Jabariyah
Pemikiran Jahm bin Safwan
Alihkan ke: Kebebasan Berkehendak (Free Will).
Lebertarianisme, Determinisme, Indeterminisme, Kompatibilisme, Inkopatibilisme, Fatalisme, Eksperimen Libet.
Disclaimer
Sebagai penulis, saya
menegaskan bahwa saya adalah seorang Muslim yang berpegang teguh pada Madhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam teks ini, pembahasan tentang
berbagai aliran ilmu kalam hanya disampaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan
pengetahuan akademis semata.
Pembahasan tersebut tidak
dimaksudkan untuk mengajak atau menganjurkan pembaca untuk menganut, mendukung,
atau mengajarkan aliran-aliran tersebut kepada orang lain. Setiap pembahasan didasarkan
pada sumber-sumber ilmiah yang valid dan disampaikan dengan sikap objektif
untuk memberikan pemahaman yang luas terhadap berbagai dinamika pemikiran dalam
sejarah Islam.
Semoga pembahasan ini
bermanfaat bagi pembaca untuk memperkuat akidah yang lurus dan menambah wawasan
keilmuan, sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
PEMBAHASAN
Jabariyah dan Pemikiran Jahm bin Safwan
1.
Pendahuluan
Ilmu kalam, atau teologi
Islam, adalah disiplin ilmu yang berupaya untuk memahami dan menjelaskan akidah
Islam secara rasional dan sistematis. Dalam sejarah perkembangannya, ilmu kalam
sering kali menjadi medan diskusi dan perdebatan terkait berbagai isu teologis,
seperti sifat-sifat Allah, kehendak manusia, dan takdir.1
Aliran-aliran teologi Islam, termasuk Jabariyah, lahir dari kebutuhan untuk
menjawab tantangan intelektual, baik internal maupun eksternal, yang dihadapi
umat Islam pada masa-masa awal.
Jabariyah adalah salah
satu aliran dalam ilmu kalam yang berkembang pada abad pertama dan kedua
Hijriah. Aliran ini dikenal dengan pandangannya yang menegaskan dominasi mutlak
kehendak Allah atas segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia. Istilah "Jabariyah"
berasal dari kata "jabr," yang berarti paksaan atau
determinisme.2 Dalam pandangan Jabariyah, manusia tidak memiliki
kehendak bebas (free will) dan semua perbuatan manusia semata-mata
adalah hasil kehendak Allah.3
Tokoh utama yang dikenal
dalam sejarah Jabariyah adalah Jahm bin Safwan, seorang teolog yang
pemikirannya menjadi landasan utama bagi aliran ini. Jahm lahir di Kufah dan
aktif menyebarkan pemikirannya di wilayah Khurasan.4 Pemikiran Jahm
tidak hanya membentuk Jabariyah, tetapi juga memicu kontroversi teologis yang
signifikan dalam sejarah Islam. Banyak ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dan
kelompok lainnya yang mengkritik pandangannya, terutama dalam hal penafian
sifat-sifat Allah (ta'thil) dan konsep iman.5
Relevansi pembahasan tentang
Jabariyah dan Jahm bin Safwan tidak hanya terletak pada pentingnya memahami
sejarah teologi Islam, tetapi juga dalam konteks modern. Perdebatan tentang
kehendak bebas dan determinisme, yang menjadi inti pemikiran Jabariyah, tetap
relevan dalam diskusi filsafat kontemporer. Oleh karena itu, membahas Jabariyah
secara komprehensif memberikan wawasan yang lebih luas tentang dinamika
pemikiran dalam Islam dan pelajaran untuk memahami keseimbangan antara kehendak
Allah dan tanggung jawab manusia.6
Catatan Kaki
[1]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge:
Harvard University Press, 1976), 10–12.
[2]
Abu Zahra, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah fî al-Siyâsah wa
al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah (Cairo: Dâr al-Fikr
al-‘Arabî, 1996), 145.
[3]
Ibn Taimiyyah, Majmû‘ Fatâwâ Shaykh al-Islâm Ibn Taimiyyah, vol.
8 (Riyadh: Dar al-Wafa, 2005), 74.
[4]
A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical
Development (London: Frank Cass & Co., 1965), 49–51.
[5]
Al-Baghdadi, Al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif,
1985), 120.
[6]
Montgomery Watt, Free Will and Predestination in Early Islam
(London: Luzac & Company, 1948), 89–90.
2.
Sejarah
Kemunculan Jabariyah
2.1. Konteks Historis dan Sosial
Jabariyah muncul dalam
konteks sejarah Islam awal, ketika perdebatan tentang takdir (qadha wa qadar)
dan kehendak manusia menjadi isu teologis utama. Periode ini ditandai oleh
perpecahan politik pasca terbunuhnya Utsman bin Affan dan perang saudara
(fitnah) yang melibatkan sahabat-sahabat Rasulullah Saw. Konflik ini
memunculkan pertanyaan mendalam tentang hubungan antara kehendak Allah dan
tanggung jawab manusia atas tindakannya.1 Selain itu, pengaruh
filsafat Yunani, Persia, dan India yang masuk ke dalam peradaban Islam melalui
penerjemahan karya-karya klasik turut menyuburkan diskusi tentang determinisme
dan kehendak bebas.2
Di sisi lain, munculnya
aliran-aliran seperti Qadariyah, yang menekankan kebebasan kehendak manusia,
mendorong kemunculan Jabariyah sebagai respons terhadap pandangan tersebut.
Jabariyah, dengan ajaran determinismenya, berusaha menegaskan dominasi mutlak
Allah atas segala sesuatu, termasuk tindakan manusia.3
2.2. Asal-Usul Nama Jabariyah
Nama "Jabariyah"
berasal dari kata Arab jabr, yang secara literal berarti "paksaan"
atau "keterpaksaan". Istilah ini digunakan oleh lawan-lawan
teologis aliran ini untuk menggambarkan pandangan Jabariyah yang menyatakan
bahwa manusia tidak memiliki kehendak atau kemampuan untuk bertindak secara
mandiri.4 Dalam pandangan Jabariyah, manusia hanyalah "alat"
yang tunduk sepenuhnya pada kehendak Allah.5 Pemikiran ini berakar
pada keyakinan bahwa menisbahkan kemampuan otonom kepada manusia dapat
mengurangi kemahakuasaan Allah.6
2.3. Tokoh-Tokoh Utama dan Penyebarannya
Tokoh paling terkenal dalam
Jabariyah adalah Jahm bin Safwan, seorang
teolog dari Kufah yang aktif menyebarkan pemikirannya di wilayah Khurasan pada
akhir abad pertama Hijriah. Jahm adalah murid dari Ja‘d bin Dirham, seorang
pemikir kontroversial yang juga dianggap berkontribusi terhadap konsep awal
Jabariyah.7 Jahm menekankan gagasan bahwa manusia tidak memiliki kuasa
atas tindakannya, dan semua perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Allah sejak
awal.8
Penyebaran pemikiran
Jabariyah terutama terjadi di wilayah Khurasan dan sekitarnya, meskipun pada
akhirnya banyak ulama dan kelompok yang mengkritik pandangan ini.9 Pengaruh
Jahm bin Safwan terhadap Jabariyah tidak hanya dalam isu takdir, tetapi juga
dalam konsep ta'thil (penafian sifat-sifat Allah), yang semakin memperkuat
kritik terhadap alirannya.10
Catatan Kaki
[1]
Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1962), 73.
[2]
A.J. Wensinck, The
Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (London: Frank
Cass & Co., 1965), 45.
[3]
Ibn Abi Al-Izz, Syarh
al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, ed. Muhammad Nashiruddin Al-Albani (Riyadh:
Maktabah al-Ma’arif, 1988), 137.
[4]
Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1985), 120.
[5]
Harry Austryn Wolfson, The
Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press,
1976), 74–75.
[6]
Ibn Taimiyyah, Majmu‘
al-Fatawa, vol. 8 (Riyadh: Dar al-Wafa, 2005), 86.
[7]
Abu Zahra, Târîkh
al-Madzâhib al-Islâmiyyah fî al-Siyâsah wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Madzâhib
al-Fiqhiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabî, 1996), 146.
[8]
Al-Shahrastani, Kitab
al-Milal wa al-Nihal (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1968), 96.
[9]
Wilferd Madelung, Religious
Schools and Sects in Medieval Islam (London: Variorum Reprints,
1985), 25.
[10]
Oliver Leaman, The
Biographical Encyclopedia of Islamic Philosophy (London: Bloomsbury
Academic, 2006), 109.
3.
Pemikiran-Pemikiran
Utama Jabariyah
3.1. Konsep Takdir dan Kehendak Allah
Pemikiran sentral Jabariyah
adalah pandangannya tentang takdir (qadha wa
qadar), yang menegaskan dominasi mutlak kehendak Allah atas seluruh
ciptaan-Nya. Dalam pandangan Jabariyah, segala sesuatu, termasuk tindakan
manusia, adalah hasil kehendak dan penciptaan Allah.1 Manusia
dianggap tidak memiliki kehendak bebas (free will) karena seluruh
perbuatannya telah ditetapkan oleh Allah.2 Jahm bin Safwan
menyatakan bahwa manusia tidak lebih dari "alat" yang
digerakkan oleh Allah, seperti pena yang digunakan seorang penulis.3
Pendekatan ini muncul sebagai
reaksi terhadap pandangan Qadariyah, yang menekankan kebebasan kehendak manusia
dalam tindakannya. Jahm bin Safwan berargumen bahwa mengakui kehendak bebas
manusia dapat mereduksi keesaan dan kemahakuasaan Allah.4
Konsekuensinya, Jabariyah menolak gagasan bahwa manusia bertanggung jawab atas
dosa-dosanya, karena setiap tindakan manusia adalah takdir yang tidak dapat
dielakkan.5
3.2. Pandangan tentang Keadilan Ilahi
Dalam konteks keadilan ilahi,
Jabariyah menolak konsep bahwa manusia dapat mempertanyakan tindakan Allah atau
keadilan-Nya. Bagi mereka, apa pun yang dilakukan Allah adalah adil, bahkan
jika tindakan tersebut tampak tidak adil dari sudut pandang manusia.6
Mereka meyakini bahwa keadilan Allah tidak dapat dipahami dengan logika
manusia, karena Allah adalah Pencipta hukum dan keadilan.7
Pandangan ini menghadapi
kritik tajam dari aliran-aliran lain, seperti Mu‘tazilah, yang berpendapat
bahwa keadilan ilahi mensyaratkan adanya kebebasan manusia untuk memilih antara
kebaikan dan keburukan.8
3.3. Konsep Iman dan Kufur
Jabariyah memiliki pandangan
yang unik tentang iman. Jahm bin Safwan
mendefinisikan iman sebagai "pengetahuan dalam hati" (ma‘rifah
bil qalb) dan kufur sebagai "ketidaktahuan."9
Dalam pandangan ini, amal perbuatan tidak memiliki hubungan langsung dengan
keimanan seseorang.10 Oleh karena itu, orang yang melakukan dosa
besar tidak dapat disebut kafir, selama ia memiliki pengetahuan tentang Allah
di dalam hatinya.11
Pandangan ini mendekati
pandangan Murji’ah, yang juga memisahkan iman dari amal. Namun, Jabariyah lebih
radikal dalam menafikan peran amal dalam keimanan.12 Pendekatan ini
menuai kritik karena dianggap dapat melemahkan akhlak dan tanggung jawab moral
manusia.13
3.4. Pandangan tentang Sifat-Sifat Allah
Jabariyah, khususnya melalui
ajaran Jahm bin Safwan, menolak atribusi sifat-sifat Allah yang menyerupai
makhluk (anthropomorphism).14 Mereka berpegang pada prinsip
penafian sifat (ta‘thil), yaitu bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat
yang terpisah dari esensi-Nya.15 Jahm berargumen bahwa konsep
seperti ini dapat mengarah pada syirik, karena menganggap sifat-sifat Allah
sebagai entitas yang berdiri sendiri.16
Misalnya, Jahm menolak konsep
bahwa Allah memiliki tangan, wajah, atau berada di atas Arasy, karena semua ini
dianggap menyerupai sifat makhluk.17 Sebaliknya, ia menegaskan bahwa
semua deskripsi tersebut harus dipahami secara metaforis, sesuai dengan
kebesaran dan keesaan Allah.18
Catatan Kaki
[1]
Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1962), 75.
[2]
Harry Austryn Wolfson, The
Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press,
1976), 88.
[3]
Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1985), 118.
[4]
A.J. Wensinck, The
Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (London: Frank
Cass & Co., 1965), 62.
[5]
Wilferd Madelung, Religious
Schools and Sects in Medieval Islam (London: Variorum Reprints,
1985), 39.
[6]
Ibn Taimiyyah, Majmu‘
al-Fatawa, vol. 8 (Riyadh: Dar al-Wafa, 2005), 93.
[7]
Abu Zahra, Târîkh
al-Madzâhib al-Islâmiyyah fî al-Siyâsah wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Madzâhib
al-Fiqhiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabî, 1996), 150.
[8]
Oliver Leaman, A Brief
Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999),
79.
[9]
Al-Shahrastani, Kitab
al-Milal wa al-Nihal (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1968), 99.
[10]
Ibn Abi Al-Izz, Syarh
al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, ed. Muhammad Nashiruddin Al-Albani
(Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1988), 145.
[11]
Al-Juwaini, Al-Irshad
(Cairo: Maktabah al-Khanji, 1996), 78.
[12]
Wilferd Madelung, The
Cambridge History of Islam, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University
Press, 1970), 320.
[13]
Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1985), 123.
[14]
Montgomery Watt, Free
Will and Predestination in Early Islam (London: Luzac &
Company, 1948), 98.
[15]
A.J. Wensinck, The
Muslim Creed (London: Frank Cass & Co., 1965), 75.
[16]
Ibn Taimiyyah, Majmu‘
al-Fatawa, vol. 5 (Riyadh: Dar al-Wafa, 2005), 145.
[17]
Al-Shahrastani, Kitab
al-Milal wa al-Nihal (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1968), 97.
[18]
Abu Zahra, Târîkh
al-Madzâhib al-Islâmiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabî, 1996),
153.
4.
Jahm
bin Safwan: Tokoh Sentral Jabariyah
4.1. Biografi Singkat Jahm bin Safwan
Jahm bin Safwan adalah
seorang tokoh teolog yang dikenal sebagai pendiri utama pemikiran Jabariyah. Ia
lahir di Kufah, sebuah kota penting di Irak yang pada saat itu menjadi pusat
intelektual dan teologis umat Islam. Jahm kemudian pindah ke wilayah Khurasan,
di mana ia aktif menyebarkan pemikirannya.1
Jahm bin Safwan adalah murid
dari Ja‘d bin Dirham, seorang pemikir kontroversial yang juga dikaitkan dengan
gagasan-gagasan awal Jabariyah.2 Melalui pengaruh gurunya, Jahm
mengembangkan pandangan-pandangan teologisnya, khususnya dalam hal kehendak
Allah, sifat-sifat-Nya, dan konsep iman. Jahm bin Safwan akhirnya dieksekusi
oleh Salm bin Ahwaz, seorang gubernur Umayyah di Khurasan, karena dianggap
menyebarkan pemikiran yang menyimpang.3
4.2. Karya dan Pengaruh Jahm bin Safwan
Meskipun tidak ada karya
tertulis Jahm bin Safwan yang bertahan, pandangan-pandangannya diketahui
melalui kutipan dan kritik yang disampaikan oleh para ulama dan sejarawan,
seperti Al-Shahrastani, Ibn Taimiyyah, dan Al-Baghdadi.4 Jahm
dikenal dengan beberapa gagasan utama yang membentuk inti teologi Jabariyah, di
antaranya:
·
Penafian
Kehendak Bebas: Jahm berargumen bahwa manusia tidak memiliki
kehendak bebas dan seluruh tindakannya adalah hasil kehendak Allah.5
·
Penafian
Sifat-Sifat Allah: Jahm menolak atribusi sifat-sifat kepada
Allah, seperti tangan, wajah, atau tempat tinggal, karena menurutnya hal
tersebut dapat menyerupai makhluk (ta'thil).6
·
Konsep
Iman Sebagai Pengetahuan: Jahm mendefinisikan iman sebagai
sekadar "pengetahuan tentang Allah," tanpa keterkaitan
langsung dengan amal perbuatan.7
Pandangan-pandangannya memicu
kontroversi luas di kalangan ulama Sunni, yang menuduhnya sebagai penyimpang
dalam akidah. Namun, sebagian pemikir modern mengakui kontribusi Jahm dalam
merangsang diskusi teologis dan filsafat dalam Islam.8
4.3. Peran Jahm dalam Penyebaran Pemikiran Jabariyah
Jahm bin Safwan berperan
signifikan dalam penyebaran pemikiran Jabariyah, terutama di wilayah Khurasan.
Ia menggunakan debat teologis sebagai alat utama untuk menyebarkan ide-idenya.9
Jahm dikenal sebagai orator ulung yang mampu menarik perhatian pendengar
melalui argumentasi rasional.10
Namun, strategi Jahm juga
menghadapi perlawanan sengit, baik dari penguasa maupun ulama lokal. Penafian
sifat-sifat Allah dan pandangan ekstremnya tentang kehendak Allah menjadi
alasan utama kritik terhadapnya. Aliran Jabariyah yang dibawa Jahm akhirnya
melemah setelah kematiannya, meskipun beberapa gagasannya tetap hidup dalam
diskursus teologi Islam.11
Catatan Kaki
[1]
Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1962), 73.
[2]
Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1985), 120.
[3]
Ibn Taimiyyah, Majmu‘
al-Fatawa, vol. 8 (Riyadh: Dar al-Wafa, 2005), 93.
[4]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy
of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 74.
[5]
A.J. Wensinck, The
Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (London: Frank
Cass & Co., 1965), 45.
[6]
Al-Shahrastani, Kitab
al-Milal wa al-Nihal (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1968), 99.
[7]
Wilferd Madelung, Religious
Schools and Sects in Medieval Islam (London: Variorum Reprints,
1985), 39.
[8]
Oliver Leaman, The
Biographical Encyclopedia of Islamic Philosophy (London: Bloomsbury
Academic, 2006), 109.
[9]
Abu Zahra, Târîkh
al-Madzâhib al-Islâmiyyah fî al-Siyâsah wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Madzâhib
al-Fiqhiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabî, 1996), 146.
[10]
Montgomery Watt, Free
Will and Predestination in Early Islam (London: Luzac &
Company, 1948), 98.
[11]
Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1985), 123.
5.
Kritik
Terhadap Jabariyah
5.1. Kritik dari Aliran-Aliran Lain
Jabariyah, dengan penekanan
ekstrem pada konsep determinisme, menghadapi kritik dari berbagai aliran
teologi Islam. Salah satu kritik utama datang dari Ahlus
Sunnah wal Jamaah, khususnya aliran Asy‘ariyah dan Maturidiyah,
yang menolak gagasan bahwa manusia sepenuhnya tidak memiliki kehendak. Dalam
pandangan mereka, manusia memiliki kasb (usaha atau akuisisi), di mana
kehendak Allah tetap dominan, tetapi manusia tetap bertanggung jawab atas
perbuatannya.1 Kritik ini didasarkan pada upaya menjaga keseimbangan
antara kehendak Allah dan tanggung jawab manusia dalam kerangka akidah Islam.2
Kelompok Mu‘tazilah,
yang dikenal dengan pandangan rasionalis, juga mengkritik Jabariyah dengan
argumen bahwa peniadaan kehendak manusia merusak prinsip keadilan ilahi.
Menurut Mu‘tazilah, jika manusia tidak memiliki kehendak bebas, maka mustahil
untuk mengatakan bahwa Allah adalah adil dalam memberi pahala atau hukuman.3
Mereka berpendapat bahwa keadilan Allah mensyaratkan kebebasan manusia untuk
memilih antara kebaikan dan keburukan.4
Aliran Murji’ah
juga mengkritik Jabariyah, meskipun keduanya memiliki kemiripan dalam pandangan
tentang iman. Murji’ah menekankan pentingnya amal perbuatan dalam konteks
sosial dan menolak determinisme ekstrem yang dapat melemahkan akhlak dan
tanggung jawab moral individu.5
5.2. Kritik Filosofis dan Logis
Kritik filosofis terhadap
Jabariyah berfokus pada implikasi logis dari pandangan mereka. Konsep bahwa
manusia sepenuhnya tidak memiliki kehendak dianggap bertentangan dengan
pengalaman manusia sehari-hari, di mana individu merasa memiliki kebebasan
dalam memilih tindakannya.6 Para kritikus juga menunjukkan bahwa
peniadaan kehendak bebas manusia menciptakan dilema teologis dalam hal tanggung
jawab moral.7
Ibn Taimiyyah, misalnya,
mengkritik Jabariyah dengan menyatakan bahwa pandangan mereka mengarah pada
nihilisme moral. Jika semua tindakan manusia hanya merupakan kehendak Allah,
maka tidak ada dasar bagi perintah, larangan, atau pertanggungjawaban moral.8
5.3. Kritik Praktis dalam Kehidupan Beragama
Pandangan Jabariyah juga
menuai kritik karena dianggap memiliki implikasi negatif terhadap kehidupan
beragama dan sosial. Dengan meniadakan tanggung jawab manusia, Jabariyah
dinilai dapat mendorong sikap fatalistik di kalangan umat Islam.9
Sikap ini dapat menghambat upaya perbaikan diri dan masyarakat, karena manusia
dianggap tidak memiliki peran dalam menentukan nasibnya.10
Para ulama seperti Al-Ghazali
menekankan bahwa keyakinan Jabariyah berpotensi melemahkan semangat amal dan
dakwah. Ia mengingatkan bahwa Islam mengajarkan keseimbangan antara tawakal
kepada Allah dan usaha manusia.11 Kritik ini juga didukung oleh
Asy‘ariyah, yang berupaya menjaga integritas moral dalam kehidupan beragama
melalui konsep kasb.12
Catatan Kaki
[1]
Ibn Abi Al-Izz, Syarh
al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, ed. Muhammad Nashiruddin Al-Albani
(Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1988), 145.
[2]
Al-Juwaini, Al-Irshad
(Cairo: Maktabah al-Khanji, 1996), 78.
[3]
A.J. Wensinck, The
Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (London: Frank
Cass & Co., 1965), 62.
[4]
Harry Austryn Wolfson, The
Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press,
1976), 90.
[5]
Wilferd Madelung, Religious
Schools and Sects in Medieval Islam (London: Variorum Reprints,
1985), 39.
[6]
Montgomery Watt, Free
Will and Predestination in Early Islam (London: Luzac &
Company, 1948), 98.
[7]
Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1985), 118.
[8]
Ibn Taimiyyah, Majmu‘
al-Fatawa, vol. 8 (Riyadh: Dar al-Wafa, 2005), 86.
[9]
Oliver Leaman, A Brief
Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999),
79.
[10]
Abu Zahra, Târîkh
al-Madzâhib al-Islâmiyyah fî al-Siyâsah wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Madzâhib
al-Fiqhiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabî, 1996), 150.
[11]
Al-Ghazali, Ihya
Ulum al-Din, ed. Ahmad Zaki Mansur (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1997), 197.
[12]
Al-Shahrastani, Kitab
al-Milal wa al-Nihal (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1968), 98.
6.
Warisan
dan Relevansi Pemikiran Jabariyah
6.1. Pengaruh Jabariyah dalam Sejarah Pemikiran Islam
Pemikiran Jabariyah, meskipun
telah kehilangan pengikut secara signifikan sejak abad kedua Hijriah,
meninggalkan pengaruh yang penting dalam perkembangan teologi Islam. Konsep
determinisme Jabariyah mendorong diskusi panjang di kalangan ulama tentang
hubungan antara kehendak Allah dan tanggung jawab manusia.1 Aliran
ini juga menjadi salah satu pemicu kemunculan pendekatan teologi moderat oleh
Asy‘ariyah dan Maturidiyah, yang mencoba mencari jalan tengah antara pandangan
Jabariyah dan Qadariyah.2
Pemikiran Jahm bin Safwan
tentang sifat-sifat Allah (ta‘thil) juga memberikan kontribusi terhadap diskusi
filsafat Islam tentang keesaan Allah (tawhid).3 Pandangan
ekstrem Jahm ditentang oleh banyak ulama, tetapi kritik terhadapnya memaksa
para pemikir Islam untuk merumuskan pandangan yang lebih jelas dan terstruktur
tentang sifat-sifat Allah.4
6.2. Hubungan dengan Aliran-Aliran Lain
Meskipun Jabariyah secara
formal tidak bertahan sebagai aliran yang terorganisasi, beberapa pemikiran
mereka tercermin dalam pandangan kelompok lain. Misalnya, doktrin Jabariyah
tentang takdir mempengaruhi kelompok Murji’ah dalam menekankan ketergantungan
penuh pada kehendak Allah.5 Selain itu, dalam diskursus modern,
pemikiran Jabariyah sering kali dibandingkan dengan pandangan determinisme
dalam filsafat Barat.6
6.3. Relevansi Konsep "Jabr" dalam Diskusi
Kontemporer
Pemikiran Jabariyah tetap
relevan dalam konteks filsafat modern, khususnya dalam diskusi tentang
determinisme dan kehendak bebas. Dalam filsafat Barat, debat serupa muncul
antara penganut determinisme, yang percaya bahwa semua peristiwa di dunia ini
sudah ditentukan oleh hukum kausalitas, dan penganut kehendak bebas, yang
meyakini bahwa manusia memiliki kemampuan untuk memilih tindakan mereka
sendiri.7 Konsep "jabr" Jabariyah sering digunakan
sebagai analogi dalam diskusi ini, meskipun pendekatan teologisnya berbeda
dengan kerangka filsafat sekuler.8
Dalam konteks sosial dan
budaya, pandangan Jabariyah juga relevan dalam memahami fenomena fatalisme
dalam masyarakat Muslim. Pandangan bahwa segala sesuatu adalah takdir Allah
sering kali menjadi alasan untuk pasif terhadap perubahan sosial atau politik.9
Oleh karena itu, memahami Jabariyah membantu umat Islam untuk menghindari
interpretasi agama yang dapat melemahkan usaha dan tanggung jawab individu.10
6.4. Pelajaran yang Dapat Diambil
Salah satu pelajaran penting
dari Jabariyah adalah perlunya keseimbangan dalam memahami kehendak Allah dan
peran manusia. Jabariyah menekankan kemahakuasaan Allah, yang merupakan prinsip
inti dalam Islam, tetapi pendekatan mereka yang ekstrem sering kali mengabaikan
tanggung jawab manusia.11 Ulama kontemporer sering menggunakan
diskusi tentang Jabariyah untuk menegaskan pentingnya prinsip tawakal yang
disertai usaha.12
Relevansi pemikiran Jabariyah
juga terlihat dalam diskusi keagamaan tentang akidah, di mana umat Islam
didorong untuk memahami bahwa iman tidak hanya tentang keyakinan, tetapi juga
melibatkan tindakan yang mencerminkan tanggung jawab moral.13
Catatan Kaki
[1]
Wilferd Madelung, Religious
Schools and Sects in Medieval Islam (London: Variorum Reprints,
1985), 39.
[2]
Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1962), 75.
[3]
A.J. Wensinck, The
Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (London: Frank
Cass & Co., 1965), 62.
[4]
Harry Austryn Wolfson, The
Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976),
90.
[5]
Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1985), 118.
[6]
Oliver Leaman, A Brief
Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999),
79.
[7]
Ted Honderich, Determinism
as True, Compatibilism and Incompatibilism as Both False, and the Real Problem
(London: Oxford University Press, 1988), 45–46.
[8]
Montgomery Watt, Free
Will and Predestination in Early Islam (London: Luzac &
Company, 1948), 98.
[9]
Abu Zahra, Târîkh
al-Madzâhib al-Islâmiyyah fî al-Siyâsah wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Madzâhib
al-Fiqhiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabî, 1996), 150.
[10]
Al-Ghazali, Ihya
Ulum al-Din, ed. Ahmad Zaki Mansur (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1997), 197.
[11]
Al-Juwaini, Al-Irshad
(Cairo: Maktabah al-Khanji, 1996), 78.
[12]
Al-Shahrastani, Kitab
al-Milal wa al-Nihal (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1968), 98.
[13]
Ibn Abi Al-Izz, Syarh
al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, ed. Muhammad Nashiruddin Al-Albani
(Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1988), 145.
7.
Kesimpulan
Pemikiran Jabariyah, yang
berpusat pada gagasan determinisme ekstrem dan dominasi mutlak kehendak Allah,
menjadi salah satu fenomena penting dalam sejarah teologi Islam. Munculnya
Jabariyah pada abad pertama dan kedua Hijriah mencerminkan respons terhadap
tantangan intelektual pada masa itu, termasuk perselisihan tentang takdir (qadha
wa qadar) dan hubungan antara kehendak Allah dengan tanggung jawab manusia.1
Tokoh sentral aliran ini, Jahm bin Safwan, memainkan peran penting dalam
merumuskan konsep-konsep teologis Jabariyah, seperti penafian kehendak bebas
manusia, penolakan sifat-sifat Allah (ta‘thil), dan definisi iman
sebagai sekadar "pengetahuan dalam hati."2
Jabariyah menghadapi kritik
tajam dari berbagai aliran teologi Islam, termasuk Ahlus Sunnah wal Jamaah,
Mu‘tazilah, dan Murji’ah. Kritik-kritik ini berfokus pada implikasi logis dan
moral dari determinisme ekstrem yang ditawarkan oleh Jabariyah. Misalnya,
peniadaan tanggung jawab manusia dianggap bertentangan dengan konsep keadilan
ilahi, sementara pendekatan fatalistik mereka berpotensi melemahkan semangat
amal dan perbaikan diri.3
Warisan pemikiran Jabariyah
tetap relevan dalam diskusi-diskusi teologis dan filosofis hingga saat ini.
Dalam filsafat modern, konsep determinisme yang diusung Jabariyah sering kali
dibandingkan dengan teori-teori tentang kausalitas dalam filsafat Barat.4
Secara praktis, pandangan ini memberikan wawasan tentang pentingnya menjaga
keseimbangan antara keyakinan terhadap kehendak Allah dan tanggung jawab
individu.5
Salah satu pelajaran penting
dari studi tentang Jabariyah adalah bagaimana dinamika teologis dalam Islam
mendorong umat untuk mencari pemahaman yang lebih mendalam dan moderat.
Meskipun Jabariyah telah lama hilang sebagai aliran yang terorganisasi, diskusi
tentang ide-ide mereka tetap menjadi bagian penting dalam membangun kerangka
akidah Islam yang seimbang, baik dalam aspek teologis maupun praktis.6
Dalam konteks kehidupan modern, pembelajaran dari Jabariyah dapat membantu umat
Islam memahami pentingnya usaha dan tanggung jawab, sambil tetap bersandar
kepada kehendak Allah yang mutlak.7
Catatan Kaki
[1]
Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1962), 75.
[2]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge:
Harvard University Press, 1976), 90.
[3]
A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical
Development (London: Frank Cass & Co., 1965), 62.
[4]
Ted Honderich, Determinism as True, Compatibilism and Incompatibilism
as Both False, and the Real Problem (London: Oxford University Press,
1988), 45–46.
[5]
Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’arif,
1985), 118.
[6]
Wilferd Madelung, Religious Schools and Sects in Medieval Islam
(London: Variorum Reprints, 1985), 39.
[7]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ed. Ahmad Zaki Mansur (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 197.
Daftar Pustaka
Al-Baghdadi, A. (1985). Al-Farq Bayna al-Firaq.
Beirut: Dar al-Ma’arif.
Al-Ghazali. (1997). Ihya Ulum al-Din (ed.
Ahmad Zaki Mansur). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Juwaini, A. M. (1996). Al-Irshad. Cairo:
Maktabah al-Khanji.
Al-Shahrastani. (1968). Kitab al-Milal wa
al-Nihal. Cairo: Maktabah al-Khanji.
Honderich, T. (1988). Determinism as True,
Compatibilism and Incompatibilism as Both False, and the Real Problem.
London: Oxford University Press.
Ibn Abi Al-Izz. (1988). Syarh al-‘Aqidah
al-Thahawiyyah (ed. Muhammad Nashiruddin Al-Albani). Riyadh: Maktabah
al-Ma’arif.
Ibn Taimiyyah. (2005). Majmu‘ al-Fatawa
(Vol. 5 & Vol. 8). Riyadh: Dar al-Wafa.
Madelung, W. (1985). Religious Schools and Sects
in Medieval Islam. London: Variorum Reprints.
Montgomery Watt, W. (1948). Free Will and
Predestination in Early Islam. London: Luzac & Company.
Montgomery Watt, W. (1962). Islamic Philosophy
and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Wensinck, A. J. (1965). The Muslim Creed: Its
Genesis and Historical Development. London: Frank Cass & Co.
Wolfson, H. A. (1976). The Philosophy of the
Kalam. Cambridge: Harvard University Press.
Zahra, A. (1996). Târîkh al-Madzâhib
al-Islâmiyyah fî al-Siyâsah wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah.
Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabî.
Lampiran: Daftar Kitab yang Relevan
1)
Kitab al-Milal wa al-Nihal
o
Penulis: Al-Shahrastani
(479–548 H / 1086–1153 M)
o
Penjelasan: Kitab ini
merupakan karya monumental yang membahas berbagai aliran teologi dan agama,
termasuk pemikiran Jabariyah. Al-Shahrastani menjelaskan sejarah, prinsip
utama, dan kritik terhadap Jabariyah secara rinci.
2)
Al-Farq Bayna al-Firaq
o
Penulis: Abu Mansur
Al-Baghdadi (d. 429 H / 1037 M)
o
Penjelasan: Kitab ini
menguraikan perbedaan berbagai kelompok teologis dalam Islam. Al-Baghdadi
membahas Jabariyah sebagai salah satu aliran teologi yang muncul di awal sejarah
Islam, dengan fokus pada pandangan deterministik mereka.
3)
Majmu‘ al-Fatawa
o
Penulis: Ibn
Taimiyyah (661–728 H / 1263–1328 M)
o
Penjelasan: Koleksi
fatwa Ibn Taimiyyah ini mencakup kritik mendalam terhadap Jabariyah. Ia menolak
determinisme ekstrem mereka dan mengajukan konsep alternatif tentang kehendak
manusia dalam bingkai keimanan Islam.
4)
Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah
o
Penulis: Ibn Abi
Al-Izz (731–792 H / 1331–1390 M)
o
Penjelasan: Karya ini
menjelaskan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, termasuk refutasi terhadap
pandangan Jabariyah. Penulis memberikan argumen logis dan teologis untuk
membantah gagasan bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas.
5)
Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah
o
Penulis: Muhammad
Abu Zahra (1898–1974 M)
o
Penjelasan: Buku
sejarah pemikiran Islam ini membahas secara luas asal-usul dan perkembangan
aliran-aliran dalam Islam, termasuk Jabariyah. Abu Zahra menguraikan latar
belakang sosial dan intelektual munculnya aliran ini.
6)
Kitab al-Irshad ila Qawathi‘ al-Adillah fi Usul
al-I‘tiqad
o
Penulis: Al-Juwaini
(419–478 H / 1028–1085 M)
o
Penjelasan: Karya ini
membahas berbagai isu teologis, termasuk kritik terhadap Jabariyah dan
pandangan mereka tentang kehendak manusia. Al-Juwaini mengajukan argumen yang
konsisten dengan ajaran Asy‘ariyah.
7)
Fadhihah al-Mu‘tazilah wa al-Jabariyyah
o
Penulis: Al-Ghazali
(450–505 H / 1058–1111 M)
o
Penjelasan: Dalam karya
ini, Al-Ghazali membantah pandangan ekstrem baik dari Jabariyah maupun
Mu‘tazilah. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara kehendak Allah dan
tanggung jawab manusia.
8)
Kitab al-Tawhid
o
Penulis: Ibn
Khuzaymah (223–311 H / 838–923 M)
o
Penjelasan: Kitab ini
membahas konsep keesaan Allah dan menolak pemikiran yang dianggap menyimpang,
termasuk Jabariyah. Ibn Khuzaymah menekankan pentingnya memahami sifat-sifat
Allah tanpa mengurangi atau menambah.
9)
Al-Mughni fi Abwab al-Tawhid wa al-‘Adl
o
Penulis: Al-Qadi
Abdul Jabbar (d. 415 H / 1025 M)
o
Penjelasan: Meskipun
beraliran Mu‘tazilah, kitab ini mengandung kritik terhadap Jabariyah, khususnya
dalam pandangan mereka tentang keadilan Allah dan tanggung jawab manusia.
10)
Hujjat Allah al-Balighah
o
Penulis: Shah
Waliullah Al-Dihlawi (1703–1762 M)
o
Penjelasan: Buku ini
menjelaskan aspek-aspek keadilan ilahi dan hubungan antara takdir dan usaha
manusia. Shah Waliullah mengkritik pandangan Jabariyah yang dianggap menafikan
tanggung jawab manusia.
Penjelasan Tambahan:
Kitab-kitab ini bukan hanya menjadi sumber utama
untuk memahami pemikiran Jabariyah tetapi juga memberikan perspektif yang luas
tentang bagaimana aliran ini dikritik dan dipengaruhi oleh dinamika teologi
Islam. Penulis-penulisnya berasal dari berbagai masa, menunjukkan bagaimana
pemikiran Jabariyah tetap relevan dalam diskursus Islam selama berabad-abad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar