Sabtu, 28 Desember 2024

Asy’ariyah: Sejarah, Prinsip, dan Pengaruh Pemikiran Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam Islam

 Aliran Teologi Asy’ariyah

 

“Sejarah, Prinsip, dan Pengaruh Pemikaran Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam Islam”


1.           Pendahuluan

Asy’ariyah merupakan salah satu aliran teologi Islam yang memainkan peran penting dalam membentuk tradisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Aliran ini didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (873–935 M), seorang ulama yang pada awalnya merupakan penganut Muktazilah, namun kemudian menolak pandangan-pandangan mereka dan mengembangkan pendekatan baru dalam ilmu kalam (teologi Islam). Pendekatan ini berusaha untuk memadukan teks wahyu dengan akal dalam bingkai yang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Asy’ariyah menjadi landasan pemikiran teologis yang diterima luas oleh mayoritas umat Islam Sunni, menjadikannya sebagai salah satu tonggak peradaban Islam klasik dan modern.

Kemunculan Asy’ariyah tidak bisa dilepaskan dari konteks historis dan intelektual pada masanya. Pada abad ke-9 dan ke-10 M, dunia Islam sedang berada dalam pergolakan pemikiran, terutama dalam bidang teologi. Muktazilah, yang saat itu memiliki pengaruh besar, mengedepankan rasionalisme ekstrem dalam menjelaskan isu-isu teologi seperti sifat-sifat Allah, keadilan ilahi, dan kehendak bebas manusia. Pandangan ini memicu perdebatan yang melibatkan berbagai aliran pemikiran lainnya. Dalam situasi ini, Abu al-Hasan al-Asy’ari muncul sebagai figur yang menawarkan pendekatan alternatif, dengan mempertahankan otoritas wahyu sekaligus memanfaatkan akal untuk membela akidah Islam dari serangan internal maupun eksternal.¹

Abu al-Hasan al-Asy’ari meninggalkan pandangan Muktazilah setelah mengalami transformasi intelektual yang signifikan. Ia mengkritik pendekatan rasionalisme ekstrem mereka yang dianggapnya mengabaikan teks-teks wahyu yang jelas. Transformasi ini ditandai dengan deklarasi terbukanya pada hari Jumat di masjid Basrah, di mana ia mengumumkan penolakannya terhadap Muktazilah dan niatnya untuk memperjuangkan akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah.² Keputusan ini kemudian melahirkan sistem teologi baru yang dikenal sebagai Asy’ariyah, yang menjadi salah satu fondasi intelektual utama dalam tradisi Sunni.³

Sebagai respons terhadap tantangan pemikiran zamannya, Asy’ariyah tidak hanya memberikan solusi terhadap perdebatan internal di kalangan umat Islam, tetapi juga memperkuat posisi Islam dalam menghadapi kritik dari tradisi intelektual lain, termasuk filsafat Yunani yang masuk ke dunia Islam. Pendekatan Asy’ariyah yang memadukan akal dan wahyu mencerminkan nilai-nilai moderasi dan keseimbangan yang masih relevan dalam dunia Islam hingga saat ini.⁴ Dengan demikian, memahami sejarah, prinsip, dan pengaruh pemikiran Abu al-Hasan al-Asy’ari menjadi sangat penting bagi siapa pun yang ingin menggali lebih dalam akar-akar pemikiran Islam yang kokoh.


Catatan Kaki

[1]              George F. Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 72–73.

[2]              W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 285.

[3]              Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah, ed. Richard McCarthy (Beirut: Imprimerie Catholique, 1953), 14–15.

[4]              Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 103–104.


2.           Biografi Abu al-Hasan al-Asy’ari

2.1.       Latar Belakang Kehidupan

Abu al-Hasan Ali ibn Isma’il al-Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 873 M (260 H) dalam keluarga yang memiliki akar intelektual dan religius yang kuat. Beliau berasal dari keturunan Abu Musa al-Asy’ari, salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang terkenal sebagai gubernur dan juru damai pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.¹ Lingkungan keluarga ini memberikan dasar pendidikan yang kokoh, baik dalam aspek agama maupun intelektual.

Pada masa mudanya, al-Asy’ari menunjukkan minat besar terhadap ilmu kalam dan filsafat, sehingga berguru kepada tokoh-tokoh besar pada zamannya, termasuk Abu Ali al-Jubba’i, seorang ulama terkemuka dari kalangan Muktazilah. Di bawah bimbingan al-Jubba’i, al-Asy’ari menguasai prinsip-prinsip Muktazilah, yang kala itu dianggap sebagai aliran pemikiran teologis paling rasional.²

2.2.       Transformasi Pemikiran

Meskipun pada awalnya menjadi bagian dari Muktazilah, perjalanan intelektual al-Asy’ari mencapai titik balik ketika ia mengalami keraguan terhadap beberapa prinsip utama aliran tersebut, khususnya mengenai hubungan antara akal dan wahyu, serta konsep keadilan ilahi.³ Menurut beberapa sumber, pengalaman spiritual dan refleksi mendalam mendorongnya untuk meninggalkan Muktazilah dan mencari pendekatan yang lebih selaras dengan teks-teks wahyu. Transformasi ini terjadi pada usia 40 tahun, ketika al-Asy’ari secara terbuka menyatakan perpisahannya dengan Muktazilah dan berkomitmen membela akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah.⁴

Deklarasi terbuka al-Asy’ari tentang perubahan arah pemikirannya dilakukan di masjid Basrah pada hari Jumat, sebuah momentum yang menandai awal dari perjuangannya untuk mendirikan sistem teologi baru. Dalam pidatonya, ia menyatakan:

Saya meninggalkan pandangan-pandangan yang telah saya anut sebelumnya, sebagaimana saya melepaskan pakaian ini dari tubuh saya.”_⁵

Setelah peristiwa itu, al-Asy’ari mulai menulis berbagai karya yang menjelaskan dan mempertahankan akidah Ahlus Sunnah, termasuk kitabnya yang terkenal, Kitab al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah.

2.3.       Karya dan Pengaruh

Al-Asy’ari tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir, tetapi juga sebagai penulis produktif yang menghasilkan karya-karya monumental dalam bidang teologi. Selain Kitab al-Ibanah, karya lainnya seperti Maqalat al-Islamiyyin memberikan gambaran luas tentang perbedaan aliran pemikiran dalam Islam.⁶ Melalui karya-karya ini, ia memberikan landasan intelektual bagi generasi berikutnya untuk memahami dan membela akidah Islam dari berbagai tantangan.

Pengaruh al-Asy’ari meluas hingga ke berbagai belahan dunia Islam, dengan ajarannya diterima luas oleh madrasah-madrasah tradisional seperti Nizamiyah di Baghdad. Tokoh-tokoh besar seperti Imam al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi juga banyak terinspirasi oleh pemikirannya, menjadikan Asy’ariyah sebagai pilar utama dalam tradisi intelektual Islam Sunni.⁷


Catatan Kaki

[1]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 53.

[2]              W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 278.

[3]              Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 101.

[4]              Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah, ed. Richard McCarthy (Beirut: Imprimerie Catholique, 1953), 14.

[5]              Watt, The Formative Period of Islamic Thought, 281.

[6]              Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin, ed. Muhammad Muhyi al-Din Abdul Hamid (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1955), 2.

[7]              George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 79–81.


3.           Dasar-Dasar Pemikiran Teologi Asy’ariyah

Teologi Asy’ariyah dibangun di atas prinsip-prinsip yang menyeimbangkan antara teks wahyu dan akal, menawarkan pendekatan moderat yang menjadi ciri khasnya. Abu al-Hasan al-Asy’ari merumuskan dasar-dasar pemikiran teologi yang tidak hanya membantah pandangan ekstrem rasionalisme Muktazilah, tetapi juga menjaga otoritas wahyu sebagai sumber utama dalam memahami akidah Islam. Pemikiran Asy’ariyah menekankan konsep-konsep kunci yang berikut:

3.1.       Pandangan tentang Tauhid

Tauhid atau keesaan Allah adalah inti dari teologi Islam, dan Asy’ariyah menempatkannya sebagai landasan utama. Al-Asy’ari menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, pengatur, dan penguasa alam semesta. Namun, berbeda dengan Muktazilah yang memahami sifat-sifat Allah sebagai sekadar metaforis, al-Asy’ari menegaskan eksistensi sifat-sifat Allah seperti ilmu, kehidupan, dan kehendak sebagai bagian dari Dzat-Nya tanpa menyerupai makhluk (tanzih).¹ Pendekatan ini berupaya untuk menjaga keseimbangan antara menerima teks wahyu secara literal dan menghindari anthropomorfisme (tasybih).

3.2.       Hubungan Akal dan Wahyu

Asy’ariyah menekankan pentingnya wahyu sebagai sumber utama dalam memahami akidah. Al-Asy’ari menolak dominasi akal sebagaimana yang diajarkan Muktazilah, tetapi tetap memberikan ruang bagi akal untuk memahami wahyu dan membela kebenaran agama.² Menurut al-Asy’ari, akal memiliki keterbatasan dalam menjangkau hakikat Allah, sehingga wahyu harus menjadi panduan utama. Dalam konteks ini, Asy’ariyah menawarkan pendekatan yang lebih inklusif, mengakomodasi logika untuk menjawab serangan rasionalis tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar Islam.³

3.3.       Konsep Sifat Allah

Asy’ariyah memegang prinsip bahwa sifat-sifat Allah adalah nyata, tetapi tidak serupa dengan sifat makhluk-Nya. Misalnya, sifat ilmu, qudrah (kekuasaan), dan hayat (kehidupan) Allah adalah bagian dari Dzat-Nya, tetapi tidak dapat dibandingkan dengan konsep sifat yang dimiliki oleh makhluk. Dalam hal ini, al-Asy’ari berbeda dari Muktazilah yang menafsirkan sifat-sifat Allah secara metaforis, maupun dari kelompok antropomorfis (Mujassimah) yang memahami sifat Allah secara harfiah.⁴

Al-Asy’ari menggunakan istilah bila kaifa (tanpa menanyakan bagaimana) dalam menjelaskan sifat Allah, yang berarti menerima sifat-sifat tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam wahyu tanpa mempertanyakan hakikatnya.⁵

3.4.       Keadilan Ilahi dan Qada’ Qadar

Dalam teologi Asy’ariyah, konsep qada’ (ketentuan) dan qadar (takdir) Allah adalah bentuk manifestasi keadilan ilahi. Menurut al-Asy’ari, segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, baik atau buruk, berasal dari kehendak Allah.⁶ Namun, manusia tetap memiliki kehendak bebas yang terbatas, yang memungkinkan mereka untuk memilih antara ketaatan dan kemaksiatan. Pendekatan ini membedakan Asy’ariyah dari Jabariyah, yang menganggap manusia sepenuhnya terpaksa oleh takdir, dan Qadariyah, yang meyakini manusia memiliki kehendak mutlak.⁷

3.5.       Iman dan Amal

Asy’ariyah mendefinisikan iman sebagai keyakinan dalam hati yang disertai pengakuan dengan lisan.⁸ Menurut al-Asy’ari, amal perbuatan adalah pelengkap iman, tetapi bukan syarat sahnya iman. Pandangan ini menempatkan Asy’ariyah sebagai aliran yang moderat dibandingkan dengan Khawarij, yang mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar, dan Murji’ah, yang cenderung mengabaikan pentingnya amal.⁹


Catatan Kaki

[1]              Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 102–103.

[2]              W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1962), 87.

[3]              George F. Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 75–76.

[4]              Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah, ed. Richard McCarthy (Beirut: Imprimerie Catholique, 1953), 30.

[5]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 55.

[6]              Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin, ed. Muhammad Muhyi al-Din Abdul Hamid (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1955), 4.

[7]              W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 283.

[8]              Al-Ghazali, Faysal al-Tafriqah Bayna al-Islam wa al-Zandaqah, trans. Richard Joseph McCarthy (Beirut: Dar al-Machreq, 1964), 12.

[9]              Fakhruddin al-Razi, Al-Mahsul fi ‘Ilm al-Usul (Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 124.


4.           Metode dan Pendekatan Pemikiran Asy’ariyah

Abu al-Hasan al-Asy’ari tidak hanya dikenal karena gagasan teologisnya yang membentuk fondasi Asy’ariyah, tetapi juga karena metode dan pendekatannya yang inovatif dalam mendamaikan teks wahyu dan akal. Pendekatan ini lahir sebagai respons terhadap dinamika intelektual pada zamannya, terutama dalam menghadapi rasionalisme ekstrem yang dikembangkan oleh Muktazilah. Metode Asy’ariyah menekankan pentingnya mempertahankan akidah Islam yang kokoh, sekaligus membekali umat dengan argumen logis untuk menghadapi kritik dari luar maupun dari dalam Islam.

4.1.       Pendekatan Dialektika (Ilmu Kalam)

Asy’ariyah menonjol dalam penggunaan metode dialektika atau ilmu kalam untuk membela akidah Islam. Dalam pendekatan ini, al-Asy’ari tidak menolak penggunaan logika, tetapi menempatkannya sebagai alat untuk memahami wahyu dan membantah argumen yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.¹

Abu al-Hasan al-Asy’ari mengembangkan metode ini untuk menanggapi tantangan dari berbagai aliran pemikiran, seperti Muktazilah dan filsafat Yunani, yang masuk ke dunia Islam melalui penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Metode dialektika Asy’ariyah memungkinkan pembelaan terhadap akidah Islam dengan cara yang rasional tanpa mengorbankan prinsip-prinsip wahyu.²

Misalnya, dalam menghadapi konsep Muktazilah tentang keadilan ilahi, al-Asy’ari menggunakan argumen logis untuk menunjukkan bahwa pemahaman mereka yang terlalu rasional justru melemahkan otoritas wahyu. Ia juga mengkritik pandangan filsuf seperti Aristoteles, yang dianggapnya bertentangan dengan prinsip ketuhanan Islam.³

4.2.       Penggunaan Akal dalam Kerangka Wahyu

Pendekatan Asy’ariyah memberikan ruang bagi akal, tetapi dalam batasan yang ditentukan oleh wahyu. Dalam pandangan al-Asy’ari, wahyu memiliki otoritas mutlak, sementara akal digunakan untuk memahami dan menjelaskan wahyu, bukan untuk menafsirkan secara bebas.⁴ Dengan demikian, akal dan wahyu saling melengkapi, tetapi wahyu tetap menjadi pedoman utama.

Contohnya, dalam diskusi tentang sifat-sifat Allah, al-Asy’ari menggunakan akal untuk menegaskan keberadaan sifat-sifat tersebut tanpa menafsirkan sifat-sifat Allah secara literal atau metaforis.⁵ Pendekatan ini bertujuan untuk menjaga keimanan umat sekaligus memberikan jawaban yang logis terhadap tantangan intelektual.

4.3.       Moderasi antara Tekstualisme dan Rasionalisme

Asy’ariyah dikenal sebagai aliran moderat yang mengambil jalan tengah antara tekstualisme ekstrem (Ahlul Hadis) dan rasionalisme ekstrem (Muktazilah). Moderasi ini tercermin dalam caranya memadukan pemahaman literal terhadap wahyu dengan penggunaan logika yang sehat.⁶

Dalam isu-isu seperti takdir dan kehendak bebas manusia, al-Asy’ari menolak pandangan Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak sama sekali, serta menolak pandangan Qadariyah yang menganggap manusia memiliki kehendak mutlak. Sebaliknya, ia menjelaskan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, tetapi manusia memiliki kemampuan terbatas untuk memilih tindakan mereka dalam kerangka kehendak Allah.⁷ Pendekatan ini menunjukkan bagaimana Asy’ariyah berusaha menciptakan keseimbangan dalam teologi.

4.4.       Pembelaan terhadap Tradisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Metode Asy’ariyah juga mencerminkan komitmen untuk mempertahankan tradisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Al-Asy’ari menggunakan pendekatan rasional untuk memperkuat keyakinan Sunni, sekaligus membantah aliran-aliran yang dianggap menyimpang.⁸ Melalui karya-karyanya seperti Kitab al-Ibanah dan Maqalat al-Islamiyyin, ia tidak hanya menjelaskan prinsip-prinsip akidah, tetapi juga membela posisi Sunni dalam perdebatan teologis.⁹

4.5.       Pengaruh dalam Tradisi Pendidikan

Metode Asy’ariyah memainkan peran penting dalam pembentukan sistem pendidikan Islam klasik. Pendekatannya menjadi dasar bagi kurikulum madrasah tradisional seperti Nizamiyah di Baghdad. Sistem ini melatih para pelajar untuk memahami akidah melalui wahyu dan logika secara bersamaan, menciptakan generasi ulama yang mampu menghadapi tantangan intelektual di berbagai era.¹⁰


Catatan Kaki

[1]              Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 115.

[2]              W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1962), 89.

[3]              George F. Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 83–84.

[4]              Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah, ed. Richard McCarthy (Beirut: Imprimerie Catholique, 1953), 25.

[5]              W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 290.

[6]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 57.

[7]              Fakhruddin al-Razi, Al-Mahsul fi ‘Ilm al-Usul (Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 132.

[8]              Al-Ghazali, Faysal al-Tafriqah Bayna al-Islam wa al-Zandaqah, trans. Richard Joseph McCarthy (Beirut: Dar al-Machreq, 1964), 18.

[9]              Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin, ed. Muhammad Muhyi al-Din Abdul Hamid (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1955), 3.

[10]          George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 83.


5.           Peran dan Pengaruh Asy’ariyah dalam Sejarah Islam

Teologi Asy’ariyah memiliki peran yang sangat signifikan dalam membentuk arah pemikiran Islam Sunni. Pengaruhnya tidak hanya terlihat dalam pengembangan teologi, tetapi juga dalam berbagai bidang lain seperti pendidikan, politik, dan kehidupan sosial umat Islam. Berikut adalah beberapa aspek utama dari peran dan pengaruh Asy’ariyah dalam sejarah Islam:

5.1.       Penerimaan dan Penyebaran di Dunia Islam

Setelah didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari, Asy’ariyah dengan cepat diterima oleh umat Islam Sunni, terutama karena pendekatannya yang moderat. Aliran ini menjadi alternatif bagi umat yang menolak rasionalisme ekstrem Muktazilah maupun tekstualisme ekstrem dari sebagian kelompok tradisionalis.¹

Madrasah-madrasah besar seperti Nizamiyah di Baghdad, yang didirikan oleh Nizam al-Mulk pada abad ke-11, memainkan peran penting dalam penyebaran Asy’ariyah. Madrasah ini menjadi pusat pendidikan Islam yang melatih para ulama untuk menyebarkan pemikiran Asy’ariyah ke seluruh dunia Islam, termasuk wilayah Persia, Asia Tengah, dan Afrika Utara.² Melalui dukungan politik dari dinasti-dinasti seperti Seljuk dan Ayyubiyah, Asy’ariyah memperoleh legitimasi sebagai landasan teologi Sunni yang resmi.³

5.2.       Pengaruh terhadap Pemikiran Ulama Besar

Pemikiran Asy’ariyah menginspirasi banyak ulama besar dalam sejarah Islam. Salah satu tokoh yang paling terkenal adalah Imam al-Ghazali (1058–1111 M), yang menggunakan pendekatan Asy’ariyah dalam karyanya Ihya ‘Ulum al-Din dan Tahafut al-Falasifah. Al-Ghazali berhasil memadukan teologi Asy’ariyah dengan tasawuf, sehingga memperluas pengaruh Asy’ariyah di kalangan umat Islam yang lebih luas.⁴

Tokoh lain seperti Fakhruddin al-Razi (1149–1209 M) juga memainkan peran penting dalam mengembangkan argumen-argumen rasional Asy’ariyah untuk melawan tantangan filsafat Aristotelian dan teologi Muktazilah.⁵ Melalui karya-karya mereka, pemikiran Asy’ariyah terus berkembang dan menjadi dasar bagi banyak diskusi teologis hingga era modern.

5.3.       Peran dalam Meneguhkan Identitas Sunni

Asy’ariyah memainkan peran kunci dalam meneguhkan identitas Ahlus Sunnah Wal Jamaah, terutama pada masa-masa ketika Islam menghadapi perpecahan internal dan serangan dari luar. Dengan pendekatannya yang moderat, Asy’ariyah berhasil menjadi jembatan antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam Islam Sunni, seperti tradisionalis (Ahlul Hadis) dan kelompok rasionalis (Ahlul Ra’yi).⁶

Sebagai contoh, pada masa Dinasti Abbasiyah, Asy’ariyah berperan dalam mengakhiri dominasi pemikiran Muktazilah yang sebelumnya didukung oleh kekuasaan melalui peristiwa Mihnah (pengadilan akidah). Dengan mengembalikan otoritas kepada wahyu tanpa menafikan peran akal, Asy’ariyah membantu mengukuhkan prinsip-prinsip akidah yang menjadi landasan bagi umat Islam Sunni.⁷

5.4.       Relevansi dalam Dunia Modern

Pengaruh Asy’ariyah tidak hanya terbatas pada era klasik, tetapi juga tetap relevan dalam menghadapi tantangan pemikiran modern. Dalam dunia yang semakin kompleks dengan beragam ideologi dan filsafat, pendekatan moderat dan rasional Asy’ariyah menjadi model bagi umat Islam dalam mempertahankan identitas keislaman tanpa terjebak dalam ekstremisme.⁸

Sebagai contoh, pada abad ke-20, ulama-ulama seperti Yusuf al-Qaradawi dan Said Nursi mengadopsi sebagian pendekatan Asy’ariyah dalam menjelaskan konsep-konsep keislaman kepada generasi modern.⁹ Dengan demikian, Asy’ariyah tetap menjadi salah satu fondasi utama dalam mempertahankan relevansi Islam dalam konteks global.


Catatan Kaki

[1]              W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1962), 92.

[2]              George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 76.

[3]              Richard Bulliet, The Patricians of Nishapur: A Study in Medieval Islamic Social History (Cambridge: Harvard University Press, 1972), 118.

[4]              Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 4–5.

[5]              Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 98.

[6]              Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 120.

[7]              W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 290.

[8]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 83.

[9]              Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Awlawiyyat (Cairo: Dar al-Shuruq, 1995), 34.


6.           Kritik terhadap Asy’ariyah

Sebagai salah satu aliran teologi terbesar dalam Islam Sunni, Asy’ariyah telah menerima berbagai kritik sepanjang sejarahnya. Kritik-kritik ini berasal dari beragam kelompok, baik dari kalangan rasionalis seperti Muktazilah, kelompok tekstualis seperti Salafi, maupun filsuf Islam. Kritik-kritik ini menyasar metode, prinsip, dan pendekatan teologis yang dianut oleh Asy’ariyah.

6.1.       Kritik dari Muktazilah

Muktazilah, yang menjadi lawan intelektual utama Asy’ariyah, mengkritik pendekatan al-Asy’ari yang dianggap terlalu menyerah pada teks wahyu dan mengabaikan peran akal yang dominan.¹ Dalam pandangan Muktazilah, akal adalah alat utama untuk memahami sifat-sifat Allah dan konsep keadilan-Nya. Al-Asy’ari dituduh mereduksi konsep keadilan ilahi dengan menyatakan bahwa keadilan Allah tidak harus sesuai dengan logika manusia.²

Muktazilah juga menolak pandangan Asy’ariyah tentang sifat-sifat Allah. Menurut mereka, konsep sifat-sifat yang diajukan al-Asy’ari (seperti ilmu, kehendak, dan kehidupan) berpotensi mengarah pada penggandaan dzat Allah, yang menurut Muktazilah bertentangan dengan prinsip tauhid.³

6.2.       Kritik dari Aliran Salafi

Dari perspektif Salafi, Asy’ariyah dikritik karena dianggap terlalu mengakomodasi logika dan metode dialektika (kalam), yang menurut mereka adalah inovasi (bid’ah) yang tidak diajarkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat.⁴ Salafi menekankan pendekatan literal dalam memahami teks wahyu dan menghindari spekulasi rasional dalam isu-isu teologis.

Sebagai contoh, Salafi menolak metode bila kaifa (tanpa menanyakan bagaimana) yang digunakan oleh Asy’ariyah dalam memahami sifat-sifat Allah. Bagi Salafi, penggunaan metode ini adalah bentuk spekulasi yang tidak diperlukan, sementara teks wahyu harus dipahami secara literal tanpa tambahan interpretasi filosofis.⁵

6.3.       Kritik dari Filsuf Islam

Filsuf Islam seperti Ibn Sina (Avicenna) dan Ibn Rushd (Averroes) mengkritik pendekatan teologis Asy’ariyah karena dianggap tidak konsisten dalam penggunaan logika.⁶ Menurut mereka, Asy’ariyah mengadopsi logika dalam sebagian besar argumen teologisnya, tetapi tetap bergantung pada wahyu ketika logika tidak memberikan jawaban yang memadai.

Sebagai contoh, Ibn Rushd dalam Tahafut al-Tahafut menyebutkan bahwa Asy’ariyah menggunakan logika untuk membela keberadaan sifat-sifat Allah, tetapi menolak menggunakan logika dalam isu-isu lain seperti kehendak bebas manusia dan keadilan ilahi.⁷ Pendekatan ini, menurut Ibn Rushd, tidak memberikan jawaban yang memuaskan dalam menjelaskan hubungan antara akal dan wahyu.

6.4.       Kritik terhadap Konsep Qada’ dan Qadar

Salah satu kritik paling tajam terhadap Asy’ariyah adalah tentang konsep qada’ (ketentuan) dan qadar (takdir). Kelompok rasionalis seperti Muktazilah dan filsuf menganggap pandangan Asy’ariyah bahwa segala sesuatu adalah kehendak Allah bertentangan dengan tanggung jawab moral manusia.⁸

Muktazilah, misalnya, menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak bebas penuh sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Dalam pandangan mereka, jika segala sesuatu adalah kehendak Allah sebagaimana dinyatakan oleh Asy’ariyah, maka konsep dosa dan pahala menjadi tidak relevan.⁹

6.5.       Tanggapan terhadap Kritik

Para pendukung Asy’ariyah memberikan tanggapan yang mendalam terhadap kritik-kritik ini. Dalam konteks kritik Muktazilah, Asy’ariyah menjelaskan bahwa pemahaman mereka tentang keadilan ilahi dan sifat-sifat Allah didasarkan pada teks wahyu yang eksplisit. Mereka juga menegaskan bahwa keterbatasan akal manusia tidak boleh menjadi dasar untuk menafsirkan wahyu secara berlebihan.¹⁰

Dalam menghadapi kritik Salafi, Asy’ariyah mempertahankan bahwa metode kalam adalah sarana untuk mempertahankan akidah Islam dari serangan intelektual, terutama pada era ketika filsafat Yunani mulai memengaruhi pemikiran umat Islam.¹¹ Al-Asy’ari sendiri menegaskan bahwa metode ini bukanlah bid’ah, tetapi alat untuk melindungi akidah dari penyimpangan.


Catatan Kaki

[1]              Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 95.

[2]              W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 281.

[3]              George F. Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 79.

[4]              Muhammad Ibn Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid (Riyadh: Darussalam, 1996), 15.

[5]              Ibn Taimiyyah, Majmu' al-Fatawa, ed. Abd al-Rahman al-Mu'allimi (Riyadh: Dar al-Kutub, 1964), 2:145.

[6]              Ibn Sina, Al-Isharat wa al-Tanbihat, ed. Suleiman Dunya (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1960), 24.

[7]              Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon Van Den Bergh (London: Oxford University Press, 1954), 89.

[8]              W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1962), 94.

[9]              Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 62.

[10]          Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah, ed. Richard McCarthy (Beirut: Imprimerie Catholique, 1953), 28.

[11]          George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 89.


7.           Kesimpulan

Teologi Asy’ariyah, yang didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari, telah memberikan kontribusi besar dalam membentuk tradisi teologi Islam Sunni. Dengan mengadopsi pendekatan moderat yang memadukan teks wahyu dan akal, Asy’ariyah berhasil menciptakan sebuah paradigma teologi yang mampu menjawab tantangan intelektual pada masa klasik dan tetap relevan hingga era modern.

Sebagai salah satu pilar utama tradisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Asy’ariyah menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara rasionalitas dan kepatuhan terhadap wahyu.¹ Pendekatan ini tidak hanya memperkuat keyakinan umat Islam terhadap ajaran tauhid, tetapi juga memberikan landasan bagi dialog intelektual yang sehat dalam menghadapi berbagai pandangan teologis yang beragam. Abu al-Hasan al-Asy’ari secara brilian memadukan metode dialektika (kalam) dengan argumen berbasis wahyu untuk menjelaskan konsep-konsep penting seperti sifat-sifat Allah, keadilan ilahi, dan kehendak bebas manusia.²

Pengaruh Asy’ariyah meluas ke berbagai wilayah dunia Islam melalui lembaga-lembaga pendidikan tradisional, seperti Madrasah Nizamiyah, yang memainkan peran penting dalam penyebaran ajarannya. Tokoh-tokoh besar seperti Imam al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi memperkaya pemikiran Asy’ariyah dengan karya-karya monumental mereka, menjadikannya sebagai landasan teologi Sunni yang kokoh.³

Meskipun menghadapi kritik dari berbagai kelompok seperti Muktazilah, Salafi, dan filsuf Islam, Asy’ariyah mampu bertahan dan terus relevan. Kritik tersebut seringkali muncul karena perbedaan pandangan dalam memahami hubungan antara akal dan wahyu, sifat-sifat Allah, dan konsep qada’ dan qadar. Namun, tanggapan yang diberikan oleh Asy’ariyah menunjukkan kekuatan argumen teologi ini dalam mempertahankan akidah Islam yang otentik.⁴

Dalam konteks modern, Asy’ariyah tetap menjadi inspirasi bagi umat Islam dalam menghadapi tantangan intelektual global. Pendekatannya yang moderat dan inklusif memberikan jalan tengah antara fundamentalisme tekstual dan rasionalisme ekstrem. Sebagai contoh, ulama-ulama kontemporer sering mengacu pada prinsip-prinsip Asy’ariyah dalam menjelaskan isu-isu teologis yang relevan dengan tantangan zaman, seperti pluralisme, sekularisme, dan filsafat modern.⁵

Dengan demikian, teologi Asy’ariyah tidak hanya berperan dalam mempertahankan akidah Islam dari berbagai penyimpangan, tetapi juga membentuk dasar intelektual bagi umat Islam untuk terus berkembang dalam menghadapi berbagai tantangan zaman. Sebagaimana yang dirumuskan oleh al-Asy’ari, akidah Islam tidak hanya harus kokoh secara teologis, tetapi juga dapat dipahami dengan logika yang sehat tanpa kehilangan esensinya sebagai wahyu ilahi.


Catatan Kaki

[1]              George F. Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 75.

[2]              Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah, ed. Richard McCarthy (Beirut: Imprimerie Catholique, 1953), 32.

[3]              George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 78.

[4]              W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 290.

[5]              Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Awlawiyyat (Cairo: Dar al-Shuruq, 1995), 36.


Daftar Pustaka (APA Style)

al-Asy’ari, A. H. (1953). Kitab al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah (R. McCarthy, Ed.). Beirut: Imprimerie Catholique.

al-Asy’ari, A. H. (1955). Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin (M. M. Abdul Hamid, Ed.). Cairo: Maktabah al-Khanji.

al-Ghazali. (1964). Faysal al-Tafriqah Bayna al-Islam wa al-Zandaqah (R. J. McCarthy, Trans.). Beirut: Dar al-Machreq.

al-Ghazali. (2000). Tahafut al-Falasifah (M. Marmura, Trans.). Provo, UT: Brigham Young University Press.

al-Qaradawi, Y. (1995). Fiqh al-Awlawiyyat. Cairo: Dar al-Shuruq.

Fakhruddin al-Razi. (1981). Mafatih al-Ghayb. Beirut: Dar al-Fikr.

Fakhruddin al-Razi. (1997). Al-Mahsul fi ‘Ilm al-Usul. Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Hourani, G. F. (1985). Reason and Tradition in Islamic Ethics. Cambridge: Cambridge University Press.

Ibn Rushd. (1954). Tahafut al-Tahafut (S. Van Den Bergh, Trans.). London: Oxford University Press.

Ibn Sina. (1960). Al-Isharat wa al-Tanbihat (S. Dunya, Ed.). Cairo: Dar al-Ma’arif.

Makdisi, G. (1981). The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Martin, R. C. (1997). Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology from Medieval School to Modern Symbol. Oxford: Oneworld.

Watt, W. M. (1962). Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Watt, W. M. (1973). The Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Wolfson, H. A. (1976). The Philosophy of the Kalam. Cambridge: Harvard University Press.

Muhammad Ibn Abdul Wahhab. (1996). Kitab al-Tauhid. Riyadh: Darussalam.


Lampiran: Daftar Kitab Rujukan untuk Memahami Teologi Asy’ariyah

1.            Abu al-Hasan al-Asy’ari (873–935 M)

o     Kitab al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah

Kitab ini adalah karya utama Abu al-Hasan al-Asy’ari yang menjelaskan dasar-dasar pemikiran Asy’ariyah, termasuk keyakinan tentang sifat-sifat Allah, tauhid, dan hubungan akal dan wahyu. Karya ini berfungsi sebagai manifesto teologi Asy’ariyah, khususnya setelah ia meninggalkan Muktazilah.

o     Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin

Kitab ini berisi pengkajian sistematis tentang berbagai aliran pemikiran dalam Islam, termasuk perbedaan pandangan di antara mereka. Karya ini memberikan konteks sejarah dan intelektual bagi perkembangan teologi Islam, termasuk posisi Asy’ariyah.


2.            Al-Ghazali (1058–1111 M)

o     Tahafut al-Falasifah

Sebuah karya penting yang membantah pandangan para filsuf Muslim seperti Ibn Sina dan Al-Farabi. Dalam kitab ini, Al-Ghazali menggunakan metode Asy’ariyah untuk mempertahankan akidah Islam, khususnya dalam menghadapi tantangan filsafat Yunani.

o     Ihya’ ‘Ulum al-Din

Kitab ini mengintegrasikan aspek-aspek akidah, tasawuf, dan etika Islam. Al-Ghazali memperluas cakupan teologi Asy’ariyah dengan menjelaskan relevansi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari.


3.            Fakhruddin al-Razi (1149–1209 M)

o     Mafatih al-Ghayb (Tafsir al-Kabir)

Sebuah tafsir Al-Qur'an yang mencakup pembahasan teologis mendalam tentang sifat-sifat Allah dan konsep takdir. Al-Razi, yang merupakan penganut Asy’ariyah, menggunakan pendekatan logis untuk menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan teologi.

o     Al-Mahsul fi ‘Ilm al-Usul

Kitab ini membahas dasar-dasar ilmu usul fikih dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip Asy’ariyah. Al-Razi juga menyentuh isu-isu teologis yang berkaitan dengan kehendak bebas manusia dan takdir Allah.


4.            Ibn al-Subki (1284–1355 M)

o     Tabaqat al-Shafi'iyyah al-Kubra

Buku ini adalah biografi ulama-ulama mazhab Syafi’i, termasuk para tokoh Asy’ariyah. Kitab ini memberikan wawasan tentang hubungan antara Asy’ariyah dan tradisi hukum Islam Sunni.


5.            Ibn Hajar al-Asqalani (1372–1449 M)

o     Fath al-Bari

Sebuah syarah (penjelasan) atas kitab Sahih al-Bukhari yang mencakup diskusi tentang isu-isu teologis dari perspektif Ahlus Sunnah Wal Jamaah, termasuk pengaruh pemikiran Asy’ariyah dalam memahami hadits.


6.            Imam al-Juwayni (1028–1085 M)

o     Al-Irshad ila Qawati’ al-Adillah fi Usul al-I'tiqad

Kitab ini adalah panduan sistematis tentang prinsip-prinsip teologi Sunni Asy’ariyah. Al-Juwayni, yang juga dikenal sebagai Imam al-Haramayn, membahas sifat-sifat Allah, kehendak bebas manusia, dan keadilan ilahi.


7.            Al-Baqillani (950–1013 M)

o     Al-Tamhid li Ba'd al-Maqalat fi Usul al-Diyanat

Karya ini berisi pembahasan dasar-dasar teologi Asy’ariyah, dengan penekanan pada argumen-argumen logis untuk membantah pandangan Muktazilah dan kelompok lainnya.


8.            Ibn Khaldun (1332–1406 M)

o     Muqaddimah

Meskipun bukan karya teologi secara khusus, Muqaddimah membahas dinamika intelektual Islam, termasuk posisi teologi Asy’ariyah dalam sejarah pemikiran Islam.


9.            Ibn Taymiyyah (1263–1328 M)

o     Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql

Sebagai kritik terhadap Asy’ariyah, kitab ini penting untuk memahami perdebatan antara Asy’ariyah dan Salafi dalam isu-isu seperti sifat-sifat Allah dan penggunaan logika dalam teologi.


10.         Imam al-Nasafi (d. 1142 M)

o     Aqaid al-Nasafiyyah

Ringkasan dasar-dasar akidah Sunni yang dipengaruhi oleh pemikiran Asy’ariyah. Kitab ini digunakan sebagai teks dasar di banyak madrasah tradisional.


Daftar kitab ini mencakup berbagai perspektif, mulai dari karya pendiri Asy’ariyah hingga ulama besar yang mendukung atau mengkritiknya, untuk memberikan wawasan mendalam tentang teologi Asy’ariyah dan perannya dalam sejarah Islam.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar