Akidah Akhlak
Syari’at, Ṭarekat, Hakikat, Ma’rifat dalam Ajaran Islam
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Akidah Akhlak
Kelas : 11 (Sebelas)
Abstrak
Kajian ini membahas hubungan antara Syari’at,
Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat dalam Islam dengan pendekatan komprehensif
melalui analisis kitab-kitab klasik Islam, penjelasan ulama, dan referensi
ilmiah kontemporer. Syari’at merupakan dasar hukum Islam yang mengatur aspek
lahiriah ibadah dan kehidupan sosial, sedangkan Thariqat adalah metode
penyucian jiwa yang membawa seorang Muslim menuju pemahaman yang lebih dalam
terhadap ibadah dan hubungan dengan Allah. Hakikat adalah penyaksian spiritual
tentang realitas sejati di balik aturan lahiriah Islam, sementara Ma’rifat adalah
tingkat tertinggi dalam perjalanan rohani, yaitu pengenalan yang hakiki
terhadap Allah.
Melalui kajian ini, ditegaskan bahwa keempat
konsep tersebut tidak dapat dipisahkan dan harus dipahami sebagai satu
kesatuan dalam praktik Islam yang seimbang antara aspek lahiriah dan batiniah.
Syari’at adalah fondasi utama, Thariqat adalah jembatan menuju pemahaman yang
lebih dalam, Hakikat adalah realitas batin dari ibadah yang benar, dan Ma’rifat
adalah puncak dari pengalaman spiritual seorang Muslim. Berdasarkan referensi
dari para ulama seperti Imam Al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, dan
Ibnu Arabi, serta sumber akademik modern, kajian ini menekankan pentingnya
menjaga keseimbangan antara hukum Islam dan dimensi spiritualitas dalam
kehidupan seorang Muslim.
Dalam konteks modern, pemahaman tentang hubungan
antara Syari’at, Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat sangat relevan dalam
menghadapi tantangan spiritual umat Islam. Kajian ini merekomendasikan
pendekatan pendidikan Islam yang lebih integratif untuk menghindari dua
ekstrem, yaitu formalisme agama yang kaku tanpa dimensi spiritual serta
mistisisme berlebihan yang mengabaikan Syari’at. Dengan memahami Islam secara
holistik, umat Muslim dapat mencapai kesempurnaan dalam ibadah, kedamaian jiwa,
dan kedekatan yang hakiki dengan Allah.
Kata Kunci: Syari’at, Thariqat, Hakikat, Ma’rifat, Tasawuf,
Ulama Klasik, Islam, Spiritualitas, Syari’ah, Ma’rifatullah.
PEMBAHASAN
Syari’at, Ṭarekat, Hakikat, Ma’rifat dalam Ajaran Islam
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Akidah Akhlak
Kelas : 11
(Sebelas)
Bab : Bab 9 - Syari’at,
Ṭarekat, Hakikat, Ma’rifat dalam Ajaran Islam
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Islam adalah agama
yang memiliki sistem ajaran yang lengkap, mencakup aspek hukum, spiritualitas,
dan kedekatan dengan Allah. Dalam kajian Islam, pemahaman terhadap Syari’at,
Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat merupakan bagian dari
pembahasan fundamental dalam ilmu tasawuf yang telah berkembang sejak era
klasik. Keempat konsep ini menggambarkan tahapan perjalanan seorang Muslim
dalam menjalankan kehidupan spiritual dan penghambaan kepada Allah, sebagaimana
telah dijelaskan dalam kitab-kitab tasawuf klasik seperti Ihya'
Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali dan Risalah al-Qusyairiyah karya
Al-Qusyairi.1
Secara umum, Syari’at
merupakan aturan lahiriah yang mengatur kehidupan seorang Muslim dalam
menjalankan ibadah dan hukum Islam. Thariqat adalah metode atau
jalan spiritual yang ditempuh untuk membersihkan jiwa dan mendekatkan diri
kepada Allah. Hakikat merujuk pada pemahaman
yang lebih mendalam tentang realitas spiritual di balik ibadah dan kehidupan
duniawi. Sementara itu, Ma’rifat adalah tingkat
tertinggi dalam perjalanan seorang sufi, yaitu pencapaian pengenalan yang
hakiki terhadap Allah.2
Kajian mengenai
keempat konsep ini telah menjadi bagian penting dalam diskursus Islam sejak
masa klasik hingga era modern. Dalam Islam, keseimbangan antara hukum
(syari’at) dan spiritualitas (thariqat, hakikat, dan ma’rifat) sangat
diperlukan untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Para ulama besar seperti Imam Al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, dan Ibnu Arabi telah menjelaskan
dalam karya-karya mereka bahwa seorang Muslim harus mematuhi hukum syari’at
terlebih dahulu sebelum mendalami aspek spiritualitas yang lebih dalam.3
Di era modern,
pemahaman terhadap keempat konsep ini semakin relevan dalam konteks kehidupan
Muslim kontemporer. Banyak umat Islam menghadapi tantangan dalam menjaga
keseimbangan antara hukum formal agama dan spiritualitas. Pemahaman yang salah
terhadap tasawuf, misalnya, dapat menyebabkan penyimpangan dari ajaran Islam
yang lurus, baik dalam bentuk formalisme agama yang berlebihan tanpa pemahaman
mendalam maupun dalam bentuk mistisisme ekstrem yang mengabaikan syari’at.4
Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang
komprehensif mengenai Syari’at, Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat
berdasarkan sumber-sumber yang kredibel, baik dari kitab-kitab Islam klasik
maupun kajian ilmiah modern.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, kajian ini akan menjawab beberapa pertanyaan utama:
1)
Apa
definisi Syari’at, Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat berdasarkan
kitab-kitab Islam klasik?
2)
Bagaimana
dalil Al-Qur’an dan Hadis yang menjadi dasar keempat konsep ini dalam Islam?
3)
Apa
kedudukan dan fungsi masing-masing konsep dalam ajaran Islam?
4)
Bagaimana
pandangan para ulama mengenai hubungan antara Syari’at, Thariqat, Hakikat, dan
Ma’rifat dalam membentuk kesempurnaan ibadah?
Melalui pembahasan
ini, diharapkan kajian ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan
seimbang tentang empat tahapan penting dalam kehidupan spiritual seorang
Muslim, serta bagaimana keempatnya berperan dalam membentuk pribadi yang taat
kepada Allah secara lahir dan batin.
Footnotes
[1]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2005), 2:173.
[2]
Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 1:85.
[3]
Ibnu Arabi, Futuhat al-Makkiyyah (Beirut: Dar Sadir, 2004),
3:225.
[4]
Nasr, Seyyed Hossein, The Garden of Truth: The Vision and Promise
of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 47.
2.
Konsep
Syari’at dalam Ajaran Islam
2.1.
Definisi Syari’at
Secara bahasa, Syari’at
berasal dari kata Arab الشريعة (asy-syari‘ah), yang berarti "jalan"
atau "undang-undang". Istilah ini digunakan dalam Al-Qur'an
untuk merujuk pada aturan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi umat Islam.1
Dalam terminologi Islam, Syari’at adalah seperangkat
hukum dan pedoman yang mengatur kehidupan manusia dalam berbagai aspek,
termasuk ibadah, muamalah, pidana, dan etika.2
Imam Al-Ghazali
dalam Ihya’
Ulumuddin menyatakan bahwa Syari’at adalah fondasi utama dalam Islam yang
mencakup hukum-hukum yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, ijma’, dan qiyas.3
Sementara itu, Asy-Syatibi dalam Al-Muwafaqat menekankan bahwa Syari’at
bertujuan untuk menjaga lima aspek mendasar kehidupan manusia, yaitu agama
(ad-din), jiwa (an-nafs), akal (al-‘aql), keturunan (an-nasl), dan harta
(al-mal).4
Syari’at tidak hanya
berkaitan dengan hukum-hukum formal, tetapi juga mencakup etika dan moralitas
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, Syari’at memiliki peran sentral
dalam membentuk karakter seorang Muslim dan masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai
Islam.
2.2.
Dalil Syari’at dalam Al-Qur’an dan Hadis
Syari’at Islam
memiliki landasan yang kuat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Beberapa ayat Al-Qur’an
yang menegaskan pentingnya Syari’at di antaranya:
1)
Surah Al-Ma'idah [05]
ayat 48:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ
شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ
"Untuk tiap-tiap umat di antara kamu,
Kami berikan aturan dan jalan yang terang (syari‘ah)."
→ Ayat ini menunjukkan bahwa Syari’at adalah
aturan yang Allah tetapkan bagi setiap umat, yang harus diikuti oleh kaum
Muslimin.5
2)
Surah Al-Jatsiyah [45]
ayat 18:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ
عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ
الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
"Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad)
berada di atas suatu syari‘at (peraturan) dari urusan (agama), maka ikutilah
syari‘at itu dan janganlah engkau ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui."
→ Ayat ini menegaskan bahwa Syari’at adalah
pedoman utama yang harus diikuti oleh umat Islam, bukan sekadar aturan buatan
manusia.6
Selain Al-Qur’an,
Hadis juga menjelaskan pentingnya Syari’at sebagai pedoman hidup. Rasulullah Saw
bersabda:
إِنَّ الْحَلَالَ
بَيِّنٌ، وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا
يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ
اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
"Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan
yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang samar
(syubhat) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menjaga diri
dari perkara yang samar, maka ia telah menjaga agamanya dan
kehormatannya." (HR. Bukhari dan Muslim)7
Hadis ini menegaskan
bahwa hukum dalam Islam telah memiliki kejelasan, dan seorang Muslim harus
menjauhi perkara yang meragukan agar tetap berada dalam batas Syari’at.
2.3.
Kedudukan dan Fungsi Syari’at dalam Islam
2.3.1.
Kedudukan
Syari’at
Syari’at memiliki kedudukan
tertinggi dalam Islam sebagai pedoman hidup seorang Muslim. Ia
berfungsi sebagai sumber hukum yang membedakan antara halal dan haram, serta
sebagai parameter utama dalam menilai perbuatan manusia. Dalam kajian fiqh,
Syari’at diklasifikasikan ke dalam lima hukum taklifi, yaitu:
1)
Wajib
(fardhu): Perbuatan yang harus dilakukan, seperti shalat lima
waktu.
2)
Sunnah
(mandub): Perbuatan yang dianjurkan tetapi tidak diwajibkan,
seperti shalat dhuha.
3)
Mubah:
Perbuatan yang diperbolehkan, seperti makan dan minum.
4)
Makruh:
Perbuatan yang sebaiknya dihindari tetapi tidak berdosa jika dilakukan, seperti
makan bawang sebelum shalat berjamaah.
5)
Haram:
Perbuatan yang dilarang, seperti mencuri dan berzina.8
2.3.2. Fungsi Syari’at
Menurut Asy-Syatibi
dalam Al-Muwafaqat,
Syari’at memiliki fungsi utama dalam menjaga kemaslahatan manusia.
Fungsi-fungsi tersebut meliputi:
1)
Menjaga
Agama (Hifzhud Din)
Syari’at mengatur ibadah seperti shalat,
puasa, zakat, dan haji sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah.
2)
Menjaga
Jiwa (Hifzhun Nafs)
Larangan membunuh, larangan bunuh diri,
dan hukum qisas adalah bagian dari Syari’at untuk menjaga kehidupan manusia.
3)
Menjaga
Akal (Hifzhul Aql)
Islam melarang minuman keras dan
narkotika karena merusak akal manusia.
4)
Menjaga
Keturunan (Hifzhun Nasl)
Syari’at mengatur pernikahan dan
melarang zina untuk menjaga keturunan.
5)
Menjaga
Harta (Hifzhul Mal)
Larangan mencuri, riba, dan penipuan
dalam Islam bertujuan untuk menjaga harta manusia.9
Syari’at juga
memiliki fungsi sosial, yaitu
menciptakan keadilan, keamanan, dan kesejahteraan dalam masyarakat. Penerapan
hukum Islam yang sesuai dengan prinsip keadilan bertujuan untuk membangun
masyarakat yang harmonis dan beradab.
Kesimpulan
Syari’at merupakan
sistem hukum dan pedoman hidup yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya
untuk membimbing manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat. Syari’at tidak
hanya bersifat legal-formal, tetapi juga mencakup aspek moral dan spiritual.
Dengan memahami kedudukan dan fungsinya, umat Islam dapat menjalankan ajaran
agama dengan lebih sempurna dan seimbang.
Footnotes
[1]
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2003), 8:175.
[2]
Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus:
Dar al-Fikr, 2005), 1:25.
[3]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2005), 1:14.
[4]
Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat (Kairo: Dar Ibn Affan, 1997), 2:9.
[5]
Al-Qur’an, Surah Al-Ma’idah (5:48).
[6]
Al-Qur’an, Surah Al-Jatsiyah (45:18).
[7]
Muhammad bin Isma'il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Riyadh:
Darussalam, 1999), Hadis no. 52; Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim
(Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 2004), Hadis no. 1599.
[8]
Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar
al-Fikr, 1998), 1:193.
[9]
Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, 2:12.
3.
Konsep
Thariqat dalam Islam
3.1.
Definisi Thariqat
Secara bahasa, Thariqat
berasal dari kata Arab الطَّرِيْقَةُ (ath-thariqah), yang berarti
"jalan" atau "metode". Dalam konteks Islam, istilah ini
digunakan untuk merujuk pada jalan spiritual yang ditempuh seseorang untuk
mendekatkan diri kepada Allah melalui disiplin rohani dan
bimbingan seorang mursyid (guru spiritual).1
Menurut Imam
Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin, Thariqat
adalah metode pembersihan jiwa yang mengarahkan seorang Muslim dari sekadar
kepatuhan lahiriah kepada pemahaman dan pengalaman batin dalam beribadah.2
Sedangkan Ibnu Arabi dalam Futuhat al-Makkiyyah menjelaskan
bahwa Thariqat
merupakan langkah menuju kesempurnaan rohani yang hanya dapat dicapai melalui
pengamalan ibadah yang terus-menerus, zikir, dan perenungan mendalam atas
kebesaran Allah.3
Secara historis,
konsep Thariqat berkembang dalam tradisi tasawuf yang dimulai sejak abad ke-2
Hijriah dan kemudian dikodifikasi dalam berbagai tarekat sufi seperti Tarekat
Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Chistiyah, dan lainnya.
Para sufi menganggap bahwa Syari’at adalah pondasi dasar, sedangkan
Thariqat adalah jalan menuju hakikat yang lebih dalam.4
3.2.
Dalil Al-Qur’an dan Hadis tentang Thariqat
Konsep Thariqat
sebagai jalan menuju penyucian jiwa dan kedekatan dengan Allah memiliki dasar
dalam Al-Qur’an dan Hadis.
1)
Al-Qur’an, Surah
Al-Ankabut [26] ayat 69:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا
فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِينَ
"Dan orang-orang yang berjihad
(bersungguh-sungguh) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik."
→ Ayat ini dipahami oleh para ulama tasawuf
sebagai isyarat bahwa usaha sungguh-sungguh dalam
ibadah akan membuka jalan (Thariqat) menuju makrifatullah.5
2)
Al-Qur’an, Surah
Al-Maidah [05] ayat 35:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي
سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) untuk mendekatkan diri
kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, agar kamu beruntung."
→ Konsep "jalan" dalam ayat ini
diartikan sebagai metode yang harus ditempuh oleh seorang Muslim untuk semakin
mendekatkan diri kepada Allah, yang dalam tasawuf disebut sebagai Thariqat.6
Hadis Nabi juga mendukung
konsep ini:
إِنَّ فِي الْجَسَدِ
مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ
الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
"Sesungguhnya di dalam tubuh ada
segumpal daging, jika ia baik maka seluruh tubuh akan baik, dan jika ia rusak
maka seluruh tubuh akan rusak, ketahuilah bahwa itu adalah hati."
(HR. Bukhari dan Muslim)7
Hadis ini menjadi
dasar bahwa penyucian hati adalah aspek penting dalam ajaran Islam, dan
Thariqat merupakan metode untuk mencapai penyucian tersebut.
3.3.
Kedudukan dan Fungsi Thariqat
3.3.1. Kedudukan Thariqat dalam Islam
Thariqat memiliki
kedudukan sebagai jalan menuju penyempurnaan ibadah.
Jika Syari’at
adalah aspek lahiriah Islam, maka Thariqat adalah aspek batiniahnya.
Thariqat berfungsi untuk:
1)
Menyucikan
Jiwa (Tazkiyatun Nafs)
Tujuan utama Thariqat adalah membantu
seorang Muslim membersihkan hati dari penyakit batin seperti riya’, ujub,
takabur, dan hasad.
2)
Meningkatkan
Kualitas Ibadah
Dengan praktik zikir, muraqabah
(perenungan), dan mujahadah (kesungguhan), seorang Muslim dapat mencapai
kekhusyukan yang lebih dalam dalam ibadahnya.
3)
Menjadi
Jembatan antara Syari’at dan Hakikat
Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
dalam Al-Ghunyah,
Syari’at
adalah peraturan, Thariqat adalah metode pengamalannya, dan Hakikat adalah inti
dari pencapaiannya.8
3.3.2. Fungsi Thariqat dalam Islam
Para ulama tasawuf
merumuskan bahwa fungsi utama Thariqat adalah:
1)
Mendekatkan
diri kepada Allah
Melalui praktik seperti zikir,
tafakkur, dan ibadah sunnah, seorang Muslim dapat mencapai
kedekatan yang lebih intens dengan Allah.
2)
Mengendalikan
Hawa Nafsu
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Madarij
as-Salikin menekankan bahwa seorang Muslim tidak akan mencapai derajat yang
tinggi di sisi Allah kecuali dengan mengendalikan hawa nafsunya melalui
riyadhah (latihan spiritual).9
3)
Mendapatkan
Bimbingan Seorang Mursyid
Dalam banyak tarekat sufi, bimbingan
seorang mursyid (guru spiritual) sangat diperlukan untuk mengarahkan murid
dalam menjalani proses pembersihan hati dan mendekatkan diri kepada Allah.
3.4.
Perbedaan dan Hubungan antara Thariqat dan
Syari’at
Sering kali muncul
kesalahpahaman bahwa Thariqat bertentangan dengan Syari’at,
padahal keduanya saling melengkapi. Imam Junaid al-Baghdadi mengatakan:
"Semua jalan menuju Allah tertutup kecuali
bagi mereka yang mengikuti jejak Rasulullah dengan sungguh-sungguh dalam
Syari’at dan Thariqatnya."10
Perbedaan utama antara Syari’at dan
Thariqat adalah:
·
Fokus
Syari’at: Hukum Islam (fiqh)
Thariqat: Penyucian jiwa dan
ibadah spiritual
·
Tujuan
Syari’at: Mengatur kehidupan
sosial dan ibadah lahiriah
Thariqat: Mendekatkan diri kepada
Allah secara batin
·
Metode
Syari’at: Mengikuti perintah dan
larangan hukum Islam
Thariqat: Melakukan zikir,
tafakkur, dan riyadhah
·
Hasil
Syari’at: Kepatuhan hukum dan
kesejahteraan sosial
Thariqat: Ketenangan hati dan
makrifatullah
Dari poin-poin ini
dapat dipahami bahwa Syari’at adalah dasar yang wajib dipatuhi,
sedangkan Thariqat adalah jalan menuju pengalaman spiritual yang lebih dalam
dalam menjalankan Syari’at.
Kesimpulan
Thariqat dalam Islam
adalah jalan
spiritual yang bertujuan untuk penyucian hati dan mendekatkan diri kepada Allah.
Berlandaskan dalil Al-Qur’an dan Hadis, Thariqat menjadi metode
yang melengkapi Syari’at, bukan menggantikannya. Dalam
sejarahnya, berbagai tarekat sufi telah berkembang dengan tujuan untuk memandu
umat Islam dalam perjalanan rohani yang tetap berpegang teguh pada ajaran Islam
yang benar.
Footnotes
[1]
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2003), 7:178.
[2]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2005), 3:22.
[3]
Ibnu Arabi, Futuhat al-Makkiyyah (Beirut: Dar Sadir, 2004),
2:110.
[4]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 72.
[5]
Al-Qur’an, Surah Al-Ankabut (29:69).
[6]
Al-Qur’an, Surah Al-Maidah (5:35).
[7]
Muhammad bin Isma'il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Riyadh:
Darussalam, 1999), Hadis no. 52.
[8]
Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 2:88.
[9]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij as-Salikin (Kairo: Maktabah
Dar al-Hadith, 2003), 1:74.
[10]
Junaid al-Baghdadi, Kitab al-Luma' (Cairo: Dar al-Fikr, 1992),
98.
4.
Konsep
Hakikat dalam Islam
4.1.
Definisi Hakikat
Secara bahasa, Hakikat
berasal dari kata Arab الحقيقة (al-haqiqah),
yang berarti "kebenaran sejati" atau "esensi".
Dalam konteks Islam, Hakikat adalah tahap pencapaian spiritual yang
lebih dalam, di mana seorang Muslim memahami esensi ibadah dan keberadaannya di
hadapan Allah.1
Imam Al-Ghazali
dalam Ihya'
Ulumuddin menjelaskan bahwa Hakikat adalah ilmu batin yang hanya bisa
dipahami melalui pengalaman spiritual langsung dan bukan sekadar pengetahuan
intelektual.2 Sedangkan Ibnu Arabi dalam Futuhat
al-Makkiyyah menyatakan bahwa Hakikat adalah realitas terdalam di balik
segala sesuatu, yang tidak dapat dicapai kecuali melalui penyucian diri dan
kedekatan dengan Allah.3
Dalam tradisi
tasawuf, Hakikat sering dikaitkan dengan pemahaman tentang Tauhid
yang sejati, yaitu menyaksikan keesaan Allah dalam segala aspek
kehidupan dan memahami bahwa semua eksistensi selain Allah adalah fana (tidak
kekal). Oleh karena itu, Hakikat merupakan tahap yang hanya bisa dicapai
setelah seseorang menjalani Syari’at dan Thariqat
secara sempurna.4
4.2.
Dalil Al-Qur’an dan Hadis tentang Hakikat
Hakikat sebagai
pemahaman spiritual yang mendalam memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan Hadis:
1)
Al-Qur’an, Surah
Al-Hadid [57] ayat 3:
هُوَ الْأَوَّلُ
وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ
"Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang
Zhahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."
→ Ayat ini menunjukkan bahwa Allah
memiliki aspek lahiriah (Syari’at) dan batiniah (Hakikat), yang harus dipahami
dengan ilmu dan pengalaman spiritual.5
2)
Al-Qur’an, Surah
Al-Baqarah [02] ayat 2:
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا
رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
"Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada
keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa."
→ Para sufi menafsirkan bahwa Al-Qur’an
tidak hanya memberikan petunjuk hukum (Syari’at), tetapi juga mengandung
makna-makna batin yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang telah mencapai
Hakikat.6
Hadis Nabi juga
menegaskan pentingnya pemahaman Hakikat dalam Islam:
اللَّهُمَّ أَرِنِي
الْأَشْيَاءَ كَمَا هِيَ
"Wahai Tuhan, perlihatkan kepadaku
hakikat segala sesuatu." (HR. Muslim)7
Hadis ini
menunjukkan bahwa Rasulullah sendiri memohon kepada Allah agar diberi pemahaman
tentang Hakikat segala sesuatu, yang
menjadi bagian dari ilmu batin yang lebih tinggi dalam Islam.
4.3.
Kedudukan dan Fungsi Hakikat dalam Islam
4.3.1. Kedudukan Hakikat
Hakikat memiliki
kedudukan sebagai tahap pencapaian spiritual tertinggi
dalam Islam. Para ulama sufi membagi perjalanan spiritual menjadi tiga
tingkatan:
1)
Syari’at
(Hukum Islam) → Mengatur tindakan lahiriah seorang Muslim.
2)
Thariqat
(Jalan Spiritual) → Melatih jiwa melalui ibadah dan zikir.
3)
Hakikat
(Esensi Spiritual) → Mencapai pemahaman sejati tentang keesaan
Allah dan makna ibadah.8
Menurut Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani dalam Al-Fath ar-Rabbani, Hakikat
adalah tahap di mana seorang Muslim tidak lagi melihat dirinya sebagai pelaku,
tetapi menyadari bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Allah semata.9
4.3.2. Fungsi Hakikat dalam Islam
Hakikat memiliki
beberapa fungsi penting dalam kehidupan seorang Muslim:
1)
Menyempurnakan
Ibadah
Hakikat membantu seseorang menjalankan
ibadah bukan hanya sebagai kewajiban lahiriah, tetapi sebagai sarana
mendekatkan diri kepada Allah dengan hati yang ikhlas.
2)
Membuka
Pemahaman yang Lebih Dalam
Dengan mencapai Hakikat, seorang Muslim
akan memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini memiliki hikmah
yang lebih dalam dan bahwa segala sesuatu bergantung kepada
Allah.
3)
Menghilangkan
Ego dan Keinginan Duniawi
Hakikat mengajarkan bahwa keinginan
duniawi hanyalah ilusi, dan kehidupan sejati adalah kehidupan
akhirat. Seorang Muslim yang telah mencapai Hakikat akan memiliki ketenangan
jiwa dan tidak lagi terikat pada nafsu duniawi.10
4.4.
Perbedaan dan Hubungan antara Hakikat dan
Thariqat
Hakikat sering kali
disalahpahami sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Syari’at dan Thariqat.
Padahal, Hakikat tidak bisa dicapai tanpa melalui Thariqat yang benar
dan tetap berpegang teguh pada Syari’at.
·
Fokus
Thariqat: Metode spiritual untuk
mendekatkan diri kepada Allah
Hakikat: Pemahaman sejati tentang
keesaan Allah
·
Tujuan
Thariqat: Menyucikan jiwa melalui
latihan spiritual
Hakikat: Menyaksikan hakikat segala
sesuatu dengan mata hati
·
Metode
Thariqat: Zikir, tafakkur,
mujahadah
Hakikat: Penyaksian batin dan
fana’ (lenyapnya ego)
·
Hasil
Thariqat: Hati yang bersih dan
terkendali
Hakikat:
Kedekatan hakiki dengan Allah
Menurut Imam Junaid
al-Baghdadi, Hakikat tanpa Syari’at adalah kesesatan, dan
Syari’at tanpa Hakikat adalah kepalsuan.11 Oleh
karena itu, kedua konsep ini harus berjalan beriringan.
Kesimpulan
Hakikat dalam Islam
adalah tahapan
tertinggi dalam perjalanan spiritual seorang Muslim, di mana
seseorang menyaksikan keesaan Allah dengan mata hati dan mencapai pemahaman
yang mendalam tentang kehidupan. Hakikat tidak dapat dicapai tanpa menjalankan Syari’at
dan Thariqat, karena keduanya adalah jalan menuju kesempurnaan
spiritual.
Dalam dunia modern,
pemahaman tentang Hakikat menjadi penting untuk membantu umat Islam menjalani kehidupan yang
lebih bermakna, menjauhkan diri dari egoisme, dan mendekatkan diri kepada Allah
dengan penuh kesadaran. Oleh karena itu, keseimbangan antara
hukum (Syari’at), disiplin spiritual (Thariqat), dan esensi sejati (Hakikat)
harus tetap dijaga dalam kehidupan seorang Muslim.
Footnotes
[1]
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2003), 4:125.
[2]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2005), 3:47.
[3]
Ibnu Arabi, Futuhat al-Makkiyyah (Beirut: Dar Sadir, 2004),
4:210.
[4]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 89.
[5]
Al-Qur’an, Surah Al-Hadid (57:3).
[6]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2:2).
[7]
Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turath
al-Arabi, 2004), Hadis no. 172.
[8]
Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat (Kairo: Dar Ibn Affan, 1997), 3:56.
[9]
Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Fath ar-Rabbani (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 2:134.
[10]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij as-Salikin (Kairo: Maktabah
Dar al-Hadith, 2003), 2:210.
[11]
Junaid al-Baghdadi, Kitab al-Luma' (Cairo: Dar al-Fikr, 1992),
115.
5.
Konsep
Ma’rifat dalam Islam
5.1.
Definisi Ma’rifat
Secara bahasa, Ma’rifat
berasal dari kata Arab المعرفة (al-ma’rifah), yang berarti
"pengetahuan" atau "pengenalan". Dalam terminologi Islam, Ma’rifat
adalah tingkat tertinggi dalam perjalanan spiritual, di mana seorang Muslim
mencapai pemahaman yang mendalam tentang Allah dan hakikat keberadaannya.1
Imam Al-Ghazali
dalam Ihya'
Ulumuddin menjelaskan bahwa Ma’rifat adalah ilmu yang diperoleh bukan
melalui rasionalitas semata, tetapi melalui penyaksian batin dan kedekatan
dengan Allah.2 Sedangkan Ibnu Arabi dalam Futuhat
al-Makkiyyah menyatakan bahwa Ma’rifat adalah puncak dari perjalanan
spiritual seseorang, di mana ia tidak lagi hanya mengenal Allah melalui dalil,
tetapi melalui pengalaman langsung dalam kedekatan-Nya.3
Dalam tradisi tasawuf,
Ma’rifat sering dikaitkan dengan konsep Makrifatullah, yaitu pengenalan
sejati terhadap Allah. Para sufi menegaskan bahwa Ma’rifat
hanya bisa dicapai oleh mereka yang telah menyempurnakan perjalanan Syari’at,
Thariqat, dan Hakikat.4
5.2.
Dalil Al-Qur’an dan Hadis tentang Ma’rifat
Konsep Ma’rifat
memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan Hadis:
1)
Al-Qur’an, Surah
Az-Zariyat [51] ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku."
→ Para ulama tasawuf menafsirkan ayat ini sebagai
bukti bahwa tujuan akhir kehidupan manusia adalah
mencapai Ma’rifatullah, yaitu mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.5
2)
Al-Qur’an, Surah
Al-Baqarah [02] ayat 269:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ
يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ
الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
ۗ
"Allah menganugerahkan hikmah kepada
siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia
benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak."
→ Ayat ini menunjukkan bahwa hikmah
dan pemahaman yang dalam tentang Allah (Ma’rifat) adalah karunia yang diberikan
kepada orang-orang yang dipilih-Nya.6
Hadis Nabi juga
menegaskan pentingnya Ma’rifat:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ
فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
"Barang siapa mengenal dirinya, maka ia
akan mengenal Tuhannya." (HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’)7
Hadis ini
mengindikasikan bahwa Ma’rifat adalah pemahaman mendalam tentang
eksistensi manusia dan hubungannya dengan Allah.
Namun, perlu dicatat
bahwa para ulama hadis seperti Ibnu Taimiyyah dan As-Sakhawi menyatakan bahwa
hadis ini tidak memiliki dasar yang kuat dalam kitab-kitab hadis yang mu’tabar.
Imam As-Suyuthi dalam Durar al-Muntaṡirah menyebutkan bahwa hadis ini tidak
memiliki sanad yang kuat dan lebih cenderung kepada atsar atau perkataan
hikmah.
5.3.
Kedudukan dan Fungsi Ma’rifat dalam Islam
5.3.1. Kedudukan Ma’rifat
Dalam hierarki
perjalanan spiritual Islam, Ma’rifat memiliki kedudukan sebagai tahap
tertinggi yang hanya dapat dicapai oleh mereka yang telah menyempurnakan
Syari’at, Thariqat, dan Hakikat. Berikut adalah tahapan
tersebut:
1)
Syari’at
→ Mematuhi hukum dan aturan Islam secara lahiriah.
2)
Thariqat
→ Menjalani metode spiritual untuk menyucikan jiwa.
3)
Hakikat
→ Memahami esensi dari ibadah dan keberadaan.
4)
Ma’rifat
→ Menyaksikan Allah dalam segala aspek kehidupan dan mencapai kesadaran penuh
akan keesaan-Nya.8
Syaikh Abdul Qadir
Al-Jailani dalam Al-Fath ar-Rabbani menyatakan bahwa
Ma’rifat
adalah tahap di mana seseorang mencapai keyakinan mutlak bahwa tidak ada wujud
yang hakiki selain Allah, dan segala sesuatu selain-Nya hanyalah bayangan.9
5.3.2. Fungsi Ma’rifat dalam Islam
Ma’rifat memiliki
beberapa fungsi penting dalam kehidupan seorang Muslim:
1)
Membawa
Kedamaian dan Ketenangan Jiwa
Seorang Muslim yang mencapai Ma’rifat
tidak lagi terpengaruh oleh gangguan duniawi, karena ia sadar bahwa segala
sesuatu adalah kehendak Allah.
2)
Menjadikan
Ibadah Lebih Bermakna
Orang yang telah mencapai Ma’rifat tidak
hanya melakukan ibadah karena kewajiban, tetapi karena kecintaan sejati kepada
Allah.
3)
Menghilangkan
Ego dan Keinginan Duniawi
Ma’rifat mengajarkan bahwa segala
sesuatu di dunia ini bersifat fana, dan hanya Allah yang bersifat abadi.10
5.4.
Perbedaan dan Hubungan antara Ma’rifat dan
Hakikat
Ma’rifat sering disalahpahami
sebagai konsep yang terpisah dari Hakikat, padahal keduanya memiliki hubungan
erat. Jika Hakikat adalah pemahaman tentang realitas
sejati, maka Ma’rifat adalah penyaksian langsung atas realitas tersebut.
·
Fokus
Hakikat: Pemahaman mendalam tentang
realitas sejati
Ma’rifat: Pengenalan langsung
kepada Allah
·
Tujuan
Hakikat: Menyadari hakikat segala
sesuatu
Ma’rifat: Menyaksikan keesaan
Allah dalam segala hal
·
Metode
Hakikat: Penyucian jiwa dan
latihan spiritual
Ma’rifat: Kehidupan dalam kesadaran
penuh akan kehadiran Allah
·
Hasil
Hakikat: Pemahaman hakiki
Ma’rifat:
Makrifatullah (penyaksian langsung)
Menurut Imam Junaid
al-Baghdadi, "Ma’rifat adalah cahaya yang Allah
letakkan dalam hati seorang hamba, sehingga ia melihat kebenaran dengan mata
batinnya."11
Kesimpulan
Ma’rifat dalam Islam
adalah puncak
dari perjalanan spiritual seorang Muslim, di mana seseorang
mencapai pemahaman dan penyaksian langsung terhadap keesaan Allah. Ma’rifat
tidak dapat dicapai tanpa menjalankan Syari’at, Thariqat, dan Hakikat,
karena ketiganya merupakan jalan menuju pencerahan spiritual yang sejati.
Dalam kehidupan
modern, pemahaman tentang Ma’rifat dapat membantu umat Islam untuk hidup
dengan penuh kesadaran akan kebesaran Allah, menjauhkan diri dari egoisme, dan
mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati. Oleh karena
itu, keseimbangan antara hukum (Syari’at), disiplin spiritual (Thariqat),
pemahaman hakiki (Hakikat), dan pengenalan sejati (Ma’rifat) harus tetap dijaga
dalam kehidupan seorang Muslim.
Footnotes
[1]
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2003), 5:200.
[2]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2005), 4:75.
[3]
Ibnu Arabi, Futuhat al-Makkiyyah (Beirut: Dar Sadir, 2004),
5:312.
[4]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 102.
[5]
Al-Qur’an, Surah Az-Zariyat (51:56).
[6]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2:269).
[7]
Abu Nu’aim, Hilyatul Auliya’ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1998), 1:147.
[8]
Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat (Kairo: Dar Ibn Affan, 1997), 3:98.
[9]
Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Fath ar-Rabbani (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 3:45.
[10]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij as-Salikin (Kairo: Maktabah
Dar al-Hadith, 2003), 3:221.
[11]
Junaid al-Baghdadi, Kitab al-Luma' (Cairo: Dar al-Fikr, 1992),
129.
6.
Hubungan
antara Syari’at, Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat dalam Islam
6.1.
Kesinambungan Keempat Konsep dalam Islam
Dalam ajaran Islam, Syari’at,
Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat bukanlah konsep yang berdiri
sendiri, melainkan satu kesatuan yang membentuk sistem spiritual Islam secara
menyeluruh. Para ulama tasawuf menegaskan bahwa Syari’at adalah fondasi yang kokoh, Thariqat
adalah jalan menuju penyucian, Hakikat adalah pemahaman yang mendalam, dan
Ma’rifat adalah puncak pencapaian seorang hamba dalam mengenal Allah.1
Imam Al-Ghazali
dalam Ihya’
Ulumuddin menjelaskan bahwa "Syari’at adalah lahiriah Islam, sedangkan
Hakikat adalah batiniahnya. Tidak akan sampai seseorang kepada Hakikat kecuali
melalui Syari’at dan Thariqat."2 Pernyataan ini
menunjukkan bahwa Syari’at bukan sekadar hukum formal, tetapi
juga jalan menuju pemahaman spiritual yang lebih dalam.
Menurut Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani dalam Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq,
"Syari’at
adalah pondasi, Thariqat adalah sarana perjalanan, Hakikat adalah tujuan, dan
Ma’rifat adalah anugerah dari Allah bagi mereka yang telah mencapai puncak
kesempurnaan iman."3 Hal ini menegaskan bahwa
keempat konsep ini harus dijalani secara berurutan, tidak dapat
dipisahkan, dan tidak boleh saling bertentangan.
6.2.
Pendapat Ulama tentang Kesatuan Syari’at,
Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat
6.2.1. Imam Junaid al-Baghdadi
Imam Junaid
al-Baghdadi menyatakan:
"Orang yang hanya berpegang pada
Syari’at tanpa Hakikat maka ia menjadi kering dalam ibadahnya. Orang yang hanya
berpegang pada Hakikat tanpa Syari’at, maka ia akan tersesat. Orang yang mampu
menggabungkan keduanya, itulah Muslim sejati."4
Pernyataan ini
menegaskan bahwa Syari’at dan Hakikat harus berjalan seiring,
dan Thariqat
berfungsi sebagai jembatan antara keduanya.
6.2.2. Ibnu Arabi
Ibnu Arabi dalam Futuhat
al-Makkiyyah menyebutkan bahwa "Syari’at adalah hukum, Thariqat adalah
pengalaman, Hakikat adalah kesadaran, dan Ma’rifat adalah hasil dari semua
itu."5 Menurutnya, seorang Muslim tidak dapat
langsung mencapai Ma’rifat tanpa melalui tahapan sebelumnya, karena setiap
tahapan memiliki peran penting dalam perjalanan spiritual.
6.2.3. Asy-Syatibi
Dalam Al-Muwafaqat,
Asy-Syatibi menjelaskan bahwa Syari’at memiliki tujuan untuk menjaga
kemaslahatan manusia, dan dalam dimensi yang lebih dalam, Thariqat,
Hakikat, dan Ma’rifat membantu manusia memahami tujuan Syari’at secara lebih
sempurna.6
6.3.
Perbandingan antara Pendekatan Fiqh dan Tasawuf
Dalam Islam, Fiqh
(hukum Islam) dan Tasawuf (spiritualitas Islam) sering dianggap sebagai dua
pendekatan yang berbeda. Namun, banyak ulama menegaskan bahwa
keduanya tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi.
·
Fokus
Fiqh (Syari’at): Hukum dan
peraturan Islam
Tasawuf (Thariqat, Hakikat, Ma’rifat):
Penyucian hati dan spiritualitas
·
Tujuan
Fiqh (Syari’at): Menciptakan
keteraturan dalam ibadah dan kehidupan sosial
Tasawuf (Thariqat, Hakikat, Ma’rifat):
Mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh kesadaran
·
Metode
Fiqh (Syari’at): Mengikuti
hukum-hukum syar’i (shalat, zakat, puasa, dsb.)
Tasawuf (Thariqat, Hakikat, Ma’rifat):
Zikir, tafakur, mujahadah, dan riyadhah
·
Hasil
Fiqh (Syari’at): Kepatuhan
terhadap syariat Islam
Tasawuf (Thariqat,
Hakikat, Ma’rifat): Kesempurnaan spiritual dan pengenalan kepada Allah
Menurut Imam Malik, "Barang
siapa berfiqh tanpa tasawuf, ia menjadi fasik. Barang siapa bertasawuf tanpa
fiqh, ia menjadi zindiq. Barang siapa menggabungkan keduanya, ia telah
menemukan kebenaran."7
Pernyataan ini
menunjukkan bahwa Syari’at dan tasawuf harus berjalan bersama
untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan Muslim.
6.4.
Urgensi Keseimbangan antara Syari’at dan
Tasawuf
Banyak orang
mengalami dua kecenderungan ekstrem dalam memahami Islam:
1)
Pendekatan
Formalistik
Mengutamakan hukum Islam (Syari’at)
tetapi mengabaikan dimensi spiritualnya.
Akibatnya, ibadah menjadi mekanis dan
kehilangan makna mendalamnya.
2)
Pendekatan
Mistisisme Berlebihan
Mengutamakan pengalaman spiritual tetapi
mengabaikan hukum Islam.
Hal ini dapat menyebabkan penyimpangan
dalam akidah dan praktik ibadah.
Untuk menghindari
dua ekstrem ini, umat Islam harus menyeimbangkan antara Syari’at
dan tasawuf, dengan memahami bahwa Syari’at
adalah dasar, Thariqat adalah metode, Hakikat adalah pemahaman, dan Ma’rifat
adalah hasil akhirnya.
Kesimpulan
Syari’at, Thariqat,
Hakikat, dan Ma’rifat dalam Islam adalah satu kesatuan yang saling melengkapi dan
tidak dapat dipisahkan. Syari’at berfungsi sebagai aturan
lahiriah, Thariqat adalah metode spiritual, Hakikat adalah pemahaman sejati,
dan Ma’rifat adalah puncak pengenalan kepada Allah.
Para ulama tasawuf
sepakat bahwa Syari’at tanpa Hakikat menjadi kering, dan
Hakikat tanpa Syari’at akan membawa kepada kesesatan. Oleh
karena itu, keseimbangan antara hukum Islam dan dimensi spiritualitas harus
dijaga agar seorang Muslim dapat mencapai kesempurnaan ibadah dan kedekatan
dengan Allah.
Dalam kehidupan
modern, pemahaman yang benar tentang hubungan keempat konsep ini sangat
penting untuk menghindari radikalisme di satu sisi dan penyimpangan spiritual
di sisi lain. Dengan memahami Islam secara holistik, seorang
Muslim dapat menjalani hidup dengan keseimbangan antara ibadah
lahiriah dan kedalaman spiritual.
Footnotes
[1]
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2003), 6:320.
[2]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2005), 4:210.
[3]
Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 3:154.
[4]
Junaid al-Baghdadi, Kitab al-Luma' (Cairo: Dar al-Fikr, 1992),
99.
[5]
Ibnu Arabi, Futuhat al-Makkiyyah (Beirut: Dar Sadir, 2004),
6:278.
[6]
Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat (Kairo: Dar Ibn Affan, 1997), 4:56.
[7]
Qadi Iyad, Tartib al-Madarik (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2001), 2:125.
7.
Penutup
7.1.
Kesimpulan
Kajian tentang Syari’at,
Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat dalam Islam menunjukkan bahwa
keempat konsep ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dalam perjalanan spiritual seorang Muslim. Syari’at
adalah dasar dan aturan yang mengatur kehidupan umat Islam, Thariqat
adalah jalan menuju penyucian jiwa, Hakikat adalah pemahaman sejati
tentang realitas spiritual, dan Ma’rifat adalah puncak
pencapaian dalam mengenal Allah secara hakiki.1
Para ulama tasawuf
menegaskan bahwa tidak ada jalan menuju Hakikat dan Ma’rifat
tanpa melalui Syari’at dan Thariqat. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’
Ulumuddin menyatakan bahwa Syari’at tanpa Hakikat akan membawa seseorang
pada formalisme agama yang kaku, sedangkan Hakikat tanpa Syari’at akan membawa
seseorang pada penyimpangan dan kesesatan.2 Oleh
karena itu, keseimbangan antara aspek lahiriah dan batiniah dalam Islam harus
dijaga agar seseorang dapat menjalani kehidupan yang harmonis dalam keimanan
dan ketakwaan.
Dalam sejarah Islam,
para ulama seperti Imam Junaid al-Baghdadi, Syaikh Abdul Qadir
Al-Jailani, dan Ibnu Arabi telah menjelaskan pentingnya
menjalani keempat tahap ini dengan benar. Thariqat berfungsi sebagai penghubung antara
Syari’at dan Hakikat, karena ia mengajarkan disiplin spiritual
yang memungkinkan seseorang memahami aspek yang lebih dalam dari ajaran Islam.3
Dengan demikian, pemahaman
yang benar tentang hubungan antara Syari’at, Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat
akan membantu umat Islam mencapai keseimbangan antara aspek hukum dan spiritual
dalam kehidupan beragama.
7.2.
Saran
7.2.1. Perlunya Studi yang Lebih
Mendalam
Meskipun kajian ini
telah menguraikan hubungan antara Syari’at, Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat
berdasarkan kitab-kitab klasik dan penelitian ilmiah, masih
banyak aspek yang perlu diteliti lebih lanjut, terutama dalam konteks kehidupan
modern. Oleh karena itu, diperlukan kajian lanjutan yang
mengintegrasikan perspektif fiqh, tasawuf, dan filsafat Islam
agar pemahaman tentang konsep ini semakin komprehensif.4
7.2.2. Menjaga Keseimbangan antara
Syari’at dan Tasawuf
Dalam realitas
kehidupan umat Islam saat ini, terdapat kecenderungan dua ekstrem dalam
memahami ajaran Islam:
1)
Formalisme
Syari’at tanpa spiritualitas, yang menyebabkan praktik agama
yang kaku dan kehilangan makna batin.
2)
Tasawuf
tanpa Syari’at, yang menyebabkan praktik mistisisme yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam yang murni.
Untuk menghindari
kedua ekstrem ini, umat Islam harus menyeimbangkan antara kepatuhan terhadap hukum
Syari’at dan pengembangan spiritualitas yang sehat melalui Thariqat, Hakikat,
dan Ma’rifat.5
7.2.3. Menghidupkan Kembali Pendidikan
Spiritual dalam Islam
Salah satu solusi
utama untuk menjaga keseimbangan dalam beragama adalah menghidupkan
kembali pendidikan spiritual Islam yang berbasis pada ajaran
para ulama salaf yang lurus. Pendidikan Islam harus mencakup pemahaman
fiqh yang kokoh, disiplin spiritual dalam Thariqat, serta wawasan mendalam
tentang Hakikat dan Ma’rifat agar umat Islam tidak hanya
memahami hukum, tetapi juga menjalani ibadah dengan hati yang bersih dan
penuh kesadaran akan kehadiran Allah.6
7.2.4. Relevansi Konsep Ini dalam
Kehidupan Modern
Di era modern,
pemahaman tentang Syari’at, Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat
sangat penting untuk menjawab berbagai tantangan spiritual dan sosial. Beberapa
manfaat dari pemahaman yang benar tentang konsep ini antara lain:
1)
Membantu
umat Islam menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan berorientasi akhirat.
2)
Menjadi
solusi bagi krisis spiritual yang terjadi akibat modernisasi yang berlebihan.
3)
Menghindarkan
umat Islam dari paham ekstremisme dan sekularisme yang menyesatkan.
Dengan pemahaman
yang benar, konsep ini dapat menjadi panduan bagi umat Islam untuk menjalani
kehidupan yang seimbang antara aspek lahiriah dan batiniah,
sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.7
Penutup
Islam adalah agama
yang sempurna dan menyeluruh, mencakup aturan hukum (Syari’at), metode penyucian diri
(Thariqat), pemahaman mendalam tentang kehidupan (Hakikat), dan pengenalan
sejati kepada Allah (Ma’rifat). Keempat konsep ini tidak dapat
dipisahkan, dan masing-masing memiliki peran penting dalam membimbing umat
Islam menuju kehidupan yang lebih baik.
Sebagaimana yang
dikatakan oleh Imam Junaid al-Baghdadi, "Siapa yang hanya berpegang pada Syari’at
tanpa Hakikat, ia telah kehilangan keindahan Islam. Siapa yang hanya mengejar
Hakikat tanpa Syari’at, ia akan tersesat. Dan siapa yang menggabungkan
keduanya, maka ia telah menemukan kebenaran."8
Semoga kajian ini
dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada umat Islam tentang pentingnya
memahami dan menjalani Islam secara utuh, serta menjadi motivasi bagi para
pembelajar untuk terus menggali ilmu dari sumber-sumber yang otoritatif dalam
Islam.
Footnotes
[1]
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2003), 7:245.
[2]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2005), 4:310.
[3]
Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 4:185.
[4]
Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat (Kairo: Dar Ibn Affan, 1997), 4:98.
[5]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 128.
[6]
Nasr, Seyyed Hossein, The Garden of Truth: The Vision and Promise
of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 95.
[7]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij as-Salikin (Kairo: Maktabah
Dar al-Hadith, 2003), 3:318.
[8]
Junaid al-Baghdadi, Kitab al-Luma' (Cairo: Dar al-Fikr, 1992),
132.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali, A. H. (2005). Ihya' Ulumuddin
(Vol. 4). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Jailani, A. Q. (1997). Al-Ghunyah li Thalibi
Thariq al-Haqq (Vol. 4). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Qur'an dan Terjemahannya. (n.d.). Jakarta:
Kementerian Agama Republik Indonesia.
Asy-Syatibi. (1997). Al-Muwafaqat (Vol. 4).
Kairo: Dar Ibn Affan.
Bukhari, M. I. A. (1999). Sahih al-Bukhari
(Vol. 1). Riyadh: Darussalam.
Ibnu Arabi. (2004). Futuhat al-Makkiyyah
(Vol. 6). Beirut: Dar Sadir.
Ibnu Manzur. (2003). Lisan al-‘Arab (Vol.
7). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah. (2003). Madarij
as-Salikin (Vol. 3). Kairo: Maktabah Dar al-Hadith.
Junaid al-Baghdadi. (1992). Kitab al-Luma’.
Cairo: Dar al-Fikr.
Muslim, M. I. A. (2004). Sahih Muslim (Vol.
1). Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi.
Nasr, S. H. (2007). The Garden of Truth: The
Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition. New York:
HarperOne.
Nu’aim, A. (1998). Hilyatul Auliya’ (Vol.
1). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Qadi Iyad. (2001). Tartib al-Madarik (Vol.
2). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of
Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.
Wahbah al-Zuhayli. (2005). Al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu (Vol. 1). Damaskus: Dar al-Fikr.
Wahbah al-Zuhayli. (1998). Ushul al-Fiqh
al-Islami (Vol. 1). Damaskus: Dar al-Fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar