Fungsi dan Tujuan Filsafat Islam
Membangun Pemikiran Rasional dan Spiritualitas Islam
Abstrak
Artikel ini mengkaji fungsi dan tujuan filsafat
Islam dalam membentuk pemikiran rasional dan spiritualitas yang integral dalam
tradisi intelektual Islam. Filsafat Islam tidak hanya merupakan warisan
intelektual masa lampau, tetapi juga instrumen penting untuk menjawab tantangan
kontemporer umat Islam. Melalui pendekatan historis dan analitis terhadap
karya-karya filsuf Muslim klasik seperti al-Kindī, al-Fārābī, Ibn Sīnā, Ibn
Rushd, dan Mullā Ṣadrā, artikel ini menjelaskan bahwa filsafat Islam memiliki
fungsi untuk menguatkan akal, mendukung teologi, menjembatani ilmu dan agama,
serta mengkritisi praktik keberagamaan secara reflektif. Tujuan utamanya adalah
mencapai pemahaman hakiki tentang Tuhan dan realitas, menyempurnakan jiwa,
serta mewujudkan manusia rasional dan spiritual. Di tengah tantangan modern
seperti sekularisasi, anti-intelektualisme, dan krisis etika, filsafat Islam
tetap relevan sebagai fondasi pemikiran Islam yang kritis, etis, dan
berorientasi pada nilai-nilai transendental.
Kata Kunci: Filsafat Islam, rasionalitas, spiritualitas, akal
dan wahyu, pemikiran Islam, etika, peradaban.
PEMBAHASAN
Fungsi dan Tujuan Filsafat Islam dalam Membangun
Pemikiran Rasional dan Spiritualitas Islam
1.
Pendahuluan
Filsafat Islam merupakan
salah satu cabang keilmuan penting dalam khazanah intelektual Islam yang tumbuh
dan berkembang sebagai hasil interaksi antara wahyu ilahi dan kemampuan akal
manusia. Keberadaannya tidak hanya menunjukkan kedalaman refleksi intelektual
para cendekiawan Muslim terhadap realitas, tetapi juga menggambarkan bagaimana
umat Islam berupaya menjawab persoalan-persoalan fundamental dalam kehidupan manusia
secara rasional, sistematis, dan terpadu dengan nilai-nilai ketuhanan.
Dalam sejarahnya, filsafat
Islam muncul sebagai respon terhadap berbagai tantangan intelektual, baik yang
bersumber dari dalam tradisi Islam itu sendiri maupun dari luar, seperti
warisan filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa
Dinasti Abbasiyah. Proses ini menumbuhkan dialog kreatif antara wahyu dan akal,
serta melahirkan pemikiran filosofis yang khas dan orisinal dalam tradisi
Islam. Tokoh-tokoh seperti al-Kindī (w. 873 M), al-Fārābī (w. 950 M), Ibn Sīnā
(w. 1037 M), dan Ibn Rushd (w. 1198 M) menjadi pelopor dalam merumuskan
filsafat yang tidak hanya menjelaskan realitas secara rasional, tetapi juga
menjaganya tetap terikat pada prinsip-prinsip tauhid dan etika keislaman.¹
Urgensi kajian filsafat Islam
dewasa ini semakin dirasakan, terutama ketika umat Islam dihadapkan pada
tantangan modernitas, sekularisasi, dan krisis spiritualitas. Dalam kondisi
ini, filsafat Islam dapat menjadi sarana untuk membangun kembali kesadaran
rasional dan spiritual umat melalui pendekatan reflektif dan holistik terhadap
ajaran Islam. Filsafat Islam juga berperan penting dalam mendorong pembaruan
pemikiran Islam yang tetap berakar pada nilai-nilai wahyu, namun terbuka
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.²
Namun demikian, filsafat
Islam kerap disalahpahami, bahkan ditolak oleh sebagian kalangan yang
menganggapnya bertentangan dengan ajaran agama. Pandangan ini sering kali
muncul karena ketidaktahuan terhadap hakikat dan sejarah filsafat Islam itu
sendiri. Padahal, banyak ulama klasik yang tidak hanya mempelajari filsafat,
tetapi juga mengintegrasikannya dengan studi-studi keislaman lainnya seperti
fikih, tafsir, dan kalam. Al-Ghazālī (w. 1111 M), misalnya, meskipun terkenal
dengan kritiknya terhadap para filsuf dalam Tahāfut al-Falāsifah,
tetap mengakui pentingnya logika dan filsafat sebagai alat bantu dalam memahami
agama.³
Dengan demikian, kajian
terhadap fungsi dan tujuan filsafat Islam tidak hanya penting dalam rangka
memahami warisan intelektual Islam, tetapi juga sebagai upaya untuk
menghidupkan kembali semangat berpikir kritis, mendalam, dan bernilai spiritual
dalam kehidupan umat Islam masa kini. Artikel ini bertujuan untuk mengulas
secara sistematis fungsi dan tujuan filsafat Islam, sekaligus menunjukkan
relevansinya dalam membangun pemikiran rasional dan spiritual umat di era
kontemporer.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 3–7.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 59–63.
[3]
Al-Ghazālī, Maqāṣid al-Falāsifah (Cairo: Dār al-Maʿārif,
1961), 12–14; lihat juga M. Saeed Sheikh, Islamic Philosophy (London:
Routledge, 2000), 87.
2.
Definisi
Filsafat Islam
Secara etimologis, kata filsafat
berasal dari bahasa Yunani philosophia, yang berarti “cinta akan
kebijaksanaan” (love of wisdom). Dalam konteks umum, filsafat dipahami
sebagai upaya manusia untuk mencari pengetahuan yang mendalam dan menyeluruh
tentang realitas, eksistensi, pengetahuan, nilai, akal, dan bahasa melalui
penalaran logis dan refleksi kritis.¹
Adapun filsafat Islam,
secara terminologis, merupakan hasil usaha intelektual para filsuf Muslim dalam
memadukan ajaran wahyu Islam dengan metode rasional yang diwarisi dari filsafat
Yunani, terutama dari Plato dan Aristoteles. Namun demikian, filsafat Islam
bukan sekadar adopsi pemikiran Yunani, melainkan suatu usaha aktif untuk
menafsirkan realitas berdasarkan pandangan dunia Islam yang berlandaskan
tauhid.²
Menurut al-Kindī
(w. 873 M), filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu sejauh
yang mungkin dicapai oleh manusia, dengan tujuan mendekatkan diri kepada
kebenaran.³ Sementara itu, al-Fārābī (w. 950 M) mendefinisikan
filsafat sebagai ilmu tentang segala yang ada sejauh yang mungkin dicapai oleh
akal manusia. Ia membagi filsafat menjadi dua bagian besar: filsafat teoritis
dan filsafat praktis.⁴
Tokoh besar lainnya, Ibn
Sīnā (w. 1037 M), dalam Kitāb al-Shifā’, menguraikan bahwa
filsafat bertujuan menyempurnakan jiwa manusia dengan mengenal hakikat segala
sesuatu menurut kemampuannya.⁵ Pendekatan Ibn Sīnā menunjukkan bahwa filsafat
dalam Islam tidak berhenti pada pencapaian intelektual, tetapi juga menyasar
pada penyempurnaan moral dan spiritual manusia.
Sementara itu, Mullā
Ṣadrā (w. 1640 M), filsuf besar dari mazhab hikmah muta‘āliyyah,
memadukan filsafat rasional, iluminasi (isyraqi), dan ajaran tasawuf dalam satu
sistem filsafat yang utuh. Ia melihat bahwa filsafat bukan sekadar kegiatan
berpikir rasional, tetapi juga sarana pencapaian ma‘rifah (pengetahuan batin)
terhadap realitas wujud yang paling tinggi, yaitu Allah SWT.⁶
Dengan demikian, filsafat
Islam dapat didefinisikan sebagai upaya rasional, sistematis, dan
kritis yang dilakukan oleh para pemikir Muslim dalam memahami hakikat wujud dan
realitas dengan tetap berpegang pada ajaran wahyu sebagai sumber kebenaran
tertinggi. Filsafat Islam tidak hanya menjelaskan alam dan eksistensi, tetapi
juga memberikan arah bagi kehidupan spiritual dan moral manusia dalam kerangka
pandangan dunia Islam (Islamic worldview).⁷
Perbedaan antara filsafat
Islam dan ilmu kalam juga perlu digarisbawahi. Ilmu kalam bertujuan
mempertahankan keyakinan agama dengan argumen rasional yang defensif dan
apologetik, sedangkan filsafat Islam lebih bersifat eksploratif dan spekulatif
terhadap realitas secara umum, meskipun tetap dalam batasan akidah Islam.⁸
Footnotes
[1]
William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern
and Western Thought (New Jersey: Humanities Press, 1996), 168.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 4.
[3]
Al-Kindī, Fī al-Falsafah al-Ūlā (Baghdad: Dār al-Maʿārif,
1966), 32.
[4]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. Uthman Amin (Cairo: Dār al-Fikr
al-‘Arabī, 1949), 85–87.
[5]
Ibn Sīnā, Al-Shifā’, vol. 1 (Cairo: al-Matba‘ah al-Amīrīyah,
1952), 12–15.
[6]
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār
al-Maṭbū‘āt al-Ḥukmiyyah, 1981), 42–45.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 67–70.
[8]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 16.
3.
Ruang
Lingkup Filsafat Islam
Filsafat Islam memiliki
cakupan yang luas dan mendalam, mencakup berbagai bidang pemikiran yang
berkaitan dengan realitas wujud, pengetahuan, nilai, dan keberadaan manusia.
Ruang lingkup ini secara umum tidak berbeda jauh dengan filsafat pada umumnya,
namun memiliki ciri khas yang terintegrasi dengan ajaran Islam, terutama dalam
pendekatannya terhadap wahyu dan nilai-nilai transendental.¹ Para filsuf Muslim
tidak hanya mengkaji realitas secara rasional, tetapi juga selalu mengaitkannya
dengan prinsip-prinsip tauhid, etika ilahiah, dan tujuan spiritual.
Berikut ini adalah beberapa
aspek utama dalam ruang lingkup filsafat Islam:
3.1.
Metafisika (Ilmu tentang Wujud / Ontologi)
Metafisika merupakan inti
dari filsafat Islam. Di dalamnya dikaji hakikat keberadaan (al-wujūd),
kategori-kategori wujud, dan relasi antara makhluk dengan Sang Pencipta. Para
filsuf seperti Ibn Sīnā dan Mullā Ṣadrā mengembangkan teori-teori metafisika
yang mendalam, termasuk konsep wujūd mahḍ (eksistensi murni), emanasi
(al-fayḍ), serta ashālah al-wujūd (primordialitas eksistensi) yang
menjadi pilar dalam pemikiran ontologis Islam.²
Konsep ini juga membedakan
filsafat Islam dari filsafat Barat yang cenderung lebih materialistik. Dalam
filsafat Islam, wujud bukan hanya entitas fisik, melainkan juga sesuatu yang
memiliki dimensi spiritual dan bertingkat-tingkat menuju wujud mutlak, yaitu
Allah SWT.³
3.2.
Epistemologi (Teori Pengetahuan)
Epistemologi dalam filsafat
Islam membahas sumber, metode, dan validitas pengetahuan. Para filsuf Muslim
membagi pengetahuan ke dalam dua kategori besar: al-‘ilm al-ḥuṣūlī
(pengetahuan konseptual) dan al-‘ilm al-ḥuḍūrī (pengetahuan intuitif
atau kehadiran langsung).⁴
Ibn Sīnā menyusun teori
pengetahuan yang berbasis pada konsepsi intelek aktif (‘aql al-fa‘‘āl),
sementara al-Suhrawardī menekankan peran intuisi dan cahaya dalam pencapaian
pengetahuan.⁵ Dalam tradisi filsafat iluminatif (ḥikmah isyrāqiyyah), epistemologi
dihubungkan langsung dengan penyucian jiwa dan pengalaman spiritual, bukan
sekadar logika deduktif.
3.3.
Etika (Filsafat Moral)
Aspek etika sangat penting
dalam filsafat Islam karena berkaitan langsung dengan tujuan akhir manusia,
yaitu mencapai kesempurnaan jiwa dan kebahagiaan sejati (sa‘ādah).
Etika filosofis Islam membahas keutamaan (faḍīlah), pengendalian hawa nafsu,
serta upaya tazkiyah al-nafs (penyucian diri) sebagai jalan menuju insan kāmil
(manusia sempurna).⁶
Al-Fārābī, dalam karyanya Ara’
Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, menjelaskan bahwa negara ideal adalah negara
yang dipimpin oleh manusia bijak (filosof), yang mampu mengarahkan masyarakat
kepada kebahagiaan hakiki melalui pengetahuan dan kebajikan.⁷
3.4.
Kosmologi
Filsafat Islam juga membahas
struktur dan asal-usul alam semesta. Kosmologi Islam, terutama dalam pemikiran
Ibn Sīnā dan al-Fārābī, dibangun di atas konsep emanasi, yaitu proses turunnya
realitas dari Tuhan sebagai Wujud Pertama menuju dunia material secara
hierarkis dan teratur.⁸
Namun, tidak seperti konsep
emanasi dalam filsafat Neoplatonisme, para filsuf Muslim menyelaraskan teori
ini dengan prinsip keesaan dan kehendak Allah. Alam bukan muncul karena
kebutuhan Tuhan, melainkan karena kehendak dan hikmah-Nya.⁹
3.5.
Antropologi Filosofis
Filsafat Islam memandang
manusia sebagai makhluk spiritual-rasional yang memiliki potensi untuk
menyempurna. Manusia adalah mikro-kosmos yang memuat unsur-unsur materi dan
ruh, akal dan nafsu, dan memiliki tujuan eksistensial untuk kembali kepada Tuhan
dalam keadaan sempurna.¹⁰
Pemikiran ini menempatkan
manusia dalam posisi sentral dalam filsafat Islam sebagai subjek moral dan
spiritual yang bertanggung jawab atas pilihannya di dunia dan akhirat.
3.6.
Hubungan Akal dan Wahyu
Salah satu ciri khas filsafat
Islam adalah integrasi antara akal dan wahyu. Para filsuf tidak menempatkan
keduanya dalam posisi saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Akal
dianggap sebagai karunia Ilahi yang dapat menuntun manusia kepada kebenaran,
namun harus tetap berada dalam bimbingan wahyu agar tidak menyimpang.¹¹
Ibn Rushd, dalam karyanya Faṣl
al-Maqāl, menegaskan bahwa tidak ada pertentangan antara syariat dan
filsafat, karena keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni pencapaian
kebenaran.¹²
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study
(World Wisdom, 2010), 94.
[2]
Ibn Sīnā, Al-Shifā’, vol. 1 (Cairo: al-Matba‘ah al-Amīrīyah,
1952), 15–18.
[3]
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Maṭbū‘āt
al-Ḥukmiyyah, 1981), 42–47.
[4]
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (London:
Ashgate, 2006), 34–36.
[5]
Al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq (Tehran: Iranian Institute of
Philosophy, 1976), 89–93.
[6]
Al-Fārābī, Tahṣīl al-Sa‘ādah, ed. Ja‘far Al-Yāsīnī (Beirut:
Dār al-Mashriq, 1981), 57–60.
[7]
Al-Fārābī, Ara’ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Cairo: Dār
al-Ma‘ārif, 1968), 99–102.
[8]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 120–123.
[9]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 144–147.
[10]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 104–108.
[11]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–9.
[12]
Ibn Rushd, Faṣl al-Maqāl fī Mā bayna al-Ḥikmah wa al-Sharī‘ah min
al-Ittiṣāl, ed. Georges Hourani (Leiden: E. J. Brill, 1959), 44.
4.
Fungsi
Filsafat Islam
Filsafat Islam bukan sekadar
kegiatan spekulatif intelektual, tetapi memiliki fungsi penting dalam kehidupan
individu dan masyarakat Muslim. Ia berperan sebagai instrumen untuk memahami
realitas secara lebih mendalam, memperkuat dimensi rasional dalam agama, serta
membimbing manusia menuju kesempurnaan moral dan spiritual. Fungsi-fungsi ini
telah dikembangkan dan diperjelas oleh para filsuf Muslim klasik maupun
kontemporer, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai wahyu sebagai rujukan
utama.
4.1.
Sebagai Sarana Penguatan Akal dan Rasionalitas
Filsafat Islam berfungsi
sebagai sarana untuk melatih akal berpikir secara logis, sistematis, dan
kritis. Dalam tradisi Islam, akal (‘aql) merupakan anugerah ilahi yang
berfungsi untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta dan dalam
diri manusia sendiri. Al-Kindī menekankan bahwa filsafat adalah “ilmu tertinggi
yang mendekatkan manusia kepada kebenaran melalui penggunaan akal secara
sempurna.”¹
Pemikiran filosofis membantu
umat Islam keluar dari pemahaman agama yang dangkal atau bersifat taklid
(ikut-ikutan) tanpa pemahaman mendalam. Dalam hal ini, filsafat menjadi sarana
penting untuk membangun keimanan yang kokoh berdasarkan kesadaran intelektual
dan bukan semata warisan tradisi.²
4.2.
Sebagai Pendukung Teologi (Ilmu Kalam) dan
Syari’ah
Filsafat Islam memberikan
kontribusi besar dalam memperkaya ilmu kalam dan membantu memperkuat
argumen-argumen rasional dalam mempertahankan akidah Islam. Para tokoh seperti
al-Fārābī dan Ibn Rushd mengintegrasikan filsafat dengan teologi rasional,
menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi antara agama dan akal yang benar.³
Sebagai contoh, Ibn Rushd
dalam Faṣl al-Maqāl menyatakan bahwa filsafat dan syariat adalah dua
jalan yang saling menyempurnakan dalam mencapai kebenaran.⁴ Selain itu,
filsafat juga memberikan kerangka berpikir sistematis dalam memahami
hukum-hukum syari’ah dan hikmah di baliknya, sehingga umat dapat memahami bahwa
hukum Islam bukan sekadar perintah legalistik, tetapi memiliki dimensi etika
dan tujuan sosial.
4.3.
Sebagai Jembatan antara Ilmu dan Agama
Salah satu kekhasan filsafat
Islam adalah kemampuannya mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional dan agama dalam
satu kerangka epistemologis yang menyatu. Dalam sejarah peradaban Islam,
filsafat menjadi jembatan antara ilmu-ilmu alam (seperti matematika,
kedokteran, dan astronomi) dan ajaran-ajaran agama. Hal ini terlihat jelas
dalam karya-karya Ibn Sīnā dan al-Bīrūnī yang menggabungkan kajian ilmiah
dengan refleksi metafisik dan spiritual.⁵
Dengan menjadikan wahyu
sebagai cahaya pemandu dan akal sebagai alat pengkajian, filsafat Islam dapat
menengahi dikotomi antara ilmu modern dan keimanan, yang sering menjadi dilema
dalam masyarakat Muslim kontemporer.⁶
4.4.
Sebagai Alat Evaluatif atas Tradisi
Filsafat Islam juga berfungsi
sebagai alat kritis terhadap berbagai pandangan keagamaan atau tradisi yang
berkembang dalam masyarakat. Dengan pendekatan rasional, umat dapat menilai
mana ajaran yang bersumber dari wahyu dan mana yang merupakan hasil budaya atau
interpretasi manusia yang bisa saja menyimpang.
Dalam hal ini, filsafat
memberikan ruang bagi refleksi yang mendalam terhadap keberagamaan,
menghindarkan umat dari sikap fanatisme, ekstremisme, atau takhayul yang tidak
berdasar. Sebagaimana diungkapkan oleh Fazlur Rahman, filsafat merupakan sarana
untuk membangun kesadaran etis dan rasional dalam menafsirkan ajaran Islam
secara kontekstual dan bertanggung jawab.⁷
Kesimpulan Sementara
Keempat fungsi di atas
menunjukkan bahwa filsafat Islam memiliki kontribusi besar dalam membangun
pemikiran keislaman yang sehat, rasional, dan transformatif. Ia bukan hanya
warisan akademik masa lalu, tetapi juga relevan untuk membentuk generasi Muslim
yang kritis, ilmiah, dan spiritual di masa kini dan masa depan.
Footnotes
[1]
Al-Kindī, Fī al-Falsafah al-Ūlā (Baghdad: Dār al-Maʿārif,
1966), 45.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 26–29.
[3]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 70.
[4]
Ibn Rushd, Faṣl al-Maqāl fī Mā bayna al-Ḥikmah wa al-Sharī‘ah min
al-Ittiṣāl, ed. Georges Hourani (Leiden: E. J. Brill, 1959), 44–46.
[5]
Lenn E. Goodman, Islamic Humanism (Oxford: Oxford University
Press, 2003), 55–57.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 92.
[7]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
15–17.
5.
Tujuan
Filsafat Islam
Filsafat Islam tidak hanya
bertujuan untuk memuaskan keingintahuan intelektual semata, tetapi juga
diarahkan pada pencapaian tujuan yang bersifat eksistensial dan spiritual.
Dalam pandangan para filsuf Muslim, aktivitas berpikir filosofis merupakan
bagian dari proses penyempurnaan jiwa manusia dan pendekatan diri kepada Tuhan.
Oleh karena itu, tujuan filsafat Islam senantiasa mengandung dimensi rasional
sekaligus transendental.¹
Berikut ini beberapa tujuan
utama filsafat Islam sebagaimana dirumuskan oleh para pemikir besar dalam
tradisi intelektual Islam.
5.1.
Mencapai Pemahaman Hakiki tentang Tuhan dan
Realitas Wujud
Tujuan paling fundamental
dari filsafat Islam adalah pencarian terhadap kebenaran mutlak dan
hakikat wujud, yang berpuncak pada pemahaman tentang Tuhan sebagai
Wujud Tertinggi (al-Wujūd al-Muṭlaq). Ibn Sīnā menyebut bahwa filsafat
bertujuan untuk mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya, dan pada akhirnya
mengantarkan manusia untuk mengenal Sang Pencipta melalui pencarian rasional.²
Mulla Ṣadrā melanjutkan
gagasan ini dalam filsafatnya tentang ashālat al-wujūd (primordialitas
eksistensi), di mana seluruh realitas adalah manifestasi dari wujud yang satu,
yakni Tuhan.³ Pencapaian pengetahuan tentang Tuhan dalam filsafat Islam bukan
hanya sebagai hasil intelektual, tetapi juga sebagai jalan untuk menyempurnakan
eksistensi manusia.
5.2.
Menyempurnakan Jiwa dan Mewujudkan Kesempurnaan
Insaniyah
Filsafat Islam memiliki
dimensi etis dan spiritual, karena tujuan akhirnya adalah penyempurnaan
jiwa manusia (tazkiyah al-nafs) dan pencapaian derajat insān kāmil
(manusia paripurna).⁴ Dalam hal ini, filsafat bukan hanya berfungsi menjelaskan
kebenaran secara teoritis, tetapi juga membimbing manusia untuk hidup sesuai
dengan nilai-nilai kebaikan yang universal dan ilahiah.
Al-Fārābī menyatakan bahwa
tujuan filsafat adalah membawa manusia kepada kebahagiaan hakiki (al-sa‘ādah),
yaitu kebahagiaan jiwa yang dicapai melalui pengetahuan dan amal yang baik.⁵
Kebahagiaan ini tidak tergantung pada materi, tetapi merupakan hasil dari
kesempurnaan ruhani.
5.3.
Menjadikan Manusia sebagai Makhluk Rasional dan
Bertanggung Jawab
Dengan melatih manusia
berpikir mendalam dan kritis, filsafat Islam bertujuan membentuk
kepribadian rasional yang mampu memahami, memilih, dan mempertanggungjawabkan
tindakannya. Dalam pandangan para filsuf Muslim, manusia adalah
makhluk rasional (ḥayawān nāṭiq) yang diberi kemampuan untuk
membedakan antara yang baik dan buruk melalui akal.⁶
Pemikiran filosofis membantu
membebaskan manusia dari kejumudan, fanatisme, dan sikap irasional. Dengan
demikian, filsafat menjadi instrumen pembentukan akhlak yang rasional dan tidak
dogmatis, sekaligus membina tanggung jawab intelektual dan moral terhadap Tuhan
dan sesama.
5.4.
Menjaga Dinamika Intelektual dan Peradaban
Islam
Filsafat Islam berperan dalam
menjaga kelangsungan dinamika intelektual umat Islam. Dalam
sejarahnya, filsafat telah melahirkan peradaban ilmiah yang tinggi, di mana
kegiatan berpikir kritis dan sistematis menjadi pondasi kemajuan.⁷
Ibn Rushd menekankan bahwa
filsafat adalah fardhu kifayah bagi umat Islam karena berperan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan memperkuat argumentasi keagamaan.⁸ Tanpa
filsafat, umat berisiko terjebak dalam kejumudan intelektual dan tidak siap
menghadapi tantangan zaman.
Kesimpulan Sementara
Tujuan filsafat Islam
melampaui sekadar logika dan teori. Ia adalah upaya menyeluruh untuk memahami
hakikat realitas, menyempurnakan akhlak dan spiritualitas, serta membentuk manusia
yang berpikir dan bertindak berdasarkan nilai-nilai kebenaran. Dalam tradisi
Islam, filsafat adalah jalan menuju ma‘rifah, yaitu pengetahuan yang menyatu
dengan pengenalan diri dan Tuhan.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 67–70.
[2]
Ibn Sīnā, Al-Shifā’, vol. 1 (Cairo: al-Matba‘ah al-Amīrīyah,
1952), 21–23.
[3]
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār
al-Maṭbū‘āt al-Ḥukmiyyah, 1981), 55–60.
[4]
Toshihiko Izutsu, The Concept of the Self in Islamic Mysticism
(Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 112–115.
[5]
Al-Fārābī, Tahṣīl al-Sa‘ādah, ed. Ja‘far Al-Yāsīnī (Beirut:
Dār al-Mashriq, 1981), 43–45.
[6]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 122–124.
[7]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 137.
[8]
Ibn Rushd, Faṣl al-Maqāl, ed. Georges Hourani (Leiden: E. J.
Brill, 1959), 38–40.
6.
Tantangan
dan Relevansi Filsafat Islam di Era Kontemporer
Meskipun filsafat Islam
memiliki kontribusi besar dalam membentuk peradaban intelektual Islam klasik,
posisinya di era kontemporer menghadapi tantangan yang cukup serius. Di sisi
lain, kebutuhan terhadap pendekatan filosofis yang mendalam dan reflektif juga
semakin mendesak, mengingat kompleksitas persoalan zaman modern yang tidak
dapat dijawab dengan pendekatan tekstual semata. Oleh karena itu, penting untuk
mengkaji kembali tantangan dan relevansi filsafat Islam dalam
konteks kehidupan umat Islam hari ini.
6.1.
Tantangan Terhadap Filsafat Islam
6.1.1.
Sikap Anti-Filsafat
di Kalangan Umat Islam
Salah satu tantangan utama
yang dihadapi filsafat Islam adalah munculnya sikap anti-filsafat
di kalangan sebagian umat Islam. Filsafat dianggap sebagai ilmu yang bersifat
spekulatif, membingungkan, dan bahkan menyimpang dari ajaran agama. Stigma ini
sebagian berasal dari pemahaman yang keliru terhadap kritik-kritik tokoh
seperti al-Ghazālī dalam Tahāfut al-Falāsifah, meskipun pada
kenyataannya beliau sendiri menggunakan metode logika dan membedakan antara
filsafat yang sahih dan yang bertentangan dengan syariat.¹
Kekeliruan dalam memahami
posisi filsafat telah menyebabkan marginalisasi studi filsafat di banyak
lembaga pendidikan Islam, padahal tradisi Islam klasik justru memperlihatkan
simbiosis yang erat antara agama dan filsafat.²
6.1.2.
Dominasi Pemikiran
Sekular dan Materialistik
Tantangan lain yang tidak
kalah besar adalah dominasi paradigma sekularisme dan materialisme
dalam kehidupan modern, termasuk dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Pandangan ini memisahkan secara tegas antara agama dan rasionalitas, serta
mengabaikan dimensi spiritual dalam memahami realitas.³
Dalam konteks ini, filsafat
Islam dianggap "tidak ilmiah" karena mengintegrasikan akal dan wahyu.
Padahal, justru integrasi ini yang menjadi kekuatan filsafat Islam dalam
memberikan kerangka holistik bagi pemahaman realitas, termasuk aspek metafisika,
etika, dan spiritualitas.
6.1.3.
Keterputusan dengan
Tradisi Intelektual Islam Klasik
Keterputusan generasi Muslim
saat ini dari khazanah intelektual Islam klasik menjadi hambatan serius dalam
memahami dan mengembangkan filsafat Islam. Banyak karya klasik para filsuf
Muslim yang belum dibaca atau bahkan tidak dikenali, baik karena keterbatasan
akses maupun minimnya penguasaan terhadap bahasa Arab atau logika tradisional.⁴
Hal ini menyebabkan
terjadinya stagnasi pemikiran, di mana warisan intelektual Islam tidak lagi
menjadi inspirasi utama dalam merespons tantangan zaman.
6.2.
Relevansi Filsafat Islam di Era Kontemporer
6.2.1.
Menjawab
Problematika Pemikiran dan Kehidupan Modern
Filsafat Islam tetap memiliki
relevansi tinggi dalam merespons problematika kontemporer
seperti disorientasi nilai, krisis spiritualitas, serta dehumanisasi akibat
kemajuan teknologi. Dengan pendekatan filosofis yang integratif, filsafat Islam
mampu menjembatani antara iman dan akal, antara sains dan etika, serta antara
individualitas dan kemanusiaan.⁵
Fazlur Rahman, dalam proyek
reformasi intelektualnya, menekankan pentingnya pendekatan filosofis dalam
menafsirkan teks-teks agama agar tetap kontekstual dan relevan dengan realitas
sosial.⁶
6.2.2.
Menguatkan Basis Etika
dan Spiritualitas dalam Ilmu Pengetahuan
Kemajuan teknologi dan sains
yang tidak disertai dengan landasan etis telah menimbulkan banyak krisis
kemanusiaan. Filsafat Islam dapat memberikan dasar etika dan spiritualitas yang
kuat dalam pengembangan ilmu pengetahuan agar tidak sekadar mengejar aspek
teknis, tetapi juga memperhatikan kemaslahatan dan tanggung jawab moral.⁷
Hal ini sejalan dengan
pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang mengkritik sekularisasi ilmu dan menyerukan
perlunya "sacralization of knowledge" dalam bingkai pandangan
dunia Islam.⁸
6.2.3.
Menghidupkan Tradisi
Intelektual Islam dan Dialog Peradaban
Filsafat Islam juga berperan
penting dalam menghidupkan kembali dinamika intelektual di
dunia Islam dan membuka ruang bagi dialog antarperadaban.
Dengan mempelajari filsafat, umat Islam tidak hanya mampu memahami ajaran
agamanya secara lebih mendalam, tetapi juga mampu berkontribusi dalam wacana
global tentang nilai, etika, dan kemanusiaan.
Pemikiran filsuf-filsuf Islam
klasik seperti Ibn Rushd, yang menjadi jembatan antara Timur dan Barat, dapat
menjadi inspirasi bagi terciptanya kembali peradaban Islam yang inklusif dan
berbasis ilmu.⁹
Kesimpulan Sementara
Meskipun dihadapkan pada
berbagai tantangan, filsafat Islam tetap memiliki posisi strategis dalam
membangun pemikiran yang rasional, mendalam, dan spiritual. Relevansinya
semakin terasa dalam menjawab kegelisahan manusia modern yang haus akan makna,
nilai, dan arah hidup. Oleh karena itu, upaya merevitalisasi filsafat Islam
harus terus dilakukan melalui pendidikan, penerjemahan, serta pengembangan
wacana keilmuan yang terbuka dan reflektif.
Footnotes
[1]
Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut:
Imprimerie Catholique, 1927), 1–5.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 215–218.
[3]
Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction (Cambridge:
Polity Press, 2009), 138–141.
[4]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 23–25.
[5]
Nader Hashemi, Islam, Secularism, and Liberal Democracy
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 78.
[6]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 7–9.
[7]
Alparslan Açıkgenç, Islamic Scientific Tradition in History
(Kuala Lumpur: IKIM, 2014), 202.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany:
State University of New York Press, 1993), 9–11.
[9]
Ernest Renan, Averroès et l'Averroïsme (Paris: Calmann Lévy,
1861), 114–117.
7.
Penutup
Filsafat Islam merupakan
salah satu mahakarya intelektual dalam sejarah peradaban Islam yang menunjukkan
kedalaman, keluasan, dan kedewasaan berpikir umat Islam dalam memahami realitas,
Tuhan, dan eksistensi manusia. Sebagai warisan pemikiran yang lahir dari
integrasi antara akal dan wahyu, filsafat Islam memiliki fungsi dan tujuan yang
sangat penting: memperkuat rasionalitas keimanan, menyempurnakan akhlak dan
spiritualitas, serta menjaga dinamika intelektual umat di tengah perubahan
zaman.
Pembahasan sebelumnya
menunjukkan bahwa fungsi filsafat Islam mencakup penguatan
nalar kritis, dukungan terhadap teologi rasional, integrasi ilmu dan agama,
serta evaluasi terhadap praktik keagamaan yang tidak rasional. Sementara itu, tujuan
filsafat Islam tidak semata berhenti pada pencapaian intelektual,
melainkan meliputi penyempurnaan jiwa (tazkiyah al-nafs), pencapaian
kebahagiaan hakiki (al-sa‘ādah), dan pendekatan diri kepada Tuhan
sebagai bentuk ma‘rifah.¹
Relevansi filsafat Islam di
era kontemporer semakin terasa penting, khususnya dalam menghadapi krisis
epistemologis, spiritual, dan moral yang terjadi akibat derasnya arus
globalisasi dan sekularisasi. Filsafat Islam menawarkan pendekatan yang
holistik terhadap kehidupan—yakni pendekatan yang tidak hanya rasional dan
ilmiah, tetapi juga etis dan transendental.² Gagasan ini sesuai dengan
pandangan Seyyed Hossein Nasr yang menyebutkan bahwa filsafat dalam Islam
adalah jalan untuk kembali pada “sumber-sumber pengetahuan yang suci” dan
menyatukan antara pengetahuan, hikmah, dan spiritualitas.³
Namun demikian, filsafat
Islam hanya dapat dihidupkan kembali jika ada kesadaran kolektif untuk
membangkitkan semangat keilmuan dan budaya berpikir kritis di kalangan umat
Islam. Hal ini membutuhkan komitmen untuk mengkaji ulang karya-karya filsuf
Muslim klasik, mengintegrasikan studi filsafat dalam pendidikan Islam modern,
serta membuka ruang bagi dialog terbuka dan reflektif yang tidak alergi terhadap
akal sehat.
Dengan menghidupkan kembali
filsafat Islam, umat Islam bukan hanya akan mampu menjaga warisan
intelektualnya, tetapi juga memiliki bekal kuat untuk berkontribusi dalam
membangun peradaban global yang adil, beradab, dan berorientasi pada nilai-nilai
kebenaran dan keadilan universal.⁴
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 152–156.
[2]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
15–19.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 3–5.
[4]
Ibrahim Kalin, Reason and Rationality in the Qur’an (Kuala Lumpur:
IIIT Malaysia, 2010), 93–96.
Daftar Pustaka
Açıkgenç, A. (2014). Islamic scientific
tradition in history. Kuala Lumpur: IKIM.
Al-Fārābī. (1949). Iḥṣā’ al-‘Ulūm (U. Amin,
Ed.). Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī.
Al-Fārābī. (1968). Ara’ ahl al-madīnah
al-fāḍilah. Cairo: Dār al-Ma‘ārif.
Al-Fārābī. (1981). Taḥṣīl al-sa‘ādah (J.
Al-Yāsīnī, Ed.). Beirut: Dār al-Mashriq.
Al-Ghazālī. (1927). Tahāfut al-falāsifah (M.
Bouyges, Ed.). Beirut: Imprimerie Catholique.
Al-Ghazālī. (1961). Maqāṣid al-falāsifah.
Cairo: Dār al-Ma‘ārif.
Al-Kindī. (1966). Fī al-falsafah al-Ūlā.
Baghdad: Dār al-Ma‘ārif.
Al-Suhrawardī. (1976). Ḥikmat al-isyrāq.
Tehran: Iranian Institute of Philosophy.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (3rd ed.). New York: Columbia University Press.
Goodman, L. E. (2003). Islamic humanism.
Oxford: Oxford University Press.
Goodman, L. E. (2006). Avicenna. London:
Routledge.
Hashemi, N. (2009). Islam, secularism, and
liberal democracy. Oxford: Oxford University Press.
Ibn Rushd. (1959). Faṣl al-maqāl fī mā bayna
al-ḥikmah wa al-sharī‘ah min al-ittiṣāl (G. Hourani, Ed.). Leiden: E. J.
Brill.
Ibn Sīnā. (1952). Al-Shifā’ (Vol. 1). Cairo:
al-Matba‘ah al-Amīrīyah.
Izutsu, T. (2007). The concept of the self in
Islamic mysticism. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
Kalin, I. (2010). Reason and rationality in the
Qur’an. Kuala Lumpur: IIIT Malaysia.
Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic
philosophy. Oxford: Oxford University Press.
Leaman, O. (2001). An introduction to classical
Islamic philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.
Leaman, O. (2009). Islamic philosophy: An
introduction. Cambridge: Polity Press.
Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in
Islam. Cambridge: Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
Albany: State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred
science. Albany: State University of New York Press.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Renan, E. (1861). Averroès et l’Averroïsme.
Paris: Calmann Lévy.
Reese, W. L. (1996). Dictionary of philosophy
and religion: Eastern and Western thought. New Jersey: Humanities Press.
Ṣadrā, M. (1981). Al-asfār al-arba‘ah (Vol.
1). Tehran: Dār al-Maṭbū‘āt al-Ḥukmiyyah.
Sheikh, M. S. (2000). Islamic philosophy.
London: Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar