Sekularisme
Konsep, Sejarah, dan
Implikasinya dalam Kehidupan Modern
Abstrak
Sekularisme adalah prinsip yang memisahkan agama
dari institusi negara dan kehidupan publik, dengan tujuan menciptakan
masyarakat yang inklusif dan pluralis. Artikel ini membahas konsep sekularisme
secara komprehensif, mulai dari definisi, sejarah perkembangan, hingga
implikasinya dalam kehidupan modern. Dalam sejarahnya, sekularisme muncul
sebagai respons terhadap dominasi agama dalam politik dan konflik keagamaan,
dengan model penerapan yang bervariasi di berbagai negara.
Artikel ini juga mengeksplorasi berbagai bentuk
sekularisme, dari moderat hingga radikal, serta implementasinya di
negara-negara Barat dan dunia Muslim, termasuk Indonesia. Di Indonesia,
sekularisme diadaptasi melalui prinsip Pancasila, yang mengakomodasi
nilai-nilai agama tanpa mengorbankan pluralisme. Kritik terhadap sekularisme
mencakup pandangan bahwa ia mengabaikan nilai-nilai religius dan cenderung
mempromosikan relativisme moral, sementara tantangan utamanya adalah menghadapi
politisasi agama dan kebangkitan fundamentalisme.
Melalui pendekatan kontekstual dan dialog antara
nilai-nilai agama dan prinsip sekular, konsep ini memiliki potensi untuk terus
relevan dalam menjaga harmoni sosial dan keadilan di masyarakat modern.
Kata Kunci: Sekularisme,
Pancasila, pluralisme, sejarah sekularisme, politik agama, moderasi,
fundamentalisme, kebebasan beragama.
1.
Pendahuluan
Sekularisme adalah salah satu konsep yang memiliki
pengaruh besar dalam perjalanan sejarah pemikiran manusia, terutama dalam
konteks hubungan antara agama dan negara. Secara sederhana, sekularisme dapat
didefinisikan sebagai pemisahan antara institusi agama dan negara guna
menciptakan ruang publik yang netral terhadap keyakinan religius tertentu.¹
Konsep ini sering dipandang sebagai solusi terhadap konflik keagamaan dan
dominasi agama dalam politik, terutama di Eropa pada masa Abad Pertengahan.²
Pemikiran sekularisme mulai muncul pada masa
Renaissance dan semakin berkembang melalui Reformasi Protestan, ketika otoritas
gereja mulai dipertanyakan.³ Revolusi Prancis menjadi tonggak penting dalam
pengukuhan sekularisme sebagai ideologi modern yang menuntut pemisahan agama
dari kehidupan politik.⁴ Konsep ini kemudian menyebar ke berbagai belahan
dunia, memengaruhi pola pikir masyarakat di dunia Barat maupun Timur. Dalam
dunia Islam, sekularisme menjadi isu kontroversial, baik sebagai tantangan
maupun peluang dalam konteks modernisasi.⁵
Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
yang komprehensif mengenai sekularisme, mulai dari definisinya, sejarah
perkembangan, hingga implikasinya dalam kehidupan modern. Melalui pendekatan
berbasis literatur dengan sumber-sumber yang kredibel, pembahasan ini
diharapkan dapat membantu pembaca memahami sekularisme secara objektif,
terutama dalam konteks pluralitas dan modernitas.⁶ Dengan demikian, artikel ini
tidak hanya menjadi kajian akademik tetapi juga refleksi untuk menjembatani
dialog antara agama dan sekularisme dalam berbagai ranah kehidupan.
Catatan Kaki
[1]
John Locke, A Letter Concerning Toleration,
ed. James H. Tully (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 22.
[2]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge:
Harvard University Press, 2007), 25–26.
[3]
Peter Burke, The Renaissance Sense of the Past
(London: Edward Arnold, 1969), 58.
[4]
William Doyle, The Oxford History of the French
Revolution (Oxford: Oxford University Press, 1989), 200.
[5]
Ali A. Allawi, The Crisis of Islamic
Civilization (New Haven: Yale University Press, 2009), 34–36.
[6]
Talal Asad, Formations of the Secular: Christianity,
Islam, Modernity (Stanford: Stanford University Press, 2003), 14.
2.
Definisi
dan Esensi Sekularisme
Sekularisme secara umum dapat didefinisikan sebagai
sebuah prinsip yang memisahkan institusi agama dari institusi negara, dengan
tujuan menciptakan ruang publik yang netral terhadap keyakinan religius.¹
Istilah ini berasal dari kata Latin saeculum, yang berarti "zaman
ini" atau "duniawi," menggambarkan fokus pada aspek
kehidupan duniawi tanpa campur tangan dogma keagamaan.² Konsep ini berkembang
sebagai respons terhadap dominasi institusi keagamaan dalam kehidupan politik
dan sosial, terutama di Eropa pada Abad Pertengahan.³
Menurut John Locke, salah satu filsuf yang sering
dianggap sebagai pelopor gagasan sekularisme, pemisahan antara gereja dan
negara diperlukan untuk menjaga kebebasan beragama dan menghindari konflik
antar kelompok religius.⁴ Locke menyatakan bahwa tugas negara adalah melindungi
hak-hak individu, sementara urusan spiritual adalah domain pribadi yang tidak
boleh diatur oleh negara.⁵ Dalam pandangan tokoh Pencerahan seperti Voltaire,
sekularisme dianggap sebagai jalan menuju toleransi dan kebebasan berpikir,
terutama di tengah otoritarianisme agama pada masa itu.⁶
Namun, sekularisme bukan hanya tentang pemisahan
agama dan negara, tetapi juga mencakup gagasan bahwa kebijakan publik harus
didasarkan pada alasan rasional dan universal, bukan keyakinan agama tertentu.⁷
Dalam pandangan Charles Taylor, sekularisme memiliki tiga komponen utama:
netralitas negara terhadap agama, kebebasan individu untuk mempraktikkan atau
tidak mempraktikkan agama, dan kesetaraan semua warga negara tanpa memandang
keyakinan religius mereka.⁸
Secara praktis, sekularisme diterapkan dalam
berbagai bentuk di berbagai negara. Di Amerika Serikat, sekularisme lebih
moderat, dengan prinsip kebebasan beragama yang dijamin dalam konstitusi.⁹
Sebaliknya, di Prancis, konsep laïcité menekankan pemisahan yang lebih
ketat antara agama dan negara, yang kadang-kadang memunculkan kontroversi,
terutama dalam isu simbol agama di ruang publik.¹⁰
Sekularisme juga memiliki dimensi etis, yaitu
menempatkan nilai-nilai universal seperti keadilan, kebebasan, dan kesetaraan
di atas ajaran agama tertentu dalam pengambilan keputusan publik.¹¹ Dengan
demikian, sekularisme tidak hanya relevan dalam konteks politik, tetapi juga
dalam kehidupan sosial dan budaya, di mana pluralitas keyakinan menjadi ciri
khas masyarakat modern.¹²
Catatan Kaki
[1]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge:
Harvard University Press, 2007), 1.
[2]
Talal Asad, Formations of the Secular:
Christianity, Islam, Modernity (Stanford: Stanford University Press, 2003),
2.
[3]
Peter Burke, The Renaissance Sense of the Past
(London: Edward Arnold, 1969), 45.
[4]
John Locke, A Letter Concerning Toleration,
ed. James H. Tully (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 26–28.
[5]
Ibid.
[6]
Voltaire, Treatise on Tolerance (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000), 10–12.
[7]
William E. Connolly, Why I Am Not a Secularist
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1999), 22–24.
[8]
Charles Taylor, A Secular Age, 25–26.
[9]
John Witte Jr., Religion and the American
Constitutional Experiment (Boulder: Westview Press, 2000), 15.
[10]
Jean Baubérot, Laïcité 1905-2005: Entre passion
et raison (Paris: Seuil, 2004), 43–46.
[11]
Charles Taylor, Modern Social Imaginaries
(Durham: Duke University Press, 2004), 23.
[12]
Talal Asad, Formations of the Secular, 5.
3.
Sejarah
Perkembangan Sekularisme
Sekularisme sebagai konsep tidak muncul secara
tiba-tiba; ia berkembang melalui berbagai tahap sejarah, dipengaruhi oleh
dinamika sosial, politik, dan intelektual. Akar sejarah sekularisme dapat
ditelusuri hingga periode Renaissance, ketika Eropa mulai mengalami kebangkitan
intelektual dan kebudayaan setelah Abad Pertengahan.¹ Pada masa ini, muncul
pemisahan antara urusan keagamaan dan kehidupan duniawi, yang mendorong
masyarakat untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan, seni, dan filsafat tanpa
dominasi otoritas gereja.²
Reformasi Protestan pada abad ke-16 memainkan peran
penting dalam membentuk landasan awal bagi sekularisme. Gerakan ini, yang
dipimpin oleh tokoh seperti Martin Luther dan John Calvin, menantang otoritas
gereja Katolik dan menekankan hubungan langsung antara individu dan Tuhan tanpa
perantara institusi gereja.³ Akibatnya, kekuasaan gereja mulai melemah,
memberikan ruang bagi berkembangnya gagasan-gagasan sekular dalam kehidupan
politik dan sosial.⁴
Revolusi Ilmiah pada abad ke-17 dan 18 juga menjadi
katalisator penting dalam perkembangan sekularisme. Tokoh-tokoh seperti Galileo
Galilei, Isaac Newton, dan Francis Bacon memperkenalkan metode ilmiah yang
mengandalkan observasi empiris dan rasionalitas, yang sering kali bertentangan
dengan doktrin keagamaan.⁵ Pandangan dunia yang berbasis ilmu pengetahuan ini
mendorong masyarakat untuk memisahkan antara kepercayaan religius dan
pengetahuan duniawi, membuka jalan bagi sekularisme sebagai landasan
epistemologis.⁶
Puncak penting dalam sejarah sekularisme terjadi
pada Revolusi Prancis (1789), yang tidak hanya menggulingkan monarki absolut
tetapi juga mengakhiri dominasi gereja dalam politik. Revolusi ini
memperkenalkan konsep laïcité, sebuah ideologi yang menekankan pemisahan
mutlak antara agama dan negara.⁷ Prinsip ini kemudian menjadi dasar bagi model
sekularisme di Prancis dan negara-negara lain.⁸
Di dunia Islam, sejarah perkembangan sekularisme
memiliki dinamika yang berbeda. Selama abad ke-19 dan 20, sekularisme
diperkenalkan melalui kontak dengan kolonialisme Barat dan upaya modernisasi
internal.⁹ Tokoh-tokoh seperti Kemal Atatürk di Turki dan Muhammad Ali di Mesir
mengadopsi elemen-elemen sekularisme dalam upaya membangun negara modern.¹⁰
Namun, penerapan sekularisme di dunia Islam sering kali menimbulkan
kontroversi, terutama karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.¹¹
Secara keseluruhan, sejarah perkembangan
sekularisme mencerminkan respons terhadap perubahan sosial, konflik religius,
dan kebutuhan akan tata kelola politik yang lebih inklusif. Sekularisme telah
melalui perjalanan panjang dari gagasan awal yang bersifat filosofis hingga
menjadi prinsip yang memengaruhi kebijakan publik di berbagai negara.
Catatan Kaki
[1]
Peter Burke, The Renaissance Sense of the Past
(London: Edward Arnold, 1969), 45.
[2]
Jacob Burckhardt, The Civilization of the
Renaissance in Italy (New York: Harper & Row, 1958), 80–82.
[3]
Euan Cameron, The European Reformation
(Oxford: Oxford University Press, 1991), 120.
[4]
Ibid., 132–134.
[5]
Steven Shapin, The Scientific Revolution
(Chicago: University of Chicago Press, 1996), 23.
[6]
Ibid., 45.
[7]
William Doyle, The Oxford History of the French
Revolution (Oxford: Oxford University Press, 1989), 200.
[8]
Jean Baubérot, Laïcité 1905-2005: Entre passion
et raison (Paris: Seuil, 2004), 56–58.
[9]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal
Age 1798-1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 65.
[10]
Bernard Lewis, The Emergence of Modern Turkey
(Oxford: Oxford University Press, 1961), 240–243.
[11]
Ali A. Allawi, The Crisis of Islamic
Civilization (New Haven: Yale University Press, 2009), 45.
4.
Sekularisme dalam Perspektif Agama
Sekularisme
memunculkan berbagai tanggapan dari perspektif agama, karena prinsip dasarnya
yang memisahkan agama dari ranah publik sering kali dianggap bertentangan
dengan pandangan keagamaan tertentu. Respon terhadap sekularisme tidak seragam di berbagai tradisi agama,
karena bergantung pada konteks historis, sosial, dan doktrinal masing-masing
agama.
4.1.
Sekularisme dan Kristen
Dalam konteks
Kristen, sekularisme awalnya muncul sebagai respons terhadap dominasi Gereja
Katolik dalam kehidupan politik dan sosial selama Abad Pertengahan.¹ Reformasi Protestan, yang dipimpin oleh tokoh
seperti Martin Luther, menekankan pentingnya pemisahan antara kekuasaan gereja
dan negara.² Dalam ajaran Protestan, terdapat gagasan bahwa otoritas spiritual
dan otoritas duniawi harus berjalan secara paralel tetapi terpisah, seperti
dalam konsep two kingdoms (dua kerajaan) yang
diajukan oleh Luther.³
Namun, gereja
Katolik memandang sekularisme dengan skeptis, terutama dalam bentuknya yang radikal seperti laïcité
di Prancis, yang dianggap sebagai ancaman terhadap peran agama dalam kehidupan
publik.⁴ Paus Pius IX, misalnya, mengutuk sekularisme dalam dokumen Syllabus
of Errors (1864) sebagai bentuk "kesalahan modern" yang mengancam moralitas masyarakat.⁵
Namun, sejak Konsili Vatikan II (1962–1965), Gereja Katolik mulai mengadopsi
pendekatan yang lebih akomodatif terhadap sekularisme moderat, menekankan
pentingnya kebebasan beragama dan dialog antaragama.⁶
4.2.
Sekularisme dan Islam
Dalam Islam,
hubungan antara agama dan politik lebih kompleks, karena syariah sering
dianggap sebagai panduan komprehensif yang mencakup aspek spiritual, moral, dan
hukum.⁷ Oleh karena itu, konsep sekularisme sering kali dianggap bertentangan
dengan prinsip Islam, yang tidak memisahkan agama dari kehidupan sosial dan
politik.⁸ Tokoh seperti Sayyid Qutb dan Maulana Maududi mengkritik sekularisme
sebagai ideologi Barat yang mencoba menghilangkan peran Islam dalam masyarakat
Muslim.⁹
Namun, ada pula
tokoh Muslim yang mendukung penerapan sekularisme dalam batas tertentu. Ali
Abdur Raziq, seorang pemikir Mesir, misalnya, berpendapat bahwa Islam tidak
secara eksplisit menentukan bentuk pemerintahan tertentu, sehingga sekularisme
dapat diterima sebagai solusi praktis dalam konteks modern.¹⁰ Pendapat serupa
dikemukakan oleh Fazlur Rahman, yang menekankan bahwa esensi Islam adalah
nilai-nilai universal yang dapat diterapkan dalam sistem sekular.¹¹
4.3.
Sekularisme dan Tradisi Timur
Dalam tradisi
agama-agama Timur seperti Hindu, Buddha, dan Konfusianisme, respons terhadap
sekularisme cenderung lebih fleksibel. Hinduisme, misalnya, memiliki sejarah
toleransi terhadap pluralisme, sehingga sekularisme dapat diterima sebagai cara
untuk menjaga harmoni antaragama.¹² Namun, di India, sekularisme sering kali
diperdebatkan karena pengaruh politik identitas agama, terutama antara
komunitas Hindu dan Muslim.¹³
Dalam konteks
Buddha, sekularisme tidak terlalu dipermasalahkan karena sifat ajaran Buddha
yang tidak menekankan teokrasi atau struktur politik tertentu.¹⁴ Di Tiongkok,
Konfusianisme historis mendukung gagasan pemerintahan yang berbasis moralitas
duniawi, yang sejalan dengan prinsip-prinsip sekularisme.¹⁵
Kesimpulan
Sekularisme telah
memunculkan berbagai tanggapan di kalangan tradisi agama. Sementara beberapa
agama, seperti Kristen Protestan dan Buddha, cenderung lebih akomodatif
terhadap sekularisme, agama-agama seperti Islam dan Hindu sering kali
memperdebatkan implikasinya terhadap nilai-nilai dan struktur sosial mereka.
Namun, dalam konteks global, sekularisme tetap menjadi titik temu untuk menjaga
pluralitas agama dan kebebasan berkeyakinan.
Catatan Kaki
[1]
Euan Cameron, The European Reformation (Oxford:
Oxford University Press, 1991), 118–120.
[2]
Ibid., 132.
[3]
Martin Luther, On Secular Authority: How Far Does the
Obedience Owed to It Extend?, ed. and trans. J. M. Porter
(Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 13–15.
[4]
Jean Baubérot, Laïcité 1905-2005: Entre passion et raison
(Paris: Seuil, 2004), 34–36.
[5]
Pope Pius IX, Syllabus of Errors (Rome, 1864),
§80.
[6]
John W. O'Malley, What Happened at Vatican II
(Cambridge: Belknap Press, 2008), 250.
[7]
Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics, and
Modernity’s Moral Predicament (New York: Columbia University Press,
2012), 38.
[8]
Ibid., 45.
[9]
Sayyid Qutb, Milestones (Delhi: Islamic Book
Service, 2002), 78–80.
[10]
Ali Abdur Raziq, Islam and the Foundations of Political Power
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2012), 90–92.
[11]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1982), 32.
[12]
Partha Chatterjee, The Nation and Its Fragments: Colonial and
Postcolonial Histories (Princeton: Princeton University Press,
1993), 10.
[13]
Christophe Jaffrelot, The Hindu Nationalist Movement in India
(New York: Columbia University Press, 1996), 23–25.
[14]
Damien Keown, Buddhism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 1996), 57.
[15]
Daniel A. Bell, The China Model: Political Meritocracy and the
Limits of Democracy (Princeton: Princeton University Press, 2015),
78.
5.
Bentuk dan Model Sekularisme
Sekularisme tidak
diterapkan secara seragam di seluruh dunia, tetapi berkembang dalam berbagai
bentuk dan model yang disesuaikan dengan konteks sosial, budaya, dan sejarah
masing-masing negara. Secara umum, model sekularisme dapat dikategorikan menjadi
dua bentuk utama: moderat dan radikal. Variasi ini mencerminkan bagaimana
negara memandang hubungan antara agama dan negara, serta bagaimana kebijakan
sekular diterapkan dalam kehidupan publik.
5.1.
Sekularisme Moderat
Sekularisme moderat
menekankan pemisahan antara agama dan negara, tetapi tetap menghormati
keberadaan agama dalam ruang publik. Model ini banyak diterapkan di
negara-negara seperti Amerika Serikat dan India.¹
Di Amerika Serikat,
sekularisme diatur dalam First Amendment Konstitusi, yang
menjamin kebebasan beragama sekaligus melarang pembentukan agama negara.² Dalam
praktiknya, negara tidak mencampuri urusan agama, tetapi tidak juga melarang
ekspresi religius di ruang publik.³ Contohnya, para pejabat publik di Amerika
Serikat sering kali mengakui nilai-nilai agama dalam pidato politik mereka,
tetapi tetap menjaga netralitas institusi negara.⁴
Di India,
sekularisme moderat diterapkan dalam konteks masyarakat yang sangat plural.
Konstitusi India menjamin kebebasan beragama dan menetapkan negara sebagai
entitas sekular yang menghormati semua agama secara setara.⁵ Namun, model
sekularisme India sering kali menghadapi tantangan karena ketegangan antara
mayoritas Hindu dan minoritas agama lainnya, terutama dalam isu-isu seperti
kebijakan personal berdasarkan agama.⁶
5.2.
Sekularisme Radikal
Sekularisme radikal,
atau sering disebut laïcité, menuntut pemisahan yang
lebih tegas antara agama dan negara. Model ini paling terkenal diterapkan di
Prancis, yang menjadikan laïcité sebagai prinsip dasar dalam
hukum dan kebijakan publik.⁷
Di Prancis, simbol
agama dilarang di ruang publik, seperti sekolah dan kantor pemerintahan, untuk
menjaga netralitas negara.⁸ Kebijakan ini sering kali memicu kontroversi,
terutama di kalangan minoritas agama, seperti larangan pemakaian jilbab bagi
Muslimah di institusi pendidikan.⁹ Para pendukung laïcité berpendapat bahwa kebijakan
ini melindungi sekularisme dan kesetaraan, sementara kritik menyatakan bahwa
hal ini membatasi kebebasan beragama.¹⁰
Turki di bawah
kepemimpinan Mustafa Kemal Atatürk juga menerapkan bentuk sekularisme
radikal.¹¹ Atatürk menghapuskan kekhalifahan, melarang simbol agama dalam
pemerintahan, dan mengganti hukum Islam dengan hukum sipil yang diadaptasi dari
model Barat.¹² Namun, sejak awal abad ke-21, Turki telah mengalami pergeseran
menuju kebangkitan agama dalam politik di bawah pemerintahan Recep Tayyip
Erdoğan, yang mengkritik sekularisme radikal dan mempromosikan nilai-nilai
Islam dalam kehidupan publik.¹³
5.3.
Sekularisme dalam Negara-Negara Muslim
Sekularisme di
negara-negara Muslim sering kali mengadopsi pendekatan yang unik, dengan
memadukan elemen tradisional dan modern. Di Indonesia, misalnya, sekularisme
diterapkan melalui konsep Pancasila, yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai sila pertama.¹⁴ Meskipun negara tidak berdasarkan agama tertentu, hukum
dan kebijakan sering kali mencerminkan nilai-nilai agama mayoritas.¹⁵
Model ini berbeda
dari pendekatan yang lebih radikal di negara-negara seperti Tunisia atau Turki.
Di Tunisia, konstitusi 2014 mengadopsi prinsip sekularisme, tetapi tetap
mempertahankan Islam sebagai agama negara.¹⁶ Hal ini mencerminkan upaya untuk
menyeimbangkan modernitas dengan tradisi religius.
Kesimpulan
Bentuk dan model
sekularisme mencerminkan keberagaman dalam penerapannya, mulai dari moderat
hingga radikal. Setiap model memiliki kelebihan dan tantangannya masing-masing,
tergantung pada konteks sosial, politik, dan agama suatu negara. Memahami
variasi ini penting untuk menilai bagaimana sekularisme dapat diterapkan secara
efektif tanpa mengorbankan nilai-nilai kebebasan beragama dan pluralisme.
Catatan Kaki
[1]
William E. Connolly, Why I Am Not a Secularist
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1999), 18–19.
[2]
John Witte Jr., Religion and the American Constitutional
Experiment (Boulder: Westview Press, 2000), 15.
[3]
Ibid., 23–24.
[4]
Mark A. Noll, God and Politics in America (New
York: Oxford University Press, 2007), 45.
[5]
Christophe Jaffrelot, The Hindu Nationalist Movement in India
(New York: Columbia University Press, 1996), 30.
[6]
Partha Chatterjee, The Nation and Its Fragments: Colonial and
Postcolonial Histories (Princeton: Princeton University Press,
1993), 22.
[7]
Jean Baubérot, Laïcité 1905-2005: Entre passion et raison
(Paris: Seuil, 2004), 14.
[8]
William Safran, The Secular and the Sacred: Nation, Religion
and Politics (London: Frank Cass, 2003), 56.
[9]
Ibid., 58.
[10]
Talal Asad, Formations of the Secular: Christianity, Islam,
Modernity (Stanford: Stanford University Press, 2003), 87.
[11]
Bernard Lewis, The Emergence of Modern Turkey (Oxford:
Oxford University Press, 1961), 234.
[12]
Ibid., 240–243.
[13]
Feroz Ahmad, Turkey: The Quest for Identity
(London: Oneworld, 2003), 189–191.
[14]
Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in
Indonesia (Princeton: Princeton University Press, 2000), 45–46.
[15]
Ibid., 52.
[16]
Nadia Marzouki, Tunisia: An Arab Anomaly (New York:
Columbia University Press, 2017), 112.
6.
Implikasi Sekularisme dalam Kehidupan Modern
Sekularisme memiliki
dampak yang luas dalam berbagai aspek kehidupan modern, baik dalam bidang
politik, pendidikan, budaya, maupun hak asasi manusia. Sebagai prinsip yang
memisahkan agama dari ranah publik, sekularisme bertujuan untuk menciptakan
masyarakat yang inklusif dan pluralis. Namun, penerapannya juga menimbulkan
berbagai tantangan dan kontroversi, terutama ketika dihadapkan pada realitas
sosial dan budaya yang berbeda.
6.1.
Dalam Politik
Salah satu implikasi
utama sekularisme adalah transformasi hubungan antara agama dan politik. Dalam
model negara sekular, kebijakan publik dibuat berdasarkan alasan rasional dan
universal, bukan keyakinan agama tertentu.¹ Hal ini memberikan ruang bagi
demokrasi untuk berkembang dengan menghormati keberagaman keyakinan masyarakat.
Di negara-negara
Barat seperti Amerika Serikat dan Prancis, sekularisme dianggap sebagai
landasan bagi sistem pemerintahan yang inklusif.² Namun, sekularisme sering kali
memicu perdebatan ketika dihadapkan pada isu-isu seperti hak minoritas agama,
pelarangan simbol agama di ruang publik, atau legislasi moral.³ Misalnya,
kebijakan laïcité
di Prancis tentang larangan simbol agama telah memunculkan protes dari kelompok
Muslim yang merasa kebebasan beragama mereka dibatasi.⁴
Di negara-negara
mayoritas Muslim, sekularisme sering kali dilihat sebagai ancaman terhadap
penerapan syariah.⁵ Namun, di negara-negara seperti Indonesia, sekularisme
diwujudkan melalui konsep Pancasila, yang berupaya menyeimbangkan antara
nilai-nilai agama dan prinsip-prinsip negara modern.⁶
6.2.
Dalam Pendidikan
Sekularisme juga
memengaruhi sistem pendidikan, terutama dalam hal netralitas kurikulum terhadap
agama tertentu. Di banyak negara sekular, pendidikan publik dirancang untuk
bersifat inklusif, dengan menekankan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
universal.⁷
Di Prancis,
misalnya, kebijakan laïcité diterapkan secara tegas
dalam sistem pendidikan, sehingga sekolah-sekolah publik dilarang mengajarkan
doktrin agama tertentu.⁸ Di sisi lain, di Amerika Serikat, meskipun agama tidak
diajarkan di sekolah publik, kebebasan individu untuk mengekspresikan keyakinan
mereka tetap dijamin.⁹
Namun, penerapan
sekularisme dalam pendidikan juga menghadapi tantangan. Di negara-negara
seperti India dan Indonesia, di mana agama memainkan peran penting dalam
identitas budaya, kurikulum sering kali mencerminkan nilai-nilai agama
mayoritas, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana sekularisme
diterapkan secara ideal.¹⁰
6.3.
Dalam Budaya
Dalam ranah budaya,
sekularisme telah mengubah cara masyarakat memandang agama dan tradisi. Dalam
masyarakat sekular, nilai-nilai moral sering kali didefinisikan secara
independen dari ajaran agama tertentu.¹¹ Hal ini menciptakan ruang bagi
ekspresi budaya yang lebih pluralis dan beragam.
Namun, sekularisme
juga sering kali dianggap sebagai penyebab erosi nilai-nilai tradisional dalam
masyarakat.¹² Misalnya, di banyak negara Barat, muncul kekhawatiran bahwa
sekularisme berkontribusi terhadap relativisme moral dan penurunan praktik
keagamaan.¹³ Sebaliknya, di negara-negara yang lebih konservatif, sekularisme
dipandang sebagai ancaman terhadap identitas budaya nasional yang berbasis
agama.¹⁴
6.4.
Dalam Hak Asasi Manusia
Sekularisme
berkontribusi signifikan dalam promosi hak asasi manusia, terutama dalam hal
kebebasan beragama dan kebebasan dari diskriminasi berdasarkan agama.¹⁵ Prinsip
ini memastikan bahwa semua warga negara diperlakukan setara di depan hukum,
tanpa memandang keyakinan religius mereka.
Namun, ada pula
kritik bahwa sekularisme dalam bentuknya yang radikal dapat membatasi kebebasan
beragama. Kebijakan seperti pelarangan simbol agama di ruang publik sering kali
dianggap melanggar hak individu untuk mengekspresikan keyakinan mereka.¹⁶
Dengan demikian, penerapan sekularisme yang seimbang menjadi tantangan penting
dalam memastikan perlindungan hak asasi manusia.
Kesimpulan
Implikasi
sekularisme dalam kehidupan modern sangat luas, mencakup perubahan dalam
politik, pendidikan, budaya, dan hak asasi manusia. Meskipun sekularisme
bertujuan menciptakan masyarakat yang inklusif, tantangan dalam penerapannya
menunjukkan pentingnya pendekatan yang kontekstual dan fleksibel. Dalam dunia yang
semakin pluralis, sekularisme dapat menjadi alat penting untuk menjaga harmoni
sosial, tetapi juga memerlukan pemahaman yang mendalam terhadap dinamika sosial
dan budaya.
Catatan Kaki
[1]
Talal Asad, Formations of the Secular: Christianity, Islam,
Modernity (Stanford: Stanford University Press, 2003), 18.
[2]
William E. Connolly, Why I Am Not a Secularist
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1999), 23.
[3]
Jean Baubérot, Laïcité 1905-2005: Entre passion et raison
(Paris: Seuil, 2004), 50–52.
[4]
Ibid., 56.
[5]
Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics, and
Modernity’s Moral Predicament (New York: Columbia University Press,
2012), 41.
[6]
Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in
Indonesia (Princeton: Princeton University Press, 2000), 45.
[7]
Steven Shapin, The Scientific Revolution (Chicago:
University of Chicago Press, 1996), 15.
[8]
William Safran, The Secular and the Sacred: Nation, Religion
and Politics (London: Frank Cass, 2003), 34–35.
[9]
Mark A. Noll, God and Politics in America (New
York: Oxford University Press, 2007), 72.
[10]
Christophe Jaffrelot, The Hindu Nationalist Movement in India
(New York: Columbia University Press, 1996), 23.
[11]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard
University Press, 2007), 28.
[12]
Talal Asad, Formations of the Secular, 78.
[13]
Ibid., 85.
[14]
Nadia Marzouki, Tunisia: An Arab Anomaly (New York:
Columbia University Press, 2017), 112.
[15]
John Witte Jr., Religion and the American Constitutional
Experiment (Boulder: Westview Press, 2000), 28.
[16]
Jean Baubérot, Laïcité 1905-2005: Entre passion et raison,
70.
7.
Kritik dan Tantangan Sekularisme
Sekularisme,
meskipun memiliki tujuan menciptakan ruang publik yang inklusif dan netral,
tidak luput dari kritik. Baik dari perspektif agama, filsafat, maupun politik,
sekularisme dipandang sebagai konsep yang menghadapi tantangan dalam
penerapannya di dunia modern. Kritik terhadap sekularisme sering kali terkait
dengan cara ia mengelola pluralitas, nilai moral, dan hubungan antara individu
dengan komunitas keagamaannya.
7.1.
Kritik dari Perspektif Agama
Dari sudut pandang
agama, sekularisme sering dianggap sebagai ancaman terhadap keutuhan
nilai-nilai religius dalam masyarakat.¹ Pemisahan agama dari negara dianggap
mengabaikan peran penting agama sebagai fondasi moral dan spiritual dalam
kehidupan manusia.² Tokoh Muslim seperti Sayyid Qutb menyatakan bahwa
sekularisme adalah produk peradaban Barat yang tidak sesuai dengan prinsip
Islam, yang mencakup semua aspek kehidupan, baik spiritual maupun duniawi.³
Selain itu,
sekularisme dianggap dapat mereduksi agama menjadi sekadar urusan privat,
sehingga menghilangkan pengaruhnya dalam membentuk masyarakat yang
berkeadilan.⁴ Kritik serupa juga datang dari Gereja Katolik, terutama dalam
bentuk laïcité
Prancis yang melarang simbol agama di ruang publik. Gereja menilai bahwa
kebijakan ini tidak hanya membatasi kebebasan beragama, tetapi juga menciptakan
bentuk baru dari intoleransi terhadap agama.⁵
7.2.
Kritik Filosofis
Dari perspektif
filosofis, sekularisme sering dikritik karena cenderung bersifat reduksionis.
Talal Asad, misalnya, menyatakan bahwa sekularisme tidak benar-benar netral,
tetapi memaksakan pandangan dunia tertentu yang mengesampingkan dimensi
religius dalam kehidupan publik.⁶ Charles Taylor juga menekankan bahwa
sekularisme, dalam bentuk radikalnya, dapat berujung pada eksklusi nilai-nilai
keagamaan dari ruang publik, yang pada akhirnya menciptakan ketidakadilan bagi
kelompok religius.⁷
Selain itu, ada
kritik bahwa sekularisme dapat mempromosikan relativisme moral. Ketika
nilai-nilai agama dikesampingkan, masyarakat sering kali kesulitan menemukan
dasar moral universal, yang dapat mengarah pada nihilisme atau konflik nilai.⁸
7.3.
Tantangan Kontemporer
Tantangan sekularisme
di era modern semakin kompleks, terutama dalam menghadapi kebangkitan politik
identitas dan fundamentalisme agama.⁹ Di banyak negara, sekularisme menjadi isu
yang kontroversial karena dianggap sebagai alat untuk menindas kelompok
minoritas agama.¹⁰ Misalnya, kebijakan sekularisme radikal di Prancis, seperti
larangan simbol agama di sekolah, sering kali ditafsirkan sebagai tindakan
diskriminatif terhadap komunitas Muslim.¹¹
Selain itu,
globalisasi dan arus migrasi telah menciptakan masyarakat yang semakin plural,
sehingga penerapan sekularisme sering kali memicu konflik antara nilai-nilai
lokal dan kebutuhan untuk menciptakan harmoni antarbudaya.¹² Di negara-negara
Muslim, seperti Turki dan Mesir, sekularisme menghadapi tantangan dari kelompok
Islamis yang menginginkan penerapan syariah sebagai dasar hukum negara.¹³
7.4.
Sekularisme dan Post-Sekularisme
Dalam konteks
kontemporer, muncul gagasan tentang "post-secularism"
(pasca-sekularisme), yang mengakui pentingnya agama dalam kehidupan publik.¹⁴
Para pendukung pasca-sekularisme berpendapat bahwa sekularisme perlu direvisi
untuk memberikan ruang bagi dialog antara agama dan nilai-nilai sekular.¹⁵
Dengan demikian, masyarakat modern dapat menciptakan tatanan sosial yang lebih
inklusif dan adil.
Kesimpulan
Kritik dan tantangan
terhadap sekularisme menunjukkan bahwa konsep ini tidak bebas dari kelemahan,
terutama dalam penerapannya yang sering kali bersifat kontekstual. Di satu
sisi, sekularisme berhasil menciptakan masyarakat yang lebih plural dan
demokratis. Namun, di sisi lain, ia menghadapi kritik karena dianggap
mengabaikan nilai-nilai religius dan menciptakan ketegangan sosial. Pendekatan
yang lebih inklusif, seperti pasca-sekularisme, dapat menjadi solusi untuk
menjawab kritik-kritik tersebut, dengan membuka ruang dialog antara agama dan
prinsip sekular.
Catatan Kaki
[1]
Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics, and
Modernity’s Moral Predicament (New York: Columbia University Press,
2012), 41.
[2]
Ibid., 45.
[3]
Sayyid Qutb, Milestones (Delhi: Islamic Book
Service, 2002), 78–80.
[4]
Talal Asad, Formations of the Secular: Christianity, Islam,
Modernity (Stanford: Stanford University Press, 2003), 14.
[5]
Jean Baubérot, Laïcité 1905-2005: Entre passion et raison
(Paris: Seuil, 2004), 36.
[6]
Talal Asad, Formations of the Secular, 21.
[7]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard
University Press, 2007), 28.
[8]
William E. Connolly, Why I Am Not a Secularist
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1999), 15.
[9]
Nadia Marzouki, Tunisia: An Arab Anomaly (New York:
Columbia University Press, 2017), 78.
[10]
William Safran, The Secular and the Sacred: Nation, Religion
and Politics (London: Frank Cass, 2003), 56.
[11]
Ibid., 58.
[12]
Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in
Indonesia (Princeton: Princeton University Press, 2000), 45.
[13]
Bernard Lewis, The Emergence of Modern Turkey
(Oxford: Oxford University Press, 1961), 234.
[14]
Jürgen Habermas, An Awareness of What is Missing: Faith and
Reason in a Post-secular Age (Cambridge: Polity Press, 2010), 12.
[15]
Ibid., 22.
8.
Sekularisme di Indonesia
Sekularisme di
Indonesia memiliki karakteristik yang unik dibandingkan dengan negara-negara
lain, karena negara ini tidak secara formal mendeklarasikan dirinya sebagai
negara sekular, tetapi juga bukan negara agama.¹ Indonesia mengadopsi sistem
yang mengakui peran agama dalam kehidupan publik, tetapi tetap menjaga prinsip
pluralisme melalui Pancasila sebagai dasar negara.² Dengan demikian,
sekularisme di Indonesia lebih bersifat inklusif, di mana nilai-nilai agama
diakomodasi dalam konteks negara modern.
8.1.
Sejarah Awal: Pancasila dan Negara Sekular
Debat tentang
sekularisme di Indonesia bermula sejak masa perumusan UUD 1945.³ Pada saat itu,
terjadi perdebatan antara kelompok nasionalis sekular dan kelompok Islamis.
Kelompok nasionalis, yang dipimpin oleh Soekarno, mengusulkan Pancasila sebagai
dasar negara untuk menciptakan ruang inklusif bagi semua agama.⁴ Sementara itu,
kelompok Islamis menginginkan negara berdasarkan syariah.⁵
Kompromi akhirnya
dicapai melalui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menyebutkan
kewajiban umat Islam untuk menjalankan syariah.⁶ Hal ini menandai pengakuan
Indonesia sebagai negara yang tidak berbasis agama, tetapi tetap mengakomodasi
nilai-nilai religius.⁷
8.2.
Implementasi Sekularisme: Negara
Religius-Pluralis
Sekularisme di
Indonesia diwujudkan melalui prinsip pluralisme agama dalam Pancasila, di mana
negara mengakui enam agama resmi (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu,
Buddha, dan Konghucu).⁸ Berbeda dengan sekularisme radikal seperti di Prancis,
model ini mengizinkan agama untuk memainkan peran penting dalam kehidupan
publik, tetapi tidak memberikan keistimewaan eksklusif kepada satu agama
tertentu.⁹
Namun, penerapan
sekularisme di Indonesia sering kali menghadapi tantangan. Isu seperti
politisasi agama, peraturan daerah berbasis syariah, dan diskriminasi terhadap
kelompok minoritas agama menunjukkan bahwa prinsip sekularisme sering kali
teruji dalam praktik.¹⁰ Misalnya, beberapa daerah di Indonesia menerapkan perda
syariah yang dianggap bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam UUD 1945.¹¹
8.3.
Politisasi Agama dan Tantangan Sekularisme
Politisasi agama di
Indonesia semakin menonjol sejak era Reformasi, ketika partai politik berbasis
agama memperoleh kebebasan lebih besar.¹² Dalam beberapa kasus, agama digunakan
sebagai alat untuk mendapatkan dukungan politik, yang sering kali mengancam
pluralisme dan semangat sekularisme inklusif.¹³ Contohnya adalah kasus Pilkada
DKI Jakarta 2017, di mana isu agama digunakan secara masif dalam kampanye
politik.¹⁴
Selain itu, tantangan
lain muncul dari kelompok konservatif yang mendorong penerapan syariah secara
lebih luas dalam hukum dan kebijakan publik.¹⁵ Pendekatan ini sering kali
memicu perdebatan tentang sejauh mana negara dapat mempertahankan prinsip
pluralisme tanpa mengabaikan aspirasi kelompok mayoritas.¹⁶
8.4.
Perspektif Ke Depan: Sekularisme Kontekstual
Meskipun menghadapi
tantangan, sekularisme di Indonesia memiliki potensi untuk terus berkembang
sebagai model yang unik.¹⁷ Konsep Pancasila memberikan kerangka kerja yang memungkinkan
dialog antara nilai-nilai agama dan prinsip-prinsip modernitas.¹⁸
Namun, untuk
memperkuat sekularisme inklusif, diperlukan kebijakan yang lebih tegas dalam
melindungi hak-hak minoritas agama dan mencegah politisasi agama.¹⁹ Selain itu,
pendidikan multikultural yang menekankan nilai-nilai pluralisme dan toleransi
dapat menjadi langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif
dan harmonis.²⁰
Kesimpulan
Sekularisme di
Indonesia adalah bentuk sekularisme yang inklusif, di mana negara mengakui
peran agama tetapi tetap menjunjung tinggi pluralisme. Meskipun menghadapi
tantangan, model ini mencerminkan upaya unik untuk mengelola keberagaman dalam
konteks masyarakat multireligius. Dengan memperkuat komitmen terhadap
pluralisme dan dialog antaragama, sekularisme di Indonesia dapat terus menjadi
pilar penting dalam menjaga harmoni sosial dan keutuhan bangsa.
Catatan Kaki
[1]
Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in
Indonesia (Princeton: Princeton University Press, 2000), 30.
[2]
Ibid., 35.
[3]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas,
dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011),
150.
[4]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta:
Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1965), 59.
[5]
Yudi Latif, Negara Paripurna, 155.
[6]
Ibid., 157.
[7]
Robert W. Hefner, Civil Islam, 40.
[8]
Moch. Nur Ichwan, Official Reform of Islam: State Islam and the
Ministry of Religious Affairs in Contemporary Indonesia (Leiden:
Brill, 2010), 50.
[9]
Ibid., 54.
[10]
Edward Aspinall, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and
the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 2019),
120.
[11]
Ibid., 122.
[12]
Greg Fealy and Sally White, eds., Expressing Islam: Religious Life and Politics
in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2008), 45.
[13]
Ibid., 48.
[14]
Edward Aspinall, Democracy for Sale, 125.
[15]
Martin van Bruinessen, Contemporary Developments in Indonesian Islam:
Explaining the Conservative Turn (Singapore: ISEAS, 2013), 88.
[16]
Ibid., 90.
[17]
Yudi Latif, Negara Paripurna, 200.
[18]
Robert W. Hefner, Civil Islam, 45.
[19]
Moch. Nur Ichwan, Official Reform of Islam, 60.
[20]
Ibid., 65.
9.
Penutup
Sekularisme, sebagai prinsip yang memisahkan agama
dari negara, telah memainkan peran penting dalam membentuk masyarakat modern
yang lebih inklusif dan pluralis.
Dalam sejarahnya, sekularisme berkembang sebagai respons terhadap konflik
keagamaan dan dominasi agama dalam politik, terutama di Eropa selama Abad
Pertengahan.¹ Melalui evolusi filosofis, politik, dan sosial, sekularisme telah
menjadi fondasi bagi berbagai model pemerintahan di dunia, dari model moderat
seperti di Amerika Serikat hingga model radikal seperti di Prancis.²
Namun, penerapan sekularisme di berbagai negara
menunjukkan bahwa konsep ini tidak universal dalam bentuknya. Berbagai variasi
sekularisme muncul, bergantung pada
konteks sejarah dan budaya masing-masing negara. Di negara-negara mayoritas
Muslim seperti Indonesia, sekularisme diadaptasi melalui pendekatan yang lebih
inklusif, di mana nilai-nilai agama tetap diakui dalam kehidupan publik tanpa
mengorbankan prinsip pluralisme.³
Meskipun demikian, sekularisme tidak terlepas dari
kritik dan tantangan. Beberapa kelompok agama menganggapnya sebagai ancaman
terhadap nilai-nilai spiritual dan tradisional, sementara kritik filosofis
menyoroti kecenderungan sekularisme untuk mengabaikan pentingnya agama dalam
membentuk identitas dan nilai-nilai masyarakat.⁴ Selain itu, tantangan
kontemporer seperti politisasi agama dan kebangkitan fundamentalisme agama
semakin menguji relevansi sekularisme dalam menjaga harmoni sosial.⁵
Untuk menghadapi kritik dan tantangan ini,
sekularisme perlu diterapkan secara kontekstual dan fleksibel, dengan tetap
menghormati keragaman nilai-nilai budaya dan agama.⁶ Konsep pasca-sekularisme,
yang mengedepankan dialog
antara agama dan nilai-nilai sekular, dapat menjadi pendekatan alternatif yang
lebih inklusif dalam mengelola pluralitas masyarakat modern.⁷
Sebagai kesimpulan, sekularisme tetap menjadi
prinsip penting dalam kehidupan modern, terutama dalam mempromosikan demokrasi,
hak asasi manusia, dan kebebasan beragama. Namun, keberhasilannya sangat
bergantung pada bagaimana
ia diterapkan secara adil dan kontekstual. Dalam dunia yang semakin pluralis,
sekularisme tidak hanya membutuhkan adaptasi, tetapi juga dialog yang
konstruktif antara berbagai kelompok kepercayaan untuk menciptakan masyarakat
yang lebih harmonis dan berkeadilan.
Catatan Kaki
[1]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge:
Harvard University Press, 2007), 25.
[2]
Jean Baubérot, Laïcité 1905-2005: Entre passion
et raison (Paris: Seuil, 2004), 20.
[3]
Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and
Democratization in Indonesia (Princeton: Princeton University Press, 2000),
30.
[4]
Talal Asad, Formations of the Secular:
Christianity, Islam, Modernity (Stanford: Stanford University Press, 2003),
14.
[5]
Nadia Marzouki, Tunisia: An Arab Anomaly
(New York: Columbia University Press, 2017), 78.
[6]
Jürgen Habermas, An Awareness of What is
Missing: Faith and Reason in a Post-secular Age (Cambridge: Polity Press,
2010), 12.
[7]
Ibid., 22.
Daftar Pustaka
Asad, T. (2003). Formations of the secular:
Christianity, Islam, modernity. Stanford University Press.
Aspinall, E. (2019). Democracy for sale:
Elections, clientelism, and the state in Indonesia. Cornell University
Press.
Baubérot, J. (2004). Laïcité 1905-2005: Entre
passion et raison. Seuil.
Bruinessen, M. V. (2013). Contemporary
developments in Indonesian Islam: Explaining the conservative turn. ISEAS.
Cameron, E. (1991). The European Reformation.
Oxford University Press.
Chatterjee, P. (1993). The nation and its
fragments: Colonial and postcolonial histories. Princeton University Press.
Connolly, W. E. (1999). Why I am not a
secularist. University of Minnesota Press.
Doyle, W. (1989). The Oxford history of the
French Revolution. Oxford University Press.
Fealy, G., & White, S. (Eds.). (2008). Expressing
Islam: Religious life and politics in Indonesia. ISEAS.
Habermas, J. (2010). An awareness of what is
missing: Faith and reason in a post-secular age. Polity Press.
Hallaq, W. B. (2012). The impossible state:
Islam, politics, and modernity’s moral predicament. Columbia University
Press.
Hefner, R. W. (2000). Civil Islam: Muslims and
democratization in Indonesia. Princeton University Press.
Ichwan, M. N. (2010). Official reform of Islam:
State Islam and the Ministry of Religious Affairs in contemporary Indonesia.
Brill.
Jaffrelot, C. (1996). The Hindu nationalist
movement in India. Columbia University Press.
Latif, Y. (2011). Negara paripurna:
Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Gramedia Pustaka
Utama.
Lewis, B. (1961). The emergence of modern
Turkey. Oxford University Press.
Noll, M. A. (2007). God and politics in America.
Oxford University Press.
Qutb, S. (2002). Milestones. Islamic Book
Service.
Safran, W. (2003). The secular and the sacred:
Nation, religion and politics. Frank Cass.
Shapin, S. (1996). The scientific revolution.
University of Chicago Press.
Soekarno. (1965). Di bawah bendera revolusi.
Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi.
Taylor, C. (2007). A secular age. Harvard
University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar