Sejarah Filsafat Islam
Perkembangan, Tokoh, dan Pemikiran dalam Tradisi
Intelektual Islam
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif sejarah
perkembangan filsafat Islam dari masa klasik hingga kontemporer. Filsafat Islam
merupakan hasil sintesis kreatif antara wahyu dan akal yang tumbuh dalam
tradisi intelektual Islam sejak abad ke-8 M. Dimulai dari masa penerjemahan
karya-karya Yunani di bawah Dinasti Abbasiyah, filsafat Islam berkembang
melalui tokoh-tokoh besar seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd.
Di masa berikutnya, muncul kritik dari para teolog seperti Al-Ghazali, yang
kemudian memicu respon dari filsuf lain seperti Ibn Rushd. Filsafat Islam
mengalami transformasi penting dalam mazhab iluminasi dan hikmah transendental
melalui tokoh-tokoh seperti Suhrawardi dan Mulla Sadra. Di periode
pasca-klasik, pemikiran filsafat menyebar ke wilayah Persia, India, dan Turki
Utsmani dalam bentuk integrasi dengan kalam dan tasawuf. Dalam era modern,
filsafat Islam kembali bergema melalui pemikiran tokoh-tokoh seperti Muhammad
Iqbal dan Seyyed Hossein Nasr, yang berupaya merekonstruksi filsafat Islam agar
mampu merespons tantangan global, krisis spiritual, dan dekadensi nilai.
Artikel ini juga menyoroti karakteristik khas filsafat Islam yang bersifat
rasional, spiritual, etis, dan integratif, serta relevansinya dalam pendidikan
dan pemikiran keislaman masa kini. Dengan pendekatan historis dan filosofis,
artikel ini menegaskan bahwa filsafat Islam adalah khazanah intelektual yang
dinamis dan tetap signifikan untuk menjawab problematika zaman.
Kata Kunci: Filsafat Islam, akal dan wahyu, tradisi intelektual
Islam, pemikiran klasik, modernitas, pendidikan Islam, rasionalitas,
spiritualitas.
PEMBAHASAN
Sejarah Filsafat Islam
1.
Pendahuluan
Filsafat Islam
merupakan salah satu cabang penting dalam khazanah intelektual Islam yang
tumbuh subur sejak masa klasik, khususnya pada abad ke-8 hingga ke-12 M. Ia
lahir dari dialektika yang dinamis antara wahyu dan akal, antara tradisi keislaman
dengan pemikiran-pemikiran dari luar Islam, terutama filsafat Yunani yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Meskipun seringkali dipahami secara sempit
sebagai hasil pengaruh asing, filsafat Islam sejatinya adalah upaya kreatif dan
kritis para pemikir Muslim dalam memahami realitas, Tuhan, dan manusia melalui
kerangka epistemologis yang sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Secara umum,
filsafat Islam dapat didefinisikan sebagai kegiatan berpikir rasional dan
sistematis yang dilakukan oleh para pemikir Muslim dalam menjawab persoalan
metafisika, etika, kosmologi, dan epistemologi, dengan tetap mempertimbangkan
wahyu sebagai sumber kebenaran.¹ Hal ini membedakannya dari filsafat sekuler
yang hanya mengandalkan akal sebagai sumber utama. Dalam konteks Islam,
filsafat bukan hanya bertujuan mencari kebenaran rasional, tetapi juga
bertujuan meneguhkan keyakinan religius dan memperdalam pemahaman spiritual.
Kelahiran filsafat
Islam tidak dapat dilepaskan dari perkembangan peradaban Islam awal, khususnya
setelah penaklukan wilayah-wilayah yang sebelumnya berada dalam pengaruh
kebudayaan Yunani, Persia, dan India.² Proyek besar penerjemahan karya-karya
filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, terutama
di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun (813–833 M), menjadi titik tolak
berkembangnya tradisi filsafat dalam dunia Islam. Lembaga seperti Bait
al-Hikmah di Baghdad memainkan peran kunci dalam proses transfer ilmu
pengetahuan tersebut.³
Para filosof Muslim
awal tidak sekadar menjadi penerjemah, tetapi juga mengembangkan sintesis baru
antara pemikiran rasional dan teologi Islam. Sebagai contoh, Al-Kindi (801–873
M), yang dikenal sebagai “filsuf Arab pertama,” memandang filsafat sebagai
jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan menganggapnya tidak bertentangan
dengan wahyu.⁴ Demikian pula, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd memberikan
kontribusi penting dalam membentuk fondasi filsafat Islam, sekaligus
mempengaruhi perkembangan pemikiran di Eropa pada Abad Pertengahan.
Namun, kehadiran
filsafat Islam tidak selalu diterima dengan tangan terbuka. Sebagian kalangan,
terutama dari kelompok teolog (mutakallimun), mengkritik kecenderungan
rasionalistik para filosof yang dianggap melemahkan otoritas wahyu. Tokoh
seperti Al-Ghazali, meskipun menguasai filsafat, mengemukakan kritik keras
terhadap para filosof dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, yang kemudian
memicu respon dari Ibn Rushd melalui Tahafut at-Tahafut.⁵
Di samping dinamika
historis tersebut, filsafat Islam memiliki nilai penting dalam pendidikan dan
perkembangan peradaban Islam. Ia mendorong berkembangnya ilmu-ilmu rasional
seperti logika, astronomi, dan kedokteran, sekaligus memperkaya diskursus
teologis dan spiritual. Kajian terhadap sejarah filsafat Islam penting
dilakukan tidak hanya sebagai bagian dari pelestarian khazanah intelektual
Islam, tetapi juga untuk menjawab tantangan-tantangan pemikiran kontemporer
yang semakin kompleks.
Tulisan ini akan
mengulas secara komprehensif tentang sejarah perkembangan filsafat Islam dari
masa klasik hingga kontemporer, membahas tokoh-tokoh utamanya,
pemikiran-pemikiran kunci yang mereka kembangkan, serta relevansi pemikiran
filsafat dalam konteks keislaman dan kemanusiaan dewasa ini. Dengan pendekatan
historis dan filosofis, diharapkan pembahasan ini dapat menjadi kontribusi
dalam memahami warisan intelektual Islam yang kaya dan relevan untuk masa kini.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 3.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 14–15.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 51–53.
[4]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 155.
[5]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000); Ibn
Rushd, The Incoherence of the Incoherence, trans. Simon van den Bergh
(London: Luzac & Co., 1954).
2.
Latar
Belakang Munculnya Filsafat dalam Dunia Islam
Kemunculan filsafat
dalam dunia Islam tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui proses
sejarah yang panjang dan kompleks. Filsafat Islam lahir dari dinamika
intelektual umat Islam dalam merespons tantangan-tantangan keilmuan dan
spiritual pada masa awal perkembangan peradaban Islam. Ia muncul sebagai hasil
dari perpaduan antara ajaran Islam dengan warisan intelektual dunia kuno,
terutama filsafat Yunani, Persia, dan India yang masuk ke dalam dunia Islam
melalui proyek penerjemahan besar-besaran pada masa Dinasti Abbasiyah.
Setelah ekspansi
Islam ke wilayah Syam, Persia, Mesir, dan India, umat Islam mewarisi berbagai
tradisi keilmuan yang telah lama berkembang di wilayah-wilayah tersebut.
Pemikiran filsafat Yunani, khususnya ajaran Plato, Aristoteles, dan
Neoplatonisme, mulai dikenalkan kepada kaum Muslimin melalui karya-karya
berbahasa Yunani dan Suryani yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.¹
Kontak intelektual ini menjadi sangat intensif pada masa kekhalifahan
Abbasiyah, khususnya pada abad ke-8 dan ke-9 M, ketika Khalifah Al-Manshur
(memerintah 754–775 M) dan Al-Ma’mun (memerintah 813–833 M) mendukung penuh
proyek penerjemahan ilmu-ilmu asing.
Pusat kegiatan
penerjemahan yang paling terkenal adalah Bait al-Hikmah (House of
Wisdom) di Baghdad. Lembaga ini menjadi pusat studi dan penerjemahan yang
melibatkan para sarjana dari berbagai latar belakang agama dan budaya, termasuk
Muslim, Kristen Nestorian, dan Yahudi. Salah satu tokoh penting dalam proses
ini adalah Hunayn ibn Ishaq, seorang sarjana Kristen yang menerjemahkan
karya-karya Galen dan Aristoteles dari bahasa Yunani ke Arab.²
Proyek penerjemahan
ini bukan hanya sekadar transfer bahasa, melainkan juga transfer pengetahuan
dan metode berpikir. Ilmu logika Aristotelian, misalnya, sangat memengaruhi
cara berpikir para pemikir Muslim dalam membangun argumen teologis dan
filosofis.³ Dengan demikian, filsafat tidak diimpor begitu saja, tetapi diolah
dan dikontekstualisasikan dalam kerangka nilai-nilai Islam, termasuk dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang wujud Tuhan, jiwa, alam
semesta, dan tujuan hidup manusia.
Faktor lain yang
mendorong berkembangnya filsafat Islam adalah kebutuhan untuk merumuskan ajaran
Islam secara sistematis dalam menghadapi tantangan pemikiran dari kalangan
non-Muslim maupun perbedaan pandangan internal di kalangan umat Islam sendiri.
Persoalan-persoalan seperti kebebasan kehendak, keadilan Tuhan, dan hubungan
antara akal dan wahyu menjadi isu-isu penting yang mendorong munculnya
diskursus filosofis.⁴ Dalam konteks ini, filsafat menjadi sarana penting untuk
memperkuat rasionalitas keimanan serta memperluas cakrawala intelektual umat
Islam.
Dengan demikian,
lahirnya filsafat dalam Islam bukanlah bentuk penyimpangan dari ajaran agama,
sebagaimana yang sering dituduhkan oleh sebagian kalangan, melainkan merupakan
bagian dari perkembangan organik pemikiran Islam dalam menyerap, mengolah, dan
menyintesiskan berbagai warisan intelektual dunia menjadi khasanah keilmuan
Islam yang kaya dan bernilai tinggi.⁵
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 4–6.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 58–60.
[3]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 18–21.
[4]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 142–144.
[5]
M.M. Sharif, ed., A History of Muslim Philosophy, vol. 1
(Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963), 32–35.
3.
Periode
Klasik (abad ke-8 hingga ke-12 M)
Periode klasik dalam
sejarah filsafat Islam, yang berlangsung antara abad ke-8 hingga ke-12 M,
merupakan masa kejayaan dan pembentukan sistematis pemikiran filsafat di dunia
Islam. Dalam periode ini, para pemikir Muslim tidak hanya menerjemahkan dan
menyerap pemikiran-pemikiran filsafat dari Yunani dan Persia, tetapi juga
mengembangkannya menjadi sintesis baru yang berakar dalam nilai-nilai dan
pandangan dunia Islam. Masa ini ditandai oleh lahirnya tokoh-tokoh besar
seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Miskawayh, yang memberikan
kontribusi besar dalam membangun tradisi filsafat Islam.
3.1.
Masa Formatif: Al-Kindi dan Permulaan Filsafat
Islam
Tokoh pertama yang
dikenal sebagai faylasuf al-‘Arab (filsuf Arab)
adalah Abu
Yusuf Ya‘qub ibn Ishaq al-Kindi (w. 873 M). Ia adalah tokoh
awal yang secara sadar berusaha mempertemukan ajaran Islam dengan warisan
filsafat Yunani, khususnya Neoplatonisme dan Aristotelianisme. Dalam berbagai
karyanya, Al-Kindi membela legitimasi filsafat dalam Islam dan memandangnya
sebagai jalan untuk mengenal kebenaran dan mendekatkan diri kepada Tuhan.¹ Ia
menulis lebih dari 200 risalah dalam berbagai bidang, termasuk metafisika,
logika, etika, kedokteran, dan matematika.²
Al-Kindi menekankan
pentingnya akal dalam memahami realitas dan wahyu. Namun demikian, ia tetap
menjaga kesetiaan pada ajaran Islam. Ia berpendapat bahwa tidak ada kontradiksi
antara filsafat dan agama, karena kebenaran berasal dari sumber yang sama,
yakni Tuhan.³ Gagasan ini menjadi fondasi penting dalam perkembangan
selanjutnya dari filsafat Islam.
3.2.
Masa Puncak: Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn
Miskawayh
Setelah Al-Kindi,
muncul tokoh yang lebih sistematis dalam menyusun filsafat Islam, yakni Abu Nasr
Al-Farabi (w. 950 M). Ia dijuluki al-Mu‘allim al-Thani (Guru Kedua)
setelah Aristoteles.⁴ Al-Farabi mengembangkan teori kenabian yang menjelaskan
hubungan antara akal aktif dan wahyu, serta menyusun teori politik ideal dalam
karyanya Ara’ Ahl
al-Madinah al-Fadhilah (Pandangan Penduduk Negara Utama),
di mana ia menggambarkan negara ideal yang dipimpin oleh seorang nabi-filosof.⁵
Ibn Sina
atau Avicenna
(w. 1037 M), tokoh besar dalam tradisi filsafat dan kedokteran Islam, adalah
puncak pemikiran filsafat Islam dalam era klasik. Ia menyusun sistem filsafat
yang sangat kompleks dan mencakup metafisika, psikologi, kosmologi, dan
logika.⁶ Dalam metafisikanya, Ibn Sina mengembangkan konsep "wajib al-wujud" (yang keberadaannya
niscaya), yakni Tuhan sebagai sebab pertama dari segala sesuatu.⁷ Konsep ini
berpengaruh besar dalam pemikiran Islam dan Kristen abad pertengahan.
Di bidang filsafat
jiwa, Ibn Sina memaparkan teori “jiwa terbang” (flying man) untuk
membuktikan eksistensi jiwa manusia sebagai entitas yang mandiri dari tubuh.⁸
Selain itu, ia mengembangkan pendekatan logis dan ilmiah dalam kedokteran dan
mengintegrasikan prinsip-prinsip filosofis dalam ilmu kesehatan. Karyanya yang
paling terkenal, Al-Syifa’, menjadi referensi utama
di dunia Islam dan Eropa selama berabad-abad.⁹
Sementara itu, Ibn
Miskawayh (w. 1030 M), meskipun kurang dikenal di luar dunia
Islam, memainkan peran penting dalam bidang etika filsafat Islam. Dalam
karyanya Tahdzib
al-Akhlaq, ia merumuskan konsep kebajikan manusia berdasarkan
warisan Aristotelian yang dipadukan dengan nilai-nilai Islam.¹⁰ Ia menekankan
pentingnya moderasi, pendidikan moral, dan pembentukan karakter sebagai jalan
menuju kesempurnaan manusia.
Dengan berakhirnya
abad ke-12, filsafat Islam klasik telah mencapai kematangan. Tradisi ini
kemudian menghadapi tantangan dari para teolog seperti Al-Ghazali, yang
mengkritik kecenderungan rasionalistik para filsuf. Namun demikian, warisan
pemikiran yang dibangun dalam periode ini tetap menjadi fondasi penting dalam
pengembangan filsafat Islam di era-era selanjutnya dan bahkan mempengaruhi
kebangkitan filsafat di Eropa.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 58–61.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 30.
[3]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 153–154.
[4]
M.M. Sharif, ed., A History of Muslim Philosophy, vol. 1
(Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963), 434–438.
[5]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 67–72.
[6]
Nasr, Science and Civilization in Islam, 120–124.
[7]
Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
55–58.
[8]
Jon McGinnis and David C. Reisman, Classical Arabic Philosophy: An
Anthology of Sources (Indianapolis: Hackett, 2007), 168–170.
[9]
Gutas, Dimitri, Avicenna and the Aristotelian Tradition:
Introduction to Reading Avicenna’s Philosophical Works (Leiden: Brill,
2001), 85–90.
[10]
Sharif, A History of Muslim Philosophy, 530–533.
4.
Reaksi
Teologis dan Kritik terhadap Filsafat
Meskipun filsafat
Islam mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-10 hingga ke-12 M, perkembangan
ini tidak lepas dari kritik dan resistensi, terutama dari kalangan teolog (mutakallimūn)
dan ulama yang mengkhawatirkan dominasi rasionalisme dalam memahami ajaran
agama. Reaksi terhadap filsafat terutama muncul karena kekhawatiran bahwa
penggunaan akal secara bebas dalam persoalan metafisika dan ketuhanan dapat
menyimpang dari ajaran wahyu. Filsafat dianggap oleh sebagian kalangan sebagai
hasil pemikiran asing yang tidak sepenuhnya sejalan dengan prinsip-prinsip
Islam.
4.1.
Munculnya Teologi Islam dan Respons terhadap
Filsafat
Sejak masa awal,
ilmu kalam berkembang sebagai respon terhadap persoalan-persoalan teologis
seperti sifat-sifat Tuhan, kehendak bebas, dan keadilan Ilahi. Teologi kalam
merupakan disiplin ilmu yang menggunakan argumen rasional untuk membela dan
menjelaskan akidah Islam.¹ Namun, pendekatan kalam berbeda dari filsafat karena
tetap berangkat dari wahyu sebagai fondasi utama, sedangkan filsafat cenderung
menempatkan akal sebagai titik tolaknya.
Perbedaan pendekatan
ini menyebabkan ketegangan antara para filosof Muslim dan kalangan teolog,
khususnya dari mazhab Asy’ariyyah dan Hanabilah. Para teolog mengkritik
kecenderungan filosof yang menafsirkan ajaran agama secara alegoris (ta’wīl)
dan spekulatif, terutama dalam hal yang berkaitan dengan sifat Tuhan,
penciptaan alam, dan hari kebangkitan.²
4.2.
Al-Ghazali dan Kritik terhadap Para Filosof
Tokoh paling
berpengaruh dalam menentang filsafat secara sistematis adalah Abu Hamid
al-Ghazali (1058–1111 M). Dalam karya monumentalnya Tahāfut
al-Falāsifah (Kerancuan Para Filosof), Al-Ghazali
mengkritik pandangan metafisika dan kosmologi yang dikembangkan oleh Ibn Sina
dan Al-Farabi.³ Ia menuduh para filsuf telah menyimpang dalam tiga persoalan
pokok: (1) keabadian alam (tidak diciptakan dalam waktu), (2) ketidaktahuan
Tuhan terhadap partikular, dan (3) penolakan terhadap kebangkitan jasmani.
Keberpihakan para filsuf pada doktrin filsafat Yunani dalam tiga hal ini,
menurut Al-Ghazali, menyebabkan mereka kafir, karena bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar dalam aqidah Islam.⁴
Meskipun Al-Ghazali
dikenal sebagai seorang ahli fikih dan tasawuf, ia juga menguasai filsafat
dengan sangat baik. Dalam karya lainnya seperti Maqāṣid al-Falāsifah (Tujuan-tujuan
Para Filosof), ia menjelaskan secara objektif sistem filsafat para
filosof, sebelum kemudian mengkritisinya dalam Tahāfut.⁵ Hal ini menunjukkan bahwa
kritik Al-Ghazali bukanlah penolakan total terhadap filsafat, melainkan
penolakan terhadap aspek-aspek filsafat yang bertentangan dengan wahyu.
Namun demikian,
Al-Ghazali juga menerima dan mengadopsi aspek-aspek filsafat yang tidak
bertentangan dengan agama, terutama dalam bidang logika dan etika.⁶ Bahkan,
pemikiran logis Al-Ghazali di kemudian hari menjadi bagian dari kurikulum
madrasah tradisional, yang turut membentuk sistem pendidikan Islam selama
berabad-abad.
4.3.
Respon Filosofis: Ibn Rushd dan Pembelaan
terhadap Filsafat
Kritik tajam
Al-Ghazali mendapat respon dari filsuf Muslim di Andalusia, yakni Abu
al-Walid Ibn Rushd (1126–1198 M), yang dalam karyanya Tahāfut
al-Tahāfut (Kerancuan atas Kerancuan) membela
posisi filsafat dan para filosof.⁷ Ibn Rushd berargumen bahwa filsafat dan
agama tidak saling bertentangan, karena keduanya mencari kebenaran dengan cara
yang berbeda. Ia menegaskan bahwa wahyu dan akal berasal dari Tuhan yang sama,
sehingga mustahil keduanya saling bertolak belakang.⁸
Menurut Ibn Rushd,
Al-Qur’an sendiri memerintahkan manusia untuk berpikir dan merenung, sehingga
penggunaan akal bukanlah tindakan menyimpang, melainkan bagian dari pengamalan
agama. Ia mengkritik Al-Ghazali karena, menurutnya, Al-Ghazali telah
mencampuradukkan pendekatan retoris dengan pendekatan logis dalam membantah
para filsuf.⁹
Meskipun pemikiran
Ibn Rushd mendapat pengaruh besar di Eropa Latin, khususnya dalam tradisi
skolastik Kristen melalui Thomas Aquinas, di dunia Islam sendiri pandangannya
tidak mendapatkan dukungan luas. Karya-karya Al-Ghazali lebih diterima oleh
para ulama dan institusi pendidikan tradisional, sehingga filsafat secara umum
mengalami kemunduran di Timur Islam setelah abad ke-12.¹⁰
Kesimpulan
Reaksi teologis
terhadap filsafat dalam Islam merupakan bagian dari dinamika internal
intelektual umat Islam dalam mencari keselarasan antara akal dan wahyu. Tokoh
seperti Al-Ghazali tidak serta merta menolak filsafat, melainkan berusaha
menyaringnya agar tetap dalam koridor syariat. Di sisi lain, Ibn Rushd mewakili
suara pembela rasionalitas dan mengupayakan harmonisasi antara filsafat dan agama.
Perdebatan ini memperlihatkan kekayaan tradisi intelektual Islam dalam
mengelola perbedaan pendekatan dalam memahami kebenaran.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 84–85.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 85–88.
[3]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), xii–xiii.
[4]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 90.
[5]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 228–229.
[6]
M.M. Sharif, ed., A History of Muslim Philosophy, vol. 1
(Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963), 594–597.
[7]
Ibn Rushd, The Incoherence of the Incoherence, trans. Simon
van den Bergh (London: Luzac & Co., 1954), 3–7.
[8]
Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
94–97.
[9]
Gutas, Dimitri, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2001), 142.
[10]
Nasr, Science and Civilization in Islam, 165–167.
5.
Periode
Sintesis dan Transformasi (abad ke-12 hingga ke-15 M)
Setelah melalui masa
puncaknya pada abad ke-10 hingga ke-11 M, filsafat Islam memasuki periode yang
sering disebut sebagai masa sintesis dan transformasi.
Periode ini berlangsung antara abad ke-12 hingga ke-15 M dan ditandai oleh dua
ciri utama: pertama, adanya upaya harmonisasi antara filsafat, teologi, dan
tasawuf; kedua, pergeseran geografis dan epistemologis pusat
filsafat dari dunia Arab ke wilayah Persia dan dunia Islam
Timur. Tradisi filsafat Islam tidak berakhir setelah kritik tajam dari
Al-Ghazali, tetapi justru mengalami perkembangan baru yang lebih integratif dan
kreatif.
5.1.
Ibn Rushd dan Pembelaan Akhir terhadap Filsafat
di Dunia Islam Barat
Di dunia Islam
bagian barat (Andalusia), filsafat Islam memperoleh pembelaan terakhir yang
monumental dari Ibn Rushd (Averroes, w. 1198
M). Dalam karya terkenalnya Tahāfut al-Tahāfut (The
Incoherence of the Incoherence), ia memberikan jawaban sistematis
terhadap serangan Al-Ghazali dan membela kebebasan berpikir filosofis.¹
Ibn Rushd
berpendapat bahwa wahyu dan akal tidak bertentangan, melainkan saling
melengkapi. Bagi orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual tinggi,
filsafat merupakan jalan untuk memahami syariat secara lebih mendalam.² Di
samping itu, Ibn Rushd menekankan pentingnya metodologi logika Aristotelian
sebagai dasar bagi semua ilmu, termasuk ilmu agama.³
Namun, meskipun pemikiran
Ibn Rushd sangat berpengaruh di kalangan skolastik Kristen di Eropa, seperti
pada Thomas Aquinas, di dunia Islam sendiri ajarannya kurang mendapatkan
penerimaan luas. Setelah wafatnya Ibn Rushd, filsafat Islam perlahan mengalami
penurunan di wilayah Maghrib dan Andalusia.⁴
5.2.
Perkembangan Filsafat di Dunia Islam Timur:
Isyraqiyyah dan Hikmah Muta‘aliyah
Sementara filsafat
melemah di dunia Islam barat, dunia Islam Timur—khususnya
Persia dan kawasan Asia Tengah—menjadi pusat baru perkembangan filsafat Islam.
Tokoh penting dalam fase ini adalah Shihab al-Din al-Suhrawardi (w.
1191 M), pendiri mazhab filsafat Isyraqiyyah (Illuminationism).⁵
Suhrawardi menggabungkan rasionalisme peripatetik (Ibn Sina) dengan intuisi
spiritual dan warisan mistik dari filsafat kuno Persia. Ia memperkenalkan
filsafat cahaya (nūr), yang menjadikan iluminasi (penyinaran batin) sebagai
sumber pengetahuan tertinggi setelah wahyu.⁶
Suhrawardi menolak
metode filsafat yang hanya mengandalkan rasio analitik dan logika formal,
karena menurutnya kebenaran juga bisa dicapai melalui penyucian jiwa dan
pengalaman spiritual.⁷ Pendekatan ini kemudian menjadi cikal bakal sintesis
antara filsafat dan tasawuf dalam Islam.
Pada abad ke-17,
pemikiran integratif ini mencapai puncaknya dalam mazhab Hikmah
Muta‘aliyah (Filsafat Transendental) yang
dikembangkan oleh Mulla Sadra (Ṣadr al-Dīn
al-Shīrāzī, w. 1640 M).⁸ Mulla Sadra berhasil mensintesiskan tiga tradisi besar
dalam Islam: filsafat peripatetik (Ibn Sina), filsafat iluminasi (Suhrawardi),
dan irfan/tasawuf (Ibn Arabi).⁹ Kontribusi utamanya adalah dalam pengembangan ontologi
eksistensial, khususnya konsep ashālat al-wujūd (keprimaan
eksistensi atas esensi), yang menjadi pusat pemikirannya.
Menurut Mulla Sadra,
realitas adalah eksistensi yang bergerak dan bertingkat-tingkat, bukan kumpulan
esensi yang statis. Ia juga mengembangkan teori harakah jawhariyyah (gerak
substansial), yang menyatakan bahwa segala sesuatu di alam ini mengalami
perubahan secara esensial dan terus-menerus menuju kesempurnaan.¹⁰ Dengan
pendekatan ini, filsafat Islam memperoleh bentuk baru yang lebih dalam secara
spiritual dan lebih menyatu dengan tradisi mistik Islam.
5.3.
Pengaruh terhadap Lembaga Ilmu dan Dunia Islam
Pada masa ini pula,
madrasah dan lembaga pendidikan Islam mulai membuka diri terhadap integrasi
ilmu-ilmu rasional dalam kurikulum mereka. Logika Aristotelian dan beberapa
karya filsafat seperti Isagoge dan Organon
dijadikan sebagai bahan ajar di madrasah tradisional.¹¹ Meskipun kadang
dibatasi, pendekatan filosofis tetap hidup dalam bentuk yang lebih terintegrasi
dengan tasawuf dan kalam.
Filsafat juga turut
memberi kontribusi dalam pembentukan metode berpikir keilmuan Islam yang
sistematis. Tokoh-tokoh seperti Fakhruddin al-Razi, Nasiruddin al-Tusi, dan Mir
Damad adalah contoh cendekiawan yang menyatukan filsafat dengan ilmu kalam dan
kosmologi Islam dalam satu sistem pemikiran yang kohesif.¹²
Kesimpulan
Periode sintesis dan
transformasi dalam sejarah filsafat Islam menunjukkan bahwa warisan intelektual
Islam bersifat dinamis dan mampu beradaptasi dengan konteks baru. Filsafat
tidak mati setelah dikritik, melainkan bertransformasi menjadi bentuk yang
lebih spiritual, integratif, dan orisinal. Dari Ibn Rushd di barat hingga Mulla
Sadra di timur, para pemikir Muslim membuktikan bahwa filsafat tetap memiliki
tempat penting dalam tradisi Islam, terutama ketika diselaraskan dengan
nilai-nilai keimanan dan pengalaman batin.
Footnotes
[1]
Ibn Rushd, The Incoherence of the Incoherence, trans. Simon
van den Bergh (London: Luzac & Co., 1954), 5–10.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 105–107.
[3]
Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Clarendon
Press, 1988), 43–45.
[4]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 247–250.
[5]
M.M. Sharif, ed., A History of Muslim Philosophy, vol. 2
(Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1966), 1305–1308.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn
Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 59–62.
[7]
Corbin, History of Islamic Philosophy, 211–215.
[8]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 354–358.
[9]
Nasr, Three Muslim Sages, 90–94.
[10]
Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 142–144.
[11]
Gutas, Dimitri, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2001), 223–225.
[12]
Sharif, A History of Muslim Philosophy, vol. 2, 1340–1345.
6.
Periode
Pasca-Klasik dan Pengaruh di Dunia Islam Timur
Setelah melewati
masa kejayaan filsafat pada periode klasik dan transformasi pada masa
Suhrawardi serta Mulla Sadra, filsafat Islam memasuki periode
pasca-klasik yang dimulai sekitar abad ke-15 dan berlangsung
hingga era modern. Pada periode ini, filsafat tidak lagi berkembang sebagai disiplin
mandiri yang dominan, tetapi terintegrasi secara erat dengan ilmu kalam,
tasawuf, dan bahkan fiqih, serta menyebar luas ke berbagai
belahan dunia Islam, khususnya wilayah Persia, India Muslim (anak benua India), dan
Turki Utsmani.¹
Alih-alih mengalami
kemunduran total, filsafat Islam dalam periode pasca-klasik justru mengalami
pelestarian dan adaptasi. Tradisi filsafat tidak lagi
berkembang dalam bentuk sistem filsafat spekulatif baru, melainkan dalam bentuk
komentar,
sintesis, dan elaborasi terhadap warisan filsafat klasik dan transformasional,
khususnya pemikiran Ibn Sina, Suhrawardi, dan Mulla Sadra.²
6.1.
Persia dan Tradisi Hikmah di Qom dan Isfahan
Wilayah Persia
(Iran) menjadi pusat utama kelanjutan filsafat Islam dalam
bentuk filsafat
hikmah (kebijaksanaan) yang mengintegrasikan dimensi rasional,
intuitif, dan spiritual. Pada masa Safawi (abad ke-16 hingga ke-18), kota Isfahan
menjadi pusat utama perkembangan filsafat berkat dukungan negara terhadap
pendidikan dan pengajaran tradisional Islam, termasuk filsafat.³
Mulla
Sadra (w. 1640), yang pemikirannya telah dibahas dalam periode
sebelumnya, terus berpengaruh hingga pasca-klasik. Karya-karyanya seperti al-Asfār
al-Arba‘ah (Empat Perjalanan Filsafat) dijadikan bahan ajar di
banyak madrasah dan hawzah di Qom dan Isfahan.⁴ Para pemikir setelahnya seperti
Sabzawari
(w. 1873) meneruskan pendekatan filsafat Sadrian dan menjadikannya bagian
penting dari kurikulum pendidikan tinggi Islam di Persia.⁵
6.2.
India Muslim: Filsafat dan Pembaruan
Intelektual
Di wilayah India
Muslim, filsafat Islam berkembang dalam suasana yang lebih
plural, dipengaruhi oleh interaksi dengan tradisi Hindu, Buddhis, dan pemikiran
Barat melalui kolonialisme. Tokoh-tokoh seperti Shah Waliullah al-Dihlawi (w.
1762) dan Muhammad Iqbal (w. 1938)
menjadi figur penting dalam merumuskan filsafat Islam yang kontekstual dengan
tantangan modernitas.⁶
Muhammad
Iqbal, dalam karya terkenalnya The Reconstruction of Religious Thought in
Islam, berupaya menghidupkan kembali semangat filsafat Islam klasik
dalam bingkai modern. Ia mengkritik skolastisisme pasca-klasik yang terlalu
fokus pada komentar dan tidak memberi ruang bagi kreativitas pemikiran baru.⁷
Iqbal menggabungkan semangat rasional Ibn Sina dan Ibn Rushd dengan mistisisme
Rumi dan ide-ide vitalisme dari filsafat Barat (khususnya Bergson dan
Nietzsche), menjadikannya simbol sintesis Timur dan Barat dalam filsafat Islam
modern.⁸
6.3.
Turki Utsmani: Tradisi Rasional dalam Bingkai
Teologi
Di wilayah Turki
Utsmani, filsafat Islam bertahan dalam bentuk pengajaran logika
dan teologi di lembaga pendidikan seperti madrasah dan Dār
al-‘Ulum. Meskipun tidak menghasilkan filsuf besar dalam
pengertian sistemik seperti Ibn Sina, para ulama Utsmani tetap mengembangkan
diskursus filsafat dalam konteks teologi rasional, terutama dalam
mempertahankan aqidah Islam dari tantangan eksternal, termasuk dari dunia
Kristen dan pemikiran sekuler Eropa.⁹
Beberapa ulama
seperti Kâtib Çelebi dan Mustafa
Sabri mengembangkan pendekatan kritis terhadap modernitas
sambil tetap mempertahankan kerangka berpikir Islam tradisional yang terbuka
terhadap logika dan rasionalitas.¹⁰ Tradisi ini menunjukkan bahwa filsafat
Islam pasca-klasik masih hidup dalam bentuk yang lebih fungsional dan
apologetik, khususnya dalam menjawab tantangan ideologis dari luar dunia Islam.
6.4.
Ciri Khas Filsafat Islam Pasca-Klasik
Periode pasca-klasik
menunjukkan beberapa karakteristik penting:
1)
Filsafat sebagai bagian
dari pendidikan tinggi Islam di dunia Timur (Persia, India,
Utsmani).
2)
Penggabungan antara
filsafat, tasawuf, dan kalam, menciptakan pendekatan yang lebih
menyeluruh terhadap realitas.
3)
Produksi komentar dan
super-komentar atas karya-karya klasik, alih-alih sistem
filosofis baru.
4)
Filsafat sebagai alat
bantu teologis dan spiritual, bukan lagi disiplin spekulatif
murni.¹¹
Kesimpulan
Periode pasca-klasik
bukanlah masa kemunduran filsafat Islam, melainkan masa pelestarian,
adaptasi, dan regionalisasi filsafat. Meskipun kreativitas
sistematis menurun dibanding periode sebelumnya, filsafat tetap memainkan peran
penting dalam pendidikan Islam dan dalam membentuk respons intelektual terhadap
berbagai perubahan sosial, politik, dan kultural di dunia Islam. Dari Qom
hingga Delhi, dari Isfahan hingga Istanbul, warisan filsafat Islam terus hidup
dan bertransformasi.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 361–364.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 151–153.
[3]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 328–331.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn
Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 88–90.
[5]
M.M. Sharif, ed., A History of Muslim Philosophy, vol. 2
(Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1966), 1390–1395.
[6]
Basit Bilal Koshul, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism
(London: Routledge, 2007), 34–36.
[7]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 3–5.
[8]
Ibid., 47–51.
[9]
Hakan Erdem, “Ottoman Education and the Role of Logic,” in Islamic
Education in the Ottoman Empire, ed. Mustafa Gökçek (Istanbul: ISAM,
2015), 83–86.
[10]
Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
156–158.
[11]
Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard
University Press, 1968), 178–180.
7.
Filsafat
Islam pada Era Modern dan Kontemporer
Memasuki era modern
dan kontemporer, filsafat Islam dihadapkan pada tantangan dan dinamika baru
yang sangat berbeda dibandingkan dengan era klasik maupun pasca-klasik.
Kemunculan kolonialisme, modernisme, sekularisme, serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi Barat mengguncang struktur sosial dan intelektual
dunia Islam. Dalam konteks ini, filsafat Islam tidak lagi hanya menjadi proyek
spekulatif-metafisik, melainkan bertransformasi menjadi medan
pergulatan ideologis, spiritual, dan kultural antara Islam dan dunia modern.¹
7.1.
Tantangan Modernitas: Sekularisme dan Krisis
Otoritas Intelektual
Modernitas membawa
serta ide-ide baru seperti rasionalisme sekuler, materialisme, dan positivisme
yang meragukan peran wahyu dan otoritas tradisional agama. Hal ini menimbulkan
kegelisahan intelektual di kalangan umat Islam, yang memicu upaya revitalisasi
pemikiran Islam melalui jalur filsafat dan reformasi.²
Filsafat Islam pada
era ini tidak lagi hanya menafsirkan realitas metafisik, tetapi mulai merambah
persoalan sosial-politik, epistemologi ilmu, etika modern, hingga
eksistensialisme Islam.³ Karya-karya filsafat Islam kontemporer mencoba
membangun jembatan antara warisan intelektual Islam dengan dinamika zaman,
tanpa kehilangan akar spiritual dan epistemologisnya.
7.2.
Tokoh-Tokoh Pemikir Modern: Sintesis Tradisi
dan Modernitas
Salah satu tokoh
terpenting dalam filsafat Islam modern adalah Muhammad Iqbal (1877–1938),
seorang pemikir dari anak benua India yang dikenal sebagai penyair sekaligus filsuf
pembaru. Dalam karya terkenalnya The Reconstruction of Religious Thought in
Islam, Iqbal mengkritik stagnasi intelektual dunia Islam yang
terlalu berkutat pada skolastisisme. Ia menyerukan rekonstruksi
filsafat Islam dengan memadukan semangat rasionalitas, intuisi
mistik, dan dinamika sejarah.⁴
Bagi Iqbal, akal dan
intuisi (intuition) adalah dua sumber penting pengetahuan religius. Ia
memadukan semangat filsafat peripatetik, iluminasi, tasawuf, dan filsafat Barat
(terutama Bergson dan Nietzsche), sehingga menciptakan filsafat Islam yang
responsif terhadap tantangan modernitas.⁵ Ia juga menekankan pentingnya khudi
(diri) sebagai pusat eksistensi manusia yang aktif dan dinamis.
Di Iran, Seyyed
Hossein Nasr (b. 1933) tampil sebagai filsuf kontemporer yang
menyerukan kembalinya tradisi metafisika Islam dan
kesucian ilmu. Dalam berbagai karyanya, seperti Knowledge
and the Sacred dan Science and Civilization in Islam,
Nasr mengkritik modernitas yang dianggap reduksionis dan sekular, serta menyerukan
pendekatan kosmologis-tradisional terhadap ilmu.⁶ Ia dikenal sebagai tokoh
utama Traditionalist
School yang menghubungkan filsafat Islam dengan hikmah perenial
dan mistik universal.
Selain itu, terdapat
pemikir seperti Nasr Hamid Abu Zayd (1943–2010)
dari Mesir, yang dikenal karena pendekatan hermeneutik terhadap teks-teks keagamaan.⁷
Ia mengembangkan pandangan bahwa penafsiran Al-Qur’an harus terbuka terhadap
pendekatan humanistik dan historis, serta melibatkan perangkat filsafat bahasa
dan semiotika.⁸ Meski kontroversial, pemikirannya menjadi bagian dari lanskap
filsafat Islam kontemporer yang plural dan kritis.
7.3.
Tema-tema Filsafat Islam Kontemporer
Filsafat Islam
modern tidak hanya berkutat pada metafisika, tetapi juga merambah berbagai isu
kontemporer, seperti:
·
Etika
dan bioetika Islam dalam konteks teknologi kedokteran dan sains
modern.
·
Epistemologi
Islam dan kritik terhadap dualisme ilmu agama-ilmu dunia.
·
Filsafat
politik Islam, termasuk diskursus demokrasi, negara Islam, dan
keadilan sosial.
·
Dialog
antar-agama dan multikulturalisme, khususnya dalam konteks
globalisasi.⁹
Para pemikir
kontemporer seperti Toshihiko Izutsu, M.
Arkoun, Ali Shariati, dan Syed
Naquib al-Attas turut memberikan kontribusi penting dalam
mengembangkan dimensi filsafat Islam ke ranah yang lebih luas dan
multidisipliner.¹⁰
7.4.
Relevansi Filsafat Islam dalam Dunia Modern
Filsafat Islam
kontemporer berperan penting dalam membangun kesadaran kritis umat Islam terhadap peradaban
modern, sekaligus menjadi jembatan dialog antara tradisi dan inovasi,
antara iman dan akal, antara spiritualitas dan sains. Dalam era post-truth dan
krisis moral global, filsafat Islam memiliki potensi untuk menawarkan fondasi
etis dan metafisik yang mendalam bagi peradaban manusia.¹¹
Dengan semangat
kritis dan spiritual yang berpijak pada warisan intelektual Islam, filsafat
Islam masa kini menjadi alat penting untuk menghidupkan kembali rasionalitas religius
dan memformulasikan
peradaban Islam yang beradab, terbuka, dan transformatif.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 375–380.
[2]
Hamid Dabashi, Theology of Discontent: The Ideological Foundation
of the Islamic Revolution in Iran (New York: NYU Press, 1993), 25–27.
[3]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 160–162.
[4]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 3–5.
[5]
Basit Bilal Koshul, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and
Postcolonialism (London: Routledge, 2007), 49–51.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 21–24.
[7]
Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical
Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 12–14.
[8]
Carool Kersten, Contemporary Thought in the Muslim World: Trends,
Themes, and Issues (London: Routledge, 2011), 60–63.
[9]
Ibrahim M. Zein, “Islamic Ethics and the Global Challenges,” in Islamic
Ethics and Character Education (Doha: HBKU Press, 2020), 78–83.
[10]
Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
165–170.
[11]
Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard
University Press, 1968), 180–185.
8.
Karakteristik
dan Ciri Khas Filsafat Islam
Filsafat Islam memiliki
sejumlah karakteristik yang membedakannya dari tradisi filsafat lainnya,
seperti filsafat Yunani, skolastik Kristen, atau filsafat modern Barat.
Meskipun filsafat Islam banyak berinteraksi dengan tradisi rasional Yunani, ia
tidak hanya menjadi reproduksi pemikiran asing, melainkan berkembang sebagai sintesis
khas yang menyatukan wahyu, akal, dan spiritualitas Islam.
Karakteristik ini lahir dari konteks religius, kultural, dan epistemologis
dunia Islam yang menjadikan filsafat sebagai bagian integral dari pencarian
makna hidup dan kebenaran Ilahi.
8.1.
Keterpautan Erat antara Akal dan Wahyu
Salah satu ciri khas
utama filsafat Islam adalah usaha harmonisasi antara akal (‘aql) dan wahyu
(naql). Para filsuf Muslim meyakini bahwa keduanya berasal dari
sumber yang sama, yaitu Allah, sehingga tidak mungkin saling bertentangan
secara substansial.¹ Hal ini terlihat dalam pemikiran Ibn Sina, Al-Farabi,
maupun Ibn Rushd, yang menekankan bahwa filsafat adalah jalan rasional untuk
memahami hakikat syariat dan memperdalam keimanan.
Menurut Ibn Rushd,
akal merupakan anugerah Tuhan yang wajib digunakan untuk menafsirkan wahyu
secara mendalam. Oleh karena itu, aktivitas filosofis justru merupakan bentuk
pengabdian terhadap agama.² Pendekatan ini memungkinkan pengembangan ilmu dan
pengetahuan dengan tetap berakar pada nilai-nilai transendental.
8.2.
Kecenderungan Metafisik dan Ontologis
Filsafat Islam
sangat kuat dalam kecenderungan metafisik. Fokus
utama para filosof Muslim adalah memahami hakikat wujud (al-wujūd), Tuhan
sebagai sebab pertama (al-sabab al-awwal), hubungan antara makhluk dan Khalik,
serta struktur realitas.³ Konsep wajib al-wujūd dari Ibn Sina dan ashālat
al-wujūd dari Mulla Sadra merupakan contoh pendekatan ontologis
yang mendalam dalam filsafat Islam.⁴
Berbeda dengan
filsafat modern yang cenderung empiris atau pragmatis, filsafat Islam berusaha
menggali lapisan terdalam dari realitas eksistensial, bahkan menyentuh dimensi
spiritual yang bersifat eskatologis.
8.3.
Integrasi antara Filsafat, Kalam, dan Tasawuf
Ciri lain dari
filsafat Islam adalah kemampuannya dalam menyerap dan menyinergikan
berbagai disiplin keilmuan Islam, terutama ilmu kalam (teologi)
dan tasawuf (mistisisme).⁵ Al-Ghazali, misalnya, menjadi simbol integrasi
antara filsafat, teologi Asy’ariyah, dan sufisme. Di tangan Mulla Sadra,
filsafat tidak hanya menjadi kegiatan rasional, tetapi juga proses eksistensial
dan spiritual untuk mencapai makrifatullah.
Integrasi ini
menciptakan suatu sistem filsafat yang holistik, yang tidak hanya
memuaskan akal, tetapi juga menyucikan jiwa.⁶ Pendekatan ini unik dibandingkan
filsafat Barat yang sering memisahkan dimensi rasional dan spiritual.
8.4.
Universalitas dan Kontekstualitas
Filsafat Islam
memiliki dimensi universal karena
membahas tema-tema besar seperti keberadaan, jiwa, akhlak, dan keadilan. Namun
ia juga bersifat kontekstual, karena tumbuh
dalam masyarakat Muslim dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman serta
tantangan lokal.⁷ Inilah yang memungkinkan filsafat Islam berkembang dari
Baghdad ke Kairo, dari Cordoba ke Isfahan, dari Istanbul hingga Lahore.
Karena itu, filsafat
Islam tidak statis, melainkan dinamis dan transformatif. Ia mampu berdialog
dengan pemikiran luar, termasuk filsafat Yunani, India, dan Barat modern, tanpa
kehilangan identitasnya sendiri.⁸
8.5.
Tujuan Etis dan Transendental
Berbeda dari banyak
sistem filsafat yang netral secara moral, filsafat Islam memiliki orientasi
etik dan transendental. Tujuan akhirnya bukan hanya untuk
mengetahui, tetapi untuk menjadi: untuk mendekatkan diri kepada Tuhan,
menyempurnakan jiwa, dan membangun masyarakat yang adil dan beradab.⁹
Konsep filsafat
sebagai jalan menuju kebahagiaan (sa‘ādah) yang sejati, sebagaimana
dijelaskan oleh Al-Farabi dan Ibn Miskawayh, menjadikan filsafat Islam bukan
sekadar spekulasi rasional, tetapi juga bagian dari pembinaan diri dan
peradaban.¹⁰
Kesimpulan
Filsafat Islam
adalah sistem pemikiran yang menyatu dengan nilai-nilai keislaman,
mengintegrasikan wahyu dan akal, serta mencerminkan pencarian manusia akan
makna dan kebenaran. Karakteristik khasnya membuat filsafat Islam tidak hanya
relevan dalam wacana akademik, tetapi juga dalam pembinaan pribadi dan
pembangunan masyarakat. Dengan landasan metafisik yang dalam, orientasi
spiritual, dan sensitivitas etis, filsafat Islam menawarkan alternatif
pandangan dunia yang menyeluruh (comprehensive worldview) bagi
manusia modern.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 10–12.
[2]
Ibn Rushd, The Incoherence of the Incoherence, trans. Simon
van den Bergh (London: Luzac & Co., 1954), 285–288.
[3]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 35–38.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi
(Cambridge: Harvard University Press, 1964), 80–83.
[5]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 289–292.
[6]
M.M. Sharif, ed., A History of Muslim Philosophy, vol. 2
(Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1966), 1323–1326.
[7]
Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
48–51.
[8]
Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard
University Press, 1968), 145–148.
[9]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 25–26.
[10]
Sharif, A History of Muslim Philosophy, vol. 1, 514–518.
9.
Relevansi
Filsafat Islam dalam Pendidikan dan Pemikiran Keislaman Masa Kini
Meskipun filsafat
Islam sering kali dipandang sebagai produk intelektual masa lalu, keberadaannya
tetap memiliki relevansi yang sangat signifikan dalam konteks
pendidikan dan pemikiran keislaman masa kini. Dalam menghadapi
tantangan global seperti krisis identitas, degradasi moral, sekularisme, dan
hegemoni ilmu pengetahuan modern yang reduksionis, filsafat Islam menawarkan pendekatan
yang holistik,
transendental, dan kontekstual.¹
Filsafat Islam tidak
sekadar warisan sejarah, tetapi sumber inspirasi pemikiran kritis dan reflektif
bagi pengembangan ilmu, pendidikan, dan peradaban Islam modern. Melalui
integrasi antara wahyu dan akal, antara nilai-nilai spiritual dan rasionalitas
ilmiah, filsafat Islam mampu menjadi jembatan antara masa lalu yang kaya dengan
masa kini yang kompleks.
9.1.
Penguatan Nalar Kritis dan Etika Intelektual
Dalam pendidikan
Islam, filsafat memiliki kontribusi penting dalam mengembangkan
daya nalar kritis, logika berpikir sistematis, dan etika intelektual.
Tradisi filsafat Islam, sebagaimana tercermin dalam karya-karya Al-Farabi, Ibn
Sina, dan Ibn Rushd, mendorong penggunaan akal secara bertanggung jawab untuk memahami
realitas dan ajaran agama secara mendalam.²
Kegiatan berpikir
kritis ini sangat dibutuhkan di era sekarang, terutama untuk menangkal
penyebaran paham ekstrem, sikap dogmatis buta, dan degradasi intelektual di
tengah masyarakat.³ Filsafat Islam melatih peserta didik untuk tidak sekadar
menghafal, tetapi juga merenung, menganalisis, dan memaknai
ilmu secara mendalam, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan
etika.
9.2.
Relevansi dalam Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Islam
Penerapan filsafat
Islam dalam pendidikan modern dapat dilakukan dengan mengintegrasikan
nilai-nilai filosofis ke dalam kurikulum, seperti logika
(mantiq), filsafat ilmu, dan etika Islam. Di banyak pesantren, madrasah, maupun
perguruan tinggi Islam, pengajaran logika dan filsafat telah menjadi bagian
dari upaya membangun kerangka berpikir yang rasional dan komprehensif.⁴
Tokoh seperti Syed
Muhammad Naquib al-Attas menekankan pentingnya ta’dib—yakni
pendidikan yang memadukan ilmu dan adab—sebagai esensi pendidikan Islam. Menurutnya,
filsafat Islam adalah sarana untuk membentuk manusia yang berilmu sekaligus
beradab.⁵ Pendekatan ini menegaskan bahwa ilmu tidak boleh dipisahkan dari
nilai dan moralitas.
9.3.
Kontribusi terhadap Isu-isu Kontemporer
Filsafat Islam juga
berperan dalam merespons berbagai isu kontemporer,
seperti bioetika, lingkungan, keadilan sosial, hak asasi manusia, dan dialog
antaragama.⁶ Pendekatan filsafat Islam terhadap isu-isu ini tidak hanya
rasional, tetapi juga berbasis nilai-nilai transenden
yang memberi kedalaman spiritual dalam pemecahan masalah.
Misalnya, dalam
menghadapi krisis ekologi, filsafat Islam menawarkan konsep kosmologi tauhidik
yang menempatkan manusia sebagai khalifah yang bertanggung jawab menjaga
keseimbangan alam, bukan sebagai eksploitor.⁷ Demikian pula, dalam wacana
pluralisme, filsafat Islam menyediakan landasan ontologis dan etis untuk
membangun koeksistensi dan toleransi antarumat beragama.
9.4.
Pemulihan Tradisi Intelektual Islam
Di tengah gelombang
modernisasi dan westernisasi pendidikan, filsafat Islam juga memainkan peran
strategis dalam merevitalisasi tradisi intelektual Islam yang
rasional, terbuka, dan bernilai tinggi. Hal ini penting untuk
melahirkan generasi intelektual Muslim yang berakar pada warisan klasik, tetapi mampu
berpikir progresif dan kontekstual.⁸
Dalam pandangan Seyyed
Hossein Nasr, pemisahan ilmu dari nilai-nilai sakral
menyebabkan krisis spiritual dalam pendidikan modern. Oleh karena itu,
pengintegrasian filsafat Islam ke dalam sistem pendidikan menjadi cara untuk
memulihkan makna sakral ilmu dan menyatukan kembali akal dan wahyu.⁹
Kesimpulan
Relevansi filsafat
Islam dalam dunia pendidikan dan pemikiran keislaman masa kini sangat besar. Ia
mampu memperkuat daya nalar kritis, mengarahkan ilmu ke tujuan etis dan
spiritual, serta menjembatani tradisi Islam dengan realitas kontemporer. Di
tengah arus globalisasi dan krisis nilai, filsafat Islam adalah sumber
cahaya intelektual yang dapat menuntun umat menuju peradaban
yang berilmu, berakhlak, dan bertauhid.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 390–393.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 170–172.
[3]
Ibrahim Kalin, “Reason and Rationality in the Qur’anic Discourse,” in The
Qur’an: An Encyclopedia, ed. Oliver Leaman (London: Routledge, 2006),
533–536.
[4]
Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Epistemologi: Pengantar Filsafat
Islam (Bandung: Mizan, 2005), 105–107.
[5]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 131–134.
[6]
Ibrahim M. Zein, “Islamic Ethics and the Global Challenges,” in Islamic
Ethics and Character Education (Doha: HBKU Press, 2020), 79–85.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New
York: Oxford University Press, 1996), 96–98.
[8]
Hamid Dabashi, Post-Orientalism: Knowledge and Power in Time of
Terror (New Brunswick: Transaction Publishers, 2009), 54–57.
[9]
Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989),
41–45.
10. Penutup
Filsafat Islam
merupakan salah satu mahakarya peradaban intelektual umat Islam yang berkembang
secara dinamis dari masa ke masa. Sejak kemunculannya pada abad ke-8 M dalam
konteks penerjemahan dan asimilasi filsafat Yunani, filsafat Islam tumbuh
menjadi sistem pemikiran yang rasional, spiritual, dan integratif,
yang terus memberikan kontribusi penting bagi ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan
spiritualitas umat manusia.
Perjalanan filsafat
Islam dapat dilacak dari masa klasik, yang ditandai oleh
pemikiran sistematis para filosof besar seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina,
dan Ibn Rushd; berlanjut pada masa reaksi teologis yang
kritis namun konstruktif melalui sosok Al-Ghazali; dan mengalami transformasi
mendalam dalam filsafat iluminasi dan hikmah transendental di
tangan Suhrawardi dan Mulla Sadra.¹ Filsafat Islam kemudian menyebar ke
berbagai kawasan dunia Islam—Persia, India, dan Turki—serta bertahan hingga
periode pasca-klasik dalam bentuk
pelestarian, komentar, dan pengembangan pemikiran etis-spiritual.
Dalam era
modern dan kontemporer, filsafat Islam menghadapi tantangan
besar akibat masuknya ide-ide sekular dan arus globalisasi pemikiran Barat.
Namun, tokoh-tokoh seperti Muhammad Iqbal, Seyyed Hossein Nasr, dan Nasr Hamid
Abu Zayd telah menunjukkan bahwa filsafat Islam tetap relevan sebagai kerangka
berpikir kritis dan spiritual dalam merespons kompleksitas dunia modern.²
Ciri khas filsafat
Islam yang mengintegrasikan akal dan wahyu, rasionalitas dan spiritualitas,
serta bersifat etis dan kosmologis, menjadikannya unik dan mendalam. Ia bukan
sekadar sistem logis, tetapi jalan hidup yang mengarahkan manusia menuju
kebahagiaan sejati (sa‘ādah), kesempurnaan akhlak, dan kedekatan dengan
Tuhan._³ Karena itu, filsafat Islam sangat layak untuk dihidupkan kembali
dalam pendidikan dan kehidupan intelektual umat Islam hari ini.
Di tengah krisis
moral, disorientasi ilmu, dan disintegrasi nilai, filsafat Islam dapat menjadi sumber
pencerahan dan transformasi, baik di tingkat individu maupun
sosial. Ia mengajarkan bahwa berpikir bukan hanya tentang mengetahui, tetapi
juga tentang menjadi dan menyempurna.⁴ Oleh sebab itu, membangkitkan kembali
semangat filosofis dalam Islam bukanlah kemunduran ke masa lalu, melainkan langkah
maju menuju masa depan yang beradab, berilmu, dan bermakna.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 215–220.
[2]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 7–9; Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 43–48.
[3]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 260–265.
[4]
M.M. Sharif, ed., A History of Muslim Philosophy, vol. 2
(Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1966), 1412–1415.
Daftar Pustaka
Abu Zayd, N. H. (2006). Reformation of Islamic
thought: A critical historical analysis. Amsterdam University Press.
Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism.
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
Al-Ghazali. (2000). The incoherence of the
philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.
(Original work published ca. 1095)
Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy
(L. Sherrard, Trans.). Kegan Paul International.
Dabashi, H. (1993). Theology of discontent: The
ideological foundation of the Islamic Revolution in Iran. New York
University Press.
Dabashi, H. (2009). Post-Orientalism: Knowledge
and power in time of terror. Transaction Publishers.
Erdem, H. (2015). Ottoman education and the role of
logic. In M. Gökçek (Ed.), Islamic education in the Ottoman Empire (pp.
83–98). ISAM.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian
tradition: Introduction to reading Avicenna’s philosophical works (2nd
ed.). Brill.
Iqbal, M. (1930). The reconstruction of
religious thought in Islam. Shaikh Muhammad Ashraf.
Kalin, I. (2006). Reason and rationality in the
Qur’anic discourse. In O. Leaman (Ed.), The Qur’an: An encyclopedia (pp.
533–536). Routledge.
Kartanegara, M. (2005). Mengislamkan epistemologi:
Pengantar filsafat Islam. Mizan.
Kersten, C. (2011). Contemporary thought in the
Muslim world: Trends, themes, and issues. Routledge.
Koshul, B. B. (2007). Muhammad Iqbal: Islam,
aesthetics and postcolonialism. Routledge.
Leaman, O. (2001). An introduction to classical
Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.
Leaman, O. (1988). Averroes and his philosophy.
Clarendon Press.
McGinnis, J., & Reisman, D. C. (Eds.). (2007). Classical
Arabic philosophy: An anthology of sources. Hackett Publishing.
Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages:
Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in
Islam. Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
SUNY Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of
nature. Oxford University Press.
Sharif, M. M. (Ed.). (1963–1966). A history of
Muslim philosophy (Vols. 1–2). Otto Harrassowitz.
van den Bergh, S. (Trans.). (1954). The
incoherence of the incoherence by Ibn Rushd. Luzac & Co.
Zein, I. M. (2020). Islamic ethics and the global
challenges. In Islamic ethics and character education (pp. 78–85). HBKU
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar