Senin, 24 Maret 2025

Ilmu Hadits Dirayah: Konsep, Klasifikasi, dan Aplikasinya dalam Studi Hadits

Ilmu Hadits Dirayah

Konsep, Klasifikasi, dan Aplikasinya dalam Studi Hadits


Alihkan ke: Ulumul Hadits, Hadits I, Hadits II.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang Ilmu Hadits Dirayah, yang dikenal juga dengan nama Musthalah al-Hadits, sebagai salah satu cabang utama dalam studi hadits yang berfokus pada kaidah-kaidah ilmiah dalam menilai validitas sanad dan matan hadits. Pembahasan diawali dengan pengenalan konsep dan ruang lingkup Ilmu Dirayah, dilanjutkan dengan klasifikasi hadits berdasarkan berbagai kriteria, syarat-syarat hadits maqbul, serta identifikasi hadits mardud dan penyebab penolakannya. Selanjutnya, artikel menguraikan sejumlah istilah teknis penting dalam ilmu hadits, mengenalkan tokoh-tokoh utama yang berkontribusi dalam perkembangan disiplin ini, serta menampilkan aplikasi praktis ilmu dirayah dalam kritik hadits dan konteks akademik. Penutup artikel menegaskan bahwa Ilmu Musthalah al-Hadits memiliki relevansi yang sangat tinggi di era modern, terutama dalam menangkal penyebaran hadits palsu di media digital, memperkuat integritas dakwah, dan mendukung kajian keislaman berbasis sumber yang sahih dan bertanggung jawab. Melalui pendekatan ilmiah dan referensi yang kredibel, artikel ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman dan kesadaran akademik dalam menjaga kemurnian ajaran sunnah Nabi Muhammad Saw.

Kata Kunci: Ilmu Hadits Dirayah; Musthalah al-Hadits; Kritik Hadits; Sanad dan Matan; Hadits Maqbul dan Mardud; Jarh wa Ta‘dil; Hadits Palsu; Keilmuan Islam Modern.


PEMBAHASAN

Ilmu Hadits Dirayah (Musthalah al-Hadits)


1.           Pendahuluan

Ilmu Hadits merupakan bagian integral dari khazanah keilmuan Islam yang memainkan peran sentral dalam menjaga kemurnian ajaran Rasulullah Saw. Ajaran Islam tidak hanya tertuang dalam Al-Qur’an, tetapi juga dalam Hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu, upaya pelestarian, pemahaman, dan kritik terhadap hadits merupakan suatu keharusan dalam rangka mempertahankan integritas ajaran Islam.

Secara garis besar, Ilmu Hadits terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu Ilmu Riwayah dan Ilmu Dirayah (Musthalah al-Hadits). Ilmu Riwayah berkaitan dengan periwayatan langsung terhadap sabda, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad Saw, termasuk di dalamnya proses penghimpunan dan transmisi sanad. Sedangkan Ilmu Dirayah adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang digunakan untuk menilai validitas hadits dari sisi sanad dan matannya, serta memahami istilah-istilah teknis dalam kajian hadits.¹

Ilmu Hadits Dirayah, yang juga dikenal sebagai Musthalah al-Hadits, merupakan alat penting untuk mengklasifikasikan dan mengkritisi kualitas hadits. Ilmu ini tidak hanya berfungsi sebagai teori analisis semata, tetapi juga sebagai fondasi metodologis dalam menilai apakah suatu hadits dapat dijadikan hujah (dalil) dalam hukum Islam atau tidak. Seiring dengan berkembangnya kajian keislaman yang berbasis nalar kritis dan metodologi ilmiah, keberadaan Ilmu Dirayah menjadi semakin relevan untuk menyeleksi berbagai riwayat yang tersebar dalam literatur klasik maupun kontemporer.²

Sejarah mencatat bahwa perhatian terhadap keaslian hadits telah muncul sejak masa sahabat Nabi, terutama setelah meluasnya wilayah Islam dan munculnya hadits-hadits palsu yang disisipkan oleh kelompok-kelompok tertentu demi kepentingan politik, sektarian, atau pribadi.³ Dalam konteks ini, lahirlah berbagai disiplin dalam Ilmu Hadits, seperti Ilmu Jarh wa Ta’dil, Ilmu ‘Ilal al-Hadits, dan Musthalah al-Hadits sebagai wujud respons intelektual terhadap tantangan zaman.

Ilmu Musthalah al-Hadits kemudian berkembang pesat seiring dengan kodifikasi ilmu-ilmu Islam lainnya, dengan tokoh-tokoh seperti Imam al-Khatib al-Baghdadi, Ibnu Shalah, dan Imam an-Nawawi yang turut merumuskan konsep dan istilah baku dalam disiplin ini.⁴ Melalui karya-karya mereka, para ulama menyusun parameter objektif untuk menilai hadits dari sisi keadilan dan kecermatan perawi, kesinambungan sanad, serta kesesuaian isi hadits dengan prinsip-prinsip syariat dan akal sehat.⁵

Tujuan utama dari mempelajari Ilmu Hadits Dirayah adalah untuk memberikan pemahaman metodologis kepada mahasiswa dan peneliti agar mampu memilah antara hadits yang dapat diterima (maqbul) dan hadits yang tertolak (mardud). Selain itu, ilmu ini juga berperan besar dalam mengembangkan sikap ilmiah, kritis, dan bertanggung jawab dalam menghadapi khazanah hadits yang begitu luas dan kompleks. Dengan demikian, penguasaan terhadap Ilmu Musthalah al-Hadits merupakan fondasi penting dalam studi keislaman, khususnya dalam bidang tafsir, fikih, dan sejarah.⁶


Catatan Kaki

[1]                Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 13–15.

[2]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadith (Beirut: Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 9–10.

[3]                Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2001), 33.

[4]                Ibn al-Salah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadith, ed. Nur al-Din ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 20–22.

[5]                Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi (Kairo: Dar al-Hadith, 2003), 17–18.

[6]                Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 12–14.


2.           Pengantar Ilmu Hadits Dirayah

2.1.       Definisi Ilmu Hadits Dirayah (Musthalah al-Hadits)

Ilmu Hadits Dirayah, yang juga dikenal dengan sebutan Musthalah al-Hadits, adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah dan istilah-istilah yang digunakan untuk mengetahui kondisi sanad dan matan hadits, serta untuk menilai diterima atau ditolaknya sebuah riwayat.¹ Dengan kata lain, ilmu ini memberikan seperangkat metode ilmiah untuk mengidentifikasi hadits yang sahih, hasan, atau da’if berdasarkan pertimbangan keilmuan dan standar yang disepakati oleh para ulama.²

Ibnu Shalah (w. 643 H), dalam karya monumentalnya Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadits, menjelaskan bahwa ilmu ini membekali peneliti dengan alat untuk memilah antara riwayat yang dapat dijadikan hujjah dan riwayat yang harus ditolak.³ Oleh karena itu, Ilmu Musthalah bukan sekadar penguasaan istilah, melainkan ilmu metodologi kritik dan analisis hadits yang sangat penting dalam studi keislaman.

2.2.       Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits

Perkembangan Ilmu Hadits Dirayah tidak terlepas dari dinamika sejarah Islam. Pada masa Nabi Muhammad Saw dan para sahabat, otoritas hadits diterima secara langsung tanpa adanya kebutuhan mendesak untuk kritik sanad karena kedekatan mereka dengan sumber ajaran. Namun, setelah masa sahabat berlalu dan wilayah Islam meluas, muncul kebutuhan untuk menyaring dan mengkritisi riwayat-riwayat yang berkembang.

Pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, para ulama mulai mengembangkan metode sistematis untuk menilai hadits. Lahirnya Ilmu Jarh wa Ta‘dil, Ilmu Rijal al-Hadits, serta kodifikasi hadits seperti yang dilakukan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan lainnya menunjukkan bahwa perhatian terhadap validitas hadits telah menjadi bagian penting dalam tradisi ilmiah Islam.⁴

Puncak sistematisasi terjadi pada masa Imam al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) yang menulis karya al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah, dan kemudian disempurnakan oleh ulama seperti Ibnu Shalah, Imam an-Nawawi, dan Jalaluddin as-Suyuthi.⁵ Ibnu Shalah bahkan dianggap sebagai peletak dasar sistematika Musthalah al-Hadits yang banyak dirujuk dalam karya-karya sesudahnya.⁶

2.3.       Objek dan Ruang Lingkup Kajian

Objek kajian Ilmu Hadits Dirayah mencakup:

·                     Sanad: rantai perawi yang meriwayatkan hadits dari Nabi Saw.

·                     Matan: isi atau teks dari hadits itu sendiri.

·                     Perawi: karakter dan kredibilitas individu-individu dalam sanad.

·                     Kategori Hadits: berdasarkan jumlah perawi, kualitas sanad dan matan, serta hubungan antara sanad dan matan.

Ruang lingkupnya meliputi pembahasan istilah-istilah penting dalam hadits seperti marfu’, mauquf, maqthu’, mutawatir, ahad, shahih, hasan, dha’if, dan lain-lain. Juga mencakup pengenalan terhadap bentuk-bentuk kecacatan dalam sanad atau matan, seperti syadz, ‘illah, tadlis, mudallas, dan sebagainya.⁷

2.4.       Fungsi dan Urgensi Ilmu Dirayah

Ilmu Hadits Dirayah memiliki fungsi utama sebagai alat validasi terhadap riwayat yang beredar. Ia bertujuan memastikan bahwa hadits yang digunakan dalam penetapan hukum Islam dan pengembangan akidah serta akhlak adalah hadits yang benar-benar berasal dari Rasulullah Saw.

Keberadaan ilmu ini menjadi sangat penting karena banyak hadits palsu (maudhu’) yang telah tersebar sepanjang sejarah, baik karena kepentingan politik, ideologis, maupun kelalaian perawi. Tanpa perangkat analisis yang ketat, kaum muslimin berisiko menggunakan riwayat yang tidak otentik dalam memahami ajaran agama.⁸

Selain itu, Ilmu Dirayah juga memiliki peran dalam melatih sikap ilmiah dan objektif dalam menilai data sejarah Islam. Ia mengajarkan pentingnya dokumentasi, validitas sumber, dan metodologi kritik. Oleh karena itu, penguasaan terhadap ilmu ini merupakan bagian tak terpisahkan dari keilmuan Islam klasik maupun kontemporer.⁹


Catatan Kaki

[1]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 9.

[2]                Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2001), 25.

[3]                Ibn al-Salah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadith, ed. Nur al-Din ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 20.

[4]                Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 33–34.

[5]                Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 10.

[6]                Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi (Kairo: Dar al-Hadith, 2003), 15–17.

[7]                Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 20–22.

[8]                Abdul Karim Khudair, Dirasat fi ‘Ulum al-Hadith (Riyadh: Dar Ibn al-Jawzi, 2002), 41.

[9]                Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata‘amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), 57.


3.           Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kriteria Tertentu

Klasifikasi hadits merupakan salah satu aspek fundamental dalam Ilmu Hadits Dirayah. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang terstruktur mengenai berbagai macam hadits yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw. Para ulama mengklasifikasikan hadits berdasarkan berbagai sudut pandang (kriteria), yang masing-masing memiliki implikasi terhadap status hukum dan penerimaan riwayat tersebut.

Berikut adalah klasifikasi hadits berdasarkan beberapa kriteria pokok yang disepakati dalam disiplin Musthalah al-Hadits:

3.1.       Klasifikasi Berdasarkan Kuantitas Periwayat

Kriteria ini meninjau jumlah perawi yang meriwayatkan hadits dalam setiap tingkatan sanad.

3.1.1.    Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada setiap tingkat sanad, sehingga mustahil menurut akal sehat bahwa mereka bersepakat untuk berdusta. Hadits jenis ini memberikan kepastian (qat’i) dan dapat dijadikan hujjah dalam perkara akidah maupun hukum.¹

Mutawatir dibagi dua:

·                     Lafzhi: mutawatir pada lafaz dan maknanya

·                     Ma’nawi: mutawatir hanya pada maknanya saja

Contoh hadits mutawatir adalah hadits tentang "Barang siapa berdusta atas namaku..." yang diriwayatkan oleh lebih dari 70 sahabat.²

3.1.2.    Hadits Ahad

Hadits ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir. Hadits ini memberikan manfaat zanniyy al-tsubut (dugaan kuat), dan terbagi lagi menjadi:

·                          Mashhur: Diriwayatkan oleh tiga atau lebih perawi pada setiap tingkatan sanad.

·                          Aziz: Diriwayatkan oleh dua perawi pada setiap tingkatan sanad.

·                          Gharib: Diriwayatkan oleh satu perawi pada satu tingkatan sanad.

Hadits ahad diterima dalam hukum, namun memerlukan pengujian mendalam terhadap kualitas perawinya.³

3.2.       Klasifikasi Berdasarkan Kualitas Sanad dan Matan

Kriteria ini menilai sejauh mana sanad dan matan hadits memenuhi syarat-syarat keotentikan.

3.2.1.    Hadits Shahih

Hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith, tidak syadz (bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat), dan tidak mengandung ‘illah (cacat tersembunyi).⁴

Syarat hadits shahih menurut para ulama adalah sebagai berikut:

1)                  Sanad bersambung (ittisal al-sanad)

2)                  Perawi bersifat adil (al-‘adalah)

3)                  Perawi kuat hafalan (al-dhabt)

4)                  Tidak syadz

5)                  Tidak mengandung ‘illah

Hadits shahih merupakan hadits yang paling kuat dan dapat dijadikan dalil dalam semua aspek hukum Islam.⁵

3.2.2.    Hadits Hasan

Hadits hasan memenuhi seluruh syarat hadits shahih, kecuali dari segi ketelitian hafalan perawinya yang tidak sekuat perawi hadits shahih. Hadits ini tetap dapat dijadikan hujjah.⁶

3.2.3.    Hadits Dha’if

Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari lima syarat hadits shahih. Hadits ini tidak dapat dijadikan dasar hukum kecuali dalam konteks fadha'il al-a‘mal (keutamaan amal) dengan syarat-syarat tertentu.⁷

3.3.       Klasifikasi Berdasarkan Penyandaran kepada Nabi Saw

Klasifikasi ini menyoroti siapa yang menjadi sumber utama penyandaran hadits.

3.3.1.    Hadits Marfu’

Hadits yang disandarkan langsung kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, atau sifat beliau. Ini adalah jenis hadits yang menjadi sumber utama hukum Islam.⁸

3.3.2.    Hadits Mauquf

Hadits yang disandarkan kepada sahabat, bukan kepada Nabi Saw. Mauquf dapat berupa pendapat atau fatwa sahabat. Hadits jenis ini tidak bernilai hujjah kecuali jika sahabat tersebut dikenal tidak berfatwa berdasarkan pendapat pribadi.⁹

3.3.3.    Hadits Maqthu’

Hadits yang disandarkan kepada tabi’in atau generasi setelahnya. Maqthu’ bukan hadits nabawi dan tidak dapat dijadikan dasar hukum kecuali dalam kerangka penjelasan atau konfirmasi.¹⁰

3.4.       Klasifikasi Berdasarkan Sifat Sanad dan Matan

Kriteria ini menyoroti kondisi teknis sanad atau matan yang dapat mempengaruhi kekuatan hadits.

Beberapa jenis hadits yang termasuk dalam klasifikasi ini antara lain:

·                     Musnad: Hadits yang sanadnya bersambung hingga Nabi Saw

·                     Mursal: Hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in langsung kepada Nabi Saw tanpa menyebut sahabat

·                     Mu’allaq: Hadits yang sebagian sanadnya dihilangkan dari awal

·                     Mu’dhal: Hadits yang dua perawi atau lebih dihilangkan secara berurutan dalam sanad

·                     Munqathi’: Hadits yang terputus pada salah satu sanad, tapi bukan pada dua orang secara berurutan

·                     Mudallas: Hadits yang mengandung penyamaran sanad

·                     Maqlub: Hadits yang sebagian sanad atau matannya dibalik

·                     Mudraj: Hadits yang bercampur dengan komentar perawi

Jenis-jenis ini sangat penting untuk dikenali agar seorang peneliti tidak keliru menilai otentisitas hadits.¹¹


Catatan Kaki

[1]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 46–49.

[2]                Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 112.

[3]                Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2001), 71–75.

[4]                Ibn al-Salah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadith, ed. Nur al-Din ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 42.

[5]                Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi (Kairo: Dar al-Hadith, 2003), 1:70.

[6]                Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 58.

[7]                Abdul Karim Khudair, Dirasat fi ‘Ulum al-Hadith (Riyadh: Dar Ibn al-Jawzi, 2002), 75.

[8]                Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 127.

[9]                Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith, 157.

[10]             Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 121.

[11]             Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu, 130–140.


4.           Syarat-Syarat Hadits Maqbul

Dalam Ilmu Hadits Dirayah, hadits diklasifikasikan menjadi dua kategori utama: maqbul (diterima) dan mardud (ditolak). Hadits maqbul adalah hadits yang memenuhi syarat-syarat keotentikan dan dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum Islam. Para ulama menyepakati bahwa untuk bisa diterima, suatu hadits harus memenuhi lima kriteria utama yang berkaitan dengan aspek sanad dan matan. Kelima syarat ini menjadi tolak ukur ilmiah dalam menilai kualitas riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.

4.1.       Syarat Hadits Shahih

Hadits shahih merupakan jenis hadits maqbul yang paling kuat, baik dari segi sanad maupun matannya. Para ulama, seperti Imam al-Hakim, Ibnu Hajar, dan Imam al-Nawawi, menjelaskan bahwa terdapat lima syarat utama bagi suatu hadits untuk dinyatakan shahih:¹

4.1.1.    Sanad Bersambung (Ittishal al-Sanad)

Artinya, setiap perawi dalam rantai sanad mendengar hadits tersebut langsung dari gurunya hingga sampai kepada Rasulullah Saw. Tidak boleh ada perawi yang tidak dikenal atau terputus hubungannya dengan perawi sebelumnya.²

4.1.2.    Perawi Adil (Al-‘Adalah)

Keadilan di sini merujuk pada integritas moral perawi; ia harus dikenal sebagai seorang muslim yang baligh, berakal, tidak fasik, dan menjauhi perbuatan tercela. Seorang perawi yang banyak berdusta atau melakukan dosa besar dianggap gugur keadilannya.³

4.1.3.    Perawi Dhabit (Kuat Hafalan atau Catatan)

Dhabit artinya perawi memiliki kecermatan dan daya ingat yang tinggi atau memiliki catatan tertulis yang akurat, serta mampu menyampaikan riwayat tanpa perubahan.⁴

4.1.4.    Tidak Syadz (Bertentangan dengan Riwayat yang Lebih Kuat)

Hadits tersebut tidak menyelisihi riwayat lain yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqah (terpercaya). Jika sebuah hadits menyelisihi riwayat yang lebih kuat, maka hadits itu dianggap syadz dan tidak diterima.⁵

4.1.5.    Tidak Mengandung ‘Illah (Cacat Tersembunyi)

‘Illah adalah cacat tersembunyi dalam hadits yang tidak tampak secara lahir, tetapi setelah penelitian mendalam ditemukan kelemahan yang memengaruhi validitas hadits tersebut. Misalnya, seorang perawi tampaknya tsiqah tetapi ternyata meriwayatkan dari orang yang belum semasa dengannya.⁶

Jika kelima syarat ini terpenuhi secara sempurna, maka hadits tersebut termasuk dalam kategori shahih li dzatihi (shahih karena dirinya sendiri). Bila ada sedikit kelemahan pada syarat dhabith tetapi diperkuat oleh riwayat lain, maka disebut shahih li ghairihi.⁷

4.2.       Syarat Hadits Hasan

Hadits hasan adalah hadits yang juga maqbul, tetapi derajatnya berada satu tingkat di bawah shahih. Semua syarat hadits shahih berlaku untuk hadits hasan, kecuali dalam hal kekuatan hafalan perawi yang tidak sekuat perawi hadits shahih.⁸

Imam al-Tirmidzi seringkali menggunakan istilah "hasan shahih" untuk menunjukkan hadits yang mendekati derajat shahih atau memiliki banyak jalur riwayat penguat. Hadits hasan dapat dijadikan hujjah dalam hukum, dan sangat banyak digunakan dalam kitab-kitab fikih.⁹

4.3.       Perbedaan Shahih Lizatihi dan Lighairihi

Dalam klasifikasi lebih lanjut, para ulama membedakan hadits shahih dan hasan menjadi dua jenis:

·                     Shahih li Dzatihi: Hadits yang memenuhi semua syarat shahih tanpa adanya penguat dari jalur lain. Ini adalah hadits paling otentik.

·                     Shahih li Ghairihi: Hadits hasan yang memiliki banyak jalur penguat sehingga naik derajatnya menjadi shahih.

Begitu juga dengan hadits hasan:

·                     Hasan li Dzatihi: Hadits yang perawinya lemah dalam hafalan, tetapi tetap memenuhi syarat dasar maqbul.

·                     Hasan li Ghairihi: Hadits da’if yang memiliki beberapa jalur penguat, sehingga naik menjadi hasan.¹⁰

Perbedaan ini penting dalam studi kritik hadits karena memberikan kelonggaran dalam menerima hadits-hadits yang semula lemah, tetapi mendapatkan penguatan melalui jalur lain yang dapat dipercaya.


Catatan Kaki

[1]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 47.

[2]                Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2001), 86.

[3]                Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 123.

[4]                Ibn al-Salah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadith, ed. Nur al-Din ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 57.

[5]                Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi (Kairo: Dar al-Hadith, 2003), 1:83.

[6]                Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 63.

[7]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 52.

[8]                Abdul Karim Khudair, Dirasat fi ‘Ulum al-Hadith (Riyadh: Dar Ibn al-Jawzi, 2002), 58.

[9]                Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith, 99.

[10]             Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu, 126–127.


5.           Hadits Mardud dan Penyebabnya

Dalam ilmu Musthalah al-Hadits, hadits mardud adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat maqbul, baik dari sisi sanad maupun matan. Artinya, hadits tersebut ditolak sebagai hujjah karena mengandung kelemahan atau cacat (‘illah) yang menyebabkan ketidakabsahannya sebagai sumber hukum Islam. Penolakan ini tidak dilakukan secara sembarangan, tetapi melalui metode kritik ilmiah yang ketat dan sistematis, sebagaimana dikembangkan oleh para ahli hadits sejak abad-abad awal Islam.

Hadits mardud terbagi menjadi beberapa jenis berdasarkan penyebab kelemahannya. Berikut adalah uraian sistematis mengenai hadits mardud dan faktor-faktor yang menyebabkannya.

5.1.       Definisi Hadits Mardud

Secara bahasa, mardud berarti “ditolak.” Secara istilah, hadits mardud adalah hadits yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari lima syarat maqbul (yaitu: sanad bersambung, perawi adil, perawi dhabith, tidak syadz, dan tidak mu’allal).¹ Hadits ini tidak dapat dijadikan dasar hukum, kecuali dalam kasus tertentu seperti dalam fadha’il al-a‘mal (keutamaan amal) dengan syarat tidak bertentangan dengan hadits shahih atau prinsip syariah.²

5.2.       Jenis-Jenis Hadits Dha’if sebagai Hadits Mardud

Hadits mardud pada umumnya adalah hadits dha‘if (lemah). Kelemahan ini dapat timbul karena masalah pada sanad, perawi, atau matan hadits. Berikut beberapa jenis hadits dha‘if yang tergolong mardud:

5.2.1.    Hadits Mursal

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in langsung kepada Nabi Saw tanpa menyebut sahabat. Ketiadaan sahabat dalam sanad menyebabkan hadits ini tidak memenuhi syarat ittishal (sambungan sanad).³

5.2.2.    Hadits Mu‘allaq

Hadits yang pada awal sanadnya terdapat satu atau lebih perawi yang dihapus, biasanya oleh penulis kitab hadits. Misalnya, Imam al-Bukhari kadang menyebut hadits secara mu‘allaq dalam muqaddimah kitabnya.⁴

5.2.3.    Hadits Mu‘dhal

Hadits yang terputus dua perawi atau lebih secara berurutan dalam sanad. Ini menunjukkan kelemahan sanad yang signifikan.⁵

5.2.4.    Hadits Munqathi’

Hadits yang sanadnya terputus karena tidak diketahui atau tidak disebutkan salah satu perawinya, tanpa harus dua orang berturut-turut.⁶

5.2.5.    Hadits Mudallas

Hadits yang tampaknya sanadnya bersambung, padahal salah satu perawi menyembunyikan guru aslinya dan menyebut perawi lain yang lebih tsiqah, agar terlihat kuat. Ini menimbulkan keraguan terhadap kejujuran sanad.⁷

5.2.6.    Hadits Maqlub

Hadits yang terdapat pembalikan nama perawi atau urutan dalam matan. Misalnya, mengganti nama perawi yang benar dengan nama perawi lain yang mirip atau mengubah urutan kalimat dalam matan.⁸

5.2.7.    Hadits Mudraj

Hadits yang bercampur antara perkataan Nabi Saw dan komentar perawi, namun disampaikan seolah semuanya berasal dari Nabi. Ini menyebabkan kekacauan dalam matan hadits.⁹

5.2.8.    Hadits Maudhu’ (Palsu)

Hadits yang dibuat-buat dan dinisbatkan secara dusta kepada Nabi Saw, baik oleh orang munafik, ahli bid‘ah, atau fanatik mazhab. Hadits ini ditolak secara mutlak dan tidak dapat digunakan dalam keadaan apa pun.¹⁰

5.3.       Faktor-Faktor Penyebab Hadits Tertolak

Para ulama mengidentifikasi sejumlah penyebab utama yang menjadikan hadits tergolong mardud, antara lain:

5.3.1.    Kelemahan Perawi

Jika perawi hadits dikenal sebagai pelupa berat, pendusta, atau tidak dikenal identitasnya, maka riwayat darinya ditolak. Ilmu Jarh wa Ta’dil menjadi instrumen utama untuk menilai kredibilitas perawi.¹¹

5.3.2.    Keterputusan Sanad

Sanad yang tidak bersambung menjadikan riwayat tidak bisa diverifikasi, sehingga cacat dari sisi transmisi.¹²

5.3.3.    Pertentangan dengan Riwayat yang Lebih Kuat (Syudzudz)

Jika hadits bertentangan dengan hadits shahih yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqah, maka hadits tersebut dianggap syadz dan ditolak.¹³

5.3.4.    Adanya ‘Illah (Cacat Tersembunyi)

Kadang hadits tampaknya sahih, tetapi setelah diteliti lebih dalam, ditemukan kelemahan dalam sanad atau matan yang tidak tampak secara kasat mata.¹⁴

5.3.5.    Tercampurnya Matan

Ketika matan hadits mengalami penambahan atau perubahan dari luar, baik disengaja maupun tidak, maka keautentikannya menjadi meragukan.¹⁵

5.4.       Sikap Ulama terhadap Hadits Mardud

Para ulama memiliki prinsip ketat dalam menyikapi hadits mardud. Mereka sepakat bahwa hadits jenis ini tidak boleh dijadikan dasar dalam masalah akidah dan hukum. Namun, beberapa ulama memperbolehkan penggunaannya dalam fadha’il al-a‘mal dengan syarat:

1)                  Tidak berkaitan dengan akidah dan hukum wajib/haram.

2)                  Tidak bertentangan dengan hadits shahih.

3)                  Diriwayatkan dalam konteks motivasi ibadah (targhib wa tarhib).¹⁶


Catatan Kaki

[1]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 59.

[2]                Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2001), 109.

[3]                Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 144.

[4]                Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi (Kairo: Dar al-Hadith, 2003), 1:107.

[5]                Ibn al-Salah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadith, ed. Nur al-Din ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 61.

[6]                Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 92.

[7]                Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 233.

[8]                Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith, 137.

[9]                Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu, 151.

[10]             Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 105.

[11]             Ibn Hajar al-‘Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2005), 12.

[12]             Abdul Karim Khudair, Dirasat fi ‘Ulum al-Hadith (Riyadh: Dar Ibn al-Jawzi, 2002), 67.

[13]             Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, 1:130.

[14]             Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd, 94.

[15]             Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, 1:154.

[16]             Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith, 111.


6.           Istilah-Istilah Penting dalam Musthalah al-Hadits

Ilmu Musthalah al-Hadits adalah disiplin ilmu yang sangat teknis dan sarat dengan istilah-istilah khusus. Pemahaman terhadap istilah-istilah ini merupakan syarat mutlak bagi siapa pun yang ingin mendalami ilmu hadits secara sistematis. Istilah-istilah tersebut tidak hanya sekadar nomenklatur, melainkan mencerminkan kerangka metodologis yang digunakan untuk menilai kualitas sanad, matan, dan kredibilitas perawi.¹

Berikut ini adalah istilah-istilah penting dalam Ilmu Musthalah al-Hadits yang harus dikuasai:

6.1.       Sanad

Sanad adalah rantai perawi yang menyampaikan hadits dari sumber asalnya (biasanya Nabi Muhammad Saw) hingga sampai kepada orang yang mencatat atau meriwayatkannya dalam kitab hadits.² Sanad menjadi elemen utama dalam proses verifikasi hadits. Keutuhan dan kesinambungan sanad (ittishal al-sanad) merupakan salah satu syarat hadits dapat diterima (maqbul).³

6.2.       Matan

Matan adalah isi atau teks dari hadits, yaitu lafaz-lafaz yang mengandung makna ajaran atau peristiwa.⁴ Evaluasi terhadap matan dilakukan untuk menilai kesesuaian isi hadits dengan Al-Qur’an, hadits shahih lainnya, dan akal sehat yang selamat dari syubhat. Meskipun sanadnya shahih, jika matannya syadz (menyelisihi riwayat lain yang lebih kuat) atau mu’allal (mengandung cacat), maka hadits tersebut tetap tidak diterima.⁵

6.3.       Rawi (Perawi)

Rawi adalah orang yang meriwayatkan hadits dalam rantai sanad. Kualitas seorang rawi dinilai berdasarkan dua aspek:

·                     Al-‘Adalah: integritas moral dan keislamannya

·                     Al-Dhabt: kemampuan dalam menghafal dan menyampaikan riwayat dengan tepat⁶

Ilmu Jarh wa Ta’dil berperan penting dalam menilai status rawi, apakah ia tsiqah (terpercaya), dha’if (lemah), atau bahkan matruk (ditinggalkan riwayatnya).⁷

6.4.       ‘Adalah dan Dhabt

Kedua istilah ini menjadi pilar utama dalam menilai kredibilitas perawi:

·                     ‘Adalah adalah sifat moral dan keagamaan yang mencegah seseorang dari berbohong dan berbuat dosa besar. Perawi yang adil adalah muslim, baligh, berakal, tidak fasik, dan menjaga kehormatan diri.⁸

·                     Dhabt adalah kemampuan perawi dalam menjaga hafalan atau catatan riwayat dengan akurat dan konsisten. Perawi yang memiliki hafalan kuat atau pencatatan yang disiplin disebut dhabit.⁹

6.5.       Jarh wa Ta‘dil

Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang membahas penilaian terhadap perawi hadits, baik dalam bentuk kritik (jarh) maupun pujian (ta’dil). Ulama ahli jarh wa ta‘dil seperti Yahya ibn Ma‘in, Ahmad ibn Hanbal, dan al-Bukhari melakukan penelitian mendalam terhadap biografi perawi dan menilai apakah riwayat mereka dapat diterima.¹⁰

Kritik terhadap perawi diklasifikasikan menjadi:

·                     Jarh Mufassar (jelas alasannya)

·                     Jarh Mubham (tidak disebut sebabnya)

Pujian pun bertingkat, dari tsiqah, shaduq, hingga maqbul.¹¹

6.6.       ‘Illah Qadihah

‘Illah (plural: ‘ilal) adalah cacat tersembunyi dalam sanad atau matan hadits yang menyebabkan hadits tidak sah, meskipun tampaknya sanadnya bersambung dan perawinya tsiqah. Istilah ini sangat teknis dan menjadi domain para ahli hadits tingkat tinggi seperti Imam al-Bukhari, Muslim, dan Ibn al-Madini.¹²

Contoh ‘illah adalah: seorang perawi meriwayatkan dari guru yang sebenarnya belum sempat ia temui secara langsung. Hal seperti ini hanya bisa diketahui dengan perbandingan sanad yang sangat teliti.¹³

6.7.       Tadlis

Tadlis adalah upaya menyembunyikan kecacatan dalam sanad, baik dengan menyebut guru yang tidak pernah ia dengar langsung darinya (tadlis al-isnad), atau dengan mencampur perkataan perawi ke dalam matan seolah-olah itu bagian dari sabda Nabi Saw (tadlis al-matan).¹⁴ Tadlis termasuk perbuatan tercela dalam periwayatan hadits dan dapat menyebabkan status hadits menjadi lemah jika tidak dijelaskan secara terang.¹⁵

6.8.       Idraj

Idraj adalah penambahan lafaz dalam matan hadits yang berasal dari perawi dan bukan dari Nabi Saw, namun disampaikan seolah-olah bagian dari sabda Nabi. Biasanya idraj terjadi karena keinginan perawi untuk menjelaskan makna hadits. Jika tidak dijelaskan secara eksplisit, idraj dapat menyebabkan kesalahpahaman dalam pemahaman isi hadits.¹⁶

6.9.       Maqlub

Maqlub adalah hadits yang mengalami pembalikan, baik pada sanad maupun matannya. Misalnya, nama perawi dibalik urutannya, atau bagian matan ditukar tempatnya. Hadits seperti ini menunjukkan kurangnya ketelitian perawi dan dapat memengaruhi keabsahan riwayat.¹⁷

6.10.    Mudraj

Mudraj adalah campuran antara perkataan Nabi dan tambahan dari perawi, namun tidak dipisahkan dengan jelas. Hal ini bisa terjadi baik pada sanad maupun matan. Hadits mudraj tidak dapat dijadikan hujjah kecuali jika bagian yang ditambahkan diketahui secara pasti dan bisa dipisahkan dari teks asli.¹⁸


Kesimpulan

Penguasaan terhadap istilah-istilah ini menjadi fondasi dasar dalam memahami dan mengkritisi riwayat hadits secara ilmiah. Melalui istilah-istilah ini, seorang peneliti hadits dapat melakukan verifikasi terhadap keotentikan riwayat dan menghindari penggunaan hadits yang tidak sah sebagai hujjah dalam agama.


Catatan Kaki

[1]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 11.

[2]                Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 32.

[3]                Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2001), 87.

[4]                Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi (Kairo: Dar al-Hadith, 2003), 1:45.

[5]                Ibn al-Salah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadith, ed. Nur al-Din ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 39.

[6]                Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 49.

[7]                Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 88.

[8]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 53.

[9]                Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith, 91.

[10]             Ibn Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 1:20.

[11]             Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, 1:63.

[12]             Ibn Rajab al-Hanbali, Syarh ‘Ilal al-Tirmidzi (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997), 1:15.

[13]             Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd, 97.

[14]             Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, 1:101.

[15]             Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 95.

[16]             Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu, 148.

[17]             Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, 1:108.

[18]             Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith, 136.


7.           Tokoh-Tokoh Penting dalam Ilmu Musthalah al-Hadits

Perkembangan Ilmu Musthalah al-Hadits tidak lepas dari kontribusi para ulama yang secara serius dan sistematis mengembangkan prinsip-prinsip ilmiah dalam memverifikasi keabsahan riwayat hadits. Mereka menyusun kaidah, istilah, dan metode kritik hadits yang hingga kini menjadi rujukan utama dalam studi keislaman.

Tokoh-tokoh ini berasal dari berbagai generasi dan latar belakang mazhab, namun memiliki kesamaan dalam dedikasi terhadap otentisitas sunnah Nabi Muhammad Saw. Berikut ini adalah beberapa tokoh penting dalam sejarah perkembangan Ilmu Musthalah al-Hadits.

7.1.       Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H)

Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali al-Khatib al-Baghdadi. Ia adalah seorang ulama besar yang hidup pada abad ke-5 Hijriyah dan merupakan figur kunci dalam penyusunan dasar-dasar metodologis ilmu hadits, khususnya dalam aspek kritik sanad dan riwayat. Salah satu karya monumentalnya adalah Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah, yang secara sistematis membahas etika periwayatan, syarat-syarat perawi, dan keadilan dalam sanad.¹

Dalam karyanya tersebut, al-Khatib menegaskan pentingnya sifat adil dan dhabith pada seorang perawi serta perlunya pengetahuan mendalam terhadap keadaan perawi sebelum menerima riwayatnya.² Pemikiran-pemikirannya menjadi pijakan penting bagi ulama sesudahnya.

7.2.       Ibn al-Salah (w. 643 H)

Abu ‘Amr Utsman ibn Abd al-Rahman ibn al-Salah adalah penyusun kitab Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadits, yang dikenal luas sebagai Muqaddimah Ibn al-Salah. Kitab ini menjadi karya standar dalam Ilmu Musthalah al-Hadits dan dijadikan rujukan oleh banyak ulama setelahnya, seperti Imam al-Nawawi dan Jalaluddin as-Suyuthi.³

Ibn al-Salah mengklasifikasikan ilmu hadits ke dalam lebih dari 60 jenis (naw’), termasuk pembahasan tentang sanad, matan, dan perawi. Metodologinya yang sistematis menjadikan karyanya sebagai pilar utama dalam pembelajaran hadits hingga saat ini.⁴

7.3.       Imam an-Nawawi (w. 676 H)

Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, seorang ulama besar dari Mazhab Syafi’i, dikenal bukan hanya karena karya fikihnya seperti al-Majmu’, tetapi juga karena kontribusinya dalam ilmu hadits. Ia menyusun ringkasan dari Muqaddimah Ibn al-Salah dalam bentuk karya berjudul Taqrib wa al-Taysir.⁵

Karya ini menjadi lebih ringkas dan mudah dipelajari, terutama bagi kalangan pelajar pemula, tanpa menghilangkan substansi ilmiah dari karya Ibn al-Salah. An-Nawawi juga dikenal karena menulis kitab al-Arba’in al-Nawawiyyah, yang populer dalam pendidikan hadits dasar.⁶

7.4.       Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H)

Jalaluddin ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr as-Suyuthi adalah seorang ulama produktif dari Mesir yang hidup pada abad ke-9 Hijriyah. Salah satu karyanya yang sangat penting dalam ilmu hadits adalah Tadrib al-Rawi, yang merupakan syarah (penjelasan) dari Taqrib wa al-Taysir karya an-Nawawi.⁷

Dalam Tadrib al-Rawi, as-Suyuthi memperluas cakupan pembahasan hadits dengan merujuk kepada lebih dari 100 kitab klasik, menjadikannya salah satu ensiklopedia penting dalam studi hadits. Karya ini menegaskan kedalaman dan keluasan wawasan as-Suyuthi dalam ilmu musthalah dan kritik hadits.⁸

7.5.       Mahmud Thahhan (kontemporer)

Mahmud Thahhan adalah ulama hadits kontemporer dari dunia Arab yang dikenal melalui bukunya Taisir Musthalah al-Hadits, sebuah karya pengantar yang sangat sistematis dan praktis. Buku ini banyak digunakan di berbagai lembaga pendidikan Islam modern karena menyederhanakan konsep-konsep rumit dalam Musthalah al-Hadits.⁹

Thahhan tidak hanya menguraikan teori-teori klasik, tetapi juga menyajikan contoh dan aplikasi praktis yang memudahkan mahasiswa dalam memahami ilmu hadits secara kontekstual.ⁱ⁰

7.6.       Subhi al-Shalih (kontemporer)

Subhi al-Shalih adalah ulama Suriah yang juga menulis salah satu buku pengantar ilmu hadits yang populer, yaitu Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu. Dalam karyanya, ia mencoba merekonstruksi ulang metode pembelajaran ilmu hadits dengan pendekatan akademis modern, namun tetap merujuk kepada khazanah klasik.¹¹

Buku Subhi al-Shalih sering digunakan dalam perguruan tinggi Islam dan menjadi penghubung antara tradisi klasik dan kebutuhan akademik kontemporer.


Kesimpulan

Kehadiran para tokoh ini menunjukkan bahwa ilmu hadits tidak lahir secara instan, tetapi melalui proses panjang yang melibatkan dedikasi intelektual dan spiritual dari generasi ke generasi. Karya-karya mereka menjadi warisan ilmiah yang mendasari studi hadits hingga kini dan memberikan fondasi metodologis yang kokoh dalam memastikan keaslian sunnah Nabi Muhammad Saw.


Catatan Kaki

[1]                Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 23–25.

[2]                Ibid., 45–47.

[3]                Ibn al-Salah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadith, ed. Nur al-Din ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 10.

[4]                Ibid., 18–19.

[5]                Imam an-Nawawi, Taqrib wa al-Taysir (Beirut: Dar al-Khair, 1996), 7.

[6]                Ibid., 21.

[7]                Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi (Kairo: Dar al-Hadith, 2003), 1:5.

[8]                Ibid., 1:7–9.

[9]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 3.

[10]             Ibid., 12–13.

[11]             Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 5–6.


8.           Aplikasi Ilmu Hadits Dirayah dalam Studi dan Kritik Hadits

Ilmu Hadits Dirayah (Musthalah al-Hadits) bukanlah ilmu teoritis semata, melainkan ilmu aplikatif yang memiliki peranan vital dalam proses verifikasi, analisis, dan validasi hadits. Ia menyediakan perangkat metodologis yang memungkinkan para ulama dan peneliti untuk menilai keabsahan riwayat, baik dari segi sanad maupun matan, guna memastikan bahwa hadits tersebut benar-benar dapat dijadikan dasar dalam ajaran Islam.

Dalam konteks akademik dan penelitian, ilmu ini menjadi kunci dalam membedakan antara hadits yang maqbul (diterima) dan mardud (ditolak), serta dalam membentuk sikap ilmiah yang kritis terhadap sumber-sumber Islam. Berikut ini adalah beberapa bentuk aplikasi penting dari Ilmu Hadits Dirayah dalam studi dan kritik hadits.

8.1.       Langkah-Langkah Kritik Hadits

Proses kritik hadits dalam Ilmu Dirayah dilakukan secara sistematis dan melalui beberapa tahapan:

8.1.1.    Takhrij al-Hadits

Takhrij adalah upaya untuk melacak sumber asli hadits dalam kitab-kitab hadits induk seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, dan lainnya. Tujuan takhrij adalah untuk mengetahui kedudukan hadits dalam literatur hadits, serta untuk membandingkan berbagai versi sanad dan matannya.¹

8.1.2.    Verifikasi Sanad

Dalam tahap ini, ditelusuri apakah sanad hadits bersambung (muttasil) atau terputus (munqathi’, mursal, dll). Ini mencakup identifikasi semua perawi dan memastikan bahwa mereka pernah bertemu dan mendengar secara langsung.²

8.1.3.    Evaluasi Perawi (Jarh wa Ta‘dil)

Setelah perawi diidentifikasi, dilakukan analisis kredibilitas terhadap setiap perawi dalam sanad berdasarkan literatur ilmu jarh wa ta‘dil. Evaluasi mencakup aspek keadilan (‘adalah), ketelitian (dhabt), serta reputasi keilmuan dan moralitasnya.³

8.1.4.    Analisis Matan

Matan hadits dianalisis untuk mengetahui apakah mengandung syudzudz (penyimpangan dari hadits yang lebih kuat) atau ‘illah (cacat tersembunyi). Matan juga diteliti dari segi bahasa, logika, serta kesesuaiannya dengan Al-Qur’an dan hadits mutawatir.⁴

8.1.5.    Penentuan Hukum Hadits

Setelah melewati tahapan di atas, hadits diklasifikasikan ke dalam salah satu kategori: shahih, hasan, atau dha’if. Hadits yang termasuk dalam kategori maqbul dapat dijadikan dasar hukum, sementara yang mardud harus ditolak atau digunakan secara terbatas.⁵

8.2.       Studi Kasus Kritik Hadits

Sebagai contoh penerapan, kita dapat mengkaji hadits yang berbunyi:

اِخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ

"Ikhtilāfu ummatī raḥmah" ("Perbedaan di antara umatku adalah rahmat").

Hadits ini sangat populer, namun para ulama hadits sepakat bahwa tidak ada sanad yang shahih untuknya. Ibnu Hazm menegaskan bahwa hadits ini adalah maudhu‘ (palsu), sedangkan al-Sakhawi menyatakan bahwa hadits ini tidak memiliki asal yang valid dari Nabi Saw.⁶

Melalui kritik sanad dan matan, ditemukan bahwa hadits ini tidak diriwayatkan oleh perawi tsiqah dari Nabi, serta bertentangan dengan prinsip bahwa perpecahan umat adalah sesuatu yang tercela dalam Islam (lihat QS. Ali Imran: 105).⁷

8.3.       Peran Ilmu Dirayah dalam Kajian Interdisipliner

Ilmu Hadits Dirayah tidak hanya berguna dalam bidang hadits semata, tetapi juga berperan besar dalam kajian:

·                     Tafsir, dalam menguatkan atau menolak riwayat sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul).

·                     Fikih, sebagai dalil hukum yang harus diuji keabsahannya.

·                     Sejarah, dalam memverifikasi keabsahan narasi peristiwa sejarah Islam.

·                     Studi Modern, seperti menangkal penyebaran hadits palsu di media sosial, artikel digital, dan dakwah populer.⁸

Ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi dan Muhammad Ajaj al-Khatib menekankan pentingnya penguasaan Musthalah al-Hadits dalam menghadapi tantangan zaman, terutama dalam menjaga integritas ajaran Islam dari penyalahgunaan sumber-sumber yang lemah atau palsu.⁹

8.4.       Pendidikan dan Penelitian Akademik

Di berbagai perguruan tinggi Islam, Ilmu Dirayah menjadi bagian penting dari kurikulum. Mahasiswa diajarkan cara melakukan kritik hadits secara langsung, baik melalui studi teks klasik maupun dengan pendekatan digital melalui software takhrij dan database hadits. Ini memungkinkan munculnya generasi peneliti hadits yang memiliki kompetensi ilmiah dan kemampuan aplikasi praktis.¹⁰


Kesimpulan

Ilmu Hadits Dirayah tidak hanya penting secara teoretis, tetapi juga sangat relevan dan aplikatif dalam studi Islam kontemporer. Ia membantu menjaga otentisitas ajaran Islam, melatih objektivitas ilmiah, serta membangun pemahaman yang mendalam dan sahih terhadap warisan sunnah Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu, penguasaan ilmu ini merupakan syarat utama bagi siapa pun yang ingin mendalami ilmu-ilmu keislaman secara kredibel dan bertanggung jawab.


Catatan Kaki

[1]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 107–109.

[2]                Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2001), 83.

[3]                Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 92.

[4]                Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 150.

[5]                Ibn al-Salah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadith, ed. Nur al-Din ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 54.

[6]                Jalaluddin as-Suyuthi, al-La’ali al-Mashnu‘ah fi al-Ahadits al-Mawdu‘ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 1:145.

[7]                Al-Sakhawi, al-Maqasid al-Hasanah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 34.

[8]                Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata‘amal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), 91–92.

[9]                Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 112.

[10]             Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 121.


9.           Relevansi Ilmu Musthalah al-Hadits di Era Modern

Ilmu Musthalah al-Hadits yang lahir dari kebutuhan ilmiah para ulama klasik untuk menjaga keotentikan sunnah Nabi Muhammad Saw, kini semakin menunjukkan relevansinya di era modern yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi, banjir data keagamaan, dan maraknya fenomena penyebaran hadits-hadits palsu. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan globalisasi, ilmu ini menjadi alat yang sangat strategis untuk menjaga integritas ajaran Islam dari penyimpangan dan penyalahgunaan.

9.1.       Menangkal Hadits Palsu di Era Digital

Era media sosial telah membuka ruang yang sangat luas bagi penyebaran informasi, termasuk hadits. Sayangnya, tidak sedikit hadits yang beredar di platform seperti WhatsApp, Facebook, TikTok, dan Instagram ternyata tidak memiliki dasar sanad yang valid atau bahkan tergolong maudhu‘ (palsu)

Ilmu Musthalah al-Hadits menjadi penting dalam melakukan verifikasi terhadap hadits-hadits tersebut. Dengan penguasaan dasar ilmu sanad, matan, dan metode takhrij, umat Islam dapat memilah mana hadits yang sahih dan mana yang tidak dapat dijadikan hujjah.² Ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi menekankan bahwa menghadapi informasi keagamaan yang tersebar secara bebas menuntut penguasaan terhadap ilmu kritik hadits yang sistematis.³

9.2.       Menjaga Keotentikan Dakwah Islam

Para dai dan ustaz di era modern dituntut untuk menyampaikan ajaran Islam berdasarkan sumber yang autentik. Kesalahan dalam mengutip hadits bukan hanya berdampak pada kesalahan informasi, tetapi juga pada pembentukan pemahaman keagamaan masyarakat. Dalam konteks ini, Ilmu Musthalah al-Hadits menjadi alat kontrol epistemologis bagi para muballigh agar tidak menyampaikan hadits tanpa dasar ilmiah.⁴

Sebagaimana ditegaskan oleh hadis Nabi:

مَن كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan betapa seriusnya larangan menyebarkan informasi palsu atas nama Nabi, dan betapa pentingnya verifikasi keilmuan melalui Musthalah al-Hadits.⁵

9.3.       Menguatkan Kajian Interdisipliner dalam Studi Islam

Ilmu Musthalah al-Hadits juga berperan dalam penguatan metodologi akademik dalam studi Islam kontemporer. Misalnya:

·                     Dalam studi tafsir, hadits-hadits yang dijadikan penjelas ayat Al-Qur’an harus diverifikasi keshahihannya terlebih dahulu.

·                     Dalam fikih, keabsahan suatu dalil hukum sangat tergantung pada validitas hadits yang menjadi sandarannya.

·                     Dalam sejarah Islam, narasi peristiwa masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin tidak bisa dipisahkan dari metode kritik hadits.

Ilmu Musthalah al-Hadits berkontribusi dalam membangun kajian Islam berbasis sumber yang autentik dan rasional, tidak hanya dogmatis atau tradisional semata.⁶

9.4.       Pendidikan Islam yang Berkualitas dan Kritis

Lembaga-lembaga pendidikan Islam, mulai dari madrasah hingga perguruan tinggi, kini semakin menyadari urgensi pengajaran Ilmu Musthalah al-Hadits. Penguasaan terhadap ilmu ini:

·                     Melatih siswa dan mahasiswa untuk bersikap ilmiah dan kritis terhadap nash keagamaan.

·                     Menjaga akurasi pemahaman terhadap sumber-sumber Islam.

·                     Membentuk kader ulama dan intelektual muslim yang bertanggung jawab secara ilmiah dan moral.⁷

Subhi al-Shalih dalam pengantar bukunya menyebutkan bahwa Musthalah al-Hadits adalah “ilmu pembatas antara kejujuran ilmiah dan klaim palsu atas nama agama”, yang harus diajarkan kepada generasi muda sebagai fondasi pemikiran Islam yang kredibel.⁸

9.5.       Kontribusi Ilmu Musthalah dalam Era Artificial Intelligence (AI)

Kemajuan teknologi kini memungkinkan digitalisasi dan pemrosesan data hadits dalam jumlah besar. Proyek-proyek digital seperti Maktabah Syamilah, Sunnah.com, hingga aplikasi al-Maktabah al-Haditsiyyah memungkinkan penelusuran takhrij hadits secara instan.

Namun, kemampuan membaca hasil digital tersebut tetap memerlukan kompetensi ilmiah dalam Musthalah al-Hadits. Seorang pengguna teknologi tetap harus mampu memahami istilah seperti shahih, dha‘if, mursal, atau mudraj agar tidak terjebak pada kesimpulan yang keliru.⁹

Karena itu, Musthalah al-Hadits tidak hanya bertahan, tetapi justru semakin strategis sebagai ilmu yang menyatu dengan dinamika digital keislaman masa kini.


Kesimpulan

Ilmu Musthalah al-Hadits di era modern bukanlah disiplin yang usang atau eksklusif untuk ulama klasik, tetapi justru semakin vital dalam membangun Islam yang autentik, rasional, dan bertanggung jawab. Dalam menghadapi tantangan kontemporer—baik dalam bentuk informasi palsu, penyelewengan agama, maupun penyalahgunaan teks hadits—Ilmu Musthalah al-Hadits menjadi benteng metodologis sekaligus jembatan antara tradisi keilmuan Islam klasik dan tantangan zaman modern.


Catatan Kaki

[1]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 115.

[2]                Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 141.

[3]                Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata‘amal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), 98–99.

[4]                Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 132.

[5]                Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-‘Ilm, Hadits No. 107.

[6]                Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2001), 131.

[7]                Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 155.

[8]                Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu, 5.

[9]                Abdul Karim Khudair, Dirasat fi ‘Ulum al-Hadith (Riyadh: Dar Ibn al-Jawzi, 2002), 90.


Penutup

Ilmu Hadits Dirayah (Musthalah al-Hadits) merupakan salah satu pilar utama dalam disiplin keilmuan Islam yang berfungsi sebagai penjaga orisinalitas dan otentisitas ajaran Nabi Muhammad Saw. Melalui kaidah-kaidah yang sistematis dan pendekatan metodologis yang ketat, ilmu ini memungkinkan para ulama dan peneliti untuk menilai validitas sebuah hadits berdasarkan standar ilmiah yang telah disepakati sejak abad-abad awal Islam.

Sebagaimana telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya, Ilmu Musthalah al-Hadits mencakup klasifikasi hadits berdasarkan kuantitas dan kualitas perawi, kondisi sanad dan matan, hingga terminologi teknis yang kompleks seperti shahih, dha‘if, mursal, mudallas, dan sebagainya. Pengetahuan ini sangat krusial untuk membedakan antara riwayat yang maqbul (diterima) dan mardud (ditolak), yang pada gilirannya menentukan sah atau tidaknya suatu dalil dalam fikih, akidah, dan tafsir.¹

Di sisi lain, Ilmu Musthalah al-Hadits tidak hanya bersifat teoretis, tetapi sangat aplikatif dalam konteks keilmuan modern. Dalam menghadapi tantangan era digital, seperti maraknya penyebaran hadits palsu di media sosial, kebebasan informasi tanpa validasi ilmiah, serta berkembangnya pemahaman keagamaan tanpa basis sumber yang sahih, Ilmu Dirayah hadir sebagai alat ukur ilmiah yang menjaga kemurnian sunnah.² Seperti ditegaskan oleh Yusuf al-Qaradawi, ilmu ini merupakan benteng terhadap penyelewengan ajaran Islam yang bersumber dari pemahaman atas teks-teks yang tidak terverifikasi.³

Lebih jauh, Musthalah al-Hadits juga memiliki kontribusi penting dalam pengembangan studi-studi interdisipliner dalam Islam. Ia menjadi fondasi epistemologis bagi tafsir, sejarah, hukum Islam, hingga pemikiran Islam modern. Pendidikan Islam yang berbasis pada metode ilmiah, objektif, dan kritis tidak akan lengkap tanpa menghadirkan Ilmu Hadits Dirayah sebagai salah satu instrumen utama penguatan literasi keagamaan.⁴

Dengan demikian, relevansi dan urgensi Ilmu Musthalah al-Hadits terus terjaga sepanjang zaman. Ia adalah warisan ilmiah umat Islam yang tidak hanya menjadi kebanggaan masa lalu, tetapi juga kebutuhan mendesak masa kini dan masa depan. Oleh karena itu, mempelajari, mengajarkan, dan menerapkan Ilmu Hadits Dirayah merupakan bagian dari tanggung jawab intelektual dan moral setiap muslim yang mencintai kebenaran dan keotentikan ajaran Rasulullah Saw.


Catatan Kaki

[1]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 11–13.

[2]                Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 140–142.

[3]                Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata‘amal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), 91–92.

[4]                Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 123–125.


Daftar Pustaka

Al-Baghdadi, A. B. A. I. (1994). Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Bukhari, M. I. I. (n.d.). Sahih al-Bukhari. Kitab al-‘Ilm, Hadits No. 107.

Al-Khatib, A. B. A. I. (1994). Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Qaradawi, Y. (1991). Kaifa nata‘amal ma‘a al-sunnah al-nabawiyyah. Kairo: Maktabah Wahbah.

Al-Sakhawi, S. M. (2003). Al-Maqasid al-hasanah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Suyuti, J. A. R. (1997). Al-La’ali al-Mashnu‘ah fi al-Ahadits al-Mawdu‘ah (Vol. 1). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Suyuti, J. A. R. (2003). Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi (Vol. 1–2). Kairo: Dar al-Hadith.

Al-Tirmidzi, M. I. I. (n.d.). Syarh ‘Ilal al-Tirmidzi. Beirut: Dar Ibn Hazm.

An-Nawawi, Y. I. S. (1996). Taqrib wa al-Taysir. Beirut: Dar al-Khair.

Ibn al-Salah, A. ‘A. U. A. R. (1986). Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadith (N. D. ‘Itr, Ed.). Damaskus: Dar al-Fikr.

Ibn Hajar al-‘Asqalani, A. F. A. H. (1993). Tahdzib al-Tahdzib. Beirut: Dar al-Fikr.

Khudair, A. K. (2002). Dirasat fi ‘Ulum al-Hadith. Riyadh: Dar Ibn al-Jawzi.

Manna‘ al-Qattan. (2001). Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith. Beirut: Mu’assasat al-Risalah.

Subhi al-Shalih. (1985). Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin.

Thahhan, M. (2004). Taisir Musthalah al-Hadits. Beirut: Maktabah al-Ma‘arif.

‘Itr, N. (1997). Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith. Damaskus: Dar al-Fikr.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar