Aliran Teologi Asy’ariyah
“Sejarah, Prinsip, dan
Pengaruh Pemikaran Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam Islam”
1.
Pendahuluan
Asy’ariyah merupakan salah satu aliran teologi
Islam yang memainkan peran penting dalam membentuk tradisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Aliran ini didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (873–935 M), seorang
ulama yang pada awalnya merupakan penganut Muktazilah, namun kemudian menolak
pandangan-pandangan mereka dan mengembangkan pendekatan baru dalam ilmu kalam
(teologi Islam). Pendekatan ini berusaha untuk memadukan teks wahyu dengan akal
dalam bingkai yang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.
Asy’ariyah menjadi landasan pemikiran teologis yang diterima luas oleh
mayoritas umat Islam Sunni, menjadikannya sebagai salah satu tonggak peradaban
Islam klasik dan modern.
Kemunculan Asy’ariyah tidak bisa dilepaskan dari
konteks historis dan intelektual pada masanya. Pada abad ke-9 dan ke-10 M,
dunia Islam sedang berada dalam pergolakan pemikiran, terutama dalam bidang
teologi. Muktazilah, yang saat itu memiliki pengaruh besar, mengedepankan
rasionalisme ekstrem dalam menjelaskan isu-isu teologi seperti sifat-sifat
Allah, keadilan ilahi, dan kehendak bebas manusia. Pandangan ini memicu
perdebatan yang melibatkan berbagai aliran pemikiran lainnya. Dalam situasi
ini, Abu al-Hasan al-Asy’ari muncul sebagai figur yang menawarkan pendekatan
alternatif, dengan mempertahankan otoritas wahyu sekaligus memanfaatkan akal
untuk membela akidah Islam dari serangan internal maupun eksternal.¹
Abu al-Hasan al-Asy’ari meninggalkan pandangan
Muktazilah setelah mengalami transformasi intelektual yang signifikan. Ia mengkritik
pendekatan rasionalisme ekstrem mereka yang dianggapnya mengabaikan teks-teks
wahyu yang jelas. Transformasi ini ditandai dengan deklarasi terbukanya pada
hari Jumat di masjid Basrah, di mana ia mengumumkan penolakannya terhadap
Muktazilah dan niatnya untuk memperjuangkan akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah.²
Keputusan ini kemudian melahirkan sistem teologi baru yang dikenal sebagai
Asy’ariyah, yang menjadi salah satu fondasi intelektual utama dalam tradisi
Sunni.³
Sebagai respons terhadap tantangan pemikiran
zamannya, Asy’ariyah tidak hanya memberikan solusi terhadap perdebatan internal
di kalangan umat Islam, tetapi juga memperkuat posisi Islam dalam menghadapi
kritik dari tradisi intelektual lain, termasuk filsafat Yunani yang masuk ke
dunia Islam. Pendekatan Asy’ariyah yang memadukan akal dan wahyu mencerminkan
nilai-nilai moderasi dan keseimbangan yang masih relevan dalam dunia Islam
hingga saat ini.⁴ Dengan demikian, memahami sejarah, prinsip, dan pengaruh
pemikiran Abu al-Hasan al-Asy’ari menjadi sangat penting bagi siapa pun yang
ingin menggali lebih dalam akar-akar pemikiran Islam yang kokoh.
Catatan Kaki
[1]
George F. Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethics
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 72–73.
[2]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 285.
[3]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah, ed.
Richard McCarthy (Beirut: Imprimerie Catholique, 1953), 14–15.
[4]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge:
Harvard University Press, 1976), 103–104.
2.
Biografi
Abu al-Hasan al-Asy’ari
2.1. Latar Belakang Kehidupan
Abu al-Hasan Ali ibn Isma’il al-Asy’ari lahir di
Basrah pada tahun 873 M (260 H) dalam keluarga yang memiliki akar intelektual
dan religius yang kuat. Beliau berasal dari keturunan Abu Musa al-Asy’ari,
salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang terkenal sebagai gubernur dan juru
damai pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.¹ Lingkungan keluarga ini memberikan
dasar pendidikan yang kokoh, baik dalam aspek agama maupun intelektual.
Pada masa mudanya, al-Asy’ari menunjukkan minat
besar terhadap ilmu kalam dan filsafat, sehingga berguru kepada tokoh-tokoh
besar pada zamannya, termasuk Abu Ali al-Jubba’i, seorang ulama terkemuka dari
kalangan Muktazilah. Di bawah bimbingan al-Jubba’i, al-Asy’ari menguasai
prinsip-prinsip Muktazilah, yang kala itu dianggap sebagai aliran pemikiran
teologis paling rasional.²
2.2. Transformasi Pemikiran
Meskipun pada awalnya menjadi bagian dari
Muktazilah, perjalanan intelektual al-Asy’ari mencapai titik balik ketika ia
mengalami keraguan terhadap beberapa prinsip utama aliran tersebut, khususnya
mengenai hubungan antara akal dan wahyu, serta konsep keadilan ilahi.³ Menurut
beberapa sumber, pengalaman spiritual dan refleksi mendalam mendorongnya untuk
meninggalkan Muktazilah dan mencari pendekatan yang lebih selaras dengan
teks-teks wahyu. Transformasi ini terjadi pada usia 40 tahun, ketika al-Asy’ari
secara terbuka menyatakan perpisahannya dengan Muktazilah dan berkomitmen
membela akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah.⁴
Deklarasi terbuka al-Asy’ari tentang perubahan arah
pemikirannya dilakukan di masjid Basrah pada hari Jumat, sebuah momentum yang
menandai awal dari perjuangannya untuk mendirikan sistem teologi baru. Dalam
pidatonya, ia menyatakan:
“Saya meninggalkan pandangan-pandangan yang
telah saya anut sebelumnya, sebagaimana saya melepaskan pakaian ini dari tubuh
saya.”_⁵
Setelah peristiwa itu, al-Asy’ari mulai menulis
berbagai karya yang menjelaskan dan mempertahankan akidah Ahlus Sunnah,
termasuk kitabnya yang terkenal, Kitab al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah.
2.3. Karya dan Pengaruh
Al-Asy’ari tidak hanya dikenal sebagai seorang
pemikir, tetapi juga sebagai penulis produktif yang menghasilkan karya-karya
monumental dalam bidang teologi. Selain Kitab al-Ibanah, karya lainnya
seperti Maqalat al-Islamiyyin memberikan gambaran luas tentang perbedaan
aliran pemikiran dalam Islam.⁶ Melalui karya-karya ini, ia memberikan landasan
intelektual bagi generasi berikutnya untuk memahami dan membela akidah Islam
dari berbagai tantangan.
Pengaruh al-Asy’ari meluas hingga ke berbagai
belahan dunia Islam, dengan ajarannya diterima luas oleh madrasah-madrasah
tradisional seperti Nizamiyah di Baghdad. Tokoh-tokoh besar seperti Imam
al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi juga banyak terinspirasi oleh pemikirannya,
menjadikan Asy’ariyah sebagai pilar utama dalam tradisi intelektual Islam
Sunni.⁷
Catatan Kaki
[1]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and
Rational Theology from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld,
1997), 53.
[2]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1973), 278.
[3]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge:
Harvard University Press, 1976), 101.
[4]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah, ed.
Richard McCarthy (Beirut: Imprimerie Catholique, 1953), 14.
[5]
Watt, The Formative Period of Islamic Thought, 281.
[6]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf
al-Musallin, ed. Muhammad Muhyi al-Din Abdul Hamid (Cairo: Maktabah
al-Khanji, 1955), 2.
[7]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 79–81.
3.
Dasar-Dasar
Pemikiran Teologi Asy’ariyah
Teologi Asy’ariyah dibangun di atas prinsip-prinsip
yang menyeimbangkan antara teks wahyu dan akal, menawarkan pendekatan moderat
yang menjadi ciri khasnya. Abu al-Hasan al-Asy’ari merumuskan dasar-dasar
pemikiran teologi yang tidak hanya membantah pandangan ekstrem rasionalisme
Muktazilah, tetapi juga menjaga otoritas wahyu sebagai sumber utama dalam memahami
akidah Islam. Pemikiran Asy’ariyah menekankan konsep-konsep kunci yang berikut:
3.1. Pandangan tentang Tauhid
Tauhid atau keesaan Allah adalah inti dari teologi
Islam, dan Asy’ariyah menempatkannya sebagai landasan utama. Al-Asy’ari
menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, pengatur, dan penguasa
alam semesta. Namun, berbeda dengan Muktazilah yang memahami sifat-sifat Allah
sebagai sekadar metaforis, al-Asy’ari menegaskan eksistensi sifat-sifat Allah
seperti ilmu, kehidupan, dan kehendak sebagai bagian dari Dzat-Nya tanpa
menyerupai makhluk (tanzih).¹ Pendekatan ini berupaya untuk menjaga
keseimbangan antara menerima teks wahyu secara literal dan menghindari
anthropomorfisme (tasybih).
3.2. Hubungan Akal dan Wahyu
Asy’ariyah menekankan pentingnya wahyu sebagai
sumber utama dalam memahami akidah. Al-Asy’ari menolak dominasi akal
sebagaimana yang diajarkan Muktazilah, tetapi tetap memberikan ruang bagi akal
untuk memahami wahyu dan membela kebenaran agama.² Menurut al-Asy’ari, akal
memiliki keterbatasan dalam menjangkau hakikat Allah, sehingga wahyu harus
menjadi panduan utama. Dalam konteks ini, Asy’ariyah menawarkan pendekatan yang
lebih inklusif, mengakomodasi logika untuk menjawab serangan rasionalis tanpa
mengorbankan prinsip-prinsip dasar Islam.³
3.3. Konsep Sifat Allah
Asy’ariyah memegang prinsip bahwa sifat-sifat Allah
adalah nyata, tetapi tidak serupa dengan sifat makhluk-Nya. Misalnya, sifat
ilmu, qudrah (kekuasaan), dan hayat (kehidupan) Allah adalah bagian dari
Dzat-Nya, tetapi tidak dapat dibandingkan dengan konsep sifat yang dimiliki
oleh makhluk. Dalam hal ini, al-Asy’ari berbeda dari Muktazilah yang
menafsirkan sifat-sifat Allah secara metaforis, maupun dari kelompok
antropomorfis (Mujassimah) yang memahami sifat Allah secara harfiah.⁴
Al-Asy’ari menggunakan istilah bila kaifa (tanpa
menanyakan bagaimana) dalam menjelaskan sifat Allah, yang berarti menerima
sifat-sifat tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam wahyu tanpa
mempertanyakan hakikatnya.⁵
3.4. Keadilan Ilahi dan Qada’ Qadar
Dalam teologi Asy’ariyah, konsep qada’ (ketentuan)
dan qadar (takdir) Allah adalah bentuk manifestasi keadilan ilahi. Menurut
al-Asy’ari, segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, baik atau buruk,
berasal dari kehendak Allah.⁶ Namun, manusia tetap memiliki kehendak bebas yang
terbatas, yang memungkinkan mereka untuk memilih antara ketaatan dan
kemaksiatan. Pendekatan ini membedakan Asy’ariyah dari Jabariyah, yang
menganggap manusia sepenuhnya terpaksa oleh takdir, dan Qadariyah, yang
meyakini manusia memiliki kehendak mutlak.⁷
3.5. Iman dan Amal
Asy’ariyah mendefinisikan iman sebagai keyakinan
dalam hati yang disertai pengakuan dengan lisan.⁸ Menurut al-Asy’ari, amal
perbuatan adalah pelengkap iman, tetapi bukan syarat sahnya iman. Pandangan ini
menempatkan Asy’ariyah sebagai aliran yang moderat dibandingkan dengan
Khawarij, yang mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar, dan Murji’ah, yang
cenderung mengabaikan pentingnya amal.⁹
Catatan Kaki
[1]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge:
Harvard University Press, 1976), 102–103.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1962), 87.
[3]
George F. Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethics
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 75–76.
[4]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah, ed.
Richard McCarthy (Beirut: Imprimerie Catholique, 1953), 30.
[5]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and
Rational Theology from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld,
1997), 55.
[6]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf
al-Musallin, ed. Muhammad Muhyi al-Din Abdul Hamid (Cairo: Maktabah
al-Khanji, 1955), 4.
[7]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 283.
[8]
Al-Ghazali, Faysal al-Tafriqah Bayna al-Islam wa al-Zandaqah,
trans. Richard Joseph McCarthy (Beirut: Dar al-Machreq, 1964), 12.
[9]
Fakhruddin al-Razi, Al-Mahsul fi ‘Ilm al-Usul (Cairo: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 124.
4.
Metode
dan Pendekatan Pemikiran Asy’ariyah
Abu al-Hasan al-Asy’ari tidak hanya dikenal karena
gagasan teologisnya yang membentuk fondasi Asy’ariyah, tetapi juga karena
metode dan pendekatannya yang inovatif dalam mendamaikan teks wahyu dan akal.
Pendekatan ini lahir sebagai respons terhadap dinamika intelektual pada
zamannya, terutama dalam menghadapi rasionalisme ekstrem yang dikembangkan oleh
Muktazilah. Metode Asy’ariyah menekankan pentingnya mempertahankan akidah Islam
yang kokoh, sekaligus membekali umat dengan argumen logis untuk menghadapi
kritik dari luar maupun dari dalam Islam.
4.1. Pendekatan Dialektika (Ilmu Kalam)
Asy’ariyah menonjol dalam penggunaan metode
dialektika atau ilmu kalam untuk membela akidah Islam. Dalam pendekatan ini,
al-Asy’ari tidak menolak penggunaan logika, tetapi menempatkannya sebagai alat
untuk memahami wahyu dan membantah argumen yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam.¹
Abu al-Hasan al-Asy’ari mengembangkan metode ini
untuk menanggapi tantangan dari berbagai aliran pemikiran, seperti Muktazilah
dan filsafat Yunani, yang masuk ke dunia Islam melalui penerjemahan karya-karya
Yunani ke dalam bahasa Arab. Metode dialektika Asy’ariyah memungkinkan
pembelaan terhadap akidah Islam dengan cara yang rasional tanpa mengorbankan
prinsip-prinsip wahyu.²
Misalnya, dalam menghadapi konsep Muktazilah
tentang keadilan ilahi, al-Asy’ari menggunakan argumen logis untuk menunjukkan
bahwa pemahaman mereka yang terlalu rasional justru melemahkan otoritas wahyu.
Ia juga mengkritik pandangan filsuf seperti Aristoteles, yang dianggapnya
bertentangan dengan prinsip ketuhanan Islam.³
4.2. Penggunaan Akal dalam Kerangka Wahyu
Pendekatan Asy’ariyah memberikan ruang bagi akal,
tetapi dalam batasan yang ditentukan oleh wahyu. Dalam pandangan al-Asy’ari,
wahyu memiliki otoritas mutlak, sementara akal digunakan untuk memahami dan
menjelaskan wahyu, bukan untuk menafsirkan secara bebas.⁴ Dengan demikian, akal
dan wahyu saling melengkapi, tetapi wahyu tetap menjadi pedoman utama.
Contohnya, dalam diskusi tentang sifat-sifat Allah,
al-Asy’ari menggunakan akal untuk menegaskan keberadaan sifat-sifat tersebut
tanpa menafsirkan sifat-sifat Allah secara literal atau metaforis.⁵ Pendekatan
ini bertujuan untuk menjaga keimanan umat sekaligus memberikan jawaban yang
logis terhadap tantangan intelektual.
4.3. Moderasi antara Tekstualisme dan Rasionalisme
Asy’ariyah dikenal sebagai aliran moderat yang
mengambil jalan tengah antara tekstualisme ekstrem (Ahlul Hadis) dan
rasionalisme ekstrem (Muktazilah). Moderasi ini tercermin dalam caranya
memadukan pemahaman literal terhadap wahyu dengan penggunaan logika yang
sehat.⁶
Dalam isu-isu seperti takdir dan kehendak bebas
manusia, al-Asy’ari menolak pandangan Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia
tidak memiliki kehendak sama sekali, serta menolak pandangan Qadariyah yang
menganggap manusia memiliki kehendak mutlak. Sebaliknya, ia menjelaskan bahwa
Allah adalah pencipta segala sesuatu, tetapi manusia memiliki kemampuan
terbatas untuk memilih tindakan mereka dalam kerangka kehendak Allah.⁷
Pendekatan ini menunjukkan bagaimana Asy’ariyah berusaha menciptakan
keseimbangan dalam teologi.
4.4. Pembelaan terhadap Tradisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Metode Asy’ariyah juga mencerminkan komitmen untuk
mempertahankan tradisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Al-Asy’ari menggunakan
pendekatan rasional untuk memperkuat keyakinan Sunni, sekaligus membantah
aliran-aliran yang dianggap menyimpang.⁸ Melalui karya-karyanya seperti Kitab
al-Ibanah dan Maqalat al-Islamiyyin, ia tidak hanya menjelaskan
prinsip-prinsip akidah, tetapi juga membela posisi Sunni dalam perdebatan
teologis.⁹
4.5. Pengaruh dalam Tradisi Pendidikan
Metode Asy’ariyah memainkan peran penting dalam
pembentukan sistem pendidikan Islam klasik. Pendekatannya menjadi dasar bagi
kurikulum madrasah tradisional seperti Nizamiyah di Baghdad. Sistem ini melatih
para pelajar untuk memahami akidah melalui wahyu dan logika secara bersamaan,
menciptakan generasi ulama yang mampu menghadapi tantangan intelektual di
berbagai era.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge:
Harvard University Press, 1976), 115.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1962), 89.
[3]
George F. Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethics
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 83–84.
[4]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah, ed.
Richard McCarthy (Beirut: Imprimerie Catholique, 1953), 25.
[5]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 290.
[6]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and
Rational Theology from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld,
1997), 57.
[7]
Fakhruddin al-Razi, Al-Mahsul fi ‘Ilm al-Usul (Cairo: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 132.
[8]
Al-Ghazali, Faysal al-Tafriqah Bayna al-Islam wa al-Zandaqah,
trans. Richard Joseph McCarthy (Beirut: Dar al-Machreq, 1964), 18.
[9]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf
al-Musallin, ed. Muhammad Muhyi al-Din Abdul Hamid (Cairo: Maktabah
al-Khanji, 1955), 3.
[10]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 83.
5.
Peran
dan Pengaruh Asy’ariyah dalam Sejarah Islam
Teologi Asy’ariyah memiliki peran yang sangat
signifikan dalam membentuk arah pemikiran Islam Sunni. Pengaruhnya tidak hanya
terlihat dalam pengembangan teologi, tetapi juga dalam berbagai bidang lain
seperti pendidikan, politik, dan kehidupan sosial umat Islam. Berikut adalah
beberapa aspek utama dari peran dan pengaruh Asy’ariyah dalam sejarah Islam:
5.1. Penerimaan dan Penyebaran di Dunia Islam
Setelah didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari,
Asy’ariyah dengan cepat diterima oleh umat Islam Sunni, terutama karena
pendekatannya yang moderat. Aliran ini menjadi alternatif bagi umat yang
menolak rasionalisme ekstrem Muktazilah maupun tekstualisme ekstrem dari
sebagian kelompok tradisionalis.¹
Madrasah-madrasah besar seperti Nizamiyah di
Baghdad, yang didirikan oleh Nizam al-Mulk pada abad ke-11, memainkan peran
penting dalam penyebaran Asy’ariyah. Madrasah ini menjadi pusat pendidikan
Islam yang melatih para ulama untuk menyebarkan pemikiran Asy’ariyah ke seluruh
dunia Islam, termasuk wilayah Persia, Asia Tengah, dan Afrika Utara.² Melalui
dukungan politik dari dinasti-dinasti seperti Seljuk dan Ayyubiyah, Asy’ariyah
memperoleh legitimasi sebagai landasan teologi Sunni yang resmi.³
5.2. Pengaruh terhadap Pemikiran Ulama Besar
Pemikiran Asy’ariyah menginspirasi banyak ulama
besar dalam sejarah Islam. Salah satu tokoh yang paling terkenal adalah Imam
al-Ghazali (1058–1111 M), yang menggunakan pendekatan Asy’ariyah dalam karyanya
Ihya ‘Ulum al-Din dan Tahafut al-Falasifah. Al-Ghazali berhasil
memadukan teologi Asy’ariyah dengan tasawuf, sehingga memperluas pengaruh
Asy’ariyah di kalangan umat Islam yang lebih luas.⁴
Tokoh lain seperti Fakhruddin al-Razi (1149–1209 M)
juga memainkan peran penting dalam mengembangkan argumen-argumen rasional
Asy’ariyah untuk melawan tantangan filsafat Aristotelian dan teologi
Muktazilah.⁵ Melalui karya-karya mereka, pemikiran Asy’ariyah terus berkembang
dan menjadi dasar bagi banyak diskusi teologis hingga era modern.
5.3. Peran dalam Meneguhkan Identitas Sunni
Asy’ariyah memainkan peran kunci dalam meneguhkan
identitas Ahlus Sunnah Wal Jamaah, terutama pada masa-masa ketika Islam
menghadapi perpecahan internal dan serangan dari luar. Dengan pendekatannya
yang moderat, Asy’ariyah berhasil menjadi jembatan antara kelompok-kelompok
yang berbeda dalam Islam Sunni, seperti tradisionalis (Ahlul Hadis) dan
kelompok rasionalis (Ahlul Ra’yi).⁶
Sebagai contoh, pada masa Dinasti Abbasiyah,
Asy’ariyah berperan dalam mengakhiri dominasi pemikiran Muktazilah yang
sebelumnya didukung oleh kekuasaan melalui peristiwa Mihnah (pengadilan
akidah). Dengan mengembalikan otoritas kepada wahyu tanpa menafikan peran akal,
Asy’ariyah membantu mengukuhkan prinsip-prinsip akidah yang menjadi landasan
bagi umat Islam Sunni.⁷
5.4. Relevansi dalam Dunia Modern
Pengaruh Asy’ariyah tidak hanya terbatas pada era
klasik, tetapi juga tetap relevan dalam menghadapi tantangan pemikiran modern.
Dalam dunia yang semakin kompleks dengan beragam ideologi dan filsafat,
pendekatan moderat dan rasional Asy’ariyah menjadi model bagi umat Islam dalam
mempertahankan identitas keislaman tanpa terjebak dalam ekstremisme.⁸
Sebagai contoh, pada abad ke-20, ulama-ulama
seperti Yusuf al-Qaradawi dan Said Nursi mengadopsi sebagian pendekatan
Asy’ariyah dalam menjelaskan konsep-konsep keislaman kepada generasi modern.⁹
Dengan demikian, Asy’ariyah tetap menjadi salah satu fondasi utama dalam
mempertahankan relevansi Islam dalam konteks global.
Catatan Kaki
[1]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1962), 92.
[2]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 76.
[3]
Richard Bulliet, The Patricians of Nishapur: A Study in Medieval
Islamic Social History (Cambridge: Harvard University Press, 1972), 118.
[4]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael Marmura (Provo,
UT: Brigham Young University Press, 2000), 4–5.
[5]
Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Beirut: Dar al-Fikr, 1981),
98.
[6]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge:
Harvard University Press, 1976), 120.
[7]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 290.
[8]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and
Rational Theology from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld,
1997), 83.
[9]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Awlawiyyat (Cairo: Dar al-Shuruq,
1995), 34.
6.
Kritik
terhadap Asy’ariyah
Sebagai salah satu aliran teologi terbesar dalam
Islam Sunni, Asy’ariyah telah menerima berbagai kritik sepanjang sejarahnya.
Kritik-kritik ini berasal dari beragam kelompok, baik dari kalangan rasionalis
seperti Muktazilah, kelompok tekstualis seperti Salafi, maupun filsuf Islam.
Kritik-kritik ini menyasar metode, prinsip, dan pendekatan teologis yang dianut
oleh Asy’ariyah.
6.1. Kritik dari Muktazilah
Muktazilah, yang menjadi lawan intelektual utama
Asy’ariyah, mengkritik pendekatan al-Asy’ari yang dianggap terlalu menyerah
pada teks wahyu dan mengabaikan peran akal yang dominan.¹ Dalam pandangan
Muktazilah, akal adalah alat utama untuk memahami sifat-sifat Allah dan konsep
keadilan-Nya. Al-Asy’ari dituduh mereduksi konsep keadilan ilahi dengan
menyatakan bahwa keadilan Allah tidak harus sesuai dengan logika manusia.²
Muktazilah juga menolak pandangan Asy’ariyah
tentang sifat-sifat Allah. Menurut mereka, konsep sifat-sifat yang diajukan
al-Asy’ari (seperti ilmu, kehendak, dan kehidupan) berpotensi mengarah pada
penggandaan dzat Allah, yang menurut Muktazilah bertentangan dengan prinsip
tauhid.³
6.2. Kritik dari Aliran Salafi
Dari perspektif Salafi, Asy’ariyah dikritik karena
dianggap terlalu mengakomodasi logika dan metode dialektika (kalam), yang
menurut mereka adalah inovasi (bid’ah) yang tidak diajarkan oleh Rasulullah Saw
dan para sahabat.⁴ Salafi menekankan pendekatan literal dalam memahami teks
wahyu dan menghindari spekulasi rasional dalam isu-isu teologis.
Sebagai contoh, Salafi menolak metode bila kaifa
(tanpa menanyakan bagaimana) yang digunakan oleh Asy’ariyah dalam memahami
sifat-sifat Allah. Bagi Salafi, penggunaan metode ini adalah bentuk spekulasi
yang tidak diperlukan, sementara teks wahyu harus dipahami secara literal tanpa
tambahan interpretasi filosofis.⁵
6.3. Kritik dari Filsuf Islam
Filsuf Islam seperti Ibn Sina (Avicenna) dan Ibn
Rushd (Averroes) mengkritik pendekatan teologis Asy’ariyah karena dianggap
tidak konsisten dalam penggunaan logika.⁶ Menurut mereka, Asy’ariyah mengadopsi
logika dalam sebagian besar argumen teologisnya, tetapi tetap bergantung pada
wahyu ketika logika tidak memberikan jawaban yang memadai.
Sebagai contoh, Ibn Rushd dalam Tahafut
al-Tahafut menyebutkan bahwa Asy’ariyah menggunakan logika untuk membela
keberadaan sifat-sifat Allah, tetapi menolak menggunakan logika dalam isu-isu
lain seperti kehendak bebas manusia dan keadilan ilahi.⁷ Pendekatan ini,
menurut Ibn Rushd, tidak memberikan jawaban yang memuaskan dalam menjelaskan
hubungan antara akal dan wahyu.
6.4. Kritik terhadap Konsep Qada’ dan Qadar
Salah satu kritik paling tajam terhadap Asy’ariyah
adalah tentang konsep qada’ (ketentuan) dan qadar (takdir). Kelompok rasionalis
seperti Muktazilah dan filsuf menganggap pandangan Asy’ariyah bahwa segala
sesuatu adalah kehendak Allah bertentangan dengan tanggung jawab moral
manusia.⁸
Muktazilah, misalnya, menegaskan bahwa manusia
memiliki kehendak bebas penuh sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatannya. Dalam pandangan mereka, jika segala sesuatu adalah kehendak Allah
sebagaimana dinyatakan oleh Asy’ariyah, maka konsep dosa dan pahala menjadi
tidak relevan.⁹
6.5. Tanggapan terhadap Kritik
Para pendukung Asy’ariyah memberikan tanggapan yang
mendalam terhadap kritik-kritik ini. Dalam konteks kritik Muktazilah,
Asy’ariyah menjelaskan bahwa pemahaman mereka tentang keadilan ilahi dan
sifat-sifat Allah didasarkan pada teks wahyu yang eksplisit. Mereka juga
menegaskan bahwa keterbatasan akal manusia tidak boleh menjadi dasar untuk
menafsirkan wahyu secara berlebihan.¹⁰
Dalam menghadapi kritik Salafi, Asy’ariyah
mempertahankan bahwa metode kalam adalah sarana untuk mempertahankan akidah
Islam dari serangan intelektual, terutama pada era ketika filsafat Yunani mulai
memengaruhi pemikiran umat Islam.¹¹ Al-Asy’ari sendiri menegaskan bahwa metode
ini bukanlah bid’ah, tetapi alat untuk melindungi akidah dari penyimpangan.
Catatan Kaki
[1]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge:
Harvard University Press, 1976), 95.
[2]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 281.
[3]
George F. Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethics
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 79.
[4]
Muhammad Ibn Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid (Riyadh: Darussalam,
1996), 15.
[5]
Ibn Taimiyyah, Majmu' al-Fatawa, ed. Abd al-Rahman al-Mu'allimi
(Riyadh: Dar al-Kutub, 1964), 2:145.
[6]
Ibn Sina, Al-Isharat wa al-Tanbihat, ed. Suleiman Dunya (Cairo:
Dar al-Ma’arif, 1960), 24.
[7]
Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon Van Den Bergh
(London: Oxford University Press, 1954), 89.
[8]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1962), 94.
[9]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism and
Rational Theology from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld,
1997), 62.
[10]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah, ed.
Richard McCarthy (Beirut: Imprimerie Catholique, 1953), 28.
[11]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 89.
7.
Kesimpulan
Teologi Asy’ariyah, yang didirikan oleh Abu
al-Hasan al-Asy’ari, telah memberikan kontribusi besar dalam membentuk tradisi
teologi Islam Sunni. Dengan mengadopsi pendekatan moderat yang memadukan teks
wahyu dan akal, Asy’ariyah berhasil menciptakan sebuah paradigma teologi yang
mampu menjawab tantangan intelektual pada masa klasik dan tetap relevan hingga
era modern.
Sebagai salah satu pilar utama tradisi Ahlus Sunnah
Wal Jamaah, Asy’ariyah menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara
rasionalitas dan kepatuhan terhadap wahyu.¹ Pendekatan ini tidak hanya
memperkuat keyakinan umat Islam terhadap ajaran tauhid, tetapi juga memberikan
landasan bagi dialog intelektual yang sehat dalam menghadapi berbagai pandangan
teologis yang beragam. Abu al-Hasan al-Asy’ari secara brilian memadukan metode
dialektika (kalam) dengan argumen berbasis wahyu untuk menjelaskan konsep-konsep
penting seperti sifat-sifat Allah, keadilan ilahi, dan kehendak bebas manusia.²
Pengaruh Asy’ariyah meluas ke berbagai wilayah
dunia Islam melalui lembaga-lembaga pendidikan tradisional, seperti Madrasah
Nizamiyah, yang memainkan peran penting dalam penyebaran ajarannya. Tokoh-tokoh
besar seperti Imam al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi memperkaya pemikiran
Asy’ariyah dengan karya-karya monumental mereka, menjadikannya sebagai landasan
teologi Sunni yang kokoh.³
Meskipun menghadapi kritik dari berbagai kelompok
seperti Muktazilah, Salafi, dan filsuf Islam, Asy’ariyah mampu bertahan dan
terus relevan. Kritik tersebut seringkali muncul karena perbedaan pandangan
dalam memahami hubungan antara akal dan wahyu, sifat-sifat Allah, dan konsep
qada’ dan qadar. Namun, tanggapan yang diberikan oleh Asy’ariyah menunjukkan
kekuatan argumen teologi ini dalam mempertahankan akidah Islam yang otentik.⁴
Dalam konteks modern, Asy’ariyah tetap menjadi
inspirasi bagi umat Islam dalam menghadapi tantangan intelektual global.
Pendekatannya yang moderat dan inklusif memberikan jalan tengah antara
fundamentalisme tekstual dan rasionalisme ekstrem. Sebagai contoh, ulama-ulama
kontemporer sering mengacu pada prinsip-prinsip Asy’ariyah dalam menjelaskan
isu-isu teologis yang relevan dengan tantangan zaman, seperti pluralisme,
sekularisme, dan filsafat modern.⁵
Dengan demikian, teologi Asy’ariyah tidak hanya
berperan dalam mempertahankan akidah Islam dari berbagai penyimpangan, tetapi
juga membentuk dasar intelektual bagi umat Islam untuk terus berkembang dalam
menghadapi berbagai tantangan zaman. Sebagaimana yang dirumuskan oleh
al-Asy’ari, akidah Islam tidak hanya harus kokoh secara teologis, tetapi juga
dapat dipahami dengan logika yang sehat tanpa kehilangan esensinya sebagai wahyu
ilahi.
Catatan Kaki
[1]
George F. Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethics
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 75.
[2]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah, ed.
Richard McCarthy (Beirut: Imprimerie Catholique, 1953), 32.
[3]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 78.
[4]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 290.
[5]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Awlawiyyat (Cairo: Dar al-Shuruq,
1995), 36.
Daftar Pustaka (APA Style)
al-Asy’ari, A. H. (1953). Kitab
al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah (R. McCarthy, Ed.). Beirut: Imprimerie
Catholique.
al-Asy’ari, A. H. (1955). Maqalat
al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin (M. M. Abdul Hamid, Ed.). Cairo:
Maktabah al-Khanji.
al-Ghazali. (1964). Faysal
al-Tafriqah Bayna al-Islam wa al-Zandaqah (R. J. McCarthy, Trans.).
Beirut: Dar al-Machreq.
al-Ghazali. (2000). Tahafut
al-Falasifah (M. Marmura, Trans.). Provo, UT: Brigham Young University
Press.
al-Qaradawi, Y. (1995). Fiqh
al-Awlawiyyat. Cairo: Dar al-Shuruq.
Fakhruddin al-Razi. (1981).
Mafatih al-Ghayb. Beirut: Dar al-Fikr.
Fakhruddin al-Razi. (1997).
Al-Mahsul fi ‘Ilm al-Usul. Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Hourani, G. F. (1985). Reason
and Tradition in Islamic Ethics. Cambridge: Cambridge University Press.
Ibn Rushd. (1954). Tahafut
al-Tahafut (S. Van Den Bergh, Trans.). London: Oxford University Press.
Ibn Sina. (1960). Al-Isharat
wa al-Tanbihat (S. Dunya, Ed.). Cairo: Dar al-Ma’arif.
Makdisi, G. (1981). The
Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West.
Edinburgh: Edinburgh University Press.
Martin, R. C. (1997). Defenders
of Reason in Islam: Mu’tazilism and Rational Theology from Medieval School to
Modern Symbol. Oxford: Oneworld.
Watt, W. M. (1962). Islamic
Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Watt, W. M. (1973). The
Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University
Press.
Wolfson, H. A. (1976). The
Philosophy of the Kalam. Cambridge: Harvard University Press.
Muhammad Ibn Abdul Wahhab.
(1996). Kitab al-Tauhid. Riyadh: Darussalam.
Lampiran: Daftar Kitab Rujukan untuk Memahami Teologi Asy’ariyah
1.
Abu
al-Hasan al-Asy’ari (873–935 M)
o
Kitab al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah
Kitab ini
adalah karya utama Abu al-Hasan al-Asy’ari yang menjelaskan dasar-dasar
pemikiran Asy’ariyah, termasuk keyakinan tentang sifat-sifat Allah, tauhid, dan
hubungan akal dan wahyu. Karya ini berfungsi sebagai manifesto teologi
Asy’ariyah, khususnya setelah ia meninggalkan Muktazilah.
o
Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin
Kitab ini
berisi pengkajian sistematis tentang berbagai aliran pemikiran dalam Islam,
termasuk perbedaan pandangan di antara mereka. Karya ini memberikan konteks
sejarah dan intelektual bagi perkembangan teologi Islam, termasuk posisi
Asy’ariyah.
2.
Al-Ghazali
(1058–1111 M)
o
Tahafut al-Falasifah
Sebuah karya
penting yang membantah pandangan para filsuf Muslim seperti Ibn Sina dan
Al-Farabi. Dalam kitab ini, Al-Ghazali menggunakan metode Asy’ariyah untuk
mempertahankan akidah Islam, khususnya dalam menghadapi tantangan filsafat
Yunani.
o
Ihya’ ‘Ulum al-Din
Kitab ini
mengintegrasikan aspek-aspek akidah, tasawuf, dan etika Islam. Al-Ghazali
memperluas cakupan teologi Asy’ariyah dengan menjelaskan relevansi praktisnya
dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Fakhruddin
al-Razi (1149–1209 M)
o
Mafatih al-Ghayb (Tafsir al-Kabir)
Sebuah
tafsir Al-Qur'an yang mencakup pembahasan teologis mendalam tentang sifat-sifat
Allah dan konsep takdir. Al-Razi, yang merupakan penganut Asy’ariyah,
menggunakan pendekatan logis untuk menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan
teologi.
o
Al-Mahsul fi ‘Ilm al-Usul
Kitab ini
membahas dasar-dasar ilmu usul fikih dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip
Asy’ariyah. Al-Razi juga menyentuh isu-isu teologis yang berkaitan dengan
kehendak bebas manusia dan takdir Allah.
4.
Ibn
al-Subki (1284–1355 M)
o
Tabaqat al-Shafi'iyyah al-Kubra
Buku ini
adalah biografi ulama-ulama mazhab Syafi’i, termasuk para tokoh Asy’ariyah.
Kitab ini memberikan wawasan tentang hubungan antara Asy’ariyah dan tradisi
hukum Islam Sunni.
5.
Ibn
Hajar al-Asqalani (1372–1449 M)
o
Fath al-Bari
Sebuah
syarah (penjelasan) atas kitab Sahih al-Bukhari yang mencakup diskusi
tentang isu-isu teologis dari perspektif Ahlus Sunnah Wal Jamaah, termasuk
pengaruh pemikiran Asy’ariyah dalam memahami hadits.
6.
Imam
al-Juwayni (1028–1085 M)
o
Al-Irshad ila Qawati’ al-Adillah fi Usul al-I'tiqad
Kitab ini
adalah panduan sistematis tentang prinsip-prinsip teologi Sunni Asy’ariyah.
Al-Juwayni, yang juga dikenal sebagai Imam al-Haramayn, membahas sifat-sifat
Allah, kehendak bebas manusia, dan keadilan ilahi.
7.
Al-Baqillani
(950–1013 M)
o
Al-Tamhid li Ba'd al-Maqalat fi Usul al-Diyanat
Karya ini berisi
pembahasan dasar-dasar teologi Asy’ariyah, dengan penekanan pada
argumen-argumen logis untuk membantah pandangan Muktazilah dan kelompok
lainnya.
8.
Ibn
Khaldun (1332–1406 M)
o
Muqaddimah
Meskipun
bukan karya teologi secara khusus, Muqaddimah membahas dinamika
intelektual Islam, termasuk posisi teologi Asy’ariyah dalam sejarah pemikiran
Islam.
9.
Ibn
Taymiyyah (1263–1328 M)
o
Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql
Sebagai
kritik terhadap Asy’ariyah, kitab ini penting untuk memahami perdebatan antara
Asy’ariyah dan Salafi dalam isu-isu seperti sifat-sifat Allah dan penggunaan
logika dalam teologi.
10.
Imam
al-Nasafi (d. 1142 M)
o
Aqaid al-Nasafiyyah
Ringkasan
dasar-dasar akidah Sunni yang dipengaruhi oleh pemikiran Asy’ariyah. Kitab ini
digunakan sebagai teks dasar di banyak madrasah tradisional.
Daftar kitab ini mencakup berbagai perspektif,
mulai dari karya pendiri Asy’ariyah hingga ulama besar yang mendukung atau
mengkritiknya, untuk memberikan wawasan mendalam tentang teologi Asy’ariyah dan
perannya dalam sejarah Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar