Al-Diniy Al-Aqlaniy
Harmoni antara Wahyu dan Akal
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy dalam filsafat Islam, yaitu sebuah pendekatan
pemikiran yang berupaya menyatukan antara otoritas wahyu dan daya nalar akal
secara harmonis. Aliran ini lahir sebagai respons atas ketegangan historis
antara kubu tekstualis-tradisionalis yang menolak penggunaan akal dalam tafsir
keagamaan dan kubu rasionalis-sekuler yang mengabaikan otoritas wahyu. Melalui
kajian terhadap pemikiran tokoh-tokoh utama seperti Muhammad Abduh, Fazlur
Rahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd, artikel ini menunjukkan bahwa Al-Diniy
Al-Aqlaniy menekankan pentingnya ijtihad kontekstual, pembacaan kritis terhadap
teks wahyu, serta penguatan etika keislaman dalam merespons dinamika zaman.
Pembahasan juga mencakup prinsip-prinsip dasar aliran ini, perbandingannya
dengan aliran-aliran filsafat Islam lainnya, serta pengaruh dan relevansinya
dalam isu-isu kontemporer seperti pendidikan, HAM, demokrasi, dan moderasi
Islam. Meskipun mendapat sejumlah kritik dari berbagai sudut pandang, aliran
ini tetap menawarkan paradigma pemikiran yang moderat, dinamis, dan relevan
dalam pembangunan peradaban Islam yang rasional dan transformatif.
Kata Kunci: Al-Diniy Al-Aqlaniy, filsafat Islam, wahyu dan
akal, ijtihad, pemikiran Islam kontemporer, Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Nasr
Hamid Abu Zayd, rasionalisme, reformasi keagamaan.
PEMBAHASAN
Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy dalam Filsafat Islam
1.
Pendahuluan
Filsafat Islam merupakan
hasil interaksi kreatif antara ajaran Islam yang bersumber dari wahyu dengan
pendekatan rasional yang berkembang dalam tradisi filsafat Yunani dan pemikiran
dunia Islam sendiri. Di dalamnya terdapat berbagai aliran dan pendekatan yang
beragam dalam memahami hakikat Tuhan, manusia, alam semesta, dan pengetahuan.
Salah satu pendekatan penting yang berkembang dalam khazanah filsafat Islam
kontemporer adalah aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy, yang secara
harfiah berarti “religi-rational” atau “keagamaan yang rasional”.
Aliran ini muncul sebagai
respons terhadap kebuntuan antara dua kutub ekstrem dalam pemikiran Islam
modern, yakni antara kaum tekstualis-tradisional yang
cenderung menolak penggunaan akal dalam memahami agama secara kontekstual, dan
kaum liberal-sekuler yang kerap mengabaikan otoritas wahyu
demi rasionalitas modern. Dalam konteks ini, Al-Diniy Al-Aqlaniy tampil sebagai
jembatan epistemologis yang mencoba mensinergikan wahyu sebagai sumber
kebenaran absolut dengan akal sebagai alat tafsir yang aktif
dan dinamis dalam memahami realitas sosial, moral, dan spiritual umat
manusia.
Sebagai pendekatan, aliran
ini tidak hanya berbicara dalam kerangka teologis dan filosofis semata, tetapi
juga membawa implikasi metodologis dalam tafsir Al-Qur'an, pendidikan Islam,
dan konstruksi hukum (fiqh) yang responsif terhadap konteks zaman. Pemikir
seperti Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, dan Nasr
Hamid Abu Zayd menjadi pelopor penting dalam meletakkan dasar-dasar
pemikiran ini. Mereka mendorong agar umat Islam tidak sekadar bertaklid pada
pemahaman masa lalu, melainkan mengembangkan penalaran rasional yang tetap
berakar pada nilai-nilai wahyu demi kemajuan umat secara holistik.¹
Fazlur Rahman, misalnya,
menekankan pentingnya pendekatan kontekstual dalam memahami Al-Qur’an melalui
“double movement theory” atau teori gerak ganda yang menjembatani antara
konteks historis turunnya ayat dan nilai universal yang dikandungnya.²
Pendekatan ini menunjukkan bagaimana wahyu dan akal dapat bekerja selaras dalam
merespons tantangan zaman. Sementara itu, Nasr Hamid Abu Zayd mengajak umat
Islam untuk membedakan antara teks wahyu (nash) dan pemahaman
manusia terhadap teks (ta’wil/tafsir)—sebuah gagasan yang membuka
ruang bagi rasionalisasi pemikiran Islam tanpa mengorbankan kesucian wahyu itu
sendiri.³
Dengan demikian, pembahasan
mengenai aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy bukan hanya penting dalam ranah akademik
filsafat Islam, tetapi juga krusial dalam upaya membangun peradaban Islam yang
maju, terbuka, dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai ilahiyah. Pendekatan
ini menawarkan solusi pemikiran yang relevan terhadap problem dualisme antara
agama dan modernitas, serta memberi landasan epistemologis untuk membangun umat
yang cerdas secara spiritual dan intelektual.
Footnotes
[1]
M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan
Etika dalam Menghadapi Modernitas (Yogyakarta: Pilar Religi, 2006), 57–59.
[2]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 5–8.
[3]
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Nashsh: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān
(Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfī al-‘Arabī, 1993), 45–48.
2.
Definisi
dan Asal Usul Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy
Istilah Al-Diniy
Al-Aqlaniy (الديني العقلي)
secara etimologis berasal dari dua kata kunci dalam bahasa Arab, yaitu al-dīn
(الدين) yang berarti “agama”
atau “keimanan,” dan al-‘aql (العقل)
yang berarti “akal” atau “rasio.” Bila digabungkan, istilah ini
merujuk pada suatu pendekatan dalam pemikiran Islam yang mengkombinasikan
prinsip-prinsip agama (wahyu) dengan pemikiran rasional (akal) secara
harmonis dan saling melengkapi. Dalam konteks filsafat Islam, istilah ini tidak
merujuk pada sebuah mazhab formal seperti Mu’tazilah atau Asy’ariyah, tetapi
lebih pada pendekatan epistemologis yang mencoba membangun
sintesis antara dua sumber pengetahuan utama dalam Islam: wahyu dan akal.¹
Secara historis, akar dari pendekatan
ini dapat dilacak sejak masa awal perkembangan filsafat Islam klasik, terutama
dalam upaya para filsuf Muslim seperti Al-Farabi dan Ibn
Sina untuk mengintegrasikan ajaran Islam dengan filsafat Yunani,
khususnya pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme. Namun, pendekatan Al-Diniy
Al-Aqlaniy dalam bentuknya yang lebih eksplisit dan sistematis mulai tampak
dalam pemikiran reformis modernis Islam pada akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20, sebagai reaksi terhadap stagnasi intelektual umat Islam
dan tantangan modernitas Barat.²
Tokoh penting dalam
perkembangan pendekatan ini adalah Muhammad Abduh (1849–1905),
seorang reformis Mesir yang dikenal sebagai pelopor gerakan pembaruan Islam
modern. Abduh berpendapat bahwa akal adalah karunia Allah yang tidak bertentangan
dengan ajaran agama; justru, untuk memahami Islam secara benar dan kontekstual,
umat Islam harus menggunakan akalnya secara aktif.³ Ia menolak sikap taklid
terhadap otoritas masa lalu dan mendorong dilakukannya ijtihad yang berbasis
pada akal sehat dan semangat pembaharuan.
Pemikiran Abduh kemudian
dikembangkan lebih jauh oleh Fazlur Rahman (1919–1988),
seorang cendekiawan Muslim asal Pakistan yang banyak berkiprah di dunia
akademik Barat. Rahman menekankan pentingnya pendekatan historis dan rasional
dalam memahami Al-Qur’an dan syariat Islam. Ia melihat bahwa stagnasi
intelektual dalam dunia Islam terjadi karena keterputusan antara tafsir
kontekstual dan nilai-nilai etis universal yang terkandung dalam
wahyu.⁴ Gagasan Rahman menjadi cikal bakal pendekatan rasional-keagamaan yang
dikenal hari ini sebagai bagian dari aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy.
Dalam konteks yang lebih
mutakhir, pendekatan ini juga dijelaskan secara kritis oleh Nasr Hamid
Abu Zayd (1943–2010), yang memperkenalkan ide bahwa teks keagamaan
harus dipahami sebagai produk budaya dan harus ditafsirkan dengan menggunakan
metodologi rasional-kritis.⁵ Meskipun menuai kontroversi, pendekatan Abu Zayd
menegaskan pentingnya keterlibatan akal dalam membangun pemahaman agama yang
kontekstual, humanis, dan progresif.
Dengan demikian, Al-Diniy
Al-Aqlaniy bukan sekadar pendekatan intelektual, tetapi juga proyek
peradaban yang bertujuan untuk menghidupkan kembali dinamika ijtihad
dan pemikiran Islam melalui sinergi antara wahyu ilahiyah dan daya pikir insani.
Dalam era modern ini, pendekatan ini menjadi sangat relevan untuk merespons
kompleksitas zaman tanpa kehilangan orientasi spiritual keislaman.
Footnotes
[1]
M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 110.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 5–9.
[3]
Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd (Kairo: Dār al-Manār, 1966),
30–32.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 2–5.
[5]
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Nashsh: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān
(Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfī al-‘Arabī, 1993), 49–51.
3.
Tokoh-Tokoh
Utama dan Pemikiran Sentral
Aliran Al-Diniy
Al-Aqlaniy tidak berdiri sebagai mazhab yang mapan secara
institusional, namun ia menjelma menjadi pendekatan filosofis-religius yang
diperjuangkan oleh sejumlah pemikir Muslim modern. Para tokoh ini menekankan
pentingnya sinergi antara wahyu dan akal dalam menghadapi dinamika kehidupan
umat Islam di tengah tantangan modernitas. Tiga tokoh yang sering dianggap
sebagai pilar utama pendekatan ini adalah Muhammad Abduh, Fazlur
Rahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd. Ketiganya memiliki
pandangan yang saling melengkapi meskipun berasal dari latar belakang yang
berbeda.
3.1.
Muhammad Abduh
(1849–1905)
Muhammad Abduh merupakan
seorang ulama, reformis, dan pemikir besar asal Mesir yang memprakarsai gerakan
pembaruan Islam bersama Jamaluddin al-Afghani. Dalam pemikirannya, Abduh
menolak anggapan bahwa akal dan wahyu berada dalam posisi yang saling bertentangan.
Sebaliknya, ia menegaskan bahwa wahyu datang dari Tuhan dan akal adalah
anugerah Tuhan pula; keduanya harus berjalan beriringan dalam memahami agama.¹
Dalam karya terkenalnya, Risālat
al-Tawḥīd, Abduh menjelaskan bahwa ajaran Islam bersifat rasional dan
tidak bertentangan dengan akal sehat.² Ia mengkritik praktik keagamaan yang
hanya berfokus pada aspek ritual formal tanpa mempertimbangkan nilai-nilai
rasional dan etis dalam kehidupan sosial. Bagi Abduh, akal bukanlah ancaman
bagi agama, melainkan instrumen untuk menyelami makna hakiki wahyu. Ia juga
mendorong ijtihad untuk menggantikan taklid, serta menyarankan reformasi
pendidikan Islam agar mampu menampung ilmu modern.³
3.2.
Fazlur Rahman
(1919–1988)
Fazlur Rahman adalah seorang
intelektual Muslim asal Pakistan yang mengembangkan pendekatan filosofis dan
hermeneutis terhadap teks-teks keagamaan. Ia dikenal luas karena teori “gerak
ganda” (double movement) dalam memahami Al-Qur’an: pertama, menelusuri
konteks historis dari ayat; kedua, mengekstrak nilai etis universal yang dapat
diterapkan dalam konteks kontemporer.⁴
Menurut Rahman, kegagalan
umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial disebabkan
oleh hilangnya keterhubungan antara tafsir Al-Qur’an dan dinamika sosial. Ia
mengkritik metode tafsir tradisional yang cenderung atomistik dan tidak memperhatikan
semangat keseluruhan wahyu.⁵ Sebagai gantinya, ia mengusulkan pendekatan etis
dan rasional, agar Islam dapat menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan nilai
keilahiannya.
Rahman juga memandang bahwa
hukum Islam (syariah) perlu dikaji kembali secara rasional berdasarkan maqāṣid
al-syarī‘ah (tujuan-tujuan syariat), bukan hanya berdasarkan teks literal.⁶
Dalam hal ini, ia menunjukkan bagaimana akal dapat menjadi mitra konstruktif
bagi wahyu dalam menciptakan tatanan sosial yang adil dan beradab.
3.3.
Nasr Hamid Abu Zayd
(1943–2010)
Abu Zayd adalah seorang
pemikir progresif asal Mesir yang memperkenalkan pendekatan hermeneutika
kritis dalam memahami teks Al-Qur’an. Ia berargumen bahwa teks
keagamaan harus dipahami sebagai produk budaya yang ditafsirkan secara historis
dan sosial.⁷ Baginya, teks wahyu bersifat ilahi, tetapi interpretasi atasnya
selalu bersifat manusiawi dan karenanya terbuka untuk kritik dan pembaruan.
Dalam karya Mafhūm
al-Nashsh, Abu Zayd menekankan bahwa teks Al-Qur’an bukan hanya sekadar
teks statis, melainkan memiliki dimensi dinamis yang harus dipahami dalam
konteks sosiokultural pembacanya.⁸ Ia menolak pendekatan dogmatis dan
literalistik terhadap wahyu, dan justru mengajak pembaca Muslim untuk
menggunakan akal dan nalar kritis dalam mengkaji ajaran Islam. Meskipun
mendapat tentangan keras dari kalangan konservatif, pemikirannya menjadi salah
satu pilar dalam pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy, terutama dalam hal keberanian
untuk membuka ruang dialog antara agama, budaya, dan akal sehat.
Secara keseluruhan, ketiga
tokoh ini menyuarakan pentingnya pendekatan yang tidak hanya taat pada wahyu,
tetapi juga menghargai potensi rasional manusia. Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy
yang mereka representasikan menekankan bahwa kemajuan umat Islam tidak akan
tercapai tanpa ijtihad, refleksi kritis, dan pembaruan pemikiran yang tetap
berpijak pada nilai-nilai dasar agama.
Footnotes
[1]
Charles Kurzman, ed., Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook
(New York: Oxford University Press, 2002), 44–47.
[2]
Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd (Kairo: Dār al-Manār, 1966),
21–23.
[3]
Ali Merad, Islamic Reform: The Political and Legal Theories of
Muhammad Abduh and Rashid Rida (Albany: State University of New York
Press, 1967), 76–78.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–7.
[5]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary
Approach (London: Routledge, 2006), 30–31.
[6]
Ebrahim Moosa, "Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting the
Ethico-Legal Content of the Qur’an," in Muslim Ethics and Modernity,
ed. M. H. Kamali (Kuala Lumpur: ISTAC, 2000), 57–60.
[7]
Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical
Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 15–18.
[8]
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Nashsh: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān
(Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfī al-‘Arabī, 1993), 55–59.
4.
Prinsip-Prinsip
Utama Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy
Aliran Al-Diniy
Al-Aqlaniy berangkat dari keyakinan bahwa wahyu dan akal
adalah dua entitas yang bersumber dari Tuhan dan oleh karena itu tidak
mungkin saling bertentangan. Pendekatan ini menekankan bahwa agama
bukanlah entitas yang anti-rasio, dan rasio bukanlah ancaman terhadap agama.
Sebaliknya, keduanya harus dikembangkan secara harmonis untuk menghasilkan
pemahaman agama yang kontekstual, dinamis, dan progresif. Prinsip-prinsip utama
dari aliran ini mencerminkan upaya untuk menyelaraskan nilai-nilai spiritual
Islam dengan tuntutan rasionalitas dan dinamika zaman.
4.1.
Keseimbangan antara
Wahyu dan Akal
Prinsip pertama aliran ini
adalah menolak dikotomi antara wahyu dan akal. Wahyu dianggap
sebagai sumber utama petunjuk ilahi, sementara akal dilihat sebagai sarana
untuk memahami, menafsirkan, dan mengaktualisasikan petunjuk tersebut dalam
kehidupan nyata. Akal tidak diposisikan sebagai pengganti wahyu, melainkan
sebagai alat untuk memperluas makna dan aplikasi dari wahyu dalam berbagai
konteks sosial dan historis.¹
Dalam pandangan Fazlur
Rahman, pemisahan antara akal dan wahyu menyebabkan stagnasi intelektual dalam
dunia Islam. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya pendekatan tafsir yang
menempatkan akal sebagai partner aktif wahyu dalam proses ijtihad.² Pandangan
ini menegaskan bahwa memahami teks wahyu harus disertai dengan usaha rasional
untuk menghubungkannya dengan realitas sosial yang terus berubah.
4.2.
Penolakan terhadap
Taklid dan Penguatan Ijtihad
Aliran ini sangat menentang
praktik taklid (mengikuti pendapat ulama terdahulu tanpa
berpikir kritis) yang dianggap sebagai salah satu penyebab kemunduran
intelektual umat Islam. Sebaliknya, pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy mendorong
dilakukannya ijtihad, yaitu usaha sungguh-sungguh untuk
memahami dan menggali hukum Islam dengan memperhatikan konteks dan dinamika
zaman.³
Muhammad Abduh, dalam
semangat pembaharuannya, menyatakan bahwa Islam bukan agama yang mematikan
akal, melainkan agama yang mendidik umatnya untuk berpikir kritis dan
bertanggung jawab terhadap pemahaman keagamaannya.⁴ Dengan demikian, setiap
generasi memiliki tanggung jawab untuk menggali makna teks keagamaan sesuai
dengan tantangan zamannya, bukan sekadar mengulang-ulang warisan masa lalu.
4.3.
Kontekstualisasi
Ajaran Islam
Salah satu prinsip penting
lainnya adalah kontekstualisasi, yaitu usaha untuk memahami
ajaran Islam tidak secara literal dan statis, tetapi dengan mempertimbangkan
kondisi historis, sosial, dan budaya tempat teks itu diturunkan dan
diterapkan.⁵ Al-Qur’an dipahami sebagai petunjuk yang bersifat universal,
tetapi pesan-pesannya disampaikan dalam bahasa dan konteks masyarakat Arab abad
ke-7. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang mampu menggali nilai-nilai
etis dan moral universal dari teks wahyu yang relevan dengan konteks
kontemporer.
Fazlur Rahman melalui metode
“gerak ganda”-nya menunjukkan bahwa pemahaman Al-Qur’an yang benar harus
dimulai dari konteks historis turunnya ayat, kemudian digerakkan ke masa kini
dalam bentuk nilai-nilai etis yang aplikatif.⁶ Ini memungkinkan Islam hadir
sebagai kekuatan moral yang menjawab isu-isu modern seperti keadilan sosial,
hak asasi manusia, dan kesetaraan gender.
4.4.
Hermeneutika Kritis
atas Teks Suci
Aliran ini juga mengembangkan
hermeneutika kritis terhadap teks-teks keagamaan. Dalam hal
ini, Nasr Hamid Abu Zayd menekankan bahwa teks wahyu tidak bisa dipahami secara
literal atau mutlak karena setiap pemahaman terhadap teks selalu dipengaruhi
oleh latar belakang sosio-kultural pembacanya.⁷ Oleh sebab itu, diperlukan
pembacaan ulang yang rasional, ilmiah, dan terbuka terhadap teks Al-Qur’an agar
agama tidak dibekukan menjadi doktrin yang membelenggu pemikiran.
Dengan pendekatan ini, umat
Islam didorong untuk bersikap aktif, kritis, dan reflektif terhadap ajaran
agamanya. Abu Zayd memperingatkan bahwa mengkultuskan tafsir masa lalu tanpa
kritik justru menjauhkan umat dari pesan moral dan spiritual Islam yang
sesungguhnya.⁸
4.5.
Etika sebagai Inti
Ajaran Islam
Prinsip terakhir dari
Al-Diniy Al-Aqlaniy adalah penekanan pada dimensi etis dalam ajaran
Islam. Para tokoh aliran ini melihat bahwa syariah dan ajaran agama
lainnya tidak boleh dipahami secara formalistik atau legalistik semata,
melainkan harus diarahkan pada pembentukan pribadi dan masyarakat yang adil,
bermoral, dan berkemajuan.⁹
Fazlur Rahman menyatakan
bahwa “moral purpose” dari wahyu adalah aspek yang paling penting untuk
dikembangkan dalam kehidupan umat Islam.¹⁰ Oleh karena itu, nilai-nilai seperti
kejujuran, keadilan, kebebasan berpikir, dan tanggung jawab sosial menjadi
orientasi utama dalam setiap pembacaan terhadap teks agama.
Secara keseluruhan,
prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy berusaha
menawarkan jalan tengah yang progresif antara fundamentalisme literal dan
liberalisme sekuler. Ia mengajak umat Islam untuk tidak terjebak pada kutub
ekstrem, melainkan membangun keimanan yang cerdas, kritis, dan konstruktif,
sejalan dengan tuntunan wahyu dan bimbingan akal.
Footnotes
[1]
M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan
Etika dalam Menghadapi Modernitas (Yogyakarta: Pilar Religi, 2006), 45.
[2]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 5–8.
[3]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran
(Jakarta: Mizan, 1995), 102.
[4]
Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd (Kairo: Dār al-Manār, 1966),
36.
[5]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary
Approach (London: Routledge, 2006), 35–38.
[6]
Fazlur Rahman, Islam, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago
Press, 1979), 8–10.
[7]
Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical
Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 25–28.
[8]
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Nashsh: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān
(Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfī al-‘Arabī, 1993), 61–65.
[9]
Mohammad Hashim Kamali, Shari‘ah Law: An Introduction (Oxford:
Oneworld Publications, 2008), 85–89.
[10]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago:
University of Chicago Press, 2009), 19–21.
5.
Perbandingan
dengan Aliran-Aliran Lain
Untuk memahami posisi Al-Diniy
Al-Aqlaniy secara lebih utuh dalam peta filsafat Islam, penting untuk
membandingkannya dengan aliran-aliran lain yang memiliki pendekatan berbeda
terhadap hubungan antara wahyu dan akal. Beberapa aliran yang relevan untuk
dibandingkan antara lain: aliran tekstualis-tradisionalis, rasionalisme
murni (Mu’tazilah), dan filsafat illuminatif (Ishrāqīyah).
Perbandingan ini menunjukkan bagaimana pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy bersifat
moderat dan integratif dalam menjembatani dua kutub ekstrem pemikiran
keislaman.
5.1.
Dibandingkan dengan
Aliran Tekstualis-Tradisionalis
Aliran
tekstualis-tradisionalis (seperti Salafi klasik atau Hanbali konservatif)
berpegang teguh pada makna literal teks wahyu dan cenderung
menolak pendekatan rasional atau kontekstual dalam memahami Al-Qur’an dan
Hadis. Mereka menilai bahwa akal tidak boleh mendahului wahyu,
dan setiap usaha untuk menakwilkan teks dianggap berpotensi menyimpang.¹
Sebaliknya, Al-Diniy
Al-Aqlaniy mengakui pentingnya teks wahyu, namun juga menekankan bahwa
pemahaman terhadap teks tersebut tidak pernah bebas nilai,
melainkan selalu melibatkan akal dan konteks pembacanya.² Aliran ini tidak
menerima taklid buta terhadap tafsir klasik, dan justru mendorong pembacaan
ulang (re-reading) yang rasional dan etis. Dalam konteks ini, pendekatan
tekstualis dianggap statis, sedangkan Al-Diniy Al-Aqlaniy bersifat dinamis dan
progresif.
5.2.
Dibandingkan dengan
Rasionalisme Murni (Mu’tazilah)
Aliran Mu’tazilah yang
berkembang pada abad ke-8 hingga ke-10 M merupakan aliran yang mengedepankan akal
sebagai otoritas tertinggi, bahkan dalam beberapa kasus, akal dinilai
dapat menilai baik dan buruk secara independen dari wahyu.³ Mereka berpendapat
bahwa keadilan Tuhan hanya dapat dipahami melalui akal, dan akal memiliki
kedudukan lebih tinggi dalam menafsirkan hukum Tuhan.
Sementara itu, Al-Diniy
Al-Aqlaniy tidak mengunggulkan akal secara mutlak, tetapi
justru menempatkan wahyu dan akal secara kooperatif dan saling
melengkapi.⁴ Dalam pendekatan ini, akal tidak menggantikan wahyu,
melainkan bekerja untuk memahami dan merealisasikan nilai-nilai wahyu dalam
kehidupan nyata. Dengan demikian, meskipun sama-sama rasional, Al-Diniy
Al-Aqlaniy lebih seimbang dibandingkan dengan kecenderungan ekstrem akal dalam
Mu’tazilah.
5.3.
Dibandingkan dengan
Filsafat Illuminatif (Ishrāqīyah)
Filsafat illuminatif yang
dipelopori oleh Suhrawardī (w. 1191 M) menggabungkan unsur
rasionalisme peripatetik (Ibn Sina) dengan intuisi spiritual
atau “pencerahan batin.”⁵ Dalam pandangan ini, pengetahuan tertinggi tidak
diperoleh hanya melalui rasio, tetapi melalui penyingkapan batiniah
(kasyf) yang bersifat mistis. Aliran ini dekat dengan tradisi tasawuf
falsafi dan menempatkan intuisi ruhani sebagai jalan menuju hakikat.
Berbeda dengan Ishrāqīyah,
Al-Diniy Al-Aqlaniy berdiri pada landasan rasional-kontekstual
yang bersifat ilmiah dan historis. Pendekatan ini tidak menolak spiritualitas,
tetapi tidak menjadikannya sebagai sumber pengetahuan utama.⁶ Dalam kerangka
Al-Diniy Al-Aqlaniy, kebenaran harus bisa diuji melalui akal dan dikaitkan
dengan konteks sosial, bukan sekadar pengalaman mistis individual.
5.4.
Keunikan dan Posisi
Epistemologis Al-Diniy Al-Aqlaniy
Dari perbandingan di atas,
terlihat bahwa Al-Diniy Al-Aqlaniy memiliki posisi epistemologis yang khas: tidak
ekstrem rasional seperti Mu’tazilah, tidak literal seperti
tekstualis, dan tidak esoterik seperti Ishrāqīyah.⁷
Pendekatan ini lahir dari kesadaran akan perlunya revitalisasi pemikiran Islam
modern yang tetap berakar pada wahyu, tetapi terbuka terhadap dinamika ilmu
pengetahuan dan peradaban manusia.
Dengan demikian, Al-Diniy
Al-Aqlaniy dapat diposisikan sebagai pendekatan integratif, wasathiyah
(moderat), dan reformis, yang menawarkan jalan tengah
untuk menjembatani antara ortodoksi agama dan tantangan rasionalitas modern.
Footnotes
[1]
Aḥmad ibn Ḥanbal, Uṣūl al-Sunnah, ed. Ḥammād al-Anṣārī
(Madinah: Maktabah al-Salaf, 1996), 12–14.
[2]
M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan
Etika dalam Menghadapi Modernitas (Yogyakarta: Pilar Religi, 2006), 48–50.
[3]
Richard C. Martin and Mark R. Woodward, Defenders of Reason in
Islam: Mu‘tazilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford:
Oneworld, 1997), 25–28.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 9–11.
[5]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 125–127.
[6]
Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical
Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 34–36.
[7]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary
Approach (London: Routledge, 2006), 45–47.
6.
Pengaruh
dan Relevansi Kontemporer
Pendekatan Al-Diniy
Al-Aqlaniy semakin memperoleh tempat penting dalam lanskap pemikiran
Islam kontemporer, terutama di tengah arus globalisasi, modernisasi, dan
pluralitas yang menuntut keterbukaan, rasionalitas, serta kepekaan terhadap
realitas sosial. Dengan menekankan sinergi antara wahyu dan akal, pendekatan
ini menghadirkan model keberagamaan yang kontekstual, rasional, dan
inklusif, yang mampu menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan akar
spiritualitas Islam. Pengaruh dan relevansi aliran ini tampak dalam berbagai
bidang, antara lain dalam pembaruan pemikiran keislaman, pendidikan, hukum
Islam, serta wacana hak asasi manusia dan demokrasi.
6.1.
Pembaruan Pemikiran
Islam dan Ijtihad Modern
Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy
memberikan landasan filosofis dan epistemologis yang kuat bagi gerakan reformasi
pemikiran Islam (tajdīd fikrī), terutama dalam mendorong ijtihad yang
kontekstual dan rasional. Tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman
dan Nasr Hamid Abu Zayd menjadi referensi utama dalam
mendorong reinterpretasi teks keagamaan untuk menjawab persoalan-persoalan
kontemporer seperti keadilan sosial, relasi gender, pluralisme agama, dan etika
publik.¹
Pendekatan ini menawarkan
alternatif terhadap stagnasi keilmuan yang ditandai oleh taklid dan pembacaan
literal atas wahyu, serta membuka ruang dialog yang sehat antara Islam dan ilmu
pengetahuan modern. Ijtihad tidak lagi dipahami secara sempit sebagai penetapan
hukum, tetapi sebagai proses intelektual untuk menggali nilai-nilai dasar Islam
yang dapat diaktualisasikan dalam konteks baru.²
6.2.
Reformasi dalam
Pendidikan Islam
Salah satu implikasi paling
signifikan dari pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy adalah transformasi
kurikulum dan metodologi pendidikan Islam. Paradigma ini mendorong
integrasi antara ilmu keislaman dan ilmu rasional-modern dalam sistem
pendidikan, sebagaimana yang dilakukan oleh cendekiawan Muslim kontemporer
seperti M. Amin Abdullah melalui pendekatan integratif-interkonektif.³
Dengan cara ini, lembaga
pendidikan Islam, seperti pesantren, madrasah, dan universitas Islam, tidak hanya
menjadi pusat reproduksi ajaran normatif, tetapi juga sebagai laboratorium
pemikiran kritis yang menumbuhkan etika ilmiah, kebebasan berpikir, dan
tanggung jawab sosial.⁴ Hal ini sejalan dengan cita-cita Islam sebagai agama
yang mendorong pembebasan akal dan pencarian ilmu pengetahuan secara
terus-menerus.
6.3.
Respons terhadap
Isu-isu Sosial Global
Pendekatan Al-Diniy
Al-Aqlaniy sangat relevan dalam merespons tantangan global kontemporer,
seperti demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan keberagaman
budaya. Alih-alih bersikap reaktif dan defensif, aliran ini mengajak umat Islam
untuk mendialogkan nilai-nilai Islam secara konstruktif dengan
prinsip-prinsip universal kemanusiaan.⁵
Fazlur Rahman, misalnya,
menyatakan bahwa Al-Qur’an bukan hanya kitab hukum, tetapi terutama kitab
moral. Oleh karena itu, pesan utamanya harus ditafsirkan dalam kerangka
nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan kebebasan, bukan semata-mata melalui
pendekatan legal-formal.⁶ Pemikiran ini menjadi sangat relevan dalam upaya
membangun tatanan sosial yang adil dan humanistik.
6.4.
Menjadi Landasan
Islam Moderat (Wasathiyah)
Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy
juga memberikan basis pemikiran yang kuat bagi pengembangan Islam
wasathiyah (moderat) yang tengah digalakkan di berbagai negara Muslim,
termasuk Indonesia. Dengan menekankan keseimbangan antara teks dan konteks,
antara akal dan wahyu, pendekatan ini menjadi solusi terhadap dua ekstrem:
fundamentalisme literal dan sekularisme liberal.⁷
Organisasi Islam moderat
seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah telah banyak mengembangkan
pendekatan ini dalam praksis sosial, dakwah, serta advokasi kebijakan publik
berbasis etika keislaman yang inklusif dan adaptif terhadap perubahan zaman.⁸
6.5.
Tantangan dan
Prospek ke Depan
Meskipun memiliki relevansi
tinggi, pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy juga menghadapi tantangan serius,
terutama dari kelompok konservatif yang masih memandang pendekatan
rasional-kritis terhadap wahyu sebagai bentuk penyimpangan atau ancaman
terhadap ortodoksi Islam. Selain itu, diperlukan upaya sistematis untuk
menyebarluaskan pendekatan ini melalui pendidikan, media, dan forum keilmuan
agar dapat menjadi arus utama dalam wacana keislaman global.⁹
Namun demikian, prospeknya
sangat menjanjikan karena menawarkan kerangka berpikir yang mampu merangkul
keimanan yang kokoh dan rasionalitas yang tercerahkan, dua elemen yang
sangat dibutuhkan umat Islam dalam membangun masa depan yang beradab dan
berkebudayaan.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
14–17.
[2]
Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction (London:
Routledge, 2006), 88–89.
[3]
M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan
Etika dalam Menghadapi Modernitas (Yogyakarta: Pilar Religi, 2006),
132–135.
[4]
Azyumardi Azra, “Islamic Education in Indonesia and Malaysia: Between
Traditionalism and Modernism,” in Schooling Islam: The Culture and Politics
of Modern Muslim Education, ed. Robert W. Hefner and Muhammad Qasim Zaman
(Princeton: Princeton University Press, 2007), 172–174.
[5]
Charles Kurzman, ed., Liberal Islam: A Sourcebook (New York:
Oxford University Press, 1998), 17–19.
[6]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago:
University of Chicago Press, 2009), 23–26.
[7]
Mohammad Hashim Kamali, The Middle Path of Moderation in Islam: The
Qur’anic Principle of Wasatiyyah (New York: Oxford University Press,
2015), 91–93.
[8]
Bahtiar Effendy, Islam and the State in Indonesia (Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2003), 65–67.
[9]
Mohamad Abdun Nasir, “Contemporary Islamic Thought in Indonesia: The
Influence of Progressive Muslim Intellectuals,” Studia Islamika 17,
no. 3 (2010): 423–425.
7.
Kritik
terhadap Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy
Meskipun pendekatan Al-Diniy
Al-Aqlaniy mendapat apresiasi luas sebagai usaha modern dalam
menyelaraskan agama dan akal, namun tidak luput dari berbagai kritik
baik dari kalangan tradisionalis, kalangan liberal-progresif, maupun dari
perspektif metodologis akademik. Kritik-kritik ini mencerminkan adanya
perdebatan epistemologis dan ideologis dalam diskursus pemikiran Islam
kontemporer.
7.1.
Kritik dari Kalangan
Tradisionalis: Ancaman terhadap Otoritas Ulama dan Warisan Klasik
Kelompok tradisionalis
atau skripturalis memandang pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy
sebagai bentuk liberalisasi tafsir agama yang berpotensi
melemahkan otoritas ulama dan tradisi turats (warisan keilmuan klasik). Mereka
menilai bahwa upaya kontekstualisasi dan reinterpretasi teks wahyu, seperti
yang dilakukan oleh Fazlur Rahman dan Nasr Hamid Abu Zayd, dapat membuka pintu
bagi relativisme moral dan dekonstruksi otoritas agama.¹
Sebagian ulama menuding
pendekatan ini mengabaikan prinsip tafwīḍ (penyerahan total kepada
makna teks) yang dijunjung tinggi dalam tradisi tafsir klasik.² Dalam kasus Abu
Zayd, pendekatan hermeneutikanya bahkan dianggap sebagai ancaman
terhadap kemurnian wahyu, sehingga ia mengalami penolakan sosial dan
hukum di negaranya.³
7.2.
Kritik dari Kalangan
Liberal-Progresif: Kurang Radikal dalam Mendorong Transformasi Sosial
Sebaliknya, kalangan liberal-progresif
yang lebih radikal menilai bahwa pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy masih terlalu kompromistis
terhadap otoritas agama tradisional, terutama karena tetap
mempertahankan keabsahan wahyu sebagai sumber kebenaran absolut. Mereka
berpendapat bahwa pendekatan ini belum sepenuhnya mampu melepaskan diri dari kerangka
teologis normatif, dan karena itu terbatas dalam mendorong perubahan
sosial yang lebih mendasar.⁴
Kritik ini terutama diarahkan
kepada tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Fazlur Rahman yang, meskipun
rasional dan kontekstual, tetap berhati-hati dalam menanggapi isu-isu
kontroversial seperti kritik terhadap hadits sahih atau struktur patriarkis
dalam fiqh klasik.⁵
7.3.
Kritik Metodologis:
Kesenjangan antara Teori dan Praktik
Secara metodologis, beberapa
akademisi menyoroti adanya ketegangan antara idealisme normatif dan
implementasi praktis dalam pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy. Meskipun
gagasan ijtihad kontekstual dan hermeneutika kritis terdengar meyakinkan dalam
teori, namun dalam praktiknya sulit diterapkan di masyarakat Muslim yang masih
sangat terikat pada otoritas ulama klasik dan struktur fiqh tradisional.⁶
Selain itu, pendekatan ini
dinilai masih belum sepenuhnya berhasil membangun kerangka metodologi
tafsir yang sistematik dan operasional. Banyak pemikiran dari
tokoh-tokoh aliran ini bersifat wacana teoretik yang belum menyentuh ranah
penerapan kebijakan hukum Islam secara konkret di tingkat negara atau lembaga
keagamaan.⁷
7.4.
Tuduhan Sekularisasi
Terselubung
Beberapa kalangan menuding
bahwa pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy mengandung misi sekularisasi
terselubung, karena membuka pintu bagi dominasi akal atas teks dan
berpotensi menyingkirkan aspek transendental dalam Islam. Tuduhan ini terutama
ditujukan kepada tokoh-tokoh seperti Nasr Hamid Abu Zayd yang menggunakan
pendekatan linguistik dan semiotik modern dalam membaca Al-Qur’an.⁸
Namun tuduhan ini sering kali
bersifat simplistis dan ideologis, karena aliran Al-Diniy
Al-Aqlaniy justru tidak menolak wahyu, tetapi berusaha mengaktifkan
potensi akal untuk memahami dan memaknai wahyu secara lebih relevan.⁹
7.5.
Kritik Internal:
Kurangnya Keterlibatan Akar Rumput
Kritik terakhir datang dari
internal gerakan sendiri, yakni tentang minimnya keterlibatan
masyarakat akar rumput dalam diskursus Al-Diniy Al-Aqlaniy. Pendekatan
ini lebih banyak berkembang di ranah akademik dan elite intelektual, sementara
dampaknya di tingkat komunitas belum terlalu dirasakan. Hal ini menunjukkan
perlunya strategi yang lebih populis dan komunikatif agar pendekatan ini bisa
diinternalisasi oleh masyarakat luas.¹⁰
Kesimpulan Sementara
Berbagai kritik tersebut
menunjukkan bahwa meskipun Al-Diniy Al-Aqlaniy menawarkan solusi filosofis dan
metodologis bagi problem keislaman kontemporer, namun tetap membutuhkan refleksi,
pengembangan, dan penguatan praksis agar tidak berhenti pada tataran
diskursus elitis semata. Kritik yang konstruktif harus dilihat sebagai peluang
untuk memperkaya pendekatan ini agar lebih matang secara teoretis dan
aplikatif.
Footnotes
[1]
Abou El Fadl, Khaled M., The Search for Beauty in Islam: A
Conference of the Books (Lanham: Rowman & Littlefield, 2006), 133–135.
[2]
Yasir Qadhi, An Introduction to the Sciences of the Qur'an
(Birmingham: Al-Hidaayah Publishing, 1999), 89–90.
[3]
Mona Abaza, “Intellectuals, Power and Islam in Malaysia,” Asian
Journal of Social Science 31, no. 3 (2003): 425.
[4]
Charles Kurzman, ed., Liberal Islam: A Sourcebook (New York:
Oxford University Press, 1998), 23–25.
[5]
Ziba Mir-Hosseini, “Islam and Gender Justice,” in New Directions in
Islamic Thought, ed. Kari Vogt et al. (London: I.B. Tauris, 2009), 77–78.
[6]
Ebrahim Moosa, “The Debts and Burdens of Critical Islam,” in Progressive
Muslims, ed. Omid Safi (Oxford: Oneworld, 2003), 113–114.
[7]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary
Approach (London: Routledge, 2006), 99–101.
[8]
Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical
Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 36–38.
[9]
M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 147–150.
[10]
Syafiq Hasyim, “The Council of Indonesian Ulama (Majelis Ulama
Indonesia, MUI) and Religious Freedom,” IRASEC’s Discussion Papers 12
(2011): 10–12.
8.
Kesimpulan
Aliran Al-Diniy
Al-Aqlaniy hadir sebagai pendekatan filosofis dan metodologis yang
mencoba menyelaraskan antara iman dan rasio, wahyu dan
realitas, serta antara ajaran normatif agama dan tantangan
sosial kontemporer. Pendekatan ini menegaskan bahwa dalam Islam, wahyu
dan akal bukan dua entitas yang bertentangan, tetapi saling melengkapi
dan menyempurnakan dalam proses pencarian kebenaran dan pencerahan spiritual.
Melalui pemikiran
tokoh-tokohnya seperti Muhammad Abduh, Fazlur Rahman,
dan Nasr Hamid Abu Zayd, pendekatan ini menawarkan paradigma
keislaman yang progresif, inklusif, dan kontekstual, yang
menjawab stagnasi pemikiran dan kemacetan epistemologis akibat taklid,
skripturalisme ekstrem, dan keterputusan antara teks agama dengan realitas
sosial.¹
Kontribusi besar Al-Diniy
Al-Aqlaniy terletak pada keberaniannya melakukan ijtihad kreatif,
mengembangkan tafsir rasional, serta membangun fondasi
etika Islam yang bersifat universal dan aplikatif. Ia tidak
mengabaikan pentingnya tradisi, tetapi juga tidak mengultuskannya secara buta.
Pendekatan ini memperjuangkan Islam sebagai agama yang hidup dan
membumi, bukan hanya sebagai doktrin tekstual, melainkan sebagai
panduan moral dan intelektual bagi umat dalam membangun peradaban.²
Relevansi aliran ini di era
modern sangat tinggi, terutama dalam menjawab tantangan pluralisme, demokrasi,
hak asasi manusia, kemajuan sains, serta perubahan sosial yang cepat.³ Dalam
konteks Indonesia, pendekatan ini juga menjadi fondasi epistemologis bagi
penguatan Islam wasathiyah yang menolak ekstremisme baik dalam bentuk
konservatisme dogmatis maupun sekularisme nihilistik.⁴
Namun demikian, pendekatan
ini bukan tanpa tantangan. Ia dikritik oleh berbagai pihak, baik dari kalangan
konservatif yang menganggapnya terlalu liberal, maupun dari kalangan
liberal-progresif yang menilainya kurang radikal. Ada juga kritik metodologis
mengenai kesenjangan antara idealisme teoritis dan aplikasi praktis di
masyarakat.⁵
Oleh karena itu, masa depan
Al-Diniy Al-Aqlaniy akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk
mengakar dalam realitas umat, menyusun metodologi yang sistematis, serta
menjalin dialog yang produktif dengan berbagai arus pemikiran dalam Islam dan
modernitas. Dengan potensi sintesis yang dimilikinya, pendekatan ini dapat
menjadi pijakan penting dalam membangun Islam sebagai agama rahmatan
lil ‘ālamīn, yang menjunjung tinggi nilai wahyu, memuliakan akal, dan
mengabdi pada kemaslahatan manusia secara universal.⁶
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 9–11.
[2]
M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan
Etika dalam Menghadapi Modernitas (Yogyakarta: Pilar Religi, 2006),
122–124.
[3]
Charles Kurzman, ed., Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook
(New York: Oxford University Press, 2002), 15–17.
[4]
Mohammad Hashim Kamali, The Middle Path of Moderation in Islam: The
Qur’anic Principle of Wasatiyyah (New York: Oxford University Press,
2015), 91–93.
[5]
Ebrahim Moosa, “The Debts and Burdens of Critical Islam,” in Progressive
Muslims, ed. Omid Safi (Oxford: Oneworld, 2003), 112–115.
[6]
Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical
Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 47–50.
Daftar Pustaka
Abaza, M. (2003). Intellectuals, power and Islam in
Malaysia. Asian Journal of Social Science, 31(3), 372–398. https://doi.org/10.1163/156853103322714402
Abdullah, M. A. (1999). Studi agama:
Normativitas atau historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, M. A. (2006). Islam sebagai ilmu:
Epistemologi, metodologi, dan etika dalam menghadapi modernitas.
Yogyakarta: Pilar Religi.
Abduh, M. (1966). Risālat al-Tawḥīd. Kairo:
Dār al-Manār.
Azra, A. (2007). Islamic education in Indonesia and
Malaysia: Between traditionalism and modernism. In R. W. Hefner & M. Q.
Zaman (Eds.), Schooling Islam: The culture and politics of modern Muslim
education (pp. 172–198). Princeton University Press.
Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy
(L. Sherrard, Trans.). London: Kegan Paul International.
Effendy, B. (2003). Islam and the state in
Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
El Fadl, K. A. (2006). The search for beauty in
Islam: A conference of the books. Lanham: Rowman & Littlefield.
Hamid Abu Zayd, N. (1993). Mafhūm al-Nashsh:
Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfī al-‘Arabī.
Hamid Abu Zayd, N. (2006). Reformation of
Islamic thought: A critical historical analysis. Amsterdam: Amsterdam
University Press.
Hasyim, S. (2011). The Council of Indonesian Ulama
(Majelis Ulama Indonesia, MUI) and religious freedom. IRASEC’s Discussion
Papers, 12, 1–17.
Kamali, M. H. (2008). Shari‘ah law: An
introduction. Oxford: Oneworld Publications.
Kamali, M. H. (2015). The middle path of
moderation in Islam: The Qur’anic principle of wasatiyyah. Oxford: Oxford
University Press.
Kurzman, C. (Ed.). (1998). Liberal Islam: A
sourcebook. New York: Oxford University Press.
Kurzman, C. (Ed.). (2002). Modernist Islam,
1840–1940: A sourcebook. New York: Oxford University Press.
Martin, R. C., & Woodward, M. R. (1997). Defenders
of reason in Islam: Mu‘tazilism from medieval school to modern symbol.
Oxford: Oneworld.
Merad, A. (1967). Islamic reform: The political
and legal theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida. Albany: State
University of New York Press.
Mir-Hosseini, Z. (2009). Islam and gender justice.
In K. Vogt, L. Larsen, & C. Moe (Eds.), New directions in Islamic
thought (pp. 67–84). London: I.B. Tauris.
Moosa, E. (2000). Fazlur Rahman: A framework for
interpreting the ethico-legal content of the Qur’an. In M. H. Kamali (Ed.), Muslim
ethics and modernity (pp. 57–75). Kuala Lumpur: ISTAC.
Moosa, E. (2003). The debts and burdens of critical
Islam. In O. Safi (Ed.), Progressive Muslims: On justice, gender and
pluralism (pp. 111–132). Oxford: Oneworld.
Qadhi, Y. (1999). An introduction to the
sciences of the Qur'an. Birmingham: Al-Hidaayah Publishing.
Rahman, F. (1979). Islam (2nd ed.). Chicago:
University of Chicago Press.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Rahman, F. (2009). Major themes of the Qur’an
(2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.
Saeed, A. (2006). Interpreting the Qur’an:
Towards a contemporary approach. London: Routledge.
Saeed, A. (2006). Islamic thought: An
introduction. London: Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar