Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam
Konsep, Tujuan, dan Implementasi
Alihkan ke: Ilmu Pendidikan I, Ilmu Pendidikan II.
Sistem Pemerintahan, Sistem Hukum, Sistem Ekonomi, Sistem Pendidikan.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep,
tujuan, dan implementasi pendidikan dalam perspektif Islam. Pendidikan Islam
dipahami sebagai proses integral yang tidak hanya mentransfer pengetahuan,
tetapi juga membentuk karakter, akhlak, dan kesadaran spiritual peserta didik.
Berbasis pada ajaran wahyu dan akal, pendidikan Islam bertujuan membentuk insan
kamil yang beriman, berilmu, dan bertanggung jawab sebagai khalifah di bumi.
Pembahasan dimulai dari konsep dasar pendidikan Islam yang mencakup istilah
tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib, dilanjutkan dengan tujuan dan hakikat pendidikan,
komponen-komponen utama (guru, peserta didik, kurikulum, metode, dan
lingkungan), hingga perbandingan dengan sistem pendidikan Barat. Artikel ini
juga mengulas problematika kontemporer seperti krisis identitas, dikotomi ilmu,
dan tantangan globalisasi, serta menawarkan strategi revitalisasi pendidikan
Islam melalui integrasi kurikulum, peningkatan profesionalisme guru, dan
penguatan kelembagaan. Kajian ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam yang
dibangun di atas dasar nilai-nilai tauhid dan akhlak memiliki potensi besar
dalam mencetak generasi beradab dan berdaya saing global.
Kata Kunci: Pendidikan Islam, insan kamil, kurikulum
integratif, adab, revitalisasi pendidikan, worldview Islam.
PEMBAHASAN
Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam
1.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan
pilar utama dalam pembangunan peradaban manusia. Dalam sejarah panjang umat
manusia, tidak ada satu pun peradaban besar yang terbentuk tanpa fondasi
pendidikan yang kuat. Islam, sebagai agama yang membawa misi rahmatan lil
‘alamin, memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan, baik
secara konsep maupun implementasi. Bahkan, wahyu pertama yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw memuat perintah untuk membaca (iqra'), yang menjadi simbol
awal dari gerakan pendidikan dalam Islam.¹
Pendidikan dalam
Islam tidak hanya dipahami sebagai proses mentransfer ilmu, tetapi juga sebagai
usaha menanamkan nilai-nilai akhlak, membentuk kepribadian yang utuh, serta
mengantarkan manusia kepada pengenalan dan pengabdian kepada Allah Swt. Dengan demikian, pendidikan dalam Islam
memiliki dimensi yang sangat luas dan mendalam, yang tidak hanya mencakup aspek
kognitif dan afektif, tetapi juga spiritual dan moral.²
Dalam lintasan
sejarahnya, para ulama dan cendekiawan Muslim telah merumuskan berbagai konsep
dan pendekatan pendidikan yang menyeluruh. Tokoh-tokoh seperti Al-Ghazali,
Ibn Sina,
Ibn
Khaldun, hingga Syed Muhammad Naquib al-Attas,
telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan teori pendidikan Islam
yang berbasis pada wahyu dan akal.³ Konsep seperti ta’dib (pemberian adab), tarbiyah
(pengembangan), dan ta’lim (pengajaran) menjadi istilah
kunci yang menunjukkan keluasan makna pendidikan dalam perspektif Islam.⁴
Sayangnya, dalam
realitas kontemporer, pendidikan Islam sering dihadapkan pada berbagai
tantangan serius, seperti sekularisasi ilmu, pemisahan antara ilmu agama dan
ilmu umum, hingga lemahnya orientasi akhlak dalam sistem pendidikan. Oleh
karena itu, kajian ulang terhadap konsep dan implementasi pendidikan dalam
Islam menjadi sangat urgen untuk membangun sistem pendidikan yang tidak hanya
cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan etis.⁵
Artikel ini
bertujuan untuk mengulas secara komprehensif tentang konsep, tujuan, serta
implementasi pendidikan dalam perspektif Islam dengan pendekatan normatif dan
historis. Diharapkan, pembahasan ini dapat menjadi kontribusi dalam upaya
revitalisasi pendidikan Islam yang holistik dan transformatif di era modern.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 134.
[2]
Hasan Langgulung, Pendidikan dan Perkembangan Manusia
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), 35.
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC,
1991), 2–4.
[4]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr,
n.d.), 55.
[5]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium Baru (Jakarta: Kencana, 2012), 21–23.
2.
Konsep Dasar Pendidikan dalam Islam
2.1.
Pengertian Pendidikan dalam Perspektif Islam
Pendidikan dalam
Islam memiliki cakupan makna yang sangat luas. Secara etimologis, istilah
“pendidikan” dalam bahasa Arab diterjemahkan ke dalam beberapa istilah penting,
yaitu tarbiyah,
ta’lim,
dan ta’dib.
Masing-masing istilah ini memiliki nuansa makna yang berbeda namun saling
melengkapi.
Istilah tarbiyah
berasal dari kata rabb, yang berarti memelihara,
mengembangkan, dan membimbing secara bertahap hingga mencapai kesempurnaan.
Maka, tarbiyah
mengandung makna proses pengembangan potensi manusia secara menyeluruh dan
berkelanjutan.¹
Sementara itu, ta’lim
berasal dari akar kata ‘alima–yu’allimu, yang berarti
memberi ilmu atau mengajarkan. Istilah ini lebih menekankan pada aspek
kognitif, yaitu penyampaian dan penguasaan ilmu pengetahuan.²
Adapun ta’dib
mengacu pada proses penanaman adab, yang oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas
dianggap sebagai istilah paling tepat dalam menggambarkan pendidikan Islam
secara integral, karena mencakup dimensi ilmu, akhlak, dan spiritualitas.³
Menurutnya, pendidikan Islam adalah proses penanaman adab yang benar kepada
manusia, yang mencerminkan pengenalan dan pengakuan terhadap tempat segala
sesuatu pada kedudukannya yang tepat dalam tatanan wujud.⁴
Dengan demikian,
pendidikan dalam Islam tidak hanya dimaknai sebagai proses pengajaran (transfer
of knowledge), tetapi juga sebagai proses pembentukan kepribadian dan moral
(transfer of values) yang mengarah kepada penyempurnaan insan secara menyeluruh
(insan kamil).
2.2.
Sumber-Sumber Pendidikan Islam
Konsep pendidikan
Islam bersumber pada wahyu (Al-Qur’an dan Hadis), serta hasil ijtihad para
ulama sepanjang sejarah Islam. Al-Qur’an mengandung banyak ayat yang
menunjukkan pentingnya ilmu, seperti firman Allah Swt:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ
وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?’” (QS. Az-Zumar [39] ayat 9).⁵
Selain itu, sabda
Nabi Muhammad Saw yang menyatakan bahwa “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim”
menjadi dasar normatif kewajiban pendidikan dalam Islam.⁶ Hadis ini tidak hanya
menjelaskan keutamaan ilmu, tetapi juga menekankan bahwa menuntut ilmu
merupakan kewajiban individual (fardhu ‘ain) bagi setiap Muslim, baik laki-laki
maupun perempuan.
Para ulama juga
menekankan pentingnya akal sebagai alat untuk memahami wahyu. Dengan demikian,
pendidikan dalam Islam bersifat wahyu-akliah (integrasi antara
wahyu dan akal), bukan sekadar sistem pembelajaran rasionalistik atau
dogmatis.⁷
2.3.
Karakteristik Pendidikan Islam
1)
Pendidikan Islam memiliki
karakteristik khas yang membedakannya dari sistem pendidikan lain. Beberapa
karakteristik utama tersebut adalah:
2)
Bersumber dari wahyu
Ilahi, sehingga memiliki landasan teologis dan etis yang kokoh.
3)
Berorientasi pada
akhirat, tetapi tidak mengabaikan kehidupan dunia. Islam
mendorong keseimbangan antara kehidupan spiritual dan material.
4)
Holistik dan integral,
mencakup aspek intelektual, emosional, moral, dan spiritual.
5)
Menempatkan guru
sebagai teladan (uswah hasanah), bukan sekadar pengajar.
6)
Menekankan pembentukan
akhlak, bukan hanya pencapaian akademik.
Pendidikan Islam
juga menekankan pada tawhid sebagai asas utama. Tawhid
bukan hanya diajarkan sebagai pelajaran akidah, tetapi dijadikan prinsip
pengikat dalam seluruh aktivitas pendidikan.⁸ Dengan tawhid sebagai pusatnya,
pendidikan Islam diarahkan untuk membentuk manusia yang menyadari tugas
kekhalifahannya di muka bumi.
Kesimpulan Bab
Konsep pendidikan
dalam Islam sangat kaya dan dalam, tidak hanya sebagai proses akademik, tetapi
juga spiritual dan etis. Dengan fondasi pada tarbiyah, ta’lim,
dan ta’dib,
serta bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, pendidikan Islam bertujuan untuk
melahirkan manusia paripurna (insan kamil) yang berilmu, berakhlak, dan
bertakwa kepada Allah Swt.
Footnotes
[1]
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pendidikan (Jakarta:
Kencana, 2009), 23.
[2]
Hasan Langgulung, Pendidikan dan Perkembangan Manusia
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), 112.
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC,
1991), 1–3.
[4]
Ibid., 5.
[5]
Al-Qur’an, Surah Az-Zumar [39]: 9.
[6]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-‘Ilm, Hadis No. 3643.
[7]
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi
dan Demokratisasi (Jakarta: Kompas, 2002), 74.
[8]
M. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 17–19.
3.
Tujuan dan Hakikat Pendidikan dalam Islam
3.1.
Tujuan Pendidikan dalam Islam: Menuju Insan
Kamil
Dalam perspektif
Islam, tujuan pendidikan tidak hanya terbatas pada pencapaian aspek intelektual
dan profesional, tetapi juga mencakup dimensi spiritual dan moral yang lebih
dalam. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah membentuk insan
kamil, yaitu manusia paripurna yang mengenal dan mengabdi
sepenuhnya kepada Allah Swt, berakhlak mulia, serta mampu menjalankan fungsi
kekhalifahan di bumi.¹
Konsep ini selaras
dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS. Adz-Dzariyat [51]
ayat 56)²
Ayat ini menunjukkan
bahwa pendidikan dalam Islam pada hakikatnya bertujuan untuk menghantarkan
manusia kepada pengenalan (ma’rifah
) dan penghambaan (‘ubudiyyah
)
yang sejati kepada Allah Swt.³
Menurut Syed
Muhammad Naquib al-Attas, tujuan pendidikan Islam adalah “untuk menghasilkan
manusia yang baik (good man)”, bukan sekadar manusia yang memiliki
keterampilan profesional.⁴ Ini berbeda dengan sistem pendidikan sekuler yang
sering kali menitikberatkan pada tujuan pragmatis dan duniawi semata, seperti
kesuksesan materi dan penguasaan teknologi. Dalam pendidikan Islam,
keberhasilan pendidikan diukur dari sejauh mana seseorang mampu menunaikan
hak-hak Allah, dirinya sendiri, sesama manusia, dan alam semesta.
3.2.
Tujuan Antara Pendidikan: Akhlak, Ilmu, dan
Amal
Selain tujuan akhir
berupa insan kamil, Islam juga menetapkan sejumlah tujuan
antara (ghayah wasithah) dalam proses pendidikan, antara lain:
1)
Menumbuhkan akhlak
mulia.
Akhlak menempati posisi sentral dalam pendidikan
Islam. Nabi Muhammad Saw bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ
مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia.”_⁵
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan yang tidak menghasilkan akhlak tidak dapat
dikatakan berhasil dalam konteks Islam.
2)
Menumbuhkan semangat
keilmuan.
Islam adalah agama yang sangat menghargai ilmu.
Pencarian ilmu bukan hanya diperintahkan, tetapi juga dimuliakan.⁶ Proses
pendidikan diarahkan untuk melahirkan pribadi yang gemar menuntut ilmu dan
mengamalkannya.
3)
Mengembangkan potensi
manusia secara menyeluruh (jasmani, akal, dan ruh).
Pendidikan Islam tidak bersifat parsial, tetapi
integratif dan seimbang antara dunia dan akhirat.
3.3.
Hakikat Pendidikan: Proses Tazkiyah dan Tahdzib
Hakikat pendidikan
dalam Islam adalah proses tazkiyah (penyucian jiwa) dan tahdzib
(pembinaan akhlak) yang berkelanjutan. Proses ini tidak hanya terjadi di bangku
sekolah, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan. Pendidikan dalam Islam bukan
hanya kegiatan akademik, tetapi juga ibadah.⁷
Sebagaimana
dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali, pendidikan bertujuan untuk menyucikan jiwa dan
mengisinya dengan berbagai keutamaan. Dalam kitab Ayyuhal Walad, Al-Ghazali
menekankan bahwa ilmu yang tidak dibarengi dengan amal dan akhlak yang baik
adalah sia-sia.⁸ Oleh karena itu, orientasi utama pendidikan adalah pada
perubahan diri secara hakiki, bukan sekadar pengetahuan kognitif.
3.4.
Pendidikan dan Fungsi Kekhalifahan
Islam memandang
manusia sebagai khalifah Allah di bumi (QS.
Al-Baqarah [2] ayat 30). Pendidikan dalam Islam harus diarahkan untuk membekali
manusia agar dapat menjalankan amanah tersebut. Artinya, pendidikan bukan
sekadar membentuk individu yang taat beragama, tetapi juga yang mampu memberi
kontribusi bagi masyarakat dan alam secara bertanggung jawab.⁹
Dengan demikian,
pendidikan Islam mengintegrasikan antara dimensi ketuhanan (ubudiyyah)
dan dimensi
kemanusiaan (khalifah). Ia mempersiapkan manusia agar mampu
mengabdi kepada Allah sekaligus menjalankan tugas sosial dan peradaban di bumi
secara bijak.
Kesimpulan Bab
Tujuan dan hakikat
pendidikan dalam Islam bersifat transendental dan integratif. Pendidikan
diarahkan untuk melahirkan pribadi yang mengenal Tuhannya, mengembangkan
potensi dirinya, berakhlak mulia, serta menjalankan tanggung jawab sosialnya
sebagai khalifah di bumi. Inilah ciri khas pendidikan Islam yang membedakannya
dari sistem pendidikan sekuler.
Footnotes
[1]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC,
1991), 10–12.
[2]
Al-Qur’an, Surah Adz-Dzariyat [51]: 56.
[3]
M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 23.
[4]
Al-Attas, The Concept of Education in Islam, 14.
[5]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-Adab, Hadis No. 4290.
[6]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium Baru (Jakarta: Kencana, 2012), 42.
[7]
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pendidikan (Jakarta:
Kencana, 2009), 66.
[8]
Al-Ghazali, Ayyuhal Walad, ed. Abu Bakar al-Ajiri (Beirut: Dar
al-Minhaj, 2005), 15.
[9]
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam: Suatu Analisa Filosofis dan
Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 55.
4.
Komponen Pendidikan Islam
Pendidikan Islam
adalah sistem yang holistik dan integratif, yang tidak hanya memandang
pendidikan sebagai proses transfer ilmu, tetapi juga sebagai pembentukan
karakter dan pembinaan jiwa. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, terdapat
beberapa komponen utama dalam sistem pendidikan Islam
yang saling berkaitan dan membentuk satu kesatuan utuh, yaitu: pendidik,
peserta
didik, materi pendidikan, metode
pendidikan, dan lingkungan pendidikan.
4.1.
Pendidik (Al-Mu’allim)
Dalam Islam,
pendidik memiliki kedudukan yang sangat mulia. Nabi Muhammad Saw sendiri
dikenal sebagai mu’allim atau guru bagi umat
manusia. Pendidik tidak hanya dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan, tetapi
juga harus memiliki akhlak yang tinggi, menjadi teladan (uswah hasanah), serta
memahami peran spiritual dalam proses pendidikan.¹
Menurut Imam
Al-Zarnuji, seorang guru harus mengajarkan ilmu dengan niat ikhlas karena
Allah, serta memiliki rasa kasih sayang kepada murid-muridnya.² Sementara Syed
Naquib al-Attas menegaskan bahwa pendidik adalah mereka yang telah “terdidik”
terlebih dahulu, karena tidak mungkin seseorang dapat mendidik orang lain tanpa
terlebih dahulu mendidik dirinya sendiri.³
4.2.
Peserta Didik (Al-Muta’allim)
Peserta didik dalam
Islam dipandang sebagai manusia yang memiliki potensi fitrah untuk menerima dan
mengembangkan ilmu. Islam memandang anak didik bukan sebagai kertas kosong,
tetapi sebagai makhluk yang membawa potensi bawaan yang perlu diarahkan.⁴
Ibn Khaldun
menyatakan bahwa proses belajar seharusnya tidak memaksa, tetapi memperhatikan
kesiapan jiwa anak dan tahap-tahap perkembangan akalnya.⁵ Oleh karena itu,
pendekatan pendidikan dalam Islam menekankan pada pembinaan karakter dan akhlak
sejak usia dini, serta menumbuhkan kesadaran untuk belajar seumur hidup (thalabul
‘ilmi faridhah).
4.3.
Materi Pendidikan
Materi pendidikan
dalam Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun
ukhrawi. Tidak ada dualisme antara ilmu agama dan ilmu dunia. Semua ilmu yang
bermanfaat dianggap sebagai bagian dari Islam, selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariat.⁶
Hasan Langgulung
mengelompokkan materi pendidikan Islam menjadi dua bagian utama:
1)
Ilmu-ilmu naqliyah
(wahyu): seperti tafsir, hadis, fiqh, tauhid.
2)
Ilmu-ilmu ‘aqliyah
(rasional dan empiris): seperti matematika, kedokteran,
astronomi, dsb.⁷
Tujuan utama dari
materi pendidikan adalah menanamkan tauhid, membentuk akhlak, dan
membekali keterampilan hidup yang bermanfaat.
4.4.
Metode Pendidikan
Metode pendidikan
dalam Islam sangat beragam dan fleksibel, tergantung pada situasi, kondisi,
serta tahap perkembangan peserta didik. Di antara metode yang sering digunakan
dalam pendidikan Islam antara lain:
·
Uswah
hasanah (keteladanan): Rasulullah Saw adalah contoh teladan
utama dalam pendidikan.⁸
·
Mau’izhah
(nasihat): Memberikan wejangan atau petuah moral untuk
menyentuh hati peserta didik.
·
Hiwar
(dialog): Sebuah pendekatan yang menumbuhkan pemikiran kritis
dan mendalam.
·
Tadrib
(latihan/pembiasaan): Untuk menumbuhkan akhlak dan kebiasaan
baik dalam praktik.
·
Tadrīj
(bertahap): Proses pendidikan disesuaikan dengan kemampuan dan
tahap pemahaman peserta didik.⁹
Metode ini semua
dirancang untuk mendidik aspek intelektual, emosional, dan spiritual peserta
didik secara harmonis.
4.5.
Lingkungan Pendidikan
Lingkungan memiliki
peran penting dalam membentuk kepribadian peserta didik. Dalam Islam,
pendidikan tidak terbatas pada ruang kelas, tetapi mencakup lingkungan
keluarga, masyarakat, dan lembaga formal.
1)
Keluarga
adalah madrasah pertama dan utama. Orang tua bertanggung jawab mendidik anak
sejak lahir.¹⁰
2)
Masyarakat
berfungsi sebagai kontrol sosial dan tempat praktik nilai-nilai keislaman.
3)
Lembaga pendidikan
formal (seperti madrasah, sekolah, pesantren) bertugas
menanamkan ilmu dan adab secara sistematis.
Ibnu Sina dalam
karyanya Risalah
fi al-Tarbiyah menyebut bahwa pendidikan akan berhasil apabila
ketiga lingkungan tersebut bekerja secara sinergis.¹¹
Kesimpulan Bab
Komponen pendidikan
dalam Islam tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pendidik, peserta didik,
materi, metode, dan lingkungan semuanya memiliki peran integral dalam membentuk
kepribadian dan karakter seorang Muslim sejati. Sistem pendidikan Islam
menempatkan seluruh unsur ini dalam bingkai nilai-nilai tauhid, akhlak, dan
kemanusiaan yang luhur.
Footnotes
[1]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC,
1991), 17.
[2]
Al-Zarnuji, Ta‘lim al-Muta‘allim Thariq at-Ta‘allum, ed.
Muhammad Abduh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005), 18.
[3]
Al-Attas, The Concept of Education in Islam, 19.
[4]
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pendidikan (Jakarta:
Kencana, 2009), 58.
[5]
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, ed. Franz Rosenthal
(Princeton: Princeton University Press, 2005), 300.
[6]
M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 27.
[7]
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam: Suatu Analisa Filosofis dan
Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 121.
[8]
Al-Qur’an, Surah Al-Ahzab [33]: 21.
[9]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium Baru (Jakarta: Kencana, 2012), 95–96.
[10]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 3 (Beirut: Dar al-Fikr,
n.d.), 112.
[11]
Ibn Sina, Risalah fi al-Tarbiyah, dalam Majid Fakhry (ed.), Islamic
Philosophy: A Beginner’s Guide (Oxford: Oneworld, 2009), 78–79.
5.
Kurikulum dalam Perspektif Pendidikan Islam
5.1.
Pengertian dan Fungsi Kurikulum
Secara umum,
kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
serta materi pelajaran dan cara yang digunakan sebagai pedoman dalam
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Dalam pendidikan Islam, kurikulum tidak
hanya berfungsi sebagai perangkat teknis-instruksional, tetapi juga sebagai
sarana pengembangan
fitrah dan pembinaan kepribadian Islam secara menyeluruh.¹
Dalam pandangan
Islam, kurikulum harus disusun berdasarkan prinsip tauhid yang menjadikan Allah
sebagai pusat segala orientasi pendidikan. Kurikulum bukan sekadar instrumen
akademik, tetapi juga media pembinaan nilai-nilai keimanan, akhlak, dan
tanggung jawab sosial.² Maka dari itu, kurikulum pendidikan Islam memiliki ciri
khas yang membedakannya dari sistem kurikulum sekuler.
5.2.
Prinsip Dasar Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan
Islam dirancang berdasarkan prinsip-prinsip fundamental berikut:
1)
Tauhid sebagai dasar
dan tujuan.
Seluruh muatan kurikulum harus bermuara pada
penguatan iman dan pengakuan terhadap keesaan Allah (QS. Al-Baqarah [2] ayat
2).³
2)
Kesatuan ilmu (‘ilm).
Islam tidak mengenal dikotomi ilmu agama dan ilmu
umum. Semua ilmu yang membawa manfaat dan tidak bertentangan dengan syariat
dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam.⁴
3)
Keseimbangan
dunia-akhirat.
Kurikulum harus menyeimbangkan aspek material dan
spiritual, teori dan praktik, dunia dan akhirat.⁵
4)
Keterpaduan antara
aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Tujuan pendidikan Islam bukan hanya mencerdaskan
otak, tetapi juga membersihkan hati dan membentuk karakter.⁶
5.3.
Struktur Kurikulum dalam Pendidikan Islam
Struktur kurikulum
pendidikan Islam terdiri dari beberapa komponen utama:
1)
Ilmu-ilmu keislaman
(ulum al-diniyyah): seperti aqidah, fikih, tafsir, hadis, dan
tasawuf. Ilmu-ilmu ini menjadi fondasi moral dan spiritual peserta didik.⁷
2)
Ilmu-ilmu rasional
(ulum ‘aqliyyah): seperti matematika, logika, filsafat, dan
sains. Ilmu ini berguna untuk pengembangan akal dan penguatan hujjah.⁸
3)
Ilmu-ilmu sosial dan
kemanusiaan: seperti sejarah, ekonomi, sosiologi, serta
keterampilan hidup. Ini penting untuk membentuk kesadaran sosial dan peran
kekhalifahan manusia.
4)
Pengembangan karakter
dan akhlak (tazkiyah al-nafs): melalui pendidikan akhlak,
praktik ibadah, pembiasaan, dan keteladanan.⁹
Kurikulum Islam
menekankan integrasi antara teks dan konteks, antara wahyu dan realitas sosial,
sehingga peserta didik tidak hanya paham agama secara teoritis, tetapi juga
mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
5.4.
Konsep Kurikulum Terintegrasi (Integrated
Curriculum)
Para pemikir Muslim
kontemporer, seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas
dan Ismail
Raji al-Faruqi, menekankan pentingnya integrasi
ilmu sebagai landasan utama dalam pengembangan kurikulum Islam
modern. Mereka mengkritik sistem pendidikan kolonial yang memisahkan ilmu agama
dari ilmu sekuler, yang pada akhirnya merusak tatanan berpikir umat Islam.¹⁰
Al-Attas menawarkan
konsep “Islamisasi ilmu pengetahuan” sebagai solusi untuk mengembalikan
ilmu ke dalam kerangka nilai-nilai Islam.¹¹ Sementara al-Faruqi mengusulkan
"Integrated Islamic Curriculum" sebagai pendekatan yang
menyatukan seluruh cabang ilmu dalam kesatuan sistem nilai Islam.¹²
Dengan model ini,
kurikulum pendidikan Islam menjadi sarana untuk membentuk generasi yang berilmu
sekaligus beriman dan berakhlak mulia.
5.5.
Relevansi Kurikulum Islam di Era Kontemporer
Dalam menghadapi
tantangan zaman modern, kurikulum pendidikan Islam harus adaptif tanpa
kehilangan ruh nilai-nilainya. Perkembangan teknologi, globalisasi, dan krisis
moral mengharuskan kurikulum untuk:
·
Memasukkan literasi digital
dan keterampilan abad 21,
·
Menjaga nilai-nilai dasar
akidah dan akhlak,
·
Meningkatkan kemampuan
berpikir kritis, kolaboratif, dan kreatif dalam bingkai tauhid.¹³
Kurikulum yang
dirancang dengan baik dapat menjadi alat transformasi sosial dan spiritual yang
efektif dalam mencetak generasi khairu ummah.
Kesimpulan Bab
Kurikulum dalam
pendidikan Islam merupakan sistem terintegrasi yang bertujuan membentuk manusia
paripurna dengan keseimbangan antara ilmu, amal, dan akhlak. Ia bersumber dari
wahyu, didukung oleh akal, serta diarahkan pada pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan
umat manusia. Kurikulum Islam bukan hanya instrumen akademik, tetapi juga peta
jalan menuju pembentukan peradaban yang berkeadaban dan berketuhanan.
Footnotes
[1]
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pendidikan (Jakarta:
Kencana, 2009), 115.
[2]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC,
1991), 9.
[3]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2]: 2.
[4]
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam: Suatu Analisa Filosofis dan
Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 123.
[5]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium Baru (Jakarta: Kencana, 2012), 98.
[6]
M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 29.
[7]
Ibn Jama’ah, Tadhkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim
wa al-Muta‘allim (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 37–38.
[8]
Ibn Sina, Risalah fi al-Tarbiyah, dalam Majid Fakhry (ed.), Islamic
Philosophy: A Beginner’s Guide (Oxford: Oneworld, 2009), 79.
[9]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 3 (Beirut: Dar al-Fikr,
n.d.), 113–114.
[10]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 39.
[11]
Al-Attas, The Concept of Education in Islam, 18–21.
[12]
Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General
Principles and Work Plan (Herndon: IIIT, 1982), 27–30.
[13]
Direktorat KSKK Madrasah, Kurikulum Merdeka Pendidikan Agama Islam
dan Budi Pekerti (Jakarta: Kemenag RI, 2022), 13–14.
6.
Etika dan Akhlak dalam Pendidikan Islam
6.1.
Posisi Sentral Akhlak dalam Pendidikan Islam
Dalam tradisi
keilmuan Islam, akhlak (etika moral) bukanlah
aspek tambahan dalam pendidikan, tetapi merupakan inti dan
tujuan utama dari proses pendidikan itu sendiri. Hal ini
ditegaskan oleh sabda Nabi Muhammad Saw:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ
الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.”_¹
Pernyataan ini
menempatkan akhlak sebagai ruh dari seluruh aktivitas pendidikan. Pendidikan
Islam bukan hanya berorientasi pada pencapaian akademik, tetapi lebih dalam
lagi: membentuk pribadi yang beradab, jujur, amanah, dan bertanggung jawab di
hadapan Allah dan masyarakat.
Menurut Imam
Al-Ghazali, akhlak yang baik adalah buah dari proses tazkiyah
al-nafs (penyucian jiwa), yang hanya bisa dicapai melalui
pendidikan yang benar.² Oleh karena itu, pendidikan akhlak bukan sekadar
pengajaran teori moral, melainkan pembinaan batiniah yang mendalam.
6.2.
Landasan Etika dalam Pendidikan Islam
Etika dalam
pendidikan Islam bertumpu pada tiga sumber utama:
1)
Al-Qur’an,
yang memberikan dasar normatif tentang nilai-nilai moral universal, seperti
kejujuran, keadilan, kasih sayang, kesabaran, dan amanah (QS. Luqman [31] ayat
12–19).³
2)
Sunnah Nabi,
yang mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata. Nabi adalah
model pendidikan etis par excellence (QS. Al-Ahzab [33] ayat 21).⁴
3)
Ijtihad Ulama,
yang menafsirkan dan mengembangkan nilai-nilai etika sesuai konteks zaman.
Etika pendidikan
Islam mencakup hubungan vertikal (dengan Allah), horizontal (dengan sesama
manusia), dan ekologis (dengan alam), sehingga menghasilkan pendidikan yang
berwawasan tauhid dan berorientasi amal saleh.
6.3.
Nilai-Nilai Akhlak dalam Pendidikan
Pendidikan Islam
mengajarkan berbagai nilai akhlak yang harus ditanamkan dalam proses
pendidikan, antara lain:
·
Ikhlas,
sebagai landasan spiritual dalam menuntut ilmu dan mengajarkannya.⁵
·
Tawadhu’
(rendah hati), baik bagi pendidik maupun peserta didik.
·
Disiplin
dan tanggung jawab, sebagai bagian dari amal shalih.
·
Adab
terhadap ilmu, guru, dan teman sejawat, sebagaimana dijelaskan
dalam karya klasik seperti Ta‘līm al-Muta‘allim oleh Al-Zarnuji.⁶
Pendidikan akhlak
dalam Islam tidak hanya diajarkan secara teoritis, tetapi ditanamkan melalui teladan,
pembiasaan,
dan pengawasan
berkesinambungan.
6.4.
Peran Pendidik sebagai Teladan Akhlak
Pendidik dalam Islam
tidak hanya berfungsi sebagai pengajar (mu‘allim), tetapi juga sebagai pendidik
moral dan spiritual (murabbi dan mu’addib).
Ia harus mencerminkan nilai-nilai akhlak dalam sikap dan perilakunya
sehari-hari.
Syed Muhammad Naquib
al-Attas menekankan bahwa pendidikan harus dimulai dari adab sebelum ilmu.
Menurutnya, seseorang tidak layak disebut terdidik jika belum memiliki adab.⁷
Ini menjadikan teladan moral dari guru sebagai komponen paling penting dalam
pembentukan kepribadian peserta didik.
6.5.
Strategi Penanaman Akhlak dalam Pendidikan
Untuk mewujudkan
pendidikan yang berorientasi akhlak, diperlukan pendekatan yang integratif.
Strategi penanaman akhlak dalam pendidikan Islam mencakup:
1)
Internalisasi nilai,
melalui pengajaran langsung dari sumber Islam dan diskusi kritis.
2)
Pembiasaan (habitual
training), seperti rutinitas ibadah, salam, jujur, dan
bertanggung jawab.
3)
Keteladanan,
sebagai metode paling efektif dalam pendidikan moral.
4)
Pengawasan dan evaluasi,
untuk memastikan pembentukan karakter berlangsung secara konsisten.⁸
Lembaga pendidikan
Islam seperti pesantren, madrasah, dan sekolah Islam terpadu telah
mengembangkan model ini dengan hasil yang cukup signifikan dalam membina akhlak
generasi muda.
6.6.
Urgensi Pendidikan Akhlak di Era Kontemporer
Di tengah krisis
moral global yang ditandai oleh dekadensi, individualisme, dan hedonisme,
pendidikan akhlak dalam Islam menjadi sangat relevan dan mendesak. Tanpa
pembinaan akhlak, pendidikan hanya akan menghasilkan manusia yang cerdas tetapi
destruktif.
Pendidikan Islam
harus tampil sebagai alternatif yang mampu menawarkan solusi nilai, yakni
membentuk manusia yang berpengetahuan tinggi dan berakhlak mulia—sebuah
kombinasi yang menjadi ciri khairu ummah.⁹
Kesimpulan Bab
Etika dan akhlak
bukanlah aspek tambahan, tetapi merupakan jiwa dari pendidikan Islam.
Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang membentuk manusia berilmu,
beradab, dan bertanggung jawab secara spiritual dan sosial. Dalam kerangka ini,
seluruh komponen pendidikan harus mendukung pembinaan akhlak mulia, mulai dari
kurikulum, guru, metode, hingga lingkungan belajar.
Footnotes
[1]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-Adab, Hadis No. 4290.
[2]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 3 (Beirut: Dar al-Fikr,
n.d.), 32–34.
[3]
Al-Qur’an, Surah Luqman [31]: 12–19.
[4]
Al-Qur’an, Surah Al-Ahzab [33]: 21.
[5]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), 76.
[6]
Al-Zarnuji, Ta‘līm al-Muta‘allim Ṭarīq at-Ta‘allum (Beirut:
Dar al-Fikr, 2005), 25–27.
[7]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC,
1991), 19.
[8]
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dan Perkembangannya di Dunia
Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), 211.
[9]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium Baru (Jakarta: Kencana, 2012), 106.
7.
Perbandingan Pendidikan Islam dan Barat
7.1.
Latar Belakang Perbedaan
Sistem pendidikan
Islam dan Barat berkembang dari landasan filosofis dan epistemologis
yang berbeda. Pendidikan Islam berpijak pada wahyu sebagai sumber utama
pengetahuan, sementara pendidikan Barat modern tumbuh dari akar filsafat
humanisme, rasionalisme, dan sekularisme pasca-Pencerahan (Enlightenment).¹
Perbedaan ini bukan
sekadar teknis atau metodologis, tetapi menyangkut pandangan
dasar tentang hakikat manusia, tujuan hidup, dan makna ilmu.
Oleh karena itu, memahami perbedaan ini penting agar umat Islam tidak sekadar
meniru sistem Barat secara mentah, tetapi mampu mengembangkan model pendidikan
yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
7.2.
Perbedaan Tujuan Pendidikan
Dalam Islam, tujuan
pendidikan adalah untuk mencetak insan kamil—manusia yang
beriman, berilmu, dan berakhlak mulia, yang mampu mengabdi kepada Allah Swt dan
menjalankan amanah sebagai khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah [2] ayat 30).²
Pendidikan Islam tidak hanya menekankan kemampuan intelektual, tetapi juga
pembinaan moral dan spiritual.
Sementara itu, pendidikan
Barat modern cenderung berorientasi pada pencapaian duniawi,
seperti kemajuan ekonomi, kompetensi pasar kerja, dan efisiensi teknologis.³
Sejak era Renaissance dan Revolusi Industri, pendidikan di Barat dipisahkan
dari nilai-nilai agama dan spiritualitas, sehingga cenderung sekuler
dalam pendekatannya.⁴
“Tujuan pendidikan dalam peradaban Barat
adalah untuk menghasilkan manusia sebagai makhluk ekonomi dan sosial, bukan
makhluk spiritual,” tegas Syed Muhammad Naquib al-Attas.⁵
7.3.
Perbedaan Pandangan tentang Ilmu
Dalam Islam, ilmu
adalah amanah
ilahiyah dan memiliki nilai sakral. Sumber ilmu adalah wahyu
dan akal, yang keduanya harus dipadukan secara harmonis. Ilmu
yang bermanfaat adalah yang mendekatkan manusia kepada Allah dan membimbing
kepada amal saleh.⁶
Sebaliknya, dalam
tradisi Barat modern, ilmu dianggap sebagai hasil murni dari rasio
dan observasi empiris, tanpa keterkaitan dengan nilai metafisis
atau keimanan. Pandangan ini lahir dari pengaruh positivisme dan empirisme,
yang menolak wahyu sebagai sumber ilmu yang valid.⁷
Akibatnya, terjadi dikotomi
ilmu dalam sistem pendidikan: ilmu agama dianggap subyektif dan
privat, sementara ilmu sains dianggap objektif dan universal. Model ini
bertolak belakang dengan pendidikan Islam yang memandang semua ilmu sebagai
bagian dari kesatuan tauhid.
7.4.
Perbedaan Peran Guru dan Proses Pembelajaran
Dalam sistem
pendidikan Islam, guru (mu’allim/murabbi)
dipandang sebagai figur yang mulia dan memiliki tanggung jawab spiritual. Guru
tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan membimbing ke
jalan kebaikan.⁸ Guru ideal adalah mereka yang berakhlak baik dan menjadi
teladan bagi murid-muridnya.
Sebaliknya, dalam
pendidikan Barat kontemporer, guru lebih dilihat sebagai fasilitator
pembelajaran. Relasi antara guru dan siswa bersifat horizontal
dan netral. Pendidikan diposisikan sebagai proses pertukaran informasi, bukan
pembentukan jiwa dan akhlak.⁹
7.5.
Dampak Sosial dan Peradaban
Pendidikan Islam
sejak masa klasik telah melahirkan peradaban besar yang seimbang antara kecanggihan
ilmu pengetahuan dan kemuliaan moral. Lembaga-lembaga seperti Bayt
al-Hikmah di Baghdad atau universitas Al-Azhar menunjukkan bahwa
pendidikan Islam bersifat inklusif, integratif, dan berorientasi pada
kemaslahatan umat.¹⁰
Sebaliknya, kemajuan
pendidikan Barat sering dikritik karena menciptakan alienasi spiritual dan krisis moral,
meskipun sukses dalam aspek sains dan teknologi. Pendidikan yang terlalu
menekankan pada pencapaian material tanpa nilai transendental telah menyebabkan
berbagai problematika seperti hedonisme, individualisme, dan krisis
identitas.¹¹
7.6.
Upaya Integratif dan Rekonstruksi Pendidikan
Islam
Sebagai respons atas
dominasi sistem pendidikan Barat, sejumlah pemikir Muslim seperti Syed
Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, dan Fazlur
Rahman mengusulkan konsep rekonstruksi pendidikan Islam
melalui pendekatan integrasi ilmu.¹²
Mereka menekankan
perlunya mengembalikan ilmu ke dalam kerangka tauhid dan menolak dikotomi ilmu
agama-ilmu dunia. Kurikulum harus disusun berdasarkan nilai-nilai Islam yang
universal, dengan pendekatan ilmiah yang tetap kritis dan rasional.
Kesimpulan Bab
Perbandingan antara
pendidikan Islam dan Barat menunjukkan bahwa keduanya dibangun atas dasar
pandangan dunia (worldview) yang berbeda. Pendidikan Islam memiliki orientasi
transendental dan moral-spiritual, sementara pendidikan Barat cenderung
materialistik dan sekuler. Dalam konteks globalisasi saat ini, umat Islam perlu
bijak dalam mengadopsi aspek positif pendidikan Barat tanpa mengorbankan
nilai-nilai Islam yang hakiki.
Footnotes
[1]
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan
(Jakarta: Desantara, 2001), 156.
[2]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2]: 30.
[3]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 54.
[4]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 3–5.
[5]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 5.
[6]
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam: Suatu Analisa Filosofis dan
Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 77.
[7]
Auguste Comte, The Course in Positive Philosophy, ed. Frederic
Harrison (New York: Cosimo, 2009), 12.
[8]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 3 (Beirut: Dar al-Fikr,
n.d.), 67.
[9]
Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row,
1971), 40–41.
[10]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 87.
[11]
Ziauddin Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures: A Ziauddin
Sardar Reader (London: Pluto Press, 2003), 145.
[12]
Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General
Principles and Work Plan (Herndon: IIIT, 1982), 23–25.
8.
Problematika dan Tantangan Pendidikan Islam
Kontemporer
8.1.
Krisis Identitas Pendidikan Islam
Salah satu tantangan
utama pendidikan Islam saat ini adalah krisis identitas, yakni
ketidakjelasan arah dan orientasi pendidikan dalam menjawab kebutuhan zaman
tanpa kehilangan akar keislamannya. Banyak lembaga pendidikan Islam, baik di
tingkat dasar hingga perguruan tinggi, mengalami dilema antara mempertahankan
tradisi klasik (turāth) dengan tuntutan modernitas dan globalisasi.¹
Akibatnya, muncul
kebingungan kurikuler, ketidakseimbangan antara ilmu agama dan ilmu umum, serta
lemahnya visi transformatif dalam mencetak generasi yang berilmu dan berakhlak
mulia.²
8.2.
Dikotomi Ilmu dan Kurikulum
Sistem pendidikan
Islam kontemporer masih banyak yang menganut pola dikotomis,
yaitu pemisahan antara ilmu agama dan ilmu dunia. Fenomena ini merupakan
warisan kolonial yang memisahkan masjid dan madrasah dari sistem pendidikan
formal modern.³
Menurut Syed
Muhammad Naquib al-Attas, dikotomi ini menyebabkan terjadinya “loss of adab”
dalam dunia pendidikan, yakni hilangnya kesadaran akan keterpaduan ilmu dan
nilai-nilai tauhid dalam proses belajar.⁴ Pendidikan menjadi terfragmentasi dan
kehilangan orientasi spiritual.
8.3.
Kelemahan Mutu Guru dan Tenaga Kependidikan
Kualitas guru dan
tenaga pendidik dalam banyak lembaga pendidikan Islam masih menjadi persoalan
serius. Beberapa tantangan di antaranya:
·
Rendahnya
profesionalisme dan kompetensi pedagogik.
·
Minimnya
pelatihan berbasis integrasi ilmu dan nilai Islam.
·
Kurangnya
insentif dan penghargaan yang layak, yang berdampak pada
semangat dan produktivitas kerja.⁵
Padahal dalam Islam,
guru adalah sosok sentral yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga
mentransmisikan nilai-nilai moral dan spiritual.
8.4.
Tantangan Teknologi dan Globalisasi
Revolusi digital
membawa dampak besar terhadap dunia pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Di
satu sisi, teknologi dapat menjadi alat efektif dalam memperluas akses
pendidikan, namun di sisi lain juga membawa tantangan serius seperti:
·
Konten
digital yang bebas nilai.
·
Paparan
terhadap ideologi sekuler dan liberalisme.
·
Perubahan
gaya belajar yang cepat dan serba instan, yang bisa
bertentangan dengan prinsip tadarruj (bertahap) dalam Islam.⁶
Jika tidak
diantisipasi dengan bijak, kemajuan teknologi justru dapat menjauhkan peserta
didik dari nilai-nilai dasar keislaman dan mendorong gaya hidup konsumtif dan
individualis.
8.5.
Lemahnya Integrasi Lembaga Pendidikan Islam
dengan Masyarakat
Pendidikan Islam di
beberapa wilayah masih terkesan eksklusif, tidak terhubung secara aktif dengan
dinamika masyarakat. Kurangnya sinergi antara lembaga pendidikan dengan
keluarga, komunitas, dan pemerintah menjadikan proses
pendidikan kehilangan dukungan lingkungan yang kondusif.⁷
Padahal dalam paradigma
Islam, pendidikan adalah tanggung jawab bersama (jama’i) yang melibatkan semua
elemen umat. Lemahnya integrasi ini juga berdampak pada rendahnya daya saing
lulusan lembaga pendidikan Islam dalam kehidupan sosial-ekonomi.
8.6.
Ketimpangan Akses dan Kualitas Pendidikan
Masih terdapat
ketimpangan dalam akses dan kualitas pendidikan Islam antara kota dan desa,
antara kelompok ekonomi atas dan bawah. Banyak pesantren dan madrasah di daerah
terpencil yang kekurangan infrastruktur, tenaga pendidik, serta bahan ajar yang
memadai.⁸
Ketimpangan ini
menghambat realisasi tujuan pendidikan Islam sebagai alat pemberdayaan umat
secara adil dan merata.
8.7.
Kurangnya Kajian Filsafat Pendidikan Islam
Kontemporer
Filsafat pendidikan
Islam belum banyak dikembangkan secara sistematis dalam konteks kekinian.
Akibatnya, banyak lembaga pendidikan Islam hanya bersandar pada pendekatan
pragmatis dan administratif, tanpa pemahaman mendalam tentang visi, nilai, dan
arah epistemologis pendidikan Islam.⁹
Ini berdampak pada
lemahnya inovasi dan kurangnya refleksi kritis dalam menghadapi tantangan
zaman. Pengembangan teori dan praktik pendidikan Islam yang berbasis worldview
Islam perlu menjadi prioritas dalam penelitian dan pengembangan keilmuan
pendidikan Islam.
Kesimpulan Bab
Pendidikan Islam
saat ini menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal, mulai dari
krisis identitas, dikotomi kurikulum, lemahnya profesionalisme guru, hingga
penetrasi ideologi asing melalui teknologi. Untuk menjawab tantangan tersebut,
diperlukan rekonstruksi pendidikan Islam yang holistik dan
kontekstual, dengan tetap berpijak pada nilai-nilai wahyu dan
kearifan tradisi keilmuan Islam. Sinergi antar-lembaga, peningkatan kualitas
sumber daya, dan inovasi kurikulum berbasis tauhid menjadi langkah-langkah
strategis yang mendesak untuk dilakukan.
Footnotes
[1]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium Baru (Jakarta: Kencana, 2012), 102.
[2]
Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Era Globalisasi (Jakarta:
Kencana, 2010), 89.
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 112.
[4]
Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an
Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 19–21.
[5]
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2000), 311.
[6]
Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of
the Sacred Text of Islam (New York: Oxford University Press, 2011), 234.
[7]
Hasan Langgulung, Pendidikan dan Perkembangan Manusia
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), 174.
[8]
Kementerian Agama RI, Laporan Tahunan Pendidikan Islam 2022
(Jakarta: Ditjen Pendis, 2022), 34–35.
[9]
Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat
Press, 2002), 53–54.
9.
Strategi Revitalisasi Pendidikan Islam
9.1.
Urgensi Revitalisasi Pendidikan Islam
Revitalisasi
pendidikan Islam merupakan kebutuhan mendesak dalam menjawab tantangan zaman
yang terus berkembang, seperti krisis moral, penetrasi budaya sekuler, dan
kemajuan teknologi yang pesat. Pendidikan Islam tidak boleh bersifat stagnan
dan terpaku pada bentuk tradisional semata, melainkan harus menghidupkan
kembali nilai-nilai autentik Islam dengan pendekatan yang
relevan dan transformatif.
Menurut Azyumardi
Azra, revitalisasi pendidikan Islam harus dimulai dengan pembenahan visi,
rekonstruksi kurikulum, penguatan kelembagaan, serta peningkatan kualitas guru
dan peserta didik secara berkelanjutan.¹
9.2.
Penguatan Landasan Filosofis dan Epistemologis
Langkah awal dalam
revitalisasi pendidikan Islam adalah memperkuat landasan filosofis dan epistemologis
yang berbasis pada tauhid. Sistem pendidikan Islam
harus berakar pada pandangan dunia Islam (Islamic worldview) yang menyatukan
antara wahyu dan akal, ilmu dan amal, dunia dan akhirat.²
Syed Muhammad Naquib
al-Attas menekankan pentingnya Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai
kerangka filosofis dalam membangun sistem pendidikan Islam yang utuh dan tidak
terjerumus dalam sekularisasi.³ Tanpa landasan ini, pendidikan Islam akan
kehilangan arah dan hanya menjadi tiruan sistem Barat.
9.3.
Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum
Revitalisasi
pendidikan Islam mensyaratkan adanya integrasi antara ilmu agama (naqliyah)
dan ilmu
umum (aqliyah) dalam kurikulum secara harmonis. Ilmu tidak
boleh dipisahkan secara dikotomis, melainkan dipadukan dalam kerangka
nilai-nilai Islam.
Model integrasi ini
telah dikembangkan oleh beberapa institusi seperti Universitas
Islam Negeri (UIN) dan International Islamic University Malaysia
(IIUM), dengan mengusung pendekatan interdisipliner dan
transdisipliner dalam pendidikan.⁴
Fazlur Rahman
mengusulkan pendekatan double movement, yaitu membaca teks
wahyu secara kontekstual dan menjadikannya relevan untuk membangun sistem pendidikan
yang responsif terhadap realitas sosial modern.⁵
9.4.
Peningkatan Profesionalisme Guru
Guru merupakan
elemen strategis dalam proses revitalisasi pendidikan. Diperlukan upaya
sistemik untuk:
·
Meningkatkan
kompetensi pedagogik dan spiritual guru,
·
Menyelenggarakan
pelatihan terpadu berbasis nilai-nilai Islam,
·
Menumbuhkan
budaya akademik dan riset di kalangan pendidik,
·
Menyejahterakan
guru secara ekonomi agar lebih fokus dalam mendidik.
Dalam Islam, guru
bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga pembina akhlak dan panutan moral.⁶ Oleh
karena itu, pendidikan guru harus disusun dalam kerangka ta’dib—yakni
pembentukan adab, ilmu, dan hikmah.
9.5.
Penguatan Kelembagaan dan Kepemimpinan
Pendidikan
Lembaga pendidikan
Islam perlu dikelola secara profesional dan visioner. Strategi penguatan
kelembagaan mencakup:
·
Penerapan
tata kelola (governance) berbasis nilai Islam,
·
Pemberdayaan
pesantren, madrasah, dan sekolah Islam modern sebagai pusat pendidikan karakter
dan spiritual,
·
Digitalisasi
manajemen pendidikan yang efisien dan akuntabel.
Pimpinan lembaga
pendidikan Islam harus memiliki leadership berbasis nilai (value-based
leadership), yaitu kepemimpinan yang mengintegrasikan
spiritualitas, etika, dan manajemen modern.⁷
9.6.
Kontekstualisasi Kurikulum dan Metode
Pembelajaran
Kurikulum pendidikan
Islam harus dikontekstualisasikan dengan realitas sosial dan kebutuhan zaman.
Strategi pembaruan kurikulum meliputi:
·
Integrasi
nilai Islam ke dalam seluruh mata pelajaran,
·
Pengembangan
kurikulum tematik berbasis kompetensi dan karakter,
·
Penerapan
metode pembelajaran aktif, kolaboratif, dan partisipatif,
·
Pemanfaatan
teknologi digital dan media interaktif untuk pembelajaran.
Kurikulum tidak
hanya berisi muatan kognitif, tetapi juga harus mendidik peserta didik agar
mampu hidup secara etis, mandiri, dan bertanggung jawab dalam masyarakat.⁸
9.7.
Kolaborasi dan Sinergi Multi-Pihak
Revitalisasi
pendidikan Islam tidak bisa dilakukan secara parsial. Dibutuhkan kolaborasi
antara pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, dan dunia usaha.
Strategi ini dapat diwujudkan melalui:
·
Program
kemitraan (partnership) antara sekolah dengan lingkungan industri dan
organisasi keagamaan,
·
Pemberdayaan
alumni dan tokoh masyarakat untuk mendukung proses pendidikan,
·
Peningkatan
partisipasi orang tua dalam pembinaan karakter anak.
Pendidikan Islam
adalah tanggung jawab kolektif, bukan hanya lembaga formal.⁹
Kesimpulan Bab
Revitalisasi
pendidikan Islam harus dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan, dimulai
dari pembaruan filosofi dan kurikulum, peningkatan kualitas guru, hingga
penguatan kelembagaan dan jaringan sosial. Dengan tetap berpijak pada
nilai-nilai tauhid, pendidikan Islam akan mampu menjawab tantangan zaman dan
melahirkan generasi yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.
Footnotes
[1]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium Baru (Jakarta: Kencana, 2012), 120.
[2]
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pendidikan (Jakarta:
Kencana, 2009), 89.
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC,
1991), 3–4.
[4]
Komaruddin Hidayat, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan Islam
(Jakarta: Paramadina, 2006), 45.
[5]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 7–8.
[6]
Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim Ṭarīq at-Ta‘allum (Beirut:
Dar al-Fikr, 2005), 22–24.
[7]
Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat
Press, 2002), 113.
[8]
Kementerian Agama RI, Kurikulum Merdeka Pendidikan Agama Islam dan
Budi Pekerti (Jakarta: Dirjen Pendis, 2022), 14–15.
[9]
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dan Perkembangannya di Dunia
Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), 211.
10.
Penutup
Pendidikan dalam
Islam merupakan sistem yang holistik, integratif, dan transformatif,
berlandaskan pada nilai-nilai tauhid dan wahyu ilahi. Islam tidak memisahkan
antara ilmu dan iman, antara dunia dan akhirat, atau antara teori dan praktik.
Sebaliknya, pendidikan Islam diarahkan untuk mencetak manusia paripurna (insan
kāmil) yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.¹
Sebagaimana
ditegaskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, inti pendidikan Islam adalah penanaman
adab, yakni pengakuan terhadap tempat sesuatu secara tepat
dalam tatanan wujud.² Ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan semata proses
kognitif atau transfer pengetahuan, tetapi proses pembentukan jiwa dan
pengembangan karakter dalam bingkai nilai-nilai Ilahiyah.
Sepanjang pembahasan
artikel ini, telah dijelaskan bahwa konsep dasar pendidikan Islam
berpijak pada nilai-nilai wahyu dan tradisi keilmuan yang mendalam. Pendidikan
bertujuan tidak hanya untuk membekali keterampilan, tetapi juga menumbuhkan
kesadaran akan tugas manusia sebagai khalifah di bumi dan hamba Allah.³
Selanjutnya,
pendidikan Islam memiliki komponen-komponen strategis
seperti pendidik, peserta didik, materi, metode, dan lingkungan, yang semuanya
diarahkan pada pencapaian tujuan spiritual dan sosial. Kurikulum pendidikan
Islam yang efektif harus mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu dunia secara
harmonis, serta dikontekstualisasikan dengan tantangan zaman.⁴
Namun, dalam konteks
kontemporer, pendidikan Islam menghadapi berbagai tantangan, seperti
krisis identitas, dikotomi kurikulum, lemahnya kualitas guru, serta dampak
globalisasi dan teknologi. Hal ini menuntut adanya strategi
revitalisasi yang menyeluruh dan terencana, dimulai dari
penguatan filsafat pendidikan Islam, integrasi kurikulum, peningkatan kapasitas
pendidik, hingga transformasi kelembagaan.⁵
Dengan demikian,
untuk membangun masa depan pendidikan Islam yang berdaya saing dan tetap
menjunjung nilai-nilai ilahiyah, diperlukan komitmen kolektif dari semua
elemen umat: pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, dan individu.
Pendidikan Islam yang sejati adalah pendidikan yang mampu melahirkan
generasi berilmu dan beradab, yang mampu memberi kontribusi
bagi peradaban global tanpa kehilangan identitasnya sebagai Muslim.⁶
Sebagai penutup,
dapat ditegaskan bahwa pendidikan Islam bukan hanya sistem pengajaran, melainkan
proses
pemanusiaan manusia berdasarkan kehendak Ilahi. Melalui
pendidikan Islam yang benar, diharapkan lahir pribadi-pribadi yang unggul,
sadar akan tanggung jawabnya di dunia dan akhirat, serta mampu mewujudkan
masyarakat yang adil, beradab, dan diridhai Allah Swt.
Footnotes
[1]
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pendidikan (Jakarta:
Kencana, 2009), 74.
[2]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC,
1991), 3–4.
[3]
M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 23.
[4]
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam: Suatu Analisa Filosofis dan
Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 111.
[5]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium Baru (Jakarta: Kencana, 2012), 122.
[6]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 9.
Daftar Pustaka
Al-Abrasyi, M. A. (1996). Dasar-dasar pokok
pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Attas, S. M. N. (1991). The concept of
education in Islam: A framework for an Islamic philosophy of education. Kuala
Lumpur: ISTAC.
Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism.
Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Ghazali. (n.d.). Ihya’ ‘Ulumuddin (Vol.
1–4). Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Zarnuji. (2005). Ta‘lim al-Muta‘allim Ṭarīq
at-Ta‘allum (ed. Dar al-Fikr). Beirut: Dar al-Fikr.
Azra, A. (2012). Pendidikan Islam: Tradisi dan
modernisasi di tengah tantangan milenium baru. Jakarta: Kencana.
Comte, A. (2009). The course in positive
philosophy (F. Harrison, Ed.). New York: Cosimo.
Dewey, J. (1916). Democracy and education.
New York: Macmillan.
Faruqi, I. R. (1982). Islamization of knowledge:
General principles and work plan. Herndon, VA: International Institute of
Islamic Thought (IIIT).
Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). New York: Continuum.
Hidayat, K. (2006). Menggagas paradigma baru
pendidikan Islam. Jakarta: Paramadina.
Illich, I. (1971). Deschooling society. New
York: Harper & Row.
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2022). Kurikulum
Merdeka Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam.
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2022). Laporan
tahunan pendidikan Islam 2022. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam.
Langgulung, H. (1986). Pendidikan dan
perkembangan manusia. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Langgulung, H. (1993). Pendidikan Islam: Suatu
analisa filosofis dan pemikiran tokoh-tokoh Islam. Jakarta: Pustaka
Al-Husna.
Makdisi, G. (1981). The rise of colleges:
Institutions of learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University
Press.
Nata, A. (2009). Perspektif Islam tentang
pendidikan. Jakarta: Kencana.
Nata, A. (2010). Pendidikan Islam di era
globalisasi. Jakarta: Kencana.
Nizar, S. (2002). Filsafat pendidikan Islam.
Jakarta: Ciputat Press.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Sardar, Z. (2003). Islam, postmodernism and
other futures: A Ziauddin Sardar reader. London: Pluto Press.
Sardar, Z. (2011). Reading the Qur’an: The
contemporary relevance of the sacred text of Islam. New York: Oxford
University Press.
Shihab, M. Q. (2000). Wawasan al-Qur’an: Tafsir
maudhu’i atas pelbagai persoalan umat. Bandung: Mizan.
Wahid, A. (2001). Pergulatan negara, agama, dan
kebudayaan. Jakarta: Desantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar