Rabu, 26 Maret 2025

Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam

Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam

Konsep, Tujuan, dan Implementasi


Alihkan ke: Ilmu Pendidikan I, Ilmu Pendidikan II.

Sistem PemerintahanSistem HukumSistem EkonomiSistem Pendidikan.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep, tujuan, dan implementasi pendidikan dalam perspektif Islam. Pendidikan Islam dipahami sebagai proses integral yang tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, akhlak, dan kesadaran spiritual peserta didik. Berbasis pada ajaran wahyu dan akal, pendidikan Islam bertujuan membentuk insan kamil yang beriman, berilmu, dan bertanggung jawab sebagai khalifah di bumi. Pembahasan dimulai dari konsep dasar pendidikan Islam yang mencakup istilah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib, dilanjutkan dengan tujuan dan hakikat pendidikan, komponen-komponen utama (guru, peserta didik, kurikulum, metode, dan lingkungan), hingga perbandingan dengan sistem pendidikan Barat. Artikel ini juga mengulas problematika kontemporer seperti krisis identitas, dikotomi ilmu, dan tantangan globalisasi, serta menawarkan strategi revitalisasi pendidikan Islam melalui integrasi kurikulum, peningkatan profesionalisme guru, dan penguatan kelembagaan. Kajian ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam yang dibangun di atas dasar nilai-nilai tauhid dan akhlak memiliki potensi besar dalam mencetak generasi beradab dan berdaya saing global.

Kata Kunci: Pendidikan Islam, insan kamil, kurikulum integratif, adab, revitalisasi pendidikan, worldview Islam.


PEMBAHASAN

Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam


1.           Pendahuluan

Pendidikan merupakan pilar utama dalam pembangunan peradaban manusia. Dalam sejarah panjang umat manusia, tidak ada satu pun peradaban besar yang terbentuk tanpa fondasi pendidikan yang kuat. Islam, sebagai agama yang membawa misi rahmatan lil ‘alamin, memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan, baik secara konsep maupun implementasi. Bahkan, wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw memuat perintah untuk membaca (iqra'), yang menjadi simbol awal dari gerakan pendidikan dalam Islam.¹

Pendidikan dalam Islam tidak hanya dipahami sebagai proses mentransfer ilmu, tetapi juga sebagai usaha menanamkan nilai-nilai akhlak, membentuk kepribadian yang utuh, serta mengantarkan manusia kepada pengenalan dan pengabdian kepada Allah Swt. Dengan demikian, pendidikan dalam Islam memiliki dimensi yang sangat luas dan mendalam, yang tidak hanya mencakup aspek kognitif dan afektif, tetapi juga spiritual dan moral.²

Dalam lintasan sejarahnya, para ulama dan cendekiawan Muslim telah merumuskan berbagai konsep dan pendekatan pendidikan yang menyeluruh. Tokoh-tokoh seperti Al-Ghazali, Ibn Sina, Ibn Khaldun, hingga Syed Muhammad Naquib al-Attas, telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan teori pendidikan Islam yang berbasis pada wahyu dan akal.³ Konsep seperti ta’dib (pemberian adab), tarbiyah (pengembangan), dan ta’lim (pengajaran) menjadi istilah kunci yang menunjukkan keluasan makna pendidikan dalam perspektif Islam.⁴

Sayangnya, dalam realitas kontemporer, pendidikan Islam sering dihadapkan pada berbagai tantangan serius, seperti sekularisasi ilmu, pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum, hingga lemahnya orientasi akhlak dalam sistem pendidikan. Oleh karena itu, kajian ulang terhadap konsep dan implementasi pendidikan dalam Islam menjadi sangat urgen untuk membangun sistem pendidikan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan etis.⁵

Artikel ini bertujuan untuk mengulas secara komprehensif tentang konsep, tujuan, serta implementasi pendidikan dalam perspektif Islam dengan pendekatan normatif dan historis. Diharapkan, pembahasan ini dapat menjadi kontribusi dalam upaya revitalisasi pendidikan Islam yang holistik dan transformatif di era modern.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 134.

[2]                Hasan Langgulung, Pendidikan dan Perkembangan Manusia (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), 35.

[3]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 2–4.

[4]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.), 55.

[5]                Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium Baru (Jakarta: Kencana, 2012), 21–23.


2.           Konsep Dasar Pendidikan dalam Islam

2.1.       Pengertian Pendidikan dalam Perspektif Islam

Pendidikan dalam Islam memiliki cakupan makna yang sangat luas. Secara etimologis, istilah “pendidikan” dalam bahasa Arab diterjemahkan ke dalam beberapa istilah penting, yaitu tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Masing-masing istilah ini memiliki nuansa makna yang berbeda namun saling melengkapi.

Istilah tarbiyah berasal dari kata rabb, yang berarti memelihara, mengembangkan, dan membimbing secara bertahap hingga mencapai kesempurnaan. Maka, tarbiyah mengandung makna proses pengembangan potensi manusia secara menyeluruh dan berkelanjutan.¹

Sementara itu, ta’lim berasal dari akar kata ‘alima–yu’allimu, yang berarti memberi ilmu atau mengajarkan. Istilah ini lebih menekankan pada aspek kognitif, yaitu penyampaian dan penguasaan ilmu pengetahuan.²

Adapun ta’dib mengacu pada proses penanaman adab, yang oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dianggap sebagai istilah paling tepat dalam menggambarkan pendidikan Islam secara integral, karena mencakup dimensi ilmu, akhlak, dan spiritualitas.³ Menurutnya, pendidikan Islam adalah proses penanaman adab yang benar kepada manusia, yang mencerminkan pengenalan dan pengakuan terhadap tempat segala sesuatu pada kedudukannya yang tepat dalam tatanan wujud.⁴

Dengan demikian, pendidikan dalam Islam tidak hanya dimaknai sebagai proses pengajaran (transfer of knowledge), tetapi juga sebagai proses pembentukan kepribadian dan moral (transfer of values) yang mengarah kepada penyempurnaan insan secara menyeluruh (insan kamil).

2.2.       Sumber-Sumber Pendidikan Islam

Konsep pendidikan Islam bersumber pada wahyu (Al-Qur’an dan Hadis), serta hasil ijtihad para ulama sepanjang sejarah Islam. Al-Qur’an mengandung banyak ayat yang menunjukkan pentingnya ilmu, seperti firman Allah Swt:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ 

“Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’” (QS. Az-Zumar [39] ayat 9).⁵

Selain itu, sabda Nabi Muhammad Saw yang menyatakan bahwa “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” menjadi dasar normatif kewajiban pendidikan dalam Islam.⁶ Hadis ini tidak hanya menjelaskan keutamaan ilmu, tetapi juga menekankan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban individual (fardhu ‘ain) bagi setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan.

Para ulama juga menekankan pentingnya akal sebagai alat untuk memahami wahyu. Dengan demikian, pendidikan dalam Islam bersifat wahyu-akliah (integrasi antara wahyu dan akal), bukan sekadar sistem pembelajaran rasionalistik atau dogmatis.⁷

2.3.       Karakteristik Pendidikan Islam

1)                  Pendidikan Islam memiliki karakteristik khas yang membedakannya dari sistem pendidikan lain. Beberapa karakteristik utama tersebut adalah:

2)                  Bersumber dari wahyu Ilahi, sehingga memiliki landasan teologis dan etis yang kokoh.

3)                  Berorientasi pada akhirat, tetapi tidak mengabaikan kehidupan dunia. Islam mendorong keseimbangan antara kehidupan spiritual dan material.

4)                  Holistik dan integral, mencakup aspek intelektual, emosional, moral, dan spiritual.

5)                  Menempatkan guru sebagai teladan (uswah hasanah), bukan sekadar pengajar.

6)                  Menekankan pembentukan akhlak, bukan hanya pencapaian akademik.

Pendidikan Islam juga menekankan pada tawhid sebagai asas utama. Tawhid bukan hanya diajarkan sebagai pelajaran akidah, tetapi dijadikan prinsip pengikat dalam seluruh aktivitas pendidikan.⁸ Dengan tawhid sebagai pusatnya, pendidikan Islam diarahkan untuk membentuk manusia yang menyadari tugas kekhalifahannya di muka bumi.


Kesimpulan Bab

Konsep pendidikan dalam Islam sangat kaya dan dalam, tidak hanya sebagai proses akademik, tetapi juga spiritual dan etis. Dengan fondasi pada tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib, serta bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, pendidikan Islam bertujuan untuk melahirkan manusia paripurna (insan kamil) yang berilmu, berakhlak, dan bertakwa kepada Allah Swt.


Footnotes

[1]                Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2009), 23.

[2]                Hasan Langgulung, Pendidikan dan Perkembangan Manusia (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), 112.

[3]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 1–3.

[4]                Ibid., 5.

[5]                Al-Qur’an, Surah Az-Zumar [39]: 9.

[6]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-‘Ilm, Hadis No. 3643.

[7]                Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi (Jakarta: Kompas, 2002), 74.

[8]                M. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 17–19.


3.           Tujuan dan Hakikat Pendidikan dalam Islam

3.1.       Tujuan Pendidikan dalam Islam: Menuju Insan Kamil

Dalam perspektif Islam, tujuan pendidikan tidak hanya terbatas pada pencapaian aspek intelektual dan profesional, tetapi juga mencakup dimensi spiritual dan moral yang lebih dalam. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah membentuk insan kamil, yaitu manusia paripurna yang mengenal dan mengabdi sepenuhnya kepada Allah Swt, berakhlak mulia, serta mampu menjalankan fungsi kekhalifahan di bumi.¹

Konsep ini selaras dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS. Adz-Dzariyat [51] ayat 56)²

Ayat ini menunjukkan bahwa pendidikan dalam Islam pada hakikatnya bertujuan untuk menghantarkan manusia kepada pengenalan (ma’rifah) dan penghambaan (‘ubudiyyah) yang sejati kepada Allah Swt.³

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, tujuan pendidikan Islam adalah “untuk menghasilkan manusia yang baik (good man)”, bukan sekadar manusia yang memiliki keterampilan profesional.⁴ Ini berbeda dengan sistem pendidikan sekuler yang sering kali menitikberatkan pada tujuan pragmatis dan duniawi semata, seperti kesuksesan materi dan penguasaan teknologi. Dalam pendidikan Islam, keberhasilan pendidikan diukur dari sejauh mana seseorang mampu menunaikan hak-hak Allah, dirinya sendiri, sesama manusia, dan alam semesta.

3.2.       Tujuan Antara Pendidikan: Akhlak, Ilmu, dan Amal

Selain tujuan akhir berupa insan kamil, Islam juga menetapkan sejumlah tujuan antara (ghayah wasithah) dalam proses pendidikan, antara lain:

1)                  Menumbuhkan akhlak mulia.

Akhlak menempati posisi sentral dalam pendidikan Islam. Nabi Muhammad Saw bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”_⁵
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan yang tidak menghasilkan akhlak tidak dapat dikatakan berhasil dalam konteks Islam.

2)                  Menumbuhkan semangat keilmuan.

Islam adalah agama yang sangat menghargai ilmu. Pencarian ilmu bukan hanya diperintahkan, tetapi juga dimuliakan.⁶ Proses pendidikan diarahkan untuk melahirkan pribadi yang gemar menuntut ilmu dan mengamalkannya.

3)                  Mengembangkan potensi manusia secara menyeluruh (jasmani, akal, dan ruh).

Pendidikan Islam tidak bersifat parsial, tetapi integratif dan seimbang antara dunia dan akhirat.

3.3.       Hakikat Pendidikan: Proses Tazkiyah dan Tahdzib

Hakikat pendidikan dalam Islam adalah proses tazkiyah (penyucian jiwa) dan tahdzib (pembinaan akhlak) yang berkelanjutan. Proses ini tidak hanya terjadi di bangku sekolah, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan. Pendidikan dalam Islam bukan hanya kegiatan akademik, tetapi juga ibadah.⁷

Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali, pendidikan bertujuan untuk menyucikan jiwa dan mengisinya dengan berbagai keutamaan. Dalam kitab Ayyuhal Walad, Al-Ghazali menekankan bahwa ilmu yang tidak dibarengi dengan amal dan akhlak yang baik adalah sia-sia.⁸ Oleh karena itu, orientasi utama pendidikan adalah pada perubahan diri secara hakiki, bukan sekadar pengetahuan kognitif.

3.4.       Pendidikan dan Fungsi Kekhalifahan

Islam memandang manusia sebagai khalifah Allah di bumi (QS. Al-Baqarah [2] ayat 30). Pendidikan dalam Islam harus diarahkan untuk membekali manusia agar dapat menjalankan amanah tersebut. Artinya, pendidikan bukan sekadar membentuk individu yang taat beragama, tetapi juga yang mampu memberi kontribusi bagi masyarakat dan alam secara bertanggung jawab.⁹

Dengan demikian, pendidikan Islam mengintegrasikan antara dimensi ketuhanan (ubudiyyah) dan dimensi kemanusiaan (khalifah). Ia mempersiapkan manusia agar mampu mengabdi kepada Allah sekaligus menjalankan tugas sosial dan peradaban di bumi secara bijak.


Kesimpulan Bab

Tujuan dan hakikat pendidikan dalam Islam bersifat transendental dan integratif. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan pribadi yang mengenal Tuhannya, mengembangkan potensi dirinya, berakhlak mulia, serta menjalankan tanggung jawab sosialnya sebagai khalifah di bumi. Inilah ciri khas pendidikan Islam yang membedakannya dari sistem pendidikan sekuler.


Footnotes

[1]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 10–12.

[2]                Al-Qur’an, Surah Adz-Dzariyat [51]: 56.

[3]                M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 23.

[4]                Al-Attas, The Concept of Education in Islam, 14.

[5]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-Adab, Hadis No. 4290.

[6]                Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium Baru (Jakarta: Kencana, 2012), 42.

[7]                Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2009), 66.

[8]                Al-Ghazali, Ayyuhal Walad, ed. Abu Bakar al-Ajiri (Beirut: Dar al-Minhaj, 2005), 15.

[9]                Hasan Langgulung, Pendidikan Islam: Suatu Analisa Filosofis dan Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 55.


4.           Komponen Pendidikan Islam

Pendidikan Islam adalah sistem yang holistik dan integratif, yang tidak hanya memandang pendidikan sebagai proses transfer ilmu, tetapi juga sebagai pembentukan karakter dan pembinaan jiwa. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, terdapat beberapa komponen utama dalam sistem pendidikan Islam yang saling berkaitan dan membentuk satu kesatuan utuh, yaitu: pendidik, peserta didik, materi pendidikan, metode pendidikan, dan lingkungan pendidikan.

4.1.       Pendidik (Al-Mu’allim)

Dalam Islam, pendidik memiliki kedudukan yang sangat mulia. Nabi Muhammad Saw sendiri dikenal sebagai mu’allim atau guru bagi umat manusia. Pendidik tidak hanya dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga harus memiliki akhlak yang tinggi, menjadi teladan (uswah hasanah), serta memahami peran spiritual dalam proses pendidikan.¹

Menurut Imam Al-Zarnuji, seorang guru harus mengajarkan ilmu dengan niat ikhlas karena Allah, serta memiliki rasa kasih sayang kepada murid-muridnya.² Sementara Syed Naquib al-Attas menegaskan bahwa pendidik adalah mereka yang telah “terdidik” terlebih dahulu, karena tidak mungkin seseorang dapat mendidik orang lain tanpa terlebih dahulu mendidik dirinya sendiri.³

4.2.       Peserta Didik (Al-Muta’allim)

Peserta didik dalam Islam dipandang sebagai manusia yang memiliki potensi fitrah untuk menerima dan mengembangkan ilmu. Islam memandang anak didik bukan sebagai kertas kosong, tetapi sebagai makhluk yang membawa potensi bawaan yang perlu diarahkan.⁴

Ibn Khaldun menyatakan bahwa proses belajar seharusnya tidak memaksa, tetapi memperhatikan kesiapan jiwa anak dan tahap-tahap perkembangan akalnya.⁵ Oleh karena itu, pendekatan pendidikan dalam Islam menekankan pada pembinaan karakter dan akhlak sejak usia dini, serta menumbuhkan kesadaran untuk belajar seumur hidup (thalabul ‘ilmi faridhah).

4.3.       Materi Pendidikan

Materi pendidikan dalam Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi. Tidak ada dualisme antara ilmu agama dan ilmu dunia. Semua ilmu yang bermanfaat dianggap sebagai bagian dari Islam, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.⁶

Hasan Langgulung mengelompokkan materi pendidikan Islam menjadi dua bagian utama:

1)                  Ilmu-ilmu naqliyah (wahyu): seperti tafsir, hadis, fiqh, tauhid.

2)                  Ilmu-ilmu ‘aqliyah (rasional dan empiris): seperti matematika, kedokteran, astronomi, dsb.⁷

Tujuan utama dari materi pendidikan adalah menanamkan tauhid, membentuk akhlak, dan membekali keterampilan hidup yang bermanfaat.

4.4.       Metode Pendidikan

Metode pendidikan dalam Islam sangat beragam dan fleksibel, tergantung pada situasi, kondisi, serta tahap perkembangan peserta didik. Di antara metode yang sering digunakan dalam pendidikan Islam antara lain:

·                     Uswah hasanah (keteladanan): Rasulullah Saw adalah contoh teladan utama dalam pendidikan.⁸

·                     Mau’izhah (nasihat): Memberikan wejangan atau petuah moral untuk menyentuh hati peserta didik.

·                     Hiwar (dialog): Sebuah pendekatan yang menumbuhkan pemikiran kritis dan mendalam.

·                     Tadrib (latihan/pembiasaan): Untuk menumbuhkan akhlak dan kebiasaan baik dalam praktik.

·                     Tadrīj (bertahap): Proses pendidikan disesuaikan dengan kemampuan dan tahap pemahaman peserta didik.⁹

Metode ini semua dirancang untuk mendidik aspek intelektual, emosional, dan spiritual peserta didik secara harmonis.

4.5.       Lingkungan Pendidikan

Lingkungan memiliki peran penting dalam membentuk kepribadian peserta didik. Dalam Islam, pendidikan tidak terbatas pada ruang kelas, tetapi mencakup lingkungan keluarga, masyarakat, dan lembaga formal.

1)                  Keluarga adalah madrasah pertama dan utama. Orang tua bertanggung jawab mendidik anak sejak lahir.¹⁰

2)                  Masyarakat berfungsi sebagai kontrol sosial dan tempat praktik nilai-nilai keislaman.

3)                  Lembaga pendidikan formal (seperti madrasah, sekolah, pesantren) bertugas menanamkan ilmu dan adab secara sistematis.

Ibnu Sina dalam karyanya Risalah fi al-Tarbiyah menyebut bahwa pendidikan akan berhasil apabila ketiga lingkungan tersebut bekerja secara sinergis.¹¹


Kesimpulan Bab

Komponen pendidikan dalam Islam tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pendidik, peserta didik, materi, metode, dan lingkungan semuanya memiliki peran integral dalam membentuk kepribadian dan karakter seorang Muslim sejati. Sistem pendidikan Islam menempatkan seluruh unsur ini dalam bingkai nilai-nilai tauhid, akhlak, dan kemanusiaan yang luhur.


Footnotes

[1]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 17.

[2]                Al-Zarnuji, Ta‘lim al-Muta‘allim Thariq at-Ta‘allum, ed. Muhammad Abduh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005), 18.

[3]                Al-Attas, The Concept of Education in Islam, 19.

[4]                Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2009), 58.

[5]                Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, ed. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 2005), 300.

[6]                M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 27.

[7]                Hasan Langgulung, Pendidikan Islam: Suatu Analisa Filosofis dan Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 121.

[8]                Al-Qur’an, Surah Al-Ahzab [33]: 21.

[9]                Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium Baru (Jakarta: Kencana, 2012), 95–96.

[10]             Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 3 (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.), 112.

[11]             Ibn Sina, Risalah fi al-Tarbiyah, dalam Majid Fakhry (ed.), Islamic Philosophy: A Beginner’s Guide (Oxford: Oneworld, 2009), 78–79.


5.           Kurikulum dalam Perspektif Pendidikan Islam

5.1.       Pengertian dan Fungsi Kurikulum

Secara umum, kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, serta materi pelajaran dan cara yang digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Dalam pendidikan Islam, kurikulum tidak hanya berfungsi sebagai perangkat teknis-instruksional, tetapi juga sebagai sarana pengembangan fitrah dan pembinaan kepribadian Islam secara menyeluruh.¹

Dalam pandangan Islam, kurikulum harus disusun berdasarkan prinsip tauhid yang menjadikan Allah sebagai pusat segala orientasi pendidikan. Kurikulum bukan sekadar instrumen akademik, tetapi juga media pembinaan nilai-nilai keimanan, akhlak, dan tanggung jawab sosial.² Maka dari itu, kurikulum pendidikan Islam memiliki ciri khas yang membedakannya dari sistem kurikulum sekuler.

5.2.       Prinsip Dasar Kurikulum Pendidikan Islam

Kurikulum pendidikan Islam dirancang berdasarkan prinsip-prinsip fundamental berikut:

1)                  Tauhid sebagai dasar dan tujuan.

Seluruh muatan kurikulum harus bermuara pada penguatan iman dan pengakuan terhadap keesaan Allah (QS. Al-Baqarah [2] ayat 2).³

2)                  Kesatuan ilmu (‘ilm).

Islam tidak mengenal dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Semua ilmu yang membawa manfaat dan tidak bertentangan dengan syariat dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam.⁴

3)                  Keseimbangan dunia-akhirat.

Kurikulum harus menyeimbangkan aspek material dan spiritual, teori dan praktik, dunia dan akhirat.⁵

4)                  Keterpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Tujuan pendidikan Islam bukan hanya mencerdaskan otak, tetapi juga membersihkan hati dan membentuk karakter.⁶

5.3.       Struktur Kurikulum dalam Pendidikan Islam

Struktur kurikulum pendidikan Islam terdiri dari beberapa komponen utama:

1)                  Ilmu-ilmu keislaman (ulum al-diniyyah): seperti aqidah, fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf. Ilmu-ilmu ini menjadi fondasi moral dan spiritual peserta didik.⁷

2)                  Ilmu-ilmu rasional (ulum ‘aqliyyah): seperti matematika, logika, filsafat, dan sains. Ilmu ini berguna untuk pengembangan akal dan penguatan hujjah.⁸

3)                  Ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan: seperti sejarah, ekonomi, sosiologi, serta keterampilan hidup. Ini penting untuk membentuk kesadaran sosial dan peran kekhalifahan manusia.

4)                  Pengembangan karakter dan akhlak (tazkiyah al-nafs): melalui pendidikan akhlak, praktik ibadah, pembiasaan, dan keteladanan.⁹

Kurikulum Islam menekankan integrasi antara teks dan konteks, antara wahyu dan realitas sosial, sehingga peserta didik tidak hanya paham agama secara teoritis, tetapi juga mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.

5.4.       Konsep Kurikulum Terintegrasi (Integrated Curriculum)

Para pemikir Muslim kontemporer, seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi, menekankan pentingnya integrasi ilmu sebagai landasan utama dalam pengembangan kurikulum Islam modern. Mereka mengkritik sistem pendidikan kolonial yang memisahkan ilmu agama dari ilmu sekuler, yang pada akhirnya merusak tatanan berpikir umat Islam.¹⁰

Al-Attas menawarkan konsep “Islamisasi ilmu pengetahuan” sebagai solusi untuk mengembalikan ilmu ke dalam kerangka nilai-nilai Islam.¹¹ Sementara al-Faruqi mengusulkan "Integrated Islamic Curriculum" sebagai pendekatan yang menyatukan seluruh cabang ilmu dalam kesatuan sistem nilai Islam.¹²

Dengan model ini, kurikulum pendidikan Islam menjadi sarana untuk membentuk generasi yang berilmu sekaligus beriman dan berakhlak mulia.

5.5.       Relevansi Kurikulum Islam di Era Kontemporer

Dalam menghadapi tantangan zaman modern, kurikulum pendidikan Islam harus adaptif tanpa kehilangan ruh nilai-nilainya. Perkembangan teknologi, globalisasi, dan krisis moral mengharuskan kurikulum untuk:

·                     Memasukkan literasi digital dan keterampilan abad 21,

·                     Menjaga nilai-nilai dasar akidah dan akhlak,

·                     Meningkatkan kemampuan berpikir kritis, kolaboratif, dan kreatif dalam bingkai tauhid.¹³

Kurikulum yang dirancang dengan baik dapat menjadi alat transformasi sosial dan spiritual yang efektif dalam mencetak generasi khairu ummah.


Kesimpulan Bab

Kurikulum dalam pendidikan Islam merupakan sistem terintegrasi yang bertujuan membentuk manusia paripurna dengan keseimbangan antara ilmu, amal, dan akhlak. Ia bersumber dari wahyu, didukung oleh akal, serta diarahkan pada pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan umat manusia. Kurikulum Islam bukan hanya instrumen akademik, tetapi juga peta jalan menuju pembentukan peradaban yang berkeadaban dan berketuhanan.


Footnotes

[1]                Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2009), 115.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 9.

[3]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2]: 2.

[4]                Hasan Langgulung, Pendidikan Islam: Suatu Analisa Filosofis dan Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 123.

[5]                Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium Baru (Jakarta: Kencana, 2012), 98.

[6]                M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 29.

[7]                Ibn Jama’ah, Tadhkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 37–38.

[8]                Ibn Sina, Risalah fi al-Tarbiyah, dalam Majid Fakhry (ed.), Islamic Philosophy: A Beginner’s Guide (Oxford: Oneworld, 2009), 79.

[9]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 3 (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.), 113–114.

[10]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 39.

[11]             Al-Attas, The Concept of Education in Islam, 18–21.

[12]             Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan (Herndon: IIIT, 1982), 27–30.

[13]             Direktorat KSKK Madrasah, Kurikulum Merdeka Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti (Jakarta: Kemenag RI, 2022), 13–14.


6.           Etika dan Akhlak dalam Pendidikan Islam

6.1.       Posisi Sentral Akhlak dalam Pendidikan Islam

Dalam tradisi keilmuan Islam, akhlak (etika moral) bukanlah aspek tambahan dalam pendidikan, tetapi merupakan inti dan tujuan utama dari proses pendidikan itu sendiri. Hal ini ditegaskan oleh sabda Nabi Muhammad Saw:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”_¹

Pernyataan ini menempatkan akhlak sebagai ruh dari seluruh aktivitas pendidikan. Pendidikan Islam bukan hanya berorientasi pada pencapaian akademik, tetapi lebih dalam lagi: membentuk pribadi yang beradab, jujur, amanah, dan bertanggung jawab di hadapan Allah dan masyarakat.

Menurut Imam Al-Ghazali, akhlak yang baik adalah buah dari proses tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa), yang hanya bisa dicapai melalui pendidikan yang benar.² Oleh karena itu, pendidikan akhlak bukan sekadar pengajaran teori moral, melainkan pembinaan batiniah yang mendalam.

6.2.       Landasan Etika dalam Pendidikan Islam

Etika dalam pendidikan Islam bertumpu pada tiga sumber utama:

1)                  Al-Qur’an, yang memberikan dasar normatif tentang nilai-nilai moral universal, seperti kejujuran, keadilan, kasih sayang, kesabaran, dan amanah (QS. Luqman [31] ayat 12–19).³

2)                  Sunnah Nabi, yang mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata. Nabi adalah model pendidikan etis par excellence (QS. Al-Ahzab [33] ayat 21).⁴

3)                  Ijtihad Ulama, yang menafsirkan dan mengembangkan nilai-nilai etika sesuai konteks zaman.

Etika pendidikan Islam mencakup hubungan vertikal (dengan Allah), horizontal (dengan sesama manusia), dan ekologis (dengan alam), sehingga menghasilkan pendidikan yang berwawasan tauhid dan berorientasi amal saleh.

6.3.       Nilai-Nilai Akhlak dalam Pendidikan

Pendidikan Islam mengajarkan berbagai nilai akhlak yang harus ditanamkan dalam proses pendidikan, antara lain:

·                     Ikhlas, sebagai landasan spiritual dalam menuntut ilmu dan mengajarkannya.⁵

·                     Tawadhu’ (rendah hati), baik bagi pendidik maupun peserta didik.

·                     Disiplin dan tanggung jawab, sebagai bagian dari amal shalih.

·                     Adab terhadap ilmu, guru, dan teman sejawat, sebagaimana dijelaskan dalam karya klasik seperti Ta‘līm al-Muta‘allim oleh Al-Zarnuji.⁶

Pendidikan akhlak dalam Islam tidak hanya diajarkan secara teoritis, tetapi ditanamkan melalui teladan, pembiasaan, dan pengawasan berkesinambungan.

6.4.       Peran Pendidik sebagai Teladan Akhlak

Pendidik dalam Islam tidak hanya berfungsi sebagai pengajar (mu‘allim), tetapi juga sebagai pendidik moral dan spiritual (murabbi dan mu’addib). Ia harus mencerminkan nilai-nilai akhlak dalam sikap dan perilakunya sehari-hari.

Syed Muhammad Naquib al-Attas menekankan bahwa pendidikan harus dimulai dari adab sebelum ilmu. Menurutnya, seseorang tidak layak disebut terdidik jika belum memiliki adab.⁷ Ini menjadikan teladan moral dari guru sebagai komponen paling penting dalam pembentukan kepribadian peserta didik.

6.5.       Strategi Penanaman Akhlak dalam Pendidikan

Untuk mewujudkan pendidikan yang berorientasi akhlak, diperlukan pendekatan yang integratif. Strategi penanaman akhlak dalam pendidikan Islam mencakup:

1)                  Internalisasi nilai, melalui pengajaran langsung dari sumber Islam dan diskusi kritis.

2)                  Pembiasaan (habitual training), seperti rutinitas ibadah, salam, jujur, dan bertanggung jawab.

3)                  Keteladanan, sebagai metode paling efektif dalam pendidikan moral.

4)                  Pengawasan dan evaluasi, untuk memastikan pembentukan karakter berlangsung secara konsisten.⁸

Lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, madrasah, dan sekolah Islam terpadu telah mengembangkan model ini dengan hasil yang cukup signifikan dalam membina akhlak generasi muda.

6.6.       Urgensi Pendidikan Akhlak di Era Kontemporer

Di tengah krisis moral global yang ditandai oleh dekadensi, individualisme, dan hedonisme, pendidikan akhlak dalam Islam menjadi sangat relevan dan mendesak. Tanpa pembinaan akhlak, pendidikan hanya akan menghasilkan manusia yang cerdas tetapi destruktif.

Pendidikan Islam harus tampil sebagai alternatif yang mampu menawarkan solusi nilai, yakni membentuk manusia yang berpengetahuan tinggi dan berakhlak mulia—sebuah kombinasi yang menjadi ciri khairu ummah.⁹


Kesimpulan Bab

Etika dan akhlak bukanlah aspek tambahan, tetapi merupakan jiwa dari pendidikan Islam. Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang membentuk manusia berilmu, beradab, dan bertanggung jawab secara spiritual dan sosial. Dalam kerangka ini, seluruh komponen pendidikan harus mendukung pembinaan akhlak mulia, mulai dari kurikulum, guru, metode, hingga lingkungan belajar.


Footnotes

[1]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-Adab, Hadis No. 4290.

[2]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 3 (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.), 32–34.

[3]                Al-Qur’an, Surah Luqman [31]: 12–19.

[4]                Al-Qur’an, Surah Al-Ahzab [33]: 21.

[5]                Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 76.

[6]                Al-Zarnuji, Ta‘līm al-Muta‘allim Ṭarīq at-Ta‘allum (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 25–27.

[7]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 19.

[8]                Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dan Perkembangannya di Dunia Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), 211.

[9]                Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium Baru (Jakarta: Kencana, 2012), 106.


7.           Perbandingan Pendidikan Islam dan Barat

7.1.       Latar Belakang Perbedaan

Sistem pendidikan Islam dan Barat berkembang dari landasan filosofis dan epistemologis yang berbeda. Pendidikan Islam berpijak pada wahyu sebagai sumber utama pengetahuan, sementara pendidikan Barat modern tumbuh dari akar filsafat humanisme, rasionalisme, dan sekularisme pasca-Pencerahan (Enlightenment).¹

Perbedaan ini bukan sekadar teknis atau metodologis, tetapi menyangkut pandangan dasar tentang hakikat manusia, tujuan hidup, dan makna ilmu. Oleh karena itu, memahami perbedaan ini penting agar umat Islam tidak sekadar meniru sistem Barat secara mentah, tetapi mampu mengembangkan model pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.

7.2.       Perbedaan Tujuan Pendidikan

Dalam Islam, tujuan pendidikan adalah untuk mencetak insan kamil—manusia yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia, yang mampu mengabdi kepada Allah Swt dan menjalankan amanah sebagai khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah [2] ayat 30).² Pendidikan Islam tidak hanya menekankan kemampuan intelektual, tetapi juga pembinaan moral dan spiritual.

Sementara itu, pendidikan Barat modern cenderung berorientasi pada pencapaian duniawi, seperti kemajuan ekonomi, kompetensi pasar kerja, dan efisiensi teknologis.³ Sejak era Renaissance dan Revolusi Industri, pendidikan di Barat dipisahkan dari nilai-nilai agama dan spiritualitas, sehingga cenderung sekuler dalam pendekatannya.⁴

Tujuan pendidikan dalam peradaban Barat adalah untuk menghasilkan manusia sebagai makhluk ekonomi dan sosial, bukan makhluk spiritual,” tegas Syed Muhammad Naquib al-Attas.⁵

7.3.       Perbedaan Pandangan tentang Ilmu

Dalam Islam, ilmu adalah amanah ilahiyah dan memiliki nilai sakral. Sumber ilmu adalah wahyu dan akal, yang keduanya harus dipadukan secara harmonis. Ilmu yang bermanfaat adalah yang mendekatkan manusia kepada Allah dan membimbing kepada amal saleh.⁶

Sebaliknya, dalam tradisi Barat modern, ilmu dianggap sebagai hasil murni dari rasio dan observasi empiris, tanpa keterkaitan dengan nilai metafisis atau keimanan. Pandangan ini lahir dari pengaruh positivisme dan empirisme, yang menolak wahyu sebagai sumber ilmu yang valid.⁷

Akibatnya, terjadi dikotomi ilmu dalam sistem pendidikan: ilmu agama dianggap subyektif dan privat, sementara ilmu sains dianggap objektif dan universal. Model ini bertolak belakang dengan pendidikan Islam yang memandang semua ilmu sebagai bagian dari kesatuan tauhid.

7.4.       Perbedaan Peran Guru dan Proses Pembelajaran

Dalam sistem pendidikan Islam, guru (mu’allim/murabbi) dipandang sebagai figur yang mulia dan memiliki tanggung jawab spiritual. Guru tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan membimbing ke jalan kebaikan.⁸ Guru ideal adalah mereka yang berakhlak baik dan menjadi teladan bagi murid-muridnya.

Sebaliknya, dalam pendidikan Barat kontemporer, guru lebih dilihat sebagai fasilitator pembelajaran. Relasi antara guru dan siswa bersifat horizontal dan netral. Pendidikan diposisikan sebagai proses pertukaran informasi, bukan pembentukan jiwa dan akhlak.⁹

7.5.       Dampak Sosial dan Peradaban

Pendidikan Islam sejak masa klasik telah melahirkan peradaban besar yang seimbang antara kecanggihan ilmu pengetahuan dan kemuliaan moral. Lembaga-lembaga seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad atau universitas Al-Azhar menunjukkan bahwa pendidikan Islam bersifat inklusif, integratif, dan berorientasi pada kemaslahatan umat.¹⁰

Sebaliknya, kemajuan pendidikan Barat sering dikritik karena menciptakan alienasi spiritual dan krisis moral, meskipun sukses dalam aspek sains dan teknologi. Pendidikan yang terlalu menekankan pada pencapaian material tanpa nilai transendental telah menyebabkan berbagai problematika seperti hedonisme, individualisme, dan krisis identitas.¹¹

7.6.       Upaya Integratif dan Rekonstruksi Pendidikan Islam

Sebagai respons atas dominasi sistem pendidikan Barat, sejumlah pemikir Muslim seperti Syed Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, dan Fazlur Rahman mengusulkan konsep rekonstruksi pendidikan Islam melalui pendekatan integrasi ilmu.¹²

Mereka menekankan perlunya mengembalikan ilmu ke dalam kerangka tauhid dan menolak dikotomi ilmu agama-ilmu dunia. Kurikulum harus disusun berdasarkan nilai-nilai Islam yang universal, dengan pendekatan ilmiah yang tetap kritis dan rasional.


Kesimpulan Bab

Perbandingan antara pendidikan Islam dan Barat menunjukkan bahwa keduanya dibangun atas dasar pandangan dunia (worldview) yang berbeda. Pendidikan Islam memiliki orientasi transendental dan moral-spiritual, sementara pendidikan Barat cenderung materialistik dan sekuler. Dalam konteks globalisasi saat ini, umat Islam perlu bijak dalam mengadopsi aspek positif pendidikan Barat tanpa mengorbankan nilai-nilai Islam yang hakiki.


Footnotes

[1]                Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Jakarta: Desantara, 2001), 156.

[2]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2]: 30.

[3]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 54.

[4]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 3–5.

[5]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 5.

[6]                Hasan Langgulung, Pendidikan Islam: Suatu Analisa Filosofis dan Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 77.

[7]                Auguste Comte, The Course in Positive Philosophy, ed. Frederic Harrison (New York: Cosimo, 2009), 12.

[8]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 3 (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.), 67.

[9]                Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row, 1971), 40–41.

[10]             George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 87.

[11]             Ziauddin Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures: A Ziauddin Sardar Reader (London: Pluto Press, 2003), 145.

[12]             Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan (Herndon: IIIT, 1982), 23–25.


8.           Problematika dan Tantangan Pendidikan Islam Kontemporer

8.1.       Krisis Identitas Pendidikan Islam

Salah satu tantangan utama pendidikan Islam saat ini adalah krisis identitas, yakni ketidakjelasan arah dan orientasi pendidikan dalam menjawab kebutuhan zaman tanpa kehilangan akar keislamannya. Banyak lembaga pendidikan Islam, baik di tingkat dasar hingga perguruan tinggi, mengalami dilema antara mempertahankan tradisi klasik (turāth) dengan tuntutan modernitas dan globalisasi.¹

Akibatnya, muncul kebingungan kurikuler, ketidakseimbangan antara ilmu agama dan ilmu umum, serta lemahnya visi transformatif dalam mencetak generasi yang berilmu dan berakhlak mulia.²

8.2.       Dikotomi Ilmu dan Kurikulum

Sistem pendidikan Islam kontemporer masih banyak yang menganut pola dikotomis, yaitu pemisahan antara ilmu agama dan ilmu dunia. Fenomena ini merupakan warisan kolonial yang memisahkan masjid dan madrasah dari sistem pendidikan formal modern.³

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, dikotomi ini menyebabkan terjadinya “loss of adab” dalam dunia pendidikan, yakni hilangnya kesadaran akan keterpaduan ilmu dan nilai-nilai tauhid dalam proses belajar.⁴ Pendidikan menjadi terfragmentasi dan kehilangan orientasi spiritual.

8.3.       Kelemahan Mutu Guru dan Tenaga Kependidikan

Kualitas guru dan tenaga pendidik dalam banyak lembaga pendidikan Islam masih menjadi persoalan serius. Beberapa tantangan di antaranya:

·                     Rendahnya profesionalisme dan kompetensi pedagogik.

·                     Minimnya pelatihan berbasis integrasi ilmu dan nilai Islam.

·                     Kurangnya insentif dan penghargaan yang layak, yang berdampak pada semangat dan produktivitas kerja.⁵

Padahal dalam Islam, guru adalah sosok sentral yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga mentransmisikan nilai-nilai moral dan spiritual.

8.4.       Tantangan Teknologi dan Globalisasi

Revolusi digital membawa dampak besar terhadap dunia pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Di satu sisi, teknologi dapat menjadi alat efektif dalam memperluas akses pendidikan, namun di sisi lain juga membawa tantangan serius seperti:

·                     Konten digital yang bebas nilai.

·                     Paparan terhadap ideologi sekuler dan liberalisme.

·                     Perubahan gaya belajar yang cepat dan serba instan, yang bisa bertentangan dengan prinsip tadarruj (bertahap) dalam Islam.⁶

Jika tidak diantisipasi dengan bijak, kemajuan teknologi justru dapat menjauhkan peserta didik dari nilai-nilai dasar keislaman dan mendorong gaya hidup konsumtif dan individualis.

8.5.       Lemahnya Integrasi Lembaga Pendidikan Islam dengan Masyarakat

Pendidikan Islam di beberapa wilayah masih terkesan eksklusif, tidak terhubung secara aktif dengan dinamika masyarakat. Kurangnya sinergi antara lembaga pendidikan dengan keluarga, komunitas, dan pemerintah menjadikan proses pendidikan kehilangan dukungan lingkungan yang kondusif.⁷

Padahal dalam paradigma Islam, pendidikan adalah tanggung jawab bersama (jama’i) yang melibatkan semua elemen umat. Lemahnya integrasi ini juga berdampak pada rendahnya daya saing lulusan lembaga pendidikan Islam dalam kehidupan sosial-ekonomi.

8.6.       Ketimpangan Akses dan Kualitas Pendidikan

Masih terdapat ketimpangan dalam akses dan kualitas pendidikan Islam antara kota dan desa, antara kelompok ekonomi atas dan bawah. Banyak pesantren dan madrasah di daerah terpencil yang kekurangan infrastruktur, tenaga pendidik, serta bahan ajar yang memadai.⁸

Ketimpangan ini menghambat realisasi tujuan pendidikan Islam sebagai alat pemberdayaan umat secara adil dan merata.

8.7.       Kurangnya Kajian Filsafat Pendidikan Islam Kontemporer

Filsafat pendidikan Islam belum banyak dikembangkan secara sistematis dalam konteks kekinian. Akibatnya, banyak lembaga pendidikan Islam hanya bersandar pada pendekatan pragmatis dan administratif, tanpa pemahaman mendalam tentang visi, nilai, dan arah epistemologis pendidikan Islam.⁹

Ini berdampak pada lemahnya inovasi dan kurangnya refleksi kritis dalam menghadapi tantangan zaman. Pengembangan teori dan praktik pendidikan Islam yang berbasis worldview Islam perlu menjadi prioritas dalam penelitian dan pengembangan keilmuan pendidikan Islam.


Kesimpulan Bab

Pendidikan Islam saat ini menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal, mulai dari krisis identitas, dikotomi kurikulum, lemahnya profesionalisme guru, hingga penetrasi ideologi asing melalui teknologi. Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan rekonstruksi pendidikan Islam yang holistik dan kontekstual, dengan tetap berpijak pada nilai-nilai wahyu dan kearifan tradisi keilmuan Islam. Sinergi antar-lembaga, peningkatan kualitas sumber daya, dan inovasi kurikulum berbasis tauhid menjadi langkah-langkah strategis yang mendesak untuk dilakukan.


Footnotes

[1]                Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium Baru (Jakarta: Kencana, 2012), 102.

[2]                Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Era Globalisasi (Jakarta: Kencana, 2010), 89.

[3]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 112.

[4]                Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 19–21.

[5]                M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2000), 311.

[6]                Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (New York: Oxford University Press, 2011), 234.

[7]                Hasan Langgulung, Pendidikan dan Perkembangan Manusia (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), 174.

[8]                Kementerian Agama RI, Laporan Tahunan Pendidikan Islam 2022 (Jakarta: Ditjen Pendis, 2022), 34–35.

[9]                Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 53–54.


9.           Strategi Revitalisasi Pendidikan Islam

9.1.       Urgensi Revitalisasi Pendidikan Islam

Revitalisasi pendidikan Islam merupakan kebutuhan mendesak dalam menjawab tantangan zaman yang terus berkembang, seperti krisis moral, penetrasi budaya sekuler, dan kemajuan teknologi yang pesat. Pendidikan Islam tidak boleh bersifat stagnan dan terpaku pada bentuk tradisional semata, melainkan harus menghidupkan kembali nilai-nilai autentik Islam dengan pendekatan yang relevan dan transformatif.

Menurut Azyumardi Azra, revitalisasi pendidikan Islam harus dimulai dengan pembenahan visi, rekonstruksi kurikulum, penguatan kelembagaan, serta peningkatan kualitas guru dan peserta didik secara berkelanjutan.¹

9.2.       Penguatan Landasan Filosofis dan Epistemologis

Langkah awal dalam revitalisasi pendidikan Islam adalah memperkuat landasan filosofis dan epistemologis yang berbasis pada tauhid. Sistem pendidikan Islam harus berakar pada pandangan dunia Islam (Islamic worldview) yang menyatukan antara wahyu dan akal, ilmu dan amal, dunia dan akhirat.²

Syed Muhammad Naquib al-Attas menekankan pentingnya Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai kerangka filosofis dalam membangun sistem pendidikan Islam yang utuh dan tidak terjerumus dalam sekularisasi.³ Tanpa landasan ini, pendidikan Islam akan kehilangan arah dan hanya menjadi tiruan sistem Barat.

9.3.       Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum

Revitalisasi pendidikan Islam mensyaratkan adanya integrasi antara ilmu agama (naqliyah) dan ilmu umum (aqliyah) dalam kurikulum secara harmonis. Ilmu tidak boleh dipisahkan secara dikotomis, melainkan dipadukan dalam kerangka nilai-nilai Islam.

Model integrasi ini telah dikembangkan oleh beberapa institusi seperti Universitas Islam Negeri (UIN) dan International Islamic University Malaysia (IIUM), dengan mengusung pendekatan interdisipliner dan transdisipliner dalam pendidikan.⁴

Fazlur Rahman mengusulkan pendekatan double movement, yaitu membaca teks wahyu secara kontekstual dan menjadikannya relevan untuk membangun sistem pendidikan yang responsif terhadap realitas sosial modern.⁵

9.4.       Peningkatan Profesionalisme Guru

Guru merupakan elemen strategis dalam proses revitalisasi pendidikan. Diperlukan upaya sistemik untuk:

·                     Meningkatkan kompetensi pedagogik dan spiritual guru,

·                     Menyelenggarakan pelatihan terpadu berbasis nilai-nilai Islam,

·                     Menumbuhkan budaya akademik dan riset di kalangan pendidik,

·                     Menyejahterakan guru secara ekonomi agar lebih fokus dalam mendidik.

Dalam Islam, guru bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga pembina akhlak dan panutan moral.⁶ Oleh karena itu, pendidikan guru harus disusun dalam kerangka ta’dib—yakni pembentukan adab, ilmu, dan hikmah.

9.5.       Penguatan Kelembagaan dan Kepemimpinan Pendidikan

Lembaga pendidikan Islam perlu dikelola secara profesional dan visioner. Strategi penguatan kelembagaan mencakup:

·                     Penerapan tata kelola (governance) berbasis nilai Islam,

·                     Pemberdayaan pesantren, madrasah, dan sekolah Islam modern sebagai pusat pendidikan karakter dan spiritual,

·                     Digitalisasi manajemen pendidikan yang efisien dan akuntabel.

Pimpinan lembaga pendidikan Islam harus memiliki leadership berbasis nilai (value-based leadership), yaitu kepemimpinan yang mengintegrasikan spiritualitas, etika, dan manajemen modern.⁷

9.6.       Kontekstualisasi Kurikulum dan Metode Pembelajaran

Kurikulum pendidikan Islam harus dikontekstualisasikan dengan realitas sosial dan kebutuhan zaman. Strategi pembaruan kurikulum meliputi:

·                     Integrasi nilai Islam ke dalam seluruh mata pelajaran,

·                     Pengembangan kurikulum tematik berbasis kompetensi dan karakter,

·                     Penerapan metode pembelajaran aktif, kolaboratif, dan partisipatif,

·                     Pemanfaatan teknologi digital dan media interaktif untuk pembelajaran.

Kurikulum tidak hanya berisi muatan kognitif, tetapi juga harus mendidik peserta didik agar mampu hidup secara etis, mandiri, dan bertanggung jawab dalam masyarakat.⁸

9.7.       Kolaborasi dan Sinergi Multi-Pihak

Revitalisasi pendidikan Islam tidak bisa dilakukan secara parsial. Dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, dan dunia usaha. Strategi ini dapat diwujudkan melalui:

·                     Program kemitraan (partnership) antara sekolah dengan lingkungan industri dan organisasi keagamaan,

·                     Pemberdayaan alumni dan tokoh masyarakat untuk mendukung proses pendidikan,

·                     Peningkatan partisipasi orang tua dalam pembinaan karakter anak.

Pendidikan Islam adalah tanggung jawab kolektif, bukan hanya lembaga formal.⁹


Kesimpulan Bab

Revitalisasi pendidikan Islam harus dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan, dimulai dari pembaruan filosofi dan kurikulum, peningkatan kualitas guru, hingga penguatan kelembagaan dan jaringan sosial. Dengan tetap berpijak pada nilai-nilai tauhid, pendidikan Islam akan mampu menjawab tantangan zaman dan melahirkan generasi yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.


Footnotes

[1]                Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium Baru (Jakarta: Kencana, 2012), 120.

[2]                Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2009), 89.

[3]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 3–4.

[4]                Komaruddin Hidayat, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Paramadina, 2006), 45.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 7–8.

[6]                Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim Ṭarīq at-Ta‘allum (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 22–24.

[7]                Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 113.

[8]                Kementerian Agama RI, Kurikulum Merdeka Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti (Jakarta: Dirjen Pendis, 2022), 14–15.

[9]                Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dan Perkembangannya di Dunia Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), 211.


10.       Penutup

Pendidikan dalam Islam merupakan sistem yang holistik, integratif, dan transformatif, berlandaskan pada nilai-nilai tauhid dan wahyu ilahi. Islam tidak memisahkan antara ilmu dan iman, antara dunia dan akhirat, atau antara teori dan praktik. Sebaliknya, pendidikan Islam diarahkan untuk mencetak manusia paripurna (insan kāmil) yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.¹

Sebagaimana ditegaskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, inti pendidikan Islam adalah penanaman adab, yakni pengakuan terhadap tempat sesuatu secara tepat dalam tatanan wujud.² Ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan semata proses kognitif atau transfer pengetahuan, tetapi proses pembentukan jiwa dan pengembangan karakter dalam bingkai nilai-nilai Ilahiyah.

Sepanjang pembahasan artikel ini, telah dijelaskan bahwa konsep dasar pendidikan Islam berpijak pada nilai-nilai wahyu dan tradisi keilmuan yang mendalam. Pendidikan bertujuan tidak hanya untuk membekali keterampilan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan tugas manusia sebagai khalifah di bumi dan hamba Allah.³

Selanjutnya, pendidikan Islam memiliki komponen-komponen strategis seperti pendidik, peserta didik, materi, metode, dan lingkungan, yang semuanya diarahkan pada pencapaian tujuan spiritual dan sosial. Kurikulum pendidikan Islam yang efektif harus mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu dunia secara harmonis, serta dikontekstualisasikan dengan tantangan zaman.⁴

Namun, dalam konteks kontemporer, pendidikan Islam menghadapi berbagai tantangan, seperti krisis identitas, dikotomi kurikulum, lemahnya kualitas guru, serta dampak globalisasi dan teknologi. Hal ini menuntut adanya strategi revitalisasi yang menyeluruh dan terencana, dimulai dari penguatan filsafat pendidikan Islam, integrasi kurikulum, peningkatan kapasitas pendidik, hingga transformasi kelembagaan.⁵

Dengan demikian, untuk membangun masa depan pendidikan Islam yang berdaya saing dan tetap menjunjung nilai-nilai ilahiyah, diperlukan komitmen kolektif dari semua elemen umat: pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, dan individu. Pendidikan Islam yang sejati adalah pendidikan yang mampu melahirkan generasi berilmu dan beradab, yang mampu memberi kontribusi bagi peradaban global tanpa kehilangan identitasnya sebagai Muslim.⁶

Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa pendidikan Islam bukan hanya sistem pengajaran, melainkan proses pemanusiaan manusia berdasarkan kehendak Ilahi. Melalui pendidikan Islam yang benar, diharapkan lahir pribadi-pribadi yang unggul, sadar akan tanggung jawabnya di dunia dan akhirat, serta mampu mewujudkan masyarakat yang adil, beradab, dan diridhai Allah Swt.


Footnotes

[1]                Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2009), 74.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 3–4.

[3]                M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 23.

[4]                Hasan Langgulung, Pendidikan Islam: Suatu Analisa Filosofis dan Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 111.

[5]                Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium Baru (Jakarta: Kencana, 2012), 122.

[6]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 9.


Daftar Pustaka

Al-Abrasyi, M. A. (1996). Dasar-dasar pokok pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Al-Attas, S. M. N. (1991). The concept of education in Islam: A framework for an Islamic philosophy of education. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Ghazali. (n.d.). Ihya’ ‘Ulumuddin (Vol. 1–4). Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Zarnuji. (2005). Ta‘lim al-Muta‘allim Ṭarīq at-Ta‘allum (ed. Dar al-Fikr). Beirut: Dar al-Fikr.

Azra, A. (2012). Pendidikan Islam: Tradisi dan modernisasi di tengah tantangan milenium baru. Jakarta: Kencana.

Comte, A. (2009). The course in positive philosophy (F. Harrison, Ed.). New York: Cosimo.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. New York: Macmillan.

Faruqi, I. R. (1982). Islamization of knowledge: General principles and work plan. Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought (IIIT).

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). New York: Continuum.

Hidayat, K. (2006). Menggagas paradigma baru pendidikan Islam. Jakarta: Paramadina.

Illich, I. (1971). Deschooling society. New York: Harper & Row.

Kementerian Agama Republik Indonesia. (2022). Kurikulum Merdeka Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.

Kementerian Agama Republik Indonesia. (2022). Laporan tahunan pendidikan Islam 2022. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.

Langgulung, H. (1986). Pendidikan dan perkembangan manusia. Jakarta: Pustaka Al-Husna.

Langgulung, H. (1993). Pendidikan Islam: Suatu analisa filosofis dan pemikiran tokoh-tokoh Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna.

Makdisi, G. (1981). The rise of colleges: Institutions of learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Nata, A. (2009). Perspektif Islam tentang pendidikan. Jakarta: Kencana.

Nata, A. (2010). Pendidikan Islam di era globalisasi. Jakarta: Kencana.

Nizar, S. (2002). Filsafat pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Sardar, Z. (2003). Islam, postmodernism and other futures: A Ziauddin Sardar reader. London: Pluto Press.

Sardar, Z. (2011). Reading the Qur’an: The contemporary relevance of the sacred text of Islam. New York: Oxford University Press.

Shihab, M. Q. (2000). Wawasan al-Qur’an: Tafsir maudhu’i atas pelbagai persoalan umat. Bandung: Mizan.

Wahid, A. (2001). Pergulatan negara, agama, dan kebudayaan. Jakarta: Desantara.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar