Senin, 24 Maret 2025

Ilmu Hadits Riwayah: Pengantar Ilmiah terhadap Teori dan Praktik Periwayatan Hadits Nabi

Ilmu Hadits Riwayah

Pengantar Ilmiah terhadap Teori dan Praktik Periwayatan Hadits Nabi


Alihkan ke: Ulumul Hadits, Hadits I, Hadits III.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang Ilmu Hadits Riwayah, yakni cabang ilmu keislaman yang fokus pada proses periwayatan sabda, perbuatan, ketetapan, dan sifat Nabi Muhammad Saw. Melalui pendekatan historis dan metodologis, artikel ini menjelaskan konsep dasar, perkembangan sejarah, jenis-jenis hadits, struktur sanad, klasifikasi perawi, kaidah penerimaan dan penolakan hadits, serta berbagai metode periwayatan yang digunakan dalam transmisi keilmuan Islam klasik. Selain itu, dibahas pula tantangan-tantangan kontemporer yang dihadapi oleh Ilmu Riwayah, termasuk kritik orientalis terhadap sistem isnad, penyebaran hadits palsu di era digital, serta kebutuhan akan pembaruan metodologi dalam studi hadits. Kajian ini menunjukkan bahwa Ilmu Hadits Riwayah tidak hanya memiliki kedalaman historis, tetapi juga ketangguhan metodologis yang relevan untuk menjawab dinamika intelektual umat Islam masa kini. Diharapkan artikel ini menjadi pengantar ilmiah yang dapat memperkuat komitmen akademik dan spiritual dalam menjaga otentisitas sabda Nabi Muhammad Saw.

Kata Kunci: Ilmu Hadits Riwayah, sanad, perawi, tahammul al-hadits, musthalah, isnad, kritik orientalis, digitalisasi hadits.


PEMBAHASAN

Kajian Ilmu Hadits Riwayah Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Hadits Nabi Muhammad Saw merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Peranannya sangat penting dalam menjelaskan, merinci, dan menerapkan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan nyata umat Islam. Oleh karena itu, pelestarian, pemahaman, dan penyebaran hadits memerlukan sistem keilmuan yang mapan dan bertanggung jawab. Dalam konteks inilah muncul cabang ilmu yang disebut Ilmu Hadits Riwayah, yaitu ilmu yang berkaitan dengan cara-cara meriwayatkan hadits, pencatatan sanad (rantai periwayatan), serta pengumpulan dan penyampaian matan (teks) hadits.

Menurut definisi klasik, Ilmu Hadits Riwayah adalah “ilmu yang membahas tentang penyampaian perkataan, perbuatan, penetapan, dan sifat Nabi Saw secara tepat dari para perawi serta cara periwayatannya.”_¹ Ilmu ini menjadi fondasi utama dalam menjaga keaslian dan keautentikan hadits, sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab ilmiah terhadap warisan kenabian. Para ulama dari generasi awal Islam sangat menyadari pentingnya menjaga keabsahan riwayat hadits, sehingga mereka mengembangkan sistem transmisi dan verifikasi yang sangat teliti—suatu capaian yang bahkan diakui oleh para ilmuwan Barat.²

Ilmu Hadits Riwayah berbeda dengan Ilmu Hadits Dirayah, meskipun keduanya saling berkaitan. Jika Ilmu Riwayah fokus pada aspek transmisi—yaitu “apa” yang diriwayatkan dan “siapa” yang meriwayatkan—maka Ilmu Dirayah menelaah aspek analisis: “apakah” riwayat itu valid berdasarkan kaidah-kaidah tertentu.³ Dengan kata lain, Ilmu Riwayah lebih dekat dengan aktivitas historis dan naratif, sedangkan Ilmu Dirayah bersifat kritis dan evaluatif.

Pentingnya Ilmu Hadits Riwayah tidak hanya berkaitan dengan pelestarian ajaran agama, tetapi juga menyangkut integritas ilmiah dalam studi keislaman. Islam tidak mengenal transmisi keilmuan yang sembarangan. Setiap informasi agama, khususnya yang berasal dari Nabi Saw, harus ditelusuri sanadnya, diperiksa kualitas periwayatnya, dan dipastikan kesahihannya. Sistem ini dikenal dengan istilah isnad, yang oleh Abdullah ibn al-Mubarak disebut sebagai “bagian dari agama.” Beliau menegaskan, “Seandainya tidak ada isnad, maka siapa pun bisa berkata sesuka hatinya atas nama agama.”_⁴

Oleh sebab itu, mempelajari Ilmu Hadits Riwayah bukan sekadar kebutuhan akademik, tetapi juga bentuk komitmen untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dari distorsi dan pemalsuan. Dalam perkembangan sejarah Islam, ilmu ini telah menghasilkan tokoh-tokoh besar, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, dan para ulama hadits lainnya yang mendedikasikan hidupnya demi menyeleksi dan menghimpun sabda-sabda Nabi dengan standar ilmiah yang ketat.


Footnotes

[1]                Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 35.

[2]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World, 2nd ed. (Oxford: Oneworld Publications, 2017), 31–33.

[3]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1988), 9–10.

[4]                Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar, ed. Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 14.


2.           Pengertian Ilmu Hadits Riwayah

Secara etimologis, kata “riwayah” berasal dari bahasa Arab رَوَىيَرْوِيرِوَايَةً  yang berarti “menyampaikan” atau “memindahkan” sesuatu dari satu pihak ke pihak lain. Dalam konteks ilmu keislaman, kata ini merujuk pada aktivitas penyampaian berita atau informasi, khususnya yang berkaitan dengan sabda, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat Nabi Muhammad Saw

Secara terminologis, para ulama mendefinisikan Ilmu Hadits Riwayah sebagai:

“Ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, berupa ucapan, perbuatan, taqrir (persetujuan), dan sifat-sifatnya, serta pembahasan tentang cara penyampaian hadits tersebut dan keadaan para perawinya.”_²

Dengan kata lain, Ilmu Hadits Riwayah berfungsi sebagai wadah keilmuan yang mendokumentasikan dan mengatur proses transmisi hadits, mencakup sanad (rantai periwayatan) dan matan (isi teks hadits), serta metode penyampaiannya dari satu generasi ke generasi berikutnya secara sistematis.

Mahmud Thahhan menegaskan bahwa Ilmu Riwayah berorientasi pada aspek naratif dan deskriptif, yaitu meriwayatkan informasi tanpa mengulas keabsahan isi secara mendalam.³ Oleh karena itu, meskipun seorang rawi bisa meriwayatkan ribuan hadits, ia belum tentu ahli dalam mengevaluasi kualitas hadits tersebut secara ilmiah—hal yang menjadi domain Ilmu Hadits Dirayah.

Ilmu ini menjadi salah satu cabang utama dalam kajian hadits, karena darinyalah terbentuk dasar pengetahuan untuk menyusun kitab-kitab hadits seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan kitab-kitab musnad serta sunan lainnya. Tanpa Ilmu Hadits Riwayah, proses dokumentasi dan penyebaran hadits akan bersifat sporadis dan tidak terstruktur, sehingga membuka peluang bagi penyebaran hadits palsu (mawdu’).⁴

Selain itu, Ilmu Hadits Riwayah juga menekankan aspek adab dan etika dalam meriwayatkan hadits, seperti kejujuran, kehati-hatian, dan akurasi dalam menyampaikan hadits sesuai dengan apa yang telah didengar atau dipelajari dari guru. Dalam banyak riwayat, para ulama hadits sangat hati-hati dalam menambahkan atau mengurangi satu kata pun, demi menjaga kemurnian sabda Nabi Saw.⁵

Maka, Ilmu Hadits Riwayah tidak hanya berfungsi sebagai ilmu sejarah lisan, tetapi juga merupakan pondasi epistemologis dalam membangun kepercayaan terhadap ajaran Islam. Melalui ilmu ini, umat Islam memiliki landasan untuk menyaring dan menerima hadits secara bertanggung jawab, sekaligus sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan kenabian.


Footnotes

[1]                Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J. Milton Cowan (Urbana: Spoken Language Services, 1994), 406.

[2]                Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 33.

[3]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1988), 9.

[4]                Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Beirut: Maktabah Wahbah, 1970), 19–21.

[5]                Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 112–115.


3.           Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits Riwayah

3.1.       Masa Nabi Saw dan Para Sahabat

Pada masa Nabi Muhammad Saw, hadits disampaikan secara lisan langsung dari beliau kepada para sahabat. Mereka mendengar, menghafal, dan mengamalkan sabda dan perbuatan Nabi secara langsung. Dalam kondisi tertentu, sebagian sahabat menuliskan hadits, seperti Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash yang diizinkan menulis hadits dalam catatannya yang dikenal sebagai ash-Shahifah ash-Shadiqah.¹ Namun secara umum, periwayatan hadits masih didominasi oleh hafalan dan penyampaian lisan, karena Nabi Saw pernah melarang penulisan hadits untuk menghindari percampuran antara wahyu (Al-Qur’an) dan hadits.²

3.2.       Masa Khulafaur Rasyidin dan Tabi'in

Setelah wafatnya Rasulullah Saw, para sahabat melanjutkan penyebaran hadits ke berbagai daerah dalam rangka dakwah dan ekspansi Islam. Mereka menjadi rujukan utama dalam periwayatan hadits, dan mulai tumbuh perhatian terhadap keotentikan sanad. Seiring menyebarnya para sahabat, maka terjadi variasi periwayatan berdasarkan lokasi dan guru masing-masing.³ Pada masa ini, umat mulai menghadapi tantangan dalam standarisasi riwayat, karena banyak informasi beredar dari berbagai sumber.

3.3.       Masa Tadwīn Awal (Kodifikasi Hadits)

Kodifikasi hadits secara resmi dimulai pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H/720 M), yang memerintahkan gubernurnya di Madinah, yaitu Ibnu Syihab az-Zuhri, untuk menuliskan hadits sebagai bentuk pelestarian.⁴ Ini merupakan titik balik dalam sejarah perkembangan Ilmu Hadits Riwayah, sebab periwayatan hadits mulai didokumentasikan secara sistematis dan bukan hanya bergantung pada hafalan. Upaya ini menjadi fondasi bagi kodifikasi hadits dalam bentuk kitab-kitab hadits di generasi berikutnya.

3.4.       Masa Pembukuan dan Klasifikasi (Abad ke-2–3 H)

Periode ini dikenal sebagai masa emas kodifikasi hadits, ditandai dengan lahirnya berbagai kitab hadits berdasarkan metode pengumpulan yang berbeda: musnad, sunan, jāmi‘, dan mu‘jam. Tokoh-tokoh besar muncul, seperti Imam Malik dengan al-Muwaṭṭa’, Imam Ahmad dengan Musnad Ahmad, serta Imam al-Bukhari dan Muslim dengan kitab Shahih mereka yang menjadi standar kesahihan hadits.⁵ Pada fase ini pula, kriteria ilmiah dalam menerima dan menolak riwayat mulai dikembangkan secara intensif oleh para ulama.

3.5.       Masa Penyempurnaan dan Kritik Hadits

Pada abad ke-4 H dan seterusnya, para ulama mengembangkan Ilmu Hadits Riwayah dengan pendekatan kritis dan analitis. Muncul ilmu-ilmu cabang seperti ‘Ilm Rijāl al-Hadīts (biografi perawi), ‘Ilal al-Hadīts (kecacatan tersembunyi), dan Jarḥ wa Ta‘dīl (penilaian terhadap perawi). Kitab-kitab seperti al-Kāmil fi Du‘afā’ ar-Rijāl karya Ibn ‘Adī dan Tahdzīb al-Kamāl karya al-Mizzi menunjukkan kematangan metodologi kritik terhadap sanad dan perawi.⁶

3.6.       Masa Modern dan Kontemporer

Pada era modern, Ilmu Hadits Riwayah mengalami revitalisasi dalam bentuk pengajaran akademik, penyusunan kurikulum, serta penerbitan ulang manuskrip klasik dengan tahkīq ilmiah. Selain itu, berbagai proyek digitalisasi hadits seperti Maktabah Syamilah, al-Maktabah al-Waqfiyyah, dan Sunnah.com turut memperluas akses umat terhadap khazanah hadits yang luas. Di sisi lain, muncul tantangan baru dari kalangan orientalis yang mempertanyakan validitas sanad—yang dijawab oleh para sarjana Muslim modern seperti M.M. Azami dan Jonathan A.C. Brown melalui pendekatan ilmiah dan pembelaan sistematis terhadap metode isnad.⁷


Footnotes

[1]                Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Beirut: Maktabah Wahbah, 1970), 28.

[2]                Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 102.

[3]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1988), 13.

[4]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World, 2nd ed. (Oxford: Oneworld Publications, 2017), 61.

[5]                Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 78–80.

[6]                Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), 127–130.

[7]                Muhammad Mustafa al-A‘zami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 46–48.


4.           Sumber dan Jenis-Jenis Hadits

4.1.       Sumber Hadits

Secara substansial, hadits berasal dari segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir), maupun sifat-sifat beliau, baik fisik maupun akhlaknya.¹ Inilah yang menjadi pijakan utama dalam definisi hadits oleh mayoritas ulama. Meskipun istilah lain seperti sunnah, khabar, dan atsar juga sering digunakan dalam literatur klasik, para ulama memberikan perbedaan makna sesuai konteks penggunaannya:

·                     Hadits

Umumnya digunakan untuk menyebut semua yang bersumber dari Nabi Saw, baik secara lisan maupun tindakan.

·                     Sunnah

Lebih banyak digunakan dalam konteks hukum dan fiqh untuk merujuk pada praktik Nabi Saw.

·                     Khabar

Digunakan secara lebih umum, bisa merujuk pada ucapan siapa saja, tidak terbatas pada Nabi.

·                     Atsar

Biasanya digunakan untuk menyebut perkataan atau perbuatan sahabat dan tabi‘in, namun kadang juga digunakan untuk hadits.²

Namun, dalam konteks Ilmu Hadits Riwayah, keempat istilah tersebut sering digunakan saling bergantian, dengan hadits sebagai istilah yang paling dominan.

4.2.       Jenis-Jenis Hadits

Para ulama hadits mengklasifikasikan hadits dengan berbagai pendekatan untuk memudahkan pemahaman dan validasi. Klasifikasi utama didasarkan pada jumlah perawi, tingkat otentisitas, dan karakteristik sanad dan matan.

4.2.1.    Berdasarkan Jumlah Perawi

Klasifikasi ini membedakan hadits berdasarkan kuantitas orang yang meriwayatkannya dalam setiap tingkat sanad:

·                     Hadits Mutawātir

Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada setiap tingkat sanad, sehingga mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. Hadits mutawatir menghasilkan keyakinan (yaqīn).³ Contoh: hadits tentang banyaknya orang yang meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda: “Barang siapa berdusta atas namaku maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”⁴

·                     Hadits Āḥād

Hadits yang diriwayatkan oleh satu atau beberapa perawi namun belum mencapai derajat mutawatir. Hadits ahad bersifat zanni (dugaan kuat), dan terbagi menjadi:

(#) Masyrūr (dua perawi atau lebih),

(#) ‘Azīz (minimal dua perawi dalam setiap tingkatan),

(#) Gharīb (diriwayatkan oleh satu perawi dalam salah satu tingkat sanad).⁵

4.2.2.      Berdasarkan Tingkat Kualitas

Penilaian ini didasarkan pada keutuhan sanad, kualitas perawi, dan bebasnya matan dari cacat tersembunyi:

·                     Hadits Shahīh

Hadits yang sanad-nya bersambung, perawinya adil dan dhābit (kuat hafalannya), serta matan-nya tidak cacat dan tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat.⁶

·                     Hadits Hasan

Hadits yang sanad-nya bersambung dan perawinya adil, namun hafalannya berada satu tingkat di bawah perawi shahih. Hadits ini diterima untuk dijadikan hujjah.⁷

·                     Hadits Ḍa‘īf

Hadits yang tidak memenuhi kriteria shahih maupun hasan. Biasanya lemah karena ada cacat dalam sanad, perawi yang tidak kuat, atau gangguan dalam matan.⁸

4.2.3.      Berdasarkan Karakteristik Sanad dan Matan

Ulama juga mengelompokkan hadits berdasarkan kondisi teknis sanad dan matannya:

·                     Mursal: Hadits yang diriwayatkan oleh tabi‘in langsung dari Nabi Saw tanpa menyebut sahabat.⁹

·                     Mu‘allaq: Hadits yang terputus di awal sanad.

·                     Mu‘ḍal: Dua atau lebih perawi terhapus secara berurutan dari sanad.

·                     Mudallas: Perawi menyembunyikan nama gurunya atau menggunakan lafaz samar untuk menyampaikan riwayat.¹⁰

·                     Maqlūb: Hadits yang mengalami pertukaran posisi antara sanad atau matan.


Kesimpulan

Klasifikasi hadits memiliki peran penting dalam pengembangan Ilmu Hadits Riwayah karena memungkinkan para ulama untuk memilah dan menilai kekuatan suatu riwayat. Pendekatan ilmiah ini menjadi bukti keotentikan transmisi ilmu dalam Islam, sekaligus menunjukkan betapa seriusnya para ulama dalam menjaga keaslian ajaran Nabi Muhammad Saw.


Footnotes

[1]                Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 26–27.

[2]                Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Beirut: Maktabah Wahbah, 1970), 21–22.

[3]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1988), 39.

[4]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Muqaddimah, no. 1.

[5]                Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 82–85.

[6]                Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar, ed. Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 27.

[7]                Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 50–51.

[8]                Al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, 91–92.

[9]                Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits, 114.

[10]             Suyuthi, Tadrib al-Rawi, 101–105.


5.           Rantai Periwayatan (Sanad)

5.1.       Pengertian Sanad dan Isnad

Dalam kajian Ilmu Hadits Riwayah, istilah sanad dan isnād merujuk pada unsur penting dalam proses transmisi hadits. Secara bahasa, sanad berarti “sandaran” atau “penopang.”¹ Secara istilah, para ulama mendefinisikannya sebagai:

Rangkaian para perawi yang menyampaikan matan (teks) hadits dari sumbernya yang pertama hingga sampai kepada penyusun atau pendengar terakhir.”_²

Sedangkan isnād merujuk pada proses menyebutkan rangkaian perawi hadits, baik secara lisan maupun tertulis.³ Dalam praktiknya, sanad dan isnād sering kali dipertukarkan secara bebas karena keduanya sama-sama menunjuk pada struktur perantara dalam transmisi hadits dari Rasulullah Saw ke generasi berikutnya.

Pentingnya sanad dalam tradisi Islam sangat besar. Abdullah ibn al-Mubarak (w. 181 H) menyatakan, “Al-isnād minad-dīn, walau lā isnād la-qāla man syā’a mā syā’a” — “Sanad adalah bagian dari agama; jika tidak ada sanad, maka siapa pun bisa berkata sesukanya.”⁴

5.2.       Fungsi dan Signifikansi Sanad

Sanad berfungsi sebagai alat verifikasi historis terhadap otentisitas sebuah hadits. Melalui sanad, para ulama dapat menelusuri jalur transmisi hadits, menilai kredibilitas perawi, serta mengidentifikasi kemungkinan kecacatan (illat) dalam riwayat.⁵ Bahkan, sistem sanad merupakan keunikan khas dalam tradisi keilmuan Islam yang tidak ditemukan secara sistematis dalam tradisi agama-agama lain.⁶

Para ulama tidak hanya menerima hadits berdasarkan teksnya (matan), tetapi juga memperhatikan siapa yang menyampaikannya, dari siapa ia mendengarnya, dalam kondisi apa, dan dengan metode apa riwayat itu ditransmisikan. Penelitian terhadap sanad menjadi tulang punggung dalam menentukan status hadits: shahih, hasan, atau dha‘if.

5.3.       Syarat Ketersambungan Sanad

Salah satu syarat utama validitas sanad adalah ittisāl atau ketersambungan rantai perawi, yakni tidak adanya perawi yang hilang atau terputus pada salah satu tingkatan sanad.⁷ Bila terdapat perawi yang tidak disebutkan, atau perawi yang tidak sempat bertemu dengan gurunya, maka hadits tersebut dinilai munqathi‘ (terputus) dan kehilangan nilai keotentikannya.

Selain itu, setiap perawi dalam sanad harus memenuhi dua kriteria:

1)                  ‘Adālah: Sifat adil, yakni kesalehan, kejujuran, dan tidak dikenal sebagai pelaku dosa besar.

2)                  Dhabt: Ketelitian hafalan atau kekuatan dalam menulis dan memahami isi riwayat.⁸

5.4.       Jenis-Jenis Sanad dalam Ilmu Hadits

Para ulama mengembangkan klasifikasi sanad untuk memudahkan evaluasi terhadap kualitas riwayat. Beberapa jenis sanad penting antara lain:

·                     Sanad ‘Ālī (tinggi)

Sanad yang memiliki jumlah perawi paling sedikit antara penyusun hadits dan Rasulullah Saw. Sanad seperti ini dianggap lebih mulia karena meminimalisasi potensi kesalahan.⁹

·                     Sanad Nāzil (rendah)

Sanad yang jumlah perawinya lebih banyak dalam suatu jalur, biasanya karena melewati jalur transmisi yang lebih panjang.

·                     Mu‘an‘an

Sanad yang menggunakan lafaz ‘an (dari) antar perawi. Sanad seperti ini dianggap bersambung jika perawi dikenal sebagai orang yang mendengar langsung dari gurunya dan tidak melakukan tadlīs.¹⁰

·                     Mu‘allaq

Sanad yang terputus di awal (misalnya seorang penyusun hadits menyebut langsung nama sahabat atau Nabi tanpa menyebut perawi sebelumnya).

·                     Mursal

Sanad yang terputus pada tingkat sahabat, di mana tabi‘in meriwayatkan langsung dari Nabi Saw.

5.5.       Praktik Penelitian Sanad dalam Literatur Hadits

Sanad menjadi fokus utama dalam karya-karya hadits klasik. Misalnya, Imam al-Bukhari dikenal sangat selektif terhadap sanad. Ia hanya mencantumkan hadits dari perawi yang tsiqah (terpercaya), bertemu langsung dengan gurunya, dan dikenal memiliki kualitas hafalan yang kuat.¹¹ Karena itu, kitab Shahih al-Bukhari menjadi standar tertinggi dalam derajat keotentikan hadits.

Kitab-kitab seperti Tahdzīb al-Kamāl karya al-Mizzi, al-Jarh wa at-Ta‘dīl karya Ibn Abī Hātim, dan Mīzān al-I‘tidāl karya adz-Dzahabi menjadi referensi utama dalam analisis sanad dan perawi. Upaya ini menunjukkan keseriusan ulama dalam menjaga keaslian hadits melalui pendekatan ilmiah yang teliti dan berkelanjutan.


Kesimpulan

Sanad bukan sekadar daftar nama perawi, tetapi merupakan sistem verifikasi keilmuan yang luar biasa canggih dalam sejarah peradaban manusia. Melalui sanad, hadits Nabi Saw terjaga kemurniannya lintas generasi, dan umat Islam memiliki perangkat ilmiah untuk memilah riwayat yang dapat dijadikan pedoman dalam beragama.


Footnotes

[1]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1988), 33.

[2]                Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 45.

[3]                Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Beirut: Maktabah Wahbah, 1970), 67.

[4]                Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar, ed. Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 14.

[5]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World, 2nd ed. (Oxford: Oneworld Publications, 2017), 56–57.

[6]                Muhammad Mustafa al-A‘zami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 10–12.

[7]                Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 42.

[8]                Al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, 78.

[9]                Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 115–116.

[10]             Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), 97–99.

[11]             Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits, 138.


6.           Para Perawi Hadits

6.1.       Pengertian Perawi dan Peranannya

Dalam kajian Ilmu Hadits Riwayah, perawi adalah individu yang menyampaikan hadits dari satu generasi ke generasi berikutnya. Peran perawi sangat vital karena mereka menjadi penghubung utama antara Rasulullah Saw dan umat Islam setelahnya.¹ Kualitas perawi secara langsung memengaruhi kualitas sanad dan validitas hadits yang diriwayatkan. Oleh karena itu, perhatian terhadap kredibilitas dan integritas perawi menjadi pusat perhatian utama dalam Ilmu Hadits.

Ulama salaf sangat ketat dalam menerima riwayat hadits. Mereka tidak hanya menilai isi riwayat (matan), tetapi juga meneliti latar belakang dan akhlak perawi, mulai dari tingkat hafalan, akurasi, hingga kehidupan pribadi dan interaksi sosialnya.²

6.2.       Syarat-Syarat Perawi yang Diterima

Para ulama telah menetapkan dua syarat pokok bagi seorang perawi agar haditsnya diterima:

1)                  ‘Adālah (keadilan)

Keadilan berarti bahwa perawi harus merupakan seorang Muslim yang baligh, berakal, menjauhi dosa besar, tidak terus-menerus melakukan dosa kecil, serta menjaga muru’ah (kehormatan diri).³ Sifat ini menunjukkan integritas moral dan religius dari seorang perawi.

2)                  Ḍabt (ketelitian hafalan atau pencatatan)

Dhabt terbagi menjadi dua:

(#) Ḍabt aṣ-ṣadr: Kemampuan perawi untuk menghafal hadits dengan baik dan menyampaikannya dengan akurat.

(#) Ḍabt al-kitābah: Ketelitian dalam mencatat hadits dan menjaga catatan dari kesalahan atau perubahan.⁴

Ketiadaan salah satu dari dua syarat ini dapat menyebabkan hadits dinilai ḍa‘īf (lemah), atau bahkan mawḍū‘ (palsu), tergantung pada tingkat kekurangannya.

6.3.       Klasifikasi Para Perawi

Para perawi diklasifikasikan berdasarkan kualitasnya dalam meriwayatkan hadits. Klasifikasi ini menjadi acuan dalam menentukan status hadits:

·                     Tsiqah (terpercaya):

Perawi yang adil dan dhabt. Hadits yang diriwayatkannya berpotensi mencapai derajat ṣaḥīḥ atau ḥasan.⁵

·                     Ṣadūq (jujur):

Perawi yang adil namun hafalannya kurang kuat. Riwayatnya dapat diterima sebagai ḥasan.

·                     Ḍa‘īf (lemah):

Perawi yang tidak memenuhi syarat ‘adālah atau dhabt. Haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah kecuali dalam kondisi tertentu dan bukan dalam masalah akidah dan hukum.

·                     Matrūk (ditinggalkan):

Perawi yang sangat lemah dan sering salah, atau dikenal berdusta. Haditsnya tidak dipakai sama sekali dalam istinbat hukum.⁶

6.4.       Ilmu Rijāl al-Ḥadīts

Untuk mengetahui status seorang perawi, para ulama mengembangkan cabang ilmu khusus yang disebut ‘Ilm Rijāl al-Ḥadīts, yaitu ilmu yang membahas tentang biografi dan kredibilitas para perawi hadits. Melalui ilmu ini, seorang peneliti dapat mengetahui nama perawi, guru-gurunya, murid-muridnya, kualitas hafalan, karakter pribadinya, serta waktu dan tempat hidupnya.⁷

Kitab-kitab utama dalam bidang ini antara lain:

·                     Tahdzīb al-Kamāl oleh al-Mizzi

·                     Mīzān al-I‘tidāl oleh adz-Dzahabi

·                     al-Jarḥ wa at-Ta‘dīl oleh Ibn Abī Hātim

·                     Tahdzīb at-Tahdzīb oleh Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī

Informasi dari kitab-kitab tersebut menjadi landasan dalam menentukan validitas perawi dan kualitas hadits yang diriwayatkannya.

6.5.       Pentingnya Telaah Terhadap Perawi

Analisis terhadap perawi menunjukkan keilmiahan dan ketelitian tradisi Islam dalam transmisi keagamaan. Tidak ada dokumen sejarah keagamaan lain yang menyusun sistem transmisi informasi seketat yang dilakukan dalam tradisi hadits. Bahkan orientalis seperti G.H.A. Juynboll dan Ignaz Goldziher mengakui bahwa metode isnad dan kritik perawi merupakan mekanisme internal verifikasi paling maju dalam dunia keilmuan klasik.⁸

Dengan demikian, Ilmu Rijāl dan pemahaman mendalam terhadap perawi menjadi bagian penting dari Ilmu Hadits Riwayah dan tidak dapat dipisahkan darinya. Tanpa ketelitian dalam mengenali perawi, niscaya akan terjadi penyebaran hadits palsu atau tidak sahih, yang berdampak pada penyimpangan ajaran Islam itu sendiri.


Kesimpulan

Para perawi hadits adalah penjaga lisan Nabi Saw. Melalui pengawasan ketat terhadap siapa yang meriwayatkan dan bagaimana ia meriwayatkannya, para ulama memastikan bahwa sabda Nabi tetap sampai kepada kita dengan tingkat keaslian yang dapat dipertanggungjawabkan. Klasifikasi dan penelitian terhadap perawi adalah bukti bahwa keilmuan Islam berdiri di atas prinsip ilmiah, akurat, dan bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1988), 65.

[2]                Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 72.

[3]                Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Beirut: Maktabah Wahbah, 1970), 84.

[4]                Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 66–68.

[5]                Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 98–100.

[6]                Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar, ed. Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 54–55.

[7]                Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), 112–115.

[8]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World, 2nd ed. (Oxford: Oneworld Publications, 2017), 59–60.


7.           Kaidah-Kaidah Penerimaan dan Penolakan Hadits

7.1.       Urgensi Penetapan Kaidah

Dalam Ilmu Hadits Riwayah, kaidah penerimaan (maqbūl) dan penolakan (mardūd) hadits sangat penting guna menjamin bahwa hanya riwayat yang otentik dan terpercaya yang dijadikan dasar dalam pengambilan hukum, akidah, maupun akhlak. Tanpa kaidah yang baku, hadits-hadits palsu (mawḍū‘), lemah (ḍa‘īf), dan bermasalah dalam sanad atau matannya bisa saja tersebar luas di tengah masyarakat.¹ Karena itu, para ulama hadits merumuskan kriteria objektif dan sistematis yang digunakan dalam menyaring hadits yang layak diterima dan yang harus ditolak.

7.2.       Kaidah-Kaidah Penerimaan Hadits (Al-Maqbūl)

Hadits dinyatakan maqbūl (diterima) jika memenuhi lima syarat utama yang disepakati oleh mayoritas ulama:

1)                  Sambungnya sanad (ittisāl al-sanad)

Seluruh perawi dalam rangkaian sanad harus bertemu dan menerima secara langsung dari gurunya, tanpa adanya keterputusan (inqiṭā‘) atau penghilangan perawi.²

2)                  Keadilan perawi (‘adālah)

Setiap perawi dalam sanad harus bersifat adil, yakni seorang Muslim, baligh, berakal, menjaga kehormatan diri, dan dikenal jujur serta tidak melakukan dosa besar atau terus-menerus dalam dosa kecil.³

3)                  Kuat hafalan atau ketelitian perawi (ḍabt)

Perawi harus memiliki kemampuan menghafal secara akurat (ḍabt al-ṣadr) atau mencatat dengan benar (ḍabt al-kitābah), sehingga riwayatnya tidak terdistorsi.⁴

4)                  Bebas dari syudzūdz (keanehan atau penyimpangan)

Matan atau sanad hadits tidak boleh bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat, baik dari segi jumlah perawi maupun kualitasnya. Hadits yang menyelisihi riwayat yang lebih tsiqah disebut shādh dan tidak dapat diterima.⁵

5)                  Bebas dari ‘illah qāḍiḥah (cacat tersembunyi yang merusak)

Hadits tidak boleh mengandung kelemahan tersembunyi yang hanya dapat dikenali oleh pakar hadits. Misalnya, seorang perawi ternyata tidak sempat bertemu dengan gurunya meskipun secara lahir sanad-nya tampak bersambung.⁶

Jika semua syarat ini terpenuhi secara sempurna, maka hadits tersebut dinyatakan ṣaḥīḥ. Jika ada sedikit kekurangan dalam ḍabt, tetapi tidak sampai merusak isi hadits, maka statusnya turun menjadi ḥasan.

7.3.       Kaidah-Kaidah Penolakan Hadits (Al-Mardūd)

Hadits ditolak bila salah satu atau lebih dari lima syarat di atas tidak terpenuhi. Bentuk penolakan didasarkan pada penyebab lemahnya sanad atau matan. Beberapa jenis hadits yang ditolak antara lain:

1)                  Hadits Munqaṭi‘: Hadits dengan sanad terputus pada satu atau beberapa tingkatan.⁷

2)                  Hadits Mursal: Diriwayatkan oleh tabi‘in langsung dari Nabi Saw tanpa menyebutkan sahabat. Meskipun sebagian ulama menerimanya dalam kondisi tertentu, ia tetap dianggap tidak memenuhi kriteria sanad yang sempurna.⁸

3)                  Hadits Maqlūb: Terjadi perubahan dalam susunan sanad atau matan, baik disengaja maupun tidak.

4)                  Hadits Mudallas: Mengandung bentuk penipuan sanad, misalnya dengan menyembunyikan guru yang sebenarnya tidak didengar langsung hadits darinya.⁹

5)                  Hadits Mawḍū‘: Hadits yang secara pasti diketahui sebagai palsu, biasanya karena ditemukan adanya pemalsuan oleh perawi tertentu. Ini adalah bentuk hadits yang paling ditolak dan tidak boleh diamalkan sama sekali.¹⁰

Ulama memiliki kaidah tambahan untuk mengenali indikasi hadits palsu, seperti:

·                     Isi hadits bertentangan dengan Al-Qur’an atau hadits mutawātir,

·                     Matan hadits berisi janji atau ancaman yang berlebihan untuk amalan ringan,

·                     Sanadnya mencakup perawi yang dikenal berdusta, atau bahkan tidak pernah dikenal dalam ilmu rijāl.

7.4.       Penerapan Kaidah dalam Tradisi Ulama

Kaidah-kaidah ini diterapkan secara ketat oleh para imam hadits seperti Imam al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud. Misalnya, Imam al-Bukhari hanya menerima hadits dari perawi yang benar-benar bertemu secara fisik dan meriwayatkan dalam kondisi yang memungkinkan transmisi hadits secara sah.¹¹

Karya-karya seperti Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, Tadrīb al-Rāwī karya as-Suyuthi, serta Nuzhat al-Naẓar karya Ibn Ḥajar, menjadi rujukan pokok dalam menjelaskan dan menerapkan kaidah-kaidah ini.


Kesimpulan

Kaidah penerimaan dan penolakan hadits mencerminkan kedisiplinan ilmiah dalam tradisi Islam dalam menjaga warisan Nabi Muhammad Saw. Melalui prinsip-prinsip ini, umat Islam tidak hanya menerima tradisi keagamaan berdasarkan keyakinan semata, tetapi juga berdasarkan metode ilmiah yang teruji dalam sejarah keilmuan dunia.


Footnotes

[1]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1988), 59.

[2]                Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 69.

[3]                Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Beirut: Maktabah Wahbah, 1970), 84.

[4]                Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 92–94.

[5]                Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar, ed. Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 55.

[6]                Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), 122.

[7]                Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 77.

[8]                Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits, 115.

[9]                Suyuthi, Tadrib al-Rawi, 103–105.

[10]             Al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, 98.

[11]             Muhammad Mustafa al-A‘zami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 52–54.


8.           Kitab-Kitab Pokok dalam Ilmu Hadits Riwayah

8.1.       Urgensi Kodifikasi Hadits

Salah satu tonggak penting dalam sejarah Ilmu Hadits Riwayah adalah kodifikasi hadits ke dalam bentuk kitab-kitab himpunan hadits. Langkah ini dimulai secara resmi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H), yang memerintahkan penulisan hadits untuk menghindari terhapusnya warisan lisan Nabi Muhammad Saw Kodifikasi hadits menjadi bentuk konkret dari penerapan prinsip-prinsip Ilmu Riwayah, sebab setiap hadits yang dimuat dalam kitab-kitab tersebut menyertakan sanad dan matan yang memungkinkan proses verifikasi dan kritik.

8.2.       Kategori Kitab-Kitab Hadits Berdasarkan Metode Penyusunan

Dalam khazanah Islam klasik, kitab-kitab hadits disusun berdasarkan pendekatan dan tujuan tertentu. Secara umum, kitab-kitab hadits diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis:

1)                  Kitab Jāmi‘

Kitab yang menghimpun hadits dari berbagai tema keislaman, termasuk akidah, hukum, adab, tafsir, dan eskatologi. Contohnya adalah Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim

2)                  Kitab Sunan

Kitab yang berisi hadits-hadits hukum yang disusun sesuai dengan bab-bab fikih, seperti Sunan Abī Dāwūd, Sunan at-Tirmiżī, Sunan an-Nasā’ī, dan Sunan Ibn Mājah

3)                  Kitab Musnad

Disusun berdasarkan nama perawi sahabat, bukan tematik. Hadits-hadits dari setiap sahabat dikumpulkan dalam satu bagian. Contoh paling terkenal adalah Musnad Imām Aḥmad bin Ḥanbal.⁴

4)                  Kitab Mu‘jam

Disusun berdasarkan nama guru penulis atau nama tempat, biasanya secara alfabetis. Contoh: al-Mu‘jam al-Kabīr karya at-Ṭabarānī.⁵

5)                  Kitab Mustakhraj dan Mustadrak

(#) Mustakhraj: Penulis meriwayatkan hadits dari jalur berbeda atas hadits yang sudah dimuat dalam kitab sebelumnya, seperti al-Mustakhraj ‘ala Ṣaḥīḥ Muslim karya Abu Nu‘aym.

(#) Mustadrak: Kitab yang memuat hadits-hadits yang memenuhi syarat kitab induk tertentu tetapi tidak dicantumkan di dalamnya. Misalnya, al-Mustadrak ‘ala ash-Ṣaḥīḥayn karya al-Ḥākim an-Naisābūrī.⁶

8.3.       Kutub at-Tis‘ah (Sembilan Kitab Induk Hadits)

Dalam literatur Islam, dikenal istilah Kutub at-Tis‘ah sebagai kelompok kitab hadits yang menjadi rujukan utama dalam kajian hadits:

1)                  Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (w. 256 H) – disusun oleh Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī

2)                  Ṣaḥīḥ Muslim (w. 261 H) – disusun oleh Muslim ibn al-Ḥajjāj

3)                  Sunan Abī Dāwūd (w. 275 H) – disusun oleh Abū Dāwūd as-Sijistānī

4)                  Sunan at-Tirmiżī (w. 279 H)

5)                  Sunan an-Nasā’ī (w. 303 H)

6)                  Sunan Ibn Mājah (w. 273 H)

7)                  Muwaṭṭa’ Imām Mālik (w. 179 H)

8)                  Musnad Aḥmad bin Ḥanbal (w. 241 H)

9)                  Sunan ad-Dārimī (w. 255 H)⁷

Dua yang paling utama dan menempati tingkatan tertinggi dalam keabsahan sanad adalah Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim, yang sering disebut sebagai ash-Ṣaḥīḥayn. Hadits-hadits dalam kedua kitab ini secara umum telah memenuhi kriteria paling ketat dari sisi sanad dan perawi.

8.4.       Kriteria dan Metodologi Penyusun Kitab

Para penyusun kitab hadits memiliki metodologi khusus dalam memilih dan mengumpulkan riwayat. Misalnya:

·                     Imam al-Bukhārī menetapkan syarat bahwa setiap perawi harus bertemu langsung dengan gurunya dan dikenal sebagai orang yang tsiqah dan kuat hafalannya.⁸

·                     Imam Muslim sedikit lebih longgar dalam hal pertemuan langsung (mu‘āṣarah tanpa liqā’) selama tidak ada indikasi tadlīs atau pemutusan sanad.⁹

·                     Kitab seperti Sunan at-Tirmiżī selain memuat hadits juga memberikan komentar hukum dan penilaian atas kualitas sanad, menjadikannya salah satu rujukan dalam mustalah al-ḥadīts.¹⁰

8.5.       Manfaat Mempelajari Kitab-Kitab Hadits

Memahami struktur dan karakteristik kitab-kitab hadits sangat penting bagi pelajar Ilmu Hadits Riwayah, karena:

·                     Membantu dalam proses takhrīj al-ḥadīts (menelusuri asal-usul hadits dalam literatur klasik),

·                     Mengetahui tingkatan kekuatan hadits berdasarkan sumbernya,

·                     Menunjukkan bagaimana metodologi kritik dan seleksi riwayat diterapkan oleh para imam besar.

Selain itu, kitab-kitab tersebut menjadi rangka utama dalam penyusunan hukum Islam, menjadi sandaran para imam mazhab dalam istinbāṭ al-aḥkām.


Kesimpulan

Kitab-kitab hadits bukan hanya kumpulan riwayat, tetapi merupakan dokumen ilmiah yang mencerminkan metode sistematis dan ketelitian luar biasa dalam transmisi ajaran Islam. Melalui kitab-kitab inilah Ilmu Hadits Riwayah mendapatkan bentuk konkritnya, dan darinya pula umat Islam hari ini mampu mengakses sabda Nabi Saw secara otentik dan bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Beirut: Maktabah Wahbah, 1970), 28–29.

[2]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1988), 103.

[3]                Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 132.

[4]                Al-Kattani, Ar-Risalah al-Mustatrafah (Beirut: Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah, 1991), 36.

[5]                Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), 78.

[6]                Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 105.

[7]                Al-Kattani, Ar-Risalah al-Mustatrafah, 38–41.

[8]                Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 113.

[9]                Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar, ed. Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 71.

[10]             Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits, 133.


9.           Metode Periwayatan Hadits

9.1.       Konsep Dasar Tahammul dan Ada’ al-Hadits

Dalam Ilmu Hadits Riwayah, proses transmisi hadits dari satu generasi ke generasi berikutnya dikenal dengan istilah tahammul al-hadits (cara menerima hadits) dan ada’ al-hadits (cara menyampaikan hadits).¹

Para ulama hadits menetapkan metode-metode tertentu yang menunjukkan bagaimana seorang perawi memperoleh hadits dari gurunya serta bagaimana ia menyampaikannya kepada murid atau generasi berikutnya. Kejelasan metode ini penting untuk menilai apakah suatu riwayat dapat diterima atau perlu dikritisi.

9.2.       Metode-Metode Penerimaan Hadits (Ṭuruq at-Tahammul)

Berikut adalah delapan metode utama yang diakui dalam tradisi keilmuan hadits:

1)                  As-Samā‘ (السماع)

Mendengar langsung dari guru yang membacakan hadits. Ini merupakan cara terbaik dan paling otoritatif dalam periwayatan hadits. Imam Bukhari dan Muslim sangat memprioritaskan metode ini.²

2)                  Al-Qirā’ah ‘ala al-Syaikh (العرض أو القراءة)

Murid membaca hadits di hadapan gurunya, dan sang guru mengoreksi atau membenarkan. Cara ini juga dinilai sahih selama interaksi dan koreksi berlangsung.³

3)                  Al-Ijāzah (الإجازة)

Guru memberikan izin kepada murid untuk meriwayatkan hadits darinya, baik secara lisan maupun tertulis, tanpa proses pembacaan langsung. Validitasnya tergantung pada kredibilitas guru dan konteksnya.⁴

4)                  Al-Munāwalah (المناولة)

Guru memberikan naskah hadits kepada murid, lalu mengizinkannya untuk meriwayatkannya. Jika disertai ijazah, maka dinilai kuat.⁵

5)                  Al-Kitābah (الكتابة)

Penyampaian hadits melalui surat atau tulisan. Ini biasa dilakukan antar ulama di tempat yang berjauhan. Syaratnya: tulisan itu berasal langsung dari penulisnya atau diketahui keasliannya.⁶

6)                  Al-I‘lām (الإعلام)

Guru memberitahu murid bahwa hadits ini diriwayatkan darinya, tetapi tanpa memberi izin meriwayatkan. Ulama berbeda pendapat tentang keabsahannya.⁷

7)                  Al-Waṣiyyah (الوصية)

Seseorang mewasiatkan kitab haditsnya kepada orang lain untuk diriwayatkan. Keabsahannya lemah kecuali disertai ijazah eksplisit.⁸

8)                  Al-Wijādah (الوجادة)

Murid menemukan catatan hadits gurunya tanpa mendengar atau mendapat ijazah. Tidak dianggap sebagai metode riwayat resmi, tetapi disebut dalam bentuk wajada fulānun.⁹

9.3.       Redaksi Penyampaian (Ṣīghāt al-Ada’)

Dalam menyampaikan hadits, seorang perawi menggunakan redaksi tertentu yang menunjukkan cara ia menerima hadits tersebut. Redaksi ini membantu ulama untuk menilai tingkat kekuatan sanad. Beberapa di antaranya:

·                     Ḥaddathanā (telah memberitakan kepada kami): menunjukkan metode samā‘ langsung.

·                     Akhbaranā (telah mengabarkan kepada kami): biasanya digunakan dalam konteks qirā’ah.

·                     ‘An fulān (dari si fulan): menunjukkan riwayat dengan redaksi ‘an‘anah yang bisa bermakna umum, tetapi membutuhkan kejelasan tidak adanya tadlīs.

·                     Qāla (dia berkata): umumnya menunjukkan jarak yang longgar, dan bisa menjadi indikasi sanad yang tidak bersambung jika tidak didukung bukti mu‘āṣarah (hidup sezaman dan memungkinkan bertemu).¹⁰

9.4.       Implikasi Metode Riwayat terhadap Validitas Hadits

Metode tahammul dan redaksi penyampaian sangat menentukan status sanad, apakah dianggap muttasil (bersambung) atau munqathi‘ (terputus). Imam al-Khatib al-Baghdadi menjelaskan pentingnya memahami cara periwayatan agar tidak sembarangan menilai hadits sahih atau lemah.¹¹

Misalnya, perawi yang menggunakan ‘an dalam sanad (mu‘an‘an) hanya diterima jika:

1)                  Ia dikenal tidak melakukan tadlīs,

2)                  Ada bukti pertemuan langsung (liqā’) dengan gurunya.

Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka sanad bisa dinilai tidak bersambung.

9.5.       Peran Adab dalam Proses Riwayat

Selain metode formal, para ulama sangat menekankan adab dan etika dalam meriwayatkan hadits. Seorang perawi dituntut untuk:

·                     Jujur dan tidak menambah-nambahkan riwayat,

·                     Menyampaikan hadits persis seperti yang ia terima,

·                     Tidak meriwayatkan dari guru yang belum ia yakini keotentikan sanadnya,

·                     Menyebutkan metode dan redaksi yang benar.

Adab ini bukan hanya menunjukkan integritas pribadi, tetapi juga menjamin keutuhan sanad dan matan hadits untuk generasi setelahnya.¹²


Kesimpulan

Metode periwayatan hadits menunjukkan betapa telitinya para ulama dalam menjaga transmisi sabda Nabi Muhammad Saw. Dari proses mendengar hingga menyampaikan, semuanya tunduk pada aturan ilmiah dan adab keilmuan yang ketat. Ilmu Hadits Riwayah tidak hanya bicara tentang “apa” yang diriwayatkan, tetapi juga “bagaimana” dan “oleh siapa” riwayat itu dipertanggungjawabkan.


Footnotes

[1]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1988), 113.

[2]                Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 154–155.

[3]                Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Beirut: Maktabah Wahbah, 1970), 173.

[4]                Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 149.

[5]                Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi Ilm ar-Riwayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1980), 303.

[6]                Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits, 157.

[7]                Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, 117.

[8]                Al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, 177.

[9]                Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), 165.

[10]             Suyuthi, Tadrib al-Rawi, 161–162.

[11]             Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah, 212.

[12]             Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar, ed. Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 67–68.


10.       Tantangan dan Isu Kontemporer dalam Ilmu Riwayah

10.1.    Konteks Tantangan Modern

Ilmu Hadits Riwayah sebagai bagian dari khazanah keilmuan Islam telah melewati berabad-abad perkembangan, namun di era kontemporer menghadapi sejumlah tantangan baru, baik dari internal umat Islam sendiri maupun dari pengaruh eksternal seperti orientalisme, sekularisme, serta dinamika perkembangan teknologi dan informasi. Tantangan-tantangan ini menuntut pendekatan kritis, adaptif, dan solutif untuk mempertahankan relevansi serta otoritas keilmuan hadits dalam masyarakat modern.

10.2.    Kritik Orientalis terhadap Sistem Isnad

Salah satu tantangan besar datang dari kalangan orientalis, khususnya pada abad ke-19 dan 20, yang meragukan keaslian sistem isnad. Tokoh seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht berpendapat bahwa sanad dalam literatur hadits merupakan rekayasa ulama fiqh pada abad kedua dan ketiga Hijriah untuk melegitimasi pandangan hukum tertentu.¹ Mereka menganggap bahwa isnad bersifat retrospektif, disusun kemudian untuk menjustifikasi matan-matan hadits.

Namun, asumsi ini telah dibantah secara ilmiah oleh para ulama dan peneliti Muslim modern, seperti Muhammad Mustafa al-A‘zami, yang dalam kajian dokumenternya menunjukkan bukti-bukti eksistensi sanad yang otentik sejak masa sahabat dan tabi‘in, melalui naskah, catatan hadits awal, dan transmisi lisan yang terdokumentasi.² Demikian pula, Jonathan A.C. Brown membuktikan bahwa sistem isnad bukan hanya autentik, tetapi juga memiliki metodologi internal yang kompleks dan dapat diuji secara historis.³

10.3.    Maraknya Hadits Palsu dan Hoaks Keagamaan

Di era media sosial dan informasi digital yang sangat cepat, penyebaran hadits palsu atau tidak valid menjadi tantangan serius. Banyak hadits yang tidak bersumber jelas—atau bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam—disebarkan luas dengan label “sabda Nabi,” sering kali tanpa verifikasi. Fenomena ini menyebabkan distorsi pemahaman agama, bahkan digunakan untuk kepentingan politik atau komersial.⁴

Padahal, para ulama telah mengembangkan ilmu takhrij dan verifikasi sanad untuk menghindari hal ini. Sayangnya, minimnya literasi hadits di kalangan masyarakat umum menjadi faktor penyebab lemahnya daya saring terhadap informasi keagamaan yang beredar.

10.4.    Minimnya Penguasaan Ilmu Hadits di Lembaga Pendidikan Umum

Tantangan lain adalah kurangnya perhatian terhadap ilmu hadits, terutama dalam lembaga pendidikan Islam non-tradisional. Kajian hadits sering dianggap sebagai domain eksklusif pesantren atau lembaga salaf, sementara lembaga pendidikan tinggi Islam modern lebih fokus pada pendekatan filosofis, historis, atau interdisipliner tanpa penguatan aspek riwayah dan isnad.⁵

Akibatnya, banyak mahasiswa atau cendekiawan Islam yang fasih dalam wacana kontemporer tetapi lemah dalam metodologi hadits, sehingga kurang mampu merespons secara ilmiah kritik-kritik eksternal terhadap sumber-sumber Islam.

10.5.    Digitalisasi Hadits: Peluang dan Tantangan

Munculnya proyek digitalisasi hadits seperti Maktabah Syamilah, al-Maktabah al-Waqfiyyah, Sunnah.com, dan aplikasi pencarian hadits membuka peluang besar dalam pengajaran dan penelitian hadits. Akses ke ribuan kitab klasik menjadi lebih cepat dan luas.⁶

Namun, tantangannya adalah minimnya kontrol kualitas atas data digital tersebut. Tidak semua aplikasi menyertakan derajat hadits, penjelasan sanad, atau keterkaitan dengan kitab aslinya. Jika tidak digunakan secara kritis, bisa menimbulkan pemahaman yang keliru atas validitas hadits.

10.6.    Upaya Pembaruan dan Integrasi Metodologi

Sebagai respons terhadap tantangan tersebut, sejumlah akademisi Muslim menyerukan pembaruan metodologis dalam studi hadits, seperti:

·                     Integrasi ilmu hadits klasik dengan metodologi kritik sejarah modern,

·                     Penerapan natural language processing dan machine learning untuk analisis sanad dan matan,

·                     Pendekatan interdisipliner antara ilmu hadits, linguistik, sosiologi, dan studi hukum.

Tokoh seperti Dr. Yasir Qadhi, Mustafa al-A‘zami, dan Muhammad Ajaj al-Khatib termasuk di antara mereka yang mendorong pembaruan tanpa mengorbankan otoritas turats.⁷


Kesimpulan

Tantangan-tantangan kontemporer terhadap Ilmu Hadits Riwayah mengharuskan adanya revitalisasi keilmuan dengan tetap menjaga akar klasiknya. Pendekatan kritis terhadap orientalisme, penguatan literasi hadits di semua jenjang pendidikan, serta pemanfaatan teknologi secara bijak adalah kunci untuk memastikan bahwa ilmu hadits tetap hidup, relevan, dan terpercaya di era modern.


Footnotes

[1]                Ignaz Goldziher, Muslim Studies, trans. C.R. Barber and S.M. Stern (London: Allen & Unwin, 1971), 1:39–106.

[2]                Muhammad Mustafa al-A‘zami, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence (New York: Oxford University Press, 1985), 52–74.

[3]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World, 2nd ed. (Oxford: Oneworld Publications, 2017), 61–73.

[4]                Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid I (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 229.

[5]                Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 117–118.

[6]                Suhrawardi K. Lubis, Metodologi Studi Hadis Kontemporer (Jakarta: Prenada Media, 2020), 135–136.

[7]                Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), 214–216.


11.       Penutup

Ilmu Hadits Riwayah merupakan salah satu cabang ilmu paling fundamental dalam warisan keilmuan Islam. Ia berfungsi sebagai penjaga autentisitas sabda, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah Saw, sekaligus sebagai sistem dokumentasi keagamaan yang bersifat ilmiah, terstruktur, dan bertanggung jawab. Tidak ada dalam peradaban manapun sistem transmisi keagamaan yang seteliti dan sekomprehensif sistem isnād dalam Islam.¹

Melalui pembahasan ini, kita telah menelusuri asal-usul, pengertian, metode, hingga tantangan kontemporer yang dihadapi oleh Ilmu Hadits Riwayah. Dari masa Nabi Saw hingga era digital, ilmu ini terus berkembang—baik dalam bentuk kodifikasi, verifikasi sanad, maupun klasifikasi kualitas hadits. Para ulama telah meletakkan fondasi yang kukuh, seperti Imam al-Bukhari, Muslim, Ibn al-Ṣalah, al-Suyuthi, dan Ibn Hajar al-‘Asqalani, yang tidak hanya mengumpulkan hadits, tetapi juga menyusun kaidah-kaidah metodologis yang masih dijadikan acuan hingga kini.²

Di sisi lain, tantangan-tantangan seperti kritik orientalis terhadap sanad, maraknya hadits palsu, serta minimnya literasi hadits dalam pendidikan modern, menjadi isyarat bahwa keilmuan ini tidak boleh berhenti pada tataran historis semata. Ia harus terus diperbarui dan direlevansikan agar tetap hidup dan aplikatif dalam menjawab kebutuhan umat Islam kontemporer.³

Hal ini memerlukan dua pendekatan penting:

(#) Pertama, penguatan tradisi ilmiah klasik, melalui pengajaran kitab-kitab utama, pelatihan metode takhrij, dan pemahaman mendalam terhadap prinsip-prinsip sanad dan matan.

(#) Kedua, inovasi metodologis, seperti pemanfaatan teknologi digital, pendekatan interdisipliner, serta integrasi dengan ilmu-ilmu kontemporer tanpa mencabut akar klasiknya.⁴

Dengan demikian, mempelajari Ilmu Hadits Riwayah bukan hanya bagian dari akademik Islam, tetapi juga merupakan amanah keagamaan untuk menjaga warisan Nabi Saw dari distorsi dan manipulasi. Sebagaimana dikatakan Imam Abdullah ibn al-Mubarak:

“Al-Isnād minad-dīn. Walau lā al-isnād, laqāla man syā’a mā syā’a”

(“Sanad adalah bagian dari agama. Kalau bukan karena sanad, niscaya siapa pun akan berkata semaunya.”)⁵

Sebagai penutup, semoga tulisan ini menjadi pengantar yang mencerahkan dan membuka ruang bagi pendalaman lebih lanjut dalam dunia Ilmu Hadits Riwayah. Dengan memahami dan mengamalkan prinsip-prinsipnya, kita tidak hanya mewarisi ilmu, tetapi juga menjaga cahaya kenabian tetap menyinari zaman.


Footnotes

[1]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World, 2nd ed. (Oxford: Oneworld Publications, 2017), 57–59.

[2]                Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1988), 12–15.

[3]                Muhammad Mustafa al-A‘zami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 83–84.

[4]                Suhrawardi K. Lubis, Metodologi Studi Hadis Kontemporer (Jakarta: Prenada Media, 2020), 155–158.

[5]                Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar, ed. Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 14.


Daftar Pustaka

Al-A‘zami, M. M. (1977). Studies in hadith methodology and literature (M. D. Abdul Hameed, Trans.). American Trust Publications.

Al-A‘zami, M. M. (1985). On Schacht’s origins of Muhammadan jurisprudence. Oxford University Press.

Al-Baghdadi, A. B. (1980). Al-kifayah fi ‘ilm al-riwayah (1st ed.). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Kattani, M. ibn J. (1991). Ar-risalah al-mustatrafah li bayani kutub al-sunnah al-musannafah. Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah.

Al-Khatib, A. B. (1980). Al-kifayah fi ‘ilm al-riwayah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Qattan, M. K. (1970). Mabahits fi ‘ulum al-hadits. Maktabah Wahbah.

Al-Suyuthi, J. (1993). Tadrib al-rawi fi sharh taqrib al-nawawi (A. M. Syakir, Ed.). Dar al-Fikr.

Al-‘Asqalani, I. H. (2000). Nuzhat al-nazhar fi tawdih nukhabat al-fikar (N. ‘Itr, Ed.). Dar al-Fikr.

Azra, A. (1999). Pendidikan Islam: Tradisi dan modernisasi di tengah tantangan milenium III. Logos Wacana Ilmu.

Brown, J. A. C. (2017). Hadith: Muhammad’s legacy in the medieval and modern world (2nd ed.). Oneworld Publications.

Goldziher, I. (1971). Muslim studies (C. R. Barber & S. M. Stern, Trans.). Allen & Unwin.

Ibn al-Ṣalāḥ. (2000). ‘Ulūm al-ḥadīth (Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ). Dar al-Fikr.

Lubis, S. K. (2020). Metodologi studi hadis kontemporer. Prenada Media.

Salih, S. (1995). ‘Ulūm al-ḥadīth wa mustalaḥuhu. Dar al-‘Ilm li al-Malayin.

Syalabi, A. (1993). Sejarah dan kebudayaan Islam (Jilid I). Bulan Bintang.

Thahhan, M. (1988). Taisir mustalah al-hadits. Al-Maktab al-Islami.

‘Itr, N. (2005). Manhaj al-naqd fi ‘ulūm al-ḥadīth. Dar al-Fikr.

Al-Khatib, M. A. (2001). Ushul al-hadits: ‘Ulūmuhu wa mustalaḥuhu. Dar al-Fikr.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar