Kamis, 27 Maret 2025

Peripatetisme dan Teosofisme

Peripatetisme dan Teosofisme

Dinamika Rasionalitas dan Intuisi dalam Tradisi Keilmuan Islam


Alihkan ke: Peripatetisme (al-Masysha’iyyah) dan Teosofisme (al-‘Isyraqiyyah)


Abstrak

Artikel ini membahas dua aliran utama dalam tradisi filsafat Islam, yaitu Peripatetisme (al-Masysha’iyyah) dan Teosofisme (al-‘Isyraqiyyah), yang mewakili pendekatan rasional dan intuitif dalam pencarian hakikat kebenaran. Peripatetisme, yang dipengaruhi oleh filsafat Aristotelian dan Neoplatonik, berkembang melalui pemikiran al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina, dan menekankan pentingnya logika dan akal dalam memahami eksistensi. Sebaliknya, Teosofisme yang dipelopori oleh Suhrawardi mengutamakan iluminasi batin dan intuisi spiritual sebagai jalan menuju pengetahuan metafisik yang sejati. Artikel ini menguraikan konteks historis, epistemologis, serta perbandingan keduanya, dan menyoroti bagaimana sintesis dari dua pendekatan ini—sebagaimana diwujudkan oleh Mulla Sadra—membentuk fondasi filsafat Islam yang transenden. Penutup artikel menekankan relevansi warisan intelektual ini dalam menjawab tantangan modern melalui integrasi ilmu, akal, dan spiritualitas. Artikel ini ditopang oleh referensi-referensi akademik kredibel dari karya klasik dan kontemporer dalam studi filsafat Islam.

Kata Kunci: Filsafat Islam; Peripatetisme; Teosofisme; Ibn Sina; Suhrawardi; Mulla Sadra; Rasionalitas; Intuisi; Epistemologi Islam.


PEMBAHASAN

Peripatetisme dan Teosofisme dalam Filsafat Islam


1.           Pendahuluan

Filsafat Islam merupakan cabang penting dalam warisan intelektual Islam yang berkembang pesat sejak masa klasik hingga kini. Ia lahir dari proses interaksi dinamis antara ajaran-ajaran wahyu Islam dengan warisan filsafat Yunani dan Persia yang diterjemahkan dan dikaji ulang oleh para sarjana Muslim sejak abad ke-8 M. Dalam sejarahnya, dua aliran besar menonjol sebagai pusat gravitasi pemikiran filosofis dalam Islam, yaitu Peripatetisme (al-Masysha’iyyah) yang mengedepankan rasionalitas dan logika aristotelian, serta Teosofisme (al-Isyraqiyyah) yang menggabungkan antara filsafat dan intuisi spiritual yang mendalam.

Munculnya filsafat Islam tidak dapat dilepaskan dari proyek besar penerjemahan karya-karya filsafat Yunani di bawah perlindungan kekhalifahan Abbasiyah, khususnya di Bayt al-Hikmah di Baghdad. Karya-karya Plato, Aristoteles, dan Plotinus diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan menjadi dasar kajian para filsuf Muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina.¹ Dalam konteks ini, filsafat menjadi sarana penting untuk memperluas cakrawala intelektual Islam, dan bukan ancaman bagi agama, sebagaimana kerap disalahpahami.²

Aliran Peripatetisme menjadi tonggak awal sistematisasi filsafat dalam Islam. Tokoh-tokohnya seperti al-Farabi dan Ibn Sina memadukan logika Aristotelian dengan metafisika Islam, membentuk sintesis rasional yang mendalam dalam membahas hakikat wujud, jiwa, dan akal.³ Di sisi lain, aliran Teosofisme, yang dipelopori oleh Suhrawardi al-Maqtul, menekankan pentingnya pengalaman iluminatif (isyraq) dan intuisi batin sebagai sumber pengetahuan yang sahih, khususnya dalam ranah metafisika dan spiritualitas.⁴

Ketegangan sekaligus sinergi antara rasionalisme filosofis dan spiritualisme intuitif inilah yang menjadikan tradisi filsafat Islam unik dan kaya. Filsuf-filsuf besar seperti Mulla Sadra di era Safawi bahkan berusaha menggabungkan keduanya dalam suatu sistem filsafat transenden (al-hikmah al-muta‘aliyah), yang menempatkan akal, intuisi, dan wahyu dalam posisi harmonis.⁵

Melalui pembahasan tentang dua aliran besar ini, tulisan ini bertujuan untuk menelusuri akar-akar pemikiran filosofis Islam, memahami karakteristik epistemologis dan ontologis masing-masing aliran, serta menelaah kontribusinya dalam membangun khazanah keilmuan Islam klasik dan kontemporer. Di tengah arus modernitas dan tantangan peradaban, memahami dinamika antara rasionalitas dan intuisi dalam filsafat Islam dapat membuka ruang baru bagi rekonstruksi pemikiran Islam yang utuh dan kontekstual.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 4–6.

[2]                Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A History of Philosophy Without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press, 2016), 5–7.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 39–55.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Delmar: Caravan Books, 1976), 63–70.

[5]                Ibrahim Kalin, “Reason and Intuition in the Islamic Intellectual Tradition,” Islamic Studies 41, no. 4 (2002): 597–614.


2.           Konteks Historis dan Epistemologis Filsafat Islam

Filsafat Islam tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan dalam konteks historis dan kultural yang kompleks, di mana dunia Islam tengah berada dalam fase ekspansi geografis dan akumulasi intelektual yang pesat. Sejak abad ke-8 M, umat Islam telah mewarisi tradisi keilmuan yang luas, termasuk warisan filsafat Yunani, Persia, dan India. Proyek besar penerjemahan karya-karya klasik ke dalam bahasa Arab, terutama pada masa kekhalifahan Abbasiyah, menjadi batu loncatan utama bagi tumbuhnya diskursus filosofis dalam Islam.¹

Bayt al-Hikmah di Baghdad berperan sebagai pusat penerjemahan dan penelitian yang mengumpulkan para penerjemah dari berbagai latar belakang agama dan budaya. Di sinilah karya-karya Plato, Aristoteles, Galen, dan Plotinus diterjemahkan dan dikaji.² Salah satu tokoh penting dalam proses ini adalah Hunayn ibn Ishaq (809–873 M), seorang penerjemah Nestorian yang berkontribusi besar dalam menerjemahkan teks medis dan filosofis dari bahasa Yunani dan Suryani ke dalam bahasa Arab.³ Melalui usaha ini, para sarjana Muslim tidak hanya mempelajari teks-teks kuno, tetapi juga mengembangkan sistem pemikiran mereka sendiri yang khas, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.

Dalam konteks epistemologis, filsafat Islam dibangun atas dasar integrasi antara akal (‘aql) dan wahyu (wahy). Akal dipandang sebagai alat penting untuk memahami realitas, namun ia tidak berdiri sendiri; wahyu tetap menjadi sumber kebenaran tertinggi.⁴ Di sinilah letak kekhasan epistemologi Islam yang berbeda dari filsafat Barat sekuler. Pendekatan rasional yang dikembangkan oleh filsuf-filsuf Muslim tidak bertujuan menegasikan agama, melainkan memperkuat argumen-argumen teologis dan menjelaskan dimensi metafisik secara rasional.

Dua pendekatan epistemologis utama kemudian berkembang dalam tradisi filsafat Islam: pendekatan rasional-analitis (yang berkembang dalam aliran Peripatetisme) dan pendekatan intuitif-iluminatif (yang menjadi ciri khas Teosofisme). Pendekatan rasional-analitis menekankan pentingnya logika, deduksi, dan struktur argumen filosofis sebagaimana terlihat dalam karya al-Farabi dan Ibn Sina. Sementara itu, pendekatan iluminatif yang diperkenalkan oleh Suhrawardi menekankan intuisi batin (dzawq) dan pengalaman langsung terhadap hakikat, yang tidak sepenuhnya bisa dicapai oleh rasio.⁵

Kedua pendekatan ini tidak selalu bertentangan, namun sering kali saling melengkapi dalam tradisi filsafat Islam. Para pemikir seperti Mulla Sadra berusaha mensintesiskan keduanya dalam satu kesatuan epistemologis yang mengintegrasikan tiga sumber pengetahuan: akal, intuisi spiritual, dan wahyu.⁶

Dengan demikian, filsafat Islam berdiri sebagai tradisi intelektual yang khas, yang tidak hanya mengandalkan rasionalitas Barat, tetapi juga memperkaya pendekatan keilmuan dengan dimensi spiritual yang mendalam. Dalam lanskap inilah Peripatetisme dan Teosofisme memainkan peran penting sebagai dua kutub utama dalam dinamika pemikiran Islam.


Footnotes

[1]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society (London: Routledge, 1998), 2–3.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 11–14.

[3]                Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2019), 12–15.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 32–36.

[5]                Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Delmar: Caravan Books, 1976), 64–68.

[6]                Ibrahim Kalin, “Reason and Intuition in the Islamic Intellectual Tradition,” Islamic Studies 41, no. 4 (2002): 601–608.


3.           Aliran Peripatetisme (Aliran al-Masysha’iyyah)

3.1.       Definisi dan Asal-usul

Peripatetisme dalam filsafat Islam, yang dikenal dengan istilah al-Masysha’iyyah, berasal dari tradisi filsafat Yunani klasik, khususnya ajaran Aristoteles, yang diteruskan dan disistematisasi oleh para filsuf Muslim. Istilah “Peripatetik” sendiri berasal dari kata Yunani peripatein (περιπατεῖν) yang berarti “berjalan-jalan,” merujuk pada cara Aristoteles mengajar sambil berjalan di Lyceum.¹

Dalam konteks Islam, Peripatetisme ditandai dengan pendekatan yang sangat sistematis, rasional, dan logis terhadap realitas metafisik, kosmologi, psikologi, dan etika. Aliran ini bertumpu pada logika sebagai alat utama epistemologi, dan berupaya menjelaskan realitas secara deduktif berdasarkan prinsip-prinsip akal.²

3.2.       Tokoh-Tokoh Utama

3.2.1.    Al-Kindi (w. 873 M)

Al-Kindi dikenal sebagai filsuf Islam pertama dan dijuluki Faylasuf al-‘Arab. Ia berperan penting dalam memperkenalkan filsafat Yunani ke dalam dunia Islam. Al-Kindi berusaha menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat dan agama, dan bahwa kebenaran yang datang dari filsafat tidak akan bertentangan dengan wahyu.³ Ia juga membela penggunaan akal dalam memahami eksistensi Tuhan dan jiwa manusia, meski tidak menyusun sistem metafisika yang sekompleks penerusnya.

3.2.2.    Al-Farabi (w. 950 M)

Al-Farabi dianggap sebagai pendiri sistem filsafat Islam yang sejati. Ia mengembangkan teori tentang emanasi (fayd) dan struktur hierarkis alam semesta yang berpuncak pada al-‘Aql al-Awwal (akal pertama) dan bergerak secara berjenjang hingga dunia materi.⁴ Dalam bidang politik, ia menulis Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, yang menampilkan pandangan idealis tentang negara utama yang dipimpin oleh nabi-filsuf, mirip dengan filsafat politik Plato.⁵

3.2.3.    Ibn Sina (Avicenna) (w. 1037 M)

Puncak pemikiran Peripatetisme dalam Islam ditemukan dalam karya Ibn Sina, yang berhasil mensintesiskan filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme dengan ajaran Islam dalam sistem metafisika yang kompleks dan koheren.⁶ Ibn Sina mengembangkan argumen keberadaan Tuhan melalui konsep “wajib al-wujud” (yang wajib ada), serta teori jiwa yang membedakan antara jiwa rasional, jiwa hewani, dan jiwa nabati.⁷ Ia juga terkenal dengan eksperimen mental tentang “manusia melayang” (floating man), yang menunjukkan eksistensi jiwa sebagai substansi independen dari tubuh.⁸

3.3.       Kontribusi terhadap Filsafat Islam dan Ilmu Pengetahuan

Peripatetisme telah memberikan kontribusi signifikan dalam perkembangan tidak hanya filsafat, tetapi juga ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam. Tokoh-tokoh aliran ini mengembangkan ilmu logika, fisika, metafisika, psikologi, dan kosmologi dengan metode rasional yang sistematis. Ibn Sina, misalnya, sangat berpengaruh dalam bidang kedokteran, di mana karyanya Al-Qanun fi al-Tibb menjadi rujukan medis utama di dunia Islam dan Eropa selama berabad-abad.⁹

Secara epistemologis, Peripatetisme menekankan peran akal aktif (al-‘aql al-fa‘al) dalam proses intelektual dan pencerapan ilmu pengetahuan. Hubungan antara akal dan bentuk-bentuk universal menjadi pusat perhatian dalam pemikiran Peripatetisme.¹⁰ Dalam kerangka ini, filsafat tidak hanya menjadi latihan intelektual, tetapi juga jalan menuju penyempurnaan jiwa dan kebahagiaan manusia yang sejati (sa‘adah).

Pengaruh Peripatetisme tidak terbatas pada dunia Islam. Karya-karya Ibn Sina dan al-Farabi diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan menjadi referensi utama di kalangan filsuf skolastik seperti Thomas Aquinas dan Albertus Magnus.¹¹ Di Barat, aliran ini dikenal sebagai Avicennianism, dan memiliki andil besar dalam membentuk sintesis antara filsafat dan teologi Kristen pada Abad Pertengahan.


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 29.

[2]                Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A History of Philosophy Without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press, 2016), 58–60.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 61–65.

[4]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition: Introduction to Reading Avicenna’s Philosophical Works (Leiden: Brill, 2001), 13–17.

[5]                Al-Farabi, The Political Regime (al-Siyasa al-Madaniyya), trans. Fauzi M. Najjar (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2009), 3–10.

[6]                Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Delmar: Caravan Books, 1976), 15–32.

[7]                Leaman, Classical Islamic Philosophy, 73–76.

[8]                Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition, 226–230.

[9]                Nasr, Science and Civilization in Islam, 151–155.

[10]             Kalin, “Reason and Intuition in the Islamic Intellectual Tradition,” Islamic Studies 41, no. 4 (2002): 600.

[11]             Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 225–230.


4.           Aliran Teosofisme (Aliran al-‘Isyraqiyyah)

4.1.       Definisi dan Asal-usul

Aliran Teosofisme Islam, atau yang dikenal sebagai al-Hikmah al-Isyraqiyyah (filsafat iluminasi), merupakan salah satu cabang penting dalam tradisi filsafat Islam yang menekankan pentingnya intuisi batin (dzawq) dan pencerahan spiritual sebagai sumber utama pengetahuan metafisis. Berbeda dari Peripatetisme yang sangat mengandalkan rasionalitas dan logika Aristotelian, aliran ini berangkat dari keyakinan bahwa kebenaran tidak hanya dapat dicapai melalui akal semata, melainkan juga melalui pengalaman langsung terhadap cahaya ilahi.¹

Filsafat iluminasi ini pertama kali disistematisasi oleh Shihab al-Din al-Suhrawardi (1155–1191 M), seorang filsuf Persia yang kemudian dikenal sebagai al-Syaikh al-Isyraq. Ia mendirikan aliran ini sebagai kritik sekaligus koreksi terhadap filsafat Peripatetisme Ibn Sina yang menurutnya terlalu mengandalkan argumentasi rasional dan belum menyentuh dimensi intuisi spiritual yang lebih tinggi.²

4.2.       Tokoh-Tokoh Utama

Shihab al-Din al-Suhrawardi (w. 1191 M)

Suhrawardi merupakan tokoh sentral dan pendiri aliran Isyraqiyyah. Ia tidak hanya menguasai filsafat Peripatetik, tetapi juga mengintegrasikan unsur-unsur filsafat Neoplatonik, Gnostik, Zoroastrianisme kuno, dan ajaran mistik Islam. Dalam magnum opus-nya Hikmat al-Isyraq (Filsafat Iluminasi), Suhrawardi menggambarkan realitas sebagai hirarki cahaya (nur), di mana seluruh wujud merupakan pancaran dari Cahaya Segala Cahaya (Nur al-Anwar), yakni Tuhan.³

Konsep utama dalam filsafat Suhrawardi adalah teori iluminasi, yaitu keyakinan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui penyinaran batiniah (isyraq) yang terjadi ketika jiwa manusia terbebas dari kegelapan materi. Hal ini menempatkan pengalaman spiritual (kasyf) sebagai kunci utama dalam epistemologi.⁴

Suhrawardi juga mengkritik pendekatan Aristotelian tentang substansi dan aksiden, dan lebih memilih pendekatan simbolik dan mistikal dalam menjelaskan struktur realitas. Dalam kosmologinya, ia membangun sebuah sistem wujud berdasarkan tingkatan cahaya, dari Nur al-Anwar hingga ke wujud-wujud yang lebih rendah dan gelap.⁵

4.3.       Perbedaan Epistemologis dengan Peripatetisme

Perbedaan utama antara Teosofisme dan Peripatetisme terletak pada sumber pengetahuan dan cara pencapaiannya. Peripatetisme berpijak pada logika deduktif dan observasi empiris sebagai jalan utama menuju kebenaran. Sementara itu, Teosofisme menekankan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan dan bahwa iluminasi batin yang diperoleh melalui penyucian jiwa dan latihan spiritual adalah metode yang lebih tinggi dan menyeluruh untuk memperoleh hakikat.⁶

Dalam filsafat iluminasi, intuisi dan pengalaman mistik tidak hanya dilihat sebagai pelengkap akal, tetapi sebagai inti dari pencapaian filosofis yang sejati. Suhrawardi bahkan menyatakan bahwa filsuf sejati adalah orang yang telah mengalami isyraq, bukan sekadar orang yang pandai berlogika.⁷

Pendekatan ini menjadikan filsafat Isyraqiyyah sangat dekat dengan tasawuf, meskipun tetap menjaga struktur filosofis dan sistematisnya. Karena itu, filsafat iluminasi sering diposisikan sebagai jembatan antara rasionalisme filsafat dan spiritualisme tasawuf.⁸

4.4.       Pengaruh dan Warisan

Filsafat Isyraqiyyah meninggalkan pengaruh besar dalam tradisi filsafat Islam, terutama di wilayah Iran dan Asia Tengah. Pemikiran Suhrawardi menjadi fondasi penting bagi para filsuf Persia seperti Mulla Sadra (w. 1640 M), yang kemudian mensintesiskan Peripatetisme dan Isyraqiyyah dalam sistem al-hikmah al-muta‘aliyyah (filsafat transenden).⁹

Di Barat modern, filsafat iluminasi Suhrawardi banyak dikaji oleh orientalis dan filsuf seperti Henry Corbin, yang melihatnya sebagai representasi dari dimensi esoteris Islam yang mendalam. Corbin memandang bahwa Suhrawardi memperkenalkan imaginal world (alam mitsal), yang membuka cakrawala baru dalam filsafat spiritual Islam.¹⁰

Dengan mengedepankan aspek batin, simbolisme, dan intuisi spiritual, aliran Teosofisme menawarkan pendekatan alternatif terhadap realitas dan kebenaran, yang relevan bagi pencarian makna yang tidak terbatas pada batas-batas rasionalitas material.


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 121–124.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 252–255.

[3]                Shihab al-Din Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1999), 6–10.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Delmar: Caravan Books, 1976), 65–72.

[5]                Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 189–192.

[6]                Ibrahim Kalin, “Reason and Intuition in the Islamic Intellectual Tradition,” Islamic Studies 41, no. 4 (2002): 603–607.

[7]                Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, 45–47.

[8]                Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 112–114.

[9]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 53–60.

[10]             Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism, trans. Nancy Pearson (Princeton: Princeton University Press, 1978), 10–15.


5.           Perbandingan antara Peripatetisme dan Teosofisme

Peripatetisme dan Teosofisme adalah dua aliran besar dalam filsafat Islam yang merepresentasikan dua pendekatan epistemologis yang berbeda, namun saling melengkapi dalam pencarian terhadap kebenaran dan hakikat wujud. Keduanya berakar pada tradisi filsafat Yunani, namun berkembang dalam arah yang khas sesuai dengan corak spiritual dan intelektual Islam. Dalam perbandingan ini, kita dapat mengidentifikasi sejumlah perbedaan dan persamaan mendasar dalam aspek epistemologis, ontologis, metodologis, dan tujuan akhir filsafat.

5.1.       Perbedaan Epistemologis dan Metodologis

Perbedaan yang paling nyata antara Peripatetisme dan Teosofisme terletak pada sumber dan metode pencapaian pengetahuan.

Peripatetisme (al-Masysha’iyyah), yang berakar pada ajaran Aristoteles, menekankan penggunaan akal (al-‘aql) dan logika deduktif sebagai sarana utama untuk mencapai kebenaran. Dalam sistem Ibn Sina, misalnya, pengetahuan diperoleh melalui proses abstraksi bentuk-bentuk universal dari pengalaman indrawi, yang kemudian diolah oleh akal aktif (al-‘aql al-fa‘al) menuju pengetahuan intelektual.¹

Sebaliknya, Teosofisme (al-‘Isyraqiyyah), sebagaimana dikembangkan oleh Suhrawardi, meyakini bahwa rasio manusia memiliki keterbatasan dan tidak mampu menembus kedalaman hakikat secara sempurna. Oleh karena itu, pendekatan iluminatif (isyraq) menempatkan intuisi batiniah (dzawq), penyucian jiwa, dan pencerahan spiritual sebagai metode utama dalam memperoleh pengetahuan.² Dalam filsafat iluminasi, pengetahuan yang sejati tidak sekadar hasil dari analisis logis, melainkan buah dari pengalaman spiritual langsung yang datang dari Cahaya Ilahi.³

5.2.       Perbedaan Ontologis: Pandangan tentang Realitas

Dalam dimensi ontologi, Peripatetisme memandang realitas secara hierarkis berdasarkan teori emanasi: Tuhan sebagai Wajib al-Wujud adalah sumber dari semua wujud lainnya yang muncul melalui proses emanasi intelektual, dimulai dari akal pertama hingga realitas material. Struktur wujud bersifat rasional dan teratur, serta dapat dipahami melalui akal manusia.⁴

Sementara itu, Teosofisme memahami realitas sebagai hirarki cahaya. Tuhan adalah Nur al-Anwar (Cahaya dari segala cahaya), dan seluruh wujud merupakan peringkat-peringkat cahaya yang lebih rendah. Ontologi Suhrawardi tidak berbicara dalam istilah substansi dan aksiden seperti Aristoteles, melainkan dalam istilah spiritual yang bersifat simbolik dan iluminatif.⁵ Dengan demikian, realitas bukan hanya dipahami, tetapi juga dihayati secara batiniah melalui perjalanan spiritual jiwa.

5.3.       Tujuan Filsafat: Teoretis vs Transformatif

Tujuan akhir filsafat dalam kedua aliran ini juga berbeda.

Dalam Peripatetisme, tujuan utama filsafat adalah menyempurnakan akal dan mencapai kebahagiaan intelektual (sa‘adah), yakni keterhubungan dengan akal aktif dan pengenalan terhadap hakikat melalui rasio. Hal ini sejalan dengan pandangan Aristotelian bahwa manusia adalah makhluk rasional dan kesempurnaan dicapai melalui kontemplasi intelektual.⁶

Di sisi lain, dalam Teosofisme, filsafat bukan hanya upaya intelektual, tetapi juga proses transformasi jiwa. Tujuannya adalah mencapai penyatuan spiritual dengan Cahaya Ilahi, yaitu mengenal Tuhan bukan sekadar sebagai objek pengetahuan, tetapi sebagai pengalaman langsung yang menyinari seluruh keberadaan.⁷ Maka, filsuf ideal dalam tradisi Isyraqiyyah bukan hanya orang yang berpikir logis, tetapi juga ‘arif (yang ma‘rifat), yaitu mereka yang telah mengalami kebenaran secara intuitif.

5.4.       Titik Temu dan Sintesis

Meski berbeda pendekatan, keduanya tidak saling menafikan. Dalam sejarah filsafat Islam, terutama melalui tokoh seperti Mulla Sadra (w. 1640 M), terjadi sintesis kreatif antara rasionalisme Peripatetik dan intuisionisme Isyraqiyyah. Sadra mengembangkan filsafat al-hikmah al-muta‘aliyyah (filsafat transenden), yang menggabungkan burhan (demonstrasi rasional), kasyf (intuisi spiritual), dan wahyu sebagai tiga sumber utama kebenaran.⁸

Hal ini menunjukkan bahwa dalam tradisi Islam, pendekatan rasional dan intuitif tidak harus dipertentangkan, melainkan dapat saling melengkapi dalam mengantarkan manusia kepada pemahaman yang lebih utuh tentang realitas dan Tuhan.


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 73–76.

[2]                Shihab al-Din Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1999), 45–47.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Delmar: Caravan Books, 1976), 66–69.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 153–157.

[5]                Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 192–196.

[6]                Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 132–134.

[7]                Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 114–117.

[8]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 73–78.


6.           Warisan dan Relevansi Kontemporer

Peripatetisme dan Teosofisme bukan hanya merupakan produk intelektual masa lalu, melainkan warisan hidup dalam tradisi pemikiran Islam yang terus memberikan pengaruh hingga era modern dan kontemporer. Warisan kedua aliran ini tampak dalam beragam bentuk: mulai dari sistem pendidikan tradisional di dunia Islam, filsafat kalam, tasawuf falsafi, hingga pengaruhnya terhadap diskursus filsafat dan teologi kontemporer, baik di Timur maupun Barat.

6.1.       Warisan Intelektual dan Historis

Secara historis, Peripatetisme melahirkan tradisi filsafat yang logis, sistematis, dan kuat secara argumentatif. Ia menjadi fondasi dari madrasah filsafat Islam seperti mazhab Mashsha’iyyun dan Avicennianism, serta memengaruhi pemikiran filsafat di dunia Kristen Latin.¹ Banyak karya Ibn Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sejak abad ke-12 dan memengaruhi tokoh-tokoh skolastik seperti Thomas Aquinas.²

Sementara itu, Teosofisme yang dipelopori oleh Suhrawardi berkembang terutama di kawasan Persia dan Asia Tengah, dan menemukan bentuk lanjutannya dalam filsafat al-hikmah al-muta‘aliyyah oleh Mulla Sadra. Sadra menggabungkan rasionalisme Peripatetik, intuisi iluminatif Isyraqiyyah, dan spiritualitas akhlak sufistik menjadi sistem filsafat yang menyeluruh dan berpengaruh besar dalam pendidikan keagamaan di dunia Syiah hingga kini.³

6.2.       Pengaruh terhadap Tradisi Keilmuan Islam

Jejak pemikiran Peripatetisme dan Teosofisme masih dapat ditemukan dalam kurikulum lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional, seperti hawzah di Iran dan Irak, serta sebagian pesantren di dunia Melayu yang mengkaji kitab-kitab metafisika dan logika Islam.⁴ Di lingkungan Sunni, meskipun filsafat tidak selalu dominan, namun konsep-konsep seperti wujud, jiwa, dan akal aktif tetap hadir dalam kajian kalam mutaakhir dan dalam tasawuf falsafi yang dipengaruhi oleh Ibn Arabi dan penerusnya.

Pendekatan integratif terhadap ilmu pengetahuan juga mengacu pada semangat filsafat Islam yang tidak memisahkan antara akal dan wahyu.⁵ Para pemikir modern seperti Fazlur Rahman, Seyyed Hossein Nasr, dan Ibrahim Kalin menghidupkan kembali metode filsafat Islam klasik untuk menjawab persoalan kontemporer seperti krisis spiritualitas, fragmentasi ilmu, dan ketegangan antara agama dan sains.⁶

6.3.       Relevansi dalam Konteks Modern

Dalam dunia modern yang didominasi oleh pendekatan empiris dan rasionalitas materialistik, filsafat Islam—terutama melalui sintesis antara Peripatetisme dan Teosofisme—menawarkan alternatif epistemologis yang menghargai akal sekaligus intuisi, analisis sekaligus kontemplasi, dan ilmu sekaligus hikmah. Hal ini sangat relevan dalam menjembatani dikotomi yang selama ini menghambat integrasi antara sains dan spiritualitas.⁷

Di tengah kebangkitan minat terhadap filsafat Islam, banyak universitas di dunia Muslim mulai memasukkan kembali filsafat Islam dalam kurikulum mereka. Di Barat, studi tentang Suhrawardi, Ibn Sina, dan Mulla Sadra berkembang pesat melalui kontribusi para orientalis dan filsuf modern seperti Henry Corbin, William Chittick, dan Hossein Ziai.⁸

Dalam konteks keislaman yang lebih luas, pendekatan filosofis ini juga berpotensi memperkaya diskusi mengenai toleransi, pluralitas, dan pemahaman lintas budaya, karena filsafat Islam mengajarkan keterbukaan terhadap pengetahuan dari berbagai tradisi, selama sesuai dengan prinsip-prinsip tauhid dan adab intelektual.

6.4.       Tantangan dan Harapan

Meskipun demikian, warisan filsafat Islam menghadapi tantangan serius berupa sikap anti-filsafat di sebagian kalangan umat Islam modern yang melihat filsafat sebagai asing dari agama. Sikap ini seringkali berakar pada ketidaktahuan terhadap sejarah dan metodologi filsafat Islam itu sendiri.⁹

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan pendidikan yang integratif, yang memperkenalkan filsafat Islam sebagai bagian dari khazanah keilmuan Islam, bukan sebagai ancaman terhadap akidah. Dengan demikian, generasi muda Muslim dapat kembali memetik hikmah dari para filsuf Muslim klasik dan mengembangkannya secara kreatif dalam menjawab tantangan zaman.


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 101–103.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 235–240.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 78–85.

[4]                Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A History of Philosophy Without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press, 2016), 212–215.

[5]                Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 17–20.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 2001), 88–92.

[7]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 165–170.

[8]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 2–6.

[9]                Kalin, “Reason and Intuition in the Islamic Intellectual Tradition,” Islamic Studies 41, no. 4 (2002): 597–614.


7.           Penutup

Filsafat Islam, sebagaimana tercermin dalam dua aliran utamanya—Peripatetisme (al-Masysha’iyyah) dan Teosofisme (al-‘Isyraqiyyah)—menawarkan warisan intelektual yang sangat kaya dalam memahami hakikat wujud, pengetahuan, dan perjalanan spiritual manusia. Kedua aliran ini tidak hanya menunjukkan keragaman pendekatan dalam tradisi filsafat Islam, tetapi juga menggambarkan upaya sintesis antara akal dan intuisi, antara nalar rasional dan pencerahan batin, yang menjadi ciri khas pemikiran Islam klasik.

Peripatetisme mengajarkan pentingnya penggunaan akal dan logika dalam merumuskan prinsip-prinsip metafisika dan etika. Warisan pemikiran al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina menunjukkan bagaimana filsafat dapat digunakan untuk memperjelas doktrin-doktrin teologis dan menstrukturkan pengetahuan manusia secara sistematis.¹ Sebaliknya, Teosofisme yang dipelopori oleh Suhrawardi menekankan bahwa kebenaran sejati hanya bisa dicapai melalui penyucian jiwa dan pengalaman spiritual, suatu pendekatan yang kemudian berkembang melalui tokoh-tokoh besar seperti Mulla Sadra.²

Kedua pendekatan ini, meskipun tampak berbeda, pada dasarnya tidak saling menafikan. Sebaliknya, mereka merepresentasikan dua dimensi penting dalam pencarian kebenaran: dimensi rasional-intelektual dan dimensi intuitif-spiritual. Ketika keduanya digabungkan, sebagaimana dilakukan oleh Mulla Sadra dalam hikmah muta‘aliyyah, muncul suatu bentuk filsafat yang lebih holistik dan transenden.³

Dalam konteks kontemporer, warisan filsafat Islam ini sangat relevan untuk membentuk paradigma keilmuan yang integratif—yang tidak hanya mengandalkan data empiris dan analisis logis, tetapi juga membuka ruang bagi nilai-nilai spiritual dan etika. Di tengah dunia yang terfragmentasi oleh materialisme dan relativisme moral, filsafat Islam mengajarkan pentingnya keseimbangan antara ilmu dan hikmah, antara sains dan makrifat.⁴

Penanaman kembali semangat filsafat Islam di kalangan umat Muslim, khususnya generasi muda, menjadi langkah penting dalam merawat warisan intelektual Islam sekaligus membangun peradaban yang berakar pada akal sehat, etika, dan spiritualitas. Diperlukan upaya serius untuk mengangkat kembali karya-karya filsuf Muslim, mendialogkannya dengan persoalan kekinian, dan menyajikannya dalam format yang kontekstual dan aplikatif.

Sebagaimana ditegaskan oleh Seyyed Hossein Nasr, bahwa "Islamic philosophy, in its deepest sense, is not merely an academic pursuit, but a way of life—an illumination of the intellect and the soul."_⁵ Maka dari itu, mempelajari Peripatetisme dan Teosofisme bukan hanya sebuah kajian historis, tetapi juga jalan menuju penguatan jati diri intelektual dan spiritual umat Islam di masa kini dan mendatang.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 131–135.

[2]                Shihab al-Din Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1999), 10–15.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 80–85.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 171–174.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (New York: World Wisdom, 2007), 18.


Daftar Pustaka

Adamson, P. (2016). Philosophy in the Islamic world: A history of philosophy without any gaps. Oxford University Press.

Adamson, P. (2019). Philosophy in the Islamic world: A very short introduction. Oxford University Press.

Al-Farabi. (2009). The political regime (al-Siyasa al-Madaniyya) (F. M. Najjar, Trans.). Brigham Young University Press.

Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy (L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). Kegan Paul International.

Corbin, H. (1978). The man of light in Iranian Sufism (N. Pearson, Trans.). Princeton University Press.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early Abbasid society. Routledge.

Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian tradition: Introduction to reading Avicenna’s philosophical works (2nd ed.). Brill.

Kalin, I. (2002). Reason and intuition in the Islamic intellectual tradition. Islamic Studies, 41(4), 597–614.

Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic philosophy: Mulla Sadra on existence, intellect, and intuition. Oxford University Press.

Leaman, O. (2002). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1976). Three Muslim sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Caravan Books.

Nasr, S. H. (2001). Islam and the plight of modern man. ABC International Group.

Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. HarperOne.

Nasr, S. H. (2007). Islamic science: An illustrated study. World Wisdom.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.

Suhrawardi, S. A.-D. (1999). The philosophy of illumination (J. Walbridge & H. Ziai, Trans.). Brigham Young University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar