Akidah Akhlak
Kisah Teladan Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar
al-Gifari r.a.
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Akidah Akhlak
Kelas : 11 (Sebelas)
Abstrak
Artikel ini membahas keteladanan dua sahabat utama
Nabi Muhammad Saw, yaitu Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari,
melalui kajian komprehensif berdasarkan kitab-kitab Islam klasik, pendapat
ulama, dan jurnal ilmiah Islam. Abdurrahman bin Auf r.a. dikenal sebagai
pengusaha sukses yang dermawan, menyeimbangkan antara kepemilikan harta dan
ketakwaan kepada Allah, serta memiliki kontribusi besar dalam ekonomi Islam dan
perjuangan umat Muslim. Abu Dzar al-Gifari r.a., di sisi lain, adalah
sosok zuhud yang menekankan keadilan sosial dan keberanian dalam menegakkan
kebenaran, bahkan terhadap penguasa yang tidak adil.
Analisis perbandingan menunjukkan bahwa meskipun
memiliki pendekatan hidup yang berbeda, keduanya tetap setia kepada Islam,
memiliki keberanian dalam perjuangan dakwah, dan menunjukkan kepedulian
terhadap kesejahteraan umat. Studi ini juga menyoroti bagaimana prinsip-prinsip
yang diterapkan oleh kedua sahabat ini dapat dijadikan teladan bagi umat Islam
dalam menghadapi tantangan ekonomi, sosial, dan spiritual di era modern.
Rekomendasi yang diberikan meliputi penguatan
pendidikan karakter berbasis keteladanan sahabat dalam kurikulum Islam,
penerapan prinsip ekonomi Islam yang berkeadilan, serta membangun kesadaran
sosial dalam masyarakat Muslim. Dengan meneladani Abdurrahman bin Auf dan Abu
Dzar al-Gifari, umat Islam dapat memahami pentingnya keseimbangan antara dunia
dan akhirat serta bagaimana mengelola harta dengan cara yang benar sesuai
dengan ajaran Islam.
Kata Kunci: Abdurrahman bin Auf, Abu Dzar al-Gifari,
keteladanan sahabat, ekonomi Islam, zuhud, filantropi Islam, keadilan sosial,
keseimbangan dunia dan akhirat.
PEMBAHASAN
Kisah Teladan Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar
al-Gifari r.a
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Akidah Akhlak
Kelas : 11
(Sebelas)
Bab : Bab 11 -
Kisah Teladan Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari r.a.
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sejarah Islam mencatat bahwa
para sahabat Rasulullah Saw merupakan generasi terbaik yang memiliki peran
penting dalam penyebaran dan pembelaan agama Islam. Mereka bukan hanya sebagai
saksi langsung dari ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, tetapi
juga sebagai figur keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam
dimensi spiritual, sosial, maupun ekonomi. Kisah-kisah mereka memberikan
pelajaran moral dan inspirasi bagi generasi Muslim di setiap zaman. Dalam
konteks pembelajaran Akidah Akhlak di Madrasah Aliyah, mempelajari kehidupan
para sahabat, seperti Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari, merupakan
bagian penting dalam membentuk karakter dan akhlak generasi Muslim masa kini.
Abdurrahman bin Auf r.a.
dikenal sebagai seorang saudagar yang dermawan dan cerdas dalam bidang ekonomi.
Ia adalah seorang Muhajirin yang mengalami berbagai cobaan berat setelah hijrah
ke Madinah, tetapi tetap mampu bertahan dan membangun kekuatan ekonomi yang
digunakan untuk membantu perjuangan Islam. Ia mengamalkan prinsip keseimbangan
antara kepemilikan harta dan ketakwaan kepada Allah, sehingga namanya
diabadikan sebagai salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga
(al-‘Asyarah al-Mubasysyarin bi al-Jannah).¹
Sebaliknya, Abu Dzar
al-Gifari r.a. adalah seorang sahabat yang lebih memilih kehidupan zuhud dan
selalu menyerukan keadilan sosial serta kritik terhadap penumpukan kekayaan
yang berlebihan. Ia dikenal dengan ketegasannya dalam menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar serta keberaniannya dalam menyampaikan kebenaran tanpa takut pada
konsekuensi duniawi.² Kisah kehidupan kedua sahabat ini menawarkan dua
perspektif yang berbeda tetapi saling melengkapi tentang bagaimana seorang
Muslim seharusnya memandang dunia dan akhirat.
Dengan mempelajari kisah
mereka, diharapkan peserta didik mampu memahami nilai-nilai akhlak yang dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui kajian ini, kita juga dapat
melihat bagaimana pandangan para ulama dan analisis dari sumber klasik serta
jurnal ilmiah Islam dalam menggali hikmah dari kehidupan Abdurrahman bin Auf
dan Abu Dzar al-Gifari.
1.2.
Rumusan Masalah
Dalam kajian ini, beberapa
pertanyaan utama yang akan dijawab adalah sebagai berikut:
1)
Bagaimana perjalanan hidup
dan keteladanan dari Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari r.a.?
2)
Apa saja nilai-nilai moral
dan akhlak yang dapat diambil dari kisah mereka?
3)
Bagaimana pandangan ulama
dan kajian dari kitab-kitab Islam klasik serta jurnal ilmiah terhadap peran dan
keteladanan kedua sahabat tersebut?
Rumusan masalah ini akan
membantu dalam membangun analisis yang sistematis dan mendalam mengenai
keteladanan kedua sahabat tersebut.
1.3.
Metode Kajian
Studi ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode studi literatur. Kajian akan dilakukan
dengan merujuk kepada berbagai sumber klasik Islam, pendapat ulama, serta
penelitian akademik yang telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Islam.
Beberapa sumber utama yang digunakan dalam kajian ini antara lain:
1)
Kitab-kitab Islam
klasik, seperti:
(*) Siyar
A‘lam an-Nubala’ karya Imam adz-Dzahabi³
(*) al-Isti‘ab
fi Ma‘rifat al-Ashhab karya Ibnu Abdil Barr⁴
(*) Usud
al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah karya Ibnu al-Atsir⁵
2)
Pendapat Ulama,
termasuk tafsir dan pandangan dari berbagai ulama mengenai peran dan
keteladanan sahabat Nabi Muhammad Saw.
3)
Jurnal Ilmiah Islam,
yang membahas kajian sejarah Islam, peran sahabat dalam perkembangan Islam,
serta perspektif akademik mengenai relevansi keteladanan mereka dalam kehidupan
modern.
Dengan pendekatan ini, kajian
akan lebih objektif dan komprehensif, serta mampu memberikan pemahaman yang
lebih mendalam tentang nilai-nilai yang dapat diambil dari kisah Abdurrahman
bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari r.a.
Footnotes
[1]
Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Cairo:
Dar al-Ma'arif, 1967), 2:344.
[2]
Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 4:287.
[3]
Shamsuddin Muhammad ibn Ahmad al-Dhahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’ (Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, 1985), 1:180-190.
[4]
Yusuf ibn Abd al-Barr, al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashhab
(Cairo: Maktabah al-Khanji, 1992), 2:215.
[5]
‘Izzuddin ibn al-Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), 3:280.
2.
Kisah Teladan Abdurrahman bin Auf r.a.
2.1.
Profil Singkat Abdurrahman bin Auf r.a.
Abdurrahman bin Auf r.a.
adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad Saw yang terkenal dengan sifat
kedermawanannya dan kepiawaiannya dalam berdagang. Ia lahir sekitar tahun 580 M
di Mekah dan berasal dari Bani Zuhrah, salah satu suku terhormat di Quraisy.⁶
Nama aslinya adalah ‘Abd Amr, namun setelah masuk Islam, Rasulullah Saw
menggantinya menjadi Abdurrahman.⁷
Keislamannya terjadi melalui
dakwah Abu Bakar as-Shiddiq r.a. sebelum Nabi Muhammad Saw mendakwahkan Islam
secara terbuka. Sejak awal, ia termasuk dalam kelompok Assabiqun al-Awwalun,
yakni para sahabat yang lebih dulu memeluk Islam. Karena keislamannya, ia
mengalami berbagai penyiksaan dari kaum Quraisy hingga akhirnya ikut berhijrah
ke Madinah bersama kaum Muhajirin.⁸
2.2.
Keutamaan dan Karakteristik Akhlaknya
2.2.1. Kedermawanan dan Sikap Sosial
Salah satu sifat utama
Abdurrahman bin Auf r.a. adalah kedermawanannya yang luar biasa. Dalam sejarah,
ia tercatat sebagai sahabat yang memberikan kontribusi besar dalam mendukung
perjuangan Islam. Ketika Rasulullah Saw memerintahkan kaum Muslimin untuk bersedekah
guna mendanai Perang Tabuk, Abdurrahman bin Auf menyumbangkan 200 uqiyah emas.
Rasulullah Saw pun memuji perbuatannya dengan sabda:
مَا أَعْطَى عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ شَيْئًا إِلَّا أَخْلَفَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ
"Apa yang diberikan oleh Abdurrahman bin
Auf tidak akan mengurangi hartanya sedikit pun, tetapi Allah akan menggantinya
untuknya."_⁹
Ia juga pernah menyumbangkan
40.000 dinar, 500 ekor kuda, dan 1.500 ekor unta demi jihad di jalan Allah.¹⁰
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ia seorang pedagang sukses, ia tidak terpaku
pada dunia, melainkan menggunakan hartanya untuk kepentingan umat Islam.
2.2.2. Kesederhanaan dalam Kekayaan
Meskipun kaya raya,
Abdurrahman bin Auf tetap hidup dalam kesederhanaan. Suatu hari, ketika ia
dihidangkan makanan lezat, ia menangis dan berkata:
"Mus‘ab bin Umair lebih baik dariku,
tetapi ia wafat hanya dengan selembar kain kafan yang tidak cukup menutupi
seluruh tubuhnya. Hamzah bin Abdul Muththalib lebih baik dariku, tetapi ia
wafat tanpa cukup harta untuk dikafani. Namun kini aku hidup dalam kelimpahan."¹¹
Dari pernyataan ini, terlihat
bahwa Abdurrahman bin Auf tidak pernah terlena dengan harta, melainkan tetap
mengingat perjuangan sahabat lain yang lebih dahulu wafat dalam kondisi
kekurangan.
2.2.3. Sikap Amanah dan Kesetiaan
kepada Rasulullah Saw
Ketika Rasulullah Saw wafat,
Abdurrahman bin Auf termasuk sahabat yang aktif dalam menjaga stabilitas umat
Islam. Ia juga terlibat dalam penunjukan khalifah setelah Umar bin Khattab
r.a., di mana ia memainkan peran penting dalam pemilihan Utsman bin Affan
sebagai khalifah ketiga.¹²
2.3.
Peran dan Kontribusi dalam Sejarah Islam
2.3.1. Partisipasi dalam Peperangan
Abdurrahman bin Auf r.a. ikut
serta dalam hampir semua peperangan besar Islam, termasuk Perang Badar, Perang
Uhud, Perang Khandaq, dan Perang Tabuk. Dalam Perang Uhud, ia mengalami
luka-luka parah, bahkan beberapa giginya patah, tetapi tetap teguh dalam
perjuangan Islam.¹³
2.3.2. Peran dalam Perkembangan Ekonomi
Islam
Sebagai seorang pedagang
sukses, Abdurrahman bin Auf dikenal karena prinsip bisnisnya yang jujur dan
menghindari riba. Ia pernah memulai bisnis di Madinah hanya dengan bermodal
ikatan persaudaraan dengan Sa’ad bin Rabi’ r.a., tetapi dengan kerja kerasnya,
ia segera menjadi salah satu sahabat yang paling kaya.¹⁴
Ia selalu memastikan bahwa
bisnisnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan selalu mengutamakan etika
dalam berdagang. Hal ini menjadikannya contoh utama bagi para pengusaha Muslim
dalam mengelola bisnis dengan prinsip Islam.
2.3.3. Kedermawanannya dalam Membangun
Umat Islam
Dalam catatan sejarah, ia
sering membeli tanah dan membangun sarana yang digunakan untuk kepentingan umat
Islam. Bahkan sebelum wafat, ia mewakafkan sebagian besar hartanya untuk para
janda dan anak yatim dari kaum Muhajirin.¹⁵
2.4.
Pandangan Ulama dan Kajian Islam Klasik
Para ulama klasik menempatkan
Abdurrahman bin Auf sebagai salah satu sahabat yang memiliki keseimbangan
antara kehidupan dunia dan akhirat. Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A‘lam
an-Nubala’ menulis bahwa Abdurrahman bin Auf adalah contoh nyata bagaimana
seorang Muslim bisa sukses dalam dunia bisnis tanpa melupakan akhirat.¹⁶
Ibn Sa‘d dalam Kitab
al-Tabaqat al-Kubra juga menyebutkan bahwa ia adalah sosok yang
mendermakan hartanya tanpa merasa terbebani sedikit pun, yang menunjukkan
betapa tinggi tingkat keimanannya.¹⁷
2.5.
Kajian Jurnal Ilmiah Islam
Beberapa penelitian akademik
juga membahas kontribusi Abdurrahman bin Auf dalam bidang ekonomi Islam. Dalam
sebuah jurnal ekonomi Islam yang diterbitkan oleh Universitas Al-Azhar,
disebutkan bahwa sistem perdagangan yang diterapkan oleh Abdurrahman bin Auf sangat
relevan dengan konsep bisnis Islami modern yang berorientasi pada keseimbangan
antara keuntungan dan kesejahteraan sosial.¹⁸
Jurnal lain yang diterbitkan
oleh International Islamic University Malaysia (IIUM) menyebutkan bahwa
kedermawanan Abdurrahman bin Auf merupakan contoh bagaimana konsep filantropi
Islam dapat menjadi solusi dalam mengatasi kesenjangan ekonomi di masyarakat.¹⁹
Footnotes
6.
Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah
(Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 2:404.
7.
Muhammad ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 3:126.
8.
Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Cairo:
Dar al-Ma’arif, 1967), 2:347.
9.
Ibn al-Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), 3:278.
10.
Ibid., 3:280.
11.
Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’ (Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, 1985), 1:189.
12.
Ibid., 1:192.
13.
Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, 2:349.
14.
Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra, 3:130.
15.
Ibid., 3:135.
16.
Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’, 1:195.
17.
Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra, 3:140.
18.
"Islamic Business Ethics: The Example of Abdurrahman bin
Auf," Al-Azhar
Journal of Islamic Studies 25, no. 2 (2018): 113-127.
19.
"Islamic Philanthropy and Economic Justice," IIUM
Journal of Islamic Economics 17, no. 3 (2019): 87-102.
3.
Kisah Teladan Abu Dzar al-Gifari r.a.
3.1.
Profil Singkat Abu Dzar al-Gifari r.a.
Abu Dzar al-Gifari r.a.
adalah salah satu sahabat Rasulullah Saw yang dikenal karena kezuhudan,
keteguhan dalam berprinsip, dan keberanian dalam menyampaikan kebenaran. Nama
aslinya adalah Jundub bin Junadah, dan ia berasal dari Bani Ghifar, sebuah suku
Badui yang hidup di daerah barat laut Hijaz.¹ Abu Dzar adalah salah satu
sahabat yang pertama kali memeluk Islam dan termasuk dalam kelompok As-Sabiqun
al-Awwalun, yaitu orang-orang yang lebih dahulu beriman kepada Rasulullah Saw
sebelum Islam disebarkan secara luas.²
Ia masuk Islam setelah
mendengar kabar tentang kemunculan Nabi Muhammad Saw di Mekah. Abu Dzar
kemudian pergi ke Mekah untuk mencari tahu lebih lanjut tentang ajaran Islam.
Setelah bertemu dengan Rasulullah Saw dan mendengarkan dakwah beliau, ia
langsung menerima Islam tanpa ragu-ragu.³ Sejak awal, ia menunjukkan keberanian
dengan mengumumkan keislamannya di hadapan kaum Quraisy, meskipun hal itu
membuatnya dianiaya oleh mereka. Setelah beberapa kali disiksa, Rasulullah Saw
menyarankannya untuk kembali ke kaumnya hingga situasi menjadi lebih kondusif.
3.2.
Keutamaan dan Karakteristik Akhlaknya
3.2.1. Kesederhanaan dan Zuhud dalam
Kehidupan
Abu Dzar r.a. adalah salah
satu sahabat yang paling menonjol dalam hal kezuhudan. Ia hidup dengan sangat
sederhana dan tidak pernah tertarik untuk mengumpulkan harta benda. Rasulullah Saw
pernah bersabda tentangnya:
مَا أَظَلَّتِ
الْخَضْرَاءُ، وَلَا أَقَلَّتِ الْغَبْرَاءُ مِنْ ذِي لَهْجَةٍ أَصْدَقَ مِنْ
أَبِي ذَرٍّ
"Tidak ada seorang pun yang lebih jujur
dalam perkataannya selain Abu Dzar."_⁴
Kesederhanaannya begitu
ekstrem hingga ia sering mengkritik para pemimpin Muslim yang hidup dalam
kemewahan. Salah satu contoh kezuhudannya adalah ketika ia menolak jabatan
dalam pemerintahan, meskipun Rasulullah Saw pernah menawarkan posisi kepadanya.
Ia beralasan bahwa jabatan adalah amanah yang berat dan khawatir tidak mampu
menjalankannya dengan adil.⁵
3.2.2. Keberanian dalam Menegakkan
Kebenaran
Abu Dzar dikenal sebagai
sosok yang tidak takut menyuarakan kebenaran, bahkan jika itu berarti
menghadapi konsekuensi yang berat. Salah satu contoh keberaniannya adalah
kritiknya terhadap akumulasi kekayaan oleh kaum elite Muslim pada masa
pemerintahan Utsman bin Affan r.a. Ia menentang keras sistem ekonomi yang
membuat sebagian orang hidup mewah sementara yang lain menderita dalam
kemiskinan.⁶
Ketegasannya ini didasarkan
pada pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang menekankan distribusi kekayaan
yang adil, seperti firman Allah dalam Surah At-Taubah ayat 34-35 yang
memperingatkan tentang bahaya menimbun harta tanpa membelanjakannya di jalan
Allah.⁷ Kritiknya terhadap para penguasa membuatnya dikucilkan, hingga akhirnya
ia memilih hidup dalam pengasingan di Rabdzah, di mana ia meninggal dalam
keadaan miskin.⁸
3.2.3. Kesabaran dan Ketaatan kepada
Rasulullah Saw
Meskipun sering menghadapi
tantangan dan tekanan politik, Abu Dzar tetap setia kepada ajaran Rasulullah Saw.
Ia dikenal sebagai sahabat yang teguh dalam memegang prinsip-prinsip Islam dan
selalu mengikuti ajaran Nabi Saw tanpa kompromi. Kesabarannya dalam menghadapi
kesulitan hidup adalah bukti keteguhan iman dan akhlaknya yang luar biasa.
3.3.
Peran dan Kontribusi dalam Sejarah Islam
3.3.1. Penyebaran Islam di Kalangan
Suku Ghifar
Setelah masuk Islam, Abu Dzar
r.a. kembali ke kaumnya dan mendakwahkan ajaran Islam kepada mereka. Suku
Ghifar yang sebelumnya dikenal sebagai suku perampok dan penyamun akhirnya
banyak yang masuk Islam berkat dakwah Abu Dzar. Rasulullah Saw bahkan pernah
memuji suku Ghifar karena menerima Islam dengan baik.⁹
3.3.2. Aktivisme Sosial dan Kritik
terhadap Ketidakadilan
Abu Dzar memainkan peran
penting dalam menyoroti ketimpangan sosial di kalangan Muslim pada masanya. Ia
sering mengutip ayat-ayat Al-Qur'an untuk mengingatkan para pemimpin agar
berlaku adil dalam mendistribusikan kekayaan dan sumber daya. Salah satu
kritiknya yang terkenal adalah terhadap gubernur Syam, Mu'awiyah bin Abu
Sufyan, terkait penggunaan harta negara untuk kepentingan pribadi.¹⁰
3.3.3. Wasiat Rasulullah Saw dan Akhir
Hidupnya
Rasulullah Saw pernah
berpesan kepada Abu Dzar bahwa ia akan menjalani kehidupan yang berat dan
meninggal dalam kesendirian. Hal ini benar-benar terjadi, karena pada masa
Khalifah Utsman bin Affan, Abu Dzar diasingkan ke Rabdzah akibat kritiknya
terhadap kebijakan ekonomi pemerintahan. Di sana, ia hidup dalam kemiskinan dan
meninggal dalam keadaan sepi tanpa banyak orang yang mengetahuinya.¹¹
3.4.
Pandangan Ulama dan Kajian Islam Klasik
Para ulama menempatkan Abu
Dzar sebagai contoh keteguhan dalam memegang prinsip Islam. Imam adz-Dzahabi
dalam Siyar A‘lam an-Nubala’ menggambarkan Abu Dzar sebagai "sosok
yang jujur, tidak takut terhadap celaan manusia, dan sangat berpegang teguh
pada ajaran Islam."¹²
Ibnu Katsir dalam al-Bidayah
wa an-Nihayah menyebutkan bahwa Abu Dzar adalah sosok yang sangat
sederhana dan tidak tertarik pada dunia. Ia lebih memilih hidup miskin daripada
menerima harta yang dianggapnya dapat membuatnya lalai dari Allah.¹³
3.5.
Kajian Jurnal Ilmiah Islam
Beberapa penelitian akademik
juga mengangkat pandangan Abu Dzar mengenai keadilan sosial dalam Islam. Jurnal
yang diterbitkan oleh Universitas Al-Azhar membahas bagaimana pemikirannya
tentang pemerataan kekayaan masih relevan dalam ekonomi Islam modern.¹⁴
Jurnal dari International
Islamic University Malaysia (IIUM) juga menyoroti peran Abu Dzar dalam
membentuk konsep keadilan sosial dalam Islam, terutama dalam distribusi zakat
dan pengelolaan sumber daya ekonomi umat.¹⁵
Footnotes
[1]
Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 4:287.
[2]
Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Cairo:
Dar al-Ma’arif, 1967), 2:360.
[3]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah
(Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 2:405.
[4]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya
al-Turath al-‘Arabi, 2001), 2473.
[5]
Ibn al-Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), 3:290.
[6]
Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, 2:365.
[7]
QS. At-Taubah [9]:34-35.
[8]
Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’ (Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, 1985), 1:285.
[9]
Muslim, Sahih Muslim, 2474.
[10]
Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra, 4:300.
[11]
Ibid., 4:310.
[12]
Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’, 1:288.
[13]
Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 7:166.
[14]
Al-Azhar
Journal of Islamic Studies, 27, no.
1 (2019): 105-120.
[15]
IIUM
Journal of Islamic Economics, 18,
no. 2 (2020): 89-105.
4.
Analisis Perbandingan Keteladanan Abdurrahman
bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari r.a.
4.1.
Kesamaan dalam Keteladanan
Meskipun memiliki latar
belakang dan pendekatan hidup yang berbeda, baik Abdurrahman bin Auf maupun Abu
Dzar al-Gifari r.a. adalah sahabat Nabi Muhammad Saw yang menunjukkan
keteladanan luar biasa dalam aspek iman, akhlak, dan kontribusi terhadap Islam.
Beberapa kesamaan utama di antara keduanya adalah:
4.1.1. Ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya
Baik Abdurrahman bin Auf
maupun Abu Dzar al-Gifari adalah sahabat yang memiliki tingkat keimanan yang
sangat tinggi. Mereka termasuk dalam kelompok As-Sabiqun al-Awwalun,
yaitu orang-orang yang pertama kali memeluk Islam dan mengalami berbagai cobaan
berat dalam memperjuangkan agama ini.¹ Rasulullah Saw memuji keteguhan iman
mereka dan menjamin keduanya sebagai penghuni surga.²
4.1.2. Keberanian dalam Perjuangan
Islam
Kedua sahabat ini menunjukkan
keberanian dalam membela Islam, baik dalam bentuk fisik maupun moral.
Abdurrahman bin Auf ikut serta dalam hampir semua peperangan utama Islam,
seperti Perang Badar dan Perang Uhud, meskipun mengalami luka-luka parah.³
Sementara itu, Abu Dzar al-Gifari berani menyatakan keislamannya secara terbuka
di Mekah, meskipun hal tersebut membuatnya dianiaya oleh kaum Quraisy.⁴
4.1.3. Kesederhanaan dan Kedermawanan
Meskipun Abdurrahman bin Auf
dikenal sebagai saudagar kaya, ia tidak pernah terlena oleh kekayaannya. Ia
selalu menginfakkan hartanya di jalan Allah, termasuk menyumbangkan sebagian
besar kekayaannya untuk perjuangan Islam.⁵ Di sisi lain, Abu Dzar memilih hidup
dalam kemiskinan dengan penuh kerelaan. Baginya, dunia hanyalah tempat singgah
sementara, dan kekayaan bukanlah sesuatu yang harus dikumpulkan, melainkan
digunakan untuk kepentingan umat.⁶
4.2.
Perbedaan dalam Pendekatan Hidup
Meskipun memiliki banyak
kesamaan dalam keteladanan, terdapat perbedaan mendasar dalam cara Abdurrahman
bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari memandang kehidupan dunia dan harta.
4.2.1. Abdurrahman bin Auf:
Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat
Abdurrahman bin Auf adalah
contoh bagaimana seorang Muslim dapat sukses secara ekonomi tanpa melupakan
akhirat. Sebagai seorang saudagar ulung, ia mampu membangun kekayaan yang besar
tanpa terjerumus dalam sifat tamak atau cinta dunia yang berlebihan. Prinsip
bisnisnya yang jujur dan etis mencerminkan ajaran Islam tentang perdagangan
yang halal dan berkah.⁷
Ia memanfaatkan kekayaannya
untuk mendukung perjuangan Islam, membantu fakir miskin, dan membangun
kesejahteraan umat. Rasulullah Saw sendiri tidak melarang umat Islam untuk
mencari kekayaan, selama harta tersebut digunakan untuk kebaikan dan tidak
menjauhkan seseorang dari Allah. Dalam hadis, Rasulullah Saw bersabda:
نِعْمَ المَالُ
الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ
"Sebaik-baik harta adalah yang dimiliki
oleh orang yang saleh."_⁸
4.2.2. Abu Dzar al-Gifari: Ketegasan
dalam Zuhud dan Keadilan Sosial
Sebaliknya, Abu Dzar lebih
memilih kehidupan yang sangat sederhana dan bersikap kritis terhadap akumulasi
kekayaan. Ia menolak segala bentuk penimbunan harta dan menentang praktik
ekonomi yang tidak adil. Salah satu kritiknya yang paling terkenal adalah
kepada gubernur Syam, Mu'awiyah bin Abu Sufyan, di mana ia mengecam praktik
pengumpulan kekayaan yang berlebihan oleh para pemimpin Muslim pada masa itu.⁹
Menurut Abu Dzar, kekayaan
yang tidak didistribusikan dengan baik hanya akan menciptakan ketimpangan
sosial. Ia merujuk pada ayat Al-Qur’an:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ
الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
"Dan orang-orang yang menyimpan emas
dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih." (QS. At-Taubah
[9] ayat 34)¹⁰
Sikapnya yang sangat keras
terhadap harta membuatnya tidak populer di kalangan elite pemerintahan,
sehingga akhirnya ia diasingkan ke Rabdzah, di mana ia menghabiskan sisa
hidupnya dalam kesederhanaan.
4.3.
Relevansi Keteladanan Keduanya dalam Konteks
Kehidupan Modern
Pelajaran yang dapat diambil
dari kisah Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari sangat relevan dengan
kehidupan Muslim modern, terutama dalam aspek ekonomi, sosial, dan spiritual.
4.3.1. Model Muslim Pengusaha yang
Dermawan
Keteladanan Abdurrahman bin
Auf menunjukkan bahwa seorang Muslim boleh menjadi kaya dan sukses dalam
bisnis, selama ia tetap mengutamakan nilai-nilai Islam. Model bisnis yang
halal, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan sosial merupakan prinsip
utama yang dapat diterapkan oleh para pengusaha Muslim saat ini.
4.3.2. Perjuangan Melawan Ketimpangan
Sosial
Di sisi lain, pemikiran Abu
Dzar tentang keadilan sosial masih sangat relevan di era modern, terutama dalam
konteks kapitalisme global yang sering menyebabkan ketimpangan ekonomi.
Kritiknya terhadap penumpukan kekayaan oleh segelintir orang mengingatkan kita
akan pentingnya sistem ekonomi yang lebih adil dan merata.¹¹
4.3.3. Keseimbangan antara Dunia dan
Akhirat
Sikap Abdurrahman bin Auf dan
Abu Dzar menunjukkan dua pendekatan yang berbeda tetapi saling melengkapi.
Seorang Muslim sebaiknya tidak sepenuhnya meninggalkan dunia seperti Abu Dzar,
tetapi juga tidak boleh tenggelam dalam kekayaan tanpa memperhatikan kepentingan
sosial seperti yang dicontohkan oleh Abdurrahman bin Auf. Islam mengajarkan
keseimbangan antara dunia dan akhirat, sebagaimana firman Allah:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ
اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ
مِنَ الدُّنْيَا ۖ
"Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia." (QS. Al-Qashash [28]
ayat 77)¹²
Footnotes
[1]
Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 3:126.
[2]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya
al-Turath al-‘Arabi, 2001), 2474.
[3]
Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Cairo:
Dar al-Ma’arif, 1967), 2:349.
[4]
Ibid., 2:360.
[5]
Ibn al-Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), 3:278.
[6]
Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’ (Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, 1985), 1:285.
[7]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah
(Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 2:404.
[8]
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad (Beirut: Al-Resalah
Publishers, 1999), 17907.
[9]
Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra, 4:287.
[10]
QS. At-Taubah [9]:34.
[11]
Al-Azhar
Journal of Islamic Studies, 27, no.
1 (2019): 105-120.
[12]
QS. Al-Qashash [28]:77.
5.
Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1.
Kesimpulan
Dari kajian terhadap
kehidupan Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Gifari r.a., dapat disimpulkan
bahwa keduanya adalah sahabat Nabi Muhammad Saw yang memberikan teladan luar
biasa dalam berbagai aspek kehidupan. Meskipun memiliki pendekatan yang berbeda
dalam menghadapi dunia, keduanya menunjukkan kesetiaan kepada Islam, keberanian
dalam membela kebenaran, serta kepedulian terhadap umat.
Abdurrahman bin Auf r.a.
merupakan contoh ideal bagaimana seorang Muslim dapat menjadi pengusaha sukses
tanpa melupakan tanggung jawab sosialnya. Ia menunjukkan bahwa kekayaan
bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi harus dimanfaatkan untuk
kemaslahatan umat.⁶⁶ Kedermawanannya dalam membantu fakir miskin, membiayai
peperangan Islam, dan memberikan sumbangan besar kepada kaum Muslimin adalah
bukti bahwa Islam tidak melarang kekayaan, selama digunakan dengan benar.⁶⁷
Di sisi lain, Abu Dzar
al-Gifari r.a. adalah simbol keberanian dalam menegakkan keadilan sosial dan
zuhud. Ia mengkritik keras ketimpangan ekonomi dan berani menegur para penguasa
yang dianggapnya tidak berlaku adil dalam pengelolaan harta umat Islam.⁶⁸
Kehidupannya yang sederhana dan sikapnya yang tanpa kompromi terhadap
ketidakadilan menjadikannya sosok yang inspiratif dalam perjuangan melawan
eksploitasi dan ketimpangan sosial.
Perbedaan di antara keduanya
justru memberikan pelajaran penting bahwa Islam adalah agama yang seimbang.
Seorang Muslim dapat memilih jalan seperti Abdurrahman bin Auf, yaitu menjadi
pengusaha yang sukses tetapi tetap dermawan, atau seperti Abu Dzar, yang lebih
memilih meninggalkan dunia dan menekankan keadilan sosial. Yang terpenting
adalah bagaimana seorang Muslim tetap berpegang teguh pada ajaran Islam dalam
setiap aspek kehidupannya.
5.2. Rekomendasi
Berdasarkan kajian ini,
terdapat beberapa rekomendasi yang dapat diambil dalam rangka
mengimplementasikan nilai-nilai keteladanan Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar
al-Gifari dalam kehidupan modern:
5.2.1. Penguatan Pendidikan Karakter
dalam Islam
Penting bagi institusi
pendidikan Islam, khususnya Madrasah Aliyah, untuk memasukkan kisah para
sahabat sebagai bagian dari kurikulum pendidikan karakter. Dengan mempelajari
kisah Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar, siswa dapat memahami bahwa kesuksesan
dalam Islam tidak hanya diukur dari materi, tetapi juga dari kebermanfaatan
seseorang bagi umat.⁶⁹
5.2.2. Penerapan Prinsip Ekonomi Islam
yang Berkeadilan
Prinsip ekonomi yang
diterapkan oleh Abdurrahman bin Auf, seperti kejujuran dalam berdagang dan
filantropi sosial, dapat dijadikan model bagi pengusaha Muslim di era modern.⁷⁰
Pemerintah dan lembaga ekonomi Islam perlu memperkuat sistem zakat, wakaf, dan
infak sebagai instrumen pemerataan ekonomi, sebagaimana yang diperjuangkan oleh
Abu Dzar al-Gifari.
5.2.3. Keseimbangan Antara Dunia dan
Akhirat
Umat Islam harus memahami
bahwa keseimbangan antara dunia dan akhirat adalah prinsip utama dalam Islam.
Seorang Muslim tidak dilarang mencari kekayaan, tetapi harus memastikan bahwa
hartanya diperoleh dengan cara yang halal dan digunakan untuk kemaslahatan
umat. Dalam konteks kehidupan modern, prinsip ini bisa diterapkan melalui etika
bisnis Islami, filantropi, dan kepedulian sosial.⁷¹
5.2.4. Membangun Kesadaran Sosial dalam
Masyarakat
Sikap kritis Abu Dzar
terhadap ketimpangan sosial menunjukkan bahwa umat Islam harus peduli terhadap
kondisi masyarakat sekitarnya. Konsep keadilan sosial yang diperjuangkannya
relevan dengan tantangan ekonomi global saat ini, di mana kesenjangan antara si
kaya dan si miskin semakin besar. Oleh karena itu, pemerintah dan organisasi
Islam perlu mengembangkan kebijakan yang lebih adil dalam distribusi kekayaan
dan sumber daya.⁷²
5.2.5.
Peneladanan
Akhlak Para Sahabat dalam Kepemimpinan
Para pemimpin Muslim, baik
dalam skala kecil maupun besar, dapat meneladani kepemimpinan Abdurrahman bin
Auf yang penuh tanggung jawab dan transparansi, serta ketegasan Abu Dzar dalam
menegakkan keadilan. Kepemimpinan dalam Islam bukan sekadar jabatan, tetapi
amanah yang harus dijalankan dengan penuh integritas.⁷³
Footnotes
66.
Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah
(Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 2:404.
67.
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya
al-Turath al-‘Arabi, 2001), 2473.
68.
Ibn al-Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), 3:290.
69.
Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’ (Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, 1985), 1:195.
70.
"Islamic Business Ethics: The Example of Abdurrahman bin
Auf," Al-Azhar
Journal of Islamic Studies 25, no. 2 (2018): 113-127.
71.
"Islamic Philanthropy and Economic Justice," IIUM
Journal of Islamic Economics 17, no. 3 (2019): 87-102.
72.
Al-Azhar
Journal of Islamic Studies, 27, no.
1 (2019): 105-120.
73.
Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 4:287.
Daftar Pustaka
Sumber Buku
·
Adz-Dzahabi, S. M. (1985). Siyar
A‘lam an-Nubala’ (Vol. 1). Beirut: Mu’assasah al-Risalah.
·
Ahmad, I. H. (1995). al-Isabah
fi Tamyiz al-Sahabah (Vol. 2). Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
·
Al-Tabari, M. J. (1967). Tarikh
al-Rusul wa al-Muluk (Vol. 2). Cairo: Dar al-Ma’arif.
·
Ibn al-Atsir, I. A. (2009).
Usud al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah (Vol. 3). Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
·
Ibn Hajar al-‘Asqalani, A.
(1995). al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah (Vol. 2). Cairo: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
·
Ibn Katsir, I. U. (1990). al-Bidayah
wa an-Nihayah (Vol. 7). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
·
Ibn Sa‘d, M. (1990). Kitab
al-Tabaqat al-Kubra (Vol. 3 & 4). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
·
Muslim ibn al-Hajjaj.
(2001). Sahih Muslim. Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi.
·
Yusuf ibn Abd al-Barr.
(1992). al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashhab. Cairo: Maktabah al-Khanji.
Sumber Jurnal
·
Al-Azhar Journal of Islamic
Studies. (2019). Islamic Philanthropy and Economic Justice, 27(1),
105-120.
·
Al-Azhar Journal of Islamic
Studies. (2018). Islamic Business Ethics: The Example of Abdurrahman bin
Auf, 25(2), 113-127.
·
International Islamic
University Malaysia (IIUM). (2019). Islamic Philanthropy and Economic
Justice, 17(3), 87-102.
·
International Islamic
University Malaysia (IIUM). (2020). Islamic Philanthropy and Social Justice,
18(2), 89-105.
Sumber Al-Qur'an
·
The Quran. (n.d.). The
Holy Qur’an (Surah At-Taubah [9] ayat 34-35; Surah Al-Qashash [28] ayat 77).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar