Sabtu, 28 Desember 2024

Maturidiyah: Pemikiran Teologis Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam Perspektif Sejarah dan Akidah Islam

 Aliran Teologi Maturidiyah

“Pemikiran Teologis Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam Perspektif Sejarah dan Akidah Islam”


1.           Pendahuluan

Ilmu kalam, sebagai salah satu cabang ilmu dalam Islam, memainkan peran penting dalam menjawab tantangan pemikiran dan menyelesaikan berbagai problematika akidah yang dihadapi umat Islam sejak masa awal. Ilmu ini muncul seiring dengan berkembangnya pertanyaan-pertanyaan kritis tentang Tuhan, sifat-sifat-Nya, serta hubungan antara akal dan wahyu. Tantangan tersebut terutama muncul akibat pengaruh filsafat Yunani, interaksi dengan budaya asing, serta perpecahan politik di dalam umat Islam pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Para ulama merespons tantangan ini dengan menciptakan landasan teologis yang mampu menjaga kemurnian akidah Islam sekaligus memberikan jawaban rasional kepada kaum Muslimin. Salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam disiplin ilmu ini adalah Abu al-Hasan al-Asy’ari.

Abu al-Hasan al-Asy’ari, yang hidup pada abad ke-9 hingga awal abad ke-10 M, adalah seorang teolog besar yang mengukuhkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai respons terhadap tantangan pemikiran rasionalis ekstrem yang dipromosikan oleh aliran Mu’tazilah. Al-Asy’ari sendiri memiliki perjalanan intelektual yang menarik. Sebagai mantan penganut Mu’tazilah, ia mengalami transformasi ideologis yang mengantarnya untuk mengkritik konsep-konsep teologis kelompok tersebut. Dalam karyanya, ia mengintegrasikan antara akal dan wahyu dengan menolak posisi ekstrem, baik rasionalisme Mu’tazilah maupun literalisme kelompok tekstualis seperti sebagian kaum Hanabilah.

Pemikiran al-Asy’ari menjadi fondasi bagi dua aliran besar dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah: Asy’ariyah dan Maturidiyah. Sementara al-Asy’ari mendirikan madzhab Asy’ariyah secara langsung, Maturidiyah berkembang melalui karya dan pengaruh Abu Mansur al-Maturidi di Asia Tengah. Kedua aliran ini memiliki prinsip dasar yang sama, tetapi berbeda dalam beberapa pendekatan terhadap isu-isu teologis tertentu. Dengan demikian, pembahasan tentang Maturidiyah tidak dapat dipisahkan dari peran dan kontribusi Abu al-Hasan al-Asy’ari, yang menjadi salah satu pilar utama pembentukan teologi Sunni.

Melalui artikel ini, kita akan menjelajahi secara mendalam konsep-konsep teologis yang berkaitan dengan Maturidiyah, perannya dalam dinamika sejarah Islam, serta relevansinya dalam menjawab tantangan pemikiran di era modern. Kajian ini disusun dengan merujuk kepada referensi-referensi klasik dan modern yang kredibel agar memberikan pemahaman yang objektif, ilmiah, dan bermanfaat bagi pembaca.


Catatan Kaki

[1]              Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 4.

[2]              Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 73-75.

[3]              Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 34-36.

[4]              Abu al-Hasan al-Asy’ari, Al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah, ed. Muhammad Zahid al-Kawthari (Cairo: Maktabah al-Mashhad, 1985), 12-14.

[5]              Jonathan Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet’s Legacy (London: Oneworld Publications, 2014), 87.


2.           Abu al-Hasan al-Asy’ari: Biografi dan Konteks Kehidupan

2.1.       Biografi Singkat

Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari (873–935 M) adalah salah satu teolog Islam yang paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Ia lahir di Basra, Irak, yang pada saat itu merupakan pusat intelektual dan budaya. Kakeknya, Abu Musa al-Asy’ari, adalah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang terkenal dengan kedalaman ilmu agama dan ketakwaannya. Lingkungan keluarga dan masyarakat Basra yang kosmopolitan memungkinkan al-Asy’ari tumbuh dalam atmosfer pemikiran yang dinamis, termasuk keterpaparannya pada beragam aliran teologi dan filsafat Islam.

Pada awal kehidupannya, al-Asy’ari adalah seorang penganut setia aliran Mu’tazilah, sebuah kelompok teologis yang mengedepankan penggunaan akal dalam memahami agama. Ia belajar langsung dari Abu Ali al-Jubba’i, salah satu tokoh terkemuka dalam Mu’tazilah. Namun, pada usia 40 tahun, al-Asy’ari mengalami perubahan drastis dalam pandangan teologisnya. Ia meninggalkan Mu’tazilah setelah merasa bahwa doktrin-doktrin mereka, terutama tentang sifat-sifat Allah dan takdir, bertentangan dengan pemahaman tekstual Al-Qur’an dan Hadis. Perubahan ini menjadi titik awal baginya untuk mengembangkan madzhab teologis baru yang mendamaikan akal dan wahyu dalam kerangka Ahlus Sunnah wal Jamaah.

2.2.       Latar Belakang Pemikiran

Abu al-Hasan al-Asy’ari hidup dalam periode di mana umat Islam menghadapi tantangan internal dan eksternal yang signifikan. Pada masa dinasti Abbasiyah, filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga memunculkan arus pemikiran baru di dunia Islam. Para intelektual Muslim, termasuk Mu’tazilah, banyak terpengaruh oleh metode rasionalisasi filsafat Yunani, yang sering kali menyebabkan penyimpangan dalam memahami ajaran Islam.

Salah satu isu besar yang dihadapi umat Islam saat itu adalah kontroversi tentang sifat-sifat Allah. Mu’tazilah, misalnya, berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak dapat dipisahkan dari Dzat-Nya (ta’thil), untuk menghindari kesan bahwa Allah memiliki keserupaan dengan makhluk-Nya. Pandangan ini ditolak oleh al-Asy’ari, yang kemudian menegaskan bahwa sifat-sifat Allah adalah bagian dari Dzat-Nya, namun tidak serupa dengan makhluk. Selain itu, isu tentang kehendak bebas manusia dan takdir juga menjadi perdebatan sengit. Mu’tazilah menekankan kehendak bebas manusia, sedangkan al-Asy’ari mengambil posisi tengah yang mengakui qadha dan qadar Allah tanpa menafikan tanggung jawab manusia.

Transformasi teologis al-Asy’ari mencerminkan upaya untuk mengembalikan umat Islam kepada ajaran murni Al-Qur’an dan Hadis dengan pendekatan yang tetap logis namun tidak menyimpang. Dengan menggunakan metode argumentasi rasional yang lebih sederhana dibandingkan Mu’tazilah, ia berhasil menarik banyak pengikut dan memperkuat posisi Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam diskursus teologis Islam.


Catatan Kaki

[1]              A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1932), 52-55.

[2]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 83-85.

[3]              Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Luma’ fi Radd ‘ala Ahl al-Zaygh wa al-Bid’ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 14-17.

[4]              Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 151-153.

[5]              George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 72.


3.           Pengertian dan Asal-Usul Maturidiyah

3.1.       Definisi Maturidiyah

Maturidiyah adalah salah satu dari dua aliran utama dalam teologi Sunni (Ahlus Sunnah wal Jamaah) yang dikembangkan oleh Abu Mansur al-Maturidi (853–944 M), seorang teolog asal Samarkand, Asia Tengah. Aliran ini dinamakan sesuai dengan namanya dan berfokus pada upaya memahami akidah Islam dengan pendekatan rasional yang tetap selaras dengan wahyu. Dalam konteks Ahlus Sunnah, Maturidiyah memberikan dasar teologis yang berusaha menyeimbangkan penggunaan akal dan nash (teks Al-Qur’an dan Hadis) untuk menjawab persoalan-persoalan teologis yang kompleks.

Aliran ini sering dianggap sebagai pengembangan lebih lanjut dari pemikiran yang dirintis oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari, meskipun terdapat perbedaan pendekatan dalam beberapa isu, seperti penggunaan akal untuk memahami iman dan hubungan antara kehendak Allah dan perbuatan manusia. Secara garis besar, Maturidiyah memiliki kesamaan prinsip dasar dengan Asy’ariyah, terutama dalam mempertahankan akidah Islam dari ancaman pemikiran ekstrem, baik dari Mu’tazilah yang rasionalis maupun kelompok literal lainnya.

3.2.       Kemunculan Istilah Maturidiyah

Maturidiyah sebagai aliran teologi tidak muncul secara formal semasa hidup Abu Mansur al-Maturidi. Istilah ini mulai digunakan beberapa dekade setelah kematiannya oleh para pengikut dan murid-muridnya untuk merujuk pada pandangan-pandangan teologis yang ia ajarkan. Pemikiran al-Maturidi berkembang di wilayah Khurasan, Samarkand, dan Bukhara, yang menjadi pusat peradaban Islam di Asia Tengah pada masa itu.

Salah satu ciri khas pemikiran Maturidiyah adalah kemampuannya mengintegrasikan tradisi Hanafi dalam fiqh dengan pendekatan teologis yang moderat. Al-Maturidi sendiri adalah seorang ulama Hanafi, sehingga pandangan-pandangan fiqhnya banyak memengaruhi metode teologis yang ia gunakan. Hal ini membuat Maturidiyah diterima luas di wilayah yang didominasi oleh madzhab Hanafi, seperti Asia Tengah, Turki, dan anak benua India.

3.3.       Hubungan Maturidiyah dengan Pemikiran Ahlus Sunnah

Dalam konteks sejarah, Maturidiyah sering dianggap sebagai pelengkap bagi Asy’ariyah dalam membangun kerangka teologi Sunni. Kedua aliran ini memiliki tujuan yang sama, yaitu mempertahankan akidah Islam yang murni dari ancaman pemikiran ekstrem, tetapi mereka berbeda dalam beberapa pendekatan. Salah satu perbedaan utama adalah pandangan terhadap akal.

Maturidiyah memberikan ruang lebih besar bagi akal dalam memahami akidah dibandingkan Asy’ariyah. Sebagai contoh, dalam masalah iman, Maturidiyah berpendapat bahwa iman tidak akan sempurna tanpa pengetahuan rasional tentang Allah, sedangkan Asy’ariyah lebih menekankan pada penerimaan wahyu secara tekstual. Meskipun demikian, kedua aliran ini tetap berada dalam kerangka besar Ahlus Sunnah dan bekerja sama dalam menghadapi tantangan dari aliran-aliran teologis lainnya.


Catatan Kaki

[1]              Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathallah Khulayf (Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 24-26.

[2]              A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1932), 89-91.

[3]              Muhammad Abul Quasem, The Ethics of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya: Pelanduk Publications, 1984), 47-50.

[4]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 96-98.

[5]              Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 2007), 236-238.


4.           Konsep Teologis dalam Pemikiran Abu al-Hasan al-Asy’ari

4.1.       Akidah dan Prinsip Dasar

Salah satu kontribusi terbesar Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam teologi Islam adalah formulasi akidah yang menjadi landasan bagi madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ia menolak ekstremitas baik dari Mu’tazilah yang terlalu mengedepankan rasionalisme maupun kelompok Hanabilah tertentu yang cenderung literal dalam memahami teks-teks agama. Al-Asy’ari menekankan pentingnya keseimbangan antara akal dan wahyu sebagai dasar dalam memahami akidah Islam.

4.1.1.    Tauhid dan Sifat-Sifat Allah

Al-Asy’ari menjelaskan bahwa sifat-sifat Allah adalah bagian dari Dzat-Nya, tetapi tidak identik dengan Dzat-Nya, untuk menghindari keserupaan dengan makhluk (tasybih). Pandangan ini berbeda dengan Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah (ta’thil) demi menjaga keesaan-Nya. Dalam kitab Al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah, al-Asy’ari menguatkan konsep bahwa Allah memiliki sifat-sifat seperti Ilmu, Kehendak, dan Kuasa, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis, tanpa menyerupai sifat-sifat makhluk.¹

4.1.2.    Qadha dan Qadar

Dalam isu qadha dan qadar, al-Asy’ari mengajarkan konsep kasb (usaha manusia), yang menjelaskan bahwa manusia memiliki peran dalam melakukan perbuatan, tetapi kehendak Allah tetap menjadi otoritas tertinggi.² Ini adalah upaya untuk menjembatani pandangan Jabariyah yang menafikan kehendak manusia dan pandangan Mu’tazilah yang menolak keterlibatan Allah dalam tindakan manusia.³

4.2.       Metode Pendekatan Teologis

Abu al-Hasan al-Asy’ari memperkenalkan pendekatan yang menggabungkan dalil naqli (wahyu) dengan dalil aqli (akal). Meskipun menolak rasionalisme ekstrem Mu’tazilah, ia mengakui pentingnya akal dalam mendukung pemahaman terhadap teks wahyu.

4.2.1.    Penggunaan Dalil Rasional

Dalam menghadapi tantangan dari pemikiran Mu’tazilah dan kelompok non-Sunni lainnya, al-Asy’ari menggunakan argumentasi logis untuk memperkuat keabsahan akidah Islam. Contohnya, ia membantah klaim Mu’tazilah bahwa sifat Allah adalah ciptaan (makhluk) dengan menunjukkan bahwa sifat-sifat Allah tidak dapat dipisahkan dari Dzat-Nya karena keduanya abadi.⁴

4.2.2.    Kritik terhadap Mu’tazilah

Sebagai mantan penganut Mu’tazilah, al-Asy’ari memberikan kritik tajam terhadap pandangan mereka, terutama dalam isu keadilan Tuhan (‘adl) dan kebebasan manusia. Dalam Maqalat al-Islamiyyin, ia menyebut bahwa keadilan Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah terlalu dikaitkan dengan keadilan manusia, sehingga membatasi kehendak Allah.⁵ Sebaliknya, ia menekankan bahwa keadilan Tuhan tidak dapat diukur dengan standar manusia.

4.3.       Kontribusi Terhadap Maturidiyah

Meskipun Maturidiyah dikembangkan secara independen oleh Abu Mansur al-Maturidi, pemikiran al-Asy’ari memiliki pengaruh signifikan terhadap pembentukan prinsip-prinsip dasar Maturidiyah. Misalnya, baik al-Asy’ari maupun al-Maturidi menolak ta’thil dan tasybih dalam memahami sifat-sifat Allah serta berusaha menjembatani peran akal dan wahyu dalam memahami agama.⁶

Konsep kasb al-Asy’ari juga menjadi inspirasi bagi pandangan Maturidiyah tentang hubungan antara kehendak manusia dan takdir Allah, meskipun Maturidiyah memberikan ruang lebih besar kepada akal dalam beberapa aspek teologis.⁷


Catatan Kaki

[1]              Abu al-Hasan al-Asy’ari, Al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah, ed. Muhammad Zahid al-Kawthari (Cairo: Maktabah al-Mashhad, 1985), 32-34.

[2]              Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Luma’ fi Radd ‘ala Ahl al-Zaygh wa al-Bid’ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 78.

[3]              A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1932), 112-114.

[4]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 104-105.

[5]              Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin, ed. Helmut Ritter (Cairo: Matba‘at al-Salafiyyah, 1929), 72-74.

[6]              Muhammad Abul Quasem, The Ethics of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya: Pelanduk Publications, 1984), 50-52.

[7]              Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 2007), 240-241.

5.           Hubungan Maturidiyah dengan Aliran-Aliran Teologis Lain

5.1.       Perbandingan dengan Asy’ariyah

Maturidiyah dan Asy’ariyah adalah dua aliran besar dalam teologi Ahlus Sunnah wal Jamaah yang memiliki banyak kesamaan prinsip dasar, namun berbeda dalam beberapa pendekatan dan pandangan spesifik. Keduanya berupaya mempertahankan akidah Islam dari ancaman pemikiran ekstrem, seperti rasionalisme Mu’tazilah dan literalitas sebagian Hanabilah.

5.1.1.    Persamaan Prinsip Dasar

Baik Maturidiyah maupun Asy’ariyah menolak pandangan Mu’tazilah yang terlalu mengedepankan rasionalisme sehingga mengorbankan tekstualitas wahyu. Keduanya sepakat bahwa sifat-sifat Allah adalah bagian dari Dzat-Nya, tetapi tidak menyerupai makhluk-Nya (tanpa tasybih).¹ Selain itu, kedua aliran ini menolak pandangan Jabariyah yang menganggap manusia sepenuhnya tidak memiliki kehendak dalam berbuat.²

5.1.2.    Perbedaan Pendekatan

Salah satu perbedaan mencolok adalah sikap terhadap akal. Maturidiyah, yang dipengaruhi oleh tradisi pemikiran Hanafi, memberikan ruang lebih besar kepada akal dalam memahami akidah dibandingkan Asy’ariyah. Misalnya, dalam pandangan Maturidiyah, manusia dapat mengetahui keberadaan Allah dan kewajiban bersyukur kepada-Nya melalui akal, meskipun tanpa wahyu, sedangkan Asy’ariyah menegaskan bahwa wahyu adalah sumber utama pengetahuan teologis.³ Selain itu, Maturidiyah cenderung lebih lunak dalam memahami isu-isu iman, dengan menganggap amal perbuatan bukan bagian dari iman, sedangkan Asy’ariyah lebih ketat dalam hal ini.⁴

5.2.       Hubungan dengan Mu’tazilah

Sebagai respons terhadap Mu’tazilah, Maturidiyah menolak pandangan yang terlalu menonjolkan rasionalisme dalam teologi, namun tetap menggunakan metode rasional untuk mendukung akidah Islam. Maturidiyah mengkritik pandangan Mu’tazilah tentang sifat-sifat Allah, kehendak manusia, dan keadilan Tuhan, yang dianggap bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadis.

5.2.1.    Kritik terhadap Konsep Sifat-Sifat Allah

Mu’tazilah memandang bahwa sifat-sifat Allah adalah ciptaan (makhluk), demi menjaga keesaan-Nya (tawhid). Abu Mansur al-Maturidi menolak pandangan ini dan menegaskan bahwa sifat-sifat Allah bersifat azali dan inheren dalam Dzat-Nya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an.⁵

5.2.2.    Pandangan tentang Kehendak dan Perbuatan Manusia

Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan penuh dalam perbuatannya (ikhtiyar), sehingga tanggung jawab atas dosa sepenuhnya berada di tangan manusia. Maturidiyah, di sisi lain, mengakui peran kehendak manusia, namun menegaskan bahwa kehendak tersebut tetap berada dalam kerangka takdir Allah.⁶

5.3.       Hubungan dengan Salafiyah

Dalam sejarah Islam, aliran Salafiyah cenderung lebih literal dalam memahami teks Al-Qur’an dan Hadis. Hubungan antara Maturidiyah dan Salafiyah sering kali tegang karena perbedaan dalam metode pendekatan teologis. Maturidiyah mengadopsi pendekatan rasional yang moderat dalam memahami sifat-sifat Allah, sementara Salafiyah menghindari penggunaan akal secara eksplisit dan berpegang teguh pada pemahaman tekstual.

Meskipun demikian, dalam beberapa isu, seperti penolakan terhadap konsep ta’thil (penolakan sifat-sifat Allah), Maturidiyah dan Salafiyah memiliki kesamaan. Namun, Maturidiyah menolak tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) yang sering ditemukan dalam pandangan literal tertentu.⁷

5.4.       Hubungan dengan Jabariyah

Jabariyah adalah aliran yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak dalam segala perbuatannya, dan segalanya merupakan kehendak Allah semata. Maturidiyah menolak pandangan ini dan menegaskan bahwa manusia memiliki peran dalam tindakannya, meskipun dalam kerangka kehendak Allah.⁸ Konsep ini dikenal dengan istilah kasb, yang juga dianut oleh Asy’ariyah.


Catatan Kaki

[1]              Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathallah Khulayf (Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 45.

[2]              Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Luma’ fi Radd ‘ala Ahl al-Zaygh wa al-Bid’ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 63-65.

[3]              A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1932), 101-104.

[4]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 94-96.

[5]              Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 2007), 238.

[6]              Muhammad Abul Quasem, The Ethics of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya: Pelanduk Publications, 1984), 52-54.

[7]              George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 72.

[8]              Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 103-104.


6.           Sumbangsih Maturidiyah dalam Islam

6.1.       Penyebaran Pemikiran Maturidiyah

Maturidiyah telah memainkan peran penting dalam perkembangan teologi Sunni sejak abad ke-10 M. Dipelopori oleh Abu Mansur al-Maturidi di Samarkand, aliran ini berkembang pesat di kawasan Asia Tengah, Anatolia (Turki), dan anak benua India. Penyebarannya sangat terkait dengan dominasi madzhab Hanafi di wilayah tersebut, karena banyak pandangan teologis Maturidiyah sejalan dengan pendekatan fikih Hanafi.¹

Salah satu faktor utama yang mendorong penerimaan luas terhadap Maturidiyah adalah pendekatannya yang moderat dan rasional. Aliran ini mampu mengintegrasikan pemikiran rasional dan tradisi teks dalam menjawab berbagai tantangan teologis, sehingga dapat diterima di kalangan umat Islam dengan latar belakang intelektual yang beragam.² Selain itu, Maturidiyah juga memberikan fondasi teologis bagi penguasa-penguasa Muslim di Asia Tengah dan Anatolia, yang menjadikan aliran ini sebagai kerangka akidah resmi negara.³

6.2.       Relevansi Teologis

a. Moderasi dalam Teologi

Salah satu kontribusi utama Maturidiyah adalah pendekatan moderatnya terhadap isu-isu teologis. Dengan mengakui pentingnya akal tanpa mengabaikan wahyu, aliran ini berhasil menawarkan solusi atas pertentangan antara rasionalisme ekstrem (seperti dalam Mu’tazilah) dan tekstualisme literal (seperti dalam Hanabilah tertentu).⁴ Maturidiyah menunjukkan bahwa akal dan wahyu bukanlah dua entitas yang bertentangan, melainkan saling melengkapi dalam memahami realitas ketuhanan.

b. Respons terhadap Tantangan Pemikiran

Di era modern, Maturidiyah memberikan inspirasi bagi umat Islam dalam menghadapi tantangan sekularisme dan ateisme. Pendekatan rasionalnya memungkinkan kaum Muslim untuk memberikan argumen logis yang kuat dalam mempertahankan akidah mereka di hadapan pemikiran-pemikiran yang mempertanyakan eksistensi Tuhan atau menolak wahyu.⁵

6.3.       Kontribusi terhadap Pendidikan Islam

Pemikiran Maturidiyah memiliki dampak besar terhadap sistem pendidikan Islam, terutama di kawasan yang didominasi oleh madzhab Hanafi. Banyak lembaga pendidikan tradisional (madrasah) di Asia Tengah, Turki, dan anak benua India yang mengadopsi pandangan Maturidiyah sebagai bagian dari kurikulum teologi mereka.⁶

Kitab-kitab seperti Kitab al-Tawhid karya Abu Mansur al-Maturidi menjadi referensi utama dalam pengajaran teologi Sunni. Dengan memadukan metode rasional dan tekstual, pemikiran Maturidiyah membantu mencetak generasi ulama yang tidak hanya memahami ajaran Islam secara mendalam tetapi juga mampu berdialog dengan pemikiran-pemikiran kontemporer.⁷

6.4.       Kontribusi terhadap Kesatuan Umat Islam

Sebagai salah satu aliran utama dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah, Maturidiyah telah memainkan peran penting dalam menjaga kesatuan umat Islam di tengah perbedaan pandangan teologis. Dengan pendekatan moderatnya, aliran ini menjadi jembatan antara berbagai kelompok yang berbeda dalam memahami akidah Islam. Misalnya, dalam isu sifat-sifat Allah, Maturidiyah mampu menawarkan solusi yang dapat diterima oleh berbagai pihak tanpa mengorbankan prinsip dasar Ahlus Sunnah.⁸


Kesimpulan

Sumbangsih Maturidiyah terhadap Islam tidak hanya terbatas pada pembentukan kerangka teologi Sunni, tetapi juga meliputi pengaruhnya dalam pendidikan Islam, penyebaran akidah moderat, dan respons terhadap tantangan intelektual modern. Dengan mengintegrasikan akal dan wahyu, Maturidiyah terus relevan sebagai fondasi teologis yang membantu umat Islam menjaga akidah mereka di tengah dinamika pemikiran global.


Catatan Kaki

[1]              Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathallah Khulayf (Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 28.

[2]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 102-104.

[3]              Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 2007), 239.

[4]              Muhammad Abul Quasem, The Ethics of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya: Pelanduk Publications, 1984), 52-53.

[5]              George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 72-73.

[6]              A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1932), 91-93.

[7]              Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 151-152.

[8]              Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 104-106.


7.           Kritik dan Kontroversi

7.1.       Tantangan terhadap Pendekatan Teologis Maturidiyah

Meskipun Maturidiyah diakui sebagai salah satu aliran utama dalam teologi Sunni, pendekatan rasional dan moderat yang digunakan oleh aliran ini tidak lepas dari kritik. Beberapa kelompok, terutama yang berasal dari kalangan tekstualis seperti Salafiyah, menyatakan bahwa Maturidiyah terlalu mengandalkan akal dalam memahami teks wahyu. Salafiyah cenderung menekankan pemahaman literal terhadap Al-Qur’an dan Hadis serta menolak penggunaan dalil akal yang dianggap bisa membawa penyimpangan.¹

Salah satu kritik utama yang diajukan adalah pendekatan Maturidiyah terhadap sifat-sifat Allah. Meskipun aliran ini menolak ta’thil (penafian sifat-sifat Allah) dan tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk), penggunaan akal untuk menafsirkan sifat-sifat Allah sering dianggap terlalu jauh oleh kalangan tekstualis.² Misalnya, dalam menjelaskan sifat istiwa' (bersemayam) Allah, Maturidiyah menafsirkannya secara metaforis, yang bertolak belakang dengan pandangan tekstualis yang memahaminya secara harfiah tanpa mempertanyakan maknanya.

7.2.       Kontroversi dalam Konsep Kehendak dan Perbuatan Manusia

Salah satu titik perdebatan utama antara Maturidiyah dan kelompok lain adalah pandangan tentang hubungan antara kehendak manusia dan takdir Allah. Dalam pandangan Maturidiyah, manusia memiliki kehendak bebas dalam melakukan perbuatannya, tetapi kehendak ini tetap berada di bawah kehendak Allah.³ Konsep ini sering dikritik oleh kalangan Jabariyah, yang menganggap bahwa semua tindakan manusia sepenuhnya ditentukan oleh Allah, sehingga tidak ada peran kehendak manusia. Sebaliknya, kelompok Qadariyah menolak pandangan Maturidiyah dengan alasan bahwa konsep mereka masih memberikan terlalu banyak pengaruh pada takdir Allah.

Selain itu, konsep kasb (usaha manusia) yang digunakan oleh Maturidiyah untuk menjelaskan hubungan antara kehendak manusia dan Allah dianggap oleh beberapa kalangan sebagai konsep yang ambigu.⁴ Beberapa ulama mengkritik bahwa konsep ini tidak sepenuhnya memberikan solusi terhadap dilema antara qadha dan qadar karena masih meninggalkan ruang untuk interpretasi ganda.

7.3.       Pandangan Kelompok Mu’tazilah terhadap Maturidiyah

Dari perspektif Mu’tazilah, Maturidiyah dianggap terlalu mendukung pandangan tradisionalis dalam beberapa aspek, seperti sifat-sifat Allah. Mu’tazilah menolak konsep bahwa sifat-sifat Allah adalah azali (kekal) karena hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip keesaan Allah (tawhid). Sebaliknya, Maturidiyah menegaskan bahwa sifat-sifat Allah tidak terpisah dari Dzat-Nya tetapi tetap ada sebagai entitas azali.⁵

Selain itu, pendekatan Maturidiyah yang memberikan ruang pada akal tetap dianggap kurang radikal oleh Mu’tazilah. Mereka menganggap bahwa Maturidiyah tidak cukup progresif dalam mengedepankan akal sebagai otoritas utama dalam memahami agama, terutama dalam isu-isu seperti keadilan Tuhan dan penciptaan Al-Qur’an.⁶

7.4.       Respons Ulama terhadap Kritik

Sebagian besar ulama Sunni menanggapi kritik terhadap Maturidiyah dengan menegaskan bahwa pendekatan aliran ini didasarkan pada moderasi dan keseimbangan. Abu Mansur al-Maturidi berusaha untuk menjaga akidah umat Islam dari dua ekstrem: rasionalisme berlebihan Mu’tazilah dan literalitas berlebihan dari kelompok tekstualis.⁷

Para pendukung Maturidiyah juga menunjukkan bahwa konsep teologi mereka telah berhasil memberikan fondasi yang kokoh bagi Ahlus Sunnah wal Jamaah di berbagai wilayah Islam. Misalnya, pandangan mereka diterapkan secara luas dalam pendidikan Islam tradisional dan memainkan peran penting dalam melawan pengaruh aliran-aliran ekstrem, baik dalam bentuk rasionalisme maupun tekstualisme.⁸


Kesimpulan

Kritik dan kontroversi terhadap Maturidiyah mencerminkan kompleksitas pemikiran teologis dalam Islam. Meskipun menerima banyak kritik dari berbagai kelompok, aliran ini telah membuktikan keberhasilannya dalam menjaga moderasi akidah Islam di tengah berbagai tantangan pemikiran. Pendekatan rasional yang moderat, meskipun tidak luput dari kritik, tetap relevan dalam menjawab tantangan intelektual dan spiritual umat Islam di berbagai zaman.


Catatan Kaki

[1]              Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Kitab al-Tauhid, ed. Muhammad Harbi (Riyadh: Dar al-Salam, 1996), 92-94.

[2]              Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathallah Khulayf (Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 45-47.

[3]              Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 107-109.

[4]              Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Luma’ fi Radd ‘ala Ahl al-Zaygh wa al-Bid’ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 89-90.

[5]              A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1932), 114-115.

[6]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 109-110.

[7]              Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 2007), 241-242.

[8]              Muhammad Abul Quasem, The Ethics of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya: Pelanduk Publications, 1984), 55-56.


8.           Kesimpulan

Pemikiran teologis Maturidiyah yang dirintis oleh Abu Mansur al-Maturidi memberikan kontribusi besar dalam membangun kerangka akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang moderat dan relevan sepanjang sejarah Islam. Sebagai salah satu cabang teologi Sunni yang berakar pada prinsip-prinsip yang juga dirintis oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maturidiyah berfungsi sebagai pelindung akidah Islam dari ekstremitas pemikiran, baik dari kelompok rasionalis seperti Mu’tazilah maupun literalistis dari sebagian kalangan tekstualis.

Pendekatan Maturidiyah yang mengintegrasikan akal dan wahyu menjadikan aliran ini mampu menjawab tantangan intelektual dari berbagai zaman. Dalam pandangan teologi, Maturidiyah memberikan ruang bagi akal untuk memahami Tuhan dan realitas tanpa mengorbankan otoritas wahyu. Dengan demikian, aliran ini berhasil memberikan solusi atas persoalan-persoalan teologis seperti sifat-sifat Allah, kehendak manusia, dan takdir, yang sering kali menjadi bahan perdebatan dalam sejarah Islam.¹

Selain kontribusi teologis, Maturidiyah juga memiliki peran besar dalam penyebaran Islam di wilayah Asia Tengah, Turki, dan anak benua India. Dominasi madzhab Hanafi di wilayah-wilayah tersebut, yang selaras dengan pendekatan teologi Maturidiyah, memperkuat posisi aliran ini sebagai fondasi akidah Islam di kalangan umat Muslim.² Bahkan hingga saat ini, pemikiran Maturidiyah masih menjadi rujukan penting dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional, terutama di wilayah yang secara historis memiliki pengaruh madzhab Hanafi.³

Meskipun Maturidiyah menerima kritik dari berbagai kalangan, termasuk kelompok tekstualis dan rasionalis ekstrem, pendekatan moderatnya tetap relevan dalam menjawab tantangan pemikiran kontemporer, seperti sekularisme dan ateisme. Dengan memberikan ruang kepada akal dalam kerangka wahyu, Maturidiyah mampu menjembatani dialog antara iman dan ilmu pengetahuan.⁴

Dalam menghadapi perpecahan teologis di kalangan umat Islam, Maturidiyah menunjukkan pentingnya pendekatan yang inklusif dan moderat. Dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jamaah, aliran ini memberikan solusi yang harmonis bagi umat Islam untuk menghadapi persoalan-persoalan teologis yang kompleks. Oleh karena itu, relevansi pemikiran Maturidiyah tidak hanya bertahan dalam sejarah tetapi juga terus memberikan inspirasi bagi upaya memperkuat akidah umat Islam di era modern.⁵


Catatan Kaki

[1]              Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathallah Khulayf (Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 52-54.

[2]              A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1932), 91-93.

[3]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 104-106.

[4]              Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 2007), 238-239.

[5]              Muhammad Abul Quasem, The Ethics of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya: Pelanduk Publications, 1984), 52-54.


Daftar Pustaka

Abul Quasem, M. (1984). The Ethics of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam. Petaling Jaya: Pelanduk Publications.

Al-Asy’ari, A. H. (1929). Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin (H. Ritter, Ed.). Cairo: Matba‘at al-Salafiyyah.

Al-Asy’ari, A. H. (1985). Al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah (M. Z. al-Kawthari, Ed.). Cairo: Maktabah al-Mashhad.

Al-Asy’ari, A. H. (1990). Kitab al-Luma’ fi Radd ‘ala Ahl al-Zaygh wa al-Bid’. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Maturidi, A. M. (1970). Kitab al-Tawhid (F. Khulayf, Ed.). Beirut: Dar al-Mashriq.

Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society. London: Routledge.

Makdisi, G. (1981). The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Martin, R. C. (1997). Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology. Oxford: Oneworld Publications.

Rosenthal, F. (2007). Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam. Leiden: Brill.

Wensinck, A. J. (1932). The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development. Cambridge: Cambridge University Press.

Wolfson, H. A. (1976). The Philosophy of the Kalam. Cambridge, MA: Harvard University Press.


Lampiran: Daftar Kitab Rujukan untuk Mempelajari Teologi Maturidiyah

1.            Abu Mansur al-Maturidi (853–944 M)

o     Kitab al-Tawhid

o     Kitab ini adalah karya utama Abu Mansur al-Maturidi yang menjelaskan dasar-dasar akidah Islam berdasarkan prinsip teologi Maturidiyah. Dalam kitab ini, al-Maturidi membahas konsep tauhid, sifat-sifat Allah, qadha dan qadar, serta hubungan antara akal dan wahyu, dengan penekanan pada moderasi dan rasionalitas. Kitab ini dianggap sebagai fondasi utama teologi Maturidiyah.

2.            Abu al-Mu’in al-Nasafi (1027–1115 M)

o     Tabsirat al-Adillah

o     Karya monumental ini menjelaskan argumen-argumen rasional untuk mendukung doktrin-doktrin teologi Maturidiyah. Al-Nasafi membahas isu-isu seperti sifat-sifat Allah, keadilan Tuhan, kehendak bebas manusia, dan perdebatan dengan aliran-aliran teologis lain seperti Mu’tazilah dan Jabariyah.

3.            Najm al-Din al-Nasafi (1068–1142 M)

o     ‘Aqidah al-Nasafiyyah

o     Sebuah risalah singkat yang merangkum prinsip-prinsip akidah Maturidiyah. Kitab ini digunakan secara luas sebagai teks pengajaran di madrasah-madrasah tradisional. Penjelasannya yang ringkas namun sistematis menjadikannya referensi penting bagi pelajar teologi.

4.            Sa’d al-Din al-Taftazani (1322–1390 M)

o     Syarh al-‘Aqidah al-Nasafiyyah

o     Karya ini adalah komentar mendalam terhadap ‘Aqidah al-Nasafiyyah karya Najm al-Din al-Nasafi. Dalam kitab ini, al-Taftazani menguraikan isu-isu teologis dengan lebih rinci dan memberikan klarifikasi atas berbagai kritik yang diarahkan kepada doktrin Maturidiyah.

5.            Abu Hafs ‘Umar al-Nasafi (1069–1142 M)

o     Al-Qand fi Ma‘rifah Madhhab Ahl al-Sunnah

o     Kitab ini menyajikan pembahasan historis tentang aliran-aliran teologis dalam Islam, termasuk Maturidiyah. Al-Nasafi memberikan penjelasan mengenai posisi teologi Maturidiyah dalam kerangka Ahlus Sunnah wal Jamaah.

6.            Abu al-Barakat al-Nasafi (w. 710 H/1310 M)

o     Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil

o     Sebuah tafsir Al-Qur’an yang menonjolkan pendekatan teologi Maturidiyah dalam menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, takdir, dan isu-isu metafisik lainnya.

7.            Fakhr al-Din al-Razi (1149–1209 M)

o     Al-Mahsul fi ‘Ilm al-Usul

o     Meskipun al-Razi bukan seorang tokoh Maturidiyah secara spesifik, kitab ini sering digunakan untuk memahami metode rasional yang sejalan dengan prinsip-prinsip teologi Maturidiyah. Al-Razi membahas hubungan antara akal dan wahyu dengan pendekatan yang sangat mendalam.

8.            Imam al-Bayadi (w. 1098 H/1687 M)

o     Isharat al-Maram min ‘Ibarat al-Imam

o     Sebuah kitab yang memberikan penjelasan tentang doktrin Maturidiyah, dengan menekankan penggunaan dalil rasional dalam memahami sifat-sifat Allah, iman, dan kehendak bebas manusia.


Kitab-kitab ini mencakup berbagai perspektif tentang teologi Maturidiyah, mulai dari karya-karya klasik pendiri aliran hingga komentar-komentar penting yang memperkuat pemahaman teologis Sunni dalam kerangka moderasi dan rasionalitas. Lampiran ini dapat menjadi panduan mendalam bagi siapa saja yang ingin mempelajari teologi Maturidiyah secara komprehensif.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar