Kompetensi Sosial Guru
Pilar Profesionalisme dalam Pendidikan menurut Regulasi
dan Kajian Akademik
Alihkan ke: SKS PPG Al-Qur’an Hadits Daljab 2019.
Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Profesional, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Spiritual.
Abstrak
Kompetensi sosial merupakan salah satu pilar utama
profesionalisme guru dalam dunia pendidikan. Kompetensi ini mencakup kemampuan
guru dalam berkomunikasi secara efektif, menjalin hubungan baik dengan peserta
didik, rekan sejawat, orang tua, serta masyarakat, dan memahami keberagaman
sosial dan budaya di lingkungan sekolah. Artikel ini membahas kompetensi sosial
guru berdasarkan landasan normatif dalam regulasi pendidikan di Indonesia,
konsep dan ruang lingkupnya, serta implementasinya dalam pembelajaran. Selain
itu, artikel ini juga mengkaji tantangan yang dihadapi guru dalam mengembangkan
kompetensi sosialnya serta solusi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan
keterampilan tersebut. Berdasarkan analisis berbagai regulasi, kajian akademik,
dan penelitian terdahulu, ditemukan bahwa kompetensi sosial guru memiliki peran
strategis dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, membangun iklim
sekolah yang harmonis, serta meningkatkan prestasi dan kesejahteraan peserta
didik. Namun, penguatan kompetensi sosial masih menghadapi berbagai tantangan,
seperti kurangnya pelatihan yang terintegrasi, tingginya beban administratif
guru, serta keterbatasan keterlibatan masyarakat dalam pendidikan. Oleh karena
itu, diperlukan kebijakan yang mendukung pengembangan profesional berkelanjutan
bagi guru, penyederhanaan sistem administrasi, serta penguatan kerja sama
antara sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas interaksi sosial
dalam dunia pendidikan.
Kata Kunci: Kompetensi sosial guru, profesionalisme guru, regulasi
pendidikan, interaksi sosial, lingkungan belajar, pendidikan inklusif.
PEMBAHASAN
Kompetensi Sosial Guru
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Pentingnya
Kompetensi Sosial Guru
Guru memiliki peran sentral
dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan membangun hubungan
positif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, serta
masyarakat. Kompetensi sosial menjadi salah satu aspek fundamental yang
menentukan keberhasilan proses pendidikan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa seorang guru harus memiliki empat kompetensi
utama: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional. Kompetensi sosial mengacu pada kemampuan guru dalam
berkomunikasi, berinteraksi, dan beradaptasi secara efektif dalam lingkungan
sosial yang beragam.¹
Dalam konteks global, UNESCO
menekankan bahwa kualitas guru tidak hanya ditentukan oleh pengetahuan dan
keterampilan mengajarnya, tetapi juga oleh kemampuannya membangun interaksi
sosial yang baik dengan berbagai pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan.²
Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi sosial berperan dalam membentuk hubungan
harmonis antara guru, peserta didik, orang tua, dan masyarakat, yang pada
akhirnya berdampak pada efektivitas pembelajaran.
1.2.
Definisi Kompetensi Sosial Guru Menurut
Regulasi
Secara normatif, kompetensi
sosial guru didefinisikan dalam berbagai regulasi di Indonesia. Berdasarkan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2007
tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, kompetensi sosial
mencakup beberapa aspek utama, yaitu: (1) kemampuan berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dengan peserta didik, (2) kemampuan beradaptasi
dalam lingkungan kerja dan masyarakat, serta (3) kemampuan bekerja sama dengan
berbagai pihak untuk meningkatkan mutu pendidikan.³
Selain itu, Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP) dalam Standar Nasional Pendidikan juga
menggarisbawahi bahwa kompetensi sosial guru meliputi kemampuan dalam membangun
relasi sosial yang sehat dan mendukung ekosistem pendidikan yang inklusif.⁴
Kompetensi ini penting untuk memastikan bahwa guru tidak hanya berperan sebagai
pengajar tetapi juga sebagai fasilitator, mediator, dan komunikator yang mampu
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi semua peserta didik.
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penguatan Kompetensi Sosial
dalam Dunia Pendidikan
Penguatan kompetensi sosial
guru bertujuan untuk meningkatkan kualitas interaksi dan komunikasi dalam dunia
pendidikan. Beberapa manfaat utama dari kompetensi sosial guru yang kuat
meliputi:
1)
Meningkatkan Kualitas
Hubungan Guru dan Peserta Didik
Guru yang memiliki kompetensi sosial yang baik
dapat membangun hubungan yang lebih dekat dan positif dengan peserta didik,
sehingga meningkatkan motivasi belajar dan keterlibatan mereka dalam proses
pembelajaran.⁵
2)
Menciptakan Iklim
Sekolah yang Kondusif
Interaksi yang harmonis antara guru, sesama
tenaga pendidik, dan tenaga kependidikan akan menciptakan suasana kerja yang
positif dan kolaboratif, yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan mutu
pendidikan secara keseluruhan.⁶
3)
Meningkatkan
Kepercayaan Orang Tua dan Masyarakat terhadap Sekolah
Kemampuan guru dalam berkomunikasi secara efektif
dengan orang tua dan masyarakat akan memperkuat kepercayaan publik terhadap
institusi pendidikan. Partisipasi orang tua dalam mendukung pendidikan anak
juga akan meningkat apabila mereka merasa memiliki hubungan yang baik dengan
guru.⁷
4)
Memfasilitasi
Kolaborasi dalam Dunia Pendidikan
Kompetensi sosial yang baik memungkinkan guru
untuk bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk rekan sejawat, kepala
sekolah, dan komunitas pendidikan lainnya. Hal ini mendukung upaya perbaikan
dan inovasi dalam sistem pembelajaran.⁸
Melalui pemahaman dan
penguatan kompetensi sosial, guru dapat lebih efektif dalam menjalankan
perannya sebagai pendidik sekaligus agen perubahan dalam masyarakat. Oleh
karena itu, kajian mengenai kompetensi sosial guru berdasarkan regulasi dan
referensi akademik yang kredibel menjadi sangat penting untuk memastikan
profesionalisme dalam dunia pendidikan.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, Bab IV, Pasal 10.
[2]
UNESCO, Teachers and Educational Quality: Monitoring
Global Needs for 2015 (Paris: UNESCO Publishing, 2006), 45.
[3]
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, Pasal 3.
[4]
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Standar Nasional Pendidikan (Jakarta:
BSNP, 2020), 27.
[5]
John Hattie, Visible Learning for Teachers: Maximizing
Impact on Learning (New York: Routledge, 2012), 78.
[6]
Andy Hargreaves and Michael Fullan, Professional Capital: Transforming Teaching in
Every School (New York: Teachers College Press, 2012), 103.
[7]
Epstein, Joyce L., School, Family, and Community Partnerships:
Preparing Educators and Improving Schools (Boulder, CO: Westview
Press, 2011), 56.
[8]
Linda Darling-Hammond, The Flat World and Education: How America’s
Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers
College Press, 2010), 122.
2.
Landasan Normatif Kompetensi Sosial Guru
2.1.
Regulasi dan Kebijakan Nasional
2.1.1.
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Salah satu regulasi utama
yang mengatur kompetensi guru di Indonesia adalah Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam Pasal 10 ayat
(1), disebutkan bahwa seorang guru harus memiliki empat kompetensi utama, yaitu
kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.¹ Kompetensi sosial
dalam konteks ini didefinisikan sebagai "kemampuan guru untuk
berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, serta
masyarakat sekitar".²
Regulasi ini menegaskan bahwa
guru bukan hanya sebagai pengajar yang mentransfer ilmu, tetapi juga sebagai
agen sosial yang mampu membangun hubungan yang harmonis dengan berbagai pihak
di lingkungan pendidikan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan suasana belajar
yang kondusif dan mendukung perkembangan peserta didik secara holistik.
2.1.2. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru
Lebih lanjut, Permendiknas
Nomor 16 Tahun 2007 menguraikan standar kompetensi sosial yang
harus dimiliki oleh seorang guru. Dalam peraturan ini, kompetensi sosial guru
mencakup tiga aspek utama, yaitu:
1)
Kemampuan
berkomunikasi secara efektif dan santun dengan peserta didik
2)
Kemampuan
berinteraksi dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan
3)
Kemampuan
beradaptasi dengan lingkungan sosial dan budaya sekolah³
Regulasi ini menekankan bahwa
kompetensi sosial guru harus mencerminkan etika yang baik, kepedulian terhadap
lingkungan sosial, serta keterampilan komunikasi yang mendukung proses
pembelajaran.
2.1.3. Standar Nasional Pendidikan
(SNP) oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
Sebagai lembaga yang
bertanggung jawab dalam penetapan standar pendidikan di Indonesia, Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP) juga mengatur kompetensi
sosial dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Standar ini menegaskan bahwa guru harus mampu menjadi teladan dalam sikap dan
perilaku sosial serta membangun relasi yang positif di lingkungan pendidikan.⁴
BSNP menekankan bahwa kompetensi
sosial bukan hanya aspek tambahan dalam profesionalisme guru, tetapi merupakan
unsur utama dalam keberhasilan pendidikan. Sebab, tanpa kompetensi sosial yang
baik, guru akan mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang mendukung
pembelajaran efektif.
2.2.
Perspektif Internasional tentang Kompetensi
Sosial Guru
2.2.1. Standar UNESCO tentang
Kompetensi Guru
UNESCO, sebagai organisasi
yang menaungi pendidikan di tingkat global, menetapkan berbagai standar
mengenai kompetensi guru, termasuk kompetensi sosial. Dalam dokumen Teachers
and Educational Quality: Monitoring Global Needs for 2015,
UNESCO menekankan bahwa kualitas guru tidak hanya bergantung pada kompetensi
akademik dan pedagogik, tetapi juga pada keterampilan sosial yang memungkinkan
mereka membangun hubungan positif dengan peserta didik, orang tua, dan
masyarakat.⁵
UNESCO menyatakan bahwa guru
yang memiliki keterampilan sosial yang baik dapat menciptakan lingkungan
belajar yang inklusif, mengurangi angka putus sekolah, serta meningkatkan
partisipasi siswa dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, penguatan
kompetensi sosial harus menjadi prioritas dalam pelatihan dan pengembangan
profesional guru.
2.2.2. Perbandingan dengan Standar
Kompetensi Guru di Negara Lain
Beberapa negara telah
mengadopsi standar kompetensi guru yang juga memasukkan aspek sosial sebagai
elemen utama. Misalnya, National Board for Professional Teaching
Standards (NBPTS) di Amerika Serikat mencantumkan bahwa guru
harus mampu membangun komunitas belajar yang berorientasi pada interaksi sosial
yang sehat antara siswa, guru, dan orang tua.⁶
Demikian pula, dalam sistem
pendidikan Finlandia, yang dikenal dengan kualitasnya yang tinggi, kompetensi
sosial guru dipandang sebagai elemen penting dalam membangun lingkungan belajar
yang berbasis kepercayaan dan kerja sama antara guru, siswa, dan masyarakat
sekolah.⁷ Sistem ini membuktikan bahwa kompetensi sosial yang kuat
berkontribusi langsung terhadap efektivitas pendidikan dan kesejahteraan
peserta didik.
2.3.
Implikasi Regulasi terhadap Profesionalisme
Guru
Berdasarkan regulasi nasional
dan perspektif internasional, kompetensi sosial guru memiliki implikasi yang
luas terhadap profesionalisme dan kualitas pendidikan. Beberapa poin penting
yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:
1)
Kompetensi sosial
merupakan bagian integral dari profesionalisme guru
Regulasi di Indonesia maupun standar
internasional menegaskan bahwa kemampuan sosial guru memiliki dampak signifikan
terhadap keberhasilan pendidikan.
2)
Perlunya peningkatan
pelatihan dalam kompetensi sosial
Meski regulasi telah menetapkan standar
kompetensi sosial, masih diperlukan upaya lebih lanjut dalam bentuk pelatihan
dan pengembangan profesional agar guru dapat mengasah keterampilan sosialnya
dengan lebih baik.
3)
Penguatan kerja sama
antara sekolah, orang tua, dan masyarakat
Dengan kompetensi sosial yang baik, guru dapat
membangun sinergi yang kuat dengan berbagai pemangku kepentingan dalam dunia
pendidikan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pembelajaran.
Keseluruhan regulasi dan
standar kompetensi sosial ini menunjukkan bahwa keberhasilan pendidikan tidak
hanya bergantung pada aspek akademik dan pedagogik, tetapi juga pada
keterampilan sosial yang memungkinkan guru membangun hubungan yang baik dengan
peserta didik, rekan kerja, dan masyarakat.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, Bab IV, Pasal 10.
[2]
Ibid.
[3]
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, Pasal 3.
[4]
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Standar Nasional Pendidikan
(Jakarta: BSNP, 2020), 27.
[5]
UNESCO, Teachers and Educational Quality: Monitoring
Global Needs for 2015 (Paris: UNESCO Publishing, 2006), 45.
[6]
National Board for Professional Teaching Standards (NBPTS), What
Teachers Should Know and Be Able to Do (Arlington, VA: NBPTS,
2016), 21.
[7]
Pasi Sahlberg, Finnish Lessons 2.0: What Can the World Learn
from Educational Change in Finland? (New York: Teachers College
Press, 2015), 62.
3.
Konsep dan Ruang Lingkup Kompetensi Sosial Guru
3.1.
Pengertian Kompetensi Sosial dalam Konteks
Pendidikan
Kompetensi sosial dalam dunia
pendidikan merujuk pada kemampuan seorang guru dalam membangun dan
mempertahankan hubungan yang efektif dengan peserta didik, sesama tenaga
pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat luas.¹ Dalam konteks
yang lebih luas, kompetensi sosial guru juga mencerminkan kapasitas mereka
untuk memahami perbedaan sosial-budaya dan beradaptasi dengan lingkungan yang
beragam.²
Menurut Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2007,
kompetensi sosial guru melibatkan keterampilan dalam berkomunikasi secara
santun dan empatik, berinteraksi secara efektif dengan lingkungan, serta
menunjukkan sikap inklusif dan tidak diskriminatif.³ Dengan demikian,
kompetensi sosial merupakan salah satu indikator utama profesionalisme guru
yang tidak hanya mencakup keahlian mengajar, tetapi juga keterampilan membangun
relasi interpersonal yang positif.
Selain itu, John
Hattie dalam bukunya "Visible Learning for Teachers"
menekankan bahwa hubungan yang positif antara guru dan peserta didik memiliki
pengaruh signifikan terhadap efektivitas pembelajaran.³ Interaksi sosial yang
sehat menciptakan lingkungan belajar yang mendukung, meningkatkan motivasi
siswa, serta membangun rasa aman dan percaya diri dalam proses pembelajaran.
3.2.
Ruang Lingkup Kompetensi Sosial Guru
Dalam Permendiknas
No. 16 Tahun 2007, kompetensi sosial guru dikategorikan ke
dalam beberapa aspek utama yang menjadi prasyarat dalam menjalankan peran
profesionalnya, yaitu:
3.2.1. Kemampuan Berkomunikasi Secara
Efektif dan Santun dengan Peserta Didik
Guru harus mampu menyampaikan
pesan dengan cara yang jelas, tepat, dan mudah dipahami oleh peserta didik
dengan berbagai latar belakang sosial-budaya.⁴ Komunikasi yang efektif
mencakup keterampilan mendengarkan secara aktif, merespons dengan empati, serta
menggunakan bahasa verbal dan non-verbal yang sesuai dengan tingkat pemahaman
siswa.³
Studi yang dilakukan oleh Marzano,
Marzano, dan Pickering menunjukkan bahwa hubungan positif
antara guru dan siswa memiliki dampak langsung pada prestasi akademik.⁵ Dengan
menjalin komunikasi yang baik, guru dapat memahami kebutuhan dan potensi
masing-masing siswa, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna.
3.2.2. Kemampuan Berinteraksi Secara
Harmonis dengan Rekan Sejawat, Orang Tua, dan Masyarakat
Peran guru dalam dunia
pendidikan tidak terbatas pada ruang kelas. Interaksi yang positif dengan
sesama tenaga pendidik dan tenaga kependidikan sangat penting untuk menciptakan
lingkungan kerja yang sehat. Guru juga perlu mampu menjalin hubungan yang baik
dengan orang tua siswa untuk membangun kemitraan yang mendukung perkembangan
anak.
Menurut Linda
Darling-Hammond, keterlibatan orang tua dalam proses pendidikan
meningkatkan motivasi belajar siswa dan memperbaiki pencapaian akademik
mereka.⁶ Oleh karena itu, guru perlu memiliki keterampilan sosial yang baik
agar dapat berkomunikasi dengan orang tua secara efektif, memberikan umpan balik
yang membangun, serta bekerja sama dalam merancang strategi pendidikan yang
sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
3.2.3. Adaptasi terhadap Lingkungan
Sosial dan Budaya Sekolah
Salah satu indikator
keberhasilan kompetensi sosial guru adalah kemampuannya dalam beradaptasi
dengan lingkungan sosial dan budaya sekolah. UNESCO
menegaskan bahwa guru harus memahami latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya
peserta didik mereka, serta menyesuaikan metode pengajaran agar dapat
menciptakan lingkungan belajar yang inklusif.⁶
Sebagai contoh, dalam sistem
pendidikan Finlandia yang sering menjadi acuan bagi banyak negara, guru dilatih
untuk memahami konteks sosial dan budaya siswa mereka.⁷ Dengan memahami latar
belakang siswa, guru dapat menyusun strategi pembelajaran yang lebih relevan
dan efektif, serta mencegah terjadinya kesenjangan pendidikan yang disebabkan
oleh perbedaan sosial-ekonomi atau budaya.
3.2.4. Menjadi Teladan dalam Etika dan
Moralitas Sosial
Selain sebagai pendidik, guru
juga berperan sebagai teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
Kompetensi sosial yang baik mencerminkan perilaku yang etis dan moral yang
tinggi, yang dapat diteladani oleh siswa. Dalam Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2005 Pasal 20, disebutkan bahwa guru memiliki tanggung
jawab untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi, yang mencakup sikap,
etika, dan interaksi sosial dengan berbagai pihak.²
Menurut Hargreaves
dan Fullan, seorang guru yang menjadi teladan dalam moralitas
akan memberikan dampak positif terhadap perilaku peserta didik, menciptakan lingkungan
belajar yang sehat, dan membentuk karakter siswa secara lebih baik.⁶ Oleh
karena itu, penguatan kompetensi sosial dalam aspek etika dan kepemimpinan
moral menjadi bagian esensial dalam pengembangan profesional guru.
Kesimpulan
Kompetensi sosial merupakan
salah satu dari empat pilar utama yang harus dimiliki oleh seorang guru
profesional sesuai dengan amanat regulasi nasional dan standar internasional.
Dalam praktik pendidikan, kompetensi ini mencakup kemampuan komunikasi yang
baik, kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial yang beragam, membangun
hubungan yang harmonis dengan berbagai pihak, serta menjadi teladan dalam etika
dan moralitas. Regulasi di Indonesia, termasuk UU Guru dan Dosen serta
peraturan dari BSNP, menegaskan bahwa kompetensi sosial guru
adalah elemen krusial dalam meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu,
diperlukan komitmen bersama dari pemerintah, sekolah, dan masyarakat untuk
terus memperkuat kompetensi sosial guru guna menciptakan lingkungan belajar
yang kondusif dan berkualitas.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, Bab IV, Pasal 10.
[2]
UNESCO, Teachers and Educational Quality: Monitoring
Global Needs for 2015 (Paris: UNESCO Publishing, 2006), 45.
[3]
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, Pasal 3.
[4]
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Standar Nasional Pendidikan (Jakarta:
BSNP, 2020), 27.
[5]
John Hattie, Visible Learning for Teachers: Maximizing
Impact on Learning (New York: Routledge, 2012), 78.
[6]
Andy Hargreaves and Michael Fullan, Professional Capital: Transforming Teaching in
Every School (New York: Teachers College Press, 2012), 145.
4.
Implementasi Kompetensi Sosial dalam
Pembelajaran
4.1.
Peran Kompetensi Sosial dalam Interaksi Guru
dan Peserta Didik
Kompetensi sosial memainkan
peran penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan mendukung
perkembangan peserta didik secara holistik. Menurut Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, salah satu aspek
utama dari kompetensi sosial adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif dan
santun dengan peserta didik.¹
Studi yang dilakukan oleh Hattie
(2012) menunjukkan bahwa hubungan positif antara
guru dan peserta didik memiliki dampak signifikan terhadap keterlibatan dan
hasil belajar.¹ Guru yang memiliki empati, mampu mendengarkan
dengan baik, serta memahami kebutuhan dan karakteristik individu siswa akan
lebih efektif dalam memotivasi mereka untuk belajar.
Beberapa strategi yang dapat
diterapkan oleh guru untuk membangun interaksi yang positif dengan peserta
didik meliputi:
1)
Membangun komunikasi
dua arah yang terbuka dan inklusif
Guru harus mampu mendorangkan siswa untuk
berpartisipasi aktif dalam diskusi kelas dan menumbuhkan rasa percaya diri
mereka dalam mengemukakan pendapat.²
2)
Menjadi pendengar yang
baik
Guru yang memiliki kompetensi sosial yang baik
harus mampu mendengarkan peserta didik dengan penuh perhatian, memberikan
respons yang relevan, dan tidak serta-merta menghakimi mereka.³
3)
Membangun kedekatan
secara personal dan emosional
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cornelius-White
(2007), ditemukan bahwa guru yang menunjukkan
kehangatan dan dukungan sosial lebih mungkin untuk membangun hubungan
kepercayaan dengan siswa, yang berkontribusi terhadap peningkatan motivasi dan
hasil belajar mereka.⁴
4.2.
Pengaruh Kompetensi Sosial dalam Pengelolaan
Kelas
Pengelolaan kelas yang baik
tidak hanya bergantung pada keterampilan pedagogik guru dalam mengatur strategi
pembelajaran, tetapi juga pada kompetensi sosialnya dalam menciptakan
lingkungan yang inklusif dan nyaman bagi peserta didik.
Menurut Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2007,
salah satu indikator utama kompetensi sosial guru adalah kemampuannya untuk
berinteraksi dengan peserta didik secara efektif dan menciptakan suasana
belajar yang harmonis.⁴
Kompetensi sosial guru dapat
membantu pengelolaan kelas dalam beberapa aspek, di antaranya:
1)
Membangun Kedisiplinan
dengan Pendekatan Humanis
Guru harus mampu menegakkan disiplin di kelas
tanpa harus menciptakan ketakutan di antara peserta didik. Pendekatan berbasis
dialog dan negosiasi lebih efektif dalam membangun kedisiplinan dibandingkan
dengan hukuman fisik atau otoritarianisme.⁴
2)
Mencegah dan
Menyelesaikan Konflik dalam Kelas
Konflik antar peserta didik atau antara guru dan
siswa dapat menghambat proses pembelajaran. Guru dengan kompetensi sosial yang
baik dapat berperan sebagai mediator, membantu menyelesaikan konflik dengan
pendekatan yang adil dan solutif.⁵
3)
Meningkatkan
Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran
Menurut penelitian Hattie
(2012), keterampilan komunikasi guru yang baik dapat
meningkatkan keterlibatan siswa dalam diskusi kelas, memperkuat motivasi
belajar mereka, serta mendorong pemikiran kritis dan kreatif.⁶ Oleh karena itu,
guru perlu menggunakan pendekatan interaktif seperti diskusi kelompok, studi
kasus, dan metode berbasis proyek untuk meningkatkan partisipasi siswa.
Kompetensi Sosial Guru dalam Kolaborasi dengan
Orang Tua dan Masyarakat
Kolaborasi antara sekolah,
orang tua, dan masyarakat merupakan aspek esensial dalam membangun lingkungan
belajar yang kondusif. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah menegaskan
pentingnya peran serta masyarakat, termasuk orang tua, dalam meningkatkan
kualitas pendidikan.⁶
Langkah-langkah
yang dapat dilakukan oleh guru untuk memperkuat hubungan dengan orang tua dan
masyarakat meliputi:
1)
Membangun komunikasi
yang transparan dan terbuka
Guru perlu memberikan informasi kepada orang tua
mengenai perkembangan akademik dan non-akademik peserta didik. Penggunaan
platform komunikasi digital, seperti WhatsApp grup kelas
atau Learning Management System (LMS), dapat membantu
menjembatani interaksi antara guru dan orang tua.⁷
2)
Melibatkan orang tua
dalam pembelajaran siswa
Studi yang dilakukan oleh Epstein
(2011) menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak berkontribusi
terhadap peningkatan motivasi dan hasil belajar siswa.⁸ Oleh
karena itu, guru dapat mengadakan pertemuan rutin dengan orang tua untuk
membahas perkembangan anak dan mendiskusikan langkah-langkah pembelajaran yang
lebih efektif.
3)
Membangun kemitraan
dengan masyarakat
Menurut Organisasi Kerja Sama
dan Pembangunan Ekonomi (OECD), sekolah yang aktif berinteraksi
dengan komunitas sekitar dapat meningkatkan kesejahteraan sosial dan akademik
peserta didik.⁷ Kerja sama dengan komunitas lokal, organisasi sosial, dan dunia
usaha dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih luas bagi siswa dan
meningkatkan keterlibatan mereka dalam kehidupan sosial.
4.3.
Tantangan dan Solusi dalam Implementasi
Kompetensi Sosial Guru
Meskipun kompetensi sosial
guru memiliki peran yang sangat penting dalam pembelajaran, terdapat berbagai
tantangan yang dapat menghambat implementasinya secara efektif. Beberapa
tantangan tersebut antara lain:
1)
Kurangnya Pelatihan
dalam Kompetensi Sosial
Banyak program pelatihan guru yang lebih berfokus
pada aspek pedagogik dan mengabaikan pengembangan keterampilan sosial.
Solusinya adalah mengintegrasikan pelatihan keterampilan komunikasi, empati,
dan resolusi konflik dalam program pendidikan guru.
2)
Kesulitan Beradaptasi
dengan Keberagaman Peserta Didik
Perbedaan latar belakang sosial-budaya peserta
didik sering kali menjadi kendala dalam menciptakan lingkungan belajar yang
inklusif. Guru perlu mendapatkan pelatihan tentang pendidikan
multikultural agar dapat lebih memahami dan menghargai
keberagaman.⁸
3)
Minimnya Dukungan dari
Sekolah dan Masyarakat
Implementasi kompetensi sosial guru juga
bergantung pada dukungan dari institusi sekolah dan masyarakat. Oleh karena
itu, diperlukan kebijakan yang lebih menekankan pada kerja sama antara sekolah,
orang tua, dan lingkungan sekitar untuk menciptakan sistem pendidikan yang
berbasis partisipasi bersama.⁹
Footnotes
[1]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, Bab IV, Pasal 10.
[2]
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, Pasal 3.
[3]
John Hattie, Visible Learning for Teachers: Maximizing
Impact on Learning (New York: Routledge, 2012), 78.
[4]
Robert Marzano, Debra Pickering, dan Jane Pollock, Classroom
Instruction That Works: Research-Based Strategies for Increasing Student
Achievement (Alexandria: ASCD, 2001), 94.
[5]
Linda Darling-Hammond, The Right to Learn: A Blueprint for Creating
Schools That Work (San Francisco: Jossey-Bass, 1997), 120.
[6]
UNESCO, Teachers and Educational Quality: Monitoring
Global Needs for 2015 (Paris: UNESCO Publishing, 2006), 57.
[7]
OECD, Teachers Matter: Attracting, Developing and
Retaining Effective Teachers (Paris: OECD Publishing, 2005), 32.
[8]
Joyce L. Epstein, School, Family, and Community Partnerships:
Preparing Educators and Improving Schools (New York: Routledge,
2011), 98.
[9]
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru, Pasal 28.
5.
Tantangan dan Solusi dalam Penguatan Kompetensi
Sosial Guru
5.1.
Tantangan dalam Penguatan Kompetensi Sosial
Guru
Meskipun kompetensi sosial
merupakan aspek krusial dalam profesionalisme guru, implementasinya di lapangan
menghadapi berbagai tantangan. Tantangan ini berasal dari faktor internal,
seperti keterbatasan keterampilan komunikasi, hingga faktor eksternal, seperti
kurangnya dukungan institusi pendidikan dan perubahan dinamika sosial.
5.1.1. Kurangnya Pelatihan Kompetensi
Sosial dalam Pendidikan Guru
Salah satu tantangan utama
adalah minimnya pelatihan yang secara khusus membekali guru dengan keterampilan
sosial yang memadai. Pendidikan guru cenderung lebih menitikberatkan pada aspek
pedagogik dan akademik dibandingkan dengan pengembangan interpersonal dan
komunikasi.¹
Menurut OECD
(2019), dalam banyak sistem pendidikan di dunia, pelatihan guru
lebih berfokus pada penguasaan materi dan metode mengajar, sementara aspek
kompetensi sosial seperti komunikasi, resolusi konflik, dan kerja sama dengan
orang tua masih belum mendapatkan perhatian yang proporsional.²
Dampak dari kurangnya
pelatihan ini adalah guru sering mengalami kesulitan dalam membangun interaksi
yang efektif dengan siswa, menghadapi keberagaman sosial dan budaya, serta
menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua dan masyarakat.
5.1.2. Beban Administratif yang Tinggi
Banyak guru menghadapi
tantangan berupa beban administratif yang tinggi, yang mengurangi fokus mereka
dalam membangun hubungan sosial dengan peserta didik dan komunitas sekolah.³ Survei
yang dilakukan oleh UNESCO (2020) menemukan bahwa lebih dari 60% guru merasa
terbebani dengan tugas administratif yang berlebihan, sehingga mengurangi waktu
mereka untuk berinteraksi secara lebih mendalam dengan siswa.⁴
Beban kerja yang berat
menyebabkan guru kelelahan secara fisik dan mental, yang pada akhirnya dapat
menghambat efektivitas komunikasi dan interaksi sosial mereka di lingkungan
pendidikan.
5.1.3. Perbedaan Latar Belakang Sosial
dan Budaya Peserta Didik
Keberagaman sosial dan budaya
dalam kelas dapat menjadi tantangan tersendiri bagi guru dalam membangun
hubungan yang efektif dengan peserta didik. Di Indonesia, dengan keberagaman
etnis, agama, dan tingkat ekonomi, guru sering menghadapi situasi di mana
mereka harus menyesuaikan cara berkomunikasi dan berinteraksi agar tidak
menimbulkan kesalahpahaman atau ketegangan sosial.⁵
Menurut penelitian Banks
(2015), guru yang tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang
pendidikan multikultural sering kali mengalami kesulitan dalam membangun
lingkungan kelas yang inklusif dan responsif terhadap keberagaman peserta
didik.⁶
5.1.4. Kurangnya Dukungan dari Sekolah
dan Masyarakat
Kolaborasi antara sekolah dan
masyarakat sangat penting dalam penguatan kompetensi sosial guru. Namun, dalam
praktiknya, tidak semua sekolah memiliki kebijakan yang mendukung keterlibatan
orang tua dan komunitas dalam pendidikan. Banyak sekolah yang masih menerapkan
pendekatan birokratis yang membatasi ruang gerak guru dalam menjalin komunikasi
dengan orang tua dan masyarakat.⁷
Menurut Epstein
(2011), kurangnya dukungan dari sekolah terhadap kerja sama
dengan masyarakat dapat menghambat keterlibatan guru dalam membangun hubungan
yang lebih luas dengan lingkungan sosial peserta didik.⁸
5.2.
Solusi dalam Penguatan Kompetensi Sosial Guru
5.2.1. Integrasi Pelatihan Kompetensi
Sosial dalam Pendidikan Guru
Untuk mengatasi minimnya
pelatihan kompetensi sosial, diperlukan integrasi program pelatihan
keterampilan sosial dalam pendidikan guru. Hal ini dapat dilakukan dengan
menambahkan modul khusus tentang keterampilan
komunikasi, resolusi konflik, serta kerja sama dengan orang tua dan masyarakat
dalam kurikulum pendidikan guru.
Menurut Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007, salah satu
kompetensi yang harus dimiliki guru adalah keterampilan dalam berkomunikasi dan
berinteraksi dengan lingkungan sosial secara efektif.⁹ Oleh karena itu, lembaga
pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) perlu mengembangkan metode pembelajaran
berbasis praktik, seperti simulasi komunikasi interpersonal dan studi kasus
tentang interaksi sosial di sekolah.
5.2.2. Reduksi Beban Administratif Guru
Untuk mengurangi dampak
negatif dari beban administratif yang tinggi, sekolah perlu melakukan efisiensi
dalam manajemen tugas administrasi guru. Salah satu solusinya adalah pemanfaatan
teknologi digital dalam pengelolaan administrasi sekolah,
seperti Learning Management System (LMS)
dan Sistem Informasi Manajemen Sekolah (SIMS).
Menurut UNESCO
(2021), penggunaan teknologi dalam administrasi pendidikan
dapat mengurangi beban kerja guru hingga 30%, sehingga mereka dapat lebih fokus
pada interaksi sosial dengan peserta didik.¹⁰
5.2.3. Peningkatan Pemahaman tentang
Pendidikan Multikultural
Untuk menghadapi keberagaman
sosial dan budaya di dalam kelas, guru perlu mendapatkan pelatihan tentang pendidikan
multikultural dan pendekatan berbasis inklusi. Program ini
dapat mencakup pelatihan tentang:
·
Strategi
komunikasi efektif dalam lingkungan multikultural
·
Penyelesaian
konflik berbasis keadilan sosial
·
Pengembangan
metode pembelajaran yang inklusif
Penelitian Banks
(2015) menunjukkan bahwa guru yang mendapatkan pelatihan
pendidikan multikultural lebih mampu menciptakan suasana kelas yang inklusif
dan mendukung keberagaman.¹¹
5.2.4. Penguatan Kolaborasi Sekolah
dengan Masyarakat
Agar kompetensi sosial guru
dapat berkembang secara optimal, diperlukan kerja sama yang erat antara
sekolah, orang tua, dan komunitas lokal. Pemerintah telah mengatur mekanisme
keterlibatan masyarakat dalam pendidikan melalui Permendikbud
Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang menekankan
peran serta masyarakat dalam mendukung pendidikan.¹²
Sekolah dapat mengembangkan
program kemitraan dengan orang tua dan komunitas melalui:
1)
Pertemuan
rutin antara guru dan orang tua untuk mendiskusikan perkembangan peserta didik
2)
Kegiatan
bersama dengan komunitas lokal, seperti bakti sosial dan proyek berbasis
masyarakat
3)
Peningkatan
peran komite sekolah dalam mendukung kebijakan pendidikan yang berbasis
partisipasi masyarakat
Menurut Epstein
(2011), sekolah yang menjalin kerja sama yang baik dengan
komunitas dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dan kesejahteraan sosial
siswa secara signifikan.¹³
Kesimpulan
Tantangan dalam penguatan
kompetensi sosial guru meliputi minimnya pelatihan, beban administratif yang
tinggi, perbedaan latar belakang sosial peserta didik, serta kurangnya dukungan
dari sekolah dan masyarakat. Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan
solusi strategis seperti integrasi pelatihan kompetensi sosial
dalam pendidikan guru, reduksi beban administratif, peningkatan pemahaman
tentang pendidikan multikultural, serta penguatan kerja sama sekolah dengan
masyarakat.
Penguatan kompetensi sosial
guru merupakan langkah krusial dalam meningkatkan kualitas pendidikan secara
keseluruhan, sehingga perlu didukung oleh kebijakan yang berpihak pada
pengembangan profesionalisme guru dalam aspek sosial dan komunikasi.
Footnotes
[1]
OECD, Teaching and Learning International Survey
(TALIS) 2019 (Paris: OECD Publishing, 2019), 56.
[2]
UNESCO, Education in a Post-COVID World
(Paris: UNESCO Publishing, 2020), 62.
[3]
Linda Darling-Hammond, The Right to Learn: A Blueprint for Creating
Schools That Work (San Francisco: Jossey-Bass, 1997), 140.
[4]
UNESCO, Teachers and Educational Quality: Monitoring
Global Needs for 2015 (Paris: UNESCO Publishing, 2006), 88.
[5]
James A. Banks, Cultural Diversity and Education: Foundations,
Curriculum, and Teaching (New York: Routledge, 2015), 110.
[6]
Joyce L. Epstein, School, Family, and Community Partnerships:
Preparing Educators and Improving Schools (New York: Routledge,
2011), 75.
[7]
Linda Darling-Hammond, Powerful Teacher Education: Lessons from
Exemplary Programs (San Francisco: Jossey-Bass, 2006), 98.
[8]
Epstein, School, Family, and Community Partnerships, 120.
[9]
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
[10]
UNESCO, Digital Transformation in Education: A Global Perspective
(Paris: UNESCO Publishing, 2021), 45.
[11]
Banks, Cultural Diversity and Education, 135.
[12]
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 75
Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
[13]
Epstein, School, Family, and Community Partnerships, 142.
6.
Kesimpulan
Kompetensi sosial guru
merupakan salah satu pilar utama dalam profesionalisme pendidikan yang berperan
dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif, inklusif, dan efektif.
Kompetensi ini mencakup keterampilan komunikasi interpersonal, kolaborasi
dengan sesama pendidik dan masyarakat, serta pemahaman terhadap keberagaman
sosial dan budaya peserta didik. Sebagai bagian dari standar kompetensi guru
yang telah diatur dalam berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 16 Tahun 2007,
kompetensi sosial menjadi aspek yang tak terpisahkan dari tugas dan tanggung
jawab guru dalam proses pendidikan.¹
6.1.
Peran Strategis Kompetensi Sosial Guru dalam
Pendidikan
Sebagaimana diuraikan dalam
kajian ini, kompetensi sosial memiliki peran strategis dalam meningkatkan mutu
pendidikan. Studi yang dilakukan oleh Hattie (2009)
menunjukkan bahwa hubungan yang positif antara guru dan peserta didik berdampak
signifikan pada pencapaian akademik siswa, motivasi belajar, serta perkembangan
sosial-emosional mereka.² Interaksi yang baik antara guru dan siswa dapat
menciptakan iklim kelas yang suportif, mendorong
partisipasi aktif, serta membangun rasa percaya diri dan semangat belajar.
Selain itu, keterampilan
sosial guru dalam berkomunikasi dengan rekan sejawat dan masyarakat sangat
penting dalam membangun budaya sekolah yang harmonis dan kolaboratif. Menurut Epstein
(2011), keterlibatan guru dalam kemitraan dengan orang tua dan
masyarakat memiliki dampak positif terhadap perkembangan akademik dan sosial
siswa.³ Oleh karena itu, sekolah dan pemerintah harus mendorong guru untuk
mengembangkan kemampuan ini melalui berbagai program pelatihan dan kebijakan
yang mendukung.
6.2.
Tantangan dalam Penguatan Kompetensi Sosial
Guru
Meskipun penting, penguatan
kompetensi sosial guru menghadapi beberapa tantangan. Beberapa di antaranya
adalah minimnya pelatihan formal mengenai
keterampilan sosial dalam pendidikan guru, tingginya beban administratif, serta
kompleksitas keberagaman sosial dan budaya di lingkungan sekolah.
Studi yang dilakukan oleh OECD (2019) menunjukkan
bahwa dalam banyak sistem pendidikan, aspek pedagogik lebih diprioritaskan
dibandingkan dengan penguatan kompetensi sosial, yang berdampak pada kurangnya
kesiapan guru dalam membangun interaksi sosial yang baik di lingkungan
sekolah.⁴
Tantangan lain yang dihadapi
guru adalah keterbatasan ruang lingkup dalam menjalin komunikasi dengan orang
tua dan masyarakat akibat birokrasi sekolah yang masih kaku. Seperti yang
diungkapkan oleh Epstein (2011), kurangnya
keterlibatan masyarakat dalam pendidikan dapat menghambat interaksi sosial yang
efektif antara guru, peserta didik, dan lingkungan sekitarnya.⁵
6.3.
Solusi untuk Meningkatkan Kompetensi Sosial
Guru
Untuk mengatasi berbagai
tantangan tersebut, diperlukan langkah-langkah konkret guna meningkatkan
kompetensi sosial guru. Strategi yang dapat diterapkan meliputi:
1)
Integrasi
pelatihan kompetensi sosial dalam pendidikan guru, mencakup
keterampilan komunikasi, resolusi konflik, dan pembangunan hubungan sosial yang
inklusif.²
2)
Penyederhanaan
beban administratif guru, dengan mengoptimalkan pemanfaatan
teknologi dalam pelaporan dan manajemen sekolah, sebagaimana disarankan oleh OECD
(2019).³
3)
Peningkatan
pemahaman tentang pendidikan multikultural, agar guru dapat
lebih memahami perbedaan sosial, budaya, dan ekonomi siswa serta membangun
lingkungan belajar yang inklusif.⁴
4)
Penguatan
kerja sama antara sekolah dan masyarakat, dengan mengadakan
program yang mendorong keterlibatan orang tua dalam pendidikan, sebagaimana
diatur dalam Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite
Sekolah.⁵
6.4.
Rekomendasi dan Implikasi
Untuk meningkatkan kompetensi
sosial guru, diperlukan kebijakan yang mendukung pengembangan
profesional yang berkelanjutan. Pemerintah dan institusi
pendidikan perlu berkolaborasi dalam menyediakan program
pelatihan berkala yang tidak hanya berfokus pada aspek
pedagogik, tetapi juga pada penguatan keterampilan komunikasi dan
sosial. Selain itu, sistem administrasi di sekolah perlu
disederhanakan agar guru dapat lebih fokus dalam membangun hubungan dengan
peserta didik dan masyarakat.
Dalam jangka panjang,
penguatan kompetensi sosial guru tidak hanya berkontribusi pada peningkatan
kualitas pembelajaran, tetapi juga membangun ekosistem
pendidikan yang lebih harmonis, inklusif, dan berorientasi pada pengembangan
karakter peserta didik. Oleh karena itu, upaya penguatan
kompetensi sosial guru harus menjadi prioritas dalam kebijakan pendidikan di
Indonesia agar dapat mencetak generasi yang unggul dan berakhlak mulia.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, Pasal 10.
[2]
OECD, Teaching and Learning International Survey (TALIS) 2019
(Paris: OECD Publishing, 2019), 57.
[3]
Linda Darling-Hammond, The Flat World and Education: How America's
Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers College
Press, 2010), 160.
[4]
James A. Banks, Cultural Diversity and Education: Foundations,
Curriculum, and Teaching (Boston: Pearson, 2015), 125.
[5]
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 75
Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Daftar Pustaka
·
Banks, J. A. (2015). Cultural
diversity and education: Foundations, curriculum, and teaching (6th ed.).
Pearson.
·
Darling-Hammond, L. (2010).
The flat world and education: How America's commitment to equity will
determine our future. Teachers College Press.
·
Epstein, J. L. (2011). School,
family, and community partnerships: Preparing educators and improving schools
(2nd ed.). Routledge.
·
Hattie, J. (2009). Visible
learning: A synthesis of over 800 meta-analyses relating to achievement.
Routledge.
·
Organisation for Economic
Co-operation and Development (OECD). (2019). Teaching and learning
international survey (TALIS) 2019. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/1a72efdb-en
·
Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite
Sekolah.
·
Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
·
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Lampiran: Daftar Teori dan Prinsip tentang
Kompetensi Sosial
Untuk membangun kompetensi
sosial yang baik, seorang guru perlu memahami berbagai teori
dan prinsip dalam bidang komunikasi, psikologi pendidikan, dan sosiologi.
Berikut adalah daftar teori serta prinsip yang relevan:
1.
Teori-Teori yang Perlu Dipelajari
1.1.
Teori
Komunikasi
1)
Teori Komunikasi
Interpersonal (Joseph A. DeVito)
Menjelaskan bagaimana individu
berinteraksi satu sama lain melalui pesan verbal dan nonverbal.
Guru harus menguasai keterampilan
mendengarkan aktif, komunikasi empatik, dan strategi komunikasi yang efektif
dengan siswa, rekan kerja, serta orang tua.
2)
Teori Komunikasi
Efektif (David K. Berlo – SMCR Model)
Model komunikasi yang mencakup Source
(sumber), Message
(pesan), Channel
(saluran), dan Receiver (penerima).
Guru harus memahami bagaimana
menyampaikan pesan secara jelas dan sesuai dengan audiens yang beragam.
3)
Teori Kecerdasan
Emosional (Daniel Goleman)
Menekankan pentingnya kesadaran diri,
pengendalian emosi, motivasi, empati, dan keterampilan sosial dalam interaksi
sosial.
Guru harus mampu mengelola emosinya
sendiri serta memahami emosi peserta didik dalam proses pembelajaran.
1.2.
Teori
Psikologi Sosial dan Pendidikan
4)
Teori Perkembangan
Sosial (Lev Vygotsky – Zone of Proximal Development/ZPD)
Menjelaskan bahwa perkembangan sosial
individu dipengaruhi oleh interaksi dengan orang lain, terutama dalam proses
belajar.
Guru harus berperan sebagai fasilitator
yang mendukung interaksi sosial dan kerja sama dalam kelas.
5)
Teori Pembelajaran
Sosial (Albert Bandura)
Mengemukakan bahwa individu belajar
melalui observasi dan interaksi dengan lingkungannya.
Guru harus menjadi teladan dalam
perilaku sosial yang baik bagi peserta didik.
6)
Teori Motivasi
Self-Determination (Deci & Ryan)
Menjelaskan bahwa seseorang akan lebih
termotivasi dalam belajar dan bekerja jika mendapatkan otonomi, keterhubungan
sosial, dan kompetensi.
Guru harus membangun hubungan yang baik
dengan peserta didik untuk meningkatkan motivasi dan keterlibatan mereka dalam
pembelajaran.
1.3.
Teori
Sosiologi Pendidikan
7)
Teori Interaksi
Simbolik (George Herbert Mead)
Menekankan bahwa identitas sosial
seseorang dibentuk melalui interaksi dengan lingkungan sekitarnya.
Guru harus memahami bagaimana peserta
didik membangun identitas mereka dan memberikan bimbingan dalam perkembangan
sosialnya.
8)
Teori Modal Sosial
(Pierre Bourdieu)
Mengemukakan bahwa keberhasilan
seseorang dalam masyarakat bergantung pada modal sosial, ekonomi, dan budaya
yang dimilikinya.
Guru perlu memahami pentingnya jaringan
sosial dan kerja sama untuk membangun komunitas pendidikan yang kuat.
2.
Prinsip-Prinsip Kompetensi Sosial Guru
Agar dapat mengembangkan
kompetensi sosial yang baik, guru perlu menerapkan beberapa prinsip berikut:
2.1.
Prinsip
Komunikasi Efektif
1)
Kejelasan
dalam Berkomunikasi – Pesan yang disampaikan harus jelas, tidak
ambigu, dan sesuai dengan tingkat pemahaman siswa.
2)
Mendengarkan
Secara Aktif – Guru harus memperhatikan dengan saksama ketika
peserta didik atau rekan kerja berbicara, serta menunjukkan pemahaman dan
respons yang tepat.
3)
Penggunaan
Bahasa yang Empatik – Menghindari kata-kata yang bisa
menyinggung atau menyakiti orang lain, serta menunjukkan rasa peduli dalam
interaksi sosial.
2.2.
Prinsip
Keterbukaan dan Inklusivitas
4)
Menghargai
Keberagaman – Guru harus menerima dan menghormati perbedaan
latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi peserta didik.
5)
Menciptakan
Lingkungan Belajar yang Inklusif – Membangun suasana kelas yang
nyaman dan terbuka agar semua siswa merasa diterima.
2.3.
Prinsip
Pengelolaan Konflik Sosial
6)
Menggunakan
Pendekatan Mediasi – Dalam menghadapi konflik antar siswa atau
antar guru, guru harus bertindak sebagai mediator yang mencari solusi terbaik.
7)
Berorientasi
pada Solusi – Fokus pada cara menyelesaikan permasalahan sosial
di lingkungan sekolah daripada memperuncing perbedaan.
2.4.
Prinsip
Kolaborasi dengan Masyarakat dan Orang Tua
8)
Membangun
Kemitraan dengan Orang Tua – Berkomunikasi secara terbuka
dengan orang tua dalam mendukung perkembangan peserta didik.
9)
Menjalin
Hubungan dengan Masyarakat Sekitar – Menggunakan sumber daya
komunitas untuk meningkatkan pengalaman belajar siswa.
Kesimpulan
Dengan memahami teori dan
prinsip-prinsip di atas, seorang guru dapat mengembangkan kompetensi
sosial yang baik, yang pada akhirnya akan berdampak positif
pada efektivitas pembelajaran, hubungan dengan peserta didik, serta iklim
sekolah yang harmonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar