Senin, 10 Maret 2025

Perbandingan Epistemologi Islam dan Epistemologi Barat

 Perbandingan Epistemologi Islam dan Barat

Kajian Konseptual, Metodologis, dan Implikatif


Alihkan ke: Epistemologi Barat, Epistemologi Islam.


Abstrak

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas sumber, metode, dan validitas pengetahuan. Artikel ini membandingkan epistemologi Islam dan epistemologi Barat dari aspek konseptual, metodologis, serta implikatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Epistemologi Islam bersumber dari wahyu, akal, dan pengalaman empiris, dengan pendekatan bayani (tekstual), burhani (rasional-empiris), dan irfani (intuisi-spiritual). Sementara itu, epistemologi Barat berkembang melalui aliran rasionalisme, empirisme, kritisisme, dan positivisme yang menekankan pemisahan antara ilmu dan aspek metafisik.

Perbandingan epistemologi Islam dan Barat menunjukkan bahwa meskipun terdapat kesamaan dalam metode deduktif dan induktif, terdapat perbedaan mendasar dalam sumber ilmu, tujuan ilmu, dan kriteria kebenaran. Epistemologi Islam menitikberatkan pada keseimbangan antara ilmu duniawi dan ukhrawi, sedangkan epistemologi Barat cenderung bersifat sekuler dan antroposentris. Perbedaan ini berimplikasi pada pengembangan ilmu, sistem pendidikan, dan peradaban. Artikel ini menekankan pentingnya integrasi epistemologi Islam dan Barat untuk menciptakan paradigma ilmu yang lebih utuh dan beretika.

Kata Kunci: Epistemologi Islam, Epistemologi Barat, Metodologi Ilmu, Integrasi Ilmu, Islamisasi Ilmu, Filsafat Ilmu, Rasionalisme, Empirisme, Positivisme.


PEMBAHASAN

Perbandingan Epistemologi Islam dan Epistemologi Barat


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Epistemologi, sebagai cabang filsafat yang membahas hakikat, sumber, dan batasan pengetahuan, memiliki peran fundamental dalam membentuk cara manusia memahami realitas dan kebenaran. Dalam sejarah intelektual, terdapat dua pendekatan epistemologi utama yang berkembang secara paralel tetapi memiliki perbedaan mendasar, yaitu epistemologi Islam dan epistemologi Barat. Epistemologi Islam berpijak pada prinsip bahwa pengetahuan bukan hanya hasil dari pemikiran rasional dan observasi empiris, tetapi juga melibatkan wahyu sebagai sumber utama kebenaran. Sementara itu, epistemologi Barat, khususnya sejak era Pencerahan (Enlightenment), lebih menekankan pada rasionalisme dan empirisme sebagai tolok ukur validitas ilmu pengetahuan.

Epistemologi Islam mengakar dalam tradisi keilmuan yang berkembang sejak masa Nabi Muhammad Saw dan mengalami kematangan melalui karya-karya para filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ibnu Khaldun. Dalam perspektif Islam, ilmu memiliki tujuan utama untuk membawa manusia kepada kebenaran hakiki dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Oleh karena itu, epistemologi Islam tidak hanya mencakup aspek rasional dan empiris, tetapi juga aspek metafisik yang didasarkan pada wahyu dan intuisi (‘ilm laduni atau kasyf).¹

Di sisi lain, epistemologi Barat berkembang dalam tradisi filsafat Yunani yang kemudian diperkaya oleh pemikiran skolastik abad pertengahan dan mengalami transformasi besar pada era modern melalui pemikiran Rene Descartes, John Locke, David Hume, dan Immanuel Kant.² Perkembangan lebih lanjut dalam epistemologi Barat dipengaruhi oleh positivisme logis, pragmatisme, dan konstruktivisme, yang semakin menjauhkan diri dari konsep metafisika dan lebih berorientasi pada metode ilmiah berbasis observasi, eksperimen, dan verifikasi empiris.³

Kajian mengenai perbandingan epistemologi Islam dan epistemologi Barat menjadi semakin penting dalam konteks modern, terutama dalam dunia akademik dan pendidikan. Banyak pemikir Muslim kontemporer, seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi, menekankan perlunya Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu upaya untuk mengintegrasikan metode epistemologi Islam dalam ilmu pengetahuan modern.⁴ Hal ini bertujuan untuk menghindari dikotomi ilmu yang memisahkan antara sains dan nilai-nilai spiritual serta untuk menawarkan alternatif paradigma keilmuan yang lebih holistik.

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa pertanyaan kunci yang menjadi fokus kajian ini:

1)                  Bagaimana konsep dasar epistemologi Islam dan epistemologi Barat?

2)                  Apa saja perbedaan utama dalam sumber dan metode pencarian pengetahuan antara keduanya?

3)                  Bagaimana implikasi perbedaan epistemologi ini terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan?

4)                  Bagaimana kemungkinan sintesis atau integrasi antara epistemologi Islam dan Barat dalam konteks keilmuan kontemporer?

Kajian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai paradigma epistemologi Islam dan Barat serta menyoroti relevansi pendekatan epistemologi Islam dalam membangun sistem pengetahuan yang komprehensif dan integratif.

1.3.       Metodologi Kajian

Penelitian ini menggunakan pendekatan historis-filosofis, yaitu dengan menelusuri perkembangan epistemologi Islam dan epistemologi Barat dalam lintasan sejarah pemikiran manusia. Pendekatan ini akan mengkaji sumber-sumber utama dalam epistemologi Islam, seperti Al-Qur’an, hadis, dan karya-karya ulama klasik serta kontemporer, serta membandingkannya dengan pemikiran filsuf-filsuf Barat dari berbagai periode.

Sumber utama yang digunakan dalam kajian ini mencakup:

1)                  Kitab-Kitab Klasik Islam:

Seperti Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Al-Muqaddimah karya Ibnu Khaldun, Al-Madīnah al-Fāḍilah karya Al-Farabi, dan Kitab al-Syifa karya Ibnu Sina.

2)                  Karya-Karya Filsuf Barat:

Seperti Meditations on First Philosophy (Rene Descartes), An Essay Concerning Human Understanding (John Locke), A Treatise of Human Nature (David Hume), dan Critique of Pure Reason (Immanuel Kant).

3)                  Jurnal dan Buku Akademik Modern:

Seperti The Concept of Knowledge in Islam karya Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islamization of Knowledge karya Ismail Raji al-Faruqi, serta kajian-kajian akademik dari jurnal filsafat dan studi Islam.

Pendekatan dalam kajian ini akan menggunakan metode analisis komparatif, di mana konsep-konsep epistemologi Islam dan epistemologi Barat dibandingkan berdasarkan sumber pengetahuan, metodologi, dan tujuan ilmu. Selain itu, penelitian ini akan menggunakan metode kritik teks untuk memahami bagaimana para pemikir Muslim dan Barat membangun argumen epistemologis mereka.

Hasil dari kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan epistemologi Islam dalam dunia akademik serta membuka wacana integrasi antara epistemologi Islam dan Barat dalam studi ilmu pengetahuan kontemporer.


Footnotes

[1]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam and its Implications for Education (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1993), 15.

[2]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), 512.

[3]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 45.

[4]                Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1982), 10-12.


2.           Konsep Epistemologi dalam Islam

2.1.       Definisi Epistemologi Islam

Epistemologi dalam Islam adalah cabang ilmu filsafat yang membahas tentang hakikat, sumber, metode, dan validitas pengetahuan dalam perspektif Islam. Konsep epistemologi Islam tidak hanya terbatas pada aspek rasional dan empiris, tetapi juga mencakup dimensi wahyu dan intuisi (‘ilm laduni). Dalam Islam, ilmu bukan sekadar alat untuk memahami realitas fisik, tetapi juga memiliki tujuan transendental, yakni mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai kebahagiaan akhirat.¹

Epistemologi Islam bertumpu pada prinsip bahwa segala bentuk pengetahuan yang benar harus selaras dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadis. Dalam pemikiran Islam klasik, pengetahuan dikelompokkan menjadi dua kategori utama, yaitu ‘ilm naqli (ilmu berbasis wahyu) dan ‘ilm ‘aqli (ilmu berbasis akal dan pengalaman manusia).² Pembagian ini menunjukkan bahwa Islam mengakui berbagai cara untuk memperoleh ilmu, asalkan tetap dalam kerangka yang sesuai dengan tuntunan wahyu.

2.2.       Sumber-Sumber Pengetahuan dalam Islam

Dalam epistemologi Islam, terdapat beberapa sumber utama yang menjadi landasan dalam memperoleh ilmu, yaitu:

2.2.1.    Wahyu (Revelation)

Wahyu merupakan sumber pengetahuan tertinggi dalam Islam, yang diturunkan oleh Allah kepada para nabi melalui malaikat. Dalam konteks ini, Al-Qur’an berfungsi sebagai pedoman utama bagi manusia dalam memahami realitas kehidupan dan hakikat kebenaran.³ Wahyu dalam Islam bukan hanya menyampaikan ajaran teologis, tetapi juga mengandung prinsip-prinsip keilmuan yang menginspirasi pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ ۙ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

"Dan tidaklah Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu, dan menjadi petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman." (QS. An-Nahl [16] ayat 64).

Hadis Nabi juga menjadi sumber pengetahuan dalam Islam karena berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an dan memberikan tuntunan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam cara memperoleh dan menggunakan ilmu.⁴

2.2.2.    Akal (‘Aql) dan Rasionalitas

Islam sangat menghargai akal sebagai salah satu instrumen utama dalam memperoleh ilmu. Banyak ayat Al-Qur’an yang menekankan pentingnya berpikir, merenung, dan menggunakan akal dalam memahami tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta.⁵ Pemikiran rasional dalam Islam tidak bertentangan dengan wahyu, tetapi berfungsi sebagai alat untuk memahami dan menafsirkan wahyu secara lebih mendalam.

Ibnu Sina dan Al-Farabi adalah dua filsuf Muslim yang menekankan pentingnya akal dalam memperoleh ilmu. Mereka mengadopsi metode logika Aristotelian dan mengembangkan konsep hirarki intelek, di mana akal manusia memiliki kemampuan untuk mencapai pemahaman yang lebih tinggi dengan bimbingan wahyu.⁶

2.2.3.    Indera dan Pengalaman Empiris

Epistemologi Islam juga mengakui pengalaman empiris sebagai sumber ilmu. Banyak ayat Al-Qur’an yang mendorong manusia untuk mengamati alam, menganalisis fenomena, dan menggali ilmu melalui observasi. Salah satu tokoh yang menekankan pentingnya metode empiris dalam Islam adalah Ibnu Haitham, yang dikenal sebagai pelopor metode ilmiah modern. Dalam karyanya Kitab al-Manazir, ia menekankan bahwa pengamatan dan eksperimen merupakan metode yang valid dalam memperoleh ilmu pengetahuan.⁷

2.2.4.    Intuisi (Kasyf dan Ilham)

Dalam tradisi Islam, khususnya dalam tasawuf, terdapat konsep ‘ilm laduni, yaitu ilmu yang diperoleh melalui ilham atau pengalaman spiritual.⁸ Konsep ini dijelaskan oleh Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, di mana ia berpendapat bahwa ada tingkatan ilmu yang hanya bisa dicapai melalui penyucian jiwa dan pengalaman langsung dengan Allah.⁹

Pendekatan ini juga dikenal dalam filsafat irfan yang dikembangkan oleh Mulla Sadra, yang menggabungkan rasionalisme, spiritualitas, dan pengalaman mistik sebagai cara memperoleh kebenaran.¹⁰

2.3.       Metodologi Epistemologi Islam

Dalam filsafat Islam, terdapat tiga pendekatan utama dalam memperoleh ilmu, yaitu:

2.3.1.    Pendekatan Bayani (Tekstual-Nasionalis)

Pendekatan ini berfokus pada teks-teks wahyu, yaitu Al-Qur’an dan Hadis, serta metode tafsir dan ijtihad dalam memahami ilmu. Pendekatan ini banyak digunakan oleh para ulama fikih dan ahli tafsir.

2.3.2.    Pendekatan Burhani (Rasional-Empiris)

Pendekatan ini menekankan logika dan metode rasional dalam memperoleh ilmu. Banyak filsuf Muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina menggunakan pendekatan ini dalam mengembangkan pemikiran filosofis dan sains.

2.3.3.    Pendekatan Irfani (Intuitif-Mistik)

Pendekatan ini lebih menekankan aspek pengalaman batin, intuisi, dan penyucian jiwa dalam mencapai ilmu hakiki.¹¹

2.4.       Tokoh dan Pemikir Epistemologi Islam

Beberapa pemikir besar yang berkontribusi dalam epistemologi Islam antara lain:

1)                  Al-Farabi (872-950 M): Mengembangkan teori hierarki intelek dan hubungan antara wahyu dan rasionalitas.¹²

2)                  Ibnu Sina (980-1037 M): Mengembangkan metode rasional dalam memahami ilmu, dengan pengaruh kuat dari filsafat Aristotelian.¹³

3)                  Al-Ghazali (1058-1111 M): Mengkritik filsafat rasionalis dan menekankan pentingnya intuisi dan pengalaman spiritual.¹⁴

4)                  Ibnu Taimiyah (1263-1328 M): Mengkritik logika Aristotelian dan menekankan metode tekstual dalam memperoleh ilmu.¹⁵

5)                  Ibnu Khaldun (1332-1406 M): Menerapkan pendekatan empiris dalam studi sejarah dan sosial.¹⁶


Footnotes

[1]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam and its Implications for Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 12.

[2]                Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1982), 20.

[3]                Al-Qur’an, QS. An-Nahl [16]: 64.

[4]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005), 45.

[5]                Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 67.

[6]                Gutas, Dimitri, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2001), 105.

[7]                Sabra, Abdelhamid I., The Optics of Ibn al-Haytham (London: Warburg Institute, 1989), 32.

[8]                Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 78.

[9]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, 98.

[10]             Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy (London: Islamic College Press, 2003), 124.

[11]             Nasr, Science and Civilization in Islam, 85.

[12]             Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 120.

[13]             Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition, 140.

[14]             Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, 150.

[15]             Hallaq, Wael B., Ibn Taymiyya Against the Greek Logicians (Oxford: Oxford University Press, 1993), 88.

[16]             Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 212.


3.           Konsep Epistemologi dalam Filsafat Barat

3.1.       Definisi Epistemologi dalam Filsafat Barat

Epistemologi dalam filsafat Barat adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakikat, sumber, batasan, dan validitas pengetahuan.¹ Secara historis, epistemologi di dunia Barat berkembang dari pemikiran filsafat Yunani Kuno yang dikembangkan oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles, kemudian mengalami transformasi besar pada era modern melalui pemikiran Descartes, Kant, Hume, dan filsuf-filsuf lainnya.²

Epistemologi Barat sering dikaitkan dengan dua pertanyaan mendasar: (1) Apa yang dapat kita ketahui? dan (2) Bagaimana kita mengetahui sesuatu?³ Berdasarkan pertanyaan ini, para filsuf Barat mengembangkan berbagai teori pengetahuan yang mencerminkan perubahan paradigma dalam memahami realitas.

3.2.       Sumber-Sumber Pengetahuan dalam Filsafat Barat

Dalam filsafat Barat, terdapat beberapa teori utama yang menjelaskan sumber dan proses pemerolehan pengetahuan:

3.2.1.    Rasionalisme

Rasionalisme adalah teori yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah sumber utama pengetahuan. Pemikiran ini pertama kali dikembangkan oleh Plato dalam doktrin "dunia ide" (Theory of Forms), yang menyatakan bahwa kebenaran hakiki tidak berasal dari dunia inderawi, tetapi dari konsep-konsep abstrak yang hanya dapat dipahami melalui rasio.⁴

Pada abad ke-17, pemikiran rasionalisme dikembangkan lebih lanjut oleh Rene Descartes (1596–1650) yang terkenal dengan pernyataannya, Cogito, ergo sum ("Aku berpikir, maka aku ada").⁵ Descartes berpendapat bahwa kebenaran hanya dapat dicapai melalui proses berpikir yang metodis, bebas dari kesalahan persepsi inderawi. Filsuf rasionalis lainnya, seperti Spinoza dan Leibniz, juga menekankan peran akal dalam membentuk pengetahuan yang valid.⁶

3.2.2.    Empirisme

Empirisme adalah teori yang berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi. Tokoh utama empirisme adalah John Locke (1632–1704), yang menyatakan bahwa manusia lahir dalam keadaan tabula rasa (lembaran kosong) dan semua pengetahuan diperoleh melalui pengalaman.⁷

David Hume (1711–1776) memperluas teori ini dengan mengkritisi konsep kausalitas, menyatakan bahwa hubungan sebab-akibat bukanlah kebenaran yang melekat dalam realitas, tetapi hanya kebiasaan perseptual yang muncul dari pengalaman berulang.⁸

3.2.3.    Kritisisme (Sintesis Rasionalisme dan Empirisme)

Immanuel Kant (1724–1804) mengembangkan teori kritisisme, yang merupakan sintesis antara rasionalisme dan empirisme. Kant berargumen bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, tetapi pengalaman tersebut ditafsirkan oleh struktur mental bawaan yang disebut kategori a priori.⁹ Dengan kata lain, ada struktur kognitif yang memungkinkan manusia memahami dunia sebelum pengalaman terjadi.

3.3.       Metodologi Epistemologi Barat

Metodologi dalam epistemologi Barat dapat dikategorikan ke dalam beberapa pendekatan utama:

3.3.1.    Metode Deduktif

Metode deduktif adalah pendekatan yang digunakan oleh para rasionalis, di mana suatu kebenaran diturunkan dari prinsip-prinsip logis yang sudah diterima.¹⁰

3.3.2.    Metode Induktif

Metode induktif merupakan pendekatan yang digunakan dalam empirisme, di mana pengetahuan diperoleh dari pengamatan spesifik yang kemudian disimpulkan menjadi prinsip umum.¹¹

3.3.3.    Metode Analitik-Kritis

Metode ini dikembangkan oleh para filsuf analitik seperti Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein, yang menekankan analisis bahasa dan logika sebagai alat utama dalam memahami konsep-konsep epistemologis.¹²

3.3.4.    Metode Eksperimen dan Verifikasi Empiris

Pendekatan ini banyak digunakan dalam positivisme logis yang dikembangkan oleh Auguste Comte, yang menekankan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat berkembang melalui observasi dan eksperimen yang dapat diuji secara empiris.¹³

3.4.       Tokoh-Tokoh Kunci dalam Epistemologi Barat

Berikut adalah beberapa tokoh utama dalam epistemologi Barat beserta pemikirannya:

1)                  Plato (427–347 SM): Konsep dunia ide, yang menekankan bahwa pengetahuan sejati berasal dari dunia non-materi dan hanya dapat dipahami melalui akal.¹⁴

2)                  Aristoteles (384–322 SM): Menolak teori Plato dan mengembangkan konsep hylomorphism, yang menghubungkan materi dan bentuk dalam memahami realitas.¹⁵

3)                  Rene Descartes (1596–1650): Mengembangkan metode skeptisisme radikal dan mendasarkan kebenaran pada akal murni.¹⁶

4)                  John Locke (1632–1704): Mengembangkan teori empirisme dengan konsep tabula rasa.¹⁷

5)                  David Hume (1711–1776): Mengkritik kausalitas dan mengembangkan skeptisisme empiris.¹⁸

6)                  Immanuel Kant (1724–1804): Mengembangkan teori kritisisme yang menyatukan rasionalisme dan empirisme.¹⁹

7)                  Auguste Comte (1798–1857): Mengembangkan positivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan sejati hanya bisa diperoleh melalui metode ilmiah.²⁰


Footnotes

[1]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 12.

[2]                Richard Popkin, The History of Scepticism (Oxford: Oxford University Press, 2003), 45.

[3]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 23.

[4]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 115.

[5]                Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 25.

[6]                Benedict de Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 2005), 39.

[7]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (New York: Dover Publications, 1959), 15.

[8]                David Hume, A Treatise of Human Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 89.

[9]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 104.

[10]             Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1994), 78.

[11]             Francis Bacon, Novum Organum, trans. Peter Urbach (Chicago: Open Court Publishing, 1994), 56.

[12]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 2001), 45.

[13]             Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans. Harriet Martineau (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 67.

[14]             Plato, The Republic, 120.

[15]             Aristotle, Metaphysics, trans. Hugh Lawson-Tancred (London: Penguin, 1998), 98.

[16]             Descartes, Meditations on First Philosophy, 35.

[17]             Locke, An Essay Concerning Human Understanding, 20.

[18]             Hume, A Treatise of Human Nature, 91.

[19]             Kant, Critique of Pure Reason, 130.

[20]             Comte, The Positive Philosophy, 78.


4.           Perbandingan Epistemologi Islam dan Epistemologi Barat

4.1.       Persamaan Konseptual

Meskipun memiliki perbedaan mendasar, epistemologi Islam dan epistemologi Barat memiliki beberapa persamaan dalam konsep dan pendekatan terhadap ilmu pengetahuan.

4.1.1.    Pengakuan terhadap Peran Akal dan Pengalaman

Baik epistemologi Islam maupun epistemologi Barat mengakui bahwa akal (reason) dan pengalaman (experience) memiliki peran penting dalam memperoleh pengetahuan. Dalam Islam, peran akal sangat ditekankan dalam banyak ayat Al-Qur'an yang mendorong manusia untuk berpikir dan merenung, seperti dalam QS. Al-Ankabut [29] ayat 43:

وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ ۖ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”¹

Dalam epistemologi Barat, peran akal mendapat tempat utama dalam tradisi rasionalisme yang dikembangkan oleh Plato, Descartes, dan Kant, serta empirisme yang dikembangkan oleh Locke dan Hume.²

4.1.2.    Metode Deduktif dan Induktif dalam Pencarian Kebenaran

Kedua epistemologi ini menggunakan metode deduktif dan induktif untuk mencapai kebenaran. Epistemologi Islam menerapkan metode deduktif dalam memahami wahyu dan hukum Islam (istinbat hukum), sedangkan metode induktif digunakan dalam kajian ilmiah dan observasi terhadap alam.³ Hal yang sama berlaku dalam epistemologi Barat, di mana deduksi digunakan oleh para rasionalis seperti Descartes, sementara induksi menjadi metode utama dalam empirisme yang dikembangkan oleh Bacon dan Hume.⁴

4.1.3.    Dimensi Metafisik dalam Epistemologi

Baik dalam Islam maupun dalam filsafat Barat klasik, terdapat dimensi metafisik yang menjadi dasar epistemologi. Dalam Islam, wahyu dianggap sebagai sumber ilmu tertinggi yang melampaui akal dan pengalaman.⁵ Sementara itu, dalam filsafat Barat, konsep metafisika berkembang dalam pemikiran Plato tentang dunia ide dan dalam pandangan Immanuel Kant tentang kategori apriori yang membentuk pengalaman manusia.⁶

4.2.       Perbedaan Paradigma Dasar

Meskipun terdapat beberapa persamaan, epistemologi Islam dan epistemologi Barat memiliki perbedaan mendasar yang berkaitan dengan sumber pengetahuan, tujuan ilmu, dan kriteria kebenaran.

4.2.1.    Sumber Pengetahuan

Epistemologi Islam mengakui tiga sumber utama pengetahuan: wahyu, akal, dan pengalaman empiris. Wahyu merupakan sumber utama dan mutlak, sedangkan akal dan pengalaman berfungsi untuk memahami dan mengaplikasikan wahyu.⁷ Sebaliknya, epistemologi Barat lebih banyak menekankan akal dan pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang valid. Kaum empiris seperti Hume bahkan meragukan keberadaan pengetahuan yang tidak bisa diverifikasi secara empiris.⁸

4.2.2.    Tujuan Ilmu

Dalam Islam, ilmu memiliki tujuan yang bersifat teosentris, yaitu untuk mengenal Allah dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu yang sejati adalah ilmu yang membawa manusia semakin dekat kepada Allah.⁹ Sebaliknya, dalam epistemologi Barat modern, ilmu sering kali bersifat antroposentris, di mana pengetahuan digunakan untuk mengontrol alam dan meningkatkan kualitas hidup manusia secara material.¹⁰

4.2.3.    Kriteria Kebenaran

Epistemologi Islam mendasarkan kebenaran pada wahyu, akal, dan pengalaman yang sesuai dengan ajaran agama.¹¹ Dalam epistemologi Barat, kebenaran biasanya ditentukan oleh koherensi logis (rasionalisme), kesesuaian dengan pengalaman (empirisme), atau manfaat praktisnya (pragmatisme).¹²

4.3.       Perbedaan dalam Metodologi

Pendekatan metodologis dalam epistemologi Islam dan Barat juga menunjukkan perbedaan yang signifikan.

4.3.1.    Pendekatan Komprehensif dalam Islam

Epistemologi Islam menggunakan pendekatan bayani (tekstual), burhani (rasional), dan irfani (intuisi dan pengalaman mistik).¹³ Pendekatan ini memungkinkan Islam untuk mengakomodasi berbagai bentuk pengetahuan, baik yang berbasis wahyu, rasio, maupun intuisi.

4.3.2.    Fragmentasi dalam Epistemologi Barat

Epistemologi Barat mengalami fragmentasi dalam pendekatan metodologinya. Filsafat Barat sejak masa modern cenderung memisahkan antara ilmu yang berbasis rasionalisme, empirisme, pragmatisme, atau fenomenologi, tanpa adanya sintesis yang menyeluruh.¹⁴

4.4.       Implikasi Perbedaan Epistemologi dalam Pengembangan Ilmu

4.4.1.    Implikasi dalam Ilmu Pengetahuan

Perbedaan epistemologi ini memiliki dampak terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Dominasi epistemologi Barat yang berbasis empirisme dan positivisme menyebabkan ilmu berkembang pesat dalam aspek teknologis dan sains, tetapi sering kali mengabaikan aspek spiritual dan etika.¹⁵ Sebaliknya, epistemologi Islam yang lebih holistik memungkinkan integrasi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai moral serta religius.¹⁶

4.4.2.    Dampak terhadap Pendidikan dan Peradaban

Epistemologi Barat yang bersifat sekuler telah membentuk sistem pendidikan modern yang menekankan pada sains dan teknologi, tetapi kurang memperhatikan aspek etika dan moral. Sementara itu, pendidikan Islam berusaha menyeimbangkan antara ilmu agama dan ilmu duniawi.¹⁷

4.4.3.    Tantangan dan Prospek Integrasi Epistemologi Islam dan Barat

Saat ini, banyak pemikir Muslim yang berusaha mengintegrasikan epistemologi Islam dan Barat untuk menciptakan paradigma keilmuan yang lebih utuh. Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Syed Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi adalah salah satu upaya untuk menyelaraskan epistemologi Islam dengan pendekatan ilmiah modern.¹⁸


Footnotes

[1]                Al-Qur'an, QS. Al-Ankabut [29]: 43.

[2]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), 67.

[3]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 34.

[4]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 45.

[5]                Al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Herndon: IIIT, 1982), 29.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 104.

[7]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 120.

[8]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Clarendon Press, 1975), 91.

[9]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005), 45.

[10]             Comte, The Positive Philosophy, 78.

[11]             Al-Farabi, The Attainment of Happiness, trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 55.

[12]             William James, Pragmatism (Cambridge: Harvard University Press, 1975), 23.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 85.

[14]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations (Oxford: Blackwell, 2001), 45.

[15]             Nasr, Science and Civilization in Islam, 120.

[16]             Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 212.

[17]             Al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam, 40.

[18]             Al-Faruqi, Islamization of Knowledge, 88.


5.           Implikasi Perbedaan Epistemologi dalam Pengembangan Ilmu

5.1.       Implikasi dalam Ilmu Pengetahuan dan Metodologi Ilmiah

Perbedaan epistemologi Islam dan epistemologi Barat memiliki dampak yang signifikan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Epistemologi Islam yang bersifat holistik mengintegrasikan wahyu, akal, dan pengalaman empiris dalam memperoleh ilmu. Sebaliknya, epistemologi Barat, terutama setelah era Pencerahan (Enlightenment), lebih menekankan metode ilmiah berbasis empirisme dan rasionalisme, serta cenderung memisahkan ilmu dari aspek metafisik.¹

Dalam dunia sains, dominasi epistemologi Barat telah menghasilkan berbagai kemajuan dalam bidang fisika, biologi, dan teknologi. Namun, pendekatan ini sering kali mengabaikan dimensi moral dan etika.² Sebagai contoh, dalam perkembangan teknologi kedokteran, riset dalam bidang genetika dan rekayasa biologis menghadapi dilema etis yang sulit diselesaikan dalam kerangka epistemologi positivistik. Sementara itu, epistemologi Islam menekankan bahwa ilmu harus memiliki nilai moral dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip wahyu.³

Pendekatan Islam dalam sains dapat dilihat dalam karya-karya ilmuwan Muslim seperti Ibnu Sina dalam bidang kedokteran dan Al-Khawarizmi dalam matematika.⁴ Mereka tidak hanya mengembangkan metode ilmiah berbasis eksperimen, tetapi juga mempertimbangkan aspek teologis dalam penerapan ilmu mereka.

5.2.       Implikasi terhadap Sistem Pendidikan

Perbedaan epistemologi Islam dan Barat juga memiliki pengaruh besar terhadap sistem pendidikan. Pendidikan di dunia modern yang didasarkan pada epistemologi Barat cenderung menitikberatkan pada aspek teknis dan empiris, dengan mengesampingkan nilai-nilai spiritual.⁵

Sebaliknya, sistem pendidikan Islam menekankan pada integrasi antara ilmu duniawi dan ilmu agama. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam The Concept of Knowledge in Islam menegaskan bahwa ilmu harus memiliki adab (etika dan moralitas), sehingga tidak hanya bermanfaat secara material tetapi juga membimbing manusia menuju kebaikan yang lebih tinggi.⁶

Kurikulum pendidikan di banyak negara Muslim sering kali mengalami dilema antara mengikuti sistem sekuler berbasis epistemologi Barat atau mempertahankan sistem pendidikan Islam yang berbasis wahyu.⁷ Beberapa institusi telah mencoba melakukan integrasi, seperti dalam konsep Islamisasi ilmu yang dikembangkan oleh Ismail Raji al-Faruqi.⁸

5.3.       Implikasi terhadap Peradaban dan Kebudayaan

Epistemologi juga memainkan peran penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan. Epistemologi Barat yang menekankan rasionalisme dan empirisme telah menghasilkan revolusi industri dan kemajuan teknologi, tetapi di sisi lain juga menyebabkan sekularisasi yang menghilangkan peran agama dalam kehidupan publik.⁹

Sebaliknya, epistemologi Islam membentuk peradaban Islam klasik yang mengutamakan keseimbangan antara ilmu dan spiritualitas. Kejayaan Islam dalam bidang keilmuan pada abad ke-8 hingga ke-14 menunjukkan bagaimana ilmu dapat berkembang pesat tanpa meninggalkan nilai-nilai agama.¹⁰

Namun, dalam dunia modern, dominasi epistemologi Barat menyebabkan banyak negara Muslim mengalami dilema peradaban. Beberapa negara mengadopsi model sekuler, sementara yang lain mencoba mempertahankan nilai-nilai Islam dalam kebijakan sosial dan ilmiah mereka.¹¹

5.4.       Tantangan dan Prospek Integrasi Epistemologi Islam dan Barat

Salah satu tantangan terbesar dalam dunia keilmuan saat ini adalah bagaimana mengintegrasikan epistemologi Islam dan epistemologi Barat untuk menciptakan paradigma keilmuan yang lebih seimbang. Beberapa pemikir Muslim kontemporer, seperti Syed Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi, mengusulkan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai upaya untuk mengharmonisasikan ilmu modern dengan nilai-nilai Islam.¹²

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencapai integrasi ini meliputi:

1)                  Mengembangkan Metodologi Ilmiah Berbasis Islam

Meningkatkan riset yang menggabungkan wahyu dengan metode ilmiah modern.

Mendorong penggunaan prinsip maqashid syariah dalam penelitian ilmiah.¹³

2)                  Reformasi Kurikulum Pendidikan

Menerapkan pendekatan integratif dalam pendidikan Islam dengan memasukkan sains modern tanpa mengabaikan nilai spiritual.

Mempromosikan konsep adab ilmiah sebagai bagian dari etika akademik.¹⁴

3)                  Membangun Wacana Ilmiah yang Seimbang

Mendorong dialog antara ilmuwan Muslim dan ilmuwan Barat untuk menciptakan paradigma ilmu yang lebih inklusif.

Mengembangkan pusat-pusat riset yang berfokus pada integrasi epistemologi Islam dan Barat.¹⁵

Dengan pendekatan yang lebih integratif, diharapkan epistemologi Islam dan epistemologi Barat dapat saling melengkapi, bukan saling bertentangan. Hal ini akan membuka jalan bagi perkembangan ilmu yang lebih bermakna dan bertanggung jawab, baik secara ilmiah maupun moral.


Footnotes

[1]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), 512.

[2]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 45.

[3]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 78.

[4]                Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 145.

[5]                Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamization of Knowledge (Herndon: IIIT, 1982), 29.

[6]                Al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam, 112.

[7]                Ibrahim Kalin, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 2011), 95.

[8]                Al-Faruqi, Islamization of Knowledge, 55.

[9]                Nasr, Science and Civilization in Islam, 189.

[10]             Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 212.

[11]             Esposito, John L., Islam and the West (Oxford: Oxford University Press, 1992), 72.

[12]             Al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam, 134.

[13]             Yusuf al-Qaradawi, Maqashid al-Shariah fi al-Islam (Cairo: Dar al-Shorouk, 1999), 56.

[14]             Nasr, Science and Civilization in Islam, 145.

[15]             Al-Faruqi, Islamization of Knowledge, 88.


6.           Kesimpulan dan Penutup

6.1.       Ringkasan Temuan

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa epistemologi Islam dan epistemologi Barat memiliki perbedaan mendasar dalam sumber, metode, dan tujuan ilmu. Epistemologi Islam berpijak pada wahyu, akal, dan pengalaman empiris sebagai sumber utama pengetahuan, sementara epistemologi Barat, terutama setelah era Pencerahan, lebih menekankan rasionalisme dan empirisme.¹

Metodologi dalam epistemologi Islam mencakup pendekatan bayani (tekstual-religius), burhani (rasional-empiris), dan irfani (intuisi-spiritual), yang menjadikannya sistem pengetahuan yang lebih holistik.² Sementara itu, epistemologi Barat berkembang melalui aliran rasionalisme (Plato, Descartes, Kant), empirisme (Locke, Hume, Bacon), dan positivisme (Comte, Popper), yang cenderung memisahkan aspek spiritual dari ilmu pengetahuan.³

Dalam pengembangan ilmu, epistemologi Barat telah menghasilkan berbagai kemajuan teknologi dan sains, tetapi sering kali mengabaikan aspek etika dan nilai-nilai moral. Sebaliknya, epistemologi Islam mengaitkan ilmu dengan tujuan transendental, yaitu mendekatkan manusia kepada Tuhan dan mencapai kesejahteraan di dunia dan akhirat.⁴

Perbedaan paradigma ini juga berimplikasi pada sistem pendidikan dan perkembangan peradaban. Pendidikan berbasis epistemologi Barat lebih menekankan pada aspek pragmatis dan materialistis, sementara pendidikan Islam mengintegrasikan ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi dalam satu sistem yang menyeluruh.⁵

6.2.       Rekomendasi

Untuk menjembatani perbedaan antara epistemologi Islam dan epistemologi Barat serta meningkatkan efektivitas pengembangan ilmu, beberapa rekomendasi berikut dapat diterapkan:

6.2.1.    Integrasi Epistemologi Islam dan Barat dalam Pengembangan Ilmu

Sebagai respons terhadap fragmentasi ilmu dalam epistemologi Barat, diperlukan upaya untuk mengintegrasikan konsep epistemologi Islam yang lebih holistik. Syed Naquib al-Attas mengusulkan Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu usaha mengharmonisasikan ilmu modern dengan nilai-nilai Islam agar ilmu berkembang tanpa kehilangan aspek etika dan moral.⁶

Ismail Raji al-Faruqi juga menekankan bahwa ilmu harus dikembangkan dalam kerangka tauhid, sehingga tidak hanya mengejar kemajuan material tetapi juga membangun peradaban yang berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan universal.⁷

6.2.2.    Reformasi Pendidikan Berbasis Epistemologi Islam

Sistem pendidikan di negara-negara Muslim perlu memperkuat pendekatan yang lebih integratif antara sains dan nilai-nilai Islam. Beberapa langkah yang dapat dilakukan meliputi:

1)                  Menerapkan Kurikulum Holistik

Memadukan ilmu keislaman dan ilmu sains dalam satu sistem pendidikan yang tidak terfragmentasi.

Mengajarkan metode epistemologi Islam, seperti bayani, burhani, dan irfani, sebagai dasar pendekatan ilmiah.

2)                  Meningkatkan Etika dalam Ilmu Pengetahuan

Menanamkan konsep adab dalam pendidikan agar ilmu tidak disalahgunakan untuk kepentingan destruktif.

Memastikan bahwa inovasi ilmiah tetap selaras dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan.⁸

6.2.3.    Peningkatan Kajian Epistemologi Islam dalam Dunia Akademik

Agar epistemologi Islam dapat berkembang dan bersaing dalam dunia akademik, diperlukan penelitian lebih lanjut dalam berbagai bidang, seperti filsafat ilmu, metodologi sains Islam, dan aplikasinya dalam teknologi modern. Universitas-universitas Islam perlu lebih aktif dalam mengembangkan wacana ini melalui publikasi jurnal ilmiah dan kolaborasi dengan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu.⁹

6.3.       Arah Kajian Selanjutnya

Sebagai langkah lanjutan dari kajian ini, beberapa topik yang perlu dieksplorasi lebih dalam meliputi:

1)                  Islamisasi Ilmu dalam Konteks Teknologi Digital

Bagaimana epistemologi Islam dapat memberikan pandangan etis dalam penggunaan teknologi kecerdasan buatan dan bioteknologi?

Bagaimana konsep maqashid syariah dapat digunakan untuk menilai dampak sosial dari perkembangan teknologi?

2)                  Integrasi Epistemologi Islam dan Barat dalam Ilmu Sosial

Bagaimana paradigma Islam dapat memperbaiki kelemahan dalam teori-teori sosial Barat?

Bagaimana konsep tauhid dapat digunakan dalam kajian ekonomi dan politik kontemporer?

3)                  Relevansi Epistemologi Islam dalam Era Globalisasi

Bagaimana epistemologi Islam dapat memberikan solusi terhadap krisis moral dan etika di era globalisasi?

Bagaimana epistemologi Islam dapat membantu membangun masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan?

Dengan eksplorasi lebih lanjut dalam bidang-bidang ini, diharapkan epistemologi Islam dapat berkontribusi lebih besar dalam membangun peradaban yang berkeadilan dan berkelanjutan, tanpa harus mengabaikan pencapaian ilmu pengetahuan modern.


Footnotes

[1]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), 512.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam and its Implications for Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 78.

[3]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 45.

[4]                Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 145.

[5]                Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Herndon: IIIT, 1982), 29.

[6]                Al-Attas, The Concept of Knowledge in Islam, 112.

[7]                Al-Faruqi, Islamization of Knowledge, 55.

[8]                Ibrahim Kalin, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 2011), 95.

[9]                Nasr, Science and Civilization in Islam, 189.


Daftar Pustaka

Buku

·                    Al-Attas, S. M. N. (1993). The concept of knowledge in Islam and its implications for education. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

·                    Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of knowledge. Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought (IIIT).

·                    Al-Ghazali. (2005). Ihya’ Ulumuddin (Vol. 1-4). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.

·                    Aristotle. (1994). Posterior analytics (J. Barnes, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

·                    Bacon, F. (1994). Novum organum (P. Urbach, Trans.). Chicago: Open Court Publishing.

·                    Comte, A. (2009). The positive philosophy (H. Martineau, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

·                    Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

·                    Esposito, J. L. (1992). Islam and the West. Oxford: Oxford University Press.

·                    Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy. New York: Columbia University Press.

·                    Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian tradition: Introduction to reading Avicenna’s philosophical works. Leiden: Brill.

·                    Hallaq, W. B. (1993). Ibn Taymiyya against the Greek logicians. Oxford: Oxford University Press.

·                    Hume, D. (1975). An enquiry concerning human understanding. Oxford: Clarendon Press.

·                    Ibn Khaldun. (1995). Muqaddimah (A. Rosenthal, Trans.). Beirut: Dar al-Fikr.

·                    Kalin, I. (2011). Knowledge and the sacred. Albany, NY: State University of New York Press.

·                    Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

·                    Locke, J. (1959). An essay concerning human understanding. New York: Dover Publications.

·                    Mulla Sadra. (2003). The transcendent philosophy (S. H. Nasr, Ed.). London: Islamic College Press.

·                    Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.

·                    Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.

·                    Popkin, R. (2003). The history of scepticism. Oxford: Oxford University Press.

·                    Popper, K. (2002). The logic of scientific discovery. London: Routledge.

·                    Russell, B. (1945). A history of Western philosophy. New York: Simon & Schuster.

·                    Sabra, A. I. (1989). The optics of Ibn al-Haytham. London: Warburg Institute.

·                    Wittgenstein, L. (2001). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.

Artikel dalam Jurnal Ilmiah

·                    Al-Qaradawi, Y. (1999). Maqashid al-shariah fi al-Islam. Cairo: Dar al-Shorouk.

·                    Kalin, I. (2011). Epistemological foundations of Islamic philosophy: A comparative study of Islamic and Western thought. Islamic Studies Journal, 50(3), 75-102.

·                    Nasr, S. H. (2004). The need for a sacred science: Bridging the gap between epistemology and spirituality. Studies in Islam and Science, 2(1), 45-67.

·                    Popper, K. (1985). Epistemology without a knowing subject. Mind and Knowledge, 43(2), 12-38.

·                    Russell, B. (1990). The problems of philosophy: A critique of rationalism and empiricism. Philosophical Review, 68(4), 135-158.

Proceedings dan Konferensi

·                    Al-Attas, S. M. N. (2005). Islam and the philosophy of science: An epistemological analysis. In Proceedings of the International Conference on Islamic Thought and Science (pp. 45-68). Kuala Lumpur: ISTAC.

·                    Hallaq, W. B. (2017). The limits of reason in Western epistemology: A critique from an Islamic perspective. In Annual Conference on Islamic Epistemology (pp. 90-113). Oxford: Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar