Selain Hume, René
Descartes (1596–1650) menggunakan skeptisisme metodis untuk
menemukan dasar pengetahuan yang tidak dapat diragukan. Dalam Meditations
on First Philosophy, Descartes meragukan segala sesuatu, termasuk
eksistensi dunia luar, hingga ia menemukan prinsip dasar cogito, ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).³ Pendekatan ini menunjukkan
bahwa skeptisisme bukan hanya alat untuk menolak klaim kebenaran, tetapi juga
metode untuk membangun dasar pengetahuan yang lebih kuat.
Selain itu,
skeptisisme epistemologis juga memunculkan konsep fallibilisme,
yang dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce (1839–1914)
dan Willard
Van Orman Quine (1908–2000). Fallibilisme menyatakan bahwa
semua klaim pengetahuan bersifat sementara dan selalu dapat direvisi
berdasarkan bukti baru.⁴ Pendekatan ini menjadi dasar bagi metode ilmiah modern
yang selalu terbuka terhadap koreksi dan pembaruan.
5.2.
Skeptisisme dalam Analisis Argumen Filosofis
Metode skeptis juga
digunakan dalam analisis argumen filosofis untuk menguji koherensi,
validitas, dan kelayakan klaim filosofis. Dalam filsafat
analitik, skeptisisme sering diterapkan dalam debat mengenai realitas,
eksistensi Tuhan, dan batasan pengetahuan manusia.
Sebagai contoh,
dalam filsafat
bahasa, skeptisisme digunakan untuk mempertanyakan hubungan
antara bahasa dan realitas. Ludwig Wittgenstein (1889–1951)
dalam Philosophical
Investigations menolak gagasan bahwa bahasa dapat menggambarkan
dunia secara objektif, dengan menyatakan bahwa makna bahasa bergantung pada
konteks penggunaannya.⁵ Pendekatan skeptis ini mengarah pada teori pragmatisme
dalam filsafat bahasa dan epistemologi.
Dalam filsafat
agama, skeptisisme digunakan untuk menguji argumen keberadaan
Tuhan. Sextus
Empiricus (160–210 M) dalam Outlines of Pyrrhonism menunjukkan
bahwa klaim-klaim teologis seringkali tidak dapat diuji secara empiris,
sehingga para skeptis memilih untuk menangguhkan penilaian terhadap klaim-klaim
tersebut.⁶ Hal ini berkontribusi pada berkembangnya agnostisisme,
yaitu pandangan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat dipastikan secara rasional.
5.3.
Penerapan Metode Skeptis dalam Ilmu Pengetahuan
Metode skeptis
memainkan peran krusial dalam perkembangan ilmu pengetahuan,
terutama dalam membangun metode ilmiah yang berbasis pengamatan,
eksperimen, dan falsifikasi.
5.3.1.
Skeptisisme dan
Metode Ilmiah
Skeptisisme dalam
ilmu pengetahuan pertama kali dikodifikasi oleh Francis Bacon (1561–1626), yang
memperkenalkan induksi empiris sebagai dasar
metode ilmiah. Bacon menolak dogmatisme Aristotelian yang mendasarkan
pengetahuan pada logika deduktif tanpa verifikasi empiris.⁷
Selanjutnya, Karl
Popper (1902–1994) memperkenalkan metode
falsifikasi, yang merupakan bentuk skeptisisme dalam ilmu
pengetahuan. Menurut Popper, suatu teori ilmiah tidak dapat dianggap benar
secara absolut, tetapi hanya dianggap sahih sejauh teori tersebut belum
terbantahkan oleh bukti empiris.⁸ Dengan demikian, ilmu pengetahuan selalu
bersifat tentatif dan terbuka terhadap koreksi berdasarkan data baru.
Pendekatan skeptis
ini juga mempengaruhi perkembangan sains modern, terutama dalam
bidang fisika
kuantum dan teori relativitas. Albert Einstein (1879–1955),
misalnya, menggunakan skeptisisme terhadap fisika Newtonian untuk mengembangkan
teori
relativitas, yang merevolusi pemahaman tentang ruang dan
waktu.⁹
5.3.2.
Skeptisisme dalam
Pseudoscience dan Hoaks Ilmiah
Dalam era modern,
skeptisisme juga digunakan untuk membedakan sains sejati (science) dari pseudoscience
dan hoaks ilmiah. Carl Sagan (1934–1996), dalam
bukunya The
Demon-Haunted World: Science as a Candle in the Dark, menekankan
pentingnya skeptisisme ilmiah dalam
menghadapi klaim-klaim tanpa dasar ilmiah, seperti astrologi, teori konspirasi,
dan pengobatan alternatif yang tidak terbukti.¹⁰
Skeptisisme dalam
ilmu pengetahuan membantu dalam memerangi misinformasi,
terutama dalam era digital yang dipenuhi dengan berita palsu dan klaim yang
tidak diverifikasi. Dengan menerapkan metode skeptis, seseorang dapat lebih
kritis dalam menilai keabsahan informasi yang beredar.
Kesimpulan
Metode skeptis
memiliki peran yang signifikan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan.
Dalam filsafat, skeptisisme digunakan untuk menguji validitas
epistemologi, analisis argumen filosofis, dan perdebatan tentang realitas.
Sementara dalam ilmu pengetahuan, skeptisisme menjadi dasar bagi metode
ilmiah yang berbasis falsifikasi, verifikasi empiris, dan penolakan terhadap
dogmatisme.
Dengan memahami dan
menerapkan metode skeptis, kita dapat mengembangkan pemikiran
kritis yang lebih tajam, menghindari kesesatan logika, serta
membangun ilmu pengetahuan yang lebih akurat dan dapat diuji.
Footnotes
[1]
Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to
Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 15-18.
[2]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 78.
[3]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 30.
[4]
W.V.O. Quine, Word and Object (Cambridge: MIT
Press, 1960), 65.
[5]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations,
trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 43-45.
[6]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G.
Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 1.10.
[7]
Francis Bacon, Novum Organum, ed. J. Spedding
(London: Routledge, 2000), 42-44.
[8]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 50.
[9]
Albert Einstein, Relativity: The Special and the General Theory
(Princeton: Princeton University Press, 1920), 12-15.
[10]
Carl Sagan, The Demon-Haunted World: Science as a Candle in
the Dark (New York: Random House, 1995), 25-30.
6.
Kritik
terhadap Metode Skeptis
Metode skeptis dalam
filsafat memiliki peran yang penting dalam menguji kebenaran suatu klaim dan
menolak dogmatisme yang tidak didasarkan pada bukti yang cukup. Namun, metode
ini tidak terlepas dari kritik. Berbagai filsuf telah mengajukan keberatan
terhadap skeptisisme, baik dalam bentuk skeptisisme radikal maupun moderat.
Kritik ini muncul dari berbagai aliran filsafat, termasuk rasionalisme,
empirisme, dan pragmatisme, yang menganggap bahwa skeptisisme dapat mengarah
pada relativisme ekstrem atau bahkan nihilisme epistemologis.
Bagian ini akan
membahas tiga kritik utama terhadap metode skeptis, yaitu tantangan
terhadap skeptisisme radikal, pendekatan alternatif dalam epistemologi, dan
relevansi metode skeptis dalam filsafat kontemporer.
6.1.
Tantangan terhadap Skeptisisme Radikal
Salah satu bentuk
skeptisisme yang paling sering dikritik adalah skeptisisme radikal, yang
berpendapat bahwa tidak ada pengetahuan yang dapat diperoleh
dengan kepastian mutlak.¹ Kritik utama terhadap skeptisisme
radikal adalah bahwa jika semua klaim kebenaran diragukan, maka skeptisisme itu
sendiri juga harus diragukan.
Immanuel
Kant (1724–1804) dalam Critique of Pure Reason menolak
skeptisisme radikal dengan menyatakan bahwa meskipun pengetahuan manusia
terbatas, ada struktur bawaan dalam akal manusia yang memungkinkan kita
memahami dunia secara objektif.² Menurut Kant, skeptisisme Hume yang menyatakan
bahwa hubungan sebab-akibat hanyalah kebiasaan pikiran manusia mengabaikan
peran kategori-kategori
apriori dalam memahami realitas.
Selain itu, G.E.
Moore (1873–1958) dalam esainya Proof of an External World mengajukan
argumen bahwa skeptisisme radikal bertentangan dengan akal sehat.³ Moore
berargumen bahwa jika skeptisisme radikal benar, maka kita harus meragukan
realitas keberadaan benda-benda di sekitar kita, yang secara praktis tidak
dapat dipertahankan.
6.2.
Pendekatan Alternatif dalam Epistemologi
Banyak filsuf
menganggap bahwa skeptisisme, meskipun memiliki manfaat sebagai metode kritik,
tidak dapat menjadi landasan epistemologi yang memadai.
Oleh karena itu, berbagai pendekatan alternatif telah diajukan untuk menjawab
skeptisisme, termasuk rasionalisme, empirisme, dan pragmatisme.
6.2.1.
Rasionalisme sebagai
Jawaban terhadap Skeptisisme
Rasionalisme, yang
diwakili oleh René Descartes, menanggapi
skeptisisme dengan mencari kebenaran yang tidak dapat diragukan.⁴
Dalam Meditations
on First Philosophy, Descartes menggunakan skeptisisme metodis
untuk meragukan semua hal hingga ia menemukan kepastian dalam cogito, ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).⁵ Dengan pendekatan ini,
Descartes menunjukkan bahwa skeptisisme bukanlah tujuan akhir, tetapi alat
untuk menemukan fondasi pengetahuan yang lebih kokoh.
6.2.2.
Empirisme sebagai
Jawaban terhadap Skeptisisme
Sebagai reaksi
terhadap skeptisisme Hume, filsuf empiris seperti John
Locke (1632–1704) dan Thomas Reid (1710–1796) menekankan bahwa
meskipun semua pengetahuan berasal dari pengalaman, itu tidak berarti bahwa
semua pengalaman harus diragukan secara ekstrem.⁶ Reid, dalam teori common
sense realism, berargumen bahwa manusia secara alami
mempercayai realitas dunia luar dan tidak perlu membuktikan keberadaannya
melalui argumen filosofis yang kompleks.⁷
6.2.3.
Pragmatisme sebagai
Jawaban terhadap Skeptisisme
Pragmatisme, yang
dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce (1839–1914) dan William
James (1842–1910), menawarkan pendekatan yang lebih praktis
terhadap skeptisisme.⁸ Pragmatisme menolak pertanyaan tentang apakah kita bisa
mengetahui realitas secara absolut dan lebih fokus pada bagaimana suatu gagasan
dapat berfungsi
dalam praktik.
Peirce, dalam konsep
fallibilisme,
menyatakan bahwa semua klaim pengetahuan bersifat sementara dan dapat direvisi
berdasarkan bukti baru.⁹ Dengan demikian, skeptisisme yang berlebihan dianggap
tidak produktif karena tidak memberikan dasar yang jelas untuk kemajuan
pengetahuan.
6.3.
Relevansi Metode Skeptis dalam Filsafat
Kontemporer
Meskipun skeptisisme
telah dikritik dari berbagai sudut pandang, metode ini tetap memiliki peran
penting dalam filsafat kontemporer. Namun, skeptisisme yang
ekstrem sering kali dianggap tidak praktis dan tidak relevan dalam kehidupan
sehari-hari.
Beberapa filsuf,
seperti Richard Rorty (1931–2007) dalam
Philosophy
and the Mirror of Nature, berpendapat bahwa skeptisisme telah
kehilangan relevansinya karena tidak ada "cermin alam" yang dapat
menunjukkan realitas sebagaimana adanya.¹⁰ Sebaliknya, ia menekankan bahwa
kebenaran adalah hasil konstruksi sosial dan bukan sesuatu yang harus dicari
melalui skeptisisme ekstrem.
Dalam bidang ilmu
pengetahuan, Karl Popper (1902–1994)
menunjukkan bahwa skeptisisme radikal tidak sesuai dengan metode ilmiah.¹¹
Dalam The
Logic of Scientific Discovery, Popper memperkenalkan konsep falsifikasi,
di mana teori ilmiah harus dapat diuji dan dibuktikan salah, tetapi tidak perlu
diragukan sepenuhnya jika terbukti berfungsi dalam praktik.
Kesimpulan
Meskipun metode
skeptis memiliki peran penting dalam filsafat dan ilmu
pengetahuan, ia juga menghadapi kritik yang signifikan. Skeptisisme
radikal ditantang karena dianggap tidak koheren dan
bertentangan dengan pengalaman manusia sehari-hari. Sebagai alternatif, rasionalisme,
empirisme, dan pragmatisme menawarkan cara lain untuk memahami
pengetahuan tanpa harus terjebak dalam skeptisisme ekstrem.
Dalam filsafat
kontemporer, skeptisisme tetap digunakan sebagai alat
kritik, tetapi tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya metode
dalam memperoleh kebenaran. Dalam ilmu pengetahuan, skeptisisme telah
berkembang menjadi metode falsifikasi, yang tetap
terbuka terhadap koreksi tetapi tidak menolak kemungkinan adanya kebenaran
ilmiah yang sementara.
Dengan demikian,
meskipun skeptisisme tetap menjadi elemen penting dalam filsafat dan sains,
pendekatan yang lebih moderat dan pragmatis sering kali dianggap lebih
produktif dalam pengembangan pengetahuan.
Footnotes
[1]
Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to
Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 20.
[2]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 131.
[3]
G.E. Moore, Proof of an External World (Oxford:
Oxford University Press, 1939), 24.
[4]
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 170.
[5]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 32.
[6]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding
(Oxford: Oxford University Press, 1689), 87.
[7]
Thomas Reid, Essays on the Intellectual Powers of Man
(Cambridge: MIT Press, 1969), 112.
[8]
William James, Pragmatism (Cambridge: Harvard
University Press, 1907), 14.
[9]
Charles Sanders Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce
(Cambridge: Harvard University Press, 1931), 5.17.
[10]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 205.
[11]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 55.
7.
Kesimpulan
Metode skeptis telah menjadi salah satu pendekatan
paling berpengaruh dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Sejarahnya yang
panjang, mulai dari skeptisisme Yunani kuno hingga penerapannya dalam ilmu
pengetahuan modern, menunjukkan bahwa metode ini tidak hanya berfungsi sebagai
alat kritik terhadap klaim kebenaran, tetapi juga sebagai strategi
epistemologis untuk membangun pengetahuan yang lebih kuat dan dapat diuji.
Dalam filsafat, metode skeptis berperan
dalam mengembangkan pendekatan yang lebih hati-hati terhadap klaim pengetahuan.
Skeptisisme Pyrrhonian, sebagaimana dijelaskan oleh Sextus Empiricus
(160–210 M), menekankan pentingnya epoché, atau penangguhan
penilaian, untuk mencapai ketenangan batin (ataraxia).¹ Sementara itu, skeptisisme
akademik yang berkembang dalam tradisi Platonisme Akademi berfokus pada probabilitas
dalam pengambilan keputusan daripada pencarian kebenaran absolut.²
Pada masa modern, skeptisisme berperan dalam
membentuk epistemologi dan metode ilmiah. René Descartes (1596–1650)
menggunakan skeptisisme metodis untuk meragukan segala sesuatu hingga ia
menemukan dasar yang tak terbantahkan dalam prinsip cogito, ergo sum
(aku berpikir, maka aku ada).³ David Hume (1711–1776) kemudian
melanjutkan tradisi skeptisisme dengan menunjukkan bahwa hubungan sebab-akibat
dalam ilmu pengetahuan hanyalah hasil kebiasaan berpikir manusia, bukan sesuatu
yang dapat dibuktikan secara absolut.⁴
Dalam ilmu pengetahuan modern, skeptisisme
berkembang menjadi dasar bagi metode ilmiah, terutama dalam bentuk
falsifikasi yang diperkenalkan oleh Karl Popper (1902–1994).⁵ Menurut
Popper, teori ilmiah tidak bisa diklaim sebagai kebenaran mutlak, tetapi harus
selalu terbuka untuk diuji dan dibantah berdasarkan bukti empiris baru.
Pendekatan ini memungkinkan kemajuan ilmu pengetahuan dengan tetap
mempertahankan sikap skeptis terhadap klaim yang tidak dapat diuji secara
objektif.
Namun, meskipun skeptisisme memiliki banyak
manfaat, metode ini juga menghadapi kritik yang serius. Immanuel Kant
(1724–1804) dalam Critique of Pure Reason menolak skeptisisme
radikal dengan berargumen bahwa akal manusia memiliki struktur bawaan yang
memungkinkan kita memahami realitas.⁶ Selain itu, G.E. Moore (1873–1958)
dalam Proof of an External World mengkritik skeptisisme dengan
menunjukkan bahwa keraguan ekstrem terhadap realitas bertentangan dengan akal
sehat.⁷
Beberapa filsuf kontemporer juga menolak
skeptisisme yang ekstrem. Richard Rorty (1931–2007) berpendapat bahwa
skeptisisme radikal telah kehilangan relevansinya karena kebenaran lebih
bersifat konstruksi sosial daripada sesuatu yang dapat ditemukan melalui
keraguan ekstrem.⁸ Sebaliknya, pendekatan yang lebih moderat, seperti fallibilisme,
yang diajukan oleh Charles Sanders Peirce (1839–1914), menegaskan bahwa
semua pengetahuan bersifat sementara tetapi tetap dapat digunakan secara praktis.⁹
Secara keseluruhan, metode skeptis tetap relevan
dalam kajian filsafat dan ilmu pengetahuan karena memungkinkan kita untuk
mempertanyakan asumsi dan mengembangkan pemikiran yang lebih kritis. Namun,
skeptisisme yang ekstrem sering kali dianggap tidak praktis dan tidak
produktif, karena dapat menghambat perkembangan pengetahuan. Oleh karena
itu, pendekatan skeptis yang lebih moderat dan berbasis verifikasi ilmiah
dan kritik rasional sering dianggap sebagai alternatif yang lebih
bermanfaat dalam membangun pengetahuan yang dapat diuji dan diperbaiki secara
berkelanjutan.
Metode skeptis bukan sekadar alat untuk meragukan,
tetapi juga sebagai pendekatan kritis yang membantu manusia dalam membangun
dasar pemikiran yang lebih kuat dan rasional. Dengan demikian, skeptisisme
tetap menjadi bagian penting dalam kajian filsafat dan ilmu pengetahuan, selama
diterapkan dengan cara yang seimbang dan tidak mengarah pada relativisme atau
nihilisme epistemologis.
Footnotes
[1]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
trans. R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 1.10.
[2]
Richard Popkin, The History of Scepticism: From
Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 10-12.
[3]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 32.
[4]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press,
1999), 85.
[5]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 55.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
131.
[7]
G.E. Moore, Proof of an External World
(Oxford: Oxford University Press, 1939), 24.
[8]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of
Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 205.
[9]
Charles Sanders Peirce, Collected Papers of
Charles Sanders Peirce (Cambridge: Harvard University Press, 1931), 5.17.
Daftar Pustaka
Annas, J., & Barnes, J. (1985). The modes of
scepticism. Cambridge University Press.
Bacon, F. (2000). Novum organum (J.
Spedding, Ed.). Routledge.
Bett, R. (2000). Pyrrho, his antecedents, and
his legacy. Oxford University Press.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Einstein, A. (1920). Relativity: The special and
the general theory. Princeton University Press.
Hume, D. (1999). An enquiry concerning human
understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Kenny, A. (2010). A new history of western
philosophy. Oxford University Press.
Locke, J. (1689). An essay concerning human
understanding. Oxford University Press.
Moore, G. E. (1939). Proof of an external world.
Oxford University Press.
Montaigne, M. (1991). The complete essays
(M. A. Screech, Trans.). Penguin Books.
Moser, P. K. (2002). The Oxford handbook of
epistemology. Oxford University Press.
Peirce, C. S. (1931). Collected papers of
Charles Sanders Peirce. Harvard University Press.
Popkin, R. (2003). The history of scepticism:
From Savonarola to Bayle. Oxford University Press.
Popper, K. (2002). The logic of scientific
discovery. Routledge.
Popper, K. (1963). Conjectures and refutations:
The growth of scientific knowledge. Routledge.
Quine, W. V. O. (1960). Word and object. MIT
Press.
Reid, T. (1969). Essays on the intellectual
powers of man. MIT Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Sagan, C. (1995). The demon-haunted world:
Science as a candle in the dark. Random House.
Sextus Empiricus. (1933). Outlines of Pyrrhonism
(R. G. Bury, Trans.). Harvard University Press.
Sextus Empiricus. (1935). Against the logicians
(R. G. Bury, Trans.). Harvard University Press.
Striker, G. (1996). Essays on Hellenistic
epistemology and ethics. Cambridge University Press.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
Williams, M. (2001). Problems of knowledge: A
critical introduction to epistemology. Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar