Minggu, 23 Maret 2025

Parsialitas: Antara Keadilan, Etika, dan Realitas Sosial

Parsialitas

Antara Keadilan, Etika, dan Realitas Sosial


Alihkan ke: Keadilan, Etika, Realitas Sosial.


Abstrak

Artikel ini membahas fenomena parsialitas sebagai bentuk keberpihakan yang tidak adil, baik dalam konteks etika, filsafat, maupun praktik sosial dan kelembagaan. Parsialitas dipahami sebagai kecenderungan mendukung pihak tertentu tanpa dasar objektif yang sah, yang berlawanan dengan prinsip imparsialitas yang menjadi landasan keadilan dalam banyak teori moral klasik seperti etika Kantian dan teori keadilan Rawlsian. Dalam praktiknya, parsialitas sering muncul dalam berbagai sektor, seperti sistem hukum, media, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kebijakan publik, serta berdampak signifikan terhadap individu, integritas institusi, dan stabilitas sosial. Artikel ini juga mengkaji upaya strategis untuk mengatasi dan mengelola parsialitas melalui pendekatan etis, pendidikan, reformasi kelembagaan, serta pemberdayaan nilai agama dan kearifan lokal. Melalui kajian mendalam dan referensi akademik yang kredibel, tulisan ini menegaskan bahwa imparsialitas bukan hanya cita-cita moral, tetapi kebutuhan struktural dalam membangun masyarakat yang adil, inklusif, dan beradab.

Kata Kunci: Parsialitas, Imparsialitas, Etika, Keadilan Sosial, Diskriminasi, Lembaga Publik, Filsafat Moral, Konflik Kepentingan.


PEMBAHASAN

Parsialitas Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Dalam berbagai lini kehidupan manusia—baik pada level individu, komunitas, maupun institusi—keputusan dan tindakan sering kali tidak terlepas dari pengaruh subjektivitas dan kepentingan tertentu. Fenomena ini dikenal dengan istilah parsialitas, yaitu suatu sikap atau tindakan yang condong kepada satu pihak dengan mengabaikan prinsip keadilan dan objektivitas. Dalam konteks sosial dan etika, parsialitas menjadi isu krusial karena dapat memunculkan ketimpangan dalam perlakuan terhadap individu atau kelompok, yang pada gilirannya berpotensi merusak tatanan sosial dan melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang semestinya bersikap netral dan adil.1

Kehadiran parsialitas dalam kehidupan sosial tidak selalu tampak secara eksplisit. Ia sering kali hadir dalam bentuk yang subtil dan dilegitimasi oleh norma-norma sosial atau struktur kekuasaan yang telah mapan. Misalnya, keberpihakan terhadap kelompok tertentu atas dasar kedekatan sosial atau kesamaan identitas dapat diterima secara sosial, meskipun secara moral dan etis hal tersebut melanggar prinsip keadilan distributif sebagaimana dijelaskan oleh John Rawls dalam teori keadilannya.2 Dalam A Theory of Justice, Rawls menekankan pentingnya prinsip imparsialitas sebagai landasan utama dalam mendesain struktur dasar masyarakat yang adil, di mana setiap individu harus diperlakukan sama kecuali jika ketimpangan tersebut menguntungkan yang paling tidak beruntung.3

Sementara itu, dalam konteks kelembagaan, seperti pengadilan, lembaga pemerintahan, media massa, dan pendidikan, sikap parsial dapat berimplikasi sistemik. Keberpihakan yang dilakukan oleh figur otoritatif bukan hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga merusak integritas institusi yang bersangkutan. Misalnya, dalam praktik peradilan, seorang hakim yang menunjukkan keberpihakan dapat dikatakan telah melanggar prinsip judicial impartiality, yang secara normatif merupakan fondasi dari sistem hukum yang adil dan dapat dipercaya.4

Permasalahan parsialitas juga menjadi perhatian dalam filsafat moral. Immanuel Kant, dalam pemikirannya mengenai etika deontologis, menyatakan bahwa tindakan yang bermoral adalah tindakan yang dapat dijadikan hukum universal tanpa pengecualian—artinya, ia harus bebas dari keberpihakan pribadi.5 Oleh karena itu, parsialitas dianggap bertentangan dengan tuntutan rasionalitas moral yang bersifat universal dan objektif.

Di tengah kompleksitas hubungan sosial dan dinamika kekuasaan, pembahasan mengenai parsialitas menjadi penting tidak hanya sebagai upaya akademis untuk memahami fenomena tersebut secara konseptual, tetapi juga sebagai langkah strategis untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab. Dengan menggali akar filosofis, etis, dan sosiologis dari parsialitas, serta menelaah dampak dan solusinya secara komprehensif, diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi intelektual yang bermakna bagi dunia pendidikan, kebijakan publik, dan kehidupan sosial secara luas.


Footnotes

[1]                Fred Feldman, Introductory Ethics (Upper Saddle River: Prentice Hall, 1978), 122.

[2]                John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 42–45.

[3]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 302.

[4]                Owen Fiss, “The Right Degree of Independence,” in Judging Judges, ed. David L. Bazelon (New York: Macmillan, 1993), 42–59.

[5]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 30.


2.           Definisi dan Konsep Dasar Parsialitas

2.1.       Pengertian Parsialitas

Secara etimologis, istilah "parsialitas" berasal dari kata Latin parsialis, yang berarti “berpihak” atau “berasal dari sebagian.” Dalam Bahasa Inggris, kata partiality merujuk pada kecenderungan atau keberpihakan terhadap seseorang atau sesuatu, yang umumnya dianggap mengurangi objektivitas dan keadilan.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), parsialitas dapat dimaknai sebagai “keberpihakan” atau “ketidaknetralan.”2

Secara terminologis, parsialitas merujuk pada sikap atau tindakan yang menunjukkan kecenderungan mendukung satu pihak tertentu secara tidak proporsional, sering kali tanpa alasan rasional atau keadilan yang dapat dibenarkan. Parsialitas bukan hanya soal pilihan pribadi, tetapi berimplikasi serius ketika muncul dalam konteks sosial, etika, hukum, dan kebijakan publik. Dalam ruang-ruang tersebut, sikap parsial dapat berkonsekuensi terhadap ketidakadilan, ketimpangan distribusi hak dan sumber daya, serta melemahkan kepercayaan terhadap institusi.

2.2.       Parsialitas vs. Imparsialitas

Untuk memahami parsialitas secara lebih dalam, penting untuk membandingkannya dengan konsep lawannya, yaitu imparsialitas (impartiality). Imparsialitas mengacu pada prinsip netralitas, yakni bersikap tanpa keberpihakan, tidak memihak kepada siapa pun, dan menimbang semua pihak secara setara.3 Dalam etika moral, imparsialitas sering diposisikan sebagai landasan keadilan yang rasional dan objektif.

Filsuf moral James Rachels menjelaskan bahwa prinsip imparsialitas menuntut kita untuk "memberi pertimbangan moral yang sama kepada semua orang yang terkena dampak tindakan kita, tanpa memprioritaskan kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu secara tidak adil."_4 Artinya, tindakan yang benar secara moral harus dapat dipertanggungjawabkan dari sudut pandang universal, bukan sekadar berdasarkan kedekatan, preferensi, atau loyalitas.

Meski demikian, dalam praktik kehidupan sehari-hari, garis antara parsialitas dan imparsialitas tidak selalu jelas. Dalam situasi tertentu, keberpihakan dianggap etis, terutama dalam konteks relasional seperti keluarga, sahabat, atau komunitas lokal. Michael Slote, seorang filsuf dari aliran moral sentimentalism, menyatakan bahwa kasih sayang dan empati terhadap orang terdekat dapat menjadi alasan moral yang sah untuk berlaku parsial dalam batas-batas tertentu.5

2.3.       Istilah-Istilah Terkait

Parsialitas memiliki hubungan erat dengan sejumlah istilah yang sering kali digunakan secara bergantian namun memiliki nuansa makna berbeda, di antaranya:

·                     Bias:

Merujuk pada kecenderungan bawah sadar atau sadar yang menyebabkan seseorang mengevaluasi atau memperlakukan pihak lain secara tidak adil. Bias bisa bersifat kognitif, emosional, atau sistemik.6

·                     Diskriminasi:

Perlakuan berbeda yang merugikan individu atau kelompok berdasarkan identitas sosial tertentu (seperti ras, agama, atau jenis kelamin). Diskriminasi merupakan bentuk konkret dari parsialitas yang melanggar prinsip kesetaraan.

·                     Konflik Kepentingan (Conflict of Interest):

Situasi di mana seseorang memiliki kepentingan pribadi yang dapat mempengaruhi objektivitasnya dalam menjalankan tugas atau membuat keputusan profesional.

·                     Nepotisme dan Kroniisme:

Bentuk parsialitas dalam institusi, yakni memberikan keuntungan kepada keluarga atau teman dekat, bukan berdasarkan meritokrasi atau kelayakan.

Dengan memahami akar dan bentuk-bentuk dasar parsialitas, kita dapat lebih bijak menilai situasi-situasi keberpihakan yang kita hadapi, sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya imparsialitas dalam menjaga integritas moral dan sosial.


Footnotes

[1]                Oxford English Dictionary, s.v. “partiality,” accessed March 23, 2025, https://www.oed.com.

[2]                Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi V (Jakarta: Kemdikbudristek, 2023), s.v. “parsialitas.”

[3]                Brian Barry, Justice as Impartiality (Oxford: Oxford University Press, 1995), 13.

[4]                James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 8th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2015), 182.

[5]                Michael Slote, The Ethics of Care and Empathy (London: Routledge, 2007), 54–56.

[6]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 119–123.


3.           Parsialitas dalam Perspektif Filsafat dan Etika

Pertanyaan mengenai apakah keberpihakan (parsialitas) dapat dibenarkan secara moral telah lama menjadi pokok diskusi dalam filsafat etika. Di satu sisi, banyak teori etika yang menempatkan imparsialitas sebagai prinsip utama dalam menilai moralitas tindakan. Di sisi lain, terdapat pendekatan etika yang mengakui nilai moral dalam relasi personal yang bersifat parsial, seperti ikatan keluarga, persahabatan, atau komunitas. Oleh karena itu, pembahasan mengenai parsialitas dalam perspektif etika tidak bersifat tunggal, melainkan melibatkan berbagai pendekatan filosofis yang berbeda.

3.1.       Pandangan Etika Deontologis (Immanuel Kant)

Dalam etika deontologis yang dikembangkan oleh Immanuel Kant, tindakan moral bukanlah ditentukan oleh akibatnya, melainkan oleh apakah tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kewajiban universal yang rasional. Kant mengemukakan bahwa prinsip moral harus berlaku secara universal dan bebas dari kepentingan pribadi atau hubungan emosional tertentu.1 Dengan kata lain, parsialitas dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip moral, karena menunjukkan keberpihakan yang tidak dapat dijadikan hukum universal.

Dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals, Kant menulis bahwa seseorang harus bertindak menurut maksima yang dapat dijadikan hukum umum bagi semua orang. Oleh karena itu, tindakan yang didasarkan pada keberpihakan personal dianggap tidak rasional dan tidak bermoral, karena tidak dapat diterapkan secara adil dalam semua situasi yang setara.2 Perspektif ini menekankan pentingnya imparsialitas sebagai dasar keadilan moral.

3.2.       Pandangan Utilitarianisme (Jeremy Bentham dan John Stuart Mill)

Dalam tradisi etika teleologis atau konsekuensialis, seperti yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, suatu tindakan dianggap benar jika menghasilkan manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak (the greatest happiness for the greatest number). Dalam konteks ini, keberpihakan dianggap bermasalah apabila menghambat tercapainya kesejahteraan kolektif.3

John Stuart Mill mengakui bahwa manusia secara alami memiliki afeksi dan relasi personal, namun dalam keputusan moral, pertimbangan tersebut seharusnya tidak mengalahkan prinsip keseimbangan manfaat umum. Dengan demikian, parsialitas dianggap sah secara psikologis, tetapi tetap harus tunduk pada prinsip utilitas dalam konteks sosial yang lebih luas.4 Misalnya, membantu kerabat karena rasa kasih sayang diperbolehkan sejauh tidak melanggar hak dan kesejahteraan orang lain secara signifikan.

3.3.       Etika Kasih dan Relasionalitas (Partikularisme Moral)

Meski banyak pendekatan etika menolak parsialitas, beberapa aliran etika partikularis dan etika kasih (ethics of care) justru mengakui keberpihakan sebagai aspek moral yang sah dan penting. Filsuf seperti Michael Slote dan Virginia Held menekankan bahwa relasi personal seperti keluarga, persahabatan, dan komunitas merupakan konteks moral yang sah untuk keberpihakan tertentu, karena moralitas tidak selalu bersifat universal dan abstrak, melainkan tumbuh dalam relasi konkret antarmanusia.5

Menurut pendekatan ini, parsialitas bukanlah bentuk ketidakadilan, tetapi ekspresi dari tanggung jawab moral dalam jaringan sosial yang nyata. Sebagai contoh, seorang ibu yang lebih memprioritaskan anaknya dalam situasi bahaya dianggap bertindak secara etis karena kasih sayang dan tanggung jawab tersebut memiliki nilai moral intrinsik.6

3.4.       Kritik terhadap Parsialitas dalam Etika Sosial

Kendati demikian, dalam kerangka etika sosial dan keadilan distributif, parsialitas tetap menjadi isu yang kompleks. John Rawls, dalam A Theory of Justice, menyatakan bahwa keadilan sosial hanya dapat terwujud melalui prinsip-prinsip yang dipilih dalam situasi imparsial, yaitu "di balik tirai ketidaktahuan" (veil of ignorance)—di mana seseorang tidak mengetahui posisi sosialnya sehingga akan memilih prinsip yang adil bagi semua.7 Dalam konteks ini, parsialitas dianggap membahayakan tatanan sosial yang adil, karena membuka celah untuk ketimpangan struktural dan diskriminasi.


Dengan demikian, dalam perspektif etika dan filsafat, pandangan terhadap parsialitas sangat bergantung pada pendekatan moral yang digunakan. Etika deontologis dan utilitarian menekankan pentingnya imparsialitas sebagai dasar moralitas, sementara pendekatan relasional mengakui nilai moral dalam keberpihakan yang kontekstual. Kesadaran atas keragaman pandangan ini penting agar kita dapat menilai tindakan keberpihakan secara bijak, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam konteks sosial yang lebih luas.


Footnotes

[1]                Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 41–43.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 30–36.

[3]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 14–15.

[4]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), 43–47.

[5]                Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global (Oxford: Oxford University Press, 2006), 15–19.

[6]                Michael Slote, Moral Sentimentalism (Oxford: Oxford University Press, 2010), 103–106.

[7]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 118–123.


4.           Parsialitas dalam Praktik Sosial dan Kelembagaan

Parsialitas bukan hanya wacana filosofis atau etis, tetapi juga merupakan realitas sosial yang hadir dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam praktiknya, parsialitas kerap muncul dalam bentuk keberpihakan yang tidak proporsional terhadap individu atau kelompok tertentu, terutama dalam konteks kelembagaan seperti pemerintahan, pendidikan, media, dan hukum. Ketika parsialitas menjadi bagian dari sistem sosial dan kelembagaan, ia dapat menimbulkan ketimpangan struktural, diskriminasi sistemik, dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi yang semestinya menjunjung keadilan dan imparsialitas.

4.1.       Parsialitas dalam Pemerintahan dan Hukum

Salah satu ranah di mana parsialitas memiliki dampak paling signifikan adalah dalam sistem pemerintahan dan hukum. Dalam konteks ini, parsialitas dapat berupa keberpihakan aparat penegak hukum, praktik nepotisme dalam birokrasi, atau pengambilan kebijakan yang lebih menguntungkan kelompok elite tertentu.

Misalnya, parsialitas yudisial (judicial partiality) terjadi ketika hakim atau penegak hukum menunjukkan keberpihakan kepada salah satu pihak dalam persidangan, baik karena tekanan politik, hubungan personal, maupun konflik kepentingan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip imparsialitas peradilan, yang menurut American Bar Association (ABA) merupakan fondasi integritas sistem hukum demokratis.1

Lebih jauh, nepotisme dan kolusi dalam birokrasi menjadi bentuk nyata parsialitas struktural dalam pemerintahan. Transparansi International mencatat bahwa praktik semacam ini memperparah ketimpangan sosial dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap negara.2 Negara-negara dengan indeks korupsi tinggi sering kali menunjukkan korelasi langsung dengan tingginya praktik parsialitas dalam pengambilan keputusan politik dan pelayanan publik.

4.2.       Parsialitas dalam Dunia Pendidikan dan Kesehatan

Dalam sektor pendidikan, parsialitas dapat terlihat dari perlakuan guru terhadap siswa, misalnya dalam hal pemberian nilai atau perhatian yang tidak merata, yang sering kali dipengaruhi oleh latar belakang sosial, ekonomi, atau kedekatan personal. Studi yang dilakukan oleh Diane Reay menunjukkan bahwa sistem pendidikan di berbagai negara cenderung mereproduksi ketidaksetaraan sosial melalui mekanisme parsial yang tampak “normal,” seperti pengelompokan kelas atau perbedaan perlakuan terhadap siswa berdasarkan status keluarga.3

Demikian pula di sektor kesehatan, parsialitas muncul dalam bentuk akses layanan yang tidak setara. WHO mencatat bahwa kelompok masyarakat miskin, perempuan, dan minoritas sering kali menerima layanan yang lebih rendah kualitasnya dibandingkan kelompok mayoritas atau ekonomi atas, meskipun mereka memiliki kebutuhan medis yang sama.4 Hal ini menunjukkan bahwa keberpihakan sistemik dalam pelayanan publik dapat menjadi akar dari ketidakadilan sosial yang luas.

4.3.       Parsialitas dalam Media dan Informasi

Media massa dan media sosial merupakan instrumen penting dalam membentuk opini publik. Namun, keberpihakan dalam media—baik disengaja maupun tidak—dapat membentuk bias informasi yang memengaruhi persepsi publik secara tidak proporsional. Fenomena ini dikenal sebagai media bias, yaitu kecenderungan media dalam menyajikan informasi yang berpihak pada kepentingan tertentu, baik karena ideologi, afiliasi politik, atau tekanan ekonomi.

Menurut Noam Chomsky dan Edward S. Herman dalam karya klasik mereka Manufacturing Consent, media arus utama sering kali menjadi corong kekuasaan melalui struktur kepemilikan, iklan, dan sumber informasi yang terpusat, sehingga apa yang dianggap “obyektif” sebenarnya telah melalui proses seleksi parsial.5 Di era digital, algoritma media sosial bahkan memperparah hal ini dengan menciptakan ruang gema (echo chamber) yang hanya memperkuat sudut pandang tertentu dan mengabaikan keragaman pandangan.

4.4.       Parsialitas dalam Relasi Sosial Sehari-hari

Dalam kehidupan sehari-hari, parsialitas muncul dalam bentuk diskriminasi, stereotip, dan prasangka. Hal ini terjadi dalam relasi antarindividu maupun antarkelompok, seperti dalam kasus perundungan, perlakuan berbeda berdasarkan agama atau suku, hingga ketimpangan gender. Psikolog sosial Susan Fiske menunjukkan bahwa manusia cenderung memiliki ingroup bias, yaitu kecenderungan untuk lebih memihak dan mempercayai anggota kelompok sendiri dibanding kelompok luar, bahkan tanpa disadari.6

Meskipun hal ini dapat dimaklumi dari sudut psikologi evolusioner, jika tidak dikendalikan, ingroup bias dapat berkembang menjadi bentuk diskriminasi yang merusak kohesi sosial dan menciptakan konflik antarkelompok.


Dengan demikian, parsialitas dalam praktik sosial dan kelembagaan tidak hanya menjadi isu moral, tetapi juga persoalan struktural yang berdampak luas terhadap keadilan, kesejahteraan, dan integritas institusi publik. Oleh karena itu, kesadaran kritis dan reformasi sistemik diperlukan untuk mengatasi berbagai bentuk keberpihakan yang merugikan masyarakat secara keseluruhan.


Footnotes

[1]                American Bar Association, Model Code of Judicial Conduct (Chicago: ABA, 2020), Canon 2, Rule 2.2.

[2]                Transparency International, Global Corruption Report 2007: Corruption in Judicial Systems (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 23–25.

[3]                Diane Reay, Miseducation: Inequality, Education and the Working Classes (Cambridge: Polity Press, 2017), 61–65.

[4]                World Health Organization, World Health Report 2010: Health Systems Financing (Geneva: WHO, 2010), 56–58.

[5]                Edward S. Herman and Noam Chomsky, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 1–35.

[6]                Susan T. Fiske, Social Beings: Core Motives in Social Psychology, 3rd ed. (Hoboken, NJ: Wiley, 2014), 138–142.


5.           Dampak Parsialitas

Parsialitas bukan hanya persoalan etis dan teoretis, tetapi memiliki dampak nyata yang luas dan serius dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Ketika keberpihakan terjadi secara sistemik dan tidak terkendali, ia dapat merusak prinsip keadilan, memperdalam ketimpangan, dan menciptakan ketidakstabilan sosial. Dampak parsialitas dapat dianalisis dalam tiga ranah utama: individu, institusi, dan masyarakat secara keseluruhan.

5.1.       Dampak Terhadap Individu

Parsialitas yang dialami oleh individu—baik sebagai korban maupun pelaku—dapat menimbulkan berbagai dampak psikologis dan sosial. Bagi korban, keberpihakan yang tidak adil dapat menimbulkan perasaan frustrasi, kecewa, tidak dihargai, bahkan trauma. Studi psikologi sosial oleh Claude Steele menunjukkan bahwa individu yang terus-menerus mengalami ketidakadilan karena parsialitas cenderung mengalami penurunan motivasi dan performa, yang dikenal sebagai stereotype threat.1

Selain itu, parsialitas juga berkontribusi terhadap kesenjangan kepercayaan sosial. Ketika seseorang menyadari bahwa perlakuan yang diterimanya tidak setara dengan pihak lain hanya karena identitas atau hubungan sosial tertentu, maka rasa percaya terhadap sistem dan norma masyarakat pun akan melemah. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memunculkan sikap apatis, sinis, atau bahkan perlawanan terhadap otoritas.

5.2.       Dampak Terhadap Institusi

Institusi yang gagal menjaga prinsip imparsialitas berisiko kehilangan legitimasi moral dan sosial. Dalam konteks hukum, misalnya, pengadilan yang diketahui berpihak akan kehilangan kepercayaan publik dan dianggap tidak mampu menegakkan keadilan. Hal ini dijelaskan oleh Tom R. Tyler dalam penelitiannya tentang keadilan prosedural: kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum sangat tergantung pada persepsi terhadap keadilan proses, bukan hanya hasil akhir.2

Begitu pula dalam lembaga pendidikan atau pemerintahan, apabila keberpihakan terjadi—misalnya melalui praktik nepotisme, diskriminasi, atau seleksi tidak objektif—maka kredibilitas institusi tersebut akan menurun. Kepercayaan terhadap pemimpin dan sistem pengambilan keputusan akan melemah, dan partisipasi masyarakat akan menurun sebagai bentuk ekspresi kekecewaan terhadap ketidakadilan.

Dalam ranah media, parsialitas berdampak langsung pada kualitas demokrasi. Media yang berpihak atau memanipulasi informasi tidak hanya membelokkan persepsi publik, tetapi juga memicu polarisasi opini dan konflik sosial.3

5.3.       Dampak Terhadap Masyarakat Luas

Parsialitas dalam skala sosial berdampak sistemik. Ketika institusi dan norma sosial membiarkan keberpihakan sebagai praktik yang “wajar” atau “lumrah,” maka akan terbentuk struktur sosial yang timpang dan sulit diubah. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk diskriminasi rasial, etnis, agama, gender, atau kelas sosial yang terus-menerus direproduksi dalam kebijakan dan praktik sosial.

Menurut Pierre Bourdieu, keberpihakan yang terselubung dalam kebijakan atau struktur sosial menghasilkan apa yang ia sebut sebagai “kekerasan simbolik” (symbolic violence), yaitu mekanisme dominasi yang tampak alamiah, padahal melestarikan ketidakadilan.4 Ini menjelaskan mengapa masyarakat yang dipenuhi dengan praktik parsialitas akan mengalami reproduksi ketimpangan secara turun-temurun.

Di tingkat politik, parsialitas dapat memecah belah masyarakat dan memperparah konflik horizontal. Studi oleh Donald L. Horowitz menunjukkan bahwa keberpihakan negara terhadap kelompok tertentu dalam masyarakat majemuk kerap menjadi faktor pemicu konflik etnis dan sektarian, yang sulit dikendalikan ketika sudah mengakar.5


Dengan demikian, parsialitas memiliki dampak yang jauh lebih luas daripada sekadar ketidakadilan personal. Ia merupakan ancaman terhadap solidaritas sosial, integritas kelembagaan, dan stabilitas masyarakat. Oleh karena itu, upaya membangun budaya imparsialitas dan kesadaran etis menjadi sangat penting dalam merespons tantangan keberpihakan yang merugikan ini.


Footnotes

[1]                Claude M. Steele, Whistling Vivaldi: How Stereotypes Affect Us and What We Can Do (New York: W.W. Norton & Company, 2010), 15–20.

[2]                Tom R. Tyler, Why People Obey the Law, 2nd ed. (Princeton: Princeton University Press, 2006), 163–170.

[3]                Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 56–59.

[4]                Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, trans. Richard Nice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 164–171.

[5]                Donald L. Horowitz, Ethnic Groups in Conflict, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 2000), 291–298.


6.           Upaya Mengatasi dan Mengelola Parsialitas

Mengatasi parsialitas memerlukan pendekatan yang multidimensi, karena ia tidak hanya menyangkut persoalan individu dan moralitas, tetapi juga berkaitan erat dengan sistem sosial, budaya, dan kebijakan publik. Upaya pengelolaan parsialitas harus diarahkan untuk menciptakan sistem yang lebih adil, transparan, dan partisipatif, baik dalam level personal, kelembagaan, maupun struktural. Beberapa langkah berikut merupakan pendekatan strategis yang dapat ditempuh berdasarkan kajian teoretis dan praktik kebijakan global.

6.1.       Membangun Kesadaran Etis dan Moral

Langkah paling mendasar dalam mengatasi parsialitas adalah pendidikan etika dan penguatan kesadaran moral. Filsuf Martha Nussbaum menekankan pentingnya pendidikan moral berbasis empati dan keadilan sosial sebagai fondasi untuk membentuk warga negara yang mampu berpikir melampaui kepentingan pribadi atau kelompok sempit.1

Program pendidikan nilai yang berorientasi pada etika imparsial perlu dikembangkan, baik dalam sistem pendidikan formal maupun informal. Ini mencakup pelatihan guru, kurikulum yang inklusif, dan pembelajaran kritis terhadap keberpihakan struktural yang mungkin tertanam dalam norma sosial. Selain itu, penguatan nilai-nilai spiritual dan keagamaan juga dapat menjadi fondasi penting dalam membangun kesadaran keadilan, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai tradisi agama, termasuk Islam, yang menekankan prinsip ‘adl (keadilan) dan larangan al-mawālāt yang zalim (loyalitas yang tidak adil).2

6.2.       Penguatan Sistem Pengawasan dan Transparansi

Untuk mengelola parsialitas dalam ruang kelembagaan, sangat penting membangun mekanisme pengawasan yang independen dan akuntabel. Sistem transparansi publik, seperti open government data, laporan keuangan terbuka, serta mekanisme pengaduan publik, terbukti efektif dalam mengurangi praktik-praktik keberpihakan yang bersifat sistemik.3

Dalam konteks peradilan dan birokrasi, pembentukan lembaga etik dan pengawasan internal seperti ombudsman, komisi etik, atau unit whistleblower berfungsi sebagai pengontrol keberpihakan yang mungkin terjadi dalam pengambilan keputusan. Organisasi seperti Transparency International dan World Bank bahkan menempatkan transparansi sebagai salah satu indikator utama dari tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).4

6.3.       Penerapan Prinsip Imparsialitas dalam Kebijakan Publik

Kebijakan publik yang adil dan imparsial harus didasarkan pada analisis dampak sosial yang menyeluruh dan tidak bias terhadap kelompok tertentu. Prinsip equality of opportunity sebagaimana dikembangkan oleh John Rawls mendorong pembuatan kebijakan yang menjamin semua individu memiliki kesempatan yang setara, tanpa dibatasi oleh latar belakang sosial, ekonomi, atau politik.5

Untuk itu, penyusunan kebijakan harus melibatkan representasi lintas kelompok yang memungkinkan suara dari komunitas marjinal ikut terdengar. Hal ini sejalan dengan pendekatan deliberatif dalam demokrasi partisipatif sebagaimana dikembangkan oleh Jürgen Habermas, yang menekankan pentingnya komunikasi rasional yang bebas dari dominasi dalam proses pengambilan keputusan publik.6

6.4.       Peran Agama dan Kearifan Lokal

Agama dan kearifan lokal memegang peran penting dalam membentuk pola pikir dan nilai-nilai masyarakat. Dalam Islam, prinsip al-‘adalah (keadilan) dan al-amanah (kejujuran) menjadi pijakan moral yang melarang keberpihakan yang tidak adil. Al-Qur’an menegaskan:

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ 

“Dan janganlah kebencian terhadap suatu kaum membuat kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS. Al-Māidah [5] ayat 8).7

Di banyak komunitas adat, nilai-nilai seperti musyawarah, gotong royong, dan rasa malu berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk menjaga keseimbangan relasi antarwarga. Kearifan lokal ini dapat diperkuat sebagai bagian dari pendidikan karakter dan pemulihan kepercayaan sosial terhadap nilai keadilan komunal.

6.5.       Mendorong Literasi Sosial dan Media

Di era informasi, literasi media dan literasi sosial menjadi alat penting untuk melawan bias dan parsialitas yang menyebar melalui media. Individu perlu dilatih untuk mengenali berita yang bias, memahami pola framing, serta mampu memverifikasi kebenaran informasi. Menurut UNESCO, literasi media merupakan bagian integral dari pembentukan warga global yang kritis dan bertanggung jawab.8

Dengan memperkuat kesadaran kritis ini, masyarakat dapat lebih selektif dalam menerima dan menyebarkan informasi, serta lebih aktif dalam menolak narasi yang memecah belah dan bersifat parsial.


Dengan integrasi antara pendidikan moral, reformasi kelembagaan, kebijakan yang adil, dan pemberdayaan sosial, upaya mengatasi parsialitas dapat diarahkan menuju terbentuknya masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan beradab.


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 140–145.

[2]                Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, vol. 6 (Damaskus: Dār al-Fikr, 2002), 73–74.

[3]                Archon Fung, Mary Graham, dan David Weil, Full Disclosure: The Perils and Promise of Transparency (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 26–28.

[4]                Transparency International, Corruption Perceptions Index 2022, accessed March 24, 2025, https://www.transparency.org.

[5]                John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 44–46.

[6]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 304–308.

[7]                Al-Qur’an al-Karīm, Surah Al-Māidah [5]: 8.

[8]                UNESCO, Media and Information Literacy Curriculum for Teachers (Paris: UNESCO, 2011), 8–10.


7.           Studi Kasus dan Contoh Aktual

Untuk memahami bagaimana parsialitas bekerja dalam kehidupan nyata, penting untuk menelaah berbagai studi kasus dan fenomena aktual di berbagai bidang. Parsialitas tidak hanya hadir dalam bentuk hubungan personal, tetapi juga mewujud dalam kebijakan publik, pemberitaan media, sistem hukum, hingga pelayanan publik. Studi kasus berikut menggambarkan bentuk-bentuk konkret keberpihakan yang berdampak luas terhadap keadilan sosial.

7.1.       Parsialitas dalam Sistem Hukum: Kasus “Double Standard” Penegakan Hukum

Salah satu bentuk nyata parsialitas di banyak negara adalah praktik double standard dalam penegakan hukum. Di Indonesia, misalnya, publik beberapa kali menyoroti adanya perbedaan perlakuan hukum antara pejabat tinggi atau orang kaya dengan masyarakat biasa. Salah satu contohnya adalah perlakuan aparat terhadap kasus pelanggaran protokol kesehatan pada masa pandemi COVID-19.

Ketika masyarakat umum mendapat sanksi tegas karena melanggar aturan pembatasan sosial, sejumlah pejabat dan figur publik yang melanggar aturan serupa justru mendapatkan toleransi atau penanganan lunak. Laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa adanya relasi kuasa antara pelanggar dan penegak hukum menjadi salah satu penyebab utama ketidakadilan ini.1 Kasus seperti ini memperlihatkan bagaimana parsialitas dalam bentuk konflik kepentingan dapat menggerus prinsip keadilan hukum.

7.2.       Parsialitas dalam Media: Kasus Bias Pemberitaan Politik

Parsialitas media merupakan contoh lain yang sangat mencolok dan berdampak luas, terutama di masa pemilu. Dalam konteks Indonesia, penelitian oleh Remotivi, sebuah lembaga kajian media independen, menunjukkan bahwa sejumlah stasiun televisi nasional menunjukkan keberpihakan terhadap calon atau partai politik tertentu, baik secara langsung melalui konten berita maupun secara halus melalui pilihan narasi dan framing.2

Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran tentang manipulasi opini publik dan hilangnya fungsi media sebagai pengawas independen demokrasi (watchdog). Di negara seperti Amerika Serikat, fenomena serupa juga terjadi, dengan polarisasi media seperti Fox News dan MSNBC yang secara terang-terangan memihak kubu politik tertentu, menyebabkan masyarakat terjebak dalam echo chamber dan memperparah polarisasi politik.3

7.3.       Parsialitas dalam Pendidikan: Ketimpangan Akses dan Perlakuan

Dalam bidang pendidikan, parsialitas sering kali muncul dalam bentuk ketimpangan perlakuan antara siswa dari latar belakang sosial ekonomi berbeda. Penelitian oleh Lareau (2011) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga kelas menengah ke atas cenderung mendapat perhatian lebih dari guru, karena dianggap lebih potensial dan memiliki dukungan orang tua yang kuat.4

Situasi serupa juga ditemukan di berbagai negara berkembang. Di Indonesia, program afirmasi pendidikan seperti Beasiswa KIP Kuliah berupaya mengurangi dampak parsialitas struktural ini. Namun dalam praktiknya, proses seleksi dan distribusi manfaat kadang masih terhambat oleh keterbatasan data dan intervensi pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan lokal.5 Ini menunjukkan bahwa meskipun kebijakan afirmatif telah ada, parsialitas tetap bisa hadir dalam implementasinya.

7.4.       Parsialitas dalam Pelayanan Kesehatan: Diskriminasi Sosial dan Ekonomi

Studi oleh WHO menunjukkan bahwa individu dari kelompok miskin, minoritas etnis, dan daerah terpencil lebih sulit mengakses layanan kesehatan berkualitas, bahkan dalam sistem kesehatan universal sekalipun.6 Parsialitas dalam bentuk diskriminasi sistemik terjadi ketika tenaga medis atau kebijakan rumah sakit lebih mengutamakan pasien yang dianggap “layak” atau “berpengaruh.”

Contohnya dapat dilihat dari penanganan pasien COVID-19 di beberapa negara, di mana kelompok lansia, difabel, atau minoritas sering kali menjadi kelompok terakhir yang mendapatkan fasilitas perawatan intensif karena keterbatasan sumber daya medis. Diskusi etis tentang triase medis dan “prioritas” dalam penanganan pandemi ini memunculkan debat antara etika utilitarian dan hak atas perlakuan yang setara.7

7.5.       Parsialitas dalam Politik Identitas dan Konflik Sosial

Parsialitas yang berbasis pada identitas agama, etnis, atau ras telah menjadi pemicu berbagai konflik sosial di dunia. Salah satu contohnya adalah konflik etnis di Myanmar, di mana pemerintah dituduh melakukan tindakan diskriminatif terhadap etnis Rohingya melalui kebijakan yang tidak imparsial, termasuk pembatasan kewarganegaraan, pendidikan, dan perlindungan hukum.

Laporan dari Human Rights Watch menyebutkan bahwa keberpihakan aparat keamanan dan struktur pemerintahan terhadap kelompok mayoritas menjadi penyebab utama krisis kemanusiaan yang berujung pada eksodus besar-besaran warga Rohingya sejak 2017.8 Ini adalah contoh ekstrem bagaimana parsialitas yang dilembagakan (institutionalized partiality) dapat berubah menjadi pelanggaran hak asasi manusia berskala besar.


Melalui studi kasus di atas, terlihat bahwa parsialitas adalah fenomena yang nyata dan kompleks, melintasi batas sektor, kelas sosial, dan wilayah geografis. Kesadaran akan bentuk dan dampaknya menjadi langkah awal untuk membangun sistem sosial dan kebijakan yang lebih adil dan imparsial.


Footnotes

[1]                Indonesia Corruption Watch, Laporan Akhir Tahun 2020: Evaluasi Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi (Jakarta: ICW, 2021), 12–14.

[2]                Remotivi, Pemetaan Keberpihakan Media dalam Pemberitaan Pemilu 2019 (Jakarta: Remotivi, 2019), 5–9.

[3]                Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 79–84.

[4]                Annette Lareau, Unequal Childhoods: Class, Race, and Family Life, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 2011), 45–50.

[5]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Evaluasi Pelaksanaan Program Indonesia Pintar dan KIP Kuliah Tahun 2022 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2023), 18–22.

[6]                World Health Organization, World Health Statistics 2022: Monitoring Health for the SDGs (Geneva: WHO, 2022), 61–63.

[7]                Ezekiel J. Emanuel et al., “Fair Allocation of Scarce Medical Resources in the Time of Covid-19,” New England Journal of Medicine 382, no. 21 (2020): 2049–2055.

[8]                Human Rights Watch, “All You Can Do is Pray”: Crimes Against Humanity and Ethnic Cleansing of Rohingya Muslims in Burma’s Arakan State (New York: HRW, 2013), 27–30.


8.           Kesimpulan

Parsialitas merupakan fenomena sosial, etis, dan institusional yang kompleks serta berlapis. Sebagai sikap atau tindakan keberpihakan terhadap individu atau kelompok tertentu tanpa dasar objektif yang adil, parsialitas memiliki implikasi luas dalam kehidupan personal maupun kolektif. Dari tinjauan filosofis, etika deontologis Kantian dan teori keadilan Rawlsian menegaskan pentingnya prinsip imparsialitas sebagai dasar moralitas dan keadilan sosial.1 Sebaliknya, pendekatan partikularis dan etika relasional mengakui bahwa dalam konteks-konteks tertentu, keberpihakan dapat memiliki nilai moral tersendiri, terutama dalam relasi personal dan komunitas.2

Namun dalam praktik sosial dan kelembagaan, keberpihakan yang tidak proporsional cenderung melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan struktural. Parsialitas dalam sistem hukum, pendidikan, media, pelayanan publik, dan pemerintahan sering kali merusak integritas institusi, menciptakan diskriminasi, serta memperdalam kesenjangan sosial dan konflik antarkelompok.3 Ketika parsialitas menjadi bagian dari sistem dan norma yang dilembagakan, ia tidak hanya menjadi masalah etika, melainkan juga menjadi sumber krisis legitimasi dan kepercayaan publik.

Dampak parsialitas sangat nyata. Di tingkat individu, ia melahirkan rasa ketidakadilan, frustrasi, dan pengucilan. Di tingkat kelembagaan, ia menggerus kredibilitas serta efektivitas pelayanan publik. Di tingkat masyarakat, parsialitas mendorong polarisasi, memperkuat eksklusi sosial, bahkan dapat memicu konflik horizontal berkepanjangan.4 Oleh karena itu, mengelola parsialitas bukan hanya upaya moral, tetapi juga tanggung jawab struktural dan politis yang harus ditangani secara serius dan berkelanjutan.

Langkah-langkah strategis untuk mengatasi parsialitas telah dipaparkan: mulai dari pendidikan etika yang membangun kesadaran moral dan keadilan sosial,5 penguatan sistem transparansi dan akuntabilitas publik,6 penerapan kebijakan berbasis prinsip imparsialitas dan representasi inklusif,7 hingga revitalisasi nilai-nilai agama dan kearifan lokal yang menekankan keadilan dan kesetaraan.8 Literasi sosial dan media juga menjadi kunci penting dalam membentuk warga negara yang kritis dan tahan terhadap narasi-narasi keberpihakan yang menyesatkan.

Pada akhirnya, masyarakat yang adil tidak dibangun dari sikap netral yang pasif, tetapi dari keberanian untuk mengakui keberpihakan yang tidak adil, lalu secara aktif berjuang untuk menggantinya dengan prinsip-prinsip imparsialitas, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat setiap manusia. Seperti ditegaskan oleh Martha C. Nussbaum, “keadilan sosial tidak cukup hanya dengan merancang institusi yang baik, tetapi juga dengan membentuk manusia yang berjiwa adil.”_9


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 30–36; John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 302–303.

[2]                Michael Slote, The Ethics of Care and Empathy (London: Routledge, 2007), 54–56; Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global (Oxford: Oxford University Press, 2006), 15–19.

[3]                Transparency International, Global Corruption Report 2007: Corruption in Judicial Systems (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 23–25; Diane Reay, Miseducation: Inequality, Education and the Working Classes (Cambridge: Polity Press, 2017), 61–65.

[4]                Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, trans. Richard Nice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 164–171; Donald L. Horowitz, Ethnic Groups in Conflict, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 2000), 291–298.

[5]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 140–145.

[6]                Archon Fung, Mary Graham, dan David Weil, Full Disclosure: The Perils and Promise of Transparency (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 26–28.

[7]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 304–308.

[8]                Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, vol. 6 (Damaskus: Dār al-Fikr, 2002), 73–74; Al-Qur’an al-Karīm, Surah Al-Māidah [5]: 8.

[9]                Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 385.


Daftar Pustaka

American Bar Association. (2020). Model code of judicial conduct. ABA Publishing.

Bentham, J. (1907). An introduction to the principles of morals and legislation. Clarendon Press.

Bourdieu, P. (1977). Outline of a theory of practice (R. Nice, Trans.). Cambridge University Press.

Emanuel, E. J., Persad, G., Upshur, R., Thome, B., Parker, M., Glickman, A., ... & Phillips, J. P. (2020). Fair allocation of scarce medical resources in the time of Covid-19. New England Journal of Medicine, 382(21), 2049–2055. https://doi.org/10.1056/NEJMsb2005114

Fiske, S. T. (2014). Social beings: Core motives in social psychology (3rd ed.). Wiley.

Fung, A., Graham, M., & Weil, D. (2007). Full disclosure: The perils and promise of transparency. Cambridge University Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Held, V. (2006). The ethics of care: Personal, political, and global. Oxford University Press.

Herman, E. S., & Chomsky, N. (1988). Manufacturing consent: The political economy of the mass media. Pantheon Books.

Horowitz, D. L. (2000). Ethnic groups in conflict (2nd ed.). University of California Press.

Indonesia Corruption Watch. (2021). Laporan akhir tahun 2020: Evaluasi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. ICW.

Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1785)

Lareau, A. (2011). Unequal childhoods: Class, race, and family life (2nd ed.). University of California Press.

Mill, J. S. (1998). Utilitarianism (R. Crisp, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1861)

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rawls, J. (2001). Justice as fairness: A restatement (E. Kelly, Ed.). Harvard University Press.

Reay, D. (2017). Miseducation: Inequality, education and the working classes. Polity Press.

Remotivi. (2019). Pemetaan keberpihakan media dalam pemberitaan pemilu 2019. https://www.remotivi.or.id/

Rachels, J., & Rachels, S. (2015). The elements of moral philosophy (8th ed.). McGraw-Hill Education.

Slote, M. (2007). The ethics of care and empathy. Routledge.

Slote, M. (2010). Moral sentimentalism. Oxford University Press.

Steele, C. M. (2010). Whistling Vivaldi: How stereotypes affect us and what we can do. W. W. Norton & Company.

Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.

Transparency International. (2007). Global corruption report 2007: Corruption in judicial systems. Cambridge University Press.

Transparency International. (2022). Corruption perceptions index 2022. https://www.transparency.org/

Tyler, T. R. (2006). Why people obey the law (2nd ed.). Princeton University Press.

UNESCO. (2011). Media and information literacy curriculum for teachers. https://www.unesco.org/

Wahbah az-Zuhaili. (2002). al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu (Vol. 6). Dār al-Fikr.

World Health Organization. (2010). World health report 2010: Health systems financing. WHO.

World Health Organization. (2022). World health statistics 2022: Monitoring health for the SDGs. WHO.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar