Sabtu, 29 Maret 2025

Filsafat Kalam dalam Islam: Sejarah, Konsep, dan Perkembangannya

Filsafat Kalam dalam Islam

Sejarah, Konsep, dan Perkembangannya


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang Ilmu Kalam sebagai salah satu cabang utama dalam filsafat Islam yang berfungsi mempertahankan dan menjelaskan akidah Islam secara rasional. Dimulai dari pengertian dan hakikatnya, artikel ini mengulas secara sistematis perkembangan historis Kalam sejak masa sahabat hingga era kontemporer, serta menyoroti kontribusi tokoh-tokoh utama seperti Wāṣil bin ‘Aṭā’, al-Asy’ari, al-Maturidi, al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi. Selain itu, artikel ini juga menjelaskan pokok-pokok pemikiran Kalam seperti tauhid, kehendak bebas, sifat-sifat Tuhan, serta masalah iman dan kenabian, diikuti dengan pemetaan terhadap berbagai aliran seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Khawarij, dan Murji’ah. Di bagian akhir, artikel ini menelaah perkembangan Ilmu Kalam di era modern melalui gerakan Neo-Kalam dan mengkaji berbagai kritik terhadap Kalam dari perspektif salafi, filsafat, maupun pemikiran kontemporer. Penelitian ini menunjukkan bahwa Ilmu Kalam tetap relevan sepanjang dikembangkan secara dinamis dan kontekstual untuk menjawab tantangan zaman.

Kata Kunci: Ilmu Kalam, Filsafat Islam, Teologi, Rasionalisme, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Neo-Kalam, Akidah Islam.


PEMBAHASAN

Kajian Filsafat Kalam dalam Islam


1.           Pendahuluan

Ilmu Kalam merupakan salah satu disiplin keilmuan yang tumbuh dalam khazanah intelektual Islam sebagai respon terhadap dinamika pemikiran dan tantangan keagamaan pada masa-masa awal sejarah Islam. Dalam konteks perkembangan pemikiran Islam, Ilmu Kalam menempati posisi strategis karena bertujuan mempertahankan, menjelaskan, dan membela akidah Islam dengan pendekatan argumentatif dan rasional. Dalam sejarahnya, Kalam tidak hanya berperan sebagai sistem teologi normatif, tetapi juga menjadi medium dialog antara nalar dan wahyu dalam menjawab persoalan-persoalan metafisis, etis, dan sosial.

Kelahiran Ilmu Kalam tidak dapat dilepaskan dari pergolakan politik dan teologis yang terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, terutama terkait dengan persoalan kepemimpinan (imamah), dosa besar (kabā'ir), serta hubungan antara kehendak Tuhan dan kebebasan manusia. Munculnya berbagai aliran seperti Khawarij, Murji'ah, Mu'tazilah, dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah menunjukkan bahwa umat Islam terdorong untuk merumuskan fondasi teologis yang lebih sistematis sebagai respon terhadap perpecahan internal umat dan pengaruh filsafat asing seperti Yunani dan Persia.¹

Seiring berkembangnya waktu, Ilmu Kalam mengalami pembaruan dari segi metodologi dan cakupan. Jika pada awalnya lebih berorientasi pada polemik dan apologetik, maka pada periode klasik dan pertengahan, Kalam berkembang menjadi suatu sistem pemikiran yang rasional dan filosofis, terutama setelah berinteraksi dengan filsafat Yunani melalui penerjemahan karya-karya Aristoteles, Plato, dan Plotinus.² Hal ini melahirkan dialog yang intens antara mutakallimun (ahli Kalam) dan filosof Muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina.

Meskipun tidak semua ulama menyetujui pendekatan rasional Ilmu Kalam—sebagian kelompok seperti golongan salaf menganggapnya sebagai bentuk bid’ah yang dapat menyesatkan—namun dalam praktiknya, banyak tokoh besar Islam seperti Imam al-Ghazali dan Fakhruddin ar-Razi yang justru menjadikan Ilmu Kalam sebagai instrumen penting dalam membela ajaran Islam dari penyimpangan filsafat dan serangan kaum zindiq.³ Oleh karena itu, Kalam tidak bisa dipandang sebagai sekadar produk spekulatif, melainkan sebagai upaya serius umat Islam untuk memelihara kemurnian akidah dalam menghadapi perubahan zaman dan tantangan intelektual.

Di era kontemporer, diskursus Kalam kembali mendapatkan perhatian dalam bentuk "neo-Kalam", yaitu usaha-usaha pembaruan teologi Islam dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan modern, filsafat kontemporer, dan realitas sosial-politik umat Islam. Hal ini menandakan bahwa Ilmu Kalam bukanlah ilmu yang stagnan, melainkan memiliki daya hidup untuk terus berkembang dan memberikan kontribusi bagi pemikiran Islam secara keseluruhan.⁴

Dengan latar belakang tersebut, artikel ini akan membahas secara sistematis tentang filsafat Kalam dalam Islam, meliputi pengertiannya, sejarah perkembangannya, tokoh-tokoh pentingnya, serta kontribusinya dalam peradaban Islam, dengan tujuan untuk memberikan pemahaman yang utuh dan ilmiah mengenai salah satu fondasi penting dalam bangunan teologi Islam.


Catatan Kaki

[1]                Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Jakarta: Mizan, 1995), 47–50.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 108–110.

[3]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 63–66.

[4]                Nurcholish Madjid, “Kalam dan Tantangan Modernitas,” Ulumul Qur’an 4, no. 2 (1993): 15–18.


2.           Definisi dan Hakikat Ilmu Kalam

2.1.       Pengertian Ilmu Kalam

Secara etimologis, kata “Kalam” berarti “ucapan” atau “perkataan”. Istilah ini digunakan karena dalam diskursus awal ilmu ini, persoalan yang paling banyak diperdebatkan adalah tentang kalam Allah, yaitu apakah kalam Allah itu bersifat qadīm (tidak diciptakan) atau ḥādits (diciptakan). Persoalan ini menjadi inti polemik antara aliran Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah.¹

Secara terminologis, Ilmu Kalam didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang akidah Islam berdasarkan dalil-dalil rasional dan argumentatif, serta bertujuan membela dan meneguhkan keimanan dari serangan pemikiran menyimpang atau kelompok yang menyimpang dari ajaran Islam. Menurut Harun Nasution, Ilmu Kalam adalah “teologi Islam yang berusaha mempertahankan dan menjelaskan akidah Islam dengan akal pikiran.”_² Definisi ini menunjukkan bahwa Kalam bukan sekadar ilmu keimanan, tetapi juga memiliki dimensi logis dan filosofis yang kuat.

Al-Jurjani dalam Taʿrīfāt menyatakan bahwa Ilmu Kalam adalah “ilmu yang memberikan kemampuan untuk menetapkan akidah keagamaan dengan argumentasi dan menolak pandangan-pandangangan yang menyimpang.”_³ Artinya, Ilmu Kalam memiliki karakter apologetik (pembelaan) dan dialektik, terutama dalam merespons tantangan internal (seperti Khawarij, Mu’tazilah) maupun eksternal (pengaruh filsafat asing dan agama-agama lain).

2.2.       Tujuan dan Fungsi Ilmu Kalam

Fungsi utama Ilmu Kalam adalah menjaga kemurnian akidah Islam, baik dari distorsi penafsiran internal maupun pengaruh pemikiran eksternal. Dengan landasan nalar dan dalil, Kalam berusaha menjelaskan secara rasional konsep-konsep penting seperti tauhid, sifat-sifat Allah, qadar, kenabian, dan hari akhir.⁴ Fungsi lain dari Ilmu Kalam adalah edukatif dan normatif, yaitu memberi pemahaman logis terhadap ajaran Islam serta membimbing umat agar memiliki keyakinan yang benar.

Dalam konteks yang lebih luas, Kalam juga berperan sebagai jembatan antara wahyu dan akal, tempat di mana teks-teks keagamaan ditafsirkan melalui metode logis. Dalam hal ini, Kalam menjadi titik temu antara dimensi keimanan (iman) dan rasionalitas (aql).⁵ Karena itu, banyak ilmuwan Muslim, seperti al-Ghazali dan Fakhruddin ar-Razi, berupaya mengintegrasikan Ilmu Kalam dengan ilmu-ilmu lain, termasuk filsafat dan tasawuf.

2.3.       Perbedaan Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf

Meskipun memiliki wilayah kajian yang kadang bersinggungan, Ilmu Kalam berbeda dengan filsafat dan tasawuf. Filsafat Islam cenderung spekulatif dan menitikberatkan pada logika serta metafisika, sementara tasawuf fokus pada pengalaman batin dan penyucian jiwa untuk meraih kedekatan spiritual dengan Tuhan.

Ilmu Kalam berdiri di antara keduanya, yakni menggunakan nalar filosofis tetapi tetap berpijak pada teks wahyu.⁶ Jika filsafat bertanya “mengapa” dan tasawuf mengejar “bagaimana merasakan”, maka Ilmu Kalam berupaya menjawab “apa dan bagaimana akidah itu dijelaskan secara rasional”.

Dengan demikian, Ilmu Kalam tidak hanya penting dalam sistem teologi Islam, tetapi juga menjadi pilar pengetahuan yang membantu umat Islam dalam mengartikulasikan dan mempertahankan keimanannya di tengah dinamika zaman dan perbedaan pandangan.


Catatan Kaki

[1]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 69.

[2]                Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Jakarta: Mizan, 1995), 12.

[3]                Al-Jurjani, At-Taʿrīfāt, ed. Ibrahim al-Abyari (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), 186.

[4]                Majid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 45–47.

[5]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 23–25.

[6]                Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), 144–145.


3.           Sejarah Perkembangan Ilmu Kalam

3.1.       Masa Awal (Formatif) – Periode Sahabat dan Tabi’in

Ilmu Kalam mulai tumbuh secara embrional pada masa para Sahabat dan Tabi’in, walaupun pada saat itu belum terlembaga sebagai suatu disiplin keilmuan. Perdebatan seputar takdir (qadar), iman dan amal, serta status pelaku dosa besar menjadi pemicu awal munculnya diskusi teologis. Misalnya, munculnya kelompok Qadariyah, yang meyakini bahwa manusia memiliki kehendak bebas secara mutlak, serta kelompok Jabariyah, yang berpandangan bahwa manusia tidak memiliki kehendak sama sekali.¹ Perdebatan ini menjadi landasan awal pengembangan doktrin teologi Islam.

Kemunculan konflik politik seperti Perang Shiffin dan peristiwa tahkim turut memunculkan kelompok-kelompok seperti Khawarij dan Murji’ah yang memiliki pandangan teologis ekstrem. Khawarij, misalnya, menganggap pelaku dosa besar keluar dari Islam dan harus diperangi, sedangkan Murji’ah menunda urusan pelaku dosa besar kepada Allah dan mengutamakan iman atas amal.² Di sinilah tampak bagaimana dinamika sosial-politik menjadi pemicu bagi munculnya pemikiran Kalam.

3.2.       Masa Klasik – Lahirnya Aliran-Aliran Kalam

Periode ini dimulai pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah (8–9 Masehi), ketika Ilmu Kalam mulai tersusun secara sistematis dan melahirkan aliran-aliran besar. Salah satu tokoh terpenting pada fase ini adalah Wāṣil bin ‘Aṭā’ (w. 131 H/748 M), yang dianggap sebagai pendiri Mu’tazilah. Ia memisahkan diri dari halaqah gurunya, Hasan al-Bashri, karena perbedaan pendapat mengenai status pelaku dosa besar.³ Mu’tazilah kemudian dikenal sebagai aliran rasionalis dalam Islam yang menekankan prinsip keadilan dan keesaan Tuhan (al-‘adl wa al-tawḥīd) sebagai dasar utama teologinya.

Sebagai reaksi terhadap rasionalisme Mu’tazilah, muncul aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/935 M) dan kemudian oleh Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H/944 M). Al-Asy’ari pada awalnya adalah pengikut Mu’tazilah, namun kemudian meninggalkannya dan mengembangkan pendekatan teologis yang menyeimbangkan antara wahyu dan rasio.⁴ Aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah inilah yang kelak menjadi arus utama dalam teologi Sunni.

3.3.       Masa Pengembangan dan Sintesis – Integrasi Kalam dengan Ilmu Lain

Pada abad ke-5 dan ke-6 Hijriyah (11–12 M), Ilmu Kalam mengalami perkembangan signifikan dengan masuknya unsur-unsur filsafat dan logika. Tokoh sentral pada masa ini adalah Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), yang mengintegrasikan Ilmu Kalam dengan tasawuf dan sebagian metode filsafat. Dalam karyanya al-Iqtisad fi al-I'tiqad, al-Ghazali menyajikan Kalam dalam bentuk argumentatif sekaligus spiritual. Ia juga mengkritik para filosof dalam Tahāfut al-Falāsifah, tetapi tetap menggunakan logika mereka dalam membela akidah Islam.⁵

Pengembangan ini dilanjutkan oleh tokoh seperti Fakhruddin al-Razi (w. 606 H/1210 M), yang dikenal karena pendekatan filosofisnya dalam menafsirkan akidah. Al-Razi menulis banyak karya dalam bidang Kalam yang kompleks, seperti al-Maṭālib al-‘Āliyah dan al-Muḥaṣṣal, di mana ia membahas persoalan metafisika, eksistensi Tuhan, dan epistemologi dengan pendekatan logika formal.⁶

3.4.       Masa Kemandekan dan Kritik terhadap Kalam

Memasuki abad ke-7 hingga ke-13 Hijriyah, Ilmu Kalam cenderung mengalami stagnasi. Perkembangan lebih banyak bersifat repetitif dan apologetik. Hal ini sebagian disebabkan oleh dominasi pandangan teologis yang mapan dan munculnya gerakan konservatif yang menolak pendekatan rasional, seperti kelompok Hanbali tradisionalis.⁷

Kritik terhadap Ilmu Kalam juga datang dari sebagian kalangan Salafi, yang menganggapnya sebagai inovasi (bid’ah) yang merusak kemurnian agama. Tokoh seperti Ibn Taymiyyah (w. 728 H) menolak penggunaan logika Yunani dalam membahas akidah dan mengkritik tajam mutakallimun karena terlalu mengandalkan akal.⁸

3.5.       Masa Kontemporer – Munculnya Neo-Kalam

Pada abad ke-20 dan 21, Ilmu Kalam kembali diperhatikan oleh para intelektual Muslim modern yang berusaha merumuskan ulang teologi Islam sesuai tantangan zaman. Upaya ini dikenal sebagai Neo-Kalam, yaitu pendekatan baru terhadap Kalam yang mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan, filsafat modern, serta isu-isu kemanusiaan dan keadilan sosial.⁹

Pemikir seperti Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, dan Sayyid Hossein Nasr menjadi pelopor dalam menghidupkan kembali Ilmu Kalam dalam konteks modernitas.¹⁰ Neo-Kalam tidak lagi hanya membahas persoalan metafisika klasik, tetapi juga merambah isu-isu kontemporer seperti pluralisme agama, HAM, dan etika global, menjadikan Kalam sebagai ilmu yang hidup dan relevan.


Catatan Kaki

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 15.

[2]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Oxford: Oneworld Publications, 1998), 90–95.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 120.

[4]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 44.

[5]                Imam al-Ghazali, al-Iqtisad fi al-I'tiqad, ed. I. al-Khatib (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 22–30.

[6]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 58.

[7]                Daniel Gimaret, “The Doctrines of the Ash'arites,” in The Cambridge Companion to Classical Islamic Theology, ed. Tim Winter (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 61.

[8]                Ibn Taymiyyah, Darʾ Taʿāruḍ al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muhammad Rashad Salim (Riyadh: Dar al-‘Asimah, 1991), 1:18–20.

[9]                Nurcholish Madjid, “Reaktualisasi Teologi Islam: Gagasan tentang Neo-Mu’tazilah,” Ulumul Qur’an 5, no. 2 (1994): 4–7.

[10]             Yasien Mohamed, “Fazlur Rahman and the Reinterpretation of Kalam,” Islamic Studies 39, no. 3 (2000): 403–419.


4.           Tokoh-Tokoh Utama dalam Filsafat Kalam

Ilmu Kalam sebagai disiplin teologis dalam Islam tidak lepas dari kontribusi tokoh-tokoh besar yang membentuk arah, karakter, dan metode pendekatannya. Para mutakallimun (ahli Kalam) ini berasal dari berbagai latar belakang aliran dan zaman, dan masing-masing memberikan kontribusi besar dalam merumuskan sistem teologi yang khas. Berikut adalah beberapa tokoh sentral dalam perkembangan Filsafat Kalam.

4.1.       Wāṣil bin ‘Aṭā’ (w. 131 H/748 M)

Wāṣil bin ‘Aṭā’ dianggap sebagai pendiri aliran Mu’tazilah, sebuah mazhab teologi rasionalis dalam Islam. Ia dikenal karena pernyataannya yang terkenal, yaitu bahwa pelaku dosa besar tidak dikategorikan sebagai mukmin atau kafir, tetapi “di posisi di antara dua posisi” (al-manzilah bayna al-manzilatayn)¹. Pendapat inilah yang menyebabkan ia keluar dari majelis Hasan al-Bashri dan memulai ajaran teologis tersendiri.²

Mu’tazilah di bawah pengaruh Wāṣil mengembangkan lima prinsip dasar: tauhid, keadilan (`adl), janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id), posisi antara dua posisi, serta amar ma’ruf nahi munkar. Pandangan mereka yang rasionalistik membawa pengaruh besar dalam diskursus Kalam awal dan dalam pengembangan pemikiran keislaman di dunia Islam klasik.³

4.2.       Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/935 M)

Al-Asy’ari merupakan tokoh penting dalam sejarah Ilmu Kalam yang mendirikan mazhab Asy’ariyah, yang kemudian menjadi mazhab teologi dominan dalam Islam Sunni. Ia awalnya merupakan pengikut Mu’tazilah, namun kemudian meninggalkan pemikiran rasional ekstrem dan kembali kepada pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan pendekatan yang lebih seimbang antara akal dan wahyu.⁴

Al-Asy’ari menegaskan bahwa Allah memiliki sifat-sifat seperti mendengar, melihat, dan berbicara, namun sifat-sifat tersebut tidak menyerupai makhluk-Nya. Ia juga menekankan bahwa kehendak Allah adalah mutlak, tetapi tetap memberi ruang bagi tanggung jawab moral manusia.⁵ Dalam karyanya seperti al-Lumaʿ dan Maqālāt al-Islāmiyyīn, al-Asy’ari membangun sistem teologi yang mempertemukan argumentasi logis dengan komitmen terhadap nash (teks suci).⁶

4.3.       Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H/944 M)

Al-Maturidi adalah pendiri mazhab Maturidiyah, yang berkembang di wilayah Transoxiana (Asia Tengah), khususnya di kalangan pengikut mazhab Hanafi. Ia memiliki pendekatan yang mirip dengan al-Asy’ari, namun dengan penekanan yang lebih kuat pada peran akal dalam memahami agama.⁷

Dalam karya utamanya Kitāb al-Tawḥīd, al-Maturidi membahas secara sistematis persoalan-persoalan ketuhanan, kenabian, dan kehidupan setelah mati dengan pendekatan rasional yang tetap mengacu pada dalil-dalil wahyu. Ia menekankan bahwa akal dapat mengetahui keberadaan Tuhan dan sebagian kewajiban etis manusia, bahkan sebelum datangnya wahyu.⁸ Ini menunjukkan bahwa al-Maturidi memberi peran yang lebih besar kepada rasio manusia dibandingkan dengan al-Asy’ari.

4.4.       Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M)

Al-Ghazali adalah tokoh monumental yang menjembatani antara Ilmu Kalam, filsafat, dan tasawuf. Ia dikenal sebagai mujaddid (pembaharu) abad ke-5 H yang menulis banyak karya teologis dengan pendekatan yang sangat mendalam dan analitis. Dalam al-Iqtisād fi al-Iʿtiqād, al-Ghazali menyajikan sistem teologi yang seimbang, dengan membela ajaran Asy’ariyah melalui pendekatan rasional.⁹

Ia juga menulis Tahāfut al-Falāsifah, di mana ia mengkritik keras para filsuf seperti Ibn Sina dan al-Farabi yang menurutnya telah menyimpang dalam tiga isu teologis penting: qadimnya alam, pengetahuan Tuhan terhadap partikular, dan kebangkitan jasmani.¹⁰ Namun demikian, al-Ghazali sendiri banyak menggunakan metode logika dalam pembelaan terhadap akidah Islam, dan bahkan menganggap logika sebagai alat penting dalam memahami agama.¹¹

4.5.       Fakhruddin al-Razi (w. 606 H/1210 M)

Al-Razi merupakan pengembang Ilmu Kalam yang sangat terkenal karena pendekatannya yang sangat filosofis dan kompleks. Ia dikenal sebagai mutakallim yang menguasai filsafat, logika, dan ilmu-ilmu alam. Dalam karyanya al-Maṭālib al-‘Āliyah dan al-Muḥaṣṣal, ia membahas persoalan-persoalan metafisika dengan pendekatan yang sangat mendalam dan kritis.¹²

Al-Razi berperan penting dalam mengembangkan Kalam ke arah sistem filsafat teologis yang lebih argumentatif, bahkan banyak pandangannya yang menjadi dasar bagi pemikir-pemikir Kalam setelahnya. Ia juga menulis tafsir al-Tafsīr al-Kabīr, yang dikenal sebagai tafsir yang sangat rasional dan dipengaruhi oleh pendekatan Kalam.¹³


Catatan Kaki

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 45.

[2]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Oxford: Oneworld Publications, 1998), 101.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 122.

[4]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 52.

[5]                Daniel Gimaret, The Doctrines of the Ash‘arites (Leiden: Brill, 2007), 87–89.

[6]                Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Muṣallīn, ed. Hellmut Ritter (Wiesbaden: Franz Steiner, 1980), 16–20.

[7]                Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 133.

[8]                Abu Mansur al-Maturidi, Kitāb al-Tawḥīd, ed. Fathallah Khalif (Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 102–110.

[9]                Imam al-Ghazali, al-Iqtisād fi al-Iʿtiqād, ed. I. al-Khatib (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 24–26.

[10]             Imam al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 45–50.

[11]             Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 91–95.

[12]             Fakhr al-Din al-Razi, al-Muḥaṣṣal fī Uṣūl al-Dīn, ed. T. M. Najjar (Beirut: Dar al-Fikr al-Lubnani, 1992), 14–19.

[13]             Mohamed R. Salama, “Fakhr al-Dīn al-Rāzī’s Contribution to Theological Hermeneutics,” Islamic Studies 42, no. 1 (2003): 57–72.


5.           Pokok-Pokok Pemikiran Kalam

Ilmu Kalam sebagai cabang teologi Islam memiliki sejumlah tema fundamental yang menjadi objek perdebatan dan perumusan rasional oleh para mutakallimun. Pokok-pokok pemikiran ini berkaitan erat dengan upaya sistematis dalam menjelaskan, mempertahankan, dan membela doktrin keimanan Islam dari berbagai tantangan ideologis dan intelektual, baik internal maupun eksternal. Berikut ini adalah beberapa tema utama yang menjadi fokus kajian dalam Ilmu Kalam.

5.1.       Tauhid dan Sifat-Sifat Allah

Tauhid atau keesaan Allah merupakan landasan utama dalam Ilmu Kalam. Para mutakallimun tidak hanya menegaskan bahwa Allah itu Esa, tetapi juga memperdebatkan secara mendalam sifat-sifat Allah: apakah sifat-sifat tersebut berdiri sendiri atau merupakan bagian dari dzat-Nya.

Kaum Mu’tazilah menolak keberadaan sifat-sifat yang berdiri sendiri karena menurut mereka hal itu akan membawa kepada paham ta‘addud al-qudama’ (adanya banyak yang qadim), yang bertentangan dengan prinsip tauhid murni.¹ Sebaliknya, Asy’ariyah dan Maturidiyah menerima bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang qadim, seperti ilmu, hayat, iradah, dan kalam, namun sifat-sifat tersebut tidak terpisah dari dzat-Nya.²

Perdebatan ini mengarah pada rumusan filosofis mengenai Tuhan yang tidak hanya transenden, tetapi juga berkehendak dan berkuasa secara aktif dalam menciptakan dan mengatur alam semesta.

5.2.       Qadha dan Qadar (Kehendak Tuhan dan Kebebasan Manusia)

Masalah hubungan antara kehendak Tuhan (qadar) dan kebebasan manusia merupakan isu sentral dalam Ilmu Kalam. Kaum Jabariyah menolak kebebasan manusia dan menyatakan bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Allah semata.³ Sebaliknya, Qadariyah dan Mu’tazilah mengajukan konsep kebebasan dan tanggung jawab moral manusia secara penuh.

Asy’ariyah memperkenalkan konsep kasb (perolehan), yang menyatakan bahwa manusia tidak menciptakan amalnya, tetapi memperoleh atau memilihnya dari kekuasaan Allah.⁴ Adapun Maturidiyah lebih menekankan bahwa manusia memiliki kemampuan dan kehendak yang diciptakan oleh Allah, namun tetap bertanggung jawab atas amalnya.⁵

Perdebatan ini tidak hanya bernilai teologis, tetapi juga berkaitan dengan dasar etika dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan beragama.

5.3.       Kalam Allah: Qadim atau Hadits?

Salah satu isu kontroversial yang paling sengit dalam sejarah Ilmu Kalam adalah tentang kalam Allah, khususnya apakah al-Qur’an sebagai kalam Allah bersifat qadim (tidak diciptakan) atau hadits (diciptakan). Mu’tazilah menyatakan bahwa kalam Allah diciptakan (makhluk) karena adanya dalam bentuk suara dan huruf yang bersifat temporal.⁶

Sebaliknya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyatakan bahwa kalam Allah bersifat qadim, tetapi membedakan antara kalam nafsi (yang tersimpan dalam dzat-Nya) dan kalam lafzi (yang diekspresikan dalam bentuk bahasa manusia).⁷ Pendapat ini kemudian dijadikan dasar oleh banyak ulama dalam menjelaskan hakikat wahyu dan otoritas teks suci.

5.4.       Iman, Kufur, dan Status Pelaku Dosa Besar

Perdebatan mengenai status pelaku dosa besar (kabā’ir) menjadi latar belakang munculnya perbedaan teologis awal dalam Islam. Kelompok Khawarij menganggap pelaku dosa besar keluar dari Islam (kafir), sementara Murji’ah berpandangan bahwa amal bukanlah bagian dari iman, sehingga pelaku dosa besar tetap dianggap mukmin.⁸

Mu’tazilah mengambil posisi tengah dengan doktrin al-manzilah bayna al-manzilatayn, sedangkan Asy’ariyah berpendapat bahwa iman adalah pembenaran dalam hati, dan amal hanyalah pelengkap, bukan unsur esensial. Oleh karena itu, pelaku dosa besar tetap berada dalam lingkup iman, meskipun akan menerima siksa kecuali Allah mengampuni.⁹

5.5.       Kenabian dan Fungsi Rasul

Ilmu Kalam juga membahas secara mendalam konsep kenabian (nubuwwah) sebagai bentuk wahyu dan petunjuk dari Allah kepada umat manusia. Para mutakallimun menetapkan bahwa para nabi memiliki sifat-sifat wajib, seperti ṣidq (jujur), amānah (terpercaya), tablīgh (menyampaikan), dan faṭānah (cerdas), yang membedakan mereka dari manusia biasa.¹⁰

Masalah mukjizat, keabsahan kenabian, serta kriteria kebenaran risalah menjadi topik yang dibahas dengan pendekatan rasional oleh para mutakallimun, terutama untuk menolak klaim kenabian palsu dan untuk membuktikan keabsahan kerasulan Nabi Muhammad Saw.

5.6.       Masalah Hari Akhir dan Metafisika Akhirat

Keyakinan terhadap hari akhir, termasuk surga, neraka, hisab, dan pembalasan amal, merupakan bagian integral dari rukun iman. Para mutakallimun membahas apakah kebangkitan nanti bersifat jasmani atau rohani, serta bagaimana keadaan ruh setelah kematian.

Aliran Mu’tazilah, sebagian, lebih menekankan pada aspek rasional dari pahala dan siksa, sementara Ahlus Sunnah menegaskan kebenaran literal dari nash mengenai hari kiamat, namun tetap membuka ruang bagi penafsiran teologis.¹¹


Catatan Kaki

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 97–100.

[2]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 74.

[3]                Majid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 35.

[4]                Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqālāt al-Islāmiyyīn, ed. Hellmut Ritter (Wiesbaden: Franz Steiner, 1980), 291–294.

[5]                Abu Mansur al-Maturidi, Kitāb al-Tawḥīd, ed. Fathallah Khalif (Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 87.

[6]                Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam (Oxford: Oneworld, 1997), 76.

[7]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 67.

[8]                Watt, The Formative Period of Islamic Thought, 92–95.

[9]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 49.

[10]             Daniel Gimaret, “The Doctrines of the Ashʿarites,” in The Cambridge Companion to Classical Islamic Theology, ed. Tim Winter (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 68.

[11]             Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 208–210.


6.           Aliran-Aliran dalam Filsafat Kalam

Ilmu Kalam sebagai disiplin teologi Islam tidak bersifat monolitik. Sejak awal perkembangannya, muncul berbagai aliran teologis yang berbeda dalam pendekatan, metode, serta kesimpulan teologisnya. Perbedaan ini dipengaruhi oleh respons terhadap teks agama, pemikiran filsafat asing, serta konteks sosial-politik umat Islam. Berikut adalah beberapa aliran utama dalam Filsafat Kalam yang telah memainkan peran penting dalam sejarah pemikiran Islam.

6.1.       Mu’tazilah

Mu’tazilah adalah aliran teologi rasionalis pertama dalam Islam yang muncul pada awal abad ke-2 Hijriyah. Nama “Mu’tazilah” (secara harfiah: orang yang memisahkan diri) dikaitkan dengan sikap Wāṣil bin ‘Aṭā’ yang keluar dari majelis Hasan al-Bashri karena perbedaan pandangan mengenai status pelaku dosa besar.¹

Mu’tazilah dikenal dengan lima prinsip dasar (al-uṣūl al-khamsah):

1)                  Tauhid

2)                  Keadilan (`adl)

3)                  Janji dan ancaman (al-waʿd wa al-waʿīd)

4)                  Posisi di antara dua posisi (al-manzilah bayna al-manzilatayn)

5)                  Amar ma’ruf nahi munkar²

Mereka menekankan bahwa Tuhan harus bersifat adil, sehingga tidak mungkin menetapkan hukuman atau pahala tanpa sebab. Akal dianggap cukup kuat untuk mengetahui yang baik dan buruk tanpa perlu wahyu. Selain itu, Mu’tazilah juga berpandangan bahwa al-Qur’an adalah makhluk karena bersifat temporal.³

6.2.       Asy’ariyah

Sebagai reaksi terhadap rasionalisme ekstrem Mu’tazilah, muncul aliran Asy’ariyah yang didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari pada abad ke-4 Hijriyah. Ia berusaha memadukan pendekatan rasional dengan kesetiaan terhadap teks wahyu.

Asy’ariyah tetap menggunakan rasio, tetapi dalam batas-batas tertentu. Mereka meyakini bahwa sifat-sifat Allah seperti ilmu, iradah, dan kalam adalah qadim dan melekat pada dzat-Nya, tanpa menyerupai sifat makhluk.⁴ Mereka juga mengembangkan doktrin kasb untuk menjelaskan hubungan antara kehendak Allah dan tanggung jawab manusia.⁵

Asy’ariyah menjadi aliran teologi yang paling dominan di dunia Islam Sunni, terutama karena didukung oleh tokoh besar seperti al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi.

6.3.       Maturidiyah

Aliran Maturidiyah didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi, seorang teolog dari wilayah Transoxiana yang hidup sezaman dengan al-Asy’ari. Meski banyak kesamaan dengan Asy’ariyah, Maturidiyah menekankan peran akal yang lebih besar dalam memahami agama.⁶

Dalam Maturidiyah, akal dinilai mampu mengetahui kewajiban moral dan keberadaan Tuhan bahkan tanpa wahyu. Mereka juga cenderung menetapkan hubungan kausalitas antara perbuatan dan hukuman/pahala, berbeda dari Asy’ariyah yang lebih menekankan kekuasaan mutlak Allah.⁷

Maturidiyah berkembang di kalangan penganut mazhab Hanafi dan menjadi dominan di kawasan Asia Tengah, Turki, dan anak benua India.

6.4.       Khawarij

Khawarij adalah salah satu kelompok politik-teologis pertama dalam Islam. Mereka dikenal karena pandangan teologis yang ekstrem, terutama terkait status pelaku dosa besar. Bagi Khawarij, pelaku dosa besar adalah kafir dan wajib diperangi.⁸

Mereka juga menolak legitimasi kekuasaan Ali bin Abi Thalib setelah peristiwa tahkim dan memandang bahwa setiap Muslim yang saleh berhak menjadi pemimpin, tanpa syarat nasab. Dalam aspek teologis, mereka lebih tekstualis dan menolak spekulasi rasional dalam memahami akidah.⁹

6.5.       Murji’ah

Berlawanan dengan Khawarij, aliran Murji’ah menunda keputusan tentang pelaku dosa besar kepada Allah. Mereka berpandangan bahwa iman cukup diukur dari pembenaran dalam hati, tanpa mempertimbangkan amal perbuatan secara mutlak.¹⁰

Pandangan ini berkembang sebagai respons terhadap konflik politik dan teologis pasca Khulafa’ Rasyidun, dan memberi kontribusi terhadap pemisahan antara iman dan amal dalam diskursus Kalam.

6.6.       Perbandingan Singkat antar Aliran

Berikut adalah perbandingan singkat mengenai lima aliran utama dalam Ilmu Kalam berdasarkan pendekatan, pandangan terhadap pelaku dosa besar, pandangan tentang kalam Allah, dan sikap terhadap peran akal:

·                     Mu’tazilah

Pendekatan: Rasional.

Status pelaku dosa besar: Ditempatkan di antara dua posisi (al-manzilah bayna al-manzilatayn)—bukan mukmin, bukan pula kafir.

Pandangan tentang kalam Allah: Al-Qur’an adalah makhluk (diciptakan).

Peran akal: Akal sangat dominan; dapat menentukan baik dan buruk tanpa bantuan wahyu.

·                     Asy’ariyah

Pendekatan: Moderat (kombinasi antara wahyu dan akal).

Status pelaku dosa besar: Tetap mukmin, namun fasiq; berada dalam kehendak Allah apakah akan diampuni atau disiksa.

Pandangan tentang kalam Allah: Qadim; membedakan antara kalam nafsī (maknawi) dan lafẓī (ungkapan verbal).

Peran akal: Akal digunakan, namun tunduk pada teks wahyu.

·                     Maturidiyah

Pendekatan: Rasional moderat.

Status pelaku dosa besar: Tetap mukmin; dosa besar tidak mengeluarkan dari Islam.

Pandangan tentang kalam Allah: Qadim, namun tidak identik dengan suara atau huruf.

Peran akal: Akal dapat mengenali Tuhan dan sebagian kewajiban moral tanpa wahyu.

·                     Khawarij

Pendekatan: Tekstual ekstrem.

Status pelaku dosa besar: Kafir dan keluar dari Islam; wajib diperangi.

Pandangan tentang kalam Allah: Tidak dijelaskan secara rinci dalam literatur utama mereka.

Peran akal: Peran akal sangat minim; teks (nash) dipahami secara literal.

·                     Murji’ah

Pendekatan: Tekstual inklusif.

Status pelaku dosa besar: Tetap mukmin; hanya Allah yang berhak menentukan nasib akhir mereka.

Pandangan tentang kalam Allah: Tidak menjadi fokus utama.

Peran akal: Cenderung minim; iman cukup dengan pembenaran hati meskipun tanpa amal.


Catatan Kaki

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 37.

[2]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 52–53.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 123–124.

[4]                Daniel Gimaret, The Doctrines of the Ashʿarites (Leiden: Brill, 2007), 66–69.

[5]                Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqālāt al-Islāmiyyīn, ed. Hellmut Ritter (Wiesbaden: Franz Steiner, 1980), 290.

[6]                Abu Mansur al-Maturidi, Kitāb al-Tawḥīd, ed. Fathallah Khalif (Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 55–60.

[7]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 48.

[8]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Oxford: Oneworld Publications, 1998), 79–82.

[9]                Richard C. Martin, Islamic Studies: A History of Religions Approach (Upper Saddle River: Pearson Prentice Hall, 2003), 129.

[10]             Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1 (Jakarta: UI Press, 1985), 136.


7.           Perkembangan dan Relevansi Ilmu Kalam di Era Modern

Seiring berjalannya waktu dan berubahnya lanskap intelektual serta sosial-politik umat Islam, Ilmu Kalam tidak lagi terbatas pada pembahasan klasik mengenai ketuhanan, kenabian, dan eskatologi, tetapi mengalami transformasi dalam bentuk, pendekatan, dan objek kajian. Tantangan modernitas, sekularisme, sains, dan pluralisme agama mendorong para intelektual Muslim untuk mereaktualisasi Ilmu Kalam agar tetap relevan dalam menjawab persoalan zaman. Inisiatif ini melahirkan apa yang dikenal dengan istilah “Neo-Kalam”.

7.1.       Latar Belakang Kebutuhan Pembaruan Kalam

Modernitas membawa perubahan besar dalam cara berpikir manusia. Rasionalitas kritis, metode ilmiah, demokrasi, serta hak asasi manusia menjadi wacana global yang menantang struktur teologi tradisional. Dalam konteks ini, teologi Islam tradisional dianggap belum memadai dalam memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan etis dan eksistensial kontemporer.¹

Sebagai contoh, konsep takdir seringkali dipertanyakan ulang dalam konteks kebebasan manusia dan tanggung jawab sosial. Begitu pula dengan relasi agama dan sains, serta pertanyaan tentang pluralitas agama dan etika global. Di sinilah Ilmu Kalam perlu diperbarui, bukan dari sisi akidahnya, tetapi dari pendekatan, metodologi, dan cakupan isunya.

7.2.       Munculnya Neo-Kalam

Istilah Neo-Kalam mengacu pada gerakan pembaruan pemikiran teologis dalam Islam yang berupaya menyesuaikan Ilmu Kalam dengan tantangan zaman modern. Gerakan ini tidak bersifat seragam, tetapi memiliki benang merah: keterbukaan terhadap filsafat modern, dialog antaragama, dan keterlibatan aktif dalam isu-isu kontemporer.

Salah satu pelopor utama Neo-Kalam adalah Fazlur Rahman, pemikir asal Pakistan yang mengembangkan gagasan bahwa wahyu harus dipahami secara kontekstual dan dinamis, bukan statis dan literal.² Ia menyatakan bahwa teologi Islam harus bertransformasi menjadi teologi moral, bukan sekadar dogmatik, dengan menekankan prinsip keadilan, tanggung jawab, dan rasionalitas.

Muhammad Abduh, sebelumnya, telah mengawali semangat reformasi Kalam dengan menekankan pentingnya akal dalam memahami agama.³ Ia menolak fatalisme dan mendorong reinterpretasi ajaran Islam melalui pendekatan rasional yang sesuai dengan nilai-nilai modern.

Di Indonesia, Nurcholish Madjid menjadi tokoh yang menggagas reaktualisasi teologi Islam dengan pendekatan yang terbuka terhadap pemikiran Barat dan pluralisme.⁴ Baginya, Kalam tidak cukup jika hanya menjawab pertanyaan abad pertengahan. Ia harus dapat berfungsi sebagai kekuatan transformatif yang membangun tatanan masyarakat berkeadilan.

7.3.       Isu-Isu Kontemporer dalam Neo-Kalam

Neo-Kalam memperluas objek kajian Kalam ke wilayah yang sebelumnya tidak diperhatikan oleh mutakallimun klasik, di antaranya:

1)                  Hubungan antara agama dan sains modern, seperti teori evolusi, Big Bang, dan bioetika. Para teolog kontemporer mencoba mengharmoniskan sains dan wahyu tanpa mengorbankan prinsip-prinsip teologis.⁵

2)                  Isu-isu keadilan sosial, seperti kemiskinan, lingkungan hidup, dan HAM. Teologi Kalam yang baru berupaya menjadikan keadilan sebagai inti dari keberagamaan.⁶

3)                  Pluralisme agama, yaitu bagaimana memahami keselamatan di luar Islam dan menjalin relasi damai antar umat beragama. Pendekatan inklusif dan humanis ditawarkan oleh sebagian pemikir Kalam kontemporer.⁷

4)                  Gender dan hak perempuan juga menjadi isu yang masuk dalam diskursus Neo-Kalam, yang sebelumnya diabaikan oleh mutakallimun klasik.

7.4.       Tantangan dan Kritik terhadap Neo-Kalam

Walaupun menawarkan banyak hal baru, Neo-Kalam juga menghadapi kritik, terutama dari kalangan konservatif yang memandang bahwa pendekatan ini terlalu akomodatif terhadap nilai-nilai Barat dan berpotensi mengaburkan batasan antara Islam dan sekularisme.⁸ Di sisi lain, sebagian kalangan progresif menilai bahwa Neo-Kalam masih terlalu defensif dan belum cukup radikal dalam menafsirkan ulang ajaran-ajaran teologis klasik.

Namun demikian, Neo-Kalam tetap menawarkan harapan akan lahirnya teologi Islam yang lebih relevan, berakar pada tradisi tetapi terbuka terhadap perubahan, serta mampu menjawab kebutuhan umat Islam masa kini dan masa depan.


Kesimpulan

Perkembangan Ilmu Kalam di era modern menunjukkan bahwa disiplin ini bukanlah sistem teologi statis, tetapi memiliki fleksibilitas epistemologis untuk merespons dinamika zaman. Neo-Kalam bukan hanya sekadar pembaruan format, tetapi juga refleksi atas pergeseran paradigma dalam memahami Tuhan, manusia, dan kehidupan. Dengan demikian, Ilmu Kalam tetap menjadi instrumen vital dalam menjaga, memperluas, dan memperdalam keimanan Islam di tengah tantangan global.


Catatan Kaki

[1]                Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Jakarta: Mizan, 1995), 101.

[2]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–12.

[3]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford University Press, 1968), 86–88.

[4]                Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 210–215.

[5]                Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Myth and the Reality (London: International Institute of Islamic Thought, 1989), 44–46.

[6]                Mahmoud Ayoub, “Towards an Islamic Theology of Liberation,” in Voices of Resurgent Islam, ed. John L. Esposito (New York: Oxford University Press, 1983), 98–100.

[7]                Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism (Oxford: Oneworld, 1997), 135–140.

[8]                Hamid Fahmy Zarkasyi, “Neo-Mutazilisme dan Bahaya Liberalisme di Dunia Islam,” Islamia 4, no. 1 (2007): 10–13.


8.           Kritik terhadap Ilmu Kalam

Meskipun Ilmu Kalam memiliki kontribusi besar dalam memperkuat fondasi teologi Islam, ia tidak luput dari berbagai kritik, baik dari kalangan internal umat Islam sendiri maupun dari luar. Kritik-kritik ini menyasar aspek metodologis, epistemologis, maupun ideologis, dan muncul sepanjang sejarah hingga era kontemporer.

8.1.       Kritik dari Kalangan Salaf: Penggunaan Akal yang Berlebihan

Salah satu kritik paling awal dan kuat terhadap Ilmu Kalam datang dari golongan Salaf, khususnya ulama-ulama dari mazhab Hanbali, seperti Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka menolak pendekatan spekulatif dalam membahas masalah akidah, serta menentang penggunaan logika filsafat Yunani dalam Islam.

Imam Ahmad dan pengikutnya menganggap bahwa Ilmu Kalam adalah bid‘ah (inovasi dalam agama) karena tidak dikenal pada masa Nabi dan para Sahabat.⁽¹⁾ Mereka berpandangan bahwa kebenaran agama harus diterima berdasarkan nash (al-Qur’an dan hadits) secara tekstual, tanpa penafsiran spekulatif atau debat rasional yang berlebihan. Hal ini tampak jelas dalam sikapnya terhadap kaum Mu’tazilah dalam peristiwa Mihnah (inkuisisi), di mana ia menolak doktrin bahwa al-Qur’an adalah makhluk.

Ibn Taymiyyah (w. 728 H) memperkuat kritik ini dalam karyanya Darʾ Taʿāruḍ al-‘Aql wa al-Naql, dengan menyatakan bahwa Kalam menyimpang dari metode salaf dan hanya menimbulkan kebingungan umat. Ia menolak asumsi bahwa akal memiliki otoritas di atas wahyu.⁽²⁾

8.2.       Kritik dari Filsuf Muslim: Inkonsistensi Rasionalitas Kalam

Para filosof Muslim seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd mengkritik Ilmu Kalam karena dianggap tidak konsisten secara metodologis, serta terlalu bergantung pada doktrin-doktrin yang sudah ditentukan sebelumnya. Bagi mereka, para mutakallimun cenderung memaksakan hasil-hasil pemikiran rasional untuk membenarkan pandangan teologis yang sudah diyakini, alih-alih membangun argumen secara objektif.

Ibn Rushd, dalam karyanya Tahāfut al-Tahāfut, mengecam para mutakallimun karena terlalu banyak menggunakan analogi dan asumsi metafisika yang tidak dapat dibuktikan secara rasional.⁽³⁾ Ia menilai bahwa filsafat memiliki metodologi yang lebih koheren dalam memahami realitas Tuhan dan dunia, dibandingkan spekulasi Kalam yang bersifat dialektis dan apologetik.

8.3.       Kritik Internal antar Aliran Kalam

Ilmu Kalam juga menghadapi kritik internal, terutama antara berbagai aliran yang saling menyalahkan metode dan doktrin masing-masing. Misalnya, Mu’tazilah mengkritik Asy’ariyah karena dianggap terlalu pasrah kepada kehendak Tuhan dan mengabaikan prinsip keadilan serta tanggung jawab moral manusia. Sebaliknya, Asy’ariyah menilai Mu’tazilah terlalu rasional dan mendahulukan akal daripada nash, sehingga berpotensi keluar dari batasan wahyu.⁽⁴⁾

Di sisi lain, Maturidiyah juga memberikan kritik terhadap pendekatan Asy’ariyah yang dianggap kurang memberi ruang bagi peran akal dalam menetapkan nilai-nilai moral dan kebenaran teologis.⁽⁵⁾ Perselisihan ini menunjukkan bahwa sekalipun sama-sama berada dalam tradisi Ilmu Kalam, perbedaan metodologi membawa pada perbedaan substansial dalam teologi.

8.4.       Kritik Kontemporer: Ketidakrelevanan Kalam Klasik

Di era modern, kritik terhadap Ilmu Kalam muncul dari kalangan intelektual Muslim kontemporer, yang menilai bahwa teologi klasik tidak lagi relevan untuk menjawab tantangan zaman, seperti pluralisme, sekularisme, demokrasi, dan sains modern. Ilmu Kalam dianggap terlalu fokus pada perdebatan metafisika abad pertengahan dan gagal mengakomodasi problem-problem aktual umat Islam.⁽⁶⁾

Tokoh seperti Fazlur Rahman menegaskan bahwa Ilmu Kalam perlu dirombak secara metodologis, bukan hanya direvisi secara tematik.⁽⁷⁾ Ia menyebut Kalam klasik sebagai teologi yang statis dan tidak transformatif. Demikian pula, Mohammad Arkoun mengkritik tradisi Kalam sebagai beban sejarah yang membelenggu kreativitas berpikir Islam.⁽⁸⁾

Namun, sebagian pemikir Islam modern tidak membuang Ilmu Kalam sepenuhnya, melainkan mendorong Neo-Kalam, yaitu pembaruan teologi Islam dengan pendekatan hermeneutik, etika, dan dialog transdisipliner, seperti telah dibahas sebelumnya.


Kesimpulan

Kritik terhadap Ilmu Kalam, baik dari kalangan tradisionalis, filosof, maupun modernis, menunjukkan bahwa Kalam adalah ilmu yang hidup dan dinamis, tetapi juga kontroversial. Ia dihargai karena sumbangannya dalam membela akidah Islam, tetapi juga dikritik karena pendekatannya yang kadang dianggap kaku, defensif, dan kurang relevan.

Alih-alih menolaknya secara total, tantangan utama saat ini adalah bagaimana mereformasi Ilmu Kalam secara kreatif, dengan tetap berpijak pada otentisitas ajaran Islam dan keterbukaan terhadap perkembangan zaman.


Catatan Kaki

[1]                Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Jakarta: Mizan, 1995), 85.

[2]                Ibn Taymiyyah, Darʾ Taʿāruḍ al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muhammad Rashad Salim (Riyadh: Dar al-‘Asimah, 1991), 1:15–20.

[3]                Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, ed. Sulaiman Dunya (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1968), 22–24.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 132.

[5]                Abu Mansur al-Maturidi, Kitāb al-Tawḥīd, ed. Fathallah Khalif (Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 102.

[6]                Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 211–213.

[7]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 8–10.

[8]                Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, trans. Robert D. Lee (Boulder: Westview Press, 1994), 55.


9.           Kesimpulan

Ilmu Kalam merupakan salah satu cabang utama dalam khazanah keilmuan Islam yang berperan penting dalam menegakkan dan mempertahankan akidah Islam melalui pendekatan argumentatif dan rasional. Sejak masa awal Islam, Ilmu Kalam telah tumbuh sebagai respon terhadap tantangan internal berupa perbedaan pemahaman akidah, serta tantangan eksternal dari pengaruh filsafat asing dan agama-agama lain.

Dalam proses perkembangannya, Ilmu Kalam tidak hanya menjadi instrumen apologetik, tetapi juga sebuah sistem pemikiran teologis yang kompleks dan multidimensi. Aliran-aliran seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, serta kelompok Khawarij dan Murji’ah, menunjukkan adanya dinamika intelektual yang hidup dalam tradisi Islam, dengan masing-masing menawarkan pendekatan berbeda terhadap persoalan Tuhan, manusia, kehendak bebas, wahyu, dan hari akhir.¹

Kontribusi tokoh-tokoh besar seperti Wāṣil bin ‘Aṭā’, Abu al-Hasan al-Asy’ari, Abu Mansur al-Maturidi, Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi membuktikan bahwa Kalam bukan sekadar doktrin, tetapi juga sebuah upaya metodologis dan intelektual yang mendalam dalam memahami prinsip-prinsip keimanan Islam secara rasional.²

Namun demikian, Ilmu Kalam juga tidak luput dari kritik, baik dari kalangan tradisionalis seperti Ibn Taymiyyah yang menganggapnya sebagai bid‘ah, maupun dari kalangan filsuf seperti Ibn Rushd yang menilai metode Kalam tidak sepenuhnya rasional.³ Di era modern, kritik semakin menguat karena Ilmu Kalam klasik dinilai kurang relevan dalam menjawab tantangan kontemporer seperti sains, pluralisme, demokrasi, dan hak asasi manusia.⁴

Sebagai respon terhadap hal ini, muncul gerakan Neo-Kalam yang digagas oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, dan Nurcholish Madjid, yang berusaha mengembangkan teologi Islam yang lebih kontekstual, dinamis, dan transformatif.⁵ Neo-Kalam tidak hanya membela akidah, tetapi juga menjadi jembatan antara Islam dengan sains modern, etika global, dan dialog antaragama.

Dengan demikian, Ilmu Kalam tetap memiliki nilai penting dan relevan dalam konteks keislaman modern, sepanjang ia terus diperbarui secara metodologis dan tematis. Kalam bukanlah warisan mati, tetapi tradisi intelektual hidup yang dapat terus dikembangkan untuk memperkuat keimanan dan menjawab tantangan zaman.


Catatan Kaki

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 45–47.

[2]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 63–66.

[3]                Ibn Taymiyyah, Darʾ Taʿāruḍ al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muhammad Rashad Salim (Riyadh: Dar al-‘Asimah, 1991), 1:15–20; Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, ed. Sulaiman Dunya (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1968), 22–24.

[4]                Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 210–215.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–12; Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford University Press, 1968), 86–88.


Daftar Pustaka

Adams, C. C. (1968). Islam and modernism in Egypt: A study of the modern reform movement inaugurated by Muhammad Abduh. Oxford University Press.

al-Asy’ari, A. H. (1980). Maqālāt al-Islāmiyyīn wa ikhtilāf al-muṣallīn (H. Ritter, Ed.). Franz Steiner.

al-Ghazali, A. H. (1983). al-Iqtisād fī al-Iʿtiqād (I. al-Khatib, Ed.). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

al-Ghazali, A. H. (1927). Tahāfut al-falāsifah (M. Bouyges, Ed.). Imprimerie Catholique.

al-Maturidi, A. M. (1970). Kitāb al-Tawḥīd (F. Khalif, Ed.). Dar al-Mashriq.

Arkoun, M. (1994). Rethinking Islam: Common questions, uncommon answers (R. D. Lee, Trans.). Westview Press.

Esack, F. (1997). Qur’an, liberation and pluralism: An Islamic perspective of interreligious solidarity against oppression. Oneworld Publications.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Fakhry, M. (1997). A short introduction to Islamic philosophy, theology and mysticism. Oneworld Publications.

Griffel, F. (2009). Al-Ghazali’s philosophical theology. Oxford University Press.

Gimaret, D. (2007). The doctrines of the Ash‘arites. Brill.

Ibn Rushd. (1968). Tahāfut al-tahāfut (S. Dunya, Ed.). Dar al-Ma‘arif.

Ibn Taymiyyah. (1991). Darʾ taʿāruḍ al-‘aql wa al-naql (M. R. Salim, Ed.). Dar al-‘Asimah.

Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic philosophy. Polity Press.

Madjid, N. (1992). Islam: Doktrin dan peradaban. Paramadina.

Madjid, N. (1994). Reaktualisasi teologi Islam: Gagasan tentang Neo-Mu’tazilah. Ulumul Qur’an, 5(2), 4–7.

Martin, R. C. (1997). Defenders of reason in Islam: Mu’tazilism from medieval school to modern symbol. Oneworld Publications.

Martin, R. C. (2003). Islamic studies: A history of religions approach. Pearson Prentice Hall.

Mohamed, Y. (2000). Fazlur Rahman and the reinterpretation of kalam. Islamic Studies, 39(3), 403–419.

Nasution, H. (1985). Islam ditinjau dari berbagai aspeknya (Vol. 1). UI Press.

Nasution, H. (1986). Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan. UI Press.

Nasution, H. (1995). Islam rasional: Gagasan dan pemikiran. Mizan.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.

Salama, M. R. (2003). Fakhr al-Dīn al-Rāzī’s contribution to theological hermeneutics. Islamic Studies, 42(1), 57–72.

Sardar, Z. (1989). Islamic science: The myth and the reality. International Institute of Islamic Thought.

Watt, W. M. (1985). Islamic philosophy and theology. Edinburgh University Press.

Watt, W. M. (1998). The formative period of Islamic thought. Oneworld Publications.

Winter, T. (Ed.). (2008). The Cambridge companion to classical Islamic theology. Cambridge University Press.

Zarkasyi, H. F. (2007). Neo-Mutazilisme dan bahaya liberalisme di dunia Islam. Islamia, 4(1), 10–13.


Lampiran: Perbedaan Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf

Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf merupakan tiga cabang utama dalam khazanah intelektual Islam yang memiliki tujuan sama, yakni mencari kebenaran tentang Tuhan, manusia, dan alam semesta. Namun, ketiganya berbeda dalam pendekatan, sumber otoritas, dan metode epistemologis yang digunakan.

Berikut ini adalah perbedaan mendasar antara ketiganya:

1.            Ilmu Kalam (Teologi Islam)

·                     Tujuan: Menegakkan dan mempertahankan akidah Islam berdasarkan argumen rasional.

·                     Metode: Menggabungkan antara nash (wahyu) dan rasionalitas (ʿaql), tetapi tetap memprioritaskan otoritas wahyu dalam penentuan doktrin.

·                     Ciri utama: Bersifat apologetik dan dialektik; digunakan untuk menghadapi penyimpangan pemikiran dari luar maupun dalam Islam.

·                     Sumber pengetahuan: Wahyu (al-Qur’an dan hadis) dan akal.

·                     Contoh tema: Sifat-sifat Tuhan, kehendak bebas manusia, status pelaku dosa besar.

Ilmu Kalam ialah pembahasan akidah keislaman yang bertujuan membela keyakinan Islam dengan hujjah rasional terhadap serangan lawan-lawan Islam maupun internal umat Islam sendiri.”_¹

2.            Filsafat Islam

·                     Tujuan: Menyelidiki realitas (wujūd), hakikat Tuhan, dan eksistensi secara rasional dan spekulatif.

·                     Metode: Rasional murni, mengandalkan logika deduktif serta analisis metafisika dan kosmologi.

·                     Ciri utama: Bersifat sistematis, spekulatif, dan logis, mengikuti warisan filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plato.

·                     Sumber pengetahuan: Akal dan observasi; wahyu dipertimbangkan, tetapi tidak menjadi rujukan utama.

·                     Contoh tema: Kausalitas, teori emanasi, jiwa, dan akal aktif.

Filsafat Islam lebih bersifat reflektif dan rasional murni; tujuan utamanya bukan membela dogma, tetapi memahami hakikat segala sesuatu.”_²

3.            Tasawuf (Mistisisme Islam)

·                     Tujuan: Mencapai kedekatan langsung dengan Allah melalui penyucian jiwa dan latihan spiritual.

·                     Metode: Introspeksi batin (mujahadah), dzikir, dan riyāḍah (latihan ruhani).

·                     Ciri utama: Bersifat emosional, intuisi-spiritual; lebih berorientasi pada rasa (żawq) daripada rasio.

·                     Sumber pengetahuan: Wahyu, pengalaman spiritual, dan bimbingan mursyid (guru rohani).

·                     Contoh tema: Ma'rifatullah, fana’ (peleburan diri dalam Tuhan), thariqah, dan hakikat.

Tasawuf bukan sekadar ilmu, tapi pengalaman batiniah yang mendalam, di mana kebenaran tentang Tuhan diperoleh melalui penyaksian hati yang jernih.”_³


Kesimpulan Perbandingan (Ringkas)

·                     Ilmu Kalam: Menyusun dan membela akidah Islam secara rasional berdasarkan wahyu.

·                     Filsafat: Mengkaji eksistensi secara rasional dan universal, cenderung spekulatif.

·                     Tasawuf: Mengalami Tuhan secara langsung melalui penyucian jiwa dan pengalaman spiritual.

Ketiganya saling melengkapi, walau dalam sejarahnya juga saling bersinggungan dan terkadang bertentangan, khususnya antara Kalam dan Filsafat, atau antara Kalam dan Tasawuf. Tokoh seperti Imam al-Ghazali menjadi contoh sintesis dari ketiganya, di mana Kalam, filsafat, dan tasawuf diselaraskan dalam kerangka akidah dan etika Islam.⁴


Catatan Kaki

[1]                Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Jakarta: Mizan, 1995), 101.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 5–6.

[3]                Annemarie Schimmel, Mistik Islam: Menelusuri Jejak-Jejak Spiritual dalam Dunia Islam (Bandung: Mizan, 2000), 67.

[4]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 102–107.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar