Ilmu Hadits Dirayah
Konsep, Klasifikasi, dan Aplikasinya dalam Studi
Hadits
Alihkan ke: Ulumul Hadits, Hadits I, Hadits II.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
Ilmu Hadits Dirayah, yang dikenal juga dengan nama Musthalah al-Hadits,
sebagai salah satu cabang utama dalam studi hadits yang berfokus pada
kaidah-kaidah ilmiah dalam menilai validitas sanad dan matan hadits. Pembahasan
diawali dengan pengenalan konsep dan ruang lingkup Ilmu Dirayah, dilanjutkan
dengan klasifikasi hadits berdasarkan berbagai kriteria, syarat-syarat hadits
maqbul, serta identifikasi hadits mardud dan penyebab penolakannya.
Selanjutnya, artikel menguraikan sejumlah istilah teknis penting dalam ilmu
hadits, mengenalkan tokoh-tokoh utama yang berkontribusi dalam perkembangan
disiplin ini, serta menampilkan aplikasi praktis ilmu dirayah dalam kritik
hadits dan konteks akademik. Penutup artikel menegaskan bahwa Ilmu Musthalah
al-Hadits memiliki relevansi yang sangat tinggi di era modern, terutama dalam
menangkal penyebaran hadits palsu di media digital, memperkuat integritas
dakwah, dan mendukung kajian keislaman berbasis sumber yang sahih dan
bertanggung jawab. Melalui pendekatan ilmiah dan referensi yang kredibel,
artikel ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman dan kesadaran akademik dalam
menjaga kemurnian ajaran sunnah Nabi Muhammad Saw.
Kata Kunci: Ilmu Hadits Dirayah; Musthalah al-Hadits; Kritik
Hadits; Sanad dan Matan; Hadits Maqbul dan Mardud; Jarh wa Ta‘dil; Hadits
Palsu; Keilmuan Islam Modern.
PEMBAHASAN
Ilmu Hadits Dirayah (Musthalah al-Hadits)
1.
Pendahuluan
Ilmu Hadits merupakan bagian integral dari khazanah
keilmuan Islam yang memainkan peran sentral dalam menjaga kemurnian ajaran
Rasulullah Saw. Ajaran Islam tidak hanya tertuang dalam Al-Qur’an, tetapi juga
dalam Hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu,
upaya pelestarian, pemahaman, dan kritik terhadap hadits merupakan suatu
keharusan dalam rangka mempertahankan integritas ajaran Islam.
Secara garis besar, Ilmu Hadits terbagi menjadi dua
cabang utama, yaitu Ilmu Riwayah dan Ilmu Dirayah (Musthalah
al-Hadits). Ilmu Riwayah berkaitan dengan periwayatan langsung terhadap
sabda, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad Saw, termasuk di dalamnya proses
penghimpunan dan transmisi sanad. Sedangkan Ilmu Dirayah adalah ilmu yang
membahas kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang digunakan untuk menilai validitas
hadits dari sisi sanad dan matannya, serta memahami istilah-istilah teknis
dalam kajian hadits.¹
Ilmu Hadits Dirayah, yang juga dikenal sebagai Musthalah
al-Hadits, merupakan alat penting untuk mengklasifikasikan dan mengkritisi
kualitas hadits. Ilmu ini tidak hanya berfungsi sebagai teori analisis semata,
tetapi juga sebagai fondasi metodologis dalam menilai apakah suatu hadits dapat
dijadikan hujah (dalil) dalam hukum Islam atau tidak. Seiring dengan
berkembangnya kajian keislaman yang berbasis nalar kritis dan metodologi
ilmiah, keberadaan Ilmu Dirayah menjadi semakin relevan untuk menyeleksi
berbagai riwayat yang tersebar dalam literatur klasik maupun kontemporer.²
Sejarah mencatat bahwa perhatian terhadap keaslian
hadits telah muncul sejak masa sahabat Nabi, terutama setelah meluasnya wilayah
Islam dan munculnya hadits-hadits palsu yang disisipkan oleh kelompok-kelompok
tertentu demi kepentingan politik, sektarian, atau pribadi.³ Dalam konteks ini,
lahirlah berbagai disiplin dalam Ilmu Hadits, seperti Ilmu Jarh wa Ta’dil, Ilmu
‘Ilal al-Hadits, dan Musthalah al-Hadits sebagai wujud respons intelektual
terhadap tantangan zaman.
Ilmu Musthalah al-Hadits kemudian berkembang pesat
seiring dengan kodifikasi ilmu-ilmu Islam lainnya, dengan tokoh-tokoh seperti
Imam al-Khatib al-Baghdadi, Ibnu Shalah, dan Imam an-Nawawi yang turut
merumuskan konsep dan istilah baku dalam disiplin ini.⁴ Melalui karya-karya
mereka, para ulama menyusun parameter objektif untuk menilai hadits dari sisi
keadilan dan kecermatan perawi, kesinambungan sanad, serta kesesuaian isi
hadits dengan prinsip-prinsip syariat dan akal sehat.⁵
Tujuan utama dari mempelajari Ilmu Hadits Dirayah
adalah untuk memberikan pemahaman metodologis kepada mahasiswa dan peneliti
agar mampu memilah antara hadits yang dapat diterima (maqbul) dan hadits yang
tertolak (mardud). Selain itu, ilmu ini juga berperan besar dalam mengembangkan
sikap ilmiah, kritis, dan bertanggung jawab dalam menghadapi khazanah hadits
yang begitu luas dan kompleks. Dengan demikian, penguasaan terhadap Ilmu
Musthalah al-Hadits merupakan fondasi penting dalam studi keislaman, khususnya
dalam bidang tafsir, fikih, dan sejarah.⁶
Catatan
Kaki
[1]
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 13–15.
[2]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadith
(Beirut: Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 9–10.
[3]
Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith
(Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2001), 33.
[4]
Ibn al-Salah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadith,
ed. Nur al-Din ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 20–22.
[5]
Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi
(Kairo: Dar al-Hadith, 2003), 17–18.
[6]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 12–14.
2.
Pengantar
Ilmu Hadits Dirayah
2.1.
Definisi Ilmu Hadits Dirayah
(Musthalah al-Hadits)
Ilmu Hadits Dirayah, yang juga dikenal dengan
sebutan Musthalah al-Hadits, adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah dan
istilah-istilah yang digunakan untuk mengetahui kondisi sanad dan matan hadits,
serta untuk menilai diterima atau ditolaknya sebuah riwayat.¹ Dengan kata lain,
ilmu ini memberikan seperangkat metode ilmiah untuk mengidentifikasi hadits
yang sahih, hasan, atau da’if berdasarkan pertimbangan keilmuan dan standar
yang disepakati oleh para ulama.²
Ibnu Shalah (w. 643 H), dalam karya monumentalnya Muqaddimah
fi ‘Ulum al-Hadits, menjelaskan bahwa ilmu ini membekali peneliti dengan
alat untuk memilah antara riwayat yang dapat dijadikan hujjah dan riwayat yang
harus ditolak.³ Oleh karena itu, Ilmu Musthalah bukan sekadar penguasaan
istilah, melainkan ilmu metodologi kritik dan analisis hadits yang sangat
penting dalam studi keislaman.
2.2.
Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
Perkembangan Ilmu Hadits Dirayah tidak terlepas
dari dinamika sejarah Islam. Pada masa Nabi Muhammad Saw dan para sahabat,
otoritas hadits diterima secara langsung tanpa adanya kebutuhan mendesak untuk
kritik sanad karena kedekatan mereka dengan sumber ajaran. Namun, setelah masa
sahabat berlalu dan wilayah Islam meluas, muncul kebutuhan untuk menyaring dan mengkritisi
riwayat-riwayat yang berkembang.
Pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, para ulama mulai
mengembangkan metode sistematis untuk menilai hadits. Lahirnya Ilmu Jarh wa
Ta‘dil, Ilmu Rijal al-Hadits, serta kodifikasi hadits seperti yang dilakukan
oleh Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan lainnya menunjukkan bahwa
perhatian terhadap validitas hadits telah menjadi bagian penting dalam tradisi
ilmiah Islam.⁴
Puncak sistematisasi terjadi pada masa Imam
al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) yang menulis karya al-Kifayah fi ‘Ilm
al-Riwayah, dan kemudian disempurnakan oleh ulama seperti Ibnu Shalah, Imam
an-Nawawi, dan Jalaluddin as-Suyuthi.⁵ Ibnu Shalah bahkan dianggap sebagai
peletak dasar sistematika Musthalah al-Hadits yang banyak dirujuk dalam
karya-karya sesudahnya.⁶
2.3.
Objek dan Ruang Lingkup Kajian
Objek kajian Ilmu Hadits Dirayah mencakup:
·
Sanad: rantai
perawi yang meriwayatkan hadits dari Nabi Saw.
·
Matan: isi atau
teks dari hadits itu sendiri.
·
Perawi: karakter
dan kredibilitas individu-individu dalam sanad.
·
Kategori Hadits:
berdasarkan jumlah perawi, kualitas sanad dan matan, serta hubungan antara
sanad dan matan.
Ruang lingkupnya meliputi pembahasan
istilah-istilah penting dalam hadits seperti marfu’, mauquf, maqthu’,
mutawatir, ahad, shahih, hasan, dha’if, dan
lain-lain. Juga mencakup pengenalan terhadap bentuk-bentuk kecacatan dalam
sanad atau matan, seperti syadz, ‘illah, tadlis, mudallas,
dan sebagainya.⁷
2.4.
Fungsi dan Urgensi Ilmu Dirayah
Ilmu Hadits Dirayah memiliki fungsi utama sebagai
alat validasi terhadap riwayat yang beredar. Ia bertujuan memastikan bahwa
hadits yang digunakan dalam penetapan hukum Islam dan pengembangan akidah serta
akhlak adalah hadits yang benar-benar berasal dari Rasulullah Saw.
Keberadaan ilmu ini menjadi sangat penting karena
banyak hadits palsu (maudhu’) yang telah tersebar sepanjang sejarah,
baik karena kepentingan politik, ideologis, maupun kelalaian perawi. Tanpa
perangkat analisis yang ketat, kaum muslimin berisiko menggunakan riwayat yang
tidak otentik dalam memahami ajaran agama.⁸
Selain itu, Ilmu Dirayah juga memiliki peran dalam
melatih sikap ilmiah dan objektif dalam menilai data sejarah Islam. Ia
mengajarkan pentingnya dokumentasi, validitas sumber, dan metodologi kritik.
Oleh karena itu, penguasaan terhadap ilmu ini merupakan bagian tak terpisahkan
dari keilmuan Islam klasik maupun kontemporer.⁹
Catatan
Kaki
[1]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits
(Beirut: Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 9.
[2]
Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits
(Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2001), 25.
[3]
Ibn al-Salah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadith,
ed. Nur al-Din ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 20.
[4]
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 33–34.
[5]
Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ‘Ilm
al-Riwayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 10.
[6]
Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi
(Kairo: Dar al-Hadith, 2003), 15–17.
[7]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 20–22.
[8]
Abdul Karim Khudair, Dirasat fi ‘Ulum al-Hadith
(Riyadh: Dar Ibn al-Jawzi, 2002), 41.
[9]
Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata‘amal Ma’a
al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), 57.
3.
Klasifikasi
Hadits Berdasarkan Kriteria Tertentu
Klasifikasi hadits
merupakan salah satu aspek fundamental dalam Ilmu Hadits Dirayah. Tujuannya
adalah untuk memberikan pemahaman yang terstruktur mengenai berbagai macam
hadits yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw. Para ulama mengklasifikasikan
hadits berdasarkan berbagai sudut pandang (kriteria), yang masing-masing
memiliki implikasi terhadap status hukum dan penerimaan riwayat tersebut.
Berikut adalah
klasifikasi hadits berdasarkan beberapa kriteria pokok yang disepakati dalam
disiplin Musthalah al-Hadits:
3.1.
Klasifikasi Berdasarkan Kuantitas
Periwayat
Kriteria ini
meninjau jumlah perawi yang meriwayatkan hadits dalam setiap tingkatan sanad.
3.1.1.
Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir
adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada setiap tingkat
sanad, sehingga mustahil menurut akal sehat bahwa mereka bersepakat untuk
berdusta. Hadits jenis ini memberikan kepastian (qat’i) dan dapat dijadikan
hujjah dalam perkara akidah maupun hukum.¹
Mutawatir dibagi
dua:
·
Lafzhi:
mutawatir pada lafaz dan maknanya
·
Ma’nawi:
mutawatir hanya pada maknanya saja
Contoh hadits
mutawatir adalah hadits tentang "Barang siapa berdusta atas namaku..."
yang diriwayatkan oleh lebih dari 70 sahabat.²
3.1.2.
Hadits Ahad
Hadits ahad adalah
hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir. Hadits ini memberikan manfaat zanniyy
al-tsubut (dugaan kuat), dan terbagi lagi menjadi:
·
Mashhur:
Diriwayatkan oleh tiga atau lebih perawi pada setiap tingkatan sanad.
·
Aziz:
Diriwayatkan oleh dua perawi pada setiap tingkatan sanad.
·
Gharib:
Diriwayatkan oleh satu perawi pada satu tingkatan sanad.
Hadits ahad diterima
dalam hukum, namun memerlukan pengujian mendalam terhadap kualitas perawinya.³
3.2.
Klasifikasi Berdasarkan Kualitas
Sanad dan Matan
Kriteria ini menilai
sejauh mana sanad dan matan hadits memenuhi syarat-syarat keotentikan.
3.2.1.
Hadits Shahih
Hadits shahih adalah
hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan
dhabith, tidak syadz (bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat), dan
tidak mengandung ‘illah (cacat tersembunyi).⁴
Syarat hadits shahih
menurut para ulama adalah sebagai berikut:
1)
Sanad bersambung (ittisal
al-sanad)
2)
Perawi bersifat adil (al-‘adalah)
3)
Perawi kuat hafalan (al-dhabt)
4)
Tidak syadz
5)
Tidak mengandung ‘illah
Hadits shahih
merupakan hadits yang paling kuat dan dapat dijadikan dalil dalam semua aspek
hukum Islam.⁵
3.2.2.
Hadits Hasan
Hadits hasan
memenuhi seluruh syarat hadits shahih, kecuali dari segi ketelitian hafalan
perawinya yang tidak sekuat perawi hadits shahih. Hadits ini tetap dapat
dijadikan hujjah.⁶
3.2.3.
Hadits Dha’if
Hadits dha’if adalah
hadits yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari lima syarat hadits
shahih. Hadits ini tidak dapat dijadikan dasar hukum kecuali dalam konteks
fadha'il al-a‘mal (keutamaan amal) dengan syarat-syarat tertentu.⁷
3.3.
Klasifikasi Berdasarkan Penyandaran
kepada Nabi Saw
Klasifikasi ini
menyoroti siapa yang menjadi sumber utama penyandaran hadits.
3.3.1.
Hadits Marfu’
Hadits yang
disandarkan langsung kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan, atau sifat beliau. Ini adalah jenis hadits yang menjadi
sumber utama hukum Islam.⁸
3.3.2.
Hadits Mauquf
Hadits yang
disandarkan kepada sahabat, bukan kepada Nabi Saw. Mauquf dapat berupa pendapat
atau fatwa sahabat. Hadits jenis ini tidak bernilai hujjah kecuali jika sahabat
tersebut dikenal tidak berfatwa berdasarkan pendapat pribadi.⁹
3.3.3.
Hadits Maqthu’
Hadits yang
disandarkan kepada tabi’in atau generasi setelahnya. Maqthu’ bukan hadits
nabawi dan tidak dapat dijadikan dasar hukum kecuali dalam kerangka penjelasan
atau konfirmasi.¹⁰
3.4.
Klasifikasi Berdasarkan Sifat Sanad
dan Matan
Kriteria ini
menyoroti kondisi teknis sanad atau matan yang dapat mempengaruhi kekuatan
hadits.
Beberapa jenis
hadits yang termasuk dalam klasifikasi ini antara lain:
·
Musnad:
Hadits yang sanadnya bersambung hingga Nabi Saw
·
Mursal:
Hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in langsung kepada Nabi Saw tanpa menyebut
sahabat
·
Mu’allaq:
Hadits yang sebagian sanadnya dihilangkan dari awal
·
Mu’dhal:
Hadits yang dua perawi atau lebih dihilangkan secara berurutan dalam sanad
·
Munqathi’:
Hadits yang terputus pada salah satu sanad, tapi bukan pada dua orang secara
berurutan
·
Mudallas:
Hadits yang mengandung penyamaran sanad
·
Maqlub:
Hadits yang sebagian sanad atau matannya dibalik
·
Mudraj:
Hadits yang bercampur dengan komentar perawi
Jenis-jenis ini sangat
penting untuk dikenali agar seorang peneliti tidak keliru menilai otentisitas
hadits.¹¹
Catatan
Kaki
[1]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut:
Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 46–49.
[2]
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 112.
[3]
Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith
(Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2001), 71–75.
[4]
Ibn al-Salah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadith, ed.
Nur al-Din ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 42.
[5]
Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi (Kairo: Dar
al-Hadith, 2003), 1:70.
[6]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 58.
[7]
Abdul Karim Khudair, Dirasat fi ‘Ulum al-Hadith (Riyadh:
Dar Ibn al-Jawzi, 2002), 75.
[8]
Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 127.
[9]
Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith, 157.
[10]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 121.
[11]
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu,
130–140.
4.
Syarat-Syarat
Hadits Maqbul
Dalam Ilmu Hadits
Dirayah, hadits diklasifikasikan menjadi dua kategori utama: maqbul
(diterima) dan mardud (ditolak). Hadits maqbul
adalah hadits yang memenuhi syarat-syarat keotentikan dan dapat dijadikan dasar
dalam menetapkan hukum Islam. Para ulama menyepakati bahwa untuk bisa diterima,
suatu hadits harus memenuhi lima kriteria utama yang berkaitan dengan aspek
sanad dan matan. Kelima syarat ini menjadi tolak ukur ilmiah dalam menilai kualitas
riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.
4.1.
Syarat Hadits Shahih
Hadits shahih
merupakan jenis hadits maqbul yang paling kuat, baik dari segi sanad maupun
matannya. Para ulama, seperti Imam al-Hakim, Ibnu Hajar, dan Imam al-Nawawi,
menjelaskan bahwa terdapat lima syarat utama bagi suatu
hadits untuk dinyatakan shahih:¹
4.1.1.
Sanad Bersambung
(Ittishal al-Sanad)
Artinya, setiap
perawi dalam rantai sanad mendengar hadits tersebut langsung dari gurunya
hingga sampai kepada Rasulullah Saw. Tidak boleh ada perawi yang tidak dikenal
atau terputus hubungannya dengan perawi sebelumnya.²
4.1.2.
Perawi Adil
(Al-‘Adalah)
Keadilan di sini
merujuk pada integritas moral perawi; ia harus dikenal sebagai seorang muslim
yang baligh, berakal, tidak fasik, dan menjauhi perbuatan tercela. Seorang
perawi yang banyak berdusta atau melakukan dosa besar dianggap gugur
keadilannya.³
4.1.3.
Perawi Dhabit (Kuat
Hafalan atau Catatan)
Dhabit artinya
perawi memiliki kecermatan dan daya ingat yang tinggi atau memiliki catatan
tertulis yang akurat, serta mampu menyampaikan riwayat tanpa perubahan.⁴
4.1.4.
Tidak Syadz
(Bertentangan dengan Riwayat yang Lebih Kuat)
Hadits tersebut
tidak menyelisihi riwayat lain yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqah
(terpercaya). Jika sebuah hadits menyelisihi riwayat yang lebih kuat, maka
hadits itu dianggap syadz dan tidak diterima.⁵
4.1.5.
Tidak Mengandung
‘Illah (Cacat Tersembunyi)
‘Illah adalah cacat
tersembunyi dalam hadits yang tidak tampak secara lahir, tetapi setelah
penelitian mendalam ditemukan kelemahan yang memengaruhi validitas hadits
tersebut. Misalnya, seorang perawi tampaknya tsiqah tetapi ternyata
meriwayatkan dari orang yang belum semasa dengannya.⁶
Jika kelima syarat
ini terpenuhi secara sempurna, maka hadits tersebut termasuk dalam kategori shahih
li dzatihi (shahih karena dirinya sendiri). Bila ada sedikit
kelemahan pada syarat dhabith tetapi diperkuat oleh riwayat lain, maka disebut shahih
li ghairihi.⁷
4.2.
Syarat Hadits Hasan
Hadits hasan adalah
hadits yang juga maqbul, tetapi derajatnya berada satu tingkat di bawah shahih.
Semua syarat hadits shahih berlaku untuk hadits hasan, kecuali dalam hal kekuatan
hafalan perawi yang tidak sekuat perawi hadits shahih.⁸
Imam al-Tirmidzi
seringkali menggunakan istilah "hasan shahih" untuk menunjukkan
hadits yang mendekati derajat shahih atau memiliki banyak jalur riwayat
penguat. Hadits hasan dapat dijadikan hujjah dalam hukum, dan sangat banyak
digunakan dalam kitab-kitab fikih.⁹
4.3.
Perbedaan Shahih Lizatihi dan
Lighairihi
Dalam klasifikasi
lebih lanjut, para ulama membedakan hadits shahih dan hasan menjadi dua jenis:
·
Shahih
li Dzatihi: Hadits yang memenuhi semua syarat shahih tanpa
adanya penguat dari jalur lain. Ini adalah hadits paling otentik.
·
Shahih
li Ghairihi: Hadits hasan yang memiliki banyak jalur penguat
sehingga naik derajatnya menjadi shahih.
Begitu juga dengan
hadits hasan:
·
Hasan li
Dzatihi: Hadits yang perawinya lemah dalam hafalan, tetapi
tetap memenuhi syarat dasar maqbul.
·
Hasan li
Ghairihi: Hadits da’if yang memiliki beberapa jalur penguat,
sehingga naik menjadi hasan.¹⁰
Perbedaan ini
penting dalam studi kritik hadits karena memberikan kelonggaran dalam menerima
hadits-hadits yang semula lemah, tetapi mendapatkan penguatan melalui jalur
lain yang dapat dipercaya.
Catatan
Kaki
[1]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut:
Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 47.
[2]
Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith
(Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2001), 86.
[3]
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 123.
[4]
Ibn al-Salah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadith, ed.
Nur al-Din ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 57.
[5]
Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi (Kairo: Dar
al-Hadith, 2003), 1:83.
[6]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 63.
[7]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 52.
[8]
Abdul Karim Khudair, Dirasat fi ‘Ulum al-Hadith (Riyadh:
Dar Ibn al-Jawzi, 2002), 58.
[9]
Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith, 99.
[10]
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu,
126–127.
5.
Hadits
Mardud dan Penyebabnya
Dalam ilmu Musthalah
al-Hadits, hadits mardud adalah hadits
yang tidak
memenuhi syarat-syarat maqbul, baik dari sisi sanad maupun
matan. Artinya, hadits tersebut ditolak sebagai hujjah karena mengandung
kelemahan atau cacat (‘illah) yang menyebabkan ketidakabsahannya sebagai sumber
hukum Islam. Penolakan ini tidak dilakukan secara sembarangan, tetapi melalui
metode kritik ilmiah yang ketat dan sistematis, sebagaimana dikembangkan oleh
para ahli hadits sejak abad-abad awal Islam.
Hadits mardud
terbagi menjadi beberapa jenis berdasarkan penyebab kelemahannya. Berikut
adalah uraian sistematis mengenai hadits mardud dan faktor-faktor yang
menyebabkannya.
5.1.
Definisi Hadits Mardud
Secara bahasa, mardud
berarti “ditolak.” Secara istilah, hadits mardud adalah hadits yang tidak
memenuhi salah satu atau lebih dari lima syarat maqbul (yaitu: sanad
bersambung, perawi adil, perawi dhabith, tidak syadz, dan tidak mu’allal).¹
Hadits ini tidak dapat dijadikan dasar hukum,
kecuali dalam kasus tertentu seperti dalam fadha’il al-a‘mal (keutamaan amal)
dengan syarat tidak bertentangan dengan hadits shahih atau prinsip syariah.²
5.2.
Jenis-Jenis Hadits Dha’if sebagai
Hadits Mardud
Hadits mardud pada
umumnya adalah hadits dha‘if (lemah). Kelemahan ini
dapat timbul karena masalah pada sanad, perawi, atau matan hadits. Berikut
beberapa jenis hadits dha‘if yang tergolong mardud:
5.2.1.
Hadits Mursal
Yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh tabi’in langsung kepada Nabi Saw tanpa menyebut sahabat.
Ketiadaan sahabat dalam sanad menyebabkan hadits ini tidak memenuhi syarat
ittishal (sambungan sanad).³
5.2.2.
Hadits Mu‘allaq
Hadits yang pada
awal sanadnya terdapat satu atau lebih perawi yang dihapus, biasanya oleh
penulis kitab hadits. Misalnya, Imam al-Bukhari kadang menyebut hadits secara
mu‘allaq dalam muqaddimah kitabnya.⁴
5.2.3.
Hadits Mu‘dhal
Hadits yang terputus
dua perawi atau lebih secara berurutan dalam sanad. Ini menunjukkan kelemahan
sanad yang signifikan.⁵
5.2.4.
Hadits Munqathi’
Hadits yang sanadnya
terputus karena tidak diketahui atau tidak disebutkan salah satu perawinya,
tanpa harus dua orang berturut-turut.⁶
5.2.5.
Hadits Mudallas
Hadits yang
tampaknya sanadnya bersambung, padahal salah satu perawi menyembunyikan guru aslinya
dan menyebut perawi lain yang lebih tsiqah, agar terlihat kuat. Ini menimbulkan
keraguan terhadap kejujuran sanad.⁷
5.2.6.
Hadits Maqlub
Hadits yang terdapat
pembalikan nama perawi atau urutan dalam matan. Misalnya, mengganti nama perawi
yang benar dengan nama perawi lain yang mirip atau mengubah urutan kalimat
dalam matan.⁸
5.2.7.
Hadits Mudraj
Hadits yang
bercampur antara perkataan Nabi Saw dan komentar perawi, namun disampaikan
seolah semuanya berasal dari Nabi. Ini menyebabkan kekacauan dalam matan hadits.⁹
5.2.8.
Hadits Maudhu’ (Palsu)
Hadits yang dibuat-buat
dan dinisbatkan secara dusta kepada Nabi Saw, baik oleh orang
munafik, ahli bid‘ah, atau fanatik mazhab. Hadits ini ditolak secara mutlak dan
tidak dapat digunakan dalam keadaan apa pun.¹⁰
5.3.
Faktor-Faktor Penyebab Hadits
Tertolak
Para ulama
mengidentifikasi sejumlah penyebab utama yang menjadikan hadits tergolong
mardud, antara lain:
5.3.1.
Kelemahan Perawi
Jika perawi hadits
dikenal sebagai pelupa berat, pendusta, atau tidak dikenal identitasnya, maka
riwayat darinya ditolak. Ilmu Jarh wa Ta’dil menjadi instrumen utama untuk
menilai kredibilitas perawi.¹¹
5.3.2.
Keterputusan Sanad
Sanad yang tidak
bersambung menjadikan riwayat tidak bisa diverifikasi, sehingga cacat dari sisi
transmisi.¹²
5.3.3.
Pertentangan dengan
Riwayat yang Lebih Kuat (Syudzudz)
Jika hadits
bertentangan dengan hadits shahih yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih
tsiqah, maka hadits tersebut dianggap syadz dan ditolak.¹³
5.3.4.
Adanya ‘Illah (Cacat
Tersembunyi)
Kadang hadits
tampaknya sahih, tetapi setelah diteliti lebih dalam, ditemukan kelemahan dalam
sanad atau matan yang tidak tampak secara kasat mata.¹⁴
5.3.5.
Tercampurnya Matan
Ketika matan hadits
mengalami penambahan atau perubahan dari luar, baik disengaja maupun tidak,
maka keautentikannya menjadi meragukan.¹⁵
5.4.
Sikap Ulama terhadap Hadits Mardud
Para ulama memiliki
prinsip ketat dalam menyikapi hadits mardud. Mereka sepakat bahwa hadits jenis
ini tidak
boleh dijadikan dasar dalam masalah akidah dan hukum. Namun,
beberapa ulama memperbolehkan penggunaannya dalam fadha’il al-a‘mal dengan
syarat:
1)
Tidak berkaitan dengan
akidah dan hukum wajib/haram.
2)
Tidak bertentangan dengan
hadits shahih.
3)
Diriwayatkan dalam konteks
motivasi ibadah (targhib wa tarhib).¹⁶
Catatan
Kaki
[1]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut:
Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 59.
[2]
Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith
(Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2001), 109.
[3]
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 144.
[4]
Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi (Kairo: Dar
al-Hadith, 2003), 1:107.
[5]
Ibn al-Salah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadith, ed.
Nur al-Din ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 61.
[6]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 92.
[7]
Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 233.
[8]
Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith, 137.
[9]
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu,
151.
[10]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 105.
[11]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, ed. Ahmad
Muhammad Syakir (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2005), 12.
[12]
Abdul Karim Khudair, Dirasat fi ‘Ulum al-Hadith (Riyadh:
Dar Ibn al-Jawzi, 2002), 67.
[13]
Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, 1:130.
[14]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd, 94.
[15]
Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, 1:154.
[16]
Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith, 111.
6.
Istilah-Istilah
Penting dalam Musthalah al-Hadits
Ilmu Musthalah al-Hadits adalah disiplin ilmu yang
sangat teknis dan sarat dengan istilah-istilah khusus. Pemahaman terhadap
istilah-istilah ini merupakan syarat mutlak bagi siapa pun yang ingin mendalami
ilmu hadits secara sistematis. Istilah-istilah tersebut tidak hanya sekadar nomenklatur,
melainkan mencerminkan kerangka metodologis yang digunakan untuk menilai
kualitas sanad, matan, dan kredibilitas perawi.¹
Berikut ini adalah istilah-istilah penting dalam
Ilmu Musthalah al-Hadits yang harus dikuasai:
6.1.
Sanad
Sanad adalah rantai perawi yang menyampaikan hadits
dari sumber asalnya (biasanya Nabi Muhammad Saw) hingga sampai kepada orang
yang mencatat atau meriwayatkannya dalam kitab hadits.² Sanad menjadi elemen
utama dalam proses verifikasi hadits. Keutuhan dan kesinambungan sanad
(ittishal al-sanad) merupakan salah satu syarat hadits dapat diterima
(maqbul).³
6.2.
Matan
Matan adalah isi atau teks dari hadits, yaitu
lafaz-lafaz yang mengandung makna ajaran atau peristiwa.⁴ Evaluasi terhadap
matan dilakukan untuk menilai kesesuaian isi hadits dengan Al-Qur’an, hadits
shahih lainnya, dan akal sehat yang selamat dari syubhat. Meskipun sanadnya
shahih, jika matannya syadz (menyelisihi riwayat lain yang lebih kuat) atau
mu’allal (mengandung cacat), maka hadits tersebut tetap tidak diterima.⁵
6.3.
Rawi (Perawi)
Rawi adalah orang yang meriwayatkan hadits dalam
rantai sanad. Kualitas seorang rawi dinilai berdasarkan dua aspek:
·
Al-‘Adalah: integritas
moral dan keislamannya
·
Al-Dhabt: kemampuan
dalam menghafal dan menyampaikan riwayat dengan tepat⁶
Ilmu Jarh wa Ta’dil berperan penting dalam
menilai status rawi, apakah ia tsiqah (terpercaya), dha’if (lemah), atau bahkan
matruk (ditinggalkan riwayatnya).⁷
6.4.
‘Adalah dan Dhabt
Kedua istilah ini menjadi pilar utama dalam
menilai kredibilitas perawi:
·
‘Adalah adalah
sifat moral dan keagamaan yang mencegah seseorang dari berbohong dan berbuat
dosa besar. Perawi yang adil adalah muslim, baligh, berakal, tidak fasik, dan
menjaga kehormatan diri.⁸
·
Dhabt adalah
kemampuan perawi dalam menjaga hafalan atau catatan riwayat dengan akurat dan
konsisten. Perawi yang memiliki hafalan kuat atau pencatatan yang disiplin
disebut dhabit.⁹
6.5.
Jarh wa Ta‘dil
Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang membahas penilaian terhadap perawi hadits, baik
dalam bentuk kritik (jarh) maupun pujian (ta’dil). Ulama ahli jarh wa ta‘dil
seperti Yahya ibn Ma‘in, Ahmad ibn Hanbal, dan al-Bukhari melakukan penelitian
mendalam terhadap biografi perawi dan menilai apakah riwayat mereka dapat
diterima.¹⁰
Kritik terhadap perawi diklasifikasikan menjadi:
·
Jarh Mufassar (jelas alasannya)
·
Jarh Mubham (tidak disebut sebabnya)
Pujian pun
bertingkat, dari tsiqah, shaduq, hingga maqbul.¹¹
6.6.
‘Illah Qadihah
‘Illah (plural: ‘ilal) adalah cacat tersembunyi dalam sanad atau matan hadits
yang menyebabkan hadits tidak sah, meskipun tampaknya sanadnya bersambung dan
perawinya tsiqah. Istilah ini sangat teknis dan menjadi domain para ahli hadits
tingkat tinggi seperti Imam al-Bukhari, Muslim, dan Ibn al-Madini.¹²
Contoh ‘illah adalah: seorang perawi meriwayatkan
dari guru yang sebenarnya belum sempat ia temui secara langsung. Hal seperti
ini hanya bisa diketahui dengan perbandingan sanad yang sangat teliti.¹³
6.7.
Tadlis
Tadlis adalah upaya menyembunyikan kecacatan dalam sanad, baik dengan menyebut
guru yang tidak pernah ia dengar langsung darinya (tadlis al-isnad),
atau dengan mencampur perkataan perawi ke dalam matan seolah-olah itu bagian
dari sabda Nabi Saw (tadlis al-matan).¹⁴ Tadlis termasuk perbuatan
tercela dalam periwayatan hadits dan dapat menyebabkan status hadits menjadi
lemah jika tidak dijelaskan secara terang.¹⁵
6.8.
Idraj
Idraj adalah penambahan lafaz dalam matan hadits yang berasal dari perawi dan
bukan dari Nabi Saw, namun disampaikan seolah-olah bagian dari sabda Nabi.
Biasanya idraj terjadi karena keinginan perawi untuk menjelaskan makna hadits.
Jika tidak dijelaskan secara eksplisit, idraj dapat menyebabkan kesalahpahaman
dalam pemahaman isi hadits.¹⁶
6.9.
Maqlub
Maqlub adalah hadits yang mengalami pembalikan, baik pada sanad maupun
matannya. Misalnya, nama perawi dibalik urutannya, atau bagian matan ditukar
tempatnya. Hadits seperti ini menunjukkan kurangnya ketelitian perawi dan dapat
memengaruhi keabsahan riwayat.¹⁷
6.10.
Mudraj
Mudraj adalah campuran antara perkataan Nabi dan tambahan dari perawi, namun
tidak dipisahkan dengan jelas. Hal ini bisa terjadi baik pada sanad maupun
matan. Hadits mudraj tidak dapat dijadikan hujjah kecuali jika bagian yang
ditambahkan diketahui secara pasti dan bisa dipisahkan dari teks asli.¹⁸
Kesimpulan
Penguasaan terhadap istilah-istilah ini menjadi
fondasi dasar dalam memahami dan mengkritisi riwayat hadits secara ilmiah.
Melalui istilah-istilah ini, seorang peneliti hadits dapat melakukan verifikasi
terhadap keotentikan riwayat dan menghindari penggunaan hadits yang tidak sah
sebagai hujjah dalam agama.
Catatan
Kaki
[1]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits
(Beirut: Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 11.
[2]
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 32.
[3]
Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith
(Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2001), 87.
[4]
Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi
(Kairo: Dar al-Hadith, 2003), 1:45.
[5]
Ibn al-Salah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadith,
ed. Nur al-Din ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 39.
[6]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 49.
[7]
Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ‘Ilm
al-Riwayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 88.
[8]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits,
53.
[9]
Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith,
91.
[10]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib
(Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 1:20.
[11]
Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, 1:63.
[12]
Ibn Rajab al-Hanbali, Syarh ‘Ilal al-Tirmidzi
(Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997), 1:15.
[13]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd, 97.
[14]
Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, 1:101.
[15]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits,
95.
[16]
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu,
148.
[17]
Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi,
1:108.
[18]
Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith,
136.
7.
Tokoh-Tokoh
Penting dalam Ilmu Musthalah al-Hadits
Perkembangan Ilmu Musthalah al-Hadits tidak lepas
dari kontribusi para ulama yang secara serius dan sistematis mengembangkan
prinsip-prinsip ilmiah dalam memverifikasi keabsahan riwayat hadits. Mereka
menyusun kaidah, istilah, dan metode kritik hadits yang hingga kini menjadi
rujukan utama dalam studi keislaman.
Tokoh-tokoh ini berasal dari berbagai generasi dan
latar belakang mazhab, namun memiliki kesamaan dalam dedikasi terhadap
otentisitas sunnah Nabi Muhammad Saw. Berikut ini adalah beberapa tokoh penting
dalam sejarah perkembangan Ilmu Musthalah al-Hadits.
7.1.
Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali
al-Khatib al-Baghdadi. Ia adalah seorang ulama besar yang hidup pada abad
ke-5 Hijriyah dan merupakan figur kunci dalam penyusunan dasar-dasar
metodologis ilmu hadits, khususnya dalam aspek kritik sanad dan riwayat. Salah
satu karya monumentalnya adalah Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah,
yang secara sistematis membahas etika periwayatan, syarat-syarat perawi, dan
keadilan dalam sanad.¹
Dalam karyanya tersebut, al-Khatib menegaskan
pentingnya sifat adil dan dhabith pada seorang perawi serta perlunya
pengetahuan mendalam terhadap keadaan perawi sebelum menerima riwayatnya.²
Pemikiran-pemikirannya menjadi pijakan penting bagi ulama sesudahnya.
7.2.
Ibn al-Salah (w. 643 H)
Abu ‘Amr Utsman ibn Abd al-Rahman ibn al-Salah adalah penyusun kitab Muqaddimah fi ‘Ulum
al-Hadits, yang dikenal luas sebagai Muqaddimah Ibn al-Salah.
Kitab ini menjadi karya standar dalam Ilmu Musthalah al-Hadits dan dijadikan
rujukan oleh banyak ulama setelahnya, seperti Imam al-Nawawi dan Jalaluddin
as-Suyuthi.³
Ibn al-Salah mengklasifikasikan ilmu hadits ke
dalam lebih dari 60 jenis (naw’), termasuk pembahasan tentang sanad, matan, dan
perawi. Metodologinya yang sistematis menjadikan karyanya sebagai pilar utama
dalam pembelajaran hadits hingga saat ini.⁴
7.3.
Imam an-Nawawi (w. 676 H)
Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, seorang ulama besar dari Mazhab Syafi’i, dikenal
bukan hanya karena karya fikihnya seperti al-Majmu’, tetapi juga karena
kontribusinya dalam ilmu hadits. Ia menyusun ringkasan dari Muqaddimah Ibn
al-Salah dalam bentuk karya berjudul Taqrib wa al-Taysir.⁵
Karya ini menjadi lebih ringkas dan mudah
dipelajari, terutama bagi kalangan pelajar pemula, tanpa menghilangkan
substansi ilmiah dari karya Ibn al-Salah. An-Nawawi juga dikenal karena menulis
kitab al-Arba’in al-Nawawiyyah, yang populer dalam pendidikan hadits
dasar.⁶
7.4.
Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H)
Jalaluddin ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr as-Suyuthi adalah seorang ulama produktif dari Mesir yang
hidup pada abad ke-9 Hijriyah. Salah satu karyanya yang sangat penting dalam
ilmu hadits adalah Tadrib al-Rawi, yang merupakan syarah
(penjelasan) dari Taqrib wa al-Taysir karya an-Nawawi.⁷
Dalam Tadrib al-Rawi, as-Suyuthi memperluas
cakupan pembahasan hadits dengan merujuk kepada lebih dari 100 kitab klasik,
menjadikannya salah satu ensiklopedia penting dalam studi hadits. Karya ini
menegaskan kedalaman dan keluasan wawasan as-Suyuthi dalam ilmu musthalah dan
kritik hadits.⁸
7.5.
Mahmud Thahhan (kontemporer)
Mahmud Thahhan adalah ulama hadits kontemporer dari dunia Arab yang dikenal melalui
bukunya Taisir Musthalah al-Hadits, sebuah karya pengantar yang
sangat sistematis dan praktis. Buku ini banyak digunakan di berbagai lembaga
pendidikan Islam modern karena menyederhanakan konsep-konsep rumit dalam
Musthalah al-Hadits.⁹
Thahhan tidak hanya menguraikan teori-teori klasik,
tetapi juga menyajikan contoh dan aplikasi praktis yang memudahkan mahasiswa
dalam memahami ilmu hadits secara kontekstual.ⁱ⁰
7.6.
Subhi al-Shalih (kontemporer)
Subhi al-Shalih adalah ulama Suriah yang juga menulis salah satu buku pengantar ilmu
hadits yang populer, yaitu Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu. Dalam
karyanya, ia mencoba merekonstruksi ulang metode pembelajaran ilmu hadits
dengan pendekatan akademis modern, namun tetap merujuk kepada khazanah
klasik.¹¹
Buku Subhi al-Shalih sering digunakan dalam
perguruan tinggi Islam dan menjadi penghubung antara tradisi klasik dan
kebutuhan akademik kontemporer.
Kesimpulan
Kehadiran para tokoh ini menunjukkan bahwa ilmu
hadits tidak lahir secara instan, tetapi melalui proses panjang yang melibatkan
dedikasi intelektual dan spiritual dari generasi ke generasi. Karya-karya
mereka menjadi warisan ilmiah yang mendasari studi hadits hingga kini dan
memberikan fondasi metodologis yang kokoh dalam memastikan keaslian sunnah Nabi
Muhammad Saw.
Catatan
Kaki
[1]
Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ‘Ilm
al-Riwayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 23–25.
[2]
Ibid., 45–47.
[3]
Ibn al-Salah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadith,
ed. Nur al-Din ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 10.
[4]
Ibid., 18–19.
[5]
Imam an-Nawawi, Taqrib wa al-Taysir (Beirut:
Dar al-Khair, 1996), 7.
[6]
Ibid., 21.
[7]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi
(Kairo: Dar al-Hadith, 2003), 1:5.
[8]
Ibid., 1:7–9.
[9]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits
(Beirut: Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 3.
[10]
Ibid., 12–13.
[11]
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 5–6.
8.
Aplikasi
Ilmu Hadits Dirayah dalam Studi dan Kritik Hadits
Ilmu Hadits Dirayah
(Musthalah al-Hadits) bukanlah ilmu teoritis semata, melainkan ilmu aplikatif
yang memiliki peranan vital dalam proses verifikasi, analisis, dan validasi
hadits. Ia menyediakan perangkat metodologis yang memungkinkan para ulama dan
peneliti untuk menilai keabsahan riwayat, baik
dari segi sanad maupun matan, guna memastikan bahwa hadits tersebut benar-benar
dapat dijadikan dasar dalam ajaran Islam.
Dalam konteks
akademik dan penelitian, ilmu ini menjadi kunci dalam membedakan antara hadits
yang maqbul (diterima) dan mardud (ditolak), serta dalam membentuk sikap ilmiah
yang kritis terhadap sumber-sumber Islam. Berikut ini adalah beberapa bentuk
aplikasi penting dari Ilmu Hadits Dirayah dalam studi dan kritik hadits.
8.1.
Langkah-Langkah Kritik Hadits
Proses kritik hadits
dalam Ilmu Dirayah dilakukan secara sistematis dan melalui beberapa tahapan:
8.1.1.
Takhrij al-Hadits
Takhrij adalah upaya
untuk melacak sumber asli hadits dalam kitab-kitab hadits induk seperti Shahih
al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan
Abi Dawud, dan lainnya. Tujuan takhrij adalah untuk mengetahui
kedudukan hadits dalam literatur hadits, serta untuk membandingkan berbagai
versi sanad dan matannya.¹
8.1.2.
Verifikasi Sanad
Dalam tahap ini,
ditelusuri apakah sanad hadits bersambung (muttasil) atau terputus (munqathi’,
mursal,
dll). Ini mencakup identifikasi semua perawi dan memastikan bahwa mereka pernah
bertemu dan mendengar secara langsung.²
8.1.3.
Evaluasi Perawi (Jarh
wa Ta‘dil)
Setelah perawi
diidentifikasi, dilakukan analisis kredibilitas terhadap setiap perawi dalam
sanad berdasarkan literatur ilmu jarh wa ta‘dil. Evaluasi mencakup
aspek keadilan (‘adalah), ketelitian (dhabt), serta reputasi keilmuan dan
moralitasnya.³
8.1.4.
Analisis Matan
Matan hadits
dianalisis untuk mengetahui apakah mengandung syudzudz (penyimpangan dari hadits
yang lebih kuat) atau ‘illah (cacat tersembunyi). Matan
juga diteliti dari segi bahasa, logika, serta kesesuaiannya dengan Al-Qur’an
dan hadits mutawatir.⁴
8.1.5.
Penentuan Hukum Hadits
Setelah melewati
tahapan di atas, hadits diklasifikasikan ke dalam salah satu kategori: shahih,
hasan,
atau dha’if.
Hadits yang termasuk dalam kategori maqbul dapat dijadikan dasar hukum,
sementara yang mardud harus ditolak atau digunakan secara terbatas.⁵
8.2.
Studi Kasus Kritik Hadits
Sebagai contoh
penerapan, kita dapat mengkaji hadits yang berbunyi:
اِخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
"Ikhtilāfu ummatī raḥmah"
("Perbedaan di antara umatku adalah rahmat").
Hadits ini sangat
populer, namun para ulama hadits sepakat bahwa tidak ada sanad yang shahih
untuknya. Ibnu Hazm menegaskan bahwa hadits ini adalah maudhu‘
(palsu), sedangkan al-Sakhawi menyatakan bahwa hadits ini tidak
memiliki asal yang valid dari Nabi Saw.⁶
Melalui kritik sanad
dan matan, ditemukan bahwa hadits ini tidak diriwayatkan oleh perawi tsiqah
dari Nabi, serta bertentangan dengan prinsip bahwa perpecahan umat adalah
sesuatu yang tercela dalam Islam (lihat QS. Ali Imran: 105).⁷
8.3.
Peran Ilmu Dirayah dalam Kajian
Interdisipliner
Ilmu Hadits Dirayah
tidak hanya berguna dalam bidang hadits semata, tetapi juga berperan besar
dalam kajian:
·
Tafsir,
dalam menguatkan atau menolak riwayat sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul).
·
Fikih,
sebagai dalil hukum yang harus diuji keabsahannya.
·
Sejarah,
dalam memverifikasi keabsahan narasi peristiwa sejarah Islam.
·
Studi
Modern, seperti menangkal penyebaran hadits palsu di media
sosial, artikel digital, dan dakwah populer.⁸
Ulama kontemporer
seperti Yusuf al-Qaradawi dan Muhammad Ajaj al-Khatib menekankan pentingnya penguasaan
Musthalah al-Hadits dalam menghadapi tantangan zaman, terutama
dalam menjaga integritas ajaran Islam dari penyalahgunaan sumber-sumber yang
lemah atau palsu.⁹
8.4.
Pendidikan dan Penelitian Akademik
Di berbagai
perguruan tinggi Islam, Ilmu Dirayah menjadi bagian penting dari kurikulum.
Mahasiswa diajarkan cara melakukan kritik hadits secara langsung,
baik melalui studi teks klasik maupun dengan pendekatan digital melalui
software takhrij dan database hadits. Ini memungkinkan munculnya generasi
peneliti hadits yang memiliki kompetensi ilmiah dan kemampuan aplikasi
praktis.¹⁰
Kesimpulan
Ilmu Hadits Dirayah
tidak hanya penting secara teoretis, tetapi juga sangat relevan dan aplikatif
dalam studi Islam kontemporer. Ia membantu menjaga otentisitas ajaran Islam,
melatih objektivitas ilmiah, serta membangun pemahaman yang mendalam dan sahih
terhadap warisan sunnah Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu, penguasaan ilmu ini
merupakan syarat utama bagi siapa pun yang ingin mendalami ilmu-ilmu keislaman
secara kredibel dan bertanggung jawab.
Catatan
Kaki
[1]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut:
Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 107–109.
[2]
Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith
(Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2001), 83.
[3]
Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 92.
[4]
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 150.
[5]
Ibn al-Salah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadith, ed.
Nur al-Din ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 54.
[6]
Jalaluddin as-Suyuthi, al-La’ali al-Mashnu‘ah fi al-Ahadits
al-Mawdu‘ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 1:145.
[7]
Al-Sakhawi, al-Maqasid al-Hasanah (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 34.
[8]
Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata‘amal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), 91–92.
[9]
Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahatuhu
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 112.
[10]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 121.
9.
Relevansi
Ilmu Musthalah al-Hadits di Era Modern
Ilmu Musthalah al-Hadits yang lahir dari kebutuhan
ilmiah para ulama klasik untuk menjaga keotentikan sunnah Nabi Muhammad Saw,
kini semakin menunjukkan relevansinya di era modern yang ditandai dengan
perkembangan teknologi informasi, banjir data keagamaan, dan maraknya fenomena
penyebaran hadits-hadits palsu. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan
globalisasi, ilmu ini menjadi alat yang sangat strategis untuk menjaga
integritas ajaran Islam dari penyimpangan dan penyalahgunaan.
9.1.
Menangkal Hadits Palsu di Era
Digital
Era media sosial telah membuka ruang yang sangat
luas bagi penyebaran informasi, termasuk hadits. Sayangnya, tidak sedikit
hadits yang beredar di platform seperti WhatsApp, Facebook, TikTok, dan
Instagram ternyata tidak memiliki dasar sanad yang valid atau bahkan tergolong maudhu‘
(palsu).¹
Ilmu Musthalah al-Hadits menjadi penting dalam
melakukan verifikasi terhadap hadits-hadits tersebut. Dengan penguasaan dasar
ilmu sanad, matan, dan metode takhrij, umat Islam dapat memilah mana hadits
yang sahih dan mana yang tidak dapat dijadikan hujjah.² Ulama kontemporer
seperti Yusuf al-Qaradawi menekankan bahwa menghadapi informasi keagamaan yang
tersebar secara bebas menuntut penguasaan terhadap ilmu kritik hadits yang
sistematis.³
9.2.
Menjaga Keotentikan Dakwah Islam
Para dai dan ustaz di era modern dituntut untuk
menyampaikan ajaran Islam berdasarkan sumber yang autentik. Kesalahan dalam
mengutip hadits bukan hanya berdampak pada kesalahan informasi, tetapi juga
pada pembentukan pemahaman keagamaan masyarakat. Dalam konteks ini, Ilmu
Musthalah al-Hadits menjadi alat kontrol epistemologis bagi para
muballigh agar tidak menyampaikan hadits tanpa dasar ilmiah.⁴
Sebagaimana ditegaskan oleh hadis Nabi:
مَن كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berdusta atas namaku secara sengaja,
maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan betapa seriusnya larangan
menyebarkan informasi palsu atas nama Nabi, dan betapa pentingnya verifikasi
keilmuan melalui Musthalah al-Hadits.⁵
9.3.
Menguatkan Kajian Interdisipliner
dalam Studi Islam
Ilmu Musthalah al-Hadits juga berperan dalam
penguatan metodologi akademik dalam studi Islam kontemporer. Misalnya:
·
Dalam studi tafsir, hadits-hadits yang dijadikan penjelas ayat
Al-Qur’an harus diverifikasi keshahihannya terlebih dahulu.
·
Dalam fikih, keabsahan suatu dalil hukum sangat tergantung pada
validitas hadits yang menjadi sandarannya.
·
Dalam sejarah Islam, narasi peristiwa masa Nabi dan Khulafaur
Rasyidin tidak bisa dipisahkan dari metode kritik hadits.
Ilmu Musthalah al-Hadits berkontribusi dalam
membangun kajian Islam berbasis sumber yang autentik dan rasional, tidak
hanya dogmatis atau tradisional semata.⁶
9.4.
Pendidikan Islam yang Berkualitas
dan Kritis
Lembaga-lembaga pendidikan Islam, mulai dari
madrasah hingga perguruan tinggi, kini semakin menyadari urgensi pengajaran
Ilmu Musthalah al-Hadits. Penguasaan terhadap ilmu ini:
·
Melatih siswa dan mahasiswa untuk bersikap ilmiah dan kritis terhadap
nash keagamaan.
·
Menjaga akurasi pemahaman terhadap sumber-sumber Islam.
·
Membentuk kader ulama dan intelektual muslim yang bertanggung jawab
secara ilmiah dan moral.⁷
Subhi al-Shalih dalam pengantar bukunya menyebutkan
bahwa Musthalah al-Hadits adalah “ilmu pembatas antara kejujuran ilmiah dan
klaim palsu atas nama agama”, yang harus diajarkan kepada generasi muda
sebagai fondasi pemikiran Islam yang kredibel.⁸
9.5.
Kontribusi Ilmu Musthalah dalam Era
Artificial Intelligence (AI)
Kemajuan teknologi kini memungkinkan digitalisasi
dan pemrosesan data hadits dalam jumlah besar. Proyek-proyek digital seperti Maktabah
Syamilah, Sunnah.com, hingga aplikasi al-Maktabah al-Haditsiyyah
memungkinkan penelusuran takhrij hadits secara instan.
Namun, kemampuan membaca hasil digital tersebut
tetap memerlukan kompetensi ilmiah dalam Musthalah al-Hadits. Seorang
pengguna teknologi tetap harus mampu memahami istilah seperti shahih, dha‘if,
mursal, atau mudraj agar tidak terjebak pada kesimpulan yang
keliru.⁹
Karena itu, Musthalah al-Hadits tidak hanya
bertahan, tetapi justru semakin strategis sebagai ilmu yang menyatu dengan
dinamika digital keislaman masa kini.
Kesimpulan
Ilmu Musthalah al-Hadits di era modern bukanlah
disiplin yang usang atau eksklusif untuk ulama klasik, tetapi justru semakin
vital dalam membangun Islam yang autentik, rasional, dan bertanggung jawab.
Dalam menghadapi tantangan kontemporer—baik dalam bentuk informasi palsu,
penyelewengan agama, maupun penyalahgunaan teks hadits—Ilmu Musthalah al-Hadits
menjadi benteng metodologis sekaligus jembatan antara tradisi keilmuan Islam
klasik dan tantangan zaman modern.
Catatan
Kaki
[1]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits
(Beirut: Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 115.
[2]
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 141.
[3]
Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata‘amal Ma‘a
al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), 98–99.
[4]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 132.
[5]
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab
al-‘Ilm, Hadits No. 107.
[6]
Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadith
(Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2001), 131.
[7]
Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits:
‘Ulumuhu wa Musthalahatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 155.
[8]
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu,
5.
[9]
Abdul Karim Khudair, Dirasat fi ‘Ulum al-Hadith
(Riyadh: Dar Ibn al-Jawzi, 2002), 90.
Penutup
Ilmu Hadits Dirayah (Musthalah al-Hadits) merupakan
salah satu pilar utama dalam disiplin keilmuan Islam yang berfungsi sebagai
penjaga orisinalitas dan otentisitas ajaran Nabi Muhammad Saw. Melalui
kaidah-kaidah yang sistematis dan pendekatan metodologis yang ketat, ilmu ini
memungkinkan para ulama dan peneliti untuk menilai validitas sebuah hadits
berdasarkan standar ilmiah yang telah disepakati sejak abad-abad awal Islam.
Sebagaimana telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya,
Ilmu Musthalah al-Hadits mencakup klasifikasi hadits berdasarkan kuantitas dan
kualitas perawi, kondisi sanad dan matan, hingga terminologi teknis yang
kompleks seperti shahih, dha‘if, mursal, mudallas,
dan sebagainya. Pengetahuan ini sangat krusial untuk membedakan antara riwayat
yang maqbul (diterima) dan mardud (ditolak), yang pada gilirannya menentukan
sah atau tidaknya suatu dalil dalam fikih, akidah, dan tafsir.¹
Di sisi lain, Ilmu Musthalah al-Hadits tidak hanya
bersifat teoretis, tetapi sangat aplikatif dalam konteks keilmuan modern. Dalam
menghadapi tantangan era digital, seperti maraknya penyebaran hadits palsu di
media sosial, kebebasan informasi tanpa validasi ilmiah, serta berkembangnya
pemahaman keagamaan tanpa basis sumber yang sahih, Ilmu Dirayah hadir sebagai
alat ukur ilmiah yang menjaga kemurnian sunnah.² Seperti ditegaskan oleh Yusuf
al-Qaradawi, ilmu ini merupakan benteng terhadap penyelewengan ajaran Islam
yang bersumber dari pemahaman atas teks-teks yang tidak terverifikasi.³
Lebih jauh, Musthalah al-Hadits juga memiliki
kontribusi penting dalam pengembangan studi-studi interdisipliner dalam Islam.
Ia menjadi fondasi epistemologis bagi tafsir, sejarah, hukum Islam, hingga
pemikiran Islam modern. Pendidikan Islam yang berbasis pada metode ilmiah,
objektif, dan kritis tidak akan lengkap tanpa menghadirkan Ilmu Hadits Dirayah
sebagai salah satu instrumen utama penguatan literasi keagamaan.⁴
Dengan demikian, relevansi dan urgensi Ilmu
Musthalah al-Hadits terus terjaga sepanjang zaman. Ia adalah warisan ilmiah
umat Islam yang tidak hanya menjadi kebanggaan masa lalu, tetapi juga kebutuhan
mendesak masa kini dan masa depan. Oleh karena itu, mempelajari, mengajarkan,
dan menerapkan Ilmu Hadits Dirayah merupakan bagian dari tanggung jawab
intelektual dan moral setiap muslim yang mencintai kebenaran dan keotentikan
ajaran Rasulullah Saw.
Catatan
Kaki
[1]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits
(Beirut: Maktabah al-Ma‘arif, 2004), 11–13.
[2]
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1985), 140–142.
[3]
Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata‘amal Ma‘a
al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), 91–92.
[4]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 123–125.
Daftar Pustaka
Al-Baghdadi, A. B. A. I. (1994). Al-Kifayah fi
‘Ilm al-Riwayah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Bukhari, M. I. I. (n.d.). Sahih al-Bukhari.
Kitab al-‘Ilm, Hadits No. 107.
Al-Khatib, A. B. A. I. (1994). Al-Kifayah fi
‘Ilm al-Riwayah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Qaradawi, Y. (1991). Kaifa nata‘amal ma‘a
al-sunnah al-nabawiyyah. Kairo: Maktabah Wahbah.
Al-Sakhawi, S. M. (2003). Al-Maqasid al-hasanah.
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Suyuti, J. A. R. (1997). Al-La’ali
al-Mashnu‘ah fi al-Ahadits al-Mawdu‘ah (Vol. 1). Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
Al-Suyuti, J. A. R. (2003). Tadrib al-Rawi fi
Syarh Taqrib al-Nawawi (Vol. 1–2). Kairo: Dar al-Hadith.
Al-Tirmidzi, M. I. I. (n.d.). Syarh ‘Ilal
al-Tirmidzi. Beirut: Dar Ibn Hazm.
An-Nawawi, Y. I. S. (1996). Taqrib wa al-Taysir.
Beirut: Dar al-Khair.
Ibn al-Salah, A. ‘A. U. A. R. (1986). Muqaddimah
fi ‘Ulum al-Hadith (N. D. ‘Itr, Ed.). Damaskus: Dar al-Fikr.
Ibn Hajar al-‘Asqalani, A. F. A. H. (1993). Tahdzib
al-Tahdzib. Beirut: Dar al-Fikr.
Khudair, A. K. (2002). Dirasat fi ‘Ulum
al-Hadith. Riyadh: Dar Ibn al-Jawzi.
Manna‘ al-Qattan. (2001). Mabahits fi ‘Ulum
al-Hadith. Beirut: Mu’assasat al-Risalah.
Subhi al-Shalih. (1985). Ulum al-Hadith wa
Musthalahuhu. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin.
Thahhan, M. (2004). Taisir Musthalah al-Hadits.
Beirut: Maktabah al-Ma‘arif.
‘Itr, N. (1997). Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum
al-Hadith. Damaskus: Dar al-Fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar