Selasa, 25 Maret 2025

Sejarah Filsafat Islam: Perkembangan, Tokoh, dan Pemikiran dalam Tradisi Intelektual Islam

Sejarah Filsafat Islam

Perkembangan, Tokoh, dan Pemikiran dalam Tradisi Intelektual Islam


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif sejarah perkembangan filsafat Islam dari masa klasik hingga kontemporer. Filsafat Islam merupakan hasil sintesis kreatif antara wahyu dan akal yang tumbuh dalam tradisi intelektual Islam sejak abad ke-8 M. Dimulai dari masa penerjemahan karya-karya Yunani di bawah Dinasti Abbasiyah, filsafat Islam berkembang melalui tokoh-tokoh besar seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd. Di masa berikutnya, muncul kritik dari para teolog seperti Al-Ghazali, yang kemudian memicu respon dari filsuf lain seperti Ibn Rushd. Filsafat Islam mengalami transformasi penting dalam mazhab iluminasi dan hikmah transendental melalui tokoh-tokoh seperti Suhrawardi dan Mulla Sadra. Di periode pasca-klasik, pemikiran filsafat menyebar ke wilayah Persia, India, dan Turki Utsmani dalam bentuk integrasi dengan kalam dan tasawuf. Dalam era modern, filsafat Islam kembali bergema melalui pemikiran tokoh-tokoh seperti Muhammad Iqbal dan Seyyed Hossein Nasr, yang berupaya merekonstruksi filsafat Islam agar mampu merespons tantangan global, krisis spiritual, dan dekadensi nilai. Artikel ini juga menyoroti karakteristik khas filsafat Islam yang bersifat rasional, spiritual, etis, dan integratif, serta relevansinya dalam pendidikan dan pemikiran keislaman masa kini. Dengan pendekatan historis dan filosofis, artikel ini menegaskan bahwa filsafat Islam adalah khazanah intelektual yang dinamis dan tetap signifikan untuk menjawab problematika zaman.

Kata Kunci: Filsafat Islam, akal dan wahyu, tradisi intelektual Islam, pemikiran klasik, modernitas, pendidikan Islam, rasionalitas, spiritualitas.


PEMBAHASAN

Sejarah Filsafat Islam


1.           Pendahuluan

Filsafat Islam merupakan salah satu cabang penting dalam khazanah intelektual Islam yang tumbuh subur sejak masa klasik, khususnya pada abad ke-8 hingga ke-12 M. Ia lahir dari dialektika yang dinamis antara wahyu dan akal, antara tradisi keislaman dengan pemikiran-pemikiran dari luar Islam, terutama filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Meskipun seringkali dipahami secara sempit sebagai hasil pengaruh asing, filsafat Islam sejatinya adalah upaya kreatif dan kritis para pemikir Muslim dalam memahami realitas, Tuhan, dan manusia melalui kerangka epistemologis yang sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.

Secara umum, filsafat Islam dapat didefinisikan sebagai kegiatan berpikir rasional dan sistematis yang dilakukan oleh para pemikir Muslim dalam menjawab persoalan metafisika, etika, kosmologi, dan epistemologi, dengan tetap mempertimbangkan wahyu sebagai sumber kebenaran.¹ Hal ini membedakannya dari filsafat sekuler yang hanya mengandalkan akal sebagai sumber utama. Dalam konteks Islam, filsafat bukan hanya bertujuan mencari kebenaran rasional, tetapi juga bertujuan meneguhkan keyakinan religius dan memperdalam pemahaman spiritual.

Kelahiran filsafat Islam tidak dapat dilepaskan dari perkembangan peradaban Islam awal, khususnya setelah penaklukan wilayah-wilayah yang sebelumnya berada dalam pengaruh kebudayaan Yunani, Persia, dan India.² Proyek besar penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, terutama di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun (813–833 M), menjadi titik tolak berkembangnya tradisi filsafat dalam dunia Islam. Lembaga seperti Bait al-Hikmah di Baghdad memainkan peran kunci dalam proses transfer ilmu pengetahuan tersebut.³

Para filosof Muslim awal tidak sekadar menjadi penerjemah, tetapi juga mengembangkan sintesis baru antara pemikiran rasional dan teologi Islam. Sebagai contoh, Al-Kindi (801–873 M), yang dikenal sebagai “filsuf Arab pertama,” memandang filsafat sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan menganggapnya tidak bertentangan dengan wahyu.⁴ Demikian pula, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd memberikan kontribusi penting dalam membentuk fondasi filsafat Islam, sekaligus mempengaruhi perkembangan pemikiran di Eropa pada Abad Pertengahan.

Namun, kehadiran filsafat Islam tidak selalu diterima dengan tangan terbuka. Sebagian kalangan, terutama dari kelompok teolog (mutakallimun), mengkritik kecenderungan rasionalistik para filosof yang dianggap melemahkan otoritas wahyu. Tokoh seperti Al-Ghazali, meskipun menguasai filsafat, mengemukakan kritik keras terhadap para filosof dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, yang kemudian memicu respon dari Ibn Rushd melalui Tahafut at-Tahafut.⁵

Di samping dinamika historis tersebut, filsafat Islam memiliki nilai penting dalam pendidikan dan perkembangan peradaban Islam. Ia mendorong berkembangnya ilmu-ilmu rasional seperti logika, astronomi, dan kedokteran, sekaligus memperkaya diskursus teologis dan spiritual. Kajian terhadap sejarah filsafat Islam penting dilakukan tidak hanya sebagai bagian dari pelestarian khazanah intelektual Islam, tetapi juga untuk menjawab tantangan-tantangan pemikiran kontemporer yang semakin kompleks.

Tulisan ini akan mengulas secara komprehensif tentang sejarah perkembangan filsafat Islam dari masa klasik hingga kontemporer, membahas tokoh-tokoh utamanya, pemikiran-pemikiran kunci yang mereka kembangkan, serta relevansi pemikiran filsafat dalam konteks keislaman dan kemanusiaan dewasa ini. Dengan pendekatan historis dan filosofis, diharapkan pembahasan ini dapat menjadi kontribusi dalam memahami warisan intelektual Islam yang kaya dan relevan untuk masa kini.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 3.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 14–15.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 51–53.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 155.

[5]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000); Ibn Rushd, The Incoherence of the Incoherence, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac & Co., 1954).


2.           Latar Belakang Munculnya Filsafat dalam Dunia Islam

Kemunculan filsafat dalam dunia Islam tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui proses sejarah yang panjang dan kompleks. Filsafat Islam lahir dari dinamika intelektual umat Islam dalam merespons tantangan-tantangan keilmuan dan spiritual pada masa awal perkembangan peradaban Islam. Ia muncul sebagai hasil dari perpaduan antara ajaran Islam dengan warisan intelektual dunia kuno, terutama filsafat Yunani, Persia, dan India yang masuk ke dalam dunia Islam melalui proyek penerjemahan besar-besaran pada masa Dinasti Abbasiyah.

Setelah ekspansi Islam ke wilayah Syam, Persia, Mesir, dan India, umat Islam mewarisi berbagai tradisi keilmuan yang telah lama berkembang di wilayah-wilayah tersebut. Pemikiran filsafat Yunani, khususnya ajaran Plato, Aristoteles, dan Neoplatonisme, mulai dikenalkan kepada kaum Muslimin melalui karya-karya berbahasa Yunani dan Suryani yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.¹ Kontak intelektual ini menjadi sangat intensif pada masa kekhalifahan Abbasiyah, khususnya pada abad ke-8 dan ke-9 M, ketika Khalifah Al-Manshur (memerintah 754–775 M) dan Al-Ma’mun (memerintah 813–833 M) mendukung penuh proyek penerjemahan ilmu-ilmu asing.

Pusat kegiatan penerjemahan yang paling terkenal adalah Bait al-Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad. Lembaga ini menjadi pusat studi dan penerjemahan yang melibatkan para sarjana dari berbagai latar belakang agama dan budaya, termasuk Muslim, Kristen Nestorian, dan Yahudi. Salah satu tokoh penting dalam proses ini adalah Hunayn ibn Ishaq, seorang sarjana Kristen yang menerjemahkan karya-karya Galen dan Aristoteles dari bahasa Yunani ke Arab.²

Proyek penerjemahan ini bukan hanya sekadar transfer bahasa, melainkan juga transfer pengetahuan dan metode berpikir. Ilmu logika Aristotelian, misalnya, sangat memengaruhi cara berpikir para pemikir Muslim dalam membangun argumen teologis dan filosofis.³ Dengan demikian, filsafat tidak diimpor begitu saja, tetapi diolah dan dikontekstualisasikan dalam kerangka nilai-nilai Islam, termasuk dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang wujud Tuhan, jiwa, alam semesta, dan tujuan hidup manusia.

Faktor lain yang mendorong berkembangnya filsafat Islam adalah kebutuhan untuk merumuskan ajaran Islam secara sistematis dalam menghadapi tantangan pemikiran dari kalangan non-Muslim maupun perbedaan pandangan internal di kalangan umat Islam sendiri. Persoalan-persoalan seperti kebebasan kehendak, keadilan Tuhan, dan hubungan antara akal dan wahyu menjadi isu-isu penting yang mendorong munculnya diskursus filosofis.⁴ Dalam konteks ini, filsafat menjadi sarana penting untuk memperkuat rasionalitas keimanan serta memperluas cakrawala intelektual umat Islam.

Dengan demikian, lahirnya filsafat dalam Islam bukanlah bentuk penyimpangan dari ajaran agama, sebagaimana yang sering dituduhkan oleh sebagian kalangan, melainkan merupakan bagian dari perkembangan organik pemikiran Islam dalam menyerap, mengolah, dan menyintesiskan berbagai warisan intelektual dunia menjadi khasanah keilmuan Islam yang kaya dan bernilai tinggi.⁵


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 4–6.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 58–60.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 18–21.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 142–144.

[5]                M.M. Sharif, ed., A History of Muslim Philosophy, vol. 1 (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963), 32–35.


3.           Periode Klasik (abad ke-8 hingga ke-12 M)

Periode klasik dalam sejarah filsafat Islam, yang berlangsung antara abad ke-8 hingga ke-12 M, merupakan masa kejayaan dan pembentukan sistematis pemikiran filsafat di dunia Islam. Dalam periode ini, para pemikir Muslim tidak hanya menerjemahkan dan menyerap pemikiran-pemikiran filsafat dari Yunani dan Persia, tetapi juga mengembangkannya menjadi sintesis baru yang berakar dalam nilai-nilai dan pandangan dunia Islam. Masa ini ditandai oleh lahirnya tokoh-tokoh besar seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Miskawayh, yang memberikan kontribusi besar dalam membangun tradisi filsafat Islam.

3.1.       Masa Formatif: Al-Kindi dan Permulaan Filsafat Islam

Tokoh pertama yang dikenal sebagai faylasuf al-‘Arab (filsuf Arab) adalah Abu Yusuf Ya‘qub ibn Ishaq al-Kindi (w. 873 M). Ia adalah tokoh awal yang secara sadar berusaha mempertemukan ajaran Islam dengan warisan filsafat Yunani, khususnya Neoplatonisme dan Aristotelianisme. Dalam berbagai karyanya, Al-Kindi membela legitimasi filsafat dalam Islam dan memandangnya sebagai jalan untuk mengenal kebenaran dan mendekatkan diri kepada Tuhan.¹ Ia menulis lebih dari 200 risalah dalam berbagai bidang, termasuk metafisika, logika, etika, kedokteran, dan matematika.²

Al-Kindi menekankan pentingnya akal dalam memahami realitas dan wahyu. Namun demikian, ia tetap menjaga kesetiaan pada ajaran Islam. Ia berpendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara filsafat dan agama, karena kebenaran berasal dari sumber yang sama, yakni Tuhan.³ Gagasan ini menjadi fondasi penting dalam perkembangan selanjutnya dari filsafat Islam.

3.2.       Masa Puncak: Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Miskawayh

Setelah Al-Kindi, muncul tokoh yang lebih sistematis dalam menyusun filsafat Islam, yakni Abu Nasr Al-Farabi (w. 950 M). Ia dijuluki al-Mu‘allim al-Thani (Guru Kedua) setelah Aristoteles.⁴ Al-Farabi mengembangkan teori kenabian yang menjelaskan hubungan antara akal aktif dan wahyu, serta menyusun teori politik ideal dalam karyanya Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Pandangan Penduduk Negara Utama), di mana ia menggambarkan negara ideal yang dipimpin oleh seorang nabi-filosof.⁵

Ibn Sina atau Avicenna (w. 1037 M), tokoh besar dalam tradisi filsafat dan kedokteran Islam, adalah puncak pemikiran filsafat Islam dalam era klasik. Ia menyusun sistem filsafat yang sangat kompleks dan mencakup metafisika, psikologi, kosmologi, dan logika.⁶ Dalam metafisikanya, Ibn Sina mengembangkan konsep "wajib al-wujud" (yang keberadaannya niscaya), yakni Tuhan sebagai sebab pertama dari segala sesuatu.⁷ Konsep ini berpengaruh besar dalam pemikiran Islam dan Kristen abad pertengahan.

Di bidang filsafat jiwa, Ibn Sina memaparkan teori “jiwa terbang” (flying man) untuk membuktikan eksistensi jiwa manusia sebagai entitas yang mandiri dari tubuh.⁸ Selain itu, ia mengembangkan pendekatan logis dan ilmiah dalam kedokteran dan mengintegrasikan prinsip-prinsip filosofis dalam ilmu kesehatan. Karyanya yang paling terkenal, Al-Syifa’, menjadi referensi utama di dunia Islam dan Eropa selama berabad-abad.⁹

Sementara itu, Ibn Miskawayh (w. 1030 M), meskipun kurang dikenal di luar dunia Islam, memainkan peran penting dalam bidang etika filsafat Islam. Dalam karyanya Tahdzib al-Akhlaq, ia merumuskan konsep kebajikan manusia berdasarkan warisan Aristotelian yang dipadukan dengan nilai-nilai Islam.¹⁰ Ia menekankan pentingnya moderasi, pendidikan moral, dan pembentukan karakter sebagai jalan menuju kesempurnaan manusia.


Dengan berakhirnya abad ke-12, filsafat Islam klasik telah mencapai kematangan. Tradisi ini kemudian menghadapi tantangan dari para teolog seperti Al-Ghazali, yang mengkritik kecenderungan rasionalistik para filsuf. Namun demikian, warisan pemikiran yang dibangun dalam periode ini tetap menjadi fondasi penting dalam pengembangan filsafat Islam di era-era selanjutnya dan bahkan mempengaruhi kebangkitan filsafat di Eropa.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 58–61.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 30.

[3]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 153–154.

[4]                M.M. Sharif, ed., A History of Muslim Philosophy, vol. 1 (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963), 434–438.

[5]                Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 67–72.

[6]                Nasr, Science and Civilization in Islam, 120–124.

[7]                Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 55–58.

[8]                Jon McGinnis and David C. Reisman, Classical Arabic Philosophy: An Anthology of Sources (Indianapolis: Hackett, 2007), 168–170.

[9]                Gutas, Dimitri, Avicenna and the Aristotelian Tradition: Introduction to Reading Avicenna’s Philosophical Works (Leiden: Brill, 2001), 85–90.

[10]             Sharif, A History of Muslim Philosophy, 530–533.


4.           Reaksi Teologis dan Kritik terhadap Filsafat

Meskipun filsafat Islam mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-10 hingga ke-12 M, perkembangan ini tidak lepas dari kritik dan resistensi, terutama dari kalangan teolog (mutakallimūn) dan ulama yang mengkhawatirkan dominasi rasionalisme dalam memahami ajaran agama. Reaksi terhadap filsafat terutama muncul karena kekhawatiran bahwa penggunaan akal secara bebas dalam persoalan metafisika dan ketuhanan dapat menyimpang dari ajaran wahyu. Filsafat dianggap oleh sebagian kalangan sebagai hasil pemikiran asing yang tidak sepenuhnya sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.

4.1.       Munculnya Teologi Islam dan Respons terhadap Filsafat

Sejak masa awal, ilmu kalam berkembang sebagai respon terhadap persoalan-persoalan teologis seperti sifat-sifat Tuhan, kehendak bebas, dan keadilan Ilahi. Teologi kalam merupakan disiplin ilmu yang menggunakan argumen rasional untuk membela dan menjelaskan akidah Islam.¹ Namun, pendekatan kalam berbeda dari filsafat karena tetap berangkat dari wahyu sebagai fondasi utama, sedangkan filsafat cenderung menempatkan akal sebagai titik tolaknya.

Perbedaan pendekatan ini menyebabkan ketegangan antara para filosof Muslim dan kalangan teolog, khususnya dari mazhab Asy’ariyyah dan Hanabilah. Para teolog mengkritik kecenderungan filosof yang menafsirkan ajaran agama secara alegoris (ta’wīl) dan spekulatif, terutama dalam hal yang berkaitan dengan sifat Tuhan, penciptaan alam, dan hari kebangkitan.²

4.2.       Al-Ghazali dan Kritik terhadap Para Filosof

Tokoh paling berpengaruh dalam menentang filsafat secara sistematis adalah Abu Hamid al-Ghazali (1058–1111 M). Dalam karya monumentalnya Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filosof), Al-Ghazali mengkritik pandangan metafisika dan kosmologi yang dikembangkan oleh Ibn Sina dan Al-Farabi.³ Ia menuduh para filsuf telah menyimpang dalam tiga persoalan pokok: (1) keabadian alam (tidak diciptakan dalam waktu), (2) ketidaktahuan Tuhan terhadap partikular, dan (3) penolakan terhadap kebangkitan jasmani. Keberpihakan para filsuf pada doktrin filsafat Yunani dalam tiga hal ini, menurut Al-Ghazali, menyebabkan mereka kafir, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam aqidah Islam.⁴

Meskipun Al-Ghazali dikenal sebagai seorang ahli fikih dan tasawuf, ia juga menguasai filsafat dengan sangat baik. Dalam karya lainnya seperti Maqāṣid al-Falāsifah (Tujuan-tujuan Para Filosof), ia menjelaskan secara objektif sistem filsafat para filosof, sebelum kemudian mengkritisinya dalam Tahāfut.⁵ Hal ini menunjukkan bahwa kritik Al-Ghazali bukanlah penolakan total terhadap filsafat, melainkan penolakan terhadap aspek-aspek filsafat yang bertentangan dengan wahyu.

Namun demikian, Al-Ghazali juga menerima dan mengadopsi aspek-aspek filsafat yang tidak bertentangan dengan agama, terutama dalam bidang logika dan etika.⁶ Bahkan, pemikiran logis Al-Ghazali di kemudian hari menjadi bagian dari kurikulum madrasah tradisional, yang turut membentuk sistem pendidikan Islam selama berabad-abad.

4.3.       Respon Filosofis: Ibn Rushd dan Pembelaan terhadap Filsafat

Kritik tajam Al-Ghazali mendapat respon dari filsuf Muslim di Andalusia, yakni Abu al-Walid Ibn Rushd (1126–1198 M), yang dalam karyanya Tahāfut al-Tahāfut (Kerancuan atas Kerancuan) membela posisi filsafat dan para filosof.⁷ Ibn Rushd berargumen bahwa filsafat dan agama tidak saling bertentangan, karena keduanya mencari kebenaran dengan cara yang berbeda. Ia menegaskan bahwa wahyu dan akal berasal dari Tuhan yang sama, sehingga mustahil keduanya saling bertolak belakang.⁸

Menurut Ibn Rushd, Al-Qur’an sendiri memerintahkan manusia untuk berpikir dan merenung, sehingga penggunaan akal bukanlah tindakan menyimpang, melainkan bagian dari pengamalan agama. Ia mengkritik Al-Ghazali karena, menurutnya, Al-Ghazali telah mencampuradukkan pendekatan retoris dengan pendekatan logis dalam membantah para filsuf.⁹

Meskipun pemikiran Ibn Rushd mendapat pengaruh besar di Eropa Latin, khususnya dalam tradisi skolastik Kristen melalui Thomas Aquinas, di dunia Islam sendiri pandangannya tidak mendapatkan dukungan luas. Karya-karya Al-Ghazali lebih diterima oleh para ulama dan institusi pendidikan tradisional, sehingga filsafat secara umum mengalami kemunduran di Timur Islam setelah abad ke-12.¹⁰


Kesimpulan

Reaksi teologis terhadap filsafat dalam Islam merupakan bagian dari dinamika internal intelektual umat Islam dalam mencari keselarasan antara akal dan wahyu. Tokoh seperti Al-Ghazali tidak serta merta menolak filsafat, melainkan berusaha menyaringnya agar tetap dalam koridor syariat. Di sisi lain, Ibn Rushd mewakili suara pembela rasionalitas dan mengupayakan harmonisasi antara filsafat dan agama. Perdebatan ini memperlihatkan kekayaan tradisi intelektual Islam dalam mengelola perbedaan pendekatan dalam memahami kebenaran.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 84–85.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 85–88.

[3]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), xii–xiii.

[4]                Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 90.

[5]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 228–229.

[6]                M.M. Sharif, ed., A History of Muslim Philosophy, vol. 1 (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963), 594–597.

[7]                Ibn Rushd, The Incoherence of the Incoherence, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac & Co., 1954), 3–7.

[8]                Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 94–97.

[9]                Gutas, Dimitri, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2001), 142.

[10]             Nasr, Science and Civilization in Islam, 165–167.


5.           Periode Sintesis dan Transformasi (abad ke-12 hingga ke-15 M)

Setelah melalui masa puncaknya pada abad ke-10 hingga ke-11 M, filsafat Islam memasuki periode yang sering disebut sebagai masa sintesis dan transformasi. Periode ini berlangsung antara abad ke-12 hingga ke-15 M dan ditandai oleh dua ciri utama: pertama, adanya upaya harmonisasi antara filsafat, teologi, dan tasawuf; kedua, pergeseran geografis dan epistemologis pusat filsafat dari dunia Arab ke wilayah Persia dan dunia Islam Timur. Tradisi filsafat Islam tidak berakhir setelah kritik tajam dari Al-Ghazali, tetapi justru mengalami perkembangan baru yang lebih integratif dan kreatif.

5.1.       Ibn Rushd dan Pembelaan Akhir terhadap Filsafat di Dunia Islam Barat

Di dunia Islam bagian barat (Andalusia), filsafat Islam memperoleh pembelaan terakhir yang monumental dari Ibn Rushd (Averroes, w. 1198 M). Dalam karya terkenalnya Tahāfut al-Tahāfut (The Incoherence of the Incoherence), ia memberikan jawaban sistematis terhadap serangan Al-Ghazali dan membela kebebasan berpikir filosofis.¹

Ibn Rushd berpendapat bahwa wahyu dan akal tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi. Bagi orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, filsafat merupakan jalan untuk memahami syariat secara lebih mendalam.² Di samping itu, Ibn Rushd menekankan pentingnya metodologi logika Aristotelian sebagai dasar bagi semua ilmu, termasuk ilmu agama.³

Namun, meskipun pemikiran Ibn Rushd sangat berpengaruh di kalangan skolastik Kristen di Eropa, seperti pada Thomas Aquinas, di dunia Islam sendiri ajarannya kurang mendapatkan penerimaan luas. Setelah wafatnya Ibn Rushd, filsafat Islam perlahan mengalami penurunan di wilayah Maghrib dan Andalusia.⁴

5.2.       Perkembangan Filsafat di Dunia Islam Timur: Isyraqiyyah dan Hikmah Muta‘aliyah

Sementara filsafat melemah di dunia Islam barat, dunia Islam Timur—khususnya Persia dan kawasan Asia Tengah—menjadi pusat baru perkembangan filsafat Islam. Tokoh penting dalam fase ini adalah Shihab al-Din al-Suhrawardi (w. 1191 M), pendiri mazhab filsafat Isyraqiyyah (Illuminationism).⁵ Suhrawardi menggabungkan rasionalisme peripatetik (Ibn Sina) dengan intuisi spiritual dan warisan mistik dari filsafat kuno Persia. Ia memperkenalkan filsafat cahaya (nūr), yang menjadikan iluminasi (penyinaran batin) sebagai sumber pengetahuan tertinggi setelah wahyu.⁶

Suhrawardi menolak metode filsafat yang hanya mengandalkan rasio analitik dan logika formal, karena menurutnya kebenaran juga bisa dicapai melalui penyucian jiwa dan pengalaman spiritual.⁷ Pendekatan ini kemudian menjadi cikal bakal sintesis antara filsafat dan tasawuf dalam Islam.

Pada abad ke-17, pemikiran integratif ini mencapai puncaknya dalam mazhab Hikmah Muta‘aliyah (Filsafat Transendental) yang dikembangkan oleh Mulla Sadra (Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī, w. 1640 M).⁸ Mulla Sadra berhasil mensintesiskan tiga tradisi besar dalam Islam: filsafat peripatetik (Ibn Sina), filsafat iluminasi (Suhrawardi), dan irfan/tasawuf (Ibn Arabi).⁹ Kontribusi utamanya adalah dalam pengembangan ontologi eksistensial, khususnya konsep ashālat al-wujūd (keprimaan eksistensi atas esensi), yang menjadi pusat pemikirannya.

Menurut Mulla Sadra, realitas adalah eksistensi yang bergerak dan bertingkat-tingkat, bukan kumpulan esensi yang statis. Ia juga mengembangkan teori harakah jawhariyyah (gerak substansial), yang menyatakan bahwa segala sesuatu di alam ini mengalami perubahan secara esensial dan terus-menerus menuju kesempurnaan.¹⁰ Dengan pendekatan ini, filsafat Islam memperoleh bentuk baru yang lebih dalam secara spiritual dan lebih menyatu dengan tradisi mistik Islam.

5.3.       Pengaruh terhadap Lembaga Ilmu dan Dunia Islam

Pada masa ini pula, madrasah dan lembaga pendidikan Islam mulai membuka diri terhadap integrasi ilmu-ilmu rasional dalam kurikulum mereka. Logika Aristotelian dan beberapa karya filsafat seperti Isagoge dan Organon dijadikan sebagai bahan ajar di madrasah tradisional.¹¹ Meskipun kadang dibatasi, pendekatan filosofis tetap hidup dalam bentuk yang lebih terintegrasi dengan tasawuf dan kalam.

Filsafat juga turut memberi kontribusi dalam pembentukan metode berpikir keilmuan Islam yang sistematis. Tokoh-tokoh seperti Fakhruddin al-Razi, Nasiruddin al-Tusi, dan Mir Damad adalah contoh cendekiawan yang menyatukan filsafat dengan ilmu kalam dan kosmologi Islam dalam satu sistem pemikiran yang kohesif.¹²


Kesimpulan

Periode sintesis dan transformasi dalam sejarah filsafat Islam menunjukkan bahwa warisan intelektual Islam bersifat dinamis dan mampu beradaptasi dengan konteks baru. Filsafat tidak mati setelah dikritik, melainkan bertransformasi menjadi bentuk yang lebih spiritual, integratif, dan orisinal. Dari Ibn Rushd di barat hingga Mulla Sadra di timur, para pemikir Muslim membuktikan bahwa filsafat tetap memiliki tempat penting dalam tradisi Islam, terutama ketika diselaraskan dengan nilai-nilai keimanan dan pengalaman batin.


Footnotes

[1]                Ibn Rushd, The Incoherence of the Incoherence, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac & Co., 1954), 5–10.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 105–107.

[3]                Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Clarendon Press, 1988), 43–45.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 247–250.

[5]                M.M. Sharif, ed., A History of Muslim Philosophy, vol. 2 (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1966), 1305–1308.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 59–62.

[7]                Corbin, History of Islamic Philosophy, 211–215.

[8]                Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 354–358.

[9]                Nasr, Three Muslim Sages, 90–94.

[10]             Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 142–144.

[11]             Gutas, Dimitri, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2001), 223–225.

[12]             Sharif, A History of Muslim Philosophy, vol. 2, 1340–1345.


6.           Periode Pasca-Klasik dan Pengaruh di Dunia Islam Timur

Setelah melewati masa kejayaan filsafat pada periode klasik dan transformasi pada masa Suhrawardi serta Mulla Sadra, filsafat Islam memasuki periode pasca-klasik yang dimulai sekitar abad ke-15 dan berlangsung hingga era modern. Pada periode ini, filsafat tidak lagi berkembang sebagai disiplin mandiri yang dominan, tetapi terintegrasi secara erat dengan ilmu kalam, tasawuf, dan bahkan fiqih, serta menyebar luas ke berbagai belahan dunia Islam, khususnya wilayah Persia, India Muslim (anak benua India), dan Turki Utsmani

Alih-alih mengalami kemunduran total, filsafat Islam dalam periode pasca-klasik justru mengalami pelestarian dan adaptasi. Tradisi filsafat tidak lagi berkembang dalam bentuk sistem filsafat spekulatif baru, melainkan dalam bentuk komentar, sintesis, dan elaborasi terhadap warisan filsafat klasik dan transformasional, khususnya pemikiran Ibn Sina, Suhrawardi, dan Mulla Sadra.²

6.1.       Persia dan Tradisi Hikmah di Qom dan Isfahan

Wilayah Persia (Iran) menjadi pusat utama kelanjutan filsafat Islam dalam bentuk filsafat hikmah (kebijaksanaan) yang mengintegrasikan dimensi rasional, intuitif, dan spiritual. Pada masa Safawi (abad ke-16 hingga ke-18), kota Isfahan menjadi pusat utama perkembangan filsafat berkat dukungan negara terhadap pendidikan dan pengajaran tradisional Islam, termasuk filsafat.³

Mulla Sadra (w. 1640), yang pemikirannya telah dibahas dalam periode sebelumnya, terus berpengaruh hingga pasca-klasik. Karya-karyanya seperti al-Asfār al-Arba‘ah (Empat Perjalanan Filsafat) dijadikan bahan ajar di banyak madrasah dan hawzah di Qom dan Isfahan.⁴ Para pemikir setelahnya seperti Sabzawari (w. 1873) meneruskan pendekatan filsafat Sadrian dan menjadikannya bagian penting dari kurikulum pendidikan tinggi Islam di Persia.⁵

6.2.       India Muslim: Filsafat dan Pembaruan Intelektual

Di wilayah India Muslim, filsafat Islam berkembang dalam suasana yang lebih plural, dipengaruhi oleh interaksi dengan tradisi Hindu, Buddhis, dan pemikiran Barat melalui kolonialisme. Tokoh-tokoh seperti Shah Waliullah al-Dihlawi (w. 1762) dan Muhammad Iqbal (w. 1938) menjadi figur penting dalam merumuskan filsafat Islam yang kontekstual dengan tantangan modernitas.⁶

Muhammad Iqbal, dalam karya terkenalnya The Reconstruction of Religious Thought in Islam, berupaya menghidupkan kembali semangat filsafat Islam klasik dalam bingkai modern. Ia mengkritik skolastisisme pasca-klasik yang terlalu fokus pada komentar dan tidak memberi ruang bagi kreativitas pemikiran baru.⁷ Iqbal menggabungkan semangat rasional Ibn Sina dan Ibn Rushd dengan mistisisme Rumi dan ide-ide vitalisme dari filsafat Barat (khususnya Bergson dan Nietzsche), menjadikannya simbol sintesis Timur dan Barat dalam filsafat Islam modern.⁸

6.3.       Turki Utsmani: Tradisi Rasional dalam Bingkai Teologi

Di wilayah Turki Utsmani, filsafat Islam bertahan dalam bentuk pengajaran logika dan teologi di lembaga pendidikan seperti madrasah dan Dār al-‘Ulum. Meskipun tidak menghasilkan filsuf besar dalam pengertian sistemik seperti Ibn Sina, para ulama Utsmani tetap mengembangkan diskursus filsafat dalam konteks teologi rasional, terutama dalam mempertahankan aqidah Islam dari tantangan eksternal, termasuk dari dunia Kristen dan pemikiran sekuler Eropa.⁹

Beberapa ulama seperti Kâtib Çelebi dan Mustafa Sabri mengembangkan pendekatan kritis terhadap modernitas sambil tetap mempertahankan kerangka berpikir Islam tradisional yang terbuka terhadap logika dan rasionalitas.¹⁰ Tradisi ini menunjukkan bahwa filsafat Islam pasca-klasik masih hidup dalam bentuk yang lebih fungsional dan apologetik, khususnya dalam menjawab tantangan ideologis dari luar dunia Islam.

6.4.       Ciri Khas Filsafat Islam Pasca-Klasik

Periode pasca-klasik menunjukkan beberapa karakteristik penting:

1)                  Filsafat sebagai bagian dari pendidikan tinggi Islam di dunia Timur (Persia, India, Utsmani).

2)                  Penggabungan antara filsafat, tasawuf, dan kalam, menciptakan pendekatan yang lebih menyeluruh terhadap realitas.

3)                  Produksi komentar dan super-komentar atas karya-karya klasik, alih-alih sistem filosofis baru.

4)                  Filsafat sebagai alat bantu teologis dan spiritual, bukan lagi disiplin spekulatif murni.¹¹


Kesimpulan

Periode pasca-klasik bukanlah masa kemunduran filsafat Islam, melainkan masa pelestarian, adaptasi, dan regionalisasi filsafat. Meskipun kreativitas sistematis menurun dibanding periode sebelumnya, filsafat tetap memainkan peran penting dalam pendidikan Islam dan dalam membentuk respons intelektual terhadap berbagai perubahan sosial, politik, dan kultural di dunia Islam. Dari Qom hingga Delhi, dari Isfahan hingga Istanbul, warisan filsafat Islam terus hidup dan bertransformasi.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 361–364.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 151–153.

[3]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 328–331.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 88–90.

[5]                M.M. Sharif, ed., A History of Muslim Philosophy, vol. 2 (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1966), 1390–1395.

[6]                Basit Bilal Koshul, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism (London: Routledge, 2007), 34–36.

[7]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 3–5.

[8]                Ibid., 47–51.

[9]                Hakan Erdem, “Ottoman Education and the Role of Logic,” in Islamic Education in the Ottoman Empire, ed. Mustafa Gökçek (Istanbul: ISAM, 2015), 83–86.

[10]             Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 156–158.

[11]             Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 178–180.


7.           Filsafat Islam pada Era Modern dan Kontemporer

Memasuki era modern dan kontemporer, filsafat Islam dihadapkan pada tantangan dan dinamika baru yang sangat berbeda dibandingkan dengan era klasik maupun pasca-klasik. Kemunculan kolonialisme, modernisme, sekularisme, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat mengguncang struktur sosial dan intelektual dunia Islam. Dalam konteks ini, filsafat Islam tidak lagi hanya menjadi proyek spekulatif-metafisik, melainkan bertransformasi menjadi medan pergulatan ideologis, spiritual, dan kultural antara Islam dan dunia modern.¹

7.1.       Tantangan Modernitas: Sekularisme dan Krisis Otoritas Intelektual

Modernitas membawa serta ide-ide baru seperti rasionalisme sekuler, materialisme, dan positivisme yang meragukan peran wahyu dan otoritas tradisional agama. Hal ini menimbulkan kegelisahan intelektual di kalangan umat Islam, yang memicu upaya revitalisasi pemikiran Islam melalui jalur filsafat dan reformasi.²

Filsafat Islam pada era ini tidak lagi hanya menafsirkan realitas metafisik, tetapi mulai merambah persoalan sosial-politik, epistemologi ilmu, etika modern, hingga eksistensialisme Islam.³ Karya-karya filsafat Islam kontemporer mencoba membangun jembatan antara warisan intelektual Islam dengan dinamika zaman, tanpa kehilangan akar spiritual dan epistemologisnya.

7.2.       Tokoh-Tokoh Pemikir Modern: Sintesis Tradisi dan Modernitas

Salah satu tokoh terpenting dalam filsafat Islam modern adalah Muhammad Iqbal (1877–1938), seorang pemikir dari anak benua India yang dikenal sebagai penyair sekaligus filsuf pembaru. Dalam karya terkenalnya The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal mengkritik stagnasi intelektual dunia Islam yang terlalu berkutat pada skolastisisme. Ia menyerukan rekonstruksi filsafat Islam dengan memadukan semangat rasionalitas, intuisi mistik, dan dinamika sejarah.⁴

Bagi Iqbal, akal dan intuisi (intuition) adalah dua sumber penting pengetahuan religius. Ia memadukan semangat filsafat peripatetik, iluminasi, tasawuf, dan filsafat Barat (terutama Bergson dan Nietzsche), sehingga menciptakan filsafat Islam yang responsif terhadap tantangan modernitas.⁵ Ia juga menekankan pentingnya khudi (diri) sebagai pusat eksistensi manusia yang aktif dan dinamis.

Di Iran, Seyyed Hossein Nasr (b. 1933) tampil sebagai filsuf kontemporer yang menyerukan kembalinya tradisi metafisika Islam dan kesucian ilmu. Dalam berbagai karyanya, seperti Knowledge and the Sacred dan Science and Civilization in Islam, Nasr mengkritik modernitas yang dianggap reduksionis dan sekular, serta menyerukan pendekatan kosmologis-tradisional terhadap ilmu.⁶ Ia dikenal sebagai tokoh utama Traditionalist School yang menghubungkan filsafat Islam dengan hikmah perenial dan mistik universal.

Selain itu, terdapat pemikir seperti Nasr Hamid Abu Zayd (1943–2010) dari Mesir, yang dikenal karena pendekatan hermeneutik terhadap teks-teks keagamaan.⁷ Ia mengembangkan pandangan bahwa penafsiran Al-Qur’an harus terbuka terhadap pendekatan humanistik dan historis, serta melibatkan perangkat filsafat bahasa dan semiotika.⁸ Meski kontroversial, pemikirannya menjadi bagian dari lanskap filsafat Islam kontemporer yang plural dan kritis.

7.3.       Tema-tema Filsafat Islam Kontemporer

Filsafat Islam modern tidak hanya berkutat pada metafisika, tetapi juga merambah berbagai isu kontemporer, seperti:

·                     Etika dan bioetika Islam dalam konteks teknologi kedokteran dan sains modern.

·                     Epistemologi Islam dan kritik terhadap dualisme ilmu agama-ilmu dunia.

·                     Filsafat politik Islam, termasuk diskursus demokrasi, negara Islam, dan keadilan sosial.

·                     Dialog antar-agama dan multikulturalisme, khususnya dalam konteks globalisasi.⁹

Para pemikir kontemporer seperti Toshihiko Izutsu, M. Arkoun, Ali Shariati, dan Syed Naquib al-Attas turut memberikan kontribusi penting dalam mengembangkan dimensi filsafat Islam ke ranah yang lebih luas dan multidisipliner.¹⁰

7.4.       Relevansi Filsafat Islam dalam Dunia Modern

Filsafat Islam kontemporer berperan penting dalam membangun kesadaran kritis umat Islam terhadap peradaban modern, sekaligus menjadi jembatan dialog antara tradisi dan inovasi, antara iman dan akal, antara spiritualitas dan sains. Dalam era post-truth dan krisis moral global, filsafat Islam memiliki potensi untuk menawarkan fondasi etis dan metafisik yang mendalam bagi peradaban manusia.¹¹

Dengan semangat kritis dan spiritual yang berpijak pada warisan intelektual Islam, filsafat Islam masa kini menjadi alat penting untuk menghidupkan kembali rasionalitas religius dan memformulasikan peradaban Islam yang beradab, terbuka, dan transformatif.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 375–380.

[2]                Hamid Dabashi, Theology of Discontent: The Ideological Foundation of the Islamic Revolution in Iran (New York: NYU Press, 1993), 25–27.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 160–162.

[4]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 3–5.

[5]                Basit Bilal Koshul, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism (London: Routledge, 2007), 49–51.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 21–24.

[7]                Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 12–14.

[8]                Carool Kersten, Contemporary Thought in the Muslim World: Trends, Themes, and Issues (London: Routledge, 2011), 60–63.

[9]                Ibrahim M. Zein, “Islamic Ethics and the Global Challenges,” in Islamic Ethics and Character Education (Doha: HBKU Press, 2020), 78–83.

[10]             Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 165–170.

[11]             Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 180–185.


8.           Karakteristik dan Ciri Khas Filsafat Islam

Filsafat Islam memiliki sejumlah karakteristik yang membedakannya dari tradisi filsafat lainnya, seperti filsafat Yunani, skolastik Kristen, atau filsafat modern Barat. Meskipun filsafat Islam banyak berinteraksi dengan tradisi rasional Yunani, ia tidak hanya menjadi reproduksi pemikiran asing, melainkan berkembang sebagai sintesis khas yang menyatukan wahyu, akal, dan spiritualitas Islam. Karakteristik ini lahir dari konteks religius, kultural, dan epistemologis dunia Islam yang menjadikan filsafat sebagai bagian integral dari pencarian makna hidup dan kebenaran Ilahi.

8.1.       Keterpautan Erat antara Akal dan Wahyu

Salah satu ciri khas utama filsafat Islam adalah usaha harmonisasi antara akal (‘aql) dan wahyu (naql). Para filsuf Muslim meyakini bahwa keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah, sehingga tidak mungkin saling bertentangan secara substansial.¹ Hal ini terlihat dalam pemikiran Ibn Sina, Al-Farabi, maupun Ibn Rushd, yang menekankan bahwa filsafat adalah jalan rasional untuk memahami hakikat syariat dan memperdalam keimanan.

Menurut Ibn Rushd, akal merupakan anugerah Tuhan yang wajib digunakan untuk menafsirkan wahyu secara mendalam. Oleh karena itu, aktivitas filosofis justru merupakan bentuk pengabdian terhadap agama.² Pendekatan ini memungkinkan pengembangan ilmu dan pengetahuan dengan tetap berakar pada nilai-nilai transendental.

8.2.       Kecenderungan Metafisik dan Ontologis

Filsafat Islam sangat kuat dalam kecenderungan metafisik. Fokus utama para filosof Muslim adalah memahami hakikat wujud (al-wujūd), Tuhan sebagai sebab pertama (al-sabab al-awwal), hubungan antara makhluk dan Khalik, serta struktur realitas.³ Konsep wajib al-wujūd dari Ibn Sina dan ashālat al-wujūd dari Mulla Sadra merupakan contoh pendekatan ontologis yang mendalam dalam filsafat Islam.⁴

Berbeda dengan filsafat modern yang cenderung empiris atau pragmatis, filsafat Islam berusaha menggali lapisan terdalam dari realitas eksistensial, bahkan menyentuh dimensi spiritual yang bersifat eskatologis.

8.3.       Integrasi antara Filsafat, Kalam, dan Tasawuf

Ciri lain dari filsafat Islam adalah kemampuannya dalam menyerap dan menyinergikan berbagai disiplin keilmuan Islam, terutama ilmu kalam (teologi) dan tasawuf (mistisisme).⁵ Al-Ghazali, misalnya, menjadi simbol integrasi antara filsafat, teologi Asy’ariyah, dan sufisme. Di tangan Mulla Sadra, filsafat tidak hanya menjadi kegiatan rasional, tetapi juga proses eksistensial dan spiritual untuk mencapai makrifatullah.

Integrasi ini menciptakan suatu sistem filsafat yang holistik, yang tidak hanya memuaskan akal, tetapi juga menyucikan jiwa.⁶ Pendekatan ini unik dibandingkan filsafat Barat yang sering memisahkan dimensi rasional dan spiritual.

8.4.       Universalitas dan Kontekstualitas

Filsafat Islam memiliki dimensi universal karena membahas tema-tema besar seperti keberadaan, jiwa, akhlak, dan keadilan. Namun ia juga bersifat kontekstual, karena tumbuh dalam masyarakat Muslim dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman serta tantangan lokal.⁷ Inilah yang memungkinkan filsafat Islam berkembang dari Baghdad ke Kairo, dari Cordoba ke Isfahan, dari Istanbul hingga Lahore.

Karena itu, filsafat Islam tidak statis, melainkan dinamis dan transformatif. Ia mampu berdialog dengan pemikiran luar, termasuk filsafat Yunani, India, dan Barat modern, tanpa kehilangan identitasnya sendiri.⁸

8.5.       Tujuan Etis dan Transendental

Berbeda dari banyak sistem filsafat yang netral secara moral, filsafat Islam memiliki orientasi etik dan transendental. Tujuan akhirnya bukan hanya untuk mengetahui, tetapi untuk menjadi: untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, menyempurnakan jiwa, dan membangun masyarakat yang adil dan beradab.⁹

Konsep filsafat sebagai jalan menuju kebahagiaan (sa‘ādah) yang sejati, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Farabi dan Ibn Miskawayh, menjadikan filsafat Islam bukan sekadar spekulasi rasional, tetapi juga bagian dari pembinaan diri dan peradaban.¹⁰


Kesimpulan

Filsafat Islam adalah sistem pemikiran yang menyatu dengan nilai-nilai keislaman, mengintegrasikan wahyu dan akal, serta mencerminkan pencarian manusia akan makna dan kebenaran. Karakteristik khasnya membuat filsafat Islam tidak hanya relevan dalam wacana akademik, tetapi juga dalam pembinaan pribadi dan pembangunan masyarakat. Dengan landasan metafisik yang dalam, orientasi spiritual, dan sensitivitas etis, filsafat Islam menawarkan alternatif pandangan dunia yang menyeluruh (comprehensive worldview) bagi manusia modern.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 10–12.

[2]                Ibn Rushd, The Incoherence of the Incoherence, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac & Co., 1954), 285–288.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 35–38.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 80–83.

[5]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 289–292.

[6]                M.M. Sharif, ed., A History of Muslim Philosophy, vol. 2 (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1966), 1323–1326.

[7]                Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 48–51.

[8]                Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 145–148.

[9]                Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 25–26.

[10]             Sharif, A History of Muslim Philosophy, vol. 1, 514–518.


9.           Relevansi Filsafat Islam dalam Pendidikan dan Pemikiran Keislaman Masa Kini

Meskipun filsafat Islam sering kali dipandang sebagai produk intelektual masa lalu, keberadaannya tetap memiliki relevansi yang sangat signifikan dalam konteks pendidikan dan pemikiran keislaman masa kini. Dalam menghadapi tantangan global seperti krisis identitas, degradasi moral, sekularisme, dan hegemoni ilmu pengetahuan modern yang reduksionis, filsafat Islam menawarkan pendekatan yang holistik, transendental, dan kontekstual

Filsafat Islam tidak sekadar warisan sejarah, tetapi sumber inspirasi pemikiran kritis dan reflektif bagi pengembangan ilmu, pendidikan, dan peradaban Islam modern. Melalui integrasi antara wahyu dan akal, antara nilai-nilai spiritual dan rasionalitas ilmiah, filsafat Islam mampu menjadi jembatan antara masa lalu yang kaya dengan masa kini yang kompleks.

9.1.       Penguatan Nalar Kritis dan Etika Intelektual

Dalam pendidikan Islam, filsafat memiliki kontribusi penting dalam mengembangkan daya nalar kritis, logika berpikir sistematis, dan etika intelektual. Tradisi filsafat Islam, sebagaimana tercermin dalam karya-karya Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd, mendorong penggunaan akal secara bertanggung jawab untuk memahami realitas dan ajaran agama secara mendalam.²

Kegiatan berpikir kritis ini sangat dibutuhkan di era sekarang, terutama untuk menangkal penyebaran paham ekstrem, sikap dogmatis buta, dan degradasi intelektual di tengah masyarakat.³ Filsafat Islam melatih peserta didik untuk tidak sekadar menghafal, tetapi juga merenung, menganalisis, dan memaknai ilmu secara mendalam, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan etika.

9.2.       Relevansi dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

Penerapan filsafat Islam dalam pendidikan modern dapat dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai filosofis ke dalam kurikulum, seperti logika (mantiq), filsafat ilmu, dan etika Islam. Di banyak pesantren, madrasah, maupun perguruan tinggi Islam, pengajaran logika dan filsafat telah menjadi bagian dari upaya membangun kerangka berpikir yang rasional dan komprehensif.⁴

Tokoh seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas menekankan pentingnya ta’dib—yakni pendidikan yang memadukan ilmu dan adab—sebagai esensi pendidikan Islam. Menurutnya, filsafat Islam adalah sarana untuk membentuk manusia yang berilmu sekaligus beradab.⁵ Pendekatan ini menegaskan bahwa ilmu tidak boleh dipisahkan dari nilai dan moralitas.

9.3.       Kontribusi terhadap Isu-isu Kontemporer

Filsafat Islam juga berperan dalam merespons berbagai isu kontemporer, seperti bioetika, lingkungan, keadilan sosial, hak asasi manusia, dan dialog antaragama.⁶ Pendekatan filsafat Islam terhadap isu-isu ini tidak hanya rasional, tetapi juga berbasis nilai-nilai transenden yang memberi kedalaman spiritual dalam pemecahan masalah.

Misalnya, dalam menghadapi krisis ekologi, filsafat Islam menawarkan konsep kosmologi tauhidik yang menempatkan manusia sebagai khalifah yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan alam, bukan sebagai eksploitor.⁷ Demikian pula, dalam wacana pluralisme, filsafat Islam menyediakan landasan ontologis dan etis untuk membangun koeksistensi dan toleransi antarumat beragama.

9.4.       Pemulihan Tradisi Intelektual Islam

Di tengah gelombang modernisasi dan westernisasi pendidikan, filsafat Islam juga memainkan peran strategis dalam merevitalisasi tradisi intelektual Islam yang rasional, terbuka, dan bernilai tinggi. Hal ini penting untuk melahirkan generasi intelektual Muslim yang berakar pada warisan klasik, tetapi mampu berpikir progresif dan kontekstual.⁸

Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, pemisahan ilmu dari nilai-nilai sakral menyebabkan krisis spiritual dalam pendidikan modern. Oleh karena itu, pengintegrasian filsafat Islam ke dalam sistem pendidikan menjadi cara untuk memulihkan makna sakral ilmu dan menyatukan kembali akal dan wahyu.⁹


Kesimpulan

Relevansi filsafat Islam dalam dunia pendidikan dan pemikiran keislaman masa kini sangat besar. Ia mampu memperkuat daya nalar kritis, mengarahkan ilmu ke tujuan etis dan spiritual, serta menjembatani tradisi Islam dengan realitas kontemporer. Di tengah arus globalisasi dan krisis nilai, filsafat Islam adalah sumber cahaya intelektual yang dapat menuntun umat menuju peradaban yang berilmu, berakhlak, dan bertauhid.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 390–393.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 170–172.

[3]                Ibrahim Kalin, “Reason and Rationality in the Qur’anic Discourse,” in The Qur’an: An Encyclopedia, ed. Oliver Leaman (London: Routledge, 2006), 533–536.

[4]                Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Epistemologi: Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), 105–107.

[5]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 131–134.

[6]                Ibrahim M. Zein, “Islamic Ethics and the Global Challenges,” in Islamic Ethics and Character Education (Doha: HBKU Press, 2020), 79–85.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 96–98.

[8]                Hamid Dabashi, Post-Orientalism: Knowledge and Power in Time of Terror (New Brunswick: Transaction Publishers, 2009), 54–57.

[9]                Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 41–45.


10.       Penutup

Filsafat Islam merupakan salah satu mahakarya peradaban intelektual umat Islam yang berkembang secara dinamis dari masa ke masa. Sejak kemunculannya pada abad ke-8 M dalam konteks penerjemahan dan asimilasi filsafat Yunani, filsafat Islam tumbuh menjadi sistem pemikiran yang rasional, spiritual, dan integratif, yang terus memberikan kontribusi penting bagi ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan spiritualitas umat manusia.

Perjalanan filsafat Islam dapat dilacak dari masa klasik, yang ditandai oleh pemikiran sistematis para filosof besar seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd; berlanjut pada masa reaksi teologis yang kritis namun konstruktif melalui sosok Al-Ghazali; dan mengalami transformasi mendalam dalam filsafat iluminasi dan hikmah transendental di tangan Suhrawardi dan Mulla Sadra.¹ Filsafat Islam kemudian menyebar ke berbagai kawasan dunia Islam—Persia, India, dan Turki—serta bertahan hingga periode pasca-klasik dalam bentuk pelestarian, komentar, dan pengembangan pemikiran etis-spiritual.

Dalam era modern dan kontemporer, filsafat Islam menghadapi tantangan besar akibat masuknya ide-ide sekular dan arus globalisasi pemikiran Barat. Namun, tokoh-tokoh seperti Muhammad Iqbal, Seyyed Hossein Nasr, dan Nasr Hamid Abu Zayd telah menunjukkan bahwa filsafat Islam tetap relevan sebagai kerangka berpikir kritis dan spiritual dalam merespons kompleksitas dunia modern.²

Ciri khas filsafat Islam yang mengintegrasikan akal dan wahyu, rasionalitas dan spiritualitas, serta bersifat etis dan kosmologis, menjadikannya unik dan mendalam. Ia bukan sekadar sistem logis, tetapi jalan hidup yang mengarahkan manusia menuju kebahagiaan sejati (sa‘ādah), kesempurnaan akhlak, dan kedekatan dengan Tuhan._³ Karena itu, filsafat Islam sangat layak untuk dihidupkan kembali dalam pendidikan dan kehidupan intelektual umat Islam hari ini.

Di tengah krisis moral, disorientasi ilmu, dan disintegrasi nilai, filsafat Islam dapat menjadi sumber pencerahan dan transformasi, baik di tingkat individu maupun sosial. Ia mengajarkan bahwa berpikir bukan hanya tentang mengetahui, tetapi juga tentang menjadi dan menyempurna.⁴ Oleh sebab itu, membangkitkan kembali semangat filosofis dalam Islam bukanlah kemunduran ke masa lalu, melainkan langkah maju menuju masa depan yang beradab, berilmu, dan bermakna.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 215–220.

[2]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 7–9; Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 43–48.

[3]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 260–265.

[4]                M.M. Sharif, ed., A History of Muslim Philosophy, vol. 2 (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1966), 1412–1415.


Daftar Pustaka

Abu Zayd, N. H. (2006). Reformation of Islamic thought: A critical historical analysis. Amsterdam University Press.

Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism. International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Al-Ghazali. (2000). The incoherence of the philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press. (Original work published ca. 1095)

Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy (L. Sherrard, Trans.). Kegan Paul International.

Dabashi, H. (1993). Theology of discontent: The ideological foundation of the Islamic Revolution in Iran. New York University Press.

Dabashi, H. (2009). Post-Orientalism: Knowledge and power in time of terror. Transaction Publishers.

Erdem, H. (2015). Ottoman education and the role of logic. In M. Gökçek (Ed.), Islamic education in the Ottoman Empire (pp. 83–98). ISAM.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian tradition: Introduction to reading Avicenna’s philosophical works (2nd ed.). Brill.

Iqbal, M. (1930). The reconstruction of religious thought in Islam. Shaikh Muhammad Ashraf.

Kalin, I. (2006). Reason and rationality in the Qur’anic discourse. In O. Leaman (Ed.), The Qur’an: An encyclopedia (pp. 533–536). Routledge.

Kartanegara, M. (2005). Mengislamkan epistemologi: Pengantar filsafat Islam. Mizan.

Kersten, C. (2011). Contemporary thought in the Muslim world: Trends, themes, and issues. Routledge.

Koshul, B. B. (2007). Muhammad Iqbal: Islam, aesthetics and postcolonialism. Routledge.

Leaman, O. (2001). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.

Leaman, O. (1988). Averroes and his philosophy. Clarendon Press.

McGinnis, J., & Reisman, D. C. (Eds.). (2007). Classical Arabic philosophy: An anthology of sources. Hackett Publishing.

Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. SUNY Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of nature. Oxford University Press.

Sharif, M. M. (Ed.). (1963–1966). A history of Muslim philosophy (Vols. 1–2). Otto Harrassowitz.

van den Bergh, S. (Trans.). (1954). The incoherence of the incoherence by Ibn Rushd. Luzac & Co.

Zein, I. M. (2020). Islamic ethics and the global challenges. In Islamic ethics and character education (pp. 78–85). HBKU Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar