Ilmu Hadits
Kajian Teoritis dan Praktis dalam Memahami Warisan
Kenabian
Alihkan ke: Ulumul Hadits, Hadits II, Hadits III.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif Ilmu
Hadits sebagai disiplin keilmuan yang berperan penting dalam menjaga
keautentikan ajaran Nabi Muhammad Saw. Pembahasan dimulai dengan latar belakang
pentingnya Ilmu Hadits dalam kerangka keislaman, dilanjutkan dengan penjelasan
definisi, ruang lingkup, sejarah perkembangan, dan klasifikasi
cabang-cabangnya, yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah. Artikel ini juga
menguraikan kriteria keshahihan hadits, metodologi kritik sanad dan matan,
serta peran Ilmu Rijāl al-Ḥadīts dalam menilai kualitas perawi. Di samping itu,
dibahas pula dinamika penanganan hadits-hadits bermasalah melalui pendekatan
jam‘, tarjīḥ, nasakh, dan tawaqquf. Bagian akhir menyoroti relevansi Ilmu Hadits
dalam kehidupan modern, termasuk kontribusinya terhadap verifikasi informasi
keagamaan, moderasi beragama, penguatan etika sosial, serta perannya sebagai
fondasi hukum dan sumber keteladanan Nabi. Dengan landasan metodologis yang
kokoh, Ilmu Hadits terbukti tetap aktual dan dibutuhkan dalam membangun
peradaban Islam yang otentik dan responsif terhadap tantangan zaman.
Kata Kunci: Ilmu Hadits, Kritik Sanad, Kritik Matan, Rijāl
al-Ḥadīts, Kodifikasi, Sunnah Nabi, Verifikasi Hadits, Relevansi Kontemporer.
PEMBAHASAN
Kajian Ilmu Hadits Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Ilmu Hadits merupakan salah
satu cabang utama dalam khazanah keilmuan Islam yang memiliki peran vital dalam
menjaga dan memahami warisan ajaran Nabi Muhammad saw. Setelah al-Qur’an
al-Karim, hadits menempati posisi kedua sebagai sumber hukum Islam dan pedoman
hidup umat Muslim. Fungsi hadits dalam menjelaskan, menafsirkan, dan merinci
ayat-ayat al-Qur’an menjadikannya fondasi penting dalam membangun kerangka
hukum, akidah, dan akhlak Islam. Oleh karena itu, pemahaman terhadap hadits
tidak cukup hanya pada teksnya semata, tetapi juga membutuhkan pendekatan
metodologis yang kokoh, sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama melalui
disiplin ilmu yang disebut ‘Ilm al-Hadits.
Secara umum, Ilmu Hadits
terbagi ke dalam dua cabang besar: Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu
Hadits Dirayah. Ilmu Hadits Riwayah membahas segala hal yang berkaitan
dengan periwayatan hadits, mulai dari lafaz, sanad, hingga peristiwa yang
berkaitan dengan hadits itu sendiri. Sementara itu, Ilmu Hadits Dirayah (atau
Musthalah al-Hadits) merupakan ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk
mengetahui kondisi sanad, matan, dan kualitas perawi demi menentukan validitas
sebuah hadits.¹
Pentingnya Ilmu Hadits tidak
dapat dilepaskan dari tanggung jawab ilmiah dan spiritual umat Islam untuk
menjaga orisinalitas ajaran Nabi. Dalam hal ini, para ulama sejak masa sahabat
hingga era modern telah mengembangkan berbagai metode ilmiah, seperti verifikasi
sanad (tahqiq as-sanad), kritik
perawi (al-jarh wa at-ta’dil), serta
penilaian matan, yang menunjukkan tingkat ketelitian dan objektivitas tinggi
dalam upaya pelestarian sunnah.² Bahkan, para orientalis pun mengakui bahwa
metodologi kritik hadits yang dikembangkan ulama Islam merupakan salah satu
bentuk kritik sejarah paling awal dalam tradisi ilmiah dunia.³
Hubungan Ilmu Hadits dengan
ilmu-ilmu keislaman lainnya bersifat saling menguatkan. Ilmu Fikih, misalnya,
tidak dapat berkembang tanpa dukungan hadits sebagai sumber hukum praktis.
Demikian pula Ilmu Tafsir yang menjadikan hadits sebagai alat untuk memahami
ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mujmal (global), ‘am (umum),
dan mutasyabih (ambigu). Bahkan Ilmu Tasawuf, Akidah, hingga Sejarah
Islam, tidak bisa dilepaskan dari informasi dan nilai-nilai yang terkandung
dalam hadits Nabi.⁴ Oleh karena itu, penguasaan Ilmu Hadits merupakan syarat
mutlak bagi siapa pun yang ingin menjadi ahli dalam disiplin ilmu-ilmu
keislaman secara utuh dan mendalam.
Di tengah tantangan zaman
modern, di mana arus informasi sangat cepat dan tidak selalu bisa diverifikasi,
urgensi Ilmu Hadits semakin meningkat. Banyak hadits palsu atau tidak valid
tersebar di media sosial, ceramah populer, hingga buku-buku motivasi Islam,
tanpa melalui proses penyaringan ilmiah. Hal ini dapat membahayakan akidah dan
perilaku umat Islam. Oleh karena itu, pendidikan Ilmu Hadits bukan hanya
relevan sebagai studi akademik, tetapi juga menjadi kebutuhan praktis bagi umat
dalam menjaga kemurnian ajaran Islam.⁵
Footnotes
[1]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut:
Maktabah al-Ma’arif, 1987), 7–10.
[2]
Subhi Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1986), 27–30.
[3]
G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition: Studies in Chronology,
Provenance and Authorship of Early Hadith (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 11.
[4]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), 14–16.
[5]
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:
Telaah Ma'na dalam Pemahaman Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),
4–6.
2.
Definisi
dan Ruang Lingkup Ilmu Hadits
2.1.
Pengertian Hadits dan Sunnah
Secara etimologis (lughatan),
kata hadits (الحديث)
berarti "sesuatu yang baru", "perkataan",
atau "kabar". Dalam penggunaannya, kata ini juga berarti
informasi atau berita, baik yang benar maupun tidak benar.1
Sedangkan menurut terminologi (istilahan), para ulama
mendefinisikan hadits sebagai:
"Segala sesuatu yang dinisbatkan kepada
Nabi Muhammad saw. berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun
sifat-sifatnya."_2
Sementara itu, sunnah
(السنة) secara bahasa
berarti "jalan atau cara hidup". Dalam istilah ilmu hadits,
sunnah seringkali digunakan secara sinonim dengan hadits, meskipun dalam bidang
ilmu lain seperti fikih dan usul fikih, istilah ini dapat memiliki penekanan
makna yang berbeda.3 Sebagian ulama membedakan antara keduanya;
hadits lebih merujuk pada aspek narasi atau periwayatan, sementara sunnah lebih
menekankan aspek normatif dan aplikatif dari kehidupan Nabi.
Selain itu, istilah-istilah
seperti khabar dan atsar juga ditemukan dalam
literatur klasik hadits. Khabar secara umum dipakai sebagai sinonim dari
hadits, tetapi dalam beberapa konteks diartikan sebagai informasi dari selain
Nabi, seperti sahabat atau tabi‘in. Sedangkan atsar biasanya digunakan untuk
menyebut ucapan atau perbuatan sahabat dan tabi‘in.4 Namun demikian,
keempat istilah tersebut seringkali saling dipertukarkan penggunaannya oleh
para ulama.
2.2.
Definisi Ilmu Hadits
Ilmu Hadits merupakan ilmu
yang berkembang untuk menjamin keautentikan informasi yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad saw. Para ulama mendefinisikan Ilmu Hadits sebagai:
“Ilmu yang membahas tentang periwayatan,
matan, sanad, serta keadaan para perawi hadits, baik dari segi keadilan,
hafalan, maupun ketersambungan sanad.”_5
Secara garis besar, Ilmu
Hadits terbagi menjadi dua disiplin utama:
1)
Ilmu
Hadits Riwayah, yaitu ilmu yang membahas perkataan, perbuatan,
ketetapan, dan sifat Nabi Muhammad saw. secara naratif, sebagaimana
diriwayatkan melalui para sahabat dan tabi‘in.
2)
Ilmu
Hadits Dirayah (dikenal juga dengan Musthalah al-Hadits), yaitu ilmu
yang membahas kaidah-kaidah dan teori-teori untuk menilai validitas sanad dan
matan suatu hadits, termasuk istilah-istilah teknis seperti shahih,
dha’if,
mutawatir,
dan lainnya.6
2.3.
Ruang Lingkup Ilmu Hadits
Ruang lingkup Ilmu Hadits
sangat luas dan mencakup berbagai aspek penting dalam kajian Islam. Beberapa
bagian utama dalam cakupan Ilmu Hadits antara lain:
·
Kajian
Sanad:
Mengkaji silsilah perawi hadits dari
Nabi hingga perawi terakhir, untuk menjamin kesinambungan dan kebenaran
riwayat. Di sinilah muncul cabang ilmu ‘Ilm al-Rijal (kritik perawi) dan ‘Ilm
al-Jarh wa at-Ta‘dil (penilaian perawi).
·
Kajian
Matan:
Menelaah isi atau teks hadits, untuk
mengidentifikasi makna, keautentikan, serta kesesuaian dengan prinsip-prinsip
syariat dan akal sehat.
·
Klasifikasi
Hadits:
Menentukan status hadits berdasarkan
berbagai aspek seperti jumlah perawi (mutawatir dan ahad), kualitas sanad
(shahih, hasan, dha’if), maupun status hukum (maqbul atau mardud).
·
Ilmu
Takhrij:
Metode penelusuran sumber asal hadits
dari berbagai kitab untuk mengetahui asal dan kualitasnya.
·
Ilmu
‘Ilal al-Hadits:
Kajian tentang kecacatan tersembunyi
dalam sanad atau matan yang tidak tampak secara lahir, namun dapat mempengaruhi
kualitas hadits.7
Dengan demikian, Ilmu Hadits
tidak hanya berfungsi untuk melacak periwayatan suatu ucapan Nabi, tetapi juga
menjadi sarana ilmiah yang mendalam untuk menjaga orisinalitas, kemurnian, dan
keterpercayaan setiap aspek dari Sunnah Rasulullah saw. Inilah yang membuatnya menjadi
salah satu warisan intelektual Islam paling agung dan unik dalam sejarah
peradaban manusia.
Footnotes
[1]
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, vol. 4 (Beirut: Dar
Sadir, 1990), 143.
[2]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut:
Maktabah al-Ma’arif, 1987), 9.
[3]
Subhi Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1986), 13–14.
[4]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Sharh Taqrib an-Nawawi,
ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 35.
[5]
Ibn Shalah, Muqaddimah fi Ulum al-Hadits, ed.
Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 21.
[6]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), 25–27.
[7]
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta:
Bulan Bintang, 1998), 61–65.
3.
Sejarah
Perkembangan Ilmu Hadits
Perkembangan Ilmu Hadits
merupakan proses panjang dan sistematis yang berlangsung sejak masa Nabi
Muhammad saw. hingga kini. Proses ini menunjukkan betapa besar perhatian umat
Islam dalam menjaga keaslian dan kemurnian ajaran Nabi. Secara garis besar,
sejarah perkembangan Ilmu Hadits dapat dibagi ke dalam beberapa fase penting
yang menunjukkan dinamika dan kematangan tradisi keilmuan Islam.
3.1.
Masa Nabi Muhammad saw.
Pada masa kehidupan Nabi
Muhammad saw., hadits belum dibukukan secara sistematis sebagaimana al-Qur’an.
Para sahabat lebih mengandalkan hafalan dalam menyerap perkataan dan perbuatan
Nabi. Nabi sendiri membolehkan penulisan hadits dalam beberapa kesempatan,
meskipun pada awalnya melarang agar tidak bercampur dengan wahyu al-Qur’an.1
Hadits-hadits yang ditulis pun bersifat pribadi dan terbatas, seperti Shahifah
Hammam ibn Munabbih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.2
3.2.
Masa Sahabat dan Tabi‘in
Setelah wafatnya Nabi
Muhammad saw., para sahabat mulai menyebarkan hadits ke berbagai wilayah Islam.
Aktivitas ini mendorong munculnya kebutuhan akan pembukuan hadits secara lebih
sistematis. Para sahabat besar seperti Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar, Aisyah,
dan Anas ibn Malik menjadi rujukan utama periwayatan hadits. Di masa tabi‘in,
proses transmisi hadits menjadi lebih luas dengan mulai diperkenalkannya rantai
periwayatan (isnad) yang menjadi ciri khas
metode verifikasi hadits.3
3.3.
Masa Kodifikasi (Abad ke-2 H)
Kodifikasi resmi hadits
terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz (w. 101 H), yang
memerintahkan gubernur-gubernurnya, khususnya di Madinah, untuk mengumpulkan
hadits. Salah satu ulama yang menanggapi perintah ini adalah Ibnu
Syihab az-Zuhri (w. 124 H), yang dikenal sebagai pelopor dalam
penulisan dan pengumpulan hadits secara sistematis.4 Upaya ini
menandai awal dari pembentukan mushannafat (kompilasi
hadits) awal dalam sejarah Islam.
3.4.
Masa Klasik: Periode Emas Ilmu Hadits (Abad
ke-3 – ke-5 H)
Periode ini dianggap sebagai masa
keemasan Ilmu Hadits, ditandai dengan munculnya kitab-kitab induk
hadits dan berkembangnya metodologi kritik hadits. Ulama-ulama besar seperti Imam
al-Bukhari (w. 256 H), Muslim ibn al-Hajjaj (w. 261
H), Abu Dawud, Tirmidzi, al-Nasa’i,
dan Ibnu Majah menyusun karya-karya monumental yang dikenal
sebagai Kutub as-Sittah (Enam Kitab Induk Hadits).5
Pada masa ini, standar kritik
sanad dan matan semakin ketat. Para ulama menetapkan kaidah-kaidah untuk
menentukan status hadits, baik dari segi keadilan perawi, kekuatan hafalan,
hingga kesinambungan sanad. Di samping itu, muncul pula kitab-kitab jarh
wa ta‘dil yang menjadi basis kritik terhadap para perawi, seperti
karya Yahya ibn Ma‘in dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani.6
3.5.
Masa Konsolidasi dan Penjelasan (Abad ke-6 –
ke-9 H)
Fase ini merupakan masa
elaborasi dan konsolidasi atas karya-karya sebelumnya. Muncul kitab-kitab syarh
(penjelasan dan komentar) terhadap kitab-kitab induk hadits, seperti Fath
al-Bari karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani dan al-Minhaj
karya an-Nawawi. Di sisi lain, para ulama juga mulai mengembangkan disiplin ‘Ilal
al-Hadits dan takhrij untuk mengungkap
cacat tersembunyi dan melacak sumber hadits secara mendalam.7
3.6.
Masa Kontemporer
Pada era modern, Ilmu Hadits
mengalami pembaruan metodologi dan pendekatan melalui integrasi dengan
ilmu-ilmu sosial dan kritik teks modern. Tokoh-tokoh seperti Muhammad
Mustafa al-A‘zami membela orisinalitas tradisi hadits melawan tuduhan
orientalis.8 Di samping itu, banyak lembaga pendidikan dan pusat
kajian hadits yang berkembang pesat, baik di dunia Arab, Asia Selatan, maupun
Asia Tenggara. Di Indonesia, kajian Ilmu Hadits terus dikembangkan melalui
program studi di berbagai universitas Islam dan pesantren-pesantren,
menunjukkan kesinambungan keilmuan dari generasi ke generasi.
Dengan demikian, sejarah Ilmu
Hadits mencerminkan perjalanan keilmuan yang sangat sistematis, kritis, dan
progresif. Warisan metodologis yang ditinggalkan para ulama terdahulu menjadi
fondasi utama dalam menjaga kemurnian ajaran Nabi Muhammad saw. sepanjang
zaman.
Footnotes
[1]
Subhi Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1986), 41.
[2]
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual
(Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 28.
[3]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Sharh Taqrib an-Nawawi,
ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 78–80.
[4]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut:
Maktabah al-Ma’arif, 1987), 38.
[5]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), 43–45.
[6]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Taqrib at-Tahdzib, ed. Muhammad
‘Awwamah (Beirut: Dar al-Rushd, 1995), 5.
[7]
Ali Hasan ‘Abd al-Hamid, Usus Fann Takhrij wa Dirasat al-Asanid
(Yordan: Maktabah al-Manar, 1994), 60–63.
[8]
Muhammad Mustafa al-A‘zami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 55–58.
4.
Macam-Macam
Ilmu Hadits
Ilmu Hadits merupakan
disiplin ilmu yang sangat kompleks dan kaya, mencakup berbagai aspek yang
bertujuan utama untuk menjaga kemurnian ajaran Rasulullah saw. Seiring
berkembangnya tradisi keilmuan Islam, para ulama mengklasifikasikan Ilmu Hadits
ke dalam dua cabang utama, yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu
Hadits Dirayah. Pembagian ini memungkinkan umat Islam untuk
mempelajari hadits secara menyeluruh, baik dari aspek periwayatan maupun
analisis kritis terhadap kandungannya.
4.1.
Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu Hadits Riwayah
(علم الحديث
رواية) adalah ilmu yang membahas segala hal yang bersumber dari Nabi
Muhammad saw., baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir), maupun
sifat beliau, dan bagaimana hal tersebut disampaikan atau diriwayatkan oleh
para sahabat dan generasi sesudahnya.¹
Ilmu ini fokus pada aspek naratif
dari hadits, yaitu pengumpulan, periwayatan, dan pembukuan hadits. Para ahli
hadits dalam disiplin ini berperan sebagai rawi (periwayat), musnid
(penghimpun sanad), atau bahkan hafizh (pengingat ribuan hadits
dengan sanadnya). Merekalah yang berjasa dalam menyampaikan warisan kenabian
secara autentik melalui rantai sanad yang terjaga.²
Salah satu bentuk nyata dari
Ilmu Hadits Riwayah adalah penyusunan kitab-kitab hadits seperti Shahih
al-Bukhari, Shahih Muslim, dan
kitab-kitab Sunan. Para penulis kitab ini tidak hanya mengumpulkan hadits,
tetapi juga mencatat sanad lengkap serta komentar atau penilaian terhadap
keotentikannya berdasarkan ilmu yang mereka kuasai.³
4.2.
Ilmu Hadits Dirayah (Musthalah al-Hadits)
Ilmu Hadits Dirayah
(علم الحديث
دراية), yang juga dikenal sebagai Musthalah al-Hadits,
adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan
matan hadits, baik dari segi kualitas periwayat, kesambungan sanad, hingga isi
hadits itu sendiri. Ilmu ini bersifat analitis dan kritis, dan
menjadi alat penting dalam menentukan apakah suatu hadits dapat diterima atau
tidak.⁴
Fungsi utama dari Ilmu
Dirayah adalah memberikan standar objektif dalam menilai
hadits. Dalam praktiknya, ilmu ini mengkaji:
·
Klasifikasi hadits
berdasarkan kuantitas periwayat, seperti:
(#) Mutawatir:
hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang sehingga mustahil terjadi
kesepakatan dusta.
(#) Ahad:
hadits yang diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang, terbagi lagi menjadi
gharib, ‘aziz, dan masyhur.⁵
·
Klasifikasi hadits
berdasarkan kualitas sanad dan matan, seperti:
(#) Shahih:
hadits yang sanadnya bersambung, perawinya adil dan dhabit (kuat hafalan),
serta tidak ada cacat (‘illat) dan kejanggalan (syudzudz).
(#) Hasan:
mirip dengan shahih, tetapi kualitas hafalan perawi sedikit di bawahnya.
(#) Dha’if:
hadits yang tidak memenuhi kriteria shahih dan hasan, karena ada cacat dalam
sanad atau perawinya.⁶
·
Kategori penerimaan
hadits, yaitu:
(#) Maqbul
(diterima): hadits shahih dan hasan yang bisa dijadikan hujah
(dalil).
(#) Mardud
(ditolak): hadits dha’if dan maudhu‘ (palsu), yang tidak bisa
dijadikan dasar hukum.⁷
Dalam proses evaluasi, Ilmu
Dirayah juga mengembangkan cabang-cabang pendukung seperti:
·
‘Ilm al-Jarh wa
at-Ta’dil: ilmu yang membahas penilaian terhadap kredibilitas perawi,
apakah mereka terpercaya (tsiqat) atau tidak.
·
‘Ilm ‘Ilal
al-Hadits: ilmu yang mengkaji cacat tersembunyi dalam hadits yang
tidak tampak secara lahiriah, tetapi dapat mengurangi keotentikan hadits.
·
‘Ilm Takhrij:
ilmu untuk melacak asal-usul hadits dari berbagai sumber dan menilai validitas
sanadnya.⁸
Kesimpulan
Pembagian Ilmu Hadits menjadi
riwayah dan dirayah menunjukkan kelengkapan pendekatan ulama dalam menjaga
warisan kenabian. Ilmu Hadits Riwayah berperan dalam aspek pelestarian dan
dokumentasi, sedangkan Ilmu Hadits Dirayah berperan dalam aspek verifikasi dan
otentikasi. Keduanya tidak dapat dipisahkan, karena bersinergi dalam menghasilkan
pemahaman hadits yang otentik dan bertanggung jawab secara ilmiah. Dengan
penguasaan atas kedua disiplin ini, umat Islam dapat menjaga kemurnian ajaran
Rasulullah saw. di tengah derasnya arus informasi yang tidak selalu valid.
Footnotes
[1]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut:
Maktabah al-Ma’arif, 1987), 7–9.
[2]
Subhi Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1986), 20–21.
[3]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), 43.
[4]
Ibn Shalah, Muqaddimah fi Ulum al-Hadits, ed.
Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 25.
[5]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Sharh Taqrib an-Nawawi,
ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 112.
[6]
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta:
Bulan Bintang, 1998), 43–46.
[7]
Ali Hasan ‘Abd al-Hamid, Usus Fann Takhrij wa Dirasat al-Asanid
(Yordan: Maktabah al-Manar, 1994), 55.
[8]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits,
72–78.
5.
Kriteria
Keshahihan Hadits
Salah satu tujuan utama dari
Ilmu Hadits adalah untuk membedakan antara hadits yang dapat dijadikan
hujah (dalil syar‘i) dan yang tidak. Para ulama telah mengembangkan
sejumlah standar ilmiah guna menentukan derajat
keshahihan suatu hadits, terutama untuk menjamin bahwa hanya hadits
yang benar-benar berasal dari Nabi Muhammad saw. yang dijadikan dasar ajaran
Islam. Kriteria ini disusun dengan sangat ketat dan sistematis, menunjukkan tingkat
metodologi ilmiah yang tinggi dalam tradisi keilmuan Islam.
5.1.
Definisi Hadits Shahih
Secara istilah, hadits shahih
adalah hadits yang sanadnya bersambung (ittisal al-sanad),
diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit,
tidak mengandung syudzudz (kejanggalan), dan tidak terdapat ‘illah
(cacat tersembunyi) yang merusak keabsahannya.¹
Definisi ini merupakan hasil
rumusan para ulama hadits klasik, di antaranya Imam Ibn Shalah dan dikembangkan
lebih lanjut oleh al-Nawawi, Ibn Hajar al-‘Asqalani, serta Imam al-Suyuthi.²
Kelima syarat utama tersebut menjadi fondasi dalam menilai tingkat keotentikan
hadits yang digunakan dalam hukum, aqidah, dan ibadah.
5.2.
Lima Syarat Hadits Shahih
Berikut adalah lima syarat
utama hadits shahih menurut mayoritas ulama ahli hadits:
1)
Sambungnya Sanad (اتصال السند)
Sanad hadits harus tersambung dari perawi
terakhir hingga Rasulullah saw., tanpa adanya perawi yang gugur dalam rantai
transmisi.³ Jika terdapat perawi yang tidak diketahui atau sanadnya terputus,
maka hadits tersebut tidak bisa digolongkan sebagai shahih.
2)
Keadilan Perawi (عدالة الرواة)
Setiap perawi dalam sanad hadits harus memiliki
sifat adil, yaitu bersifat jujur, bertakwa, tidak melakukan dosa besar, dan
menjauhi dosa kecil secara terus-menerus. Keadilan merupakan nilai moral yang
menjadi syarat integritas periwayat.⁴
3)
Kekuatan Hafalan atau
Dhabit (ضبط الرواة)
Selain adil, seorang perawi harus dhabit,
yaitu memiliki kapasitas hafalan yang kuat atau catatan yang akurat. Para ulama
membedakan antara dhabit shadr (hafalan kuat
dalam dada) dan dhabit kitab (ketelitian
dalam menulis dan menjaga catatan).⁵
4)
Tidak Ada Kejanggalan (عدم الشذوذ)
Hadits tidak boleh menyelisihi hadits lain yang
lebih kuat dari sisi sanad dan jumlah perawi. Jika sebuah hadits dinilai
menyimpang dari riwayat yang lebih terpercaya, maka dianggap mengandung syudzudz
dan tidak shahih.⁶
5)
Tidak Ada Cacat (‘Illah) (عدم العلة القادحة)
Hadits tidak mengandung cacat tersembunyi yang
hanya dapat diketahui oleh ahli hadits berpengalaman. Cacat ini bisa berupa
kesalahan dalam penyandaran sanad, kelemahan perawi, atau kekeliruan dalam teks
hadits.⁷
5.3.
Perbedaan Hadits Shahih, Hasan, dan Dha‘if
·
Hadits
Shahih memenuhi kelima syarat di atas dengan sempurna.
·
Hadits
Hasan memiliki semua syarat hadits shahih, kecuali tingkat
hafalan perawinya berada satu tingkat di bawah perawi hadits shahih.⁸
·
Hadits
Dha‘if tidak memenuhi satu atau lebih dari lima syarat
tersebut, sehingga tidak dapat dijadikan hujah dalam penetapan hukum kecuali
dalam kondisi terbatas dan bukan untuk hal-hal prinsip.⁹
5.4.
Kedudukan Hadits Shahih dalam Syari‘at
Hadits shahih menempati
posisi yang sangat penting dalam pengambilan hukum Islam. Ia menjadi rujukan
utama dalam menentukan hukum fikih, menjelaskan makna
ayat-ayat al-Qur’an, serta menjadi sumber pembinaan akidah dan
akhlak umat Islam. Dalam tradisi Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, hadits
shahih dianggap sebagai wahyu kedua yang dijaga keabsahannya dengan penuh
ketelitian dan disiplin keilmuan.¹⁰
Penutup
Penetapan kriteria keshahihan
hadits merupakan sumbangsih besar dari para ulama Islam kepada dunia ilmu.
Dengan metodologi yang akurat dan objektif, umat Islam memiliki jaminan bahwa
ajaran yang mereka amalkan benar-benar bersumber dari Rasulullah saw. Hal ini
sekaligus membedakan tradisi keilmuan Islam dari bentuk transmisi lisan biasa
yang rawan terhadap manipulasi dan distorsi sejarah.
Footnotes
[1]
Ibn Shalah, Muqaddimah fi Ulum al-Hadits, ed.
Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 23.
[2]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Sharh Taqrib an-Nawawi,
ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 48.
[3]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut:
Maktabah al-Ma’arif, 1987), 47–49.
[4]
Subhi Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1986), 33.
[5]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), 58–59.
[6]
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta:
Bulan Bintang, 1998), 51.
[7]
Ali Hasan ‘Abd al-Hamid, Usus Fann Takhrij wa Dirasat al-Asanid
(Yordan: Maktabah al-Manar, 1994), 73.
[8]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 61.
[9]
Subhi Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu, 41.
[10]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I‘lam al-Muwaqqi‘in ‘an Rabb al-‘Alamin,
ed. Muhammad Muhyiddin ‘Abd al-Hamid (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996),
14–15.
6.
Ilmu
Rijal al-Hadits (Biografi Perawi)
6.1.
Pengertian dan Fungsi Ilmu Rijal al-Hadits
Ilmu Rijal al-Hadits
(علم رجال
الحديث) adalah cabang ilmu hadits yang membahas secara khusus biografi,
karakter, kapasitas intelektual, serta kredibilitas para perawi hadits.
Secara harfiah, "rijāl" berarti "orang-orang
(laki-laki)", namun dalam konteks ini merujuk kepada individu-individu
yang berada dalam rantai transmisi (sanad) hadits, baik
laki-laki maupun perempuan.¹
Ilmu ini berfungsi sebagai fondasi
utama dalam proses verifikasi sanad, karena kualitas hadits sangat
ditentukan oleh keadilan dan kemampuan perawi yang meriwayatkannya. Jika
seorang perawi tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan, maka riwayatnya
bisa dianggap lemah, bahkan tertolak. Oleh karena itu, Ilmu Rijal berperan
sebagai alat kontrol ilmiah terhadap autentisitas riwayat
hadits.²
6.2.
Ruang Lingkup Ilmu Rijal
Ruang lingkup Ilmu Rijal
mencakup beberapa aspek utama:
1)
Nama, Nasab, dan Identitas
Lengkap Perawi
Ulama Rijal mencatat secara rinci nama perawi,
nama ayah, julukan (kunyah), gelar (laqab), tempat tinggal, dan masa hidupnya.
Tujuannya adalah untuk menghindari kesalahan identifikasi,
mengingat banyaknya perawi yang memiliki nama serupa.³
2)
Guru dan Murid
Diketahui dengan siapa seorang perawi belajar dan
kepada siapa ia meriwayatkan hadits. Ini menjadi dasar untuk menilai kemungkinan
pertemuan langsung (liqa’) dan memastikan kesinambungan sanad.⁴
3)
Penilaian Kualitas Perawi
Penilaian dilakukan berdasarkan dua aspek utama:
(#) Keadilan
(العدالة): berkaitan dengan
integritas moral perawi (shalih, jujur, tidak fasik).
(#) Kekuatan
Hafalan atau Dhabit (الضبط):
kemampuan perawi dalam mengingat dan menyampaikan hadits dengan tepat.⁵
4)
Penilaian Jarh dan Ta‘dil
Ulama memberikan kritik terhadap perawi dengan
istilah teknis seperti tsiqat, shaduq,
dha‘if, matruk,
dsb. Ini disebut sebagai jarh (celaan) dan ta‘dil
(pujian), yang menjadi penentu diterima atau ditolaknya sebuah riwayat.⁶
6.3.
Sumber-Sumber Utama Ilmu Rijal
Para ulama telah menyusun
berbagai kitab Rijal yang menjadi rujukan utama dalam menilai
perawi. Di antaranya:
·
Tahdzib
al-Kamal karya al-Mizzi (w. 742 H)
·
Taqrib
at-Tahdzib karya Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H)
·
Al-Jarh
wa at-Ta‘dil karya Ibn Abi Hatim ar-Razi (w. 327 H)
·
Al-Kamil
fi Du‘afa’ ar-Rijal karya Ibn ‘Adi (w. 365 H)
·
Mizan
al-I‘tidal karya adz-Dzahabi (w. 748 H)⁷
Kitab-kitab ini tidak hanya
mencantumkan informasi faktual tentang perawi, tetapi juga memuat evaluasi
kritis berdasarkan periwayatan yang ditelusuri secara komparatif.
6.4.
Metodologi Penilaian Perawi
Ulama hadits mengembangkan metodologi
ilmiah dalam menilai perawi berdasarkan dua prinsip utama:
1)
Kesesuaian antara sanad
dan realitas sejarah
Misalnya, apakah seorang perawi benar-benar hidup
pada zaman yang sama dengan gurunya dan memungkinkan terjadinya pertemuan (mu‘āsharah
wa al-liqā’).⁸
2)
Konsistensi riwayat
Bila seorang perawi dikenal sering bertentangan
dengan riwayat perawi tsiqat lainnya, maka itu menjadi indikasi kelemahan dalam
riwayatnya.
Dalam penilaian ini, para
ulama tetap menjaga objektivitas ilmiah dan tidak mencela
perawi tanpa bukti yang cukup. Jarh hanya dilakukan jika ditemukan bukti kuat
yang menunjukkan adanya kelemahan perawi dalam hal hafalan atau akhlak.
6.5.
Relevansi Ilmu Rijal di Era Modern
Ilmu Rijal tetap relevan di
era kontemporer, khususnya dalam menghadapi maraknya penyebaran hadits palsu
atau lemah di media sosial dan buku-buku populer. Dengan memahami biografi dan
kredibilitas perawi, kita dapat memilah hadits yang sahih dan yang tidak dapat
dijadikan hujah. Lebih dari itu, Ilmu Rijal menjadi bukti bahwa umat Islam
memiliki mekanisme akademik yang sangat ketat dalam menjaga integritas
ajaran Nabawi.⁹
Kesimpulan
Ilmu Rijal al-Hadits
merupakan mahakarya ilmiah umat Islam yang tidak hanya menunjukkan kedalaman
metodologi, tetapi juga menunjukkan komitmen spiritual untuk
menjaga kemurnian ajaran Rasulullah saw. Melalui ilmu ini, umat Islam mewarisi
perangkat ilmiah yang sangat kuat untuk menyaring dan menilai kebenaran
informasi keagamaan secara obyektif dan bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut:
Maktabah al-Ma‘arif, 1987), 79.
[2]
Subhi Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1986), 91–92.
[3]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Sharh Taqrib an-Nawawi,
ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 334.
[4]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Taqrib at-Tahdzib, ed. Muhammad
‘Awwamah (Beirut: Dar al-Rushd, 1995), 6.
[5]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), 81–82.
[6]
Ibn Abi Hatim, Al-Jarh wa at-Ta‘dil, vol. 1
(Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif, 1952), 34.
[7]
Muhammad ibn Ahmad adz-Dzahabi, Mizan al-I‘tidal fi Naqd ar-Rijal
(Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1995), 1:5–6.
[8]
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta:
Bulan Bintang, 1998), 76–78.
[9]
Ali Hasan ‘Abd al-Hamid, Usus Fann Takhrij wa Dirasat al-Asanid
(Yordan: Maktabah al-Manar, 1994), 88.
7.
Kaidah-Kaidah
dalam Kritik Sanad dan Matan
Dalam tradisi keilmuan Islam,
kritis terhadap sumber bukanlah bentuk penolakan, tetapi
justru menjadi bukti kesungguhan dalam menjaga kemurnian ajaran. Oleh karena
itu, kritik sanad dan matan merupakan aspek yang sangat penting
dalam Ilmu Hadits. Ia menjadi jantung dari proses seleksi hadits-hadits yang
diterima dan ditolak. Para ulama sejak masa sahabat telah menegakkan prinsip
kehati-hatian dalam menerima hadits, dan seiring berkembangnya waktu, lahirlah
metodologi yang sistematis dan ilmiah.
7.1.
Kritik Sanad: Meneliti Jalur Periwayatan
Sanad adalah
rangkaian nama-nama perawi yang meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad saw.
hingga kepada orang yang mencatat atau meriwayatkannya. Kritik terhadap sanad
bertujuan untuk menilai ketersambungan, kredibilitas, dan konsistensi
para perawi dalam rantai tersebut.
7.1.1.
Kaidah
Ketersambungan (Ittisāl al-Sanad)
Salah satu syarat hadits
shahih adalah bahwa sanad-nya harus bersambung (muttashil), artinya setiap
perawi benar-benar bertemu dan menerima riwayat dari gurunya. Ulama menggunakan
metode pengecekan sejarah (mu‘āsharah) dan bukti
pertemuan langsung (liqā’) dalam menilai kesinambungan ini.¹
7.1.2.
Evaluasi Perawi
(al-Jarh wa at-Ta‘dīl)
Setiap perawi harus dinilai
dari aspek keadilan (integritas moral) dan dhabit
(ketelitian dan hafalan). Istilah teknis seperti tsiqat
(tepercaya), dha‘if (lemah), atau matrūk
(ditinggalkan) digunakan oleh para ulama untuk menunjukkan derajat perawi
berdasarkan penelitian mendalam.²
7.1.3.
Penyelarasan Riwayat
(al-Muwāzanah bayn al-Ruwāt)
Para ulama juga membandingkan
riwayat dari satu perawi dengan perawi lain yang lebih kuat. Jika terdapat
perbedaan mencolok yang tidak bisa dikompromikan, maka akan dilakukan tarjih
(pendahuluan) atau bahkan penolakan sanad tertentu.³
7.2.
Kritik Matan: Meneliti Isi Hadits
Matan adalah
teks isi hadits, yaitu perkataan atau perbuatan yang dinisbatkan kepada Nabi
saw. Kritik terhadap matan dilakukan untuk memastikan keautentikan isi
hadits, sejauh mana ia konsisten dengan prinsip-prinsip syariat, akal
sehat, dan kenyataan sejarah.
7.2.1.
Keselarasan dengan
Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir
Hadits yang bertentangan
secara jelas dengan al-Qur’an atau hadits mutawatir (yang sangat kuat sanadnya)
akan ditinjau ulang. Dalam banyak kasus, hadits seperti ini dianggap bermasalah
dan ditolak karena melanggar prinsip dasar Islam.⁴
7.2.2.
Penolakan Hadits
yang Menyalahi Akal Sehat (Munkar)
Jika suatu hadits mengandung
isi yang secara logika mustahil atau sangat janggal, para ulama akan meragukan
validitasnya. Hadits seperti ini disebut munkar, apalagi jika
diriwayatkan oleh perawi yang dha‘if.⁵
7.2.3.
Pemeriksaan Konteks
Historis dan Bahasa
Kritik matan juga menyertakan
analisis terhadap kosakata, struktur bahasa,
serta konteks sejarah. Bila ditemukan kata-kata yang baru
muncul setelah masa Nabi atau konsep yang tidak dikenal pada masa sahabat, maka
hadits tersebut patut dicurigai.⁶
7.3.
Contoh Aplikasi Kritik Sanad dan Matan
Salah satu contoh klasik
adalah hadits yang menyebut bahwa Nabi Adam memiliki tinggi 60 hasta.
Hadits ini shahih sanadnya, namun para ulama berbeda pendapat dalam memahami
matannya. Sebagian besar menerima secara tekstual, sementara sebagian lainnya
menilai bahwa perlu dilakukan ta’wil atau takwil rasional,
karena bertentangan dengan data antropologi modern.⁷
Contoh lain adalah hadits
yang menyatakan bahwa Nabi saw. menikah dengan seorang perempuan dari
neraka, padahal tidak ada dalil sahih yang menyebutkan identitasnya
secara pasti. Setelah dianalisis, matannya dianggap syād (janggal) dan
perawinya tidak dikenal.⁸
7.4.
Relevansi Kritik Sanad dan Matan dalam Kajian
Kontemporer
Di era modern, kritik sanad
dan matan tetap sangat relevan, terutama dalam menyaring hadits-hadits yang
beredar luas di media sosial dan ceramah-ceramah populer. Banyak hadits yang
viral sebenarnya lemah bahkan palsu, tetapi dikutip tanpa
verifikasi. Oleh karena itu, pemahaman atas kaidah-kaidah kritik sanad dan
matan merupakan modal intelektual dan spiritual yang penting
untuk menjaga warisan Nabi dari distorsi dan manipulasi.⁹
Kesimpulan
Kritik sanad dan matan adalah
pilar utama dalam Ilmu Hadits. Keduanya bekerja secara sinergis dalam menyaring,
menyeleksi, dan menjaga keaslian informasi keagamaan dari Rasulullah
saw. Metodologi ini menjadi bukti bahwa Islam memiliki tradisi keilmuan
yang sangat ketat dan rasional dalam mendekati teks keagamaan. Dengan
pemahaman terhadap kaidah-kaidah ini, umat Islam dapat membentengi diri dari
penyimpangan pemahaman dan praktik keagamaan.
Footnotes
[1]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut:
Maktabah al-Ma‘arif, 1987), 49–52.
[2]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Taqrib at-Tahdzib, ed. Muhammad
‘Awwamah (Beirut: Dar al-Rushd, 1995), 5.
[3]
Subhi Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1986), 73.
[4]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Sharh Taqrib an-Nawawi,
ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 134–135.
[5]
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta:
Bulan Bintang, 1998), 89–91.
[6]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), 96–98.
[7]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Jannah, no.
2841. Lihat juga syarahnya oleh an-Nawawi.
[8]
Ali Hasan ‘Abd al-Hamid, Usus Fann Takhrij wa Dirasat al-Asanid
(Yordan: Maktabah al-Manar, 1994), 107.
[9]
Mustafa al-A‘zami, Studies in Early Hadith Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1978), 39.
8.
Kodifikasi
dan Kitab-Kitab Hadits
8.1.
Latar Belakang Kodifikasi Hadits
Hadits sebagai sumber ajaran
Islam kedua setelah al-Qur’an memiliki kedudukan yang sangat sentral. Pada masa
Nabi Muhammad Saw., penyampaian hadits lebih banyak dilakukan secara lisan,
dan penulisannya dilakukan secara terbatas. Nabi pernah melarang penulisan
hadits agar tidak rancu dengan wahyu al-Qur’an, namun kemudian
memperbolehkannya dengan syarat tertentu.¹ Setelah wafatnya Nabi, para sahabat
dan tabi‘in merasa perlu mengumpulkan dan menulis hadits guna
menjaga keautentikannya dari pelupaan, penambahan, atau pemalsuan.²
Munculnya kelompok-kelompok
sesat, pemalsuan hadits untuk kepentingan politik
atau fanatisme golongan, serta perluasan wilayah Islam ke luar
jazirah Arab, mendorong dilakukannya kodifikasi (tadwīn) hadits
secara lebih sistematis.
8.2.
Periode Awal Kodifikasi Hadits
Kodifikasi hadits secara
resmi dimulai pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz (w. 101 H)
yang memerintahkan pengumpulan hadits kepada para ulama di berbagai wilayah.
Salah satu tokoh yang menanggapi seruan ini adalah Ibnu Syihab az-Zuhri
(w. 124 H), yang dianggap sebagai perintis kodifikasi hadits
secara tertulis.³
Setelah itu, muncullah karya-karya
awal yang disusun dalam bentuk mushannaf, seperti:
·
Muwaththa’ oleh Imam Malik (w. 179
H), yang merupakan gabungan antara hadits dan fatwa sahabat.
·
Musannaf oleh ‘Abd al-Razzaq
ash-Shan‘ani dan Ibn Abi Syaibah.
Kitab-kitab ini masih memuat
hadits-hadits tanpa pembahasan sistematis mengenai kualitas sanad atau derajat
hadits.
8.3.
Masa Kodifikasi Besar (Abad ke-3 H):
Kitab-Kitab Induk Hadits
Pada abad ketiga Hijriah,
kodifikasi hadits mencapai puncaknya dengan lahirnya kitab-kitab hadits
sistematik berdasarkan sanad dan kriteria validitas. Kitab-kitab ini
menjadi fondasi utama dalam tradisi keilmuan hadits dan dikenal sebagai kutub
at-tis‘ah (sembilan kitab hadits), yang terdiri atas:
8.3.1.
Shahih al-Bukhari
(w. 256 H)
Disusun oleh Imam Muhammad
ibn Isma‘il al-Bukhari, kitab ini dianggap sebagai kitab hadits paling
shahih setelah al-Qur’an. Beliau hanya memilih hadits-hadits yang
memenuhi syarat paling ketat, termasuk perawi tsiqah yang saling
bertemu langsung dan kekuatan hafalan yang tinggi.⁴
8.3.2.
Shahih Muslim (w. 261
H)
Karya Imam Muslim ibn
al-Hajjaj, yang menyusun hadits dengan struktur tematik yang lebih sistematis
dibanding Bukhari. Ia juga menggunakan syarat shahih yang tinggi, meskipun
sedikit lebih longgar dari Bukhari.⁵
8.3.3.
Empat Kitab Sunan
Kitab ini berisi
hadits-hadits hukum dengan susunan tematik berdasarkan bab fikih:
·
Sunan Abu Dawud (w. 275 H)
·
Sunan at-Tirmidzi (w. 279 H)
·
Sunan an-Nasa’i (w. 303 H)
·
Sunan Ibn Majah (w. 273 H)
Empat kitab ini dikenal sebagai kutub
al-arba‘ah, dan bersama dengan dua shahih menjadi enam kitab
utama (kutub
as-sittah).⁶
8.3.4.
Musnad Ahmad ibn
Hanbal (w. 241 H)
Berbeda dari kitab sunan,
kitab musnad disusun berdasarkan nama sahabat perawi hadits, bukan berdasarkan
tema hukum. Kitab ini mencakup lebih dari 30.000 hadits dan menjadi salah satu
sumber utama dalam studi sanad dan matan.⁷
8.3.5.
Muwaththa’ Imam
Malik (w. 179 H)
Meskipun lahir sebelum kutub
as-sittah, al-Muwaththa’ tetap dianggap
sebagai sumber penting karena merupakan gabungan antara hadits, fatwa sahabat,
dan praktik penduduk Madinah.⁸
8.3.6.
Sunan ad-Darimi (w.
255 H)
Sering disebut sebagai
pelengkap dari delapan kitab sebelumnya. Disusun berdasarkan topik-topik keagamaan
dan memuat banyak komentar dari ulama tabi‘in.⁹
8.4.
Karakteristik dan Metodologi Penyusunan
Setiap kitab hadits memiliki metodologi
penyusunan (manhaj) yang khas, baik dari sisi pemilihan hadits, cara
penyusunan bab, maupun kritik terhadap sanad dan matan. Misalnya:
·
Imam
Bukhari mencantumkan hadits yang disertai dengan pendekatan
fiqh dan tarjih.
·
Imam
Muslim mengulang hadits dalam berbagai versi untuk menunjukkan variasi
sanad dan redaksi.
·
At-Tirmidzi
memberikan penilaian terhadap kualitas hadits dan komentar fiqh ulama.
Pengetahuan tentang
metodologi masing-masing kitab sangat penting dalam memahami hadits secara
komprehensif dan mendalam.¹⁰
8.5.
Relevansi Kitab-Kitab Hadits dalam Studi
Kontemporer
Kitab-kitab hadits klasik ini
hingga kini masih menjadi rujukan primer dalam seluruh disiplin
keilmuan Islam, mulai dari fikih, akidah, hingga tasawuf. Kajian
kontemporer terhadap kitab-kitab ini terus berkembang dengan metode digital,
takhrij online, dan indeksasi ilmiah, namun kredibilitas utama tetap
merujuk pada karya ulama klasik yang menjadi pilar tradisi keilmuan
Islam.
Kesimpulan
Kodifikasi hadits merupakan
tonggak penting dalam sejarah keilmuan Islam. Melalui kerja keras para ulama,
hadits-hadits Rasulullah saw. tidak hanya berhasil dihimpun, tetapi juga
diseleksi dan disusun dengan prinsip-prinsip ilmiah yang sangat ketat.
Kitab-kitab hadits yang lahir dari proses ini menjadi warisan agung yang terus
dijaga, dikaji, dan diamalkan oleh umat Islam hingga kini.
Footnotes
[1]
Subhi Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1986), 41.
[2]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut:
Maktabah al-Ma‘arif, 1987), 38–39.
[3]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), 42.
[4]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Sharh Taqrib an-Nawawi,
ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 88–89.
[5]
Ibn al-Salah, Muqaddimah fi Ulum al-Hadits, ed.
Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 25.
[6]
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta:
Bulan Bintang, 1998), 70.
[7]
Ali Hasan ‘Abd al-Hamid, Usus Fann Takhrij wa Dirasat al-Asanid
(Yordan: Maktabah al-Manar, 1994), 55.
[8]
Muhammad Mustafa Azami, Studies in Early Hadith Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1978), 64.
[9]
Al-Kattani, Ar-Risalah al-Mustathrafah (Beirut:
Dar al-Bashair al-Islamiyyah, 2002), 72.
[10]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits,
56–59.
9.
Hadits-Hadits
Bermasalah dan Pendekatan Solutif
9.1.
Definisi dan Ragam Hadits Bermasalah
Dalam khazanah hadits,
terdapat sejumlah riwayat yang oleh para ulama dikategorikan sebagai "hadits
bermasalah", yakni hadits yang mengandung unsur pertentangan
(ta‘āruḍ), kelemahan sanad, konten yang
janggal (munkar/syādh), atau bahkan cacat tersembunyi (‘illah).
Keberadaan hadits-hadits semacam ini tidak menunjukkan kelemahan Ilmu Hadits,
melainkan sebaliknya—ia menunjukkan kematangan metodologi kritik hadits
yang dikembangkan oleh para ulama dalam menyeleksi dan memverifikasi setiap
riwayat.
Ulama seperti Ibn al-Shalah,
al-Khatib al-Baghdadi, dan Ibn Hajar al-‘Asqalani telah membahas dengan rinci
berbagai kategori hadits bermasalah, serta menetapkan kaidah-kaidah untuk
menyikapinya secara ilmiah.¹
9.2.
Bentuk-Bentuk Masalah dalam Hadits
1)
Ta‘āruḍ (Pertentangan
antara Hadits)
Ta‘āruḍ adalah kondisi ketika dua atau lebih
hadits tampak saling bertentangan secara makna atau hukum. Misalnya, hadits
yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw. pernah berwudhu menyentuh
istrinya dan tidak membatalkannya, dibandingkan hadits lain yang
menyebut bahwa menyentuh perempuan membatalkan wudhu.²
2)
Hadits Syādh (Janggal)
Hadits syādh adalah hadits yang diriwayatkan
oleh perawi tsiqah, tetapi menyelisihi riwayat lain yang lebih kuat
atau lebih banyak jumlah perawinya.³ Misalnya, jika seorang perawi tunggal
meriwayatkan sesuatu yang bertentangan dengan riwayat banyak perawi tsiqat,
maka haditsnya dianggap syādh dan tidak dapat dijadikan hujah.
3)
Hadits Munkar
Hadits munkar biasanya berasal dari perawi
dha‘if, yang menyampaikan riwayat bertentangan dengan riwayat perawi
tsiqat. Matan hadits semacam ini seringkali tampak ganjil atau tidak sesuai
dengan prinsip syariat.⁴
4)
Hadits Mu‘allal
(Mengandung Cacat Tersembunyi)
Cacat (‘illah) adalah kelemahan tersembunyi yang tidak
tampak secara lahir, tetapi diketahui oleh para ulama hadits melalui
perbandingan dan analisis mendalam. Contohnya adalah ketidaktepatan dalam
menyandarkan hadits kepada perawi tertentu, atau kesalahan redaksi yang tidak
diketahui kecuali oleh ahli.⁵
9.3.
Pendekatan Solutif dalam Menyikapi Hadits
Bermasalah
Ulama hadits tidak hanya
mengidentifikasi masalah dalam hadits, tetapi juga mengembangkan pendekatan-pendekatan
sistematis dan solutif untuk menyikapinya, antara lain:
9.3.1.
Jam‘ wa at-Tawfīq
(Pengompromian Riwayat)
Ini adalah metode
mengompromikan dua hadits yang tampak bertentangan dengan penafsiran
kontekstual atau pengklasifikasian kondisi. Sebagai contoh, dalam
kasus menyentuh perempuan membatalkan wudhu, sebagian ulama menjelaskan bahwa yang
membatalkan adalah jika disertai syahwat, sedangkan jika tidak, maka
tidak membatalkan.⁶
9.3.2.
Tarjīḥ (Menguatkan
Salah Satu Riwayat)
Jika kompromi tidak mungkin
dilakukan, maka ulama menggunakan metode tarjīḥ, yaitu memilih hadits yang lebih
kuat dari sisi sanad, lebih banyak jumlah perawi, atau lebih sesuai dengan
prinsip umum syariat.⁷
9.3.3.
Nasakh (Penghapusan
Hukum Terdahulu)
Dalam beberapa kasus, hadits
yang datang lebih akhir menghapus hukum yang terkandung dalam
hadits sebelumnya. Pendekatan ini digunakan bila diketahui adanya urutan
kronologis antara dua hadits yang bertentangan, misalnya dalam
perintah ziarah kubur yang awalnya dilarang kemudian diperbolehkan.⁸
9.3.4.
Tawaqquf
(Menangguhkan Penilaian)
Jika tidak ada kemungkinan
kompromi, tarjīḥ, atau nasakh, sebagian ulama memilih untuk tawaqquf,
yaitu menangguhkan penerimaan hadits tersebut dan tidak menjadikannya sebagai
hujah, seraya tetap mencatatnya dalam literatur sebagai bahan telaah.⁹
9.4.
Pentingnya Pendekatan Kritis dan Solutif
Pendekatan-pendekatan ini menunjukkan
bahwa ulama tidak memperlakukan hadits secara dogmatis, tetapi dengan rasionalitas
ilmiah yang ketat. Pendekatan jam‘, tarjīḥ, dan nasakh bukan hanya
solusi teknis, tetapi mencerminkan keadilan ilmiah dan kehati-hatian
metodologis. Oleh karena itu, memahami hadits bermasalah bukan untuk
menolak hadits, tetapi justru untuk menyaring dan menguatkan validitas
ajaran Rasulullah saw.
Kesimpulan
Hadits-hadits bermasalah
merupakan bagian dari dinamika transmisi ajaran Islam. Keberadaannya justru
mendorong berkembangnya Ilmu Hadits menjadi disiplin ilmiah yang kritis
dan akurat. Melalui pendekatan-pendekatan solutif seperti jam‘,
tarjīḥ, nasakh, dan
tawaqquf, para ulama mampu menjaga warisan Nabi
Muhammad saw. dari kekeliruan dan manipulasi, serta memastikan bahwa yang
diamalkan umat Islam benar-benar bersumber dari beliau.
Footnotes
[1]
Ibn al-Shalah, Muqaddimah fi Ulum al-Hadits, ed.
Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 87–92.
[2]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut:
Maktabah al-Ma‘arif, 1987), 105.
[3]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Sharh Taqrib an-Nawawi,
ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 215.
[4]
Subhi Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut:
Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1986), 77.
[5]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat an-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikr
(Beirut: Dar al-Bashair al-Islamiyyah, 1996), 52–53.
[6]
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta:
Bulan Bintang, 1998), 94–96.
[7]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), 121–122.
[8]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Jana’iz, no.
976.
[9]
Ali Hasan ‘Abd al-Hamid, Usus Fann Takhrij wa Dirasat al-Asanid
(Yordan: Maktabah al-Manar, 1994), 111.
10. Relevansi Ilmu Hadits dalam Kehidupan Modern
10.1.
Menjamin Kemurnian Ajaran Islam
Ilmu Hadits merupakan
perangkat ilmiah yang memiliki fungsi strategis dalam menjaga
keautentikan ajaran Rasulullah Muhammad saw. Sejak masa awal Islam,
para ulama telah merancang metodologi ilmiah yang sangat ketat untuk memastikan
bahwa hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi benar-benar otentik dan dapat
diamalkan.¹ Dalam konteks kehidupan modern, tantangan terhadap keaslian sumber
ajaran Islam justru semakin kompleks, baik dari dalam (penyebaran hadits palsu)
maupun dari luar (skeptisisme orientalis). Di sinilah letak pentingnya Ilmu
Hadits sebagai benteng epistemologis dalam membela integritas
Sunnah Nabi.
10.2.
Verifikasi Informasi di Era Digital
Kehidupan modern ditandai
oleh kemajuan teknologi informasi, termasuk dalam penyebaran
hadits melalui media sosial, aplikasi dakwah, dan kanal digital lainnya.
Sayangnya, fenomena ini juga memunculkan maraknya penyebaran hadits
palsu atau lemah, yang seringkali digunakan untuk mendukung pandangan
ekstrem, komersialisasi agama, atau sekadar konten viral tanpa verifikasi.²
Ilmu Hadits memberikan alat
kritis bagi masyarakat Muslim untuk menyaring hadits-hadits yang
beredar. Melalui pemahaman terhadap sanad, matan, serta klasifikasi hadits
(shahih, hasan, dha‘if, maudhu‘), umat Islam dapat lebih selektif dalam
mengutip dan mengamalkan hadits.³ Dalam konteks ini, Ilmu Hadits berfungsi sebagai
pendidikan literasi agama digital yang sangat diperlukan di
era informasi.
10.3.
Fondasi Penalaran Hukum dan Etika Islam
Ilmu Hadits juga menjadi fondasi
utama dalam ijtihad keislaman kontemporer, terutama dalam menjawab
berbagai persoalan baru yang belum terjadi di masa klasik. Ulama dan sarjana
Islam menggunakan hadits yang shahih sebagai dasar dalam menetapkan hukum dalam
bidang bioetika, ekonomi syariah, teknologi, dan kehidupan sosial.
Misalnya, dalam diskusi kontemporer
mengenai transplantasi organ, fintech syariah, atau etika media sosial,
hadits-hadits tentang maqashid syari‘ah, prinsip keadilan, serta larangan
menzalimi orang lain menjadi rujukan etis yang penting.⁴ Tanpa Ilmu Hadits,
umat Islam akan kehilangan dimensi historis dan normatif dari
teladan Nabi dalam menjawab tantangan baru secara bijak.
10.4.
Penangkal Radikalisme dan Ekstremisme
Salah satu tantangan terbesar
dunia Islam saat ini adalah penyalahgunaan hadits untuk kepentingan
ideologis, terutama oleh kelompok-kelompok ekstrem yang menafsirkan
hadits secara tekstual tanpa mempertimbangkan konteks historis, maqashid, dan
klasifikasi kualitasnya. Ilmu Hadits hadir sebagai alat akademik untuk
mengkritisi penyelewengan makna hadits tersebut.
Dengan mengenal kaidah-kaidah
kritik sanad dan matan, masyarakat dapat memahami bahwa tidak semua hadits yang
dikutip oleh kelompok radikal itu valid atau dimaknai secara benar.⁵ Maka, Ilmu
Hadits juga memiliki peran strategis dalam menciptakan moderasi
beragama (wasathiyyah) dan menjaga Islam dari penyimpangan pemahaman.
10.5.
Penguatan Akhlak dan Keteladanan Sosial
Hadits tidak hanya berisi
hukum, tetapi juga memuat dimensi akhlak, spiritualitas, dan nilai-nilai
sosial. Dalam dunia yang kian individualistis dan materialistis,
hadits-hadits Nabi yang mengajarkan empati, kejujuran, kesabaran, keadilan, dan
kasih sayang menjadi pedoman moral yang tak tergantikan.⁶
Dengan mempelajari Ilmu
Hadits, masyarakat akan mampu mengidentifikasi mana hadits yang sahih
tentang akhlak dan menerapkannya secara benar dalam kehidupan
sehari-hari, baik di keluarga, tempat kerja, maupun ruang publik.
Kesimpulan
Ilmu Hadits bukanlah warisan
akademik yang usang, melainkan ilmu yang sangat relevan untuk
menjawab tantangan zaman. Di tengah era disinformasi, ekstremisme, dan krisis
moral, Ilmu Hadits menawarkan pendekatan ilmiah, kritis, dan etis
dalam menggali nilai-nilai Islam yang autentik dan aplikatif. Oleh karena itu,
penguatan literasi Ilmu Hadits perlu dijadikan prioritas dalam pendidikan Islam
kontemporer agar warisan Nabi saw. tetap terjaga dan membumi dalam kehidupan
modern.
Footnotes
[1]
Ibn al-Shalah, Muqaddimah fi Ulum al-Hadits, ed.
Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 23–24.
[2]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut:
Maktabah al-Ma‘arif, 1987), 96–97.
[3]
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual
(Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 12–14.
[4]
Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata‘amal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah
(Kairo: Dar al-Shuruq, 2006), 117–120.
[5]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), 145–147.
[6]
Subhi Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1986), 109.
11. Penutup
Ilmu Hadits merupakan warisan
keilmuan yang luar biasa kaya dan mendalam, yang tidak hanya
berfungsi sebagai alat verifikasi terhadap sabda, perbuatan, dan ketetapan Nabi
Muhammad saw., tetapi juga mencerminkan tradisi ilmiah Islam yang
sangat maju dan teliti. Melalui ilmu ini, umat Islam berhasil
mempertahankan kemurnian ajaran Rasulullah saw. dari berbagai bentuk
penyimpangan, baik yang disengaja maupun yang tidak.
Dari sisi historis,
perkembangan Ilmu Hadits menunjukkan dinamika intelektual yang hidup. Dimulai
dari fase periwayatan lisan di masa Nabi dan sahabat, berkembang menjadi
kodifikasi sistematik oleh para ulama besar seperti Imam al-Bukhari, Imam
Muslim, Abu Dawud, dan lainnya, hingga mencapai kesempurnaan metodologi kritik
sanad dan matan yang dikenal dalam literatur musthalah al-hadits.¹ Ini menjadi
bukti bahwa keilmuan hadits dibangun dengan pendekatan ilmiah yang
setara dengan metodologi kritik sejarah modern, bahkan dalam banyak
hal lebih maju.²
Dalam konteks kekinian, Ilmu
Hadits tetap sangat relevan dan kontekstual. Tantangan berupa
disinformasi keagamaan, pemalsuan riwayat, serta pemanfaatan hadits secara
serampangan untuk tujuan ideologis atau komersial, menjadikan Ilmu Hadits
sebagai benteng nalar dan moral dalam kehidupan umat Islam.³ Tidak hanya itu,
prinsip-prinsip Ilmu Hadits juga dapat diterapkan dalam penguatan literasi
keagamaan digital, pencegahan radikalisme, dan pengembangan hukum
Islam dalam menjawab problematika zaman modern.⁴
Lebih dari itu, Ilmu Hadits
juga merupakan jalan untuk mencintai Rasulullah saw. secara ilmiah dan
objektif. Melalui telaah hadits-hadits shahih, kita tidak hanya
mengenal ajaran beliau secara tekstual, tetapi juga menelusuri kepribadian,
akhlak, dan kebijaksanaan hidup beliau sebagai teladan sepanjang
masa.⁵ Maka, penguasaan Ilmu Hadits bukan hanya kebutuhan akademik, melainkan
juga spiritual, karena menjadi sarana penting untuk menyambung mata rantai
kecintaan dan komitmen terhadap sunnah Nabi.
Oleh karena itu, sangat
penting bagi generasi Muslim saat ini dan yang akan datang untuk mempelajari
Ilmu Hadits secara serius dan sistematis. Penguatan kurikulum,
pengembangan riset, serta digitalisasi literatur hadits harus menjadi prioritas
dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam. Dengan begitu, warisan kenabian yang
luhur ini tidak hanya terjaga dalam teks, tetapi juga hidup dalam praktik umat
yang berilmu, beradab, dan berkebajikan.
Footnotes
[1]
Ibn al-Shalah, Muqaddimah fi Ulum al-Hadits, ed.
Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 45–47.
[2]
G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition: Studies in Chronology,
Provenance and Authorship of Early Hadith (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 11–13.
[3]
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual
(Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 98–100.
[4]
Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata‘amal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah
(Kairo: Dar al-Shuruq, 2006), 120–124.
[5]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), 149–150.
Daftar Pustaka
Adz-Dzahabi, M. ibn A. (1995). Mīzān al-I‘tidāl
fī Naqd al-Rijāl (Vol. 1). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
Al-Kattani, M. ibn J. (2002). Ar-Risālah
al-Mustatrafah fī Khotub al-Kutub al-Islāmiyyah. Beirut: Dār al-Bashā’ir
al-Islāmiyyah.
Ali Hasan ‘Abd al-Hamid. (1994). Usus Fann
Takhrīj wa Dirāsāt al-Asānīd. Yordan: Maktabah al-Manār.
Azami, M. M. (1978). Studies in Early Hadith
Literature. Indianapolis: American Trust Publications.
Azami, M. M. (1977). Studies in Hadith
Methodology and Literature. Indianapolis: American Trust Publications.
Ibn Abi Hatim. (1952). Al-Jarḥ wa at-Ta‘dīl
(Vol. 1). Riyadh: Maktabah al-Ma‘ārif.
Ibn al-Ṣalāḥ. (1986). Muqaddimah fī ‘Ulūm
al-Ḥadīth (N. ‘Itr, Ed.). Damaskus: Dār al-Fikr.
Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī. (1995). Taqrīb
at-Tahdhīb (M. ‘Awwāmah, Ed.). Beirut: Dār al-Rushd.
Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī. (1996). Nuzhat an-Naẓar
fī Tawḍīḥ Nukhabat al-Fikr. Beirut: Dār al-Bashā’ir al-Islāmiyyah.
Ibn Manẓūr. (1990). Lisān al-‘Arab (Vol. 4).
Beirut: Dār Ṣādir.
Ismail, M. S. (1995). Hadis Nabi yang Tekstual
dan Kontekstual: Telaah Ma‘na dalam Pemahaman Hadis. Jakarta: Bulan
Bintang.
Ismail, M. S. (1998). Pengantar Ilmu Hadis.
Jakarta: Bulan Bintang.
Juynboll, G. H. A. (1983). Muslim Tradition:
Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith.
Cambridge: Cambridge University Press.
Qaradawi, Y. (2006). Kaifa Nata‘āmal Ma‘a
as-Sunnah an-Nabawiyyah. Kairo: Dār ash-Shurūq.
Ṣāliḥ, Ṣ. (1986). ‘Ulūm al-Ḥadīth wa Muṣṭalaḥuhu.
Beirut: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn.
Suyūṭī, J. ad-D. (1993). Tadrīb ar-Rāwī fī Sharḥ
Taqrīb an-Nawawī (A. M. Shākir, Ed.). Beirut: Dār al-Fikr.
Thahhān, M. (1987). Taysīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīth.
Beirut: Maktabah al-Ma‘ārif.
‘Itr, N. (2001). Manhaj an-Naqd fī ‘Ulūm al-Ḥadīth.
Damaskus: Dār al-Fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar