Peripatetisme dan Teosofisme
Dinamika Rasionalitas dan Intuisi dalam Tradisi
Keilmuan Islam
Alihkan ke: Peripatetisme (al-Masysha’iyyah)
dan Teosofisme (al-‘Isyraqiyyah)
Abstrak
Artikel ini membahas dua aliran utama dalam tradisi
filsafat Islam, yaitu Peripatetisme (al-Masysha’iyyah) dan Teosofisme
(al-‘Isyraqiyyah), yang mewakili pendekatan rasional dan intuitif dalam
pencarian hakikat kebenaran. Peripatetisme, yang dipengaruhi oleh filsafat
Aristotelian dan Neoplatonik, berkembang melalui pemikiran al-Kindi, al-Farabi,
dan Ibn Sina, dan menekankan pentingnya logika dan akal dalam memahami
eksistensi. Sebaliknya, Teosofisme yang dipelopori oleh Suhrawardi mengutamakan
iluminasi batin dan intuisi spiritual sebagai jalan menuju pengetahuan
metafisik yang sejati. Artikel ini menguraikan konteks historis, epistemologis,
serta perbandingan keduanya, dan menyoroti bagaimana sintesis dari dua
pendekatan ini—sebagaimana diwujudkan oleh Mulla Sadra—membentuk fondasi
filsafat Islam yang transenden. Penutup artikel menekankan relevansi warisan
intelektual ini dalam menjawab tantangan modern melalui integrasi ilmu, akal,
dan spiritualitas. Artikel ini ditopang oleh referensi-referensi akademik
kredibel dari karya klasik dan kontemporer dalam studi filsafat Islam.
Kata Kunci: Filsafat Islam; Peripatetisme; Teosofisme; Ibn
Sina; Suhrawardi; Mulla Sadra; Rasionalitas; Intuisi; Epistemologi Islam.
PEMBAHASAN
Peripatetisme dan Teosofisme dalam Filsafat Islam
1.
Pendahuluan
Filsafat Islam
merupakan cabang penting dalam warisan intelektual Islam yang berkembang pesat
sejak masa klasik hingga kini. Ia lahir dari proses interaksi dinamis antara
ajaran-ajaran wahyu Islam dengan warisan filsafat Yunani dan Persia yang
diterjemahkan dan dikaji ulang oleh para sarjana Muslim sejak abad ke-8 M.
Dalam sejarahnya, dua aliran besar menonjol sebagai pusat gravitasi pemikiran
filosofis dalam Islam, yaitu Peripatetisme (al-Masysha’iyyah)
yang mengedepankan rasionalitas dan logika aristotelian, serta Teosofisme
(al-Isyraqiyyah) yang menggabungkan antara filsafat dan intuisi
spiritual yang mendalam.
Munculnya filsafat
Islam tidak dapat dilepaskan dari proyek besar penerjemahan karya-karya
filsafat Yunani di bawah perlindungan kekhalifahan Abbasiyah, khususnya di Bayt
al-Hikmah di Baghdad. Karya-karya Plato, Aristoteles, dan Plotinus
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan menjadi dasar kajian para filsuf Muslim
seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina.¹ Dalam konteks ini, filsafat menjadi
sarana penting untuk memperluas cakrawala intelektual Islam, dan bukan ancaman
bagi agama, sebagaimana kerap disalahpahami.²
Aliran Peripatetisme
menjadi tonggak awal sistematisasi filsafat dalam Islam. Tokoh-tokohnya seperti
al-Farabi dan Ibn Sina memadukan logika Aristotelian dengan metafisika Islam,
membentuk sintesis rasional yang mendalam dalam membahas hakikat wujud, jiwa,
dan akal.³ Di sisi lain, aliran Teosofisme, yang dipelopori oleh Suhrawardi
al-Maqtul, menekankan pentingnya pengalaman iluminatif (isyraq) dan intuisi
batin sebagai sumber pengetahuan yang sahih, khususnya dalam ranah metafisika
dan spiritualitas.⁴
Ketegangan sekaligus
sinergi antara rasionalisme filosofis dan spiritualisme intuitif inilah yang
menjadikan tradisi filsafat Islam unik dan kaya. Filsuf-filsuf besar seperti
Mulla Sadra di era Safawi bahkan berusaha menggabungkan keduanya dalam suatu
sistem filsafat transenden (al-hikmah al-muta‘aliyah), yang menempatkan akal,
intuisi, dan wahyu dalam posisi harmonis.⁵
Melalui pembahasan
tentang dua aliran besar ini, tulisan ini bertujuan untuk menelusuri akar-akar
pemikiran filosofis Islam, memahami karakteristik epistemologis dan ontologis
masing-masing aliran, serta menelaah kontribusinya dalam membangun khazanah
keilmuan Islam klasik dan kontemporer. Di tengah arus modernitas dan tantangan
peradaban, memahami dinamika antara rasionalitas dan intuisi dalam filsafat
Islam dapat membuka ruang baru bagi rekonstruksi pemikiran Islam yang utuh dan
kontekstual.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy, 3rd ed. (New York:
Columbia University Press, 2004), 4–6.
[2]
Peter Adamson, Philosophy in the
Islamic World: A History of Philosophy Without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press, 2016), 5–7.
[3]
Oliver Leaman, An Introduction to
Classical Islamic Philosophy, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 39–55.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Three
Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Delmar: Caravan Books, 1976), 63–70.
[5]
Ibrahim Kalin, “Reason and Intuition in the Islamic Intellectual
Tradition,” Islamic Studies 41, no. 4 (2002): 597–614.
2.
Konteks Historis dan Epistemologis Filsafat
Islam
Filsafat Islam tidak
lahir dalam ruang hampa, melainkan dalam konteks historis dan kultural yang
kompleks, di mana dunia Islam tengah berada dalam fase ekspansi geografis dan
akumulasi intelektual yang pesat. Sejak abad ke-8 M, umat Islam telah mewarisi
tradisi keilmuan yang luas, termasuk warisan filsafat Yunani, Persia, dan India.
Proyek besar penerjemahan karya-karya klasik ke dalam bahasa Arab, terutama
pada masa kekhalifahan Abbasiyah, menjadi batu loncatan utama bagi tumbuhnya
diskursus filosofis dalam Islam.¹
Bayt al-Hikmah di
Baghdad berperan sebagai pusat penerjemahan dan penelitian yang mengumpulkan
para penerjemah dari berbagai latar belakang agama dan budaya. Di sinilah
karya-karya Plato, Aristoteles, Galen, dan Plotinus diterjemahkan dan dikaji.²
Salah satu tokoh penting dalam proses ini adalah Hunayn ibn Ishaq (809–873 M),
seorang penerjemah Nestorian yang berkontribusi besar dalam menerjemahkan teks
medis dan filosofis dari bahasa Yunani dan Suryani ke dalam bahasa Arab.³
Melalui usaha ini, para sarjana Muslim tidak hanya mempelajari teks-teks kuno,
tetapi juga mengembangkan sistem pemikiran mereka sendiri yang khas, sesuai
dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.
Dalam konteks
epistemologis, filsafat Islam dibangun atas dasar integrasi antara akal (‘aql)
dan wahyu (wahy). Akal dipandang sebagai alat penting untuk memahami realitas,
namun ia tidak berdiri sendiri; wahyu tetap menjadi sumber kebenaran
tertinggi.⁴ Di sinilah letak kekhasan epistemologi Islam yang berbeda dari
filsafat Barat sekuler. Pendekatan rasional yang dikembangkan oleh
filsuf-filsuf Muslim tidak bertujuan menegasikan agama, melainkan memperkuat
argumen-argumen teologis dan menjelaskan dimensi metafisik secara rasional.
Dua pendekatan
epistemologis utama kemudian berkembang dalam tradisi filsafat Islam: pendekatan
rasional-analitis (yang berkembang dalam aliran Peripatetisme)
dan pendekatan
intuitif-iluminatif (yang menjadi ciri khas Teosofisme).
Pendekatan rasional-analitis menekankan pentingnya logika, deduksi, dan
struktur argumen filosofis sebagaimana terlihat dalam karya al-Farabi dan Ibn
Sina. Sementara itu, pendekatan iluminatif yang diperkenalkan oleh Suhrawardi
menekankan intuisi batin (dzawq) dan pengalaman langsung terhadap hakikat, yang
tidak sepenuhnya bisa dicapai oleh rasio.⁵
Kedua pendekatan ini
tidak selalu bertentangan, namun sering kali saling melengkapi dalam tradisi
filsafat Islam. Para pemikir seperti Mulla Sadra berusaha mensintesiskan
keduanya dalam satu kesatuan epistemologis yang mengintegrasikan tiga sumber
pengetahuan: akal, intuisi
spiritual, dan wahyu.⁶
Dengan demikian,
filsafat Islam berdiri sebagai tradisi intelektual yang khas, yang tidak hanya
mengandalkan rasionalitas Barat, tetapi juga memperkaya pendekatan keilmuan
dengan dimensi spiritual yang mendalam. Dalam lanskap inilah Peripatetisme dan
Teosofisme memainkan peran penting sebagai dua kutub utama dalam dinamika
pemikiran Islam.
Footnotes
[1]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic
Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid
Society (London: Routledge, 1998),
2–3.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy, 3rd ed. (New York:
Columbia University Press, 2004), 11–14.
[3]
Peter Adamson, Philosophy in the
Islamic World: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2019), 12–15.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Science
and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 32–36.
[5]
Nasr, Three Muslim Sages:
Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi
(Delmar: Caravan Books, 1976), 64–68.
[6]
Ibrahim Kalin, “Reason and Intuition in the Islamic Intellectual
Tradition,” Islamic Studies 41, no. 4 (2002): 601–608.
3.
Aliran Peripatetisme (Aliran al-Masysha’iyyah)
3.1.
Definisi dan Asal-usul
Peripatetisme dalam
filsafat Islam, yang dikenal dengan istilah al-Masysha’iyyah, berasal dari
tradisi filsafat Yunani klasik, khususnya ajaran Aristoteles, yang diteruskan
dan disistematisasi oleh para filsuf Muslim. Istilah “Peripatetik”
sendiri berasal dari kata Yunani peripatein (περιπατεῖν) yang
berarti “berjalan-jalan,” merujuk pada cara Aristoteles mengajar sambil
berjalan di Lyceum.¹
Dalam konteks Islam,
Peripatetisme ditandai dengan pendekatan yang sangat sistematis, rasional, dan
logis terhadap realitas metafisik, kosmologi, psikologi, dan etika. Aliran ini
bertumpu pada logika sebagai alat utama epistemologi, dan berupaya menjelaskan
realitas secara deduktif berdasarkan prinsip-prinsip akal.²
3.2.
Tokoh-Tokoh Utama
3.2.1.
Al-Kindi (w. 873 M)
Al-Kindi dikenal
sebagai filsuf Islam pertama dan dijuluki Faylasuf al-‘Arab. Ia berperan
penting dalam memperkenalkan filsafat Yunani ke dalam dunia Islam. Al-Kindi
berusaha menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat dan agama,
dan bahwa kebenaran yang datang dari filsafat tidak akan bertentangan dengan
wahyu.³ Ia juga membela penggunaan akal dalam memahami eksistensi Tuhan dan
jiwa manusia, meski tidak menyusun sistem metafisika yang sekompleks
penerusnya.
3.2.2.
Al-Farabi (w. 950 M)
Al-Farabi dianggap
sebagai pendiri sistem filsafat Islam yang sejati. Ia mengembangkan teori
tentang emanasi (fayd) dan struktur hierarkis alam semesta yang berpuncak pada al-‘Aql
al-Awwal (akal pertama) dan bergerak secara berjenjang hingga dunia
materi.⁴ Dalam bidang politik, ia menulis Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah,
yang menampilkan pandangan idealis tentang negara utama yang dipimpin oleh
nabi-filsuf, mirip dengan filsafat politik Plato.⁵
3.2.3.
Ibn Sina (Avicenna)
(w. 1037 M)
Puncak pemikiran
Peripatetisme dalam Islam ditemukan dalam karya Ibn Sina, yang berhasil
mensintesiskan filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme dengan ajaran Islam dalam
sistem metafisika yang kompleks dan koheren.⁶ Ibn Sina mengembangkan argumen
keberadaan Tuhan melalui konsep “wajib al-wujud” (yang wajib ada),
serta teori jiwa yang membedakan antara jiwa rasional, jiwa hewani, dan jiwa
nabati.⁷ Ia juga terkenal dengan eksperimen mental tentang “manusia melayang” (floating
man), yang menunjukkan eksistensi jiwa sebagai substansi independen
dari tubuh.⁸
3.3.
Kontribusi terhadap Filsafat
Islam dan Ilmu Pengetahuan
Peripatetisme telah
memberikan kontribusi signifikan dalam perkembangan tidak hanya filsafat,
tetapi juga ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam. Tokoh-tokoh aliran ini
mengembangkan ilmu logika, fisika, metafisika, psikologi, dan kosmologi dengan
metode rasional yang sistematis. Ibn Sina, misalnya, sangat berpengaruh dalam
bidang kedokteran, di mana karyanya Al-Qanun fi al-Tibb menjadi rujukan
medis utama di dunia Islam dan Eropa selama berabad-abad.⁹
Secara
epistemologis, Peripatetisme menekankan peran akal aktif (al-‘aql
al-fa‘al) dalam proses intelektual dan pencerapan ilmu pengetahuan.
Hubungan antara akal dan bentuk-bentuk universal menjadi pusat perhatian dalam
pemikiran Peripatetisme.¹⁰ Dalam kerangka ini, filsafat tidak hanya menjadi
latihan intelektual, tetapi juga jalan menuju penyempurnaan jiwa dan
kebahagiaan manusia yang sejati (sa‘adah).
Pengaruh
Peripatetisme tidak terbatas pada dunia Islam. Karya-karya Ibn Sina dan
al-Farabi diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan menjadi referensi utama di
kalangan filsuf skolastik seperti Thomas Aquinas dan Albertus Magnus.¹¹ Di
Barat, aliran ini dikenal sebagai Avicennianism, dan memiliki andil
besar dalam membentuk sintesis antara filsafat dan teologi Kristen pada Abad
Pertengahan.
Footnotes
[1]
Oliver Leaman, An Introduction to
Classical Islamic Philosophy, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 29.
[2]
Peter Adamson, Philosophy in the
Islamic World: A History of Philosophy Without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press, 2016), 58–60.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy, 3rd ed. (New York:
Columbia University Press, 2004), 61–65.
[4]
Dimitri Gutas, Avicenna and the
Aristotelian Tradition: Introduction to Reading Avicenna’s Philosophical Works (Leiden: Brill, 2001), 13–17.
[5]
Al-Farabi, The Political Regime
(al-Siyasa al-Madaniyya), trans.
Fauzi M. Najjar (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2009), 3–10.
[6]
Nasr, Three Muslim Sages:
Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi
(Delmar: Caravan Books, 1976), 15–32.
[7]
Leaman, Classical Islamic
Philosophy, 73–76.
[8]
Gutas, Avicenna and the
Aristotelian Tradition, 226–230.
[9]
Nasr, Science and Civilization
in Islam, 151–155.
[10]
Kalin, “Reason and Intuition in the Islamic Intellectual Tradition,” Islamic Studies 41,
no. 4 (2002): 600.
[11]
Fakhry, A History of Islamic
Philosophy, 225–230.
4.
Aliran Teosofisme (Aliran al-‘Isyraqiyyah)
4.1.
Definisi dan Asal-usul
Aliran Teosofisme
Islam, atau yang dikenal sebagai al-Hikmah
al-Isyraqiyyah (filsafat iluminasi), merupakan salah satu
cabang penting dalam tradisi filsafat Islam yang menekankan pentingnya intuisi
batin (dzawq) dan pencerahan
spiritual sebagai sumber utama pengetahuan metafisis. Berbeda
dari Peripatetisme yang sangat mengandalkan rasionalitas dan logika
Aristotelian, aliran ini berangkat dari keyakinan bahwa kebenaran tidak hanya dapat
dicapai melalui akal semata, melainkan juga melalui pengalaman langsung
terhadap cahaya ilahi.¹
Filsafat iluminasi
ini pertama kali disistematisasi oleh Shihab al-Din al-Suhrawardi
(1155–1191 M), seorang filsuf Persia yang kemudian dikenal sebagai al-Syaikh
al-Isyraq. Ia mendirikan aliran ini sebagai kritik sekaligus
koreksi terhadap filsafat Peripatetisme Ibn Sina yang menurutnya terlalu
mengandalkan argumentasi rasional dan belum menyentuh dimensi intuisi spiritual
yang lebih tinggi.²
4.2.
Tokoh-Tokoh Utama
Shihab al-Din al-Suhrawardi (w. 1191 M)
Suhrawardi merupakan
tokoh sentral dan pendiri aliran Isyraqiyyah. Ia tidak hanya menguasai filsafat
Peripatetik, tetapi juga mengintegrasikan unsur-unsur filsafat Neoplatonik,
Gnostik, Zoroastrianisme kuno, dan ajaran mistik Islam. Dalam magnum opus-nya Hikmat
al-Isyraq (Filsafat Iluminasi), Suhrawardi menggambarkan realitas
sebagai hirarki cahaya (nur),
di mana seluruh wujud merupakan pancaran dari Cahaya Segala Cahaya (Nur
al-Anwar), yakni Tuhan.³
Konsep utama dalam
filsafat Suhrawardi adalah teori iluminasi, yaitu
keyakinan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui penyinaran
batiniah (isyraq) yang terjadi ketika jiwa manusia terbebas dari kegelapan
materi. Hal ini menempatkan pengalaman spiritual (kasyf) sebagai kunci utama
dalam epistemologi.⁴
Suhrawardi juga
mengkritik pendekatan Aristotelian tentang substansi dan aksiden, dan lebih
memilih pendekatan simbolik dan mistikal dalam menjelaskan struktur realitas.
Dalam kosmologinya, ia membangun sebuah sistem wujud berdasarkan tingkatan
cahaya, dari Nur al-Anwar hingga ke wujud-wujud
yang lebih rendah dan gelap.⁵
4.3.
Perbedaan Epistemologis
dengan Peripatetisme
Perbedaan utama
antara Teosofisme dan Peripatetisme terletak pada sumber
pengetahuan dan cara pencapaiannya. Peripatetisme berpijak pada
logika deduktif dan observasi empiris sebagai jalan utama menuju kebenaran.
Sementara itu, Teosofisme menekankan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan
dan bahwa iluminasi batin yang diperoleh
melalui penyucian jiwa dan latihan spiritual adalah metode yang lebih tinggi
dan menyeluruh untuk memperoleh hakikat.⁶
Dalam filsafat
iluminasi, intuisi dan pengalaman mistik
tidak hanya dilihat sebagai pelengkap akal, tetapi sebagai inti dari pencapaian
filosofis yang sejati. Suhrawardi bahkan menyatakan bahwa filsuf sejati adalah
orang yang telah mengalami isyraq, bukan sekadar orang yang
pandai berlogika.⁷
Pendekatan ini
menjadikan filsafat Isyraqiyyah sangat dekat dengan tasawuf, meskipun tetap menjaga
struktur filosofis dan sistematisnya. Karena itu, filsafat iluminasi sering
diposisikan sebagai jembatan antara rasionalisme filsafat dan spiritualisme
tasawuf.⁸
4.4.
Pengaruh dan Warisan
Filsafat Isyraqiyyah
meninggalkan pengaruh besar dalam tradisi filsafat Islam, terutama di wilayah
Iran dan Asia Tengah. Pemikiran Suhrawardi menjadi fondasi penting bagi para
filsuf Persia seperti Mulla Sadra (w. 1640 M), yang
kemudian mensintesiskan Peripatetisme dan Isyraqiyyah dalam sistem al-hikmah
al-muta‘aliyyah (filsafat transenden).⁹
Di Barat modern,
filsafat iluminasi Suhrawardi banyak dikaji oleh orientalis dan filsuf seperti Henry
Corbin, yang melihatnya sebagai representasi dari dimensi
esoteris Islam yang mendalam. Corbin memandang bahwa Suhrawardi memperkenalkan imaginal
world (alam mitsal), yang membuka cakrawala baru dalam filsafat
spiritual Islam.¹⁰
Dengan mengedepankan
aspek batin, simbolisme, dan intuisi spiritual, aliran Teosofisme menawarkan
pendekatan alternatif terhadap realitas dan kebenaran, yang relevan bagi
pencarian makna yang tidak terbatas pada batas-batas rasionalitas material.
Footnotes
[1]
Oliver Leaman, An Introduction to
Classical Islamic Philosophy, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 121–124.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy, 3rd ed. (New York:
Columbia University Press, 2004), 252–255.
[3]
Shihab al-Din Suhrawardi, The
Philosophy of Illumination, trans.
John Walbridge and Hossein Ziai (Provo, UT: Brigham Young University Press,
1999), 6–10.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Three
Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Delmar: Caravan Books, 1976), 65–72.
[5]
Peter Adamson, Philosophy in the
Islamic World (Oxford: Oxford
University Press, 2016), 189–192.
[6]
Ibrahim Kalin, “Reason and Intuition in the Islamic Intellectual
Tradition,” Islamic Studies 41, no. 4 (2002): 603–607.
[7]
Suhrawardi, The Philosophy of
Illumination, 45–47.
[8]
Nasr, The Garden of Truth:
The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 112–114.
[9]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later
Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 53–60.
[10]
Henry Corbin, The Man of Light in
Iranian Sufism, trans. Nancy Pearson
(Princeton: Princeton University Press, 1978), 10–15.
5.
Perbandingan antara Peripatetisme dan
Teosofisme
Peripatetisme dan
Teosofisme adalah dua aliran besar dalam filsafat Islam yang merepresentasikan
dua pendekatan epistemologis yang berbeda, namun saling melengkapi dalam
pencarian terhadap kebenaran dan hakikat wujud. Keduanya berakar pada tradisi
filsafat Yunani, namun berkembang dalam arah yang khas sesuai dengan corak
spiritual dan intelektual Islam. Dalam perbandingan ini, kita dapat
mengidentifikasi sejumlah perbedaan dan persamaan mendasar dalam aspek epistemologis,
ontologis, metodologis, dan tujuan akhir filsafat.
5.1.
Perbedaan Epistemologis dan
Metodologis
Perbedaan yang paling
nyata antara Peripatetisme dan Teosofisme terletak pada sumber
dan metode pencapaian pengetahuan.
Peripatetisme
(al-Masysha’iyyah), yang berakar pada ajaran Aristoteles, menekankan penggunaan
akal (al-‘aql) dan logika deduktif sebagai sarana
utama untuk mencapai kebenaran. Dalam sistem Ibn Sina, misalnya, pengetahuan
diperoleh melalui proses abstraksi bentuk-bentuk universal dari pengalaman
indrawi, yang kemudian diolah oleh akal aktif (al-‘aql al-fa‘al) menuju
pengetahuan intelektual.¹
Sebaliknya, Teosofisme
(al-‘Isyraqiyyah), sebagaimana dikembangkan oleh Suhrawardi, meyakini bahwa rasio
manusia memiliki keterbatasan dan tidak mampu menembus
kedalaman hakikat secara sempurna. Oleh karena itu, pendekatan iluminatif (isyraq)
menempatkan intuisi batiniah (dzawq), penyucian
jiwa, dan pencerahan spiritual sebagai
metode utama dalam memperoleh pengetahuan.² Dalam filsafat iluminasi,
pengetahuan yang sejati tidak sekadar hasil dari analisis logis, melainkan buah
dari pengalaman spiritual langsung yang datang dari Cahaya Ilahi.³
5.2.
Perbedaan Ontologis:
Pandangan tentang Realitas
Dalam dimensi ontologi,
Peripatetisme memandang realitas secara hierarkis berdasarkan teori emanasi:
Tuhan sebagai Wajib al-Wujud adalah sumber dari
semua wujud lainnya yang muncul melalui proses emanasi intelektual, dimulai
dari akal
pertama hingga realitas material. Struktur wujud bersifat rasional
dan teratur, serta dapat dipahami melalui akal manusia.⁴
Sementara itu,
Teosofisme memahami realitas sebagai hirarki cahaya. Tuhan adalah Nur
al-Anwar (Cahaya dari segala cahaya), dan seluruh wujud merupakan
peringkat-peringkat cahaya yang lebih rendah. Ontologi Suhrawardi tidak
berbicara dalam istilah substansi dan aksiden seperti Aristoteles, melainkan
dalam istilah spiritual yang bersifat simbolik dan iluminatif.⁵ Dengan
demikian, realitas bukan hanya dipahami, tetapi juga dihayati
secara batiniah melalui perjalanan spiritual jiwa.
5.3.
Tujuan Filsafat: Teoretis vs
Transformatif
Tujuan akhir
filsafat dalam kedua aliran ini juga berbeda.
Dalam Peripatetisme,
tujuan utama filsafat adalah menyempurnakan akal dan
mencapai kebahagiaan intelektual (sa‘adah),
yakni keterhubungan dengan akal aktif dan pengenalan terhadap hakikat melalui
rasio. Hal ini sejalan dengan pandangan Aristotelian bahwa manusia adalah
makhluk rasional dan kesempurnaan dicapai melalui kontemplasi intelektual.⁶
Di sisi lain, dalam
Teosofisme, filsafat bukan hanya upaya intelektual, tetapi juga proses
transformasi jiwa. Tujuannya adalah mencapai penyatuan
spiritual dengan Cahaya Ilahi, yaitu mengenal Tuhan bukan
sekadar sebagai objek pengetahuan, tetapi sebagai pengalaman langsung yang
menyinari seluruh keberadaan.⁷ Maka, filsuf ideal dalam tradisi Isyraqiyyah
bukan hanya orang yang berpikir logis, tetapi juga ‘arif
(yang ma‘rifat), yaitu mereka yang telah mengalami kebenaran secara intuitif.
5.4.
Titik Temu dan Sintesis
Meski berbeda
pendekatan, keduanya tidak saling menafikan. Dalam sejarah filsafat Islam,
terutama melalui tokoh seperti Mulla Sadra (w. 1640 M),
terjadi sintesis kreatif antara rasionalisme Peripatetik dan intuisionisme
Isyraqiyyah. Sadra mengembangkan filsafat al-hikmah al-muta‘aliyyah (filsafat
transenden), yang menggabungkan burhan (demonstrasi rasional), kasyf
(intuisi spiritual), dan wahyu sebagai tiga sumber utama
kebenaran.⁸
Hal ini menunjukkan
bahwa dalam tradisi Islam, pendekatan rasional dan intuitif tidak harus
dipertentangkan, melainkan dapat saling melengkapi dalam mengantarkan manusia
kepada pemahaman yang lebih utuh tentang realitas dan Tuhan.
Footnotes
[1]
Oliver Leaman, An Introduction to
Classical Islamic Philosophy, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 73–76.
[2]
Shihab al-Din Suhrawardi, The
Philosophy of Illumination, trans.
John Walbridge and Hossein Ziai (Provo, UT: Brigham Young University Press,
1999), 45–47.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Three
Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Delmar: Caravan Books, 1976), 66–69.
[4]
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy, 3rd ed. (New York:
Columbia University Press, 2004), 153–157.
[5]
Peter Adamson, Philosophy in the
Islamic World (Oxford: Oxford
University Press, 2016), 192–196.
[6]
Fakhry, A History of Islamic
Philosophy, 132–134.
[7]
Nasr, The Garden of Truth:
The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 114–117.
[8]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later
Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 73–78.
6.
Warisan dan Relevansi Kontemporer
Peripatetisme dan
Teosofisme bukan hanya merupakan produk intelektual masa lalu, melainkan
warisan hidup dalam tradisi pemikiran Islam yang terus memberikan pengaruh
hingga era modern dan kontemporer. Warisan kedua aliran ini tampak dalam
beragam bentuk: mulai dari sistem pendidikan tradisional di dunia Islam,
filsafat kalam, tasawuf falsafi, hingga pengaruhnya terhadap diskursus filsafat
dan teologi kontemporer, baik di Timur maupun Barat.
6.1.
Warisan Intelektual dan
Historis
Secara historis,
Peripatetisme melahirkan tradisi filsafat yang logis, sistematis, dan kuat
secara argumentatif. Ia menjadi fondasi dari madrasah filsafat Islam seperti mazhab
Mashsha’iyyun
dan Avicennianism,
serta memengaruhi pemikiran filsafat di dunia Kristen Latin.¹ Banyak karya Ibn
Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sejak abad ke-12 dan memengaruhi
tokoh-tokoh skolastik seperti Thomas Aquinas.²
Sementara itu, Teosofisme
yang dipelopori oleh Suhrawardi berkembang terutama di kawasan Persia dan Asia
Tengah, dan menemukan bentuk lanjutannya dalam filsafat al-hikmah
al-muta‘aliyyah oleh Mulla Sadra. Sadra
menggabungkan rasionalisme Peripatetik, intuisi iluminatif Isyraqiyyah, dan
spiritualitas akhlak sufistik menjadi sistem filsafat yang menyeluruh dan
berpengaruh besar dalam pendidikan keagamaan di dunia Syiah hingga kini.³
6.2.
Pengaruh terhadap Tradisi
Keilmuan Islam
Jejak pemikiran
Peripatetisme dan Teosofisme masih dapat ditemukan dalam kurikulum
lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional, seperti hawzah
di Iran dan Irak, serta sebagian pesantren di dunia Melayu yang mengkaji
kitab-kitab metafisika dan logika Islam.⁴ Di lingkungan Sunni, meskipun
filsafat tidak selalu dominan, namun konsep-konsep seperti wujud,
jiwa,
dan akal
aktif tetap hadir dalam kajian kalam mutaakhir dan dalam tasawuf
falsafi yang dipengaruhi oleh Ibn Arabi dan penerusnya.
Pendekatan
integratif terhadap ilmu pengetahuan juga mengacu pada semangat filsafat Islam
yang tidak memisahkan antara akal dan wahyu.⁵ Para pemikir modern seperti Fazlur
Rahman, Seyyed Hossein Nasr, dan Ibrahim
Kalin menghidupkan kembali metode filsafat Islam klasik untuk
menjawab persoalan kontemporer seperti krisis spiritualitas, fragmentasi ilmu,
dan ketegangan antara agama dan sains.⁶
6.3.
Relevansi dalam Konteks
Modern
Dalam dunia modern
yang didominasi oleh pendekatan empiris dan rasionalitas materialistik,
filsafat Islam—terutama melalui sintesis antara Peripatetisme dan
Teosofisme—menawarkan alternatif epistemologis yang menghargai akal
sekaligus intuisi, analisis sekaligus kontemplasi,
dan ilmu
sekaligus hikmah. Hal ini sangat relevan dalam menjembatani
dikotomi yang selama ini menghambat integrasi antara sains dan spiritualitas.⁷
Di tengah
kebangkitan minat terhadap filsafat Islam, banyak universitas di dunia Muslim
mulai memasukkan kembali filsafat Islam dalam kurikulum mereka. Di Barat, studi
tentang Suhrawardi, Ibn Sina, dan Mulla Sadra berkembang pesat melalui
kontribusi para orientalis dan filsuf modern seperti Henry
Corbin, William Chittick, dan Hossein
Ziai.⁸
Dalam konteks
keislaman yang lebih luas, pendekatan filosofis ini juga berpotensi memperkaya
diskusi mengenai toleransi, pluralitas, dan pemahaman lintas
budaya, karena filsafat Islam mengajarkan keterbukaan terhadap
pengetahuan dari berbagai tradisi, selama sesuai dengan prinsip-prinsip tauhid
dan adab intelektual.
6.4.
Tantangan dan Harapan
Meskipun demikian,
warisan filsafat Islam menghadapi tantangan serius berupa sikap anti-filsafat
di sebagian kalangan umat Islam modern yang melihat filsafat sebagai asing dari
agama. Sikap ini seringkali berakar pada ketidaktahuan terhadap sejarah dan
metodologi filsafat Islam itu sendiri.⁹
Untuk mengatasi
tantangan ini, diperlukan pendekatan pendidikan yang integratif, yang
memperkenalkan filsafat Islam sebagai bagian dari khazanah keilmuan Islam,
bukan sebagai ancaman terhadap akidah. Dengan demikian, generasi muda Muslim
dapat kembali memetik hikmah dari para filsuf Muslim
klasik dan mengembangkannya secara kreatif dalam menjawab tantangan zaman.
Footnotes
[1]
Oliver Leaman, An Introduction to
Classical Islamic Philosophy, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 101–103.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy, 3rd ed. (New York:
Columbia University Press, 2004), 235–240.
[3]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later
Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 78–85.
[4]
Peter Adamson, Philosophy in the
Islamic World: A History of Philosophy Without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press, 2016), 212–215.
[5]
Nasr, Science and
Civilization in Islam (Cambridge:
Harvard University Press, 1968), 17–20.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Islam
and the Plight of Modern Man
(Chicago: ABC International Group, 2001), 88–92.
[7]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 165–170.
[8]
Henry Corbin, History of Islamic
Philosophy, trans. Liadain Sherrard
and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 2–6.
[9]
Kalin, “Reason and Intuition in the Islamic Intellectual Tradition,” Islamic Studies 41,
no. 4 (2002): 597–614.
7.
Penutup
Filsafat Islam,
sebagaimana tercermin dalam dua aliran utamanya—Peripatetisme (al-Masysha’iyyah)
dan Teosofisme
(al-‘Isyraqiyyah)—menawarkan warisan intelektual yang sangat
kaya dalam memahami hakikat wujud, pengetahuan, dan perjalanan spiritual
manusia. Kedua aliran ini tidak hanya menunjukkan keragaman pendekatan dalam
tradisi filsafat Islam, tetapi juga menggambarkan upaya
sintesis antara akal dan intuisi, antara nalar
rasional dan pencerahan batin, yang menjadi ciri khas pemikiran
Islam klasik.
Peripatetisme
mengajarkan pentingnya penggunaan akal dan logika dalam merumuskan
prinsip-prinsip metafisika dan etika. Warisan pemikiran al-Kindi, al-Farabi,
dan Ibn Sina menunjukkan bagaimana filsafat dapat digunakan untuk memperjelas
doktrin-doktrin teologis dan menstrukturkan pengetahuan manusia secara
sistematis.¹ Sebaliknya, Teosofisme yang dipelopori oleh Suhrawardi menekankan
bahwa kebenaran sejati hanya bisa dicapai melalui penyucian
jiwa dan pengalaman spiritual, suatu pendekatan yang kemudian
berkembang melalui tokoh-tokoh besar seperti Mulla Sadra.²
Kedua pendekatan
ini, meskipun tampak berbeda, pada dasarnya tidak saling menafikan. Sebaliknya,
mereka merepresentasikan dua dimensi penting dalam pencarian kebenaran: dimensi
rasional-intelektual dan dimensi intuitif-spiritual. Ketika
keduanya digabungkan, sebagaimana dilakukan oleh Mulla Sadra dalam hikmah
muta‘aliyyah, muncul suatu bentuk filsafat yang lebih holistik dan
transenden.³
Dalam konteks
kontemporer, warisan filsafat Islam ini sangat relevan untuk membentuk
paradigma keilmuan yang integratif—yang tidak hanya
mengandalkan data empiris dan analisis logis, tetapi juga membuka ruang bagi
nilai-nilai spiritual dan etika. Di tengah dunia yang terfragmentasi oleh
materialisme dan relativisme moral, filsafat Islam mengajarkan pentingnya
keseimbangan antara ilmu dan hikmah, antara sains dan makrifat.⁴
Penanaman kembali
semangat filsafat Islam di kalangan umat Muslim, khususnya generasi muda,
menjadi langkah penting dalam merawat warisan intelektual Islam sekaligus
membangun peradaban yang berakar pada akal sehat, etika, dan spiritualitas.
Diperlukan upaya serius untuk mengangkat kembali karya-karya filsuf Muslim,
mendialogkannya dengan persoalan kekinian, dan menyajikannya dalam format yang
kontekstual dan aplikatif.
Sebagaimana
ditegaskan oleh Seyyed Hossein Nasr, bahwa "Islamic philosophy, in its
deepest sense, is not merely an academic pursuit, but a way of life—an
illumination of the intellect and the soul."_⁵ Maka dari itu,
mempelajari Peripatetisme dan Teosofisme bukan hanya sebuah kajian historis,
tetapi juga jalan menuju penguatan jati diri intelektual dan spiritual umat
Islam di masa kini dan mendatang.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy, 3rd ed. (New York:
Columbia University Press, 2004), 131–135.
[2]
Shihab al-Din Suhrawardi, The
Philosophy of Illumination, trans.
John Walbridge and Hossein Ziai (Provo, UT: Brigham Young University Press,
1999), 10–15.
[3]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later
Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 80–85.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 171–174.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic
Science: An Illustrated Study (New
York: World Wisdom, 2007), 18.
Daftar Pustaka
Adamson, P. (2016). Philosophy in the Islamic
world: A history of philosophy without any gaps. Oxford University Press.
Adamson, P. (2019). Philosophy in the Islamic
world: A very short introduction. Oxford University Press.
Al-Farabi. (2009). The political regime
(al-Siyasa al-Madaniyya) (F. M. Najjar, Trans.). Brigham Young University
Press.
Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy
(L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). Kegan Paul International.
Corbin, H. (1978). The man of light in Iranian
Sufism (N. Pearson, Trans.). Princeton University Press.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture:
The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early Abbasid society.
Routledge.
Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian
tradition: Introduction to reading Avicenna’s philosophical works (2nd
ed.). Brill.
Kalin, I. (2002). Reason and intuition in the
Islamic intellectual tradition. Islamic Studies, 41(4), 597–614.
Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic
philosophy: Mulla Sadra on existence, intellect, and intuition. Oxford
University Press.
Leaman, O. (2002). An introduction to classical
Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.
Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in
Islam. Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1976). Three Muslim sages:
Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Caravan Books.
Nasr, S. H. (2001). Islam and the plight of
modern man. ABC International Group.
Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The
vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. HarperOne.
Nasr, S. H. (2007). Islamic science: An
illustrated study. World Wisdom.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.
Suhrawardi, S. A.-D. (1999). The philosophy of
illumination (J. Walbridge & H. Ziai, Trans.). Brigham Young University
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar