Ilmu Kalam
Memahami Akidah Islam secara Rasional dengan Argumentasi
Logis
Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam, Ilmu Kalam Sunni, Relasi Antara Pemikiran Aliran-Aliran Ilmu Kalam.
Abstrak
Artikel ini membahas
Ilmu Kalam, cabang teologi Islam yang menggunakan pendekatan rasional untuk
memahami dan mempertahankan akidah Islam. Ilmu ini muncul sebagai respons
terhadap tantangan internal dan eksternal yang dihadapi umat Islam, seperti
perbedaan pandangan teologis dan pengaruh filsafat asing. Tujuan utamanya
adalah memberikan jawaban rasional atas persoalan fundamental dalam akidah,
seperti sifat-sifat Allah dan kebebasan manusia. Ilmu Kalam terus berkembang
untuk menjawab isu-isu kontemporer, menjadikannya pilar penting dalam
harmonisasi antara iman dan rasio.
Kata
kunci: Ilmu Kalam, teologi Islam, akidah, rasionalitas,
sejarah perkembangan, tantangan intelektual, sifat Allah, kebebasan manusia,
isu kontemporer, iman dan rasio.
PEMBAHASAN
Kajian Ilmu Kalam Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Ilmu Kalam adalah salah satu cabang ilmu keislaman
yang memiliki peran signifikan dalam membangun pondasi teologi Islam. Secara
etimologis, istilah "Ilmu Kalam" berasal dari kata Arab kalam
(الكلام) yang berarti "perkataan"
atau "diskusi". Namun, secara terminologis, Ilmu Kalam
didefinisikan sebagai ilmu yang membahas akidah Islam secara rasional dengan
argumentasi logis untuk mempertahankan keimanan dari penyimpangan dan serangan1.
Ilmu ini berfungsi untuk memperkuat keyakinan umat Islam terhadap
doktrin-doktrin agama dengan dasar yang kokoh, baik dari Al-Qur'an, hadits,
maupun pendekatan rasional.
Dalam sejarahnya, Ilmu Kalam muncul sebagai respon
atas tantangan intelektual yang dihadapi umat Islam, baik dari internal maupun
eksternal. Tantangan internal berupa perbedaan pandangan di kalangan umat Islam
tentang berbagai isu teologis seperti takdir, sifat Allah, dan hubungan iman
serta amal2. Sedangkan tantangan eksternal berasal dari kontak
dengan peradaban lain, seperti filsafat Yunani dan agama-agama lain, yang
memperkenalkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang teologi dan metafisika3.
Tujuan utama Ilmu Kalam adalah memberikan jawaban
rasional atas persoalan-persoalan fundamental dalam akidah Islam, seperti
sifat-sifat Allah, takdir, dan kebebasan manusia. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam Al-Qur'an:
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ
مُذَكِّرٌ (9) لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ (10)
"Maka berikanlah peringatan, sesungguhnya
kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. (21) Kamu bukanlah orang yang
berkuasa atas mereka. (22)" (QS. Al-Ghashiyah [88] ayat 21–22).
Ayat ini menjadi landasan untuk menegaskan
pentingnya argumen rasional dalam menyampaikan kebenaran Islam, terutama kepada
mereka yang meragukannya.
Relevansi Ilmu Kalam juga terletak pada
kemampuannya menjawab persoalan-persoalan kontemporer, seperti sekularisme,
pluralisme, dan atheisme. Di era modern, Ilmu Kalam tidak hanya membahas
persoalan akidah klasik, tetapi juga beradaptasi dengan isu-isu baru yang
membutuhkan pendekatan intelektual yang lebih luas^4. Sebagai ilmu yang terus
berkembang, Ilmu Kalam memiliki potensi untuk menjadi pilar penting dalam
membangun harmoni antara iman dan rasio.
Keberadaan Ilmu Kalam menjadi sangat penting untuk
memahami konsep-konsep dasar akidah Islam secara mendalam, sehingga tidak hanya
menghasilkan pemahaman yang kokoh, tetapi juga menjadi sarana untuk
menyelesaikan konflik pemikiran yang sering terjadi dalam masyarakat Muslim.
Dengan pendekatan yang sistematis, Ilmu Kalam menjadi alat yang efektif dalam
menjaga kemurnian akidah umat Islam sekaligus memberikan jawaban yang relevan
terhadap tantangan zaman.
Catatan Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 18.
[2]
Abdul Karim al-Syaibani, Tarikh al-Fikr
al-Islami (Beirut: Dar al-Nahdah, 1982), hlm. 45.
[3]
George F. Hourani, Islamic Rationalism: The
Ethics of Abd al-Jabbar (Oxford: Clarendon Press, 1971), hlm. 23.
[4]
Fathullah Jamil, Pemikiran Kalam dan
Relevansinya di Era Modern (Bandung: Mizan, 2010), hlm. 67.
2.
Sejarah
Perkembangan Ilmu Kalam
2.1. Masa Awal Islam
Pada masa Rasulullah
Saw, diskusi tentang teologi terbatas pada penjelasan dasar-dasar akidah Islam,
seperti tauhid, kenabian, dan keimanan terhadap hari akhir. Rasulullah Saw memberikan
penjelasan yang bersifat praktis
tanpa menggunakan pendekatan rasional yang kompleks. Tantangan terhadap akidah Islam mulai muncul setelah wafatnya Rasulullah Saw, terutama terkait isu-isu
seperti takdir (qadha dan qadar), sifat-sifat Allah, dan status orang yang
berdosa besar1.
2.2.
Masa Dinasti Umayyah
Masa Dinasti Umayyah
ditandai dengan berkembangnya diskusi teologis sebagai akibat dari konflik politik yang berujung pada perbedaan
pandangan keagamaan. Isu takdir menjadi salah satu perdebatan utama. Kelompok Qadariyah
muncul dengan pandangan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh atas
perbuatannya, sedangkan kelompok Jabariyah berpendapat bahwa semua
perbuatan manusia telah ditentukan oleh Allah secara mutlak2.
Perbedaan ini sering kali dipengaruhi oleh situasi politik, di mana pemerintah
Umayyah cenderung mendukung paham Jabariyah untuk melegitimasi kekuasaan mereka
sebagai kehendak Allah3.
Selain itu,
munculnya kelompok Murji'ah juga menjadi bagian
penting dari perkembangan awal Ilmu Kalam. Kelompok ini menekankan bahwa
seseorang tidak dapat dihakimi
sebagai kafir atau mukmin hanya berdasarkan amalnya; keputusan akhir tentang
status keimanan seseorang diserahkan kepada Allah4.
2.3.
Masa Dinasti Abbasiyah
Periode Dinasti Abbasiyah menjadi masa keemasan bagi
perkembangan Ilmu Kalam. Pada masa ini, Ilmu Kalam berkembang sebagai disiplin
ilmu yang sistematis. Peran Mutazilah sangat signifikan dalam menjadikan Ilmu
Kalam sebagai pendekatan intelektual untuk memahami teologi Islam. Kelompok ini
dikenal dengan lima prinsip dasar mereka (al-Ushul al-Khamsah): tauhid,
keadilan Ilahi (al-Adalah), janji dan ancaman Allah
(al-Wa'd
wa al-Wa'id), posisi di antara dua tempat (al-Manzilah
Bayn al-Manzilatayn), dan perintah kepada yang baik serta
pencegahan dari yang buruk (al-Amr bil Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar)5.
Pada masa ini pula,
filsafat Yunani mulai memengaruhi diskursus teologi Islam. Tokoh-tokoh seperti
Al-Kindi dan Al-Farabi menggunakan pendekatan filsafat dalam menjelaskan akidah Islam, meskipun ini sering kali menimbulkan perdebatan dengan ulama
tradisionalis6. Tokoh seperti Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur
al-Maturidi kemudian muncul sebagai respon terhadap pandangan Mutazilah,
menawarkan pendekatan teologi yang lebih moderat7.
2.4.
Masa Klasik dan Modern
Pada masa klasik,
dua aliran utama Ilmu Kalam, yaitu Asy'ariyah dan Maturidiyah, mendominasi
diskursus teologi Islam. Aliran Asy'ariyah, yang didirikan oleh Abu al-Hasan
al-Asy'ari, menekankan penggunaan argumen rasional dalam menjelaskan akidah tetapi tetap berpegang
pada teks-teks syariat. Sementara itu, Maturidiyah, yang didirikan oleh Abu
Mansur al-Maturidi, memberikan penekanan lebih besar pada rasionalitas dalam
memahami konsep keimanan8.
Di era modern, Ilmu
Kalam menghadapi tantangan baru dari ideologi-ideologi seperti sekularisme,
atheisme, dan pluralisme agama. Pemikir seperti Muhammad Abduh dan Fazlur Rahman mencoba mereformulasi Ilmu
Kalam agar lebih relevan dengan perkembangan zaman. Pendekatan ini mencakup
upaya untuk menyelaraskan doktrin-doktrin Islam dengan ilmu pengetahuan modern9.
Catatan Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 12.
[2]
Abdul Karim al-Syaibani, Tarikh al-Fikr al-Islami (Beirut:
Dar al-Nahdah, 1982), hlm. 35.
[3]
Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), hlm. 128.
[4]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr,
1990), hlm. 198.
[5]
Abu al-Husayn al-Khayyat, Kitab al-Intishar (Cairo: Dar
al-Ma'arif, 1957), hlm. 56.
[6]
George F. Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics of Abd
al-Jabbar (Oxford: Clarendon Press, 1971), hlm. 34.
[7]
William Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), hlm. 78.
[8]
Abu Mansur al-Baghdadi, Usul al-Din (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1981), hlm. 112.
[9]
Fathullah Jamil, Pemikiran Kalam dan Relevansinya di Era Modern
(Bandung: Mizan, 2010), hlm. 98.
3.
Konsep
Dasar dan Tema Sentral Ilmu Kalam
3.1.
Tauhid (Keimanan kepada Allah)
Tauhid adalah inti
dari Ilmu Kalam dan merupakan landasan utama dalam seluruh diskusi teologiIslam. Tauhid merujuk pada keesaan Allah, baik dalam Zat, sifat, maupun
perbuatan-Nya (tawhid al-dzat, al-sifat, wa al-af’al).
Ilmu Kalam membahas konsep ini secara mendalam untuk melawan berbagai bentuk
penyimpangan, seperti syirik atau antropomorfisme dalam memahami sifat-sifat
Allah. Kaum Mutazilah, misalnya, menekankan bahwa Allah tidak memiliki sifat
yang terpisah dari Zat-Nya, guna menjaga
keesaan-Nya secara mutlak1. Di sisi lain, Asy’ariyah menegaskan
bahwa sifat-sifat Allah adalah nyata, tetapi tetap tidak menyerupai makhluk-Nya,
sesuai dengan firman Allah:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat"
(QS.
Asy-Syura [42] ayat 11)2.
3.2.
Al-Qadha wa Al-Qadar (Takdir dan Kebebasan
Manusia)
Salah satu tema
sentral dalam Ilmu Kalam adalah perdebatan tentang takdir dan kebebasan
manusia. Isu ini menjadi titik utama perbedaan antara beberapa aliran.
Jabariyah berpendapat bahwa manusia sepenuhnya terikat oleh kehendak Allah,
tanpa memiliki kebebasan. Sebaliknya, Mutazilah
menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh untuk menentukan
perbuatannya, karena mereka bertanggung jawab atas amal mereka di hari kiamat3.
Pendekatan
Asy’ariyah memoderasi perdebatan ini dengan konsep kasb (usaha), yang menyatakan bahwa
perbuatan manusia adalah hasil dari usaha mereka, tetapi diciptakan oleh Allah4. Konsep
ini mencerminkan harmoni antara kebebasan manusia dan kehendak Allah sebagai
pencipta segala sesuatu.
3.3.
Al-Adalah (Keadilan Allah)
Keadilan Ilahi
adalah konsep sentral lainnya dalam Ilmu Kalam, yang dibahas secara mendalam
oleh kelompok Mutazilah. Mereka menekankan bahwa Allah adalah Maha Adil (al-Adl)
dan tidak mungkin berbuat zalim terhadap hamba-Nya. Oleh karena itu, segala
perbuatan buruk berasal dari kehendak
manusia, bukan dari Allah5. Sebaliknya, Asy’ariyah berpendapat bahwa
keadilan Allah tidak dapat diukur dengan standar manusia; apa pun yang
dilakukan Allah adalah adil karena Allah adalah pemilik absolut hukum dan
aturan6.
3.4.
Masalah Kenabian
Ilmu Kalam juga
membahas konsep kenabian sebagai sarana penyampaian wahyu. Para nabi diutus
oleh Allah untuk memberikan bimbingan kepada manusia dan menjadi teladan moral. Dalam diskusi
teologis, para ulama Ilmu Kalam mengemukakan bukti rasional tentang perlunya
kenabian. Misalnya, Mutazilah berargumen bahwa akal manusia, meskipun sangat
penting, memiliki keterbatasan dalam memahami hal-hal ghaib, sehingga
diperlukan wahyu untuk melengkapinya7.
3.5.
Eschatology (Hari Akhir)
Diskusi tentang hari
akhir mencakup konsep surga, neraka, dan keadilan Allah di hari pembalasan.
Kelompok Murji’ah, misalnya, menekankan bahwa dosa besar tidak secara otomatis menjadikan seseorang kafir, karena
penentuan nasib akhir seseorang sepenuhnya berada di tangan Allah8.
Pendekatan ini menunjukkan perhatian Ilmu Kalam terhadap aspek keadilan dan
belas kasih Allah dalam konteks kehidupan akhirat.
Catatan Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 20.
[2]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah
(Cairo: Dar al-Turath, 1985), hlm. 11.
[3]
Abdul Karim al-Syaibani, Tarikh al-Fikr al-Islami (Beirut:
Dar al-Nahdah, 1982), hlm. 47.
[4]
Al-Baqillani, Kitab al-Tamhid (Cairo: Dar
al-Kutub al-Islamiyah, 1994), hlm. 122.
[5]
George F. Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics of Abd
al-Jabbar (Oxford: Clarendon Press, 1971), hlm. 78.
[6]
William Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), hlm. 56.
[7]
Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), hlm. 131.
[8]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr,
1990), hlm. 210.
4.
Tokoh-Tokoh
Utama Ilmu Kalam
4.1.
Hasan al-Basri (642–728 M)
Hasan al-Basri
adalah seorang ulama besar pada masa awal Islam yang sering dianggap sebagai
salah satu perintis diskusi teologis dalam Islam. Beliau dikenal sebagai
seorang zahid (asketis) dan faqih yang memiliki pengaruh besar terhadap
perkembangan Ilmu Kalam, terutama dalam isu-isu terkait takdir (qadha dan
qadar). Hasan al-Basri dikaitkan dengan munculnya aliran Qadariyah,
meskipun beberapa sumber menegaskan bahwa ia tidak secara langsung mendukung
paham kebebasan mutlak manusia dalam perbuatan1. Pemikirannya
mengenai hubungan antara kehendak Allah dan tanggung jawab manusia menjadi
inspirasi bagi generasi setelahnya.
4.2.
Wasil bin ‘Atha’ (700–748 M)
Wasil bin ‘Atha’
adalah pendiri aliran Mutazilah, yang dianggap sebagai
salah satu aliran teologis terpenting dalam Islam. Ia terkenal karena
pernyataannya tentang posisi orang yang berdosa besar (manzilah
bayn al-manzilatayn), yaitu bahwa orang tersebut berada di antara
status kafir dan mukmin. Wasil juga menekankan lima prinsip dasar (al-Ushul
al-Khamsah) yang menjadi fondasi Mutazilah: tauhid, keadilan Ilahi,
janji dan ancaman Allah, posisi di antara dua tempat, serta amar ma'ruf nahi
mungkar2. Pemikiran Wasil secara mendalam didokumentasikan oleh
murid-muridnya dan menjadi basis perkembangan Mutazilah sebagai disiplin Ilmu
Kalam yang sistematis.
4.3.
Abu al-Hasan al-Asy’ari (874–936 M)
Abu al-Hasan
al-Asy’ari adalah pendiri aliran Asy’ariyah, yang merupakan salah
satu aliran utama dalam Ilmu Kalam Sunni. Al-Asy’ari sebelumnya adalah pengikut
Mutazilah, tetapi ia kemudian meninggalkan aliran tersebut dan mengembangkan
pendekatan yang lebih moderat terhadap isu-isu teologis. Salah satu kontribusinya
adalah konsep kasb (usaha), yang menjelaskan
hubungan antara kehendak Allah dan kebebasan manusia3. Karya-karya
utamanya seperti al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah dan Maqalat
al-Islamiyyin menjadi rujukan utama dalam teologi Islam4.
4.4.
Abu Mansur al-Maturidi (853–944 M)
Abu Mansur
al-Maturidi adalah pendiri aliran Maturidiyah, yang menjadi aliran
utama Ilmu Kalam di wilayah Asia Tengah. Pendekatan al-Maturidi terhadap Ilmu Kalam lebih filosofis dibandingkan dengan
Asy’ariyah, terutama dalam pembahasan tentang akal dan wahyu. Ia berpendapat
bahwa akal dapat memahami sebagian besar kebenaran agama tanpa wahyu, meskipun
wahyu tetap diperlukan untuk melengkapi keterbatasan akal5. Karya
utamanya, Kitab
al-Tawhid, menjadi rujukan penting dalam memahami pandangan
Maturidiyah tentang akidah.
4.5.
Ibn Taymiyyah (1263–1328 M)
Ibn Taymiyyah adalah
seorang ulama yang sering memberikan kritik terhadap Ilmu Kalam, terutama
terhadap pendekatan rasional yang dianggapnya terlalu spekulatif. Ia menekankan
pentingnya kembali kepada Al-Qur'an dan hadits sebagai dasar utama dalam
memahami akidah. Dalam pandangannya, Ilmu
Kalam sering kali menyimpang dari ajaran Islam yang murni karena terlalu banyak
terpengaruh oleh filsafat Yunani6. Meski demikian, kritik Ibn
Taymiyyah memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan teologi Islam,
terutama di kalangan salafi.
Catatan Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 25.
[2]
Abdul Karim al-Syaibani, Tarikh al-Fikr al-Islami (Beirut:
Dar al-Nahdah, 1982), hlm. 51.
[3]
William Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), hlm. 85.
[4]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah
(Cairo: Dar al-Turath, 1985), hlm. 14.
[5]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), hlm. 33.
[6]
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta'arud al-Aql wa al-Naql
(Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University, 1979), hlm. 12.
5.
Aliran-Aliran
dalam Ilmu Kalam
5.1.
Mutazilah
Mutazilah adalah
salah satu aliran teologis yang paling berpengaruh dalam sejarah Ilmu Kalam.
Aliran ini muncul pada abad ke-8 M dengan tokoh utamanya Wasil bin ‘Atha’.
Mutazilah dikenal dengan doktrin rasional dan lima prinsip dasar yang disebut al-Ushul
al-Khamsah1:
1)
Tauhid:
Mutazilah menekankan keesaan Allah
secara mutlak, sehingga menolak gagasan sifat Allah yang berbeda dari Zat-Nya.
2)
Al-Adalah
(Keadilan Allah):
Allah tidak mungkin berbuat zalim,
sehingga manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas amal perbuatannya.
3)
Al-Wa'd
wa al-Wa'id (Janji dan Ancaman Allah):
Janji Allah berupa pahala bagi yang taat
dan ancaman bagi yang bermaksiat adalah pasti.
4)
Al-Manzilah
Bayn al-Manzilatayn (Posisi di Antara Dua Tempat):
Orang berdosa besar berada di antara
status kafir dan mukmin.
5)
Amar
Ma'ruf Nahi Munkar:
Kewajiban setiap Muslim untuk menegakkan
kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Mutazilah sering
dikritik oleh aliran lain, terutama Asy’ariyah, karena dianggap terlalu rasional dan mengabaikan aspek literal teks
syariat2.
5.2.
Asy’ariyah
Asy’ariyah didirikan
oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari pada abad ke-10 M sebagai respon terhadap
Mutazilah. Aliran ini mencoba memoderasi pendekatan antara rasionalitas dan
tekstualisme. Asy’ariyah menekankan pentingnya keimanan terhadap sifat-sifat
Allah, tetapi menolak penafsiran antropomorfis.
Dalam isu takdir, Asy’ariyah memperkenalkan konsep kasb (usaha manusia) untuk
menjelaskan bahwa manusia memiliki kebebasan berusaha, tetapi Allah tetap
menjadi pencipta perbuatannya3.
Karya utama
al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin,
mendokumentasikan berbagai
pandangan teologis di masa itu dan menjadi referensi penting dalam Ilmu Kalam Sunni4.
5.3.
Maturidiyah
Didirikan oleh Abu
Mansur al-Maturidi, aliran Maturidiyah berkembang di Asia Tengah dan menjadi
salah satu aliran Sunni utama. Maturidiyah memberikan peran lebih besar kepada
akal dalam memahami agama
dibandingkan Asy’ariyah. Aliran ini menegaskan bahwa akal manusia dapat
memahami sebagian besar prinsip keimanan tanpa wahyu, meskipun wahyu tetap
diperlukan untuk menjelaskan hal-hal ghaib. Dalam isu takdir, Maturidiyah
menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih, tetapi Allah
mengetahui dan menciptakan konsekuensi dari pilihan tersebut5.
Karya al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, menjadi salah satu
referensi utama dalam memahami pemikiran aliran ini6.
5.4.
Jabariyah
Jabariyah adalah
aliran yang menekankan determinisme, yaitu keyakinan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan dalam perbuatannya karena
semua telah ditentukan oleh Allah. Aliran ini didirikan oleh Jahm bin Safwan
dan mendapat kritik luas karena dianggap menghilangkan tanggung jawab moral
manusia. Jabariyah mendasarkan pandangannya pada ayat Al-Qur'an yang menegaskan
bahwa Allah adalah penguasa mutlak atas segala sesuatu, termasuk perbuatan
manusia7.
5.5.
Murji’ah
Murji’ah muncul pada
masa awal Islam sebagai reaksi terhadap konflik politik dan teologis, seperti
perdebatan tentang status orang yang berdosa besar. Aliran ini berpendapat bahwa iman seseorang tidak
dapat diukur oleh amalnya, sehingga dosa besar tidak secara otomatis
mengeluarkan seseorang dari keimanan. Murji’ah menekankan pentingnya
menyerahkan penilaian akhir kepada Allah8. Pendekatan ini memberikan
ruang untuk toleransi dan menghindari penghakiman terhadap sesama Muslim.
5.6.
Syiah dan Perspektif Kalam
Teologi Syiah
memiliki kontribusi yang signifikan dalam Ilmu Kalam, terutama dalam diskusi
tentang imamah (kepemimpinan). Syiah Itsna Asyariyah (Imamiyah) menekankan
bahwa imamah adalah prinsip agama yang ditetapkan oleh Allah, sehingga para
imam adalah maksum (terbebas dari dosa) dan memiliki otoritas ilahi. Diskusi Syiah tentang keadilan Ilahi
(al-Adalah) juga selaras dengan pendekatan Mutazilah dalam beberapa aspek9.
Catatan Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 18–21.
[2]
William Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), hlm. 75.
[3]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah (Cairo:
Dar al-Turath, 1985), hlm. 45.
[4]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin (Cairo: Dar
al-Kutub al-Misriyah, 1963), hlm. 12.
[5]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), hlm. 33–35.
[6]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr,
1990), hlm. 218.
[7]
Abdul Karim al-Syaibani, Tarikh al-Fikr al-Islami (Beirut:
Dar al-Nahdah, 1982), hlm. 40.
[8]
Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), hlm. 112.
[9]
Allama Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar (Beirut: Dar Ihya
al-Turath al-Arabi, 1983), hlm. 14.
6.
Metodologi
Ilmu Kalam
6.1.
Pendekatan Rasional
Salah satu
karakteristik utama Ilmu Kalam adalah penggunaan akal (al-‘aql)
sebagai alat untuk memahami dan
menjelaskan doktrin agama. Metodologi ini berkembang terutama di kalangan
Mutazilah, yang menganggap akal sebagai otoritas utama dalam menyelesaikan
persoalan teologis. Mereka percaya bahwa banyak aspek ajaran agama, seperti
sifat-sifat Allah dan keadilan Ilahi, dapat dijelaskan secara logis tanpa
bergantung sepenuhnya pada teks agama1. Pendekatan rasional ini
memungkinkan Ilmu Kalam untuk beradaptasi dengan tantangan intelektual yang
berasal dari filsafat Yunani dan ideologi lain pada masa itu2.
Namun, pendekatan
rasional juga mendapat kritik dari aliran Asy’ariyah, yang menekankan
pentingnya menggabungkan akal dengan teks wahyu. Abu al-Hasan al-Asy’ari
menyatakan bahwa akal hanya dapat berfungsi sebagai pendukung dalam memahami
wahyu, bukan sebagai otoritas independen3. Pandangan ini menciptakan
keseimbangan antara pendekatan rasional dan tekstual dalam metodologi Ilmu
Kalam.
6.2.
Pendekatan Tekstual
Pendekatan tekstual
(al-naql)
menekankan pentingnya menggunakan Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber utama
dalam diskusi teologi. Pendekatan ini lebih banyak digunakan oleh kelompok
tradisionalis seperti Ahlus Sunnah wal Jamaah
yang berafiliasi dengan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. Mereka percaya bahwa
teks wahyu memiliki otoritas mutlak dalam menjelaskan persoalan akidah,
terutama yang berkaitan dengan hal-hal ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh
akal manusia4.
Sebagai contoh,
dalam diskusi tentang sifat-sifat Allah, Asy’ariyah dan Maturidiyah cenderung mempertahankan makna literal teks
sambil menegaskan bahwa sifat-sifat tersebut tidak menyerupai makhluk-Nya.
Mereka merujuk pada ayat Al-Qur’an:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS.
Asy-Syura [42] ayat 11)5.
6.3.
Integrasi Akal dan Wahyu
Pendekatan
integratif antara akal dan wahyu menjadi ciri khas Ilmu Kalam. Aliran
Asy’ariyah dan Maturidiyah adalah contoh utama pendekatan ini. Mereka percaya
bahwa akal manusia memiliki kemampuan untuk memahami beberapa aspek akidah,
tetapi wahyu tetap menjadi otoritas tertinggi
dalam menjelaskan doktrin-doktrin agama yang tidak dapat dijangkau oleh logika
manusia6.
Sebagai contoh,
dalam diskusi tentang kebebasan manusia dan takdir Allah, pendekatan ini
mencoba menjelaskan hubungan antara kehendak Allah yang mutlak dengan tanggung
jawab manusia. Konsep kasb yang dikembangkan oleh
al-Asy’ari menunjukkan bahwa manusia memiliki usaha (kasb) dalam tindakannya, tetapi penciptaan perbuatan
tetap di tangan Allah. Pendekatan ini mencerminkan harmonisasi antara akal dan
wahyu dalam menyelesaikan persoalan teologis7.
6.4.
Dialog dengan Filsafat
Pada masa Dinasti
Abbasiyah, Ilmu Kalam mulai berdialog dengan filsafat Yunani melalui
penerjemahan karya-karya Aristoteles, Plato, dan Neo-Platonisme. Tokoh-tokoh seperti Al-Farabi dan Ibn Sina
memadukan konsep-konsep filsafat dengan diskusi teologis. Dialog ini mendorong
pengembangan argumen-argumen teologis yang lebih kompleks, seperti bukti
rasional tentang keberadaan Allah dan sifat-sifat-Nya8.
Namun, pendekatan
ini juga menimbulkan kontroversi. Tokoh seperti Ibn Taymiyyah mengkritik
penggunaan filsafat dalam Ilmu Kalam karena dianggap membawa pemikiran spekulatif yang menyimpang dari ajaran
Al-Qur’an dan hadis9.
6.5.
Respon terhadap Tantangan Modern
Di era modern,
metodologi Ilmu Kalam mengalami perkembangan untuk menjawab tantangan baru seperti
sekularisme, atheisme, dan pluralisme agama. Pemikir seperti Muhammad Abduh dan
Fazlur Rahman mencoba mereformulasi Ilmu Kalam dengan menggunakan pendekatan
yang lebih kontekstual, yang mencakup
dialog dengan ilmu pengetahuan modern10. Mereka menekankan bahwa
Ilmu Kalam harus relevan dengan realitas sosial dan intelektual umat Islam pada
zamannya, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar akidah.
Catatan Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 22–25.
[2]
George F. Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics of Abd
al-Jabbar (Oxford: Clarendon Press, 1971), hlm. 34.
[3]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah
(Cairo: Dar al-Turath, 1985), hlm. 17.
[4]
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta'arud al-Aql wa al-Naql
(Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University, 1979), hlm. 15.
[5]
Al-Qur’an, Asy-Syura [42]: 11.
[6]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), hlm. 44.
[7]
Al-Baqillani, Kitab al-Tamhid (Cairo: Dar
al-Kutub al-Islamiyah, 1994), hlm. 87.
[8]
Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), hlm. 122.
[9]
William Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), hlm. 92.
[10]
Fathullah Jamil, Pemikiran Kalam dan Relevansinya di Era Modern
(Bandung: Mizan, 2010), hlm. 78.
7.
Kritik
dan Tantangan Ilmu Kalam
7.1.
Kritik terhadap Ilmu Kalam
Ilmu Kalam, meskipun
menjadi pilar utama dalam diskursus teologi Islam, tidak lepas dari kritik. Kritik ini datang dari berbagai
pihak, baik dari internal umat Islam maupun pengaruh eksternal.
7.1.1.
Kritik dari Kelompok
Tradisionalis
Kelompok
tradisionalis seperti Ahlul Hadits dan sebagian ulama salaf mengkritik Ilmu
Kalam karena dianggap terlalu bergantung pada logika dan filsafat, sehingga
menyimpang dari ajaran murni Al-Qur’an dan hadis. Ibn Taymiyyah, misalnya, menegaskan bahwa Ilmu Kalam sering
kali membawa umat Islam ke dalam perdebatan yang tidak produktif dan menjauhkan
mereka dari inti ajaran Islam1. Dalam karyanya, Dar’
Ta’arud al-Aql wa al-Naql, ia menyatakan bahwa pendekatan
spekulatif dalam Ilmu Kalam berisiko melemahkan keyakinan umat terhadap
teks-teks syariat2.
7.1.2.
Kritik dari Kelompok
Filosof
Sebagian filosof
Islam, seperti Ibn Rushd, juga memberikan kritik terhadap Ilmu Kalam.
Menurutnya, Ilmu Kalam cenderung tidak konsisten dalam menggunakan logika, karena sering kali menggabungkan argumen
rasional dengan dogma agama tanpa pembuktian yang jelas3. Dalam
karyanya, Tahafut
al-Tahafut, Ibn Rushd menyoroti ketergantungan kalam pada
asumsi-asumsi tertentu yang tidak dapat diverifikasi oleh akal murni.
7.1.3.
Kritik dari Pemikir
Modern
Beberapa pemikir
modern seperti Fazlur Rahman dan Muhammad Abduh mengkritik Ilmu Kalam
tradisional karena dianggap terlalu fokus pada persoalan metafisik yang tidak
relevan dengan tantangan kontemporer. Mereka berpendapat bahwa Ilmu Kalam perlu
mengalami reformulasi agar
lebih kontekstual dengan realitas sosial dan politik umat Islam saat ini4.
7.2.
Tantangan Ilmu Kalam
Seiring dengan
perkembangan zaman, Ilmu Kalam dihadapkan pada tantangan baru yang lebih kompleks, baik dari dalam maupun luar umat
Islam.
7.2.1.
Tantangan
Sekularisme
Di era modern,
sekularisme menjadi salah satu tantangan terbesar bagi Ilmu Kalam. Sekularisme
memisahkan agama dari kehidupan publik, sehingga ajaran-ajaran agama, termasuk
doktrin-doktrin teologis, dianggap tidak relevan dalam konteks masyarakat
modern. Tantangan ini menuntut Ilmu Kalam untuk mampu menjawab kritik-kritik
sekularisme tanpa kehilangan esensi akidah Islam5.
7.2.2.
Tantangan Ateisme
Ateisme, yang
semakin berkembang di dunia modern, juga menjadi tantangan bagi Ilmu Kalam. Ateisme mempersoalkan keberadaan Tuhan
dengan argumen-argumen rasional yang sering kali berbasis pada ilmu pengetahuan
modern. Ilmu Kalam perlu menyusun argumen teologis yang berbasis rasionalitas
dan relevansi ilmiah untuk menghadapi tantangan ini6.
7.2.3.
Tantangan Pluralisme
Agama
Pluralisme agama,
yang menekankan bahwa semua agama memiliki kebenaran yang setara, juga menjadi
tantangan serius bagi Ilmu Kalam. Pluralisme ini sering kali dipandang
bertentangan dengan doktrin keesaan Islam yang menegaskan bahwa hanya Islam
adalah agama yang benar di sisi Allah (QS. Ali Imran [3] ayat 19). Ilmu Kalam
perlu memberikan penjelasan teologis yang mampu mengakomodasi keberagaman
sambil mempertahankan eksklusivitas ajaran Islam7.
7.2.4.
Tantangan Teknologi
dan Ilmu Pengetahuan Modern
Kemajuan ilmu
pengetahuan modern, seperti teori evolusi dan eksplorasi kosmologi, juga
menantang Ilmu Kalam dalam menjelaskan doktrin-doktrin Islam secara ilmiah. Sebagai contoh, diskusi tentang asal-usul
manusia memerlukan pendekatan baru yang mampu menjelaskan kisah penciptaan Adam
dalam Al-Qur’an tanpa bertentangan dengan temuan ilmiah modern8.
7.3.
Upaya Menghadapi Kritik dan Tantangan
Ilmu Kalam terus beradaptasi untuk menghadapi kritik
dan tantangan ini melalui berbagai cara:
1)
Reformulasi
Pendekatan Teologi:
Tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman dan
Muhammad Abduh mengadvokasi pendekatan kontekstual yang relevan dengan
tantangan zaman.
2)
Dialog
dengan Ilmu Pengetahuan Modern:
Upaya untuk memadukan ajaran agama
dengan penemuan ilmiah, seperti yang dilakukan oleh Maurice Bucaille dalam
bukunya The
Bible, The Qur'an and Science9.
3)
Pemanfaatan
Teknologi Informasi:
Ilmu Kalam modern dapat memanfaatkan
teknologi untuk menyebarkan argumen teologis yang berbasis pada logika dan
sains.
Catatan Kaki
[1]
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud al-Aql wa al-Naql
(Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University, 1979), hlm. 10.
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 58.
[3]
Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut (Beirut: Dar
al-Ma’arif, 1971), hlm. 88.
[4]
Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), hlm. 150.
[5]
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 2008), hlm. 132.
[6]
William Lane Craig, Reasonable Faith (Wheaton: Crossway
Books, 2008), hlm. 75.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam (San Francisco:
HarperOne, 2002), hlm. 243.
[8]
Maurice Bucaille, The Bible, The Qur'an and Science
(Indianapolis: American Trust Publications, 1978), hlm. 172.
[9]
Ibid, hlm. 199.
8.
Relevansi
Ilmu Kalam di Era Modern
8.1.
Menjawab Tantangan Pemikiran Modern
Di era modern, Ilmu
Kalam tetap relevan sebagai alat untuk menghadapi tantangan intelektual
kontemporer. Tantangan ini meliputi sekularisme, atheisme, pluralisme agama,
dan ideologi global lainnya. Sebagai contoh, Ilmu Kalam dapat memberikan
jawaban teologis yang berbasis logika untuk melawan argumen-argumen ateisme,
seperti kritik terhadap keberadaan Tuhan
atau persoalan kejahatan dan penderitaan di dunia1. Pemikiran para
teolog modern seperti Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman telah membantu
menjadikan Ilmu Kalam relevan dengan diskursus filsafat modern dan sains
kontemporer2.
8.2.
Mengharmoniskan Iman dan Sains
Kemajuan ilmu
pengetahuan modern sering kali dipandang sebagai tantangan terhadap ajaran
agama. Ilmu Kalam berperan penting dalam mengharmoniskan iman dengan sains.
Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa Islam memiliki pandangan
dunia yang komprehensif, di mana sains dan agama tidak saling bertentangan,
melainkan saling melengkapi3. Sebagai contoh, dalam diskusi tentang
penciptaan alam semesta, konsep kun fayakun (jadilah,
maka jadilah ia) dapat dipahami melalui dialog dengan teori Big
Bang, yang mendukung gagasan bahwa alam semesta memiliki awal yang diciptakan4.
8.3.
Menangkal Pengaruh Sekularisme dan Relativisme
Sekularisme yang
memisahkan agama dari kehidupan publik menjadi salah satu tantangan utama di
era modern. Ilmu Kalam dapat memberikan dasar teologis untuk menolak pemisahan
ini, dengan menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mencakup seluruh aspek
kehidupan, termasuk politik, ekonomi, dan budaya5. Dalam konteks
relativisme moral dan pluralisme agama, Ilmu Kalam dapat memberikan argumen
rasional tentang eksklusivitas kebenaran Islam tanpa mengabaikan pentingnya
toleransi terhadap agama lain6.
8.4.
Sebagai Instrumen Dakwah
Di era modern, Ilmu
Kalam juga berperan sebagai instrumen dakwah yang efektif. Pendekatan rasional
yang digunakan dalam Ilmu Kalam dapat menarik perhatian generasi muda yang
hidup dalam masyarakat modern yang cenderung lebih kritis dan rasional.
Misalnya, tokoh seperti Zakir Naik menggunakan argumen-argumen Kalam untuk menjelaskan
kebenaran Islam kepada audiens global7.
8.5.
Mengatasi Krisis Identitas Umat Islam
Di tengah arus
globalisasi, umat Islam menghadapi krisis identitas yang disebabkan oleh
pengaruh budaya asing dan hilangnya pemahaman mendalam tentang ajaran Islam.
Ilmu Kalam dapat membantu umat Islam memahami keyakinan mereka secara lebih mendalam dan logis, sehingga mereka
mampu menghadapi tantangan modern tanpa kehilangan jati diri sebagai Muslim8.
8.6.
Menyelesaikan Konflik Teologis dan Sosial
Ilmu Kalam dapat
menjadi alat untuk menyelesaikan konflik teologis dan sosial di antara berbagai
kelompok umat Islam. Dengan pendekatan rasional dan dialogis, Ilmu Kalam dapat
menjembatani perbedaan pandangan teologis antara kelompok-kelompok seperti
Sunni, Syiah, dan lainnya. Selain itu, Ilmu Kalam juga dapat digunakan untuk
menjawab isu-isu sosial kontemporer, seperti keadilan gender dan hak asasi
manusia, dari perspektif Islam yang berlandaskan akidah9.
8.7.
Kontribusi terhadap Isu Global
Ilmu Kalam juga
memiliki relevansi dalam isu-isu global, seperti perubahan iklim, ketimpangan
ekonomi, dan konflik internasional. Prinsip-prinsip teologis seperti tauhid dan keadilan Ilahi dapat
digunakan untuk membangun kerangka etika global yang mendorong keseimbangan
antara manusia dan alam serta keadilan sosial yang universal10.
Catatan Kaki
[1]
William Lane Craig, Reasonable Faith (Wheaton: Crossway
Books, 2008), hlm. 102.
[2]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1982), hlm. 132.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), hlm. 88.
[4]
Maurice Bucaille, The Bible, The Qur'an and Science
(Indianapolis: American Trust Publications, 1978), hlm. 174.
[5]
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 2008), hlm. 122.
[6]
John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses
to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), hlm.
75.
[7]
Zakir Naik, The Concept of God in Major Religions
(Mumbai: Islamic Research Foundation, 2001), hlm. 22.
[8]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in
Islam (Delhi: Oxford University Press, 1930), hlm. 87.
[9]
Tariq Ramadan, Islam and the Arab Awakening
(Oxford: Oxford University Press, 2012), hlm. 114.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (San Francisco: HarperOne, 2004), hlm. 223.
9.
Penutup
Ilmu Kalam merupakan salah satu cabang ilmu
keislaman yang memiliki peran sentral dalam mempertahankan keimanan umat Islam
melalui pendekatan rasional dan argumentatif. Sebagai ilmu yang membahas
persoalan akidah, Ilmu Kalam tidak hanya bertujuan untuk memberikan dasar
teologi yang kokoh, tetapi juga untuk menjawab tantangan intelektual yang
muncul di setiap zaman. Dari sejarahnya, Ilmu Kalam telah membuktikan
kemampuannya dalam menghadapi berbagai persoalan, baik yang muncul dari
internal umat Islam, seperti perbedaan teologis, maupun dari eksternal, seperti
pengaruh filsafat Yunani, sekularisme, dan atheisme1.
Relevansi Ilmu Kalam di era modern semakin
signifikan. Kemajuan ilmu pengetahuan, globalisasi, dan dinamika sosial
memunculkan berbagai tantangan baru yang memerlukan pendekatan teologi Islam
yang fleksibel dan relevan. Pemikir modern seperti Fazlur Rahman, Muhammad
Abduh, dan Seyyed Hossein Nasr telah menunjukkan bagaimana Ilmu Kalam dapat
direformulasi untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer, seperti hubungan
antara agama dan sains, isu pluralisme agama, dan krisis identitas umat Islam2.
Selain itu, Ilmu Kalam juga memiliki kontribusi
penting dalam mengatasi konflik internal di antara umat Islam. Dengan
pendekatan rasional dan dialogis, Ilmu Kalam dapat menjadi jembatan untuk
menyelesaikan perbedaan pandangan teologis di antara berbagai kelompok, seperti
Sunni dan Syiah. Ini sejalan dengan tujuan utama Ilmu Kalam, yaitu menjaga
kesatuan umat melalui pemahaman akidah yang mendalam dan inklusif3.
Dalam menghadapi tantangan modern, Ilmu Kalam harus
terus dikembangkan. Reformasi metodologi, dialog dengan ilmu pengetahuan modern,
dan penguatan literasi teologi di kalangan umat Islam adalah langkah-langkah
penting yang perlu diambil. Dengan demikian, Ilmu Kalam tidak hanya akan
menjadi warisan intelektual masa lalu, tetapi juga alat yang relevan untuk
membangun peradaban Islam yang harmonis, kuat, dan berdaya saing di tingkat
global4.
Sebagai penutup, Ilmu Kalam adalah pilar penting
dalam membangun pemikiran Islam yang kokoh dan dinamis. Ilmu ini tidak hanya
memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan klasik dalam akidah, tetapi
juga menawarkan solusi terhadap tantangan modern yang dihadapi umat Islam. Oleh
karena itu, studi tentang Ilmu Kalam harus terus digalakkan, dengan tetap
mengacu pada prinsip-prinsip Al-Qur’an dan hadis, serta didukung oleh
pendekatan rasional yang kontekstual5.
Catatan Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 15–20.
[2]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), hlm. 105.
[3]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin
(Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyah, 1963), hlm. 12.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam:
Enduring Values for Humanity (San Francisco: HarperOne, 2004), hlm. 210.
[5]
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 122.
Daftar Pustaka
Asy’ari, A. al-H. (1985). Al-Ibanah
‘an Usul al-Diyanah. Cairo: Dar al-Turath.
Asy’ari, A. al-H. (1963). Maqalat
al-Islamiyyin. Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyah.
Bucaille, M. (1978). The
Bible, the Qur'an, and Science. Indianapolis: American Trust
Publications.
Craig, W. L. (2008). Reasonable
Faith. Wheaton: Crossway Books.
Fazlur Rahman. (1979). Islam.
Chicago: University of Chicago Press.
Fazlur Rahman. (1982). Islam
and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition.
Chicago: University of Chicago Press.
Hick, J. (1989). An
Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent.
New Haven: Yale University Press.
Ibn Khaldun. (1990). Muqaddimah.
Beirut: Dar al-Fikr.
Ibn Rushd. (1971). Tahafut
al-Tahafut. Beirut: Dar al-Ma’arif.
Ibn Taymiyyah. (1979). Dar’
Ta’arud al-Aql wa al-Naql. Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic
University.
Iqbal, M. (1930). The
Reconstruction of Religious Thought in Islam. Delhi: Oxford
University Press.
Madjid, N. (2008). Islam,
Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Nasution, H. (1986). Teologi
Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI
Press.
Nasr, S. H. (1968). Science
and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.
Nasr, S. H. (2004). The
Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. San Francisco:
HarperOne.
Ramadan, T. (2012). Islam
and the Arab Awakening. Oxford: Oxford University Press.
Seyyed Hossein Nasr.
(2002). The Heart of Islam. San Francisco: HarperOne.
Zakir Naik. (2001). The
Concept of God in Major Religions. Mumbai: Islamic Research
Foundation.
Lampiran 1: Konsep Dasar dan Tema Sentral Ilmu
Kalam
1.
Tauhid (Keesaan Allah)
·
Pengesaan Allah dalam Zat,
sifat, dan perbuatan-Nya.
·
Penolakan terhadap segala
bentuk syirik atau penyamaan Allah dengan makhluk-Nya.
·
Diskusi tentang sifat-sifat
Allah:
(#) Apakah sifat Allah
inheren dalam Zat-Nya (Mutazilah).
(#) Sifat Allah sebagai
bagian yang nyata tetapi tidak menyerupai makhluk (Asy’ariyah).
2.
Al-Qadha wa Al-Qadar (Takdir dan Kebebasan
Manusia)
·
Hubungan antara kehendak
Allah dan kebebasan manusia.
·
Pandangan utama:
(#) Jabariyah:
Manusia tidak memiliki kebebasan; semua telah ditentukan oleh Allah.
(#) Mutazilah:
Manusia memiliki kebebasan penuh atas amal perbuatannya.
(#) Asy’ariyah:
Manusia memiliki usaha (kasb), tetapi penciptaan
perbuatannya tetap di tangan Allah.
3.
Al-Adalah (Keadilan Allah)
·
Allah tidak berbuat zalim
terhadap makhluk-Nya.
·
Keadilan Ilahi dalam
memberi pahala dan siksa berdasarkan amal manusia.
·
Penekanan oleh Mutazilah
bahwa kejahatan bukan berasal dari Allah, tetapi dari pilihan manusia.
4.
Masalah Kenabian
·
Kenabian sebagai sarana
penyampaian wahyu.
·
Sifat-sifat para nabi,
seperti maksum (terbebas dari dosa) dan keutamaan mereka di atas manusia biasa.
·
Bukti rasional tentang
perlunya kenabian:
(#) Akal manusia tidak mampu
menjangkau seluruh kebenaran tanpa bantuan wahyu.
5.
Eschatology (Akhirat dan Hari Pembalasan)
·
Pembahasan tentang surga,
neraka, dan hari kiamat.
·
Penjelasan tentang keadilan
Allah dalam memberikan balasan amal.
·
Diskusi tentang status
orang yang berdosa besar (iman dan amal).
6.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Memerintahkan Kebaikan
dan Mencegah Kemungkaran)
·
Kewajiban kolektif umat
Islam untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.
·
Implikasi teologis dan
sosialnya dalam membangun masyarakat yang Islami.
7.
Status Iman dan Amal
·
Hubungan antara iman dan
amal:
(#) Murji’ah:
Amal tidak memengaruhi status keimanan; penilaian akhir diserahkan kepada
Allah.
(#) Khawarij:
Dosa besar mengeluarkan seseorang dari Islam.
(#) Asy’ariyah:
Amal memengaruhi kesempurnaan iman tetapi tidak menghapus keimanan dasar.
8.
Sifat-Sifat Allah
·
Sifat-sifat wajib,
mustahil, dan jaiz bagi Allah.
·
Perdebatan tentang
sifat-sifat Allah (apakah sifat-sifat tersebut bagian dari Zat Allah atau
terpisah).
9.
Keberadaan Allah
·
Argumen rasional tentang
keberadaan Allah, seperti:
(#) Argumen kosmologis:
Segala sesuatu yang ada memiliki sebab, dan sebab pertama adalah Allah.
(#) Argumen teleologis:
Keindahan dan keteraturan alam menunjukkan adanya Pencipta.
10.
Hubungan Akal dan Wahyu
·
Diskusi tentang otoritas
akal dalam memahami agama:
(#) Mutazilah: Akal
memiliki peran utama.
(#) Asy’ariyah: Wahyu
lebih tinggi daripada akal; akal hanya mendukung wahyu.
Lampiran 2: Aliran-Aliran dalam Ilmu Kalam
1.
Jabariyah (Abad ke-7 M)
·
Pendiri:
Jahm bin Safwan.
·
Tahun
Eksistensi: Abad ke-7 M (akhir Dinasti Umayyah).
·
Karakteristik:
(#) Menekankan determinisme
absolut; semua perbuatan manusia telah ditentukan oleh Allah.
(#) Manusia tidak memiliki
kebebasan dalam bertindak, hanya sebagai pelaku tanpa kehendak.
(#) Mendapat kritik karena
dianggap meniadakan tanggung jawab moral manusia.
2.
Qadariyah (Abad ke-7 M)
·
Pendiri:
Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi.
·
Tahun
Eksistensi: Abad ke-7 M (masa Umayyah awal).
·
Karakteristik:
(#) Menekankan kebebasan
manusia secara penuh dalam menentukan amal perbuatannya.
(#) Berlawanan dengan
Jabariyah, menyatakan bahwa manusia bertanggung jawab atas semua tindakannya.
(#) Mengedepankan keadilan
Allah yang tidak menzalimi manusia.
3.
Murji’ah (Abad ke-7 M)
·
Pendiri:
Tidak ada tokoh spesifik; berkembang sebagai gerakan kolektif.
·
Tahun
Eksistensi: Abad ke-7 M.
·
Karakteristik:
(#) Menyerahkan penilaian
atas orang yang berdosa besar kepada Allah.
(#) Memisahkan iman dari
amal; amal tidak memengaruhi status keimanan.
(#) Memberikan toleransi yang
luas terhadap umat Islam, termasuk dalam perbedaan politik.
4.
Khawarij (Abad ke-7 M)
·
Pendiri:
Tidak ada tokoh spesifik; muncul sebagai gerakan politik-teologis.
·
Tahun
Eksistensi: Abad ke-7 M.
·
Karakteristik:
(#) Menganggap dosa besar
sebagai tindakan kekafiran.
(#) Memiliki pandangan
teologis yang ekstrem dan tidak kompromistis.
(#) Sering berperan dalam
konflik politik dan militer.
5.
Mutazilah (Abad ke-8 M)
·
Pendiri:
Wasil bin ‘Atha’.
·
Tahun
Eksistensi: Abad ke-8 M (Dinasti Abbasiyah awal).
·
Karakteristik:
(#) Mengedepankan
rasionalitas dan lima prinsip utama (al-Ushul al-Khamsah):
§
Tauhid.
§
Keadilan Ilahi (al-Adalah).
§
Janji dan ancaman Allah (al-Wa’d
wa al-Wa’id).
§
Posisi di antara dua tempat
(al-Manzilah
bayn al-Manzilatayn).
§
Amar ma’ruf nahi munkar.
(#) Berpengaruh besar dalam
perkembangan intelektual Islam tetapi kemudian mengalami penurunan pengaruh.
6.
Asy’ariyah (Abad ke-10 M)
·
Pendiri:
Abu al-Hasan al-Asy’ari.
·
Tahun
Eksistensi: Abad ke-10 M hingga sekarang.
·
Karakteristik:
(#) Memoderasi pandangan
antara Mutazilah dan tradisionalis.
(#) Mempertahankan
sifat-sifat Allah dengan makna yang sesuai syariat, tanpa menyerupai makhluk.
(#) Mengembangkan konsep kasb
untuk menjelaskan hubungan takdir dan usaha manusia.
7.
Maturidiyah (Abad ke-10 M)
·
Pendiri:
Abu Mansur al-Maturidi.
·
Tahun
Eksistensi: Abad ke-10 M hingga sekarang.
·
Karakteristik:
(#) Memberikan peran lebih
besar kepada akal dalam memahami agama dibandingkan Asy’ariyah.
(#) Berakar kuat di Asia
Tengah, terutama di kalangan Hanafi.
(#) Menekankan kebebasan
manusia yang tetap berada dalam pengetahuan dan kehendak Allah.
8.
Syiah Imamiyah (Itsna Asyariyah) (Abad ke-8 M)
·
Pendiri:
Tidak ada satu tokoh spesifik; berkembang melalui pemikiran para imam Syiah.
·
Tahun
Eksistensi: Abad ke-8 M hingga sekarang.
·
Karakteristik:
(#) Menekankan konsep imamah
sebagai prinsip utama dalam akidah.
(#) Meyakini bahwa para imam
adalah maksum (bebas dari dosa) dan memiliki otoritas ilahi.
(#) Menyusun doktrin keadilan
Ilahi yang beririsan dengan pandangan Mutazilah.
9.
Salafiyah (Abad ke-13 M)
·
Pendiri:
Ibn Taymiyyah sebagai pengkritik Ilmu Kalam.
·
Tahun
Eksistensi: Abad ke-13 M hingga sekarang.
·
Karakteristik:
(#) Menolak pendekatan
spekulatif dalam Ilmu Kalam.
(#) Mengembalikan diskusi
akidah kepada Al-Qur’an dan hadis secara literal.
(#) Mengkritik filsafat
Yunani yang dianggap membawa penyimpangan dalam teologi Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar