Parsialitas
Antara Keadilan, Etika, dan Realitas Sosial
Alihkan ke: Keadilan, Etika,
Realitas Sosial.
Abstrak
Artikel ini membahas fenomena parsialitas sebagai
bentuk keberpihakan yang tidak adil, baik dalam konteks etika, filsafat, maupun
praktik sosial dan kelembagaan. Parsialitas dipahami sebagai kecenderungan
mendukung pihak tertentu tanpa dasar objektif yang sah, yang berlawanan dengan
prinsip imparsialitas yang menjadi landasan keadilan dalam banyak teori moral
klasik seperti etika Kantian dan teori keadilan Rawlsian. Dalam praktiknya,
parsialitas sering muncul dalam berbagai sektor, seperti sistem hukum, media,
pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kebijakan publik, serta berdampak
signifikan terhadap individu, integritas institusi, dan stabilitas sosial.
Artikel ini juga mengkaji upaya strategis untuk mengatasi dan mengelola
parsialitas melalui pendekatan etis, pendidikan, reformasi kelembagaan, serta
pemberdayaan nilai agama dan kearifan lokal. Melalui kajian mendalam dan
referensi akademik yang kredibel, tulisan ini menegaskan bahwa imparsialitas
bukan hanya cita-cita moral, tetapi kebutuhan struktural dalam membangun
masyarakat yang adil, inklusif, dan beradab.
Kata Kunci: Parsialitas, Imparsialitas, Etika, Keadilan Sosial,
Diskriminasi, Lembaga Publik, Filsafat Moral, Konflik Kepentingan.
PEMBAHASAN
Parsialitas Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Dalam berbagai lini
kehidupan manusia—baik pada level individu, komunitas, maupun
institusi—keputusan dan tindakan sering kali tidak terlepas dari pengaruh
subjektivitas dan kepentingan tertentu. Fenomena ini dikenal dengan istilah parsialitas,
yaitu suatu sikap atau tindakan yang condong kepada satu pihak dengan
mengabaikan prinsip keadilan dan objektivitas. Dalam konteks sosial dan etika,
parsialitas menjadi isu krusial karena dapat memunculkan ketimpangan dalam
perlakuan terhadap individu atau kelompok, yang pada gilirannya berpotensi
merusak tatanan sosial dan melemahkan kepercayaan publik terhadap
lembaga-lembaga yang semestinya bersikap netral dan adil.1
Kehadiran
parsialitas dalam kehidupan sosial tidak selalu tampak secara eksplisit. Ia
sering kali hadir dalam bentuk yang subtil dan dilegitimasi oleh norma-norma
sosial atau struktur kekuasaan yang telah mapan. Misalnya, keberpihakan
terhadap kelompok tertentu atas dasar kedekatan sosial atau kesamaan identitas
dapat diterima secara sosial, meskipun secara moral dan etis hal tersebut
melanggar prinsip keadilan distributif sebagaimana dijelaskan oleh John Rawls
dalam teori keadilannya.2 Dalam A Theory of Justice, Rawls
menekankan pentingnya prinsip imparsialitas sebagai landasan utama dalam
mendesain struktur dasar masyarakat yang adil, di mana setiap individu harus
diperlakukan sama kecuali jika ketimpangan tersebut menguntungkan yang paling
tidak beruntung.3
Sementara itu, dalam
konteks kelembagaan, seperti pengadilan, lembaga pemerintahan, media massa, dan
pendidikan, sikap parsial dapat berimplikasi sistemik. Keberpihakan yang
dilakukan oleh figur otoritatif bukan hanya mencederai rasa keadilan, tetapi
juga merusak integritas institusi yang bersangkutan. Misalnya, dalam praktik
peradilan, seorang hakim yang menunjukkan keberpihakan dapat dikatakan telah
melanggar prinsip judicial impartiality, yang secara
normatif merupakan fondasi dari sistem hukum yang adil dan dapat dipercaya.4
Permasalahan
parsialitas juga menjadi perhatian dalam filsafat moral. Immanuel Kant, dalam
pemikirannya mengenai etika deontologis, menyatakan bahwa tindakan yang
bermoral adalah tindakan yang dapat dijadikan hukum universal tanpa
pengecualian—artinya, ia harus bebas dari keberpihakan pribadi.5
Oleh karena itu, parsialitas dianggap bertentangan dengan tuntutan rasionalitas
moral yang bersifat universal dan objektif.
Di tengah
kompleksitas hubungan sosial dan dinamika kekuasaan, pembahasan mengenai
parsialitas menjadi penting tidak hanya sebagai upaya akademis untuk memahami
fenomena tersebut secara konseptual, tetapi juga sebagai langkah strategis
untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab. Dengan menggali akar
filosofis, etis, dan sosiologis dari parsialitas, serta menelaah dampak dan
solusinya secara komprehensif, diharapkan tulisan ini dapat memberikan
kontribusi intelektual yang bermakna bagi dunia pendidikan, kebijakan publik,
dan kehidupan sosial secara luas.
Footnotes
[1]
Fred Feldman, Introductory Ethics (Upper Saddle River:
Prentice Hall, 1978), 122.
[2]
John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 42–45.
[3]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 302.
[4]
Owen Fiss, “The Right Degree of Independence,” in Judging Judges,
ed. David L. Bazelon (New York: Macmillan, 1993), 42–59.
[5]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 30.
2.
Definisi dan Konsep Dasar Parsialitas
2.1.
Pengertian
Parsialitas
Secara etimologis,
istilah "parsialitas" berasal dari kata Latin parsialis,
yang berarti “berpihak” atau “berasal dari sebagian.” Dalam
Bahasa Inggris, kata partiality merujuk pada
kecenderungan atau keberpihakan terhadap seseorang atau sesuatu, yang umumnya
dianggap mengurangi objektivitas dan keadilan.1 Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), parsialitas dapat dimaknai sebagai “keberpihakan”
atau “ketidaknetralan.”2
Secara terminologis,
parsialitas merujuk pada sikap atau tindakan yang menunjukkan kecenderungan
mendukung satu pihak tertentu secara tidak proporsional, sering kali tanpa
alasan rasional atau keadilan yang dapat dibenarkan. Parsialitas bukan hanya
soal pilihan pribadi, tetapi berimplikasi serius ketika muncul dalam konteks
sosial, etika, hukum, dan kebijakan publik. Dalam ruang-ruang tersebut, sikap
parsial dapat berkonsekuensi terhadap ketidakadilan, ketimpangan distribusi hak
dan sumber daya, serta melemahkan kepercayaan terhadap institusi.
2.2.
Parsialitas vs.
Imparsialitas
Untuk memahami
parsialitas secara lebih dalam, penting untuk membandingkannya dengan konsep
lawannya, yaitu imparsialitas (impartiality).
Imparsialitas mengacu pada prinsip netralitas, yakni bersikap tanpa
keberpihakan, tidak memihak kepada siapa pun, dan menimbang semua pihak secara
setara.3 Dalam etika moral, imparsialitas sering diposisikan sebagai
landasan keadilan yang rasional dan objektif.
Filsuf moral James
Rachels menjelaskan bahwa prinsip imparsialitas menuntut kita untuk "memberi
pertimbangan moral yang sama kepada semua orang yang terkena dampak tindakan
kita, tanpa memprioritaskan kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu
secara tidak adil."_4 Artinya, tindakan yang benar secara
moral harus dapat dipertanggungjawabkan dari sudut pandang universal, bukan
sekadar berdasarkan kedekatan, preferensi, atau loyalitas.
Meski demikian,
dalam praktik kehidupan sehari-hari, garis antara parsialitas dan imparsialitas
tidak selalu jelas. Dalam situasi tertentu, keberpihakan dianggap etis,
terutama dalam konteks relasional seperti keluarga, sahabat, atau komunitas
lokal. Michael Slote, seorang filsuf dari aliran moral sentimentalism, menyatakan
bahwa kasih sayang dan empati terhadap orang terdekat dapat menjadi alasan
moral yang sah untuk berlaku parsial dalam batas-batas tertentu.5
2.3.
Istilah-Istilah
Terkait
Parsialitas memiliki
hubungan erat dengan sejumlah istilah yang sering kali digunakan secara
bergantian namun memiliki nuansa makna berbeda, di antaranya:
·
Bias:
Merujuk pada kecenderungan bawah sadar
atau sadar yang menyebabkan seseorang mengevaluasi atau memperlakukan pihak
lain secara tidak adil. Bias bisa bersifat kognitif, emosional, atau sistemik.6
·
Diskriminasi:
Perlakuan berbeda yang merugikan
individu atau kelompok berdasarkan identitas sosial tertentu (seperti ras,
agama, atau jenis kelamin). Diskriminasi merupakan bentuk konkret dari
parsialitas yang melanggar prinsip kesetaraan.
·
Konflik
Kepentingan (Conflict of Interest):
Situasi di mana seseorang memiliki
kepentingan pribadi yang dapat mempengaruhi objektivitasnya dalam menjalankan
tugas atau membuat keputusan profesional.
·
Nepotisme
dan Kroniisme:
Bentuk parsialitas dalam institusi,
yakni memberikan keuntungan kepada keluarga atau teman dekat, bukan berdasarkan
meritokrasi atau kelayakan.
Dengan memahami akar
dan bentuk-bentuk dasar parsialitas, kita dapat lebih bijak menilai
situasi-situasi keberpihakan yang kita hadapi, sekaligus membangun kesadaran
akan pentingnya imparsialitas dalam menjaga integritas moral dan sosial.
Footnotes
[1]
Oxford English Dictionary, s.v. “partiality,” accessed March 23, 2025, https://www.oed.com.
[2]
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, edisi V (Jakarta: Kemdikbudristek, 2023), s.v. “parsialitas.”
[3]
Brian Barry, Justice as Impartiality (Oxford: Oxford
University Press, 1995), 13.
[4]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy,
8th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2015), 182.
[5]
Michael Slote, The Ethics of Care and Empathy (London:
Routledge, 2007), 54–56.
[6]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 119–123.
3.
Parsialitas dalam Perspektif Filsafat dan Etika
Pertanyaan mengenai
apakah keberpihakan (parsialitas) dapat dibenarkan secara moral telah lama
menjadi pokok diskusi dalam filsafat etika. Di satu sisi, banyak teori etika
yang menempatkan imparsialitas sebagai prinsip
utama dalam menilai moralitas tindakan. Di sisi lain, terdapat pendekatan etika
yang mengakui nilai moral dalam relasi personal yang bersifat parsial, seperti
ikatan keluarga, persahabatan, atau komunitas. Oleh karena itu, pembahasan
mengenai parsialitas dalam perspektif etika tidak bersifat tunggal, melainkan
melibatkan berbagai pendekatan filosofis yang berbeda.
3.1.
Pandangan Etika
Deontologis (Immanuel Kant)
Dalam etika
deontologis yang dikembangkan oleh Immanuel Kant, tindakan moral bukanlah
ditentukan oleh akibatnya, melainkan oleh apakah tindakan tersebut dapat
dikategorikan sebagai kewajiban universal yang rasional. Kant mengemukakan
bahwa prinsip moral harus berlaku secara universal dan bebas dari kepentingan
pribadi atau hubungan emosional tertentu.1 Dengan kata lain, parsialitas
dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip moral,
karena menunjukkan keberpihakan yang tidak dapat dijadikan hukum universal.
Dalam Groundwork
of the Metaphysics of Morals, Kant menulis bahwa seseorang harus
bertindak menurut maksima yang dapat dijadikan hukum umum bagi semua orang.
Oleh karena itu, tindakan yang didasarkan pada keberpihakan personal dianggap
tidak rasional dan tidak bermoral, karena tidak dapat diterapkan secara adil
dalam semua situasi yang setara.2 Perspektif ini menekankan
pentingnya imparsialitas sebagai dasar keadilan moral.
3.2.
Pandangan
Utilitarianisme (Jeremy Bentham dan John Stuart Mill)
Dalam tradisi etika
teleologis atau konsekuensialis, seperti yang dikembangkan oleh
Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, suatu tindakan dianggap benar jika
menghasilkan manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak (the
greatest happiness for the greatest number). Dalam konteks ini,
keberpihakan dianggap bermasalah apabila menghambat tercapainya kesejahteraan
kolektif.3
John Stuart Mill
mengakui bahwa manusia secara alami memiliki afeksi dan relasi personal, namun
dalam keputusan moral, pertimbangan tersebut seharusnya tidak mengalahkan
prinsip keseimbangan manfaat umum. Dengan demikian, parsialitas
dianggap sah secara psikologis, tetapi tetap harus tunduk pada
prinsip utilitas dalam konteks sosial yang lebih luas.4 Misalnya,
membantu kerabat karena rasa kasih sayang diperbolehkan sejauh tidak melanggar
hak dan kesejahteraan orang lain secara signifikan.
3.3.
Etika Kasih dan
Relasionalitas (Partikularisme Moral)
Meski banyak
pendekatan etika menolak parsialitas, beberapa aliran etika
partikularis dan etika kasih (ethics of care)
justru mengakui keberpihakan sebagai aspek moral yang sah dan penting. Filsuf
seperti Michael Slote dan Virginia Held menekankan bahwa relasi personal
seperti keluarga, persahabatan, dan komunitas merupakan konteks moral yang sah
untuk keberpihakan tertentu, karena moralitas tidak selalu bersifat universal
dan abstrak, melainkan tumbuh dalam relasi konkret antarmanusia.5
Menurut pendekatan
ini, parsialitas
bukanlah bentuk ketidakadilan, tetapi ekspresi dari tanggung
jawab moral dalam jaringan sosial yang nyata. Sebagai contoh, seorang ibu yang
lebih memprioritaskan anaknya dalam situasi bahaya dianggap bertindak secara
etis karena kasih sayang dan tanggung jawab tersebut memiliki nilai moral
intrinsik.6
3.4.
Kritik terhadap
Parsialitas dalam Etika Sosial
Kendati demikian,
dalam kerangka etika sosial dan keadilan distributif,
parsialitas tetap menjadi isu yang kompleks. John Rawls, dalam A Theory
of Justice, menyatakan bahwa keadilan sosial hanya dapat terwujud
melalui prinsip-prinsip yang dipilih dalam situasi imparsial, yaitu "di
balik tirai ketidaktahuan" (veil of ignorance)—di mana
seseorang tidak mengetahui posisi sosialnya sehingga akan memilih prinsip yang
adil bagi semua.7 Dalam konteks ini, parsialitas dianggap membahayakan tatanan
sosial yang adil, karena membuka celah untuk ketimpangan
struktural dan diskriminasi.
Dengan demikian,
dalam perspektif etika dan filsafat, pandangan terhadap parsialitas sangat
bergantung pada pendekatan moral yang digunakan. Etika deontologis dan
utilitarian menekankan pentingnya imparsialitas sebagai dasar moralitas,
sementara pendekatan relasional mengakui nilai moral dalam keberpihakan yang
kontekstual. Kesadaran atas keragaman pandangan ini penting agar kita dapat
menilai tindakan keberpihakan secara bijak, baik dalam kehidupan pribadi maupun
dalam konteks sosial yang lebih luas.
Footnotes
[1]
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University
Press, 2008), 41–43.
[2]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 30–36.
[3]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 14–15.
[4]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford:
Oxford University Press, 1998), 43–47.
[5]
Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 15–19.
[6]
Michael Slote, Moral Sentimentalism (Oxford: Oxford University
Press, 2010), 103–106.
[7]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 118–123.
4.
Parsialitas dalam Praktik Sosial dan
Kelembagaan
Parsialitas bukan
hanya wacana filosofis atau etis, tetapi juga merupakan realitas sosial yang
hadir dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam
praktiknya, parsialitas kerap muncul dalam bentuk keberpihakan yang tidak
proporsional terhadap individu atau kelompok tertentu, terutama dalam konteks
kelembagaan seperti pemerintahan, pendidikan, media, dan hukum. Ketika
parsialitas menjadi bagian dari sistem sosial dan kelembagaan, ia dapat
menimbulkan ketimpangan struktural, diskriminasi sistemik, dan ketidakpercayaan
publik terhadap institusi yang semestinya menjunjung keadilan dan
imparsialitas.
4.1.
Parsialitas dalam
Pemerintahan dan Hukum
Salah satu ranah di
mana parsialitas memiliki dampak paling signifikan adalah dalam sistem
pemerintahan dan hukum. Dalam konteks ini, parsialitas dapat berupa
keberpihakan aparat penegak hukum, praktik nepotisme dalam birokrasi, atau
pengambilan kebijakan yang lebih menguntungkan kelompok elite tertentu.
Misalnya, parsialitas
yudisial (judicial partiality) terjadi ketika hakim atau
penegak hukum menunjukkan keberpihakan kepada salah satu pihak dalam
persidangan, baik karena tekanan politik, hubungan personal, maupun konflik
kepentingan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip imparsialitas
peradilan, yang menurut American Bar Association (ABA)
merupakan fondasi integritas sistem hukum demokratis.1
Lebih jauh,
nepotisme dan kolusi dalam birokrasi menjadi bentuk nyata parsialitas
struktural dalam pemerintahan. Transparansi International mencatat bahwa
praktik semacam ini memperparah ketimpangan sosial dan melemahkan kepercayaan
masyarakat terhadap negara.2 Negara-negara dengan indeks korupsi
tinggi sering kali menunjukkan korelasi langsung dengan tingginya praktik
parsialitas dalam pengambilan keputusan politik dan pelayanan publik.
4.2.
Parsialitas dalam
Dunia Pendidikan dan Kesehatan
Dalam sektor
pendidikan, parsialitas dapat terlihat dari perlakuan guru terhadap siswa, misalnya
dalam hal pemberian nilai atau perhatian yang tidak merata, yang sering kali
dipengaruhi oleh latar belakang sosial, ekonomi, atau kedekatan personal. Studi
yang dilakukan oleh Diane Reay menunjukkan bahwa sistem pendidikan di berbagai
negara cenderung mereproduksi ketidaksetaraan sosial melalui mekanisme parsial
yang tampak “normal,” seperti pengelompokan kelas atau perbedaan
perlakuan terhadap siswa berdasarkan status keluarga.3
Demikian pula di
sektor kesehatan, parsialitas muncul dalam bentuk akses layanan yang tidak
setara. WHO mencatat bahwa kelompok masyarakat miskin, perempuan, dan minoritas
sering kali menerima layanan yang lebih rendah kualitasnya dibandingkan
kelompok mayoritas atau ekonomi atas, meskipun mereka memiliki kebutuhan medis
yang sama.4 Hal ini menunjukkan bahwa keberpihakan sistemik dalam
pelayanan publik dapat menjadi akar dari ketidakadilan sosial yang luas.
4.3.
Parsialitas dalam
Media dan Informasi
Media massa dan
media sosial merupakan instrumen penting dalam membentuk opini publik. Namun,
keberpihakan dalam media—baik disengaja maupun tidak—dapat membentuk bias
informasi yang memengaruhi persepsi publik secara tidak proporsional. Fenomena
ini dikenal sebagai media bias, yaitu kecenderungan
media dalam menyajikan informasi yang berpihak pada kepentingan tertentu, baik
karena ideologi, afiliasi politik, atau tekanan ekonomi.
Menurut Noam Chomsky
dan Edward S. Herman dalam karya klasik mereka Manufacturing Consent, media arus
utama sering kali menjadi corong kekuasaan melalui struktur kepemilikan, iklan,
dan sumber informasi yang terpusat, sehingga apa yang dianggap “obyektif”
sebenarnya telah melalui proses seleksi parsial.5 Di era digital,
algoritma media sosial bahkan memperparah hal ini dengan menciptakan ruang gema
(echo
chamber) yang hanya memperkuat sudut pandang tertentu dan
mengabaikan keragaman pandangan.
4.4.
Parsialitas dalam
Relasi Sosial Sehari-hari
Dalam kehidupan
sehari-hari, parsialitas muncul dalam bentuk diskriminasi, stereotip, dan
prasangka. Hal ini terjadi dalam relasi antarindividu maupun antarkelompok,
seperti dalam kasus perundungan, perlakuan berbeda berdasarkan agama atau suku,
hingga ketimpangan gender. Psikolog sosial Susan Fiske menunjukkan bahwa
manusia cenderung memiliki ingroup bias, yaitu kecenderungan
untuk lebih memihak dan mempercayai anggota kelompok sendiri dibanding kelompok
luar, bahkan tanpa disadari.6
Meskipun hal ini
dapat dimaklumi dari sudut psikologi evolusioner, jika tidak dikendalikan, ingroup
bias dapat berkembang menjadi bentuk diskriminasi yang merusak
kohesi sosial dan menciptakan konflik antarkelompok.
Dengan demikian,
parsialitas dalam praktik sosial dan kelembagaan tidak hanya menjadi isu moral,
tetapi juga persoalan struktural yang berdampak luas terhadap keadilan,
kesejahteraan, dan integritas institusi publik. Oleh karena itu, kesadaran
kritis dan reformasi sistemik diperlukan untuk mengatasi berbagai bentuk
keberpihakan yang merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Footnotes
[1]
American Bar Association, Model Code of Judicial Conduct
(Chicago: ABA, 2020), Canon 2, Rule 2.2.
[2]
Transparency International, Global Corruption Report 2007:
Corruption in Judicial Systems (Cambridge: Cambridge University Press,
2007), 23–25.
[3]
Diane Reay, Miseducation: Inequality, Education and the Working
Classes (Cambridge: Polity Press, 2017), 61–65.
[4]
World Health Organization, World Health Report 2010: Health Systems
Financing (Geneva: WHO, 2010), 56–58.
[5]
Edward S. Herman and Noam Chomsky, Manufacturing Consent: The
Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988),
1–35.
[6]
Susan T. Fiske, Social Beings: Core Motives in Social Psychology,
3rd ed. (Hoboken, NJ: Wiley, 2014), 138–142.
5.
Dampak Parsialitas
Parsialitas bukan
hanya persoalan etis dan teoretis, tetapi memiliki dampak nyata yang luas dan
serius dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Ketika keberpihakan terjadi
secara sistemik dan tidak terkendali, ia dapat merusak prinsip keadilan,
memperdalam ketimpangan, dan menciptakan ketidakstabilan sosial. Dampak
parsialitas dapat dianalisis dalam tiga ranah utama: individu,
institusi,
dan masyarakat
secara keseluruhan.
5.1.
Dampak Terhadap
Individu
Parsialitas yang
dialami oleh individu—baik sebagai korban maupun pelaku—dapat menimbulkan
berbagai dampak psikologis dan sosial. Bagi korban, keberpihakan yang tidak
adil dapat menimbulkan perasaan frustrasi, kecewa, tidak dihargai, bahkan
trauma. Studi psikologi sosial oleh Claude Steele menunjukkan bahwa individu
yang terus-menerus mengalami ketidakadilan karena parsialitas cenderung mengalami
penurunan motivasi dan performa, yang dikenal sebagai stereotype
threat.1
Selain itu,
parsialitas juga berkontribusi terhadap kesenjangan kepercayaan sosial.
Ketika seseorang menyadari bahwa perlakuan yang diterimanya tidak setara dengan
pihak lain hanya karena identitas atau hubungan sosial tertentu, maka rasa
percaya terhadap sistem dan norma masyarakat pun akan melemah. Dalam jangka
panjang, hal ini dapat memunculkan sikap apatis, sinis, atau bahkan perlawanan
terhadap otoritas.
5.2.
Dampak Terhadap
Institusi
Institusi yang gagal
menjaga prinsip imparsialitas berisiko kehilangan legitimasi
moral dan sosial. Dalam konteks hukum, misalnya, pengadilan
yang diketahui berpihak akan kehilangan kepercayaan publik dan dianggap tidak
mampu menegakkan keadilan. Hal ini dijelaskan oleh Tom R. Tyler dalam
penelitiannya tentang keadilan prosedural: kepercayaan masyarakat terhadap
institusi hukum sangat tergantung pada persepsi terhadap keadilan proses, bukan
hanya hasil akhir.2
Begitu pula dalam
lembaga pendidikan atau pemerintahan, apabila keberpihakan terjadi—misalnya
melalui praktik nepotisme, diskriminasi, atau seleksi tidak objektif—maka
kredibilitas institusi tersebut akan menurun. Kepercayaan terhadap pemimpin dan
sistem pengambilan keputusan akan melemah, dan partisipasi masyarakat akan
menurun sebagai bentuk ekspresi kekecewaan terhadap ketidakadilan.
Dalam ranah media,
parsialitas berdampak langsung pada kualitas demokrasi. Media yang berpihak
atau memanipulasi informasi tidak hanya membelokkan persepsi publik, tetapi
juga memicu
polarisasi opini dan konflik sosial.3
5.3.
Dampak Terhadap
Masyarakat Luas
Parsialitas dalam
skala sosial berdampak sistemik. Ketika institusi dan norma sosial membiarkan
keberpihakan sebagai praktik yang “wajar” atau “lumrah,” maka akan
terbentuk struktur sosial yang timpang
dan sulit diubah. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk diskriminasi rasial, etnis,
agama, gender, atau kelas sosial yang terus-menerus direproduksi dalam
kebijakan dan praktik sosial.
Menurut Pierre
Bourdieu, keberpihakan yang terselubung dalam kebijakan atau struktur sosial
menghasilkan apa yang ia sebut sebagai “kekerasan simbolik” (symbolic
violence), yaitu mekanisme dominasi yang tampak alamiah, padahal
melestarikan ketidakadilan.4 Ini menjelaskan mengapa masyarakat yang
dipenuhi dengan praktik parsialitas akan mengalami reproduksi ketimpangan
secara turun-temurun.
Di tingkat politik,
parsialitas dapat memecah belah masyarakat dan memperparah konflik horizontal.
Studi oleh Donald L. Horowitz menunjukkan bahwa keberpihakan negara terhadap
kelompok tertentu dalam masyarakat majemuk kerap menjadi faktor pemicu konflik
etnis dan sektarian, yang sulit dikendalikan ketika sudah mengakar.5
Dengan demikian,
parsialitas memiliki dampak yang jauh lebih luas daripada sekadar ketidakadilan
personal. Ia merupakan ancaman terhadap solidaritas sosial, integritas kelembagaan, dan
stabilitas masyarakat. Oleh karena itu, upaya membangun budaya
imparsialitas dan kesadaran etis menjadi sangat penting dalam merespons
tantangan keberpihakan yang merugikan ini.
Footnotes
[1]
Claude M. Steele, Whistling Vivaldi: How Stereotypes Affect Us and
What We Can Do (New York: W.W. Norton & Company, 2010), 15–20.
[2]
Tom R. Tyler, Why People Obey the Law, 2nd ed. (Princeton:
Princeton University Press, 2006), 163–170.
[3]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social
Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 56–59.
[4]
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, trans. Richard
Nice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 164–171.
[5]
Donald L. Horowitz, Ethnic Groups in Conflict, 2nd ed.
(Berkeley: University of California Press, 2000), 291–298.
6.
Upaya Mengatasi dan Mengelola Parsialitas
Mengatasi
parsialitas memerlukan pendekatan yang multidimensi, karena ia tidak hanya
menyangkut persoalan individu dan moralitas, tetapi juga berkaitan erat dengan
sistem sosial, budaya, dan kebijakan publik. Upaya pengelolaan parsialitas
harus diarahkan untuk menciptakan sistem yang lebih adil,
transparan, dan partisipatif, baik dalam level personal,
kelembagaan, maupun struktural. Beberapa langkah berikut merupakan pendekatan
strategis yang dapat ditempuh berdasarkan kajian teoretis dan praktik kebijakan
global.
6.1.
Membangun Kesadaran
Etis dan Moral
Langkah paling
mendasar dalam mengatasi parsialitas adalah pendidikan etika dan penguatan
kesadaran moral. Filsuf Martha Nussbaum menekankan pentingnya pendidikan moral
berbasis empati dan keadilan sosial sebagai fondasi untuk membentuk warga negara
yang mampu berpikir melampaui kepentingan pribadi atau kelompok sempit.1
Program pendidikan
nilai yang berorientasi pada etika imparsial perlu
dikembangkan, baik dalam sistem pendidikan formal maupun informal. Ini mencakup
pelatihan guru, kurikulum yang inklusif, dan pembelajaran kritis terhadap
keberpihakan struktural yang mungkin tertanam dalam norma sosial. Selain itu,
penguatan nilai-nilai spiritual dan keagamaan juga dapat menjadi fondasi
penting dalam membangun kesadaran keadilan, sebagaimana ditegaskan dalam
berbagai tradisi agama, termasuk Islam, yang menekankan prinsip ‘adl
(keadilan) dan larangan al-mawālāt yang zalim (loyalitas
yang tidak adil).2
6.2.
Penguatan Sistem
Pengawasan dan Transparansi
Untuk mengelola
parsialitas dalam ruang kelembagaan, sangat penting membangun mekanisme
pengawasan yang independen dan akuntabel. Sistem transparansi
publik, seperti open government data, laporan
keuangan terbuka, serta mekanisme pengaduan publik, terbukti efektif dalam
mengurangi praktik-praktik keberpihakan yang bersifat sistemik.3
Dalam konteks
peradilan dan birokrasi, pembentukan lembaga etik dan pengawasan internal
seperti ombudsman, komisi
etik, atau unit whistleblower berfungsi
sebagai pengontrol keberpihakan yang mungkin terjadi dalam pengambilan
keputusan. Organisasi seperti Transparency International dan World Bank bahkan
menempatkan transparansi sebagai salah satu indikator utama dari tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance).4
6.3.
Penerapan Prinsip
Imparsialitas dalam Kebijakan Publik
Kebijakan publik
yang adil dan imparsial harus didasarkan pada analisis dampak sosial yang menyeluruh
dan tidak bias terhadap kelompok tertentu. Prinsip equality of opportunity sebagaimana
dikembangkan oleh John Rawls mendorong pembuatan kebijakan yang menjamin semua
individu memiliki kesempatan yang setara, tanpa dibatasi oleh latar belakang
sosial, ekonomi, atau politik.5
Untuk itu,
penyusunan kebijakan harus melibatkan representasi lintas kelompok
yang memungkinkan suara dari komunitas marjinal ikut terdengar. Hal ini sejalan
dengan pendekatan deliberatif dalam demokrasi partisipatif sebagaimana
dikembangkan oleh Jürgen Habermas, yang menekankan pentingnya komunikasi
rasional yang bebas dari dominasi dalam proses pengambilan keputusan publik.6
6.4.
Peran Agama dan
Kearifan Lokal
Agama dan kearifan
lokal memegang peran penting dalam membentuk pola pikir dan nilai-nilai
masyarakat. Dalam Islam, prinsip al-‘adalah (keadilan) dan al-amanah
(kejujuran) menjadi pijakan moral yang melarang keberpihakan yang tidak adil.
Al-Qur’an menegaskan:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ
أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ
أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ
“Dan
janganlah kebencian terhadap suatu kaum membuat kamu tidak berlaku adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS.
Al-Māidah [5] ayat 8).7
Di banyak komunitas
adat, nilai-nilai seperti musyawarah, gotong
royong, dan rasa malu berfungsi sebagai
mekanisme sosial untuk menjaga keseimbangan relasi antarwarga. Kearifan lokal
ini dapat diperkuat sebagai bagian dari pendidikan karakter dan pemulihan
kepercayaan sosial terhadap nilai keadilan komunal.
6.5.
Mendorong Literasi
Sosial dan Media
Di era informasi, literasi
media dan literasi sosial menjadi alat penting untuk melawan
bias dan parsialitas yang menyebar melalui media. Individu perlu dilatih untuk
mengenali berita yang bias, memahami pola framing, serta mampu memverifikasi
kebenaran informasi. Menurut UNESCO, literasi media merupakan bagian integral
dari pembentukan warga global yang kritis dan bertanggung jawab.8
Dengan memperkuat
kesadaran kritis ini, masyarakat dapat lebih selektif dalam menerima dan
menyebarkan informasi, serta lebih aktif dalam menolak narasi yang memecah
belah dan bersifat parsial.
Dengan integrasi
antara pendidikan moral, reformasi kelembagaan, kebijakan yang adil, dan
pemberdayaan sosial, upaya mengatasi parsialitas dapat diarahkan menuju terbentuknya
masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan beradab.
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 140–145.
[2]
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, vol. 6
(Damaskus: Dār al-Fikr, 2002), 73–74.
[3]
Archon Fung, Mary Graham, dan David Weil, Full Disclosure: The Perils
and Promise of Transparency (Cambridge: Cambridge University Press, 2007),
26–28.
[4]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2022,
accessed March 24, 2025, https://www.transparency.org.
[5]
John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 44–46.
[6]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT
Press, 1996), 304–308.
[7]
Al-Qur’an al-Karīm, Surah Al-Māidah [5]: 8.
[8]
UNESCO, Media and Information Literacy Curriculum for Teachers
(Paris: UNESCO, 2011), 8–10.
7.
Studi Kasus dan Contoh Aktual
Untuk memahami
bagaimana parsialitas bekerja dalam kehidupan nyata, penting untuk menelaah
berbagai studi kasus dan fenomena aktual di berbagai bidang. Parsialitas tidak
hanya hadir dalam bentuk hubungan personal, tetapi juga mewujud dalam kebijakan
publik, pemberitaan media, sistem hukum, hingga pelayanan publik. Studi kasus
berikut menggambarkan bentuk-bentuk konkret keberpihakan yang berdampak luas
terhadap keadilan sosial.
7.1.
Parsialitas dalam
Sistem Hukum: Kasus “Double Standard” Penegakan Hukum
Salah satu bentuk
nyata parsialitas di banyak negara adalah praktik double
standard dalam penegakan hukum. Di Indonesia, misalnya, publik
beberapa kali menyoroti adanya perbedaan perlakuan hukum antara pejabat tinggi
atau orang kaya dengan masyarakat biasa. Salah satu contohnya adalah perlakuan
aparat terhadap kasus pelanggaran protokol kesehatan pada masa pandemi COVID-19.
Ketika masyarakat
umum mendapat sanksi tegas karena melanggar aturan pembatasan sosial, sejumlah
pejabat dan figur publik yang melanggar aturan serupa justru mendapatkan
toleransi atau penanganan lunak. Laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan
bahwa adanya relasi kuasa antara pelanggar dan penegak hukum menjadi salah satu
penyebab utama ketidakadilan ini.1 Kasus seperti ini memperlihatkan
bagaimana parsialitas dalam bentuk konflik kepentingan
dapat menggerus prinsip keadilan hukum.
7.2.
Parsialitas dalam
Media: Kasus Bias Pemberitaan Politik
Parsialitas media
merupakan contoh lain yang sangat mencolok dan berdampak luas, terutama di masa
pemilu. Dalam konteks Indonesia, penelitian oleh Remotivi, sebuah lembaga kajian
media independen, menunjukkan bahwa sejumlah stasiun televisi nasional
menunjukkan keberpihakan terhadap calon atau partai politik tertentu, baik
secara langsung melalui konten berita maupun secara halus melalui pilihan
narasi dan framing.2
Fenomena ini
menimbulkan kekhawatiran tentang manipulasi opini publik dan
hilangnya fungsi media sebagai pengawas independen demokrasi (watchdog).
Di negara seperti Amerika Serikat, fenomena serupa juga terjadi, dengan
polarisasi media seperti Fox News dan MSNBC yang secara terang-terangan memihak
kubu politik tertentu, menyebabkan masyarakat terjebak dalam echo
chamber dan memperparah polarisasi politik.3
7.3.
Parsialitas dalam
Pendidikan: Ketimpangan Akses dan Perlakuan
Dalam bidang
pendidikan, parsialitas sering kali muncul dalam bentuk ketimpangan
perlakuan antara siswa dari latar belakang sosial ekonomi berbeda.
Penelitian oleh Lareau (2011) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa anak-anak
dari keluarga kelas menengah ke atas cenderung mendapat perhatian lebih dari
guru, karena dianggap lebih potensial dan memiliki dukungan orang tua yang
kuat.4
Situasi serupa juga
ditemukan di berbagai negara berkembang. Di Indonesia, program afirmasi
pendidikan seperti Beasiswa KIP Kuliah berupaya
mengurangi dampak parsialitas struktural ini. Namun dalam praktiknya, proses
seleksi dan distribusi manfaat kadang masih terhambat oleh keterbatasan data
dan intervensi pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan lokal.5
Ini menunjukkan bahwa meskipun kebijakan afirmatif telah ada, parsialitas
tetap bisa hadir dalam implementasinya.
7.4.
Parsialitas dalam
Pelayanan Kesehatan: Diskriminasi Sosial dan Ekonomi
Studi oleh WHO
menunjukkan bahwa individu dari kelompok miskin, minoritas etnis, dan daerah
terpencil lebih sulit mengakses layanan kesehatan berkualitas, bahkan dalam
sistem kesehatan universal sekalipun.6 Parsialitas dalam bentuk diskriminasi
sistemik terjadi ketika tenaga medis atau kebijakan rumah sakit
lebih mengutamakan pasien yang dianggap “layak” atau “berpengaruh.”
Contohnya dapat
dilihat dari penanganan pasien COVID-19 di beberapa negara, di mana kelompok
lansia, difabel, atau minoritas sering kali menjadi kelompok terakhir yang
mendapatkan fasilitas perawatan intensif karena keterbatasan sumber daya medis.
Diskusi etis tentang triase medis dan “prioritas”
dalam penanganan pandemi ini memunculkan debat antara etika utilitarian dan hak
atas perlakuan yang setara.7
7.5.
Parsialitas dalam
Politik Identitas dan Konflik Sosial
Parsialitas yang
berbasis pada identitas agama, etnis, atau ras
telah menjadi pemicu berbagai konflik sosial di dunia. Salah satu contohnya
adalah konflik etnis di Myanmar, di mana pemerintah dituduh melakukan tindakan
diskriminatif terhadap etnis Rohingya melalui kebijakan yang tidak imparsial,
termasuk pembatasan kewarganegaraan, pendidikan, dan perlindungan hukum.
Laporan dari Human
Rights Watch menyebutkan bahwa keberpihakan aparat keamanan dan
struktur pemerintahan terhadap kelompok mayoritas menjadi penyebab utama krisis
kemanusiaan yang berujung pada eksodus besar-besaran warga Rohingya sejak 2017.8
Ini adalah contoh ekstrem bagaimana parsialitas yang dilembagakan
(institutionalized partiality) dapat berubah menjadi
pelanggaran hak asasi manusia berskala besar.
Melalui studi kasus
di atas, terlihat bahwa parsialitas adalah fenomena yang nyata dan kompleks,
melintasi batas sektor, kelas sosial, dan wilayah geografis. Kesadaran akan
bentuk dan dampaknya menjadi langkah awal untuk membangun sistem sosial dan
kebijakan yang lebih adil dan imparsial.
Footnotes
[1]
Indonesia Corruption Watch, Laporan Akhir Tahun 2020: Evaluasi
Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi (Jakarta: ICW, 2021), 12–14.
[2]
Remotivi, Pemetaan Keberpihakan Media dalam Pemberitaan Pemilu 2019
(Jakarta: Remotivi, 2019), 5–9.
[3]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social
Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 79–84.
[4]
Annette Lareau, Unequal Childhoods: Class, Race, and Family Life,
2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 2011), 45–50.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Evaluasi
Pelaksanaan Program Indonesia Pintar dan KIP Kuliah Tahun 2022 (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2023), 18–22.
[6]
World Health Organization, World Health Statistics 2022: Monitoring
Health for the SDGs (Geneva: WHO, 2022), 61–63.
[7]
Ezekiel J. Emanuel et al., “Fair Allocation of Scarce Medical Resources
in the Time of Covid-19,” New England Journal of Medicine 382, no. 21
(2020): 2049–2055.
[8]
Human Rights Watch, “All You Can Do is Pray”: Crimes Against
Humanity and Ethnic Cleansing of Rohingya Muslims in Burma’s Arakan State
(New York: HRW, 2013), 27–30.
8.
Kesimpulan
Parsialitas
merupakan fenomena sosial, etis, dan institusional yang kompleks serta
berlapis. Sebagai sikap atau tindakan keberpihakan terhadap individu atau
kelompok tertentu tanpa dasar objektif yang adil, parsialitas memiliki
implikasi luas dalam kehidupan personal maupun kolektif. Dari tinjauan
filosofis, etika deontologis Kantian dan teori keadilan Rawlsian menegaskan
pentingnya prinsip imparsialitas sebagai dasar
moralitas dan keadilan sosial.1 Sebaliknya, pendekatan partikularis
dan etika relasional mengakui bahwa dalam konteks-konteks tertentu,
keberpihakan dapat memiliki nilai moral tersendiri, terutama dalam relasi
personal dan komunitas.2
Namun dalam praktik
sosial dan kelembagaan, keberpihakan yang tidak proporsional cenderung
melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan struktural.
Parsialitas dalam sistem hukum, pendidikan, media, pelayanan publik, dan
pemerintahan sering kali merusak integritas institusi, menciptakan
diskriminasi, serta memperdalam kesenjangan sosial dan konflik antarkelompok.3
Ketika parsialitas menjadi bagian dari sistem dan norma yang dilembagakan, ia
tidak hanya menjadi masalah etika, melainkan juga menjadi sumber krisis
legitimasi dan kepercayaan publik.
Dampak parsialitas
sangat nyata. Di tingkat individu, ia melahirkan rasa ketidakadilan, frustrasi,
dan pengucilan. Di tingkat kelembagaan, ia menggerus kredibilitas serta
efektivitas pelayanan publik. Di tingkat masyarakat, parsialitas mendorong
polarisasi, memperkuat eksklusi sosial, bahkan dapat memicu konflik horizontal
berkepanjangan.4 Oleh karena itu, mengelola parsialitas bukan hanya upaya moral,
tetapi juga tanggung jawab struktural dan politis yang harus
ditangani secara serius dan berkelanjutan.
Langkah-langkah
strategis untuk mengatasi parsialitas telah dipaparkan: mulai dari pendidikan
etika yang membangun kesadaran moral dan keadilan sosial,5 penguatan
sistem transparansi dan akuntabilitas publik,6 penerapan kebijakan
berbasis prinsip imparsialitas dan representasi inklusif,7 hingga
revitalisasi nilai-nilai agama dan kearifan lokal yang menekankan keadilan dan
kesetaraan.8 Literasi sosial dan media juga menjadi kunci penting
dalam membentuk warga negara yang kritis dan tahan terhadap narasi-narasi
keberpihakan yang menyesatkan.
Pada akhirnya,
masyarakat yang adil tidak dibangun dari sikap netral yang pasif, tetapi dari
keberanian untuk mengakui keberpihakan yang tidak adil, lalu secara aktif
berjuang untuk menggantinya dengan prinsip-prinsip imparsialitas, kesetaraan,
dan penghormatan terhadap martabat setiap manusia. Seperti ditegaskan oleh
Martha C. Nussbaum, “keadilan sosial tidak cukup hanya dengan merancang
institusi yang baik, tetapi juga dengan membentuk manusia yang berjiwa adil.”_9
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 30–36; John Rawls, A
Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971),
302–303.
[2]
Michael Slote, The Ethics of Care and Empathy (London:
Routledge, 2007), 54–56; Virginia Held, The Ethics of Care: Personal,
Political, and Global (Oxford: Oxford University Press, 2006), 15–19.
[3]
Transparency International, Global Corruption Report 2007:
Corruption in Judicial Systems (Cambridge: Cambridge University Press,
2007), 23–25; Diane Reay, Miseducation: Inequality, Education and the
Working Classes (Cambridge: Polity Press, 2017), 61–65.
[4]
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, trans.
Richard Nice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 164–171; Donald L.
Horowitz, Ethnic Groups in Conflict, 2nd ed. (Berkeley: University of
California Press, 2000), 291–298.
[5]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 140–145.
[6]
Archon Fung, Mary Graham, dan David Weil, Full Disclosure: The
Perils and Promise of Transparency (Cambridge: Cambridge University Press,
2007), 26–28.
[7]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT
Press, 1996), 304–308.
[8]
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, vol. 6
(Damaskus: Dār al-Fikr, 2002), 73–74; Al-Qur’an al-Karīm, Surah Al-Māidah [5]:
8.
[9]
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 385.
Daftar Pustaka
American Bar Association. (2020). Model code of
judicial conduct. ABA Publishing.
Bentham, J. (1907). An introduction to the
principles of morals and legislation. Clarendon Press.
Bourdieu, P. (1977). Outline of a theory of
practice (R. Nice, Trans.). Cambridge University Press.
Emanuel, E. J., Persad, G., Upshur, R., Thome, B.,
Parker, M., Glickman, A., ... & Phillips, J. P. (2020). Fair allocation of
scarce medical resources in the time of Covid-19. New England Journal of
Medicine, 382(21), 2049–2055. https://doi.org/10.1056/NEJMsb2005114
Fiske, S. T. (2014). Social beings: Core motives
in social psychology (3rd ed.). Wiley.
Fung, A., Graham, M., & Weil, D. (2007). Full
disclosure: The perils and promise of transparency. Cambridge University
Press.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms:
Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.).
MIT Press.
Held, V. (2006). The ethics of care: Personal, political,
and global. Oxford University Press.
Herman, E. S., & Chomsky, N. (1988). Manufacturing
consent: The political economy of the mass media. Pantheon Books.
Horowitz, D. L. (2000). Ethnic groups in
conflict (2nd ed.). University of California Press.
Indonesia Corruption Watch. (2021). Laporan
akhir tahun 2020: Evaluasi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. ICW.
Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow.
Farrar, Straus and Giroux.
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work
published 1785)
Lareau, A. (2011). Unequal childhoods: Class,
race, and family life (2nd ed.). University of California Press.
Mill, J. S. (1998). Utilitarianism (R.
Crisp, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1861)
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice:
Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Harvard University Press.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Harvard University Press.
Rawls, J. (2001). Justice as fairness: A
restatement (E. Kelly, Ed.). Harvard University Press.
Reay, D. (2017). Miseducation: Inequality,
education and the working classes. Polity Press.
Remotivi. (2019). Pemetaan keberpihakan media
dalam pemberitaan pemilu 2019. https://www.remotivi.or.id/
Rachels, J., & Rachels, S. (2015). The
elements of moral philosophy (8th ed.). McGraw-Hill Education.
Slote, M. (2007). The ethics of care and empathy.
Routledge.
Slote, M. (2010). Moral sentimentalism.
Oxford University Press.
Steele, C. M. (2010). Whistling Vivaldi: How
stereotypes affect us and what we can do. W. W. Norton & Company.
Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided
democracy in the age of social media. Princeton University Press.
Transparency International. (2007). Global
corruption report 2007: Corruption in judicial systems. Cambridge
University Press.
Transparency International. (2022). Corruption
perceptions index 2022. https://www.transparency.org/
Tyler, T. R. (2006). Why people obey the law
(2nd ed.). Princeton University Press.
UNESCO. (2011). Media and information literacy
curriculum for teachers. https://www.unesco.org/
Wahbah az-Zuhaili. (2002). al-Fiqh al-Islāmī wa
Adillatuhu (Vol. 6). Dār al-Fikr.
World Health Organization. (2010). World health
report 2010: Health systems financing. WHO.
World Health Organization. (2022). World health
statistics 2022: Monitoring health for the SDGs. WHO.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar