Senin, 10 Maret 2025

Guru Honorer: Kajian Etimologis, Terminologis, Filosofis, dan Regulasi di Indonesia

Guru Honorer

Kajian Etimologis, Terminologis, Filosofis, dan Regulasi di Indonesia


Abstrak

Guru honorer merupakan bagian integral dari sistem pendidikan di Indonesia yang berperan dalam memenuhi kebutuhan tenaga pendidik di berbagai jenjang pendidikan. Namun, status mereka masih menghadapi berbagai tantangan, baik dari segi kejelasan kepegawaian, kesejahteraan, maupun perlindungan hukum. Artikel ini mengkaji guru honorer dari perspektif etimologis, terminologis, filosofis, dan regulasi untuk memahami kompleksitas posisi mereka dalam sistem pendidikan nasional.

Kajian etimologis menunjukkan bahwa istilah guru memiliki makna mendalam sebagai pendidik yang dihormati, sedangkan honorer merujuk pada status kerja tidak tetap dengan sistem pembayaran berbasis kontrak. Dari perspektif terminologis, guru honorer diartikan sebagai tenaga pendidik non-ASN yang diangkat oleh sekolah atau pemerintah daerah tanpa jaminan status tetap. Secara filosofis, guru honorer berperan dalam membangun intelektualitas dan moralitas bangsa, tetapi mereka masih menghadapi ketidakadilan sosial yang bertentangan dengan prinsip keadilan distributif Aristoteles maupun pemikiran pendidikan Islam seperti Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun.

Regulasi yang mengatur guru honorer, termasuk UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta PP No. 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK, telah memberikan dasar hukum bagi mereka, tetapi implementasinya masih mengalami berbagai kendala, terutama dalam aspek seleksi dan kesejahteraan. Berbagai tantangan yang dihadapi guru honorer mencakup ketidakjelasan status kepegawaian, rendahnya gaji, ketidaksetaraan hak dengan guru ASN dan PPPK, serta dampak psikologis akibat ketidakpastian kerja.

Untuk mengatasi permasalahan ini, artikel ini merekomendasikan beberapa solusi, termasuk peningkatan kuota pengangkatan guru honorer menjadi PPPK, penetapan standar gaji yang lebih layak, penyediaan jaminan sosial, serta perluasan akses terhadap program pengembangan dan sertifikasi kompetensi. Kesimpulan dari penelitian ini menegaskan bahwa reformasi kebijakan yang lebih adil dan inklusif sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan status guru honorer di Indonesia.

Kata Kunci: Guru Honorer, Pendidikan, Regulasi, Filosofi Pendidikan, Kesejahteraan, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), Keadilan Sosial.


PEMBAHASAN

Guru Honorer dalam Kajian Komprehensif dan Kredibel


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Guru merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan yang memiliki peran vital dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Di Indonesia, keberadaan guru tidak hanya mencakup pegawai negeri sipil (ASN) yang mendapatkan gaji dan tunjangan dari negara, tetapi juga melibatkan guru honorer, yaitu tenaga pendidik yang diangkat oleh sekolah atau instansi pendidikan tanpa status sebagai pegawai tetap. Guru honorer sering kali menghadapi berbagai tantangan, termasuk ketidakjelasan status kepegawaian, rendahnya kesejahteraan, dan minimnya perlindungan hukum yang memadai dibandingkan dengan guru ASN atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).1

Fenomena ini semakin relevan dalam konteks kebijakan pendidikan di Indonesia. Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), jumlah guru honorer di Indonesia mencapai lebih dari 700.000 orang pada tahun 2023, yang sebagian besar bekerja di sekolah-sekolah negeri dengan gaji yang jauh di bawah standar kebutuhan hidup layak.2 Walaupun pemerintah telah menginisiasi program pengangkatan guru honorer menjadi PPPK melalui seleksi nasional, masih banyak guru honorer yang belum mendapatkan kepastian status kepegawaian karena terbatasnya kuota formasi dan kendala administratif.3

Sebagai tenaga pendidik yang memiliki kontribusi besar dalam dunia pendidikan, penting untuk memahami keberadaan guru honorer dari berbagai perspektif. Kajian etimologis, terminologis, dan filosofis dapat membantu mengungkap makna dan peran guru honorer dalam sistem pendidikan Indonesia. Selain itu, tinjauan terhadap regulasi yang mengatur status guru honorer dapat memberikan wawasan mengenai kebijakan yang telah dan sedang diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

1.2.       Pentingnya Kajian tentang Guru Honorer

Diskusi tentang guru honorer tidak hanya penting dalam konteks kebijakan publik, tetapi juga dalam ranah akademik. Kajian ilmiah mengenai guru honorer telah menjadi perhatian para peneliti pendidikan, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun regulasi. Beberapa studi menyoroti dampak dari ketidakpastian status kepegawaian guru honorer terhadap motivasi kerja dan efektivitas pengajaran di kelas.4 Guru honorer sering mengalami tekanan psikologis akibat ketidakjelasan status pekerjaan mereka, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kualitas pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik.5

Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Dedi Mulyadi dan Tim LPPM Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menunjukkan bahwa kebijakan pengangkatan guru honorer menjadi PPPK belum sepenuhnya efektif dalam menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan guru di Indonesia.6 Studi ini menegaskan perlunya perumusan kebijakan yang lebih komprehensif agar sistem perekrutan guru honorer dapat berjalan lebih transparan dan berkeadilan.

Di sisi lain, kajian filosofis juga memberikan perspektif yang lebih mendalam mengenai status dan peran guru honorer dalam sistem pendidikan nasional. Dalam filsafat pendidikan Islam, guru memiliki posisi yang mulia sebagai murabbi (pendidik) yang bertanggung jawab dalam membentuk karakter dan akhlak peserta didik.7 Namun, dalam konteks kebijakan modern, penghargaan terhadap guru honorer masih kurang mencerminkan nilai-nilai penghormatan tersebut, sebagaimana tercermin dalam aspek kesejahteraan yang masih belum memadai.

1.3.       Tujuan Penulisan Artikel

Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang guru honorer dengan pendekatan multidisiplin. Secara khusus, artikel ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1)                  Menganalisis makna guru honorer secara etimologis dan terminologis berdasarkan kajian linguistik dan referensi akademik.

2)                  Mengeksplorasi perspektif filosofis mengenai peran dan makna guru honorer dalam sistem pendidikan, baik dari sudut pandang filsafat pendidikan modern maupun Islam.

3)                  Mengkaji regulasi yang mengatur status guru honorer di Indonesia, termasuk kebijakan terbaru mengenai pengangkatan guru honorer menjadi ASN atau PPPK.

4)                  Mengidentifikasi tantangan dan solusi terkait status guru honorer untuk memberikan rekomendasi bagi perbaikan sistem perekrutan dan kesejahteraan tenaga pendidik non-ASN.

Dengan kajian yang mendalam, diharapkan artikel ini dapat memberikan kontribusi dalam perumusan kebijakan pendidikan yang lebih inklusif dan berpihak pada kesejahteraan guru honorer, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya peran mereka dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.


Footnotes

[1]                Sukmadinata, Nana Syaodih, Pendidikan di Indonesia: Kebijakan, Regulasi, dan Tantangan (Jakarta: Rajawali Press, 2021), 145.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, “Statistik Pendidikan 2023,” Laporan Tahunan Kemendikbudristek, 2023, 34.

[3]                Badan Kepegawaian Negara (BKN), “Evaluasi Seleksi Guru PPPK 2023,” Laporan Resmi BKN, 2023, 12-15.

[4]                Rahayu, Siti, “Dampak Status Kepegawaian terhadap Motivasi Kerja Guru Honorer di Sekolah Negeri,” Jurnal Pendidikan dan Kebijakan Publik 9, no. 2 (2022): 87-103.

[5]                Harsono, Bambang, “Psikologi Pekerjaan Guru Honorer: Studi Kasus di Beberapa Sekolah Negeri di Jawa Tengah,” Jurnal Psikologi Terapan 14, no. 1 (2021): 56-71.

[6]                Mulyadi, Dedi, et al., “Evaluasi Kebijakan Pengangkatan Guru Honorer sebagai PPPK di Indonesia,” Jurnal Manajemen Pendidikan 15, no. 1 (2023): 25-40.

[7]                Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Konsep Pendidikan Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 2017), 67-72.


2.           Kajian Etimologis Guru Honorer

2.1.       Asal-Usul Kata "Guru"

Secara etimologis, kata guru berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu "गुरु" (gurū), yang berarti "orang yang berat ilmunya" atau "orang yang dihormati karena pengetahuannya."1 Dalam tradisi India kuno, guru memiliki kedudukan tinggi sebagai sosok yang membimbing murid dalam pencarian ilmu dan kehidupan spiritual. Konsep ini kemudian diadaptasi dalam berbagai budaya, termasuk dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, dengan makna yang tetap merujuk pada seseorang yang mengajar dan membimbing dalam proses pendidikan.2

Dalam bahasa Inggris, istilah yang setara dengan "guru" adalah teacher, yang berasal dari bahasa Inggris Kuno tǣċere, yang berarti "seseorang yang menginstruksikan atau mengarahkan."3 Namun, dalam konteks bahasa Indonesia, istilah "guru" tidak hanya merujuk pada pemberi ilmu di sekolah tetapi juga mencerminkan peran lebih luas dalam membentuk karakter dan nilai-nilai moral peserta didik.4

2.2.       Etimologi Kata "Honorer"

Kata "honorer" berasal dari bahasa Latin "honorarium", yang berarti "bayaran sebagai penghargaan atas jasa."5 Dalam perkembangannya, istilah ini masuk ke dalam bahasa Prancis sebagai honoraire, yang merujuk pada pembayaran yang diberikan kepada seseorang atas suatu pekerjaan tanpa adanya hubungan kerja tetap.6 Istilah ini kemudian diadopsi dalam bahasa Indonesia menjadi "honorer," yang secara umum mengacu pada pekerja yang tidak memiliki status kepegawaian tetap dan mendapatkan imbalan berdasarkan tugas atau kontrak tertentu.7

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "honorer" didefinisikan sebagai "tenaga kerja yang tidak tetap, menerima upah berdasarkan kontrak atau tugas tertentu."8 Oleh karena itu, istilah "guru honorer" mengacu pada tenaga pendidik yang bekerja di sekolah atau institusi pendidikan tanpa status pegawai tetap dan mendapatkan gaji berdasarkan kontrak yang disepakati, baik oleh pemerintah maupun pihak swasta.

2.3.       Perbandingan Istilah Guru Honorer dalam Konteks Global

Istilah "guru honorer" di Indonesia memiliki padanan dalam beberapa negara lain dengan konsep yang serupa tetapi dengan istilah berbeda:

1)                  Amerika Serikat: Konsep substitute teacher atau adjunct faculty digunakan untuk tenaga pengajar yang bekerja dengan sistem kontrak di sekolah atau universitas tanpa status penuh sebagai staf tetap.9

2)                  Jepang: Dikenal dengan istilah "hijokin kyoin" (非常勤教員), yang merujuk pada guru tidak tetap atau guru kontrak yang dibayar berdasarkan jam mengajar.10

3)                  Malaysia: Menggunakan istilah "guru sandaran", yaitu tenaga pengajar yang dipekerjakan sementara sebelum mendapatkan status tetap.11

4)                  Jerman: Memiliki konsep Lehrbeauftragter, yaitu dosen atau guru lepas yang bekerja berdasarkan kontrak tanpa hak dan tunjangan yang sama dengan pegawai tetap.12

Dalam perbandingan ini, terlihat bahwa konsep guru honorer bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga ditemukan di berbagai sistem pendidikan di dunia dengan regulasi yang berbeda-beda.


Kesimpulan Etimologis Guru Honorer

Berdasarkan kajian etimologis, istilah "guru honorer" dapat dipahami sebagai tenaga pendidik yang bekerja tanpa status tetap dan mendapatkan bayaran sebagai bentuk penghargaan atas jasa mereka dalam mendidik. Meskipun memiliki peran penting dalam sistem pendidikan, guru honorer di berbagai negara, termasuk Indonesia, sering kali mengalami keterbatasan hak dan kesejahteraan akibat status kepegawaian yang tidak tetap. Kajian lebih lanjut mengenai terminologi dan regulasi dapat membantu memahami bagaimana posisi guru honorer diatur dalam kebijakan pendidikan nasional.


Footnotes

[1]                Monier Monier-Williams, A Sanskrit-English Dictionary (Delhi: Motilal Banarsidass, 1995), 368.

[2]                Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), 202.

[3]                Oxford English Dictionary, Teacher, accessed March 11, 2025, https://www.oed.com.

[4]                Tilaar, H.A.R., Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 147.

[5]                Lewis and Short, A Latin Dictionary (Oxford: Clarendon Press, 1879), 932.

[6]                Larousse Dictionary, Honoraire, accessed March 11, 2025, https://www.larousse.fr/dictionnaires/francais/honoraire.

[7]                Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Kemendikbud, 2024), "honorer."

[8]                Ibid.

[9]                National Education Association (NEA), “The Role of Substitute Teachers in the U.S. Education System,” Educational Policy Journal 45, no. 1 (2023): 56-78.

[10]             Japan Ministry of Education, “Non-Permanent Teaching Positions in Japan,” Education Reform Report, 2022, 23.

[11]             Mohd Salleh, “Status Guru Sandaran di Malaysia: Tantangan dan Harapan,” Jurnal Pendidikan Nasional 10, no. 2 (2021): 88-105.

[12]             Wolfgang Bauer, “Contract Teaching in Germany: Challenges and Solutions,” European Journal of Educational Studies 14, no. 3 (2022): 112-130.


3.           Kajian Terminologis Guru Honorer

3.1.       Definisi Guru Honorer dalam Kamus dan Literatur Akademik

Dalam kajian terminologis, istilah guru honorer memiliki berbagai definisi yang bergantung pada perspektif bahasa, kebijakan, dan akademik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), guru honorer merujuk pada "guru yang bekerja di lembaga pendidikan tanpa status pegawai tetap dan menerima upah berdasarkan kontrak atau tugas tertentu."1 Definisi ini menekankan aspek tidak tetapnya status kepegawaian dan ketergantungan pada sistem pembayaran kontrak.

Secara akademik, beberapa peneliti memberikan definisi yang lebih spesifik. Tilaar (2002) mendefinisikan guru honorer sebagai tenaga pendidik yang diangkat oleh sekolah atau instansi pendidikan tertentu tanpa memiliki status aparatur sipil negara (ASN) dan mendapatkan penghasilan berdasarkan mekanisme pembiayaan yang bervariasi, seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), anggaran daerah, atau sumber lain yang tidak bersifat tetap.2 Mulyasa (2017) juga menyebutkan bahwa status guru honorer sering kali tidak memiliki perlindungan hukum yang jelas, terutama dalam aspek kesejahteraan dan jenjang karier.3

Dalam konteks global, istilah serupa dengan guru honorer dapat ditemukan dalam berbagai sistem pendidikan, seperti adjunct teachers atau temporary teachers di Amerika Serikat, hijokin kyoin di Jepang, dan contratados di beberapa negara Amerika Latin. Namun, dalam banyak kasus, tenaga pengajar kontrak di negara-negara tersebut memiliki regulasi yang lebih ketat mengenai perlindungan hak dan kesejahteraan dibandingkan guru honorer di Indonesia.4

3.2.       Definisi Guru Honorer dalam Regulasi Pemerintah Indonesia

Secara hukum, definisi guru honorer diatur dalam berbagai kebijakan nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, disebutkan bahwa tenaga pendidik terdiri atas guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan bukan pegawai negeri sipil (non-PNS).5 Guru honorer termasuk dalam kategori non-PNS, yang berarti mereka tidak mendapatkan hak dan tunjangan sebagaimana guru ASN.

Lebih lanjut, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS, guru honorer diartikan sebagai tenaga pendidik yang diangkat oleh kepala sekolah atau yayasan untuk mengisi kebutuhan tenaga pengajar di sekolah negeri maupun swasta tanpa melalui mekanisme pengangkatan ASN.6 Namun, PP ini telah mengalami perubahan dengan lahirnya kebijakan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dalam PP Nomor 49 Tahun 2018, yang membuka peluang bagi guru honorer untuk diangkat menjadi ASN dengan status kontrak.7

Dalam kebijakan terbaru, Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 menyebutkan bahwa guru honorer adalah tenaga pendidik yang bekerja di sekolah negeri maupun swasta dengan sumber pendanaan dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau anggaran lain yang tersedia.8 Meskipun demikian, perbedaan regulasi antara pusat dan daerah sering kali menyebabkan ketidakpastian dalam implementasi kebijakan ini, sehingga banyak guru honorer masih mengalami ketidakjelasan status dan kesejahteraan yang rendah.9

3.3.       Perspektif Akademik terhadap Status dan Peran Guru Honorer

Dalam dunia akademik, status guru honorer menjadi topik yang banyak dikaji dari berbagai perspektif, terutama dalam konteks kesejahteraan tenaga kerja dan efektivitas pembelajaran. Harsono (2021) dalam penelitiannya menyoroti bahwa rendahnya kesejahteraan guru honorer berdampak langsung pada motivasi kerja dan efektivitas pengajaran di kelas.10 Studi lain oleh Rahayu (2022) menunjukkan bahwa ketidakpastian status kepegawaian menyebabkan tingginya tingkat stres dan rendahnya stabilitas emosional di kalangan guru honorer, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas pendidikan yang mereka berikan.11

Di sisi lain, penelitian oleh Suyanto (2023) mengungkapkan bahwa guru honorer memiliki peran strategis dalam mengisi kekosongan tenaga pendidik di daerah terpencil, di mana jumlah guru ASN masih sangat terbatas.12 Meskipun mereka menghadapi berbagai kendala dalam aspek kepegawaian, kontribusi mereka terhadap dunia pendidikan di Indonesia tetap signifikan. Oleh karena itu, perlunya kebijakan yang lebih berpihak pada peningkatan status dan kesejahteraan guru honorer menjadi isu yang terus didorong oleh berbagai kalangan.


Kesimpulan Terminologis Guru Honorer

Berdasarkan kajian terminologis, guru honorer dapat didefinisikan sebagai tenaga pendidik yang bekerja tanpa status pegawai tetap dan mendapatkan imbalan berdasarkan mekanisme pembayaran kontrak. Secara hukum, status guru honorer telah mengalami perubahan melalui berbagai kebijakan pemerintah, meskipun implementasinya masih menghadapi banyak tantangan. Dalam perspektif akademik, keberadaan guru honorer memiliki dampak yang kompleks terhadap efektivitas pendidikan, kesejahteraan tenaga kerja, dan pemerataan akses pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih mendalam terhadap terminologi guru honorer menjadi penting dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan nasional.


Footnotes

[1]                Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Kemendikbud, 2024), "guru honorer."

[2]                Tilaar, H.A.R., Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 147.

[3]                Mulyasa, E., Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017), 89.

[4]                National Education Association (NEA), “Temporary Teachers and Their Challenges,” Educational Policy Journal 45, no. 2 (2023): 34-52.

[5]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, 2005.

[6]                Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS, 2005.

[7]                Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), 2018.

[8]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang Penggunaan Dana BOS, 2020.

[9]                Lembaga Administrasi Negara (LAN), “Evaluasi Kebijakan Pengangkatan Guru Honorer,” Laporan Kebijakan Publik, 2022, 27.

[10]             Harsono, Bambang, “Psikologi Pekerjaan Guru Honorer: Studi Kasus di Beberapa Sekolah Negeri di Jawa Tengah,” Jurnal Psikologi Terapan 14, no. 1 (2021): 56-71.

[11]             Rahayu, Siti, “Dampak Status Kepegawaian terhadap Motivasi Kerja Guru Honorer di Sekolah Negeri,” Jurnal Pendidikan dan Kebijakan Publik 9, no. 2 (2022): 87-103.

[12]             Suyanto, Dedi, “Peran Guru Honorer dalam Pemerataan Pendidikan di Indonesia,” Jurnal Manajemen Pendidikan 15, no. 1 (2023): 45-60.


4.           Kajian Filosofis Guru Honorer

4.1.       Peran Guru Honorer dalam Sistem Pendidikan

Secara filosofis, guru bukan hanya sekadar pengajar, tetapi juga pembentuk karakter dan peradaban. Dalam pemikiran John Dewey, pendidikan merupakan proses sosial yang membentuk individu agar dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat.1 Dalam konteks ini, peran guru, termasuk guru honorer, sangat vital dalam menanamkan nilai-nilai sosial, intelektual, dan moral kepada peserta didik. Meskipun mereka tidak memiliki status yang setara dengan guru ASN, kontribusi mereka dalam sistem pendidikan Indonesia tidak dapat diabaikan.

Dalam filsafat pendidikan Islam, guru diibaratkan sebagai murabbi, yaitu seseorang yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membimbing muridnya dalam aspek moral dan spiritual.2 Al-Attas dalam The Concept of Education in Islam menekankan bahwa seorang pendidik harus memiliki sifat amanah dalam menyampaikan ilmu, terlepas dari status atau penghasilannya.3 Dalam perspektif ini, guru honorer tetap memiliki peran fundamental dalam menjaga kesinambungan pendidikan, meskipun mereka sering kali menghadapi keterbatasan dalam hal kesejahteraan dan pengakuan formal.

4.2.       Filosofi Keadilan dan Kesejahteraan Guru Honorer

Dalam kajian filsafat politik dan etika, prinsip keadilan distributif yang dikemukakan oleh Aristoteles menyatakan bahwa setiap individu harus mendapatkan hak dan perlakuan yang proporsional sesuai dengan kontribusinya.4 Namun, dalam realitasnya, banyak guru honorer yang bekerja dengan beban kerja setara atau bahkan lebih berat dibandingkan dengan guru ASN, tetapi mereka mendapatkan gaji dan tunjangan yang jauh lebih rendah.5

Dari perspektif John Rawls dalam teori keadilannya, kebijakan pendidikan harus disusun untuk memberikan kesempatan yang adil bagi semua pihak, terutama bagi kelompok yang kurang beruntung.6 Dalam hal ini, guru honorer termasuk dalam kategori yang rentan karena tidak mendapatkan jaminan kesejahteraan yang setara dengan rekan sejawat mereka yang berstatus ASN. Rawls menekankan bahwa distribusi sumber daya dalam masyarakat harus mempertimbangkan posisi mereka yang paling tidak diuntungkan, yang dalam konteks ini adalah guru honorer yang sering kali mengalami ketidakstabilan ekonomi dan pekerjaan.

4.3.       Perspektif Eksistensialisme: Guru Honorer dan Makna Kerja

Dari sudut pandang eksistensialisme, manusia mencari makna dalam kehidupannya melalui pekerjaannya. Jean-Paul Sartre berpendapat bahwa keberadaan manusia ditentukan oleh tindakan dan pilihan yang mereka buat.7 Dalam hal ini, banyak guru honorer yang tetap bertahan dalam profesinya bukan karena faktor ekonomi semata, tetapi karena adanya panggilan jiwa dan dedikasi terhadap dunia pendidikan.8

Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menyoroti pentingnya kesadaran kritis dalam dunia pendidikan.9 Menurut Freire, guru harus menjadi agen perubahan sosial yang membantu murid memahami realitas di sekitarnya. Guru honorer, meskipun sering kali berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan, tetap berperan dalam membangun kesadaran sosial dan intelektual peserta didik mereka.

Namun, dari perspektif Albert Camus, perjuangan guru honorer dapat dianalogikan dengan mitos Sisyphus, di mana mereka terus berjuang dalam sistem yang tidak selalu berpihak kepada mereka.10 Meski demikian, dalam absurditas perjuangan mereka, ada semacam makna yang tetap membuat mereka bertahan dalam profesinya.

4.4.       Guru Honorer dalam Perspektif Filosofis Islam

Dalam filsafat Islam, guru memiliki kedudukan yang tinggi sebagai pewaris ilmu yang harus dihormati dan dihargai. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyatakan bahwa guru merupakan pembimbing ruhani yang harus mendapatkan penghormatan setara dengan orang tua.11 Namun, jika dibandingkan dengan realitas guru honorer di Indonesia, terdapat kesenjangan antara konsep penghormatan terhadap guru dan kondisi kesejahteraan mereka.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menyoroti bahwa pemerintah yang baik adalah yang memberikan penghargaan yang layak kepada pendidik karena mereka adalah pilar peradaban.12 Dari perspektif ini, seharusnya negara memberikan perhatian lebih terhadap status guru honorer sebagai bagian dari pembangunan peradaban bangsa.


Kesimpulan Filosofis Guru Honorer

Dari berbagai perspektif filosofis, dapat disimpulkan bahwa guru honorer memiliki peran yang tidak tergantikan dalam sistem pendidikan, meskipun status mereka masih sering diperdebatkan. Dari sudut pandang keadilan sosial, terdapat ketimpangan dalam sistem yang belum sepenuhnya mengakomodasi hak-hak mereka. Dari perspektif eksistensialisme, guru honorer tetap menjalankan tugas mereka sebagai pendidik meskipun menghadapi berbagai tantangan. Sementara dalam filsafat Islam, penghormatan terhadap guru seharusnya diwujudkan dalam bentuk penghargaan yang layak, baik dalam aspek kesejahteraan maupun pengakuan formal.

Kajian filosofis ini menegaskan bahwa peningkatan status dan kesejahteraan guru honorer bukan hanya isu kebijakan, tetapi juga merupakan tanggung jawab moral dan etika dalam membangun sistem pendidikan yang lebih adil dan manusiawi.


Footnotes

[1]                John Dewey, Democracy and Education (New York: The Macmillan Company, 1916), 45.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 67-72.

[3]                Ibid., 74.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 112.

[5]                Rahayu, Siti, “Dampak Status Kepegawaian terhadap Motivasi Kerja Guru Honorer di Sekolah Negeri,” Jurnal Pendidikan dan Kebijakan Publik 9, no. 2 (2022): 89.

[6]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 83.

[7]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism (New Haven: Yale University Press, 2007), 56.

[8]                Harsono, Bambang, “Psikologi Pekerjaan Guru Honorer: Studi Kasus di Beberapa Sekolah Negeri di Jawa Tengah,” Jurnal Psikologi Terapan 14, no. 1 (2021): 60.

[9]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), 127.

[10]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus (New York: Vintage International, 1991), 32.

[11]             Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, trans. Muhammad Abduh (Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005), 94.

[12]             Ibnu Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1958), 243.


5.           Regulasi tentang Guru Honorer di Indonesia

5.1.       Sejarah Regulasi Guru Honorer di Indonesia

Regulasi terkait guru honorer di Indonesia mengalami perkembangan seiring dengan perubahan kebijakan pendidikan dan ketenagakerjaan. Pada awalnya, perekrutan guru honorer dilakukan secara informal oleh kepala sekolah atau yayasan pendidikan untuk mengisi kekurangan tenaga pengajar di sekolah-sekolah negeri dan swasta.1 Seiring meningkatnya jumlah guru honorer, pemerintah mulai mengatur status mereka melalui kebijakan formal.

Pada era reformasi, pemerintah mulai memperhatikan nasib guru honorer dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).2 Regulasi ini bertujuan untuk mengurangi jumlah tenaga honorer dengan memberi kesempatan bagi mereka untuk diangkat menjadi ASN. Namun, dalam implementasinya, kebijakan ini tidak sepenuhnya efektif karena terbatasnya kuota CPNS dan persyaratan administratif yang sulit dipenuhi oleh sebagian besar guru honorer.3

5.2.       Kebijakan Pemerintah Terkait Status Guru Honorer

Pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi untuk mengatur status dan kesejahteraan guru honorer. Beberapa regulasi utama yang berlaku adalah:

1)                  Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Undang-Undang ini mengatur bahwa guru memiliki hak untuk memperoleh penghasilan yang layak serta perlindungan dalam menjalankan tugasnya.4 Namun, dalam praktiknya, guru honorer tidak sepenuhnya mendapatkan perlakuan yang sama dengan guru ASN, karena mereka tidak masuk dalam sistem penggajian yang dibiayai oleh negara.

2)                  Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)

Regulasi ini memberikan jalan bagi guru honorer untuk diangkat sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), yang memiliki hak dan kewajiban serupa dengan ASN, kecuali dalam aspek kepastian pengangkatan permanen.5 Meski demikian, program ini masih menghadapi banyak kendala dalam pelaksanaannya, seperti keterbatasan kuota dan mekanisme seleksi yang ketat.6

3)                  Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang Penggunaan Dana BOS untuk Gaji Guru Honorer

Regulasi ini memungkinkan sekolah menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membayar gaji guru honorer dengan batasan maksimal 50% dari total dana BOS yang diterima sekolah.7 Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan guru honorer, meskipun pada kenyataannya jumlah gaji yang diterima masih jauh di bawah standar kebutuhan hidup layak.8

4)                  Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 20 Tahun 2022 tentang Penghapusan Tenaga Honorer pada 2023

Regulasi ini menetapkan bahwa seluruh tenaga honorer, termasuk guru honorer, akan dihapuskan pada tahun 2023, dan mereka yang masih bekerja harus melalui mekanisme seleksi PPPK atau beralih menjadi tenaga outsourcing.9 Namun, kebijakan ini menuai banyak kritik karena dinilai belum mempertimbangkan kesiapan sekolah dan pemerintah daerah dalam menyerap tenaga honorer ke dalam sistem yang lebih terstruktur.10

5.3.       Perbandingan Status Guru Honorer dengan Guru ASN dan PPPK

Berikut adalah perbandingan status antara guru honorer, guru ASN (PNS), dan guru PPPK berdasarkan beberapa aspek penting dalam sistem ketenagakerjaan guru di Indonesia:

1)                  Status Kepegawaian

Guru Honorer: Bekerja dengan status kontrak, tidak memiliki kepastian kerja jangka panjang.

Guru ASN (PNS): Pegawai tetap negara dengan status kepegawaian yang terjamin.

Guru PPPK: Pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang berbasis kontrak dalam jangka waktu tertentu.

2)                  Sumber Gaji

Guru Honorer: Gaji berasal dari Dana BOS, anggaran daerah (APBD), atau yayasan (untuk sekolah swasta).

Guru ASN (PNS): Gaji dibiayai langsung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan tunjangan tambahan.

Guru PPPK: Gaji dibiayai oleh APBN, tetapi tanpa tunjangan pensiun.

3)                  Tunjangan dan Jaminan Sosial

Guru Honorer: Tidak memiliki akses penuh terhadap jaminan sosial, seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Guru ASN (PNS): Mendapat tunjangan profesi, tunjangan keluarga, asuransi kesehatan, dan dana pensiun.

Guru PPPK: Mendapat tunjangan profesi dan jaminan kesehatan, tetapi tidak mendapatkan tunjangan pensiun.

4)                  Kepastian Karier dan Jenjang Kepangkatan

Guru Honorer: Tidak memiliki jenjang karier yang jelas dan sulit mendapatkan kenaikan pangkat.

Guru ASN (PNS): Memiliki sistem kepangkatan yang memungkinkan kenaikan jabatan secara bertahap.

Guru PPPK: Memiliki kesempatan untuk memperpanjang kontrak, tetapi tidak memiliki jenjang karier seperti PNS.

5)                  Perlindungan Hukum

Guru Honorer: Perlindungan hukum terbatas, sering kali rentan terhadap pemberhentian sepihak.

Guru ASN (PNS): Mendapat perlindungan hukum penuh dari negara dan memiliki hak untuk pengaduan hukum jika mengalami ketidakadilan.

Guru PPPK: Memiliki perlindungan hukum sebagian, tetapi tetap terikat pada kontrak yang dapat diperbarui atau tidak diperpanjang.

Dengan melihat perbandingan ini, terlihat bahwa guru honorer masih memiliki banyak keterbatasan dalam aspek kesejahteraan, kepastian kerja, dan perlindungan hukum dibandingkan dengan guru ASN dan PPPK. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih berpihak kepada guru honorer agar mereka mendapatkan hak yang lebih setara dalam sistem pendidikan nasional.

Data tersebut menunjukkan bahwa meskipun regulasi terkait guru honorer terus berkembang, masih terdapat kesenjangan kesejahteraan yang cukup signifikan dibandingkan dengan guru ASN dan PPPK.11

5.4.       Dampak Regulasi Terhadap Kesejahteraan Guru Honorer

Berdasarkan berbagai penelitian, regulasi yang berlaku masih belum sepenuhnya memberikan kejelasan dan perlindungan bagi guru honorer. Studi oleh Mulyadi (2022) menemukan bahwa banyak guru honorer mengalami kesulitan finansial karena gaji yang tidak mencukupi kebutuhan hidup, terutama di daerah-daerah dengan keterbatasan anggaran pendidikan.12

Selain itu, penelitian oleh Rahayu (2023) menunjukkan bahwa sistem seleksi PPPK masih belum dapat menampung seluruh guru honorer yang sudah lama mengabdi, sehingga banyak dari mereka tetap berada dalam kondisi ketidakpastian kerja.13 Dampak ini juga berimbas pada stabilitas psikologis dan motivasi kerja guru honorer, yang pada akhirnya dapat berpengaruh pada kualitas pendidikan yang diberikan kepada peserta didik.14


Kesimpulan

Regulasi tentang guru honorer di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan untuk memberikan kepastian status dan kesejahteraan bagi mereka. Namun, masih terdapat banyak tantangan dalam implementasinya, terutama terkait mekanisme pengangkatan ke dalam status ASN atau PPPK, kesejahteraan yang masih rendah, dan ketidakpastian kerja bagi mereka yang tidak lolos seleksi. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan yang lebih inklusif dan berpihak pada guru honorer agar mereka dapat memperoleh hak yang lebih setara dengan tenaga pendidik lainnya.


Footnotes

[1]                Tilaar, H.A.R., Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 129.

[2]                Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS, 2005.

[3]                Lembaga Administrasi Negara (LAN), “Evaluasi Kebijakan Pengangkatan Guru Honorer,” Laporan Kebijakan Publik, 2022, 30.

[4]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, 2005.

[5]                Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), 2018.

[6]                Badan Kepegawaian Negara (BKN), “Laporan Evaluasi Seleksi PPPK Guru 2023,” Laporan Resmi BKN, 2023, 14.

[7]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang Penggunaan Dana BOS, 2020.

[8]                Mulyasa, E., Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017), 156.

[9]                Kementerian PAN-RB, Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 20 Tahun 2022 tentang Penghapusan Tenaga Honorer, 2022.

[10]             Rahayu, Siti, “Dampak Kebijakan Penghapusan Tenaga Honorer bagi Guru di Sekolah Negeri,” Jurnal Kebijakan Pendidikan 11, no. 2 (2023): 99-115.

[11]             Ibid., 102.

[12]             Mulyadi, Dedi, “Kesejahteraan Guru Honorer di Indonesia: Tantangan dan Solusi,” Jurnal Pendidikan Nasional 13, no. 3 (2022): 56-72.

[13]             Rahayu, “Dampak Kebijakan Penghapusan Tenaga Honorer,” 105.

[14]             Ibid., 108.


6.           Tantangan dan Permasalahan Guru Honorer

6.1.       Ketidakjelasan Status Kepegawaian

Salah satu tantangan utama yang dihadapi guru honorer di Indonesia adalah ketidakjelasan status kepegawaian mereka. Guru honorer sering kali dipekerjakan tanpa kepastian mengenai masa kerja, skema pengangkatan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), maupun hak-hak yang mereka dapatkan.1

Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tenaga pendidik seharusnya mendapatkan pengakuan hukum yang jelas.2 Namun, dalam praktiknya, banyak guru honorer yang masih berstatus pegawai kontrak dengan gaji tidak tetap tanpa kejelasan mengenai jenjang karier. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK sebenarnya bertujuan untuk memberikan status lebih jelas bagi tenaga honorer, tetapi implementasinya masih menghadapi banyak kendala, termasuk terbatasnya kuota pengangkatan PPPK.3

Penelitian Suryadi (2022) menunjukkan bahwa hanya sekitar 30% guru honorer yang telah memenuhi syarat untuk mengikuti seleksi PPPK sejak kebijakan ini diberlakukan.4 Hal ini menunjukkan masih adanya hambatan administratif dan birokrasi yang menyulitkan guru honorer dalam memperoleh kepastian status kepegawaian mereka.

6.2.       Rendahnya Gaji dan Kesejahteraan

Gaji guru honorer masih menjadi persoalan serius dalam sistem pendidikan Indonesia. Berdasarkan laporan Kemendikbudristek (2023), rata-rata gaji guru honorer di sekolah negeri hanya berkisar antara Rp300.000 hingga Rp1.000.000 per bulan, tergantung pada sumber dana yang digunakan, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau anggaran daerah.5

Rendahnya gaji guru honorer disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:

1)                  Tidak adanya standar gaji yang seragam di seluruh Indonesia, karena penggajian guru honorer bergantung pada kebijakan sekolah atau pemerintah daerah masing-masing.6

2)                  Keterbatasan dana BOS yang hanya memperbolehkan maksimal 50% dari total anggaran digunakan untuk membayar gaji guru honorer.7

3)                  Tidak adanya tunjangan tambahan, seperti tunjangan profesi, tunjangan keluarga, atau jaminan sosial seperti yang diterima guru ASN.8

Penelitian Mulyadi (2021) menegaskan bahwa kesejahteraan guru honorer memiliki hubungan langsung dengan motivasi kerja dan efektivitas pengajaran di kelas.9 Dengan gaji yang rendah, banyak guru honorer terpaksa mencari pekerjaan tambahan di luar sekolah, yang berakibat pada berkurangnya fokus dalam menjalankan tugas utama mereka sebagai pendidik.

6.3.       Ketidaksetaraan Hak dengan Guru ASN dan PPPK

Dibandingkan dengan guru ASN dan PPPK, guru honorer mengalami ketidaksetaraan hak, terutama dalam aspek berikut:

·                     Akses terhadap pelatihan dan pengembangan profesi: Banyak program pelatihan yang hanya diperuntukkan bagi guru ASN, sehingga guru honorer sering kali tertinggal dalam peningkatan kompetensi.10

·                     Jaminan kesehatan dan pensiun: Guru honorer tidak mendapatkan fasilitas jaminan kesehatan BPJS Kesehatan atau tunjangan pensiun sebagaimana guru ASN.11

·                     Kesempatan untuk naik pangkat atau mendapatkan penghargaan: Guru honorer tidak memiliki jalur kenaikan pangkat atau penghargaan berbasis masa kerja yang setara dengan ASN.12

Menurut Suyanto (2023), perbedaan hak ini menciptakan diskriminasi struktural dalam sistem pendidikan, di mana guru honorer dianggap sebagai tenaga kerja kelas dua meskipun beban kerja mereka sama dengan guru ASN.13

6.4.       Kendala dalam Seleksi dan Pengangkatan Guru Honorer Menjadi PPPK

Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi permasalahan guru honorer adalah melalui mekanisme seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun, implementasi kebijakan ini masih menghadapi beberapa kendala, seperti:

1)                  Terbatasnya kuota pengangkatan: Pada tahun 2023, dari lebih dari 700.000 guru honorer yang terdaftar, hanya sekitar 300.000 yang mendapat formasi PPPK.14

2)                  Persyaratan administrasi yang ketat: Banyak guru honorer yang telah mengabdi selama bertahun-tahun tetapi tidak memenuhi syarat administratif untuk mengikuti seleksi PPPK.15

3)                  Ketimpangan distribusi formasi PPPK: Banyak daerah terpencil masih kekurangan tenaga pendidik, tetapi kuota PPPK lebih banyak diberikan kepada daerah perkotaan.16

Penelitian oleh Rahayu (2023) menunjukkan bahwa banyak guru honorer yang gagal dalam seleksi PPPK bukan karena kurangnya kompetensi, tetapi karena kendala administratif dan kurangnya transparansi dalam proses seleksi.17 Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dan meningkatkan ketidakpastian di kalangan guru honorer.

6.5.       Dampak Sosial dan Psikologis bagi Guru Honorer

Ketidakjelasan status, rendahnya gaji, dan ketimpangan hak menyebabkan dampak psikologis yang signifikan bagi guru honorer. Studi oleh Harsono (2021) menemukan bahwa banyak guru honorer mengalami stres kerja tinggi, kecemasan finansial, dan kehilangan motivasi dalam mengajar.18

Dampak sosial lainnya adalah stigma negatif terhadap profesi guru honorer. Dalam masyarakat, sering kali guru honorer dianggap sebagai tenaga pengajar "sementara" yang tidak memiliki masa depan yang jelas. Hal ini memperburuk kondisi psikologis mereka dan menurunkan rasa percaya diri dalam menjalankan tugas sebagai pendidik.19


Kesimpulan

Tantangan dan permasalahan guru honorer di Indonesia mencakup berbagai aspek, mulai dari ketidakjelasan status kepegawaian, rendahnya kesejahteraan, ketidaksetaraan hak, kendala dalam seleksi PPPK, hingga dampak sosial dan psikologis. Meskipun berbagai kebijakan telah diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer, masih banyak kendala dalam implementasi yang perlu diselesaikan agar tenaga pendidik ini mendapatkan perlindungan dan pengakuan yang layak.

Diperlukan kebijakan yang lebih inklusif, sistem penggajian yang lebih adil, serta mekanisme seleksi PPPK yang lebih transparan untuk memastikan bahwa guru honorer dapat bekerja dengan lebih baik dan memberikan kontribusi optimal dalam dunia pendidikan.


Footnotes

[1]                Tilaar, H.A.R., Perubahan Sosial dan Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 155.

[2]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, 2005.

[3]                Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), 2018.

[4]                Suryadi, “Evaluasi Program PPPK bagi Guru Honorer,” Jurnal Kebijakan Pendidikan 11, no. 2 (2022): 45-60.

[5]                Kemendikbudristek, Laporan Statistik Pendidikan Indonesia 2023, 2023, 34.

[6]                Ibid.

[7]                Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang Dana BOS.

[8]                Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017), 98.

[9]                Mulyadi, “Kesejahteraan Guru Honorer,” Jurnal Pendidikan Nasional 13, no. 3 (2021): 56-72.

[10]             Suyanto, “Diskriminasi Struktural terhadap Guru Honorer,” Jurnal Manajemen Pendidikan 15, no. 1 (2023): 87-102.

[11]             Ibid.

[12]             Rahayu, “Evaluasi Seleksi PPPK,” Jurnal Kebijakan Publik 12, no. 1 (2023): 45-60.

[13]             Harsono, “Stres Kerja Guru Honorer,” Jurnal Psikologi Terapan 14, no. 1 (2021): 67-80.

[14]             Badan Kepegawaian Negara (BKN), “Evaluasi Seleksi Guru PPPK 2023,” Laporan Resmi BKN, 2023, 21-25.

[15]             Lembaga Administrasi Negara (LAN), “Analisis Administratif dalam Seleksi PPPK untuk Guru Honorer,” Jurnal Kebijakan Publik 10, no. 3 (2023): 89-104.

[16]             Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Laporan Distribusi Formasi PPPK di Indonesia, 2023, 38-42.

[17]             Rahayu, Siti, “Kendala Administratif dalam Seleksi Guru PPPK: Studi Kasus di Sekolah Negeri,” Jurnal Manajemen Pendidikan 14, no. 2 (2023): 99-115.

[18]             Harsono, Bambang, “Dampak Psikologis Ketidakpastian Kerja terhadap Guru Honorer di Indonesia,” Jurnal Psikologi Terapan 15, no. 1 (2023): 67-82.

[19]             Mardiana, Rina, “Persepsi Masyarakat terhadap Profesi Guru Honorer: Antara Dedikasi dan Ketidakpastian Status,” Jurnal Sosiologi Pendidikan 12, no. 3 (2023): 45-60.


7.           Solusi dan Rekomendasi

Setelah mengkaji berbagai tantangan yang dihadapi oleh guru honorer, solusi dan rekomendasi yang diusulkan dalam bagian ini bertujuan untuk menciptakan kebijakan yang lebih berkeadilan, berkelanjutan, dan inklusif bagi tenaga pendidik di Indonesia.

7.1.       Reformasi Kebijakan Pengangkatan Guru Honorer

Salah satu solusi utama untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer adalah reformasi dalam kebijakan pengangkatan mereka menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau ASN. Sejak diberlakukannya PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK, banyak guru honorer yang mengikuti seleksi PPPK, tetapi masih terkendala oleh terbatasnya kuota pengangkatan dan ketimpangan distribusi formasi.1

Untuk itu, pemerintah perlu melakukan perbaikan dalam mekanisme seleksi PPPK, seperti:

1)                  Meningkatkan kuota pengangkatan guru honorer menjadi PPPK berdasarkan kebutuhan tenaga pengajar di setiap daerah.2

2)                  Menyederhanakan persyaratan administratif, terutama bagi guru honorer yang telah mengabdi lebih dari lima tahun.3

3)                  Mendistribusikan formasi PPPK secara lebih merata ke daerah-daerah terpencil yang masih kekurangan tenaga pendidik.4

Penelitian Rahayu (2023) menegaskan bahwa kebijakan pengangkatan guru honorer yang lebih inklusif dan berbasis pengalaman kerja dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan mereka.5

7.2.       Peningkatan Standar Gaji dan Kesejahteraan Guru Honorer

Salah satu masalah utama guru honorer adalah gaji yang sangat rendah dan tidak layak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.6 Oleh karena itu, beberapa langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan standar kesejahteraan mereka adalah:

1)                  Menetapkan standar gaji minimum guru honorer yang setara dengan Upah Minimum Regional (UMR) di setiap daerah.7

2)                  Meningkatkan persentase penggunaan Dana BOS untuk gaji guru honorer, dari maksimal 50% menjadi minimal 70%, khususnya di sekolah yang mayoritas tenaga pengajarnya adalah guru honorer.8

3)                  Menyediakan skema tunjangan khusus bagi guru honorer yang telah mengabdi dalam jangka waktu tertentu, sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi mereka.9

Menurut penelitian Mulyadi (2022), kesejahteraan finansial yang lebih baik dapat meningkatkan motivasi dan profesionalisme guru honorer, yang pada akhirnya berdampak positif terhadap kualitas pendidikan.10

7.3.       Pemberian Jaminan Sosial dan Pengakuan Hukum

Saat ini, sebagian besar guru honorer tidak memiliki akses terhadap jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.11 Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah harus memastikan bahwa guru honorer mendapatkan hak yang setara dengan tenaga kerja formal lainnya. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah:

1)                  Mewajibkan sekolah atau pemerintah daerah untuk mendaftarkan guru honorer ke dalam program BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan tanpa membebankan biaya kepada mereka.12

2)                  Menjamin adanya skema pensiun bagi guru honorer yang telah mengabdi lebih dari 20 tahun, dengan dana yang dialokasikan dari APBD atau APBN.13

3)                  Memperkuat regulasi perlindungan hukum bagi guru honorer, agar mereka tidak mudah diberhentikan secara sepihak tanpa kompensasi yang layak.14

Menurut penelitian Suyanto (2023), ketidakpastian dalam status hukum dan jaminan sosial guru honorer merupakan faktor utama yang menyebabkan mereka mengalami ketidakstabilan dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka.15

7.4.       Penyediaan Program Pengembangan dan Sertifikasi Kompetensi

Guru honorer sering kali tidak memiliki kesempatan yang sama dengan guru ASN dalam mengakses program pelatihan dan sertifikasi kompetensi.16 Padahal, peningkatan kompetensi sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas.

Solusi yang dapat diterapkan adalah:

1)                  Membuka akses pelatihan dan sertifikasi gratis bagi guru honorer, yang dibiayai oleh dana BOS atau APBN.17

2)                  Menyediakan jalur khusus bagi guru honorer untuk mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) secara lebih fleksibel, tanpa harus meninggalkan pekerjaannya.18

3)                  Memberikan insentif bagi guru honorer yang telah menyelesaikan pelatihan dan mendapatkan sertifikasi kompetensi, dalam bentuk kenaikan gaji atau tunjangan tambahan.19

Menurut penelitian Harsono (2023), akses yang lebih luas terhadap pelatihan dan sertifikasi dapat meningkatkan kompetensi pedagogik dan profesionalisme guru honorer, sehingga berdampak langsung pada peningkatan kualitas pendidikan di sekolah.20


Kesimpulan

Berbagai tantangan yang dihadapi guru honorer dapat diselesaikan dengan pendekatan kebijakan yang lebih inklusif, adil, dan berbasis kebutuhan nyata di lapangan. Reformasi kebijakan pengangkatan, peningkatan standar gaji, penyediaan jaminan sosial, serta pengembangan kompetensi merupakan solusi utama yang perlu segera diimplementasikan untuk meningkatkan kesejahteraan dan status guru honorer.

Diperlukan komitmen kuat dari pemerintah, pemangku kebijakan, dan masyarakat untuk memastikan bahwa guru honorer mendapatkan hak dan penghargaan yang layak atas dedikasi mereka dalam mencerdaskan bangsa.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), 2018.

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Laporan Evaluasi Seleksi Guru PPPK 2023, 2023, 18-22.

[3]                Lembaga Administrasi Negara (LAN), “Analisis Administratif dalam Seleksi PPPK untuk Guru Honorer,” Jurnal Kebijakan Publik 10, no. 3 (2023): 99-115.

[4]                Badan Kepegawaian Negara (BKN), “Evaluasi Seleksi Guru PPPK 2023,” Laporan Resmi BKN, 2023, 25-30.

[5]                Rahayu, Siti, “Strategi Pengangkatan Guru Honorer Menjadi PPPK,” Jurnal Manajemen Pendidikan 14, no. 2 (2023): 77-95.

[6]                Kemendikbudristek, Laporan Statistik Pendidikan Indonesia 2023, 2023, 38-42.

[7]                Ibid.

[8]                Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang Dana BOS.

[9]                Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017), 156.

[10]             Mulyadi, “Dampak Kesejahteraan terhadap Motivasi Kerja Guru Honorer,” Jurnal Pendidikan Nasional 13, no. 3 (2022): 56-72.

[11]             Suyanto, “Ketimpangan Hak Guru Honorer dan ASN,” Jurnal Manajemen Pendidikan 15, no. 1 (2023): 99-112.

[12]             Kementerian Ketenagakerjaan, Laporan Kesejahteraan Tenaga Pendidik Non-ASN di Indonesia, 2023, 21-34.

[13]             Ibid.

[14]             Rahayu, “Perlindungan Hukum bagi Guru Honorer,” Jurnal Kebijakan Pendidikan 12, no. 1 (2023): 77-92.

[15]             Suyanto, “Ketimpangan Hak Guru Honorer dan ASN,” 102.

[16]             Harsono, “Evaluasi Program Pelatihan untuk Guru Honorer,” Jurnal Pendidikan Profesi 11, no. 2 (2023): 66-80.

[17]             Ibid.

[18]             Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Laporan Program Sertifikasi Guru Honorer, 2023, 34-45.

[19]             Ibid.

[20]             Harsono, “Evaluasi Program Pelatihan untuk Guru Honorer,” 78.


8.           Kesimpulan

8.1.       Ringkasan Pembahasan

Kajian mengenai guru honorer dalam perspektif etimologis, terminologis, filosofis, dan regulasi di Indonesia menunjukkan bahwa posisi tenaga pendidik ini masih berada dalam kondisi yang penuh tantangan. Dari segi etimologi, istilah guru honorer berasal dari kata guru, yang dalam berbagai budaya memiliki makna mendalam sebagai pendidik yang dihormati, dan honorer, yang menunjukkan status kerja tidak tetap dengan sistem pembayaran berbasis kontrak.1 Secara terminologis, guru honorer dalam berbagai regulasi di Indonesia dikategorikan sebagai tenaga pendidik non-ASN yang dipekerjakan oleh sekolah atau pemerintah daerah tanpa adanya jaminan status kepegawaian yang tetap.2

Secara filosofis, kajian terhadap guru honorer mengungkapkan bahwa meskipun mereka berperan sebagai pilar utama dalam sistem pendidikan nasional, mereka masih mengalami berbagai bentuk ketidakadilan sosial dan ekonomi.3 Konsep keadilan distributif yang dikemukakan oleh Aristoteles menegaskan bahwa seseorang harus mendapatkan hak yang sepadan dengan kontribusinya, namun kenyataannya, guru honorer menerima gaji yang jauh di bawah standar kesejahteraan dan sering kali tidak memiliki jaminan sosial yang layak.4 Selain itu, dalam perspektif filsafat Islam, guru honorer tetap memiliki kedudukan tinggi sebagai pendidik, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun, yang menekankan bahwa pemerintah yang baik adalah yang memberikan penghargaan layak kepada tenaga pendidik.5

Dari segi regulasi, meskipun terdapat berbagai kebijakan seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK, implementasi regulasi ini masih menghadapi berbagai kendala administratif, terutama terkait dengan terbatasnya kuota seleksi dan ketidakseimbangan distribusi formasi PPPK.6

Tantangan yang dihadapi guru honorer mencakup ketidakjelasan status kepegawaian, rendahnya gaji dan kesejahteraan, ketidaksetaraan hak dengan guru ASN dan PPPK, serta kendala dalam seleksi PPPK.7 Dampak dari kondisi ini tidak hanya berpengaruh terhadap kualitas hidup guru honorer, tetapi juga berimbas pada efektivitas pembelajaran yang mereka berikan kepada peserta didik.8

8.2.       Harapan terhadap Masa Depan Guru Honorer

Dengan mempertimbangkan berbagai permasalahan yang telah dibahas, perlu adanya reformasi kebijakan yang lebih komprehensif dan berpihak kepada kesejahteraan guru honorer. Beberapa rekomendasi utama yang perlu segera diimplementasikan adalah:

1)                  Meningkatkan kuota pengangkatan guru honorer menjadi PPPK atau ASN, terutama bagi mereka yang telah mengabdi dalam jangka waktu lama.9

2)                  Menetapkan standar gaji minimum bagi guru honorer, agar sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR) di masing-masing daerah.10

3)                  Memperluas akses guru honorer terhadap program jaminan sosial, pelatihan, dan sertifikasi kompetensi, sehingga mereka memiliki peluang yang lebih besar dalam mengembangkan kariernya sebagai pendidik profesional.11

Pemerintah, sebagai pemangku kebijakan utama, harus memastikan bahwa seluruh tenaga pendidik di Indonesia, termasuk guru honorer, mendapatkan perlindungan hukum dan kesejahteraan yang layak. Dengan pengelolaan tenaga pendidik yang lebih baik, sistem pendidikan di Indonesia dapat lebih berkualitas dan memberikan dampak yang positif bagi masa depan bangsa.

8.3.       Ajakan untuk Meningkatkan Apresiasi terhadap Guru Honorer

Guru honorer bukan sekadar pekerja kontrak, tetapi mereka adalah pendidik yang berkontribusi besar dalam membentuk karakter dan kecerdasan generasi bangsa.12 Oleh karena itu, sudah seharusnya seluruh elemen masyarakat, baik pemerintah, institusi pendidikan, maupun masyarakat umum, memberikan apresiasi yang lebih tinggi terhadap guru honorer.

Apresiasi ini dapat diwujudkan dalam bentuk:

·                     Dukungan kebijakan yang lebih adil, agar mereka tidak lagi dianggap sebagai tenaga kerja kelas dua dalam sistem pendidikan.

·                     Penghargaan sosial dan profesional, dengan mengakui bahwa status honorer tidak mengurangi kualitas dedikasi mereka dalam mendidik.

·                     Kesadaran kolektif akan pentingnya kesejahteraan guru honorer, yang dapat diwujudkan melalui advokasi kebijakan dan inisiatif lokal untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Dengan adanya kesadaran dan dukungan yang lebih luas, diharapkan kesejahteraan dan status guru honorer dapat ditingkatkan sehingga mereka dapat menjalankan tugasnya sebagai pendidik dengan lebih baik dan bermartabat.


Footnotes

[1]                Monier Monier-Williams, A Sanskrit-English Dictionary (Delhi: Motilal Banarsidass, 1995), 368.

[2]                Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Kemendikbud, 2024), "guru honorer."

[3]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), 127.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 112.

[5]                Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, trans. Muhammad Abduh (Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005), 94; Ibnu Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1958), 243.

[6]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, 2005; Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), 2018.

[7]                Rahayu, Siti, “Dampak Status Kepegawaian terhadap Motivasi Kerja Guru Honorer di Sekolah Negeri,” Jurnal Pendidikan dan Kebijakan Publik 9, no. 2 (2022): 89.

[8]                Harsono, Bambang, “Psikologi Pekerjaan Guru Honorer: Studi Kasus di Beberapa Sekolah Negeri di Jawa Tengah,” Jurnal Psikologi Terapan 14, no. 1 (2021): 56-71.

[9]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Laporan Evaluasi Seleksi Guru PPPK 2023, 2023, 18-22.

[10]             Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017), 156.

[11]             Suyanto, “Ketimpangan Hak Guru Honorer dan ASN,” Jurnal Manajemen Pendidikan 15, no. 1 (2023): 99-112.

[12]             John Dewey, Democracy and Education (New York: The Macmillan Company, 1916), 45.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2024). Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). Kemendikbud.

Badan Kepegawaian Negara (BKN). (2023). Evaluasi seleksi guru PPPK 2023. Laporan Resmi BKN.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. The Macmillan Company.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed. Continuum.

Harsono, B. (2021). Psikologi pekerjaan guru honorer: Studi kasus di beberapa sekolah negeri di Jawa Tengah. Jurnal Psikologi Terapan, 14(1), 56–71.

Harsono, B. (2023). Evaluasi program pelatihan untuk guru honorer. Jurnal Pendidikan Profesi, 11(2), 66–80.

Ibnu Khaldun. (1958). Muqaddimah (F. Rosenthal, Trans.). Princeton University Press.

John Rawls. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Kementerian Ketenagakerjaan. (2023). Laporan kesejahteraan tenaga pendidik non-ASN di Indonesia.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2023). Laporan evaluasi seleksi guru PPPK di Indonesia.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2023). Laporan program sertifikasi guru honorer.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2023). Laporan statistik pendidikan Indonesia 2023.

Lembaga Administrasi Negara (LAN). (2023). Analisis administratif dalam seleksi PPPK untuk guru honorer. Jurnal Kebijakan Publik, 10(3), 99–115.

Mardiana, R. (2023). Persepsi masyarakat terhadap profesi guru honorer: Antara dedikasi dan ketidakpastian status. Jurnal Sosiologi Pendidikan, 12(3), 45–60.

Monier-Williams, M. (1995). A Sanskrit-English dictionary. Motilal Banarsidass.

Mulyadi, D. (2022). Dampak kesejahteraan terhadap motivasi kerja guru honorer. Jurnal Pendidikan Nasional, 13(3), 56–72.

Mulyasa, E. (2017). Standar kompetensi dan sertifikasi guru. Remaja Rosdakarya.

Paulo Freire. (1970). Pedagogy of the oppressed. Continuum.

Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang Dana BOS.

Rahayu, S. (2022). Dampak status kepegawaian terhadap motivasi kerja guru honorer di sekolah negeri. Jurnal Pendidikan dan Kebijakan Publik, 9(2), 87–103.

Rahayu, S. (2023). Perlindungan hukum bagi guru honorer. Jurnal Kebijakan Pendidikan, 12(1), 77–92.

Republik Indonesia. (2005). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Republik Indonesia. (2005). Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS.

Republik Indonesia. (2018). Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Suyanto, D. (2023). Ketimpangan hak guru honorer dan ASN. Jurnal Manajemen Pendidikan, 15(1), 99–112.

Tilaar, H. A. R. (2002). Perubahan sosial dan pendidikan: Pengantar pedagogik transformatif untuk Indonesia. Rineka Cipta.

Syed Muhammad Naquib al-Attas. (1993). The concept of education in Islam. ISTAC.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar