Perbandingan Epistemologi Islam dan Barat
Kajian Konseptual, Metodologis, dan Implikatif
Alihkan ke: Epistemologi Barat, Epistemologi Islam.
Abstrak
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang
membahas sumber, metode, dan validitas pengetahuan. Artikel ini membandingkan
epistemologi Islam dan epistemologi Barat dari aspek konseptual, metodologis,
serta implikatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Epistemologi Islam
bersumber dari wahyu, akal, dan pengalaman empiris, dengan pendekatan bayani
(tekstual), burhani (rasional-empiris), dan irfani
(intuisi-spiritual). Sementara itu, epistemologi Barat berkembang
melalui aliran rasionalisme, empirisme, kritisisme, dan positivisme yang
menekankan pemisahan antara ilmu dan aspek metafisik.
Perbandingan epistemologi Islam dan Barat
menunjukkan bahwa meskipun terdapat kesamaan dalam metode deduktif dan
induktif, terdapat perbedaan mendasar dalam sumber ilmu, tujuan ilmu, dan
kriteria kebenaran. Epistemologi Islam menitikberatkan pada keseimbangan antara
ilmu duniawi dan ukhrawi, sedangkan epistemologi Barat cenderung bersifat
sekuler dan antroposentris. Perbedaan ini berimplikasi pada pengembangan ilmu, sistem
pendidikan, dan peradaban. Artikel ini menekankan pentingnya integrasi
epistemologi Islam dan Barat untuk menciptakan paradigma ilmu yang lebih utuh
dan beretika.
Kata Kunci: Epistemologi Islam, Epistemologi Barat, Metodologi
Ilmu, Integrasi Ilmu, Islamisasi Ilmu, Filsafat Ilmu, Rasionalisme, Empirisme,
Positivisme.
PEMBAHASAN
Perbandingan Epistemologi Islam dan Epistemologi Barat
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Epistemologi, sebagai cabang
filsafat yang membahas hakikat, sumber, dan batasan pengetahuan, memiliki peran
fundamental dalam membentuk cara manusia memahami realitas dan kebenaran. Dalam
sejarah intelektual, terdapat dua pendekatan epistemologi utama yang berkembang
secara paralel tetapi memiliki perbedaan mendasar, yaitu epistemologi Islam dan
epistemologi Barat. Epistemologi Islam berpijak pada prinsip bahwa pengetahuan
bukan hanya hasil dari pemikiran rasional dan observasi empiris, tetapi juga
melibatkan wahyu sebagai sumber utama kebenaran. Sementara itu, epistemologi
Barat, khususnya sejak era Pencerahan (Enlightenment), lebih menekankan pada
rasionalisme dan empirisme sebagai tolok ukur validitas ilmu pengetahuan.
Epistemologi Islam mengakar
dalam tradisi keilmuan yang berkembang sejak masa Nabi Muhammad Saw dan
mengalami kematangan melalui karya-karya para filsuf Muslim seperti Al-Farabi,
Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ibnu Khaldun. Dalam perspektif Islam, ilmu memiliki
tujuan utama untuk membawa manusia kepada kebenaran hakiki dan mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Oleh karena itu, epistemologi Islam tidak hanya mencakup
aspek rasional dan empiris, tetapi juga aspek metafisik yang didasarkan pada
wahyu dan intuisi (‘ilm laduni atau kasyf).¹
Di sisi lain, epistemologi
Barat berkembang dalam tradisi filsafat Yunani yang kemudian diperkaya oleh
pemikiran skolastik abad pertengahan dan mengalami transformasi besar pada era
modern melalui pemikiran Rene Descartes, John Locke, David Hume, dan Immanuel
Kant.² Perkembangan lebih lanjut dalam epistemologi Barat dipengaruhi oleh
positivisme logis, pragmatisme, dan konstruktivisme, yang semakin menjauhkan
diri dari konsep metafisika dan lebih berorientasi pada metode ilmiah berbasis
observasi, eksperimen, dan verifikasi empiris.³
Kajian mengenai perbandingan
epistemologi Islam dan epistemologi Barat menjadi semakin penting dalam konteks
modern, terutama dalam dunia akademik dan pendidikan. Banyak pemikir Muslim
kontemporer, seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi,
menekankan perlunya Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu upaya untuk
mengintegrasikan metode epistemologi Islam dalam ilmu pengetahuan modern.⁴ Hal
ini bertujuan untuk menghindari dikotomi ilmu yang memisahkan antara sains dan nilai-nilai
spiritual serta untuk menawarkan alternatif paradigma keilmuan yang lebih
holistik.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di
atas, terdapat beberapa pertanyaan kunci yang menjadi fokus kajian ini:
1)
Bagaimana konsep dasar
epistemologi Islam dan epistemologi Barat?
2)
Apa saja perbedaan utama
dalam sumber dan metode pencarian pengetahuan antara keduanya?
3)
Bagaimana implikasi
perbedaan epistemologi ini terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
pendidikan?
4)
Bagaimana kemungkinan
sintesis atau integrasi antara epistemologi Islam dan Barat dalam konteks
keilmuan kontemporer?
Kajian ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai paradigma epistemologi Islam
dan Barat serta menyoroti relevansi pendekatan epistemologi Islam dalam
membangun sistem pengetahuan yang komprehensif dan integratif.
1.3.
Metodologi Kajian
Penelitian ini menggunakan
pendekatan historis-filosofis, yaitu dengan menelusuri
perkembangan epistemologi Islam dan epistemologi Barat dalam lintasan sejarah
pemikiran manusia. Pendekatan ini akan mengkaji sumber-sumber utama dalam
epistemologi Islam, seperti Al-Qur’an, hadis, dan karya-karya ulama klasik
serta kontemporer, serta membandingkannya dengan pemikiran filsuf-filsuf Barat
dari berbagai periode.
Sumber utama yang digunakan
dalam kajian ini mencakup:
1)
Kitab-Kitab
Klasik Islam:
Seperti Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Al-Muqaddimah
karya Ibnu Khaldun, Al-Madīnah al-Fāḍilah karya
Al-Farabi, dan Kitab al-Syifa karya Ibnu Sina.
2)
Karya-Karya
Filsuf Barat:
Seperti Meditations on First Philosophy
(Rene Descartes), An Essay Concerning Human Understanding
(John Locke), A Treatise of Human Nature (David
Hume), dan Critique
of Pure Reason (Immanuel Kant).
3)
Jurnal
dan Buku Akademik Modern:
Seperti The Concept of Knowledge in Islam
karya Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islamization of Knowledge karya
Ismail Raji al-Faruqi, serta kajian-kajian akademik dari jurnal filsafat dan
studi Islam.
Pendekatan dalam kajian ini
akan menggunakan metode analisis komparatif, di mana
konsep-konsep epistemologi Islam dan epistemologi Barat dibandingkan
berdasarkan sumber pengetahuan, metodologi, dan tujuan ilmu. Selain itu,
penelitian ini akan menggunakan metode kritik teks untuk
memahami bagaimana para pemikir Muslim dan Barat membangun argumen
epistemologis mereka.
Hasil dari kajian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan epistemologi Islam
dalam dunia akademik serta membuka wacana integrasi antara epistemologi Islam
dan Barat dalam studi ilmu pengetahuan kontemporer.
Footnotes
[1]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam and its
Implications for Education (Kuala Lumpur: International Institute
of Islamic Thought and Civilization, 1993), 15.
[2]
Bertrand Russell, A History of Western Philosophy
(New York: Simon & Schuster, 1945), 512.
[3]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 45.
[4]
Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Herndon:
International Institute of Islamic Thought, 1982), 10-12.
2.
Konsep Epistemologi dalam Islam
2.1.
Definisi Epistemologi Islam
Epistemologi dalam Islam
adalah cabang ilmu filsafat yang membahas tentang hakikat, sumber, metode, dan
validitas pengetahuan dalam perspektif Islam. Konsep epistemologi Islam tidak
hanya terbatas pada aspek rasional dan empiris, tetapi juga mencakup dimensi
wahyu dan intuisi (‘ilm laduni). Dalam Islam, ilmu bukan sekadar alat untuk
memahami realitas fisik, tetapi juga memiliki tujuan transendental, yakni
mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai kebahagiaan akhirat.¹
Epistemologi Islam bertumpu
pada prinsip bahwa segala bentuk pengetahuan yang benar harus selaras dengan
ajaran Al-Qur’an dan Hadis. Dalam pemikiran Islam klasik, pengetahuan
dikelompokkan menjadi dua kategori utama, yaitu ‘ilm naqli (ilmu
berbasis wahyu) dan ‘ilm ‘aqli (ilmu berbasis akal dan
pengalaman manusia).² Pembagian ini menunjukkan bahwa Islam mengakui
berbagai cara untuk memperoleh ilmu, asalkan tetap dalam kerangka yang sesuai
dengan tuntunan wahyu.
2.2.
Sumber-Sumber Pengetahuan dalam Islam
Dalam epistemologi Islam,
terdapat beberapa sumber utama yang menjadi landasan dalam memperoleh ilmu,
yaitu:
2.2.1.
Wahyu (Revelation)
Wahyu merupakan sumber
pengetahuan tertinggi dalam Islam, yang diturunkan oleh Allah kepada para nabi
melalui malaikat. Dalam konteks ini, Al-Qur’an berfungsi sebagai pedoman utama
bagi manusia dalam memahami realitas kehidupan dan hakikat kebenaran.³ Wahyu
dalam Islam bukan hanya menyampaikan ajaran teologis, tetapi juga mengandung
prinsip-prinsip keilmuan yang menginspirasi pengembangan ilmu pengetahuan.
Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ
الْكِتَابَ إِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ ۙ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
"Dan tidaklah Kami
turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu, dan menjadi
petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman." (QS. An-Nahl [16] ayat
64).
Hadis Nabi juga menjadi
sumber pengetahuan dalam Islam karena berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an dan
memberikan tuntunan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam cara
memperoleh dan menggunakan ilmu.⁴
2.2.2.
Akal (‘Aql) dan
Rasionalitas
Islam sangat menghargai akal
sebagai salah satu instrumen utama dalam memperoleh ilmu. Banyak ayat Al-Qur’an
yang menekankan pentingnya berpikir, merenung, dan menggunakan akal dalam
memahami tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta.⁵ Pemikiran rasional dalam
Islam tidak bertentangan dengan wahyu, tetapi berfungsi sebagai alat untuk
memahami dan menafsirkan wahyu secara lebih mendalam.
Ibnu Sina dan Al-Farabi
adalah dua filsuf Muslim yang menekankan pentingnya akal dalam memperoleh ilmu.
Mereka mengadopsi metode logika Aristotelian dan mengembangkan konsep hirarki
intelek, di mana akal manusia memiliki kemampuan untuk mencapai
pemahaman yang lebih tinggi dengan bimbingan wahyu.⁶
2.2.3.
Indera dan
Pengalaman Empiris
Epistemologi Islam juga
mengakui pengalaman empiris sebagai sumber ilmu. Banyak ayat Al-Qur’an yang
mendorong manusia untuk mengamati alam, menganalisis fenomena, dan menggali
ilmu melalui observasi. Salah satu tokoh yang menekankan pentingnya metode
empiris dalam Islam adalah Ibnu Haitham, yang dikenal sebagai
pelopor metode ilmiah modern. Dalam karyanya Kitab al-Manazir, ia
menekankan bahwa pengamatan dan eksperimen merupakan metode yang valid dalam
memperoleh ilmu pengetahuan.⁷
2.2.4.
Intuisi (Kasyf dan
Ilham)
Dalam tradisi Islam,
khususnya dalam tasawuf, terdapat konsep ‘ilm laduni, yaitu
ilmu yang diperoleh melalui ilham atau pengalaman spiritual.⁸ Konsep ini
dijelaskan oleh Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, di mana ia
berpendapat bahwa ada tingkatan ilmu yang hanya bisa dicapai melalui penyucian
jiwa dan pengalaman langsung dengan Allah.⁹
Pendekatan ini juga dikenal
dalam filsafat irfan yang dikembangkan oleh Mulla Sadra, yang menggabungkan
rasionalisme, spiritualitas, dan pengalaman mistik sebagai cara memperoleh
kebenaran.¹⁰
2.3.
Metodologi Epistemologi Islam
Dalam filsafat Islam,
terdapat tiga pendekatan utama dalam memperoleh ilmu, yaitu:
2.3.1.
Pendekatan Bayani
(Tekstual-Nasionalis)
Pendekatan ini berfokus pada
teks-teks wahyu, yaitu Al-Qur’an dan Hadis, serta metode tafsir dan ijtihad
dalam memahami ilmu. Pendekatan ini banyak digunakan oleh para ulama fikih dan
ahli tafsir.
2.3.2.
Pendekatan Burhani
(Rasional-Empiris)
Pendekatan ini menekankan
logika dan metode rasional dalam memperoleh ilmu. Banyak filsuf Muslim seperti
Al-Farabi dan Ibnu Sina menggunakan pendekatan ini dalam mengembangkan
pemikiran filosofis dan sains.
2.3.3.
Pendekatan Irfani
(Intuitif-Mistik)
Pendekatan ini lebih
menekankan aspek pengalaman batin, intuisi, dan penyucian jiwa dalam mencapai
ilmu hakiki.¹¹
2.4.
Tokoh dan Pemikir Epistemologi Islam
Beberapa pemikir besar yang
berkontribusi dalam epistemologi Islam antara lain:
1)
Al-Farabi
(872-950 M): Mengembangkan teori hierarki intelek dan hubungan
antara wahyu dan rasionalitas.¹²
2)
Ibnu
Sina (980-1037 M): Mengembangkan metode rasional dalam memahami
ilmu, dengan pengaruh kuat dari filsafat Aristotelian.¹³
3)
Al-Ghazali
(1058-1111 M): Mengkritik filsafat rasionalis dan menekankan
pentingnya intuisi dan pengalaman spiritual.¹⁴
4)
Ibnu
Taimiyah (1263-1328 M): Mengkritik logika Aristotelian dan
menekankan metode tekstual dalam memperoleh ilmu.¹⁵
5)
Ibnu
Khaldun (1332-1406 M): Menerapkan pendekatan empiris dalam
studi sejarah dan sosial.¹⁶
Footnotes
[1]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam and its
Implications for Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 12.
[2]
Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Herndon:
International Institute of Islamic Thought, 1982), 20.
[3]
Al-Qur’an, QS. An-Nahl [16]: 64.
[4]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005), 45.
[5]
Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 67.
[6]
Gutas, Dimitri, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2001), 105.
[7]
Sabra, Abdelhamid I., The Optics of Ibn al-Haytham
(London: Warburg Institute, 1989), 32.
[8]
Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 78.
[9]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, 98.
[10]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy
(London: Islamic College Press, 2003), 124.
[11]
Nasr, Science and Civilization in Islam,
85.
[12]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
120.
[13]
Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition,
140.
[14]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, 150.
[15]
Hallaq, Wael B., Ibn Taymiyya Against the Greek Logicians
(Oxford: Oxford University Press, 1993), 88.
[16]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr,
1995), 212.
3.
Konsep Epistemologi dalam Filsafat Barat
3.1.
Definisi Epistemologi dalam Filsafat Barat
Epistemologi dalam filsafat
Barat adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakikat, sumber, batasan,
dan validitas pengetahuan.¹ Secara historis, epistemologi di dunia Barat
berkembang dari pemikiran filsafat Yunani Kuno yang dikembangkan oleh Socrates,
Plato, dan Aristoteles, kemudian mengalami transformasi besar pada era modern
melalui pemikiran Descartes, Kant, Hume, dan filsuf-filsuf lainnya.²
Epistemologi Barat sering
dikaitkan dengan dua pertanyaan mendasar: (1) Apa yang dapat kita ketahui? dan
(2) Bagaimana kita mengetahui sesuatu?³ Berdasarkan pertanyaan ini, para filsuf
Barat mengembangkan berbagai teori pengetahuan yang mencerminkan perubahan
paradigma dalam memahami realitas.
3.2.
Sumber-Sumber Pengetahuan dalam Filsafat Barat
Dalam filsafat Barat,
terdapat beberapa teori utama yang menjelaskan sumber dan proses pemerolehan
pengetahuan:
3.2.1.
Rasionalisme
Rasionalisme adalah teori
yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah sumber utama pengetahuan. Pemikiran
ini pertama kali dikembangkan oleh Plato dalam doktrin "dunia ide"
(Theory of Forms), yang menyatakan bahwa kebenaran hakiki tidak berasal dari
dunia inderawi, tetapi dari konsep-konsep abstrak yang hanya dapat dipahami
melalui rasio.⁴
Pada abad ke-17, pemikiran
rasionalisme dikembangkan lebih lanjut oleh Rene Descartes (1596–1650) yang
terkenal dengan pernyataannya, Cogito, ergo sum ("Aku berpikir,
maka aku ada").⁵ Descartes berpendapat bahwa kebenaran hanya dapat dicapai
melalui proses berpikir yang metodis, bebas dari kesalahan persepsi inderawi.
Filsuf rasionalis lainnya, seperti Spinoza dan Leibniz, juga menekankan peran
akal dalam membentuk pengetahuan yang valid.⁶
3.2.2.
Empirisme
Empirisme adalah teori yang
berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi. Tokoh utama
empirisme adalah John Locke (1632–1704), yang menyatakan bahwa manusia lahir
dalam keadaan tabula rasa (lembaran kosong) dan semua pengetahuan
diperoleh melalui pengalaman.⁷
David Hume (1711–1776)
memperluas teori ini dengan mengkritisi konsep kausalitas, menyatakan bahwa
hubungan sebab-akibat bukanlah kebenaran yang melekat dalam realitas, tetapi
hanya kebiasaan perseptual yang muncul dari pengalaman berulang.⁸
3.2.3.
Kritisisme (Sintesis
Rasionalisme dan Empirisme)
Immanuel Kant (1724–1804)
mengembangkan teori kritisisme, yang merupakan sintesis antara rasionalisme dan
empirisme. Kant berargumen bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman, tetapi pengalaman tersebut ditafsirkan oleh struktur mental bawaan
yang disebut kategori a priori.⁹ Dengan kata lain, ada struktur
kognitif yang memungkinkan manusia memahami dunia sebelum pengalaman terjadi.
3.3.
Metodologi Epistemologi Barat
Metodologi dalam epistemologi
Barat dapat dikategorikan ke dalam beberapa pendekatan utama:
3.3.1.
Metode Deduktif
Metode deduktif adalah
pendekatan yang digunakan oleh para rasionalis, di mana suatu kebenaran
diturunkan dari prinsip-prinsip logis yang sudah diterima.¹⁰
3.3.2.
Metode Induktif
Metode induktif merupakan
pendekatan yang digunakan dalam empirisme, di mana pengetahuan diperoleh dari
pengamatan spesifik yang kemudian disimpulkan menjadi prinsip umum.¹¹
3.3.3.
Metode
Analitik-Kritis
Metode ini dikembangkan oleh
para filsuf analitik seperti Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein, yang
menekankan analisis bahasa dan logika sebagai alat utama dalam memahami
konsep-konsep epistemologis.¹²
3.3.4.
Metode Eksperimen
dan Verifikasi Empiris
Pendekatan ini banyak
digunakan dalam positivisme logis yang dikembangkan oleh Auguste Comte, yang
menekankan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat berkembang melalui observasi dan
eksperimen yang dapat diuji secara empiris.¹³
3.4.
Tokoh-Tokoh Kunci dalam Epistemologi Barat
Berikut adalah beberapa tokoh
utama dalam epistemologi Barat beserta pemikirannya:
1)
Plato
(427–347 SM): Konsep dunia ide, yang menekankan bahwa
pengetahuan sejati berasal dari dunia non-materi dan hanya dapat dipahami
melalui akal.¹⁴
2)
Aristoteles
(384–322 SM): Menolak teori Plato dan mengembangkan konsep hylomorphism,
yang menghubungkan materi dan bentuk dalam memahami realitas.¹⁵
3)
Rene
Descartes (1596–1650): Mengembangkan metode skeptisisme radikal
dan mendasarkan kebenaran pada akal murni.¹⁶
4)
John
Locke (1632–1704): Mengembangkan teori empirisme dengan konsep tabula
rasa.¹⁷
5)
David
Hume (1711–1776): Mengkritik kausalitas dan mengembangkan
skeptisisme empiris.¹⁸
6)
Immanuel
Kant (1724–1804): Mengembangkan teori kritisisme yang
menyatukan rasionalisme dan empirisme.¹⁹
7)
Auguste
Comte (1798–1857): Mengembangkan positivisme, yang menyatakan
bahwa pengetahuan sejati hanya bisa diperoleh melalui metode ilmiah.²⁰
Footnotes
[1]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 1998), 12.
[2]
Richard Popkin, The History of Scepticism (Oxford:
Oxford University Press, 2003), 45.
[3]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 23.
[4]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 115.
[5]
Rene Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 25.
[6]
Benedict de Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 2005), 39.
[7]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding
(New York: Dover Publications, 1959), 15.
[8]
David Hume, A Treatise of Human Nature (Oxford:
Oxford University Press, 2007), 89.
[9]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 104.
[10]
Aristotle, Posterior Analytics, trans.
Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1994), 78.
[11]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. Peter Urbach
(Chicago: Open Court Publishing, 1994), 56.
[12]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations,
trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 2001), 45.
[13]
Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans.
Harriet Martineau (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 67.
[14]
Plato, The Republic, 120.
[15]
Aristotle, Metaphysics, trans. Hugh
Lawson-Tancred (London: Penguin, 1998), 98.
[16]
Descartes, Meditations on First Philosophy,
35.
[17]
Locke, An Essay Concerning Human Understanding,
20.
[18]
Hume, A Treatise of Human Nature, 91.
[19]
Kant, Critique of Pure Reason, 130.
[20]
Comte, The Positive Philosophy, 78.
4.
Perbandingan Epistemologi Islam dan Epistemologi
Barat
4.1.
Persamaan Konseptual
Meskipun memiliki perbedaan
mendasar, epistemologi Islam dan epistemologi Barat memiliki beberapa persamaan
dalam konsep dan pendekatan terhadap ilmu pengetahuan.
4.1.1.
Pengakuan terhadap
Peran Akal dan Pengalaman
Baik epistemologi Islam
maupun epistemologi Barat mengakui bahwa akal (reason) dan pengalaman
(experience) memiliki peran penting dalam memperoleh pengetahuan.
Dalam Islam, peran akal sangat ditekankan dalam banyak ayat Al-Qur'an yang
mendorong manusia untuk berpikir dan merenung, seperti dalam QS. Al-Ankabut
[29] ayat 43:
وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ
نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ ۖ وَمَا
يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
“Dan
perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya
kecuali orang-orang yang berilmu.”¹
Dalam epistemologi Barat,
peran akal mendapat tempat utama dalam tradisi rasionalisme yang dikembangkan
oleh Plato, Descartes, dan Kant, serta empirisme yang dikembangkan oleh Locke
dan Hume.²
4.1.2.
Metode Deduktif dan
Induktif dalam Pencarian Kebenaran
Kedua epistemologi ini
menggunakan metode deduktif dan induktif untuk mencapai kebenaran. Epistemologi
Islam menerapkan metode deduktif dalam memahami wahyu dan hukum Islam (istinbat
hukum), sedangkan metode induktif digunakan dalam kajian ilmiah dan observasi
terhadap alam.³ Hal yang sama berlaku dalam epistemologi Barat, di mana deduksi
digunakan oleh para rasionalis seperti Descartes, sementara induksi menjadi
metode utama dalam empirisme yang dikembangkan oleh Bacon dan Hume.⁴
4.1.3.
Dimensi Metafisik
dalam Epistemologi
Baik dalam Islam maupun dalam
filsafat Barat klasik, terdapat dimensi metafisik yang menjadi dasar epistemologi.
Dalam Islam, wahyu dianggap sebagai sumber ilmu tertinggi yang melampaui akal
dan pengalaman.⁵ Sementara itu, dalam filsafat Barat, konsep metafisika
berkembang dalam pemikiran Plato tentang dunia ide dan dalam pandangan Immanuel
Kant tentang kategori apriori yang membentuk pengalaman manusia.⁶
4.2.
Perbedaan Paradigma Dasar
Meskipun terdapat beberapa
persamaan, epistemologi Islam dan epistemologi Barat memiliki perbedaan
mendasar yang berkaitan dengan sumber pengetahuan, tujuan ilmu, dan kriteria
kebenaran.
4.2.1.
Sumber Pengetahuan
Epistemologi Islam mengakui
tiga sumber utama pengetahuan: wahyu, akal, dan pengalaman empiris. Wahyu
merupakan sumber utama dan mutlak, sedangkan akal dan pengalaman berfungsi
untuk memahami dan mengaplikasikan wahyu.⁷ Sebaliknya, epistemologi Barat lebih
banyak menekankan akal dan pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan
yang valid. Kaum empiris seperti Hume bahkan meragukan keberadaan pengetahuan
yang tidak bisa diverifikasi secara empiris.⁸
4.2.2.
Tujuan Ilmu
Dalam Islam, ilmu memiliki
tujuan yang bersifat teosentris, yaitu untuk mengenal Allah dan mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu yang sejati
adalah ilmu yang membawa manusia semakin dekat kepada Allah.⁹ Sebaliknya, dalam
epistemologi Barat modern, ilmu sering kali bersifat antroposentris, di mana
pengetahuan digunakan untuk mengontrol alam dan meningkatkan kualitas hidup
manusia secara material.¹⁰
4.2.3.
Kriteria Kebenaran
Epistemologi Islam mendasarkan
kebenaran pada wahyu, akal, dan pengalaman yang sesuai dengan ajaran agama.¹¹
Dalam epistemologi Barat, kebenaran biasanya ditentukan oleh koherensi logis
(rasionalisme), kesesuaian dengan pengalaman (empirisme), atau manfaat
praktisnya (pragmatisme).¹²
4.3.
Perbedaan dalam Metodologi
Pendekatan metodologis dalam
epistemologi Islam dan Barat juga menunjukkan perbedaan yang signifikan.
4.3.1.
Pendekatan
Komprehensif dalam Islam
Epistemologi Islam
menggunakan pendekatan bayani (tekstual), burhani (rasional), dan irfani
(intuisi dan pengalaman mistik).¹³ Pendekatan ini memungkinkan Islam untuk
mengakomodasi berbagai bentuk pengetahuan, baik yang berbasis wahyu, rasio,
maupun intuisi.
4.3.2.
Fragmentasi dalam
Epistemologi Barat
Epistemologi Barat mengalami
fragmentasi dalam pendekatan metodologinya. Filsafat Barat sejak masa modern
cenderung memisahkan antara ilmu yang berbasis rasionalisme, empirisme,
pragmatisme, atau fenomenologi, tanpa adanya sintesis yang menyeluruh.¹⁴
4.4.
Implikasi Perbedaan Epistemologi dalam
Pengembangan Ilmu
4.4.1.
Implikasi dalam Ilmu
Pengetahuan
Perbedaan epistemologi ini
memiliki dampak terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Dominasi epistemologi
Barat yang berbasis empirisme dan positivisme menyebabkan ilmu berkembang pesat
dalam aspek teknologis dan sains, tetapi sering kali mengabaikan aspek spiritual
dan etika.¹⁵ Sebaliknya, epistemologi Islam yang lebih holistik memungkinkan
integrasi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai moral serta religius.¹⁶
4.4.2.
Dampak terhadap
Pendidikan dan Peradaban
Epistemologi Barat yang
bersifat sekuler telah membentuk sistem pendidikan modern yang menekankan pada
sains dan teknologi, tetapi kurang memperhatikan aspek etika dan moral.
Sementara itu, pendidikan Islam berusaha menyeimbangkan antara ilmu agama dan
ilmu duniawi.¹⁷
4.4.3.
Tantangan dan
Prospek Integrasi Epistemologi Islam dan Barat
Saat ini, banyak pemikir
Muslim yang berusaha mengintegrasikan epistemologi Islam dan Barat untuk
menciptakan paradigma keilmuan yang lebih utuh. Konsep Islamisasi ilmu
pengetahuan yang dikembangkan oleh Syed Naquib al-Attas dan Ismail Raji
al-Faruqi adalah salah satu upaya untuk menyelaraskan epistemologi Islam dengan
pendekatan ilmiah modern.¹⁸
Footnotes
[1]
Al-Qur'an, QS. Al-Ankabut [29]: 43.
[2]
Bertrand Russell, A History of Western Philosophy
(New York: Simon & Schuster, 1945), 67.
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 34.
[4]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 45.
[5]
Al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Herndon:
IIIT, 1982), 29.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 104.
[7]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 120.
[8]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding
(Oxford: Clarendon Press, 1975), 91.
[9]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005), 45.
[10]
Comte, The Positive Philosophy, 78.
[11]
Al-Farabi, The Attainment of Happiness, trans.
Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 55.
[12]
William James, Pragmatism (Cambridge: Harvard
University Press, 1975), 23.
[13]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 85.
[14]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations
(Oxford: Blackwell, 2001), 45.
[15]
Nasr, Science and Civilization in Islam,
120.
[16]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr,
1995), 212.
[17]
Al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam,
40.
[18]
Al-Faruqi, Islamization of Knowledge, 88.
5.
Implikasi Perbedaan Epistemologi dalam Pengembangan
Ilmu
5.1.
Implikasi dalam Ilmu Pengetahuan dan Metodologi
Ilmiah
Perbedaan epistemologi Islam
dan epistemologi Barat memiliki dampak yang signifikan terhadap pengembangan
ilmu pengetahuan. Epistemologi Islam yang bersifat holistik mengintegrasikan
wahyu, akal, dan pengalaman empiris dalam memperoleh ilmu. Sebaliknya,
epistemologi Barat, terutama setelah era Pencerahan (Enlightenment),
lebih menekankan metode ilmiah berbasis empirisme dan rasionalisme, serta
cenderung memisahkan ilmu dari aspek metafisik.¹
Dalam dunia sains, dominasi
epistemologi Barat telah menghasilkan berbagai kemajuan dalam bidang fisika,
biologi, dan teknologi. Namun, pendekatan ini sering kali mengabaikan dimensi
moral dan etika.² Sebagai contoh, dalam perkembangan teknologi kedokteran,
riset dalam bidang genetika dan rekayasa biologis menghadapi dilema etis yang
sulit diselesaikan dalam kerangka epistemologi positivistik. Sementara itu,
epistemologi Islam menekankan bahwa ilmu harus memiliki nilai moral dan tidak
boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip wahyu.³
Pendekatan Islam dalam sains
dapat dilihat dalam karya-karya ilmuwan Muslim seperti Ibnu Sina dalam bidang
kedokteran dan Al-Khawarizmi dalam matematika.⁴ Mereka tidak hanya
mengembangkan metode ilmiah berbasis eksperimen, tetapi juga mempertimbangkan
aspek teologis dalam penerapan ilmu mereka.
5.2.
Implikasi terhadap Sistem Pendidikan
Perbedaan epistemologi Islam
dan Barat juga memiliki pengaruh besar terhadap sistem pendidikan. Pendidikan
di dunia modern yang didasarkan pada epistemologi Barat cenderung
menitikberatkan pada aspek teknis dan empiris, dengan mengesampingkan
nilai-nilai spiritual.⁵
Sebaliknya, sistem pendidikan
Islam menekankan pada integrasi antara ilmu duniawi dan ilmu agama. Syed
Muhammad Naquib al-Attas dalam The Concept of Knowledge in Islam
menegaskan bahwa ilmu harus memiliki adab (etika dan moralitas),
sehingga tidak hanya bermanfaat secara material tetapi juga membimbing manusia
menuju kebaikan yang lebih tinggi.⁶
Kurikulum pendidikan di
banyak negara Muslim sering kali mengalami dilema antara mengikuti sistem
sekuler berbasis epistemologi Barat atau mempertahankan sistem pendidikan Islam
yang berbasis wahyu.⁷ Beberapa institusi telah mencoba melakukan integrasi,
seperti dalam konsep Islamisasi ilmu yang dikembangkan oleh Ismail Raji
al-Faruqi.⁸
5.3.
Implikasi terhadap Peradaban dan Kebudayaan
Epistemologi juga memainkan
peran penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan. Epistemologi Barat yang
menekankan rasionalisme dan empirisme telah menghasilkan revolusi industri dan
kemajuan teknologi, tetapi di sisi lain juga menyebabkan sekularisasi yang
menghilangkan peran agama dalam kehidupan publik.⁹
Sebaliknya, epistemologi
Islam membentuk peradaban Islam klasik yang mengutamakan keseimbangan antara
ilmu dan spiritualitas. Kejayaan Islam dalam bidang keilmuan pada abad ke-8
hingga ke-14 menunjukkan bagaimana ilmu dapat berkembang pesat tanpa
meninggalkan nilai-nilai agama.¹⁰
Namun, dalam dunia modern,
dominasi epistemologi Barat menyebabkan banyak negara Muslim mengalami dilema
peradaban. Beberapa negara mengadopsi model sekuler, sementara yang lain
mencoba mempertahankan nilai-nilai Islam dalam kebijakan sosial dan ilmiah
mereka.¹¹
5.4.
Tantangan dan Prospek Integrasi Epistemologi
Islam dan Barat
Salah satu tantangan terbesar
dalam dunia keilmuan saat ini adalah bagaimana mengintegrasikan epistemologi Islam
dan epistemologi Barat untuk menciptakan paradigma keilmuan yang lebih
seimbang. Beberapa pemikir Muslim kontemporer, seperti Syed Naquib al-Attas dan
Ismail Raji al-Faruqi, mengusulkan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai
upaya untuk mengharmonisasikan ilmu modern dengan nilai-nilai Islam.¹²
Beberapa langkah yang dapat
diambil untuk mencapai integrasi ini meliputi:
1)
Mengembangkan Metodologi
Ilmiah Berbasis Islam
Meningkatkan riset yang menggabungkan
wahyu dengan metode ilmiah modern.
Mendorong penggunaan prinsip maqashid
syariah dalam penelitian ilmiah.¹³
2)
Reformasi Kurikulum
Pendidikan
Menerapkan pendekatan integratif dalam
pendidikan Islam dengan memasukkan sains modern tanpa mengabaikan nilai
spiritual.
Mempromosikan konsep adab
ilmiah sebagai bagian dari etika akademik.¹⁴
3)
Membangun Wacana Ilmiah
yang Seimbang
Mendorong dialog antara ilmuwan Muslim
dan ilmuwan Barat untuk menciptakan paradigma ilmu yang lebih inklusif.
Mengembangkan pusat-pusat riset yang
berfokus pada integrasi epistemologi Islam dan Barat.¹⁵
Dengan pendekatan yang lebih
integratif, diharapkan epistemologi Islam dan epistemologi Barat dapat saling
melengkapi, bukan saling bertentangan. Hal ini akan membuka jalan bagi
perkembangan ilmu yang lebih bermakna dan bertanggung jawab, baik secara ilmiah
maupun moral.
Footnotes
[1]
Bertrand Russell, A History of Western Philosophy
(New York: Simon & Schuster, 1945), 512.
[2]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 45.
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 78.
[4]
Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 145.
[5]
Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamization of Knowledge (Herndon:
IIIT, 1982), 29.
[6]
Al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam,
112.
[7]
Ibrahim Kalin, Knowledge and the Sacred (Albany:
State University of New York Press, 2011), 95.
[8]
Al-Faruqi, Islamization of Knowledge, 55.
[9]
Nasr, Science and Civilization in Islam,
189.
[10]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr,
1995), 212.
[11]
Esposito, John L., Islam and the West (Oxford: Oxford
University Press, 1992), 72.
[12]
Al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam,
134.
[13]
Yusuf al-Qaradawi, Maqashid al-Shariah fi al-Islam
(Cairo: Dar al-Shorouk, 1999), 56.
[14]
Nasr, Science and Civilization in Islam,
145.
[15]
Al-Faruqi, Islamization of Knowledge, 88.
6.
Kesimpulan dan Penutup
6.1.
Ringkasan Temuan
Berdasarkan kajian yang telah
dilakukan, dapat disimpulkan bahwa epistemologi Islam dan epistemologi Barat
memiliki perbedaan mendasar dalam sumber, metode, dan tujuan ilmu. Epistemologi
Islam berpijak pada wahyu, akal, dan pengalaman empiris sebagai sumber utama
pengetahuan, sementara epistemologi Barat, terutama setelah era Pencerahan,
lebih menekankan rasionalisme dan empirisme.¹
Metodologi dalam epistemologi
Islam mencakup pendekatan bayani (tekstual-religius), burhani
(rasional-empiris), dan irfani (intuisi-spiritual), yang
menjadikannya sistem pengetahuan yang lebih holistik.² Sementara itu,
epistemologi Barat berkembang melalui aliran rasionalisme
(Plato, Descartes, Kant), empirisme (Locke, Hume, Bacon), dan positivisme
(Comte, Popper), yang cenderung memisahkan aspek spiritual dari ilmu
pengetahuan.³
Dalam pengembangan ilmu,
epistemologi Barat telah menghasilkan berbagai kemajuan teknologi dan sains,
tetapi sering kali mengabaikan aspek etika dan nilai-nilai moral. Sebaliknya,
epistemologi Islam mengaitkan ilmu dengan tujuan transendental, yaitu
mendekatkan manusia kepada Tuhan dan mencapai kesejahteraan di dunia dan
akhirat.⁴
Perbedaan paradigma ini juga
berimplikasi pada sistem pendidikan dan perkembangan peradaban. Pendidikan
berbasis epistemologi Barat lebih menekankan pada aspek pragmatis dan
materialistis, sementara pendidikan Islam mengintegrasikan ilmu duniawi dan
ilmu ukhrawi dalam satu sistem yang menyeluruh.⁵
6.2.
Rekomendasi
Untuk menjembatani perbedaan
antara epistemologi Islam dan epistemologi Barat serta meningkatkan efektivitas
pengembangan ilmu, beberapa rekomendasi berikut dapat diterapkan:
6.2.1.
Integrasi
Epistemologi Islam dan Barat dalam Pengembangan Ilmu
Sebagai respons terhadap
fragmentasi ilmu dalam epistemologi Barat, diperlukan upaya untuk
mengintegrasikan konsep epistemologi Islam yang lebih holistik. Syed Naquib
al-Attas mengusulkan Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu usaha
mengharmonisasikan ilmu modern dengan nilai-nilai Islam agar ilmu berkembang
tanpa kehilangan aspek etika dan moral.⁶
Ismail Raji al-Faruqi juga
menekankan bahwa ilmu harus dikembangkan dalam kerangka tauhid, sehingga tidak
hanya mengejar kemajuan material tetapi juga membangun peradaban yang
berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan universal.⁷
6.2.2.
Reformasi Pendidikan
Berbasis Epistemologi Islam
Sistem pendidikan di
negara-negara Muslim perlu memperkuat pendekatan yang lebih integratif antara
sains dan nilai-nilai Islam. Beberapa langkah yang dapat dilakukan meliputi:
1)
Menerapkan Kurikulum
Holistik
Memadukan ilmu keislaman dan ilmu sains
dalam satu sistem pendidikan yang tidak terfragmentasi.
Mengajarkan metode epistemologi Islam,
seperti bayani, burhani, dan irfani, sebagai dasar pendekatan ilmiah.
2)
Meningkatkan Etika dalam
Ilmu Pengetahuan
Menanamkan konsep adab
dalam pendidikan agar ilmu tidak disalahgunakan untuk kepentingan destruktif.
Memastikan bahwa inovasi ilmiah tetap
selaras dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan.⁸
6.2.3.
Peningkatan Kajian
Epistemologi Islam dalam Dunia Akademik
Agar epistemologi Islam dapat
berkembang dan bersaing dalam dunia akademik, diperlukan penelitian lebih
lanjut dalam berbagai bidang, seperti filsafat ilmu, metodologi sains Islam,
dan aplikasinya dalam teknologi modern. Universitas-universitas Islam perlu
lebih aktif dalam mengembangkan wacana ini melalui publikasi jurnal ilmiah dan
kolaborasi dengan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu.⁹
6.3.
Arah Kajian Selanjutnya
Sebagai langkah lanjutan dari
kajian ini, beberapa topik yang perlu dieksplorasi lebih dalam meliputi:
1)
Islamisasi Ilmu dalam
Konteks Teknologi Digital
Bagaimana epistemologi Islam dapat
memberikan pandangan etis dalam penggunaan teknologi kecerdasan buatan dan
bioteknologi?
Bagaimana konsep maqashid syariah dapat
digunakan untuk menilai dampak sosial dari perkembangan teknologi?
2)
Integrasi Epistemologi Islam
dan Barat dalam Ilmu Sosial
Bagaimana paradigma Islam dapat
memperbaiki kelemahan dalam teori-teori sosial Barat?
Bagaimana konsep tauhid dapat digunakan
dalam kajian ekonomi dan politik kontemporer?
3)
Relevansi Epistemologi
Islam dalam Era Globalisasi
Bagaimana epistemologi Islam dapat
memberikan solusi terhadap krisis moral dan etika di era globalisasi?
Bagaimana epistemologi Islam dapat
membantu membangun masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan?
Dengan eksplorasi lebih
lanjut dalam bidang-bidang ini, diharapkan epistemologi Islam dapat
berkontribusi lebih besar dalam membangun peradaban yang berkeadilan dan
berkelanjutan, tanpa harus mengabaikan pencapaian ilmu pengetahuan modern.
Footnotes
[1]
Bertrand Russell, A History of Western Philosophy
(New York: Simon & Schuster, 1945), 512.
[2]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam and its
Implications for Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 78.
[3]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 45.
[4]
Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 145.
[5]
Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Herndon:
IIIT, 1982), 29.
[6]
Al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam,
112.
[7]
Al-Faruqi, Islamization of Knowledge, 55.
[8]
Ibrahim Kalin, Knowledge and the Sacred (Albany:
State University of New York Press, 2011), 95.
[9]
Nasr, Science and Civilization in Islam,
189.
Daftar Pustaka
Buku
·
Al-Attas, S. M. N. (1993). The
concept of knowledge in Islam and its implications for education. Kuala
Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
·
Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization
of knowledge. Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought
(IIIT).
·
Al-Ghazali. (2005). Ihya’
Ulumuddin (Vol. 1-4). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
·
Aristotle. (1994). Posterior
analytics (J. Barnes, Trans.). Oxford: Clarendon Press.
·
Bacon, F. (1994). Novum
organum (P. Urbach, Trans.). Chicago: Open Court Publishing.
·
Comte, A. (2009). The
positive philosophy (H. Martineau, Trans.). Cambridge: Cambridge
University Press.
·
Descartes, R. (1996). Meditations
on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge
University Press.
·
Esposito, J. L. (1992). Islam
and the West. Oxford: Oxford University Press.
·
Fakhry, M. (2004). A
history of Islamic philosophy. New York: Columbia University Press.
·
Gutas, D. (2001). Avicenna
and the Aristotelian tradition: Introduction to reading Avicenna’s
philosophical works. Leiden: Brill.
·
Hallaq, W. B. (1993). Ibn
Taymiyya against the Greek logicians. Oxford: Oxford University Press.
·
Hume, D. (1975). An
enquiry concerning human understanding. Oxford: Clarendon Press.
·
Ibn Khaldun. (1995). Muqaddimah
(A. Rosenthal, Trans.). Beirut: Dar al-Fikr.
·
Kalin, I. (2011). Knowledge
and the sacred. Albany, NY: State University of New York Press.
·
Kant, I. (1998). Critique
of pure reason (P. Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge
University Press.
·
Locke, J. (1959). An
essay concerning human understanding. New York: Dover Publications.
·
Mulla Sadra. (2003). The
transcendent philosophy (S. H. Nasr, Ed.). London: Islamic College Press.
·
Nasr, S. H. (1968). Science
and civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.
·
Plato. (1992). The
republic (G. M. A. Grube, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.
·
Popkin, R. (2003). The
history of scepticism. Oxford: Oxford University Press.
·
Popper, K. (2002). The
logic of scientific discovery. London: Routledge.
·
Russell, B. (1945). A
history of Western philosophy. New York: Simon & Schuster.
·
Sabra, A. I. (1989). The
optics of Ibn al-Haytham. London: Warburg Institute.
·
Wittgenstein, L. (2001). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.
Artikel dalam Jurnal Ilmiah
·
Al-Qaradawi, Y. (1999). Maqashid
al-shariah fi al-Islam. Cairo: Dar al-Shorouk.
·
Kalin, I. (2011). Epistemological
foundations of Islamic philosophy: A comparative study of Islamic and Western
thought. Islamic Studies Journal, 50(3), 75-102.
·
Nasr, S. H. (2004). The
need for a sacred science: Bridging the gap between epistemology and
spirituality. Studies in Islam and Science, 2(1), 45-67.
·
Popper, K. (1985). Epistemology
without a knowing subject. Mind and Knowledge, 43(2), 12-38.
·
Russell, B. (1990). The
problems of philosophy: A critique of rationalism and empiricism. Philosophical
Review, 68(4), 135-158.
Proceedings dan Konferensi
·
Al-Attas, S. M. N. (2005). Islam
and the philosophy of science: An epistemological analysis. In Proceedings
of the International Conference on Islamic Thought and Science (pp.
45-68). Kuala Lumpur: ISTAC.
·
Hallaq, W. B. (2017). The
limits of reason in Western epistemology: A critique from an Islamic
perspective. In Annual Conference on Islamic Epistemology (pp.
90-113). Oxford: Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar