Rabu, 25 Desember 2024

Jabariyah: Pemikiran Jahm bin Safwan

 Jabariyah

Pemikiran Jahm bin Safwan


Alihkan ke: Kebebasan Berkehendak (Free Will).

LebertarianismeDeterminisme, Indeterminisme, Kompatibilisme, Inkopatibilisme, Fatalisme, Eksperimen Libet.


Disclaimer

Sebagai penulis, saya menegaskan bahwa saya adalah seorang Muslim yang berpegang teguh pada Madhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam teks ini, pembahasan tentang berbagai aliran ilmu kalam hanya disampaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan pengetahuan akademis semata.

Pembahasan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengajak atau menganjurkan pembaca untuk menganut, mendukung, atau mengajarkan aliran-aliran tersebut kepada orang lain. Setiap pembahasan didasarkan pada sumber-sumber ilmiah yang valid dan disampaikan dengan sikap objektif untuk memberikan pemahaman yang luas terhadap berbagai dinamika pemikiran dalam sejarah Islam.

Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi pembaca untuk memperkuat akidah yang lurus dan menambah wawasan keilmuan, sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah.


PEMBAHASAN

Jabariyah dan Pemikiran Jahm bin Safwan


1.           Pendahuluan

Ilmu kalam, atau teologi Islam, adalah disiplin ilmu yang berupaya untuk memahami dan menjelaskan akidah Islam secara rasional dan sistematis. Dalam sejarah perkembangannya, ilmu kalam sering kali menjadi medan diskusi dan perdebatan terkait berbagai isu teologis, seperti sifat-sifat Allah, kehendak manusia, dan takdir.1 Aliran-aliran teologi Islam, termasuk Jabariyah, lahir dari kebutuhan untuk menjawab tantangan intelektual, baik internal maupun eksternal, yang dihadapi umat Islam pada masa-masa awal.

Jabariyah adalah salah satu aliran dalam ilmu kalam yang berkembang pada abad pertama dan kedua Hijriah. Aliran ini dikenal dengan pandangannya yang menegaskan dominasi mutlak kehendak Allah atas segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia. Istilah "Jabariyah" berasal dari kata "jabr," yang berarti paksaan atau determinisme.2 Dalam pandangan Jabariyah, manusia tidak memiliki kehendak bebas (free will) dan semua perbuatan manusia semata-mata adalah hasil kehendak Allah.3

Tokoh utama yang dikenal dalam sejarah Jabariyah adalah Jahm bin Safwan, seorang teolog yang pemikirannya menjadi landasan utama bagi aliran ini. Jahm lahir di Kufah dan aktif menyebarkan pemikirannya di wilayah Khurasan.4 Pemikiran Jahm tidak hanya membentuk Jabariyah, tetapi juga memicu kontroversi teologis yang signifikan dalam sejarah Islam. Banyak ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dan kelompok lainnya yang mengkritik pandangannya, terutama dalam hal penafian sifat-sifat Allah (ta'thil) dan konsep iman.5

Relevansi pembahasan tentang Jabariyah dan Jahm bin Safwan tidak hanya terletak pada pentingnya memahami sejarah teologi Islam, tetapi juga dalam konteks modern. Perdebatan tentang kehendak bebas dan determinisme, yang menjadi inti pemikiran Jabariyah, tetap relevan dalam diskusi filsafat kontemporer. Oleh karena itu, membahas Jabariyah secara komprehensif memberikan wawasan yang lebih luas tentang dinamika pemikiran dalam Islam dan pelajaran untuk memahami keseimbangan antara kehendak Allah dan tanggung jawab manusia.6


Catatan Kaki

[1]              Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 10–12.

[2]              Abu Zahra, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah fî al-Siyâsah wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah (Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1996), 145.

[3]              Ibn Taimiyyah, Majmû‘ Fatâwâ Shaykh al-Islâm Ibn Taimiyyah, vol. 8 (Riyadh: Dar al-Wafa, 2005), 74.

[4]              A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (London: Frank Cass & Co., 1965), 49–51.

[5]              Al-Baghdadi, Al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1985), 120.

[6]              Montgomery Watt, Free Will and Predestination in Early Islam (London: Luzac & Company, 1948), 89–90.


2.           Sejarah Kemunculan Jabariyah

2.1.       Konteks Historis dan Sosial

Jabariyah muncul dalam konteks sejarah Islam awal, ketika perdebatan tentang takdir (qadha wa qadar) dan kehendak manusia menjadi isu teologis utama. Periode ini ditandai oleh perpecahan politik pasca terbunuhnya Utsman bin Affan dan perang saudara (fitnah) yang melibatkan sahabat-sahabat Rasulullah Saw. Konflik ini memunculkan pertanyaan mendalam tentang hubungan antara kehendak Allah dan tanggung jawab manusia atas tindakannya.1 Selain itu, pengaruh filsafat Yunani, Persia, dan India yang masuk ke dalam peradaban Islam melalui penerjemahan karya-karya klasik turut menyuburkan diskusi tentang determinisme dan kehendak bebas.2

Di sisi lain, munculnya aliran-aliran seperti Qadariyah, yang menekankan kebebasan kehendak manusia, mendorong kemunculan Jabariyah sebagai respons terhadap pandangan tersebut. Jabariyah, dengan ajaran determinismenya, berusaha menegaskan dominasi mutlak Allah atas segala sesuatu, termasuk tindakan manusia.3

2.2.       Asal-Usul Nama Jabariyah

Nama "Jabariyah" berasal dari kata Arab jabr, yang secara literal berarti "paksaan" atau "keterpaksaan". Istilah ini digunakan oleh lawan-lawan teologis aliran ini untuk menggambarkan pandangan Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak atau kemampuan untuk bertindak secara mandiri.4 Dalam pandangan Jabariyah, manusia hanyalah "alat" yang tunduk sepenuhnya pada kehendak Allah.5 Pemikiran ini berakar pada keyakinan bahwa menisbahkan kemampuan otonom kepada manusia dapat mengurangi kemahakuasaan Allah.6

2.3.       Tokoh-Tokoh Utama dan Penyebarannya

Tokoh paling terkenal dalam Jabariyah adalah Jahm bin Safwan, seorang teolog dari Kufah yang aktif menyebarkan pemikirannya di wilayah Khurasan pada akhir abad pertama Hijriah. Jahm adalah murid dari Ja‘d bin Dirham, seorang pemikir kontroversial yang juga dianggap berkontribusi terhadap konsep awal Jabariyah.7 Jahm menekankan gagasan bahwa manusia tidak memiliki kuasa atas tindakannya, dan semua perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Allah sejak awal.8

Penyebaran pemikiran Jabariyah terutama terjadi di wilayah Khurasan dan sekitarnya, meskipun pada akhirnya banyak ulama dan kelompok yang mengkritik pandangan ini.9 Pengaruh Jahm bin Safwan terhadap Jabariyah tidak hanya dalam isu takdir, tetapi juga dalam konsep ta'thil (penafian sifat-sifat Allah), yang semakin memperkuat kritik terhadap alirannya.10


Catatan Kaki

[1]              Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1962), 73.

[2]              A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (London: Frank Cass & Co., 1965), 45.

[3]              Ibn Abi Al-Izz, Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, ed. Muhammad Nashiruddin Al-Albani (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1988), 137.

[4]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1985), 120.

[5]              Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 74–75.

[6]              Ibn Taimiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, vol. 8 (Riyadh: Dar al-Wafa, 2005), 86.

[7]              Abu Zahra, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah fî al-Siyâsah wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabî, 1996), 146.

[8]              Al-Shahrastani, Kitab al-Milal wa al-Nihal (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1968), 96.

[9]              Wilferd Madelung, Religious Schools and Sects in Medieval Islam (London: Variorum Reprints, 1985), 25.

[10]          Oliver Leaman, The Biographical Encyclopedia of Islamic Philosophy (London: Bloomsbury Academic, 2006), 109.


3.           Pemikiran-Pemikiran Utama Jabariyah

3.1.       Konsep Takdir dan Kehendak Allah

Pemikiran sentral Jabariyah adalah pandangannya tentang takdir (qadha wa qadar), yang menegaskan dominasi mutlak kehendak Allah atas seluruh ciptaan-Nya. Dalam pandangan Jabariyah, segala sesuatu, termasuk tindakan manusia, adalah hasil kehendak dan penciptaan Allah.1 Manusia dianggap tidak memiliki kehendak bebas (free will) karena seluruh perbuatannya telah ditetapkan oleh Allah.2 Jahm bin Safwan menyatakan bahwa manusia tidak lebih dari "alat" yang digerakkan oleh Allah, seperti pena yang digunakan seorang penulis.3

Pendekatan ini muncul sebagai reaksi terhadap pandangan Qadariyah, yang menekankan kebebasan kehendak manusia dalam tindakannya. Jahm bin Safwan berargumen bahwa mengakui kehendak bebas manusia dapat mereduksi keesaan dan kemahakuasaan Allah.4 Konsekuensinya, Jabariyah menolak gagasan bahwa manusia bertanggung jawab atas dosa-dosanya, karena setiap tindakan manusia adalah takdir yang tidak dapat dielakkan.5

3.2.       Pandangan tentang Keadilan Ilahi

Dalam konteks keadilan ilahi, Jabariyah menolak konsep bahwa manusia dapat mempertanyakan tindakan Allah atau keadilan-Nya. Bagi mereka, apa pun yang dilakukan Allah adalah adil, bahkan jika tindakan tersebut tampak tidak adil dari sudut pandang manusia.6 Mereka meyakini bahwa keadilan Allah tidak dapat dipahami dengan logika manusia, karena Allah adalah Pencipta hukum dan keadilan.7

Pandangan ini menghadapi kritik tajam dari aliran-aliran lain, seperti Mu‘tazilah, yang berpendapat bahwa keadilan ilahi mensyaratkan adanya kebebasan manusia untuk memilih antara kebaikan dan keburukan.8

3.3.       Konsep Iman dan Kufur

Jabariyah memiliki pandangan yang unik tentang iman. Jahm bin Safwan mendefinisikan iman sebagai "pengetahuan dalam hati" (ma‘rifah bil qalb) dan kufur sebagai "ketidaktahuan."9 Dalam pandangan ini, amal perbuatan tidak memiliki hubungan langsung dengan keimanan seseorang.10 Oleh karena itu, orang yang melakukan dosa besar tidak dapat disebut kafir, selama ia memiliki pengetahuan tentang Allah di dalam hatinya.11

Pandangan ini mendekati pandangan Murji’ah, yang juga memisahkan iman dari amal. Namun, Jabariyah lebih radikal dalam menafikan peran amal dalam keimanan.12 Pendekatan ini menuai kritik karena dianggap dapat melemahkan akhlak dan tanggung jawab moral manusia.13

3.4.       Pandangan tentang Sifat-Sifat Allah

Jabariyah, khususnya melalui ajaran Jahm bin Safwan, menolak atribusi sifat-sifat Allah yang menyerupai makhluk (anthropomorphism).14 Mereka berpegang pada prinsip penafian sifat (ta‘thil), yaitu bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat yang terpisah dari esensi-Nya.15 Jahm berargumen bahwa konsep seperti ini dapat mengarah pada syirik, karena menganggap sifat-sifat Allah sebagai entitas yang berdiri sendiri.16

Misalnya, Jahm menolak konsep bahwa Allah memiliki tangan, wajah, atau berada di atas Arasy, karena semua ini dianggap menyerupai sifat makhluk.17 Sebaliknya, ia menegaskan bahwa semua deskripsi tersebut harus dipahami secara metaforis, sesuai dengan kebesaran dan keesaan Allah.18


Catatan Kaki

[1]              Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1962), 75.

[2]              Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 88.

[3]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1985), 118.

[4]              A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (London: Frank Cass & Co., 1965), 62.

[5]              Wilferd Madelung, Religious Schools and Sects in Medieval Islam (London: Variorum Reprints, 1985), 39.

[6]              Ibn Taimiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, vol. 8 (Riyadh: Dar al-Wafa, 2005), 93.

[7]              Abu Zahra, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah fî al-Siyâsah wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabî, 1996), 150.

[8]              Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 79.

[9]              Al-Shahrastani, Kitab al-Milal wa al-Nihal (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1968), 99.

[10]          Ibn Abi Al-Izz, Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, ed. Muhammad Nashiruddin Al-Albani (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1988), 145.

[11]          Al-Juwaini, Al-Irshad (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1996), 78.

[12]          Wilferd Madelung, The Cambridge History of Islam, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 320.

[13]          Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1985), 123.

[14]          Montgomery Watt, Free Will and Predestination in Early Islam (London: Luzac & Company, 1948), 98.

[15]          A.J. Wensinck, The Muslim Creed (London: Frank Cass & Co., 1965), 75.

[16]          Ibn Taimiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, vol. 5 (Riyadh: Dar al-Wafa, 2005), 145.

[17]          Al-Shahrastani, Kitab al-Milal wa al-Nihal (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1968), 97.

[18]          Abu Zahra, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabî, 1996), 153.


4.           Jahm bin Safwan: Tokoh Sentral Jabariyah

4.1.       Biografi Singkat Jahm bin Safwan

Jahm bin Safwan adalah seorang tokoh teolog yang dikenal sebagai pendiri utama pemikiran Jabariyah. Ia lahir di Kufah, sebuah kota penting di Irak yang pada saat itu menjadi pusat intelektual dan teologis umat Islam. Jahm kemudian pindah ke wilayah Khurasan, di mana ia aktif menyebarkan pemikirannya.1

Jahm bin Safwan adalah murid dari Ja‘d bin Dirham, seorang pemikir kontroversial yang juga dikaitkan dengan gagasan-gagasan awal Jabariyah.2 Melalui pengaruh gurunya, Jahm mengembangkan pandangan-pandangan teologisnya, khususnya dalam hal kehendak Allah, sifat-sifat-Nya, dan konsep iman. Jahm bin Safwan akhirnya dieksekusi oleh Salm bin Ahwaz, seorang gubernur Umayyah di Khurasan, karena dianggap menyebarkan pemikiran yang menyimpang.3

4.2.       Karya dan Pengaruh Jahm bin Safwan

Meskipun tidak ada karya tertulis Jahm bin Safwan yang bertahan, pandangan-pandangannya diketahui melalui kutipan dan kritik yang disampaikan oleh para ulama dan sejarawan, seperti Al-Shahrastani, Ibn Taimiyyah, dan Al-Baghdadi.4 Jahm dikenal dengan beberapa gagasan utama yang membentuk inti teologi Jabariyah, di antaranya:

·                     Penafian Kehendak Bebas: Jahm berargumen bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas dan seluruh tindakannya adalah hasil kehendak Allah.5

·                     Penafian Sifat-Sifat Allah: Jahm menolak atribusi sifat-sifat kepada Allah, seperti tangan, wajah, atau tempat tinggal, karena menurutnya hal tersebut dapat menyerupai makhluk (ta'thil).6

·                     Konsep Iman Sebagai Pengetahuan: Jahm mendefinisikan iman sebagai sekadar "pengetahuan tentang Allah," tanpa keterkaitan langsung dengan amal perbuatan.7

Pandangan-pandangannya memicu kontroversi luas di kalangan ulama Sunni, yang menuduhnya sebagai penyimpang dalam akidah. Namun, sebagian pemikir modern mengakui kontribusi Jahm dalam merangsang diskusi teologis dan filsafat dalam Islam.8

4.3.       Peran Jahm dalam Penyebaran Pemikiran Jabariyah

Jahm bin Safwan berperan signifikan dalam penyebaran pemikiran Jabariyah, terutama di wilayah Khurasan. Ia menggunakan debat teologis sebagai alat utama untuk menyebarkan ide-idenya.9 Jahm dikenal sebagai orator ulung yang mampu menarik perhatian pendengar melalui argumentasi rasional.10

Namun, strategi Jahm juga menghadapi perlawanan sengit, baik dari penguasa maupun ulama lokal. Penafian sifat-sifat Allah dan pandangan ekstremnya tentang kehendak Allah menjadi alasan utama kritik terhadapnya. Aliran Jabariyah yang dibawa Jahm akhirnya melemah setelah kematiannya, meskipun beberapa gagasannya tetap hidup dalam diskursus teologi Islam.11


Catatan Kaki

[1]              Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1962), 73.

[2]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1985), 120.

[3]              Ibn Taimiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, vol. 8 (Riyadh: Dar al-Wafa, 2005), 93.

[4]              Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 74.

[5]              A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (London: Frank Cass & Co., 1965), 45.

[6]              Al-Shahrastani, Kitab al-Milal wa al-Nihal (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1968), 99.

[7]              Wilferd Madelung, Religious Schools and Sects in Medieval Islam (London: Variorum Reprints, 1985), 39.

[8]              Oliver Leaman, The Biographical Encyclopedia of Islamic Philosophy (London: Bloomsbury Academic, 2006), 109.

[9]              Abu Zahra, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah fî al-Siyâsah wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabî, 1996), 146.

[10]          Montgomery Watt, Free Will and Predestination in Early Islam (London: Luzac & Company, 1948), 98.

[11]          Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1985), 123.


5.           Kritik Terhadap Jabariyah

5.1.       Kritik dari Aliran-Aliran Lain

Jabariyah, dengan penekanan ekstrem pada konsep determinisme, menghadapi kritik dari berbagai aliran teologi Islam. Salah satu kritik utama datang dari Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya aliran Asy‘ariyah dan Maturidiyah, yang menolak gagasan bahwa manusia sepenuhnya tidak memiliki kehendak. Dalam pandangan mereka, manusia memiliki kasb (usaha atau akuisisi), di mana kehendak Allah tetap dominan, tetapi manusia tetap bertanggung jawab atas perbuatannya.1 Kritik ini didasarkan pada upaya menjaga keseimbangan antara kehendak Allah dan tanggung jawab manusia dalam kerangka akidah Islam.2

Kelompok Mu‘tazilah, yang dikenal dengan pandangan rasionalis, juga mengkritik Jabariyah dengan argumen bahwa peniadaan kehendak manusia merusak prinsip keadilan ilahi. Menurut Mu‘tazilah, jika manusia tidak memiliki kehendak bebas, maka mustahil untuk mengatakan bahwa Allah adalah adil dalam memberi pahala atau hukuman.3 Mereka berpendapat bahwa keadilan Allah mensyaratkan kebebasan manusia untuk memilih antara kebaikan dan keburukan.4

Aliran Murji’ah juga mengkritik Jabariyah, meskipun keduanya memiliki kemiripan dalam pandangan tentang iman. Murji’ah menekankan pentingnya amal perbuatan dalam konteks sosial dan menolak determinisme ekstrem yang dapat melemahkan akhlak dan tanggung jawab moral individu.5

5.2.       Kritik Filosofis dan Logis

Kritik filosofis terhadap Jabariyah berfokus pada implikasi logis dari pandangan mereka. Konsep bahwa manusia sepenuhnya tidak memiliki kehendak dianggap bertentangan dengan pengalaman manusia sehari-hari, di mana individu merasa memiliki kebebasan dalam memilih tindakannya.6 Para kritikus juga menunjukkan bahwa peniadaan kehendak bebas manusia menciptakan dilema teologis dalam hal tanggung jawab moral.7

Ibn Taimiyyah, misalnya, mengkritik Jabariyah dengan menyatakan bahwa pandangan mereka mengarah pada nihilisme moral. Jika semua tindakan manusia hanya merupakan kehendak Allah, maka tidak ada dasar bagi perintah, larangan, atau pertanggungjawaban moral.8

5.3.       Kritik Praktis dalam Kehidupan Beragama

Pandangan Jabariyah juga menuai kritik karena dianggap memiliki implikasi negatif terhadap kehidupan beragama dan sosial. Dengan meniadakan tanggung jawab manusia, Jabariyah dinilai dapat mendorong sikap fatalistik di kalangan umat Islam.9 Sikap ini dapat menghambat upaya perbaikan diri dan masyarakat, karena manusia dianggap tidak memiliki peran dalam menentukan nasibnya.10

Para ulama seperti Al-Ghazali menekankan bahwa keyakinan Jabariyah berpotensi melemahkan semangat amal dan dakwah. Ia mengingatkan bahwa Islam mengajarkan keseimbangan antara tawakal kepada Allah dan usaha manusia.11 Kritik ini juga didukung oleh Asy‘ariyah, yang berupaya menjaga integritas moral dalam kehidupan beragama melalui konsep kasb.12


Catatan Kaki

[1]              Ibn Abi Al-Izz, Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, ed. Muhammad Nashiruddin Al-Albani (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1988), 145.

[2]              Al-Juwaini, Al-Irshad (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1996), 78.

[3]              A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (London: Frank Cass & Co., 1965), 62.

[4]              Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 90.

[5]              Wilferd Madelung, Religious Schools and Sects in Medieval Islam (London: Variorum Reprints, 1985), 39.

[6]              Montgomery Watt, Free Will and Predestination in Early Islam (London: Luzac & Company, 1948), 98.

[7]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1985), 118.

[8]              Ibn Taimiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, vol. 8 (Riyadh: Dar al-Wafa, 2005), 86.

[9]              Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 79.

[10]          Abu Zahra, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah fî al-Siyâsah wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabî, 1996), 150.

[11]          Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ed. Ahmad Zaki Mansur (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 197.

[12]          Al-Shahrastani, Kitab al-Milal wa al-Nihal (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1968), 98.


6.           Warisan dan Relevansi Pemikiran Jabariyah

6.1.       Pengaruh Jabariyah dalam Sejarah Pemikiran Islam

Pemikiran Jabariyah, meskipun telah kehilangan pengikut secara signifikan sejak abad kedua Hijriah, meninggalkan pengaruh yang penting dalam perkembangan teologi Islam. Konsep determinisme Jabariyah mendorong diskusi panjang di kalangan ulama tentang hubungan antara kehendak Allah dan tanggung jawab manusia.1 Aliran ini juga menjadi salah satu pemicu kemunculan pendekatan teologi moderat oleh Asy‘ariyah dan Maturidiyah, yang mencoba mencari jalan tengah antara pandangan Jabariyah dan Qadariyah.2

Pemikiran Jahm bin Safwan tentang sifat-sifat Allah (ta‘thil) juga memberikan kontribusi terhadap diskusi filsafat Islam tentang keesaan Allah (tawhid).3 Pandangan ekstrem Jahm ditentang oleh banyak ulama, tetapi kritik terhadapnya memaksa para pemikir Islam untuk merumuskan pandangan yang lebih jelas dan terstruktur tentang sifat-sifat Allah.4

6.2.       Hubungan dengan Aliran-Aliran Lain

Meskipun Jabariyah secara formal tidak bertahan sebagai aliran yang terorganisasi, beberapa pemikiran mereka tercermin dalam pandangan kelompok lain. Misalnya, doktrin Jabariyah tentang takdir mempengaruhi kelompok Murji’ah dalam menekankan ketergantungan penuh pada kehendak Allah.5 Selain itu, dalam diskursus modern, pemikiran Jabariyah sering kali dibandingkan dengan pandangan determinisme dalam filsafat Barat.6

6.3.       Relevansi Konsep "Jabr" dalam Diskusi Kontemporer

Pemikiran Jabariyah tetap relevan dalam konteks filsafat modern, khususnya dalam diskusi tentang determinisme dan kehendak bebas. Dalam filsafat Barat, debat serupa muncul antara penganut determinisme, yang percaya bahwa semua peristiwa di dunia ini sudah ditentukan oleh hukum kausalitas, dan penganut kehendak bebas, yang meyakini bahwa manusia memiliki kemampuan untuk memilih tindakan mereka sendiri.7 Konsep "jabr" Jabariyah sering digunakan sebagai analogi dalam diskusi ini, meskipun pendekatan teologisnya berbeda dengan kerangka filsafat sekuler.8

Dalam konteks sosial dan budaya, pandangan Jabariyah juga relevan dalam memahami fenomena fatalisme dalam masyarakat Muslim. Pandangan bahwa segala sesuatu adalah takdir Allah sering kali menjadi alasan untuk pasif terhadap perubahan sosial atau politik.9 Oleh karena itu, memahami Jabariyah membantu umat Islam untuk menghindari interpretasi agama yang dapat melemahkan usaha dan tanggung jawab individu.10

6.4.       Pelajaran yang Dapat Diambil

Salah satu pelajaran penting dari Jabariyah adalah perlunya keseimbangan dalam memahami kehendak Allah dan peran manusia. Jabariyah menekankan kemahakuasaan Allah, yang merupakan prinsip inti dalam Islam, tetapi pendekatan mereka yang ekstrem sering kali mengabaikan tanggung jawab manusia.11 Ulama kontemporer sering menggunakan diskusi tentang Jabariyah untuk menegaskan pentingnya prinsip tawakal yang disertai usaha.12

Relevansi pemikiran Jabariyah juga terlihat dalam diskusi keagamaan tentang akidah, di mana umat Islam didorong untuk memahami bahwa iman tidak hanya tentang keyakinan, tetapi juga melibatkan tindakan yang mencerminkan tanggung jawab moral.13


Catatan Kaki

[1]              Wilferd Madelung, Religious Schools and Sects in Medieval Islam (London: Variorum Reprints, 1985), 39.

[2]              Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1962), 75.

[3]              A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (London: Frank Cass & Co., 1965), 62.

[4]              Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 90.

[5]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1985), 118.

[6]              Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 79.

[7]              Ted Honderich, Determinism as True, Compatibilism and Incompatibilism as Both False, and the Real Problem (London: Oxford University Press, 1988), 45–46.

[8]              Montgomery Watt, Free Will and Predestination in Early Islam (London: Luzac & Company, 1948), 98.

[9]              Abu Zahra, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah fî al-Siyâsah wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabî, 1996), 150.

[10]          Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ed. Ahmad Zaki Mansur (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 197.

[11]          Al-Juwaini, Al-Irshad (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1996), 78.

[12]          Al-Shahrastani, Kitab al-Milal wa al-Nihal (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1968), 98.

[13]          Ibn Abi Al-Izz, Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, ed. Muhammad Nashiruddin Al-Albani (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1988), 145.


7.           Kesimpulan

Pemikiran Jabariyah, yang berpusat pada gagasan determinisme ekstrem dan dominasi mutlak kehendak Allah, menjadi salah satu fenomena penting dalam sejarah teologi Islam. Munculnya Jabariyah pada abad pertama dan kedua Hijriah mencerminkan respons terhadap tantangan intelektual pada masa itu, termasuk perselisihan tentang takdir (qadha wa qadar) dan hubungan antara kehendak Allah dengan tanggung jawab manusia.1 Tokoh sentral aliran ini, Jahm bin Safwan, memainkan peran penting dalam merumuskan konsep-konsep teologis Jabariyah, seperti penafian kehendak bebas manusia, penolakan sifat-sifat Allah (ta‘thil), dan definisi iman sebagai sekadar "pengetahuan dalam hati."2

Jabariyah menghadapi kritik tajam dari berbagai aliran teologi Islam, termasuk Ahlus Sunnah wal Jamaah, Mu‘tazilah, dan Murji’ah. Kritik-kritik ini berfokus pada implikasi logis dan moral dari determinisme ekstrem yang ditawarkan oleh Jabariyah. Misalnya, peniadaan tanggung jawab manusia dianggap bertentangan dengan konsep keadilan ilahi, sementara pendekatan fatalistik mereka berpotensi melemahkan semangat amal dan perbaikan diri.3

Warisan pemikiran Jabariyah tetap relevan dalam diskusi-diskusi teologis dan filosofis hingga saat ini. Dalam filsafat modern, konsep determinisme yang diusung Jabariyah sering kali dibandingkan dengan teori-teori tentang kausalitas dalam filsafat Barat.4 Secara praktis, pandangan ini memberikan wawasan tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara keyakinan terhadap kehendak Allah dan tanggung jawab individu.5

Salah satu pelajaran penting dari studi tentang Jabariyah adalah bagaimana dinamika teologis dalam Islam mendorong umat untuk mencari pemahaman yang lebih mendalam dan moderat. Meskipun Jabariyah telah lama hilang sebagai aliran yang terorganisasi, diskusi tentang ide-ide mereka tetap menjadi bagian penting dalam membangun kerangka akidah Islam yang seimbang, baik dalam aspek teologis maupun praktis.6 Dalam konteks kehidupan modern, pembelajaran dari Jabariyah dapat membantu umat Islam memahami pentingnya usaha dan tanggung jawab, sambil tetap bersandar kepada kehendak Allah yang mutlak.7


Catatan Kaki

[1]              Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1962), 75.

[2]              Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 90.

[3]              A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (London: Frank Cass & Co., 1965), 62.

[4]              Ted Honderich, Determinism as True, Compatibilism and Incompatibilism as Both False, and the Real Problem (London: Oxford University Press, 1988), 45–46.

[5]              Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1985), 118.

[6]              Wilferd Madelung, Religious Schools and Sects in Medieval Islam (London: Variorum Reprints, 1985), 39.

[7]              Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ed. Ahmad Zaki Mansur (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 197.


Daftar Pustaka

Al-Baghdadi, A. (1985). Al-Farq Bayna al-Firaq. Beirut: Dar al-Ma’arif.

Al-Ghazali. (1997). Ihya Ulum al-Din (ed. Ahmad Zaki Mansur). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Juwaini, A. M. (1996). Al-Irshad. Cairo: Maktabah al-Khanji.

Al-Shahrastani. (1968). Kitab al-Milal wa al-Nihal. Cairo: Maktabah al-Khanji.

Honderich, T. (1988). Determinism as True, Compatibilism and Incompatibilism as Both False, and the Real Problem. London: Oxford University Press.

Ibn Abi Al-Izz. (1988). Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah (ed. Muhammad Nashiruddin Al-Albani). Riyadh: Maktabah al-Ma’arif.

Ibn Taimiyyah. (2005). Majmu‘ al-Fatawa (Vol. 5 & Vol. 8). Riyadh: Dar al-Wafa.

Madelung, W. (1985). Religious Schools and Sects in Medieval Islam. London: Variorum Reprints.

Montgomery Watt, W. (1948). Free Will and Predestination in Early Islam. London: Luzac & Company.

Montgomery Watt, W. (1962). Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Wensinck, A. J. (1965). The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development. London: Frank Cass & Co.

Wolfson, H. A. (1976). The Philosophy of the Kalam. Cambridge: Harvard University Press.

Zahra, A. (1996). Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah fî al-Siyâsah wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabî.


Lampiran: Daftar Kitab yang Relevan

1)                 Kitab al-Milal wa al-Nihal

o     Penulis: Al-Shahrastani (479–548 H / 1086–1153 M)

o     Penjelasan: Kitab ini merupakan karya monumental yang membahas berbagai aliran teologi dan agama, termasuk pemikiran Jabariyah. Al-Shahrastani menjelaskan sejarah, prinsip utama, dan kritik terhadap Jabariyah secara rinci.

2)                 Al-Farq Bayna al-Firaq

o     Penulis: Abu Mansur Al-Baghdadi (d. 429 H / 1037 M)

o     Penjelasan: Kitab ini menguraikan perbedaan berbagai kelompok teologis dalam Islam. Al-Baghdadi membahas Jabariyah sebagai salah satu aliran teologi yang muncul di awal sejarah Islam, dengan fokus pada pandangan deterministik mereka.

3)                 Majmu‘ al-Fatawa

o     Penulis: Ibn Taimiyyah (661–728 H / 1263–1328 M)

o     Penjelasan: Koleksi fatwa Ibn Taimiyyah ini mencakup kritik mendalam terhadap Jabariyah. Ia menolak determinisme ekstrem mereka dan mengajukan konsep alternatif tentang kehendak manusia dalam bingkai keimanan Islam.

4)                 Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah

o     Penulis: Ibn Abi Al-Izz (731–792 H / 1331–1390 M)

o     Penjelasan: Karya ini menjelaskan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, termasuk refutasi terhadap pandangan Jabariyah. Penulis memberikan argumen logis dan teologis untuk membantah gagasan bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas.

5)                 Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah

o     Penulis: Muhammad Abu Zahra (1898–1974 M)

o     Penjelasan: Buku sejarah pemikiran Islam ini membahas secara luas asal-usul dan perkembangan aliran-aliran dalam Islam, termasuk Jabariyah. Abu Zahra menguraikan latar belakang sosial dan intelektual munculnya aliran ini.

6)                 Kitab al-Irshad ila Qawathi‘ al-Adillah fi Usul al-I‘tiqad

o     Penulis: Al-Juwaini (419–478 H / 1028–1085 M)

o     Penjelasan: Karya ini membahas berbagai isu teologis, termasuk kritik terhadap Jabariyah dan pandangan mereka tentang kehendak manusia. Al-Juwaini mengajukan argumen yang konsisten dengan ajaran Asy‘ariyah.

7)                 Fadhihah al-Mu‘tazilah wa al-Jabariyyah

o     Penulis: Al-Ghazali (450–505 H / 1058–1111 M)

o     Penjelasan: Dalam karya ini, Al-Ghazali membantah pandangan ekstrem baik dari Jabariyah maupun Mu‘tazilah. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara kehendak Allah dan tanggung jawab manusia.

8)                 Kitab al-Tawhid

o     Penulis: Ibn Khuzaymah (223–311 H / 838–923 M)

o     Penjelasan: Kitab ini membahas konsep keesaan Allah dan menolak pemikiran yang dianggap menyimpang, termasuk Jabariyah. Ibn Khuzaymah menekankan pentingnya memahami sifat-sifat Allah tanpa mengurangi atau menambah.

9)                 Al-Mughni fi Abwab al-Tawhid wa al-‘Adl

o     Penulis: Al-Qadi Abdul Jabbar (d. 415 H / 1025 M)

o     Penjelasan: Meskipun beraliran Mu‘tazilah, kitab ini mengandung kritik terhadap Jabariyah, khususnya dalam pandangan mereka tentang keadilan Allah dan tanggung jawab manusia.

10)             Hujjat Allah al-Balighah

o     Penulis: Shah Waliullah Al-Dihlawi (1703–1762 M)

o     Penjelasan: Buku ini menjelaskan aspek-aspek keadilan ilahi dan hubungan antara takdir dan usaha manusia. Shah Waliullah mengkritik pandangan Jabariyah yang dianggap menafikan tanggung jawab manusia.


Penjelasan Tambahan:

Kitab-kitab ini bukan hanya menjadi sumber utama untuk memahami pemikiran Jabariyah tetapi juga memberikan perspektif yang luas tentang bagaimana aliran ini dikritik dan dipengaruhi oleh dinamika teologi Islam. Penulis-penulisnya berasal dari berbagai masa, menunjukkan bagaimana pemikiran Jabariyah tetap relevan dalam diskursus Islam selama berabad-abad.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar