Zhahiriyyah
Aliran Literal dalam Filsafat Islam dan Pemikiran
Teologis
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif aliran Zhahiriyyah,
sebuah mazhab pemikiran dalam Islam yang menekankan pemahaman literal terhadap
nash (teks suci) dan menolak penggunaan akal sebagai sumber otoritatif dalam
menetapkan hukum dan memahami doktrin teologis. Dengan menelusuri asal-usul,
tokoh sentral seperti Dāwūd al-Zāhirī dan Ibn Hazm al-Andalusī, serta
prinsip-prinsip metodologis utama Zhahiriyyah, artikel ini mengungkap
kontribusi dan kontroversi aliran tersebut dalam sejarah pemikiran Islam.
Penolakan terhadap qiyās, takwīl, dan ra’y menjadi ciri khas utama
pendekatannya yang skripturalis. Artikel ini juga mengulas kritik tajam dari
kalangan fuqaha, mutakallimūn, dan filsuf, serta mengevaluasi relevansi
pemikiran Zhahiriyyah dalam konteks keislaman kontemporer, termasuk dalam
diskursus hukum Islam modern, gerakan salafi, dan tantangan terhadap
relativisme penafsiran. Dengan pendekatan deskriptif-analitis dan merujuk pada
literatur akademik yang kredibel, artikel ini menyimpulkan bahwa meskipun
Zhahiriyyah tidak bertahan sebagai mazhab fikih besar, warisan intelektualnya
tetap penting dalam membangun keseimbangan metodologis antara teks dan akal
dalam studi Islam.
Kata Kunci: Zhahiriyyah,
literalisme Islam, Ibn Hazm, qiyās, takwīl, hukum Islam, filsafat Islam,
salafi, teks dan akal, usul fikih.
PEMBAHASAN
Zhahiriyyah Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah panjang
perkembangan pemikiran Islam, muncul beragam aliran teologis dan filosofis yang
menawarkan pendekatan yang berbeda dalam memahami wahyu dan ajaran agama.
Sebagian aliran menekankan pendekatan rasional, seperti Mu’tazilah yang
menjadikan akal sebagai tolok ukur utama dalam memahami sifat-sifat Tuhan dan
keadilan ilahi. Di sisi lain, terdapat pula aliran yang cenderung tekstualis
dan menolak rasionalisasi ajaran agama, seperti aliran Zhahiriyyah,
yang memegang teguh pemahaman literal terhadap nash (teks-teks suci) Al-Qur’an
dan Hadis.
Zhahiriyyah
merupakan aliran yang muncul sebagai respons terhadap dominasi takwil
(penafsiran metaforis) dan ijtihad berbasis qiyas (analogi) yang berkembang di
kalangan ahli fikih dan teolog rasionalis. Dalam pandangan Zhahiriyyah,
penafsiran yang melampaui makna lahiriah teks dianggap membuka pintu
subjektivitas dan berpotensi menyimpangkan maksud wahyu. Oleh karena itu,
mereka menolak penggunaan qiyas, istihsan, dan berbagai bentuk ijtihad yang
tidak berdasar pada dalil tekstual yang eksplisit (nash qat’i), serta menolak
segala bentuk interpretasi spekulatif terhadap sifat-sifat Tuhan dan
hukum-hukum agama.¹
Pendekatan literal
ini secara filosofis menantang aliran-aliran yang berkembang dalam filsafat
Islam, seperti aliran Peripatetik (masya’iyyun) yang dipengaruhi oleh filsafat
Yunani dan menekankan logika sebagai alat utama memahami realitas, termasuk
realitas ketuhanan. Zhahiriyyah justru menegaskan bahwa logika dan rasionalitas
manusia bersifat terbatas dan tidak layak dijadikan dasar dalam menentukan
hukum-hukum agama atau memahami hakikat sifat Tuhan.²
Salah satu tokoh
sentral aliran ini adalah Dawud bin Ali al-Isfahani (w.
270 H/884 M), yang dikenal sebagai pendiri mazhab Zhahiriyyah. Namun, yang
paling berpengaruh dalam menyebarluaskan dan mengembangkan pemikiran ini adalah
Ibnu
Hazm al-Andalusi (w. 456 H/1064 M), seorang ulama besar dari
Spanyol Islam (Andalusia). Melalui karya-karyanya yang monumental seperti Al-Muhalla
dan Al-Ihkam
fi Usul al-Ahkam, Ibnu Hazm tidak hanya membela pemahaman literal
terhadap nash, tetapi juga mengembangkan argumen logis untuk menunjukkan
konsistensi pendekatan literal dalam hukum Islam.³
Kehadiran aliran
Zhahiriyyah memberikan warna tersendiri dalam dinamika keilmuan Islam, khususnya
dalam bidang usul fikih dan teologi. Meskipun tidak berkembang menjadi mazhab
besar seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, atau Hanabilah, pemikiran
Zhahiriyyah tetap memiliki pengaruh penting dalam diskursus keagamaan, bahkan
hingga masa kini, terutama dalam diskusi tentang peran akal dan teks dalam
memahami agama.⁴ Oleh karena itu, kajian terhadap aliran ini menjadi penting
dalam memahami peta pemikiran Islam klasik maupun dalam merespons tantangan
modernitas yang mengusung semangat rasionalitas.
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam:
Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1995), 63–64.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy, 3rd ed. (New York:
Columbia University Press, 2004), 122.
[3]
Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Usul
al-Ahkam, ed. Ahmad Muhammad Shakir
(Kairo: Matba‘ah al-I‘tisam, 1960), jil. 1, 48–52.
[4]
W. Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1985), 57.
2.
Pengertian dan Asal-usul Aliran Zhahiriyyah
2.1.
Pengertian Zhahiriyyah
Secara etimologis,
istilah "Zhahiriyyah" berasal
dari kata Arab zhāhir (ظاهر) yang berarti “lahiriah” atau “yang tampak”.
Dalam konteks keilmuan Islam, istilah ini merujuk pada aliran pemikiran yang
berpegang pada makna literal teks-teks agama, baik Al-Qur’an maupun Hadis.
Aliran ini menolak semua bentuk penafsiran metaforis (majazi) yang tidak secara
eksplisit terdapat dalam teks, serta menolak penggunaan qiyas (analogi),
istihsan (preferensi hukum subjektif), dan takwil (interpretasi rasional
terhadap teks).¹
Zhahiriyyah dikenal
sebagai salah satu mazhab fikih yang memiliki pendekatan unik, dengan prinsip
utama bahwa seluruh hukum syariat harus didasarkan pada
makna lahiriah dari nash dan tidak boleh diinterpretasikan
secara subjektif. Menurut mereka, ketetapan hukum yang tidak disebutkan secara
eksplisit dalam teks, tidak bisa ditetapkan melalui nalar atau analogi manusia
karena hal itu dianggap sebagai bentuk campur tangan akal dalam wilayah wahyu.²
2.2.
Asal-usul Kemunculan
Zhahiriyyah
Aliran Zhahiriyyah
didirikan oleh Dāwūd ibn ‘Alī al-Isfahānī (w.
270 H/884 M), seorang ahli fikih yang awalnya mengikuti mazhab Syafi’i, tetapi
kemudian mengembangkan pendekatan yang lebih literal dalam memahami dalil-dalil
agama. Ia menolak qiyas dan ijtihad berdasarkan nalar spekulatif, yang
menurutnya telah menyebabkan penyimpangan dari hukum Islam yang sejati.³
Pemikiran Dāwūd kemudian berkembang menjadi sebuah mazhab independen yang
disebut mazhab Zhahiri atau al-Zhāhiriyyah.
Dawud al-Zhahiri
hidup pada masa transisi antara era kodifikasi hukum Islam (abad ke-2 dan ke-3
H) dan masa pembakuan mazhab-mazhab besar. Dalam konteks ini, Zhahiriyyah
muncul sebagai bentuk kritik terhadap metode istinbath (penggalian hukum) yang
terlalu memberi ruang bagi akal dan spekulasi, yang banyak dipraktikkan oleh
aliran Mu’tazilah atau sebagian fuqaha dari kalangan Hanafiyah.⁴ Dengan
demikian, kemunculan Zhahiriyyah bisa dipahami sebagai reaksi terhadap
perkembangan pemikiran rasional dalam bidang fikih dan kalam.
Meskipun pada
awalnya hanya menjadi salah satu dari sekian banyak mazhab fikih kecil, mazhab
ini memperoleh reputasi intelektual yang tinggi melalui Ibnu
Hazm al-Andalusi (w. 456 H/1064 M), seorang cendekiawan besar
dari Andalusia. Ibnu Hazm mengembangkan dan membela mazhab ini dengan sangat
sistematis melalui karya-karya ilmiahnya, khususnya Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam dan Al-Muhalla.
Ia bukan hanya menjelaskan metode Zhahiriyyah, tetapi juga mengkritik metode
istinbath mazhab-mazhab lain dengan argumen logis dan historis yang kuat.⁵
Sebagai mazhab fikih
dan pendekatan teologis, Zhahiriyyah tidak pernah menjadi mayoritas dalam dunia
Islam. Akan tetapi, warisan pemikirannya tetap menjadi bahan kajian penting
dalam diskursus usul fikih dan filsafat hukum Islam, terutama dalam membahas
batas-batas peran akal dalam agama dan pentingnya teks sebagai otoritas utama
dalam hukum Islam.⁶
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta:
UI Press, 1975), 100–101.
[2]
M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim
Philosophy (Lahore: Sh. Muhammad
Ashraf, 1982), 95.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy, 3rd ed. (New York:
Columbia University Press, 2004), 120–121.
[4]
W. Montgomery Watt, The
Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 321.
[5]
Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Usul
al-Ahkam, ed. Ahmad Muhammad Shakir
(Kairo: Matba‘ah al-I‘tisam, 1960), jil. 1, 52–56.
[6]
Binyamin Abrahamov, “Islamic Theology: Traditionalism and Rationalism,”
Journal of the American Oriental Society 121, no. 4 (2001): 593–597.
3.
Tokoh-Tokoh Utama Zhahiriyyah
Aliran Zhahiriyyah,
meskipun tidak sebesar mazhab-mazhab fikih lainnya dalam hal pengikut, memiliki
sejumlah tokoh sentral yang memberikan kontribusi intelektual besar dalam
pengembangan metode literal dalam memahami syariat. Dua tokoh paling menonjol
dari aliran ini adalah Dāwūd ibn ‘Alī al-Isfahānī sebagai
pendiri dan Ibnu Hazm al-Andalusī sebagai
pengembang dan pembela terbesar mazhab ini.
3.1.
Dāwūd ibn ‘Alī al-Isfahānī
(w. 270 H/884 M)
Dāwūd al-Zāhirī
adalah pendiri mazhab Zhahiriyyah. Ia lahir di Kufah dan dibesarkan dalam
lingkungan keilmuan yang kuat. Pada awalnya, ia adalah murid dari Imam
al-Syafi‘i, namun kemudian menyimpang dari mazhab gurunya dan mengembangkan
pendekatan literal murni dalam istinbāṭ hukum.⁽¹⁾ Dāwūd menolak qiyas,
istihsan, dan berbagai bentuk penalaran hukum yang menurutnya tidak memiliki
dasar eksplisit dalam teks. Ia hanya menerima Al-Qur’an, hadis sahih, dan ijma’
sahabat sebagai sumber hukum, serta menolak analogi dan penafsiran metaforis
atas nash syariat.⁽²⁾
Karya-karya asli
Dāwūd tidak banyak yang tersisa, tetapi pengaruhnya dapat dilacak dari
kutipan-kutipan para ulama setelahnya, seperti al-Dhahabi dan Ibnu Hazm. Dalam
sejarah hukum Islam, Dāwūd dianggap sebagai pionir pemikiran skripturalisme
Islam yang paling ekstrem. Meski pada masanya tidak banyak pengikutnya, ia berhasil
meletakkan dasar penting bagi pendekatan yang menolak perluasan hukum melalui
akal.⁽³⁾
3.2.
Abū Muhammad ‘Alī ibn Ahmad
ibn Sa‘īd ibn Hazm al-Andalusī (w. 456 H/1064 M)
Tokoh paling
berpengaruh dalam aliran Zhahiriyyah adalah Ibnu Hazm, seorang ulama, ahli
fikih, teolog, sekaligus sejarawan besar dari Andalusia. Lahir di Córdoba pada
tahun 384 H/994 M, Ibnu Hazm hidup pada masa keemasan Islam di Andalusia. Ia
menguasai berbagai cabang ilmu keislaman: hadis, usul fikih, kalam, sejarah,
dan sastra Arab.⁽⁴⁾
Ibnu Hazm menganut
dan membela mazhab Zhahiriyyah dengan semangat intelektual yang tinggi. Ia
bukan sekadar pengikut, melainkan seorang reformis dalam tubuh mazhab ini.
Dalam karya terkenalnya, Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, ia
mengemukakan argumen-argumen sistematis untuk mendukung pendekatan literal
terhadap nash, sekaligus mengkritik metode istinbāṭ mazhab-mazhab lain yang
menurutnya bersifat spekulatif dan tidak ilmiah.⁽⁵⁾ Dalam Al-Muḥallā,
Ibnu Hazm memberikan fatwa-fatwa hukum dengan menyandarkan setiap pendapat pada
dalil literal dari Al-Qur’an dan hadis sahih, serta menunjukkan kekeliruan
qiyas dan ra’yu.⁽⁶⁾
Keistimewaan Ibnu
Hazm tidak hanya terletak pada penguasaannya atas dalil, tetapi juga pada
kemampuannya dalam menstrukturkan argumentasi logis. Meskipun menolak
pendekatan filosofis dalam usul fikih, ia tetap menggunakan logika formal dalam
menyusun hujah. Karenanya, banyak orientalis dan sarjana Muslim modern yang
mengakui ketajaman intelektualnya.⁽⁷⁾
Pemikiran Ibnu Hazm
menjadi tonggak penting dalam sejarah aliran literalisme Islam. Ia tidak hanya
menghidupkan kembali mazhab yang nyaris hilang, tetapi juga memberikan
legitimasi ilmiah yang kokoh bagi prinsip-prinsipnya. Kontribusinya menjadikan
Zhahiriyyah dikenal dan dipelajari hingga hari ini, meskipun mazhabnya sendiri
tidak berkembang secara institusional seperti mazhab Sunni lainnya.⁽⁸⁾
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta:
UI Press, 1975), 102.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1985), 58.
[3]
Christopher Melchert, “The Formation and Early Development of the Sunni
Schools of Law,” Islamic Law and Society 1, no. 1 (1994): 47–51.
[4]
R. Arnaldez, Ibn Hazm of Cordova and
His Era: Proceedings of the International Symposium, ed. G. Atiyeh (Beirut: American University of Beirut
Press, 1983), 21–23.
[5]
Ibn Hazm, Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Kairo: Matba‘ah
al-I‘tisam, 1960), jil. 1, 55–62.
[6]
Ibn Hazm, Al-Muḥallā, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Fikr,
1980), jil. 1, 10–14.
[7]
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy, 3rd ed. (New York:
Columbia University Press, 2004), 122–123.
[8]
Binyamin Abrahamov, “Islamic Theology: Traditionalism and Rationalism,”
Journal of the American Oriental Society 121, no. 4 (2001): 597.
4.
Prinsip-Prinsip Dasar Pemikiran Zhahiriyyah
Aliran Zhahiriyyah
memiliki pendekatan yang khas dalam memahami teks-teks agama Islam. Prinsip
utamanya adalah menolak segala bentuk interpretasi yang tidak
bersumber langsung dari makna literal teks, serta menghindari
spekulasi rasional dalam penetapan hukum agama. Pendekatan ini
berbeda secara tajam dengan metode yang dipakai oleh kebanyakan mazhab fikih
dan aliran kalam lainnya. Berikut adalah prinsip-prinsip dasar yang membentuk
fondasi pemikiran Zhahiriyyah:
4.1.
Penolakan terhadap Qiyās
(Analogi) dan Ra’y (Opini Rasional)
Salah satu karakteristik
utama Zhahiriyyah adalah penolakan total terhadap qiyās,
yakni analogi hukum yang digunakan ketika tidak ditemukan nash eksplisit dalam
Al-Qur'an dan Hadis. Menurut aliran ini, qiyās dianggap sebagai bentuk
pencampuran akal dalam wilayah wahyu, yang dapat mengarah pada penyimpangan
makna. Bagi mereka, tidak ada hukum kecuali yang disebutkan secara
eksplisit oleh teks (nash).⁽¹⁾
Ibnu Hazm, tokoh
utama Zhahiriyyah, menyatakan bahwa qiyās tidak memiliki dasar dalam syariat
dan merupakan bentuk ijtihad yang keliru. Ia menegaskan bahwa "Allah tidak
membebani manusia dengan hukum kecuali melalui nash, bukan dengan
analogi."⁽²⁾ Oleh karena itu, hukum syariat harus dibatasi pada dalil yang
qath‘i (pasti) dan tidak membuka celah bagi spekulasi akal.
4.2.
Komitmen terhadap Makna
Zhāhir (Literal) dari Nash
Prinsip ini adalah landasan
filosofis dan metodologis terpenting dari Zhahiriyyah. Mereka
meyakini bahwa Al-Qur’an dan Sunnah telah diturunkan dalam
bahasa Arab yang jelas dan dimaksudkan untuk dipahami secara langsung,
tanpa takwil atau pemaknaan tersembunyi kecuali jika ada dalil yang menunjukkan
makna lain.⁽³⁾
Ibnu Hazm membedakan
antara makna zhāhir (literal) dan makna majāzi (kiasan). Ia menyatakan bahwa
makna kiasan hanya boleh digunakan bila ada indikasi (qarīnah) yang kuat dari
nash itu sendiri, bukan berdasarkan pertimbangan logika semata.⁽⁴⁾ Dalam hal
ini, pendekatan literal dianggap lebih aman dan menjauhkan umat dari
penyimpangan.
4.3.
Sumber Hukum Terbatas:
Al-Qur’an, Hadis Sahih, dan Ijma’ Sahabat
Zhahiriyyah
membatasi sumber hukum Islam hanya pada Al-Qur’an, Hadis
sahih, dan ijma’ sahabat. Mereka menolak
ijma’ ulama setelah generasi sahabat, serta tidak mengakui
istihsan (preferensi hukum berdasarkan kemaslahatan) dan maslahah mursalah
(kemaslahatan umum yang tidak disebutkan dalam nash) sebagai sumber hukum.⁽⁵⁾
Dalam Al-Iḥkām,
Ibnu Hazm menegaskan bahwa hanya ijma’ dari generasi sahabat yang valid karena
mereka hidup dalam masa pewahyuan dan dibimbing langsung oleh Nabi Saw. Setelah mereka, umat tidak memiliki
jaminan otoritatif yang sama dalam menetapkan hukum.⁽⁶⁾
4.4.
Penolakan terhadap Takwīl
dalam Teologi
Zhahiriyyah juga
dikenal karena menolak pendekatan takwīl (interpretasi
metaforis atau alegoris) dalam bidang teologi (‘aqīdah),
terutama dalam hal sifat-sifat Allah. Mereka menegaskan bahwa sifat-sifat
Tuhan yang disebut dalam Al-Qur’an harus diterima sebagaimana adanya,
tanpa mengubah makna lahiriahnya maupun menyerupakannya dengan makhluk
(tasybīh).⁽⁷⁾
Pendekatan ini mirip
dengan posisi ahli hadis (salaf) dan sering disalahpahami sebagai tasybīh,
padahal mereka hanya berpegang pada prinsip bi lā kayf (tanpa membahas
bagaimana) dan bi lā ta’wīl (tanpa penakwilan).⁽⁸⁾
Dalam hal ini, mereka berselisih dengan Mu’tazilah yang menakwil sifat-sifat
Tuhan secara rasional, serta berbeda pula dari Asy’ariyyah yang menerapkan
takwil dalam batas tertentu.
4.5.
Oposisi terhadap Spekulasi
Filosofis dan Metode Kalam
Zhahiriyyah tidak
hanya menolak rasionalisasi dalam fikih, tetapi juga menolak
pendekatan rasionalistik dalam ilmu kalam (teologi skolastik).
Bagi mereka, segala bentuk spekulasi teologis yang bersifat
rasionalistik—seperti pembahasan tentang jauhar (substansi), ‘arad (aksiden),
dan sebab-akibat—tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam yang murni.⁽⁹⁾
Ibnu Hazm secara
terang-terangan mengkritik filsafat Yunani dan metode logika Aristotelian,
meskipun ia tetap menggunakan logika formal untuk membantah argumen lawannya.
Ia meyakini bahwa akal hanya berfungsi untuk memahami nash, bukan untuk menggantikannya.⁽¹⁰⁾
Kesimpulan
Prinsip-prinsip
dasar Zhahiriyyah mencerminkan komitmen total pada otoritas teks wahyu
dan penolakan terhadap akal sebagai sumber independen dalam hukum dan teologi.
Pendekatan ini muncul sebagai respons terhadap kecenderungan rasionalistik
dalam kalangan fuqaha dan mutakallimun. Meskipun dianggap ekstrem oleh banyak
ulama, pemikiran Zhahiriyyah tetap menjadi bagian penting dari sejarah
intelektual Islam, khususnya dalam diskursus antara tekstualisme
dan rasionalisme.
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta:
UI Press, 1975), 102–104.
[2]
Ibn Hazm, Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Kairo: Matba‘ah
al-I‘tisam, 1960), 1:55.
[3]
W. Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1985), 57–59.
[4]
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy, 3rd ed. (New York:
Columbia University Press, 2004), 123.
[5]
M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim
Philosophy (Lahore: Sh. Muhammad
Ashraf, 1982), 96.
[6]
Ibn Hazm, Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, 1:61–63.
[7]
Binyamin Abrahamov, Anthropomorphism
and Interpretation of the Qur’an in the Theology of al-Qasim ibn Ibrahim (Leiden: Brill, 1996), 44–45.
[8]
Richard C. Martin, Islamic Studies: A
History of Religions Approach (Upper
Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1996), 147.
[9]
Oliver Leaman, An Introduction to
Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 71–72.
[10]
R. Arnaldez, Ibn Hazm of Cordova and
His Era: Proceedings of the International Symposium, ed. G. Atiyeh (Beirut: American University of Beirut
Press, 1983), 31–33.
5.
Zhahiriyyah dalam Perspektif Filsafat Islam
Dalam khazanah
filsafat Islam, aliran Zhahiriyyah menempati posisi yang unik dan berbeda.
Meskipun tidak secara eksplisit dikategorikan sebagai aliran filsafat,
pendekatan literal yang diusung Zhahiriyyah menyajikan tantangan
filosofis yang signifikan terhadap dominasi rasionalisme dalam filsafat Islam,
khususnya terhadap pemikiran yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani.
Filsafat Islam
klasik banyak dipengaruhi oleh warisan logika Aristotelian yang menekankan
pentingnya akal dan deduksi rasional dalam mencapai kebenaran metafisik.
Tokoh-tokoh seperti al-Farabi, Ibn Sina,
dan Ibn
Rushd mengembangkan pendekatan rasional dalam memahami Tuhan,
kosmologi, dan hubungan antara wahyu dan akal. Dalam konteks ini, munculnya
aliran Zhahiriyyah dengan penolakannya terhadap akal sebagai sumber otoritatif
dalam agama merupakan sebuah sikap anti-filosofis, atau dalam
istilah tertentu, "anti-rasionalisme skriptural".¹
Zhahiriyyah menolak
penggunaan metodologi filosofis dalam memahami ajaran agama, karena dianggap
membuka ruang interpretasi yang bersifat spekulatif dan tidak didasarkan pada
otoritas teks wahyu. Ibnu Hazm, sebagai tokoh utama
aliran ini, secara terbuka mengkritik para filsuf Muslim yang terlalu
mengandalkan logika dalam memahami hakikat Tuhan dan menetapkan
prinsip-prinsip hukum. Dalam karyanya Al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-Nihal,
ia menyatakan bahwa kebenaran dalam agama hanya dapat dicapai melalui nash yang
jelas, bukan melalui akal spekulatif.²
Sikap anti-filosofis
ini menjadikan Ibnu Hazm berbeda dari para pemikir Islam lainnya yang berupaya
mendamaikan wahyu dengan rasio. Misalnya, Al-Ghazali mengkritik para filsuf
dalam Tahafut
al-Falasifah, tetapi masih menerima metode logika untuk memperkuat
argumen teologis dalam al-Iqtisad fi al-I’tiqad.
Sebaliknya, Ibnu Hazm menolak baik metodologi kalam maupun
filsafat, dan hanya menjadikan teks sebagai satu-satunya dasar
epistemologis.³
Namun demikian,
menarik bahwa meskipun menolak filsafat, Ibnu Hazm tetap menggunakan perangkat logika
formal dalam menyusun argumentasi. Ia mengadopsi beberapa
struktur silogisme untuk mendukung pandangan literalnya, meskipun ia menolak
asumsi-asumsi metafisik yang biasa melekat dalam tradisi logika Aristotelian.
Ini menunjukkan bahwa kritiknya terhadap filsafat bukanlah penolakan total
terhadap akal, melainkan terhadap penggunaan akal sebagai penentu kebenaran
independen di luar wahyu.⁴
Dalam perspektif
filsafat Islam, pendekatan Zhahiriyyah mencerminkan skeptisisme
epistemologis terhadap kemampuan akal dalam menjangkau kebenaran agama.
Aliran ini menjadi suara yang penting dalam wacana antara wahyu
dan rasio, sekaligus mewakili kubu ekstrem dalam spektrum
tekstualisme Islam. Dalam konteks kontemporer, pendekatan seperti ini muncul
kembali dalam bentuk gerakan literalistik modern, meskipun tidak identik secara
historis maupun metodologis dengan Zhahiriyyah klasik.⁵
Dengan demikian,
Zhahiriyyah memberikan kontribusi penting dalam memperluas cakrawala filsafat
Islam, bukan sebagai produsen gagasan metafisis, tetapi sebagai kritikus
internal terhadap dominasi rasionalitas dalam memahami agama.
Ia mengingatkan bahwa dalam dunia Islam, akal memiliki posisi penting tetapi
tidak mutlak, dan teks wahyu tetap menjadi landasan utama dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan besar tentang Tuhan, hukum, dan kehidupan.
Footnotes
[1]
Oliver Leaman, An Introduction to
Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 69–71.
[2]
Ibn Hazm, Al-Faṣl fī al-Milal wa
al-Ahwā’ wa al-Niḥal, ed. Muhammad
Ibrahim Nasr (Beirut: Dar al-Jil, 1985), 1:74–78.
[3]
W. Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1985), 123.
[4]
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy, 3rd ed. (New York:
Columbia University Press, 2004), 125.
[5]
Binyamin Abrahamov, “Islamic Theology: Traditionalism and Rationalism,”
Journal of the American Oriental Society 121, no. 4 (2001): 592–593.
6.
Pengaruh dan Penyebaran Aliran Zhahiriyyah
Meskipun aliran
Zhahiriyyah tidak berkembang secara luas dan tidak bertahan lama sebagai mazhab
fikih formal seperti Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi‘iyyah, dan Hanabilah, pengaruh
pemikiran dan metodologi literalnya tetap memberikan dampak penting
dalam sejarah pemikiran Islam, khususnya dalam diskursus usul fikih, tafsir,
dan teologi.
6.1.
Penyebaran Awal di Timur
Islam
Zhahiriyyah pertama
kali berkembang di wilayah Irak dan Persia bagian barat, khususnya pada abad
ke-3 H/9 M, di bawah pengaruh langsung pendirinya, Dāwūd
ibn ‘Alī al-Isfahānī. Namun, mazhab ini tidak memperoleh
pengikut yang luas karena pendekatannya yang sangat tekstual bertentangan
dengan metode mayoritas ulama yang menggunakan qiyās dan ijtihād sebagai sarana
penting dalam pengembangan hukum Islam.⁽¹⁾
Penolakan terhadap
analogi hukum (qiyās) dan pendekatan rasional menjadikan Zhahiriyyah dipandang
ekstrem oleh sebagian besar fuqaha, yang menyebabkan mazhab ini kurang
diterima di kalangan akademik utama dunia Islam saat itu,
terutama di pusat-pusat ilmu seperti Baghdad dan Khurasan yang lebih menerima
pendekatan rasional moderat.⁽²⁾
6.2.
Perkembangan Signifikan di
Andalusia
Wilayah yang menjadi
pusat perkembangan penting Zhahiriyyah adalah Andalusia (Spanyol Muslim). Di
sinilah pemikiran Ibnu Hazm tumbuh dan memberikan fondasi kokoh bagi eksistensi
mazhab Zhahiriyyah. Ibnu Hazm berhasil menjadikan aliran ini sebagai mazhab
pemikiran hukum yang sistematis dan argumentatif, meskipun
tetap berpegang teguh pada prinsip literalisme.
Ibnu Hazm hidup
dalam lingkungan sosial dan politik yang kompleks, terutama saat terjadi
perpecahan di Daulah Umayyah Andalusia dan kemunculan kerajaan-kerajaan kecil
(mulūk al-ṭawā’if). Dalam konteks inilah, Ibnu Hazm melihat pentingnya kembali
kepada sumber ajaran Islam yang murni dan otentik, yakni teks wahyu, sebagai upaya
menjaga kemurnian agama dari campur tangan akal dan kepentingan politik.⁽³⁾
Pemikiran
Zhahiriyyah melalui karya-karya Ibnu Hazm seperti Al-Muḥallā dan Al-Iḥkām
fī Uṣūl al-Aḥkām menjadi rujukan penting, bahkan dikaji ulang oleh
para ulama lintas mazhab karena kekuatan argumentasi dan keluasan pengetahuan
beliau.⁽⁴⁾ Di Andalusia, mazhab ini sempat menjadi alternatif bagi sebagian
kalangan intelektual yang jenuh terhadap perdebatan panjang antara rasionalisme
dan tradisionalisme ekstrem.
6.3.
Penyusutan dan Kemunduran
Setelah wafatnya
Ibnu Hazm pada tahun 456 H/1064 M, mazhab Zhahiriyyah mulai mengalami
kemunduran secara perlahan. Salah satu penyebab utamanya adalah
tidak
adanya institusi pendidikan atau dukungan politik yang kuat
untuk mengembangkan mazhab ini secara berkelanjutan.⁽⁵⁾ Berbeda dengan mazhab
lain yang memiliki murid-murid dan lembaga resmi, Zhahiriyyah lebih berkembang
dalam bentuk pemikiran independen yang tidak terstruktur secara institusional.
Selain itu,
pendekatan ekstrem dalam menolak semua bentuk ijtihād rasional membuat
Zhahiriyyah sulit beradaptasi dengan kompleksitas realitas sosial-politik yang
terus berkembang. Oleh karena itu, pada abad ke-7 H/13 M, mazhab ini nyaris
punah sebagai aliran fikih yang hidup.⁽⁶⁾
6.4.
Pengaruh Pemikiran
Zhahiriyyah dalam Diskursus Modern
Meskipun tidak lagi
eksis sebagai mazhab fikih formal, pengaruh prinsip-prinsip literal Zhahiriyyah
tetap dapat ditemukan dalam diskursus keislaman kontemporer,
khususnya dalam gerakan-gerakan yang mengedepankan pemurnian
ajaran Islam dan menolak inovasi keagamaan (bid‘ah). Beberapa
pengamat menyebut bahwa metode Zhahiriyyah memiliki kemiripan
metodologis dengan pendekatan sebagian gerakan salafi modern
dalam hal penolakan terhadap takwīl dan komitmen pada makna zhāhir dari
nash.⁽⁷⁾
Namun demikian,
perlu digarisbawahi bahwa Zhahiriyyah klasik dan salafisme modern
bukanlah entitas yang identik, baik secara historis maupun
ideologis. Zhahiriyyah muncul sebagai respon ilmiah terhadap rasionalisme fikih
klasik, sementara gerakan salafi kontemporer lebih merupakan fenomena
sosial-religius yang kompleks dan memiliki dimensi politik tertentu.⁽⁸⁾
Kesimpulan
Meskipun tidak
bertahan sebagai mazhab fikih besar, Zhahiriyyah memiliki pengaruh penting sebagai
aliran pemikiran yang menyuarakan kembalinya kepada otoritas teks wahyu,
serta mengkritik secara tajam dominasi rasionalitas dalam hukum dan teologi
Islam. Warisan intelektualnya, khususnya melalui karya-karya Ibnu Hazm, tetap
menjadi bagian tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan ilmu fikih, usul
fikih, dan filsafat Islam.
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta:
UI Press, 1975), 105–106.
[2]
Christopher Melchert, “The Formation and Early Development of the Sunni
Schools of Law,” Islamic Law and Society 1, no. 1 (1994): 56–57.
[3]
R. Arnaldez, Ibn Hazm of Cordova and
His Era: Proceedings of the International Symposium, ed. G. Atiyeh (Beirut: American University of Beirut
Press, 1983), 45–46.
[4]
Ibn Hazm, Al-Muḥallā, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dār al-Fikr,
1980), jil. 1, pengantar editor.
[5]
Wael B. Hallaq, The Origins and
Evolution of Islamic Law (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), 182.
[6]
W. Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1985), 59.
[7]
Binyamin Abrahamov, “Islamic Theology: Traditionalism and Rationalism,”
Journal of the American Oriental Society 121, no. 4 (2001): 594–595.
[8]
Ahmad Dallal, The Political Theology
of ISIS: Prophets, Messiahs, and the "Extremist" Ideal (New York: Oxford University Press, 2021), 32–33.
7.
Kritik dan Tanggapan terhadap Aliran
Zhahiriyyah
Zhahiriyyah, dengan
pendekatan literalnya yang tegas dalam memahami nash agama, tidak luput dari
kritik baik dari kalangan fuqaha, mutakallimun, maupun filsuf Muslim. Kritik
tersebut umumnya berpusat pada penolakan aliran ini terhadap qiyās dan takwil,
serta pembatasan
sumber hukum yang dianggap terlalu sempit, sehingga dianggap
tidak memadai dalam menjawab realitas kehidupan yang terus berkembang.
7.1.
Kritik dari Mazhab Fikih
Mainstream
Mayoritas ulama
fikih dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menolak pendekatan
Zhahiriyyah karena dianggap menghambat pengembangan hukum Islam secara
fungsional. Mereka menilai bahwa penolakan terhadap qiyās dan
metode ijtihad lain akan menyebabkan stagnasi hukum dan ketidakmampuan syariat
menjawab persoalan baru.
Imam
al-Syafi’i, meskipun menolak istihsan yang terlalu longgar,
tetap menerima qiyās sebagai metode penting dalam penggalian hukum. Ia
menegaskan bahwa qiyās adalah sarana akal untuk memahami maksud Allah dalam
nash, bukan bentuk pengabaian terhadap wahyu.⁽¹⁾ Dalam hal ini, pendekatan
Zhahiriyyah dianggap terlalu sempit dan tekstual, serta mengabaikan maqāṣid
al-sharī‘ah (tujuan-tujuan hukum Islam).⁽²⁾
Imam
al-Ghazali, dalam al-Mustasfa, mengkritik mereka yang
menolak qiyās sebagai orang yang "mematikan gerak hukum Islam" karena
menutup kemungkinan pengembangan hukum dalam konteks yang berbeda dari masa
turunnya wahyu.⁽³⁾
7.2.
Kritik dari Kalangan Ilmu
Kalam
Dalam bidang
teologi, aliran Zhahiriyyah dikritik karena menolak takwīl dalam memahami sifat-sifat Tuhan.
Bagi kalangan Mu’tazilah dan Asy‘ariyyah,
pendekatan literal terhadap ayat-ayat mutasyābihāt (ambiguitas teologis dalam
Al-Qur’an) dapat menimbulkan kesan tasybīh (penyerupaan Tuhan dengan makhluk).
Misalnya, ayat-ayat
seperti “tangan Allah di atas tangan mereka” (QS al-Fath: 10) atau “Tuhan bersemayam
di atas ‘Arsy” (QS Ṭaha: 5), bila dipahami secara literal, dikhawatirkan akan
membawa umat pada keyakinan antropomorfis. Oleh karena itu, aliran
Asy‘ariyyah menggunakan takwīl ta’wīl ijmālī atau tafwīḍ
(menyerahkan maknanya kepada Allah) agar tetap menjaga akidah dari
penyimpangan.⁽⁴⁾
Fakhruddin
al-Razi, dalam al-Maṭālib al-‘Āliyah, menganggap
bahwa pemahaman literal terhadap sifat Tuhan bertentangan dengan prinsip tanzīh
(penyucian Tuhan dari sifat makhluk), dan menyatakan bahwa Zhahiriyyah gagal
menjaga keseimbangan antara nash dan akal.⁽⁵⁾
7.3.
Kritik Filsuf Muslim
Dari kalangan
filsafat Islam, Ibn Rushd (Averroes) dalam Fashl
al-Maqāl menyatakan bahwa pendekatan tekstual ekstrem seperti yang
dianut oleh Zhahiriyyah mengabaikan fungsi akal dalam memahami syariat,
padahal menurutnya, wahyu dan akal saling melengkapi. Wahyu seringkali
menggunakan simbol atau perumpamaan, dan hanya dapat dipahami dengan baik
melalui rasionalitas yang sehat.⁽⁶⁾
Ibn Rushd juga
menekankan bahwa takwīl diperlukan untuk menjaga relevansi syariat terhadap
ilmu dan pengetahuan manusia yang terus berkembang. Dengan menolak takwīl dan
qiyās, Zhahiriyyah menurutnya berpotensi menjadikan agama kaku dan tidak
mampu berdialog dengan realitas ilmiah.⁽⁷⁾
7.4.
Apresiasi Terbatas dan
Pembelaan terhadap Zhahiriyyah
Meskipun menerima
banyak kritik, sebagian sarjana Muslim modern memberikan apresiasi
terhadap komitmen Zhahiriyyah pada otoritas teks wahyu.
Pendekatan literal mereka dianggap menjadi penyeimbang bagi
kecenderungan rasionalistik yang berlebihan dalam ilmu kalam dan fikih.
Fazlur
Rahman, misalnya, menganggap pendekatan Zhahiriyyah sebagai
bagian dari dinamika intelektual Islam yang penting, meskipun ia tetap
mengkritik keterbatasannya. Baginya, Zhahiriyyah adalah bentuk protes terhadap
kecenderungan takwīl yang tidak disiplin, dan ini penting dalam
menjaga keutuhan pesan wahyu.⁽⁸⁾
Kesimpulan
Zhahiriyyah telah
menjadi sasaran kritik utama dalam berbagai bidang
keilmuan Islam, terutama karena penolakannya terhadap qiyās dan
takwīl. Namun demikian, keberadaan mereka tetap berperan sebagai pengingat akan
pentingnya kesetiaan terhadap teks wahyu,
serta sebagai bagian dari mozaik keilmuan Islam yang kompleks dan kaya. Kritik
yang mereka terima justru menjadi bukti pentingnya posisi mereka dalam sejarah
pemikiran Islam, baik sebagai aliran yang dilawan maupun yang dipertimbangkan.
Footnotes
[1]
Al-Shafi‘i, Al-Risālah, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dār al-Fikr,
1990), 597.
[2]
Wael B. Hallaq, Authority, Continuity
and Change in Islamic Law
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 64.
[3]
Al-Ghazali, Al-Mustasfa min 'Ilm
al-Usul, ed. Muhammad Abd al-Salam
Abd al-Shafi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 1:345.
[4]
Al-Juwayni, Al-Irshad ila Qawati‘
al-Adillah, ed. Muhammad Yusuf Musa
(Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1950), 32–35.
[5]
Fakhr al-Din al-Razi, Al-Matālib
al-‘Āliyah, ed. Ahmad Hijazi
al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 2:198.
[6]
Ibn Rushd, Fashl al-Maqāl, ed. Muhammad ‘Abd al-Hadi Abu Rida (Cairo: Dar
al-Ma‘arif, 1960), 45.
[7]
Majid Fakhry, Averroes: His Life,
Works and Influence (Oxford:
Oneworld, 2001), 98–99.
[8]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 17–18.
8.
Relevansi dan Tantangan Pemikiran Zhahiriyyah
di Era Kontemporer
Meskipun secara
historis mazhab Zhahiriyyah mengalami kemunduran dan tidak bertahan sebagai
aliran fikih yang mapan, namun gagasan-gagasan fundamentalnya terus bergema
dalam perdebatan keislaman modern, terutama dalam isu-isu yang
berkaitan dengan otoritas nash, peran akal, dan metode istinbāṭ hukum.
Pendekatan literal-tekstual yang diusung oleh Zhahiriyyah memiliki daya tarik
tersendiri dalam konteks kontemporer yang diwarnai oleh pertarungan antara
skripturalisme dan rasionalisme, tradisionalisme dan modernisme.
8.1.
Kembalinya Semangat
Literalisme
Dalam beberapa
dekade terakhir, dunia Islam menyaksikan kebangkitan berbagai gerakan keagamaan
yang menyerukan pemurnian ajaran Islam dengan
menekankan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah secara literal, serta menolak
ijtihad berbasis akal atau tradisi ulama yang dianggap sebagai bid‘ah.
Gerakan seperti Salafiyah atau Wahhabiyah
di sebagian wilayah dunia Islam seringkali menunjukkan pendekatan yang metodologisnya
mirip dengan Zhahiriyyah, meskipun tidak secara langsung
mengaku sebagai kelanjutan historisnya.⁽¹⁾
Para peneliti
seperti Henri Lauzière dan Ahmad
Dallal menunjukkan bahwa pola penolakan terhadap qiyās, takwīl,
dan inovasi hukum modern dalam sebagian kelompok salafi kontemporer memiliki
kesamaan epistemologis dengan prinsip-prinsip dasar Zhahiriyyah klasik.⁽²⁾
Namun demikian, terdapat perbedaan kontekstual dan politis yang mendalam antara
kedua pendekatan tersebut, sehingga Zhahiriyyah tidak bisa disamakan secara
langsung dengan gerakan Islamisme modern.
8.2.
Relevansi dalam Kritik
terhadap Rasionalisme Bebas
Zhahiriyyah juga
mendapatkan tempat dalam diskursus akademik kontemporer
sebagai bentuk kritik terhadap liberalisasi hukum Islam
yang mengandalkan pendekatan rasional semata. Dalam pandangan sebagian sarjana
Muslim, pendekatan yang terlalu menekankan rasionalitas dalam penafsiran teks
dapat menyebabkan dekonstruksi terhadap makna wahyu dan membuka ruang
relativisme hukum.
Taha
Jabir al-‘Alwani dan Mohammad Hashim Kamali,
misalnya, mengakui pentingnya pendekatan kontekstual dalam hukum Islam, namun
tetap menekankan bahwa rasionalitas harus berjalan seiring dengan
otoritas teks. Dalam hal ini, pendekatan literal Zhahiriyyah menjadi
pengingat akan batasan metodologis dalam berijtihad agar tidak
jatuh dalam subjektivitas atau pembacaan modernis yang ahistoris.⁽³⁾
8.3.
Tantangan: Ketegangan antara
Teks dan Konteks
Di sisi lain,
pemikiran Zhahiriyyah juga menghadapi tantangan besar dalam menjawab kompleksitas
kehidupan modern. Dunia kontemporer diwarnai oleh dinamika
sosial, ekonomi, dan politik yang tidak ditemukan pada masa klasik. Oleh karena
itu, pendekatan literal yang menolak qiyās dan takwīl sering dianggap tidak
memadai dalam merumuskan hukum Islam yang responsif dan kontekstual.
Sebagai contoh, problematika
bioetika, hukum perbankan syariah, atau hak-hak perempuan,
membutuhkan pendekatan hukum yang mempertimbangkan maqāṣid al-sharī‘ah dan
konteks sosial. Mazhab Zhahiriyyah yang membatasi sumber hukum hanya pada makna
literal teks tanpa pertimbangan maslahat dianggap tidak mampu memberikan solusi
yang adaptif terhadap isu-isu tersebut.⁽⁴⁾
8.4.
Peluang Dialog dan Sintesis
Meskipun demikian,
pemikiran Zhahiriyyah tetap memiliki kontribusi positif dalam menjaga otoritas wahyu
dalam era pascamodern yang penuh relativisme makna. Dalam
konteks akademik dan pendidikan Islam, pendekatan Zhahiriyyah dapat
diintegrasikan sebagai komponen metodologis yang menyeimbangkan
kecenderungan liberalisasi tafsir, tanpa harus menjadi
satu-satunya metode.
Sejumlah sarjana
kontemporer menyarankan sintesis antara pendekatan literal dan rasional,
sebagaimana dicoba oleh tokoh-tokoh seperti al-Shatibi, al-Ghazali,
dan Ibn
‘Ashur, yang berusaha menjaga teks sambil memperhatikan maqāṣid
(tujuan hukum). Pendekatan Zhahiriyyah dapat menjadi penyeimbang
penting dalam proses ijtihad kolektif modern, selama tidak
dijadikan pendekatan tunggal.⁽⁵⁾
Kesimpulan
Zhahiriyyah,
meskipun lahir dalam konteks abad pertengahan, tetap memiliki daya
tawar dalam perdebatan hukum dan teologi Islam kontemporer,
baik sebagai kritik terhadap kecenderungan rasionalisme berlebihan maupun
sebagai pengingat atas pentingnya otoritas teks wahyu. Tantangannya terletak
pada keterbatasan metodologinya dalam merespons realitas baru, namun
kekuatannya berada pada komitmennya terhadap kejelasan dan otoritas
nash. Oleh karena itu, warisan Zhahiriyyah tetap relevan untuk
dikaji dan dipertimbangkan dalam upaya membangun metodologi hukum Islam yang
otentik, responsif, dan seimbang.
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan
dan Pemikiran (Bandung: Mizan,
1995), 110–111.
[2]
Henri Lauzière, The Making of Salafism:
Islamic Reform in the Twentieth Century
(New York: Columbia University Press, 2016), 91–92; Ahmad Dallal, Islam, Science, and the Challenge of History (New Haven: Yale University Press, 2010), 114.
[3]
Taha Jabir al-‘Alwani, Usul
al-Fiqh al-Islami: Source Methodology in Islamic Jurisprudence, trans. Yusuf Talal DeLorenzo (Herndon, VA:
International Institute of Islamic Thought, 2003), 85–86.
[4]
Mohammad Hashim Kamali, Principles
of Islamic Jurisprudence, 3rd ed.
(Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 400–401.
[5]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as
Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought,
2008), 43–44.
9.
Penutup
Zhahiriyyah adalah
salah satu aliran pemikiran dalam khazanah Islam klasik yang memberikan
kontribusi penting dalam wacana hukum, teologi, dan metodologi penafsiran teks.
Meskipun aliran ini tidak berkembang menjadi mazhab besar yang bertahan lama
secara institusional, komitmen Zhahiriyyah terhadap otoritas teks
wahyu dan penolakan terhadap penalaran spekulatif menjadikannya salah satu
bentuk resistensi intelektual terhadap kecenderungan rasionalisasi berlebihan
dalam syariat Islam.¹
Dalam bidang fikih,
Zhahiriyyah menolak qiyās, istihsān, dan maslahah mursalah, serta membatasi
sumber hukum pada Al-Qur’an, hadis sahih, dan ijma’ sahabat. Pendekatan ini
diyakini oleh para pengikutnya sebagai cara paling otentik dalam menjaga
kemurnian hukum Islam dari intervensi akal manusia.² Dalam bidang teologi,
mereka menolak takwil atas ayat-ayat mutasyabihat dan menegaskan penerimaan
terhadap sifat-sifat Tuhan sebagaimana disebut dalam nash, tanpa tafsir
rasional ataupun penyerupaan dengan makhluk.³
Tokoh paling
berpengaruh dalam mengembangkan dan membela aliran ini adalah Ibnu
Hazm al-Andalusi, yang melalui karya-karyanya seperti Al-Muḥallā
dan Al-Iḥkām
fī Uṣūl al-Aḥkām, menyusun sistem pemikiran hukum yang kokoh dan
konsisten, meski berseberangan dengan metode mayoritas ulama.⁴ Keberaniannya
menantang tradisi keilmuan arus utama membuat pemikirannya terus dikaji hingga
kini.
Meskipun banyak
menuai kritik, terutama dari kalangan fuqaha, mutakallimun, dan filsuf Muslim,
pemikiran Zhahiriyyah tetap memiliki nilai korektif terhadap kecenderungan
liberalisasi tafsir dan relativisme hukum yang berkembang di era kontemporer.⁵
Pendekatan literalnya menjadi pengingat bahwa teks wahyu harus tetap menjadi
fondasi utama dalam membangun bangunan keislaman yang kokoh dan otentik,
sekaligus menjadi peringatan atas bahaya melampaui batas-batas metodologis yang
telah digariskan dalam wahyu.
Namun demikian, tantangan
utama Zhahiriyyah terletak pada keterbatasannya dalam menjawab kompleksitas
persoalan modern, terutama yang membutuhkan pendekatan maqāṣidī
dan pertimbangan kontekstual. Oleh karena itu, pemikiran Zhahiriyyah di era
kini lebih tepat diposisikan sebagai bagian dari mozaik epistemologis Islam,
bukan sebagai pendekatan tunggal.
Dengan demikian,
studi terhadap Zhahiriyyah memberikan pelajaran penting tentang bagaimana tafsir
tekstual dapat menjadi kekuatan dalam menjaga integritas wahyu,
sekaligus menyadarkan kita akan perlunya pendekatan integratif yang mampu
menggabungkan kekuatan teks dan akal dalam bingkai metodologi yang seimbang.⁶
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta:
UI Press, 1975), 102–106.
[2]
Ibn Hazm, Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Kairo: Matba‘ah
al-I‘tisam, 1960), jil. 1, 50–63.
[3]
Binyamin Abrahamov, “Islamic Theology: Traditionalism and Rationalism,”
Journal of the American Oriental Society 121, no. 4 (2001): 593–597.
[4]
R. Arnaldez, Ibn Hazm of Cordova and
His Era: Proceedings of the International Symposium, ed. G. Atiyeh (Beirut: American University of Beirut
Press, 1983), 31–33.
[5]
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy, 3rd ed. (New York:
Columbia University Press, 2004), 122–125.
[6]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 17–18.
Daftar Pustaka
Abrahamov, B. (1996). Anthropomorphism and
interpretation of the Qur’an in the theology of al-Qasim ibn Ibrahim.
Brill.
Abrahamov, B. (2001). Islamic theology:
Traditionalism and rationalism. Journal of the American Oriental Society,
121(4), 587–603. https://doi.org/10.2307/606647
Al-Ghazali. (1993). Al-Mustasfa min 'Ilm al-Usul
(M. A. al-Shafi, Ed.). Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Juwayni. (1950). Al-Irshad ila Qawati‘
al-Adillah (M. Y. Musa, Ed.). Al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra.
Al-Shafi‘i. (1990). Al-Risalah (A. M.
Shakir, Ed.). Dar al-Fikr.
Arnaldez, R. (1983). Ibn Hazm of Cordova and His
Era: Proceedings of the International Symposium (G. Atiyeh, Ed.). American
University of Beirut Press.
Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as
philosophy of Islamic law: A systems approach. International Institute of
Islamic Thought.
Dallal, A. (2010). Islam, science, and the
challenge of history. Yale University Press.
Dallal, A. (2021). The political theology of
ISIS: Prophets, messiahs, and the "extremist" ideal. Oxford
University Press.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Fakhry, M. (2001). Averroes: His life, works and
influence. Oneworld Publications.
Hallaq, W. B. (2001). Authority, continuity and
change in Islamic law. Cambridge University Press.
Hallaq, W. B. (2005). The origins and evolution
of Islamic law. Cambridge University Press.
Ibn Hazm. (1960). Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām
(A. M. Shakir, Ed.). Matba‘ah al-I‘tisam.
Ibn Hazm. (1980). Al-Muḥallā (A. M. Shakir,
Ed.). Dar al-Fikr.
Ibn Hazm. (1985). Al-Faṣl fī al-Milal wa
al-Ahwā’ wa al-Niḥal (M. I. Nasr, Ed.). Dar al-Jil.
Ibn Rushd. (1960). Fashl al-Maqāl (M. ‘A.
Abu Rida, Ed.). Dar al-Ma‘arif.
Kamali, M. H. (2003). Principles of Islamic
jurisprudence (3rd ed.). Islamic Texts Society.
Lauzière, H. (2016). The making of Salafism:
Islamic reform in the twentieth century. Columbia University Press.
Leaman, O. (2001). An introduction to classical
Islamic philosophy. Cambridge University Press.
Melchert, C. (1994). The formation and early
development of the Sunni schools of law. Islamic Law and Society, 1(1),
33–64. https://doi.org/10.2307/3399214
Nasution, H. (1975). Islam ditinjau dari
berbagai aspeknya (Jilid I). UI Press.
Nasution, H. (1995). Islam rasional: Gagasan dan
pemikiran. Mizan.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation
of an intellectual tradition. University of Chicago Press.
Sheikh, M. S. (1982). Studies in Muslim
philosophy. Sh. Muhammad Ashraf.
Watt, W. M. (1973). The formative period of
Islamic thought. Edinburgh University Press.
Watt, W. M. (1985). Islamic philosophy and
theology. Edinburgh University Press.
Lampiran: Kitab-Kitab Rujukan Utama Aliran Zhahiriyyah
1.
Dāwūd ibn ‘Alī al-Ẓāhirī (w. 270 H / 884 M)
Kitab:
?
Sayangnya, karya asli Dāwūd al-Ẓāhirī tidak
banyak yang sampai kepada kita secara utuh, dan sebagian besar
hanya dikutip oleh ulama lain, terutama oleh Ibn Hazm dan al-Dhahabi.
Referensi Sekunder
Penting:
Kutipan dan pembahasan pemikirannya dapat
ditemukan dalam kitab Siyar A‘lām al-Nubalā’ karya
al-Dhahabi dan Tabaqāt al-Fuqahā’ karya Ibn
Sa‘d.
2.
Ibn Hazm al-Andalusī (Abū Muḥammad ‘Alī ibn Aḥmad ibn Sa‘īd, w. 456
H / 1064 M)
2.1.
Kitab: Al-Muḥallā bi
al-Āthār
Terjemahan Judul:
Yang Dihias dengan Dalil-Dalil Naqli (Atsar)
Deskripsi:
Kitab fikih praktis dan aplikatif berbasis pendapat Zhahiriyyah, dilengkapi
dalil Al-Qur’an, Hadis, dan bantahan terhadap pandangan mazhab lain. Ini adalah
salah satu karya utama yang menunjukkan metode literal Ibn Hazm secara rinci
dan tajam.
2.2.
Kitab:
Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām
Terjemahan Judul:
Ketetapan dalam Dasar-Dasar Penetapan Hukum
Deskripsi:
Kitab monumental dalam bidang uṣūl al-fiqh (metodologi
hukum Islam), yang membahas secara komprehensif metode ijtihad dan argumentasi
hukum dengan pendekatan literal khas Zhahiriyyah. Karya ini menjadi fondasi epistemologis
bagi mazhab tersebut.
2.3.
Kitab:
Al-Fiṣal fī al-Milal wa al-Ahwā’ wa al-Niḥal
Terjemahan Judul:
Penjelasan tentang Agama-Agama, Aliran-Aliran, dan Sekte-Sekte
Deskripsi:
Kitab dalam bidang perbandingan agama dan aliran teologis. Dalam kitab ini Ibn
Hazm menjelaskan posisi teologi Zhahiriyyah dan mengkritik teologi spekulatif
(ilmu kalām) seperti Mu’tazilah dan Asy‘ariyyah.
3.
Al-Dhahabī (Muḥammad ibn Aḥmad al-Dhahabī, w. 748 H /
1348 M)
3.1.
Kitab:
Siyar A‘lām al-Nubalā’
Terjemahan Judul:
Riwayat Tokoh-Tokoh Mulia
Deskripsi:
Kitab biografi ulama dan tokoh-tokoh besar Islam. Memuat data historis penting
tentang tokoh-tokoh Zhahiriyyah, terutama Dāwūd al-Ẓāhirī dan Ibn Hazm.
4.
Ibn al-Nadīm (w. 380 H / 990 M)
4.1.
Kitab:
al-Fihrist
Terjemahan Judul:
Katalog (Buku-Buku dan Penulis Arab)
Deskripsi:
Sebuah ensiklopedia bibliografis yang menyebut karya-karya awal kaum
Zhahiriyyah dan mengonfirmasi eksistensi historis tokoh serta literatur mereka
di dunia Islam klasik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar