Jumat, 14 Maret 2025

Bahan Ajar SKI Kelas 11 Bab 9: Masa Kejayaan dan Kemunduran Umat Islam

Sejarah Kebudayaan Islam

Masa Kejayaan dan Kemunduran Umat Islam


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)

Kelas                   : 11 (Sebelas)


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang masa kejayaan dan kemunduran umat Islam, dengan merujuk pada sumber-sumber sejarah Islam klasik, literatur sejarah kebudayaan Islam, dan jurnal ilmiah Islami. Pada bagian pertama, artikel ini mengulas masa kejayaan Islam, yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, serta militer. Faktor-faktor yang mendukung kejayaan ini meliputi kepemimpinan yang kuat, sistem pemerintahan yang efektif, perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat, serta stabilitas ekonomi dan sosial.

Bagian kedua menyoroti faktor-faktor penyebab kemunduran Islam, baik dari aspek internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi perpecahan politik, melemahnya semangat keilmuan, serta kemunduran ekonomi, sedangkan faktor eksternal mencakup invasi Mongol, Perang Salib, dan kolonialisme Barat. Dampak dari kemunduran ini terlihat dalam stagnasi intelektual, ketimpangan sosial, serta hilangnya supremasi dunia Islam dalam berbagai bidang kehidupan.

Bagian terakhir membahas gerakan tajdid (pembaharuan Islam) yang muncul sebagai respons terhadap kemunduran peradaban Islam. Gerakan ini dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Hasan Al-Banna, dan Muhammad Iqbal, yang menekankan pentingnya reformasi dalam pemikiran Islam, pendidikan, serta sistem sosial dan politik. Gerakan tajdid ini bertujuan untuk menghidupkan kembali kejayaan Islam melalui pendekatan yang lebih adaptif terhadap tantangan zaman modern.

Kajian ini menunjukkan bahwa sejarah Islam bukanlah sesuatu yang statis, melainkan suatu siklus peradaban yang dipengaruhi oleh berbagai dinamika internal dan eksternal. Dengan memahami faktor kejayaan dan kemunduran Islam, generasi Muslim masa kini dapat mengambil pelajaran untuk membangun kembali peradaban Islam yang lebih maju dan berdaya saing di era modern.

Kata Kunci: Kejayaan Islam, Kemunduran Islam, Peradaban Islam, Sejarah Islam, Tajdid, Pembaharuan Islam, Kolonialisme, Ilmu Pengetahuan Islam, Politik Islam.


PEMBAHASAN

Masa Kejayaan dan Kemunduran Umat Islam


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)

Kelas                   : 11 (Sebelas)

Bab                      : Bab 9 - Masa Kejayaan dan Kemunduran Umat Islam


1.           Pendahuluan

Sepanjang sejarah peradaban manusia, Islam telah mengalami berbagai fase kejayaan dan kemunduran yang memberikan dampak signifikan bagi dunia. Masa kejayaan Islam ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, dan militer yang menjadikan dunia Islam sebagai pusat peradaban global. Sejak awal perkembangannya di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw hingga puncak kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah (750–1258 M), umat Islam berhasil membangun peradaban yang maju dalam berbagai bidang, dari filsafat, kedokteran, hingga sains dan teknologi. Namun, sejarah juga mencatat bahwa setelah mengalami masa keemasan, dunia Islam mulai mengalami kemunduran akibat berbagai faktor internal dan eksternal yang melemahkan stabilitas politik, ekonomi, serta sosial budaya umat Islam.

Pemahaman mengenai masa kejayaan dan kemunduran Islam sangat penting, bukan hanya dalam konteks sejarah tetapi juga sebagai refleksi bagi umat Islam masa kini. Sejarah telah menunjukkan bahwa peradaban besar dapat mengalami kebangkitan dan kemerosotan akibat dinamika internal serta tantangan eksternal. Arnold J. Toynbee, dalam karyanya A Study of History, menegaskan bahwa peradaban berkembang melalui siklus pertumbuhan dan kemunduran, bergantung pada bagaimana sebuah peradaban merespons tantangan zaman.1 Dalam hal ini, Islam pernah menjadi peradaban yang dominan dan memberi kontribusi besar bagi kemajuan dunia, tetapi kemudian mengalami kemunduran yang menyebabkan stagnasi di berbagai bidang.

Beberapa faktor utama yang berperan dalam kejayaan Islam antara lain sistem pemerintahan yang kuat dan stabil, peran ulama dan ilmuwan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, serta kebijakan ekonomi yang mendukung kesejahteraan umat.2 Misalnya, pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, Baitul Hikmah di Baghdad menjadi pusat intelektual yang menarik para ilmuwan dari berbagai belahan dunia. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menjelaskan bahwa peradaban yang maju ditopang oleh keseimbangan antara politik yang adil, ekonomi yang kuat, serta semangat keilmuan yang tinggi.3

Sebaliknya, kemunduran Islam mulai tampak ketika berbagai faktor negatif mulai melemahkan kekuatan umat. Faktor-faktor internal seperti perpecahan politik, korupsi, serta melemahnya semangat keilmuan dan inovasi menyebabkan stagnasi dalam berbagai sektor.4 Faktor eksternal seperti invasi Mongol yang menghancurkan Baghdad pada 1258 M dan tekanan dari kolonialisme Barat semakin memperburuk situasi umat Islam.5 Dalam kajian historiografi Islam, banyak sejarawan menyebut bahwa kemunduran ini juga dipengaruhi oleh ketidakmampuan umat Islam dalam merespons perubahan zaman dan inovasi teknologi yang berkembang di Eropa setelah Renaissance.6

Kajian tentang masa kejayaan dan kemunduran Islam ini sangat relevan dalam pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) di tingkat Madrasah Aliyah, khususnya dalam menganalisis sebab-sebab kemunduran dan kebangkitan Islam. Salah satu kompetensi dasar dalam mata pelajaran SKI kelas 11 adalah menganalisis kemunduran Islam dan latar belakang munculnya gerakan tajdid.7 Dengan memahami faktor-faktor yang menyebabkan kejayaan dan kemunduran Islam, para siswa diharapkan mampu mengambil pelajaran untuk membangun kembali peradaban Islam yang lebih baik di masa depan. Sejarah menunjukkan bahwa di balik kemunduran suatu peradaban, selalu muncul gerakan pembaharuan atau tajdid sebagai bentuk upaya untuk mengembalikan kejayaan Islam.8 Oleh karena itu, kajian ini tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga memiliki nilai praktis dalam menginspirasi generasi Muslim untuk berkontribusi dalam kebangkitan Islam modern.


Footnotes

[1]                Arnold J. Toynbee, A Study of History (London: Oxford University Press, 1947), 243.

[2]                Philip K. Hitti, History of the Arabs (London: Macmillan, 1970), 389.

[3]                Ibn Khaldun, Muqaddimah (Princeton: Princeton University Press, 1958), 89.

[4]                Bernard Lewis, What Went Wrong? The Clash Between Islam and Modernity in the Middle East (New York: Oxford University Press, 2002), 56.

[5]                Hugh Kennedy, The Court of the Caliphs (London: Weidenfeld & Nicolson, 2004), 271.

[6]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 254.

[7]                Kementerian Agama RI, Kurikulum Madrasah Aliyah: Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Kemenag RI, 2020), 76.

[8]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 124.


2.           Masa Kejayaan Islam

2.1.       Definisi dan Ruang Lingkup Masa Kejayaan Islam

Masa kejayaan Islam merujuk pada periode ketika dunia Islam mengalami puncak perkembangan dalam berbagai bidang, termasuk ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, serta militer. Secara historis, kejayaan Islam dimulai sejak masa Nabi Muhammad Saw dan para Khulafaur Rasyidin, kemudian mencapai puncaknya pada era Kekhalifahan Umayyah (661–750 M) dan Abbasiyah (750–1258 M), serta berlanjut di era kejayaan Kesultanan Utsmaniyah, Safawiyah, dan Mughal.1

Menurut Philip K. Hitti, kejayaan Islam bukan hanya ditandai oleh luasnya wilayah kekuasaan politik, tetapi juga oleh pesatnya perkembangan intelektual yang menjadikan peradaban Islam sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia.2 Para ilmuwan Muslim berperan dalam mengembangkan berbagai disiplin ilmu, mulai dari kedokteran, astronomi, matematika, hingga filsafat. Dengan berkembangnya kota-kota besar seperti Baghdad, Kairo, Córdoba, dan Samarkand, umat Islam berhasil membangun peradaban yang menjadi rujukan bagi dunia Barat pada masa Renaissance.3

2.2.       Faktor-Faktor Pendorong Kejayaan Islam

2.2.1.    Faktor Politik

Stabilitas politik menjadi salah satu kunci utama kejayaan Islam. Dinasti Umayyah memperkenalkan sistem administrasi pemerintahan yang lebih tersentralisasi dengan ibukota di Damaskus, sementara Dinasti Abbasiyah menggantinya dengan model pemerintahan berbasis birokrasi yang lebih maju di Baghdad.4 Sistem pemerintahan yang kuat ini memungkinkan negara Islam untuk melakukan ekspansi wilayah secara besar-besaran serta menjamin keamanan dan stabilitas masyarakat Muslim.

2.2.2.    Faktor Ekonomi

Perekonomian Islam mengalami kemajuan pesat berkat perdagangan yang melibatkan berbagai wilayah di dunia, mulai dari Andalusia hingga Asia Tengah. Jalur perdagangan Islam yang menghubungkan Laut Tengah, Samudra Hindia, dan Jalur Sutra menjadikan umat Islam sebagai perantara utama dalam perdagangan global.5 Menurut Ira M. Lapidus, sistem ekonomi Islam yang berbasis pasar terbuka dan sistem keuangan yang didukung oleh Baitul Mal memainkan peran penting dalam kesejahteraan rakyat.6

2.2.3.    Faktor Keilmuan

Salah satu puncak kejayaan Islam adalah berkembangnya ilmu pengetahuan yang melahirkan banyak ilmuwan besar seperti Al-Farabi dalam filsafat, Ibnu Sina dalam kedokteran, Al-Khwarizmi dalam matematika, dan Al-Biruni dalam astronomi.7 Baitul Hikmah di Baghdad menjadi pusat penerjemahan dan penelitian yang membawa banyak karya Yunani, Persia, dan India ke dalam dunia Islam, serta mengembangkannya menjadi disiplin ilmu yang lebih maju.8

2.2.4.    Faktor Militer

Keunggulan militer Islam juga berperan dalam mempertahankan kejayaan Islam. Strategi perang yang inovatif serta penggunaan teknologi militer yang canggih pada masanya, seperti meriam dan kapal perang, menjadikan pasukan Islam sebagai kekuatan dominan di dunia.9 Salah satu contoh keberhasilan militer yang mencerminkan kejayaan Islam adalah penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada tahun 1453 M, yang menandai berakhirnya Kekaisaran Bizantium.10

2.2.5.    Faktor Sosial dan Budaya

Islam sebagai agama dan sistem sosial menekankan nilai-nilai toleransi, persaudaraan, serta penghormatan terhadap ilmu pengetahuan. Faktor ini memungkinkan berbagai etnis dan budaya berkontribusi dalam kemajuan peradaban Islam tanpa diskriminasi.11 Córdoba pada masa Kekhalifahan Umayyah di Andalusia, misalnya, menjadi kota multikultural yang menjadi pusat keilmuan bagi umat Islam, Yahudi, dan Kristen.12

2.2.6.    Faktor Agama

Spiritualitas dan nilai-nilai Islam yang mendorong umatnya untuk mencari ilmu dan berbuat baik menjadi landasan utama dalam membangun peradaban Islam yang maju. Konsep Iqra' (bacalah) dalam Al-Qur'an (QS. Al-‘Alaq: 1) menjadi motivasi bagi umat Islam untuk menggali ilmu dan meningkatkan kualitas kehidupan mereka.13

2.3.       Tokoh-Tokoh dan Kontribusinya terhadap Kejayaan Islam

Beberapa tokoh penting yang berkontribusi terhadap kejayaan Islam meliputi:

·                     Ilmuwan Muslim:

Al-Khwarizmi (780–850 M): Mengembangkan konsep aljabar dan angka nol yang menjadi dasar matematika modern.14

Ibnu Sina (980–1037 M): Menulis Al-Qanun fi al-Tibb, ensiklopedia kedokteran yang menjadi rujukan dunia Barat hingga abad ke-17.15

Al-Farabi (872–950 M): Filsuf Muslim yang mengembangkan teori politik dan logika.16

·                     Pemimpin Politik dan Militer:

Harun Al-Rasyid (786–809 M): Khalifah Abbasiyah yang mendirikan Baitul Hikmah dan menjadikan Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia.17

Salahuddin Al-Ayyubi (1137–1193 M): Panglima perang Muslim yang merebut kembali Yerusalem dari Tentara Salib pada tahun 1187 M.18

Sultan Muhammad Al-Fatih (1432–1481 M): Pemimpin Kesultanan Utsmaniyah yang menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453 M.19


Footnotes

[1]                Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 183.

[2]                Philip K. Hitti, History of the Arabs (London: Macmillan, 1970), 412.

[3]                Bernard Lewis, Islam and the West (Oxford: Oxford University Press, 1993), 67.

[4]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 279.

[5]                Andrew M. Watson, Agricultural Innovation in the Early Islamic World (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 45.

[6]                Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 190.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 94.

[8]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 112.

[9]                Hugh Kennedy, The Armies of the Caliphs: Military and Society in the Early Islamic State (London: Routledge, 2001), 86.

[10]             Halil İnalcık, The Ottoman Empire: The Classical Age 1300-1600 (London: Weidenfeld & Nicolson, 1973), 39.

[11]             Maria Rosa Menocal, The Ornament of the World: How Muslims, Jews, and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain (New York: Little, Brown & Co., 2002), 56.

[12]             Thomas F. Glick, Islamic and Christian Spain in the Early Middle Ages (Princeton: Princeton University Press, 1979), 121.

[13]             Muhammad Asad, The Message of the Qur'an (Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980), 108.

[14]             Roshdi Rashed, Al-Khwarizmi: The Beginnings of Algebra (London: Saqi Books, 2009), 72.

[15]             G. Strohmaier, Avicenna and the Canon of Medicine (Oxford: Oxford University Press, 2007), 45.

[16]             Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 189.

[17]             Matthew S. Gordon, The Rise of Islam (Westport: Greenwood Publishing Group, 2005), 156.

[18]             Anne-Marie Eddé, Saladin (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 273.

[19]             Franz Babinger, Mehmed the Conqueror and His Time (Princeton: Princeton University Press, 1992), 145.


3.           Masa Kemunduran Islam

3.1.       Penyebab Kemunduran Islam

Meskipun Islam pernah mencapai puncak kejayaan dalam berbagai aspek kehidupan, sejarah mencatat bahwa peradaban Islam mengalami kemunduran yang ditandai oleh melemahnya kekuatan politik, ekonomi, serta stagnasi dalam bidang ilmu pengetahuan. Penyebab kemunduran Islam dapat dikategorikan ke dalam dua faktor utama, yaitu faktor internal yang berasal dari dalam umat Islam sendiri dan faktor eksternal yang disebabkan oleh tekanan dari pihak luar.

3.1.1.    Faktor Internal

Kemunduran Islam sebagian besar disebabkan oleh berbagai kelemahan internal yang menggerogoti stabilitas umat. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menyoroti bahwa salah satu faktor utama yang menyebabkan kejatuhan sebuah peradaban adalah kemerosotan moral dan lemahnya kepemimpinan.1 Beberapa faktor internal yang berkontribusi terhadap kemunduran Islam antara lain:

·                     Kelemahan Kepemimpinan dan Perpecahan Politik

Setelah masa keemasan Abbasiyah, dunia Islam mengalami fragmentasi politik dengan munculnya kerajaan-kerajaan kecil yang saling bersaing. Ketika dinasti-dinasti Islam mulai terpecah belah, mereka menjadi lebih rentan terhadap serangan musuh dari luar.2

·                     Meredupnya Semangat Keilmuan

Jika pada masa keemasan Islam ilmu pengetahuan berkembang pesat, pada masa kemunduran, gairah terhadap ilmu mulai berkurang. Banyak ulama dan ilmuwan lebih fokus pada aspek teologis dan mengabaikan kajian ilmiah dan filosofis.3 Menurut George Saliba, stagnasi ini sebagian disebabkan oleh tekanan dari kelompok konservatif yang menolak filsafat dan sains sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam.4

·                     Kemunduran Ekonomi dan Hilangnya Kontrol atas Jalur Perdagangan

Dunia Islam pernah menjadi pusat perdagangan global, tetapi seiring waktu, dominasi perdagangan mulai beralih ke bangsa Eropa yang berhasil menemukan jalur perdagangan maritim baru setelah penjelajahan Samudra Atlantik dan penemuan rute ke India oleh Vasco da Gama pada 1498 M.5 Dengan berkurangnya kontrol atas jalur perdagangan, perekonomian dunia Islam melemah, yang pada akhirnya berdampak pada hilangnya kemakmuran dan stabilitas sosial.

3.1.2.    Faktor Eksternal

Selain faktor internal, kemunduran Islam juga disebabkan oleh tekanan dan ancaman dari luar, seperti invasi bangsa asing dan kolonialisme Barat.

·                     Invasi Mongol dan Penghancuran Baghdad (1258 M)

Salah satu peristiwa yang menjadi titik balik kemunduran Islam adalah serangan Mongol terhadap Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad pada tahun 1258 M. Invasi ini mengakibatkan kehancuran kota Baghdad, yang selama berabad-abad menjadi pusat peradaban Islam.6 Menurut Bernard Lewis, serangan Mongol menghancurkan infrastruktur intelektual dunia Islam, termasuk perpustakaan besar seperti Baitul Hikmah.7

·                     Perang Salib dan Dampaknya terhadap Dunia Islam

Perang Salib yang berlangsung antara abad ke-11 hingga ke-13 tidak hanya berdampak militer tetapi juga melemahkan dunia Islam secara ekonomi dan politik. Banyak wilayah Islam yang semula makmur berubah menjadi medan perang berkepanjangan.8

·                     Kolonialisme dan Imperialisme Barat

Pada abad ke-18 dan ke-19, banyak wilayah Islam jatuh ke tangan kolonialisme Eropa. Inggris menguasai India (1858), Perancis menguasai Aljazair (1830), dan Belanda menduduki Indonesia (1800-an). Penjajahan ini melemahkan kedaulatan Islam dan menghambat kemajuan peradaban Muslim.9

3.2.       Indikator Kemunduran Islam

Kemunduran Islam dapat diidentifikasi melalui berbagai indikator yang mencerminkan melemahnya peradaban Muslim dalam berbagai aspek kehidupan:

1)                  Kemunduran Ilmu Pengetahuan

Jika pada masa keemasan Islam banyak ilmuwan Muslim yang berperan dalam pengembangan ilmu, maka pada masa kemunduran, dunia Islam mengalami stagnasi intelektual. Pendidikan lebih berorientasi pada hafalan daripada inovasi, dan banyak madrasah tidak lagi mempelajari ilmu rasional seperti sains dan filsafat.10

2)                  Dekadensi Moral dan Sosial

Merosotnya moral dan etika dalam masyarakat Muslim juga menjadi tanda utama kemunduran Islam. Korupsi, ketidakadilan sosial, dan gaya hidup mewah di kalangan elit penguasa memperburuk situasi umat Islam.11

3)                  Kelemahan Militer dan Kekalahan dalam Perang

Pada masa kejayaan, militer Islam memiliki keunggulan strategi dan persenjataan. Namun, setelah abad ke-15, teknologi militer dunia Islam mulai tertinggal dibandingkan dengan Barat. Hal ini menyebabkan kekalahan dalam berbagai peperangan, seperti kekalahan Kesultanan Utsmaniyah dalam Perang Dunia I yang mengakibatkan runtuhnya kekhalifahan pada 1924.12

3.3.       Munculnya Gerakan Tajdid (Pembaharuan Islam)

Dalam menghadapi kemunduran ini, muncul berbagai gerakan tajdid (pembaharuan Islam) yang bertujuan untuk mengembalikan kejayaan Islam. Beberapa tokoh utama dalam gerakan ini adalah:

1)                  Ibnu Taimiyah (1263–1328 M)

Mengusulkan reformasi dalam ajaran Islam dan menekankan pentingnya kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis.13

2)                  Muhammad Abduh (1849–1905 M)

Mengusung ide modernisme Islam dengan mengadopsi metode rasionalisme dan ijtihad dalam memahami ajaran Islam.14

3)                  Jamaluddin Al-Afghani (1838–1897 M)

Mengembangkan konsep Pan-Islamisme untuk melawan kolonialisme Barat dan menyatukan umat Islam.15

Gerakan tajdid ini menjadi titik awal bagi berbagai upaya kebangkitan Islam di era modern, yang terus berlangsung hingga saat ini.


Footnotes

[1]                Ibn Khaldun, Muqaddimah (Princeton: Princeton University Press, 1958), 103.

[2]                Bernard Lewis, The Middle East: A Brief History of the Last 2,000 Years (New York: Simon & Schuster, 1995), 174.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 142.

[4]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 89.

[5]                Andrew M. Watson, Agricultural Innovation in the Early Islamic World (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 65.

[6]                Hugh Kennedy, The Mongol Conquests and the Making of the Modern World (New York: Crown, 2004), 123.

[7]                Bernard Lewis, What Went Wrong? The Clash Between Islam and Modernity in the Middle East (New York: Oxford University Press, 2002), 98.

[8]                Thomas Asbridge, The Crusades: The War for the Holy Land (London: Simon & Schuster, 2010), 247.

[9]                Albert Hourani, A History of the Arab Peoples (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 326.

[10]             Richard W. Bulliet, Islam: The View from the Edge (New York: Columbia University Press, 1994), 187.

[11]             Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 278.

[12]             Halil İnalcık, The Ottoman Empire: The Classical Age 1300-1600 (London: Weidenfeld & Nicolson, 1973), 92.

[13]             Yossef Rapoport, Ibn Taymiyya and His Times (Oxford: Oxford University Press, 2010), 74.

[14]             Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford University Press, 1933), 154.

[15]             Nikki R. Keddie, Sayyid Jamal ad-Din "al-Afghani": A Political Biography (Berkeley: University of California Press, 1972), 219.


4.           Munculnya Gerakan Tajdid (Pembaharuan Islam)

4.1.       Definisi dan Konsep Tajdid dalam Islam

Tajdid (تجديد) dalam Islam berarti pembaharuan atau revitalisasi ajaran Islam untuk mengembalikan pemahaman dan praktik keagamaan kepada kemurnian yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis. Konsep ini berakar pada hadis Nabi Muhammad Saw:

إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا

"Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini pada setiap awal seratus tahun seseorang yang akan memperbarui (memurnikan) agama mereka." (HR. Abu Dawud, no. 4291).

Dalam kajian Islam klasik, tajdid dipahami sebagai proses reformasi yang bertujuan menghidupkan kembali ajaran Islam yang telah mengalami penyimpangan akibat pengaruh budaya lokal, politik yang korup, atau stagnasi pemikiran keagamaan.1 Menurut Fazlur Rahman, tajdid bukan sekadar pemurnian akidah dan ibadah, tetapi juga mencakup pembaharuan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi agar umat Islam mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa mengorbankan nilai-nilai Islam.2

4.2.       Faktor yang Mendorong Munculnya Gerakan Tajdid

Sejak masa kemunduran Islam, berbagai faktor telah mendorong munculnya gerakan tajdid. Faktor-faktor tersebut antara lain:

1)                  Kemunduran Politik dan Kolonialisme Barat

Pada abad ke-18 dan 19, dunia Islam berada di bawah cengkeraman kolonialisme Eropa yang melemahkan kedaulatan politik umat Islam. Gerakan tajdid muncul sebagai respons terhadap dominasi Barat dan upaya untuk mengembalikan kejayaan Islam.3

2)                  Kemerosotan Keilmuan dan Pemikiran Islam

Setelah era kejayaan Islam, ilmu pengetahuan mengalami stagnasi akibat pemikiran konservatif yang menolak ijtihad. Para reformis Islam berusaha menghidupkan kembali tradisi keilmuan dengan mendorong reinterpretasi ajaran Islam yang lebih kontekstual.4

3)                  Ketimpangan Sosial dan Ekonomi

Kolonialisme dan sistem feodalisme dalam dunia Islam menyebabkan ketimpangan ekonomi yang parah. Para pembaharu Islam berupaya menerapkan konsep keadilan sosial Islam untuk memperbaiki kondisi umat.5

4.3.       Tokoh-Tokoh dan Gerakan Tajdid dalam Sejarah Islam

Sejumlah tokoh dan gerakan tajdid muncul di berbagai belahan dunia Islam untuk melakukan reformasi pemikiran dan sosial. Berikut adalah beberapa tokoh penting yang berkontribusi dalam gerakan tajdid:

4.3.1.    Ibnu Taimiyah (1263–1328 M)

Ibnu Taimiyah dikenal sebagai salah satu pemikir Islam yang menekankan kembali kepada pemahaman Islam yang bersumber langsung dari Al-Qur'an dan Hadis. Ia mengkritik praktik bid‘ah (inovasi dalam agama) dan menyerukan untuk kembali kepada ajaran Islam yang murni.6 Menurut Yossef Rapoport, pemikirannya memiliki dampak besar pada gerakan reformasi Islam di kemudian hari, termasuk Wahhabisme di Arab Saudi.7

4.3.2.    Muhammad Abduh (1849–1905 M) dan Modernisme Islam

Muhammad Abduh, seorang cendekiawan Mesir, merupakan salah satu pelopor modernisme Islam yang menekankan pentingnya akal dan rasionalisme dalam memahami ajaran Islam. Dalam Risalat al-Tauhid, ia mengusulkan pendekatan yang lebih progresif dalam memahami Islam agar relevan dengan dunia modern.8

Abduh berpendapat bahwa Islam harus beradaptasi dengan kemajuan zaman tanpa kehilangan esensinya. Ia juga mendorong reformasi dalam sistem pendidikan Islam agar lebih inklusif terhadap ilmu pengetahuan modern.9

4.3.3.    Jamaluddin Al-Afghani (1838–1897 M) dan Pan-Islamisme

Jamaluddin Al-Afghani adalah salah satu tokoh yang memperjuangkan konsep Pan-Islamisme (Wahdatul Islam), yaitu persatuan umat Islam dalam menghadapi imperialisme Barat. Ia menekankan pentingnya kebangkitan intelektual dan politik Islam sebagai upaya melawan kolonialisme.10

Dalam karyanya, Al-Urwah al-Wuthqa, Al-Afghani menekankan bahwa umat Islam harus bersatu dalam satu kekuatan global untuk melawan hegemoni Barat dan membangun kembali kekuatan Islam yang sejati.11

4.3.4.    Hasan Al-Banna (1906–1949 M) dan Ikhwanul Muslimin

Hasan Al-Banna mendirikan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir pada tahun 1928 sebagai upaya mengembalikan Islam sebagai solusi atas permasalahan sosial dan politik umat Islam. Ia menekankan pentingnya penerapan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari dan mendorong aktivisme Islam dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan politik.12

Menurut Richard Mitchell, gerakan Ikhwanul Muslimin menjadi salah satu organisasi Islam terbesar yang menginspirasi berbagai gerakan Islam di dunia, baik dalam bidang sosial maupun politik.13

4.3.5.    Muhammad Iqbal (1877–1938 M) dan Konsep Kebangkitan Islam

Muhammad Iqbal, seorang filsuf dan penyair dari India, mengusulkan konsep kebangkitan Islam yang berbasis pada pembaharuan spiritual dan intelektual. Ia menekankan pentingnya ijtihad dan pemikiran filosofis untuk menghidupkan kembali semangat Islam.14

Iqbal mengkritik stagnasi umat Islam yang lebih banyak bergantung pada tradisi tanpa memahami esensi ajaran Islam. Dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam, ia menekankan bahwa Islam adalah agama yang dinamis dan harus terus berkembang sesuai dengan tantangan zaman.15


Kesimpulan

Munculnya gerakan tajdid dalam Islam merupakan respons terhadap kemunduran yang dialami umat Muslim selama berabad-abad. Para reformis Islam berupaya menghidupkan kembali semangat Islam yang dinamis melalui reinterpretasi ajaran agama, reformasi sosial, dan perjuangan politik. Gerakan tajdid ini tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga memiliki implikasi praktis dalam membentuk peradaban Islam di era modern.


Footnotes

[1]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Sahwah al-Islamiyyah baina al-Juhud wa al-Tatarruf (Cairo: Dar al-Syuruq, 1990), 34.

[2]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 89.

[3]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798-1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 201.

[4]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford University Press, 1933), 129.

[5]                Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 357.

[6]                Ibn Taimiyyah, Majmu' Fatawa (Riyadh: Dar al-Fikr, 2001), 12.

[7]                Yossef Rapoport, Ibn Taymiyya and His Times (Oxford: Oxford University Press, 2010), 97.

[8]                Muhammad Abduh, Risalat al-Tauhid (Cairo: Dar al-Manar, 1897), 78.

[9]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798-1939, 205.

[10]             Nikki R. Keddie, Sayyid Jamal ad-Din "al-Afghani": A Political Biography (Berkeley: University of California Press, 1972), 142.

[11]             Jamaluddin Al-Afghani, Al-Urwah al-Wuthqa (Cairo: Matba’ah al-Manar, 1884), 65.

[12]             Hasan al-Banna, Majmu'ah al-Rasa'il (Cairo: Dar al-Tawzi’ wa al-Nashr al-Islami, 1952), 51.

[13]             Richard P. Mitchell, The Society of the Muslim Brothers (Oxford: Oxford University Press, 1969), 174.

[14]             Muhammad Iqbal, Bang-e-Dra (Lahore: Iqbal Academy, 1924), 29.

[15]             Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Iqbal Academy, 1930), 87.


5.           Kesimpulan

Sejarah Islam mencatat bahwa peradaban Muslim pernah mencapai puncak kejayaan dengan berbagai pencapaian dalam bidang politik, ekonomi, militer, serta ilmu pengetahuan. Masa keemasan ini tidak hanya memberikan kontribusi besar bagi dunia Islam tetapi juga bagi peradaban global, termasuk pengaruhnya terhadap kebangkitan Eropa dalam era Renaissance.1 Kejayaan Islam didukung oleh berbagai faktor, seperti kepemimpinan yang kuat, stabilitas politik, pengembangan ilmu pengetahuan, dan sistem ekonomi yang maju. Pada masa Abbasiyah, misalnya, Baghdad menjadi pusat keilmuan dunia yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Khwarizmi, dan Al-Biruni.2

Namun, sebagaimana peradaban lain dalam sejarah, kejayaan Islam tidak bertahan selamanya. Dunia Islam mengalami kemunduran yang disebabkan oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Faktor internal seperti perpecahan politik, korupsi di kalangan penguasa, melemahnya semangat keilmuan, serta kemunduran ekonomi telah memperlemah dunia Islam dari dalam.3 Sementara itu, faktor eksternal seperti invasi Mongol yang menghancurkan Baghdad pada tahun 1258 M, Perang Salib, serta kolonialisme Barat semakin memperburuk kondisi umat Islam.4 Akibat dari faktor-faktor tersebut, dunia Islam yang sebelumnya menjadi pusat peradaban dunia mulai mengalami stagnasi, kehilangan supremasi politik, ekonomi, dan intelektual yang pernah dimilikinya.

Meskipun mengalami kemunduran, sejarah juga mencatat bahwa di setiap fase kritis, selalu muncul gerakan tajdid (pembaharuan Islam) yang berusaha mengembalikan kejayaan Islam. Gerakan ini dipelopori oleh para ulama, cendekiawan, dan pemimpin Muslim yang berusaha mereformasi pemahaman keislaman serta membangun kembali peradaban Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Ibnu Taimiyah, misalnya, menekankan pentingnya kembali kepada ajaran Islam yang murni berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis sebagai solusi atas kemunduran umat.5 Sementara itu, di era modern, tokoh seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani memperjuangkan reformasi pendidikan, sosial, dan politik untuk menghadapi tantangan zaman.6

Di sisi lain, munculnya kesadaran akan pentingnya persatuan Islam juga menjadi bagian dari upaya kebangkitan. Konsep Pan-Islamisme yang diperkenalkan oleh Jamaluddin Al-Afghani menekankan perlunya solidaritas umat Islam di seluruh dunia untuk menghadapi dominasi Barat dan membangun kembali kekuatan politik Islam.7 Selain itu, gerakan Islam modern seperti Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al-Banna menjadi salah satu bentuk aktivisme Islam yang bertujuan untuk membangun masyarakat Islam yang lebih kuat dalam bidang politik, ekonomi, dan pendidikan.8

Dari kajian ini, dapat disimpulkan bahwa kejayaan dan kemunduran Islam bukanlah suatu siklus yang terjadi secara kebetulan, melainkan akibat dari dinamika internal dan eksternal yang terus berkembang sepanjang sejarah. Umat Islam dapat belajar dari sejarah ini bahwa kejayaan hanya dapat dicapai melalui kepemimpinan yang kuat, pengembangan ilmu pengetahuan, serta penerapan nilai-nilai Islam yang mendorong kemajuan dalam segala aspek kehidupan.9 Sebaliknya, kemunduran akan terjadi jika umat Islam lengah terhadap tantangan zaman, terjebak dalam konflik internal, dan gagal mengembangkan potensi intelektual serta ekonomi mereka.

Oleh karena itu, sebagai generasi Muslim masa kini, penting untuk memahami pelajaran dari sejarah ini agar dapat mengambil langkah-langkah strategis dalam membangun kembali kejayaan Islam. Dengan memperkuat pendidikan, memajukan teknologi, serta menjaga persatuan dan moralitas, umat Islam dapat kembali berperan sebagai pelopor dalam peradaban dunia.10 Sebagaimana yang ditegaskan oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam, kebangkitan Islam harus dimulai dari transformasi intelektual dan spiritual yang dapat membangun peradaban Islam yang progresif di era modern.11


Footnotes

[1]                Bernard Lewis, The Middle East: A Brief History of the Last 2,000 Years (New York: Simon & Schuster, 1995), 143.

[2]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 87.

[3]                Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 278.

[4]                Hugh Kennedy, The Mongol Conquests and the Making of the Modern World (New York: Crown, 2004), 103.

[5]                Yossef Rapoport, Ibn Taymiyya and His Times (Oxford: Oxford University Press, 2010), 74.

[6]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798-1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 193.

[7]                Nikki R. Keddie, Sayyid Jamal ad-Din "al-Afghani": A Political Biography (Berkeley: University of California Press, 1972), 112.

[8]                Richard P. Mitchell, The Society of the Muslim Brothers (Oxford: Oxford University Press, 1969), 154.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 102.

[10]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 119.

[11]             Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Iqbal Academy, 1930), 95.


Daftar Pustaka

Abduh, M. (1897). Risalat al-Tauhid. Cairo: Dar al-Manar.

Adams, C. C. (1933). Islam and Modernism in Egypt. London: Oxford University Press.

Afghani, J. (1884). Al-Urwah al-Wuthqa. Cairo: Matba’ah al-Manar.

Babinger, F. (1992). Mehmed the Conqueror and His Time. Princeton: Princeton University Press.

Eddé, A. M. (2011). Saladin. Cambridge: Harvard University Press.

Hourani, A. (1983). Arabic Thought in the Liberal Age: 1798-1939. Cambridge: Cambridge University Press.

Hourani, A. (1991). A History of the Arab Peoples. Cambridge: Harvard University Press.

Hitti, P. K. (1970). History of the Arabs. London: Macmillan.

Hodgson, M. G. S. (1974). The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization. Chicago: University of Chicago Press.

Ibn Khaldun. (1958). Muqaddimah. Princeton: Princeton University Press.

Ibn Taimiyyah. (2001). Majmu' Fatawa. Riyadh: Dar al-Fikr.

Iqbal, M. (1924). Bang-e-Dra. Lahore: Iqbal Academy.

Iqbal, M. (1930). The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Lahore: Iqbal Academy.

Inalcik, H. (1973). The Ottoman Empire: The Classical Age 1300-1600. London: Weidenfeld & Nicolson.

Kennedy, H. (2001). The Armies of the Caliphs: Military and Society in the Early Islamic State. London: Routledge.

Kennedy, H. (2004). The Mongol Conquests and the Making of the Modern World. New York: Crown.

Keddie, N. R. (1972). Sayyid Jamal ad-Din "al-Afghani": A Political Biography. Berkeley: University of California Press.

Lapidus, I. M. (2002). A History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University Press.

Lewis, B. (1993). Islam and the West. Oxford: Oxford University Press.

Lewis, B. (1995). The Middle East: A Brief History of the Last 2,000 Years. New York: Simon & Schuster.

Lewis, B. (2002). What Went Wrong? The Clash Between Islam and Modernity in the Middle East. New York: Oxford University Press.

Menocal, M. R. (2002). The Ornament of the World: How Muslims, Jews, and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain. New York: Little, Brown & Co.

Mitchell, R. P. (1969). The Society of the Muslim Brothers. Oxford: Oxford University Press.

Nasr, S. H. (1968). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.

Qaradawi, Y. (1990). Al-Sahwah al-Islamiyyah baina al-Juhud wa al-Tatarruf. Cairo: Dar al-Syuruq.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Rapoport, Y. (2010). Ibn Taymiyya and His Times. Oxford: Oxford University Press.

Rashed, R. (2009). Al-Khwarizmi: The Beginnings of Algebra. London: Saqi Books.

Saliba, G. (2007). Islamic Science and the Making of the European Renaissance. Cambridge: MIT Press.

Strohmaier, G. (2007). Avicenna and the Canon of Medicine. Oxford: Oxford University Press.

Toynbee, A. J. (1947). A Study of History. London: Oxford University Press.

Watson, A. M. (1983). Agricultural Innovation in the Early Islamic World. Cambridge: Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar