Jumat, 14 Maret 2025

Akidah Akhlak Kelas 11 Bab 10: Tokoh dan Ajaran Tasawuf Sufi Besar

Akidah Akhlak

Tokoh dan Ajaran Tasawuf Sufi Besar


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Akidah Akhlak

Kelas                   : 11 (Sebelas)


Abstrak

Tasawuf merupakan aspek esoteris dalam Islam yang berfokus pada penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), pendekatan diri kepada Allah, serta pencapaian ma’rifatullah melalui disiplin ibadah dan akhlak yang luhur. Artikel ini membahas secara komprehensif ajaran tasawuf dari empat tokoh besar, yaitu Imam Junaid al-Baghdadi, Rabiah al-Adawiyah, Imam al-Ghazali, dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dengan mengacu pada kitab-kitab klasik, penjelasan ulama, dan sumber akademik yang kredibel.

Setiap tokoh memiliki kontribusi unik dalam membentuk pemikiran tasawuf Sunni. Imam Junaid al-Baghdadi menekankan keseimbangan antara syariat dan hakikat serta konsep fana’ dan baqa’. Rabiah al-Adawiyah mengembangkan konsep mahabbah ilahiyyah sebagai bentuk ibadah yang didasarkan pada cinta murni kepada Allah. Imam al-Ghazali berhasil mengintegrasikan tasawuf dengan fiqih dan teologi, menjadikan tasawuf sebagai bagian dari pendidikan karakter Islam. Syekh Abdul Qadir al-Jailani, melalui konsep jihad al-nafs dan zuhud, menegaskan pentingnya perjuangan melawan hawa nafsu sebagai jalan mencapai kebersihan hati dan kedekatan dengan Allah.

Analisis komparatif dalam artikel ini menunjukkan bahwa ajaran tasawuf tidak bertentangan dengan syariat Islam, tetapi justru merupakan sarana penyempurnaan spiritual dan moral umat Muslim. Selain itu, tasawuf memiliki relevansi yang tinggi dalam kehidupan kontemporer, terutama dalam mengatasi krisis spiritual, membangun keseimbangan hidup, dan mencegah radikalisme. Dengan memahami dan mengamalkan ajaran tasawuf yang benar, seorang Muslim dapat menjalani kehidupan yang lebih bermakna, penuh ketenangan batin, dan mendekatkan diri kepada Allah dengan cinta dan ketulusan.

Kata Kunci: Tasawuf, Imam Junaid al-Baghdadi, Rabiah al-Adawiyah, Imam al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Mahabbah Ilahiyyah, Tazkiyatun Nafs, Fana’ dan Baqa’, Syariat dan Hakikat, Jihad al-Nafs, Relevansi Tasawuf.


PEMBAHASAN

Tokoh dan Ajaran Tasawuf Sufi Besar


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Akidah Akhlak

Kelas                   : 11 (Sebelas)

Bab                      : Bab 10 - Tokoh dan Ajaran Tasawuf Sufi Besar


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Tasawuf merupakan aspek penting dalam Islam yang berfokus pada pemurnian hati dan pendekatan diri kepada Allah melalui praktik spiritual dan akhlak yang luhur. Ajaran tasawuf berkembang sejak masa awal Islam dan semakin sistematis dengan munculnya para ulama sufi yang membentuk berbagai mazhab serta tarekat. Imam al-Ghazali (w. 1111) dalam Ihya’ Ulumuddin menekankan bahwa tasawuf bertujuan untuk membersihkan jiwa dan mendekatkan manusia kepada Allah dengan mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.¹

Tasawuf tidak hanya mempengaruhi individu secara spiritual, tetapi juga memiliki dampak besar dalam perkembangan kebudayaan Islam. Sejumlah ulama sufi, seperti Imam Junaid al-Baghdadi, Rabiah al-Adawiyah, al-Ghazali, dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani, memiliki kontribusi signifikan dalam memperkenalkan konsep tasawuf yang tetap berlandaskan syariat Islam.² Dalam berbagai kajian akademik, tasawuf dianggap sebagai bagian dari peradaban Islam yang mampu menyatukan aspek intelektual, sosial, dan spiritual dalam kehidupan masyarakat Muslim.³

Kajian terhadap tokoh-tokoh besar tasawuf menjadi penting bagi umat Islam, terutama bagi generasi muda, agar mereka memahami bahwa tasawuf bukanlah ajaran yang menyimpang, melainkan bagian dari khazanah Islam yang berlandaskan pada Al-Qur'an dan Hadis. Pemahaman terhadap ajaran sufi juga dapat membantu membangun karakter yang lebih sabar, rendah hati, dan memiliki kecintaan kepada Allah dengan lebih mendalam.⁴

1.2.       Rumusan Masalah

Dalam pembahasan ini, terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang akan dijawab:

1)                  Bagaimana definisi tasawuf menurut para ulama klasik dan modern?

2)                  Siapa saja tokoh utama dalam tasawuf dan bagaimana ajaran mereka berpengaruh dalam perkembangan spiritual Islam?

3)                  Apa saja inti ajaran dari masing-masing tokoh tasawuf besar yang dikaji dalam penelitian ini?

Rumusan masalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang konsep tasawuf dalam Islam serta menggali lebih dalam ajaran para sufi besar yang memiliki pengaruh luas di dunia Islam.

1.3.       Tujuan Pembahasan

Pembahasan ini bertujuan untuk:

1)                  Menganalisis konsep tasawuf secara ilmiah dan akademik berdasarkan kitab-kitab klasik, penjelasan ulama, dan jurnal ilmiah Islam.

2)                  Memahami ajaran dan pemikiran para tokoh tasawuf serta bagaimana ajaran tersebut berkontribusi terhadap peradaban Islam.

3)                  Menelaah dampak tasawuf dalam kehidupan umat Islam baik dari aspek spiritual maupun sosial, serta bagaimana ajaran sufi dapat diaplikasikan dalam kehidupan modern.

Kajian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih luas bagi pembaca, khususnya pelajar dan akademisi, tentang peran tasawuf dalam Islam serta pentingnya memahami ajaran para tokoh sufi dari perspektif yang benar.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), 14.

[2]                Junaid al-Baghdadi, Risalah al-Junayd (Cairo: Dar al-Hikmah, 1986), 22.

[3]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 45.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 63.


2.           Definisi dan Konsep Dasar Tasawuf

2.1.       Definisi Tasawuf Menurut Ulama Klasik dan Modern

Tasawuf merupakan aspek esoteris dalam Islam yang berfokus pada penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), pendekatan diri kepada Allah, serta realisasi spiritual melalui disiplin ibadah dan akhlak yang luhur.¹ Definisi tasawuf telah banyak dikaji oleh para ulama klasik dan modern.

Imam al-Qusyairi (w. 1074) dalam Risalah al-Qusyairiyah mendefinisikan tasawuf sebagai jalan menuju kesempurnaan ruhani dengan berpegang teguh pada syariat dan meniti jalan hakikat untuk mencapai ma’rifatullah.² Sementara itu, Imam al-Ghazali (w. 1111) dalam Ihya’ Ulumuddin menyatakan bahwa tasawuf adalah puncak dari ilmu Islam yang bertujuan untuk membersihkan hati dari sifat-sifat tercela dan mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah yang ikhlas.³

Di sisi lain, Ibn Khaldun (w. 1406) dalam Muqaddimah menyebutkan bahwa tasawuf pada hakikatnya adalah bentuk zuhud yang sudah ada sejak masa sahabat, yang kemudian berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri yang mengajarkan metode penyucian diri dan penghayatan spiritual.⁴

Dalam kajian akademik modern, Seyyed Hossein Nasr menjelaskan bahwa tasawuf adalah dimensi batin dalam Islam yang berakar pada wahyu Ilahi dan praktik kehidupan Nabi Muhammad serta para sahabatnya, yang kemudian berkembang menjadi suatu sistem yang terorganisir dalam bentuk tarekat.⁵ Dari berbagai definisi ini, dapat disimpulkan bahwa tasawuf bukan sekadar aspek mistisisme dalam Islam, tetapi juga merupakan metode pembinaan diri yang memiliki dasar yang kuat dalam syariat.

2.2.       Sumber-Sumber Ajaran Tasawuf

Ajaran tasawuf berakar pada dua sumber utama Islam, yaitu Al-Qur'an dan Hadis, serta ditafsirkan oleh para ulama sufi dalam berbagai kitab klasik.

2.2.1.    Al-Qur'an sebagai Sumber Utama Tasawuf

Al-Qur’an banyak mengandung ayat-ayat yang menjadi dasar ajaran tasawuf. Misalnya, ayat tentang penyucian diri:

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا(10)

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, (9) dan sungguh merugi orang yang mengotorinya. (10)” (QS. Asy-Syams [91] ayat 9-10)

Ayat ini sering dikutip dalam kitab-kitab tasawuf sebagai dasar perlunya tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa dalam perjalanan menuju Allah.

Selain itu, ayat tentang mahabbah (cinta Ilahi), seperti dalam QS. Al-Ma’idah [5] ayat 54, juga menjadi landasan bagi konsep tasawuf yang mengutamakan hubungan kasih sayang antara hamba dan Allah.

2.2.2.      Hadis Nabi sebagai Panduan Praktis

Banyak hadis Nabi yang menjadi rujukan dalam tasawuf, salah satunya adalah hadis tentang ihsan:

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

"Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini dijadikan sebagai dasar konsep muraqabah (kesadaran akan kehadiran Allah) dalam tasawuf.

2.2.3.      Kitab-Kitab Tasawuf Klasik

Beberapa kitab yang menjadi rujukan utama dalam ilmu tasawuf antara lain:

·                     Risalah al-Qusyairiyah oleh Imam al-Qusyairi, yang membahas prinsip-prinsip tasawuf.

·                     Ihya’ Ulumuddin oleh Imam al-Ghazali, yang menjelaskan hubungan antara syariat dan tasawuf.

·                     Al-Ta'aruf li Madzhab Ahl al-Tasawuf oleh Abu Bakr al-Kalabadzi, yang menjelaskan konsep-konsep tasawuf berdasarkan pemikiran ulama salaf.

·                     Futuhat al-Makkiyah oleh Ibn Arabi, yang mendalami aspek filosofis dalam tasawuf.

2.3.       Tujuan dan Manfaat Tasawuf dalam Kehidupan Muslim

Tasawuf memiliki tujuan utama dalam membentuk karakter seorang Muslim agar semakin dekat dengan Allah. Secara umum, manfaat tasawuf dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1)                  Pembersihan Hati (Tazkiyatun Nafs)

Menghilangkan sifat-sifat buruk seperti riya’, takabur, dan hasad.

Menguatkan kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan.⁶

2)                  Pendekatan Diri kepada Allah (Ma’rifatullah)

Melalui dzikir, tafakur, dan ibadah yang ikhlas, seseorang akan mencapai ma’rifatullah, yakni pengenalan hakiki terhadap Allah.⁷

Dalam perspektif tasawuf, orang yang mencapai ma’rifat akan merasakan ketenangan batin yang mendalam.

3)                  Peran Tasawuf dalam Masyarakat

Tasawuf tidak hanya bersifat individual, tetapi juga berdampak sosial dalam membentuk masyarakat yang berakhlak luhur.

Para sufi sering kali menjadi panutan dalam masyarakat karena keteladanan mereka dalam sikap rendah hati dan kasih sayang.

Dalam konteks dunia modern, tasawuf juga dapat menjadi solusi bagi krisis moral dan spiritual yang melanda umat Islam. Praktik tasawuf yang benar, seperti yang diajarkan oleh ulama-ulama besar, dapat membantu umat Islam menghadapi tantangan hidup dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.⁸


Footnotes

[1]                Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1999), 12.

[2]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah (Cairo: Dar al-Fikr, 2001), 8.

[3]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), 21.

[4]                Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), 470.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 54.

[6]                William Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: SUNY Press, 1989), 39.

[7]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 72.

[8]                Titus Burckhardt, An Introduction to Sufism (Bloomington: World Wisdom, 2008), 85.


3.           Imam Junaid al-Baghdadi (830-910 M)

3.1.       Biografi Singkat

Imam Junaid al-Baghdadi, yang dikenal sebagai "Syaikh al-Ta'ifah" (pemimpin kaum sufi), adalah salah satu tokoh utama dalam perkembangan tasawuf Sunni. Ia lahir di Baghdad pada tahun 830 M dan dikenal sebagai murid serta keponakan dari Sari al-Saqathi (w. 867 M), seorang sufi terkenal di zamannya.¹ Junaid tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan tradisi keilmuan Islam, khususnya dalam bidang fiqih, hadis, dan teologi. Ia belajar fiqih Mazhab Syafi’i di bawah bimbingan Abu Tsaur, seorang murid langsung dari Imam Syafi’i.²

Sejak kecil, Junaid menunjukkan kecerdasan luar biasa dalam memahami ajaran Islam. Ia kemudian mendalami ilmu tasawuf di bawah bimbingan Sari al-Saqathi dan beberapa ulama sufi lainnya. Junaid dikenal karena pendekatannya yang moderat dalam tasawuf, yang menekankan keseimbangan antara syariat dan hakikat.³

Sepanjang hidupnya, Imam Junaid mengajarkan bahwa tasawuf bukan hanya tentang pengalaman mistik semata, tetapi juga harus selaras dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Hal ini menjadikannya sebagai pelopor tasawuf Sunni yang mengedepankan aspek keseimbangan antara kehidupan duniawi dan spiritual.⁴ Ia wafat pada tahun 910 M di Baghdad, meninggalkan warisan pemikiran yang berpengaruh dalam dunia Islam.

3.2.       Pemikiran dan Ajaran Tasawuf Imam Junaid al-Baghdadi

3.2.1.      Konsep Fana' dan Baqa'

Salah satu konsep utama dalam ajaran Junaid adalah fana’ (keleburan dalam Allah) dan baqa’ (kekekalan dalam Allah). Dalam pandangan Junaid, fana’ tidak berarti hilangnya eksistensi manusia secara fisik, melainkan hilangnya ego dan hawa nafsu sehingga seseorang hanya melihat kehendak Allah dalam segala sesuatu.⁵ Baqa’ merupakan tahap lanjutan setelah fana’, di mana seorang sufi kembali ke kehidupan dunia dengan kesadaran penuh akan kehendak Ilahi dan berperan aktif dalam masyarakat.⁶

Pemahaman Junaid tentang fana’ berbeda dengan tasawuf ekstrem yang menekankan penghapusan total diri secara spiritual. Ia justru menegaskan bahwa fana’ harus diikuti dengan baqa’, yaitu keadaan di mana seseorang hidup kembali dalam kesadaran akan Allah, tetapi tetap menjalankan tugasnya di dunia sebagai hamba-Nya.⁷

3.2.2.      Keseimbangan antara Syariat dan Hakikat

Junaid menekankan bahwa seorang sufi sejati harus tetap berpegang teguh pada syariat Islam. Ia mengatakan:

"Jalan ini (tasawuf) dibangun atas dasar Al-Qur’an dan Sunnah. Barang siapa yang tidak membaca Al-Qur’an dan menulis hadis, maka ia tidak bisa diikuti dalam urusan ini."_⁸

Pernyataan ini menunjukkan bahwa tasawuf yang diajarkan oleh Junaid tidak terlepas dari hukum Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Baginya, hakikat spiritual tidak dapat dicapai tanpa mengikuti aturan-aturan syariat.

Pandangan ini membedakan Junaid dari beberapa tokoh sufi lain yang lebih menekankan pengalaman mistik tanpa terlalu banyak memperhatikan aspek syariat. Dalam hal ini, Junaid berusaha menggabungkan aspek formalitas hukum Islam dengan kedalaman spiritual yang menjadi inti ajaran tasawuf.⁹

3.2.3.      Konsep Ma’rifatullah (Pengenalan Hakiki terhadap Allah)

Junaid juga mengembangkan konsep ma’rifatullah, yaitu pengenalan hakiki terhadap Allah yang tidak hanya berdasarkan ilmu teoritis, tetapi juga melalui pengalaman spiritual. Ia menyatakan bahwa ma’rifat hanya dapat diperoleh melalui mujahadah (kesungguhan dalam beribadah), dzikir yang terus-menerus, dan mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Allah.¹⁰

Menurut Junaid, ma’rifatullah tidak dapat diperoleh hanya dengan membaca atau mempelajari kitab, tetapi harus melalui pengalaman langsung dalam perjalanan spiritual. Namun, ia tetap menekankan bahwa ma’rifat harus didasarkan pada prinsip-prinsip syariat Islam agar tidak terjerumus ke dalam penyimpangan akidah.¹¹

3.2.4.      Zuhud dan Kesederhanaan dalam Hidup

Sebagai seorang sufi, Junaid menjalani kehidupan yang sederhana dan menjauhi kemewahan dunia. Ia mengajarkan bahwa seorang Muslim harus memiliki sifat zuhud (tidak tergantung pada dunia), tetapi tetap menjalankan tanggung jawab sosialnya. Ia mengatakan:

"Orang yang zuhud bukanlah orang yang tidak memiliki dunia, tetapi orang yang tidak diperbudak oleh dunia."_¹²

Dengan kata lain, Junaid tidak mengajarkan bahwa seorang sufi harus meninggalkan kehidupan dunia sepenuhnya, tetapi lebih kepada bagaimana seorang Muslim seharusnya tidak terikat dengan keduniawian dan tetap berfokus pada Allah.

3.3.       Kitab-Kitab dan Pengaruh Pemikirannya

Pemikiran Junaid banyak dikutip dalam berbagai kitab tasawuf klasik, meskipun ia sendiri tidak menulis kitab secara sistematis. Beberapa pemikirannya dapat ditemukan dalam karya-karya berikut:

1)                  "Risalah al-Junayd" – Kumpulan ajaran dan perkataannya yang dikumpulkan oleh murid-muridnya.

2)                  "Tabaqat al-Sufiyyah" oleh Abu Abd al-Rahman al-Sulami – Menguraikan biografi dan ajaran Junaid.

3)                  "Hilyat al-Awliya’" oleh Abu Nu'aym – Memuat kisah-kisah dan kebijaksanaan Junaid.

Pengaruh Junaid sangat besar dalam perkembangan tasawuf Sunni. Ia menjadi rujukan utama bagi banyak tarekat sufi, termasuk Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.¹³ Pandangannya tentang keseimbangan antara syariat dan tasawuf juga menjadi model bagi generasi sufi berikutnya.


Footnotes

[1]                Abu Abd al-Rahman al-Sulami, Tabaqat al-Sufiyyah (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1960), 105.

[2]                Abu Nu’aym al-Isfahani, Hilyat al-Awliya’ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 224.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 77.

[4]                William Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: SUNY Press, 1989), 52.

[5]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 87.

[6]                Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1999), 33.

[7]                Burhan al-Din al-Tirmidhi, Manaqib al-Sufiyyah (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1985), 112.

[8]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah (Cairo: Dar al-Fikr, 2001), 75.

[9]                Titus Burckhardt, An Introduction to Sufism (Bloomington: World Wisdom, 2008), 91.

[10]             Junaid al-Baghdadi, Risalah al-Junayd (Cairo: Dar al-Hikmah, 1986), 57.

[11]             Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 115.

[12]             Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, 88.

[13]             Nasr, The Garden of Truth, 99.


4.           Rabiah al-Adawiyah (713-801 M)

4.1.       Biografi Singkat

Rabiah al-Adawiyah adalah salah satu tokoh perempuan paling terkenal dalam sejarah tasawuf Islam. Ia lahir di Basrah, Irak, pada tahun 713 M dalam kondisi keluarga yang sangat miskin. Menurut riwayat, ia merupakan anak keempat dalam keluarganya, sehingga dinamakan "Rabiah" yang berarti "keempat".¹ Setelah kematian orang tuanya, Rabiah mengalami masa-masa sulit dan bahkan sempat menjadi budak sebelum akhirnya dibebaskan oleh majikannya karena melihat ketakwaan dan kesalehannya yang luar biasa.²

Sejak kecil, Rabiah telah menunjukkan kecenderungan terhadap kehidupan zuhud dan ibadah yang mendalam. Ia lebih memilih menjalani hidup dalam kesederhanaan dan kesunyian, menghabiskan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tidak seperti kebanyakan sufi lainnya, Rabiah tidak berguru kepada siapa pun, tetapi ilham dan pengalaman spiritualnya berkembang melalui ibadah dan kontemplasi pribadi.³

Rabiah al-Adawiyah hidup dalam masa keemasan peradaban Islam, di mana ilmu tasawuf mulai berkembang pesat. Meski hidup sebagai perempuan sufi, ia memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan ajaran tasawuf, terutama dalam hal mahabbah ilahiyyah (cinta Ilahi), yang kemudian menjadi ciri khas tasawuf Sunni.⁴

4.2.       Pemikiran dan Ajaran Tasawuf Rabiah al-Adawiyah

4.2.1.      Konsep Mahabbah (Cinta Ilahi) dalam Tasawuf

Salah satu ajaran paling menonjol dari Rabiah adalah konsep mahabbah atau cinta Ilahi. Ia mengajarkan bahwa hubungan antara manusia dan Allah harus didasarkan pada cinta murni, bukan karena rasa takut kepada neraka atau keinginan akan surga. Rabiah berkata:

"Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, jauhkanlah aku darinya. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena cinta kepada-Mu, maka janganlah Engkau jauhkan aku dari keindahan wajah-Mu."_⁵

Konsep cinta ini menjadi salah satu fondasi penting dalam tasawuf, yang kemudian diadopsi oleh banyak sufi setelahnya, termasuk Imam al-Ghazali dan Ibn Arabi.⁶ Mahabbah dalam pemikiran Rabiah menggambarkan keadaan spiritual tertinggi di mana seorang hamba beribadah kepada Allah bukan karena takut atau harapan akan pahala, tetapi karena kesadaran akan keindahan dan kemuliaan-Nya.

4.2.2.      Zuhud dan Penolakan terhadap Duniawi

Rabiah menjalani kehidupan dengan penuh zuhud, tidak terikat oleh harta dan kesenangan duniawi. Ia menolak untuk menikah meskipun banyak ulama dan bangsawan yang melamarnya, karena merasa bahwa cinta dan perhatiannya sepenuhnya milik Allah.⁷ Sikapnya ini mencerminkan keyakinannya bahwa seorang sufi harus menghindari segala hal yang dapat mengalihkan perhatiannya dari Allah.

Rabiah juga tidak pernah meminta atau menerima harta dari siapa pun. Ia mengajarkan bahwa kehidupan dunia hanyalah fana dan seseorang tidak boleh terikat dengannya. Baginya, kekayaan sejati adalah kedekatan dengan Allah, bukan materi duniawi.⁸

4.2.3.      Konsep Khauf (Takut) dan Raja’ (Harapan) dalam Hubungan dengan Allah

Selain cinta, Rabiah juga mengajarkan keseimbangan antara khauf (rasa takut kepada Allah) dan raja’ (harapan akan rahmat-Nya). Ia menegaskan bahwa seorang Muslim harus takut akan murka Allah, tetapi tidak boleh putus asa dari rahmat-Nya. Dalam doanya, Rabiah pernah berkata:

"Ya Allah, mataku telah tertidur, tetapi hati ini tetap terjaga untuk-Mu. Ya Allah, aku mencari-Mu, bukan karena takut neraka atau berharap surga, tetapi karena aku merindukan perjumpaan dengan-Mu."_⁹

Konsep ini menunjukkan bagaimana seorang sufi sejati memandang Allah dengan penuh rasa hormat, tetapi tetap mengutamakan cinta dan kasih sayang dalam hubungannya dengan Sang Pencipta.

4.2.4.      Keteguhan dalam Ibadah dan Kesucian Hati

Rabiah dikenal karena ibadahnya yang luar biasa. Ia sering menghabiskan malam-malamnya dengan shalat dan dzikir kepada Allah. Kesalehannya begitu mendalam sehingga banyak ulama pada zamannya yang berguru kepadanya, meskipun ia seorang perempuan.¹⁰

Dalam ajarannya, Rabiah menekankan bahwa ibadah yang sejati adalah ibadah yang dilakukan dengan hati yang tulus dan suci, bukan karena kepentingan duniawi. Baginya, Allah tidak membutuhkan ibadah manusia, tetapi manusialah yang membutuhkan Allah untuk menyucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada-Nya.¹¹

4.3.       Kitab-Kitab dan Pengaruh Pemikirannya

Rabiah al-Adawiyah tidak meninggalkan karya tulis dalam bentuk kitab, tetapi ajaran dan hikmahnya terdokumentasikan dalam berbagai sumber, termasuk:

1)                  "Tabaqat al-Sufiyyah" karya Abu Abd al-Rahman al-Sulami – Berisi biografi dan pemikiran para sufi, termasuk Rabiah.

2)                  "Hilyat al-Awliya’" karya Abu Nu'aym al-Isfahani – Menguraikan kisah hidup dan kata-kata hikmah Rabiah.

3)                  "Ihya' Ulumuddin" karya Imam al-Ghazali – Mengutip ajaran mahabbah Rabiah dalam pembahasan tasawuf.

Pengaruh Rabiah sangat besar dalam dunia tasawuf. Konsep mahabbah yang ia ajarkan menjadi dasar bagi banyak aliran sufi setelahnya. Bahkan, pemikirannya menjadi inspirasi bagi penyair-penyair sufi seperti Jalaluddin Rumi dan Hafiz dari Persia.¹²


Footnotes

[1]                Abu Abd al-Rahman al-Sulami, Tabaqat al-Sufiyyah (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1960), 98.

[2]                Margaret Smith, Rabi'a the Mystic and Her Fellow-Saints in Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1928), 25.

[3]                Abu Nu’aym al-Isfahani, Hilyat al-Awliya’ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 302.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 58.

[5]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah (Cairo: Dar al-Fikr, 2001), 112.

[6]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 101.

[7]                Smith, Rabi'a the Mystic, 56.

[8]                William Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: SUNY Press, 1989), 79.

[9]                Abu Nu’aym, Hilyat al-Awliya’, 305.

[10]             Smith, Rabi'a the Mystic, 82.

[11]             Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1999), 49.

[12]             Nasr, The Garden of Truth, 64.


5.           Imam al-Ghazali (1058-1111 M)

5.1.       Biografi Singkat

Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir pada tahun 1058 M di Thus, Khurasan (sekarang Iran). Ia dikenal sebagai salah satu ulama terbesar dalam sejarah Islam, dengan kontribusi luar biasa dalam bidang fiqih, teologi (kalam), filsafat, dan tasawuf.¹ Al-Ghazali dibesarkan dalam lingkungan keilmuan yang kuat, dan sejak muda telah menunjukkan kecerdasan luar biasa dalam memahami ilmu agama.

Pendidikan awalnya dimulai di Thus, lalu melanjutkan ke Jurjan dan Nishapur, di mana ia berguru kepada Imam al-Juwaini (w. 1085), seorang teolog dan faqih besar Mazhab Syafi'i. Setelah wafatnya al-Juwaini, al-Ghazali diangkat sebagai profesor di Madrasah Nizamiyah Baghdad, sebuah lembaga pendidikan Islam paling prestisius pada masanya.²

Namun, di puncak karier akademiknya, al-Ghazali mengalami krisis spiritual yang membuatnya meninggalkan jabatan dan kehidupan duniawi. Ia kemudian mengembara ke berbagai tempat, termasuk Mekah, Madinah, Suriah, dan Palestina, untuk mendalami kehidupan tasawuf.³ Perjalanan ini mengantarkannya kepada pemahaman bahwa tasawuf adalah jalan menuju kebenaran hakiki, yang kemudian ia uraikan dalam karya monumentalnya, Ihya' Ulumuddin.

Setelah bertahun-tahun dalam perjalanan spiritualnya, al-Ghazali kembali ke Thus dan menghabiskan sisa hidupnya dengan mengajar serta menulis. Ia wafat pada tahun 1111 M dan meninggalkan warisan intelektual yang terus berpengaruh dalam dunia Islam hingga saat ini.⁴

5.2.       Pemikiran dan Ajaran Tasawuf Imam al-Ghazali

5.2.1.      Integrasi antara Syariat, Tarekat, dan Hakikat

Salah satu kontribusi terbesar al-Ghazali dalam tasawuf adalah konsepnya tentang integrasi antara syariat, tarekat, dan hakikat. Ia menegaskan bahwa seseorang tidak dapat mencapai hakikat tanpa melewati jalan syariat dan tarekat terlebih dahulu. Dalam Ihya' Ulumuddin, ia menulis:

"Barang siapa hanya mengikuti syariat tanpa tarekat, maka ia kering dari spiritualitas. Barang siapa hanya menempuh tarekat tanpa syariat, maka ia akan tersesat. Tetapi barang siapa yang menggabungkan keduanya, maka ia akan mencapai hakikat."_⁵

Konsep ini menegaskan bahwa tasawuf bukanlah ajaran yang bertentangan dengan hukum Islam (syariat), tetapi justru merupakan bagian dari penyempurnaannya.

5.2.2.      Penyucian Hati (Tazkiyatun Nafs) sebagai Jalan Menuju Ma’rifatullah

Al-Ghazali sangat menekankan pentingnya tazkiyatun nafs atau penyucian hati dalam perjalanan spiritual seorang Muslim. Ia berpendapat bahwa hati manusia adalah pusat kesadaran spiritual, dan jika hati dikuasai oleh hawa nafsu dan sifat buruk, maka ia tidak akan mampu mengenali Allah.⁶

Dalam kitab Ihya' Ulumuddin, ia menyebutkan berbagai metode penyucian hati, seperti:

·                     Dzikir dan muraqabah (kesadaran akan kehadiran Allah) sebagai sarana menghilangkan kelalaian spiritual.

·                     Muhasabah (introspeksi diri) untuk menilai kesalahan diri dan memperbaikinya.

·                     Mujahadah (usaha melawan hawa nafsu) sebagai bentuk disiplin spiritual.⁷

Bagi al-Ghazali, hanya dengan hati yang bersih seseorang dapat mencapai ma’rifatullah (pengenalan hakiki terhadap Allah).

5.2.3.      Kritik terhadap Filsafat dan Pemurnian Akidah Islam

Sebelum mendalami tasawuf, al-Ghazali dikenal sebagai filsuf yang menguasai pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme. Namun, setelah perjalanannya dalam tasawuf, ia menjadi kritikus utama terhadap filsafat rasionalistik yang berlebihan. Dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah (Kekeliruan Para Filosof), ia mengkritik para filsuf Muslim seperti Ibn Sina dan al-Farabi karena dianggap terlalu mengandalkan akal dalam memahami ketuhanan.⁸

Menurut al-Ghazali, akal memiliki keterbatasan dalam memahami aspek spiritual, dan hanya dengan pendekatan tasawuf seseorang dapat mencapai kebenaran hakiki. Pandangan ini menjadikan al-Ghazali sebagai tokoh penting dalam membangun sintesis antara pemikiran rasional dan pengalaman spiritual dalam Islam.⁹

5.2.4.      Konsep Kebahagiaan dalam Islam

Al-Ghazali juga membahas konsep sa’adah (kebahagiaan) dalam tasawuf. Ia berpendapat bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat diperoleh dari kesenangan duniawi, tetapi hanya dapat dicapai melalui hubungan yang mendalam dengan Allah.¹⁰

Ia membagi kebahagiaan menjadi dua jenis:

·                     Kebahagiaan duniawi, yang bersifat sementara dan sering kali menipu.

·                     Kebahagiaan ukhrawi, yang abadi dan hanya dapat diraih melalui perjalanan spiritual.

Dengan demikian, tasawuf menurut al-Ghazali adalah jalan menuju kebahagiaan sejati yang akan membawa manusia kepada ketenangan batin dan kedekatan dengan Allah.

5.3.       Kitab-Kitab dan Pengaruh Pemikirannya

Pemikiran tasawuf al-Ghazali terdokumentasikan dalam banyak karyanya, beberapa di antaranya adalah:

1)                  "Ihya' Ulumuddin" – Karya terbesar al-Ghazali yang menjelaskan integrasi antara syariat dan tasawuf.

2)                  "Tahafut al-Falasifah" – Kritik terhadap filsafat rasionalistik.

3)                  "Mishkat al-Anwar" – Pembahasan tentang cahaya Ilahi dalam kehidupan manusia.

4)                  "Al-Munqidh min al-Dhalal" – Otobiografi spiritualnya yang menggambarkan perjalanannya dari ilmu kalam, filsafat, hingga tasawuf.

Pengaruh al-Ghazali sangat besar dalam dunia Islam, baik dalam bidang tasawuf, fiqih, maupun teologi. Ia menjadi inspirasi bagi banyak ulama dan pemikir Muslim setelahnya, termasuk Ibn Taymiyyah dan Jalaluddin Rumi.¹¹


Footnotes

[1]                W. Montgomery Watt, Muslim Intellectual: A Study of Al-Ghazali (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1963), 14.

[2]                Abu Bakr al-Zabidi, Al-Ghazali wa Atsaruhu fi al-Fikr al-Islami (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), 32.

[3]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 51.

[4]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 98.

[5]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), 21.

[6]                Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1999), 66.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 89.

[8]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Cairo: Dar al-Ma'arif, 2002), 39.

[9]                William Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: SUNY Press, 1989), 78.

[10]             Al-Ghazali, Mishkat al-Anwar (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), 65.

[11]             Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology, 112.


6.           Syekh Abdul Qadir al-Jailani (1077-1166 M)

6.1.       Biografi Singkat

Syekh Abdul Qadir al-Jailani lahir pada tahun 1077 M di desa Jailan, Persia (sekarang Iran). Ia dikenal sebagai salah satu ulama sufi paling berpengaruh dalam sejarah Islam dan pendiri Tarekat Qadiriyah, salah satu tarekat terbesar dalam dunia tasawuf.¹ Sejak kecil, ia menunjukkan kecerdasan luar biasa dalam memahami ilmu agama dan memiliki kecenderungan spiritual yang mendalam.

Pada usia 18 tahun, Abdul Qadir al-Jailani berangkat ke Baghdad untuk mendalami ilmu agama. Di sana, ia belajar di bawah bimbingan ulama besar seperti Abu Sa'id al-Mubarak al-Mukharrami dan Abu al-Wafa' Ibn Aqil, yang mengajarkannya fiqih Mazhab Hanbali, hadis, dan tafsir Al-Qur'an.² Setelah menyelesaikan studinya, ia memilih hidup dalam kesederhanaan dan banyak menghabiskan waktu dengan uzlah (menyepi) serta menjalani latihan spiritual yang ketat.

Setelah bertahun-tahun dalam pengasingan spiritual, Syekh Abdul Qadir kembali ke Baghdad dan mulai mengajar serta berdakwah. Majelis pengajiannya menarik banyak murid dari berbagai latar belakang, termasuk ahli fiqih, teolog, dan pencari jalan tasawuf. Pengaruhnya begitu besar sehingga ia dijuluki "Sultanul Awliya" (Penghulu Para Wali).³ Ia wafat pada tahun 1166 M di Baghdad, meninggalkan warisan ajaran yang masih diamalkan oleh jutaan Muslim di seluruh dunia hingga saat ini.

6.2.       Pemikiran dan Ajaran Tasawuf Syekh Abdul Qadir al-Jailani

6.2.1.      Zuhud dan Tawakal sebagai Landasan Spiritual

Salah satu prinsip utama dalam ajaran Syekh Abdul Qadir adalah zuhud (melepaskan diri dari ketergantungan duniawi) dan tawakal (berserah diri sepenuhnya kepada Allah). Ia mengajarkan bahwa seorang sufi harus hidup dengan sederhana dan tidak tergoda oleh harta dunia, karena kecintaan kepada dunia akan menghalangi seseorang dari kedekatan dengan Allah.

Dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, ia menulis:

"Jika dunia berada di tanganmu, maka jangan biarkan ia masuk ke dalam hatimu. Biarlah dunia tetap menjadi alat, bukan tujuan."_⁴

Tawakal menurut Abdul Qadir bukan berarti meninggalkan usaha, tetapi meyakini bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Allah. Dengan kata lain, seorang Muslim harus berusaha dengan maksimal, tetapi tetap berserah diri kepada ketetapan-Nya.

6.2.2.      Hubungan antara Syariat dan Hakikat

Syekh Abdul Qadir sangat menekankan pentingnya menjalankan syariat Islam sebagai fondasi utama dalam tasawuf. Berbeda dengan beberapa sufi ekstrem yang mengabaikan hukum syariat demi pengalaman mistik, ia justru menegaskan bahwa seorang sufi sejati harus terlebih dahulu menguasai ilmu fiqih dan akidah sebelum menempuh jalan tasawuf.

Dalam ceramahnya yang dikumpulkan dalam Futuh al-Ghaib, ia berkata:

"Tasawuf tanpa syariat adalah kesesatan, dan syariat tanpa tasawuf adalah kering. Seorang sufi harus menyeimbangkan antara hukum Islam dan pengalaman spiritual."_⁵

Dengan ajaran ini, ia berusaha menyelaraskan antara dimensi lahiriah dan batiniah Islam, sehingga menjadikannya salah satu tokoh sufi Sunni yang paling dihormati.

6.2.3.      Konsep Jihad al-Nafs (Perjuangan Melawan Hawa Nafsu)

Ajaran Syekh Abdul Qadir juga sangat menekankan konsep jihad al-nafs, yaitu perjuangan melawan hawa nafsu sebagai jalan menuju kesempurnaan spiritual. Menurutnya, musuh terbesar seorang Muslim bukanlah musuh eksternal, tetapi nafsu yang ada dalam dirinya sendiri.

Dalam salah satu pengajarannya, ia berkata:

"Orang yang paling kuat bukanlah yang mengalahkan musuh di medan perang, tetapi yang mampu mengalahkan nafsunya sendiri."_⁶

Jihad al-nafs dalam pandangan Syekh Abdul Qadir melibatkan:

·                     Mujahadah (usaha keras dalam ibadah) untuk membersihkan hati dari kesombongan dan penyakit spiritual.

·                     Muraqabah (kesadaran akan pengawasan Allah) dalam setiap tindakan.

·                     Tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dengan memperbanyak dzikir dan ibadah.

6.2.4.      Kedudukan Wali dalam Spiritual Islam

Syekh Abdul Qadir juga banyak membahas tentang kedudukan wali (awliya’ Allah) dalam Islam. Ia meyakini bahwa para wali adalah hamba-hamba pilihan Allah yang memiliki kedekatan khusus dengan-Nya dan berperan sebagai pembimbing umat. Dalam kitabnya Jila' al-Khatir, ia menjelaskan bahwa wali bukanlah orang yang memiliki kekuatan supranatural, tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki ketakwaan luar biasa dan mendapat ilham dari Allah.⁷

Dalam dunia tarekat, ajaran tentang kewalian ini menjadi dasar bagi sistem spiritual yang berkembang dalam Tarekat Qadiriyah dan tarekat lainnya.

6.3.       Kitab-Kitab dan Pengaruh Pemikirannya

Syekh Abdul Qadir al-Jailani meninggalkan beberapa karya penting yang menjadi rujukan dalam dunia tasawuf, di antaranya:

1)                  "Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq" – Kitab yang membahas panduan praktis dalam menjalani kehidupan sufi berdasarkan syariat Islam.

2)                  "Futuh al-Ghaib" – Kumpulan ceramah dan nasihat spiritual yang menekankan jihad al-nafs dan hubungan antara syariat serta hakikat.

3)                  "Jila' al-Khatir" – Kitab yang membahas tentang konsep kewalian dan perjalanan spiritual.

Pengaruhnya tidak hanya terbatas pada dunia Islam klasik, tetapi juga terus berkembang dalam dunia Islam modern melalui Tarekat Qadiriyah, yang memiliki jutaan pengikut di berbagai belahan dunia, termasuk Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan, dan Indonesia.⁸


Footnotes

[1]                Abu Abd al-Rahman al-Sulami, Tabaqat al-Sufiyyah (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1960), 127.

[2]                Itzchak Weismann, The Naqshbandiyya: Orthodoxy and Activism in a Worldwide Sufi Tradition (London: Routledge, 2007), 43.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 102.

[4]                Abdul Qadir al-Jailani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 87.

[5]                Abdul Qadir al-Jailani, Futuh al-Ghaib (Cairo: Dar al-Fikr, 1999), 46.

[6]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 112.

[7]                Abdul Qadir al-Jailani, Jila' al-Khatir (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2004), 72.

[8]                Weismann, The Naqshbandiyya, 98.


7.           Analisis Komparatif Ajaran Tasawuf Empat Tokoh Besar

Tasawuf merupakan aspek spiritual dalam Islam yang berkembang dengan berbagai pendekatan dan metode, tergantung pada konteks sosial, budaya, serta pemahaman individu terhadap ajaran Islam. Keempat tokoh besar tasawuf yang telah dibahas sebelumnya—Imam Junaid al-Baghdadi, Rabiah al-Adawiyah, Imam al-Ghazali, dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani—memiliki kontribusi unik dalam membentuk pemikiran tasawuf Sunni yang sejalan dengan syariat Islam. Meskipun mereka memiliki perspektif yang berbeda, ajaran mereka tetap berlandaskan pada tujuan yang sama: mencapai ma’rifatullah (pengenalan hakiki terhadap Allah) melalui penyucian diri dan pendekatan spiritual yang mendalam.

7.1.       Persamaan Ajaran dalam Konteks Tasawuf Sunni

7.1.1.      Fokus pada Penyucian Jiwa (Tazkiyatun Nafs) dan Kesempurnaan Akhlak

Keempat tokoh ini sepakat bahwa tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) adalah langkah fundamental dalam perjalanan spiritual menuju Allah. Imam Junaid al-Baghdadi menekankan bahwa fana’ (melebur dalam kehendak Allah) hanya dapat dicapai setelah seseorang membersihkan hatinya dari nafsu duniawi.¹

Rabiah al-Adawiyah menambahkan dimensi mahabbah (cinta Ilahi) sebagai puncak dari penyucian jiwa, di mana seorang sufi tidak lagi beribadah karena takut neraka atau mengharap surga, tetapi semata-mata karena kecintaan kepada Allah.²

Sementara itu, Imam al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin menjelaskan bahwa tasawuf bukan sekadar praktik spiritual, tetapi juga merupakan penyempurnaan akhlak dan disiplin syariat.³ Syekh Abdul Qadir al-Jailani sependapat dengan konsep ini, tetapi lebih menekankan pada aspek jihad al-nafs (perjuangan melawan hawa nafsu) sebagai bentuk kesungguhan dalam mencapai ma’rifatullah.⁴

7.1.2.      Integrasi antara Syariat dan Hakikat

Salah satu aspek utama dalam tasawuf Sunni adalah keselarasan antara syariat dan hakikat. Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali menegaskan bahwa syariat adalah fondasi utama dalam tasawuf, dan seseorang tidak dapat mencapai hakikat tanpa melalui syariat terlebih dahulu.⁵

Syekh Abdul Qadir al-Jailani menegaskan bahwa tasawuf yang benar adalah tasawuf yang tidak keluar dari kerangka hukum Islam. Dalam Futuh al-Ghaib, ia mengatakan:

"Tasawuf tanpa syariat adalah kesesatan, dan syariat tanpa tasawuf adalah kekeringan."_⁶

Rabiah al-Adawiyah, meskipun lebih menonjol dalam aspek mahabbah, tetap menjalankan syariat dengan ketat dan tidak pernah menyimpang dari ajaran Al-Qur'an dan Sunnah.

7.2.       Perbedaan dalam Pendekatan Spiritual

·                     Imam Junaid al-Baghdadi

Fokus Ajaran: Fana’ dan Baqa’

Pendekatan dalam Tasawuf: Menekankan keseimbangan antara syariat dan hakikat, serta metode suluk (perjalanan spiritual) yang ketat.⁷

·                     Rabiah al-Adawiyah

Fokus Ajaran: Mahabbah Ilahiyyah

Pendekatan dalam Tasawuf: Menekankan cinta murni kepada Allah sebagai puncak ibadah, tanpa mengharapkan surga atau takut neraka.⁸

·                     Imam al-Ghazali

Fokus Ajaran: Integrasi Syariat dan Tasawuf

Pendekatan dalam Tasawuf: Menyelaraskan antara fiqih, teologi, dan tasawuf dalam kehidupan seorang Muslim.⁹

·                     Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Fokus Ajaran: Jihad al-Nafs dan Kewalian

Pendekatan dalam Tasawuf: Mengajarkan perjuangan melawan hawa nafsu dan konsep kewalian dalam Islam.¹⁰

Imam Junaid al-Baghdadi lebih menekankan pada konsep fana’ dan baqa’, yaitu melebur dalam kehendak Allah sebelum kembali kepada kehidupan dunia dengan kesadaran spiritual yang tinggi.

Rabiah al-Adawiyah, di sisi lain, mengembangkan konsep mahabbah ilahiyyah, yang menekankan bahwa ibadah yang sejati harus berlandaskan cinta yang tulus kepada Allah.

Imam al-Ghazali berusaha menjembatani antara teologi, fiqih, dan tasawuf, sehingga tasawuf yang dia ajarkan bersifat akademis dan mudah dipahami oleh masyarakat umum.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani lebih menekankan pada aspek jihad al-nafs, yaitu perjuangan melawan hawa nafsu serta konsep kewalian sebagai peran spiritual dalam membimbing umat.

7.3.       Dampak Pemikiran Mereka terhadap Perkembangan Islam

7.3.1.      Pengaruh terhadap Dunia Akademik dan Ulama

Pemikiran Imam al-Ghazali sangat berpengaruh dalam dunia akademik Islam, terutama dalam pendidikan madrasah. Kitab Ihya' Ulumuddin menjadi rujukan utama dalam banyak institusi keislaman dan tetap digunakan hingga kini.¹¹

Imam Junaid al-Baghdadi menjadi rujukan utama dalam tarekat tasawuf, terutama bagi tarekat Naqsyabandiyah dan Syadziliyah. Syekh Abdul Qadir al-Jailani, melalui Tarekat Qadiriyah, menyebarkan ajaran tasawuf yang moderat ke berbagai belahan dunia Islam.

7.3.2.      Relevansi Ajaran dalam Kehidupan Muslim Modern

Di era modern, ajaran mereka tetap relevan dalam membentuk karakter Muslim yang spiritual dan tetap berpegang teguh pada syariat. Konsep mahabbah Rabiah al-Adawiyah dapat menjadi inspirasi bagi kaum Muslimin dalam menjalani kehidupan dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Jihad al-nafs yang diajarkan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani dapat diterapkan dalam konteks pengendalian diri dari godaan teknologi dan materialisme yang semakin kuat dalam kehidupan modern.

Ajaran Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali tentang keseimbangan antara syariat dan tasawuf dapat menjadi solusi bagi umat Islam dalam menghadapi berbagai tantangan duniawi tanpa kehilangan esensi spiritualitas Islam.


Footnotes

[1]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah (Cairo: Dar al-Fikr, 2001), 78.

[2]                Margaret Smith, Rabi'a the Mystic and Her Fellow-Saints in Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1928), 56.

[3]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), 22.

[4]                Abdul Qadir al-Jailani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 87.

[5]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 101.

[6]                Abdul Qadir al-Jailani, Futuh al-Ghaib (Cairo: Dar al-Fikr, 1999), 46.

[7]                Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1999), 33.

[8]                Smith, Rabi'a the Mystic, 72.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth (New York: HarperOne, 2007), 58.

[10]             Weismann, The Naqshbandiyya: Orthodoxy and Activism in a Worldwide Sufi Tradition (London: Routledge, 2007), 43.

[11]             Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 51.


8.           Relevansi Ajaran Tasawuf dalam Konteks Kontemporer

Tasawuf, sebagai dimensi spiritual dalam Islam, tidak hanya berperan dalam aspek ibadah dan penyucian jiwa tetapi juga memiliki relevansi yang kuat dalam menghadapi tantangan kehidupan modern. Dunia kontemporer yang dipenuhi dengan individualisme, materialisme, dan krisis spiritual semakin memperlihatkan perlunya pendekatan tasawuf untuk mencapai keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi.

Dalam bab ini, akan dibahas bagaimana ajaran tasawuf dari Imam Junaid al-Baghdadi, Rabiah al-Adawiyah, Imam al-Ghazali, dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani tetap relevan dalam konteks kehidupan Muslim saat ini.

8.1.       Tasawuf sebagai Solusi terhadap Krisis Moral dan Spiritual

Dunia modern menghadapi krisis moral dan spiritual, di mana nilai-nilai agama sering kali terpinggirkan oleh budaya hedonisme dan sekularisme. Dalam konteks ini, ajaran tasawuf dapat menjadi solusi untuk mengembalikan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan manusia.

8.1.1.      Mengatasi Kegelisahan Spiritual melalui Konsep Ma’rifatullah

Salah satu permasalahan utama di era kontemporer adalah kegelisahan batin akibat tekanan sosial, ketidakpastian ekonomi, dan perubahan teknologi yang cepat. Tasawuf menawarkan jalan ketenangan batin melalui konsep ma’rifatullah (pengenalan hakiki terhadap Allah).¹

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam harta atau status sosial, tetapi dalam kesadaran akan kehadiran Allah di setiap aspek kehidupan.² Hal ini sangat relevan dengan kehidupan modern yang sering kali menempatkan kebahagiaan pada hal-hal materialistis, tetapi justru menimbulkan kehampaan spiritual.

8.1.2.      Mencegah Radikalisme melalui Pendekatan Tasawuf yang Moderat

Tasawuf memiliki peran penting dalam membendung paham ekstremisme yang berkembang dalam beberapa kelompok Islam kontemporer. Salah satu prinsip yang diajarkan oleh Imam Junaid al-Baghdadi adalah "tasawuf harus selaras dengan syariat", sehingga tidak ada ruang bagi penyimpangan atau sikap fanatisme berlebihan.³

Sebagai contoh, dalam kajian tentang peran tarekat sufi di dunia Islam, tasawuf sering dikaitkan dengan pendekatan rahmatan lil ‘alamin, yang menekankan kasih sayang dan keseimbangan dalam beragama.⁴ Ini menjadikan tasawuf sebagai pendekatan yang efektif dalam melawan pemikiran ekstrem yang hanya berfokus pada aspek hukum tetapi mengabaikan nilai-nilai spiritual Islam.

8.2.       Penerapan Nilai-Nilai Tasawuf dalam Kehidupan Sehari-hari

Ajaran tasawuf tidak hanya terbatas dalam lingkup ibadah, tetapi juga memiliki dampak dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pendidikan, hubungan sosial, dan pengendalian diri.

8.2.1.      Pendidikan Karakter Berbasis Tasawuf

Dalam dunia pendidikan, ajaran tasawuf dapat menjadi pondasi dalam pembentukan karakter yang baik. Imam al-Ghazali menekankan bahwa pendidikan bukan hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga tentang pembentukan akhlak yang baik.⁵

Konsep ini telah diterapkan di berbagai lembaga pendidikan Islam, di mana nilai-nilai tasawuf seperti kesabaran, keikhlasan, dan ketulusan menjadi bagian dari kurikulum pendidikan karakter.⁶

8.2.2.      Pengendalian Diri dan Keseimbangan Hidup

Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam Futuh al-Ghaib menjelaskan bahwa jihad terbesar bukanlah melawan musuh di medan perang, tetapi melawan hawa nafsu dalam diri sendiri.⁷ Konsep jihad al-nafs ini sangat relevan dalam menghadapi tantangan modern, seperti kecanduan media sosial, gaya hidup konsumtif, dan tekanan kerja yang tinggi.

Rabiah al-Adawiyah, dengan ajaran mahabbah ilahiyyah (cinta Ilahi), juga memberikan inspirasi bagi individu agar tidak terlalu terobsesi dengan kesuksesan duniawi, tetapi tetap mengedepankan keikhlasan dan cinta kepada Allah dalam setiap aktivitasnya.⁸

8.3.       Kritik terhadap Tasawuf dan Upaya Pemurnian Ajarannya

Meskipun tasawuf memiliki banyak manfaat, ada beberapa kritik yang perlu diperhatikan, terutama terkait dengan penyimpangan ajaran tasawuf dalam beberapa kelompok tarekat. Beberapa penyimpangan yang sering terjadi antara lain:

1)                  Pengkultusan terhadap guru sufi (mursyid) yang berlebihan.

2)                  Amalan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, seperti praktik khurafat dan takhayul.

3)                  Tasawuf pasif, yaitu pandangan bahwa seorang Muslim cukup fokus pada ibadah dan meninggalkan kewajiban sosial.

Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali sudah sejak awal memperingatkan bahwa tasawuf harus tetap berada dalam koridor syariat. Oleh karena itu, tasawuf yang berkembang saat ini harus tetap berpegang pada prinsip Al-Qur'an dan Sunnah, serta menolak praktik-praktik yang tidak memiliki dasar dalam Islam.⁹


Kesimpulan

1)                  Tasawuf tetap relevan dalam menghadapi tantangan spiritual modern, terutama dalam mengatasi kegelisahan batin, membangun keseimbangan hidup, dan melawan radikalisme.

2)                  Konsep ma’rifatullah, jihad al-nafs, dan mahabbah ilahiyyah dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan sejati.

3)                  Tasawuf harus tetap berada dalam koridor syariat Islam, sehingga tidak terjebak dalam penyimpangan yang dapat merusak ajaran Islam itu sendiri.

Dengan memahami ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, Rabiah al-Adawiyah, Imam al-Ghazali, dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani, kita dapat mengambil manfaat besar dari tasawuf sebagai jalan menuju kebahagiaan sejati, penguatan akhlak, dan keseimbangan hidup di era modern.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 54.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), 67.

[3]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah (Cairo: Dar al-Fikr, 2001), 92.

[4]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 147.

[5]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 89.

[6]                William Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: SUNY Press, 1989), 132.

[7]                Abdul Qadir al-Jailani, Futuh al-Ghaib (Cairo: Dar al-Fikr, 1999), 57.

[8]                Margaret Smith, Rabi'a the Mystic and Her Fellow-Saints in Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1928), 72.

[9]                Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1999), 91.


9.           Kesimpulan

Pembahasan mengenai tokoh dan ajaran tasawuf sufi besar telah memberikan gambaran yang komprehensif tentang bagaimana tasawuf memainkan peran penting dalam perkembangan spiritual Islam. Melalui kajian terhadap empat tokoh besar—Imam Junaid al-Baghdadi, Rabiah al-Adawiyah, Imam al-Ghazali, dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani—dapat disimpulkan bahwa tasawuf bukan hanya sebatas praktik mistik, tetapi merupakan metode penyucian diri yang berlandaskan syariat Islam dan bertujuan untuk mencapai ma’rifatullah (pengenalan hakiki terhadap Allah).

9.1.       Kontribusi Tokoh-Tokoh Besar dalam Tasawuf

Setiap tokoh sufi yang dikaji dalam penelitian ini memiliki kontribusi yang berbeda dalam membentuk ajaran tasawuf:

1)                  Imam Junaid al-Baghdadi dikenal sebagai pelopor tasawuf Sunni yang menekankan keseimbangan antara syariat dan hakikat. Ajarannya tentang fana’ (lebur dalam Allah) dan baqa’ (kekekalan dalam kehendak Allah) memberikan dasar bagi perkembangan tarekat-tarekat sufi yang berbasis syariat.¹

2)                  Rabiah al-Adawiyah memperkenalkan konsep mahabbah ilahiyyah (cinta Ilahi) sebagai inti dari ibadah, menegaskan bahwa hubungan antara manusia dan Allah harus dilandasi oleh cinta yang murni, bukan karena takut akan siksa neraka atau mengharapkan surga.²

3)                  Imam al-Ghazali berhasil mengintegrasikan tasawuf dengan fiqih dan teologi, serta menunjukkan bahwa tasawuf bukanlah ajaran yang bertentangan dengan syariat, tetapi merupakan bagian dari penyempurnaan akhlak dan keimanan seorang Muslim.³

4)                  Syekh Abdul Qadir al-Jailani, melalui ajaran jihad al-nafs (perjuangan melawan hawa nafsu) dan zuhud, membimbing umat dalam praktik tasawuf yang berbasis syariat dan menyebarkan Tarekat Qadiriyah, yang hingga kini memiliki pengaruh luas dalam dunia Islam.⁴

9.2.       Relevansi Tasawuf dalam Kehidupan Muslim Kontemporer

Kajian ini juga menunjukkan bahwa tasawuf tetap relevan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan modern, termasuk dalam:

·                     Mengatasi kegelisahan spiritual, yang sering muncul akibat materialisme, individualisme, dan tekanan sosial di dunia modern. Konsep ma’rifatullah dan tazkiyatun nafs dalam tasawuf dapat menjadi solusi dalam mencari ketenangan batin.⁵

·                     Mencegah ekstremisme dalam beragama, dengan menekankan pendekatan tasawuf yang moderat dan penuh kasih sayang. Ajaran tasawuf membantu menyeimbangkan antara ketaatan kepada syariat dan penghayatan spiritual sehingga tidak terjerumus dalam sikap fanatisme berlebihan.⁶

·                     Pendidikan karakter berbasis tasawuf, yang telah diterapkan dalam banyak lembaga pendidikan Islam untuk membentuk individu yang berakhlak baik dan memiliki ketulusan dalam beribadah.⁷

9.3.       Kritik terhadap Tasawuf dan Upaya Pemurnian Ajarannya

Meskipun tasawuf memiliki banyak manfaat, terdapat beberapa kritik terhadap penyimpangan ajaran tasawuf, seperti pengkultusan guru sufi (mursyid), praktik yang tidak sesuai dengan syariat, dan sikap pasif terhadap dunia. Oleh karena itu, perlu ada pemurnian ajaran tasawuf agar tetap berada dalam koridor Al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana yang diajarkan oleh Imam Junaid al-Baghdadi, Rabiah al-Adawiyah, Imam al-Ghazali, dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani.⁸

9.4.       Implikasi bagi Studi Islam dan Kehidupan Umat

1)                  Tasawuf harus terus dipelajari dalam perspektif yang ilmiah dan akademik, agar dapat memberikan pemahaman yang benar dan menghindari kesalahpahaman terhadap ajarannya.

2)                  Praktik tasawuf yang benar dapat menjadi solusi bagi permasalahan sosial dan spiritual umat Islam, terutama dalam membangun akhlak yang baik dan membentuk keseimbangan antara dunia dan akhirat.

3)                  Ulama dan pendidik memiliki peran penting dalam menyebarkan pemahaman tasawuf yang benar, sehingga dapat menjadi sumber inspirasi bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan dekat dengan Allah.


Kesimpulan Akhir

Berdasarkan kajian ini, dapat disimpulkan bahwa tasawuf bukan hanya sekadar pengalaman mistik, tetapi merupakan aspek fundamental dalam Islam yang bertujuan untuk mencapai penyucian jiwa, keseimbangan hidup, dan kedekatan dengan Allah. Ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, Rabiah al-Adawiyah, Imam al-Ghazali, dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana tasawuf dapat diterapkan dalam kehidupan Muslim dengan tetap berpegang teguh pada syariat Islam.

Dengan memahami dan mengamalkan tasawuf yang benar, seorang Muslim tidak hanya dapat meningkatkan kesadaran spiritual dan akhlaknya, tetapi juga mampu menghadapi tantangan kehidupan modern dengan penuh ketenangan, kebijaksanaan, dan cinta kepada Allah.


Footnotes

[1]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah (Cairo: Dar al-Fikr, 2001), 78.

[2]                Margaret Smith, Rabi'a the Mystic and Her Fellow-Saints in Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1928), 56.

[3]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), 22.

[4]                Abdul Qadir al-Jailani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 87.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 54.

[6]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 147.

[7]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 89.

[8]                William Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: SUNY Press, 1989), 132.


Daftar Pustaka

Al-Ghazali, A. H. (2005). Ihya' Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah).

Al-Ghazali, A. H. (2002). Tahafut al-Falasifah (Cairo: Dar al-Ma'arif).

Al-Ghazali, A. H. (2004). Mishkat al-Anwar (Beirut: Dar al-Fikr).

Al-Jailani, A. Q. (1999). Futuh al-Ghaib (Cairo: Dar al-Fikr).

Al-Jailani, A. Q. (2001). Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah).

Al-Jailani, A. Q. (2004). Jila' al-Khatir (Beirut: Dar al-Ma'arif).

Al-Qusyairi, A. Q. (2001). Risalah al-Qusyairiyah (Cairo: Dar al-Fikr).

Al-Sulami, A. A. (1960). Tabaqat al-Sufiyyah (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah).

Al-Isfahani, A. N. (1998). Hilyat al-Awliya’ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah).

Burckhardt, T. (2008). An Introduction to Sufism. Bloomington: World Wisdom.

Chittick, W. (1989). The Sufi Path of Knowledge. Albany: SUNY Press.

Griffel, F. (2009). Al-Ghazali’s Philosophical Theology. Oxford: Oxford University Press.

Lings, M. (1999). What is Sufism? Cambridge: The Islamic Texts Society.

Nasr, S. H. (2007). The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition. New York: HarperOne.

Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.

Smith, M. (1928). Rabi'a the Mystic and Her Fellow-Saints in Islam. Cambridge: Cambridge University Press.

Weismann, I. (2007). The Naqshbandiyya: Orthodoxy and Activism in a Worldwide Sufi Tradition. London: Routledge.

Watt, W. M. (1963). Muslim Intellectual: A Study of Al-Ghazali. Edinburgh: Edinburgh University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar