Kamis, 27 Maret 2025

Al-Diniy Al-Aqlaniy: Harmoni antara Wahyu dan Akal

Al-Diniy Al-Aqlaniy

Harmoni antara Wahyu dan Akal


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy dalam filsafat Islam, yaitu sebuah pendekatan pemikiran yang berupaya menyatukan antara otoritas wahyu dan daya nalar akal secara harmonis. Aliran ini lahir sebagai respons atas ketegangan historis antara kubu tekstualis-tradisionalis yang menolak penggunaan akal dalam tafsir keagamaan dan kubu rasionalis-sekuler yang mengabaikan otoritas wahyu. Melalui kajian terhadap pemikiran tokoh-tokoh utama seperti Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd, artikel ini menunjukkan bahwa Al-Diniy Al-Aqlaniy menekankan pentingnya ijtihad kontekstual, pembacaan kritis terhadap teks wahyu, serta penguatan etika keislaman dalam merespons dinamika zaman. Pembahasan juga mencakup prinsip-prinsip dasar aliran ini, perbandingannya dengan aliran-aliran filsafat Islam lainnya, serta pengaruh dan relevansinya dalam isu-isu kontemporer seperti pendidikan, HAM, demokrasi, dan moderasi Islam. Meskipun mendapat sejumlah kritik dari berbagai sudut pandang, aliran ini tetap menawarkan paradigma pemikiran yang moderat, dinamis, dan relevan dalam pembangunan peradaban Islam yang rasional dan transformatif.

Kata Kunci: Al-Diniy Al-Aqlaniy, filsafat Islam, wahyu dan akal, ijtihad, pemikiran Islam kontemporer, Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, rasionalisme, reformasi keagamaan.


PEMBAHASAN

Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy dalam Filsafat Islam


1.           Pendahuluan

Filsafat Islam merupakan hasil interaksi kreatif antara ajaran Islam yang bersumber dari wahyu dengan pendekatan rasional yang berkembang dalam tradisi filsafat Yunani dan pemikiran dunia Islam sendiri. Di dalamnya terdapat berbagai aliran dan pendekatan yang beragam dalam memahami hakikat Tuhan, manusia, alam semesta, dan pengetahuan. Salah satu pendekatan penting yang berkembang dalam khazanah filsafat Islam kontemporer adalah aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy, yang secara harfiah berarti “religi-rational” atau “keagamaan yang rasional”.

Aliran ini muncul sebagai respons terhadap kebuntuan antara dua kutub ekstrem dalam pemikiran Islam modern, yakni antara kaum tekstualis-tradisional yang cenderung menolak penggunaan akal dalam memahami agama secara kontekstual, dan kaum liberal-sekuler yang kerap mengabaikan otoritas wahyu demi rasionalitas modern. Dalam konteks ini, Al-Diniy Al-Aqlaniy tampil sebagai jembatan epistemologis yang mencoba mensinergikan wahyu sebagai sumber kebenaran absolut dengan akal sebagai alat tafsir yang aktif dan dinamis dalam memahami realitas sosial, moral, dan spiritual umat manusia.

Sebagai pendekatan, aliran ini tidak hanya berbicara dalam kerangka teologis dan filosofis semata, tetapi juga membawa implikasi metodologis dalam tafsir Al-Qur'an, pendidikan Islam, dan konstruksi hukum (fiqh) yang responsif terhadap konteks zaman. Pemikir seperti Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd menjadi pelopor penting dalam meletakkan dasar-dasar pemikiran ini. Mereka mendorong agar umat Islam tidak sekadar bertaklid pada pemahaman masa lalu, melainkan mengembangkan penalaran rasional yang tetap berakar pada nilai-nilai wahyu demi kemajuan umat secara holistik.¹

Fazlur Rahman, misalnya, menekankan pentingnya pendekatan kontekstual dalam memahami Al-Qur’an melalui “double movement theory” atau teori gerak ganda yang menjembatani antara konteks historis turunnya ayat dan nilai universal yang dikandungnya.² Pendekatan ini menunjukkan bagaimana wahyu dan akal dapat bekerja selaras dalam merespons tantangan zaman. Sementara itu, Nasr Hamid Abu Zayd mengajak umat Islam untuk membedakan antara teks wahyu (nash) dan pemahaman manusia terhadap teks (ta’wil/tafsir)—sebuah gagasan yang membuka ruang bagi rasionalisasi pemikiran Islam tanpa mengorbankan kesucian wahyu itu sendiri.³

Dengan demikian, pembahasan mengenai aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy bukan hanya penting dalam ranah akademik filsafat Islam, tetapi juga krusial dalam upaya membangun peradaban Islam yang maju, terbuka, dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai ilahiyah. Pendekatan ini menawarkan solusi pemikiran yang relevan terhadap problem dualisme antara agama dan modernitas, serta memberi landasan epistemologis untuk membangun umat yang cerdas secara spiritual dan intelektual.


Footnotes

[1]                M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika dalam Menghadapi Modernitas (Yogyakarta: Pilar Religi, 2006), 57–59.

[2]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 5–8.

[3]                Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Nashsh: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfī al-‘Arabī, 1993), 45–48.


2.           Definisi dan Asal Usul Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy

Istilah Al-Diniy Al-Aqlaniy (الديني العقلي) secara etimologis berasal dari dua kata kunci dalam bahasa Arab, yaitu al-dīn (الدين) yang berarti “agama” atau “keimanan,” dan al-‘aql (العقل) yang berarti “akal” atau “rasio.” Bila digabungkan, istilah ini merujuk pada suatu pendekatan dalam pemikiran Islam yang mengkombinasikan prinsip-prinsip agama (wahyu) dengan pemikiran rasional (akal) secara harmonis dan saling melengkapi. Dalam konteks filsafat Islam, istilah ini tidak merujuk pada sebuah mazhab formal seperti Mu’tazilah atau Asy’ariyah, tetapi lebih pada pendekatan epistemologis yang mencoba membangun sintesis antara dua sumber pengetahuan utama dalam Islam: wahyu dan akal.¹

Secara historis, akar dari pendekatan ini dapat dilacak sejak masa awal perkembangan filsafat Islam klasik, terutama dalam upaya para filsuf Muslim seperti Al-Farabi dan Ibn Sina untuk mengintegrasikan ajaran Islam dengan filsafat Yunani, khususnya pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme. Namun, pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy dalam bentuknya yang lebih eksplisit dan sistematis mulai tampak dalam pemikiran reformis modernis Islam pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sebagai reaksi terhadap stagnasi intelektual umat Islam dan tantangan modernitas Barat.²

Tokoh penting dalam perkembangan pendekatan ini adalah Muhammad Abduh (1849–1905), seorang reformis Mesir yang dikenal sebagai pelopor gerakan pembaruan Islam modern. Abduh berpendapat bahwa akal adalah karunia Allah yang tidak bertentangan dengan ajaran agama; justru, untuk memahami Islam secara benar dan kontekstual, umat Islam harus menggunakan akalnya secara aktif.³ Ia menolak sikap taklid terhadap otoritas masa lalu dan mendorong dilakukannya ijtihad yang berbasis pada akal sehat dan semangat pembaharuan.

Pemikiran Abduh kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Fazlur Rahman (1919–1988), seorang cendekiawan Muslim asal Pakistan yang banyak berkiprah di dunia akademik Barat. Rahman menekankan pentingnya pendekatan historis dan rasional dalam memahami Al-Qur’an dan syariat Islam. Ia melihat bahwa stagnasi intelektual dalam dunia Islam terjadi karena keterputusan antara tafsir kontekstual dan nilai-nilai etis universal yang terkandung dalam wahyu.⁴ Gagasan Rahman menjadi cikal bakal pendekatan rasional-keagamaan yang dikenal hari ini sebagai bagian dari aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy.

Dalam konteks yang lebih mutakhir, pendekatan ini juga dijelaskan secara kritis oleh Nasr Hamid Abu Zayd (1943–2010), yang memperkenalkan ide bahwa teks keagamaan harus dipahami sebagai produk budaya dan harus ditafsirkan dengan menggunakan metodologi rasional-kritis.⁵ Meskipun menuai kontroversi, pendekatan Abu Zayd menegaskan pentingnya keterlibatan akal dalam membangun pemahaman agama yang kontekstual, humanis, dan progresif.

Dengan demikian, Al-Diniy Al-Aqlaniy bukan sekadar pendekatan intelektual, tetapi juga proyek peradaban yang bertujuan untuk menghidupkan kembali dinamika ijtihad dan pemikiran Islam melalui sinergi antara wahyu ilahiyah dan daya pikir insani. Dalam era modern ini, pendekatan ini menjadi sangat relevan untuk merespons kompleksitas zaman tanpa kehilangan orientasi spiritual keislaman.


Footnotes

[1]                M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 110.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 5–9.

[3]                Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd (Kairo: Dār al-Manār, 1966), 30–32.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 2–5.

[5]                Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Nashsh: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfī al-‘Arabī, 1993), 49–51.


3.           Tokoh-Tokoh Utama dan Pemikiran Sentral

Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy tidak berdiri sebagai mazhab yang mapan secara institusional, namun ia menjelma menjadi pendekatan filosofis-religius yang diperjuangkan oleh sejumlah pemikir Muslim modern. Para tokoh ini menekankan pentingnya sinergi antara wahyu dan akal dalam menghadapi dinamika kehidupan umat Islam di tengah tantangan modernitas. Tiga tokoh yang sering dianggap sebagai pilar utama pendekatan ini adalah Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd. Ketiganya memiliki pandangan yang saling melengkapi meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda.

3.1.       Muhammad Abduh (1849–1905)

Muhammad Abduh merupakan seorang ulama, reformis, dan pemikir besar asal Mesir yang memprakarsai gerakan pembaruan Islam bersama Jamaluddin al-Afghani. Dalam pemikirannya, Abduh menolak anggapan bahwa akal dan wahyu berada dalam posisi yang saling bertentangan. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa wahyu datang dari Tuhan dan akal adalah anugerah Tuhan pula; keduanya harus berjalan beriringan dalam memahami agama.¹

Dalam karya terkenalnya, Risālat al-Tawḥīd, Abduh menjelaskan bahwa ajaran Islam bersifat rasional dan tidak bertentangan dengan akal sehat.² Ia mengkritik praktik keagamaan yang hanya berfokus pada aspek ritual formal tanpa mempertimbangkan nilai-nilai rasional dan etis dalam kehidupan sosial. Bagi Abduh, akal bukanlah ancaman bagi agama, melainkan instrumen untuk menyelami makna hakiki wahyu. Ia juga mendorong ijtihad untuk menggantikan taklid, serta menyarankan reformasi pendidikan Islam agar mampu menampung ilmu modern.³

3.2.       Fazlur Rahman (1919–1988)

Fazlur Rahman adalah seorang intelektual Muslim asal Pakistan yang mengembangkan pendekatan filosofis dan hermeneutis terhadap teks-teks keagamaan. Ia dikenal luas karena teori “gerak ganda” (double movement) dalam memahami Al-Qur’an: pertama, menelusuri konteks historis dari ayat; kedua, mengekstrak nilai etis universal yang dapat diterapkan dalam konteks kontemporer.⁴

Menurut Rahman, kegagalan umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial disebabkan oleh hilangnya keterhubungan antara tafsir Al-Qur’an dan dinamika sosial. Ia mengkritik metode tafsir tradisional yang cenderung atomistik dan tidak memperhatikan semangat keseluruhan wahyu.⁵ Sebagai gantinya, ia mengusulkan pendekatan etis dan rasional, agar Islam dapat menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan nilai keilahiannya.

Rahman juga memandang bahwa hukum Islam (syariah) perlu dikaji kembali secara rasional berdasarkan maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan-tujuan syariat), bukan hanya berdasarkan teks literal.⁶ Dalam hal ini, ia menunjukkan bagaimana akal dapat menjadi mitra konstruktif bagi wahyu dalam menciptakan tatanan sosial yang adil dan beradab.

3.3.       Nasr Hamid Abu Zayd (1943–2010)

Abu Zayd adalah seorang pemikir progresif asal Mesir yang memperkenalkan pendekatan hermeneutika kritis dalam memahami teks Al-Qur’an. Ia berargumen bahwa teks keagamaan harus dipahami sebagai produk budaya yang ditafsirkan secara historis dan sosial.⁷ Baginya, teks wahyu bersifat ilahi, tetapi interpretasi atasnya selalu bersifat manusiawi dan karenanya terbuka untuk kritik dan pembaruan.

Dalam karya Mafhūm al-Nashsh, Abu Zayd menekankan bahwa teks Al-Qur’an bukan hanya sekadar teks statis, melainkan memiliki dimensi dinamis yang harus dipahami dalam konteks sosiokultural pembacanya.⁸ Ia menolak pendekatan dogmatis dan literalistik terhadap wahyu, dan justru mengajak pembaca Muslim untuk menggunakan akal dan nalar kritis dalam mengkaji ajaran Islam. Meskipun mendapat tentangan keras dari kalangan konservatif, pemikirannya menjadi salah satu pilar dalam pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy, terutama dalam hal keberanian untuk membuka ruang dialog antara agama, budaya, dan akal sehat.


Secara keseluruhan, ketiga tokoh ini menyuarakan pentingnya pendekatan yang tidak hanya taat pada wahyu, tetapi juga menghargai potensi rasional manusia. Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy yang mereka representasikan menekankan bahwa kemajuan umat Islam tidak akan tercapai tanpa ijtihad, refleksi kritis, dan pembaruan pemikiran yang tetap berpijak pada nilai-nilai dasar agama.


Footnotes

[1]                Charles Kurzman, ed., Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook (New York: Oxford University Press, 2002), 44–47.

[2]                Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd (Kairo: Dār al-Manār, 1966), 21–23.

[3]                Ali Merad, Islamic Reform: The Political and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida (Albany: State University of New York Press, 1967), 76–78.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–7.

[5]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 30–31.

[6]                Ebrahim Moosa, "Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting the Ethico-Legal Content of the Qur’an," in Muslim Ethics and Modernity, ed. M. H. Kamali (Kuala Lumpur: ISTAC, 2000), 57–60.

[7]                Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 15–18.

[8]                Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Nashsh: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfī al-‘Arabī, 1993), 55–59.


4.           Prinsip-Prinsip Utama Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy

Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy berangkat dari keyakinan bahwa wahyu dan akal adalah dua entitas yang bersumber dari Tuhan dan oleh karena itu tidak mungkin saling bertentangan. Pendekatan ini menekankan bahwa agama bukanlah entitas yang anti-rasio, dan rasio bukanlah ancaman terhadap agama. Sebaliknya, keduanya harus dikembangkan secara harmonis untuk menghasilkan pemahaman agama yang kontekstual, dinamis, dan progresif. Prinsip-prinsip utama dari aliran ini mencerminkan upaya untuk menyelaraskan nilai-nilai spiritual Islam dengan tuntutan rasionalitas dan dinamika zaman.

4.1.       Keseimbangan antara Wahyu dan Akal

Prinsip pertama aliran ini adalah menolak dikotomi antara wahyu dan akal. Wahyu dianggap sebagai sumber utama petunjuk ilahi, sementara akal dilihat sebagai sarana untuk memahami, menafsirkan, dan mengaktualisasikan petunjuk tersebut dalam kehidupan nyata. Akal tidak diposisikan sebagai pengganti wahyu, melainkan sebagai alat untuk memperluas makna dan aplikasi dari wahyu dalam berbagai konteks sosial dan historis.¹

Dalam pandangan Fazlur Rahman, pemisahan antara akal dan wahyu menyebabkan stagnasi intelektual dalam dunia Islam. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya pendekatan tafsir yang menempatkan akal sebagai partner aktif wahyu dalam proses ijtihad.² Pandangan ini menegaskan bahwa memahami teks wahyu harus disertai dengan usaha rasional untuk menghubungkannya dengan realitas sosial yang terus berubah.

4.2.       Penolakan terhadap Taklid dan Penguatan Ijtihad

Aliran ini sangat menentang praktik taklid (mengikuti pendapat ulama terdahulu tanpa berpikir kritis) yang dianggap sebagai salah satu penyebab kemunduran intelektual umat Islam. Sebaliknya, pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy mendorong dilakukannya ijtihad, yaitu usaha sungguh-sungguh untuk memahami dan menggali hukum Islam dengan memperhatikan konteks dan dinamika zaman.³

Muhammad Abduh, dalam semangat pembaharuannya, menyatakan bahwa Islam bukan agama yang mematikan akal, melainkan agama yang mendidik umatnya untuk berpikir kritis dan bertanggung jawab terhadap pemahaman keagamaannya.⁴ Dengan demikian, setiap generasi memiliki tanggung jawab untuk menggali makna teks keagamaan sesuai dengan tantangan zamannya, bukan sekadar mengulang-ulang warisan masa lalu.

4.3.       Kontekstualisasi Ajaran Islam

Salah satu prinsip penting lainnya adalah kontekstualisasi, yaitu usaha untuk memahami ajaran Islam tidak secara literal dan statis, tetapi dengan mempertimbangkan kondisi historis, sosial, dan budaya tempat teks itu diturunkan dan diterapkan.⁵ Al-Qur’an dipahami sebagai petunjuk yang bersifat universal, tetapi pesan-pesannya disampaikan dalam bahasa dan konteks masyarakat Arab abad ke-7. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang mampu menggali nilai-nilai etis dan moral universal dari teks wahyu yang relevan dengan konteks kontemporer.

Fazlur Rahman melalui metode “gerak ganda”-nya menunjukkan bahwa pemahaman Al-Qur’an yang benar harus dimulai dari konteks historis turunnya ayat, kemudian digerakkan ke masa kini dalam bentuk nilai-nilai etis yang aplikatif.⁶ Ini memungkinkan Islam hadir sebagai kekuatan moral yang menjawab isu-isu modern seperti keadilan sosial, hak asasi manusia, dan kesetaraan gender.

4.4.       Hermeneutika Kritis atas Teks Suci

Aliran ini juga mengembangkan hermeneutika kritis terhadap teks-teks keagamaan. Dalam hal ini, Nasr Hamid Abu Zayd menekankan bahwa teks wahyu tidak bisa dipahami secara literal atau mutlak karena setiap pemahaman terhadap teks selalu dipengaruhi oleh latar belakang sosio-kultural pembacanya.⁷ Oleh sebab itu, diperlukan pembacaan ulang yang rasional, ilmiah, dan terbuka terhadap teks Al-Qur’an agar agama tidak dibekukan menjadi doktrin yang membelenggu pemikiran.

Dengan pendekatan ini, umat Islam didorong untuk bersikap aktif, kritis, dan reflektif terhadap ajaran agamanya. Abu Zayd memperingatkan bahwa mengkultuskan tafsir masa lalu tanpa kritik justru menjauhkan umat dari pesan moral dan spiritual Islam yang sesungguhnya.⁸

4.5.       Etika sebagai Inti Ajaran Islam

Prinsip terakhir dari Al-Diniy Al-Aqlaniy adalah penekanan pada dimensi etis dalam ajaran Islam. Para tokoh aliran ini melihat bahwa syariah dan ajaran agama lainnya tidak boleh dipahami secara formalistik atau legalistik semata, melainkan harus diarahkan pada pembentukan pribadi dan masyarakat yang adil, bermoral, dan berkemajuan.⁹

Fazlur Rahman menyatakan bahwa “moral purpose” dari wahyu adalah aspek yang paling penting untuk dikembangkan dalam kehidupan umat Islam.¹⁰ Oleh karena itu, nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, kebebasan berpikir, dan tanggung jawab sosial menjadi orientasi utama dalam setiap pembacaan terhadap teks agama.


Secara keseluruhan, prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy berusaha menawarkan jalan tengah yang progresif antara fundamentalisme literal dan liberalisme sekuler. Ia mengajak umat Islam untuk tidak terjebak pada kutub ekstrem, melainkan membangun keimanan yang cerdas, kritis, dan konstruktif, sejalan dengan tuntunan wahyu dan bimbingan akal.


Footnotes

[1]                M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika dalam Menghadapi Modernitas (Yogyakarta: Pilar Religi, 2006), 45.

[2]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 5–8.

[3]                Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Jakarta: Mizan, 1995), 102.

[4]                Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd (Kairo: Dār al-Manār, 1966), 36.

[5]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 35–38.

[6]                Fazlur Rahman, Islam, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 8–10.

[7]                Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 25–28.

[8]                Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Nashsh: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfī al-‘Arabī, 1993), 61–65.

[9]                Mohammad Hashim Kamali, Shari‘ah Law: An Introduction (Oxford: Oneworld Publications, 2008), 85–89.

[10]             Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 19–21.


5.           Perbandingan dengan Aliran-Aliran Lain

Untuk memahami posisi Al-Diniy Al-Aqlaniy secara lebih utuh dalam peta filsafat Islam, penting untuk membandingkannya dengan aliran-aliran lain yang memiliki pendekatan berbeda terhadap hubungan antara wahyu dan akal. Beberapa aliran yang relevan untuk dibandingkan antara lain: aliran tekstualis-tradisionalis, rasionalisme murni (Mu’tazilah), dan filsafat illuminatif (Ishrāqīyah). Perbandingan ini menunjukkan bagaimana pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy bersifat moderat dan integratif dalam menjembatani dua kutub ekstrem pemikiran keislaman.

5.1.       Dibandingkan dengan Aliran Tekstualis-Tradisionalis

Aliran tekstualis-tradisionalis (seperti Salafi klasik atau Hanbali konservatif) berpegang teguh pada makna literal teks wahyu dan cenderung menolak pendekatan rasional atau kontekstual dalam memahami Al-Qur’an dan Hadis. Mereka menilai bahwa akal tidak boleh mendahului wahyu, dan setiap usaha untuk menakwilkan teks dianggap berpotensi menyimpang.¹

Sebaliknya, Al-Diniy Al-Aqlaniy mengakui pentingnya teks wahyu, namun juga menekankan bahwa pemahaman terhadap teks tersebut tidak pernah bebas nilai, melainkan selalu melibatkan akal dan konteks pembacanya.² Aliran ini tidak menerima taklid buta terhadap tafsir klasik, dan justru mendorong pembacaan ulang (re-reading) yang rasional dan etis. Dalam konteks ini, pendekatan tekstualis dianggap statis, sedangkan Al-Diniy Al-Aqlaniy bersifat dinamis dan progresif.

5.2.       Dibandingkan dengan Rasionalisme Murni (Mu’tazilah)

Aliran Mu’tazilah yang berkembang pada abad ke-8 hingga ke-10 M merupakan aliran yang mengedepankan akal sebagai otoritas tertinggi, bahkan dalam beberapa kasus, akal dinilai dapat menilai baik dan buruk secara independen dari wahyu.³ Mereka berpendapat bahwa keadilan Tuhan hanya dapat dipahami melalui akal, dan akal memiliki kedudukan lebih tinggi dalam menafsirkan hukum Tuhan.

Sementara itu, Al-Diniy Al-Aqlaniy tidak mengunggulkan akal secara mutlak, tetapi justru menempatkan wahyu dan akal secara kooperatif dan saling melengkapi.⁴ Dalam pendekatan ini, akal tidak menggantikan wahyu, melainkan bekerja untuk memahami dan merealisasikan nilai-nilai wahyu dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, meskipun sama-sama rasional, Al-Diniy Al-Aqlaniy lebih seimbang dibandingkan dengan kecenderungan ekstrem akal dalam Mu’tazilah.

5.3.       Dibandingkan dengan Filsafat Illuminatif (Ishrāqīyah)

Filsafat illuminatif yang dipelopori oleh Suhrawardī (w. 1191 M) menggabungkan unsur rasionalisme peripatetik (Ibn Sina) dengan intuisi spiritual atau “pencerahan batin.”⁵ Dalam pandangan ini, pengetahuan tertinggi tidak diperoleh hanya melalui rasio, tetapi melalui penyingkapan batiniah (kasyf) yang bersifat mistis. Aliran ini dekat dengan tradisi tasawuf falsafi dan menempatkan intuisi ruhani sebagai jalan menuju hakikat.

Berbeda dengan Ishrāqīyah, Al-Diniy Al-Aqlaniy berdiri pada landasan rasional-kontekstual yang bersifat ilmiah dan historis. Pendekatan ini tidak menolak spiritualitas, tetapi tidak menjadikannya sebagai sumber pengetahuan utama.⁶ Dalam kerangka Al-Diniy Al-Aqlaniy, kebenaran harus bisa diuji melalui akal dan dikaitkan dengan konteks sosial, bukan sekadar pengalaman mistis individual.

5.4.       Keunikan dan Posisi Epistemologis Al-Diniy Al-Aqlaniy

Dari perbandingan di atas, terlihat bahwa Al-Diniy Al-Aqlaniy memiliki posisi epistemologis yang khas: tidak ekstrem rasional seperti Mu’tazilah, tidak literal seperti tekstualis, dan tidak esoterik seperti Ishrāqīyah.⁷ Pendekatan ini lahir dari kesadaran akan perlunya revitalisasi pemikiran Islam modern yang tetap berakar pada wahyu, tetapi terbuka terhadap dinamika ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.

Dengan demikian, Al-Diniy Al-Aqlaniy dapat diposisikan sebagai pendekatan integratif, wasathiyah (moderat), dan reformis, yang menawarkan jalan tengah untuk menjembatani antara ortodoksi agama dan tantangan rasionalitas modern.


Footnotes

[1]                Aḥmad ibn Ḥanbal, Uṣūl al-Sunnah, ed. Ḥammād al-Anṣārī (Madinah: Maktabah al-Salaf, 1996), 12–14.

[2]                M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika dalam Menghadapi Modernitas (Yogyakarta: Pilar Religi, 2006), 48–50.

[3]                Richard C. Martin and Mark R. Woodward, Defenders of Reason in Islam: Mu‘tazilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 25–28.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 9–11.

[5]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 125–127.

[6]                Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 34–36.

[7]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 45–47.


6.           Pengaruh dan Relevansi Kontemporer

Pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy semakin memperoleh tempat penting dalam lanskap pemikiran Islam kontemporer, terutama di tengah arus globalisasi, modernisasi, dan pluralitas yang menuntut keterbukaan, rasionalitas, serta kepekaan terhadap realitas sosial. Dengan menekankan sinergi antara wahyu dan akal, pendekatan ini menghadirkan model keberagamaan yang kontekstual, rasional, dan inklusif, yang mampu menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan akar spiritualitas Islam. Pengaruh dan relevansi aliran ini tampak dalam berbagai bidang, antara lain dalam pembaruan pemikiran keislaman, pendidikan, hukum Islam, serta wacana hak asasi manusia dan demokrasi.

6.1.       Pembaruan Pemikiran Islam dan Ijtihad Modern

Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy memberikan landasan filosofis dan epistemologis yang kuat bagi gerakan reformasi pemikiran Islam (tajdīd fikrī), terutama dalam mendorong ijtihad yang kontekstual dan rasional. Tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman dan Nasr Hamid Abu Zayd menjadi referensi utama dalam mendorong reinterpretasi teks keagamaan untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer seperti keadilan sosial, relasi gender, pluralisme agama, dan etika publik.¹

Pendekatan ini menawarkan alternatif terhadap stagnasi keilmuan yang ditandai oleh taklid dan pembacaan literal atas wahyu, serta membuka ruang dialog yang sehat antara Islam dan ilmu pengetahuan modern. Ijtihad tidak lagi dipahami secara sempit sebagai penetapan hukum, tetapi sebagai proses intelektual untuk menggali nilai-nilai dasar Islam yang dapat diaktualisasikan dalam konteks baru.²

6.2.       Reformasi dalam Pendidikan Islam

Salah satu implikasi paling signifikan dari pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy adalah transformasi kurikulum dan metodologi pendidikan Islam. Paradigma ini mendorong integrasi antara ilmu keislaman dan ilmu rasional-modern dalam sistem pendidikan, sebagaimana yang dilakukan oleh cendekiawan Muslim kontemporer seperti M. Amin Abdullah melalui pendekatan integratif-interkonektif

Dengan cara ini, lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren, madrasah, dan universitas Islam, tidak hanya menjadi pusat reproduksi ajaran normatif, tetapi juga sebagai laboratorium pemikiran kritis yang menumbuhkan etika ilmiah, kebebasan berpikir, dan tanggung jawab sosial.⁴ Hal ini sejalan dengan cita-cita Islam sebagai agama yang mendorong pembebasan akal dan pencarian ilmu pengetahuan secara terus-menerus.

6.3.       Respons terhadap Isu-isu Sosial Global

Pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy sangat relevan dalam merespons tantangan global kontemporer, seperti demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan keberagaman budaya. Alih-alih bersikap reaktif dan defensif, aliran ini mengajak umat Islam untuk mendialogkan nilai-nilai Islam secara konstruktif dengan prinsip-prinsip universal kemanusiaan.⁵

Fazlur Rahman, misalnya, menyatakan bahwa Al-Qur’an bukan hanya kitab hukum, tetapi terutama kitab moral. Oleh karena itu, pesan utamanya harus ditafsirkan dalam kerangka nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan kebebasan, bukan semata-mata melalui pendekatan legal-formal.⁶ Pemikiran ini menjadi sangat relevan dalam upaya membangun tatanan sosial yang adil dan humanistik.

6.4.       Menjadi Landasan Islam Moderat (Wasathiyah)

Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy juga memberikan basis pemikiran yang kuat bagi pengembangan Islam wasathiyah (moderat) yang tengah digalakkan di berbagai negara Muslim, termasuk Indonesia. Dengan menekankan keseimbangan antara teks dan konteks, antara akal dan wahyu, pendekatan ini menjadi solusi terhadap dua ekstrem: fundamentalisme literal dan sekularisme liberal.⁷

Organisasi Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah telah banyak mengembangkan pendekatan ini dalam praksis sosial, dakwah, serta advokasi kebijakan publik berbasis etika keislaman yang inklusif dan adaptif terhadap perubahan zaman.⁸

6.5.       Tantangan dan Prospek ke Depan

Meskipun memiliki relevansi tinggi, pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy juga menghadapi tantangan serius, terutama dari kelompok konservatif yang masih memandang pendekatan rasional-kritis terhadap wahyu sebagai bentuk penyimpangan atau ancaman terhadap ortodoksi Islam. Selain itu, diperlukan upaya sistematis untuk menyebarluaskan pendekatan ini melalui pendidikan, media, dan forum keilmuan agar dapat menjadi arus utama dalam wacana keislaman global.⁹

Namun demikian, prospeknya sangat menjanjikan karena menawarkan kerangka berpikir yang mampu merangkul keimanan yang kokoh dan rasionalitas yang tercerahkan, dua elemen yang sangat dibutuhkan umat Islam dalam membangun masa depan yang beradab dan berkebudayaan.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 14–17.

[2]                Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction (London: Routledge, 2006), 88–89.

[3]                M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika dalam Menghadapi Modernitas (Yogyakarta: Pilar Religi, 2006), 132–135.

[4]                Azyumardi Azra, “Islamic Education in Indonesia and Malaysia: Between Traditionalism and Modernism,” in Schooling Islam: The Culture and Politics of Modern Muslim Education, ed. Robert W. Hefner and Muhammad Qasim Zaman (Princeton: Princeton University Press, 2007), 172–174.

[5]                Charles Kurzman, ed., Liberal Islam: A Sourcebook (New York: Oxford University Press, 1998), 17–19.

[6]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 23–26.

[7]                Mohammad Hashim Kamali, The Middle Path of Moderation in Islam: The Qur’anic Principle of Wasatiyyah (New York: Oxford University Press, 2015), 91–93.

[8]                Bahtiar Effendy, Islam and the State in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003), 65–67.

[9]                Mohamad Abdun Nasir, “Contemporary Islamic Thought in Indonesia: The Influence of Progressive Muslim Intellectuals,” Studia Islamika 17, no. 3 (2010): 423–425.


7.           Kritik terhadap Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy

Meskipun pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy mendapat apresiasi luas sebagai usaha modern dalam menyelaraskan agama dan akal, namun tidak luput dari berbagai kritik baik dari kalangan tradisionalis, kalangan liberal-progresif, maupun dari perspektif metodologis akademik. Kritik-kritik ini mencerminkan adanya perdebatan epistemologis dan ideologis dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer.

7.1.       Kritik dari Kalangan Tradisionalis: Ancaman terhadap Otoritas Ulama dan Warisan Klasik

Kelompok tradisionalis atau skripturalis memandang pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy sebagai bentuk liberalisasi tafsir agama yang berpotensi melemahkan otoritas ulama dan tradisi turats (warisan keilmuan klasik). Mereka menilai bahwa upaya kontekstualisasi dan reinterpretasi teks wahyu, seperti yang dilakukan oleh Fazlur Rahman dan Nasr Hamid Abu Zayd, dapat membuka pintu bagi relativisme moral dan dekonstruksi otoritas agama

Sebagian ulama menuding pendekatan ini mengabaikan prinsip tafwīḍ (penyerahan total kepada makna teks) yang dijunjung tinggi dalam tradisi tafsir klasik.² Dalam kasus Abu Zayd, pendekatan hermeneutikanya bahkan dianggap sebagai ancaman terhadap kemurnian wahyu, sehingga ia mengalami penolakan sosial dan hukum di negaranya.³

7.2.       Kritik dari Kalangan Liberal-Progresif: Kurang Radikal dalam Mendorong Transformasi Sosial

Sebaliknya, kalangan liberal-progresif yang lebih radikal menilai bahwa pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy masih terlalu kompromistis terhadap otoritas agama tradisional, terutama karena tetap mempertahankan keabsahan wahyu sebagai sumber kebenaran absolut. Mereka berpendapat bahwa pendekatan ini belum sepenuhnya mampu melepaskan diri dari kerangka teologis normatif, dan karena itu terbatas dalam mendorong perubahan sosial yang lebih mendasar.⁴

Kritik ini terutama diarahkan kepada tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Fazlur Rahman yang, meskipun rasional dan kontekstual, tetap berhati-hati dalam menanggapi isu-isu kontroversial seperti kritik terhadap hadits sahih atau struktur patriarkis dalam fiqh klasik.⁵

7.3.       Kritik Metodologis: Kesenjangan antara Teori dan Praktik

Secara metodologis, beberapa akademisi menyoroti adanya ketegangan antara idealisme normatif dan implementasi praktis dalam pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy. Meskipun gagasan ijtihad kontekstual dan hermeneutika kritis terdengar meyakinkan dalam teori, namun dalam praktiknya sulit diterapkan di masyarakat Muslim yang masih sangat terikat pada otoritas ulama klasik dan struktur fiqh tradisional.⁶

Selain itu, pendekatan ini dinilai masih belum sepenuhnya berhasil membangun kerangka metodologi tafsir yang sistematik dan operasional. Banyak pemikiran dari tokoh-tokoh aliran ini bersifat wacana teoretik yang belum menyentuh ranah penerapan kebijakan hukum Islam secara konkret di tingkat negara atau lembaga keagamaan.⁷

7.4.       Tuduhan Sekularisasi Terselubung

Beberapa kalangan menuding bahwa pendekatan Al-Diniy Al-Aqlaniy mengandung misi sekularisasi terselubung, karena membuka pintu bagi dominasi akal atas teks dan berpotensi menyingkirkan aspek transendental dalam Islam. Tuduhan ini terutama ditujukan kepada tokoh-tokoh seperti Nasr Hamid Abu Zayd yang menggunakan pendekatan linguistik dan semiotik modern dalam membaca Al-Qur’an.⁸

Namun tuduhan ini sering kali bersifat simplistis dan ideologis, karena aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy justru tidak menolak wahyu, tetapi berusaha mengaktifkan potensi akal untuk memahami dan memaknai wahyu secara lebih relevan.⁹

7.5.       Kritik Internal: Kurangnya Keterlibatan Akar Rumput

Kritik terakhir datang dari internal gerakan sendiri, yakni tentang minimnya keterlibatan masyarakat akar rumput dalam diskursus Al-Diniy Al-Aqlaniy. Pendekatan ini lebih banyak berkembang di ranah akademik dan elite intelektual, sementara dampaknya di tingkat komunitas belum terlalu dirasakan. Hal ini menunjukkan perlunya strategi yang lebih populis dan komunikatif agar pendekatan ini bisa diinternalisasi oleh masyarakat luas.¹⁰


Kesimpulan Sementara

Berbagai kritik tersebut menunjukkan bahwa meskipun Al-Diniy Al-Aqlaniy menawarkan solusi filosofis dan metodologis bagi problem keislaman kontemporer, namun tetap membutuhkan refleksi, pengembangan, dan penguatan praksis agar tidak berhenti pada tataran diskursus elitis semata. Kritik yang konstruktif harus dilihat sebagai peluang untuk memperkaya pendekatan ini agar lebih matang secara teoretis dan aplikatif.


Footnotes

[1]                Abou El Fadl, Khaled M., The Search for Beauty in Islam: A Conference of the Books (Lanham: Rowman & Littlefield, 2006), 133–135.

[2]                Yasir Qadhi, An Introduction to the Sciences of the Qur'an (Birmingham: Al-Hidaayah Publishing, 1999), 89–90.

[3]                Mona Abaza, “Intellectuals, Power and Islam in Malaysia,” Asian Journal of Social Science 31, no. 3 (2003): 425.

[4]                Charles Kurzman, ed., Liberal Islam: A Sourcebook (New York: Oxford University Press, 1998), 23–25.

[5]                Ziba Mir-Hosseini, “Islam and Gender Justice,” in New Directions in Islamic Thought, ed. Kari Vogt et al. (London: I.B. Tauris, 2009), 77–78.

[6]                Ebrahim Moosa, “The Debts and Burdens of Critical Islam,” in Progressive Muslims, ed. Omid Safi (Oxford: Oneworld, 2003), 113–114.

[7]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 99–101.

[8]                Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 36–38.

[9]                M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 147–150.

[10]             Syafiq Hasyim, “The Council of Indonesian Ulama (Majelis Ulama Indonesia, MUI) and Religious Freedom,” IRASEC’s Discussion Papers 12 (2011): 10–12.


8.           Kesimpulan

Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy hadir sebagai pendekatan filosofis dan metodologis yang mencoba menyelaraskan antara iman dan rasio, wahyu dan realitas, serta antara ajaran normatif agama dan tantangan sosial kontemporer. Pendekatan ini menegaskan bahwa dalam Islam, wahyu dan akal bukan dua entitas yang bertentangan, tetapi saling melengkapi dan menyempurnakan dalam proses pencarian kebenaran dan pencerahan spiritual.

Melalui pemikiran tokoh-tokohnya seperti Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd, pendekatan ini menawarkan paradigma keislaman yang progresif, inklusif, dan kontekstual, yang menjawab stagnasi pemikiran dan kemacetan epistemologis akibat taklid, skripturalisme ekstrem, dan keterputusan antara teks agama dengan realitas sosial.¹

Kontribusi besar Al-Diniy Al-Aqlaniy terletak pada keberaniannya melakukan ijtihad kreatif, mengembangkan tafsir rasional, serta membangun fondasi etika Islam yang bersifat universal dan aplikatif. Ia tidak mengabaikan pentingnya tradisi, tetapi juga tidak mengultuskannya secara buta. Pendekatan ini memperjuangkan Islam sebagai agama yang hidup dan membumi, bukan hanya sebagai doktrin tekstual, melainkan sebagai panduan moral dan intelektual bagi umat dalam membangun peradaban.²

Relevansi aliran ini di era modern sangat tinggi, terutama dalam menjawab tantangan pluralisme, demokrasi, hak asasi manusia, kemajuan sains, serta perubahan sosial yang cepat.³ Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini juga menjadi fondasi epistemologis bagi penguatan Islam wasathiyah yang menolak ekstremisme baik dalam bentuk konservatisme dogmatis maupun sekularisme nihilistik.⁴

Namun demikian, pendekatan ini bukan tanpa tantangan. Ia dikritik oleh berbagai pihak, baik dari kalangan konservatif yang menganggapnya terlalu liberal, maupun dari kalangan liberal-progresif yang menilainya kurang radikal. Ada juga kritik metodologis mengenai kesenjangan antara idealisme teoritis dan aplikasi praktis di masyarakat.⁵

Oleh karena itu, masa depan Al-Diniy Al-Aqlaniy akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk mengakar dalam realitas umat, menyusun metodologi yang sistematis, serta menjalin dialog yang produktif dengan berbagai arus pemikiran dalam Islam dan modernitas. Dengan potensi sintesis yang dimilikinya, pendekatan ini dapat menjadi pijakan penting dalam membangun Islam sebagai agama rahmatan lil ‘ālamīn, yang menjunjung tinggi nilai wahyu, memuliakan akal, dan mengabdi pada kemaslahatan manusia secara universal.⁶


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 9–11.

[2]                M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika dalam Menghadapi Modernitas (Yogyakarta: Pilar Religi, 2006), 122–124.

[3]                Charles Kurzman, ed., Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook (New York: Oxford University Press, 2002), 15–17.

[4]                Mohammad Hashim Kamali, The Middle Path of Moderation in Islam: The Qur’anic Principle of Wasatiyyah (New York: Oxford University Press, 2015), 91–93.

[5]                Ebrahim Moosa, “The Debts and Burdens of Critical Islam,” in Progressive Muslims, ed. Omid Safi (Oxford: Oneworld, 2003), 112–115.

[6]                Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 47–50.


Daftar Pustaka

Abaza, M. (2003). Intellectuals, power and Islam in Malaysia. Asian Journal of Social Science, 31(3), 372–398. https://doi.org/10.1163/156853103322714402

Abdullah, M. A. (1999). Studi agama: Normativitas atau historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abdullah, M. A. (2006). Islam sebagai ilmu: Epistemologi, metodologi, dan etika dalam menghadapi modernitas. Yogyakarta: Pilar Religi.

Abduh, M. (1966). Risālat al-Tawḥīd. Kairo: Dār al-Manār.

Azra, A. (2007). Islamic education in Indonesia and Malaysia: Between traditionalism and modernism. In R. W. Hefner & M. Q. Zaman (Eds.), Schooling Islam: The culture and politics of modern Muslim education (pp. 172–198). Princeton University Press.

Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy (L. Sherrard, Trans.). London: Kegan Paul International.

Effendy, B. (2003). Islam and the state in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

El Fadl, K. A. (2006). The search for beauty in Islam: A conference of the books. Lanham: Rowman & Littlefield.

Hamid Abu Zayd, N. (1993). Mafhūm al-Nashsh: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfī al-‘Arabī.

Hamid Abu Zayd, N. (2006). Reformation of Islamic thought: A critical historical analysis. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Hasyim, S. (2011). The Council of Indonesian Ulama (Majelis Ulama Indonesia, MUI) and religious freedom. IRASEC’s Discussion Papers, 12, 1–17.

Kamali, M. H. (2008). Shari‘ah law: An introduction. Oxford: Oneworld Publications.

Kamali, M. H. (2015). The middle path of moderation in Islam: The Qur’anic principle of wasatiyyah. Oxford: Oxford University Press.

Kurzman, C. (Ed.). (1998). Liberal Islam: A sourcebook. New York: Oxford University Press.

Kurzman, C. (Ed.). (2002). Modernist Islam, 1840–1940: A sourcebook. New York: Oxford University Press.

Martin, R. C., & Woodward, M. R. (1997). Defenders of reason in Islam: Mu‘tazilism from medieval school to modern symbol. Oxford: Oneworld.

Merad, A. (1967). Islamic reform: The political and legal theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida. Albany: State University of New York Press.

Mir-Hosseini, Z. (2009). Islam and gender justice. In K. Vogt, L. Larsen, & C. Moe (Eds.), New directions in Islamic thought (pp. 67–84). London: I.B. Tauris.

Moosa, E. (2000). Fazlur Rahman: A framework for interpreting the ethico-legal content of the Qur’an. In M. H. Kamali (Ed.), Muslim ethics and modernity (pp. 57–75). Kuala Lumpur: ISTAC.

Moosa, E. (2003). The debts and burdens of critical Islam. In O. Safi (Ed.), Progressive Muslims: On justice, gender and pluralism (pp. 111–132). Oxford: Oneworld.

Qadhi, Y. (1999). An introduction to the sciences of the Qur'an. Birmingham: Al-Hidaayah Publishing.

Rahman, F. (1979). Islam (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Rahman, F. (2009). Major themes of the Qur’an (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.

Saeed, A. (2006). Interpreting the Qur’an: Towards a contemporary approach. London: Routledge.

Saeed, A. (2006). Islamic thought: An introduction. London: Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar