Filsafat Kalam dalam Islam
Sejarah, Konsep, dan Perkembangannya
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
Ilmu Kalam sebagai salah satu cabang utama dalam filsafat Islam yang berfungsi
mempertahankan dan menjelaskan akidah Islam secara rasional. Dimulai dari
pengertian dan hakikatnya, artikel ini mengulas secara sistematis perkembangan
historis Kalam sejak masa sahabat hingga era kontemporer, serta menyoroti
kontribusi tokoh-tokoh utama seperti Wāṣil bin ‘Aṭā’, al-Asy’ari, al-Maturidi,
al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi. Selain itu, artikel ini juga menjelaskan
pokok-pokok pemikiran Kalam seperti tauhid, kehendak bebas, sifat-sifat Tuhan,
serta masalah iman dan kenabian, diikuti dengan pemetaan terhadap berbagai
aliran seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Khawarij, dan Murji’ah. Di
bagian akhir, artikel ini menelaah perkembangan Ilmu Kalam di era modern
melalui gerakan Neo-Kalam dan mengkaji berbagai kritik terhadap Kalam dari
perspektif salafi, filsafat, maupun pemikiran kontemporer. Penelitian ini
menunjukkan bahwa Ilmu Kalam tetap relevan sepanjang dikembangkan secara
dinamis dan kontekstual untuk menjawab tantangan zaman.
Kata Kunci: Ilmu Kalam, Filsafat Islam, Teologi, Rasionalisme,
Mu’tazilah, Asy’ariyah, Neo-Kalam, Akidah Islam.
PEMBAHASAN
Kajian Filsafat Kalam dalam Islam
1.
Pendahuluan
Ilmu Kalam merupakan salah satu disiplin keilmuan
yang tumbuh dalam khazanah intelektual Islam sebagai respon terhadap dinamika
pemikiran dan tantangan keagamaan pada masa-masa awal sejarah Islam. Dalam
konteks perkembangan pemikiran Islam, Ilmu Kalam menempati posisi strategis
karena bertujuan mempertahankan, menjelaskan, dan membela akidah Islam dengan
pendekatan argumentatif dan rasional. Dalam sejarahnya, Kalam tidak hanya
berperan sebagai sistem teologi normatif, tetapi juga menjadi medium dialog
antara nalar dan wahyu dalam menjawab persoalan-persoalan metafisis, etis, dan
sosial.
Kelahiran Ilmu Kalam tidak dapat dilepaskan dari
pergolakan politik dan teologis yang terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, terutama terkait dengan persoalan kepemimpinan
(imamah), dosa besar (kabā'ir), serta hubungan antara kehendak Tuhan dan
kebebasan manusia. Munculnya berbagai aliran seperti Khawarij, Murji'ah,
Mu'tazilah, dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah menunjukkan bahwa umat Islam terdorong
untuk merumuskan fondasi teologis yang lebih sistematis sebagai respon terhadap
perpecahan internal umat dan pengaruh filsafat asing seperti Yunani dan
Persia.¹
Seiring berkembangnya waktu, Ilmu Kalam mengalami
pembaruan dari segi metodologi dan cakupan. Jika pada awalnya lebih
berorientasi pada polemik dan apologetik, maka pada periode klasik dan
pertengahan, Kalam berkembang menjadi suatu sistem pemikiran yang rasional dan
filosofis, terutama setelah berinteraksi dengan filsafat Yunani melalui
penerjemahan karya-karya Aristoteles, Plato, dan Plotinus.² Hal ini melahirkan
dialog yang intens antara mutakallimun (ahli Kalam) dan filosof Muslim seperti
al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina.
Meskipun tidak semua ulama menyetujui pendekatan
rasional Ilmu Kalam—sebagian kelompok seperti golongan salaf menganggapnya
sebagai bentuk bid’ah yang dapat menyesatkan—namun dalam praktiknya, banyak
tokoh besar Islam seperti Imam al-Ghazali dan Fakhruddin ar-Razi yang justru
menjadikan Ilmu Kalam sebagai instrumen penting dalam membela ajaran Islam dari
penyimpangan filsafat dan serangan kaum zindiq.³ Oleh karena itu, Kalam tidak
bisa dipandang sebagai sekadar produk spekulatif, melainkan sebagai upaya
serius umat Islam untuk memelihara kemurnian akidah dalam menghadapi perubahan
zaman dan tantangan intelektual.
Di era kontemporer, diskursus Kalam kembali
mendapatkan perhatian dalam bentuk "neo-Kalam", yaitu
usaha-usaha pembaruan teologi Islam dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu
pengetahuan modern, filsafat kontemporer, dan realitas sosial-politik umat
Islam. Hal ini menandakan bahwa Ilmu Kalam bukanlah ilmu yang stagnan, melainkan memiliki daya hidup untuk
terus berkembang dan memberikan kontribusi bagi pemikiran Islam secara
keseluruhan.⁴
Dengan latar belakang tersebut, artikel ini akan
membahas secara sistematis tentang filsafat Kalam dalam Islam, meliputi pengertiannya, sejarah perkembangannya, tokoh-tokoh pentingnya,
serta kontribusinya dalam peradaban Islam, dengan tujuan untuk memberikan
pemahaman yang utuh dan ilmiah mengenai salah satu fondasi penting dalam
bangunan teologi Islam.
Catatan
Kaki
[1]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan
Pemikiran (Jakarta: Mizan, 1995), 47–50.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 108–110.
[3]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and
Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 63–66.
[4]
Nurcholish Madjid, “Kalam dan Tantangan
Modernitas,” Ulumul Qur’an 4, no. 2 (1993): 15–18.
2.
Definisi
dan Hakikat Ilmu Kalam
2.1.
Pengertian Ilmu Kalam
Secara etimologis,
kata “Kalam” berarti “ucapan” atau “perkataan”. Istilah
ini digunakan karena dalam diskursus awal ilmu ini, persoalan yang paling
banyak diperdebatkan adalah tentang kalam Allah, yaitu apakah kalam
Allah itu bersifat qadīm (tidak diciptakan) atau ḥādits (diciptakan). Persoalan
ini menjadi inti polemik antara aliran Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah.¹
Secara terminologis,
Ilmu Kalam didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang akidah Islam
berdasarkan dalil-dalil rasional dan argumentatif, serta bertujuan membela dan
meneguhkan keimanan dari serangan pemikiran menyimpang atau kelompok yang
menyimpang dari ajaran Islam. Menurut Harun Nasution, Ilmu Kalam adalah “teologi
Islam yang berusaha mempertahankan dan menjelaskan akidah Islam dengan akal
pikiran.”_² Definisi ini menunjukkan bahwa Kalam bukan sekadar ilmu
keimanan, tetapi juga memiliki dimensi logis dan filosofis yang kuat.
Al-Jurjani dalam Taʿrīfāt
menyatakan bahwa Ilmu Kalam adalah “ilmu yang memberikan kemampuan untuk
menetapkan akidah keagamaan dengan argumentasi dan menolak
pandangan-pandangangan yang menyimpang.”_³ Artinya, Ilmu Kalam memiliki
karakter apologetik (pembelaan) dan dialektik, terutama dalam merespons
tantangan internal (seperti Khawarij, Mu’tazilah) maupun eksternal (pengaruh
filsafat asing dan agama-agama lain).
2.2.
Tujuan dan Fungsi Ilmu Kalam
Fungsi utama Ilmu
Kalam adalah menjaga kemurnian akidah Islam,
baik dari distorsi penafsiran internal maupun pengaruh pemikiran eksternal.
Dengan landasan nalar dan dalil, Kalam berusaha menjelaskan secara rasional
konsep-konsep penting seperti tauhid, sifat-sifat Allah, qadar, kenabian, dan
hari akhir.⁴ Fungsi lain dari Ilmu Kalam adalah edukatif dan normatif, yaitu
memberi pemahaman logis terhadap ajaran Islam serta membimbing umat agar
memiliki keyakinan yang benar.
Dalam konteks yang
lebih luas, Kalam juga berperan sebagai jembatan antara wahyu dan akal,
tempat di mana teks-teks keagamaan ditafsirkan melalui metode logis. Dalam hal
ini, Kalam menjadi titik temu antara dimensi keimanan (iman
) dan rasionalitas (aql
).⁵ Karena itu, banyak ilmuwan Muslim, seperti
al-Ghazali dan Fakhruddin ar-Razi, berupaya mengintegrasikan Ilmu Kalam dengan
ilmu-ilmu lain, termasuk filsafat dan tasawuf.
2.3.
Perbedaan Ilmu Kalam, Filsafat, dan
Tasawuf
Meskipun memiliki
wilayah kajian yang kadang bersinggungan, Ilmu Kalam berbeda dengan filsafat
dan tasawuf.
Filsafat Islam cenderung spekulatif dan menitikberatkan pada logika serta
metafisika, sementara tasawuf fokus pada pengalaman batin dan penyucian jiwa
untuk meraih kedekatan spiritual dengan Tuhan.
Ilmu Kalam berdiri
di antara keduanya, yakni menggunakan nalar filosofis tetapi tetap berpijak
pada teks wahyu.⁶ Jika filsafat bertanya “mengapa” dan tasawuf mengejar “bagaimana
merasakan”, maka Ilmu Kalam berupaya menjawab “apa dan
bagaimana akidah itu dijelaskan secara rasional”.
Dengan demikian,
Ilmu Kalam tidak hanya penting dalam sistem teologi Islam, tetapi juga menjadi
pilar pengetahuan yang membantu umat Islam dalam mengartikulasikan dan
mempertahankan keimanannya di tengah dinamika zaman dan perbedaan pandangan.
Catatan
Kaki
[1]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1985), 69.
[2]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran
(Jakarta: Mizan, 1995), 12.
[3]
Al-Jurjani, At-Taʿrīfāt, ed. Ibrahim al-Abyari (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), 186.
[4]
Majid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology
and Mysticism (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 45–47.
[5]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 23–25.
[6]
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), 144–145.
3.
Sejarah
Perkembangan Ilmu Kalam
3.1.
Masa Awal (Formatif) – Periode
Sahabat dan Tabi’in
Ilmu Kalam mulai
tumbuh secara embrional pada masa para Sahabat dan Tabi’in, walaupun pada saat
itu belum terlembaga sebagai suatu disiplin keilmuan. Perdebatan seputar takdir
(qadar), iman dan amal, serta status pelaku dosa besar menjadi pemicu awal
munculnya diskusi teologis. Misalnya, munculnya kelompok Qadariyah,
yang meyakini bahwa manusia memiliki kehendak bebas secara mutlak, serta
kelompok Jabariyah, yang berpandangan
bahwa manusia tidak memiliki kehendak sama sekali.¹ Perdebatan ini menjadi
landasan awal pengembangan doktrin teologi Islam.
Kemunculan konflik
politik seperti Perang Shiffin dan peristiwa tahkim turut memunculkan
kelompok-kelompok seperti Khawarij dan Murji’ah
yang memiliki pandangan teologis ekstrem. Khawarij, misalnya, menganggap pelaku
dosa besar keluar dari Islam dan harus diperangi, sedangkan Murji’ah menunda
urusan pelaku dosa besar kepada Allah dan mengutamakan iman atas amal.² Di
sinilah tampak bagaimana dinamika sosial-politik menjadi pemicu bagi munculnya
pemikiran Kalam.
3.2.
Masa Klasik – Lahirnya Aliran-Aliran
Kalam
Periode ini dimulai
pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah (8–9 Masehi), ketika Ilmu Kalam mulai tersusun
secara sistematis dan melahirkan aliran-aliran besar. Salah satu tokoh
terpenting pada fase ini adalah Wāṣil bin ‘Aṭā’ (w. 131 H/748 M),
yang dianggap sebagai pendiri Mu’tazilah. Ia memisahkan diri
dari halaqah gurunya, Hasan al-Bashri, karena perbedaan pendapat mengenai
status pelaku dosa besar.³ Mu’tazilah kemudian dikenal sebagai aliran
rasionalis dalam Islam yang menekankan prinsip keadilan dan keesaan Tuhan
(al-‘adl wa al-tawḥīd) sebagai dasar utama teologinya.
Sebagai reaksi
terhadap rasionalisme Mu’tazilah, muncul aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang
dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/935 M)
dan kemudian oleh Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H/944 M).
Al-Asy’ari pada awalnya adalah pengikut Mu’tazilah, namun kemudian
meninggalkannya dan mengembangkan pendekatan teologis yang menyeimbangkan
antara wahyu dan rasio.⁴ Aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah inilah yang kelak
menjadi arus utama dalam teologi Sunni.
3.3.
Masa Pengembangan dan Sintesis –
Integrasi Kalam dengan Ilmu Lain
Pada abad ke-5 dan
ke-6 Hijriyah (11–12 M), Ilmu Kalam mengalami perkembangan signifikan dengan
masuknya unsur-unsur filsafat dan logika. Tokoh sentral pada masa ini adalah Imam
al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), yang mengintegrasikan Ilmu Kalam
dengan tasawuf dan sebagian metode filsafat. Dalam karyanya al-Iqtisad
fi al-I'tiqad, al-Ghazali menyajikan Kalam dalam bentuk
argumentatif sekaligus spiritual. Ia juga mengkritik para filosof dalam Tahāfut
al-Falāsifah, tetapi tetap menggunakan logika mereka dalam membela
akidah Islam.⁵
Pengembangan ini
dilanjutkan oleh tokoh seperti Fakhruddin al-Razi (w. 606 H/1210 M),
yang dikenal karena pendekatan filosofisnya dalam menafsirkan akidah. Al-Razi
menulis banyak karya dalam bidang Kalam yang kompleks, seperti al-Maṭālib
al-‘Āliyah dan al-Muḥaṣṣal, di mana ia membahas
persoalan metafisika, eksistensi Tuhan, dan epistemologi dengan pendekatan
logika formal.⁶
3.4.
Masa Kemandekan dan Kritik terhadap
Kalam
Memasuki abad ke-7
hingga ke-13 Hijriyah, Ilmu Kalam cenderung mengalami stagnasi. Perkembangan
lebih banyak bersifat repetitif dan apologetik. Hal ini sebagian disebabkan
oleh dominasi pandangan teologis yang mapan dan munculnya gerakan konservatif
yang menolak pendekatan rasional, seperti kelompok Hanbali tradisionalis.⁷
Kritik terhadap Ilmu
Kalam juga datang dari sebagian kalangan Salafi, yang menganggapnya sebagai
inovasi (bid’ah) yang merusak kemurnian agama. Tokoh seperti Ibn Taymiyyah (w.
728 H) menolak penggunaan logika Yunani dalam membahas akidah dan mengkritik
tajam mutakallimun karena terlalu mengandalkan akal.⁸
3.5.
Masa Kontemporer – Munculnya
Neo-Kalam
Pada abad ke-20 dan
21, Ilmu Kalam kembali diperhatikan oleh para intelektual Muslim modern yang
berusaha merumuskan ulang teologi Islam sesuai tantangan zaman. Upaya ini
dikenal sebagai Neo-Kalam, yaitu pendekatan
baru terhadap Kalam yang mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan,
filsafat modern, serta isu-isu kemanusiaan dan keadilan sosial.⁹
Pemikir seperti Muhammad
Abduh, Fazlur Rahman, dan Sayyid Hossein
Nasr menjadi pelopor dalam menghidupkan kembali Ilmu Kalam
dalam konteks modernitas.¹⁰ Neo-Kalam tidak lagi hanya membahas persoalan
metafisika klasik, tetapi juga merambah isu-isu kontemporer seperti pluralisme
agama, HAM, dan etika global, menjadikan Kalam sebagai ilmu yang hidup dan
relevan.
Catatan
Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 15.
[2]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Oxford: Oneworld Publications, 1998), 90–95.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 120.
[4]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 44.
[5]
Imam al-Ghazali, al-Iqtisad fi al-I'tiqad, ed. I. al-Khatib
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 22–30.
[6]
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 58.
[7]
Daniel Gimaret, “The Doctrines of the Ash'arites,” in The Cambridge
Companion to Classical Islamic Theology, ed. Tim Winter (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 61.
[8]
Ibn Taymiyyah, Darʾ Taʿāruḍ al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muhammad
Rashad Salim (Riyadh: Dar al-‘Asimah, 1991), 1:18–20.
[9]
Nurcholish Madjid, “Reaktualisasi Teologi Islam: Gagasan tentang
Neo-Mu’tazilah,” Ulumul Qur’an 5, no. 2 (1994): 4–7.
[10]
Yasien Mohamed, “Fazlur Rahman and the Reinterpretation of Kalam,” Islamic
Studies 39, no. 3 (2000): 403–419.
4.
Tokoh-Tokoh
Utama dalam Filsafat Kalam
Ilmu Kalam sebagai
disiplin teologis dalam Islam tidak lepas dari kontribusi tokoh-tokoh besar
yang membentuk arah, karakter, dan metode pendekatannya. Para mutakallimun
(ahli Kalam) ini berasal dari berbagai latar belakang aliran dan zaman, dan
masing-masing memberikan kontribusi besar dalam merumuskan sistem teologi yang
khas. Berikut adalah beberapa tokoh sentral dalam perkembangan Filsafat Kalam.
4.1.
Wāṣil bin ‘Aṭā’ (w. 131 H/748 M)
Wāṣil bin ‘Aṭā’
dianggap sebagai pendiri aliran Mu’tazilah, sebuah mazhab
teologi rasionalis dalam Islam. Ia dikenal karena pernyataannya yang terkenal,
yaitu bahwa pelaku dosa besar tidak dikategorikan sebagai mukmin atau kafir,
tetapi “di posisi di antara dua posisi”
(al-manzilah
bayna al-manzilatayn)¹. Pendapat inilah yang menyebabkan ia keluar
dari majelis Hasan al-Bashri dan memulai ajaran teologis tersendiri.²
Mu’tazilah di bawah
pengaruh Wāṣil mengembangkan lima prinsip dasar: tauhid, keadilan (`adl), janji
dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id), posisi antara dua posisi, serta amar ma’ruf
nahi munkar. Pandangan mereka yang rasionalistik membawa pengaruh besar dalam
diskursus Kalam awal dan dalam pengembangan pemikiran keislaman di dunia Islam
klasik.³
4.2.
Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324
H/935 M)
Al-Asy’ari merupakan
tokoh penting dalam sejarah Ilmu Kalam yang mendirikan mazhab Asy’ariyah,
yang kemudian menjadi mazhab teologi dominan dalam Islam Sunni. Ia awalnya
merupakan pengikut Mu’tazilah, namun kemudian meninggalkan pemikiran rasional
ekstrem dan kembali kepada pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan pendekatan
yang lebih seimbang antara akal dan wahyu.⁴
Al-Asy’ari
menegaskan bahwa Allah memiliki sifat-sifat seperti mendengar, melihat, dan
berbicara, namun sifat-sifat tersebut tidak menyerupai makhluk-Nya. Ia juga
menekankan bahwa kehendak Allah adalah mutlak, tetapi tetap memberi ruang bagi
tanggung jawab moral manusia.⁵ Dalam karyanya seperti al-Lumaʿ
dan Maqālāt
al-Islāmiyyīn, al-Asy’ari membangun sistem teologi yang
mempertemukan argumentasi logis dengan komitmen terhadap nash (teks suci).⁶
4.3.
Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H/944
M)
Al-Maturidi adalah
pendiri mazhab Maturidiyah, yang berkembang di
wilayah Transoxiana (Asia Tengah), khususnya di kalangan pengikut mazhab
Hanafi. Ia memiliki pendekatan yang mirip dengan al-Asy’ari, namun dengan
penekanan yang lebih kuat pada peran akal dalam memahami agama.⁷
Dalam karya utamanya
Kitāb
al-Tawḥīd, al-Maturidi membahas secara sistematis
persoalan-persoalan ketuhanan, kenabian, dan kehidupan setelah mati dengan
pendekatan rasional yang tetap mengacu pada dalil-dalil wahyu. Ia menekankan
bahwa akal dapat mengetahui keberadaan Tuhan dan sebagian kewajiban etis
manusia, bahkan sebelum datangnya wahyu.⁸ Ini menunjukkan bahwa al-Maturidi
memberi peran yang lebih besar kepada rasio manusia dibandingkan dengan
al-Asy’ari.
4.4.
Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M)
Al-Ghazali adalah
tokoh monumental yang menjembatani antara Ilmu Kalam, filsafat, dan tasawuf. Ia
dikenal sebagai mujaddid (pembaharu) abad ke-5 H yang menulis banyak karya
teologis dengan pendekatan yang sangat mendalam dan analitis. Dalam al-Iqtisād
fi al-Iʿtiqād, al-Ghazali menyajikan sistem teologi yang seimbang,
dengan membela ajaran Asy’ariyah melalui pendekatan rasional.⁹
Ia juga menulis Tahāfut
al-Falāsifah, di mana ia mengkritik keras para filsuf seperti Ibn
Sina dan al-Farabi yang menurutnya telah menyimpang dalam tiga isu teologis
penting: qadimnya alam, pengetahuan Tuhan terhadap partikular, dan kebangkitan
jasmani.¹⁰ Namun demikian, al-Ghazali sendiri banyak menggunakan metode logika
dalam pembelaan terhadap akidah Islam, dan bahkan menganggap logika sebagai
alat penting dalam memahami agama.¹¹
4.5.
Fakhruddin al-Razi (w. 606 H/1210 M)
Al-Razi merupakan
pengembang Ilmu Kalam yang sangat terkenal karena pendekatannya yang sangat
filosofis dan kompleks. Ia dikenal sebagai mutakallim yang menguasai filsafat,
logika, dan ilmu-ilmu alam. Dalam karyanya al-Maṭālib al-‘Āliyah dan al-Muḥaṣṣal,
ia membahas persoalan-persoalan metafisika dengan pendekatan yang sangat
mendalam dan kritis.¹²
Al-Razi berperan
penting dalam mengembangkan Kalam ke arah sistem filsafat teologis yang lebih
argumentatif, bahkan banyak pandangannya yang menjadi dasar bagi
pemikir-pemikir Kalam setelahnya. Ia juga menulis tafsir al-Tafsīr
al-Kabīr, yang dikenal sebagai tafsir yang sangat rasional dan
dipengaruhi oleh pendekatan Kalam.¹³
Catatan
Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 45.
[2]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Oxford: Oneworld Publications, 1998), 101.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 122.
[4]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 52.
[5]
Daniel Gimaret, The Doctrines of the Ash‘arites (Leiden:
Brill, 2007), 87–89.
[6]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf
al-Muṣallīn, ed. Hellmut Ritter (Wiesbaden: Franz Steiner, 1980), 16–20.
[7]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 133.
[8]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitāb al-Tawḥīd, ed. Fathallah Khalif
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 102–110.
[9]
Imam al-Ghazali, al-Iqtisād fi al-Iʿtiqād, ed. I. al-Khatib
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 24–26.
[10]
Imam al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges
(Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 45–50.
[11]
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 91–95.
[12]
Fakhr al-Din al-Razi, al-Muḥaṣṣal fī Uṣūl al-Dīn, ed. T. M.
Najjar (Beirut: Dar al-Fikr al-Lubnani, 1992), 14–19.
[13]
Mohamed R. Salama, “Fakhr al-Dīn al-Rāzī’s Contribution to Theological
Hermeneutics,” Islamic Studies 42, no. 1 (2003): 57–72.
5.
Pokok-Pokok
Pemikiran Kalam
Ilmu Kalam sebagai
cabang teologi Islam memiliki sejumlah tema fundamental yang menjadi objek
perdebatan dan perumusan rasional oleh para mutakallimun. Pokok-pokok pemikiran
ini berkaitan erat dengan upaya sistematis dalam menjelaskan, mempertahankan,
dan membela doktrin keimanan Islam dari berbagai tantangan ideologis dan
intelektual, baik internal maupun eksternal. Berikut ini adalah beberapa tema
utama yang menjadi fokus kajian dalam Ilmu Kalam.
5.1.
Tauhid dan Sifat-Sifat Allah
Tauhid atau keesaan
Allah merupakan landasan utama dalam Ilmu Kalam. Para mutakallimun tidak hanya
menegaskan bahwa Allah itu Esa, tetapi juga memperdebatkan secara mendalam sifat-sifat
Allah: apakah sifat-sifat tersebut berdiri sendiri atau
merupakan bagian dari dzat-Nya.
Kaum Mu’tazilah
menolak keberadaan sifat-sifat yang berdiri sendiri karena menurut mereka hal
itu akan membawa kepada paham ta‘addud al-qudama’ (adanya banyak yang qadim),
yang bertentangan dengan prinsip tauhid murni.¹ Sebaliknya, Asy’ariyah
dan Maturidiyah menerima bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang
qadim, seperti ilmu, hayat, iradah, dan kalam, namun sifat-sifat tersebut tidak
terpisah dari dzat-Nya.²
Perdebatan ini
mengarah pada rumusan filosofis mengenai Tuhan yang tidak hanya transenden,
tetapi juga berkehendak dan berkuasa secara aktif dalam menciptakan dan
mengatur alam semesta.
5.2.
Qadha dan Qadar (Kehendak Tuhan dan
Kebebasan Manusia)
Masalah hubungan
antara kehendak Tuhan (qadar) dan kebebasan manusia merupakan isu sentral dalam
Ilmu Kalam. Kaum Jabariyah menolak kebebasan
manusia dan menyatakan bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Allah
semata.³ Sebaliknya, Qadariyah dan Mu’tazilah
mengajukan konsep kebebasan dan tanggung jawab moral manusia secara penuh.
Asy’ariyah
memperkenalkan konsep kasb (perolehan), yang menyatakan
bahwa manusia tidak menciptakan amalnya, tetapi memperoleh atau memilihnya dari
kekuasaan Allah.⁴ Adapun Maturidiyah lebih menekankan
bahwa manusia memiliki kemampuan dan kehendak yang diciptakan oleh Allah, namun
tetap bertanggung jawab atas amalnya.⁵
Perdebatan ini tidak
hanya bernilai teologis, tetapi juga berkaitan dengan dasar etika dan tanggung
jawab sosial dalam kehidupan beragama.
5.3.
Kalam Allah: Qadim atau Hadits?
Salah satu isu
kontroversial yang paling sengit dalam sejarah Ilmu Kalam adalah tentang kalam
Allah, khususnya apakah al-Qur’an sebagai kalam Allah
bersifat qadim (tidak diciptakan) atau hadits (diciptakan). Mu’tazilah
menyatakan bahwa kalam Allah diciptakan (makhluk) karena adanya dalam bentuk
suara dan huruf yang bersifat temporal.⁶
Sebaliknya, Ahlus
Sunnah wal Jama’ah menyatakan bahwa kalam Allah bersifat qadim,
tetapi membedakan antara kalam nafsi (yang tersimpan dalam dzat-Nya) dan kalam
lafzi (yang diekspresikan dalam bentuk bahasa manusia).⁷ Pendapat ini kemudian
dijadikan dasar oleh banyak ulama dalam menjelaskan hakikat wahyu dan otoritas
teks suci.
5.4.
Iman, Kufur, dan Status Pelaku Dosa
Besar
Perdebatan mengenai status
pelaku dosa besar (kabā’ir) menjadi latar belakang munculnya
perbedaan teologis awal dalam Islam. Kelompok Khawarij menganggap pelaku dosa
besar keluar dari Islam (kafir), sementara Murji’ah berpandangan bahwa
amal bukanlah bagian dari iman, sehingga pelaku dosa besar tetap dianggap
mukmin.⁸
Mu’tazilah
mengambil posisi tengah dengan doktrin al-manzilah bayna al-manzilatayn,
sedangkan Asy’ariyah berpendapat bahwa
iman adalah pembenaran dalam hati, dan amal hanyalah pelengkap, bukan unsur
esensial. Oleh karena itu, pelaku dosa besar tetap berada dalam lingkup iman,
meskipun akan menerima siksa kecuali Allah mengampuni.⁹
5.5.
Kenabian dan Fungsi Rasul
Ilmu Kalam juga
membahas secara mendalam konsep kenabian (nubuwwah) sebagai
bentuk wahyu dan petunjuk dari Allah kepada umat manusia. Para mutakallimun
menetapkan bahwa para nabi memiliki sifat-sifat wajib, seperti ṣidq
(jujur), amānah (terpercaya), tablīgh
(menyampaikan), dan faṭānah (cerdas), yang
membedakan mereka dari manusia biasa.¹⁰
Masalah mukjizat,
keabsahan kenabian, serta kriteria kebenaran risalah menjadi topik yang dibahas
dengan pendekatan rasional oleh para mutakallimun, terutama untuk menolak klaim
kenabian palsu dan untuk membuktikan keabsahan kerasulan Nabi Muhammad Saw.
5.6.
Masalah Hari Akhir dan Metafisika
Akhirat
Keyakinan terhadap hari
akhir, termasuk surga, neraka, hisab, dan pembalasan amal,
merupakan bagian integral dari rukun iman. Para mutakallimun membahas apakah
kebangkitan nanti bersifat jasmani atau rohani,
serta bagaimana keadaan ruh setelah kematian.
Aliran Mu’tazilah,
sebagian, lebih menekankan pada aspek rasional dari pahala dan siksa, sementara
Ahlus
Sunnah menegaskan kebenaran literal dari nash mengenai hari
kiamat, namun tetap membuka ruang bagi penafsiran teologis.¹¹
Catatan
Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 97–100.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 74.
[3]
Majid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology
and Mysticism (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 35.
[4]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqālāt al-Islāmiyyīn, ed. Hellmut
Ritter (Wiesbaden: Franz Steiner, 1980), 291–294.
[5]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitāb al-Tawḥīd, ed. Fathallah Khalif
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 87.
[6]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam (Oxford:
Oneworld, 1997), 76.
[7]
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 67.
[8]
Watt, The Formative Period of Islamic Thought, 92–95.
[9]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 49.
[10]
Daniel Gimaret, “The Doctrines of the Ashʿarites,” in The Cambridge
Companion to Classical Islamic Theology, ed. Tim Winter (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 68.
[11]
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 1992), 208–210.
6.
Aliran-Aliran
dalam Filsafat Kalam
Ilmu Kalam sebagai
disiplin teologi Islam tidak bersifat monolitik. Sejak awal perkembangannya,
muncul berbagai aliran teologis yang berbeda
dalam pendekatan, metode, serta kesimpulan teologisnya. Perbedaan ini
dipengaruhi oleh respons terhadap teks agama, pemikiran filsafat asing, serta
konteks sosial-politik umat Islam. Berikut adalah beberapa aliran utama dalam
Filsafat Kalam yang telah memainkan peran penting dalam sejarah pemikiran
Islam.
6.1.
Mu’tazilah
Mu’tazilah
adalah aliran teologi rasionalis pertama dalam Islam yang muncul pada awal abad
ke-2 Hijriyah. Nama “Mu’tazilah” (secara harfiah: orang yang memisahkan diri)
dikaitkan dengan sikap Wāṣil bin ‘Aṭā’ yang keluar dari majelis Hasan al-Bashri
karena perbedaan pandangan mengenai status pelaku dosa besar.¹
Mu’tazilah dikenal
dengan lima
prinsip dasar (al-uṣūl al-khamsah):
1)
Tauhid
2)
Keadilan (`adl)
3)
Janji dan ancaman (al-waʿd wa
al-waʿīd)
4)
Posisi di antara dua posisi
(al-manzilah bayna al-manzilatayn)
5)
Amar ma’ruf nahi munkar²
Mereka menekankan
bahwa Tuhan harus bersifat adil, sehingga tidak mungkin menetapkan hukuman atau
pahala tanpa sebab. Akal dianggap cukup kuat untuk mengetahui yang baik dan
buruk tanpa perlu wahyu. Selain itu, Mu’tazilah juga berpandangan bahwa
al-Qur’an adalah makhluk karena bersifat temporal.³
6.2.
Asy’ariyah
Sebagai reaksi
terhadap rasionalisme ekstrem Mu’tazilah, muncul aliran Asy’ariyah
yang didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari pada
abad ke-4 Hijriyah. Ia berusaha memadukan pendekatan rasional dengan kesetiaan
terhadap teks wahyu.
Asy’ariyah tetap
menggunakan rasio, tetapi dalam batas-batas tertentu. Mereka meyakini bahwa
sifat-sifat Allah seperti ilmu, iradah, dan kalam adalah qadim dan melekat pada
dzat-Nya, tanpa menyerupai sifat makhluk.⁴ Mereka juga mengembangkan doktrin kasb
untuk menjelaskan hubungan antara kehendak Allah dan tanggung jawab manusia.⁵
Asy’ariyah menjadi
aliran teologi yang paling dominan di dunia Islam Sunni, terutama karena
didukung oleh tokoh besar seperti al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi.
6.3.
Maturidiyah
Aliran Maturidiyah
didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi, seorang
teolog dari wilayah Transoxiana yang hidup sezaman dengan al-Asy’ari. Meski
banyak kesamaan dengan Asy’ariyah, Maturidiyah menekankan peran
akal yang lebih besar dalam memahami agama.⁶
Dalam Maturidiyah,
akal dinilai mampu mengetahui kewajiban moral dan keberadaan Tuhan bahkan tanpa
wahyu. Mereka juga cenderung menetapkan hubungan kausalitas antara perbuatan
dan hukuman/pahala, berbeda dari Asy’ariyah yang lebih menekankan kekuasaan
mutlak Allah.⁷
Maturidiyah
berkembang di kalangan penganut mazhab Hanafi dan menjadi dominan di kawasan
Asia Tengah, Turki, dan anak benua India.
6.4.
Khawarij
Khawarij
adalah salah satu kelompok politik-teologis pertama dalam Islam. Mereka dikenal
karena pandangan teologis yang ekstrem, terutama terkait status
pelaku dosa besar. Bagi Khawarij, pelaku dosa besar adalah
kafir dan wajib diperangi.⁸
Mereka juga menolak
legitimasi kekuasaan Ali bin Abi Thalib setelah peristiwa tahkim dan memandang
bahwa setiap Muslim yang saleh berhak menjadi pemimpin, tanpa syarat nasab.
Dalam aspek teologis, mereka lebih tekstualis dan menolak spekulasi rasional
dalam memahami akidah.⁹
6.5.
Murji’ah
Berlawanan dengan
Khawarij, aliran Murji’ah menunda keputusan
tentang pelaku dosa besar kepada Allah. Mereka berpandangan bahwa iman
cukup diukur dari pembenaran dalam hati, tanpa mempertimbangkan
amal perbuatan secara mutlak.¹⁰
Pandangan ini
berkembang sebagai respons terhadap konflik politik dan teologis pasca Khulafa’
Rasyidun, dan memberi kontribusi terhadap pemisahan antara iman dan amal dalam
diskursus Kalam.
6.6.
Perbandingan Singkat antar Aliran
Berikut adalah
perbandingan singkat mengenai lima aliran utama dalam Ilmu Kalam berdasarkan
pendekatan, pandangan terhadap pelaku dosa besar, pandangan tentang kalam
Allah, dan sikap terhadap peran akal:
·
Mu’tazilah
Pendekatan: Rasional.
Status pelaku dosa besar:
Ditempatkan di antara dua posisi (al-manzilah bayna al-manzilatayn)—bukan
mukmin, bukan pula kafir.
Pandangan tentang kalam Allah:
Al-Qur’an adalah makhluk (diciptakan).
Peran akal: Akal sangat dominan;
dapat menentukan baik dan buruk tanpa bantuan wahyu.
·
Asy’ariyah
Pendekatan: Moderat (kombinasi
antara wahyu dan akal).
Status pelaku dosa besar: Tetap
mukmin, namun fasiq; berada dalam kehendak Allah apakah akan diampuni atau
disiksa.
Pandangan tentang kalam Allah:
Qadim; membedakan antara kalam nafsī (maknawi) dan lafẓī
(ungkapan verbal).
Peran akal: Akal digunakan,
namun tunduk pada teks wahyu.
·
Maturidiyah
Pendekatan: Rasional moderat.
Status pelaku dosa besar: Tetap
mukmin; dosa besar tidak mengeluarkan dari Islam.
Pandangan tentang kalam Allah:
Qadim, namun tidak identik dengan suara atau huruf.
Peran akal: Akal dapat mengenali
Tuhan dan sebagian kewajiban moral tanpa wahyu.
·
Khawarij
Pendekatan: Tekstual ekstrem.
Status pelaku dosa besar: Kafir
dan keluar dari Islam; wajib diperangi.
Pandangan tentang kalam Allah:
Tidak dijelaskan secara rinci dalam literatur utama mereka.
Peran akal: Peran akal sangat
minim; teks (nash) dipahami secara literal.
·
Murji’ah
Pendekatan: Tekstual inklusif.
Status pelaku dosa besar: Tetap
mukmin; hanya Allah yang berhak menentukan nasib akhir mereka.
Pandangan tentang kalam Allah:
Tidak menjadi fokus utama.
Peran akal: Cenderung minim;
iman cukup dengan pembenaran hati meskipun tanpa amal.
Catatan
Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 37.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 52–53.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 123–124.
[4]
Daniel Gimaret, The Doctrines of the Ashʿarites (Leiden:
Brill, 2007), 66–69.
[5]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqālāt al-Islāmiyyīn, ed. Hellmut
Ritter (Wiesbaden: Franz Steiner, 1980), 290.
[6]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitāb al-Tawḥīd, ed. Fathallah Khalif
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 55–60.
[7]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 48.
[8]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Oxford: Oneworld Publications, 1998), 79–82.
[9]
Richard C. Martin, Islamic Studies: A History of Religions Approach
(Upper Saddle River: Pearson Prentice Hall, 2003), 129.
[10]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1
(Jakarta: UI Press, 1985), 136.
7.
Perkembangan
dan Relevansi Ilmu Kalam di Era Modern
Seiring berjalannya
waktu dan berubahnya lanskap intelektual serta sosial-politik umat Islam, Ilmu
Kalam tidak lagi terbatas pada pembahasan klasik mengenai ketuhanan, kenabian,
dan eskatologi, tetapi mengalami transformasi dalam bentuk,
pendekatan, dan objek kajian. Tantangan modernitas, sekularisme, sains, dan
pluralisme agama mendorong para intelektual Muslim untuk mereaktualisasi
Ilmu Kalam agar tetap relevan dalam menjawab persoalan zaman.
Inisiatif ini melahirkan apa yang dikenal dengan istilah “Neo-Kalam”.
7.1.
Latar Belakang Kebutuhan Pembaruan
Kalam
Modernitas membawa
perubahan besar dalam cara berpikir manusia. Rasionalitas kritis, metode
ilmiah, demokrasi, serta hak asasi manusia menjadi wacana global yang menantang
struktur teologi tradisional. Dalam konteks ini, teologi Islam tradisional
dianggap belum memadai dalam memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan etis
dan eksistensial kontemporer.¹
Sebagai contoh,
konsep takdir seringkali dipertanyakan ulang dalam konteks kebebasan manusia
dan tanggung jawab sosial. Begitu pula dengan relasi agama dan sains, serta
pertanyaan tentang pluralitas agama dan etika global. Di sinilah Ilmu
Kalam perlu diperbarui, bukan dari sisi akidahnya, tetapi dari pendekatan,
metodologi, dan cakupan isunya.
7.2.
Munculnya Neo-Kalam
Istilah Neo-Kalam
mengacu pada gerakan pembaruan pemikiran teologis dalam Islam yang berupaya
menyesuaikan Ilmu Kalam dengan tantangan zaman modern. Gerakan ini tidak
bersifat seragam, tetapi memiliki benang merah: keterbukaan terhadap filsafat modern, dialog
antaragama, dan keterlibatan aktif dalam isu-isu kontemporer.
Salah satu pelopor
utama Neo-Kalam adalah Fazlur Rahman, pemikir asal
Pakistan yang mengembangkan gagasan bahwa wahyu harus dipahami secara
kontekstual dan dinamis, bukan statis dan literal.² Ia menyatakan bahwa teologi
Islam harus bertransformasi menjadi teologi moral, bukan sekadar
dogmatik, dengan menekankan prinsip keadilan, tanggung jawab, dan rasionalitas.
Muhammad
Abduh, sebelumnya, telah mengawali semangat reformasi Kalam
dengan menekankan pentingnya akal dalam memahami agama.³ Ia menolak fatalisme
dan mendorong reinterpretasi ajaran Islam melalui pendekatan rasional yang
sesuai dengan nilai-nilai modern.
Di Indonesia, Nurcholish
Madjid menjadi tokoh yang menggagas reaktualisasi
teologi Islam dengan pendekatan yang terbuka terhadap pemikiran
Barat dan pluralisme.⁴ Baginya, Kalam tidak cukup jika hanya menjawab
pertanyaan abad pertengahan. Ia harus dapat berfungsi sebagai kekuatan
transformatif yang membangun tatanan masyarakat berkeadilan.
7.3.
Isu-Isu Kontemporer dalam Neo-Kalam
Neo-Kalam memperluas
objek kajian Kalam ke wilayah yang sebelumnya tidak diperhatikan oleh
mutakallimun klasik, di antaranya:
1)
Hubungan antara agama dan
sains modern, seperti teori evolusi, Big Bang, dan bioetika. Para
teolog kontemporer mencoba mengharmoniskan sains dan wahyu tanpa mengorbankan
prinsip-prinsip teologis.⁵
2)
Isu-isu keadilan sosial,
seperti kemiskinan, lingkungan hidup, dan HAM. Teologi Kalam yang baru berupaya
menjadikan keadilan sebagai inti dari keberagamaan.⁶
3)
Pluralisme agama,
yaitu bagaimana memahami keselamatan di luar Islam dan menjalin relasi damai
antar umat beragama. Pendekatan inklusif dan humanis ditawarkan oleh sebagian
pemikir Kalam kontemporer.⁷
4)
Gender dan hak perempuan
juga menjadi isu yang masuk dalam diskursus Neo-Kalam, yang sebelumnya
diabaikan oleh mutakallimun klasik.
7.4.
Tantangan dan Kritik terhadap
Neo-Kalam
Walaupun menawarkan
banyak hal baru, Neo-Kalam juga menghadapi kritik, terutama dari kalangan
konservatif yang memandang bahwa pendekatan ini terlalu akomodatif terhadap
nilai-nilai Barat dan berpotensi mengaburkan batasan antara Islam dan
sekularisme.⁸ Di sisi lain, sebagian kalangan progresif menilai bahwa Neo-Kalam
masih terlalu defensif dan belum cukup radikal dalam menafsirkan ulang
ajaran-ajaran teologis klasik.
Namun demikian, Neo-Kalam
tetap menawarkan harapan akan lahirnya teologi Islam yang lebih relevan,
berakar pada tradisi tetapi terbuka terhadap perubahan, serta mampu menjawab
kebutuhan umat Islam masa kini dan masa depan.
Kesimpulan
Perkembangan Ilmu
Kalam di era modern menunjukkan bahwa disiplin ini bukanlah sistem teologi
statis, tetapi memiliki fleksibilitas epistemologis
untuk merespons dinamika zaman. Neo-Kalam bukan hanya sekadar pembaruan format,
tetapi juga refleksi atas pergeseran paradigma dalam
memahami Tuhan, manusia, dan kehidupan. Dengan demikian, Ilmu Kalam tetap
menjadi instrumen vital dalam menjaga, memperluas, dan memperdalam keimanan
Islam di tengah tantangan global.
Catatan
Kaki
[1]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran
(Jakarta: Mizan, 1995), 101.
[2]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–12.
[3]
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the
Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford
University Press, 1968), 86–88.
[4]
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 1992), 210–215.
[5]
Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Myth and the Reality
(London: International Institute of Islamic Thought, 1989), 44–46.
[6]
Mahmoud Ayoub, “Towards an Islamic Theology of Liberation,” in Voices
of Resurgent Islam, ed. John L. Esposito (New York: Oxford University
Press, 1983), 98–100.
[7]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism (Oxford:
Oneworld, 1997), 135–140.
[8]
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Neo-Mutazilisme dan Bahaya Liberalisme di Dunia
Islam,” Islamia 4, no. 1 (2007): 10–13.
8.
Kritik
terhadap Ilmu Kalam
Meskipun Ilmu Kalam
memiliki kontribusi besar dalam memperkuat fondasi teologi Islam, ia tidak
luput dari berbagai kritik, baik dari kalangan
internal umat Islam sendiri maupun dari luar. Kritik-kritik ini menyasar aspek metodologis,
epistemologis, maupun ideologis, dan muncul sepanjang sejarah
hingga era kontemporer.
8.1.
Kritik dari Kalangan Salaf:
Penggunaan Akal yang Berlebihan
Salah satu kritik
paling awal dan kuat terhadap Ilmu Kalam datang dari golongan
Salaf, khususnya ulama-ulama dari mazhab Hanbali, seperti Imam
Ahmad bin Hanbal. Mereka menolak pendekatan spekulatif dalam
membahas masalah akidah, serta menentang penggunaan logika filsafat Yunani
dalam Islam.
Imam Ahmad dan
pengikutnya menganggap bahwa Ilmu Kalam adalah bid‘ah (inovasi dalam agama)
karena tidak dikenal pada masa Nabi dan para Sahabat.⁽¹⁾ Mereka berpandangan
bahwa kebenaran agama harus diterima berdasarkan nash (al-Qur’an dan hadits)
secara tekstual, tanpa penafsiran spekulatif atau debat rasional yang
berlebihan. Hal ini tampak jelas dalam sikapnya terhadap kaum Mu’tazilah dalam
peristiwa Mihnah (inkuisisi), di mana ia menolak doktrin bahwa al-Qur’an adalah
makhluk.
Ibn
Taymiyyah (w. 728 H) memperkuat kritik ini dalam karyanya Darʾ
Taʿāruḍ al-‘Aql wa al-Naql, dengan menyatakan bahwa Kalam
menyimpang dari metode salaf dan hanya menimbulkan kebingungan umat. Ia menolak
asumsi bahwa akal memiliki otoritas di atas wahyu.⁽²⁾
8.2.
Kritik dari Filsuf Muslim:
Inkonsistensi Rasionalitas Kalam
Para filosof
Muslim seperti al-Farabi, Ibn Sina,
dan Ibn
Rushd mengkritik Ilmu Kalam karena dianggap tidak
konsisten secara metodologis, serta terlalu bergantung pada
doktrin-doktrin yang sudah ditentukan sebelumnya. Bagi mereka, para
mutakallimun cenderung memaksakan hasil-hasil
pemikiran rasional untuk membenarkan pandangan teologis yang sudah diyakini,
alih-alih membangun argumen secara objektif.
Ibn
Rushd, dalam karyanya Tahāfut al-Tahāfut, mengecam para
mutakallimun karena terlalu banyak menggunakan analogi dan asumsi metafisika
yang tidak dapat dibuktikan secara rasional.⁽³⁾ Ia menilai bahwa filsafat
memiliki metodologi yang lebih koheren dalam memahami realitas Tuhan dan dunia,
dibandingkan spekulasi Kalam yang bersifat dialektis dan apologetik.
8.3.
Kritik Internal antar Aliran Kalam
Ilmu Kalam juga
menghadapi kritik internal, terutama antara
berbagai aliran yang saling menyalahkan metode dan doktrin masing-masing.
Misalnya, Mu’tazilah mengkritik Asy’ariyah
karena dianggap terlalu pasrah kepada kehendak Tuhan dan mengabaikan prinsip
keadilan serta tanggung jawab moral manusia. Sebaliknya, Asy’ariyah menilai
Mu’tazilah terlalu rasional dan mendahulukan akal daripada
nash, sehingga berpotensi keluar dari batasan wahyu.⁽⁴⁾
Di sisi lain, Maturidiyah
juga memberikan kritik terhadap pendekatan Asy’ariyah yang dianggap kurang
memberi ruang bagi peran akal dalam menetapkan nilai-nilai moral dan kebenaran
teologis.⁽⁵⁾ Perselisihan ini menunjukkan bahwa sekalipun sama-sama berada
dalam tradisi Ilmu Kalam, perbedaan metodologi membawa pada perbedaan
substansial dalam teologi.
8.4.
Kritik Kontemporer: Ketidakrelevanan
Kalam Klasik
Di era modern, kritik
terhadap Ilmu Kalam muncul dari kalangan intelektual Muslim kontemporer,
yang menilai bahwa teologi klasik tidak lagi relevan
untuk menjawab tantangan zaman, seperti pluralisme, sekularisme, demokrasi, dan
sains modern. Ilmu Kalam dianggap terlalu fokus pada perdebatan metafisika abad
pertengahan dan gagal mengakomodasi problem-problem aktual umat Islam.⁽⁶⁾
Tokoh seperti Fazlur
Rahman menegaskan bahwa Ilmu Kalam perlu dirombak
secara metodologis, bukan hanya direvisi secara tematik.⁽⁷⁾ Ia
menyebut Kalam klasik sebagai teologi yang statis dan tidak transformatif.
Demikian pula, Mohammad Arkoun mengkritik
tradisi Kalam sebagai beban sejarah yang membelenggu kreativitas berpikir
Islam.⁽⁸⁾
Namun, sebagian
pemikir Islam modern tidak membuang Ilmu Kalam sepenuhnya, melainkan mendorong Neo-Kalam,
yaitu pembaruan teologi Islam dengan pendekatan hermeneutik, etika, dan dialog
transdisipliner, seperti telah dibahas sebelumnya.
Kesimpulan
Kritik terhadap Ilmu
Kalam, baik dari kalangan tradisionalis, filosof, maupun modernis, menunjukkan
bahwa Kalam adalah ilmu yang hidup dan dinamis, tetapi juga kontroversial.
Ia dihargai karena sumbangannya dalam membela akidah Islam, tetapi juga
dikritik karena pendekatannya yang kadang dianggap kaku, defensif, dan kurang
relevan.
Alih-alih menolaknya
secara total, tantangan utama saat ini adalah bagaimana mereformasi
Ilmu Kalam secara kreatif, dengan tetap berpijak pada
otentisitas ajaran Islam dan keterbukaan terhadap perkembangan zaman.
Catatan
Kaki
[1]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran
(Jakarta: Mizan, 1995), 85.
[2]
Ibn Taymiyyah, Darʾ Taʿāruḍ al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muhammad
Rashad Salim (Riyadh: Dar al-‘Asimah, 1991), 1:15–20.
[3]
Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, ed. Sulaiman Dunya (Cairo: Dar
al-Ma‘arif, 1968), 22–24.
[4]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 132.
[5]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitāb al-Tawḥīd, ed. Fathallah Khalif
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 102.
[6]
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 1992), 211–213.
[7]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 8–10.
[8]
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon
Answers, trans. Robert D. Lee (Boulder: Westview Press, 1994), 55.
9.
Kesimpulan
Ilmu Kalam merupakan salah satu cabang utama dalam
khazanah keilmuan Islam yang berperan penting dalam menegakkan dan
mempertahankan akidah Islam melalui pendekatan argumentatif dan rasional.
Sejak masa awal Islam, Ilmu Kalam telah tumbuh sebagai respon terhadap
tantangan internal berupa perbedaan pemahaman akidah, serta tantangan eksternal
dari pengaruh filsafat asing dan agama-agama lain.
Dalam proses perkembangannya, Ilmu Kalam tidak
hanya menjadi instrumen apologetik, tetapi juga sebuah sistem pemikiran
teologis yang kompleks dan multidimensi. Aliran-aliran seperti Mu’tazilah,
Asy’ariyah, Maturidiyah, serta kelompok Khawarij dan Murji’ah,
menunjukkan adanya dinamika intelektual yang hidup dalam tradisi Islam, dengan
masing-masing menawarkan pendekatan berbeda terhadap persoalan Tuhan, manusia,
kehendak bebas, wahyu, dan hari akhir.¹
Kontribusi tokoh-tokoh besar seperti Wāṣil bin
‘Aṭā’, Abu al-Hasan al-Asy’ari, Abu Mansur al-Maturidi, Imam
al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi membuktikan bahwa Kalam bukan
sekadar doktrin, tetapi juga sebuah upaya metodologis dan intelektual
yang mendalam dalam memahami prinsip-prinsip keimanan Islam secara rasional.²
Namun demikian, Ilmu Kalam juga tidak luput dari kritik,
baik dari kalangan tradisionalis seperti Ibn Taymiyyah yang
menganggapnya sebagai bid‘ah, maupun dari kalangan filsuf seperti Ibn Rushd
yang menilai metode Kalam tidak sepenuhnya rasional.³ Di era modern, kritik
semakin menguat karena Ilmu Kalam klasik dinilai kurang relevan dalam menjawab
tantangan kontemporer seperti sains, pluralisme, demokrasi, dan hak asasi
manusia.⁴
Sebagai respon terhadap hal ini, muncul gerakan Neo-Kalam
yang digagas oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Fazlur Rahman,
dan Nurcholish Madjid, yang berusaha mengembangkan teologi Islam yang
lebih kontekstual, dinamis, dan transformatif.⁵ Neo-Kalam tidak hanya
membela akidah, tetapi juga menjadi jembatan antara Islam dengan sains modern,
etika global, dan dialog antaragama.
Dengan demikian, Ilmu Kalam tetap memiliki nilai
penting dan relevan dalam konteks keislaman modern, sepanjang ia terus
diperbarui secara metodologis dan tematis. Kalam bukanlah warisan mati, tetapi tradisi
intelektual hidup yang dapat terus dikembangkan untuk memperkuat keimanan
dan menjawab tantangan zaman.
Catatan
Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 45–47.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 63–66.
[3]
Ibn Taymiyyah, Darʾ Taʿāruḍ al-‘Aql wa al-Naql,
ed. Muhammad Rashad Salim (Riyadh: Dar al-‘Asimah, 1991), 1:15–20; Ibn Rushd, Tahāfut
al-Tahāfut, ed. Sulaiman Dunya (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1968), 22–24.
[4]
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban
(Jakarta: Paramadina, 1992), 210–215.
[5]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 6–12; Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt
(London: Oxford University Press, 1968), 86–88.
Daftar Pustaka
Adams, C. C. (1968). Islam and modernism in
Egypt: A study of the modern reform movement inaugurated by Muhammad Abduh.
Oxford University Press.
al-Asy’ari, A. H. (1980). Maqālāt al-Islāmiyyīn
wa ikhtilāf al-muṣallīn (H. Ritter, Ed.). Franz Steiner.
al-Ghazali, A. H. (1983). al-Iqtisād fī
al-Iʿtiqād (I. al-Khatib, Ed.). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
al-Ghazali, A. H. (1927). Tahāfut al-falāsifah
(M. Bouyges, Ed.). Imprimerie Catholique.
al-Maturidi, A. M. (1970). Kitāb al-Tawḥīd
(F. Khalif, Ed.). Dar al-Mashriq.
Arkoun, M. (1994). Rethinking Islam: Common
questions, uncommon answers (R. D. Lee, Trans.). Westview Press.
Esack, F. (1997). Qur’an, liberation and
pluralism: An Islamic perspective of interreligious solidarity against
oppression. Oneworld Publications.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Fakhry, M. (1997). A short introduction to Islamic
philosophy, theology and mysticism. Oneworld Publications.
Griffel, F. (2009). Al-Ghazali’s philosophical
theology. Oxford University Press.
Gimaret, D. (2007). The doctrines of the
Ash‘arites. Brill.
Ibn Rushd. (1968). Tahāfut al-tahāfut (S.
Dunya, Ed.). Dar al-Ma‘arif.
Ibn Taymiyyah. (1991). Darʾ taʿāruḍ al-‘aql wa
al-naql (M. R. Salim, Ed.). Dar al-‘Asimah.
Leaman, O. (1999). A brief introduction to
Islamic philosophy. Polity Press.
Madjid, N. (1992). Islam: Doktrin dan peradaban.
Paramadina.
Madjid, N. (1994). Reaktualisasi teologi Islam:
Gagasan tentang Neo-Mu’tazilah. Ulumul Qur’an, 5(2), 4–7.
Martin, R. C. (1997). Defenders of reason in
Islam: Mu’tazilism from medieval school to modern symbol. Oneworld
Publications.
Martin, R. C. (2003). Islamic studies: A history
of religions approach. Pearson Prentice Hall.
Mohamed, Y. (2000). Fazlur Rahman and the
reinterpretation of kalam. Islamic Studies, 39(3), 403–419.
Nasution, H. (1985). Islam ditinjau dari
berbagai aspeknya (Vol. 1). UI Press.
Nasution, H. (1986). Teologi Islam:
Aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan. UI Press.
Nasution, H. (1995). Islam rasional: Gagasan dan
pemikiran. Mizan.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.
Salama, M. R. (2003). Fakhr al-Dīn al-Rāzī’s
contribution to theological hermeneutics. Islamic Studies, 42(1), 57–72.
Sardar, Z. (1989). Islamic science: The myth and
the reality. International Institute of Islamic Thought.
Watt, W. M. (1985). Islamic philosophy and
theology. Edinburgh University Press.
Watt, W. M. (1998). The formative period of
Islamic thought. Oneworld Publications.
Winter, T. (Ed.). (2008). The Cambridge
companion to classical Islamic theology. Cambridge University Press.
Zarkasyi, H. F. (2007). Neo-Mutazilisme dan bahaya
liberalisme di dunia Islam. Islamia, 4(1), 10–13.
Lampiran: Perbedaan Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf
Ilmu Kalam, Filsafat, dan
Tasawuf merupakan tiga cabang utama dalam khazanah intelektual Islam yang
memiliki tujuan sama, yakni mencari kebenaran tentang Tuhan,
manusia, dan alam semesta. Namun, ketiganya berbeda dalam pendekatan,
sumber otoritas, dan metode epistemologis yang digunakan.
Berikut ini adalah perbedaan
mendasar antara ketiganya:
1.
Ilmu Kalam (Teologi
Islam)
·
Tujuan:
Menegakkan dan mempertahankan akidah Islam berdasarkan argumen rasional.
·
Metode:
Menggabungkan antara nash (wahyu) dan rasionalitas (ʿaql), tetapi tetap
memprioritaskan otoritas wahyu dalam penentuan doktrin.
·
Ciri utama:
Bersifat apologetik dan dialektik; digunakan untuk menghadapi penyimpangan
pemikiran dari luar maupun dalam Islam.
·
Sumber pengetahuan:
Wahyu (al-Qur’an dan hadis) dan akal.
·
Contoh tema:
Sifat-sifat Tuhan, kehendak bebas manusia, status pelaku dosa besar.
“Ilmu Kalam ialah pembahasan akidah keislaman
yang bertujuan membela keyakinan Islam dengan hujjah rasional terhadap serangan
lawan-lawan Islam maupun internal umat Islam sendiri.”_¹
2.
Filsafat Islam
·
Tujuan:
Menyelidiki realitas (wujūd), hakikat Tuhan, dan eksistensi secara rasional dan
spekulatif.
·
Metode:
Rasional murni, mengandalkan logika deduktif serta analisis metafisika dan
kosmologi.
·
Ciri utama:
Bersifat sistematis, spekulatif, dan logis, mengikuti warisan filsafat Yunani
terutama Aristoteles dan Plato.
·
Sumber pengetahuan:
Akal dan observasi; wahyu dipertimbangkan, tetapi tidak menjadi rujukan utama.
·
Contoh tema:
Kausalitas, teori emanasi, jiwa, dan akal aktif.
“Filsafat Islam lebih bersifat reflektif dan
rasional murni; tujuan utamanya bukan membela dogma, tetapi memahami hakikat
segala sesuatu.”_²
3.
Tasawuf (Mistisisme
Islam)
·
Tujuan:
Mencapai kedekatan langsung dengan Allah melalui penyucian jiwa dan latihan
spiritual.
·
Metode:
Introspeksi batin (mujahadah), dzikir, dan riyāḍah (latihan ruhani).
·
Ciri utama:
Bersifat emosional, intuisi-spiritual; lebih berorientasi pada rasa (żawq)
daripada rasio.
·
Sumber pengetahuan:
Wahyu, pengalaman spiritual, dan bimbingan mursyid (guru rohani).
·
Contoh tema:
Ma'rifatullah, fana’ (peleburan diri dalam Tuhan), thariqah, dan hakikat.
“Tasawuf bukan sekadar ilmu, tapi pengalaman
batiniah yang mendalam, di mana kebenaran tentang Tuhan diperoleh melalui
penyaksian hati yang jernih.”_³
Kesimpulan
Perbandingan (Ringkas)
·
Ilmu Kalam:
Menyusun dan membela akidah Islam secara rasional berdasarkan wahyu.
·
Filsafat:
Mengkaji eksistensi secara rasional dan universal, cenderung spekulatif.
·
Tasawuf:
Mengalami Tuhan secara langsung melalui penyucian jiwa dan pengalaman
spiritual.
Ketiganya saling melengkapi,
walau dalam sejarahnya juga saling bersinggungan dan terkadang bertentangan,
khususnya antara Kalam dan Filsafat, atau antara Kalam dan Tasawuf. Tokoh
seperti Imam al-Ghazali menjadi contoh sintesis dari
ketiganya, di mana Kalam, filsafat, dan tasawuf diselaraskan dalam kerangka
akidah dan etika Islam.⁴
Catatan
Kaki
[1]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran
(Jakarta: Mizan, 1995), 101.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 5–6.
[3]
Annemarie Schimmel, Mistik Islam: Menelusuri Jejak-Jejak Spiritual
dalam Dunia Islam (Bandung: Mizan, 2000), 67.
[4]
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 102–107.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar