Ilmu Hadits Riwayah
Pengantar Ilmiah terhadap Teori dan Praktik
Periwayatan Hadits Nabi
Alihkan ke: Ulumul Hadits, Hadits I, Hadits III.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang Ilmu
Hadits Riwayah, yakni cabang ilmu keislaman yang fokus pada proses
periwayatan sabda, perbuatan, ketetapan, dan sifat Nabi Muhammad Saw. Melalui
pendekatan historis dan metodologis, artikel ini menjelaskan konsep dasar,
perkembangan sejarah, jenis-jenis hadits, struktur sanad, klasifikasi perawi,
kaidah penerimaan dan penolakan hadits, serta berbagai metode periwayatan yang
digunakan dalam transmisi keilmuan Islam klasik. Selain itu, dibahas pula
tantangan-tantangan kontemporer yang dihadapi oleh Ilmu Riwayah, termasuk kritik
orientalis terhadap sistem isnad, penyebaran hadits palsu di era digital, serta
kebutuhan akan pembaruan metodologi dalam studi hadits. Kajian ini menunjukkan
bahwa Ilmu Hadits Riwayah tidak hanya memiliki kedalaman historis, tetapi juga
ketangguhan metodologis yang relevan untuk menjawab dinamika intelektual umat
Islam masa kini. Diharapkan artikel ini menjadi pengantar ilmiah yang dapat
memperkuat komitmen akademik dan spiritual dalam menjaga otentisitas sabda Nabi
Muhammad Saw.
Kata Kunci: Ilmu Hadits Riwayah, sanad, perawi, tahammul
al-hadits, musthalah, isnad, kritik orientalis, digitalisasi hadits.
PEMBAHASAN
Kajian Ilmu Hadits Riwayah Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Hadits Nabi Muhammad
Saw merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Peranannya sangat
penting dalam menjelaskan, merinci, dan menerapkan ajaran Al-Qur’an dalam
kehidupan nyata umat Islam. Oleh karena itu, pelestarian, pemahaman, dan
penyebaran hadits memerlukan sistem keilmuan yang mapan dan bertanggung jawab.
Dalam konteks inilah muncul cabang ilmu yang disebut Ilmu
Hadits Riwayah, yaitu ilmu yang berkaitan dengan cara-cara
meriwayatkan hadits, pencatatan sanad (rantai periwayatan), serta pengumpulan
dan penyampaian matan (teks) hadits.
Menurut definisi
klasik, Ilmu Hadits Riwayah adalah “ilmu yang membahas tentang penyampaian
perkataan, perbuatan, penetapan, dan sifat Nabi Saw secara tepat dari para
perawi serta cara periwayatannya.”_¹ Ilmu ini menjadi fondasi utama dalam
menjaga keaslian dan keautentikan hadits, sekaligus sebagai bentuk tanggung
jawab ilmiah terhadap warisan kenabian. Para ulama dari generasi awal Islam
sangat menyadari pentingnya menjaga keabsahan riwayat hadits, sehingga mereka
mengembangkan sistem transmisi dan verifikasi yang sangat teliti—suatu capaian
yang bahkan diakui oleh para ilmuwan Barat.²
Ilmu Hadits Riwayah
berbeda dengan Ilmu Hadits Dirayah, meskipun keduanya saling berkaitan. Jika
Ilmu Riwayah fokus pada aspek transmisi—yaitu “apa” yang diriwayatkan dan “siapa”
yang meriwayatkan—maka Ilmu Dirayah menelaah aspek analisis: “apakah”
riwayat itu valid berdasarkan kaidah-kaidah tertentu.³ Dengan kata lain, Ilmu
Riwayah lebih dekat dengan aktivitas historis dan naratif, sedangkan Ilmu
Dirayah bersifat kritis dan evaluatif.
Pentingnya Ilmu
Hadits Riwayah tidak hanya berkaitan dengan pelestarian ajaran agama, tetapi
juga menyangkut integritas ilmiah dalam studi keislaman. Islam tidak mengenal
transmisi keilmuan yang sembarangan. Setiap informasi agama, khususnya yang
berasal dari Nabi Saw, harus ditelusuri sanadnya, diperiksa kualitas
periwayatnya, dan dipastikan kesahihannya. Sistem ini dikenal dengan istilah isnad,
yang oleh Abdullah ibn al-Mubarak disebut sebagai “bagian dari agama.” Beliau
menegaskan, “Seandainya tidak ada isnad, maka siapa pun bisa berkata sesuka
hatinya atas nama agama.”_⁴
Oleh sebab itu,
mempelajari Ilmu Hadits Riwayah bukan sekadar kebutuhan akademik, tetapi juga
bentuk komitmen untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dari distorsi dan
pemalsuan. Dalam perkembangan sejarah Islam, ilmu ini telah menghasilkan
tokoh-tokoh besar, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, dan para ulama hadits
lainnya yang mendedikasikan hidupnya demi menyeleksi dan menghimpun sabda-sabda
Nabi dengan standar ilmiah yang ketat.
Footnotes
[1]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi,
ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 35.
[2]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World, 2nd ed. (Oxford: Oneworld Publications, 2017), 31–33.
[3]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: al-Maktab
al-Islami, 1988), 9–10.
[4]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar,
ed. Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 14.
2.
Pengertian Ilmu Hadits Riwayah
Secara etimologis,
kata “riwayah”
berasal dari bahasa Arab رَوَى – يَرْوِي
– رِوَايَةً yang berarti “menyampaikan” atau
“memindahkan” sesuatu dari satu pihak ke pihak lain. Dalam konteks ilmu
keislaman, kata ini merujuk pada aktivitas penyampaian berita atau informasi,
khususnya yang berkaitan dengan sabda, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat
Nabi Muhammad Saw.¹
Secara terminologis,
para ulama mendefinisikan Ilmu Hadits Riwayah sebagai:
“Ilmu yang membahas tentang pemindahan
(periwayatan) segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, berupa
ucapan, perbuatan, taqrir (persetujuan), dan sifat-sifatnya, serta
pembahasan tentang cara penyampaian hadits tersebut dan keadaan para perawinya.”_²
Dengan kata lain,
Ilmu Hadits Riwayah berfungsi sebagai wadah keilmuan yang mendokumentasikan dan
mengatur proses transmisi hadits, mencakup sanad
(rantai periwayatan) dan matan (isi teks hadits), serta
metode penyampaiannya dari satu generasi ke generasi berikutnya secara
sistematis.
Mahmud Thahhan
menegaskan bahwa Ilmu Riwayah berorientasi pada aspek naratif
dan deskriptif,
yaitu meriwayatkan informasi tanpa mengulas keabsahan isi secara mendalam.³
Oleh karena itu, meskipun seorang rawi bisa meriwayatkan ribuan hadits, ia
belum tentu ahli dalam mengevaluasi kualitas hadits tersebut secara ilmiah—hal
yang menjadi domain Ilmu Hadits Dirayah.
Ilmu ini menjadi
salah satu cabang utama dalam kajian hadits, karena darinyalah terbentuk dasar
pengetahuan untuk menyusun kitab-kitab hadits seperti Shahih
al-Bukhari, Shahih Muslim, dan kitab-kitab
musnad serta sunan lainnya. Tanpa Ilmu Hadits Riwayah, proses dokumentasi dan
penyebaran hadits akan bersifat sporadis dan tidak terstruktur, sehingga
membuka peluang bagi penyebaran hadits palsu (mawdu’).⁴
Selain itu, Ilmu
Hadits Riwayah juga menekankan aspek adab dan etika dalam meriwayatkan hadits,
seperti kejujuran, kehati-hatian, dan akurasi dalam menyampaikan hadits sesuai
dengan apa yang telah didengar atau dipelajari dari guru. Dalam banyak riwayat,
para ulama hadits sangat hati-hati dalam menambahkan atau mengurangi satu kata
pun, demi menjaga kemurnian sabda Nabi Saw.⁵
Maka, Ilmu Hadits
Riwayah tidak hanya berfungsi sebagai ilmu sejarah lisan, tetapi juga merupakan
pondasi epistemologis dalam membangun kepercayaan terhadap ajaran Islam.
Melalui ilmu ini, umat Islam memiliki landasan untuk menyaring dan menerima
hadits secara bertanggung jawab, sekaligus sebagai bentuk penghormatan terhadap
warisan kenabian.
Footnotes
[1]
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J.
Milton Cowan (Urbana: Spoken Language Services, 1994), 406.
[2]
Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dar
al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 33.
[3]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: al-Maktab
al-Islami, 1988), 9.
[4]
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Beirut:
Maktabah Wahbah, 1970), 19–21.
[5]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi,
ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 112–115.
3.
Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits Riwayah
3.1.
Masa Nabi Saw dan Para Sahabat
Pada masa Nabi
Muhammad Saw, hadits disampaikan secara lisan langsung dari beliau
kepada para sahabat. Mereka mendengar, menghafal, dan mengamalkan sabda dan
perbuatan Nabi secara langsung. Dalam kondisi tertentu, sebagian sahabat
menuliskan hadits, seperti Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash yang diizinkan menulis
hadits dalam catatannya yang dikenal sebagai ash-Shahifah ash-Shadiqah.¹ Namun
secara umum, periwayatan hadits masih didominasi oleh hafalan dan penyampaian
lisan, karena Nabi Saw pernah melarang penulisan hadits untuk menghindari
percampuran antara wahyu (Al-Qur’an) dan hadits.²
3.2.
Masa Khulafaur Rasyidin dan Tabi'in
Setelah wafatnya
Rasulullah Saw, para sahabat melanjutkan penyebaran hadits ke berbagai daerah
dalam rangka dakwah dan ekspansi Islam. Mereka menjadi rujukan utama dalam
periwayatan hadits, dan mulai tumbuh perhatian terhadap keotentikan sanad.
Seiring menyebarnya para sahabat, maka terjadi variasi periwayatan berdasarkan
lokasi dan guru masing-masing.³ Pada masa ini, umat mulai menghadapi tantangan
dalam standarisasi
riwayat, karena banyak informasi beredar dari berbagai sumber.
3.3.
Masa Tadwīn Awal (Kodifikasi Hadits)
Kodifikasi hadits
secara resmi dimulai pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H/720 M),
yang memerintahkan gubernurnya di Madinah, yaitu Ibnu
Syihab az-Zuhri, untuk menuliskan hadits sebagai bentuk
pelestarian.⁴ Ini merupakan titik balik dalam sejarah perkembangan Ilmu
Hadits Riwayah, sebab periwayatan hadits mulai didokumentasikan
secara sistematis dan bukan hanya bergantung pada hafalan. Upaya ini menjadi
fondasi bagi kodifikasi hadits dalam bentuk kitab-kitab hadits di generasi
berikutnya.
3.4.
Masa Pembukuan dan Klasifikasi (Abad ke-2–3 H)
Periode ini dikenal
sebagai masa emas kodifikasi hadits, ditandai dengan lahirnya berbagai kitab
hadits berdasarkan metode pengumpulan yang berbeda: musnad,
sunan,
jāmi‘,
dan mu‘jam.
Tokoh-tokoh besar muncul, seperti Imam Malik dengan al-Muwaṭṭa’, Imam Ahmad dengan Musnad
Ahmad, serta Imam al-Bukhari dan Muslim dengan kitab Shahih
mereka yang menjadi standar kesahihan hadits.⁵ Pada fase ini pula, kriteria
ilmiah dalam menerima dan menolak riwayat mulai dikembangkan
secara intensif oleh para ulama.
3.5.
Masa Penyempurnaan dan Kritik Hadits
Pada abad ke-4 H dan
seterusnya, para ulama mengembangkan Ilmu Hadits Riwayah dengan pendekatan kritis
dan analitis.
Muncul ilmu-ilmu cabang seperti ‘Ilm Rijāl al-Hadīts (biografi
perawi), ‘Ilal
al-Hadīts (kecacatan tersembunyi), dan Jarḥ wa Ta‘dīl (penilaian terhadap
perawi). Kitab-kitab seperti al-Kāmil fi Du‘afā’ ar-Rijāl karya
Ibn ‘Adī dan Tahdzīb al-Kamāl karya al-Mizzi
menunjukkan kematangan metodologi kritik terhadap sanad dan perawi.⁶
3.6.
Masa Modern dan Kontemporer
Pada era modern,
Ilmu Hadits Riwayah mengalami revitalisasi dalam bentuk pengajaran
akademik, penyusunan kurikulum, serta penerbitan ulang manuskrip
klasik dengan tahkīq ilmiah. Selain itu, berbagai proyek digitalisasi
hadits seperti Maktabah Syamilah, al-Maktabah
al-Waqfiyyah, dan Sunnah.com turut memperluas akses
umat terhadap khazanah hadits yang luas. Di sisi lain, muncul tantangan baru dari
kalangan orientalis yang mempertanyakan validitas sanad—yang dijawab oleh para
sarjana Muslim modern seperti M.M. Azami dan Jonathan A.C. Brown melalui
pendekatan ilmiah dan pembelaan sistematis terhadap metode isnad.⁷
Footnotes
[1]
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Beirut:
Maktabah Wahbah, 1970), 28.
[2]
Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dar
al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 102.
[3]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: al-Maktab
al-Islami, 1988), 13.
[4]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World, 2nd ed. (Oxford: Oneworld Publications, 2017), 61.
[5]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi,
ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 78–80.
[6]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits (Damaskus:
Dar al-Fikr, 2005), 127–130.
[7]
Muhammad Mustafa al-A‘zami, Studies in Hadith Methodology and
Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 46–48.
4.
Sumber dan Jenis-Jenis Hadits
4.1.
Sumber Hadits
Secara substansial,
hadits berasal dari segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan
(taqrir), maupun sifat-sifat beliau, baik fisik maupun akhlaknya.¹ Inilah yang
menjadi pijakan utama dalam definisi hadits oleh mayoritas ulama. Meskipun
istilah lain seperti sunnah, khabar,
dan atsar
juga sering digunakan dalam literatur klasik, para ulama memberikan perbedaan
makna sesuai konteks penggunaannya:
·
Hadits
Umumnya digunakan untuk menyebut semua
yang bersumber dari Nabi Saw, baik secara lisan maupun tindakan.
·
Sunnah
Lebih banyak digunakan dalam konteks
hukum dan fiqh untuk merujuk pada praktik Nabi Saw.
·
Khabar
Digunakan secara lebih umum, bisa
merujuk pada ucapan siapa saja, tidak terbatas pada Nabi.
·
Atsar
Biasanya digunakan untuk menyebut
perkataan atau perbuatan sahabat dan tabi‘in, namun kadang juga digunakan untuk
hadits.²
Namun, dalam konteks
Ilmu Hadits Riwayah, keempat istilah tersebut sering digunakan saling
bergantian, dengan hadits sebagai istilah yang paling dominan.
4.2.
Jenis-Jenis Hadits
Para ulama hadits
mengklasifikasikan hadits dengan berbagai pendekatan untuk memudahkan pemahaman
dan validasi. Klasifikasi utama didasarkan pada jumlah perawi, tingkat
otentisitas, dan karakteristik sanad dan matan.
4.2.1.
Berdasarkan
Jumlah Perawi
Klasifikasi ini
membedakan hadits berdasarkan kuantitas orang yang meriwayatkannya dalam setiap
tingkat sanad:
·
Hadits
Mutawātir
Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
perawi pada setiap tingkat sanad, sehingga mustahil mereka bersepakat untuk
berdusta. Hadits mutawatir menghasilkan keyakinan (yaqīn).³
Contoh: hadits tentang banyaknya orang yang meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda:
“Barang siapa berdusta atas namaku maka hendaklah ia menyiapkan tempat
duduknya di neraka.”⁴
·
Hadits
Āḥād
Hadits yang diriwayatkan oleh satu atau beberapa
perawi namun belum mencapai derajat mutawatir. Hadits ahad bersifat zanni
(dugaan kuat), dan terbagi menjadi:
(#) Masyrūr
(dua perawi atau lebih),
(#) ‘Azīz
(minimal dua perawi dalam setiap tingkatan),
(#) Gharīb
(diriwayatkan oleh satu perawi dalam salah satu tingkat sanad).⁵
4.2.2.
Berdasarkan
Tingkat Kualitas
Penilaian ini
didasarkan pada keutuhan sanad, kualitas perawi, dan bebasnya matan dari cacat
tersembunyi:
·
Hadits
Shahīh
Hadits yang sanad-nya bersambung, perawinya adil
dan dhābit (kuat hafalannya), serta matan-nya tidak cacat dan tidak
bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat.⁶
·
Hadits
Hasan
Hadits yang sanad-nya bersambung dan perawinya
adil, namun hafalannya berada satu tingkat di bawah perawi shahih. Hadits ini
diterima untuk dijadikan hujjah.⁷
·
Hadits
Ḍa‘īf
Hadits yang tidak memenuhi kriteria shahih maupun
hasan. Biasanya lemah karena ada cacat dalam sanad, perawi yang tidak kuat,
atau gangguan dalam matan.⁸
4.2.3.
Berdasarkan
Karakteristik Sanad dan Matan
Ulama juga
mengelompokkan hadits berdasarkan kondisi teknis sanad dan matannya:
·
Mursal:
Hadits yang diriwayatkan oleh tabi‘in langsung dari Nabi Saw tanpa menyebut
sahabat.⁹
·
Mu‘allaq:
Hadits yang terputus di awal sanad.
·
Mu‘ḍal:
Dua atau lebih perawi terhapus secara berurutan dari sanad.
·
Mudallas:
Perawi menyembunyikan nama gurunya atau menggunakan lafaz samar untuk
menyampaikan riwayat.¹⁰
·
Maqlūb:
Hadits yang mengalami pertukaran posisi antara sanad atau matan.
Kesimpulan
Klasifikasi hadits
memiliki peran penting dalam pengembangan Ilmu Hadits Riwayah karena
memungkinkan para ulama untuk memilah dan menilai kekuatan suatu riwayat.
Pendekatan ilmiah ini menjadi bukti keotentikan transmisi ilmu dalam Islam,
sekaligus menunjukkan betapa seriusnya para ulama dalam menjaga keaslian ajaran
Nabi Muhammad Saw.
Footnotes
[1]
Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dar
al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 26–27.
[2]
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Beirut:
Maktabah Wahbah, 1970), 21–22.
[3]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: al-Maktab
al-Islami, 1988), 39.
[4]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Muqaddimah, no.
1.
[5]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi,
ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 82–85.
[6]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar,
ed. Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 27.
[7]
Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 50–51.
[8]
Al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, 91–92.
[9]
Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits, 114.
[10]
Suyuthi, Tadrib al-Rawi, 101–105.
5.
Rantai Periwayatan (Sanad)
5.1.
Pengertian Sanad dan Isnad
Dalam kajian Ilmu
Hadits Riwayah, istilah sanad dan isnād
merujuk pada unsur penting dalam proses transmisi hadits. Secara bahasa, sanad
berarti “sandaran” atau “penopang.”¹ Secara istilah, para ulama
mendefinisikannya sebagai:
“Rangkaian para perawi yang menyampaikan
matan (teks) hadits dari sumbernya yang pertama hingga sampai kepada penyusun
atau pendengar terakhir.”_²
Sedangkan isnād
merujuk pada proses menyebutkan rangkaian perawi hadits, baik secara lisan
maupun tertulis.³ Dalam praktiknya, sanad dan isnād sering kali dipertukarkan
secara bebas karena keduanya sama-sama menunjuk pada struktur perantara dalam
transmisi hadits dari Rasulullah Saw ke generasi berikutnya.
Pentingnya sanad
dalam tradisi Islam sangat besar. Abdullah ibn al-Mubarak (w. 181 H)
menyatakan, “Al-isnād minad-dīn, walau lā isnād la-qāla man
syā’a mā syā’a” — “Sanad adalah bagian dari agama; jika tidak
ada sanad, maka siapa pun bisa berkata sesukanya.”⁴
5.2.
Fungsi dan Signifikansi Sanad
Sanad berfungsi
sebagai alat verifikasi historis
terhadap otentisitas sebuah hadits. Melalui sanad, para ulama dapat menelusuri jalur
transmisi hadits, menilai kredibilitas perawi, serta
mengidentifikasi kemungkinan kecacatan (illat) dalam
riwayat.⁵ Bahkan, sistem sanad merupakan keunikan khas dalam tradisi keilmuan
Islam yang tidak ditemukan secara sistematis dalam tradisi agama-agama lain.⁶
Para ulama tidak
hanya menerima hadits berdasarkan teksnya (matan), tetapi juga memperhatikan
siapa yang menyampaikannya, dari siapa ia mendengarnya, dalam kondisi apa, dan
dengan metode apa riwayat itu ditransmisikan. Penelitian terhadap sanad menjadi
tulang punggung dalam menentukan status hadits: shahih, hasan, atau dha‘if.
5.3.
Syarat Ketersambungan Sanad
Salah satu syarat
utama validitas sanad adalah ittisāl atau ketersambungan
rantai perawi, yakni tidak adanya perawi yang hilang atau terputus
pada salah satu tingkatan sanad.⁷ Bila terdapat perawi yang tidak disebutkan,
atau perawi yang tidak sempat bertemu dengan gurunya, maka hadits tersebut
dinilai munqathi‘ (terputus) dan
kehilangan nilai keotentikannya.
Selain itu, setiap
perawi dalam sanad harus memenuhi dua kriteria:
1)
‘Adālah:
Sifat adil, yakni kesalehan, kejujuran, dan tidak dikenal sebagai pelaku dosa
besar.
2)
Dhabt:
Ketelitian hafalan atau kekuatan dalam menulis dan memahami isi riwayat.⁸
5.4.
Jenis-Jenis Sanad dalam Ilmu Hadits
Para ulama
mengembangkan klasifikasi sanad untuk memudahkan evaluasi terhadap kualitas
riwayat. Beberapa jenis sanad penting antara lain:
·
Sanad
‘Ālī (tinggi)
Sanad yang memiliki jumlah perawi paling
sedikit antara penyusun hadits dan Rasulullah Saw. Sanad seperti ini dianggap
lebih mulia karena meminimalisasi potensi kesalahan.⁹
·
Sanad
Nāzil (rendah)
Sanad yang jumlah perawinya lebih banyak
dalam suatu jalur, biasanya karena melewati jalur transmisi yang lebih panjang.
·
Mu‘an‘an
Sanad yang menggunakan lafaz ‘an
(dari) antar perawi. Sanad seperti ini dianggap bersambung jika
perawi dikenal sebagai orang yang mendengar langsung dari gurunya dan tidak
melakukan tadlīs.¹⁰
·
Mu‘allaq
Sanad yang terputus di awal (misalnya
seorang penyusun hadits menyebut langsung nama sahabat atau Nabi tanpa menyebut
perawi sebelumnya).
·
Mursal
Sanad yang terputus pada tingkat
sahabat, di mana tabi‘in meriwayatkan langsung dari Nabi Saw.
5.5.
Praktik Penelitian Sanad dalam Literatur Hadits
Sanad menjadi fokus
utama dalam karya-karya hadits klasik. Misalnya, Imam al-Bukhari dikenal sangat
selektif terhadap sanad. Ia hanya mencantumkan hadits dari perawi yang tsiqah
(terpercaya), bertemu langsung dengan gurunya, dan dikenal
memiliki kualitas hafalan yang kuat.¹¹
Karena itu, kitab Shahih al-Bukhari menjadi standar
tertinggi dalam derajat keotentikan hadits.
Kitab-kitab seperti Tahdzīb
al-Kamāl karya al-Mizzi, al-Jarh wa at-Ta‘dīl karya Ibn Abī
Hātim, dan Mīzān
al-I‘tidāl karya adz-Dzahabi menjadi referensi utama dalam analisis
sanad dan perawi. Upaya ini menunjukkan keseriusan ulama dalam
menjaga keaslian hadits melalui pendekatan ilmiah yang teliti dan
berkelanjutan.
Kesimpulan
Sanad bukan sekadar
daftar nama perawi, tetapi merupakan sistem verifikasi keilmuan yang
luar biasa canggih dalam sejarah peradaban manusia. Melalui sanad, hadits Nabi Saw
terjaga kemurniannya lintas generasi, dan umat Islam memiliki perangkat ilmiah
untuk memilah riwayat yang dapat dijadikan pedoman dalam beragama.
Footnotes
[1]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: al-Maktab
al-Islami, 1988), 33.
[2]
Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dar
al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 45.
[3]
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Beirut:
Maktabah Wahbah, 1970), 67.
[4]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar,
ed. Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 14.
[5]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World, 2nd ed. (Oxford: Oneworld Publications, 2017), 56–57.
[6]
Muhammad Mustafa al-A‘zami, Studies in Hadith Methodology and
Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 10–12.
[7]
Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 42.
[8]
Al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, 78.
[9]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi,
ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 115–116.
[10]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits (Damaskus:
Dar al-Fikr, 2005), 97–99.
[11]
Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits, 138.
6.
Para Perawi Hadits
6.1.
Pengertian Perawi dan Peranannya
Dalam kajian Ilmu
Hadits Riwayah, perawi adalah individu yang
menyampaikan hadits dari satu generasi ke generasi berikutnya. Peran perawi
sangat vital karena mereka menjadi penghubung utama antara
Rasulullah Saw dan umat Islam setelahnya.¹ Kualitas perawi secara langsung
memengaruhi kualitas sanad dan validitas hadits yang diriwayatkan. Oleh karena
itu, perhatian terhadap kredibilitas dan integritas perawi menjadi pusat
perhatian utama dalam Ilmu Hadits.
Ulama salaf sangat
ketat dalam menerima riwayat hadits. Mereka tidak hanya menilai isi riwayat
(matan), tetapi juga meneliti latar belakang dan akhlak perawi,
mulai dari tingkat hafalan, akurasi, hingga kehidupan pribadi dan interaksi
sosialnya.²
6.2.
Syarat-Syarat Perawi yang Diterima
Para ulama telah
menetapkan dua syarat pokok bagi seorang perawi agar haditsnya diterima:
1)
‘Adālah (keadilan)
Keadilan berarti bahwa perawi harus merupakan
seorang Muslim yang baligh, berakal, menjauhi dosa besar, tidak terus-menerus
melakukan dosa kecil, serta menjaga muru’ah (kehormatan diri).³ Sifat ini
menunjukkan integritas moral dan religius dari seorang perawi.
2)
Ḍabt (ketelitian
hafalan atau pencatatan)
Dhabt terbagi menjadi dua:
(#) Ḍabt aṣ-ṣadr:
Kemampuan perawi untuk menghafal hadits dengan baik dan menyampaikannya dengan
akurat.
(#) Ḍabt
al-kitābah: Ketelitian dalam mencatat hadits dan menjaga catatan
dari kesalahan atau perubahan.⁴
Ketiadaan salah satu
dari dua syarat ini dapat menyebabkan hadits dinilai ḍa‘īf
(lemah), atau bahkan mawḍū‘ (palsu), tergantung pada
tingkat kekurangannya.
6.3.
Klasifikasi Para Perawi
Para perawi
diklasifikasikan berdasarkan kualitasnya dalam meriwayatkan hadits. Klasifikasi
ini menjadi acuan dalam menentukan status hadits:
·
Tsiqah
(terpercaya):
Perawi yang adil dan dhabt. Hadits yang
diriwayatkannya berpotensi mencapai derajat ṣaḥīḥ atau ḥasan.⁵
·
Ṣadūq
(jujur):
Perawi yang adil namun hafalannya kurang
kuat. Riwayatnya dapat diterima sebagai ḥasan.
·
Ḍa‘īf
(lemah):
Perawi yang tidak memenuhi syarat
‘adālah atau dhabt. Haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah kecuali dalam
kondisi tertentu dan bukan dalam masalah akidah dan hukum.
·
Matrūk
(ditinggalkan):
Perawi yang sangat lemah dan sering
salah, atau dikenal berdusta. Haditsnya tidak dipakai sama sekali dalam
istinbat hukum.⁶
6.4.
Ilmu Rijāl al-Ḥadīts
Untuk mengetahui
status seorang perawi, para ulama mengembangkan cabang ilmu khusus yang disebut
‘Ilm
Rijāl al-Ḥadīts, yaitu ilmu yang membahas tentang biografi dan
kredibilitas para perawi hadits. Melalui ilmu ini, seorang peneliti dapat
mengetahui nama perawi, guru-gurunya, murid-muridnya, kualitas hafalan,
karakter pribadinya, serta waktu dan tempat hidupnya.⁷
Kitab-kitab utama
dalam bidang ini antara lain:
·
Tahdzīb al-Kamāl oleh al-Mizzi
·
Mīzān al-I‘tidāl oleh adz-Dzahabi
·
al-Jarḥ wa at-Ta‘dīl oleh Ibn Abī
Hātim
·
Tahdzīb at-Tahdzīb oleh Ibn Ḥajar
al-‘Asqalānī
Informasi dari
kitab-kitab tersebut menjadi landasan dalam menentukan validitas perawi dan
kualitas hadits yang diriwayatkannya.
6.5.
Pentingnya Telaah Terhadap Perawi
Analisis terhadap
perawi menunjukkan keilmiahan dan ketelitian tradisi Islam dalam
transmisi keagamaan. Tidak ada dokumen sejarah keagamaan lain
yang menyusun sistem transmisi informasi seketat yang dilakukan dalam tradisi
hadits. Bahkan orientalis seperti G.H.A. Juynboll dan Ignaz Goldziher mengakui
bahwa metode isnad dan kritik perawi merupakan mekanisme internal verifikasi paling maju
dalam dunia keilmuan klasik.⁸
Dengan demikian,
Ilmu Rijāl dan pemahaman mendalam terhadap perawi menjadi bagian penting dari
Ilmu Hadits Riwayah dan tidak dapat dipisahkan darinya. Tanpa ketelitian dalam
mengenali perawi, niscaya akan terjadi penyebaran hadits palsu atau tidak sahih,
yang berdampak pada penyimpangan ajaran Islam itu sendiri.
Kesimpulan
Para perawi hadits
adalah penjaga lisan Nabi Saw. Melalui pengawasan ketat terhadap siapa yang
meriwayatkan dan bagaimana ia meriwayatkannya, para ulama memastikan bahwa
sabda Nabi tetap sampai kepada kita dengan tingkat keaslian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Klasifikasi dan penelitian terhadap perawi adalah bukti bahwa keilmuan Islam
berdiri di atas prinsip ilmiah, akurat, dan bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: al-Maktab
al-Islami, 1988), 65.
[2]
Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dar
al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 72.
[3]
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Beirut:
Maktabah Wahbah, 1970), 84.
[4]
Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 66–68.
[5]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi,
ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 98–100.
[6]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar,
ed. Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 54–55.
[7]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits (Damaskus:
Dar al-Fikr, 2005), 112–115.
[8]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World, 2nd ed. (Oxford: Oneworld Publications, 2017), 59–60.
7.
Kaidah-Kaidah Penerimaan dan Penolakan Hadits
7.1.
Urgensi Penetapan Kaidah
Dalam Ilmu Hadits
Riwayah, kaidah penerimaan (maqbūl) dan penolakan (mardūd)
hadits sangat penting guna menjamin bahwa hanya riwayat yang otentik
dan terpercaya
yang dijadikan dasar dalam pengambilan hukum, akidah, maupun akhlak. Tanpa
kaidah yang baku, hadits-hadits palsu (mawḍū‘), lemah (ḍa‘īf), dan bermasalah
dalam sanad atau matannya bisa saja tersebar luas di tengah masyarakat.¹ Karena
itu, para ulama hadits merumuskan kriteria objektif dan sistematis yang
digunakan dalam menyaring hadits yang layak diterima dan yang harus ditolak.
7.2.
Kaidah-Kaidah Penerimaan Hadits (Al-Maqbūl)
Hadits dinyatakan maqbūl
(diterima) jika memenuhi lima syarat utama yang disepakati oleh mayoritas
ulama:
1)
Sambungnya sanad
(ittisāl al-sanad)
Seluruh perawi dalam rangkaian sanad harus
bertemu dan menerima secara langsung dari gurunya, tanpa adanya keterputusan
(inqiṭā‘) atau penghilangan perawi.²
2)
Keadilan perawi
(‘adālah)
Setiap perawi dalam sanad harus bersifat adil, yakni
seorang Muslim, baligh, berakal, menjaga kehormatan diri, dan dikenal jujur
serta tidak melakukan dosa besar atau terus-menerus dalam dosa kecil.³
3)
Kuat hafalan atau
ketelitian perawi (ḍabt)
Perawi harus memiliki kemampuan menghafal secara
akurat (ḍabt al-ṣadr) atau mencatat dengan benar (ḍabt al-kitābah),
sehingga riwayatnya tidak terdistorsi.⁴
4)
Bebas dari syudzūdz
(keanehan atau penyimpangan)
Matan atau sanad hadits tidak boleh bertentangan
dengan riwayat yang lebih kuat, baik dari segi jumlah perawi maupun
kualitasnya. Hadits yang menyelisihi riwayat yang lebih tsiqah disebut shādh
dan tidak dapat diterima.⁵
5)
Bebas dari ‘illah qāḍiḥah
(cacat tersembunyi yang merusak)
Hadits tidak boleh mengandung kelemahan
tersembunyi yang hanya dapat dikenali oleh pakar hadits. Misalnya, seorang
perawi ternyata tidak sempat bertemu dengan gurunya meskipun secara lahir
sanad-nya tampak bersambung.⁶
Jika semua syarat
ini terpenuhi secara sempurna, maka hadits tersebut dinyatakan ṣaḥīḥ.
Jika ada sedikit kekurangan dalam ḍabt, tetapi tidak sampai merusak isi hadits,
maka statusnya turun menjadi ḥasan.
7.3.
Kaidah-Kaidah Penolakan Hadits (Al-Mardūd)
Hadits ditolak bila
salah satu atau lebih dari lima syarat di atas tidak terpenuhi. Bentuk
penolakan didasarkan pada penyebab lemahnya sanad atau matan. Beberapa jenis
hadits yang ditolak antara lain:
1)
Hadits
Munqaṭi‘: Hadits dengan sanad terputus pada satu atau beberapa
tingkatan.⁷
2)
Hadits
Mursal: Diriwayatkan oleh tabi‘in langsung dari Nabi Saw tanpa
menyebutkan sahabat. Meskipun sebagian ulama menerimanya dalam kondisi
tertentu, ia tetap dianggap tidak memenuhi kriteria sanad yang sempurna.⁸
3)
Hadits
Maqlūb: Terjadi perubahan dalam susunan sanad atau matan, baik
disengaja maupun tidak.
4)
Hadits
Mudallas: Mengandung bentuk penipuan sanad, misalnya dengan
menyembunyikan guru yang sebenarnya tidak didengar langsung hadits darinya.⁹
5)
Hadits
Mawḍū‘: Hadits yang secara pasti diketahui sebagai palsu,
biasanya karena ditemukan adanya pemalsuan oleh perawi tertentu. Ini adalah
bentuk hadits yang paling ditolak dan tidak boleh diamalkan sama sekali.¹⁰
Ulama memiliki
kaidah tambahan untuk mengenali indikasi hadits palsu, seperti:
·
Isi hadits bertentangan
dengan Al-Qur’an atau hadits mutawātir,
·
Matan hadits berisi janji
atau ancaman yang berlebihan untuk amalan ringan,
·
Sanadnya mencakup perawi
yang dikenal berdusta, atau bahkan tidak pernah dikenal dalam ilmu rijāl.
7.4.
Penerapan Kaidah dalam Tradisi Ulama
Kaidah-kaidah ini
diterapkan secara ketat oleh para imam hadits seperti Imam
al-Bukhari, Muslim, dan Abu
Dawud. Misalnya, Imam al-Bukhari hanya menerima hadits dari
perawi yang benar-benar bertemu secara fisik dan
meriwayatkan dalam kondisi yang memungkinkan transmisi hadits secara sah.¹¹
Karya-karya seperti Muqaddimah
Ibn al-Ṣalāḥ, Tadrīb al-Rāwī karya as-Suyuthi,
serta Nuzhat
al-Naẓar karya Ibn Ḥajar, menjadi rujukan pokok dalam menjelaskan
dan menerapkan kaidah-kaidah ini.
Kesimpulan
Kaidah penerimaan
dan penolakan hadits mencerminkan kedisiplinan ilmiah dalam
tradisi Islam dalam menjaga warisan Nabi Muhammad Saw. Melalui prinsip-prinsip
ini, umat Islam tidak hanya menerima tradisi keagamaan berdasarkan keyakinan
semata, tetapi juga berdasarkan metode ilmiah yang teruji dalam
sejarah keilmuan dunia.
Footnotes
[1]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: al-Maktab
al-Islami, 1988), 59.
[2]
Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dar
al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 69.
[3]
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Beirut:
Maktabah Wahbah, 1970), 84.
[4]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi,
ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 92–94.
[5]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar,
ed. Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 55.
[6]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits (Damaskus:
Dar al-Fikr, 2005), 122.
[7]
Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 77.
[8]
Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits, 115.
[9]
Suyuthi, Tadrib al-Rawi, 103–105.
[10]
Al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, 98.
[11]
Muhammad Mustafa al-A‘zami, Studies in Hadith Methodology and
Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 52–54.
8.
Kitab-Kitab Pokok dalam Ilmu Hadits Riwayah
8.1.
Urgensi Kodifikasi Hadits
Salah satu tonggak
penting dalam sejarah Ilmu Hadits Riwayah adalah kodifikasi hadits ke dalam
bentuk kitab-kitab
himpunan hadits. Langkah ini dimulai secara resmi pada masa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H),
yang memerintahkan penulisan hadits untuk menghindari terhapusnya warisan lisan
Nabi Muhammad Saw.¹ Kodifikasi hadits
menjadi bentuk konkret dari penerapan prinsip-prinsip Ilmu Riwayah, sebab
setiap hadits yang dimuat dalam kitab-kitab tersebut menyertakan sanad dan matan
yang memungkinkan proses verifikasi dan kritik.
8.2.
Kategori Kitab-Kitab Hadits Berdasarkan Metode
Penyusunan
Dalam khazanah Islam
klasik, kitab-kitab hadits disusun berdasarkan pendekatan dan tujuan tertentu.
Secara umum, kitab-kitab hadits diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis:
1)
Kitab Jāmi‘
Kitab yang menghimpun hadits dari berbagai
tema keislaman, termasuk akidah, hukum, adab, tafsir, dan
eskatologi. Contohnya adalah Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim.²
2)
Kitab Sunan
Kitab yang berisi hadits-hadits hukum yang
disusun sesuai dengan bab-bab fikih, seperti Sunan Abī Dāwūd, Sunan
at-Tirmiżī, Sunan an-Nasā’ī, dan Sunan Ibn Mājah.³
3)
Kitab Musnad
Disusun berdasarkan nama
perawi sahabat, bukan tematik. Hadits-hadits dari setiap
sahabat dikumpulkan dalam satu bagian. Contoh paling terkenal adalah Musnad
Imām Aḥmad bin Ḥanbal.⁴
4)
Kitab Mu‘jam
Disusun berdasarkan nama guru penulis atau nama
tempat, biasanya secara alfabetis. Contoh: al-Mu‘jam al-Kabīr karya
at-Ṭabarānī.⁵
5)
Kitab Mustakhraj dan
Mustadrak
(#) Mustakhraj:
Penulis meriwayatkan hadits dari jalur berbeda atas hadits yang sudah dimuat
dalam kitab sebelumnya, seperti al-Mustakhraj ‘ala Ṣaḥīḥ Muslim
karya Abu Nu‘aym.
(#) Mustadrak:
Kitab yang memuat hadits-hadits yang memenuhi syarat kitab induk tertentu
tetapi tidak dicantumkan di dalamnya. Misalnya, al-Mustadrak ‘ala ash-Ṣaḥīḥayn
karya al-Ḥākim an-Naisābūrī.⁶
8.3.
Kutub at-Tis‘ah (Sembilan Kitab Induk Hadits)
Dalam literatur
Islam, dikenal istilah Kutub at-Tis‘ah sebagai
kelompok kitab hadits yang menjadi rujukan utama dalam kajian
hadits:
1)
Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī (w. 256 H) – disusun oleh Muḥammad ibn Ismā‘īl
al-Bukhārī
2)
Ṣaḥīḥ
Muslim (w. 261 H) – disusun oleh Muslim ibn al-Ḥajjāj
3)
Sunan
Abī Dāwūd (w. 275 H) – disusun oleh Abū Dāwūd as-Sijistānī
4)
Sunan
at-Tirmiżī (w. 279 H)
5)
Sunan
an-Nasā’ī (w. 303 H)
6)
Sunan
Ibn Mājah (w. 273 H)
7)
Muwaṭṭa’
Imām Mālik (w. 179 H)
8)
Musnad Aḥmad
bin Ḥanbal (w. 241 H)
9)
Sunan
ad-Dārimī (w. 255 H)⁷
Dua yang paling
utama dan menempati tingkatan tertinggi dalam keabsahan sanad
adalah Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim, yang sering disebut
sebagai ash-Ṣaḥīḥayn. Hadits-hadits
dalam kedua kitab ini secara umum telah memenuhi kriteria paling ketat dari
sisi sanad dan perawi.
8.4.
Kriteria dan Metodologi Penyusun Kitab
Para penyusun kitab
hadits memiliki metodologi khusus dalam memilih dan mengumpulkan riwayat.
Misalnya:
·
Imam
al-Bukhārī menetapkan syarat bahwa setiap perawi harus bertemu
langsung dengan gurunya dan dikenal sebagai orang yang tsiqah
dan kuat
hafalannya.⁸
·
Imam
Muslim sedikit lebih longgar dalam hal pertemuan langsung (mu‘āṣarah
tanpa liqā’)
selama tidak ada indikasi tadlīs atau pemutusan sanad.⁹
·
Kitab seperti Sunan
at-Tirmiżī selain memuat hadits juga memberikan komentar hukum dan
penilaian atas kualitas sanad, menjadikannya salah satu rujukan dalam mustalah
al-ḥadīts.¹⁰
8.5.
Manfaat Mempelajari Kitab-Kitab Hadits
Memahami struktur
dan karakteristik kitab-kitab hadits sangat penting bagi pelajar Ilmu Hadits
Riwayah, karena:
·
Membantu dalam proses takhrīj
al-ḥadīts (menelusuri asal-usul hadits dalam literatur klasik),
·
Mengetahui tingkatan
kekuatan hadits berdasarkan sumbernya,
·
Menunjukkan bagaimana metodologi
kritik dan seleksi riwayat diterapkan oleh para imam besar.
Selain itu,
kitab-kitab tersebut menjadi rangka utama dalam penyusunan hukum Islam,
menjadi sandaran para imam mazhab dalam istinbāṭ al-aḥkām.
Kesimpulan
Kitab-kitab hadits
bukan hanya kumpulan riwayat, tetapi merupakan dokumen ilmiah yang
mencerminkan metode sistematis dan ketelitian luar biasa dalam transmisi ajaran
Islam. Melalui kitab-kitab inilah Ilmu Hadits Riwayah mendapatkan bentuk
konkritnya, dan darinya pula umat Islam hari ini mampu mengakses sabda Nabi Saw
secara otentik dan bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits
(Beirut: Maktabah Wahbah, 1970), 28–29.
[2]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut:
al-Maktab al-Islami, 1988), 103.
[3]
Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 132.
[4]
Al-Kattani, Ar-Risalah al-Mustatrafah (Beirut:
Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah, 1991), 36.
[5]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), 78.
[6]
Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 105.
[7]
Al-Kattani, Ar-Risalah al-Mustatrafah, 38–41.
[8]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi,
ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 113.
[9]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar,
ed. Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 71.
[10]
Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits, 133.
9.
Metode Periwayatan Hadits
9.1.
Konsep Dasar Tahammul dan Ada’ al-Hadits
Dalam Ilmu Hadits
Riwayah, proses transmisi hadits dari satu generasi ke generasi berikutnya
dikenal dengan istilah tahammul al-hadits (cara
menerima hadits) dan ada’ al-hadits (cara
menyampaikan hadits).¹
Para ulama hadits
menetapkan metode-metode tertentu yang menunjukkan bagaimana
seorang perawi memperoleh hadits dari gurunya serta bagaimana
ia menyampaikannya kepada murid atau generasi berikutnya.
Kejelasan metode ini penting untuk menilai apakah suatu riwayat dapat diterima
atau perlu dikritisi.
9.2.
Metode-Metode Penerimaan Hadits (Ṭuruq
at-Tahammul)
Berikut adalah
delapan metode utama yang diakui dalam tradisi keilmuan hadits:
1)
As-Samā‘ (السماع)
Mendengar langsung dari guru yang membacakan
hadits. Ini merupakan cara terbaik dan paling otoritatif
dalam periwayatan hadits. Imam Bukhari dan Muslim sangat memprioritaskan metode
ini.²
2)
Al-Qirā’ah ‘ala
al-Syaikh (العرض أو القراءة)
Murid membaca hadits di hadapan gurunya, dan sang
guru mengoreksi atau membenarkan. Cara ini juga dinilai sahih selama interaksi
dan koreksi berlangsung.³
3)
Al-Ijāzah (الإجازة)
Guru memberikan izin kepada murid untuk
meriwayatkan hadits darinya, baik secara lisan maupun tertulis, tanpa proses
pembacaan langsung. Validitasnya tergantung pada kredibilitas guru dan
konteksnya.⁴
4)
Al-Munāwalah (المناولة)
Guru memberikan naskah hadits kepada murid, lalu
mengizinkannya untuk meriwayatkannya. Jika disertai ijazah, maka dinilai kuat.⁵
5)
Al-Kitābah (الكتابة)
Penyampaian hadits melalui surat atau tulisan.
Ini biasa dilakukan antar ulama di tempat yang berjauhan. Syaratnya: tulisan
itu berasal langsung dari penulisnya atau diketahui keasliannya.⁶
6)
Al-I‘lām (الإعلام)
Guru memberitahu murid bahwa hadits ini
diriwayatkan darinya, tetapi tanpa memberi izin meriwayatkan. Ulama berbeda
pendapat tentang keabsahannya.⁷
7)
Al-Waṣiyyah (الوصية)
Seseorang mewasiatkan kitab haditsnya kepada
orang lain untuk diriwayatkan. Keabsahannya lemah kecuali disertai ijazah
eksplisit.⁸
8)
Al-Wijādah (الوجادة)
Murid menemukan catatan hadits gurunya tanpa
mendengar atau mendapat ijazah. Tidak dianggap sebagai metode riwayat resmi,
tetapi disebut dalam bentuk wajada fulānun.⁹
9.3.
Redaksi Penyampaian (Ṣīghāt al-Ada’)
Dalam menyampaikan
hadits, seorang perawi menggunakan redaksi tertentu yang
menunjukkan cara ia menerima hadits tersebut. Redaksi ini membantu ulama untuk
menilai tingkat kekuatan sanad. Beberapa di antaranya:
·
Ḥaddathanā
(telah memberitakan kepada kami): menunjukkan metode samā‘
langsung.
·
Akhbaranā
(telah mengabarkan kepada kami): biasanya digunakan dalam konteks qirā’ah.
·
‘An
fulān (dari si fulan): menunjukkan riwayat dengan redaksi
‘an‘anah yang bisa bermakna umum, tetapi membutuhkan kejelasan tidak adanya
tadlīs.
·
Qāla
(dia berkata): umumnya menunjukkan jarak yang longgar, dan bisa menjadi
indikasi sanad yang tidak bersambung jika tidak didukung bukti mu‘āṣarah (hidup
sezaman dan memungkinkan bertemu).¹⁰
9.4.
Implikasi Metode Riwayat terhadap Validitas
Hadits
Metode tahammul dan
redaksi penyampaian sangat menentukan status sanad, apakah dianggap muttasil
(bersambung) atau munqathi‘ (terputus). Imam
al-Khatib al-Baghdadi menjelaskan pentingnya memahami cara periwayatan agar
tidak sembarangan menilai hadits sahih atau lemah.¹¹
Misalnya, perawi
yang menggunakan ‘an dalam sanad (mu‘an‘an) hanya
diterima jika:
1)
Ia dikenal tidak
melakukan tadlīs,
2)
Ada bukti pertemuan
langsung (liqā’) dengan gurunya.
Jika syarat ini
tidak terpenuhi, maka sanad bisa dinilai tidak bersambung.
9.5.
Peran Adab dalam Proses Riwayat
Selain metode
formal, para ulama sangat menekankan adab dan etika dalam meriwayatkan hadits.
Seorang perawi dituntut untuk:
·
Jujur dan tidak
menambah-nambahkan riwayat,
·
Menyampaikan hadits persis
seperti yang ia terima,
·
Tidak meriwayatkan dari
guru yang belum ia yakini keotentikan sanadnya,
·
Menyebutkan metode dan
redaksi yang benar.
Adab ini bukan hanya
menunjukkan integritas pribadi, tetapi juga menjamin keutuhan
sanad dan matan hadits untuk generasi setelahnya.¹²
Kesimpulan
Metode periwayatan
hadits menunjukkan betapa telitinya para ulama dalam menjaga transmisi sabda
Nabi Muhammad Saw. Dari proses mendengar hingga menyampaikan, semuanya tunduk
pada aturan
ilmiah dan adab keilmuan yang ketat. Ilmu Hadits Riwayah tidak
hanya bicara tentang “apa” yang diriwayatkan, tetapi juga “bagaimana”
dan “oleh siapa” riwayat itu dipertanggungjawabkan.
Footnotes
[1]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut:
al-Maktab al-Islami, 1988), 113.
[2]
Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 154–155.
[3]
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits
(Beirut: Maktabah Wahbah, 1970), 173.
[4]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi,
ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 149.
[5]
Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi Ilm ar-Riwayah
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1980), 303.
[6]
Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits, 157.
[7]
Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 117.
[8]
Al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, 177.
[9]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), 165.
[10]
Suyuthi, Tadrib al-Rawi, 161–162.
[11]
Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah, 212.
[12]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar,
ed. Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 67–68.
10.
Tantangan dan Isu Kontemporer dalam Ilmu
Riwayah
10.1.
Konteks Tantangan Modern
Ilmu Hadits Riwayah
sebagai bagian dari khazanah keilmuan Islam telah melewati berabad-abad
perkembangan, namun di era kontemporer menghadapi sejumlah tantangan
baru, baik dari internal umat Islam sendiri maupun dari
pengaruh eksternal seperti orientalisme, sekularisme, serta dinamika
perkembangan teknologi dan informasi. Tantangan-tantangan ini menuntut
pendekatan kritis, adaptif, dan solutif
untuk mempertahankan relevansi serta otoritas keilmuan hadits dalam masyarakat
modern.
10.2.
Kritik Orientalis terhadap Sistem Isnad
Salah satu tantangan
besar datang dari kalangan orientalis, khususnya
pada abad ke-19 dan 20, yang meragukan keaslian sistem isnad. Tokoh
seperti Ignaz Goldziher dan Joseph
Schacht berpendapat bahwa sanad dalam literatur hadits
merupakan rekayasa ulama fiqh pada abad
kedua dan ketiga Hijriah untuk melegitimasi pandangan hukum tertentu.¹ Mereka
menganggap bahwa isnad bersifat retrospektif, disusun kemudian untuk menjustifikasi
matan-matan hadits.
Namun, asumsi ini
telah dibantah
secara ilmiah oleh para ulama dan peneliti Muslim modern,
seperti Muhammad Mustafa al-A‘zami,
yang dalam kajian dokumenternya menunjukkan bukti-bukti eksistensi sanad yang
otentik sejak masa sahabat dan tabi‘in, melalui naskah, catatan hadits awal,
dan transmisi lisan yang terdokumentasi.² Demikian pula, Jonathan
A.C. Brown membuktikan bahwa sistem isnad bukan hanya autentik,
tetapi juga memiliki metodologi internal yang kompleks dan dapat diuji secara
historis.³
10.3.
Maraknya Hadits Palsu dan Hoaks Keagamaan
Di era media sosial
dan informasi digital yang sangat cepat, penyebaran hadits palsu atau tidak valid
menjadi tantangan serius. Banyak hadits yang tidak bersumber jelas—atau bahkan
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam—disebarkan luas dengan label “sabda
Nabi,” sering kali tanpa verifikasi. Fenomena ini menyebabkan distorsi
pemahaman agama, bahkan digunakan untuk kepentingan
politik atau komersial.⁴
Padahal, para ulama
telah mengembangkan ilmu takhrij dan verifikasi
sanad untuk menghindari hal ini. Sayangnya, minimnya literasi
hadits di kalangan masyarakat umum menjadi faktor penyebab lemahnya daya saring
terhadap informasi keagamaan yang beredar.
10.4.
Minimnya Penguasaan Ilmu Hadits di Lembaga
Pendidikan Umum
Tantangan lain
adalah kurangnya
perhatian terhadap ilmu hadits, terutama dalam lembaga
pendidikan Islam non-tradisional. Kajian hadits sering dianggap sebagai domain
eksklusif pesantren atau lembaga salaf, sementara lembaga pendidikan tinggi
Islam modern lebih fokus pada pendekatan filosofis, historis, atau interdisipliner
tanpa penguatan aspek riwayah dan isnad.⁵
Akibatnya, banyak
mahasiswa atau cendekiawan Islam yang fasih dalam wacana kontemporer tetapi lemah
dalam metodologi hadits, sehingga kurang mampu merespons secara
ilmiah kritik-kritik eksternal terhadap sumber-sumber Islam.
10.5.
Digitalisasi Hadits: Peluang dan Tantangan
Munculnya proyek
digitalisasi hadits seperti Maktabah Syamilah, al-Maktabah
al-Waqfiyyah, Sunnah.com, dan aplikasi pencarian
hadits membuka peluang besar dalam pengajaran dan penelitian hadits. Akses ke
ribuan kitab klasik menjadi lebih cepat dan luas.⁶
Namun, tantangannya
adalah minimnya
kontrol kualitas atas data digital tersebut. Tidak semua
aplikasi menyertakan derajat hadits, penjelasan
sanad, atau keterkaitan dengan kitab aslinya. Jika tidak digunakan secara
kritis, bisa menimbulkan pemahaman yang keliru atas
validitas hadits.
10.6.
Upaya Pembaruan dan Integrasi Metodologi
Sebagai respons
terhadap tantangan tersebut, sejumlah akademisi Muslim menyerukan pembaruan
metodologis dalam studi hadits, seperti:
·
Integrasi ilmu hadits
klasik dengan metodologi kritik sejarah modern,
·
Penerapan natural
language processing dan machine learning untuk analisis
sanad dan matan,
·
Pendekatan interdisipliner
antara ilmu hadits, linguistik, sosiologi, dan studi hukum.
Tokoh seperti Dr.
Yasir Qadhi, Mustafa al-A‘zami, dan Muhammad
Ajaj al-Khatib termasuk di antara mereka yang mendorong
pembaruan tanpa mengorbankan otoritas turats.⁷
Kesimpulan
Tantangan-tantangan
kontemporer terhadap Ilmu Hadits Riwayah mengharuskan adanya revitalisasi
keilmuan dengan tetap menjaga akar klasiknya. Pendekatan kritis
terhadap orientalisme, penguatan literasi hadits di semua jenjang pendidikan,
serta pemanfaatan teknologi secara bijak adalah kunci untuk memastikan bahwa
ilmu hadits tetap hidup, relevan, dan terpercaya di era modern.
Footnotes
[1]
Ignaz Goldziher, Muslim Studies, trans. C.R. Barber
and S.M. Stern (London: Allen & Unwin, 1971), 1:39–106.
[2]
Muhammad Mustafa al-A‘zami, On Schacht’s Origins of Muhammadan
Jurisprudence (New York: Oxford University Press, 1985), 52–74.
[3]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World, 2nd ed. (Oxford: Oneworld Publications, 2017), 61–73.
[4]
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid
I (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 229.
[5]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di
Tengah Tantangan Milenium III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 117–118.
[6]
Suhrawardi K. Lubis, Metodologi Studi Hadis Kontemporer
(Jakarta: Prenada Media, 2020), 135–136.
[7]
Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-Fikr, 2001), 214–216.
11.
Penutup
Ilmu Hadits Riwayah
merupakan salah satu cabang ilmu paling fundamental dalam warisan keilmuan
Islam. Ia berfungsi sebagai penjaga autentisitas sabda, perbuatan, dan
ketetapan Rasulullah Saw, sekaligus sebagai sistem dokumentasi
keagamaan yang bersifat ilmiah, terstruktur, dan bertanggung jawab. Tidak ada
dalam peradaban manapun sistem transmisi keagamaan yang seteliti dan
sekomprehensif sistem isnād dalam Islam.¹
Melalui pembahasan
ini, kita telah menelusuri asal-usul, pengertian, metode, hingga tantangan kontemporer
yang dihadapi oleh Ilmu Hadits Riwayah. Dari masa Nabi Saw hingga era digital,
ilmu ini terus berkembang—baik dalam bentuk kodifikasi, verifikasi
sanad, maupun klasifikasi kualitas hadits.
Para ulama telah meletakkan fondasi yang kukuh, seperti Imam al-Bukhari,
Muslim, Ibn al-Ṣalah, al-Suyuthi, dan Ibn Hajar al-‘Asqalani, yang tidak hanya
mengumpulkan hadits, tetapi juga menyusun kaidah-kaidah metodologis yang masih
dijadikan acuan hingga kini.²
Di sisi lain,
tantangan-tantangan seperti kritik orientalis terhadap sanad,
maraknya
hadits palsu, serta minimnya literasi hadits dalam pendidikan
modern, menjadi isyarat bahwa keilmuan ini tidak boleh berhenti
pada tataran historis semata. Ia harus terus diperbarui dan direlevansikan
agar tetap hidup dan aplikatif dalam menjawab kebutuhan umat Islam
kontemporer.³
Hal ini memerlukan
dua pendekatan penting:
(#) Pertama, penguatan
tradisi ilmiah klasik, melalui pengajaran kitab-kitab
utama, pelatihan metode takhrij, dan pemahaman mendalam terhadap prinsip-prinsip
sanad dan matan.
(#) Kedua, inovasi
metodologis, seperti pemanfaatan teknologi digital,
pendekatan interdisipliner, serta integrasi dengan ilmu-ilmu kontemporer tanpa
mencabut akar klasiknya.⁴
Dengan demikian,
mempelajari Ilmu Hadits Riwayah bukan hanya bagian dari akademik Islam, tetapi
juga merupakan amanah keagamaan untuk menjaga
warisan Nabi Saw dari distorsi dan manipulasi. Sebagaimana dikatakan Imam
Abdullah ibn al-Mubarak:
“Al-Isnād minad-dīn. Walau lā al-isnād,
laqāla man syā’a mā syā’a”
(“Sanad adalah bagian dari agama. Kalau bukan
karena sanad, niscaya siapa pun akan berkata semaunya.”)⁵
Sebagai penutup,
semoga tulisan ini menjadi pengantar yang mencerahkan dan membuka ruang bagi
pendalaman lebih lanjut dalam dunia Ilmu Hadits Riwayah. Dengan memahami dan
mengamalkan prinsip-prinsipnya, kita tidak hanya mewarisi ilmu, tetapi juga menjaga
cahaya kenabian tetap menyinari zaman.
Footnotes
[1]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World, 2nd ed. (Oxford: Oneworld Publications, 2017), 57–59.
[2]
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut:
al-Maktab al-Islami, 1988), 12–15.
[3]
Muhammad Mustafa al-A‘zami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 83–84.
[4]
Suhrawardi K. Lubis, Metodologi Studi Hadis Kontemporer
(Jakarta: Prenada Media, 2020), 155–158.
[5]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar,
ed. Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 14.
Daftar Pustaka
Al-A‘zami, M. M. (1977). Studies in hadith
methodology and literature (M. D. Abdul Hameed, Trans.). American Trust
Publications.
Al-A‘zami, M. M. (1985). On Schacht’s origins of
Muhammadan jurisprudence. Oxford University Press.
Al-Baghdadi, A. B. (1980). Al-kifayah fi ‘ilm
al-riwayah (1st ed.). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Kattani, M. ibn J. (1991). Ar-risalah
al-mustatrafah li bayani kutub al-sunnah al-musannafah. Dar al-Basha’ir
al-Islamiyyah.
Al-Khatib, A. B. (1980). Al-kifayah fi ‘ilm al-riwayah.
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Qattan, M. K. (1970). Mabahits fi ‘ulum
al-hadits. Maktabah Wahbah.
Al-Suyuthi, J. (1993). Tadrib al-rawi fi sharh
taqrib al-nawawi (A. M. Syakir, Ed.). Dar al-Fikr.
Al-‘Asqalani, I. H. (2000). Nuzhat al-nazhar fi
tawdih nukhabat al-fikar (N. ‘Itr, Ed.). Dar al-Fikr.
Azra, A. (1999). Pendidikan Islam: Tradisi dan
modernisasi di tengah tantangan milenium III. Logos Wacana Ilmu.
Brown, J. A. C. (2017). Hadith: Muhammad’s
legacy in the medieval and modern world (2nd ed.). Oneworld Publications.
Goldziher, I. (1971). Muslim studies (C. R.
Barber & S. M. Stern, Trans.). Allen & Unwin.
Ibn al-Ṣalāḥ. (2000). ‘Ulūm al-ḥadīth
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ). Dar al-Fikr.
Lubis, S. K. (2020). Metodologi studi hadis
kontemporer. Prenada Media.
Salih, S. (1995). ‘Ulūm al-ḥadīth wa mustalaḥuhu.
Dar al-‘Ilm li al-Malayin.
Syalabi, A. (1993). Sejarah dan kebudayaan Islam
(Jilid I). Bulan Bintang.
Thahhan, M. (1988). Taisir mustalah al-hadits.
Al-Maktab al-Islami.
‘Itr, N. (2005). Manhaj al-naqd fi ‘ulūm
al-ḥadīth. Dar al-Fikr.
Al-Khatib, M. A. (2001). Ushul al-hadits:
‘Ulūmuhu wa mustalaḥuhu. Dar al-Fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar