Minggu, 23 Maret 2025

Pemikiran Sir Arthur Conan Doyle

Membongkar Pikiran di Balik Sherlock Holmes

Telaah Pemikiran Sir Arthur Conan Doyle


Alihkan ke: Rasionalisme, Spiritualisme, Keadilan Sosial, Imperialisme.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran Sir Arthur Conan Doyle melalui pendekatan biografis, literer, dan historis. Sebagai pencipta tokoh detektif legendaris Sherlock Holmes, Doyle dikenal luas karena kontribusinya terhadap sastra populer dan metode deduksi ilmiah. Namun, pemikiran Doyle jauh melampaui ranah fiksi kriminal. Ia adalah sosok multidimensional: seorang rasionalis terdidik dalam ilmu kedokteran, seorang pembela keadilan dalam kasus-kasus salah hukum, serta seorang spiritualis yang mempercayai komunikasi dengan alam gaib. Artikel ini mengeksplorasi bagaimana ketegangan antara rasionalitas dan spiritualitas, komitmen terhadap keadilan sosial, serta pandangan politik dan imperialismenya, membentuk keseluruhan warisan intelektual dan budaya Doyle. Dengan merujuk pada berbagai sumber primer dan kajian ilmiah, tulisan ini menyimpulkan bahwa pemikiran Doyle mencerminkan kompleksitas zaman modern awal dan tetap relevan untuk kajian interdisipliner kontemporer.

Kata Kunci: Arthur Conan Doyle, Sherlock Holmes, rasionalisme, spiritualisme, keadilan sosial, imperialisme, warisan budaya, sastra detektif.


PEMBAHASAN

Pemikiran Sir Arthur Conan Doyle


1.           Pendahuluan

Nama Sir Arthur Conan Doyle hampir tidak bisa dipisahkan dari ikon detektif fiktif paling terkenal sepanjang masa, Sherlock Holmes. Namun, di balik popularitas Holmes dan kecerdasan deduktifnya yang luar biasa, tersembunyi sosok penulis dengan kompleksitas pemikiran yang jauh melampaui sekadar hiburan literer. Doyle bukan hanya seorang novelis produktif, tetapi juga dokter, apologet spiritualis, jurnalis perang, aktivis keadilan, dan komentator sosial yang aktif. Berbagai dimensi pemikiran dan peran sosial inilah yang menjadikannya sebagai figur penting dalam lanskap intelektual dan budaya Inggris pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Dilahirkan di Edinburgh, Skotlandia pada tahun 1859, Conan Doyle tumbuh dalam lingkungan Katolik Roma namun kemudian mengalami pergeseran ke arah agnostisisme dan akhirnya menjadi penganut spiritualisme setelah kehilangan putranya dalam Perang Dunia I. Pandangan dunianya mengalami perkembangan yang dinamis, mencerminkan pergulatan antara ilmu pengetahuan dan spiritualitas yang juga mewarnai masyarakat Inggris kala itu. Pendidikan medis yang ia tempuh di University of Edinburgh memberikan fondasi kuat bagi pendekatan logis dan ilmiah yang ia tuangkan dalam cerita-cerita Holmes, terinspirasi dari dosennya yang terkenal, Dr. Joseph Bell, yang dikenal karena kemampuan observasinya yang tajam dalam mendiagnosis pasien.1

Meski ia dikenal luas karena kisah-kisah detektifnya, Conan Doyle tidak menganggap Sherlock Holmes sebagai pencapaian terbesarnya. Ia bahkan pernah menyebut Holmes sebagai penghalang untuk karya-karya “serius”-nya dalam bidang sejarah dan spiritualitas.2 Namun demikian, karakter Holmes justru menjadi jendela untuk memahami cara berpikir Doyle: ketertarikan pada logika deduktif, nilai keadilan, semangat kemanusiaan, dan ketegangan batin antara rasionalisme dan keyakinan metafisik. Melalui Holmes, Doyle secara tidak langsung mengungkapkan pandangannya terhadap zaman yang tengah berubah—zaman yang ditandai oleh kemajuan ilmiah yang cepat sekaligus kecemasan moral yang mendalam.

Artikel ini bertujuan untuk menggali pemikiran-pemikiran mendalam yang melatarbelakangi karya-karya Conan Doyle, dengan menelaah sisi filosofis, etis, dan spiritual dari tulisannya maupun kehidupan pribadinya. Melalui pendekatan multidisipliner yang memadukan kajian sastra, sejarah, dan biografi, pembahasan ini berupaya mengungkap kompleksitas pemikiran seorang tokoh yang karyanya terus hidup dan mempengaruhi banyak bidang hingga saat ini.


Footnotes

[1]                Andrew Lycett, Conan Doyle: The Man Who Created Sherlock Holmes (London: Weidenfeld & Nicolson, 2007), 25–27.

[2]                Martin Booth, The Doctor, the Detective, and Arthur Conan Doyle: A Biography of Arthur Conan Doyle (New York: St. Martin's Press, 1997), 184.


2.           Biografi Singkat Sir Arthur Conan Doyle

Sir Arthur Ignatius Conan Doyle lahir pada 22 Mei 1859 di Edinburgh, Skotlandia, dari pasangan Charles Altamont Doyle dan Mary Foley. Ayahnya adalah seorang ilustrator keturunan Irlandia yang berjuang dengan kecanduan alkohol dan gangguan kejiwaan, sementara ibunya dikenal sebagai wanita cerdas dan imajinatif yang menumbuhkan minat sastra dalam diri Conan Doyle sejak kecil.1 Pengaruh ibunya sangat besar dalam membentuk daya imajinasi dan kecenderungan naratif yang kelak menjadi ciri khas gaya kepenulisannya.

Doyle menerima pendidikan awal di sekolah Jesuit Stonyhurst College, di mana ia memperoleh fondasi dalam disiplin klasik dan agama Katolik Roma. Namun, setelah mengalami sejumlah konflik intelektual dan moral, ia mulai meragukan ajaran gereja dan secara bertahap menjauh dari Katolikisme.2 Pada tahun 1876, ia melanjutkan studi kedokteran di University of Edinburgh, tempat ia bertemu dengan sosok yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter Sherlock Holmes: Dr. Joseph Bell, seorang dosen yang dikenal karena metode diagnosisnya yang berbasis observasi tajam dan logika deduktif.3 Doyle kemudian mengakui bahwa Bell menjadi model utama dalam penggambaran Holmes, walaupun karakter tersebut juga mengalami pengembangan melalui pengalaman-pengalaman pribadi Doyle sendiri dalam praktik medis dan kehidupan sosialnya.

Selama masa kuliah, Doyle mulai menulis cerita pendek dan mengirimkannya ke berbagai majalah. Cerita pertamanya yang diterbitkan adalah “The Mystery of Sasassa Valley” (1879) yang muncul di Chambers’s Edinburgh Journal.4 Setelah menyelesaikan studinya, ia membuka praktik dokter umum di Southsea, Portsmouth, pada tahun 1882. Namun, kehidupan sebagai dokter tidak memberikan kepuasan finansial maupun intelektual yang ia harapkan. Justru di sela-sela kesibukannya inilah ia mulai lebih serius menulis karya-karya fiksi, termasuk cerita detektif pertamanya yang memperkenalkan Sherlock Holmes, A Study in Scarlet (1887).5

Kesuksesan besar datang ketika ia menulis The Adventures of Sherlock Holmes (1892), kumpulan cerita pendek yang dimuat di The Strand Magazine. Popularitas karakter Holmes melejit dan menjadikan Doyle sebagai penulis terkenal. Namun, ketenarannya ini justru membuatnya resah. Ia merasa bahwa karya-karya detektifnya menghambat reputasinya sebagai penulis sastra “serius”, khususnya dalam genre sejarah dan spiritualitas.6

Dalam kehidupan pribadinya, Conan Doyle mengalami banyak dinamika. Ia menikah dua kali—pertama dengan Louisa Hawkins yang meninggal karena TBC, lalu dengan Jean Leckie yang menjadi pendamping hidupnya hingga akhir hayat. Tragedi terbesar dalam hidupnya adalah kematian putranya, Kingsley, dalam Perang Dunia I. Kehilangan ini menjadi pemicu utama bagi ketertarikan Doyle terhadap spiritualisme dan kehidupan setelah kematian, yang kemudian ia bela secara publik hingga akhir hidupnya.7

Doyle dianugerahi gelar kebangsawanan (knighthood) oleh Raja Edward VII pada tahun 1902, bukan karena karya sastranya, melainkan karena kontribusinya dalam membela kebijakan Inggris dalam Perang Boer melalui pamflet The War in South Africa: Its Cause and Conduct.8 Ia wafat pada 7 Juli 1930 di Sussex, Inggris, meninggalkan warisan intelektual dan sastra yang tetap hidup hingga hari ini.


Footnotes

[1]                Andrew Lycett, Conan Doyle: The Man Who Created Sherlock Holmes (London: Weidenfeld & Nicolson, 2007), 6–8.

[2]                Charles Higham, The Adventures of Conan Doyle: The Life of the Creator of Sherlock Holmes (New York: Norton, 1976), 24–25.

[3]                Martin Booth, The Doctor, the Detective, and Arthur Conan Doyle (New York: St. Martin's Press, 1997), 42–44.

[4]                Lycett, Conan Doyle, 53.

[5]                Joseph McAleer, Popular Reading and Publishing in Britain 1914–1950 (Oxford: Clarendon Press, 1992), 27.

[6]                Booth, The Doctor, the Detective, 105.

[7]                Daniel Stashower, Teller of Tales: The Life of Arthur Conan Doyle (New York: Henry Holt, 1999), 352–356.

[8]                Lycett, Conan Doyle, 201.


3.           Rasionalitas dan Sains dalam Karya-Karyanya

Salah satu ciri paling menonjol dalam karya-karya Sir Arthur Conan Doyle, khususnya dalam cerita-cerita Sherlock Holmes, adalah penekanan kuat pada rasionalitas, logika deduktif, dan metode ilmiah. Karakter Sherlock Holmes bukan hanya menjadi detektif fiktif, melainkan representasi dari semangat positivisme ilmiah dan rasionalitas modern yang berkembang pesat pada akhir abad ke-19. Holmes menyelidiki kasus-kasus bukan dengan spekulasi atau intuisi belaka, tetapi dengan pendekatan sistematis berdasarkan bukti empiris, observasi tajam, dan deduksi logis.

Inspirasi utama di balik pendekatan ilmiah ini adalah sosok Dr. Joseph Bell, dosen kedokteran di University of Edinburgh, yang dikenal karena kemampuannya mendiagnosis pasien hanya dengan mengamati gejala fisik dan perilaku mereka. Conan Doyle, yang merupakan murid Bell, menyatakan secara eksplisit bahwa teknik observasi Bell-lah yang menjadi dasar penciptaan Sherlock Holmes.1 Doyle pernah menulis bahwa Holmes “merupakan penggabungan antara deduksi, observasi, dan logika yang saya pelajari langsung dari Dr. Bell.”_2 Dengan demikian, karakter Holmes tidak hanya menjadi fiksi populer, tetapi juga refleksi dari pengaruh metodologi ilmiah dalam praktik kedokteran dan investigasi kriminal.

Karya A Study in Scarlet (1887), novel pertama yang memperkenalkan Holmes, menampilkan tokoh detektif yang memperlakukan kejahatan sebagai masalah ilmiah yang bisa dipecahkan secara objektif. Dalam banyak kisah selanjutnya, Holmes sering kali mengkritik polisi atau individu lain yang mengandalkan prasangka, dugaan emosional, atau intuisi tanpa dasar. Misalnya, dalam The Sign of Four, Holmes menyatakan bahwa “dengan mengabaikan fakta, teori yang dibangun hanya akan menyesatkan.”_3 Ini adalah pernyataan khas dari epistemologi rasional: bahwa kebenaran harus dibangun dari data, bukan dari spekulasi.

Selain deduksi logis, Holmes juga menerapkan pengetahuan lintas disiplin: kimia, anatomi, botani, dan bahkan forensik. Dalam A Study in Scarlet, misalnya, ia menciptakan tes kimia untuk membedakan noda darah lama dan baru—suatu prosedur yang mendahului penggunaan teknik serupa dalam ilmu forensik modern.4 Karena itu, banyak peneliti mengakui bahwa Doyle, lewat tokoh Holmes, memberikan kontribusi signifikan dalam menginspirasi perkembangan ilmu forensik kriminal di dunia nyata.5

Namun menariknya, meskipun Doyle menjunjung tinggi metode ilmiah dalam fiksi-fiksinya, dalam kehidupan nyata ia mengalami konflik batin antara sains dan keyakinan spiritual. Di kemudian hari, Doyle justru menjadi penganut spiritualisme yang gigih dan membela keras kemungkinan adanya realitas metafisik di luar jangkauan ilmu pengetahuan konvensional. Ini menciptakan kontras yang tajam antara tokoh rasional seperti Holmes dan keyakinan pribadi Doyle sendiri.6

Dengan demikian, pendekatan rasionalitas dan sains dalam karya-karya Conan Doyle tidak hanya membentuk ciri khas karakter Sherlock Holmes, tetapi juga mencerminkan dinamika intelektual pada masa Victoria: sebuah zaman di mana sains dan agama, logika dan spiritualitas, hidup berdampingan dalam ketegangan yang produktif.


Footnotes

[1]                Martin Booth, The Doctor, the Detective, and Arthur Conan Doyle (New York: St. Martin's Press, 1997), 42–44.

[2]                Andrew Lycett, Conan Doyle: The Man Who Created Sherlock Holmes (London: Weidenfeld & Nicolson, 2007), 74.

[3]                Arthur Conan Doyle, The Sign of Four (London: Spencer Blackett, 1890), 56.

[4]                Joseph Bell and Arthur Conan Doyle, A Study in Scarlet (London: Ward, Lock & Co., 1887), 75.

[5]                E.J. Wagner, The Science of Sherlock Holmes: From Baskerville Hall to the Valley of Fear (Hoboken: Wiley, 2006), 15–17.

[6]                Daniel Stashower, Teller of Tales: The Life of Arthur Conan Doyle (New York: Henry Holt, 1999), 285–288.


4.           Pandangan Sosial dan Kemanusiaan

Di samping dikenal sebagai penulis fiksi detektif, Sir Arthur Conan Doyle juga merupakan sosok yang memiliki kepedulian besar terhadap isu-isu sosial dan kemanusiaan. Ia tidak hanya menggambarkan keadilan melalui karakter Sherlock Holmes, tetapi juga secara aktif terlibat dalam pembelaan terhadap korban ketidakadilan hukum di dunia nyata. Hal ini menunjukkan bahwa Doyle bukan sekadar pengarang hiburan, melainkan juga seorang humanis yang menjadikan tulisannya sebagai cermin dan alat kritik terhadap kondisi sosial masyarakat Inggris pada masanya.

Salah satu aspek penting dari pemikiran sosial Doyle adalah komitmennya terhadap prinsip keadilan, bahkan ketika sistem hukum gagal. Ia dikenal luas karena keterlibatannya dalam membela dua kasus besar yang sempat mengguncang opini publik: kasus George Edalji dan Oscar Slater. George Edalji adalah seorang pengacara keturunan India-Inggris yang dituduh melukai hewan ternak dan divonis bersalah meski bukti yang diajukan sangat lemah dan bernuansa rasis. Doyle, setelah menyelidiki kasus ini secara pribadi, menulis serangkaian artikel yang membongkar ketidakberesan proses hukum tersebut, yang akhirnya mendorong pembebasan Edalji pada tahun 1907.1

Kasus lainnya adalah Oscar Slater, seorang imigran Yahudi Jerman yang divonis atas tuduhan pembunuhan di Glasgow tahun 1908. Selama lebih dari satu dekade, Doyle mengkampanyekan ketidakbersalahan Slater, menulis The Case of Oscar Slater (1912), dan menyuarakan kritik keras terhadap sistem peradilan Skotlandia. Usahanya berbuah pada pembebasan Slater tahun 1927.2 Dua kasus ini menunjukkan bahwa Doyle tidak hanya menciptakan karakter yang memperjuangkan kebenaran, tetapi juga mempraktikkannya dalam kehidupan nyata, menggabungkan nalar, moralitas, dan keberanian sipil.

Karya-karya fiksi Doyle juga memuat kritik sosial tersirat terhadap ketimpangan kelas, korupsi birokrasi, dan ketidaksetaraan gender. Dalam banyak cerita Sherlock Holmes, korbannya sering kali berasal dari kalangan lemah atau terpinggirkan, sementara pelakunya berasal dari kelas atas yang berkuasa. Ini tampak, misalnya, dalam The Adventure of the Abbey Grange, di mana Holmes bersikap simpatik kepada istri yang menjadi korban kekerasan domestik, meski tindakannya melanggar hukum.3 Sikap ini mencerminkan pandangan Doyle bahwa keadilan sejati tidak selalu identik dengan hukum formal, melainkan harus mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih dalam.

Lebih jauh lagi, Doyle memiliki perhatian terhadap nasib koloni dan kelompok minoritas dalam Kekaisaran Britania. Meski ia mendukung imperialisme Inggris secara umum, ia tidak buta terhadap ketimpangan rasial dan sosial yang terjadi di dalamnya. Dalam tulisannya dan pandangannya yang terekam dalam surat kabar serta kampanye publik, Doyle menegaskan pentingnya keadilan universal yang melampaui ras dan status sosial.4 Sebagai contoh, dalam tulisan-tulisannya mengenai Perang Boer, meskipun ia mendukung posisi Inggris, ia tetap mengkritik tindakan berlebihan dan pelanggaran HAM oleh pihak militer.5

Doyle juga memiliki pemikiran progresif dalam isu penggunaan ilmu pengetahuan untuk kemanusiaan. Ia meyakini bahwa sains dan rasionalitas tidak seharusnya digunakan semata-mata untuk keuntungan elite, tetapi juga untuk membela yang lemah. Hal ini sejalan dengan misi moral tokoh Holmes: menggunakan ilmu dan nalar untuk menegakkan keadilan yang berpihak pada korban, bukan hanya menegakkan hukum secara kaku.

Dari keseluruhan karya dan tindakan sosialnya, dapat disimpulkan bahwa Arthur Conan Doyle adalah sosok yang memiliki kesadaran moral tinggi dan komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Karya-karyanya bukan hanya menyajikan misteri untuk dipecahkan, tetapi juga kritik tajam terhadap ketimpangan sosial dan seruan moral untuk membela kebenaran dan keadilan.


Footnotes

[1]                Andrew Lycett, Conan Doyle: The Man Who Created Sherlock Holmes (London: Weidenfeld & Nicolson, 2007), 264–268.

[2]                Daniel Stashower, Teller of Tales: The Life of Arthur Conan Doyle (New York: Henry Holt, 1999), 334–339.

[3]                Arthur Conan Doyle, The Adventure of the Abbey Grange, dalam The Return of Sherlock Holmes (London: George Newnes, 1905), 102–110.

[4]                Martin Booth, The Doctor, the Detective, and Arthur Conan Doyle (New York: St. Martin's Press, 1997), 198–201.

[5]                Conan Doyle, The War in South Africa: Its Cause and Conduct (London: Smith, Elder & Co., 1902), 75–80.


5.           Pergulatan antara Rasionalisme dan Spiritualitas

Salah satu aspek paling mencolok dan paradoks dalam kehidupan intelektual Sir Arthur Conan Doyle adalah pergulatan batinnya antara rasionalisme ilmiah yang menjadi dasar karakter Sherlock Holmes, dan spiritualisme yang ia anut secara serius pada paruh kedua hidupnya. Kontras antara dua pandangan dunia ini bukan hanya mencerminkan ketegangan dalam diri Doyle sendiri, tetapi juga merupakan cerminan dari krisis spiritual dan filsafat yang lebih luas di era Victoria dan Edwardian—sebuah zaman ketika kemajuan ilmiah bersaing dengan kebutuhan manusia akan makna metafisik.

Pada masa mudanya, Doyle dikenal sebagai pemikir yang menjunjung tinggi sains dan skeptisisme terhadap dogma keagamaan. Dalam cerita-cerita Holmes, Doyle menggambarkan detektif yang hampir tidak pernah terlibat dalam pembicaraan religius atau spiritual. Sherlock Holmes adalah simbol dari empirisme dan logika deduktif: tokoh yang “tidak pernah berspekulasi tanpa fakta,” dan yang menjauhi emosi maupun keyakinan tanpa dasar.1 Holmes bahkan dalam beberapa kesempatan secara eksplisit mengkritik kepercayaan pada supranatural sebagai bentuk kelemahan akal.2

Namun setelah Perang Dunia I, sikap Doyle mengalami perubahan yang sangat signifikan. Kematian putranya, Kingsley, akibat komplikasi dari luka perang, serta wafatnya saudara, ipar, dan beberapa sahabat dekat, mengguncang pandangan dunianya. Dalam menghadapi penderitaan dan kehilangan yang bertubi-tubi, Doyle menemukan harapan dan penghiburan dalam spiritualisme, sebuah gerakan keagamaan modern yang percaya pada komunikasi dengan arwah orang mati melalui medium dan praktik psikis.3

Doyle tidak hanya menjadi pengikut spiritualisme, tetapi juga pembelanya yang paling vokal dan publik. Ia menulis sejumlah buku, termasuk The New Revelation (1918) dan The History of Spiritualism (1926), untuk menjelaskan dan membela doktrin-doktrin spiritualis, serta membantah pandangan-pandangan skeptis dari kalangan ilmuwan dan teolog ortodoks.4 Bagi Doyle, spiritualisme bukan sekadar kepercayaan emosional, melainkan suatu sistem pengetahuan baru yang harus dipandang serius sebagaimana ilmu pengetahuan pada masanya.

Sikap ini memicu kontroversi di kalangan intelektual dan sahabat-sahabat dekatnya. Salah satu perseteruan paling terkenal terjadi antara Doyle dan pesulap Harry Houdini, yang juga tertarik pada dunia spiritual, namun bersikap skeptis terhadap klaim komunikasi roh. Houdini percaya bahwa sebagian besar praktik spiritualisme adalah hasil penipuan, sedangkan Doyle yakin Houdini sebenarnya adalah seorang medium yang “menyangkal kekuatannya sendiri.”_5 Ketegangan ini berujung pada putusnya hubungan keduanya.

Pergulatan ini memperlihatkan bahwa dalam diri Doyle terdapat dua sisi yang saling berlawanan namun berjalan seiring: satu sisi menjunjung tinggi bukti, logika, dan metode ilmiah, sementara sisi lainnya mencari harapan, makna, dan kepastian dalam wilayah spiritual. Ironisnya, sebagian pembaca dan penggemar Holmes menganggap spiritualisme Doyle sebagai bentuk kemunduran intelektual, bahkan pengkhianatan terhadap prinsip rasionalitas yang ia wariskan melalui karakter detektif terkenalnya.6 Namun demikian, pemikiran Doyle dapat dipahami dalam konteks trauma dan keresahan eksistensial masyarakat pasca-perang, di mana sains tidak selalu mampu menjawab pertanyaan terdalam manusia.

Dengan demikian, Doyle bukan hanya penulis fiksi detektif yang rasionalis, tetapi juga figur yang kompleks: seorang pencari kebenaran dalam berbagai bentuknya. Pergulatan antara rasionalisme dan spiritualitas dalam dirinya mencerminkan dinamika pemikiran modern yang masih relevan hingga hari ini—tentang batas antara sains dan iman, antara logika dan harapan.


Footnotes

[1]                Arthur Conan Doyle, The Sign of Four (London: Spencer Blackett, 1890), 45.

[2]                Arthur Conan Doyle, The Adventure of the Devil’s Foot, dalam His Last Bow (London: John Murray, 1917), 89–90.

[3]                Andrew Lycett, Conan Doyle: The Man Who Created Sherlock Holmes (London: Weidenfeld & Nicolson, 2007), 311–316.

[4]                Arthur Conan Doyle, The History of Spiritualism, Vol. I (London: Cassell and Company, 1926), xii–xiii.

[5]                Daniel Stashower, Teller of Tales: The Life of Arthur Conan Doyle (New York: Henry Holt, 1999), 369–374.

[6]                Martin Booth, The Doctor, the Detective, and Arthur Conan Doyle (New York: St. Martin’s Press, 1997), 228–230.


6.           Pandangan Politik dan Imperialisme

Sir Arthur Conan Doyle tidak hanya dikenal sebagai tokoh sastra, tetapi juga sebagai komentator publik yang aktif dalam berbagai isu politik, khususnya yang berkaitan dengan Kekaisaran Britania. Ia merupakan pendukung setia ideologi imperialisme Inggris—sebuah keyakinan bahwa ekspansi kekuasaan dan peradaban Inggris ke wilayah-wilayah koloni adalah suatu misi mulia dan sah. Namun demikian, dukungan Doyle terhadap imperialisme tidak bersifat buta; ia tetap menunjukkan sikap kritis terhadap praktik ketidakadilan atau kekejaman yang terjadi dalam proses kolonialisme, menempatkannya sebagai tokoh yang kompleks dalam peta pemikiran politik awal abad ke-20.

Salah satu kontribusi politik paling signifikan dari Conan Doyle adalah pembelaannya terhadap kebijakan Inggris dalam Perang Boer Kedua (1899–1902), sebuah konflik antara Kekaisaran Britania dan republik-republik Boer di Afrika Selatan. Dalam pamflet The War in South Africa: Its Cause and Conduct (1902), Doyle menyatakan bahwa Inggris tidak bertindak sebagai agresor, melainkan sebagai kekuatan penegak ketertiban yang sah terhadap kekuatan lokal yang ia anggap tidak stabil dan diskriminatif.1 Ia menulis dokumen ini sebagai upaya membela moralitas dan legalitas perang di mata dunia internasional, khususnya untuk membantah tuduhan bahwa Inggris melakukan pelanggaran HAM besar-besaran terhadap warga sipil.2

Karena kontribusinya ini, Doyle dianugerahi gelar kebangsawanan (knighthood) oleh Raja Edward VII pada tahun 1902. Namun, dukungan Doyle terhadap imperialisme Inggris tidak serta-merta menjadikannya pembela tindakan brutal. Dalam surat-surat dan pernyataan publik, ia mengecam keras kebijakan kamp konsentrasi Inggris yang menyebabkan kematian ribuan perempuan dan anak-anak Boer. Ia juga mengkritik lemahnya perlindungan terhadap warga sipil di koloni.3 Dengan demikian, Doyle memperlihatkan bahwa ia melihat imperialisme sebagai misi sipilisasi, bukan sekadar dominasi militer atau eksploitasi ekonomi.

Pandangan politik Doyle juga dapat ditelusuri dalam karya-karya fiksinya. Dalam cerita-cerita seperti The Tragedy of the Korosko (1898), Doyle menggambarkan tentara Inggris sebagai kekuatan pelindung dari kebiadaban lokal. Namun dalam waktu yang sama, ia juga menyisipkan kritik terhadap kegagalan pemerintah kolonial dalam menghargai budaya dan hak-hak masyarakat lokal.4 Dalam The Lost World (1912), misalnya, meskipun terdapat semangat petualangan kolonial yang kuat, Doyle juga menampilkan karakter-karakter yang berbeda pandangan tentang moralitas penjelajahan dan eksploitasi, memberi ruang untuk ambiguitas etis.5

Dalam konteks politik dalam negeri, Doyle adalah pendukung partai Unionis Liberal (Liberal Unionist Party), yaitu kelompok pecahan dari Partai Liberal Inggris yang menentang otonomi penuh untuk Irlandia. Sikap ini didasarkan pada keyakinannya bahwa stabilitas nasional lebih penting daripada kompromi politik yang menurutnya dapat merusak kesatuan kekaisaran.6 Meskipun ia sempat dua kali mencalonkan diri sebagai anggota parlemen, Doyle tidak pernah terpilih. Kendati demikian, suara dan pengaruhnya tetap signifikan dalam debat-debat politik dan kebijakan publik, khususnya dalam isu pertahanan, hukum, dan kolonialisme.

Pandangan Doyle tentang imperialisme mencerminkan nilai-nilai zaman Victoria akhir dan Edwardian awal, yang memandang kekuasaan Inggris atas dunia sebagai tanggung jawab moral dan peradaban. Namun keunikannya terletak pada kemampuannya memadukan semangat nasionalisme dengan nurani kemanusiaan. Ia tidak memandang kekuasaan kolonial sebagai hak absolut, melainkan sebagai bentuk amanah moral yang harus dijalankan dengan keadilan dan etika.


Footnotes

[1]                Arthur Conan Doyle, The War in South Africa: Its Cause and Conduct (London: Smith, Elder & Co., 1902), 1–2.

[2]                Andrew Lycett, Conan Doyle: The Man Who Created Sherlock Holmes (London: Weidenfeld & Nicolson, 2007), 203–207.

[3]                Daniel Stashower, Teller of Tales: The Life of Arthur Conan Doyle (New York: Henry Holt, 1999), 264–266.

[4]                Martin Booth, The Doctor, the Detective, and Arthur Conan Doyle (New York: St. Martin’s Press, 1997), 172–174.

[5]                Arthur Conan Doyle, The Lost World (London: Hodder & Stoughton, 1912), 219–222.

[6]                Charles Higham, The Adventures of Conan Doyle: The Life of the Creator of Sherlock Holmes (New York: Norton, 1976), 179–180.


7.           Warisan Intelektual dan Budaya

Warisan intelektual dan budaya Sir Arthur Conan Doyle tidak hanya terpatri dalam karakter Sherlock Holmes, tetapi juga dalam jejak yang ia tinggalkan dalam perkembangan sastra populer, ilmu forensik, kesadaran hukum, hingga filsafat kehidupan modern. Sebagai penulis, Doyle berhasil menyatukan narasi yang memikat dengan wawasan mendalam tentang rasionalitas, moralitas, dan kondisi sosial masyarakatnya. Pengaruhnya menjangkau lintas generasi dan lintas disiplin, menjadikannya tokoh yang warisannya terus dipelajari dan dirayakan hingga hari ini.

Karakter Sherlock Holmes merupakan salah satu kontribusi terbesar Doyle terhadap budaya populer. Tokoh ini telah menjadi simbol dari logika deduktif dan kecerdasan investigatif. Holmes tampil dalam lebih dari 60 cerita pendek dan novel, yang kemudian menginspirasi ratusan adaptasi teater, film, serial televisi, hingga video game. Menurut pengamatan Christopher Redmond, Holmes adalah “figur fiksi yang paling banyak diadaptasi dalam sejarah perfilman dunia.”_1 Warisan budaya ini memperlihatkan kekuatan Doyle dalam menciptakan karakter yang tidak hanya bertahan dalam ingatan publik, tetapi juga mampu berkembang sesuai zaman.

Dalam bidang ilmu forensik, banyak ahli mengakui bahwa Doyle, melalui tokoh Holmes, berperan dalam mempopulerkan teknik investigasi ilmiah yang kemudian menjadi bagian dari metode modern dalam penegakan hukum. Holmes memperkenalkan praktik seperti analisis jejak kaki, pemeriksaan serat, dan tes kimia sederhana untuk mengidentifikasi racun atau darah, jauh sebelum metode tersebut menjadi standar di kepolisian nyata.2 E.J. Wagner mencatat bahwa Doyle “membawa semangat ilmiah ke ranah cerita kriminal, dan mengilhami generasi pertama ahli forensik.”_3 Bahkan Scotland Yard secara historis mengakui bahwa cerita-cerita Holmes membantu meningkatkan minat dan profesionalisme dalam kepolisian Inggris awal abad ke-20.4

Dalam aspek kesadaran hukum dan keadilan sosial, warisan Doyle terlihat dalam advokasinya atas korban salah hukum. Perannya dalam membela George Edalji dan Oscar Slater menunjukkan bahwa ia tidak sekadar menulis tentang keadilan, tetapi juga berjuang secara nyata untuk mewujudkannya. Aktivismenya dalam kasus-kasus ini membuka jalan bagi reformasi sistem hukum Inggris dan meningkatkan perhatian publik terhadap pentingnya pembuktian ilmiah dalam persidangan.5 Oleh karena itu, warisan Doyle meluas hingga ranah hukum pidana dan hak asasi manusia.

Di bidang sastra dan intelektualisme, Doyle juga memberikan kontribusi pada perkembangan genre fiksi ilmiah dan petualangan. Karyanya The Lost World (1912) menjadi pelopor fiksi petualangan ilmiah, yang kemudian mengilhami banyak karya dari H.G. Wells hingga Michael Crichton. Selain itu, melalui esai dan debat publiknya, Doyle aktif membentuk opini tentang spiritualitas, moralitas, dan nasionalisme, memperlihatkan bahwa ia bukan hanya seorang penghibur, melainkan juga seorang intelektual publik.6

Namun, warisan Doyle juga penuh paradoks. Sebagian pengkritik modern mempertanyakan sikap imperialismenya, serta keterlibatannya dalam spiritualisme yang oleh sebagian ilmuwan dianggap sebagai bentuk kepercayaan irasional. Akan tetapi, justru di sinilah terletak kekuatan intelektual Doyle: ia adalah gambaran manusia modern yang terus bergulat dengan pertanyaan antara akal dan iman, realitas dan harapan, fakta dan makna. Pergulatannya mencerminkan dinamika pemikiran Barat pasca-pencerahan, yang terus berusaha menyeimbangkan sains dan spiritualitas.

Warisan Doyle, dengan demikian, tidak dapat dilihat secara hitam-putih. Ia bukan hanya “ayah dari detektif modern,” tetapi juga seorang pemikir yang kompleks—yang warisannya hidup dalam dunia keilmuan, kebudayaan populer, dan debat intelektual lintas generasi.


Footnotes

[1]                Christopher Redmond, Sherlock Holmes Handbook: Second Edition (Toronto: Dundurn Press, 2009), 7.

[2]                Arthur Conan Doyle, A Study in Scarlet (London: Ward, Lock & Co., 1887), 37–40.

[3]                E.J. Wagner, The Science of Sherlock Holmes: From Baskerville Hall to the Valley of Fear (Hoboken: John Wiley & Sons, 2006), 19.

[4]                Andrew Lycett, Conan Doyle: The Man Who Created Sherlock Holmes (London: Weidenfeld & Nicolson, 2007), 298–300.

[5]                Daniel Stashower, Teller of Tales: The Life of Arthur Conan Doyle (New York: Henry Holt, 1999), 335–342.

[6]                Martin Booth, The Doctor, the Detective, and Arthur Conan Doyle (New York: St. Martin’s Press, 1997), 257–260.


8.           Kesimpulan

Membahas pemikiran Sir Arthur Conan Doyle berarti memasuki kompleksitas sosok yang lebih luas daripada pencipta karakter fiksi detektif terkenal. Doyle bukan sekadar penulis cerita kriminal, tetapi juga seorang dokter, pembela keadilan, komentator politik, pemikir spiritual, dan intelektual publik yang aktif merespons dinamika zamannya. Setiap karya dan tindakannya mencerminkan pergulatan pribadi dan sosial antara sains dan iman, antara keadilan formal dan keadilan moral, antara imperialisme dan tanggung jawab kemanusiaan.

Melalui karakter Sherlock Holmes, Doyle mempopulerkan nilai-nilai rasionalisme, observasi empiris, dan metode ilmiah, yang kemudian menjadi fondasi dalam pengembangan ilmu forensik modern.1 Namun di sisi lain, ia juga memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial secara langsung, seperti yang tampak dalam advokasinya terhadap korban salah hukum seperti George Edalji dan Oscar Slater.2 Doyle tidak memisahkan intelektualisme dari empati; bagi dirinya, nalar harus menjadi alat untuk melayani keadilan dan memperjuangkan yang lemah.

Sikap spiritualnya yang kuat di akhir hidupnya—meski kerap dianggap kontradiktif dengan pemikiran rasional dalam karya-karya Holmes—sebenarnya memperlihatkan kebutuhan mendalam manusia terhadap makna eksistensial. Doyle tidak mengabaikan sains, tetapi menganggap spiritualisme sebagai pelengkap bagi kekosongan yang tidak mampu diisi oleh logika semata.3 Dalam hal ini, ia mencerminkan krisis spiritual dan pencarian makna yang juga dirasakan banyak orang Eropa pasca-Perang Dunia I.4

Dalam konteks politik dan imperialisme, Doyle tampil sebagai pendukung Kekaisaran Britania, namun tidak kehilangan kompas moralnya. Ia membela posisi politik negaranya, tetapi juga mengkritik penyimpangan kekuasaan yang menyalahi prinsip keadilan.5 Dengan cara ini, Doyle menawarkan model nasionalisme yang bertanggung jawab secara etis, sesuatu yang relevan untuk refleksi politik masa kini.

Warisan intelektual dan budaya Doyle begitu luas: dari dunia sastra, hukum, forensik, spiritualisme, hingga wacana etika publik. Ia adalah figur liminal, yang berdiri di antara batas-batas—antara fiksi dan kenyataan, antara sains dan spiritualitas, antara Inggris dan dunia kolonial. Kompleksitas inilah yang menjadikan Doyle tidak hanya penting secara historis, tetapi juga relevan untuk kajian lintas disiplin di era modern.

Sebagai penutup, Arthur Conan Doyle adalah bukti bahwa seorang penulis dapat melampaui fiksi—menjadi pemikir, advokat, dan cerminan dari zamannya. Melalui Holmes, ia mengajarkan logika dan ketertiban; melalui kehidupannya, ia mengajarkan bahwa keadilan dan pencarian makna harus terus diperjuangkan, baik melalui pena maupun tindakan nyata.


Footnotes

[1]                E.J. Wagner, The Science of Sherlock Holmes: From Baskerville Hall to the Valley of Fear (Hoboken: John Wiley & Sons, 2006), 19–22.

[2]                Daniel Stashower, Teller of Tales: The Life of Arthur Conan Doyle (New York: Henry Holt, 1999), 334–342.

[3]                Arthur Conan Doyle, The History of Spiritualism, Vol. I (London: Cassell and Company, 1926), xii–xiii.

[4]                Andrew Lycett, Conan Doyle: The Man Who Created Sherlock Holmes (London: Weidenfeld & Nicolson, 2007), 311–316.

[5]                Martin Booth, The Doctor, the Detective, and Arthur Conan Doyle (New York: St. Martin’s Press, 1997), 172–174.


Daftar Pustaka

Booth, M. (1997). The doctor, the detective, and Arthur Conan Doyle. New York, NY: St. Martin’s Press.

Conan Doyle, A. (1887). A study in scarlet. London, UK: Ward, Lock & Co.

Conan Doyle, A. (1890). The sign of four. London, UK: Spencer Blackett.

Conan Doyle, A. (1902). The war in South Africa: Its cause and conduct. London, UK: Smith, Elder & Co.

Conan Doyle, A. (1905). The return of Sherlock Holmes. London, UK: George Newnes.

Conan Doyle, A. (1912). The lost world. London, UK: Hodder & Stoughton.

Conan Doyle, A. (1917). His last bow. London, UK: John Murray.

Conan Doyle, A. (1926). The history of spiritualism (Vol. 1). London, UK: Cassell and Company.

Higham, C. (1976). The adventures of Conan Doyle: The life of the creator of Sherlock Holmes. New York, NY: W.W. Norton & Company.

Lycett, A. (2007). Conan Doyle: The man who created Sherlock Holmes. London, UK: Weidenfeld & Nicolson.

McAleer, J. (1992). Popular reading and publishing in Britain 1914–1950. Oxford, UK: Clarendon Press.

Redmond, C. (2009). Sherlock Holmes handbook (2nd ed.). Toronto, Canada: Dundurn Press.

Stashower, D. (1999). Teller of tales: The life of Arthur Conan Doyle. New York, NY: Henry Holt and Company.

Wagner, E. J. (2006). The science of Sherlock Holmes: From Baskerville Hall to the Valley of Fear. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar