Sejarah Kebudayaan Islam
Masa Kejayaan dan Kemunduran Umat Islam
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Sejarah
Kebudayaan Islam (SKI)
Kelas : 11 (Sebelas)
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang masa
kejayaan dan kemunduran umat Islam, dengan merujuk pada sumber-sumber
sejarah Islam klasik, literatur sejarah kebudayaan Islam, dan jurnal ilmiah
Islami. Pada bagian pertama, artikel ini mengulas masa kejayaan Islam,
yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan,
serta militer. Faktor-faktor yang mendukung kejayaan ini meliputi kepemimpinan
yang kuat, sistem pemerintahan yang efektif, perkembangan ilmu pengetahuan yang
pesat, serta stabilitas ekonomi dan sosial.
Bagian kedua menyoroti faktor-faktor penyebab
kemunduran Islam, baik dari aspek internal maupun eksternal. Faktor
internal meliputi perpecahan politik, melemahnya semangat keilmuan, serta
kemunduran ekonomi, sedangkan faktor eksternal mencakup invasi Mongol, Perang
Salib, dan kolonialisme Barat. Dampak dari kemunduran ini terlihat dalam
stagnasi intelektual, ketimpangan sosial, serta hilangnya supremasi dunia Islam
dalam berbagai bidang kehidupan.
Bagian terakhir membahas gerakan tajdid
(pembaharuan Islam) yang muncul sebagai respons terhadap kemunduran
peradaban Islam. Gerakan ini dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Ibnu
Taimiyah, Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Hasan Al-Banna, dan Muhammad
Iqbal, yang menekankan pentingnya reformasi dalam pemikiran Islam,
pendidikan, serta sistem sosial dan politik. Gerakan tajdid ini bertujuan untuk
menghidupkan kembali kejayaan Islam melalui pendekatan yang lebih adaptif
terhadap tantangan zaman modern.
Kajian ini menunjukkan bahwa sejarah Islam bukanlah
sesuatu yang statis, melainkan suatu siklus peradaban yang dipengaruhi oleh
berbagai dinamika internal dan eksternal. Dengan memahami faktor kejayaan dan
kemunduran Islam, generasi Muslim masa kini dapat mengambil pelajaran untuk
membangun kembali peradaban Islam yang lebih maju dan berdaya saing di era
modern.
Kata Kunci: Kejayaan Islam, Kemunduran Islam, Peradaban Islam,
Sejarah Islam, Tajdid, Pembaharuan Islam, Kolonialisme, Ilmu Pengetahuan Islam,
Politik Islam.
PEMBAHASAN
Masa Kejayaan dan Kemunduran Umat Islam
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Sejarah
Kebudayaan Islam (SKI)
Kelas : 11
(Sebelas)
Bab : Bab 9 - Masa
Kejayaan dan Kemunduran Umat Islam
1.
Pendahuluan
Sepanjang sejarah peradaban
manusia, Islam telah mengalami berbagai fase kejayaan dan kemunduran yang
memberikan dampak signifikan bagi dunia. Masa kejayaan Islam ditandai oleh
kemajuan ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, dan militer yang menjadikan dunia Islam
sebagai pusat peradaban global. Sejak awal perkembangannya di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad Saw hingga puncak kejayaannya pada masa Dinasti
Abbasiyah (750–1258 M), umat Islam berhasil membangun peradaban yang maju dalam
berbagai bidang, dari filsafat, kedokteran, hingga sains dan teknologi. Namun,
sejarah juga mencatat bahwa setelah mengalami masa keemasan, dunia Islam mulai
mengalami kemunduran akibat berbagai faktor internal dan eksternal yang
melemahkan stabilitas politik, ekonomi, serta sosial budaya umat Islam.
Pemahaman mengenai masa
kejayaan dan kemunduran Islam sangat penting, bukan hanya dalam konteks sejarah
tetapi juga sebagai refleksi bagi umat Islam masa kini. Sejarah telah
menunjukkan bahwa peradaban besar dapat mengalami kebangkitan dan kemerosotan
akibat dinamika internal serta tantangan eksternal. Arnold J. Toynbee, dalam
karyanya A Study of History, menegaskan bahwa peradaban berkembang
melalui siklus pertumbuhan dan kemunduran, bergantung pada bagaimana sebuah
peradaban merespons tantangan zaman.1 Dalam hal ini, Islam pernah
menjadi peradaban yang dominan dan memberi kontribusi besar bagi kemajuan
dunia, tetapi kemudian mengalami kemunduran yang menyebabkan stagnasi di
berbagai bidang.
Beberapa faktor utama yang
berperan dalam kejayaan Islam antara lain sistem pemerintahan yang kuat dan
stabil, peran ulama dan ilmuwan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, serta
kebijakan ekonomi yang mendukung kesejahteraan umat.2 Misalnya, pada
masa Kekhalifahan Abbasiyah, Baitul Hikmah di Baghdad menjadi pusat intelektual
yang menarik para ilmuwan dari berbagai belahan dunia. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah
menjelaskan bahwa peradaban yang maju ditopang oleh keseimbangan antara politik
yang adil, ekonomi yang kuat, serta semangat keilmuan yang tinggi.3
Sebaliknya, kemunduran Islam
mulai tampak ketika berbagai faktor negatif mulai melemahkan kekuatan umat.
Faktor-faktor internal seperti perpecahan politik, korupsi, serta melemahnya
semangat keilmuan dan inovasi menyebabkan stagnasi dalam berbagai sektor.4
Faktor eksternal seperti invasi Mongol yang menghancurkan Baghdad pada 1258 M
dan tekanan dari kolonialisme Barat semakin memperburuk situasi umat Islam.5
Dalam kajian historiografi Islam, banyak sejarawan menyebut bahwa kemunduran
ini juga dipengaruhi oleh ketidakmampuan umat Islam dalam merespons perubahan
zaman dan inovasi teknologi yang berkembang di Eropa setelah Renaissance.6
Kajian tentang masa kejayaan
dan kemunduran Islam ini sangat relevan dalam pembelajaran Sejarah Kebudayaan
Islam (SKI) di tingkat Madrasah Aliyah, khususnya dalam menganalisis
sebab-sebab kemunduran dan kebangkitan Islam. Salah satu kompetensi dasar dalam
mata pelajaran SKI kelas 11 adalah menganalisis kemunduran Islam dan latar
belakang munculnya gerakan tajdid.7 Dengan memahami
faktor-faktor yang menyebabkan kejayaan dan kemunduran Islam, para siswa
diharapkan mampu mengambil pelajaran untuk membangun kembali peradaban Islam
yang lebih baik di masa depan. Sejarah menunjukkan bahwa di balik kemunduran
suatu peradaban, selalu muncul gerakan pembaharuan atau tajdid sebagai bentuk
upaya untuk mengembalikan kejayaan Islam.8 Oleh karena itu, kajian
ini tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga memiliki nilai praktis dalam
menginspirasi generasi Muslim untuk berkontribusi dalam kebangkitan Islam
modern.
Footnotes
[1]
Arnold J. Toynbee, A Study of History (London: Oxford
University Press, 1947), 243.
[2]
Philip K. Hitti, History of the Arabs (London: Macmillan,
1970), 389.
[3]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Princeton: Princeton University
Press, 1958), 89.
[4]
Bernard Lewis, What Went Wrong? The Clash Between Islam and
Modernity in the Middle East (New York: Oxford University Press, 2002),
56.
[5]
Hugh Kennedy, The Court of the Caliphs (London: Weidenfeld
& Nicolson, 2004), 271.
[6]
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and
History in a World Civilization (Chicago: University of Chicago Press,
1974), 254.
[7]
Kementerian Agama RI, Kurikulum Madrasah Aliyah: Sejarah Kebudayaan
Islam (Jakarta: Kemenag RI, 2020), 76.
[8]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 124.
2.
Masa Kejayaan Islam
2.1.
Definisi dan Ruang
Lingkup Masa Kejayaan Islam
Masa kejayaan Islam merujuk
pada periode ketika dunia Islam mengalami puncak perkembangan dalam berbagai
bidang, termasuk ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, serta militer. Secara
historis, kejayaan Islam dimulai sejak masa Nabi Muhammad Saw dan para Khulafaur
Rasyidin, kemudian mencapai puncaknya pada era Kekhalifahan Umayyah (661–750 M)
dan Abbasiyah (750–1258 M), serta berlanjut di era kejayaan Kesultanan
Utsmaniyah, Safawiyah, dan Mughal.1
Menurut Philip K. Hitti,
kejayaan Islam bukan hanya ditandai oleh luasnya wilayah kekuasaan politik,
tetapi juga oleh pesatnya perkembangan intelektual yang menjadikan peradaban
Islam sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia.2 Para ilmuwan Muslim
berperan dalam mengembangkan berbagai disiplin ilmu, mulai dari kedokteran, astronomi,
matematika, hingga filsafat. Dengan berkembangnya kota-kota besar seperti
Baghdad, Kairo, Córdoba, dan Samarkand, umat Islam berhasil membangun peradaban
yang menjadi rujukan bagi dunia Barat pada masa Renaissance.3
2.2.
Faktor-Faktor
Pendorong Kejayaan Islam
2.2.1.
Faktor Politik
Stabilitas politik menjadi
salah satu kunci utama kejayaan Islam. Dinasti Umayyah memperkenalkan sistem
administrasi pemerintahan yang lebih tersentralisasi dengan ibukota di
Damaskus, sementara Dinasti Abbasiyah menggantinya dengan model pemerintahan
berbasis birokrasi yang lebih maju di Baghdad.4 Sistem pemerintahan
yang kuat ini memungkinkan negara Islam untuk melakukan ekspansi wilayah secara
besar-besaran serta menjamin keamanan dan stabilitas masyarakat Muslim.
2.2.2.
Faktor Ekonomi
Perekonomian Islam mengalami
kemajuan pesat berkat perdagangan yang melibatkan berbagai wilayah di dunia,
mulai dari Andalusia hingga Asia Tengah. Jalur perdagangan Islam yang
menghubungkan Laut Tengah, Samudra Hindia, dan Jalur Sutra menjadikan umat
Islam sebagai perantara utama dalam perdagangan global.5 Menurut Ira
M. Lapidus, sistem ekonomi Islam yang berbasis pasar terbuka dan sistem
keuangan yang didukung oleh Baitul Mal memainkan peran penting dalam
kesejahteraan rakyat.6
2.2.3.
Faktor Keilmuan
Salah satu puncak kejayaan
Islam adalah berkembangnya ilmu pengetahuan yang melahirkan banyak ilmuwan
besar seperti Al-Farabi dalam filsafat, Ibnu Sina dalam kedokteran,
Al-Khwarizmi dalam matematika, dan Al-Biruni dalam astronomi.7
Baitul Hikmah di Baghdad menjadi pusat penerjemahan dan penelitian yang membawa
banyak karya Yunani, Persia, dan India ke dalam dunia Islam, serta
mengembangkannya menjadi disiplin ilmu yang lebih maju.8
2.2.4.
Faktor Militer
Keunggulan militer Islam juga
berperan dalam mempertahankan kejayaan Islam. Strategi perang yang inovatif
serta penggunaan teknologi militer yang canggih pada masanya, seperti meriam
dan kapal perang, menjadikan pasukan Islam sebagai kekuatan dominan di dunia.9
Salah satu contoh keberhasilan militer yang mencerminkan kejayaan Islam adalah
penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada tahun 1453 M, yang
menandai berakhirnya Kekaisaran Bizantium.10
2.2.5.
Faktor Sosial dan Budaya
Islam sebagai agama dan
sistem sosial menekankan nilai-nilai toleransi, persaudaraan, serta
penghormatan terhadap ilmu pengetahuan. Faktor ini memungkinkan berbagai etnis
dan budaya berkontribusi dalam kemajuan peradaban Islam tanpa diskriminasi.11
Córdoba pada masa Kekhalifahan Umayyah di Andalusia, misalnya, menjadi kota
multikultural yang menjadi pusat keilmuan bagi umat Islam, Yahudi, dan Kristen.12
2.2.6.
Faktor Agama
Spiritualitas dan nilai-nilai
Islam yang mendorong umatnya untuk mencari ilmu dan berbuat baik menjadi
landasan utama dalam membangun peradaban Islam yang maju. Konsep Iqra'
(bacalah) dalam Al-Qur'an (QS. Al-‘Alaq: 1) menjadi motivasi bagi umat Islam untuk
menggali ilmu dan meningkatkan kualitas kehidupan mereka.13
2.3.
Tokoh-Tokoh dan Kontribusinya terhadap Kejayaan
Islam
Beberapa tokoh penting yang
berkontribusi terhadap kejayaan Islam meliputi:
·
Ilmuwan
Muslim:
Al-Khwarizmi (780–850 M):
Mengembangkan konsep aljabar dan angka nol yang menjadi dasar matematika
modern.14
Ibnu Sina (980–1037 M): Menulis
Al-Qanun
fi al-Tibb, ensiklopedia kedokteran yang menjadi rujukan dunia
Barat hingga abad ke-17.15
Al-Farabi (872–950 M): Filsuf
Muslim yang mengembangkan teori politik dan logika.16
·
Pemimpin
Politik dan Militer:
Harun Al-Rasyid (786–809 M):
Khalifah Abbasiyah yang mendirikan Baitul Hikmah dan menjadikan Baghdad sebagai
pusat ilmu pengetahuan dunia.17
Salahuddin Al-Ayyubi (1137–1193
M): Panglima perang Muslim yang merebut kembali Yerusalem dari Tentara Salib
pada tahun 1187 M.18
Sultan Muhammad Al-Fatih
(1432–1481 M): Pemimpin Kesultanan Utsmaniyah yang menaklukkan Konstantinopel
pada tahun 1453 M.19
Footnotes
[1]
Ira M. Lapidus, A History of Islamic
Societies (Cambridge: Cambridge
University Press, 2002), 183.
[2]
Philip K. Hitti, History of the Arabs (London: Macmillan, 1970), 412.
[3]
Bernard Lewis, Islam and the West (Oxford: Oxford University Press, 1993), 67.
[4]
Marshall G. S. Hodgson, The
Venture of Islam (Chicago:
University of Chicago Press, 1974), 279.
[5]
Andrew M. Watson, Agricultural Innovation
in the Early Islamic World
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 45.
[6]
Ira M. Lapidus, A History of Islamic
Societies, 190.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Science
and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 94.
[8]
George Saliba, Islamic Science and the
Making of the European Renaissance
(Cambridge: MIT Press, 2007), 112.
[9]
Hugh Kennedy, The Armies of the
Caliphs: Military and Society in the Early Islamic State (London: Routledge, 2001), 86.
[10]
Halil İnalcık, The Ottoman Empire: The
Classical Age 1300-1600 (London:
Weidenfeld & Nicolson, 1973), 39.
[11]
Maria Rosa Menocal, The
Ornament of the World: How Muslims, Jews, and Christians Created a Culture of
Tolerance in Medieval Spain (New
York: Little, Brown & Co., 2002), 56.
[12]
Thomas F. Glick, Islamic and Christian
Spain in the Early Middle Ages (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 121.
[13]
Muhammad Asad, The Message of the
Qur'an (Gibraltar: Dar Al-Andalus,
1980), 108.
[14]
Roshdi Rashed, Al-Khwarizmi: The
Beginnings of Algebra (London: Saqi
Books, 2009), 72.
[15]
G. Strohmaier, Avicenna and the Canon
of Medicine (Oxford: Oxford
University Press, 2007), 45.
[16]
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy (New York: Columbia
University Press, 2004), 189.
[17]
Matthew S. Gordon, The Rise of Islam (Westport: Greenwood
Publishing Group, 2005), 156.
[18]
Anne-Marie Eddé, Saladin (Cambridge: Harvard University Press,
2011), 273.
[19]
Franz Babinger, Mehmed the Conqueror and His Time (Princeton:
Princeton University Press, 1992), 145.
3.
Masa Kemunduran Islam
3.1.
Penyebab Kemunduran
Islam
Meskipun Islam pernah
mencapai puncak kejayaan dalam berbagai aspek kehidupan, sejarah mencatat bahwa
peradaban Islam mengalami kemunduran yang ditandai oleh melemahnya kekuatan
politik, ekonomi, serta stagnasi dalam bidang ilmu pengetahuan. Penyebab
kemunduran Islam dapat dikategorikan ke dalam dua faktor utama, yaitu faktor
internal yang berasal dari dalam umat Islam sendiri dan faktor eksternal yang
disebabkan oleh tekanan dari pihak luar.
3.1.1.
Faktor Internal
Kemunduran Islam sebagian
besar disebabkan oleh berbagai kelemahan internal yang menggerogoti stabilitas
umat. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menyoroti bahwa salah satu faktor
utama yang menyebabkan kejatuhan sebuah peradaban adalah kemerosotan moral dan
lemahnya kepemimpinan.1 Beberapa faktor internal yang berkontribusi
terhadap kemunduran Islam antara lain:
·
Kelemahan
Kepemimpinan dan Perpecahan Politik
Setelah masa keemasan Abbasiyah, dunia Islam
mengalami fragmentasi politik dengan munculnya kerajaan-kerajaan kecil yang
saling bersaing. Ketika dinasti-dinasti Islam mulai terpecah belah, mereka
menjadi lebih rentan terhadap serangan musuh dari luar.2
·
Meredupnya
Semangat Keilmuan
Jika pada masa keemasan Islam ilmu pengetahuan
berkembang pesat, pada masa kemunduran, gairah terhadap ilmu mulai berkurang.
Banyak ulama dan ilmuwan lebih fokus pada aspek teologis dan mengabaikan kajian
ilmiah dan filosofis.3 Menurut George Saliba, stagnasi ini sebagian
disebabkan oleh tekanan dari kelompok konservatif yang menolak filsafat dan
sains sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam.4
·
Kemunduran
Ekonomi dan Hilangnya Kontrol atas Jalur Perdagangan
Dunia Islam pernah menjadi pusat perdagangan
global, tetapi seiring waktu, dominasi perdagangan mulai beralih ke bangsa
Eropa yang berhasil menemukan jalur perdagangan maritim baru setelah
penjelajahan Samudra Atlantik dan penemuan rute ke India oleh Vasco da Gama
pada 1498 M.5 Dengan berkurangnya kontrol atas jalur perdagangan,
perekonomian dunia Islam melemah, yang pada akhirnya berdampak pada hilangnya
kemakmuran dan stabilitas sosial.
3.1.2.
Faktor Eksternal
Selain faktor internal,
kemunduran Islam juga disebabkan oleh tekanan dan ancaman dari luar, seperti
invasi bangsa asing dan kolonialisme Barat.
·
Invasi
Mongol dan Penghancuran Baghdad (1258 M)
Salah satu peristiwa yang menjadi titik balik
kemunduran Islam adalah serangan Mongol terhadap Kekhalifahan Abbasiyah di
Baghdad pada tahun 1258 M. Invasi ini mengakibatkan kehancuran kota Baghdad,
yang selama berabad-abad menjadi pusat peradaban Islam.6 Menurut
Bernard Lewis, serangan Mongol menghancurkan infrastruktur intelektual dunia
Islam, termasuk perpustakaan besar seperti Baitul Hikmah.7
·
Perang
Salib dan Dampaknya terhadap Dunia Islam
Perang Salib yang berlangsung antara abad ke-11
hingga ke-13 tidak hanya berdampak militer tetapi juga melemahkan dunia Islam
secara ekonomi dan politik. Banyak wilayah Islam yang semula makmur berubah
menjadi medan perang berkepanjangan.8
·
Kolonialisme
dan Imperialisme Barat
Pada abad ke-18 dan ke-19, banyak wilayah Islam
jatuh ke tangan kolonialisme Eropa. Inggris menguasai India (1858), Perancis
menguasai Aljazair (1830), dan Belanda menduduki Indonesia (1800-an).
Penjajahan ini melemahkan kedaulatan Islam dan menghambat kemajuan peradaban
Muslim.9
3.2.
Indikator Kemunduran
Islam
Kemunduran Islam dapat
diidentifikasi melalui berbagai indikator yang mencerminkan melemahnya
peradaban Muslim dalam berbagai aspek kehidupan:
1)
Kemunduran Ilmu
Pengetahuan
Jika pada masa keemasan Islam banyak ilmuwan
Muslim yang berperan dalam pengembangan ilmu, maka pada masa kemunduran, dunia
Islam mengalami stagnasi intelektual. Pendidikan lebih berorientasi pada
hafalan daripada inovasi, dan banyak madrasah tidak lagi mempelajari ilmu
rasional seperti sains dan filsafat.10
2)
Dekadensi Moral dan
Sosial
Merosotnya moral dan etika dalam masyarakat
Muslim juga menjadi tanda utama kemunduran Islam. Korupsi, ketidakadilan
sosial, dan gaya hidup mewah di kalangan elit penguasa memperburuk situasi umat
Islam.11
3)
Kelemahan Militer dan
Kekalahan dalam Perang
Pada masa kejayaan, militer Islam memiliki
keunggulan strategi dan persenjataan. Namun, setelah abad ke-15, teknologi
militer dunia Islam mulai tertinggal dibandingkan dengan Barat. Hal ini
menyebabkan kekalahan dalam berbagai peperangan, seperti kekalahan Kesultanan
Utsmaniyah dalam Perang Dunia I yang mengakibatkan runtuhnya kekhalifahan pada
1924.12
3.3.
Munculnya Gerakan
Tajdid (Pembaharuan Islam)
Dalam menghadapi kemunduran
ini, muncul berbagai gerakan tajdid (pembaharuan Islam) yang bertujuan untuk
mengembalikan kejayaan Islam. Beberapa tokoh utama dalam gerakan ini adalah:
1)
Ibnu Taimiyah
(1263–1328 M)
Mengusulkan reformasi dalam ajaran Islam dan
menekankan pentingnya kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis.13
2)
Muhammad Abduh
(1849–1905 M)
Mengusung ide modernisme Islam dengan mengadopsi
metode rasionalisme dan ijtihad dalam memahami ajaran Islam.14
3)
Jamaluddin Al-Afghani
(1838–1897 M)
Mengembangkan konsep Pan-Islamisme untuk melawan
kolonialisme Barat dan menyatukan umat Islam.15
Gerakan tajdid ini menjadi
titik awal bagi berbagai upaya kebangkitan Islam di era modern, yang terus
berlangsung hingga saat ini.
Footnotes
[1]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Princeton: Princeton University
Press, 1958), 103.
[2]
Bernard Lewis, The Middle East: A Brief History of the Last 2,000
Years (New York: Simon & Schuster, 1995), 174.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 142.
[4]
George Saliba, Islamic Science and the Making of the European
Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 89.
[5]
Andrew M. Watson, Agricultural Innovation in the Early Islamic
World (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 65.
[6]
Hugh Kennedy, The Mongol Conquests and the Making of the Modern
World (New York: Crown, 2004), 123.
[7]
Bernard Lewis, What Went Wrong? The Clash Between Islam and
Modernity in the Middle East (New York: Oxford University Press, 2002),
98.
[8]
Thomas Asbridge, The Crusades: The War for the Holy Land
(London: Simon & Schuster, 2010), 247.
[9]
Albert Hourani, A History of the Arab Peoples (Cambridge:
Harvard University Press, 1991), 326.
[10]
Richard W. Bulliet, Islam: The View from the Edge (New York:
Columbia University Press, 1994), 187.
[11]
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge:
Cambridge University Press, 2002), 278.
[12]
Halil İnalcık, The Ottoman Empire: The Classical Age 1300-1600
(London: Weidenfeld & Nicolson, 1973), 92.
[13]
Yossef Rapoport, Ibn Taymiyya and His Times (Oxford: Oxford
University Press, 2010), 74.
[14]
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford
University Press, 1933), 154.
[15]
Nikki R. Keddie, Sayyid Jamal ad-Din "al-Afghani": A
Political Biography (Berkeley: University of California Press, 1972), 219.
4.
Munculnya Gerakan Tajdid (Pembaharuan Islam)
4.1.
Definisi dan Konsep Tajdid dalam Islam
Tajdid (تجديد)
dalam Islam berarti pembaharuan atau revitalisasi ajaran Islam untuk
mengembalikan pemahaman dan praktik keagamaan kepada kemurnian yang sesuai
dengan Al-Qur'an dan Hadis. Konsep ini berakar pada hadis Nabi Muhammad Saw:
إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ
لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا
دِينَهَا
"Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat
ini pada setiap awal seratus tahun seseorang yang akan memperbarui (memurnikan)
agama mereka." (HR. Abu Dawud, no. 4291).
Dalam kajian Islam klasik,
tajdid dipahami sebagai proses reformasi yang bertujuan menghidupkan kembali
ajaran Islam yang telah mengalami penyimpangan akibat pengaruh budaya lokal,
politik yang korup, atau stagnasi pemikiran keagamaan.1 Menurut
Fazlur Rahman, tajdid bukan sekadar pemurnian akidah dan ibadah, tetapi juga
mencakup pembaharuan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi agar umat Islam
mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa mengorbankan nilai-nilai Islam.2
4.2.
Faktor yang Mendorong Munculnya Gerakan Tajdid
Sejak masa kemunduran Islam,
berbagai faktor telah mendorong munculnya gerakan tajdid. Faktor-faktor
tersebut antara lain:
1)
Kemunduran Politik dan
Kolonialisme Barat
Pada abad ke-18 dan 19, dunia Islam berada di
bawah cengkeraman kolonialisme Eropa yang melemahkan kedaulatan politik umat
Islam. Gerakan tajdid muncul sebagai respons terhadap dominasi Barat dan upaya
untuk mengembalikan kejayaan Islam.3
2)
Kemerosotan Keilmuan
dan Pemikiran Islam
Setelah era kejayaan Islam, ilmu pengetahuan
mengalami stagnasi akibat pemikiran konservatif yang menolak ijtihad. Para
reformis Islam berusaha menghidupkan kembali tradisi keilmuan dengan mendorong
reinterpretasi ajaran Islam yang lebih kontekstual.4
3)
Ketimpangan Sosial dan
Ekonomi
Kolonialisme dan sistem feodalisme dalam dunia
Islam menyebabkan ketimpangan ekonomi yang parah. Para pembaharu Islam berupaya
menerapkan konsep keadilan sosial Islam untuk memperbaiki kondisi umat.5
4.3.
Tokoh-Tokoh dan Gerakan Tajdid dalam Sejarah
Islam
Sejumlah tokoh dan gerakan
tajdid muncul di berbagai belahan dunia Islam untuk melakukan reformasi
pemikiran dan sosial. Berikut adalah beberapa tokoh penting yang berkontribusi
dalam gerakan tajdid:
4.3.1.
Ibnu Taimiyah (1263–1328 M)
Ibnu Taimiyah dikenal sebagai
salah satu pemikir Islam yang menekankan kembali kepada pemahaman Islam yang
bersumber langsung dari Al-Qur'an dan Hadis. Ia mengkritik praktik bid‘ah (inovasi
dalam agama) dan menyerukan untuk kembali kepada ajaran Islam yang murni.6
Menurut Yossef Rapoport, pemikirannya memiliki dampak besar pada gerakan
reformasi Islam di kemudian hari, termasuk Wahhabisme di Arab Saudi.7
4.3.2.
Muhammad Abduh (1849–1905 M) dan
Modernisme Islam
Muhammad Abduh, seorang
cendekiawan Mesir, merupakan salah satu pelopor modernisme Islam yang
menekankan pentingnya akal dan rasionalisme dalam memahami ajaran Islam. Dalam Risalat
al-Tauhid, ia mengusulkan pendekatan yang lebih progresif dalam memahami
Islam agar relevan dengan dunia modern.8
Abduh berpendapat bahwa Islam
harus beradaptasi dengan kemajuan zaman tanpa kehilangan esensinya. Ia juga
mendorong reformasi dalam sistem pendidikan Islam agar lebih inklusif terhadap
ilmu pengetahuan modern.9
4.3.3.
Jamaluddin Al-Afghani (1838–1897 M)
dan Pan-Islamisme
Jamaluddin Al-Afghani adalah
salah satu tokoh yang memperjuangkan konsep Pan-Islamisme (Wahdatul Islam),
yaitu persatuan umat Islam dalam menghadapi imperialisme Barat. Ia menekankan
pentingnya kebangkitan intelektual dan politik Islam sebagai upaya melawan
kolonialisme.10
Dalam karyanya, Al-Urwah
al-Wuthqa, Al-Afghani menekankan bahwa umat Islam harus bersatu dalam satu
kekuatan global untuk melawan hegemoni Barat dan membangun kembali kekuatan
Islam yang sejati.11
4.3.4.
Hasan Al-Banna (1906–1949 M) dan
Ikhwanul Muslimin
Hasan Al-Banna mendirikan
gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir pada tahun 1928 sebagai upaya mengembalikan
Islam sebagai solusi atas permasalahan sosial dan politik umat Islam. Ia
menekankan pentingnya penerapan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari dan
mendorong aktivisme Islam dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan politik.12
Menurut Richard Mitchell,
gerakan Ikhwanul Muslimin menjadi salah satu organisasi Islam terbesar yang
menginspirasi berbagai gerakan Islam di dunia, baik dalam bidang sosial maupun
politik.13
4.3.5.
Muhammad Iqbal (1877–1938 M) dan
Konsep Kebangkitan Islam
Muhammad Iqbal, seorang
filsuf dan penyair dari India, mengusulkan konsep kebangkitan Islam yang
berbasis pada pembaharuan spiritual dan intelektual. Ia menekankan pentingnya
ijtihad dan pemikiran filosofis untuk menghidupkan kembali semangat Islam.14
Iqbal mengkritik stagnasi
umat Islam yang lebih banyak bergantung pada tradisi tanpa memahami esensi
ajaran Islam. Dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in
Islam, ia menekankan bahwa Islam adalah agama yang dinamis dan harus terus
berkembang sesuai dengan tantangan zaman.15
Kesimpulan
Munculnya gerakan tajdid
dalam Islam merupakan respons terhadap kemunduran yang dialami umat Muslim
selama berabad-abad. Para reformis Islam berupaya menghidupkan kembali semangat
Islam yang dinamis melalui reinterpretasi ajaran agama, reformasi sosial, dan
perjuangan politik. Gerakan tajdid ini tidak hanya bersifat akademis, tetapi
juga memiliki implikasi praktis dalam membentuk peradaban Islam di era modern.
Footnotes
[1]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Sahwah al-Islamiyyah baina al-Juhud wa
al-Tatarruf (Cairo: Dar al-Syuruq, 1990), 34.
[2]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 89.
[3]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798-1939
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 201.
[4]
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford
University Press, 1933), 129.
[5]
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge:
Cambridge University Press, 2002), 357.
[6]
Ibn Taimiyyah, Majmu' Fatawa (Riyadh: Dar al-Fikr, 2001), 12.
[7]
Yossef Rapoport, Ibn Taymiyya and His Times (Oxford: Oxford
University Press, 2010), 97.
[8]
Muhammad Abduh, Risalat al-Tauhid (Cairo: Dar al-Manar, 1897),
78.
[9]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798-1939,
205.
[10]
Nikki R. Keddie, Sayyid Jamal ad-Din "al-Afghani": A
Political Biography (Berkeley: University of California Press, 1972), 142.
[11]
Jamaluddin Al-Afghani, Al-Urwah al-Wuthqa (Cairo: Matba’ah
al-Manar, 1884), 65.
[12]
Hasan al-Banna, Majmu'ah al-Rasa'il (Cairo: Dar al-Tawzi’ wa
al-Nashr al-Islami, 1952), 51.
[13]
Richard P. Mitchell, The Society of the Muslim Brothers
(Oxford: Oxford University Press, 1969), 174.
[14]
Muhammad Iqbal, Bang-e-Dra (Lahore: Iqbal Academy, 1924), 29.
[15]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Iqbal Academy, 1930), 87.
5.
Kesimpulan
Sejarah Islam mencatat bahwa
peradaban Muslim pernah mencapai puncak kejayaan dengan berbagai pencapaian
dalam bidang politik, ekonomi, militer, serta ilmu pengetahuan. Masa keemasan
ini tidak hanya memberikan kontribusi besar bagi dunia Islam tetapi juga bagi
peradaban global, termasuk pengaruhnya terhadap kebangkitan Eropa dalam era
Renaissance.1 Kejayaan Islam didukung oleh berbagai faktor, seperti
kepemimpinan yang kuat, stabilitas politik, pengembangan ilmu pengetahuan, dan
sistem ekonomi yang maju. Pada masa Abbasiyah, misalnya, Baghdad menjadi pusat
keilmuan dunia yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar seperti Al-Farabi, Ibnu
Sina, Al-Khwarizmi, dan Al-Biruni.2
Namun, sebagaimana peradaban
lain dalam sejarah, kejayaan Islam tidak bertahan selamanya. Dunia Islam
mengalami kemunduran yang disebabkan oleh berbagai faktor internal dan
eksternal. Faktor internal seperti perpecahan politik, korupsi di kalangan
penguasa, melemahnya semangat keilmuan, serta kemunduran ekonomi telah
memperlemah dunia Islam dari dalam.3 Sementara itu, faktor eksternal
seperti invasi Mongol yang menghancurkan Baghdad pada tahun 1258 M, Perang
Salib, serta kolonialisme Barat semakin memperburuk kondisi umat Islam.4
Akibat dari faktor-faktor tersebut, dunia Islam yang sebelumnya menjadi pusat
peradaban dunia mulai mengalami stagnasi, kehilangan supremasi politik,
ekonomi, dan intelektual yang pernah dimilikinya.
Meskipun mengalami
kemunduran, sejarah juga mencatat bahwa di setiap fase kritis, selalu muncul
gerakan tajdid (pembaharuan Islam) yang berusaha mengembalikan kejayaan Islam.
Gerakan ini dipelopori oleh para ulama, cendekiawan, dan pemimpin Muslim yang
berusaha mereformasi pemahaman keislaman serta membangun kembali peradaban
Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Ibnu Taimiyah, misalnya, menekankan
pentingnya kembali kepada ajaran Islam yang murni berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadis sebagai solusi atas kemunduran umat.5 Sementara itu, di era
modern, tokoh seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani memperjuangkan
reformasi pendidikan, sosial, dan politik untuk menghadapi tantangan zaman.6
Di sisi lain, munculnya
kesadaran akan pentingnya persatuan Islam juga menjadi bagian dari upaya
kebangkitan. Konsep Pan-Islamisme yang diperkenalkan oleh Jamaluddin Al-Afghani
menekankan perlunya solidaritas umat Islam di seluruh dunia untuk menghadapi
dominasi Barat dan membangun kembali kekuatan politik Islam.7 Selain
itu, gerakan Islam modern seperti Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan
Al-Banna menjadi salah satu bentuk aktivisme Islam yang bertujuan untuk
membangun masyarakat Islam yang lebih kuat dalam bidang politik, ekonomi, dan
pendidikan.8
Dari kajian ini, dapat
disimpulkan bahwa kejayaan dan kemunduran Islam bukanlah suatu siklus yang terjadi
secara kebetulan, melainkan akibat dari dinamika internal dan eksternal yang
terus berkembang sepanjang sejarah. Umat Islam dapat belajar dari sejarah ini
bahwa kejayaan hanya dapat dicapai melalui kepemimpinan yang kuat, pengembangan
ilmu pengetahuan, serta penerapan nilai-nilai Islam yang mendorong kemajuan
dalam segala aspek kehidupan.9 Sebaliknya, kemunduran akan terjadi
jika umat Islam lengah terhadap tantangan zaman, terjebak dalam konflik
internal, dan gagal mengembangkan potensi intelektual serta ekonomi mereka.
Oleh karena itu, sebagai
generasi Muslim masa kini, penting untuk memahami pelajaran dari sejarah ini
agar dapat mengambil langkah-langkah strategis dalam membangun kembali kejayaan
Islam. Dengan memperkuat pendidikan, memajukan teknologi, serta menjaga
persatuan dan moralitas, umat Islam dapat kembali berperan sebagai pelopor
dalam peradaban dunia.10 Sebagaimana yang ditegaskan oleh Muhammad
Iqbal dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam,
kebangkitan Islam harus dimulai dari transformasi intelektual dan spiritual
yang dapat membangun peradaban Islam yang progresif di era modern.11
Footnotes
[1]
Bernard Lewis, The Middle East: A Brief History of the Last 2,000
Years (New York: Simon & Schuster, 1995), 143.
[2]
George Saliba, Islamic Science and the Making of the European
Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 87.
[3]
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge:
Cambridge University Press, 2002), 278.
[4]
Hugh Kennedy, The Mongol Conquests and the Making of the Modern
World (New York: Crown, 2004), 103.
[5]
Yossef Rapoport, Ibn Taymiyya and His Times (Oxford: Oxford
University Press, 2010), 74.
[6]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798-1939
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 193.
[7]
Nikki R. Keddie, Sayyid Jamal ad-Din "al-Afghani": A
Political Biography (Berkeley: University of California Press, 1972), 112.
[8]
Richard P. Mitchell, The Society of the Muslim Brothers
(Oxford: Oxford University Press, 1969), 154.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 102.
[10]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 119.
[11]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Iqbal Academy, 1930), 95.
Daftar Pustaka
Abduh, M. (1897). Risalat al-Tauhid. Cairo:
Dar al-Manar.
Adams, C. C. (1933). Islam and Modernism in
Egypt. London: Oxford University Press.
Afghani, J. (1884). Al-Urwah al-Wuthqa.
Cairo: Matba’ah al-Manar.
Babinger, F. (1992). Mehmed the Conqueror and
His Time. Princeton: Princeton University Press.
Eddé, A. M. (2011). Saladin. Cambridge:
Harvard University Press.
Hourani, A. (1983). Arabic Thought in the
Liberal Age: 1798-1939. Cambridge: Cambridge University Press.
Hourani, A. (1991). A History of the Arab
Peoples. Cambridge: Harvard University Press.
Hitti, P. K. (1970). History of the Arabs.
London: Macmillan.
Hodgson, M. G. S. (1974). The Venture of Islam:
Conscience and History in a World Civilization. Chicago: University of
Chicago Press.
Ibn Khaldun. (1958). Muqaddimah. Princeton:
Princeton University Press.
Ibn Taimiyyah. (2001). Majmu' Fatawa.
Riyadh: Dar al-Fikr.
Iqbal, M. (1924). Bang-e-Dra. Lahore: Iqbal
Academy.
Iqbal, M. (1930). The Reconstruction of
Religious Thought in Islam. Lahore: Iqbal Academy.
Inalcik, H. (1973). The Ottoman Empire: The
Classical Age 1300-1600. London: Weidenfeld & Nicolson.
Kennedy, H. (2001). The Armies of the Caliphs:
Military and Society in the Early Islamic State. London: Routledge.
Kennedy, H. (2004). The Mongol Conquests and the
Making of the Modern World. New York: Crown.
Keddie, N. R. (1972). Sayyid Jamal ad-Din
"al-Afghani": A Political Biography. Berkeley: University of
California Press.
Lapidus, I. M. (2002). A History of Islamic
Societies. Cambridge: Cambridge University Press.
Lewis, B. (1993). Islam and the West.
Oxford: Oxford University Press.
Lewis, B. (1995). The Middle East: A Brief
History of the Last 2,000 Years. New York: Simon & Schuster.
Lewis, B. (2002). What Went Wrong? The Clash
Between Islam and Modernity in the Middle East. New York: Oxford University
Press.
Menocal, M. R. (2002). The Ornament of the
World: How Muslims, Jews, and Christians Created a Culture of Tolerance in
Medieval Spain. New York: Little, Brown & Co.
Mitchell, R. P. (1969). The Society of the
Muslim Brothers. Oxford: Oxford University Press.
Nasr, S. H. (1968). Science and Civilization in
Islam. Cambridge: Harvard University Press.
Qaradawi, Y. (1990). Al-Sahwah al-Islamiyyah
baina al-Juhud wa al-Tatarruf. Cairo: Dar al-Syuruq.
Rahman, F. (1982). Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Rapoport, Y. (2010). Ibn Taymiyya and His Times.
Oxford: Oxford University Press.
Rashed, R. (2009). Al-Khwarizmi: The Beginnings
of Algebra. London: Saqi Books.
Saliba, G. (2007). Islamic Science and the
Making of the European Renaissance. Cambridge: MIT Press.
Strohmaier, G. (2007). Avicenna and the Canon of
Medicine. Oxford: Oxford University Press.
Toynbee, A. J. (1947). A Study of History.
London: Oxford University Press.
Watson, A. M. (1983). Agricultural Innovation in
the Early Islamic World. Cambridge: Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar