Kamis, 27 Maret 2025

Zhahiriyyah: Aliran Literal dalam Filsafat Islam dan Pemikiran Teologis

Zhahiriyyah

Aliran Literal dalam Filsafat Islam dan Pemikiran Teologis


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif aliran Zhahiriyyah, sebuah mazhab pemikiran dalam Islam yang menekankan pemahaman literal terhadap nash (teks suci) dan menolak penggunaan akal sebagai sumber otoritatif dalam menetapkan hukum dan memahami doktrin teologis. Dengan menelusuri asal-usul, tokoh sentral seperti Dāwūd al-Zāhirī dan Ibn Hazm al-Andalusī, serta prinsip-prinsip metodologis utama Zhahiriyyah, artikel ini mengungkap kontribusi dan kontroversi aliran tersebut dalam sejarah pemikiran Islam. Penolakan terhadap qiyās, takwīl, dan ra’y menjadi ciri khas utama pendekatannya yang skripturalis. Artikel ini juga mengulas kritik tajam dari kalangan fuqaha, mutakallimūn, dan filsuf, serta mengevaluasi relevansi pemikiran Zhahiriyyah dalam konteks keislaman kontemporer, termasuk dalam diskursus hukum Islam modern, gerakan salafi, dan tantangan terhadap relativisme penafsiran. Dengan pendekatan deskriptif-analitis dan merujuk pada literatur akademik yang kredibel, artikel ini menyimpulkan bahwa meskipun Zhahiriyyah tidak bertahan sebagai mazhab fikih besar, warisan intelektualnya tetap penting dalam membangun keseimbangan metodologis antara teks dan akal dalam studi Islam.

Kata Kunci: Zhahiriyyah, literalisme Islam, Ibn Hazm, qiyās, takwīl, hukum Islam, filsafat Islam, salafi, teks dan akal, usul fikih.


PEMBAHASAN

Zhahiriyyah Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah panjang perkembangan pemikiran Islam, muncul beragam aliran teologis dan filosofis yang menawarkan pendekatan yang berbeda dalam memahami wahyu dan ajaran agama. Sebagian aliran menekankan pendekatan rasional, seperti Mu’tazilah yang menjadikan akal sebagai tolok ukur utama dalam memahami sifat-sifat Tuhan dan keadilan ilahi. Di sisi lain, terdapat pula aliran yang cenderung tekstualis dan menolak rasionalisasi ajaran agama, seperti aliran Zhahiriyyah, yang memegang teguh pemahaman literal terhadap nash (teks-teks suci) Al-Qur’an dan Hadis.

Zhahiriyyah merupakan aliran yang muncul sebagai respons terhadap dominasi takwil (penafsiran metaforis) dan ijtihad berbasis qiyas (analogi) yang berkembang di kalangan ahli fikih dan teolog rasionalis. Dalam pandangan Zhahiriyyah, penafsiran yang melampaui makna lahiriah teks dianggap membuka pintu subjektivitas dan berpotensi menyimpangkan maksud wahyu. Oleh karena itu, mereka menolak penggunaan qiyas, istihsan, dan berbagai bentuk ijtihad yang tidak berdasar pada dalil tekstual yang eksplisit (nash qat’i), serta menolak segala bentuk interpretasi spekulatif terhadap sifat-sifat Tuhan dan hukum-hukum agama.¹

Pendekatan literal ini secara filosofis menantang aliran-aliran yang berkembang dalam filsafat Islam, seperti aliran Peripatetik (masya’iyyun) yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani dan menekankan logika sebagai alat utama memahami realitas, termasuk realitas ketuhanan. Zhahiriyyah justru menegaskan bahwa logika dan rasionalitas manusia bersifat terbatas dan tidak layak dijadikan dasar dalam menentukan hukum-hukum agama atau memahami hakikat sifat Tuhan.²

Salah satu tokoh sentral aliran ini adalah Dawud bin Ali al-Isfahani (w. 270 H/884 M), yang dikenal sebagai pendiri mazhab Zhahiriyyah. Namun, yang paling berpengaruh dalam menyebarluaskan dan mengembangkan pemikiran ini adalah Ibnu Hazm al-Andalusi (w. 456 H/1064 M), seorang ulama besar dari Spanyol Islam (Andalusia). Melalui karya-karyanya yang monumental seperti Al-Muhalla dan Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Ibnu Hazm tidak hanya membela pemahaman literal terhadap nash, tetapi juga mengembangkan argumen logis untuk menunjukkan konsistensi pendekatan literal dalam hukum Islam.³

Kehadiran aliran Zhahiriyyah memberikan warna tersendiri dalam dinamika keilmuan Islam, khususnya dalam bidang usul fikih dan teologi. Meskipun tidak berkembang menjadi mazhab besar seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, atau Hanabilah, pemikiran Zhahiriyyah tetap memiliki pengaruh penting dalam diskursus keagamaan, bahkan hingga masa kini, terutama dalam diskusi tentang peran akal dan teks dalam memahami agama.⁴ Oleh karena itu, kajian terhadap aliran ini menjadi penting dalam memahami peta pemikiran Islam klasik maupun dalam merespons tantangan modernitas yang mengusung semangat rasionalitas.


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1995), 63–64.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 122.

[3]                Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Kairo: Matba‘ah al-I‘tisam, 1960), jil. 1, 48–52.

[4]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 57.


2.           Pengertian dan Asal-usul Aliran Zhahiriyyah

2.1.       Pengertian Zhahiriyyah

Secara etimologis, istilah "Zhahiriyyah" berasal dari kata Arab zhāhir (ظاهر) yang berarti “lahiriah” atau “yang tampak”. Dalam konteks keilmuan Islam, istilah ini merujuk pada aliran pemikiran yang berpegang pada makna literal teks-teks agama, baik Al-Qur’an maupun Hadis. Aliran ini menolak semua bentuk penafsiran metaforis (majazi) yang tidak secara eksplisit terdapat dalam teks, serta menolak penggunaan qiyas (analogi), istihsan (preferensi hukum subjektif), dan takwil (interpretasi rasional terhadap teks).¹

Zhahiriyyah dikenal sebagai salah satu mazhab fikih yang memiliki pendekatan unik, dengan prinsip utama bahwa seluruh hukum syariat harus didasarkan pada makna lahiriah dari nash dan tidak boleh diinterpretasikan secara subjektif. Menurut mereka, ketetapan hukum yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam teks, tidak bisa ditetapkan melalui nalar atau analogi manusia karena hal itu dianggap sebagai bentuk campur tangan akal dalam wilayah wahyu.²

2.2.       Asal-usul Kemunculan Zhahiriyyah

Aliran Zhahiriyyah didirikan oleh Dāwūd ibn ‘Alī al-Isfahānī (w. 270 H/884 M), seorang ahli fikih yang awalnya mengikuti mazhab Syafi’i, tetapi kemudian mengembangkan pendekatan yang lebih literal dalam memahami dalil-dalil agama. Ia menolak qiyas dan ijtihad berdasarkan nalar spekulatif, yang menurutnya telah menyebabkan penyimpangan dari hukum Islam yang sejati.³ Pemikiran Dāwūd kemudian berkembang menjadi sebuah mazhab independen yang disebut mazhab Zhahiri atau al-Zhāhiriyyah.

Dawud al-Zhahiri hidup pada masa transisi antara era kodifikasi hukum Islam (abad ke-2 dan ke-3 H) dan masa pembakuan mazhab-mazhab besar. Dalam konteks ini, Zhahiriyyah muncul sebagai bentuk kritik terhadap metode istinbath (penggalian hukum) yang terlalu memberi ruang bagi akal dan spekulasi, yang banyak dipraktikkan oleh aliran Mu’tazilah atau sebagian fuqaha dari kalangan Hanafiyah.⁴ Dengan demikian, kemunculan Zhahiriyyah bisa dipahami sebagai reaksi terhadap perkembangan pemikiran rasional dalam bidang fikih dan kalam.

Meskipun pada awalnya hanya menjadi salah satu dari sekian banyak mazhab fikih kecil, mazhab ini memperoleh reputasi intelektual yang tinggi melalui Ibnu Hazm al-Andalusi (w. 456 H/1064 M), seorang cendekiawan besar dari Andalusia. Ibnu Hazm mengembangkan dan membela mazhab ini dengan sangat sistematis melalui karya-karya ilmiahnya, khususnya Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam dan Al-Muhalla. Ia bukan hanya menjelaskan metode Zhahiriyyah, tetapi juga mengkritik metode istinbath mazhab-mazhab lain dengan argumen logis dan historis yang kuat.⁵

Sebagai mazhab fikih dan pendekatan teologis, Zhahiriyyah tidak pernah menjadi mayoritas dalam dunia Islam. Akan tetapi, warisan pemikirannya tetap menjadi bahan kajian penting dalam diskursus usul fikih dan filsafat hukum Islam, terutama dalam membahas batas-batas peran akal dalam agama dan pentingnya teks sebagai otoritas utama dalam hukum Islam.⁶


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1975), 100–101.

[2]                M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1982), 95.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 120–121.

[4]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 321.

[5]                Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Kairo: Matba‘ah al-I‘tisam, 1960), jil. 1, 52–56.

[6]                Binyamin Abrahamov, “Islamic Theology: Traditionalism and Rationalism,” Journal of the American Oriental Society 121, no. 4 (2001): 593–597.


3.           Tokoh-Tokoh Utama Zhahiriyyah

Aliran Zhahiriyyah, meskipun tidak sebesar mazhab-mazhab fikih lainnya dalam hal pengikut, memiliki sejumlah tokoh sentral yang memberikan kontribusi intelektual besar dalam pengembangan metode literal dalam memahami syariat. Dua tokoh paling menonjol dari aliran ini adalah Dāwūd ibn ‘Alī al-Isfahānī sebagai pendiri dan Ibnu Hazm al-Andalusī sebagai pengembang dan pembela terbesar mazhab ini.

3.1.       Dāwūd ibn ‘Alī al-Isfahānī (w. 270 H/884 M)

Dāwūd al-Zāhirī adalah pendiri mazhab Zhahiriyyah. Ia lahir di Kufah dan dibesarkan dalam lingkungan keilmuan yang kuat. Pada awalnya, ia adalah murid dari Imam al-Syafi‘i, namun kemudian menyimpang dari mazhab gurunya dan mengembangkan pendekatan literal murni dalam istinbāṭ hukum.⁽¹⁾ Dāwūd menolak qiyas, istihsan, dan berbagai bentuk penalaran hukum yang menurutnya tidak memiliki dasar eksplisit dalam teks. Ia hanya menerima Al-Qur’an, hadis sahih, dan ijma’ sahabat sebagai sumber hukum, serta menolak analogi dan penafsiran metaforis atas nash syariat.⁽²⁾

Karya-karya asli Dāwūd tidak banyak yang tersisa, tetapi pengaruhnya dapat dilacak dari kutipan-kutipan para ulama setelahnya, seperti al-Dhahabi dan Ibnu Hazm. Dalam sejarah hukum Islam, Dāwūd dianggap sebagai pionir pemikiran skripturalisme Islam yang paling ekstrem. Meski pada masanya tidak banyak pengikutnya, ia berhasil meletakkan dasar penting bagi pendekatan yang menolak perluasan hukum melalui akal.⁽³⁾

3.2.       Abū Muhammad ‘Alī ibn Ahmad ibn Sa‘īd ibn Hazm al-Andalusī (w. 456 H/1064 M)

Tokoh paling berpengaruh dalam aliran Zhahiriyyah adalah Ibnu Hazm, seorang ulama, ahli fikih, teolog, sekaligus sejarawan besar dari Andalusia. Lahir di Córdoba pada tahun 384 H/994 M, Ibnu Hazm hidup pada masa keemasan Islam di Andalusia. Ia menguasai berbagai cabang ilmu keislaman: hadis, usul fikih, kalam, sejarah, dan sastra Arab.⁽⁴⁾

Ibnu Hazm menganut dan membela mazhab Zhahiriyyah dengan semangat intelektual yang tinggi. Ia bukan sekadar pengikut, melainkan seorang reformis dalam tubuh mazhab ini. Dalam karya terkenalnya, Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, ia mengemukakan argumen-argumen sistematis untuk mendukung pendekatan literal terhadap nash, sekaligus mengkritik metode istinbāṭ mazhab-mazhab lain yang menurutnya bersifat spekulatif dan tidak ilmiah.⁽⁵⁾ Dalam Al-Muḥallā, Ibnu Hazm memberikan fatwa-fatwa hukum dengan menyandarkan setiap pendapat pada dalil literal dari Al-Qur’an dan hadis sahih, serta menunjukkan kekeliruan qiyas dan ra’yu.⁽⁶⁾

Keistimewaan Ibnu Hazm tidak hanya terletak pada penguasaannya atas dalil, tetapi juga pada kemampuannya dalam menstrukturkan argumentasi logis. Meskipun menolak pendekatan filosofis dalam usul fikih, ia tetap menggunakan logika formal dalam menyusun hujah. Karenanya, banyak orientalis dan sarjana Muslim modern yang mengakui ketajaman intelektualnya.⁽⁷⁾

Pemikiran Ibnu Hazm menjadi tonggak penting dalam sejarah aliran literalisme Islam. Ia tidak hanya menghidupkan kembali mazhab yang nyaris hilang, tetapi juga memberikan legitimasi ilmiah yang kokoh bagi prinsip-prinsipnya. Kontribusinya menjadikan Zhahiriyyah dikenal dan dipelajari hingga hari ini, meskipun mazhabnya sendiri tidak berkembang secara institusional seperti mazhab Sunni lainnya.⁽⁸⁾


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1975), 102.

[2]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 58.

[3]                Christopher Melchert, “The Formation and Early Development of the Sunni Schools of Law,” Islamic Law and Society 1, no. 1 (1994): 47–51.

[4]                R. Arnaldez, Ibn Hazm of Cordova and His Era: Proceedings of the International Symposium, ed. G. Atiyeh (Beirut: American University of Beirut Press, 1983), 21–23.

[5]                Ibn Hazm, Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Kairo: Matba‘ah al-I‘tisam, 1960), jil. 1, 55–62.

[6]                Ibn Hazm, Al-Muḥallā, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), jil. 1, 10–14.

[7]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 122–123.

[8]                Binyamin Abrahamov, “Islamic Theology: Traditionalism and Rationalism,” Journal of the American Oriental Society 121, no. 4 (2001): 597.


4.           Prinsip-Prinsip Dasar Pemikiran Zhahiriyyah

Aliran Zhahiriyyah memiliki pendekatan yang khas dalam memahami teks-teks agama Islam. Prinsip utamanya adalah menolak segala bentuk interpretasi yang tidak bersumber langsung dari makna literal teks, serta menghindari spekulasi rasional dalam penetapan hukum agama. Pendekatan ini berbeda secara tajam dengan metode yang dipakai oleh kebanyakan mazhab fikih dan aliran kalam lainnya. Berikut adalah prinsip-prinsip dasar yang membentuk fondasi pemikiran Zhahiriyyah:

4.1.       Penolakan terhadap Qiyās (Analogi) dan Ra’y (Opini Rasional)

Salah satu karakteristik utama Zhahiriyyah adalah penolakan total terhadap qiyās, yakni analogi hukum yang digunakan ketika tidak ditemukan nash eksplisit dalam Al-Qur'an dan Hadis. Menurut aliran ini, qiyās dianggap sebagai bentuk pencampuran akal dalam wilayah wahyu, yang dapat mengarah pada penyimpangan makna. Bagi mereka, tidak ada hukum kecuali yang disebutkan secara eksplisit oleh teks (nash).⁽¹⁾

Ibnu Hazm, tokoh utama Zhahiriyyah, menyatakan bahwa qiyās tidak memiliki dasar dalam syariat dan merupakan bentuk ijtihad yang keliru. Ia menegaskan bahwa "Allah tidak membebani manusia dengan hukum kecuali melalui nash, bukan dengan analogi."⁽²⁾ Oleh karena itu, hukum syariat harus dibatasi pada dalil yang qath‘i (pasti) dan tidak membuka celah bagi spekulasi akal.

4.2.       Komitmen terhadap Makna Zhāhir (Literal) dari Nash

Prinsip ini adalah landasan filosofis dan metodologis terpenting dari Zhahiriyyah. Mereka meyakini bahwa Al-Qur’an dan Sunnah telah diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas dan dimaksudkan untuk dipahami secara langsung, tanpa takwil atau pemaknaan tersembunyi kecuali jika ada dalil yang menunjukkan makna lain.⁽³⁾

Ibnu Hazm membedakan antara makna zhāhir (literal) dan makna majāzi (kiasan). Ia menyatakan bahwa makna kiasan hanya boleh digunakan bila ada indikasi (qarīnah) yang kuat dari nash itu sendiri, bukan berdasarkan pertimbangan logika semata.⁽⁴⁾ Dalam hal ini, pendekatan literal dianggap lebih aman dan menjauhkan umat dari penyimpangan.

4.3.       Sumber Hukum Terbatas: Al-Qur’an, Hadis Sahih, dan Ijma’ Sahabat

Zhahiriyyah membatasi sumber hukum Islam hanya pada Al-Qur’an, Hadis sahih, dan ijma’ sahabat. Mereka menolak ijma’ ulama setelah generasi sahabat, serta tidak mengakui istihsan (preferensi hukum berdasarkan kemaslahatan) dan maslahah mursalah (kemaslahatan umum yang tidak disebutkan dalam nash) sebagai sumber hukum.⁽⁵⁾

Dalam Al-Iḥkām, Ibnu Hazm menegaskan bahwa hanya ijma’ dari generasi sahabat yang valid karena mereka hidup dalam masa pewahyuan dan dibimbing langsung oleh Nabi Saw. Setelah mereka, umat tidak memiliki jaminan otoritatif yang sama dalam menetapkan hukum.⁽⁶⁾

4.4.       Penolakan terhadap Takwīl dalam Teologi

Zhahiriyyah juga dikenal karena menolak pendekatan takwīl (interpretasi metaforis atau alegoris) dalam bidang teologi (‘aqīdah), terutama dalam hal sifat-sifat Allah. Mereka menegaskan bahwa sifat-sifat Tuhan yang disebut dalam Al-Qur’an harus diterima sebagaimana adanya, tanpa mengubah makna lahiriahnya maupun menyerupakannya dengan makhluk (tasybīh).⁽⁷⁾

Pendekatan ini mirip dengan posisi ahli hadis (salaf) dan sering disalahpahami sebagai tasybīh, padahal mereka hanya berpegang pada prinsip bi lā kayf (tanpa membahas bagaimana) dan bi lā ta’wīl (tanpa penakwilan).⁽⁸⁾ Dalam hal ini, mereka berselisih dengan Mu’tazilah yang menakwil sifat-sifat Tuhan secara rasional, serta berbeda pula dari Asy’ariyyah yang menerapkan takwil dalam batas tertentu.

4.5.       Oposisi terhadap Spekulasi Filosofis dan Metode Kalam

Zhahiriyyah tidak hanya menolak rasionalisasi dalam fikih, tetapi juga menolak pendekatan rasionalistik dalam ilmu kalam (teologi skolastik). Bagi mereka, segala bentuk spekulasi teologis yang bersifat rasionalistik—seperti pembahasan tentang jauhar (substansi), ‘arad (aksiden), dan sebab-akibat—tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam yang murni.⁽⁹⁾

Ibnu Hazm secara terang-terangan mengkritik filsafat Yunani dan metode logika Aristotelian, meskipun ia tetap menggunakan logika formal untuk membantah argumen lawannya. Ia meyakini bahwa akal hanya berfungsi untuk memahami nash, bukan untuk menggantikannya.⁽¹⁰⁾


Kesimpulan

Prinsip-prinsip dasar Zhahiriyyah mencerminkan komitmen total pada otoritas teks wahyu dan penolakan terhadap akal sebagai sumber independen dalam hukum dan teologi. Pendekatan ini muncul sebagai respons terhadap kecenderungan rasionalistik dalam kalangan fuqaha dan mutakallimun. Meskipun dianggap ekstrem oleh banyak ulama, pemikiran Zhahiriyyah tetap menjadi bagian penting dari sejarah intelektual Islam, khususnya dalam diskursus antara tekstualisme dan rasionalisme.


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1975), 102–104.

[2]                Ibn Hazm, Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Kairo: Matba‘ah al-I‘tisam, 1960), 1:55.

[3]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 57–59.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 123.

[5]                M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1982), 96.

[6]                Ibn Hazm, Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, 1:61–63.

[7]                Binyamin Abrahamov, Anthropomorphism and Interpretation of the Qur’an in the Theology of al-Qasim ibn Ibrahim (Leiden: Brill, 1996), 44–45.

[8]                Richard C. Martin, Islamic Studies: A History of Religions Approach (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1996), 147.

[9]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 71–72.

[10]             R. Arnaldez, Ibn Hazm of Cordova and His Era: Proceedings of the International Symposium, ed. G. Atiyeh (Beirut: American University of Beirut Press, 1983), 31–33.


5.           Zhahiriyyah dalam Perspektif Filsafat Islam

Dalam khazanah filsafat Islam, aliran Zhahiriyyah menempati posisi yang unik dan berbeda. Meskipun tidak secara eksplisit dikategorikan sebagai aliran filsafat, pendekatan literal yang diusung Zhahiriyyah menyajikan tantangan filosofis yang signifikan terhadap dominasi rasionalisme dalam filsafat Islam, khususnya terhadap pemikiran yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani.

Filsafat Islam klasik banyak dipengaruhi oleh warisan logika Aristotelian yang menekankan pentingnya akal dan deduksi rasional dalam mencapai kebenaran metafisik. Tokoh-tokoh seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd mengembangkan pendekatan rasional dalam memahami Tuhan, kosmologi, dan hubungan antara wahyu dan akal. Dalam konteks ini, munculnya aliran Zhahiriyyah dengan penolakannya terhadap akal sebagai sumber otoritatif dalam agama merupakan sebuah sikap anti-filosofis, atau dalam istilah tertentu, "anti-rasionalisme skriptural"

Zhahiriyyah menolak penggunaan metodologi filosofis dalam memahami ajaran agama, karena dianggap membuka ruang interpretasi yang bersifat spekulatif dan tidak didasarkan pada otoritas teks wahyu. Ibnu Hazm, sebagai tokoh utama aliran ini, secara terbuka mengkritik para filsuf Muslim yang terlalu mengandalkan logika dalam memahami hakikat Tuhan dan menetapkan prinsip-prinsip hukum. Dalam karyanya Al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-Nihal, ia menyatakan bahwa kebenaran dalam agama hanya dapat dicapai melalui nash yang jelas, bukan melalui akal spekulatif.²

Sikap anti-filosofis ini menjadikan Ibnu Hazm berbeda dari para pemikir Islam lainnya yang berupaya mendamaikan wahyu dengan rasio. Misalnya, Al-Ghazali mengkritik para filsuf dalam Tahafut al-Falasifah, tetapi masih menerima metode logika untuk memperkuat argumen teologis dalam al-Iqtisad fi al-I’tiqad. Sebaliknya, Ibnu Hazm menolak baik metodologi kalam maupun filsafat, dan hanya menjadikan teks sebagai satu-satunya dasar epistemologis.³

Namun demikian, menarik bahwa meskipun menolak filsafat, Ibnu Hazm tetap menggunakan perangkat logika formal dalam menyusun argumentasi. Ia mengadopsi beberapa struktur silogisme untuk mendukung pandangan literalnya, meskipun ia menolak asumsi-asumsi metafisik yang biasa melekat dalam tradisi logika Aristotelian. Ini menunjukkan bahwa kritiknya terhadap filsafat bukanlah penolakan total terhadap akal, melainkan terhadap penggunaan akal sebagai penentu kebenaran independen di luar wahyu.⁴

Dalam perspektif filsafat Islam, pendekatan Zhahiriyyah mencerminkan skeptisisme epistemologis terhadap kemampuan akal dalam menjangkau kebenaran agama. Aliran ini menjadi suara yang penting dalam wacana antara wahyu dan rasio, sekaligus mewakili kubu ekstrem dalam spektrum tekstualisme Islam. Dalam konteks kontemporer, pendekatan seperti ini muncul kembali dalam bentuk gerakan literalistik modern, meskipun tidak identik secara historis maupun metodologis dengan Zhahiriyyah klasik.⁵

Dengan demikian, Zhahiriyyah memberikan kontribusi penting dalam memperluas cakrawala filsafat Islam, bukan sebagai produsen gagasan metafisis, tetapi sebagai kritikus internal terhadap dominasi rasionalitas dalam memahami agama. Ia mengingatkan bahwa dalam dunia Islam, akal memiliki posisi penting tetapi tidak mutlak, dan teks wahyu tetap menjadi landasan utama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan besar tentang Tuhan, hukum, dan kehidupan.


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 69–71.

[2]                Ibn Hazm, Al-Faṣl fī al-Milal wa al-Ahwā’ wa al-Niḥal, ed. Muhammad Ibrahim Nasr (Beirut: Dar al-Jil, 1985), 1:74–78.

[3]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 123.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 125.

[5]                Binyamin Abrahamov, “Islamic Theology: Traditionalism and Rationalism,” Journal of the American Oriental Society 121, no. 4 (2001): 592–593.


6.           Pengaruh dan Penyebaran Aliran Zhahiriyyah

Meskipun aliran Zhahiriyyah tidak berkembang secara luas dan tidak bertahan lama sebagai mazhab fikih formal seperti Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi‘iyyah, dan Hanabilah, pengaruh pemikiran dan metodologi literalnya tetap memberikan dampak penting dalam sejarah pemikiran Islam, khususnya dalam diskursus usul fikih, tafsir, dan teologi.

6.1.       Penyebaran Awal di Timur Islam

Zhahiriyyah pertama kali berkembang di wilayah Irak dan Persia bagian barat, khususnya pada abad ke-3 H/9 M, di bawah pengaruh langsung pendirinya, Dāwūd ibn ‘Alī al-Isfahānī. Namun, mazhab ini tidak memperoleh pengikut yang luas karena pendekatannya yang sangat tekstual bertentangan dengan metode mayoritas ulama yang menggunakan qiyās dan ijtihād sebagai sarana penting dalam pengembangan hukum Islam.⁽¹⁾

Penolakan terhadap analogi hukum (qiyās) dan pendekatan rasional menjadikan Zhahiriyyah dipandang ekstrem oleh sebagian besar fuqaha, yang menyebabkan mazhab ini kurang diterima di kalangan akademik utama dunia Islam saat itu, terutama di pusat-pusat ilmu seperti Baghdad dan Khurasan yang lebih menerima pendekatan rasional moderat.⁽²⁾

6.2.       Perkembangan Signifikan di Andalusia

Wilayah yang menjadi pusat perkembangan penting Zhahiriyyah adalah Andalusia (Spanyol Muslim). Di sinilah pemikiran Ibnu Hazm tumbuh dan memberikan fondasi kokoh bagi eksistensi mazhab Zhahiriyyah. Ibnu Hazm berhasil menjadikan aliran ini sebagai mazhab pemikiran hukum yang sistematis dan argumentatif, meskipun tetap berpegang teguh pada prinsip literalisme.

Ibnu Hazm hidup dalam lingkungan sosial dan politik yang kompleks, terutama saat terjadi perpecahan di Daulah Umayyah Andalusia dan kemunculan kerajaan-kerajaan kecil (mulūk al-ṭawā’if). Dalam konteks inilah, Ibnu Hazm melihat pentingnya kembali kepada sumber ajaran Islam yang murni dan otentik, yakni teks wahyu, sebagai upaya menjaga kemurnian agama dari campur tangan akal dan kepentingan politik.⁽³⁾

Pemikiran Zhahiriyyah melalui karya-karya Ibnu Hazm seperti Al-Muḥallā dan Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām menjadi rujukan penting, bahkan dikaji ulang oleh para ulama lintas mazhab karena kekuatan argumentasi dan keluasan pengetahuan beliau.⁽⁴⁾ Di Andalusia, mazhab ini sempat menjadi alternatif bagi sebagian kalangan intelektual yang jenuh terhadap perdebatan panjang antara rasionalisme dan tradisionalisme ekstrem.

6.3.       Penyusutan dan Kemunduran

Setelah wafatnya Ibnu Hazm pada tahun 456 H/1064 M, mazhab Zhahiriyyah mulai mengalami kemunduran secara perlahan. Salah satu penyebab utamanya adalah tidak adanya institusi pendidikan atau dukungan politik yang kuat untuk mengembangkan mazhab ini secara berkelanjutan.⁽⁵⁾ Berbeda dengan mazhab lain yang memiliki murid-murid dan lembaga resmi, Zhahiriyyah lebih berkembang dalam bentuk pemikiran independen yang tidak terstruktur secara institusional.

Selain itu, pendekatan ekstrem dalam menolak semua bentuk ijtihād rasional membuat Zhahiriyyah sulit beradaptasi dengan kompleksitas realitas sosial-politik yang terus berkembang. Oleh karena itu, pada abad ke-7 H/13 M, mazhab ini nyaris punah sebagai aliran fikih yang hidup.⁽⁶⁾

6.4.       Pengaruh Pemikiran Zhahiriyyah dalam Diskursus Modern

Meskipun tidak lagi eksis sebagai mazhab fikih formal, pengaruh prinsip-prinsip literal Zhahiriyyah tetap dapat ditemukan dalam diskursus keislaman kontemporer, khususnya dalam gerakan-gerakan yang mengedepankan pemurnian ajaran Islam dan menolak inovasi keagamaan (bid‘ah). Beberapa pengamat menyebut bahwa metode Zhahiriyyah memiliki kemiripan metodologis dengan pendekatan sebagian gerakan salafi modern dalam hal penolakan terhadap takwīl dan komitmen pada makna zhāhir dari nash.⁽⁷⁾

Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa Zhahiriyyah klasik dan salafisme modern bukanlah entitas yang identik, baik secara historis maupun ideologis. Zhahiriyyah muncul sebagai respon ilmiah terhadap rasionalisme fikih klasik, sementara gerakan salafi kontemporer lebih merupakan fenomena sosial-religius yang kompleks dan memiliki dimensi politik tertentu.⁽⁸⁾


Kesimpulan

Meskipun tidak bertahan sebagai mazhab fikih besar, Zhahiriyyah memiliki pengaruh penting sebagai aliran pemikiran yang menyuarakan kembalinya kepada otoritas teks wahyu, serta mengkritik secara tajam dominasi rasionalitas dalam hukum dan teologi Islam. Warisan intelektualnya, khususnya melalui karya-karya Ibnu Hazm, tetap menjadi bagian tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan ilmu fikih, usul fikih, dan filsafat Islam.


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1975), 105–106.

[2]                Christopher Melchert, “The Formation and Early Development of the Sunni Schools of Law,” Islamic Law and Society 1, no. 1 (1994): 56–57.

[3]                R. Arnaldez, Ibn Hazm of Cordova and His Era: Proceedings of the International Symposium, ed. G. Atiyeh (Beirut: American University of Beirut Press, 1983), 45–46.

[4]                Ibn Hazm, Al-Muḥallā, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dār al-Fikr, 1980), jil. 1, pengantar editor.

[5]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 182.

[6]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 59.

[7]                Binyamin Abrahamov, “Islamic Theology: Traditionalism and Rationalism,” Journal of the American Oriental Society 121, no. 4 (2001): 594–595.

[8]                Ahmad Dallal, The Political Theology of ISIS: Prophets, Messiahs, and the "Extremist" Ideal (New York: Oxford University Press, 2021), 32–33.


7.           Kritik dan Tanggapan terhadap Aliran Zhahiriyyah

Zhahiriyyah, dengan pendekatan literalnya yang tegas dalam memahami nash agama, tidak luput dari kritik baik dari kalangan fuqaha, mutakallimun, maupun filsuf Muslim. Kritik tersebut umumnya berpusat pada penolakan aliran ini terhadap qiyās dan takwil, serta pembatasan sumber hukum yang dianggap terlalu sempit, sehingga dianggap tidak memadai dalam menjawab realitas kehidupan yang terus berkembang.

7.1.       Kritik dari Mazhab Fikih Mainstream

Mayoritas ulama fikih dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menolak pendekatan Zhahiriyyah karena dianggap menghambat pengembangan hukum Islam secara fungsional. Mereka menilai bahwa penolakan terhadap qiyās dan metode ijtihad lain akan menyebabkan stagnasi hukum dan ketidakmampuan syariat menjawab persoalan baru.

Imam al-Syafi’i, meskipun menolak istihsan yang terlalu longgar, tetap menerima qiyās sebagai metode penting dalam penggalian hukum. Ia menegaskan bahwa qiyās adalah sarana akal untuk memahami maksud Allah dalam nash, bukan bentuk pengabaian terhadap wahyu.⁽¹⁾ Dalam hal ini, pendekatan Zhahiriyyah dianggap terlalu sempit dan tekstual, serta mengabaikan maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan-tujuan hukum Islam).⁽²⁾

Imam al-Ghazali, dalam al-Mustasfa, mengkritik mereka yang menolak qiyās sebagai orang yang "mematikan gerak hukum Islam" karena menutup kemungkinan pengembangan hukum dalam konteks yang berbeda dari masa turunnya wahyu.⁽³⁾

7.2.       Kritik dari Kalangan Ilmu Kalam

Dalam bidang teologi, aliran Zhahiriyyah dikritik karena menolak takwīl dalam memahami sifat-sifat Tuhan. Bagi kalangan Mu’tazilah dan Asy‘ariyyah, pendekatan literal terhadap ayat-ayat mutasyābihāt (ambiguitas teologis dalam Al-Qur’an) dapat menimbulkan kesan tasybīh (penyerupaan Tuhan dengan makhluk).

Misalnya, ayat-ayat seperti “tangan Allah di atas tangan mereka” (QS al-Fath: 10) atau “Tuhan bersemayam di atas ‘Arsy” (QS Ṭaha: 5), bila dipahami secara literal, dikhawatirkan akan membawa umat pada keyakinan antropomorfis. Oleh karena itu, aliran Asy‘ariyyah menggunakan takwīl ta’wīl ijmālī atau tafwīḍ (menyerahkan maknanya kepada Allah) agar tetap menjaga akidah dari penyimpangan.⁽⁴⁾

Fakhruddin al-Razi, dalam al-Maṭālib al-‘Āliyah, menganggap bahwa pemahaman literal terhadap sifat Tuhan bertentangan dengan prinsip tanzīh (penyucian Tuhan dari sifat makhluk), dan menyatakan bahwa Zhahiriyyah gagal menjaga keseimbangan antara nash dan akal.⁽⁵⁾

7.3.       Kritik Filsuf Muslim

Dari kalangan filsafat Islam, Ibn Rushd (Averroes) dalam Fashl al-Maqāl menyatakan bahwa pendekatan tekstual ekstrem seperti yang dianut oleh Zhahiriyyah mengabaikan fungsi akal dalam memahami syariat, padahal menurutnya, wahyu dan akal saling melengkapi. Wahyu seringkali menggunakan simbol atau perumpamaan, dan hanya dapat dipahami dengan baik melalui rasionalitas yang sehat.⁽⁶⁾

Ibn Rushd juga menekankan bahwa takwīl diperlukan untuk menjaga relevansi syariat terhadap ilmu dan pengetahuan manusia yang terus berkembang. Dengan menolak takwīl dan qiyās, Zhahiriyyah menurutnya berpotensi menjadikan agama kaku dan tidak mampu berdialog dengan realitas ilmiah.⁽⁷⁾

7.4.       Apresiasi Terbatas dan Pembelaan terhadap Zhahiriyyah

Meskipun menerima banyak kritik, sebagian sarjana Muslim modern memberikan apresiasi terhadap komitmen Zhahiriyyah pada otoritas teks wahyu. Pendekatan literal mereka dianggap menjadi penyeimbang bagi kecenderungan rasionalistik yang berlebihan dalam ilmu kalam dan fikih.

Fazlur Rahman, misalnya, menganggap pendekatan Zhahiriyyah sebagai bagian dari dinamika intelektual Islam yang penting, meskipun ia tetap mengkritik keterbatasannya. Baginya, Zhahiriyyah adalah bentuk protes terhadap kecenderungan takwīl yang tidak disiplin, dan ini penting dalam menjaga keutuhan pesan wahyu.⁽⁸⁾


Kesimpulan

Zhahiriyyah telah menjadi sasaran kritik utama dalam berbagai bidang keilmuan Islam, terutama karena penolakannya terhadap qiyās dan takwīl. Namun demikian, keberadaan mereka tetap berperan sebagai pengingat akan pentingnya kesetiaan terhadap teks wahyu, serta sebagai bagian dari mozaik keilmuan Islam yang kompleks dan kaya. Kritik yang mereka terima justru menjadi bukti pentingnya posisi mereka dalam sejarah pemikiran Islam, baik sebagai aliran yang dilawan maupun yang dipertimbangkan.


Footnotes

[1]                Al-Shafi‘i, Al-Risālah, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dār al-Fikr, 1990), 597.

[2]                Wael B. Hallaq, Authority, Continuity and Change in Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 64.

[3]                Al-Ghazali, Al-Mustasfa min 'Ilm al-Usul, ed. Muhammad Abd al-Salam Abd al-Shafi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 1:345.

[4]                Al-Juwayni, Al-Irshad ila Qawati‘ al-Adillah, ed. Muhammad Yusuf Musa (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1950), 32–35.

[5]                Fakhr al-Din al-Razi, Al-Matālib al-‘Āliyah, ed. Ahmad Hijazi al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 2:198.

[6]                Ibn Rushd, Fashl al-Maqāl, ed. Muhammad ‘Abd al-Hadi Abu Rida (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1960), 45.

[7]                Majid Fakhry, Averroes: His Life, Works and Influence (Oxford: Oneworld, 2001), 98–99.

[8]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 17–18.


8.           Relevansi dan Tantangan Pemikiran Zhahiriyyah di Era Kontemporer

Meskipun secara historis mazhab Zhahiriyyah mengalami kemunduran dan tidak bertahan sebagai aliran fikih yang mapan, namun gagasan-gagasan fundamentalnya terus bergema dalam perdebatan keislaman modern, terutama dalam isu-isu yang berkaitan dengan otoritas nash, peran akal, dan metode istinbāṭ hukum. Pendekatan literal-tekstual yang diusung oleh Zhahiriyyah memiliki daya tarik tersendiri dalam konteks kontemporer yang diwarnai oleh pertarungan antara skripturalisme dan rasionalisme, tradisionalisme dan modernisme.

8.1.       Kembalinya Semangat Literalisme

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia Islam menyaksikan kebangkitan berbagai gerakan keagamaan yang menyerukan pemurnian ajaran Islam dengan menekankan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah secara literal, serta menolak ijtihad berbasis akal atau tradisi ulama yang dianggap sebagai bid‘ah. Gerakan seperti Salafiyah atau Wahhabiyah di sebagian wilayah dunia Islam seringkali menunjukkan pendekatan yang metodologisnya mirip dengan Zhahiriyyah, meskipun tidak secara langsung mengaku sebagai kelanjutan historisnya.⁽¹⁾

Para peneliti seperti Henri Lauzière dan Ahmad Dallal menunjukkan bahwa pola penolakan terhadap qiyās, takwīl, dan inovasi hukum modern dalam sebagian kelompok salafi kontemporer memiliki kesamaan epistemologis dengan prinsip-prinsip dasar Zhahiriyyah klasik.⁽²⁾ Namun demikian, terdapat perbedaan kontekstual dan politis yang mendalam antara kedua pendekatan tersebut, sehingga Zhahiriyyah tidak bisa disamakan secara langsung dengan gerakan Islamisme modern.

8.2.       Relevansi dalam Kritik terhadap Rasionalisme Bebas

Zhahiriyyah juga mendapatkan tempat dalam diskursus akademik kontemporer sebagai bentuk kritik terhadap liberalisasi hukum Islam yang mengandalkan pendekatan rasional semata. Dalam pandangan sebagian sarjana Muslim, pendekatan yang terlalu menekankan rasionalitas dalam penafsiran teks dapat menyebabkan dekonstruksi terhadap makna wahyu dan membuka ruang relativisme hukum.

Taha Jabir al-‘Alwani dan Mohammad Hashim Kamali, misalnya, mengakui pentingnya pendekatan kontekstual dalam hukum Islam, namun tetap menekankan bahwa rasionalitas harus berjalan seiring dengan otoritas teks. Dalam hal ini, pendekatan literal Zhahiriyyah menjadi pengingat akan batasan metodologis dalam berijtihad agar tidak jatuh dalam subjektivitas atau pembacaan modernis yang ahistoris.⁽³⁾

8.3.       Tantangan: Ketegangan antara Teks dan Konteks

Di sisi lain, pemikiran Zhahiriyyah juga menghadapi tantangan besar dalam menjawab kompleksitas kehidupan modern. Dunia kontemporer diwarnai oleh dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang tidak ditemukan pada masa klasik. Oleh karena itu, pendekatan literal yang menolak qiyās dan takwīl sering dianggap tidak memadai dalam merumuskan hukum Islam yang responsif dan kontekstual.

Sebagai contoh, problematika bioetika, hukum perbankan syariah, atau hak-hak perempuan, membutuhkan pendekatan hukum yang mempertimbangkan maqāṣid al-sharī‘ah dan konteks sosial. Mazhab Zhahiriyyah yang membatasi sumber hukum hanya pada makna literal teks tanpa pertimbangan maslahat dianggap tidak mampu memberikan solusi yang adaptif terhadap isu-isu tersebut.⁽⁴⁾

8.4.       Peluang Dialog dan Sintesis

Meskipun demikian, pemikiran Zhahiriyyah tetap memiliki kontribusi positif dalam menjaga otoritas wahyu dalam era pascamodern yang penuh relativisme makna. Dalam konteks akademik dan pendidikan Islam, pendekatan Zhahiriyyah dapat diintegrasikan sebagai komponen metodologis yang menyeimbangkan kecenderungan liberalisasi tafsir, tanpa harus menjadi satu-satunya metode.

Sejumlah sarjana kontemporer menyarankan sintesis antara pendekatan literal dan rasional, sebagaimana dicoba oleh tokoh-tokoh seperti al-Shatibi, al-Ghazali, dan Ibn ‘Ashur, yang berusaha menjaga teks sambil memperhatikan maqāṣid (tujuan hukum). Pendekatan Zhahiriyyah dapat menjadi penyeimbang penting dalam proses ijtihad kolektif modern, selama tidak dijadikan pendekatan tunggal.⁽⁵⁾


Kesimpulan

Zhahiriyyah, meskipun lahir dalam konteks abad pertengahan, tetap memiliki daya tawar dalam perdebatan hukum dan teologi Islam kontemporer, baik sebagai kritik terhadap kecenderungan rasionalisme berlebihan maupun sebagai pengingat atas pentingnya otoritas teks wahyu. Tantangannya terletak pada keterbatasan metodologinya dalam merespons realitas baru, namun kekuatannya berada pada komitmennya terhadap kejelasan dan otoritas nash. Oleh karena itu, warisan Zhahiriyyah tetap relevan untuk dikaji dan dipertimbangkan dalam upaya membangun metodologi hukum Islam yang otentik, responsif, dan seimbang.


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), 110–111.

[2]                Henri Lauzière, The Making of Salafism: Islamic Reform in the Twentieth Century (New York: Columbia University Press, 2016), 91–92; Ahmad Dallal, Islam, Science, and the Challenge of History (New Haven: Yale University Press, 2010), 114.

[3]                Taha Jabir al-‘Alwani, Usul al-Fiqh al-Islami: Source Methodology in Islamic Jurisprudence, trans. Yusuf Talal DeLorenzo (Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought, 2003), 85–86.

[4]                Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence, 3rd ed. (Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 400–401.

[5]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought, 2008), 43–44.


9.           Penutup

Zhahiriyyah adalah salah satu aliran pemikiran dalam khazanah Islam klasik yang memberikan kontribusi penting dalam wacana hukum, teologi, dan metodologi penafsiran teks. Meskipun aliran ini tidak berkembang menjadi mazhab besar yang bertahan lama secara institusional, komitmen Zhahiriyyah terhadap otoritas teks wahyu dan penolakan terhadap penalaran spekulatif menjadikannya salah satu bentuk resistensi intelektual terhadap kecenderungan rasionalisasi berlebihan dalam syariat Islam

Dalam bidang fikih, Zhahiriyyah menolak qiyās, istihsān, dan maslahah mursalah, serta membatasi sumber hukum pada Al-Qur’an, hadis sahih, dan ijma’ sahabat. Pendekatan ini diyakini oleh para pengikutnya sebagai cara paling otentik dalam menjaga kemurnian hukum Islam dari intervensi akal manusia.² Dalam bidang teologi, mereka menolak takwil atas ayat-ayat mutasyabihat dan menegaskan penerimaan terhadap sifat-sifat Tuhan sebagaimana disebut dalam nash, tanpa tafsir rasional ataupun penyerupaan dengan makhluk.³

Tokoh paling berpengaruh dalam mengembangkan dan membela aliran ini adalah Ibnu Hazm al-Andalusi, yang melalui karya-karyanya seperti Al-Muḥallā dan Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, menyusun sistem pemikiran hukum yang kokoh dan konsisten, meski berseberangan dengan metode mayoritas ulama.⁴ Keberaniannya menantang tradisi keilmuan arus utama membuat pemikirannya terus dikaji hingga kini.

Meskipun banyak menuai kritik, terutama dari kalangan fuqaha, mutakallimun, dan filsuf Muslim, pemikiran Zhahiriyyah tetap memiliki nilai korektif terhadap kecenderungan liberalisasi tafsir dan relativisme hukum yang berkembang di era kontemporer.⁵ Pendekatan literalnya menjadi pengingat bahwa teks wahyu harus tetap menjadi fondasi utama dalam membangun bangunan keislaman yang kokoh dan otentik, sekaligus menjadi peringatan atas bahaya melampaui batas-batas metodologis yang telah digariskan dalam wahyu.

Namun demikian, tantangan utama Zhahiriyyah terletak pada keterbatasannya dalam menjawab kompleksitas persoalan modern, terutama yang membutuhkan pendekatan maqāṣidī dan pertimbangan kontekstual. Oleh karena itu, pemikiran Zhahiriyyah di era kini lebih tepat diposisikan sebagai bagian dari mozaik epistemologis Islam, bukan sebagai pendekatan tunggal.

Dengan demikian, studi terhadap Zhahiriyyah memberikan pelajaran penting tentang bagaimana tafsir tekstual dapat menjadi kekuatan dalam menjaga integritas wahyu, sekaligus menyadarkan kita akan perlunya pendekatan integratif yang mampu menggabungkan kekuatan teks dan akal dalam bingkai metodologi yang seimbang.⁶


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1975), 102–106.

[2]                Ibn Hazm, Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Kairo: Matba‘ah al-I‘tisam, 1960), jil. 1, 50–63.

[3]                Binyamin Abrahamov, “Islamic Theology: Traditionalism and Rationalism,” Journal of the American Oriental Society 121, no. 4 (2001): 593–597.

[4]                R. Arnaldez, Ibn Hazm of Cordova and His Era: Proceedings of the International Symposium, ed. G. Atiyeh (Beirut: American University of Beirut Press, 1983), 31–33.

[5]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 122–125.

[6]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 17–18.


Daftar Pustaka

Abrahamov, B. (1996). Anthropomorphism and interpretation of the Qur’an in the theology of al-Qasim ibn Ibrahim. Brill.

Abrahamov, B. (2001). Islamic theology: Traditionalism and rationalism. Journal of the American Oriental Society, 121(4), 587–603. https://doi.org/10.2307/606647

Al-Ghazali. (1993). Al-Mustasfa min 'Ilm al-Usul (M. A. al-Shafi, Ed.). Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Juwayni. (1950). Al-Irshad ila Qawati‘ al-Adillah (M. Y. Musa, Ed.). Al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra.

Al-Shafi‘i. (1990). Al-Risalah (A. M. Shakir, Ed.). Dar al-Fikr.

Arnaldez, R. (1983). Ibn Hazm of Cordova and His Era: Proceedings of the International Symposium (G. Atiyeh, Ed.). American University of Beirut Press.

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as philosophy of Islamic law: A systems approach. International Institute of Islamic Thought.

Dallal, A. (2010). Islam, science, and the challenge of history. Yale University Press.

Dallal, A. (2021). The political theology of ISIS: Prophets, messiahs, and the "extremist" ideal. Oxford University Press.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Fakhry, M. (2001). Averroes: His life, works and influence. Oneworld Publications.

Hallaq, W. B. (2001). Authority, continuity and change in Islamic law. Cambridge University Press.

Hallaq, W. B. (2005). The origins and evolution of Islamic law. Cambridge University Press.

Ibn Hazm. (1960). Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām (A. M. Shakir, Ed.). Matba‘ah al-I‘tisam.

Ibn Hazm. (1980). Al-Muḥallā (A. M. Shakir, Ed.). Dar al-Fikr.

Ibn Hazm. (1985). Al-Faṣl fī al-Milal wa al-Ahwā’ wa al-Niḥal (M. I. Nasr, Ed.). Dar al-Jil.

Ibn Rushd. (1960). Fashl al-Maqāl (M. ‘A. Abu Rida, Ed.). Dar al-Ma‘arif.

Kamali, M. H. (2003). Principles of Islamic jurisprudence (3rd ed.). Islamic Texts Society.

Lauzière, H. (2016). The making of Salafism: Islamic reform in the twentieth century. Columbia University Press.

Leaman, O. (2001). An introduction to classical Islamic philosophy. Cambridge University Press.

Melchert, C. (1994). The formation and early development of the Sunni schools of law. Islamic Law and Society, 1(1), 33–64. https://doi.org/10.2307/3399214

Nasution, H. (1975). Islam ditinjau dari berbagai aspeknya (Jilid I). UI Press.

Nasution, H. (1995). Islam rasional: Gagasan dan pemikiran. Mizan.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.

Sheikh, M. S. (1982). Studies in Muslim philosophy. Sh. Muhammad Ashraf.

Watt, W. M. (1973). The formative period of Islamic thought. Edinburgh University Press.

Watt, W. M. (1985). Islamic philosophy and theology. Edinburgh University Press.


Lampiran: Kitab-Kitab Rujukan Utama Aliran Zhahiriyyah

1.            Dāwūd ibn ‘Alī al-Ẓāhirī (w. 270 H / 884 M)

Kitab: ?

Sayangnya, karya asli Dāwūd al-Ẓāhirī tidak banyak yang sampai kepada kita secara utuh, dan sebagian besar hanya dikutip oleh ulama lain, terutama oleh Ibn Hazm dan al-Dhahabi.

Referensi Sekunder Penting:

Kutipan dan pembahasan pemikirannya dapat ditemukan dalam kitab Siyar A‘lām al-Nubalā’ karya al-Dhahabi dan Tabaqāt al-Fuqahā’ karya Ibn Sa‘d.

2.            Ibn Hazm al-Andalusī (Abū Muḥammad ‘Alī ibn Aḥmad ibn Sa‘īd, w. 456 H / 1064 M)

2.1.        Kitab: Al-Muḥallā bi al-Āthār

Terjemahan Judul: Yang Dihias dengan Dalil-Dalil Naqli (Atsar)

Deskripsi: Kitab fikih praktis dan aplikatif berbasis pendapat Zhahiriyyah, dilengkapi dalil Al-Qur’an, Hadis, dan bantahan terhadap pandangan mazhab lain. Ini adalah salah satu karya utama yang menunjukkan metode literal Ibn Hazm secara rinci dan tajam.

2.2.        Kitab: Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām

Terjemahan Judul: Ketetapan dalam Dasar-Dasar Penetapan Hukum

Deskripsi: Kitab monumental dalam bidang uṣūl al-fiqh (metodologi hukum Islam), yang membahas secara komprehensif metode ijtihad dan argumentasi hukum dengan pendekatan literal khas Zhahiriyyah. Karya ini menjadi fondasi epistemologis bagi mazhab tersebut.

2.3.        Kitab: Al-Fiṣal fī al-Milal wa al-Ahwā’ wa al-Niḥal

Terjemahan Judul: Penjelasan tentang Agama-Agama, Aliran-Aliran, dan Sekte-Sekte

Deskripsi: Kitab dalam bidang perbandingan agama dan aliran teologis. Dalam kitab ini Ibn Hazm menjelaskan posisi teologi Zhahiriyyah dan mengkritik teologi spekulatif (ilmu kalām) seperti Mu’tazilah dan Asy‘ariyyah.

3.            Al-Dhahabī (Muḥammad ibn Aḥmad al-Dhahabī, w. 748 H / 1348 M)

3.1.        Kitab: Siyar A‘lām al-Nubalā’

Terjemahan Judul: Riwayat Tokoh-Tokoh Mulia

Deskripsi: Kitab biografi ulama dan tokoh-tokoh besar Islam. Memuat data historis penting tentang tokoh-tokoh Zhahiriyyah, terutama Dāwūd al-Ẓāhirī dan Ibn Hazm.

4.            Ibn al-Nadīm (w. 380 H / 990 M)

4.1.        Kitab: al-Fihrist

Terjemahan Judul: Katalog (Buku-Buku dan Penulis Arab)

Deskripsi: Sebuah ensiklopedia bibliografis yang menyebut karya-karya awal kaum Zhahiriyyah dan mengonfirmasi eksistensi historis tokoh serta literatur mereka di dunia Islam klasik.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar