Selasa, 25 Maret 2025

Fungsi dan Tujuan Filsafat Islam

Fungsi dan Tujuan Filsafat Islam

Membangun Pemikiran Rasional dan Spiritualitas Islam


Abstrak

Artikel ini mengkaji fungsi dan tujuan filsafat Islam dalam membentuk pemikiran rasional dan spiritualitas yang integral dalam tradisi intelektual Islam. Filsafat Islam tidak hanya merupakan warisan intelektual masa lampau, tetapi juga instrumen penting untuk menjawab tantangan kontemporer umat Islam. Melalui pendekatan historis dan analitis terhadap karya-karya filsuf Muslim klasik seperti al-Kindī, al-Fārābī, Ibn Sīnā, Ibn Rushd, dan Mullā Ṣadrā, artikel ini menjelaskan bahwa filsafat Islam memiliki fungsi untuk menguatkan akal, mendukung teologi, menjembatani ilmu dan agama, serta mengkritisi praktik keberagamaan secara reflektif. Tujuan utamanya adalah mencapai pemahaman hakiki tentang Tuhan dan realitas, menyempurnakan jiwa, serta mewujudkan manusia rasional dan spiritual. Di tengah tantangan modern seperti sekularisasi, anti-intelektualisme, dan krisis etika, filsafat Islam tetap relevan sebagai fondasi pemikiran Islam yang kritis, etis, dan berorientasi pada nilai-nilai transendental.

Kata Kunci: Filsafat Islam, rasionalitas, spiritualitas, akal dan wahyu, pemikiran Islam, etika, peradaban.


PEMBAHASAN

Fungsi dan Tujuan Filsafat Islam dalam Membangun Pemikiran Rasional dan Spiritualitas Islam


1.           Pendahuluan

Filsafat Islam merupakan salah satu cabang keilmuan penting dalam khazanah intelektual Islam yang tumbuh dan berkembang sebagai hasil interaksi antara wahyu ilahi dan kemampuan akal manusia. Keberadaannya tidak hanya menunjukkan kedalaman refleksi intelektual para cendekiawan Muslim terhadap realitas, tetapi juga menggambarkan bagaimana umat Islam berupaya menjawab persoalan-persoalan fundamental dalam kehidupan manusia secara rasional, sistematis, dan terpadu dengan nilai-nilai ketuhanan.

Dalam sejarahnya, filsafat Islam muncul sebagai respon terhadap berbagai tantangan intelektual, baik yang bersumber dari dalam tradisi Islam itu sendiri maupun dari luar, seperti warisan filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa Dinasti Abbasiyah. Proses ini menumbuhkan dialog kreatif antara wahyu dan akal, serta melahirkan pemikiran filosofis yang khas dan orisinal dalam tradisi Islam. Tokoh-tokoh seperti al-Kindī (w. 873 M), al-Fārābī (w. 950 M), Ibn Sīnā (w. 1037 M), dan Ibn Rushd (w. 1198 M) menjadi pelopor dalam merumuskan filsafat yang tidak hanya menjelaskan realitas secara rasional, tetapi juga menjaganya tetap terikat pada prinsip-prinsip tauhid dan etika keislaman.¹

Urgensi kajian filsafat Islam dewasa ini semakin dirasakan, terutama ketika umat Islam dihadapkan pada tantangan modernitas, sekularisasi, dan krisis spiritualitas. Dalam kondisi ini, filsafat Islam dapat menjadi sarana untuk membangun kembali kesadaran rasional dan spiritual umat melalui pendekatan reflektif dan holistik terhadap ajaran Islam. Filsafat Islam juga berperan penting dalam mendorong pembaruan pemikiran Islam yang tetap berakar pada nilai-nilai wahyu, namun terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.²

Namun demikian, filsafat Islam kerap disalahpahami, bahkan ditolak oleh sebagian kalangan yang menganggapnya bertentangan dengan ajaran agama. Pandangan ini sering kali muncul karena ketidaktahuan terhadap hakikat dan sejarah filsafat Islam itu sendiri. Padahal, banyak ulama klasik yang tidak hanya mempelajari filsafat, tetapi juga mengintegrasikannya dengan studi-studi keislaman lainnya seperti fikih, tafsir, dan kalam. Al-Ghazālī (w. 1111 M), misalnya, meskipun terkenal dengan kritiknya terhadap para filsuf dalam Tahāfut al-Falāsifah, tetap mengakui pentingnya logika dan filsafat sebagai alat bantu dalam memahami agama.³

Dengan demikian, kajian terhadap fungsi dan tujuan filsafat Islam tidak hanya penting dalam rangka memahami warisan intelektual Islam, tetapi juga sebagai upaya untuk menghidupkan kembali semangat berpikir kritis, mendalam, dan bernilai spiritual dalam kehidupan umat Islam masa kini. Artikel ini bertujuan untuk mengulas secara sistematis fungsi dan tujuan filsafat Islam, sekaligus menunjukkan relevansinya dalam membangun pemikiran rasional dan spiritual umat di era kontemporer.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 3–7.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 59–63.

[3]                Al-Ghazālī, Maqāṣid al-Falāsifah (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 12–14; lihat juga M. Saeed Sheikh, Islamic Philosophy (London: Routledge, 2000), 87.


2.           Definisi Filsafat Islam

Secara etimologis, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia, yang berarti “cinta akan kebijaksanaan” (love of wisdom). Dalam konteks umum, filsafat dipahami sebagai upaya manusia untuk mencari pengetahuan yang mendalam dan menyeluruh tentang realitas, eksistensi, pengetahuan, nilai, akal, dan bahasa melalui penalaran logis dan refleksi kritis.¹

Adapun filsafat Islam, secara terminologis, merupakan hasil usaha intelektual para filsuf Muslim dalam memadukan ajaran wahyu Islam dengan metode rasional yang diwarisi dari filsafat Yunani, terutama dari Plato dan Aristoteles. Namun demikian, filsafat Islam bukan sekadar adopsi pemikiran Yunani, melainkan suatu usaha aktif untuk menafsirkan realitas berdasarkan pandangan dunia Islam yang berlandaskan tauhid.²

Menurut al-Kindī (w. 873 M), filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu sejauh yang mungkin dicapai oleh manusia, dengan tujuan mendekatkan diri kepada kebenaran.³ Sementara itu, al-Fārābī (w. 950 M) mendefinisikan filsafat sebagai ilmu tentang segala yang ada sejauh yang mungkin dicapai oleh akal manusia. Ia membagi filsafat menjadi dua bagian besar: filsafat teoritis dan filsafat praktis.⁴

Tokoh besar lainnya, Ibn Sīnā (w. 1037 M), dalam Kitāb al-Shifā’, menguraikan bahwa filsafat bertujuan menyempurnakan jiwa manusia dengan mengenal hakikat segala sesuatu menurut kemampuannya.⁵ Pendekatan Ibn Sīnā menunjukkan bahwa filsafat dalam Islam tidak berhenti pada pencapaian intelektual, tetapi juga menyasar pada penyempurnaan moral dan spiritual manusia.

Sementara itu, Mullā Ṣadrā (w. 1640 M), filsuf besar dari mazhab hikmah muta‘āliyyah, memadukan filsafat rasional, iluminasi (isyraqi), dan ajaran tasawuf dalam satu sistem filsafat yang utuh. Ia melihat bahwa filsafat bukan sekadar kegiatan berpikir rasional, tetapi juga sarana pencapaian ma‘rifah (pengetahuan batin) terhadap realitas wujud yang paling tinggi, yaitu Allah SWT.⁶

Dengan demikian, filsafat Islam dapat didefinisikan sebagai upaya rasional, sistematis, dan kritis yang dilakukan oleh para pemikir Muslim dalam memahami hakikat wujud dan realitas dengan tetap berpegang pada ajaran wahyu sebagai sumber kebenaran tertinggi. Filsafat Islam tidak hanya menjelaskan alam dan eksistensi, tetapi juga memberikan arah bagi kehidupan spiritual dan moral manusia dalam kerangka pandangan dunia Islam (Islamic worldview).⁷

Perbedaan antara filsafat Islam dan ilmu kalam juga perlu digarisbawahi. Ilmu kalam bertujuan mempertahankan keyakinan agama dengan argumen rasional yang defensif dan apologetik, sedangkan filsafat Islam lebih bersifat eksploratif dan spekulatif terhadap realitas secara umum, meskipun tetap dalam batasan akidah Islam.⁸


Footnotes

[1]                William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought (New Jersey: Humanities Press, 1996), 168.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 4.

[3]                Al-Kindī, Fī al-Falsafah al-Ūlā (Baghdad: Dār al-Maʿārif, 1966), 32.

[4]                Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. Uthman Amin (Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1949), 85–87.

[5]                Ibn Sīnā, Al-Shifā’, vol. 1 (Cairo: al-Matba‘ah al-Amīrīyah, 1952), 12–15.

[6]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Maṭbū‘āt al-Ḥukmiyyah, 1981), 42–45.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 67–70.

[8]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 16.


3.           Ruang Lingkup Filsafat Islam

Filsafat Islam memiliki cakupan yang luas dan mendalam, mencakup berbagai bidang pemikiran yang berkaitan dengan realitas wujud, pengetahuan, nilai, dan keberadaan manusia. Ruang lingkup ini secara umum tidak berbeda jauh dengan filsafat pada umumnya, namun memiliki ciri khas yang terintegrasi dengan ajaran Islam, terutama dalam pendekatannya terhadap wahyu dan nilai-nilai transendental.¹ Para filsuf Muslim tidak hanya mengkaji realitas secara rasional, tetapi juga selalu mengaitkannya dengan prinsip-prinsip tauhid, etika ilahiah, dan tujuan spiritual.

Berikut ini adalah beberapa aspek utama dalam ruang lingkup filsafat Islam:

3.1.       Metafisika (Ilmu tentang Wujud / Ontologi)

Metafisika merupakan inti dari filsafat Islam. Di dalamnya dikaji hakikat keberadaan (al-wujūd), kategori-kategori wujud, dan relasi antara makhluk dengan Sang Pencipta. Para filsuf seperti Ibn Sīnā dan Mullā Ṣadrā mengembangkan teori-teori metafisika yang mendalam, termasuk konsep wujūd mahḍ (eksistensi murni), emanasi (al-fayḍ), serta ashālah al-wujūd (primordialitas eksistensi) yang menjadi pilar dalam pemikiran ontologis Islam.²

Konsep ini juga membedakan filsafat Islam dari filsafat Barat yang cenderung lebih materialistik. Dalam filsafat Islam, wujud bukan hanya entitas fisik, melainkan juga sesuatu yang memiliki dimensi spiritual dan bertingkat-tingkat menuju wujud mutlak, yaitu Allah SWT.³

3.2.       Epistemologi (Teori Pengetahuan)

Epistemologi dalam filsafat Islam membahas sumber, metode, dan validitas pengetahuan. Para filsuf Muslim membagi pengetahuan ke dalam dua kategori besar: al-‘ilm al-ḥuṣūlī (pengetahuan konseptual) dan al-‘ilm al-ḥuḍūrī (pengetahuan intuitif atau kehadiran langsung).⁴

Ibn Sīnā menyusun teori pengetahuan yang berbasis pada konsepsi intelek aktif (‘aql al-fa‘‘āl), sementara al-Suhrawardī menekankan peran intuisi dan cahaya dalam pencapaian pengetahuan.⁵ Dalam tradisi filsafat iluminatif (ḥikmah isyrāqiyyah), epistemologi dihubungkan langsung dengan penyucian jiwa dan pengalaman spiritual, bukan sekadar logika deduktif.

3.3.       Etika (Filsafat Moral)

Aspek etika sangat penting dalam filsafat Islam karena berkaitan langsung dengan tujuan akhir manusia, yaitu mencapai kesempurnaan jiwa dan kebahagiaan sejati (sa‘ādah). Etika filosofis Islam membahas keutamaan (faḍīlah), pengendalian hawa nafsu, serta upaya tazkiyah al-nafs (penyucian diri) sebagai jalan menuju insan kāmil (manusia sempurna).⁶

Al-Fārābī, dalam karyanya Ara’ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, menjelaskan bahwa negara ideal adalah negara yang dipimpin oleh manusia bijak (filosof), yang mampu mengarahkan masyarakat kepada kebahagiaan hakiki melalui pengetahuan dan kebajikan.⁷

3.4.       Kosmologi

Filsafat Islam juga membahas struktur dan asal-usul alam semesta. Kosmologi Islam, terutama dalam pemikiran Ibn Sīnā dan al-Fārābī, dibangun di atas konsep emanasi, yaitu proses turunnya realitas dari Tuhan sebagai Wujud Pertama menuju dunia material secara hierarkis dan teratur.⁸

Namun, tidak seperti konsep emanasi dalam filsafat Neoplatonisme, para filsuf Muslim menyelaraskan teori ini dengan prinsip keesaan dan kehendak Allah. Alam bukan muncul karena kebutuhan Tuhan, melainkan karena kehendak dan hikmah-Nya.⁹

3.5.       Antropologi Filosofis

Filsafat Islam memandang manusia sebagai makhluk spiritual-rasional yang memiliki potensi untuk menyempurna. Manusia adalah mikro-kosmos yang memuat unsur-unsur materi dan ruh, akal dan nafsu, dan memiliki tujuan eksistensial untuk kembali kepada Tuhan dalam keadaan sempurna.¹⁰

Pemikiran ini menempatkan manusia dalam posisi sentral dalam filsafat Islam sebagai subjek moral dan spiritual yang bertanggung jawab atas pilihannya di dunia dan akhirat.

3.6.       Hubungan Akal dan Wahyu

Salah satu ciri khas filsafat Islam adalah integrasi antara akal dan wahyu. Para filsuf tidak menempatkan keduanya dalam posisi saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Akal dianggap sebagai karunia Ilahi yang dapat menuntun manusia kepada kebenaran, namun harus tetap berada dalam bimbingan wahyu agar tidak menyimpang.¹¹

Ibn Rushd, dalam karyanya Faṣl al-Maqāl, menegaskan bahwa tidak ada pertentangan antara syariat dan filsafat, karena keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni pencapaian kebenaran.¹²


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (World Wisdom, 2010), 94.

[2]                Ibn Sīnā, Al-Shifā’, vol. 1 (Cairo: al-Matba‘ah al-Amīrīyah, 1952), 15–18.

[3]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Maṭbū‘āt al-Ḥukmiyyah, 1981), 42–47.

[4]                Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (London: Ashgate, 2006), 34–36.

[5]                Al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Isyrāq (Tehran: Iranian Institute of Philosophy, 1976), 89–93.

[6]                Al-Fārābī, Tahṣīl al-Sa‘ādah, ed. Ja‘far Al-Yāsīnī (Beirut: Dār al-Mashriq, 1981), 57–60.

[7]                Al-Fārābī, Ara’ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), 99–102.

[8]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 120–123.

[9]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 144–147.

[10]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 104–108.

[11]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–9.

[12]             Ibn Rushd, Faṣl al-Maqāl fī Mā bayna al-Ḥikmah wa al-Sharī‘ah min al-Ittiṣāl, ed. Georges Hourani (Leiden: E. J. Brill, 1959), 44.


4.           Fungsi Filsafat Islam

Filsafat Islam bukan sekadar kegiatan spekulatif intelektual, tetapi memiliki fungsi penting dalam kehidupan individu dan masyarakat Muslim. Ia berperan sebagai instrumen untuk memahami realitas secara lebih mendalam, memperkuat dimensi rasional dalam agama, serta membimbing manusia menuju kesempurnaan moral dan spiritual. Fungsi-fungsi ini telah dikembangkan dan diperjelas oleh para filsuf Muslim klasik maupun kontemporer, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai wahyu sebagai rujukan utama.

4.1.       Sebagai Sarana Penguatan Akal dan Rasionalitas

Filsafat Islam berfungsi sebagai sarana untuk melatih akal berpikir secara logis, sistematis, dan kritis. Dalam tradisi Islam, akal (‘aql) merupakan anugerah ilahi yang berfungsi untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta dan dalam diri manusia sendiri. Al-Kindī menekankan bahwa filsafat adalah “ilmu tertinggi yang mendekatkan manusia kepada kebenaran melalui penggunaan akal secara sempurna.”¹

Pemikiran filosofis membantu umat Islam keluar dari pemahaman agama yang dangkal atau bersifat taklid (ikut-ikutan) tanpa pemahaman mendalam. Dalam hal ini, filsafat menjadi sarana penting untuk membangun keimanan yang kokoh berdasarkan kesadaran intelektual dan bukan semata warisan tradisi.²

4.2.       Sebagai Pendukung Teologi (Ilmu Kalam) dan Syari’ah

Filsafat Islam memberikan kontribusi besar dalam memperkaya ilmu kalam dan membantu memperkuat argumen-argumen rasional dalam mempertahankan akidah Islam. Para tokoh seperti al-Fārābī dan Ibn Rushd mengintegrasikan filsafat dengan teologi rasional, menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi antara agama dan akal yang benar.³

Sebagai contoh, Ibn Rushd dalam Faṣl al-Maqāl menyatakan bahwa filsafat dan syariat adalah dua jalan yang saling menyempurnakan dalam mencapai kebenaran.⁴ Selain itu, filsafat juga memberikan kerangka berpikir sistematis dalam memahami hukum-hukum syari’ah dan hikmah di baliknya, sehingga umat dapat memahami bahwa hukum Islam bukan sekadar perintah legalistik, tetapi memiliki dimensi etika dan tujuan sosial.

4.3.       Sebagai Jembatan antara Ilmu dan Agama

Salah satu kekhasan filsafat Islam adalah kemampuannya mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional dan agama dalam satu kerangka epistemologis yang menyatu. Dalam sejarah peradaban Islam, filsafat menjadi jembatan antara ilmu-ilmu alam (seperti matematika, kedokteran, dan astronomi) dan ajaran-ajaran agama. Hal ini terlihat jelas dalam karya-karya Ibn Sīnā dan al-Bīrūnī yang menggabungkan kajian ilmiah dengan refleksi metafisik dan spiritual.⁵

Dengan menjadikan wahyu sebagai cahaya pemandu dan akal sebagai alat pengkajian, filsafat Islam dapat menengahi dikotomi antara ilmu modern dan keimanan, yang sering menjadi dilema dalam masyarakat Muslim kontemporer.⁶

4.4.       Sebagai Alat Evaluatif atas Tradisi

Filsafat Islam juga berfungsi sebagai alat kritis terhadap berbagai pandangan keagamaan atau tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Dengan pendekatan rasional, umat dapat menilai mana ajaran yang bersumber dari wahyu dan mana yang merupakan hasil budaya atau interpretasi manusia yang bisa saja menyimpang.

Dalam hal ini, filsafat memberikan ruang bagi refleksi yang mendalam terhadap keberagamaan, menghindarkan umat dari sikap fanatisme, ekstremisme, atau takhayul yang tidak berdasar. Sebagaimana diungkapkan oleh Fazlur Rahman, filsafat merupakan sarana untuk membangun kesadaran etis dan rasional dalam menafsirkan ajaran Islam secara kontekstual dan bertanggung jawab.⁷


Kesimpulan Sementara

Keempat fungsi di atas menunjukkan bahwa filsafat Islam memiliki kontribusi besar dalam membangun pemikiran keislaman yang sehat, rasional, dan transformatif. Ia bukan hanya warisan akademik masa lalu, tetapi juga relevan untuk membentuk generasi Muslim yang kritis, ilmiah, dan spiritual di masa kini dan masa depan.


Footnotes

[1]                Al-Kindī, Fī al-Falsafah al-Ūlā (Baghdad: Dār al-Maʿārif, 1966), 45.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 26–29.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 70.

[4]                Ibn Rushd, Faṣl al-Maqāl fī Mā bayna al-Ḥikmah wa al-Sharī‘ah min al-Ittiṣāl, ed. Georges Hourani (Leiden: E. J. Brill, 1959), 44–46.

[5]                Lenn E. Goodman, Islamic Humanism (Oxford: Oxford University Press, 2003), 55–57.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 92.

[7]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 15–17.


5.           Tujuan Filsafat Islam

Filsafat Islam tidak hanya bertujuan untuk memuaskan keingintahuan intelektual semata, tetapi juga diarahkan pada pencapaian tujuan yang bersifat eksistensial dan spiritual. Dalam pandangan para filsuf Muslim, aktivitas berpikir filosofis merupakan bagian dari proses penyempurnaan jiwa manusia dan pendekatan diri kepada Tuhan. Oleh karena itu, tujuan filsafat Islam senantiasa mengandung dimensi rasional sekaligus transendental.¹

Berikut ini beberapa tujuan utama filsafat Islam sebagaimana dirumuskan oleh para pemikir besar dalam tradisi intelektual Islam.

5.1.       Mencapai Pemahaman Hakiki tentang Tuhan dan Realitas Wujud

Tujuan paling fundamental dari filsafat Islam adalah pencarian terhadap kebenaran mutlak dan hakikat wujud, yang berpuncak pada pemahaman tentang Tuhan sebagai Wujud Tertinggi (al-Wujūd al-Muṭlaq). Ibn Sīnā menyebut bahwa filsafat bertujuan untuk mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya, dan pada akhirnya mengantarkan manusia untuk mengenal Sang Pencipta melalui pencarian rasional.²

Mulla Ṣadrā melanjutkan gagasan ini dalam filsafatnya tentang ashālat al-wujūd (primordialitas eksistensi), di mana seluruh realitas adalah manifestasi dari wujud yang satu, yakni Tuhan.³ Pencapaian pengetahuan tentang Tuhan dalam filsafat Islam bukan hanya sebagai hasil intelektual, tetapi juga sebagai jalan untuk menyempurnakan eksistensi manusia.

5.2.       Menyempurnakan Jiwa dan Mewujudkan Kesempurnaan Insaniyah

Filsafat Islam memiliki dimensi etis dan spiritual, karena tujuan akhirnya adalah penyempurnaan jiwa manusia (tazkiyah al-nafs) dan pencapaian derajat insān kāmil (manusia paripurna).⁴ Dalam hal ini, filsafat bukan hanya berfungsi menjelaskan kebenaran secara teoritis, tetapi juga membimbing manusia untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang universal dan ilahiah.

Al-Fārābī menyatakan bahwa tujuan filsafat adalah membawa manusia kepada kebahagiaan hakiki (al-sa‘ādah), yaitu kebahagiaan jiwa yang dicapai melalui pengetahuan dan amal yang baik.⁵ Kebahagiaan ini tidak tergantung pada materi, tetapi merupakan hasil dari kesempurnaan ruhani.

5.3.       Menjadikan Manusia sebagai Makhluk Rasional dan Bertanggung Jawab

Dengan melatih manusia berpikir mendalam dan kritis, filsafat Islam bertujuan membentuk kepribadian rasional yang mampu memahami, memilih, dan mempertanggungjawabkan tindakannya. Dalam pandangan para filsuf Muslim, manusia adalah makhluk rasional (ḥayawān nāṭiq) yang diberi kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan buruk melalui akal.⁶

Pemikiran filosofis membantu membebaskan manusia dari kejumudan, fanatisme, dan sikap irasional. Dengan demikian, filsafat menjadi instrumen pembentukan akhlak yang rasional dan tidak dogmatis, sekaligus membina tanggung jawab intelektual dan moral terhadap Tuhan dan sesama.

5.4.       Menjaga Dinamika Intelektual dan Peradaban Islam

Filsafat Islam berperan dalam menjaga kelangsungan dinamika intelektual umat Islam. Dalam sejarahnya, filsafat telah melahirkan peradaban ilmiah yang tinggi, di mana kegiatan berpikir kritis dan sistematis menjadi pondasi kemajuan.⁷

Ibn Rushd menekankan bahwa filsafat adalah fardhu kifayah bagi umat Islam karena berperan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan memperkuat argumentasi keagamaan.⁸ Tanpa filsafat, umat berisiko terjebak dalam kejumudan intelektual dan tidak siap menghadapi tantangan zaman.


Kesimpulan Sementara

Tujuan filsafat Islam melampaui sekadar logika dan teori. Ia adalah upaya menyeluruh untuk memahami hakikat realitas, menyempurnakan akhlak dan spiritualitas, serta membentuk manusia yang berpikir dan bertindak berdasarkan nilai-nilai kebenaran. Dalam tradisi Islam, filsafat adalah jalan menuju ma‘rifah, yaitu pengetahuan yang menyatu dengan pengenalan diri dan Tuhan.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 67–70.

[2]                Ibn Sīnā, Al-Shifā’, vol. 1 (Cairo: al-Matba‘ah al-Amīrīyah, 1952), 21–23.

[3]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Maṭbū‘āt al-Ḥukmiyyah, 1981), 55–60.

[4]                Toshihiko Izutsu, The Concept of the Self in Islamic Mysticism (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 112–115.

[5]                Al-Fārābī, Tahṣīl al-Sa‘ādah, ed. Ja‘far Al-Yāsīnī (Beirut: Dār al-Mashriq, 1981), 43–45.

[6]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 122–124.

[7]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 137.

[8]                Ibn Rushd, Faṣl al-Maqāl, ed. Georges Hourani (Leiden: E. J. Brill, 1959), 38–40.


6.           Tantangan dan Relevansi Filsafat Islam di Era Kontemporer

Meskipun filsafat Islam memiliki kontribusi besar dalam membentuk peradaban intelektual Islam klasik, posisinya di era kontemporer menghadapi tantangan yang cukup serius. Di sisi lain, kebutuhan terhadap pendekatan filosofis yang mendalam dan reflektif juga semakin mendesak, mengingat kompleksitas persoalan zaman modern yang tidak dapat dijawab dengan pendekatan tekstual semata. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji kembali tantangan dan relevansi filsafat Islam dalam konteks kehidupan umat Islam hari ini.

6.1.       Tantangan Terhadap Filsafat Islam

6.1.1.    Sikap Anti-Filsafat di Kalangan Umat Islam

Salah satu tantangan utama yang dihadapi filsafat Islam adalah munculnya sikap anti-filsafat di kalangan sebagian umat Islam. Filsafat dianggap sebagai ilmu yang bersifat spekulatif, membingungkan, dan bahkan menyimpang dari ajaran agama. Stigma ini sebagian berasal dari pemahaman yang keliru terhadap kritik-kritik tokoh seperti al-Ghazālī dalam Tahāfut al-Falāsifah, meskipun pada kenyataannya beliau sendiri menggunakan metode logika dan membedakan antara filsafat yang sahih dan yang bertentangan dengan syariat.¹

Kekeliruan dalam memahami posisi filsafat telah menyebabkan marginalisasi studi filsafat di banyak lembaga pendidikan Islam, padahal tradisi Islam klasik justru memperlihatkan simbiosis yang erat antara agama dan filsafat.²

6.1.2.    Dominasi Pemikiran Sekular dan Materialistik

Tantangan lain yang tidak kalah besar adalah dominasi paradigma sekularisme dan materialisme dalam kehidupan modern, termasuk dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pandangan ini memisahkan secara tegas antara agama dan rasionalitas, serta mengabaikan dimensi spiritual dalam memahami realitas.³

Dalam konteks ini, filsafat Islam dianggap "tidak ilmiah" karena mengintegrasikan akal dan wahyu. Padahal, justru integrasi ini yang menjadi kekuatan filsafat Islam dalam memberikan kerangka holistik bagi pemahaman realitas, termasuk aspek metafisika, etika, dan spiritualitas.

6.1.3.    Keterputusan dengan Tradisi Intelektual Islam Klasik

Keterputusan generasi Muslim saat ini dari khazanah intelektual Islam klasik menjadi hambatan serius dalam memahami dan mengembangkan filsafat Islam. Banyak karya klasik para filsuf Muslim yang belum dibaca atau bahkan tidak dikenali, baik karena keterbatasan akses maupun minimnya penguasaan terhadap bahasa Arab atau logika tradisional.⁴

Hal ini menyebabkan terjadinya stagnasi pemikiran, di mana warisan intelektual Islam tidak lagi menjadi inspirasi utama dalam merespons tantangan zaman.

6.2.       Relevansi Filsafat Islam di Era Kontemporer

6.2.1.    Menjawab Problematika Pemikiran dan Kehidupan Modern

Filsafat Islam tetap memiliki relevansi tinggi dalam merespons problematika kontemporer seperti disorientasi nilai, krisis spiritualitas, serta dehumanisasi akibat kemajuan teknologi. Dengan pendekatan filosofis yang integratif, filsafat Islam mampu menjembatani antara iman dan akal, antara sains dan etika, serta antara individualitas dan kemanusiaan.⁵

Fazlur Rahman, dalam proyek reformasi intelektualnya, menekankan pentingnya pendekatan filosofis dalam menafsirkan teks-teks agama agar tetap kontekstual dan relevan dengan realitas sosial.⁶

6.2.2.    Menguatkan Basis Etika dan Spiritualitas dalam Ilmu Pengetahuan

Kemajuan teknologi dan sains yang tidak disertai dengan landasan etis telah menimbulkan banyak krisis kemanusiaan. Filsafat Islam dapat memberikan dasar etika dan spiritualitas yang kuat dalam pengembangan ilmu pengetahuan agar tidak sekadar mengejar aspek teknis, tetapi juga memperhatikan kemaslahatan dan tanggung jawab moral.⁷

Hal ini sejalan dengan pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang mengkritik sekularisasi ilmu dan menyerukan perlunya "sacralization of knowledge" dalam bingkai pandangan dunia Islam.⁸

6.2.3.    Menghidupkan Tradisi Intelektual Islam dan Dialog Peradaban

Filsafat Islam juga berperan penting dalam menghidupkan kembali dinamika intelektual di dunia Islam dan membuka ruang bagi dialog antarperadaban. Dengan mempelajari filsafat, umat Islam tidak hanya mampu memahami ajaran agamanya secara lebih mendalam, tetapi juga mampu berkontribusi dalam wacana global tentang nilai, etika, dan kemanusiaan.

Pemikiran filsuf-filsuf Islam klasik seperti Ibn Rushd, yang menjadi jembatan antara Timur dan Barat, dapat menjadi inspirasi bagi terciptanya kembali peradaban Islam yang inklusif dan berbasis ilmu.⁹


Kesimpulan Sementara

Meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan, filsafat Islam tetap memiliki posisi strategis dalam membangun pemikiran yang rasional, mendalam, dan spiritual. Relevansinya semakin terasa dalam menjawab kegelisahan manusia modern yang haus akan makna, nilai, dan arah hidup. Oleh karena itu, upaya merevitalisasi filsafat Islam harus terus dilakukan melalui pendidikan, penerjemahan, serta pengembangan wacana keilmuan yang terbuka dan reflektif.


Footnotes

[1]                Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 1–5.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 215–218.

[3]                Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction (Cambridge: Polity Press, 2009), 138–141.

[4]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 23–25.

[5]                Nader Hashemi, Islam, Secularism, and Liberal Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2009), 78.

[6]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 7–9.

[7]                Alparslan Açıkgenç, Islamic Scientific Tradition in History (Kuala Lumpur: IKIM, 2014), 202.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 9–11.

[9]                Ernest Renan, Averroès et l'Averroïsme (Paris: Calmann Lévy, 1861), 114–117.


7.           Penutup

Filsafat Islam merupakan salah satu mahakarya intelektual dalam sejarah peradaban Islam yang menunjukkan kedalaman, keluasan, dan kedewasaan berpikir umat Islam dalam memahami realitas, Tuhan, dan eksistensi manusia. Sebagai warisan pemikiran yang lahir dari integrasi antara akal dan wahyu, filsafat Islam memiliki fungsi dan tujuan yang sangat penting: memperkuat rasionalitas keimanan, menyempurnakan akhlak dan spiritualitas, serta menjaga dinamika intelektual umat di tengah perubahan zaman.

Pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa fungsi filsafat Islam mencakup penguatan nalar kritis, dukungan terhadap teologi rasional, integrasi ilmu dan agama, serta evaluasi terhadap praktik keagamaan yang tidak rasional. Sementara itu, tujuan filsafat Islam tidak semata berhenti pada pencapaian intelektual, melainkan meliputi penyempurnaan jiwa (tazkiyah al-nafs), pencapaian kebahagiaan hakiki (al-sa‘ādah), dan pendekatan diri kepada Tuhan sebagai bentuk ma‘rifah

Relevansi filsafat Islam di era kontemporer semakin terasa penting, khususnya dalam menghadapi krisis epistemologis, spiritual, dan moral yang terjadi akibat derasnya arus globalisasi dan sekularisasi. Filsafat Islam menawarkan pendekatan yang holistik terhadap kehidupan—yakni pendekatan yang tidak hanya rasional dan ilmiah, tetapi juga etis dan transendental.² Gagasan ini sesuai dengan pandangan Seyyed Hossein Nasr yang menyebutkan bahwa filsafat dalam Islam adalah jalan untuk kembali pada “sumber-sumber pengetahuan yang suci” dan menyatukan antara pengetahuan, hikmah, dan spiritualitas.³

Namun demikian, filsafat Islam hanya dapat dihidupkan kembali jika ada kesadaran kolektif untuk membangkitkan semangat keilmuan dan budaya berpikir kritis di kalangan umat Islam. Hal ini membutuhkan komitmen untuk mengkaji ulang karya-karya filsuf Muslim klasik, mengintegrasikan studi filsafat dalam pendidikan Islam modern, serta membuka ruang bagi dialog terbuka dan reflektif yang tidak alergi terhadap akal sehat.

Dengan menghidupkan kembali filsafat Islam, umat Islam bukan hanya akan mampu menjaga warisan intelektualnya, tetapi juga memiliki bekal kuat untuk berkontribusi dalam membangun peradaban global yang adil, beradab, dan berorientasi pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan universal.⁴


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 152–156.

[2]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 15–19.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 3–5.

[4]                Ibrahim Kalin, Reason and Rationality in the Qur’an (Kuala Lumpur: IIIT Malaysia, 2010), 93–96.


Daftar Pustaka

Açıkgenç, A. (2014). Islamic scientific tradition in history. Kuala Lumpur: IKIM.

Al-Fārābī. (1949). Iḥṣā’ al-‘Ulūm (U. Amin, Ed.). Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī.

Al-Fārābī. (1968). Ara’ ahl al-madīnah al-fāḍilah. Cairo: Dār al-Ma‘ārif.

Al-Fārābī. (1981). Taḥṣīl al-sa‘ādah (J. Al-Yāsīnī, Ed.). Beirut: Dār al-Mashriq.

Al-Ghazālī. (1927). Tahāfut al-falāsifah (M. Bouyges, Ed.). Beirut: Imprimerie Catholique.

Al-Ghazālī. (1961). Maqāṣid al-falāsifah. Cairo: Dār al-Ma‘ārif.

Al-Kindī. (1966). Fī al-falsafah al-Ūlā. Baghdad: Dār al-Ma‘ārif.

Al-Suhrawardī. (1976). Ḥikmat al-isyrāq. Tehran: Iranian Institute of Philosophy.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). New York: Columbia University Press.

Goodman, L. E. (2003). Islamic humanism. Oxford: Oxford University Press.

Goodman, L. E. (2006). Avicenna. London: Routledge.

Hashemi, N. (2009). Islam, secularism, and liberal democracy. Oxford: Oxford University Press.

Ibn Rushd. (1959). Faṣl al-maqāl fī mā bayna al-ḥikmah wa al-sharī‘ah min al-ittiṣāl (G. Hourani, Ed.). Leiden: E. J. Brill.

Ibn Sīnā. (1952). Al-Shifā’ (Vol. 1). Cairo: al-Matba‘ah al-Amīrīyah.

Izutsu, T. (2007). The concept of the self in Islamic mysticism. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

Kalin, I. (2010). Reason and rationality in the Qur’an. Kuala Lumpur: IIIT Malaysia.

Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic philosophy. Oxford: Oxford University Press.

Leaman, O. (2001). An introduction to classical Islamic philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.

Leaman, O. (2009). Islamic philosophy: An introduction. Cambridge: Polity Press.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred science. Albany: State University of New York Press.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Renan, E. (1861). Averroès et l’Averroïsme. Paris: Calmann Lévy.

Reese, W. L. (1996). Dictionary of philosophy and religion: Eastern and Western thought. New Jersey: Humanities Press.

Ṣadrā, M. (1981). Al-asfār al-arba‘ah (Vol. 1). Tehran: Dār al-Maṭbū‘āt al-Ḥukmiyyah.

Sheikh, M. S. (2000). Islamic philosophy. London: Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar