Membongkar Pikiran di Balik Sherlock Holmes
Telaah Pemikiran Sir Arthur Conan Doyle
Alihkan ke: Rasionalisme, Spiritualisme,
Keadilan Sosial, Imperialisme.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran
Sir Arthur Conan Doyle melalui pendekatan biografis, literer, dan historis.
Sebagai pencipta tokoh detektif legendaris Sherlock Holmes, Doyle dikenal luas
karena kontribusinya terhadap sastra populer dan metode deduksi ilmiah. Namun,
pemikiran Doyle jauh melampaui ranah fiksi kriminal. Ia adalah sosok
multidimensional: seorang rasionalis terdidik dalam ilmu kedokteran, seorang
pembela keadilan dalam kasus-kasus salah hukum, serta seorang spiritualis yang
mempercayai komunikasi dengan alam gaib. Artikel ini mengeksplorasi bagaimana
ketegangan antara rasionalitas dan spiritualitas, komitmen terhadap keadilan
sosial, serta pandangan politik dan imperialismenya, membentuk keseluruhan
warisan intelektual dan budaya Doyle. Dengan merujuk pada berbagai sumber
primer dan kajian ilmiah, tulisan ini menyimpulkan bahwa pemikiran Doyle
mencerminkan kompleksitas zaman modern awal dan tetap relevan untuk kajian
interdisipliner kontemporer.
Kata Kunci: Arthur Conan Doyle, Sherlock Holmes, rasionalisme,
spiritualisme, keadilan sosial, imperialisme, warisan budaya, sastra detektif.
PEMBAHASAN
Pemikiran Sir Arthur Conan Doyle
1.
Pendahuluan
Nama Sir Arthur Conan Doyle
hampir tidak bisa dipisahkan dari ikon detektif fiktif paling terkenal
sepanjang masa, Sherlock Holmes. Namun, di balik popularitas Holmes dan
kecerdasan deduktifnya yang luar biasa, tersembunyi sosok penulis dengan
kompleksitas pemikiran yang jauh melampaui sekadar hiburan literer. Doyle bukan
hanya seorang novelis produktif, tetapi juga dokter, apologet spiritualis,
jurnalis perang, aktivis keadilan, dan komentator sosial yang aktif. Berbagai
dimensi pemikiran dan peran sosial inilah yang menjadikannya sebagai figur
penting dalam lanskap intelektual dan budaya Inggris pada akhir abad ke-19
hingga awal abad ke-20.
Dilahirkan di Edinburgh,
Skotlandia pada tahun 1859, Conan Doyle tumbuh dalam lingkungan Katolik Roma
namun kemudian mengalami pergeseran ke arah agnostisisme dan akhirnya menjadi
penganut spiritualisme setelah kehilangan putranya dalam Perang Dunia I.
Pandangan dunianya mengalami perkembangan yang dinamis, mencerminkan pergulatan
antara ilmu pengetahuan dan spiritualitas yang juga mewarnai masyarakat Inggris
kala itu. Pendidikan medis yang ia tempuh di University of Edinburgh memberikan
fondasi kuat bagi pendekatan logis dan ilmiah yang ia tuangkan dalam
cerita-cerita Holmes, terinspirasi dari dosennya yang terkenal, Dr. Joseph
Bell, yang dikenal karena kemampuan observasinya yang tajam dalam mendiagnosis
pasien.1
Meski ia dikenal luas karena
kisah-kisah detektifnya, Conan Doyle tidak menganggap Sherlock Holmes sebagai
pencapaian terbesarnya. Ia bahkan pernah menyebut Holmes sebagai penghalang
untuk karya-karya “serius”-nya dalam bidang sejarah dan spiritualitas.2
Namun demikian, karakter Holmes justru menjadi jendela untuk memahami cara
berpikir Doyle: ketertarikan pada logika deduktif, nilai keadilan, semangat
kemanusiaan, dan ketegangan batin antara rasionalisme dan keyakinan metafisik.
Melalui Holmes, Doyle secara tidak langsung mengungkapkan pandangannya terhadap
zaman yang tengah berubah—zaman yang ditandai oleh kemajuan ilmiah yang cepat
sekaligus kecemasan moral yang mendalam.
Artikel ini bertujuan untuk
menggali pemikiran-pemikiran mendalam yang melatarbelakangi karya-karya Conan
Doyle, dengan menelaah sisi filosofis, etis, dan spiritual dari tulisannya
maupun kehidupan pribadinya. Melalui pendekatan multidisipliner yang memadukan
kajian sastra, sejarah, dan biografi, pembahasan ini berupaya mengungkap
kompleksitas pemikiran seorang tokoh yang karyanya terus hidup dan mempengaruhi
banyak bidang hingga saat ini.
Footnotes
[1]
Andrew Lycett, Conan Doyle: The Man Who Created Sherlock Holmes
(London: Weidenfeld & Nicolson, 2007), 25–27.
[2]
Martin Booth, The Doctor, the Detective, and Arthur Conan Doyle: A
Biography of Arthur Conan Doyle (New York: St. Martin's Press, 1997), 184.
2.
Biografi
Singkat Sir Arthur Conan Doyle
Sir Arthur Ignatius Conan
Doyle lahir pada 22 Mei 1859 di Edinburgh, Skotlandia, dari pasangan Charles
Altamont Doyle dan Mary Foley. Ayahnya adalah seorang ilustrator keturunan
Irlandia yang berjuang dengan kecanduan alkohol dan gangguan kejiwaan,
sementara ibunya dikenal sebagai wanita cerdas dan imajinatif yang menumbuhkan
minat sastra dalam diri Conan Doyle sejak kecil.1 Pengaruh ibunya
sangat besar dalam membentuk daya imajinasi dan kecenderungan naratif yang
kelak menjadi ciri khas gaya kepenulisannya.
Doyle menerima pendidikan
awal di sekolah Jesuit Stonyhurst College, di mana ia memperoleh fondasi dalam
disiplin klasik dan agama Katolik Roma. Namun, setelah mengalami sejumlah
konflik intelektual dan moral, ia mulai meragukan ajaran gereja dan secara
bertahap menjauh dari Katolikisme.2 Pada tahun 1876, ia melanjutkan
studi kedokteran di University of Edinburgh, tempat ia bertemu dengan sosok
yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter Sherlock Holmes: Dr. Joseph
Bell, seorang dosen yang dikenal karena metode diagnosisnya yang berbasis
observasi tajam dan logika deduktif.3 Doyle kemudian mengakui bahwa
Bell menjadi model utama dalam penggambaran Holmes, walaupun karakter tersebut
juga mengalami pengembangan melalui pengalaman-pengalaman pribadi Doyle sendiri
dalam praktik medis dan kehidupan sosialnya.
Selama masa kuliah, Doyle
mulai menulis cerita pendek dan mengirimkannya ke berbagai majalah. Cerita
pertamanya yang diterbitkan adalah “The Mystery of Sasassa Valley”
(1879) yang muncul di Chambers’s Edinburgh Journal.4
Setelah menyelesaikan studinya, ia membuka praktik dokter umum di Southsea,
Portsmouth, pada tahun 1882. Namun, kehidupan sebagai dokter tidak memberikan
kepuasan finansial maupun intelektual yang ia harapkan. Justru di sela-sela
kesibukannya inilah ia mulai lebih serius menulis karya-karya fiksi, termasuk
cerita detektif pertamanya yang memperkenalkan Sherlock Holmes, A Study in
Scarlet (1887).5
Kesuksesan besar datang
ketika ia menulis The Adventures of Sherlock Holmes (1892), kumpulan
cerita pendek yang dimuat di The Strand Magazine. Popularitas karakter
Holmes melejit dan menjadikan Doyle sebagai penulis terkenal. Namun,
ketenarannya ini justru membuatnya resah. Ia merasa bahwa karya-karya
detektifnya menghambat reputasinya sebagai penulis sastra “serius”,
khususnya dalam genre sejarah dan spiritualitas.6
Dalam kehidupan pribadinya,
Conan Doyle mengalami banyak dinamika. Ia menikah dua kali—pertama dengan
Louisa Hawkins yang meninggal karena TBC, lalu dengan Jean Leckie yang menjadi
pendamping hidupnya hingga akhir hayat. Tragedi terbesar dalam hidupnya adalah
kematian putranya, Kingsley, dalam Perang Dunia I. Kehilangan ini menjadi
pemicu utama bagi ketertarikan Doyle terhadap spiritualisme dan kehidupan
setelah kematian, yang kemudian ia bela secara publik hingga akhir hidupnya.7
Doyle dianugerahi gelar
kebangsawanan (knighthood) oleh Raja Edward VII pada tahun 1902, bukan karena
karya sastranya, melainkan karena kontribusinya dalam membela kebijakan Inggris
dalam Perang Boer melalui pamflet The War in South Africa: Its Cause and
Conduct.8 Ia wafat pada 7 Juli 1930 di Sussex, Inggris,
meninggalkan warisan intelektual dan sastra yang tetap hidup hingga hari ini.
Footnotes
[1]
Andrew Lycett, Conan Doyle: The Man Who Created Sherlock Holmes
(London: Weidenfeld & Nicolson, 2007), 6–8.
[2]
Charles Higham, The Adventures of Conan Doyle: The Life of the
Creator of Sherlock Holmes (New York: Norton, 1976), 24–25.
[3]
Martin Booth, The Doctor, the Detective, and Arthur Conan
Doyle (New York: St. Martin's Press, 1997), 42–44.
[4]
Lycett, Conan Doyle, 53.
[5]
Joseph McAleer, Popular Reading and Publishing in Britain
1914–1950 (Oxford: Clarendon Press, 1992), 27.
[6]
Booth, The Doctor, the Detective, 105.
[7]
Daniel Stashower, Teller of Tales: The Life of Arthur Conan Doyle
(New York: Henry Holt, 1999), 352–356.
[8]
Lycett, Conan Doyle, 201.
3.
Rasionalitas
dan Sains dalam Karya-Karyanya
Salah satu ciri paling
menonjol dalam karya-karya Sir Arthur Conan Doyle, khususnya dalam
cerita-cerita Sherlock Holmes, adalah penekanan kuat pada rasionalitas, logika
deduktif, dan metode ilmiah. Karakter Sherlock Holmes bukan hanya menjadi
detektif fiktif, melainkan representasi dari semangat positivisme ilmiah dan
rasionalitas modern yang berkembang pesat pada akhir abad ke-19. Holmes
menyelidiki kasus-kasus bukan dengan spekulasi atau intuisi belaka, tetapi
dengan pendekatan sistematis berdasarkan bukti empiris, observasi tajam, dan
deduksi logis.
Inspirasi utama di balik
pendekatan ilmiah ini adalah sosok Dr. Joseph Bell, dosen
kedokteran di University of Edinburgh, yang dikenal karena kemampuannya
mendiagnosis pasien hanya dengan mengamati gejala fisik dan perilaku mereka.
Conan Doyle, yang merupakan murid Bell, menyatakan secara eksplisit bahwa
teknik observasi Bell-lah yang menjadi dasar penciptaan Sherlock Holmes.1
Doyle pernah menulis bahwa Holmes “merupakan penggabungan antara deduksi,
observasi, dan logika yang saya pelajari langsung dari Dr. Bell.”_2
Dengan demikian, karakter Holmes tidak hanya menjadi fiksi populer, tetapi juga
refleksi dari pengaruh metodologi ilmiah dalam praktik kedokteran dan
investigasi kriminal.
Karya A Study in Scarlet
(1887), novel pertama yang memperkenalkan Holmes, menampilkan tokoh detektif
yang memperlakukan kejahatan sebagai masalah ilmiah yang bisa dipecahkan secara
objektif. Dalam banyak kisah selanjutnya, Holmes sering kali mengkritik polisi
atau individu lain yang mengandalkan prasangka, dugaan emosional, atau intuisi
tanpa dasar. Misalnya, dalam The Sign of Four, Holmes menyatakan bahwa
“dengan mengabaikan fakta, teori yang dibangun hanya akan menyesatkan.”_3
Ini adalah pernyataan khas dari epistemologi rasional: bahwa kebenaran harus
dibangun dari data, bukan dari spekulasi.
Selain deduksi logis, Holmes
juga menerapkan pengetahuan lintas disiplin: kimia, anatomi, botani, dan bahkan
forensik. Dalam A Study in Scarlet, misalnya, ia menciptakan tes kimia
untuk membedakan noda darah lama dan baru—suatu prosedur yang mendahului
penggunaan teknik serupa dalam ilmu forensik modern.4 Karena itu,
banyak peneliti mengakui bahwa Doyle, lewat tokoh Holmes, memberikan kontribusi
signifikan dalam menginspirasi perkembangan ilmu forensik kriminal
di dunia nyata.5
Namun menariknya, meskipun
Doyle menjunjung tinggi metode ilmiah dalam fiksi-fiksinya, dalam kehidupan
nyata ia mengalami konflik batin antara sains dan keyakinan spiritual. Di
kemudian hari, Doyle justru menjadi penganut spiritualisme yang gigih dan
membela keras kemungkinan adanya realitas metafisik di luar jangkauan ilmu
pengetahuan konvensional. Ini menciptakan kontras yang tajam antara tokoh
rasional seperti Holmes dan keyakinan pribadi Doyle sendiri.6
Dengan demikian, pendekatan
rasionalitas dan sains dalam karya-karya Conan Doyle tidak hanya membentuk ciri
khas karakter Sherlock Holmes, tetapi juga mencerminkan dinamika intelektual
pada masa Victoria: sebuah zaman di mana sains dan agama, logika dan
spiritualitas, hidup berdampingan dalam ketegangan yang produktif.
Footnotes
[1]
Martin Booth, The Doctor, the Detective, and Arthur Conan
Doyle (New York: St. Martin's Press, 1997), 42–44.
[2]
Andrew Lycett, Conan Doyle: The Man Who Created Sherlock
Holmes (London: Weidenfeld & Nicolson, 2007), 74.
[3]
Arthur Conan Doyle, The Sign of Four (London: Spencer
Blackett, 1890), 56.
[4]
Joseph Bell and Arthur Conan Doyle, A Study in Scarlet (London: Ward,
Lock & Co., 1887), 75.
[5]
E.J. Wagner, The Science of Sherlock Holmes: From
Baskerville Hall to the Valley of Fear (Hoboken: Wiley, 2006),
15–17.
[6]
Daniel Stashower, Teller of Tales: The Life of Arthur Conan Doyle
(New York: Henry Holt, 1999), 285–288.
4.
Pandangan
Sosial dan Kemanusiaan
Di samping dikenal sebagai
penulis fiksi detektif, Sir Arthur Conan Doyle juga merupakan sosok yang
memiliki kepedulian besar terhadap isu-isu sosial dan kemanusiaan. Ia tidak
hanya menggambarkan keadilan melalui karakter Sherlock Holmes, tetapi juga
secara aktif terlibat dalam pembelaan terhadap korban ketidakadilan hukum di
dunia nyata. Hal ini menunjukkan bahwa Doyle bukan sekadar pengarang hiburan,
melainkan juga seorang humanis yang menjadikan tulisannya sebagai cermin dan
alat kritik terhadap kondisi sosial masyarakat Inggris pada masanya.
Salah satu aspek penting dari
pemikiran sosial Doyle adalah komitmennya terhadap prinsip keadilan,
bahkan ketika sistem hukum gagal. Ia dikenal luas karena keterlibatannya dalam
membela dua kasus besar yang sempat mengguncang opini publik: kasus George
Edalji dan Oscar Slater. George Edalji adalah seorang pengacara keturunan
India-Inggris yang dituduh melukai hewan ternak dan divonis bersalah meski
bukti yang diajukan sangat lemah dan bernuansa rasis. Doyle, setelah
menyelidiki kasus ini secara pribadi, menulis serangkaian artikel yang
membongkar ketidakberesan proses hukum tersebut, yang akhirnya mendorong pembebasan
Edalji pada tahun 1907.1
Kasus lainnya adalah Oscar
Slater, seorang imigran Yahudi Jerman yang divonis atas tuduhan pembunuhan di
Glasgow tahun 1908. Selama lebih dari satu dekade, Doyle mengkampanyekan
ketidakbersalahan Slater, menulis The Case of Oscar Slater (1912), dan
menyuarakan kritik keras terhadap sistem peradilan Skotlandia. Usahanya berbuah
pada pembebasan Slater tahun 1927.2 Dua kasus ini menunjukkan bahwa
Doyle tidak hanya menciptakan karakter yang memperjuangkan kebenaran, tetapi juga
mempraktikkannya dalam kehidupan nyata, menggabungkan nalar, moralitas, dan
keberanian sipil.
Karya-karya fiksi Doyle juga
memuat kritik sosial tersirat terhadap ketimpangan kelas, korupsi birokrasi,
dan ketidaksetaraan gender. Dalam banyak cerita Sherlock Holmes, korbannya
sering kali berasal dari kalangan lemah atau terpinggirkan, sementara pelakunya
berasal dari kelas atas yang berkuasa. Ini tampak, misalnya, dalam The
Adventure of the Abbey Grange, di mana Holmes bersikap simpatik kepada
istri yang menjadi korban kekerasan domestik, meski tindakannya melanggar
hukum.3 Sikap ini mencerminkan pandangan Doyle bahwa keadilan sejati
tidak selalu identik dengan hukum formal, melainkan harus mempertimbangkan
nilai-nilai kemanusiaan yang lebih dalam.
Lebih jauh lagi, Doyle
memiliki perhatian terhadap nasib koloni dan kelompok minoritas
dalam Kekaisaran Britania. Meski ia mendukung imperialisme Inggris secara umum,
ia tidak buta terhadap ketimpangan rasial dan sosial yang terjadi di dalamnya.
Dalam tulisannya dan pandangannya yang terekam dalam surat kabar serta kampanye
publik, Doyle menegaskan pentingnya keadilan universal yang melampaui ras dan
status sosial.4 Sebagai contoh, dalam tulisan-tulisannya mengenai
Perang Boer, meskipun ia mendukung posisi Inggris, ia tetap mengkritik tindakan
berlebihan dan pelanggaran HAM oleh pihak militer.5
Doyle juga memiliki pemikiran
progresif dalam isu penggunaan ilmu pengetahuan untuk kemanusiaan.
Ia meyakini bahwa sains dan rasionalitas tidak seharusnya digunakan semata-mata
untuk keuntungan elite, tetapi juga untuk membela yang lemah. Hal ini sejalan
dengan misi moral tokoh Holmes: menggunakan ilmu dan nalar untuk menegakkan
keadilan yang berpihak pada korban, bukan hanya menegakkan hukum secara kaku.
Dari keseluruhan karya dan
tindakan sosialnya, dapat disimpulkan bahwa Arthur Conan Doyle adalah sosok
yang memiliki kesadaran moral tinggi dan komitmen terhadap nilai-nilai
kemanusiaan. Karya-karyanya bukan hanya menyajikan misteri untuk dipecahkan,
tetapi juga kritik tajam terhadap ketimpangan sosial dan seruan moral untuk
membela kebenaran dan keadilan.
Footnotes
[1]
Andrew Lycett, Conan Doyle: The Man Who Created Sherlock
Holmes (London: Weidenfeld & Nicolson, 2007), 264–268.
[2]
Daniel Stashower, Teller of Tales: The Life of Arthur Conan Doyle
(New York: Henry Holt, 1999), 334–339.
[3]
Arthur Conan Doyle, The Adventure of the Abbey Grange,
dalam The
Return of Sherlock Holmes (London: George Newnes, 1905), 102–110.
[4]
Martin Booth, The Doctor, the Detective, and Arthur Conan
Doyle (New York: St. Martin's Press, 1997), 198–201.
[5]
Conan Doyle, The War in South Africa: Its Cause and Conduct
(London: Smith, Elder & Co., 1902), 75–80.
5.
Pergulatan
antara Rasionalisme dan Spiritualitas
Salah satu aspek paling
mencolok dan paradoks dalam kehidupan intelektual Sir Arthur Conan Doyle adalah
pergulatan batinnya antara rasionalisme ilmiah yang menjadi
dasar karakter Sherlock Holmes, dan spiritualisme yang ia anut
secara serius pada paruh kedua hidupnya. Kontras antara dua pandangan dunia ini
bukan hanya mencerminkan ketegangan dalam diri Doyle sendiri, tetapi juga
merupakan cerminan dari krisis spiritual dan filsafat yang lebih luas di era
Victoria dan Edwardian—sebuah zaman ketika kemajuan ilmiah bersaing dengan
kebutuhan manusia akan makna metafisik.
Pada masa mudanya, Doyle
dikenal sebagai pemikir yang menjunjung tinggi sains dan skeptisisme terhadap
dogma keagamaan. Dalam cerita-cerita Holmes, Doyle menggambarkan detektif yang
hampir tidak pernah terlibat dalam pembicaraan religius atau spiritual.
Sherlock Holmes adalah simbol dari empirisme dan logika deduktif: tokoh yang “tidak
pernah berspekulasi tanpa fakta,” dan yang menjauhi emosi maupun keyakinan
tanpa dasar.1 Holmes bahkan dalam beberapa kesempatan secara
eksplisit mengkritik kepercayaan pada supranatural sebagai bentuk kelemahan
akal.2
Namun setelah Perang Dunia I,
sikap Doyle mengalami perubahan yang sangat signifikan. Kematian putranya,
Kingsley, akibat komplikasi dari luka perang, serta wafatnya saudara, ipar, dan
beberapa sahabat dekat, mengguncang pandangan dunianya. Dalam menghadapi
penderitaan dan kehilangan yang bertubi-tubi, Doyle menemukan harapan dan
penghiburan dalam spiritualisme, sebuah gerakan keagamaan
modern yang percaya pada komunikasi dengan arwah orang mati melalui medium dan
praktik psikis.3
Doyle tidak hanya menjadi
pengikut spiritualisme, tetapi juga pembelanya yang paling vokal dan publik. Ia
menulis sejumlah buku, termasuk The New Revelation (1918) dan The
History of Spiritualism (1926), untuk menjelaskan dan membela
doktrin-doktrin spiritualis, serta membantah pandangan-pandangan skeptis dari
kalangan ilmuwan dan teolog ortodoks.4 Bagi Doyle, spiritualisme
bukan sekadar kepercayaan emosional, melainkan suatu sistem pengetahuan baru
yang harus dipandang serius sebagaimana ilmu pengetahuan pada masanya.
Sikap ini memicu kontroversi
di kalangan intelektual dan sahabat-sahabat dekatnya. Salah satu perseteruan
paling terkenal terjadi antara Doyle dan pesulap Harry Houdini, yang juga
tertarik pada dunia spiritual, namun bersikap skeptis terhadap klaim komunikasi
roh. Houdini percaya bahwa sebagian besar praktik spiritualisme adalah hasil
penipuan, sedangkan Doyle yakin Houdini sebenarnya adalah seorang medium yang “menyangkal
kekuatannya sendiri.”_5 Ketegangan ini berujung pada putusnya
hubungan keduanya.
Pergulatan ini memperlihatkan
bahwa dalam diri Doyle terdapat dua sisi yang saling berlawanan namun berjalan
seiring: satu sisi menjunjung tinggi bukti, logika, dan metode ilmiah,
sementara sisi lainnya mencari harapan, makna, dan kepastian dalam wilayah spiritual.
Ironisnya, sebagian pembaca dan penggemar Holmes menganggap spiritualisme Doyle
sebagai bentuk kemunduran intelektual, bahkan pengkhianatan terhadap prinsip
rasionalitas yang ia wariskan melalui karakter detektif terkenalnya.6
Namun demikian, pemikiran Doyle dapat dipahami dalam konteks trauma dan
keresahan eksistensial masyarakat pasca-perang, di mana sains tidak selalu
mampu menjawab pertanyaan terdalam manusia.
Dengan demikian, Doyle bukan
hanya penulis fiksi detektif yang rasionalis, tetapi juga figur yang kompleks:
seorang pencari kebenaran dalam berbagai bentuknya. Pergulatan antara
rasionalisme dan spiritualitas dalam dirinya mencerminkan dinamika pemikiran
modern yang masih relevan hingga hari ini—tentang batas antara sains dan iman,
antara logika dan harapan.
Footnotes
[1]
Arthur Conan Doyle, The Sign of Four (London: Spencer
Blackett, 1890), 45.
[2]
Arthur Conan Doyle, The Adventure of the Devil’s Foot,
dalam His Last
Bow (London: John Murray, 1917), 89–90.
[3]
Andrew Lycett, Conan Doyle: The Man Who Created Sherlock
Holmes (London: Weidenfeld & Nicolson, 2007), 311–316.
[4]
Arthur Conan Doyle, The History of Spiritualism, Vol. I
(London: Cassell and Company, 1926), xii–xiii.
[5]
Daniel Stashower, Teller of Tales: The Life of Arthur Conan Doyle
(New York: Henry Holt, 1999), 369–374.
[6]
Martin Booth, The Doctor, the Detective, and Arthur Conan
Doyle (New York: St. Martin’s Press, 1997), 228–230.
6.
Pandangan
Politik dan Imperialisme
Sir Arthur Conan Doyle tidak
hanya dikenal sebagai tokoh sastra, tetapi juga sebagai komentator publik yang
aktif dalam berbagai isu politik, khususnya yang berkaitan dengan Kekaisaran
Britania. Ia merupakan pendukung setia ideologi imperialisme
Inggris—sebuah keyakinan bahwa ekspansi kekuasaan dan peradaban Inggris ke
wilayah-wilayah koloni adalah suatu misi mulia dan sah. Namun demikian,
dukungan Doyle terhadap imperialisme tidak bersifat buta; ia tetap menunjukkan
sikap kritis terhadap praktik ketidakadilan atau kekejaman yang terjadi dalam
proses kolonialisme, menempatkannya sebagai tokoh yang kompleks dalam peta
pemikiran politik awal abad ke-20.
Salah satu kontribusi politik
paling signifikan dari Conan Doyle adalah pembelaannya terhadap kebijakan Inggris
dalam Perang Boer Kedua (1899–1902), sebuah konflik antara
Kekaisaran Britania dan republik-republik Boer di Afrika Selatan. Dalam pamflet
The War in South Africa: Its Cause and Conduct (1902), Doyle
menyatakan bahwa Inggris tidak bertindak sebagai agresor, melainkan sebagai
kekuatan penegak ketertiban yang sah terhadap kekuatan lokal yang ia anggap
tidak stabil dan diskriminatif.1 Ia menulis dokumen ini sebagai
upaya membela moralitas dan legalitas perang di mata dunia internasional,
khususnya untuk membantah tuduhan bahwa Inggris melakukan pelanggaran HAM
besar-besaran terhadap warga sipil.2
Karena kontribusinya ini,
Doyle dianugerahi gelar kebangsawanan (knighthood) oleh Raja Edward VII pada
tahun 1902. Namun, dukungan Doyle terhadap imperialisme Inggris tidak
serta-merta menjadikannya pembela tindakan brutal. Dalam surat-surat dan
pernyataan publik, ia mengecam keras kebijakan kamp konsentrasi Inggris yang
menyebabkan kematian ribuan perempuan dan anak-anak Boer. Ia juga mengkritik
lemahnya perlindungan terhadap warga sipil di koloni.3 Dengan
demikian, Doyle memperlihatkan bahwa ia melihat imperialisme sebagai
misi sipilisasi, bukan sekadar dominasi militer atau eksploitasi
ekonomi.
Pandangan politik Doyle juga
dapat ditelusuri dalam karya-karya fiksinya. Dalam cerita-cerita seperti The
Tragedy of the Korosko (1898), Doyle menggambarkan tentara Inggris sebagai
kekuatan pelindung dari kebiadaban lokal. Namun dalam waktu yang sama, ia juga
menyisipkan kritik terhadap kegagalan pemerintah kolonial dalam menghargai
budaya dan hak-hak masyarakat lokal.4 Dalam The Lost World
(1912), misalnya, meskipun terdapat semangat petualangan kolonial yang kuat,
Doyle juga menampilkan karakter-karakter yang berbeda pandangan tentang
moralitas penjelajahan dan eksploitasi, memberi ruang untuk ambiguitas etis.5
Dalam konteks politik dalam
negeri, Doyle adalah pendukung partai Unionis Liberal (Liberal
Unionist Party), yaitu kelompok pecahan dari Partai Liberal Inggris yang
menentang otonomi penuh untuk Irlandia. Sikap ini didasarkan pada keyakinannya
bahwa stabilitas nasional lebih penting daripada kompromi politik yang
menurutnya dapat merusak kesatuan kekaisaran.6 Meskipun ia sempat
dua kali mencalonkan diri sebagai anggota parlemen, Doyle tidak pernah
terpilih. Kendati demikian, suara dan pengaruhnya tetap signifikan dalam
debat-debat politik dan kebijakan publik, khususnya dalam isu pertahanan,
hukum, dan kolonialisme.
Pandangan Doyle tentang
imperialisme mencerminkan nilai-nilai zaman Victoria akhir dan Edwardian awal,
yang memandang kekuasaan Inggris atas dunia sebagai tanggung jawab moral dan
peradaban. Namun keunikannya terletak pada kemampuannya memadukan semangat
nasionalisme dengan nurani kemanusiaan. Ia tidak memandang kekuasaan kolonial
sebagai hak absolut, melainkan sebagai bentuk amanah moral
yang harus dijalankan dengan keadilan dan etika.
Footnotes
[1]
Arthur Conan Doyle, The War in South Africa: Its Cause and Conduct
(London: Smith, Elder & Co., 1902), 1–2.
[2]
Andrew Lycett, Conan Doyle: The Man Who Created Sherlock
Holmes (London: Weidenfeld & Nicolson, 2007), 203–207.
[3]
Daniel Stashower, Teller of Tales: The Life of Arthur Conan Doyle
(New York: Henry Holt, 1999), 264–266.
[4]
Martin Booth, The Doctor, the Detective, and Arthur Conan
Doyle (New York: St. Martin’s Press, 1997), 172–174.
[5]
Arthur Conan Doyle, The Lost World (London: Hodder
& Stoughton, 1912), 219–222.
[6]
Charles Higham, The Adventures of Conan Doyle: The Life of the
Creator of Sherlock Holmes (New York: Norton, 1976), 179–180.
7.
Warisan
Intelektual dan Budaya
Warisan intelektual dan
budaya Sir Arthur Conan Doyle tidak hanya terpatri dalam karakter Sherlock
Holmes, tetapi juga dalam jejak yang ia tinggalkan dalam perkembangan sastra
populer, ilmu forensik, kesadaran hukum, hingga filsafat kehidupan modern.
Sebagai penulis, Doyle berhasil menyatukan narasi yang memikat dengan wawasan
mendalam tentang rasionalitas, moralitas, dan kondisi sosial masyarakatnya.
Pengaruhnya menjangkau lintas generasi dan lintas disiplin, menjadikannya tokoh
yang warisannya terus dipelajari dan dirayakan hingga hari ini.
Karakter Sherlock
Holmes merupakan salah satu kontribusi terbesar Doyle terhadap budaya
populer. Tokoh ini telah menjadi simbol dari logika deduktif dan kecerdasan
investigatif. Holmes tampil dalam lebih dari 60 cerita pendek dan novel, yang
kemudian menginspirasi ratusan adaptasi teater, film, serial televisi, hingga
video game. Menurut pengamatan Christopher Redmond, Holmes adalah “figur
fiksi yang paling banyak diadaptasi dalam sejarah perfilman dunia.”_1
Warisan budaya ini memperlihatkan kekuatan Doyle dalam menciptakan karakter
yang tidak hanya bertahan dalam ingatan publik, tetapi juga mampu berkembang
sesuai zaman.
Dalam bidang ilmu
forensik, banyak ahli mengakui bahwa Doyle, melalui tokoh Holmes,
berperan dalam mempopulerkan teknik investigasi ilmiah yang kemudian menjadi
bagian dari metode modern dalam penegakan hukum. Holmes memperkenalkan praktik
seperti analisis jejak kaki, pemeriksaan serat, dan tes kimia sederhana untuk
mengidentifikasi racun atau darah, jauh sebelum metode tersebut menjadi standar
di kepolisian nyata.2 E.J. Wagner mencatat bahwa Doyle “membawa
semangat ilmiah ke ranah cerita kriminal, dan mengilhami generasi pertama ahli
forensik.”_3 Bahkan Scotland Yard secara historis mengakui bahwa
cerita-cerita Holmes membantu meningkatkan minat dan profesionalisme dalam
kepolisian Inggris awal abad ke-20.4
Dalam aspek kesadaran
hukum dan keadilan sosial, warisan Doyle terlihat dalam advokasinya
atas korban salah hukum. Perannya dalam membela George Edalji dan Oscar Slater
menunjukkan bahwa ia tidak sekadar menulis tentang keadilan, tetapi juga
berjuang secara nyata untuk mewujudkannya. Aktivismenya dalam kasus-kasus ini
membuka jalan bagi reformasi sistem hukum Inggris dan meningkatkan perhatian
publik terhadap pentingnya pembuktian ilmiah dalam persidangan.5
Oleh karena itu, warisan Doyle meluas hingga ranah hukum pidana dan hak asasi
manusia.
Di bidang sastra dan
intelektualisme, Doyle juga memberikan kontribusi pada perkembangan
genre fiksi ilmiah dan petualangan. Karyanya The Lost World (1912)
menjadi pelopor fiksi petualangan ilmiah, yang kemudian mengilhami banyak karya
dari H.G. Wells hingga Michael Crichton. Selain itu, melalui esai dan debat
publiknya, Doyle aktif membentuk opini tentang spiritualitas, moralitas, dan
nasionalisme, memperlihatkan bahwa ia bukan hanya seorang penghibur, melainkan
juga seorang intelektual publik.6
Namun, warisan Doyle juga
penuh paradoks. Sebagian pengkritik modern mempertanyakan sikap
imperialismenya, serta keterlibatannya dalam spiritualisme yang oleh sebagian
ilmuwan dianggap sebagai bentuk kepercayaan irasional. Akan tetapi, justru di
sinilah terletak kekuatan intelektual Doyle: ia adalah gambaran manusia modern
yang terus bergulat dengan pertanyaan antara akal dan iman, realitas
dan harapan, fakta dan makna. Pergulatannya mencerminkan dinamika
pemikiran Barat pasca-pencerahan, yang terus berusaha menyeimbangkan sains dan
spiritualitas.
Warisan Doyle, dengan
demikian, tidak dapat dilihat secara hitam-putih. Ia bukan hanya “ayah dari
detektif modern,” tetapi juga seorang pemikir yang kompleks—yang warisannya
hidup dalam dunia keilmuan, kebudayaan populer, dan debat intelektual lintas
generasi.
Footnotes
[1]
Christopher Redmond, Sherlock Holmes Handbook: Second Edition
(Toronto: Dundurn Press, 2009), 7.
[2]
Arthur Conan Doyle, A Study in Scarlet (London: Ward,
Lock & Co., 1887), 37–40.
[3]
E.J. Wagner, The Science of Sherlock Holmes: From
Baskerville Hall to the Valley of Fear (Hoboken: John Wiley &
Sons, 2006), 19.
[4]
Andrew Lycett, Conan Doyle: The Man Who Created Sherlock
Holmes (London: Weidenfeld & Nicolson, 2007), 298–300.
[5]
Daniel Stashower, Teller of Tales: The Life of Arthur Conan Doyle
(New York: Henry Holt, 1999), 335–342.
[6]
Martin Booth, The Doctor, the Detective, and Arthur Conan
Doyle (New York: St. Martin’s Press, 1997), 257–260.
8.
Kesimpulan
Membahas pemikiran Sir Arthur
Conan Doyle berarti memasuki kompleksitas sosok yang lebih luas daripada
pencipta karakter fiksi detektif terkenal. Doyle bukan sekadar penulis cerita
kriminal, tetapi juga seorang dokter, pembela keadilan, komentator
politik, pemikir spiritual, dan intelektual publik yang aktif
merespons dinamika zamannya. Setiap karya dan tindakannya mencerminkan
pergulatan pribadi dan sosial antara sains dan iman, antara keadilan formal dan
keadilan moral, antara imperialisme dan tanggung jawab kemanusiaan.
Melalui karakter Sherlock
Holmes, Doyle mempopulerkan nilai-nilai rasionalisme, observasi
empiris, dan metode ilmiah, yang kemudian menjadi fondasi dalam pengembangan
ilmu forensik modern.1 Namun di sisi lain, ia juga memperjuangkan
nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial secara langsung,
seperti yang tampak dalam advokasinya terhadap korban salah hukum seperti
George Edalji dan Oscar Slater.2 Doyle tidak memisahkan
intelektualisme dari empati; bagi dirinya, nalar harus menjadi alat untuk
melayani keadilan dan memperjuangkan yang lemah.
Sikap spiritualnya yang kuat
di akhir hidupnya—meski kerap dianggap kontradiktif dengan pemikiran rasional
dalam karya-karya Holmes—sebenarnya memperlihatkan kebutuhan mendalam
manusia terhadap makna eksistensial. Doyle tidak mengabaikan sains,
tetapi menganggap spiritualisme sebagai pelengkap bagi kekosongan yang tidak
mampu diisi oleh logika semata.3 Dalam hal ini, ia mencerminkan
krisis spiritual dan pencarian makna yang juga dirasakan banyak orang Eropa
pasca-Perang Dunia I.4
Dalam konteks politik dan
imperialisme, Doyle tampil sebagai pendukung Kekaisaran Britania,
namun tidak kehilangan kompas moralnya. Ia membela posisi politik negaranya,
tetapi juga mengkritik penyimpangan kekuasaan yang menyalahi prinsip keadilan.5
Dengan cara ini, Doyle menawarkan model nasionalisme yang bertanggung jawab
secara etis, sesuatu yang relevan untuk refleksi politik masa kini.
Warisan intelektual dan
budaya Doyle begitu luas: dari dunia sastra, hukum, forensik, spiritualisme,
hingga wacana etika publik. Ia adalah figur liminal, yang
berdiri di antara batas-batas—antara fiksi dan kenyataan, antara sains dan
spiritualitas, antara Inggris dan dunia kolonial. Kompleksitas inilah yang
menjadikan Doyle tidak hanya penting secara historis, tetapi juga relevan
untuk kajian lintas disiplin di era modern.
Sebagai penutup, Arthur Conan
Doyle adalah bukti bahwa seorang penulis dapat melampaui fiksi—menjadi pemikir,
advokat, dan cerminan dari zamannya. Melalui Holmes, ia mengajarkan logika dan
ketertiban; melalui kehidupannya, ia mengajarkan bahwa keadilan dan pencarian
makna harus terus diperjuangkan, baik melalui pena maupun tindakan nyata.
Footnotes
[1]
E.J. Wagner, The Science of Sherlock Holmes: From
Baskerville Hall to the Valley of Fear (Hoboken: John Wiley &
Sons, 2006), 19–22.
[2]
Daniel Stashower, Teller of Tales: The Life of Arthur Conan Doyle
(New York: Henry Holt, 1999), 334–342.
[3]
Arthur Conan Doyle, The History of Spiritualism, Vol. I
(London: Cassell and Company, 1926), xii–xiii.
[4]
Andrew Lycett, Conan Doyle: The Man Who Created Sherlock
Holmes (London: Weidenfeld & Nicolson, 2007), 311–316.
[5]
Martin Booth, The Doctor, the Detective, and Arthur Conan
Doyle (New York: St. Martin’s Press, 1997), 172–174.
Daftar Pustaka
Booth, M. (1997). The doctor, the detective, and
Arthur Conan Doyle. New York, NY: St. Martin’s Press.
Conan Doyle, A. (1887). A study in scarlet.
London, UK: Ward, Lock & Co.
Conan Doyle, A. (1890). The sign of four.
London, UK: Spencer Blackett.
Conan Doyle, A. (1902). The war in South Africa:
Its cause and conduct. London, UK: Smith, Elder & Co.
Conan Doyle, A. (1905). The return of Sherlock
Holmes. London, UK: George Newnes.
Conan Doyle, A. (1912). The lost world.
London, UK: Hodder & Stoughton.
Conan Doyle, A. (1917). His last bow.
London, UK: John Murray.
Conan Doyle, A. (1926). The history of
spiritualism (Vol. 1). London, UK: Cassell and Company.
Higham, C. (1976). The adventures of Conan
Doyle: The life of the creator of Sherlock Holmes. New York, NY: W.W.
Norton & Company.
Lycett, A. (2007). Conan Doyle: The man who
created Sherlock Holmes. London, UK: Weidenfeld & Nicolson.
McAleer, J. (1992). Popular reading and
publishing in Britain 1914–1950. Oxford, UK: Clarendon Press.
Redmond, C. (2009). Sherlock Holmes handbook
(2nd ed.). Toronto, Canada: Dundurn Press.
Stashower, D. (1999). Teller of tales: The life
of Arthur Conan Doyle. New York, NY: Henry Holt and Company.
Wagner, E. J. (2006). The science of Sherlock
Holmes: From Baskerville Hall to the Valley of Fear. Hoboken, NJ: John
Wiley & Sons.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar