Aliran Teologi Maturidiyah
“Pemikiran Teologis Abu
al-Hasan al-Asy’ari dalam Perspektif Sejarah dan Akidah Islam”
1.
Pendahuluan
Ilmu kalam, sebagai salah satu cabang ilmu dalam
Islam, memainkan peran penting dalam menjawab tantangan pemikiran dan
menyelesaikan berbagai problematika akidah yang dihadapi umat Islam sejak masa
awal. Ilmu ini muncul seiring dengan berkembangnya pertanyaan-pertanyaan kritis
tentang Tuhan, sifat-sifat-Nya, serta hubungan antara akal dan wahyu. Tantangan
tersebut terutama muncul akibat pengaruh filsafat Yunani, interaksi dengan
budaya asing, serta perpecahan politik di dalam umat Islam pada masa dinasti Umayyah
dan Abbasiyah. Para ulama merespons tantangan ini dengan menciptakan landasan
teologis yang mampu menjaga kemurnian akidah Islam sekaligus memberikan jawaban
rasional kepada kaum Muslimin. Salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam
disiplin ilmu ini adalah Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Abu al-Hasan al-Asy’ari, yang hidup pada abad ke-9
hingga awal abad ke-10 M, adalah seorang teolog besar yang mengukuhkan madzhab
Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai respons terhadap tantangan pemikiran rasionalis
ekstrem yang dipromosikan oleh aliran Mu’tazilah. Al-Asy’ari sendiri memiliki
perjalanan intelektual yang menarik. Sebagai mantan penganut Mu’tazilah, ia
mengalami transformasi ideologis yang mengantarnya untuk mengkritik
konsep-konsep teologis kelompok tersebut. Dalam karyanya, ia mengintegrasikan
antara akal dan wahyu dengan menolak posisi ekstrem, baik rasionalisme
Mu’tazilah maupun literalisme kelompok tekstualis seperti sebagian kaum
Hanabilah.
Pemikiran al-Asy’ari menjadi fondasi bagi dua
aliran besar dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah: Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Sementara al-Asy’ari mendirikan madzhab Asy’ariyah secara langsung, Maturidiyah
berkembang melalui karya dan pengaruh Abu Mansur al-Maturidi di Asia Tengah.
Kedua aliran ini memiliki prinsip dasar yang sama, tetapi berbeda dalam
beberapa pendekatan terhadap isu-isu teologis tertentu. Dengan demikian,
pembahasan tentang Maturidiyah tidak dapat dipisahkan dari peran dan kontribusi
Abu al-Hasan al-Asy’ari, yang menjadi salah satu pilar utama pembentukan teologi
Sunni.
Melalui artikel ini, kita akan menjelajahi secara
mendalam konsep-konsep teologis yang berkaitan dengan Maturidiyah, perannya
dalam dinamika sejarah Islam, serta relevansinya dalam menjawab tantangan
pemikiran di era modern. Kajian ini disusun dengan merujuk kepada
referensi-referensi klasik dan modern yang kredibel agar memberikan pemahaman
yang objektif, ilmiah, dan bermanfaat bagi pembaca.
Catatan Kaki
[1]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1976), 4.
[2]
Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1985), 73-75.
[3]
Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2006), 34-36.
[4]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah, ed.
Muhammad Zahid al-Kawthari (Cairo: Maktabah al-Mashhad, 1985), 12-14.
[5]
Jonathan Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of
Interpreting the Prophet’s Legacy (London: Oneworld Publications, 2014),
87.
2.
Abu
al-Hasan al-Asy’ari: Biografi dan Konteks Kehidupan
2.1. Biografi Singkat
Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari (873–935 M)
adalah salah satu teolog Islam yang paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Ia
lahir di Basra, Irak, yang pada saat itu merupakan pusat intelektual dan
budaya. Kakeknya, Abu Musa al-Asy’ari, adalah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw
yang terkenal dengan kedalaman ilmu agama dan ketakwaannya. Lingkungan keluarga
dan masyarakat Basra yang kosmopolitan memungkinkan al-Asy’ari tumbuh dalam
atmosfer pemikiran yang dinamis, termasuk keterpaparannya pada beragam aliran
teologi dan filsafat Islam.
Pada awal kehidupannya, al-Asy’ari adalah seorang
penganut setia aliran Mu’tazilah, sebuah kelompok teologis yang mengedepankan
penggunaan akal dalam memahami agama. Ia belajar langsung dari Abu Ali
al-Jubba’i, salah satu tokoh terkemuka dalam Mu’tazilah. Namun, pada usia 40
tahun, al-Asy’ari mengalami perubahan drastis dalam pandangan teologisnya. Ia
meninggalkan Mu’tazilah setelah merasa bahwa doktrin-doktrin mereka, terutama
tentang sifat-sifat Allah dan takdir, bertentangan dengan pemahaman tekstual
Al-Qur’an dan Hadis. Perubahan ini menjadi titik awal baginya untuk
mengembangkan madzhab teologis baru yang mendamaikan akal dan wahyu dalam
kerangka Ahlus Sunnah wal Jamaah.
2.2. Latar Belakang Pemikiran
Abu al-Hasan al-Asy’ari hidup dalam periode di mana
umat Islam menghadapi tantangan internal dan eksternal yang signifikan. Pada
masa dinasti Abbasiyah, filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab,
sehingga memunculkan arus pemikiran baru di dunia Islam. Para intelektual
Muslim, termasuk Mu’tazilah, banyak terpengaruh oleh metode rasionalisasi
filsafat Yunani, yang sering kali menyebabkan penyimpangan dalam memahami
ajaran Islam.
Salah satu isu besar yang dihadapi umat Islam saat
itu adalah kontroversi tentang sifat-sifat Allah. Mu’tazilah, misalnya,
berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak dapat dipisahkan dari Dzat-Nya
(ta’thil), untuk menghindari kesan bahwa Allah memiliki keserupaan dengan
makhluk-Nya. Pandangan ini ditolak oleh al-Asy’ari, yang kemudian menegaskan
bahwa sifat-sifat Allah adalah bagian dari Dzat-Nya, namun tidak serupa dengan
makhluk. Selain itu, isu tentang kehendak bebas manusia dan takdir juga menjadi
perdebatan sengit. Mu’tazilah menekankan kehendak bebas manusia, sedangkan
al-Asy’ari mengambil posisi tengah yang mengakui qadha dan qadar Allah tanpa
menafikan tanggung jawab manusia.
Transformasi teologis al-Asy’ari mencerminkan upaya
untuk mengembalikan umat Islam kepada ajaran murni Al-Qur’an dan Hadis dengan
pendekatan yang tetap logis namun tidak menyimpang. Dengan menggunakan metode
argumentasi rasional yang lebih sederhana dibandingkan Mu’tazilah, ia berhasil
menarik banyak pengikut dan memperkuat posisi Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam
diskursus teologis Islam.
Catatan Kaki
[1]
A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical
Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1932), 52-55.
[2]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism and
Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 83-85.
[3]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Luma’ fi Radd ‘ala Ahl al-Zaygh wa
al-Bid’ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 14-17.
[4]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (London:
Routledge, 1998), 151-153.
[5]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 72.
3.
Pengertian
dan Asal-Usul Maturidiyah
3.1. Definisi Maturidiyah
Maturidiyah adalah salah satu dari dua aliran utama
dalam teologi Sunni (Ahlus Sunnah wal Jamaah) yang dikembangkan oleh Abu Mansur
al-Maturidi (853–944 M), seorang teolog asal Samarkand, Asia Tengah. Aliran ini
dinamakan sesuai dengan namanya dan berfokus pada upaya memahami akidah Islam
dengan pendekatan rasional yang tetap selaras dengan wahyu. Dalam konteks Ahlus
Sunnah, Maturidiyah memberikan dasar teologis yang berusaha menyeimbangkan
penggunaan akal dan nash (teks Al-Qur’an dan Hadis) untuk menjawab
persoalan-persoalan teologis yang kompleks.
Aliran ini sering dianggap sebagai pengembangan
lebih lanjut dari pemikiran yang dirintis oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari,
meskipun terdapat perbedaan pendekatan dalam beberapa isu, seperti penggunaan
akal untuk memahami iman dan hubungan antara kehendak Allah dan perbuatan
manusia. Secara garis besar, Maturidiyah memiliki kesamaan prinsip dasar dengan
Asy’ariyah, terutama dalam mempertahankan akidah Islam dari ancaman pemikiran
ekstrem, baik dari Mu’tazilah yang rasionalis maupun kelompok literal lainnya.
3.2. Kemunculan Istilah Maturidiyah
Maturidiyah sebagai aliran teologi tidak muncul
secara formal semasa hidup Abu Mansur al-Maturidi. Istilah ini mulai digunakan
beberapa dekade setelah kematiannya oleh para pengikut dan murid-muridnya untuk
merujuk pada pandangan-pandangan teologis yang ia ajarkan. Pemikiran
al-Maturidi berkembang di wilayah Khurasan, Samarkand, dan Bukhara, yang
menjadi pusat peradaban Islam di Asia Tengah pada masa itu.
Salah satu ciri khas pemikiran Maturidiyah adalah
kemampuannya mengintegrasikan tradisi Hanafi dalam fiqh dengan pendekatan
teologis yang moderat. Al-Maturidi sendiri adalah seorang ulama Hanafi,
sehingga pandangan-pandangan fiqhnya banyak memengaruhi metode teologis yang ia
gunakan. Hal ini membuat Maturidiyah diterima luas di wilayah yang didominasi
oleh madzhab Hanafi, seperti Asia Tengah, Turki, dan anak benua India.
3.3. Hubungan Maturidiyah dengan Pemikiran Ahlus Sunnah
Dalam konteks sejarah, Maturidiyah sering dianggap
sebagai pelengkap bagi Asy’ariyah dalam membangun kerangka teologi Sunni. Kedua
aliran ini memiliki tujuan yang sama, yaitu mempertahankan akidah Islam yang
murni dari ancaman pemikiran ekstrem, tetapi mereka berbeda dalam beberapa
pendekatan. Salah satu perbedaan utama adalah pandangan terhadap akal.
Maturidiyah memberikan ruang lebih besar bagi akal
dalam memahami akidah dibandingkan Asy’ariyah. Sebagai contoh, dalam masalah
iman, Maturidiyah berpendapat bahwa iman tidak akan sempurna tanpa pengetahuan
rasional tentang Allah, sedangkan Asy’ariyah lebih menekankan pada penerimaan
wahyu secara tekstual. Meskipun demikian, kedua aliran ini tetap berada dalam
kerangka besar Ahlus Sunnah dan bekerja sama dalam menghadapi tantangan dari
aliran-aliran teologis lainnya.
Catatan Kaki
[1]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathallah Khulayf
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 24-26.
[2]
A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical
Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1932), 89-91.
[3]
Muhammad Abul Quasem, The Ethics of al-Ghazali: A Composite Ethics in
Islam (Petaling Jaya: Pelanduk Publications, 1984), 47-50.
[4]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and
Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 96-98.
[5]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in
Medieval Islam (Leiden: Brill, 2007), 236-238.
4.
Konsep
Teologis dalam Pemikiran Abu al-Hasan al-Asy’ari
4.1. Akidah dan Prinsip Dasar
Salah satu kontribusi terbesar Abu al-Hasan al-Asy’ari
dalam teologi Islam adalah formulasi akidah yang menjadi landasan bagi madzhab
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ia menolak ekstremitas baik dari Mu’tazilah yang
terlalu mengedepankan rasionalisme maupun kelompok Hanabilah tertentu yang
cenderung literal dalam memahami teks-teks agama. Al-Asy’ari menekankan
pentingnya keseimbangan antara akal dan wahyu sebagai dasar dalam memahami
akidah Islam.
4.1.1.
Tauhid dan
Sifat-Sifat Allah
Al-Asy’ari
menjelaskan bahwa sifat-sifat Allah adalah bagian dari Dzat-Nya, tetapi tidak
identik dengan Dzat-Nya, untuk menghindari keserupaan dengan makhluk (tasybih).
Pandangan ini berbeda dengan Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah
(ta’thil) demi menjaga keesaan-Nya. Dalam kitab Al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah,
al-Asy’ari menguatkan konsep bahwa Allah memiliki sifat-sifat seperti Ilmu,
Kehendak, dan Kuasa, sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis, tanpa menyerupai sifat-sifat makhluk.¹
4.1.2.
Qadha dan Qadar
Dalam isu qadha dan
qadar, al-Asy’ari mengajarkan konsep kasb (usaha manusia), yang
menjelaskan bahwa manusia memiliki peran dalam melakukan perbuatan, tetapi
kehendak Allah tetap menjadi otoritas tertinggi.² Ini adalah upaya untuk
menjembatani pandangan Jabariyah yang menafikan kehendak manusia dan pandangan
Mu’tazilah yang menolak keterlibatan
Allah dalam tindakan manusia.³
4.2. Metode Pendekatan Teologis
Abu al-Hasan
al-Asy’ari memperkenalkan pendekatan yang menggabungkan dalil naqli (wahyu)
dengan dalil aqli (akal). Meskipun menolak rasionalisme ekstrem Mu’tazilah, ia mengakui pentingnya akal
dalam mendukung pemahaman terhadap teks wahyu.
4.2.1.
Penggunaan Dalil
Rasional
Dalam menghadapi
tantangan dari pemikiran Mu’tazilah dan kelompok non-Sunni lainnya, al-Asy’ari
menggunakan argumentasi logis untuk memperkuat keabsahan akidah Islam.
Contohnya, ia membantah klaim Mu’tazilah bahwa sifat Allah adalah ciptaan (makhluk) dengan menunjukkan
bahwa sifat-sifat Allah tidak dapat dipisahkan dari Dzat-Nya karena keduanya
abadi.⁴
4.2.2.
Kritik terhadap
Mu’tazilah
Sebagai mantan
penganut Mu’tazilah, al-Asy’ari memberikan kritik tajam terhadap pandangan
mereka, terutama dalam isu keadilan Tuhan (‘adl) dan kebebasan manusia. Dalam Maqalat al-Islamiyyin, ia menyebut
bahwa keadilan Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah terlalu dikaitkan dengan
keadilan manusia, sehingga membatasi kehendak Allah.⁵ Sebaliknya, ia menekankan
bahwa keadilan Tuhan tidak dapat diukur dengan standar manusia.
4.3. Kontribusi Terhadap Maturidiyah
Meskipun Maturidiyah
dikembangkan secara independen oleh Abu Mansur al-Maturidi, pemikiran
al-Asy’ari memiliki pengaruh signifikan terhadap pembentukan prinsip-prinsip dasar Maturidiyah. Misalnya, baik
al-Asy’ari maupun al-Maturidi menolak ta’thil dan tasybih dalam memahami
sifat-sifat Allah serta berusaha menjembatani peran akal dan wahyu dalam
memahami agama.⁶
Konsep kasb
al-Asy’ari juga menjadi inspirasi bagi pandangan Maturidiyah tentang hubungan
antara kehendak manusia dan takdir Allah, meskipun Maturidiyah memberikan ruang
lebih besar kepada akal dalam beberapa aspek teologis.⁷
Catatan Kaki
[1]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Al-Ibanah
‘an Usul al-Diyanah, ed. Muhammad Zahid al-Kawthari (Cairo:
Maktabah al-Mashhad, 1985), 32-34.
[2]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab
al-Luma’ fi Radd ‘ala Ahl al-Zaygh wa al-Bid’ (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1990), 78.
[3]
A.J. Wensinck, The
Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (Cambridge:
Cambridge University Press, 1932), 112-114.
[4]
Richard C. Martin, Defenders
of Reason in Islam: Mu'tazilism and Rational Theology (Oxford:
Oneworld Publications, 1997), 104-105.
[5]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat
al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin, ed. Helmut Ritter (Cairo:
Matba‘at al-Salafiyyah, 1929), 72-74.
[6]
Muhammad Abul Quasem, The
Ethics of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya:
Pelanduk Publications, 1984), 50-52.
[7]
Franz Rosenthal, Knowledge
Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden:
Brill, 2007), 240-241.
5.
Hubungan
Maturidiyah dengan Aliran-Aliran Teologis Lain
5.1. Perbandingan dengan Asy’ariyah
Maturidiyah dan
Asy’ariyah adalah dua aliran besar dalam teologi Ahlus Sunnah wal Jamaah yang
memiliki banyak kesamaan prinsip dasar, namun berbeda dalam beberapa pendekatan
dan pandangan spesifik. Keduanya berupaya mempertahankan akidah Islam dari
ancaman pemikiran ekstrem, seperti rasionalisme Mu’tazilah dan literalitas sebagian Hanabilah.
5.1.1.
Persamaan Prinsip
Dasar
Baik Maturidiyah
maupun Asy’ariyah menolak pandangan Mu’tazilah yang terlalu mengedepankan
rasionalisme sehingga mengorbankan tekstualitas wahyu. Keduanya sepakat bahwa
sifat-sifat Allah adalah bagian dari Dzat-Nya, tetapi tidak menyerupai
makhluk-Nya (tanpa tasybih).¹ Selain itu, kedua aliran ini menolak pandangan
Jabariyah yang menganggap manusia sepenuhnya tidak memiliki kehendak dalam
berbuat.²
5.1.2.
Perbedaan Pendekatan
Salah satu perbedaan
mencolok adalah sikap terhadap akal. Maturidiyah, yang dipengaruhi oleh tradisi
pemikiran Hanafi, memberikan ruang lebih besar kepada akal dalam memahami
akidah dibandingkan Asy’ariyah.
Misalnya, dalam pandangan Maturidiyah, manusia dapat mengetahui keberadaan
Allah dan kewajiban bersyukur kepada-Nya melalui akal, meskipun tanpa wahyu,
sedangkan Asy’ariyah menegaskan bahwa wahyu adalah sumber utama pengetahuan
teologis.³ Selain itu, Maturidiyah cenderung lebih lunak dalam memahami isu-isu
iman, dengan menganggap amal perbuatan bukan bagian dari iman, sedangkan
Asy’ariyah lebih ketat dalam hal ini.⁴
5.2. Hubungan dengan Mu’tazilah
Sebagai respons
terhadap Mu’tazilah, Maturidiyah menolak pandangan yang terlalu menonjolkan
rasionalisme dalam teologi, namun tetap menggunakan metode rasional untuk mendukung akidah Islam. Maturidiyah
mengkritik pandangan Mu’tazilah tentang sifat-sifat Allah, kehendak manusia,
dan keadilan Tuhan, yang dianggap bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan
Hadis.
5.2.1.
Kritik terhadap
Konsep Sifat-Sifat Allah
Mu’tazilah memandang
bahwa sifat-sifat Allah adalah ciptaan (makhluk), demi menjaga keesaan-Nya (tawhid).
Abu Mansur al-Maturidi menolak pandangan ini dan menegaskan bahwa sifat-sifat
Allah bersifat azali dan inheren dalam Dzat-Nya, sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur’an.⁵
5.2.2.
Pandangan tentang
Kehendak dan Perbuatan Manusia
Mu’tazilah
berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan penuh dalam perbuatannya (ikhtiyar),
sehingga tanggung jawab atas dosa sepenuhnya berada di tangan manusia. Maturidiyah,
di sisi lain, mengakui peran kehendak
manusia, namun menegaskan bahwa kehendak tersebut tetap berada dalam kerangka
takdir Allah.⁶
5.3. Hubungan dengan Salafiyah
Dalam sejarah Islam,
aliran Salafiyah cenderung lebih literal dalam memahami teks Al-Qur’an dan
Hadis. Hubungan antara Maturidiyah dan Salafiyah sering kali tegang karena
perbedaan dalam metode pendekatan teologis. Maturidiyah mengadopsi pendekatan
rasional yang moderat dalam memahami sifat-sifat Allah, sementara Salafiyah
menghindari penggunaan akal secara eksplisit dan berpegang teguh pada pemahaman
tekstual.
Meskipun demikian,
dalam beberapa isu, seperti penolakan terhadap konsep ta’thil (penolakan sifat-sifat Allah), Maturidiyah
dan Salafiyah memiliki kesamaan. Namun, Maturidiyah menolak tasybih
(penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) yang sering ditemukan dalam pandangan
literal tertentu.⁷
5.4. Hubungan dengan Jabariyah
Jabariyah adalah
aliran yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak dalam segala
perbuatannya, dan segalanya merupakan kehendak
Allah semata. Maturidiyah menolak pandangan ini dan menegaskan bahwa manusia
memiliki peran dalam tindakannya, meskipun dalam kerangka kehendak Allah.⁸
Konsep ini dikenal dengan istilah kasb, yang juga dianut oleh
Asy’ariyah.
Catatan Kaki
[1]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitab
al-Tawhid, ed. Fathallah Khulayf (Beirut: Dar al-Mashriq, 1970),
45.
[2]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab
al-Luma’ fi Radd ‘ala Ahl al-Zaygh wa al-Bid’ (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1990), 63-65.
[3]
A.J. Wensinck, The
Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (Cambridge:
Cambridge University Press, 1932), 101-104.
[4]
Richard C. Martin, Defenders
of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology (Oxford:
Oneworld Publications, 1997), 94-96.
[5]
Franz Rosenthal, Knowledge
Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden:
Brill, 2007), 238.
[6]
Muhammad Abul Quasem, The
Ethics of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya:
Pelanduk Publications, 1984), 52-54.
[7]
George Makdisi, The Rise
of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 72.
[8]
Harry Austryn Wolfson, The
Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1976), 103-104.
6.
Sumbangsih
Maturidiyah dalam Islam
6.1. Penyebaran Pemikiran Maturidiyah
Maturidiyah telah
memainkan peran penting dalam perkembangan teologi Sunni sejak abad ke-10 M.
Dipelopori oleh Abu Mansur al-Maturidi di Samarkand, aliran ini berkembang
pesat di kawasan Asia Tengah, Anatolia (Turki), dan anak benua India.
Penyebarannya sangat terkait dengan dominasi madzhab Hanafi di wilayah
tersebut, karena banyak pandangan teologis Maturidiyah sejalan dengan
pendekatan fikih Hanafi.¹
Salah satu faktor
utama yang mendorong penerimaan luas terhadap Maturidiyah adalah pendekatannya
yang moderat dan rasional. Aliran ini mampu mengintegrasikan pemikiran rasional dan tradisi teks dalam
menjawab berbagai tantangan teologis, sehingga dapat diterima di kalangan umat
Islam dengan latar belakang intelektual yang beragam.² Selain itu, Maturidiyah
juga memberikan fondasi teologis bagi penguasa-penguasa Muslim di Asia Tengah
dan Anatolia, yang menjadikan aliran ini sebagai kerangka akidah resmi negara.³
6.2. Relevansi Teologis
a. Moderasi dalam
Teologi
Salah satu
kontribusi utama Maturidiyah adalah pendekatan moderatnya terhadap isu-isu teologis. Dengan mengakui pentingnya akal
tanpa mengabaikan wahyu, aliran ini berhasil menawarkan solusi atas
pertentangan antara rasionalisme ekstrem (seperti dalam Mu’tazilah) dan
tekstualisme literal (seperti dalam Hanabilah tertentu).⁴ Maturidiyah menunjukkan
bahwa akal dan wahyu bukanlah dua entitas yang bertentangan, melainkan saling
melengkapi dalam memahami realitas ketuhanan.
b. Respons terhadap Tantangan Pemikiran
Di era modern,
Maturidiyah memberikan inspirasi bagi umat Islam dalam menghadapi tantangan
sekularisme dan ateisme. Pendekatan rasionalnya memungkinkan kaum Muslim untuk
memberikan argumen logis yang kuat dalam mempertahankan akidah mereka di
hadapan pemikiran-pemikiran yang mempertanyakan eksistensi Tuhan atau menolak
wahyu.⁵
6.3. Kontribusi terhadap Pendidikan Islam
Pemikiran Maturidiyah memiliki dampak besar terhadap
sistem pendidikan Islam, terutama di kawasan yang didominasi oleh madzhab
Hanafi. Banyak lembaga pendidikan tradisional (madrasah) di Asia Tengah, Turki,
dan anak benua India yang mengadopsi pandangan Maturidiyah sebagai bagian dari
kurikulum teologi mereka.⁶
Kitab-kitab seperti Kitab
al-Tawhid karya Abu Mansur al-Maturidi menjadi referensi utama
dalam pengajaran teologi Sunni. Dengan memadukan metode rasional dan tekstual,
pemikiran Maturidiyah membantu mencetak generasi ulama yang tidak hanya
memahami ajaran Islam secara mendalam tetapi juga mampu berdialog dengan
pemikiran-pemikiran kontemporer.⁷
6.4. Kontribusi terhadap Kesatuan Umat Islam
Sebagai salah satu
aliran utama dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah, Maturidiyah telah memainkan peran
penting dalam menjaga kesatuan umat Islam di tengah perbedaan pandangan
teologis. Dengan pendekatan moderatnya,
aliran ini menjadi jembatan antara berbagai kelompok yang berbeda dalam
memahami akidah Islam. Misalnya, dalam isu sifat-sifat Allah, Maturidiyah mampu
menawarkan solusi yang dapat diterima oleh berbagai pihak tanpa mengorbankan
prinsip dasar Ahlus Sunnah.⁸
Kesimpulan
Sumbangsih
Maturidiyah terhadap Islam tidak hanya terbatas pada pembentukan kerangka teologi Sunni, tetapi juga meliputi
pengaruhnya dalam pendidikan Islam, penyebaran akidah moderat, dan respons
terhadap tantangan intelektual modern. Dengan mengintegrasikan akal dan wahyu,
Maturidiyah terus relevan sebagai fondasi teologis yang membantu umat Islam
menjaga akidah mereka di tengah dinamika pemikiran global.
Catatan Kaki
[1]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitab
al-Tawhid, ed. Fathallah Khulayf (Beirut: Dar al-Mashriq, 1970),
28.
[2]
Richard C. Martin, Defenders
of Reason in Islam: Mu'tazilism and Rational Theology (Oxford:
Oneworld Publications, 1997), 102-104.
[3]
Franz Rosenthal, Knowledge
Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden:
Brill, 2007), 239.
[4]
Muhammad Abul Quasem, The
Ethics of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Petaling Jaya:
Pelanduk Publications, 1984), 52-53.
[5]
George Makdisi, The Rise
of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 72-73.
[6]
A.J. Wensinck, The
Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (Cambridge:
Cambridge University Press, 1932), 91-93.
[7]
Dimitri Gutas, Greek
Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and
Early Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 151-152.
[8]
Harry Austryn Wolfson, The
Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1976), 104-106.
7.
Kritik
dan Kontroversi
7.1. Tantangan terhadap Pendekatan Teologis Maturidiyah
Meskipun Maturidiyah diakui sebagai salah satu
aliran utama dalam teologi Sunni, pendekatan rasional dan moderat yang
digunakan oleh aliran ini tidak lepas dari kritik. Beberapa kelompok, terutama
yang berasal dari kalangan tekstualis seperti Salafiyah, menyatakan bahwa
Maturidiyah terlalu mengandalkan akal dalam memahami teks wahyu. Salafiyah
cenderung menekankan pemahaman literal terhadap Al-Qur’an dan Hadis serta menolak
penggunaan dalil akal yang dianggap bisa membawa penyimpangan.¹
Salah satu kritik utama yang diajukan adalah
pendekatan Maturidiyah terhadap sifat-sifat Allah. Meskipun aliran ini menolak
ta’thil (penafian sifat-sifat Allah) dan tasybih (penyerupaan sifat Allah
dengan makhluk), penggunaan akal untuk menafsirkan sifat-sifat Allah sering
dianggap terlalu jauh oleh kalangan tekstualis.² Misalnya, dalam menjelaskan
sifat istiwa' (bersemayam) Allah, Maturidiyah menafsirkannya secara
metaforis, yang bertolak belakang dengan pandangan tekstualis yang memahaminya
secara harfiah tanpa mempertanyakan maknanya.
7.2. Kontroversi dalam Konsep Kehendak dan Perbuatan
Manusia
Salah satu titik perdebatan utama antara
Maturidiyah dan kelompok lain adalah pandangan tentang hubungan antara kehendak
manusia dan takdir Allah. Dalam pandangan Maturidiyah, manusia memiliki
kehendak bebas dalam melakukan perbuatannya, tetapi kehendak ini tetap berada
di bawah kehendak Allah.³ Konsep ini sering dikritik oleh kalangan Jabariyah,
yang menganggap bahwa semua tindakan manusia sepenuhnya ditentukan oleh Allah,
sehingga tidak ada peran kehendak manusia. Sebaliknya, kelompok Qadariyah
menolak pandangan Maturidiyah dengan alasan bahwa konsep mereka masih
memberikan terlalu banyak pengaruh pada takdir Allah.
Selain itu, konsep kasb (usaha manusia) yang
digunakan oleh Maturidiyah untuk menjelaskan hubungan antara kehendak manusia
dan Allah dianggap oleh beberapa kalangan sebagai konsep yang ambigu.⁴ Beberapa
ulama mengkritik bahwa konsep ini tidak sepenuhnya memberikan solusi terhadap
dilema antara qadha dan qadar karena masih meninggalkan ruang untuk
interpretasi ganda.
7.3. Pandangan Kelompok Mu’tazilah terhadap Maturidiyah
Dari perspektif Mu’tazilah, Maturidiyah dianggap
terlalu mendukung pandangan tradisionalis dalam beberapa aspek, seperti
sifat-sifat Allah. Mu’tazilah menolak konsep bahwa sifat-sifat Allah adalah
azali (kekal) karena hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip keesaan Allah
(tawhid). Sebaliknya, Maturidiyah menegaskan bahwa sifat-sifat Allah
tidak terpisah dari Dzat-Nya tetapi tetap ada sebagai entitas azali.⁵
Selain itu, pendekatan Maturidiyah yang memberikan
ruang pada akal tetap dianggap kurang radikal oleh Mu’tazilah. Mereka
menganggap bahwa Maturidiyah tidak cukup progresif dalam mengedepankan akal
sebagai otoritas utama dalam memahami agama, terutama dalam isu-isu seperti
keadilan Tuhan dan penciptaan Al-Qur’an.⁶
7.4. Respons Ulama terhadap Kritik
Sebagian besar ulama Sunni menanggapi kritik
terhadap Maturidiyah dengan menegaskan bahwa pendekatan aliran ini didasarkan
pada moderasi dan keseimbangan. Abu Mansur al-Maturidi berusaha untuk menjaga
akidah umat Islam dari dua ekstrem: rasionalisme berlebihan Mu’tazilah dan
literalitas berlebihan dari kelompok tekstualis.⁷
Para pendukung Maturidiyah juga menunjukkan bahwa
konsep teologi mereka telah berhasil memberikan fondasi yang kokoh bagi Ahlus
Sunnah wal Jamaah di berbagai wilayah Islam. Misalnya, pandangan mereka
diterapkan secara luas dalam pendidikan Islam tradisional dan memainkan peran
penting dalam melawan pengaruh aliran-aliran ekstrem, baik dalam bentuk
rasionalisme maupun tekstualisme.⁸
Kesimpulan
Kritik dan kontroversi terhadap Maturidiyah
mencerminkan kompleksitas pemikiran teologis dalam Islam. Meskipun menerima
banyak kritik dari berbagai kelompok, aliran ini telah membuktikan
keberhasilannya dalam menjaga moderasi akidah Islam di tengah berbagai
tantangan pemikiran. Pendekatan rasional yang moderat, meskipun tidak luput
dari kritik, tetap relevan dalam menjawab tantangan intelektual dan spiritual
umat Islam di berbagai zaman.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Kitab al-Tauhid, ed. Muhammad Harbi
(Riyadh: Dar al-Salam, 1996), 92-94.
[2]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathallah Khulayf
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 45-47.
[3]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1976), 107-109.
[4]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Luma’ fi Radd ‘ala Ahl al-Zaygh wa
al-Bid’ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 89-90.
[5]
A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical
Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1932), 114-115.
[6]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and
Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 109-110.
[7]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in
Medieval Islam (Leiden: Brill, 2007), 241-242.
[8]
Muhammad Abul Quasem, The Ethics of al-Ghazali: A Composite Ethics in
Islam (Petaling Jaya: Pelanduk Publications, 1984), 55-56.
8.
Kesimpulan
Pemikiran teologis Maturidiyah yang dirintis oleh
Abu Mansur al-Maturidi memberikan kontribusi besar dalam membangun kerangka
akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang moderat dan relevan sepanjang sejarah
Islam. Sebagai salah satu cabang teologi Sunni yang berakar pada
prinsip-prinsip yang juga dirintis oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maturidiyah
berfungsi sebagai pelindung akidah Islam dari ekstremitas pemikiran, baik dari
kelompok rasionalis seperti Mu’tazilah maupun literalistis dari sebagian
kalangan tekstualis.
Pendekatan Maturidiyah yang mengintegrasikan akal
dan wahyu menjadikan aliran ini mampu menjawab tantangan intelektual dari
berbagai zaman. Dalam pandangan teologi, Maturidiyah memberikan ruang bagi akal
untuk memahami Tuhan dan realitas tanpa mengorbankan otoritas wahyu. Dengan
demikian, aliran ini berhasil memberikan solusi atas persoalan-persoalan
teologis seperti sifat-sifat Allah, kehendak manusia, dan takdir, yang sering
kali menjadi bahan perdebatan dalam sejarah Islam.¹
Selain kontribusi teologis, Maturidiyah juga
memiliki peran besar dalam penyebaran Islam di wilayah Asia Tengah, Turki, dan
anak benua India. Dominasi madzhab Hanafi di wilayah-wilayah tersebut, yang
selaras dengan pendekatan teologi Maturidiyah, memperkuat posisi aliran ini
sebagai fondasi akidah Islam di kalangan umat Muslim.² Bahkan hingga saat ini,
pemikiran Maturidiyah masih menjadi rujukan penting dalam lembaga-lembaga
pendidikan Islam tradisional, terutama di wilayah yang secara historis memiliki
pengaruh madzhab Hanafi.³
Meskipun Maturidiyah menerima kritik dari berbagai
kalangan, termasuk kelompok tekstualis dan rasionalis ekstrem, pendekatan
moderatnya tetap relevan dalam menjawab tantangan pemikiran kontemporer,
seperti sekularisme dan ateisme. Dengan memberikan ruang kepada akal dalam
kerangka wahyu, Maturidiyah mampu menjembatani dialog antara iman dan ilmu
pengetahuan.⁴
Dalam menghadapi perpecahan teologis di kalangan
umat Islam, Maturidiyah menunjukkan pentingnya pendekatan yang inklusif dan
moderat. Dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal
Jamaah, aliran ini memberikan solusi yang harmonis bagi umat Islam untuk
menghadapi persoalan-persoalan teologis yang kompleks. Oleh karena itu,
relevansi pemikiran Maturidiyah tidak hanya bertahan dalam sejarah tetapi juga
terus memberikan inspirasi bagi upaya memperkuat akidah umat Islam di era
modern.⁵
Catatan Kaki
[1]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathallah Khulayf (Beirut:
Dar al-Mashriq, 1970), 52-54.
[2]
A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical
Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1932), 91-93.
[3]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and
Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 104-106.
[4]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in
Medieval Islam (Leiden: Brill, 2007), 238-239.
[5]
Muhammad Abul Quasem, The Ethics of al-Ghazali: A Composite Ethics in
Islam (Petaling Jaya: Pelanduk Publications, 1984), 52-54.
Daftar Pustaka
Abul Quasem, M. (1984). The
Ethics of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam. Petaling Jaya: Pelanduk
Publications.
Al-Asy’ari, A. H. (1929). Maqalat
al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin (H. Ritter, Ed.). Cairo: Matba‘at
al-Salafiyyah.
Al-Asy’ari, A. H. (1985). Al-Ibanah
‘an Usul al-Diyanah (M. Z. al-Kawthari, Ed.). Cairo: Maktabah al-Mashhad.
Al-Asy’ari, A. H. (1990). Kitab
al-Luma’ fi Radd ‘ala Ahl al-Zaygh wa al-Bid’. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah.
Al-Maturidi, A. M. (1970). Kitab
al-Tawhid (F. Khulayf, Ed.). Beirut: Dar al-Mashriq.
Gutas, D. (1998). Greek
Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and
Early Abbasid Society. London: Routledge.
Makdisi, G. (1981). The
Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West.
Edinburgh: Edinburgh University Press.
Martin, R. C. (1997). Defenders
of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology. Oxford: Oneworld
Publications.
Rosenthal, F. (2007). Knowledge
Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam. Leiden: Brill.
Wensinck, A. J. (1932). The
Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development. Cambridge: Cambridge
University Press.
Wolfson, H. A. (1976). The
Philosophy of the Kalam. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Lampiran: Daftar Kitab Rujukan untuk Mempelajari Teologi Maturidiyah
1.
Abu
Mansur al-Maturidi (853–944 M)
o
Kitab al-Tawhid
o
Kitab ini adalah karya utama Abu Mansur al-Maturidi yang menjelaskan
dasar-dasar akidah Islam berdasarkan prinsip teologi Maturidiyah. Dalam kitab
ini, al-Maturidi membahas konsep tauhid, sifat-sifat Allah, qadha dan qadar,
serta hubungan antara akal dan wahyu, dengan penekanan pada moderasi dan
rasionalitas. Kitab ini dianggap sebagai fondasi utama teologi Maturidiyah.
2.
Abu
al-Mu’in al-Nasafi (1027–1115 M)
o
Tabsirat al-Adillah
o
Karya monumental ini menjelaskan argumen-argumen rasional untuk
mendukung doktrin-doktrin teologi Maturidiyah. Al-Nasafi membahas isu-isu
seperti sifat-sifat Allah, keadilan Tuhan, kehendak bebas manusia, dan
perdebatan dengan aliran-aliran teologis lain seperti Mu’tazilah dan Jabariyah.
3.
Najm
al-Din al-Nasafi (1068–1142 M)
o
‘Aqidah al-Nasafiyyah
o
Sebuah risalah singkat yang merangkum prinsip-prinsip akidah
Maturidiyah. Kitab ini digunakan secara luas sebagai teks pengajaran di
madrasah-madrasah tradisional. Penjelasannya yang ringkas namun sistematis
menjadikannya referensi penting bagi pelajar teologi.
4.
Sa’d
al-Din al-Taftazani (1322–1390 M)
o
Syarh al-‘Aqidah al-Nasafiyyah
o
Karya ini adalah komentar mendalam terhadap ‘Aqidah al-Nasafiyyah
karya Najm al-Din al-Nasafi. Dalam kitab ini, al-Taftazani menguraikan isu-isu
teologis dengan lebih rinci dan memberikan klarifikasi atas berbagai kritik
yang diarahkan kepada doktrin Maturidiyah.
5.
Abu
Hafs ‘Umar al-Nasafi (1069–1142 M)
o
Al-Qand fi Ma‘rifah Madhhab Ahl al-Sunnah
o
Kitab ini menyajikan pembahasan historis tentang aliran-aliran teologis
dalam Islam, termasuk Maturidiyah. Al-Nasafi memberikan penjelasan mengenai
posisi teologi Maturidiyah dalam kerangka Ahlus Sunnah wal Jamaah.
6.
Abu
al-Barakat al-Nasafi (w. 710 H/1310 M)
o
Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil
o
Sebuah tafsir Al-Qur’an yang menonjolkan pendekatan teologi Maturidiyah
dalam menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, takdir,
dan isu-isu metafisik lainnya.
7.
Fakhr
al-Din al-Razi (1149–1209 M)
o
Al-Mahsul fi ‘Ilm al-Usul
o
Meskipun al-Razi bukan seorang tokoh Maturidiyah secara spesifik, kitab
ini sering digunakan untuk memahami metode rasional yang sejalan dengan
prinsip-prinsip teologi Maturidiyah. Al-Razi membahas hubungan antara akal dan
wahyu dengan pendekatan yang sangat mendalam.
8.
Imam
al-Bayadi (w. 1098 H/1687 M)
o
Isharat al-Maram min ‘Ibarat al-Imam
o
Sebuah kitab yang memberikan penjelasan tentang doktrin Maturidiyah,
dengan menekankan penggunaan dalil rasional dalam memahami sifat-sifat Allah,
iman, dan kehendak bebas manusia.
Kitab-kitab ini mencakup berbagai perspektif
tentang teologi Maturidiyah, mulai dari karya-karya klasik pendiri aliran
hingga komentar-komentar penting yang memperkuat pemahaman teologis Sunni dalam
kerangka moderasi dan rasionalitas. Lampiran ini dapat menjadi panduan mendalam
bagi siapa saja yang ingin mempelajari teologi Maturidiyah secara komprehensif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar