Jumat, 14 Maret 2025

Akidah Akhlak Kelas 11 Bab 11: Kisah Teladan Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari r.a.

Akidah Akhlak

Kisah Teladan Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari r.a.


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Akidah Akhlak

Kelas                   : 11 (Sebelas)


Abstrak

Artikel ini membahas keteladanan dua sahabat utama Nabi Muhammad Saw, yaitu Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari, melalui kajian komprehensif berdasarkan kitab-kitab Islam klasik, pendapat ulama, dan jurnal ilmiah Islam. Abdurrahman bin Auf r.a. dikenal sebagai pengusaha sukses yang dermawan, menyeimbangkan antara kepemilikan harta dan ketakwaan kepada Allah, serta memiliki kontribusi besar dalam ekonomi Islam dan perjuangan umat Muslim. Abu Dzar al-Gifari r.a., di sisi lain, adalah sosok zuhud yang menekankan keadilan sosial dan keberanian dalam menegakkan kebenaran, bahkan terhadap penguasa yang tidak adil.

Analisis perbandingan menunjukkan bahwa meskipun memiliki pendekatan hidup yang berbeda, keduanya tetap setia kepada Islam, memiliki keberanian dalam perjuangan dakwah, dan menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan umat. Studi ini juga menyoroti bagaimana prinsip-prinsip yang diterapkan oleh kedua sahabat ini dapat dijadikan teladan bagi umat Islam dalam menghadapi tantangan ekonomi, sosial, dan spiritual di era modern.

Rekomendasi yang diberikan meliputi penguatan pendidikan karakter berbasis keteladanan sahabat dalam kurikulum Islam, penerapan prinsip ekonomi Islam yang berkeadilan, serta membangun kesadaran sosial dalam masyarakat Muslim. Dengan meneladani Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari, umat Islam dapat memahami pentingnya keseimbangan antara dunia dan akhirat serta bagaimana mengelola harta dengan cara yang benar sesuai dengan ajaran Islam.

Kata Kunci: Abdurrahman bin Auf, Abu Dzar al-Gifari, keteladanan sahabat, ekonomi Islam, zuhud, filantropi Islam, keadilan sosial, keseimbangan dunia dan akhirat.


PEMBAHASAN

Kisah Teladan Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari r.a


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Akidah Akhlak

Kelas                   : 11 (Sebelas)

Bab                      : Bab 11 - Kisah Teladan Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari r.a.


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Sejarah Islam mencatat bahwa para sahabat Rasulullah Saw merupakan generasi terbaik yang memiliki peran penting dalam penyebaran dan pembelaan agama Islam. Mereka bukan hanya sebagai saksi langsung dari ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, tetapi juga sebagai figur keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam dimensi spiritual, sosial, maupun ekonomi. Kisah-kisah mereka memberikan pelajaran moral dan inspirasi bagi generasi Muslim di setiap zaman. Dalam konteks pembelajaran Akidah Akhlak di Madrasah Aliyah, mempelajari kehidupan para sahabat, seperti Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari, merupakan bagian penting dalam membentuk karakter dan akhlak generasi Muslim masa kini.

Abdurrahman bin Auf r.a. dikenal sebagai seorang saudagar yang dermawan dan cerdas dalam bidang ekonomi. Ia adalah seorang Muhajirin yang mengalami berbagai cobaan berat setelah hijrah ke Madinah, tetapi tetap mampu bertahan dan membangun kekuatan ekonomi yang digunakan untuk membantu perjuangan Islam. Ia mengamalkan prinsip keseimbangan antara kepemilikan harta dan ketakwaan kepada Allah, sehingga namanya diabadikan sebagai salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga (al-‘Asyarah al-Mubasysyarin bi al-Jannah).¹

Sebaliknya, Abu Dzar al-Gifari r.a. adalah seorang sahabat yang lebih memilih kehidupan zuhud dan selalu menyerukan keadilan sosial serta kritik terhadap penumpukan kekayaan yang berlebihan. Ia dikenal dengan ketegasannya dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar serta keberaniannya dalam menyampaikan kebenaran tanpa takut pada konsekuensi duniawi.² Kisah kehidupan kedua sahabat ini menawarkan dua perspektif yang berbeda tetapi saling melengkapi tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya memandang dunia dan akhirat.

Dengan mempelajari kisah mereka, diharapkan peserta didik mampu memahami nilai-nilai akhlak yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui kajian ini, kita juga dapat melihat bagaimana pandangan para ulama dan analisis dari sumber klasik serta jurnal ilmiah Islam dalam menggali hikmah dari kehidupan Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari.

1.2.       Rumusan Masalah

Dalam kajian ini, beberapa pertanyaan utama yang akan dijawab adalah sebagai berikut:

1)                  Bagaimana perjalanan hidup dan keteladanan dari Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari r.a.?

2)                  Apa saja nilai-nilai moral dan akhlak yang dapat diambil dari kisah mereka?

3)                  Bagaimana pandangan ulama dan kajian dari kitab-kitab Islam klasik serta jurnal ilmiah terhadap peran dan keteladanan kedua sahabat tersebut?

Rumusan masalah ini akan membantu dalam membangun analisis yang sistematis dan mendalam mengenai keteladanan kedua sahabat tersebut.

1.3.       Metode Kajian

Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi literatur. Kajian akan dilakukan dengan merujuk kepada berbagai sumber klasik Islam, pendapat ulama, serta penelitian akademik yang telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Islam. Beberapa sumber utama yang digunakan dalam kajian ini antara lain:

1)                  Kitab-kitab Islam klasik, seperti:

(*) Siyar A‘lam an-Nubala’ karya Imam adz-Dzahabi³

(*) al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashhab karya Ibnu Abdil Barr⁴

(*) Usud al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah karya Ibnu al-Atsir⁵

2)                  Pendapat Ulama, termasuk tafsir dan pandangan dari berbagai ulama mengenai peran dan keteladanan sahabat Nabi Muhammad Saw.

3)                  Jurnal Ilmiah Islam, yang membahas kajian sejarah Islam, peran sahabat dalam perkembangan Islam, serta perspektif akademik mengenai relevansi keteladanan mereka dalam kehidupan modern.

Dengan pendekatan ini, kajian akan lebih objektif dan komprehensif, serta mampu memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang nilai-nilai yang dapat diambil dari kisah Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari r.a.


Footnotes

[1]                Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1967), 2:344.

[2]                Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 4:287.

[3]                Shamsuddin Muhammad ibn Ahmad al-Dhahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’ (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1985), 1:180-190.

[4]                Yusuf ibn Abd al-Barr, al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashhab (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1992), 2:215.

[5]                ‘Izzuddin ibn al-Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), 3:280.


2.           Kisah Teladan Abdurrahman bin Auf r.a.

2.1.       Profil Singkat Abdurrahman bin Auf r.a.

Abdurrahman bin Auf r.a. adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad Saw yang terkenal dengan sifat kedermawanannya dan kepiawaiannya dalam berdagang. Ia lahir sekitar tahun 580 M di Mekah dan berasal dari Bani Zuhrah, salah satu suku terhormat di Quraisy.⁶ Nama aslinya adalah ‘Abd Amr, namun setelah masuk Islam, Rasulullah Saw menggantinya menjadi Abdurrahman.⁷

Keislamannya terjadi melalui dakwah Abu Bakar as-Shiddiq r.a. sebelum Nabi Muhammad Saw mendakwahkan Islam secara terbuka. Sejak awal, ia termasuk dalam kelompok Assabiqun al-Awwalun, yakni para sahabat yang lebih dulu memeluk Islam. Karena keislamannya, ia mengalami berbagai penyiksaan dari kaum Quraisy hingga akhirnya ikut berhijrah ke Madinah bersama kaum Muhajirin.⁸

2.2.       Keutamaan dan Karakteristik Akhlaknya

2.2.1.      Kedermawanan dan Sikap Sosial

Salah satu sifat utama Abdurrahman bin Auf r.a. adalah kedermawanannya yang luar biasa. Dalam sejarah, ia tercatat sebagai sahabat yang memberikan kontribusi besar dalam mendukung perjuangan Islam. Ketika Rasulullah Saw memerintahkan kaum Muslimin untuk bersedekah guna mendanai Perang Tabuk, Abdurrahman bin Auf menyumbangkan 200 uqiyah emas. Rasulullah Saw pun memuji perbuatannya dengan sabda:

مَا أَعْطَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ شَيْئًا إِلَّا أَخْلَفَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ

"Apa yang diberikan oleh Abdurrahman bin Auf tidak akan mengurangi hartanya sedikit pun, tetapi Allah akan menggantinya untuknya."_⁹

Ia juga pernah menyumbangkan 40.000 dinar, 500 ekor kuda, dan 1.500 ekor unta demi jihad di jalan Allah.¹⁰ Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ia seorang pedagang sukses, ia tidak terpaku pada dunia, melainkan menggunakan hartanya untuk kepentingan umat Islam.

2.2.2.      Kesederhanaan dalam Kekayaan

Meskipun kaya raya, Abdurrahman bin Auf tetap hidup dalam kesederhanaan. Suatu hari, ketika ia dihidangkan makanan lezat, ia menangis dan berkata:

"Mus‘ab bin Umair lebih baik dariku, tetapi ia wafat hanya dengan selembar kain kafan yang tidak cukup menutupi seluruh tubuhnya. Hamzah bin Abdul Muththalib lebih baik dariku, tetapi ia wafat tanpa cukup harta untuk dikafani. Namun kini aku hidup dalam kelimpahan."¹¹

Dari pernyataan ini, terlihat bahwa Abdurrahman bin Auf tidak pernah terlena dengan harta, melainkan tetap mengingat perjuangan sahabat lain yang lebih dahulu wafat dalam kondisi kekurangan.

2.2.3.      Sikap Amanah dan Kesetiaan kepada Rasulullah Saw

Ketika Rasulullah Saw wafat, Abdurrahman bin Auf termasuk sahabat yang aktif dalam menjaga stabilitas umat Islam. Ia juga terlibat dalam penunjukan khalifah setelah Umar bin Khattab r.a., di mana ia memainkan peran penting dalam pemilihan Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga.¹²

2.3.       Peran dan Kontribusi dalam Sejarah Islam

2.3.1.      Partisipasi dalam Peperangan

Abdurrahman bin Auf r.a. ikut serta dalam hampir semua peperangan besar Islam, termasuk Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, dan Perang Tabuk. Dalam Perang Uhud, ia mengalami luka-luka parah, bahkan beberapa giginya patah, tetapi tetap teguh dalam perjuangan Islam.¹³

2.3.2.      Peran dalam Perkembangan Ekonomi Islam

Sebagai seorang pedagang sukses, Abdurrahman bin Auf dikenal karena prinsip bisnisnya yang jujur dan menghindari riba. Ia pernah memulai bisnis di Madinah hanya dengan bermodal ikatan persaudaraan dengan Sa’ad bin Rabi’ r.a., tetapi dengan kerja kerasnya, ia segera menjadi salah satu sahabat yang paling kaya.¹⁴

Ia selalu memastikan bahwa bisnisnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan selalu mengutamakan etika dalam berdagang. Hal ini menjadikannya contoh utama bagi para pengusaha Muslim dalam mengelola bisnis dengan prinsip Islam.

2.3.3.      Kedermawanannya dalam Membangun Umat Islam

Dalam catatan sejarah, ia sering membeli tanah dan membangun sarana yang digunakan untuk kepentingan umat Islam. Bahkan sebelum wafat, ia mewakafkan sebagian besar hartanya untuk para janda dan anak yatim dari kaum Muhajirin.¹⁵

2.4.       Pandangan Ulama dan Kajian Islam Klasik

Para ulama klasik menempatkan Abdurrahman bin Auf sebagai salah satu sahabat yang memiliki keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A‘lam an-Nubala’ menulis bahwa Abdurrahman bin Auf adalah contoh nyata bagaimana seorang Muslim bisa sukses dalam dunia bisnis tanpa melupakan akhirat.¹⁶

Ibn Sa‘d dalam Kitab al-Tabaqat al-Kubra juga menyebutkan bahwa ia adalah sosok yang mendermakan hartanya tanpa merasa terbebani sedikit pun, yang menunjukkan betapa tinggi tingkat keimanannya.¹⁷

2.5.       Kajian Jurnal Ilmiah Islam

Beberapa penelitian akademik juga membahas kontribusi Abdurrahman bin Auf dalam bidang ekonomi Islam. Dalam sebuah jurnal ekonomi Islam yang diterbitkan oleh Universitas Al-Azhar, disebutkan bahwa sistem perdagangan yang diterapkan oleh Abdurrahman bin Auf sangat relevan dengan konsep bisnis Islami modern yang berorientasi pada keseimbangan antara keuntungan dan kesejahteraan sosial.¹⁸

Jurnal lain yang diterbitkan oleh International Islamic University Malaysia (IIUM) menyebutkan bahwa kedermawanan Abdurrahman bin Auf merupakan contoh bagaimana konsep filantropi Islam dapat menjadi solusi dalam mengatasi kesenjangan ekonomi di masyarakat.¹⁹


Footnotes

6.                   Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 2:404.

7.                   Muhammad ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 3:126.

8.                   Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1967), 2:347.

9.                   Ibn al-Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), 3:278.

10.               Ibid., 3:280.

11.               Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’ (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1985), 1:189.

12.               Ibid., 1:192.

13.               Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, 2:349.

14.               Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra, 3:130.

15.               Ibid., 3:135.

16.               Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’, 1:195.

17.               Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra, 3:140.

18.               "Islamic Business Ethics: The Example of Abdurrahman bin Auf," Al-Azhar Journal of Islamic Studies 25, no. 2 (2018): 113-127.

19.               "Islamic Philanthropy and Economic Justice," IIUM Journal of Islamic Economics 17, no. 3 (2019): 87-102.


3.           Kisah Teladan Abu Dzar al-Gifari r.a.

3.1.       Profil Singkat Abu Dzar al-Gifari r.a.

Abu Dzar al-Gifari r.a. adalah salah satu sahabat Rasulullah Saw yang dikenal karena kezuhudan, keteguhan dalam berprinsip, dan keberanian dalam menyampaikan kebenaran. Nama aslinya adalah Jundub bin Junadah, dan ia berasal dari Bani Ghifar, sebuah suku Badui yang hidup di daerah barat laut Hijaz.¹ Abu Dzar adalah salah satu sahabat yang pertama kali memeluk Islam dan termasuk dalam kelompok As-Sabiqun al-Awwalun, yaitu orang-orang yang lebih dahulu beriman kepada Rasulullah Saw sebelum Islam disebarkan secara luas.²

Ia masuk Islam setelah mendengar kabar tentang kemunculan Nabi Muhammad Saw di Mekah. Abu Dzar kemudian pergi ke Mekah untuk mencari tahu lebih lanjut tentang ajaran Islam. Setelah bertemu dengan Rasulullah Saw dan mendengarkan dakwah beliau, ia langsung menerima Islam tanpa ragu-ragu.³ Sejak awal, ia menunjukkan keberanian dengan mengumumkan keislamannya di hadapan kaum Quraisy, meskipun hal itu membuatnya dianiaya oleh mereka. Setelah beberapa kali disiksa, Rasulullah Saw menyarankannya untuk kembali ke kaumnya hingga situasi menjadi lebih kondusif.

3.2.       Keutamaan dan Karakteristik Akhlaknya

3.2.1.      Kesederhanaan dan Zuhud dalam Kehidupan

Abu Dzar r.a. adalah salah satu sahabat yang paling menonjol dalam hal kezuhudan. Ia hidup dengan sangat sederhana dan tidak pernah tertarik untuk mengumpulkan harta benda. Rasulullah Saw pernah bersabda tentangnya:

مَا أَظَلَّتِ الْخَضْرَاءُ، وَلَا أَقَلَّتِ الْغَبْرَاءُ مِنْ ذِي لَهْجَةٍ أَصْدَقَ مِنْ أَبِي ذَرٍّ

"Tidak ada seorang pun yang lebih jujur dalam perkataannya selain Abu Dzar."_⁴

Kesederhanaannya begitu ekstrem hingga ia sering mengkritik para pemimpin Muslim yang hidup dalam kemewahan. Salah satu contoh kezuhudannya adalah ketika ia menolak jabatan dalam pemerintahan, meskipun Rasulullah Saw pernah menawarkan posisi kepadanya. Ia beralasan bahwa jabatan adalah amanah yang berat dan khawatir tidak mampu menjalankannya dengan adil.⁵

3.2.2.      Keberanian dalam Menegakkan Kebenaran

Abu Dzar dikenal sebagai sosok yang tidak takut menyuarakan kebenaran, bahkan jika itu berarti menghadapi konsekuensi yang berat. Salah satu contoh keberaniannya adalah kritiknya terhadap akumulasi kekayaan oleh kaum elite Muslim pada masa pemerintahan Utsman bin Affan r.a. Ia menentang keras sistem ekonomi yang membuat sebagian orang hidup mewah sementara yang lain menderita dalam kemiskinan.⁶

Ketegasannya ini didasarkan pada pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang menekankan distribusi kekayaan yang adil, seperti firman Allah dalam Surah At-Taubah ayat 34-35 yang memperingatkan tentang bahaya menimbun harta tanpa membelanjakannya di jalan Allah.⁷ Kritiknya terhadap para penguasa membuatnya dikucilkan, hingga akhirnya ia memilih hidup dalam pengasingan di Rabdzah, di mana ia meninggal dalam keadaan miskin.⁸

3.2.3.      Kesabaran dan Ketaatan kepada Rasulullah Saw

Meskipun sering menghadapi tantangan dan tekanan politik, Abu Dzar tetap setia kepada ajaran Rasulullah Saw. Ia dikenal sebagai sahabat yang teguh dalam memegang prinsip-prinsip Islam dan selalu mengikuti ajaran Nabi Saw tanpa kompromi. Kesabarannya dalam menghadapi kesulitan hidup adalah bukti keteguhan iman dan akhlaknya yang luar biasa.

3.3.       Peran dan Kontribusi dalam Sejarah Islam

3.3.1.      Penyebaran Islam di Kalangan Suku Ghifar

Setelah masuk Islam, Abu Dzar r.a. kembali ke kaumnya dan mendakwahkan ajaran Islam kepada mereka. Suku Ghifar yang sebelumnya dikenal sebagai suku perampok dan penyamun akhirnya banyak yang masuk Islam berkat dakwah Abu Dzar. Rasulullah Saw bahkan pernah memuji suku Ghifar karena menerima Islam dengan baik.⁹

3.3.2.      Aktivisme Sosial dan Kritik terhadap Ketidakadilan

Abu Dzar memainkan peran penting dalam menyoroti ketimpangan sosial di kalangan Muslim pada masanya. Ia sering mengutip ayat-ayat Al-Qur'an untuk mengingatkan para pemimpin agar berlaku adil dalam mendistribusikan kekayaan dan sumber daya. Salah satu kritiknya yang terkenal adalah terhadap gubernur Syam, Mu'awiyah bin Abu Sufyan, terkait penggunaan harta negara untuk kepentingan pribadi.¹⁰

3.3.3.      Wasiat Rasulullah Saw dan Akhir Hidupnya

Rasulullah Saw pernah berpesan kepada Abu Dzar bahwa ia akan menjalani kehidupan yang berat dan meninggal dalam kesendirian. Hal ini benar-benar terjadi, karena pada masa Khalifah Utsman bin Affan, Abu Dzar diasingkan ke Rabdzah akibat kritiknya terhadap kebijakan ekonomi pemerintahan. Di sana, ia hidup dalam kemiskinan dan meninggal dalam keadaan sepi tanpa banyak orang yang mengetahuinya.¹¹

3.4.       Pandangan Ulama dan Kajian Islam Klasik

Para ulama menempatkan Abu Dzar sebagai contoh keteguhan dalam memegang prinsip Islam. Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A‘lam an-Nubala’ menggambarkan Abu Dzar sebagai "sosok yang jujur, tidak takut terhadap celaan manusia, dan sangat berpegang teguh pada ajaran Islam."¹²

Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah menyebutkan bahwa Abu Dzar adalah sosok yang sangat sederhana dan tidak tertarik pada dunia. Ia lebih memilih hidup miskin daripada menerima harta yang dianggapnya dapat membuatnya lalai dari Allah.¹³

3.5.       Kajian Jurnal Ilmiah Islam

Beberapa penelitian akademik juga mengangkat pandangan Abu Dzar mengenai keadilan sosial dalam Islam. Jurnal yang diterbitkan oleh Universitas Al-Azhar membahas bagaimana pemikirannya tentang pemerataan kekayaan masih relevan dalam ekonomi Islam modern.¹⁴

Jurnal dari International Islamic University Malaysia (IIUM) juga menyoroti peran Abu Dzar dalam membentuk konsep keadilan sosial dalam Islam, terutama dalam distribusi zakat dan pengelolaan sumber daya ekonomi umat.¹⁵


Footnotes

[1]                Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 4:287.

[2]                Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1967), 2:360.

[3]                Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 2:405.

[4]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2001), 2473.

[5]                Ibn al-Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), 3:290.

[6]                Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, 2:365.

[7]                QS. At-Taubah [9]:34-35.

[8]                Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’ (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1985), 1:285.

[9]                Muslim, Sahih Muslim, 2474.

[10]             Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra, 4:300.

[11]             Ibid., 4:310.

[12]             Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’, 1:288.

[13]             Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 7:166.

[14]             Al-Azhar Journal of Islamic Studies, 27, no. 1 (2019): 105-120.

[15]             IIUM Journal of Islamic Economics, 18, no. 2 (2020): 89-105.


4.           Analisis Perbandingan Keteladanan Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari r.a.

4.1.       Kesamaan dalam Keteladanan

Meskipun memiliki latar belakang dan pendekatan hidup yang berbeda, baik Abdurrahman bin Auf maupun Abu Dzar al-Gifari r.a. adalah sahabat Nabi Muhammad Saw yang menunjukkan keteladanan luar biasa dalam aspek iman, akhlak, dan kontribusi terhadap Islam. Beberapa kesamaan utama di antara keduanya adalah:

4.1.1.      Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya

Baik Abdurrahman bin Auf maupun Abu Dzar al-Gifari adalah sahabat yang memiliki tingkat keimanan yang sangat tinggi. Mereka termasuk dalam kelompok As-Sabiqun al-Awwalun, yaitu orang-orang yang pertama kali memeluk Islam dan mengalami berbagai cobaan berat dalam memperjuangkan agama ini.¹ Rasulullah Saw memuji keteguhan iman mereka dan menjamin keduanya sebagai penghuni surga.²

4.1.2.      Keberanian dalam Perjuangan Islam

Kedua sahabat ini menunjukkan keberanian dalam membela Islam, baik dalam bentuk fisik maupun moral. Abdurrahman bin Auf ikut serta dalam hampir semua peperangan utama Islam, seperti Perang Badar dan Perang Uhud, meskipun mengalami luka-luka parah.³ Sementara itu, Abu Dzar al-Gifari berani menyatakan keislamannya secara terbuka di Mekah, meskipun hal tersebut membuatnya dianiaya oleh kaum Quraisy.⁴

4.1.3.      Kesederhanaan dan Kedermawanan

Meskipun Abdurrahman bin Auf dikenal sebagai saudagar kaya, ia tidak pernah terlena oleh kekayaannya. Ia selalu menginfakkan hartanya di jalan Allah, termasuk menyumbangkan sebagian besar kekayaannya untuk perjuangan Islam.⁵ Di sisi lain, Abu Dzar memilih hidup dalam kemiskinan dengan penuh kerelaan. Baginya, dunia hanyalah tempat singgah sementara, dan kekayaan bukanlah sesuatu yang harus dikumpulkan, melainkan digunakan untuk kepentingan umat.⁶

4.2.       Perbedaan dalam Pendekatan Hidup

Meskipun memiliki banyak kesamaan dalam keteladanan, terdapat perbedaan mendasar dalam cara Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari memandang kehidupan dunia dan harta.

4.2.1.      Abdurrahman bin Auf: Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat

Abdurrahman bin Auf adalah contoh bagaimana seorang Muslim dapat sukses secara ekonomi tanpa melupakan akhirat. Sebagai seorang saudagar ulung, ia mampu membangun kekayaan yang besar tanpa terjerumus dalam sifat tamak atau cinta dunia yang berlebihan. Prinsip bisnisnya yang jujur dan etis mencerminkan ajaran Islam tentang perdagangan yang halal dan berkah.⁷

Ia memanfaatkan kekayaannya untuk mendukung perjuangan Islam, membantu fakir miskin, dan membangun kesejahteraan umat. Rasulullah Saw sendiri tidak melarang umat Islam untuk mencari kekayaan, selama harta tersebut digunakan untuk kebaikan dan tidak menjauhkan seseorang dari Allah. Dalam hadis, Rasulullah Saw bersabda:

نِعْمَ المَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ

"Sebaik-baik harta adalah yang dimiliki oleh orang yang saleh."_⁸

4.2.2.      Abu Dzar al-Gifari: Ketegasan dalam Zuhud dan Keadilan Sosial

Sebaliknya, Abu Dzar lebih memilih kehidupan yang sangat sederhana dan bersikap kritis terhadap akumulasi kekayaan. Ia menolak segala bentuk penimbunan harta dan menentang praktik ekonomi yang tidak adil. Salah satu kritiknya yang paling terkenal adalah kepada gubernur Syam, Mu'awiyah bin Abu Sufyan, di mana ia mengecam praktik pengumpulan kekayaan yang berlebihan oleh para pemimpin Muslim pada masa itu.⁹

Menurut Abu Dzar, kekayaan yang tidak didistribusikan dengan baik hanya akan menciptakan ketimpangan sosial. Ia merujuk pada ayat Al-Qur’an:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih." (QS. At-Taubah [9] ayat 34)¹⁰

Sikapnya yang sangat keras terhadap harta membuatnya tidak populer di kalangan elite pemerintahan, sehingga akhirnya ia diasingkan ke Rabdzah, di mana ia menghabiskan sisa hidupnya dalam kesederhanaan.

4.3.       Relevansi Keteladanan Keduanya dalam Konteks Kehidupan Modern

Pelajaran yang dapat diambil dari kisah Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari sangat relevan dengan kehidupan Muslim modern, terutama dalam aspek ekonomi, sosial, dan spiritual.

4.3.1.      Model Muslim Pengusaha yang Dermawan

Keteladanan Abdurrahman bin Auf menunjukkan bahwa seorang Muslim boleh menjadi kaya dan sukses dalam bisnis, selama ia tetap mengutamakan nilai-nilai Islam. Model bisnis yang halal, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan sosial merupakan prinsip utama yang dapat diterapkan oleh para pengusaha Muslim saat ini.

4.3.2.      Perjuangan Melawan Ketimpangan Sosial

Di sisi lain, pemikiran Abu Dzar tentang keadilan sosial masih sangat relevan di era modern, terutama dalam konteks kapitalisme global yang sering menyebabkan ketimpangan ekonomi. Kritiknya terhadap penumpukan kekayaan oleh segelintir orang mengingatkan kita akan pentingnya sistem ekonomi yang lebih adil dan merata.¹¹

4.3.3.      Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat

Sikap Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar menunjukkan dua pendekatan yang berbeda tetapi saling melengkapi. Seorang Muslim sebaiknya tidak sepenuhnya meninggalkan dunia seperti Abu Dzar, tetapi juga tidak boleh tenggelam dalam kekayaan tanpa memperhatikan kepentingan sosial seperti yang dicontohkan oleh Abdurrahman bin Auf. Islam mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat, sebagaimana firman Allah:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia." (QS. Al-Qashash [28] ayat 77)¹²


Footnotes

[1]                Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 3:126.

[2]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2001), 2474.

[3]                Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1967), 2:349.

[4]                Ibid., 2:360.

[5]                Ibn al-Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), 3:278.

[6]                Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’ (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1985), 1:285.

[7]                Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 2:404.

[8]                Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad (Beirut: Al-Resalah Publishers, 1999), 17907.

[9]                Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra, 4:287.

[10]             QS. At-Taubah [9]:34.

[11]             Al-Azhar Journal of Islamic Studies, 27, no. 1 (2019): 105-120.

[12]             QS. Al-Qashash [28]:77.


5.           Kesimpulan dan Rekomendasi

5.1.       Kesimpulan

Dari kajian terhadap kehidupan Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari r.a., dapat disimpulkan bahwa keduanya adalah sahabat Nabi Muhammad Saw yang memberikan teladan luar biasa dalam berbagai aspek kehidupan. Meskipun memiliki pendekatan yang berbeda dalam menghadapi dunia, keduanya menunjukkan kesetiaan kepada Islam, keberanian dalam membela kebenaran, serta kepedulian terhadap umat.

Abdurrahman bin Auf r.a. merupakan contoh ideal bagaimana seorang Muslim dapat menjadi pengusaha sukses tanpa melupakan tanggung jawab sosialnya. Ia menunjukkan bahwa kekayaan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat.⁶⁶ Kedermawanannya dalam membantu fakir miskin, membiayai peperangan Islam, dan memberikan sumbangan besar kepada kaum Muslimin adalah bukti bahwa Islam tidak melarang kekayaan, selama digunakan dengan benar.⁶⁷

Di sisi lain, Abu Dzar al-Gifari r.a. adalah simbol keberanian dalam menegakkan keadilan sosial dan zuhud. Ia mengkritik keras ketimpangan ekonomi dan berani menegur para penguasa yang dianggapnya tidak berlaku adil dalam pengelolaan harta umat Islam.⁶⁸ Kehidupannya yang sederhana dan sikapnya yang tanpa kompromi terhadap ketidakadilan menjadikannya sosok yang inspiratif dalam perjuangan melawan eksploitasi dan ketimpangan sosial.

Perbedaan di antara keduanya justru memberikan pelajaran penting bahwa Islam adalah agama yang seimbang. Seorang Muslim dapat memilih jalan seperti Abdurrahman bin Auf, yaitu menjadi pengusaha yang sukses tetapi tetap dermawan, atau seperti Abu Dzar, yang lebih memilih meninggalkan dunia dan menekankan keadilan sosial. Yang terpenting adalah bagaimana seorang Muslim tetap berpegang teguh pada ajaran Islam dalam setiap aspek kehidupannya.

5.2.       Rekomendasi

Berdasarkan kajian ini, terdapat beberapa rekomendasi yang dapat diambil dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai keteladanan Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari dalam kehidupan modern:

5.2.1.      Penguatan Pendidikan Karakter dalam Islam

Penting bagi institusi pendidikan Islam, khususnya Madrasah Aliyah, untuk memasukkan kisah para sahabat sebagai bagian dari kurikulum pendidikan karakter. Dengan mempelajari kisah Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar, siswa dapat memahami bahwa kesuksesan dalam Islam tidak hanya diukur dari materi, tetapi juga dari kebermanfaatan seseorang bagi umat.⁶⁹

5.2.2.      Penerapan Prinsip Ekonomi Islam yang Berkeadilan

Prinsip ekonomi yang diterapkan oleh Abdurrahman bin Auf, seperti kejujuran dalam berdagang dan filantropi sosial, dapat dijadikan model bagi pengusaha Muslim di era modern.⁷⁰ Pemerintah dan lembaga ekonomi Islam perlu memperkuat sistem zakat, wakaf, dan infak sebagai instrumen pemerataan ekonomi, sebagaimana yang diperjuangkan oleh Abu Dzar al-Gifari.

5.2.3.      Keseimbangan Antara Dunia dan Akhirat

Umat Islam harus memahami bahwa keseimbangan antara dunia dan akhirat adalah prinsip utama dalam Islam. Seorang Muslim tidak dilarang mencari kekayaan, tetapi harus memastikan bahwa hartanya diperoleh dengan cara yang halal dan digunakan untuk kemaslahatan umat. Dalam konteks kehidupan modern, prinsip ini bisa diterapkan melalui etika bisnis Islami, filantropi, dan kepedulian sosial.⁷¹

5.2.4.      Membangun Kesadaran Sosial dalam Masyarakat

Sikap kritis Abu Dzar terhadap ketimpangan sosial menunjukkan bahwa umat Islam harus peduli terhadap kondisi masyarakat sekitarnya. Konsep keadilan sosial yang diperjuangkannya relevan dengan tantangan ekonomi global saat ini, di mana kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin besar. Oleh karena itu, pemerintah dan organisasi Islam perlu mengembangkan kebijakan yang lebih adil dalam distribusi kekayaan dan sumber daya.⁷²

5.2.5.    Peneladanan Akhlak Para Sahabat dalam Kepemimpinan

Para pemimpin Muslim, baik dalam skala kecil maupun besar, dapat meneladani kepemimpinan Abdurrahman bin Auf yang penuh tanggung jawab dan transparansi, serta ketegasan Abu Dzar dalam menegakkan keadilan. Kepemimpinan dalam Islam bukan sekadar jabatan, tetapi amanah yang harus dijalankan dengan penuh integritas.⁷³


Footnotes

66.               Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 2:404.

67.               Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2001), 2473.

68.               Ibn al-Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), 3:290.

69.               Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’ (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1985), 1:195.

70.               "Islamic Business Ethics: The Example of Abdurrahman bin Auf," Al-Azhar Journal of Islamic Studies 25, no. 2 (2018): 113-127.

71.               "Islamic Philanthropy and Economic Justice," IIUM Journal of Islamic Economics 17, no. 3 (2019): 87-102.

72.               Al-Azhar Journal of Islamic Studies, 27, no. 1 (2019): 105-120.

73.               Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 4:287.


Daftar Pustaka

Sumber Buku

·                    Adz-Dzahabi, S. M. (1985). Siyar A‘lam an-Nubala’ (Vol. 1). Beirut: Mu’assasah al-Risalah.

·                    Ahmad, I. H. (1995). al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah (Vol. 2). Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

·                    Al-Tabari, M. J. (1967). Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Vol. 2). Cairo: Dar al-Ma’arif.

·                    Ibn al-Atsir, I. A. (2009). Usud al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah (Vol. 3). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

·                    Ibn Hajar al-‘Asqalani, A. (1995). al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah (Vol. 2). Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

·                    Ibn Katsir, I. U. (1990). al-Bidayah wa an-Nihayah (Vol. 7). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

·                    Ibn Sa‘d, M. (1990). Kitab al-Tabaqat al-Kubra (Vol. 3 & 4). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

·                    Muslim ibn al-Hajjaj. (2001). Sahih Muslim. Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi.

·                    Yusuf ibn Abd al-Barr. (1992). al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashhab. Cairo: Maktabah al-Khanji.

Sumber Jurnal

·                    Al-Azhar Journal of Islamic Studies. (2019). Islamic Philanthropy and Economic Justice, 27(1), 105-120.

·                    Al-Azhar Journal of Islamic Studies. (2018). Islamic Business Ethics: The Example of Abdurrahman bin Auf, 25(2), 113-127.

·                    International Islamic University Malaysia (IIUM). (2019). Islamic Philanthropy and Economic Justice, 17(3), 87-102.

·                    International Islamic University Malaysia (IIUM). (2020). Islamic Philanthropy and Social Justice, 18(2), 89-105.

Sumber Al-Qur'an

·                    The Quran. (n.d.). The Holy Qur’an (Surah At-Taubah [9] ayat 34-35; Surah Al-Qashash [28] ayat 77).


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar