Senin, 23 Desember 2024

Ilmu Kalam: Memahami Akidah Islam secara Rasional dengan Argumentasi Logis

Ilmu Kalam

Memahami Akidah Islam secara Rasional dengan Argumentasi Logis


Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam, Ilmu Kalam Sunni, Relasi Antara Pemikiran Aliran-Aliran Ilmu Kalam.


Abstrak

Artikel ini membahas Ilmu Kalam, cabang teologi Islam yang menggunakan pendekatan rasional untuk memahami dan mempertahankan akidah Islam. Ilmu ini muncul sebagai respons terhadap tantangan internal dan eksternal yang dihadapi umat Islam, seperti perbedaan pandangan teologis dan pengaruh filsafat asing. Tujuan utamanya adalah memberikan jawaban rasional atas persoalan fundamental dalam akidah, seperti sifat-sifat Allah dan kebebasan manusia. Ilmu Kalam terus berkembang untuk menjawab isu-isu kontemporer, menjadikannya pilar penting dalam harmonisasi antara iman dan rasio.

Kata kunci: Ilmu Kalam, teologi Islam, akidah, rasionalitas, sejarah perkembangan, tantangan intelektual, sifat Allah, kebebasan manusia, isu kontemporer, iman dan rasio.


PEMBAHASAN

Kajian Ilmu Kalam Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Ilmu Kalam adalah salah satu cabang ilmu keislaman yang memiliki peran signifikan dalam membangun pondasi teologi Islam. Secara etimologis, istilah "Ilmu Kalam" berasal dari kata Arab kalam (الكلام) yang berarti "perkataan" atau "diskusi". Namun, secara terminologis, Ilmu Kalam didefinisikan sebagai ilmu yang membahas akidah Islam secara rasional dengan argumentasi logis untuk mempertahankan keimanan dari penyimpangan dan serangan1. Ilmu ini berfungsi untuk memperkuat keyakinan umat Islam terhadap doktrin-doktrin agama dengan dasar yang kokoh, baik dari Al-Qur'an, hadits, maupun pendekatan rasional.

Dalam sejarahnya, Ilmu Kalam muncul sebagai respon atas tantangan intelektual yang dihadapi umat Islam, baik dari internal maupun eksternal. Tantangan internal berupa perbedaan pandangan di kalangan umat Islam tentang berbagai isu teologis seperti takdir, sifat Allah, dan hubungan iman serta amal2. Sedangkan tantangan eksternal berasal dari kontak dengan peradaban lain, seperti filsafat Yunani dan agama-agama lain, yang memperkenalkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang teologi dan metafisika3.

Tujuan utama Ilmu Kalam adalah memberikan jawaban rasional atas persoalan-persoalan fundamental dalam akidah Islam, seperti sifat-sifat Allah, takdir, dan kebebasan manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur'an:

فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ (9) لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ (10)

"Maka berikanlah peringatan, sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. (21) Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. (22)" (QS. Al-Ghashiyah [88] ayat 21–22).

Ayat ini menjadi landasan untuk menegaskan pentingnya argumen rasional dalam menyampaikan kebenaran Islam, terutama kepada mereka yang meragukannya.

Relevansi Ilmu Kalam juga terletak pada kemampuannya menjawab persoalan-persoalan kontemporer, seperti sekularisme, pluralisme, dan atheisme. Di era modern, Ilmu Kalam tidak hanya membahas persoalan akidah klasik, tetapi juga beradaptasi dengan isu-isu baru yang membutuhkan pendekatan intelektual yang lebih luas^4. Sebagai ilmu yang terus berkembang, Ilmu Kalam memiliki potensi untuk menjadi pilar penting dalam membangun harmoni antara iman dan rasio.

Keberadaan Ilmu Kalam menjadi sangat penting untuk memahami konsep-konsep dasar akidah Islam secara mendalam, sehingga tidak hanya menghasilkan pemahaman yang kokoh, tetapi juga menjadi sarana untuk menyelesaikan konflik pemikiran yang sering terjadi dalam masyarakat Muslim. Dengan pendekatan yang sistematis, Ilmu Kalam menjadi alat yang efektif dalam menjaga kemurnian akidah umat Islam sekaligus memberikan jawaban yang relevan terhadap tantangan zaman.


Catatan Kaki

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 18.

[2]                Abdul Karim al-Syaibani, Tarikh al-Fikr al-Islami (Beirut: Dar al-Nahdah, 1982), hlm. 45.

[3]                George F. Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics of Abd al-Jabbar (Oxford: Clarendon Press, 1971), hlm. 23.

[4]                Fathullah Jamil, Pemikiran Kalam dan Relevansinya di Era Modern (Bandung: Mizan, 2010), hlm. 67.


2.           Sejarah Perkembangan Ilmu Kalam

2.1.       Masa Awal Islam

Pada masa Rasulullah Saw, diskusi tentang teologi terbatas pada penjelasan dasar-dasar akidah Islam, seperti tauhid, kenabian, dan keimanan terhadap hari akhir. Rasulullah Saw memberikan penjelasan yang bersifat praktis tanpa menggunakan pendekatan rasional yang kompleks. Tantangan terhadap akidah Islam mulai muncul setelah wafatnya Rasulullah Saw, terutama terkait isu-isu seperti takdir (qadha dan qadar), sifat-sifat Allah, dan status orang yang berdosa besar1.

2.2.       Masa Dinasti Umayyah

Masa Dinasti Umayyah ditandai dengan berkembangnya diskusi teologis sebagai akibat dari konflik politik yang berujung pada perbedaan pandangan keagamaan. Isu takdir menjadi salah satu perdebatan utama. Kelompok Qadariyah muncul dengan pandangan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh atas perbuatannya, sedangkan kelompok Jabariyah berpendapat bahwa semua perbuatan manusia telah ditentukan oleh Allah secara mutlak2. Perbedaan ini sering kali dipengaruhi oleh situasi politik, di mana pemerintah Umayyah cenderung mendukung paham Jabariyah untuk melegitimasi kekuasaan mereka sebagai kehendak Allah3.

Selain itu, munculnya kelompok Murji'ah juga menjadi bagian penting dari perkembangan awal Ilmu Kalam. Kelompok ini menekankan bahwa seseorang tidak dapat dihakimi sebagai kafir atau mukmin hanya berdasarkan amalnya; keputusan akhir tentang status keimanan seseorang diserahkan kepada Allah4.

2.3.       Masa Dinasti Abbasiyah

Periode Dinasti Abbasiyah menjadi masa keemasan bagi perkembangan Ilmu Kalam. Pada masa ini, Ilmu Kalam berkembang sebagai disiplin ilmu yang sistematis. Peran Mutazilah sangat signifikan dalam menjadikan Ilmu Kalam sebagai pendekatan intelektual untuk memahami teologi Islam. Kelompok ini dikenal dengan lima prinsip dasar mereka (al-Ushul al-Khamsah): tauhid, keadilan Ilahi (al-Adalah), janji dan ancaman Allah (al-Wa'd wa al-Wa'id), posisi di antara dua tempat (al-Manzilah Bayn al-Manzilatayn), dan perintah kepada yang baik serta pencegahan dari yang buruk (al-Amr bil Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar)5.

Pada masa ini pula, filsafat Yunani mulai memengaruhi diskursus teologi Islam. Tokoh-tokoh seperti Al-Kindi dan Al-Farabi menggunakan pendekatan filsafat dalam menjelaskan akidah Islam, meskipun ini sering kali menimbulkan perdebatan dengan ulama tradisionalis6. Tokoh seperti Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi kemudian muncul sebagai respon terhadap pandangan Mutazilah, menawarkan pendekatan teologi yang lebih moderat7.

2.4.       Masa Klasik dan Modern

Pada masa klasik, dua aliran utama Ilmu Kalam, yaitu Asy'ariyah dan Maturidiyah, mendominasi diskursus teologi Islam. Aliran Asy'ariyah, yang didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari, menekankan penggunaan argumen rasional dalam menjelaskan akidah tetapi tetap berpegang pada teks-teks syariat. Sementara itu, Maturidiyah, yang didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi, memberikan penekanan lebih besar pada rasionalitas dalam memahami konsep keimanan8.

Di era modern, Ilmu Kalam menghadapi tantangan baru dari ideologi-ideologi seperti sekularisme, atheisme, dan pluralisme agama. Pemikir seperti Muhammad Abduh dan Fazlur Rahman mencoba mereformulasi Ilmu Kalam agar lebih relevan dengan perkembangan zaman. Pendekatan ini mencakup upaya untuk menyelaraskan doktrin-doktrin Islam dengan ilmu pengetahuan modern9.


Catatan Kaki

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 12.

[2]                Abdul Karim al-Syaibani, Tarikh al-Fikr al-Islami (Beirut: Dar al-Nahdah, 1982), hlm. 35.

[3]                Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), hlm. 128.

[4]                Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), hlm. 198.

[5]                Abu al-Husayn al-Khayyat, Kitab al-Intishar (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1957), hlm. 56.

[6]                George F. Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics of Abd al-Jabbar (Oxford: Clarendon Press, 1971), hlm. 34.

[7]                William Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), hlm. 78.

[8]                Abu Mansur al-Baghdadi, Usul al-Din (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1981), hlm. 112.

[9]                Fathullah Jamil, Pemikiran Kalam dan Relevansinya di Era Modern (Bandung: Mizan, 2010), hlm. 98.


3.           Konsep Dasar dan Tema Sentral Ilmu Kalam

3.1.        Tauhid (Keimanan kepada Allah)

Tauhid adalah inti dari Ilmu Kalam dan merupakan landasan utama dalam seluruh diskusi teologiIslam. Tauhid merujuk pada keesaan Allah, baik dalam Zat, sifat, maupun perbuatan-Nya (tawhid al-dzat, al-sifat, wa al-af’al). Ilmu Kalam membahas konsep ini secara mendalam untuk melawan berbagai bentuk penyimpangan, seperti syirik atau antropomorfisme dalam memahami sifat-sifat Allah. Kaum Mutazilah, misalnya, menekankan bahwa Allah tidak memiliki sifat yang terpisah dari Zat-Nya, guna menjaga keesaan-Nya secara mutlak1. Di sisi lain, Asy’ariyah menegaskan bahwa sifat-sifat Allah adalah nyata, tetapi tetap tidak menyerupai makhluk-Nya, sesuai dengan firman Allah:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS. Asy-Syura [42] ayat 11)2.

3.2.        Al-Qadha wa Al-Qadar (Takdir dan Kebebasan Manusia)

Salah satu tema sentral dalam Ilmu Kalam adalah perdebatan tentang takdir dan kebebasan manusia. Isu ini menjadi titik utama perbedaan antara beberapa aliran. Jabariyah berpendapat bahwa manusia sepenuhnya terikat oleh kehendak Allah, tanpa memiliki kebebasan. Sebaliknya, Mutazilah menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh untuk menentukan perbuatannya, karena mereka bertanggung jawab atas amal mereka di hari kiamat3.

Pendekatan Asy’ariyah memoderasi perdebatan ini dengan konsep kasb (usaha), yang menyatakan bahwa perbuatan manusia adalah hasil dari usaha mereka, tetapi diciptakan oleh Allah4. Konsep ini mencerminkan harmoni antara kebebasan manusia dan kehendak Allah sebagai pencipta segala sesuatu.

3.3.        Al-Adalah (Keadilan Allah)

Keadilan Ilahi adalah konsep sentral lainnya dalam Ilmu Kalam, yang dibahas secara mendalam oleh kelompok Mutazilah. Mereka menekankan bahwa Allah adalah Maha Adil (al-Adl) dan tidak mungkin berbuat zalim terhadap hamba-Nya. Oleh karena itu, segala perbuatan buruk berasal dari kehendak manusia, bukan dari Allah5. Sebaliknya, Asy’ariyah berpendapat bahwa keadilan Allah tidak dapat diukur dengan standar manusia; apa pun yang dilakukan Allah adalah adil karena Allah adalah pemilik absolut hukum dan aturan6.

3.4.        Masalah Kenabian

Ilmu Kalam juga membahas konsep kenabian sebagai sarana penyampaian wahyu. Para nabi diutus oleh Allah untuk memberikan bimbingan kepada manusia dan menjadi teladan moral. Dalam diskusi teologis, para ulama Ilmu Kalam mengemukakan bukti rasional tentang perlunya kenabian. Misalnya, Mutazilah berargumen bahwa akal manusia, meskipun sangat penting, memiliki keterbatasan dalam memahami hal-hal ghaib, sehingga diperlukan wahyu untuk melengkapinya7.

3.5.        Eschatology (Hari Akhir)

Diskusi tentang hari akhir mencakup konsep surga, neraka, dan keadilan Allah di hari pembalasan. Kelompok Murji’ah, misalnya, menekankan bahwa dosa besar tidak secara otomatis menjadikan seseorang kafir, karena penentuan nasib akhir seseorang sepenuhnya berada di tangan Allah8. Pendekatan ini menunjukkan perhatian Ilmu Kalam terhadap aspek keadilan dan belas kasih Allah dalam konteks kehidupan akhirat.


Catatan Kaki

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 20.

[2]                Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah (Cairo: Dar al-Turath, 1985), hlm. 11.

[3]                Abdul Karim al-Syaibani, Tarikh al-Fikr al-Islami (Beirut: Dar al-Nahdah, 1982), hlm. 47.

[4]                Al-Baqillani, Kitab al-Tamhid (Cairo: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1994), hlm. 122.

[5]                George F. Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics of Abd al-Jabbar (Oxford: Clarendon Press, 1971), hlm. 78.

[6]                William Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), hlm. 56.

[7]                Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), hlm. 131.

[8]                Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), hlm. 210.


4.           Tokoh-Tokoh Utama Ilmu Kalam

4.1.       Hasan al-Basri (642–728 M)

Hasan al-Basri adalah seorang ulama besar pada masa awal Islam yang sering dianggap sebagai salah satu perintis diskusi teologis dalam Islam. Beliau dikenal sebagai seorang zahid (asketis) dan faqih yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan Ilmu Kalam, terutama dalam isu-isu terkait takdir (qadha dan qadar). Hasan al-Basri dikaitkan dengan munculnya aliran Qadariyah, meskipun beberapa sumber menegaskan bahwa ia tidak secara langsung mendukung paham kebebasan mutlak manusia dalam perbuatan1. Pemikirannya mengenai hubungan antara kehendak Allah dan tanggung jawab manusia menjadi inspirasi bagi generasi setelahnya.

4.2.       Wasil bin ‘Atha’ (700–748 M)

Wasil bin ‘Atha’ adalah pendiri aliran Mutazilah, yang dianggap sebagai salah satu aliran teologis terpenting dalam Islam. Ia terkenal karena pernyataannya tentang posisi orang yang berdosa besar (manzilah bayn al-manzilatayn), yaitu bahwa orang tersebut berada di antara status kafir dan mukmin. Wasil juga menekankan lima prinsip dasar (al-Ushul al-Khamsah) yang menjadi fondasi Mutazilah: tauhid, keadilan Ilahi, janji dan ancaman Allah, posisi di antara dua tempat, serta amar ma'ruf nahi mungkar2. Pemikiran Wasil secara mendalam didokumentasikan oleh murid-muridnya dan menjadi basis perkembangan Mutazilah sebagai disiplin Ilmu Kalam yang sistematis.

4.3.       Abu al-Hasan al-Asy’ari (874–936 M)

Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah pendiri aliran Asy’ariyah, yang merupakan salah satu aliran utama dalam Ilmu Kalam Sunni. Al-Asy’ari sebelumnya adalah pengikut Mutazilah, tetapi ia kemudian meninggalkan aliran tersebut dan mengembangkan pendekatan yang lebih moderat terhadap isu-isu teologis. Salah satu kontribusinya adalah konsep kasb (usaha), yang menjelaskan hubungan antara kehendak Allah dan kebebasan manusia3. Karya-karya utamanya seperti al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah dan Maqalat al-Islamiyyin menjadi rujukan utama dalam teologi Islam4.

4.4.       Abu Mansur al-Maturidi (853–944 M)

Abu Mansur al-Maturidi adalah pendiri aliran Maturidiyah, yang menjadi aliran utama Ilmu Kalam di wilayah Asia Tengah. Pendekatan al-Maturidi terhadap Ilmu Kalam lebih filosofis dibandingkan dengan Asy’ariyah, terutama dalam pembahasan tentang akal dan wahyu. Ia berpendapat bahwa akal dapat memahami sebagian besar kebenaran agama tanpa wahyu, meskipun wahyu tetap diperlukan untuk melengkapi keterbatasan akal5. Karya utamanya, Kitab al-Tawhid, menjadi rujukan penting dalam memahami pandangan Maturidiyah tentang akidah.

4.5.       Ibn Taymiyyah (1263–1328 M)

Ibn Taymiyyah adalah seorang ulama yang sering memberikan kritik terhadap Ilmu Kalam, terutama terhadap pendekatan rasional yang dianggapnya terlalu spekulatif. Ia menekankan pentingnya kembali kepada Al-Qur'an dan hadits sebagai dasar utama dalam memahami akidah. Dalam pandangannya, Ilmu Kalam sering kali menyimpang dari ajaran Islam yang murni karena terlalu banyak terpengaruh oleh filsafat Yunani6. Meski demikian, kritik Ibn Taymiyyah memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan teologi Islam, terutama di kalangan salafi.


Catatan Kaki

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 25.

[2]                Abdul Karim al-Syaibani, Tarikh al-Fikr al-Islami (Beirut: Dar al-Nahdah, 1982), hlm. 51.

[3]                William Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), hlm. 85.

[4]                Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah (Cairo: Dar al-Turath, 1985), hlm. 14.

[5]                Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), hlm. 33.

[6]                Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta'arud al-Aql wa al-Naql (Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University, 1979), hlm. 12.


5.           Aliran-Aliran dalam Ilmu Kalam

5.1.       Mutazilah

Mutazilah adalah salah satu aliran teologis yang paling berpengaruh dalam sejarah Ilmu Kalam. Aliran ini muncul pada abad ke-8 M dengan tokoh utamanya Wasil bin ‘Atha’. Mutazilah dikenal dengan doktrin rasional dan lima prinsip dasar yang disebut al-Ushul al-Khamsah1:

1)                  Tauhid:

Mutazilah menekankan keesaan Allah secara mutlak, sehingga menolak gagasan sifat Allah yang berbeda dari Zat-Nya.

2)                  Al-Adalah (Keadilan Allah):

Allah tidak mungkin berbuat zalim, sehingga manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas amal perbuatannya.

3)                  Al-Wa'd wa al-Wa'id (Janji dan Ancaman Allah):

Janji Allah berupa pahala bagi yang taat dan ancaman bagi yang bermaksiat adalah pasti.

4)                  Al-Manzilah Bayn al-Manzilatayn (Posisi di Antara Dua Tempat):

Orang berdosa besar berada di antara status kafir dan mukmin.

5)                  Amar Ma'ruf Nahi Munkar:

Kewajiban setiap Muslim untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Mutazilah sering dikritik oleh aliran lain, terutama Asy’ariyah, karena dianggap terlalu rasional dan mengabaikan aspek literal teks syariat2.

5.2.       Asy’ariyah

Asy’ariyah didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari pada abad ke-10 M sebagai respon terhadap Mutazilah. Aliran ini mencoba memoderasi pendekatan antara rasionalitas dan tekstualisme. Asy’ariyah menekankan pentingnya keimanan terhadap sifat-sifat Allah, tetapi menolak penafsiran antropomorfis. Dalam isu takdir, Asy’ariyah memperkenalkan konsep kasb (usaha manusia) untuk menjelaskan bahwa manusia memiliki kebebasan berusaha, tetapi Allah tetap menjadi pencipta perbuatannya3.

Karya utama al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, mendokumentasikan berbagai pandangan teologis di masa itu dan menjadi referensi penting dalam Ilmu Kalam Sunni4.

5.3.       Maturidiyah

Didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi, aliran Maturidiyah berkembang di Asia Tengah dan menjadi salah satu aliran Sunni utama. Maturidiyah memberikan peran lebih besar kepada akal dalam memahami agama dibandingkan Asy’ariyah. Aliran ini menegaskan bahwa akal manusia dapat memahami sebagian besar prinsip keimanan tanpa wahyu, meskipun wahyu tetap diperlukan untuk menjelaskan hal-hal ghaib. Dalam isu takdir, Maturidiyah menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih, tetapi Allah mengetahui dan menciptakan konsekuensi dari pilihan tersebut5.

Karya al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, menjadi salah satu referensi utama dalam memahami pemikiran aliran ini6.

5.4.       Jabariyah

Jabariyah adalah aliran yang menekankan determinisme, yaitu keyakinan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan dalam perbuatannya karena semua telah ditentukan oleh Allah. Aliran ini didirikan oleh Jahm bin Safwan dan mendapat kritik luas karena dianggap menghilangkan tanggung jawab moral manusia. Jabariyah mendasarkan pandangannya pada ayat Al-Qur'an yang menegaskan bahwa Allah adalah penguasa mutlak atas segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia7.

5.5.       Murji’ah

Murji’ah muncul pada masa awal Islam sebagai reaksi terhadap konflik politik dan teologis, seperti perdebatan tentang status orang yang berdosa besar. Aliran ini berpendapat bahwa iman seseorang tidak dapat diukur oleh amalnya, sehingga dosa besar tidak secara otomatis mengeluarkan seseorang dari keimanan. Murji’ah menekankan pentingnya menyerahkan penilaian akhir kepada Allah8. Pendekatan ini memberikan ruang untuk toleransi dan menghindari penghakiman terhadap sesama Muslim.

5.6.       Syiah dan Perspektif Kalam

Teologi Syiah memiliki kontribusi yang signifikan dalam Ilmu Kalam, terutama dalam diskusi tentang imamah (kepemimpinan). Syiah Itsna Asyariyah (Imamiyah) menekankan bahwa imamah adalah prinsip agama yang ditetapkan oleh Allah, sehingga para imam adalah maksum (terbebas dari dosa) dan memiliki otoritas ilahi. Diskusi Syiah tentang keadilan Ilahi (al-Adalah) juga selaras dengan pendekatan Mutazilah dalam beberapa aspek9.


Catatan Kaki

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 18–21.

[2]                William Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), hlm. 75.

[3]                Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah (Cairo: Dar al-Turath, 1985), hlm. 45.

[4]                Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyah, 1963), hlm. 12.

[5]                Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), hlm. 33–35.

[6]                Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), hlm. 218.

[7]                Abdul Karim al-Syaibani, Tarikh al-Fikr al-Islami (Beirut: Dar al-Nahdah, 1982), hlm. 40.

[8]                Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), hlm. 112.

[9]                Allama Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1983), hlm. 14.


6.           Metodologi Ilmu Kalam

6.1.       Pendekatan Rasional

Salah satu karakteristik utama Ilmu Kalam adalah penggunaan akal (al-‘aql) sebagai alat untuk memahami dan menjelaskan doktrin agama. Metodologi ini berkembang terutama di kalangan Mutazilah, yang menganggap akal sebagai otoritas utama dalam menyelesaikan persoalan teologis. Mereka percaya bahwa banyak aspek ajaran agama, seperti sifat-sifat Allah dan keadilan Ilahi, dapat dijelaskan secara logis tanpa bergantung sepenuhnya pada teks agama1. Pendekatan rasional ini memungkinkan Ilmu Kalam untuk beradaptasi dengan tantangan intelektual yang berasal dari filsafat Yunani dan ideologi lain pada masa itu2.

Namun, pendekatan rasional juga mendapat kritik dari aliran Asy’ariyah, yang menekankan pentingnya menggabungkan akal dengan teks wahyu. Abu al-Hasan al-Asy’ari menyatakan bahwa akal hanya dapat berfungsi sebagai pendukung dalam memahami wahyu, bukan sebagai otoritas independen3. Pandangan ini menciptakan keseimbangan antara pendekatan rasional dan tekstual dalam metodologi Ilmu Kalam.

6.2.       Pendekatan Tekstual

Pendekatan tekstual (al-naql) menekankan pentingnya menggunakan Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber utama dalam diskusi teologi. Pendekatan ini lebih banyak digunakan oleh kelompok tradisionalis seperti Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berafiliasi dengan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. Mereka percaya bahwa teks wahyu memiliki otoritas mutlak dalam menjelaskan persoalan akidah, terutama yang berkaitan dengan hal-hal ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia4.

Sebagai contoh, dalam diskusi tentang sifat-sifat Allah, Asy’ariyah dan Maturidiyah cenderung mempertahankan makna literal teks sambil menegaskan bahwa sifat-sifat tersebut tidak menyerupai makhluk-Nya. Mereka merujuk pada ayat Al-Qur’an:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS. Asy-Syura [42] ayat 11)5.

6.3.       Integrasi Akal dan Wahyu

Pendekatan integratif antara akal dan wahyu menjadi ciri khas Ilmu Kalam. Aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah adalah contoh utama pendekatan ini. Mereka percaya bahwa akal manusia memiliki kemampuan untuk memahami beberapa aspek akidah, tetapi wahyu tetap menjadi otoritas tertinggi dalam menjelaskan doktrin-doktrin agama yang tidak dapat dijangkau oleh logika manusia6.

Sebagai contoh, dalam diskusi tentang kebebasan manusia dan takdir Allah, pendekatan ini mencoba menjelaskan hubungan antara kehendak Allah yang mutlak dengan tanggung jawab manusia. Konsep kasb yang dikembangkan oleh al-Asy’ari menunjukkan bahwa manusia memiliki usaha (kasb) dalam tindakannya, tetapi penciptaan perbuatan tetap di tangan Allah. Pendekatan ini mencerminkan harmonisasi antara akal dan wahyu dalam menyelesaikan persoalan teologis7.

6.4.       Dialog dengan Filsafat

Pada masa Dinasti Abbasiyah, Ilmu Kalam mulai berdialog dengan filsafat Yunani melalui penerjemahan karya-karya Aristoteles, Plato, dan Neo-Platonisme. Tokoh-tokoh seperti Al-Farabi dan Ibn Sina memadukan konsep-konsep filsafat dengan diskusi teologis. Dialog ini mendorong pengembangan argumen-argumen teologis yang lebih kompleks, seperti bukti rasional tentang keberadaan Allah dan sifat-sifat-Nya8.

Namun, pendekatan ini juga menimbulkan kontroversi. Tokoh seperti Ibn Taymiyyah mengkritik penggunaan filsafat dalam Ilmu Kalam karena dianggap membawa pemikiran spekulatif yang menyimpang dari ajaran Al-Qur’an dan hadis9.

6.5.       Respon terhadap Tantangan Modern

Di era modern, metodologi Ilmu Kalam mengalami perkembangan untuk menjawab tantangan baru seperti sekularisme, atheisme, dan pluralisme agama. Pemikir seperti Muhammad Abduh dan Fazlur Rahman mencoba mereformulasi Ilmu Kalam dengan menggunakan pendekatan yang lebih kontekstual, yang mencakup dialog dengan ilmu pengetahuan modern10. Mereka menekankan bahwa Ilmu Kalam harus relevan dengan realitas sosial dan intelektual umat Islam pada zamannya, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar akidah.


Catatan Kaki

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 22–25.

[2]                George F. Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics of Abd al-Jabbar (Oxford: Clarendon Press, 1971), hlm. 34.

[3]                Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah (Cairo: Dar al-Turath, 1985), hlm. 17.

[4]                Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta'arud al-Aql wa al-Naql (Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University, 1979), hlm. 15.

[5]                Al-Qur’an, Asy-Syura [42]: 11.

[6]                Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), hlm. 44.

[7]                Al-Baqillani, Kitab al-Tamhid (Cairo: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1994), hlm. 87.

[8]                Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), hlm. 122.

[9]                William Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), hlm. 92.

[10]             Fathullah Jamil, Pemikiran Kalam dan Relevansinya di Era Modern (Bandung: Mizan, 2010), hlm. 78.


7.           Kritik dan Tantangan Ilmu Kalam

7.1.       Kritik terhadap Ilmu Kalam

Ilmu Kalam, meskipun menjadi pilar utama dalam diskursus teologi Islam, tidak lepas dari kritik. Kritik ini datang dari berbagai pihak, baik dari internal umat Islam maupun pengaruh eksternal.

7.1.1.    Kritik dari Kelompok Tradisionalis

Kelompok tradisionalis seperti Ahlul Hadits dan sebagian ulama salaf mengkritik Ilmu Kalam karena dianggap terlalu bergantung pada logika dan filsafat, sehingga menyimpang dari ajaran murni Al-Qur’an dan hadis. Ibn Taymiyyah, misalnya, menegaskan bahwa Ilmu Kalam sering kali membawa umat Islam ke dalam perdebatan yang tidak produktif dan menjauhkan mereka dari inti ajaran Islam1. Dalam karyanya, Dar’ Ta’arud al-Aql wa al-Naql, ia menyatakan bahwa pendekatan spekulatif dalam Ilmu Kalam berisiko melemahkan keyakinan umat terhadap teks-teks syariat2.

7.1.2.    Kritik dari Kelompok Filosof

Sebagian filosof Islam, seperti Ibn Rushd, juga memberikan kritik terhadap Ilmu Kalam. Menurutnya, Ilmu Kalam cenderung tidak konsisten dalam menggunakan logika, karena sering kali menggabungkan argumen rasional dengan dogma agama tanpa pembuktian yang jelas3. Dalam karyanya, Tahafut al-Tahafut, Ibn Rushd menyoroti ketergantungan kalam pada asumsi-asumsi tertentu yang tidak dapat diverifikasi oleh akal murni.

7.1.3.    Kritik dari Pemikir Modern

Beberapa pemikir modern seperti Fazlur Rahman dan Muhammad Abduh mengkritik Ilmu Kalam tradisional karena dianggap terlalu fokus pada persoalan metafisik yang tidak relevan dengan tantangan kontemporer. Mereka berpendapat bahwa Ilmu Kalam perlu mengalami reformulasi agar lebih kontekstual dengan realitas sosial dan politik umat Islam saat ini4.

7.2.       Tantangan Ilmu Kalam

Seiring dengan perkembangan zaman, Ilmu Kalam dihadapkan pada tantangan baru yang lebih kompleks, baik dari dalam maupun luar umat Islam.

7.2.1.    Tantangan Sekularisme

Di era modern, sekularisme menjadi salah satu tantangan terbesar bagi Ilmu Kalam. Sekularisme memisahkan agama dari kehidupan publik, sehingga ajaran-ajaran agama, termasuk doktrin-doktrin teologis, dianggap tidak relevan dalam konteks masyarakat modern. Tantangan ini menuntut Ilmu Kalam untuk mampu menjawab kritik-kritik sekularisme tanpa kehilangan esensi akidah Islam5.

7.2.2.    Tantangan Ateisme

Ateisme, yang semakin berkembang di dunia modern, juga menjadi tantangan bagi Ilmu Kalam. Ateisme mempersoalkan keberadaan Tuhan dengan argumen-argumen rasional yang sering kali berbasis pada ilmu pengetahuan modern. Ilmu Kalam perlu menyusun argumen teologis yang berbasis rasionalitas dan relevansi ilmiah untuk menghadapi tantangan ini6.

7.2.3.    Tantangan Pluralisme Agama

Pluralisme agama, yang menekankan bahwa semua agama memiliki kebenaran yang setara, juga menjadi tantangan serius bagi Ilmu Kalam. Pluralisme ini sering kali dipandang bertentangan dengan doktrin keesaan Islam yang menegaskan bahwa hanya Islam adalah agama yang benar di sisi Allah (QS. Ali Imran [3] ayat 19). Ilmu Kalam perlu memberikan penjelasan teologis yang mampu mengakomodasi keberagaman sambil mempertahankan eksklusivitas ajaran Islam7.

7.2.4.    Tantangan Teknologi dan Ilmu Pengetahuan Modern

Kemajuan ilmu pengetahuan modern, seperti teori evolusi dan eksplorasi kosmologi, juga menantang Ilmu Kalam dalam menjelaskan doktrin-doktrin Islam secara ilmiah. Sebagai contoh, diskusi tentang asal-usul manusia memerlukan pendekatan baru yang mampu menjelaskan kisah penciptaan Adam dalam Al-Qur’an tanpa bertentangan dengan temuan ilmiah modern8.

7.3.       Upaya Menghadapi Kritik dan Tantangan

Ilmu Kalam terus beradaptasi untuk menghadapi kritik dan tantangan ini melalui berbagai cara:

1)                  Reformulasi Pendekatan Teologi:

Tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman dan Muhammad Abduh mengadvokasi pendekatan kontekstual yang relevan dengan tantangan zaman.

2)                  Dialog dengan Ilmu Pengetahuan Modern:

Upaya untuk memadukan ajaran agama dengan penemuan ilmiah, seperti yang dilakukan oleh Maurice Bucaille dalam bukunya The Bible, The Qur'an and Science9.

3)                  Pemanfaatan Teknologi Informasi:

Ilmu Kalam modern dapat memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan argumen teologis yang berbasis pada logika dan sains.


Catatan Kaki

[1]                Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud al-Aql wa al-Naql (Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University, 1979), hlm. 10.

[2]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 58.

[3]                Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1971), hlm. 88.

[4]                Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), hlm. 150.

[5]                Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 132.

[6]                William Lane Craig, Reasonable Faith (Wheaton: Crossway Books, 2008), hlm. 75.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam (San Francisco: HarperOne, 2002), hlm. 243.

[8]                Maurice Bucaille, The Bible, The Qur'an and Science (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), hlm. 172.

[9]                Ibid, hlm. 199.


8.           Relevansi Ilmu Kalam di Era Modern

8.1.       Menjawab Tantangan Pemikiran Modern

Di era modern, Ilmu Kalam tetap relevan sebagai alat untuk menghadapi tantangan intelektual kontemporer. Tantangan ini meliputi sekularisme, atheisme, pluralisme agama, dan ideologi global lainnya. Sebagai contoh, Ilmu Kalam dapat memberikan jawaban teologis yang berbasis logika untuk melawan argumen-argumen ateisme, seperti kritik terhadap keberadaan Tuhan atau persoalan kejahatan dan penderitaan di dunia1. Pemikiran para teolog modern seperti Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman telah membantu menjadikan Ilmu Kalam relevan dengan diskursus filsafat modern dan sains kontemporer2.

8.2.       Mengharmoniskan Iman dan Sains

Kemajuan ilmu pengetahuan modern sering kali dipandang sebagai tantangan terhadap ajaran agama. Ilmu Kalam berperan penting dalam mengharmoniskan iman dengan sains. Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa Islam memiliki pandangan dunia yang komprehensif, di mana sains dan agama tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi3. Sebagai contoh, dalam diskusi tentang penciptaan alam semesta, konsep kun fayakun (jadilah, maka jadilah ia) dapat dipahami melalui dialog dengan teori Big Bang, yang mendukung gagasan bahwa alam semesta memiliki awal yang diciptakan4.

8.3.       Menangkal Pengaruh Sekularisme dan Relativisme

Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan publik menjadi salah satu tantangan utama di era modern. Ilmu Kalam dapat memberikan dasar teologis untuk menolak pemisahan ini, dengan menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, dan budaya5. Dalam konteks relativisme moral dan pluralisme agama, Ilmu Kalam dapat memberikan argumen rasional tentang eksklusivitas kebenaran Islam tanpa mengabaikan pentingnya toleransi terhadap agama lain6.

8.4.       Sebagai Instrumen Dakwah

Di era modern, Ilmu Kalam juga berperan sebagai instrumen dakwah yang efektif. Pendekatan rasional yang digunakan dalam Ilmu Kalam dapat menarik perhatian generasi muda yang hidup dalam masyarakat modern yang cenderung lebih kritis dan rasional. Misalnya, tokoh seperti Zakir Naik menggunakan argumen-argumen Kalam untuk menjelaskan kebenaran Islam kepada audiens global7.

8.5.       Mengatasi Krisis Identitas Umat Islam

Di tengah arus globalisasi, umat Islam menghadapi krisis identitas yang disebabkan oleh pengaruh budaya asing dan hilangnya pemahaman mendalam tentang ajaran Islam. Ilmu Kalam dapat membantu umat Islam memahami keyakinan mereka secara lebih mendalam dan logis, sehingga mereka mampu menghadapi tantangan modern tanpa kehilangan jati diri sebagai Muslim8.

8.6.       Menyelesaikan Konflik Teologis dan Sosial

Ilmu Kalam dapat menjadi alat untuk menyelesaikan konflik teologis dan sosial di antara berbagai kelompok umat Islam. Dengan pendekatan rasional dan dialogis, Ilmu Kalam dapat menjembatani perbedaan pandangan teologis antara kelompok-kelompok seperti Sunni, Syiah, dan lainnya. Selain itu, Ilmu Kalam juga dapat digunakan untuk menjawab isu-isu sosial kontemporer, seperti keadilan gender dan hak asasi manusia, dari perspektif Islam yang berlandaskan akidah9.

8.7.       Kontribusi terhadap Isu Global

Ilmu Kalam juga memiliki relevansi dalam isu-isu global, seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, dan konflik internasional. Prinsip-prinsip teologis seperti tauhid dan keadilan Ilahi dapat digunakan untuk membangun kerangka etika global yang mendorong keseimbangan antara manusia dan alam serta keadilan sosial yang universal10.


Catatan Kaki

[1]                William Lane Craig, Reasonable Faith (Wheaton: Crossway Books, 2008), hlm. 102.

[2]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 132.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), hlm. 88.

[4]                Maurice Bucaille, The Bible, The Qur'an and Science (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), hlm. 174.

[5]                Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 122.

[6]                John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), hlm. 75.

[7]                Zakir Naik, The Concept of God in Major Religions (Mumbai: Islamic Research Foundation, 2001), hlm. 22.

[8]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Delhi: Oxford University Press, 1930), hlm. 87.

[9]                Tariq Ramadan, Islam and the Arab Awakening (Oxford: Oxford University Press, 2012), hlm. 114.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: HarperOne, 2004), hlm. 223.


9.           Penutup

Ilmu Kalam merupakan salah satu cabang ilmu keislaman yang memiliki peran sentral dalam mempertahankan keimanan umat Islam melalui pendekatan rasional dan argumentatif. Sebagai ilmu yang membahas persoalan akidah, Ilmu Kalam tidak hanya bertujuan untuk memberikan dasar teologi yang kokoh, tetapi juga untuk menjawab tantangan intelektual yang muncul di setiap zaman. Dari sejarahnya, Ilmu Kalam telah membuktikan kemampuannya dalam menghadapi berbagai persoalan, baik yang muncul dari internal umat Islam, seperti perbedaan teologis, maupun dari eksternal, seperti pengaruh filsafat Yunani, sekularisme, dan atheisme1.

Relevansi Ilmu Kalam di era modern semakin signifikan. Kemajuan ilmu pengetahuan, globalisasi, dan dinamika sosial memunculkan berbagai tantangan baru yang memerlukan pendekatan teologi Islam yang fleksibel dan relevan. Pemikir modern seperti Fazlur Rahman, Muhammad Abduh, dan Seyyed Hossein Nasr telah menunjukkan bagaimana Ilmu Kalam dapat direformulasi untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer, seperti hubungan antara agama dan sains, isu pluralisme agama, dan krisis identitas umat Islam2.

Selain itu, Ilmu Kalam juga memiliki kontribusi penting dalam mengatasi konflik internal di antara umat Islam. Dengan pendekatan rasional dan dialogis, Ilmu Kalam dapat menjadi jembatan untuk menyelesaikan perbedaan pandangan teologis di antara berbagai kelompok, seperti Sunni dan Syiah. Ini sejalan dengan tujuan utama Ilmu Kalam, yaitu menjaga kesatuan umat melalui pemahaman akidah yang mendalam dan inklusif3.

Dalam menghadapi tantangan modern, Ilmu Kalam harus terus dikembangkan. Reformasi metodologi, dialog dengan ilmu pengetahuan modern, dan penguatan literasi teologi di kalangan umat Islam adalah langkah-langkah penting yang perlu diambil. Dengan demikian, Ilmu Kalam tidak hanya akan menjadi warisan intelektual masa lalu, tetapi juga alat yang relevan untuk membangun peradaban Islam yang harmonis, kuat, dan berdaya saing di tingkat global4.

Sebagai penutup, Ilmu Kalam adalah pilar penting dalam membangun pemikiran Islam yang kokoh dan dinamis. Ilmu ini tidak hanya memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan klasik dalam akidah, tetapi juga menawarkan solusi terhadap tantangan modern yang dihadapi umat Islam. Oleh karena itu, studi tentang Ilmu Kalam harus terus digalakkan, dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip Al-Qur’an dan hadis, serta didukung oleh pendekatan rasional yang kontekstual5.


Catatan Kaki

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 15–20.

[2]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 105.

[3]                Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyah, 1963), hlm. 12.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: HarperOne, 2004), hlm. 210.

[5]                Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 122.


Daftar Pustaka

Asy’ari, A. al-H. (1985). Al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah. Cairo: Dar al-Turath.

Asy’ari, A. al-H. (1963). Maqalat al-Islamiyyin. Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyah.

Bucaille, M. (1978). The Bible, the Qur'an, and Science. Indianapolis: American Trust Publications.

Craig, W. L. (2008). Reasonable Faith. Wheaton: Crossway Books.

Fazlur Rahman. (1979). Islam. Chicago: University of Chicago Press.

Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Hick, J. (1989). An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent. New Haven: Yale University Press.

Ibn Khaldun. (1990). Muqaddimah. Beirut: Dar al-Fikr.

Ibn Rushd. (1971). Tahafut al-Tahafut. Beirut: Dar al-Ma’arif.

Ibn Taymiyyah. (1979). Dar’ Ta’arud al-Aql wa al-Naql. Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University.

Iqbal, M. (1930). The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Delhi: Oxford University Press.

Madjid, N. (2008). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Nasution, H. (1986). Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.

Nasr, S. H. (1968). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (2004). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. San Francisco: HarperOne.

Ramadan, T. (2012). Islam and the Arab Awakening. Oxford: Oxford University Press.

Seyyed Hossein Nasr. (2002). The Heart of Islam. San Francisco: HarperOne.

Zakir Naik. (2001). The Concept of God in Major Religions. Mumbai: Islamic Research Foundation.


Lampiran 1: Konsep Dasar dan Tema Sentral Ilmu Kalam


1.            Tauhid (Keesaan Allah)

·                     Pengesaan Allah dalam Zat, sifat, dan perbuatan-Nya.

·                     Penolakan terhadap segala bentuk syirik atau penyamaan Allah dengan makhluk-Nya.

·                     Diskusi tentang sifat-sifat Allah:

(#) Apakah sifat Allah inheren dalam Zat-Nya (Mutazilah).

(#) Sifat Allah sebagai bagian yang nyata tetapi tidak menyerupai makhluk (Asy’ariyah).

2.            Al-Qadha wa Al-Qadar (Takdir dan Kebebasan Manusia)

·                     Hubungan antara kehendak Allah dan kebebasan manusia.

·                     Pandangan utama:

(#) Jabariyah: Manusia tidak memiliki kebebasan; semua telah ditentukan oleh Allah.

(#) Mutazilah: Manusia memiliki kebebasan penuh atas amal perbuatannya.

(#) Asy’ariyah: Manusia memiliki usaha (kasb), tetapi penciptaan perbuatannya tetap di tangan Allah.

3.            Al-Adalah (Keadilan Allah)

·                     Allah tidak berbuat zalim terhadap makhluk-Nya.

·                     Keadilan Ilahi dalam memberi pahala dan siksa berdasarkan amal manusia.

·                     Penekanan oleh Mutazilah bahwa kejahatan bukan berasal dari Allah, tetapi dari pilihan manusia.

4.            Masalah Kenabian

·                     Kenabian sebagai sarana penyampaian wahyu.

·                     Sifat-sifat para nabi, seperti maksum (terbebas dari dosa) dan keutamaan mereka di atas manusia biasa.

·                     Bukti rasional tentang perlunya kenabian:

(#) Akal manusia tidak mampu menjangkau seluruh kebenaran tanpa bantuan wahyu.

5.            Eschatology (Akhirat dan Hari Pembalasan)

·                     Pembahasan tentang surga, neraka, dan hari kiamat.

·                     Penjelasan tentang keadilan Allah dalam memberikan balasan amal.

·                     Diskusi tentang status orang yang berdosa besar (iman dan amal).

6.            Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Memerintahkan Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran)

·                     Kewajiban kolektif umat Islam untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.

·                     Implikasi teologis dan sosialnya dalam membangun masyarakat yang Islami.

7.            Status Iman dan Amal

·                     Hubungan antara iman dan amal:

(#) Murji’ah: Amal tidak memengaruhi status keimanan; penilaian akhir diserahkan kepada Allah.

(#) Khawarij: Dosa besar mengeluarkan seseorang dari Islam.

(#) Asy’ariyah: Amal memengaruhi kesempurnaan iman tetapi tidak menghapus keimanan dasar.

8.            Sifat-Sifat Allah

·                     Sifat-sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah.

·                     Perdebatan tentang sifat-sifat Allah (apakah sifat-sifat tersebut bagian dari Zat Allah atau terpisah).

9.            Keberadaan Allah

·                     Argumen rasional tentang keberadaan Allah, seperti:

(#) Argumen kosmologis: Segala sesuatu yang ada memiliki sebab, dan sebab pertama adalah Allah.

(#) Argumen teleologis: Keindahan dan keteraturan alam menunjukkan adanya Pencipta.

10.         Hubungan Akal dan Wahyu

·                     Diskusi tentang otoritas akal dalam memahami agama:

(#) Mutazilah: Akal memiliki peran utama.

(#) Asy’ariyah: Wahyu lebih tinggi daripada akal; akal hanya mendukung wahyu.


Lampiran 2: Aliran-Aliran dalam Ilmu Kalam


1.            Jabariyah (Abad ke-7 M)

·                     Pendiri: Jahm bin Safwan.

·                     Tahun Eksistensi: Abad ke-7 M (akhir Dinasti Umayyah).

·                     Karakteristik:

(#) Menekankan determinisme absolut; semua perbuatan manusia telah ditentukan oleh Allah.

(#) Manusia tidak memiliki kebebasan dalam bertindak, hanya sebagai pelaku tanpa kehendak.

(#) Mendapat kritik karena dianggap meniadakan tanggung jawab moral manusia.

2.            Qadariyah (Abad ke-7 M)

·                     Pendiri: Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi.

·                     Tahun Eksistensi: Abad ke-7 M (masa Umayyah awal).

·                     Karakteristik:

(#) Menekankan kebebasan manusia secara penuh dalam menentukan amal perbuatannya.

(#) Berlawanan dengan Jabariyah, menyatakan bahwa manusia bertanggung jawab atas semua tindakannya.

(#) Mengedepankan keadilan Allah yang tidak menzalimi manusia.

3.            Murji’ah (Abad ke-7 M)

·                     Pendiri: Tidak ada tokoh spesifik; berkembang sebagai gerakan kolektif.

·                     Tahun Eksistensi: Abad ke-7 M.

·                     Karakteristik:

(#) Menyerahkan penilaian atas orang yang berdosa besar kepada Allah.

(#) Memisahkan iman dari amal; amal tidak memengaruhi status keimanan.

(#) Memberikan toleransi yang luas terhadap umat Islam, termasuk dalam perbedaan politik.

4.            Khawarij (Abad ke-7 M)

·                     Pendiri: Tidak ada tokoh spesifik; muncul sebagai gerakan politik-teologis.

·                     Tahun Eksistensi: Abad ke-7 M.

·                     Karakteristik:

(#) Menganggap dosa besar sebagai tindakan kekafiran.

(#) Memiliki pandangan teologis yang ekstrem dan tidak kompromistis.

(#) Sering berperan dalam konflik politik dan militer.

5.            Mutazilah (Abad ke-8 M)

·                     Pendiri: Wasil bin ‘Atha’.

·                     Tahun Eksistensi: Abad ke-8 M (Dinasti Abbasiyah awal).

·                     Karakteristik:

(#) Mengedepankan rasionalitas dan lima prinsip utama (al-Ushul al-Khamsah):

§   Tauhid.

§   Keadilan Ilahi (al-Adalah).

§   Janji dan ancaman Allah (al-Wa’d wa al-Wa’id).

§   Posisi di antara dua tempat (al-Manzilah bayn al-Manzilatayn).

§   Amar ma’ruf nahi munkar.

(#) Berpengaruh besar dalam perkembangan intelektual Islam tetapi kemudian mengalami penurunan pengaruh.

6.            Asy’ariyah (Abad ke-10 M)

·                     Pendiri: Abu al-Hasan al-Asy’ari.

·                     Tahun Eksistensi: Abad ke-10 M hingga sekarang.

·                     Karakteristik:

(#) Memoderasi pandangan antara Mutazilah dan tradisionalis.

(#) Mempertahankan sifat-sifat Allah dengan makna yang sesuai syariat, tanpa menyerupai makhluk.

(#) Mengembangkan konsep kasb untuk menjelaskan hubungan takdir dan usaha manusia.

7.            Maturidiyah (Abad ke-10 M)

·                     Pendiri: Abu Mansur al-Maturidi.

·                     Tahun Eksistensi: Abad ke-10 M hingga sekarang.

·                     Karakteristik:

(#) Memberikan peran lebih besar kepada akal dalam memahami agama dibandingkan Asy’ariyah.

(#) Berakar kuat di Asia Tengah, terutama di kalangan Hanafi.

(#) Menekankan kebebasan manusia yang tetap berada dalam pengetahuan dan kehendak Allah.

8.            Syiah Imamiyah (Itsna Asyariyah) (Abad ke-8 M)

·                     Pendiri: Tidak ada satu tokoh spesifik; berkembang melalui pemikiran para imam Syiah.

·                     Tahun Eksistensi: Abad ke-8 M hingga sekarang.

·                     Karakteristik:

(#) Menekankan konsep imamah sebagai prinsip utama dalam akidah.

(#) Meyakini bahwa para imam adalah maksum (bebas dari dosa) dan memiliki otoritas ilahi.

(#) Menyusun doktrin keadilan Ilahi yang beririsan dengan pandangan Mutazilah.

9.            Salafiyah (Abad ke-13 M)

·                     Pendiri: Ibn Taymiyyah sebagai pengkritik Ilmu Kalam.

·                     Tahun Eksistensi: Abad ke-13 M hingga sekarang.

·                     Karakteristik:

(#) Menolak pendekatan spekulatif dalam Ilmu Kalam.

(#) Mengembalikan diskusi akidah kepada Al-Qur’an dan hadis secara literal.

(#) Mengkritik filsafat Yunani yang dianggap membawa penyimpangan dalam teologi Islam.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar