Kamis, 26 Desember 2024

Mu'tazilah: Pemikiran Wasil bin 'Atha'

 Kajian Komprehensif tentang Mutazilah


Disclaimer

Sebagai penulis, saya menegaskan bahwa saya adalah seorang Muslim yang berpegang teguh pada Madhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam teks ini, pembahasan tentang berbagai aliran ilmu kalam hanya disampaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan pengetahuan akademis semata.

Pembahasan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengajak atau menganjurkan pembaca untuk menganut, mendukung, atau mengajarkan aliran-aliran tersebut kepada orang lain. Setiap pembahasan didasarkan pada sumber-sumber ilmiah yang valid dan disampaikan dengan sikap objektif untuk memberikan pemahaman yang luas terhadap berbagai dinamika pemikiran dalam sejarah Islam.

Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi pembaca untuk memperkuat akidah yang lurus dan menambah wawasan keilmuan, sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah.


PEMBAHASAN

“Mu'tazilah: Pemikiran Wasil bin 'Atha'”


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Mu'tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam Islam yang memiliki sejarah panjang dalam membentuk diskursus keilmuan Islam klasik. Aliran ini muncul pada masa awal Islam, ketika umat Muslim mulai mendalami pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang Tuhan, keadilan, dan hubungan antara kehendak ilahi dengan kehendak manusia. Dalam konteks ini, Mu'tazilah menonjol sebagai aliran yang mengutamakan akal (aql) dalam menafsirkan teks-teks agama. Mereka percaya bahwa akal adalah sarana utama untuk memahami wahyu secara logis dan sistematis. Pendekatan ini membuat Mu'tazilah memainkan peran penting dalam pengembangan ilmu kalam (ilmu teologi Islam), meskipun sering kali menuai kontroversi.

Kehadiran Mu'tazilah juga tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial dan politik pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, di mana peran intelektual sangat dihargai, terutama pada era Al-Ma'mun yang mendukung paham ini secara resmi melalui Mihnah (inkuisisi teologis). Dalam konteks ini, pemikiran Mu'tazilah menjadi salah satu landasan intelektual untuk menjawab berbagai tantangan zaman, seperti perdebatan antaragama dan pengaruh filsafat Yunani. Namun, sikap mereka yang cenderung menekankan rasionalitas juga mendapat kritik tajam dari kelompok lain, terutama Ahlus Sunnah wal Jamaah.¹

1.2.       Tujuan Artikel

Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman menyeluruh tentang Mu'tazilah, khususnya dari sudut pandang sejarah, teologi, dan dampaknya terhadap peradaban Islam. Fokus utama artikel ini adalah pada pendiriannya oleh Wasil bin 'Atha', seorang tokoh yang dikenal sebagai bapak pendiri Mu'tazilah. Dengan menggunakan pendekatan analisis terhadap literatur klasik dan kontemporer, artikel ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

·                     Apa konteks historis yang melahirkan aliran Mu'tazilah?

·                     Bagaimana doktrin utama Mu'tazilah dibangun dan berkembang?

·                     Apa kritik utama terhadap pemikiran Mu'tazilah, baik dari perspektif tradisional maupun modern?

Dengan demikian, artikel ini tidak hanya memberikan informasi faktual tentang aliran Mu'tazilah, tetapi juga mengupas signifikansi intelektual dan teologisnya dalam sejarah Islam. Penyajian ini diharapkan dapat menjadi referensi penting bagi pembaca yang ingin mendalami aspek pemikiran Islam secara akademis dan objektif.²


Catatan Kaki

[1]              Al-Nadim, Ibn. Kitab al-Fihrist. Terj. Bayard Dodge. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997, 190-192.

[2]              Watt, W. Montgomery. Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985, 82-85.


2.           Sejarah Awal Mu'tazilah

2.1.       Asal-usul Nama "Mu'tazilah"

Nama "Mu'tazilah" sering dikaitkan dengan peristiwa perpisahan Wasil bin 'Atha' (699–748 M) dari majelis Hasan al-Basri, seorang ulama terkemuka di Basra. Menurut narasi populer, Wasil memisahkan diri setelah berbeda pendapat mengenai status seorang Muslim yang melakukan dosa besar (murtakib al-kabirah). Hasan al-Basri menyatakan bahwa pelaku dosa besar tetap seorang Muslim tetapi tidak sempurna imannya, sedangkan Wasil berpendapat bahwa ia berada di posisi di antara dua status, yaitu tidak sepenuhnya Muslim dan tidak pula kafir (manzilah bayna al-manzilatayn). Setelah itu, Wasil meninggalkan majelis dan mulai mengajarkan pandangannya sendiri, yang kemudian dikenal sebagai cikal bakal ajaran Mu'tazilah.¹

Nama "Mu'tazilah" berasal dari kata kerja Arab i'tazala, yang berarti "menyendiri" atau "memisahkan diri". Meski asal-usul nama ini kontroversial, sebagian besar sumber klasik menyebutnya sebagai referensi kepada tindakan Wasil yang "memisahkan diri" dari arus pemikiran dominan pada masa itu.² Namun, beberapa sejarawan berpendapat bahwa istilah ini juga mencerminkan sikap filosofis mereka yang berusaha memisahkan antara doktrin agama dan spekulasi rasional.³

2.2.       Konteks Sejarah

Mu'tazilah lahir dalam konteks dunia Islam yang sedang berkembang pesat di bidang intelektual, sosial, dan politik. Pada abad ke-2 Hijriah (abad ke-8 M), umat Islam menghadapi berbagai tantangan pemikiran yang kompleks. Masuknya filsafat Yunani, pengaruh Zoroastrianisme, Kristen, dan Yahudi, serta perdebatan internal tentang masalah teologis menjadi pemicu utama munculnya aliran-aliran pemikiran seperti Mu'tazilah.⁴

Dalam bidang teologi, isu-isu tentang sifat-sifat Allah, keadilan-Nya, dan hubungan antara kehendak ilahi dengan kehendak manusia menjadi perdebatan hangat. Mu'tazilah menawarkan jawaban yang berbeda dengan menggunakan pendekatan rasional. Mereka meyakini bahwa akal manusia memiliki peran utama dalam memahami wahyu.⁵ Pemikiran ini tidak hanya menjadikan mereka sebagai pelopor rasionalisme Islam, tetapi juga menciptakan jarak dengan kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah yang lebih menekankan tradisi tekstual.

Selain itu, perkembangan politik pada masa Kekhalifahan Umayyah dan awal Abbasiyah juga turut memengaruhi kemunculan Mu'tazilah. Kezaliman penguasa dan persoalan tentang legitimasi pemerintahan memunculkan kebutuhan akan landasan teologis yang membela keadilan ilahi dan kebebasan manusia. Mu'tazilah menjawab kebutuhan ini dengan menekankan prinsip al-'adl (keadilan Allah) sebagai inti doktrin mereka.⁶

2.3.       Pengaruh Pemikiran Wasil bin 'Atha'

Wasil bin 'Atha' dikenal sebagai pemikir yang memiliki keberanian untuk mendobrak arus pemikiran dominan. Di bawah pengaruh ajaran rasionalis, ia mengembangkan kerangka teologi yang unik dengan lima prinsip utama (al-usul al-khamsah).⁷ Pandangan-pandangannya tidak hanya membentuk dasar pemikiran Mu'tazilah, tetapi juga memengaruhi perkembangan diskursus teologi Islam selama berabad-abad.


Catatan Kaki

[1]              Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, diterjemahkan oleh Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 2005), 361.

[2]              Al-Nadim, Ibn, Kitab al-Fihrist, ed. Bayard Dodge (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 192.

[3]              Watt, W. Montgomery, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 78.

[4]              Madelung, Wilferd, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 204.

[5]              Frank, Richard M., Beings and Their Attributes: The Teaching of the Basrian School of the Mu'tazila in the Classical Period (Albany: State University of New York Press, 1978), 43.

[6]              Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 140.

[7]              Ibn al-Murtadha, Kitab al-Munyah wa al-Amal fi Sharh al-Milal wa al-Nihal, ed. Yahya Muhammad Hasan (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1973), 15.


3.           Biografi Wasil bin 'Atha'

3.1.       Kehidupan dan Pendidikan

Wasil bin 'Atha' lahir pada tahun 699 M (80 H) di Madinah, sebuah kota yang menjadi pusat intelektual Islam pada masa itu.¹ Ia tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan tradisi keilmuan, di mana diskusi tentang teologi, hukum Islam, dan filsafat menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Keluarganya dikenal memiliki kecenderungan intelektual, dan Wasil sejak muda menunjukkan minat mendalam terhadap persoalan-persoalan teologi.²

Sebagai seorang pemuda, Wasil memulai pendidikannya dengan berguru kepada Hasan al-Basri, seorang tokoh sufi dan teolog terkenal di Basra. Hasan al-Basri dikenal sebagai seorang ulama yang kritis terhadap penguasa dan sering membahas isu-isu moral serta keadilan.³ Di bawah bimbingannya, Wasil mempelajari prinsip-prinsip dasar Islam dan terlibat dalam diskusi-diskusi teologis yang hangat. Namun, pada suatu titik, perbedaan pendapat yang mendalam antara Wasil dan gurunya tentang status pelaku dosa besar menyebabkan ia memisahkan diri dari majelis Hasan al-Basri.⁴ Peristiwa inilah yang menjadi momen kelahiran aliran Mu'tazilah.

Selain belajar dari Hasan al-Basri, Wasil juga menunjukkan minat terhadap filsafat Yunani dan pemikiran rasional. Ia memperkenalkan pendekatan logis dalam memahami wahyu, yang saat itu dianggap kontroversial oleh banyak ulama tradisional.⁵

3.2.       Peran dan Kontribusi

Sebagai pendiri Mu'tazilah, Wasil bin 'Atha' memberikan kontribusi besar dalam membentuk kerangka teologis yang menekankan rasionalitas dan keadilan ilahi. Ia dikenal dengan gagasan tentang al-'adl (keadilan Allah) yang menjadi prinsip dasar dalam pemikirannya. Menurut Wasil, keadilan Allah memerlukan kebebasan manusia dalam bertindak. Pandangan ini memberikan landasan bagi teori kehendak bebas (free will) yang menjadi salah satu doktrin utama Mu'tazilah.⁶

Wasil juga memperkenalkan konsep al-manzilah bayna al-manzilatayn (posisi di antara dua posisi) sebagai jawaban atas persoalan status pelaku dosa besar. Ia menolak pandangan Khawarij yang menganggap pelaku dosa besar sebagai kafir, sekaligus berbeda dengan pandangan Murji'ah yang menganggapnya tetap sebagai Muslim sempurna.⁷

Selain kontribusinya dalam teologi, Wasil juga aktif menyebarkan ajarannya melalui pengajaran dan debat dengan kelompok-kelompok lain, seperti Khawarij dan Ahlus Sunnah. Pemikirannya menjadi cikal bakal aliran rasional dalam Islam yang berpengaruh luas pada masa Abbasiyah, terutama dalam era Mihnah di bawah Khalifah Al-Ma'mun.⁸

3.3.       Akhir Hayat

Wasil bin 'Atha' meninggal dunia pada tahun 748 M (131 H) di Basra. Meski pemikirannya menuai banyak kritik, Wasil diakui sebagai salah satu pemikir besar yang membuka jalan bagi perkembangan rasionalisme dalam Islam. Pengaruhnya tetap terasa hingga saat ini, terutama dalam kajian teologi Islam dan filsafat.⁹


Catatan Kaki

[1]              Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, ed. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 2005), 362.

[2]              Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 138.

[3]              Watt, W. Montgomery, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 76.

[4]              Madelung, Wilferd, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 205.

[5]              Frank, Richard M., Beings and Their Attributes: The Teaching of the Basrian School of the Mu'tazila in the Classical Period (Albany: State University of New York Press, 1978), 42.

[6]              Ibn al-Murtadha, Kitab al-Munyah wa al-Amal fi Sharh al-Milal wa al-Nihal, ed. Yahya Muhammad Hasan (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1973), 20.

[7]              Al-Nadim, Ibn, Kitab al-Fihrist, ed. Bayard Dodge (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 192.

[8]              Fakhry, Majid, Islamic Philosophy and Theology: An Extended Survey (London: Garnet Publishing, 2009), 123.

[9]              Watt, W. Montgomery, The Formative Period of Islamic Thought (Oxford: Oneworld Publications, 1998), 120.


4.           Doktrin Teologi Mu'tazilah

Doktrin teologi Mu'tazilah, yang sering disebut sebagai al-ushul al-khamsah (lima prinsip utama), merupakan fondasi pemikiran mereka. Prinsip-prinsip ini tidak hanya membedakan Mu'tazilah dari aliran lain tetapi juga mencerminkan penekanan mereka pada akal (aql) dalam memahami wahyu. Doktrin ini dirumuskan oleh Wasil bin 'Atha' dan diteruskan oleh para pemimpin Mu'tazilah setelahnya.

4.1.       Tawhid (Keesaan Allah)

Prinsip pertama dan terpenting dalam doktrin Mu'tazilah adalah tawhid, yaitu keesaan Allah. Menurut Mu'tazilah, sifat-sifat Allah tidak terpisah dari esensi-Nya. Berbeda dengan pandangan Ahlus Sunnah yang menganggap sifat Allah sebagai entitas yang ada secara terpisah namun tetap inheren, Mu'tazilah meyakini bahwa menganggap sifat Allah sebagai sesuatu yang terpisah sama dengan mempercayai keberadaan "keberadaan kedua" selain Allah, yang bertentangan dengan konsep tawhid

Dalam konteks ini, mereka menolak gagasan tentang "sifat kekal" Allah seperti ilmu, qudrah, dan hayat yang berdiri sendiri. Sebaliknya, sifat-sifat tersebut dianggap sebagai manifestasi dari Zat-Nya.² Pendekatan rasional ini bertujuan untuk menjaga keesaan mutlak Allah, tetapi pandangan ini juga menuai kritik dari aliran lain yang menilai Mu'tazilah terlalu "merasionalisasi" sifat Allah.³

4.2.       Al-'Adl (Keadilan Allah)

Konsep al-'adl menjadi landasan teologi Mu'tazilah yang menekankan keadilan ilahi. Menurut mereka, Allah tidak mungkin berbuat zalim karena itu bertentangan dengan keadilan-Nya. Hal ini juga berkaitan erat dengan gagasan kehendak bebas manusia. Mu'tazilah berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan penuh untuk memilih tindakan mereka, baik atau buruk, sehingga mereka bertanggung jawab atas perbuatannya.⁴

Mu'tazilah menolak doktrin qadar (takdir) dalam pengertian bahwa semua tindakan manusia ditentukan oleh Allah. Mereka meyakini bahwa jika Allah menentukan segalanya, maka Dia akan bertanggung jawab atas kejahatan manusia, yang menurut mereka tidak sesuai dengan keadilan ilahi.⁵ Sebagai gantinya, mereka mempromosikan gagasan ikhtiyar (pilihan bebas) manusia yang memungkinkan adanya ganjaran dan hukuman yang adil.⁶

4.3.       Al-Wa'd wa al-Wa'id (Janji dan Ancaman Allah)

Doktrin ini berkaitan dengan prinsip ganjaran dan hukuman di akhirat. Menurut Mu'tazilah, Allah wajib menepati janji-Nya untuk memberi pahala kepada orang yang beriman dan beramal saleh, serta menghukum mereka yang berdosa besar tanpa taubat.⁷

Pandangan ini bertentangan dengan aliran Murji'ah yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap bisa diampuni tanpa syarat tertentu. Bagi Mu'tazilah, keadilan ilahi menuntut adanya konsistensi dalam penerapan pahala dan hukuman, sehingga pelaku dosa besar yang tidak bertaubat harus masuk neraka.⁸

4.4.       Al-Manzilah Bayna al-Manzilatayn (Posisi di Antara Dua Posisi)

Prinsip ini adalah jawaban teologis Wasil bin 'Atha' terhadap masalah status seorang Muslim yang melakukan dosa besar. Menurut Wasil, pelaku dosa besar tidak bisa disebut sebagai Muslim, tetapi juga tidak dapat dianggap kafir. Sebaliknya, mereka berada dalam posisi di antara keduanya (manzilah bayna al-manzilatayn).⁹

Pandangan ini membedakan Mu'tazilah dari Khawarij, yang menganggap pelaku dosa besar sebagai kafir, dan Murji'ah, yang tetap menganggap mereka sebagai Muslim sempurna. Doktrin ini bertujuan untuk menegaskan tanggung jawab moral individu tanpa mengabaikan keadilan ilahi.¹⁰

4.5.       Amr bil Ma'ruf wa Nahi 'anil Munkar (Menyuruh kepada Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran)

Prinsip terakhir adalah kewajiban menyuruh kepada yang baik dan mencegah yang mungkar. Doktrin ini mendorong Mu'tazilah untuk aktif dalam ranah sosial dan politik sebagai bagian dari tanggung jawab moral mereka.¹¹

Mereka percaya bahwa prinsip ini harus ditegakkan secara individu maupun kolektif, bahkan jika itu berarti melawan penguasa yang zalim.¹² Konsep ini sering kali menjadi dasar legitimasi keterlibatan mereka dalam konflik politik selama masa kekhalifahan Abbasiyah.


Kesimpulan

Kelima doktrin utama ini menunjukkan fokus Mu'tazilah pada pendekatan rasional dalam memahami keimanan. Meskipun menuai kritik dari banyak pihak, doktrin-doktrin ini memperlihatkan upaya mereka dalam menyelaraskan antara wahyu dan akal.


Catatan Kaki

[1]              Watt, W. Montgomery, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 78.

[2]              Frank, Richard M., Beings and Their Attributes: The Teaching of the Basrian School of the Mu'tazila in the Classical Period (Albany: State University of New York Press, 1978), 44.

[3]              Ibn Taymiyyah, Majmu' al-Fatawa, ed. Abd al-Rahman bin Muhammad bin Qasim (Riyadh: Dar al-'Alamiyyah, 1981), 5:211.

[4]              Madelung, Wilferd, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 205.

[5]              Al-Ash'ari, Abu al-Hasan, Maqalat al-Islamiyyin, ed. H. Ritter (Istanbul: Matba'at al-Dawlah, 1929), 254.

[6]              Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 142.

[7]              Ibn al-Murtadha, Kitab al-Munyah wa al-Amal fi Sharh al-Milal wa al-Nihal, ed. Yahya Muhammad Hasan (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1973), 24.

[8]              Al-Nadim, Ibn, Kitab al-Fihrist, ed. Bayard Dodge (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 192.

[9]              Fakhry, Majid, Islamic Philosophy and Theology: An Extended Survey (London: Garnet Publishing, 2009), 127.

[10]          Watt, W. Montgomery, The Formative Period of Islamic Thought (Oxford: Oneworld Publications, 1998), 122.

[11]          Madelung, Wilferd, Religious Trends in Early Islamic Iran (Albany: State University of New York Press, 1987), 154.

[12]          Frank, Richard M., The Metaphysics of Created Being (Albany: State University of New York Press, 1991), 37.


5.           Peran Mu'tazilah dalam Sejarah Islam

5.1.       Zaman Keemasan Mu'tazilah

Mu'tazilah mencapai puncak pengaruhnya pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, khususnya di era Khalifah Al-Ma'mun (r. 813–833 M). Pada masa ini, pemikiran rasional Mu'tazilah sejalan dengan visi Abbasiyah yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Al-Ma'mun menjadikan Mu'tazilah sebagai doktrin resmi negara, dan para ulama Mu'tazilah diberi posisi strategis dalam pemerintahan.¹

Khalifah Al-Ma'mun juga memprakarsai Mihnah (inkuisisi teologis), sebuah kebijakan untuk memastikan kesesuaian pandangan teologis para ulama dengan doktrin Mu'tazilah, khususnya terkait konsep Khalq al-Qur'an (Qur'an sebagai makhluk). Kebijakan ini memaksa banyak ulama, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal, untuk menerima pandangan Mu'tazilah.² Meski kebijakan tersebut menuai banyak kritik, Mihnah menunjukkan bagaimana Mu'tazilah berperan dalam membentuk doktrin teologis resmi yang melibatkan kekuasaan politik.

Selain itu, para pemikir Mu'tazilah, seperti Al-Jahiz (781–869 M) dan Abu al-Hudhayl al-Allaf (753–841 M), berkontribusi dalam menyebarkan ajaran Mu'tazilah melalui tulisan-tulisan mereka. Pemikiran mereka tidak hanya membahas teologi, tetapi juga menyentuh filsafat, etika, dan ilmu pengetahuan, menjadikan Mu'tazilah sebagai pionir dalam tradisi intelektual Islam.³

5.2.       Konflik dengan Aliran Lain

Meskipun Mu'tazilah memiliki pengaruh besar pada masanya, pandangan mereka sering kali bertentangan dengan kelompok lain, seperti Ahlus Sunnah wal Jamaah dan Khawarij. Dalam hal ini, kritik utama terhadap Mu'tazilah datang dari ulama Sunni yang menolak pendekatan rasional mereka yang dianggap terlalu mengedepankan logika dibandingkan wahyu.⁴

Salah satu titik perbedaan yang signifikan adalah konsep Khalq al-Qur'an. Mu'tazilah meyakini bahwa Qur'an adalah makhluk Allah dan bukan sesuatu yang kekal, yang menurut mereka konsisten dengan doktrin tawhid. Namun, pandangan ini dianggap menyimpang oleh mayoritas ulama Sunni, yang meyakini bahwa Qur'an adalah kalam Allah yang kekal.⁵ Konflik ini tidak hanya bersifat teologis, tetapi juga berimplikasi politik, terutama pada masa Mihnah.

Konflik teologis dengan Ahlus Sunnah diperburuk oleh kebijakan represif yang dilakukan selama Mihnah. Setelah era Al-Ma'mun, penguasa Abbasiyah seperti Al-Mutawakkil (r. 847–861 M) menghentikan dukungan negara terhadap Mu'tazilah dan mengembalikan posisi Ahlus Sunnah sebagai doktrin resmi.⁶

5.3.       Warisan dan Dampak Pemikiran Mu'tazilah

Meskipun kekuasaan politik mereka menurun setelah masa Al-Mutawakkil, warisan intelektual Mu'tazilah tetap bertahan dalam tradisi Islam. Pemikiran mereka memiliki dampak besar dalam pengembangan ilmu kalam dan filsafat Islam. Banyak ide rasional mereka diteruskan oleh aliran teologi lain, seperti Maturidiyah dan sebagian pemikir Asy'ariyah, meskipun dengan modifikasi.⁷

Selain itu, Mu'tazilah juga memainkan peran penting dalam menjembatani tradisi Islam dengan filsafat Yunani. Pemikiran mereka yang mengutamakan logika menjadi dasar bagi perkembangan filsafat Islam di era keemasan, termasuk karya-karya filsuf seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd.⁸

Di dunia modern, beberapa pemikir Muslim progresif menganggap pendekatan rasional Mu'tazilah relevan untuk menjawab tantangan zaman, seperti dialog antaragama dan isu-isu sosial kontemporer.⁹ Namun, kritik terhadap pendekatan mereka yang dianggap "terlalu rasional" tetap menjadi perdebatan hingga kini.


Catatan Kaki

[1]              Al-Tabari, Muhammad ibn Jarir, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, ed. Ehsan Yar-Shater (Leiden: Brill, 1985), 7:128–130.

[2]              Ibn al-Jawzi, Al-Muntazam fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 10:211.

[3]              Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 147–149.

[4]              Al-Ash'ari, Abu al-Hasan, Maqalat al-Islamiyyin, ed. H. Ritter (Istanbul: Matba'at al-Dawlah, 1929), 258–260.

[5]              Watt, W. Montgomery, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 79.

[6]              Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, ed. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 2005), 365.

[7]              Frank, Richard M., Beings and Their Attributes: The Teaching of the Basrian School of the Mu'tazila in the Classical Period (Albany: State University of New York Press, 1978), 46.

[8]              Madelung, Wilferd, Religious Trends in Early Islamic Iran (Albany: State University of New York Press, 1987), 157.

[9]              Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 42.


6.           Kritik terhadap Mu'tazilah

Mu'tazilah, sebagai salah satu aliran teologi paling rasional dalam sejarah Islam, tidak terlepas dari kritik tajam, baik dari kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah, kelompok tradisionalis, maupun aliran-aliran lain seperti Khawarij dan Syi'ah. Kritik terhadap Mu'tazilah biasanya berfokus pada pendekatan rasional mereka, interpretasi mereka terhadap wahyu, dan implikasi teologis dari doktrin mereka.

6.1.       Kritik Filosofis

Pendekatan rasionalis Mu'tazilah sering dianggap terlalu mengedepankan akal (aql) dibandingkan wahyu (naql). Para kritikus, termasuk aliran Asy'ariyah, menilai bahwa penekanan Mu'tazilah pada akal dapat menyebabkan penafsiran yang menyimpang dari ajaran agama.¹

Sebagai contoh, kritik utama terhadap konsep tawhid versi Mu'tazilah adalah pandangan mereka yang menolak sifat-sifat Allah sebagai entitas terpisah. Pemikir Sunni seperti Abu al-Hasan al-Ash'ari menganggap pandangan ini sebagai pelemahan makna tawhid itu sendiri. Menurut al-Ash'ari, sifat Allah adalah bagian integral dari Zat-Nya, tetapi tidak dapat disamakan dengan esensi-Nya.²

Selain itu, pendekatan mereka dalam memahami doktrin Khalq al-Qur'an (bahwa Al-Qur'an adalah makhluk) juga menuai kritik. Banyak ulama tradisional memandang hal ini sebagai upaya "merasionalkan" sesuatu yang tidak dapat dijelaskan secara logis, yakni keabadian firman Allah.³

6.2.       Kritik Teologis

Kritik teologis terhadap Mu'tazilah sering kali berfokus pada konsep al-'adl (keadilan Allah) dan doktrin al-wa'd wa al-wa'id (janji dan ancaman Allah). Pandangan Mu'tazilah bahwa manusia memiliki kehendak bebas penuh dianggap bertentangan dengan doktrin qadar (takdir ilahi) yang dipegang oleh mayoritas ulama Sunni.⁴

Imam Ahmad bin Hanbal, salah satu ulama terkemuka Sunni, menolak pandangan Mu'tazilah dengan argumen bahwa jika manusia memiliki kebebasan penuh, maka kekuasaan Allah atas segala sesuatu akan terbatasi. Dalam pandangan Sunni, manusia tetap bertanggung jawab atas perbuatannya, tetapi semua tindakan terjadi dalam kerangka kehendak Allah.⁵

Doktrin al-manzilah bayna al-manzilatayn (posisi di antara dua posisi) juga menuai kritik. Para pengkritik, seperti Al-Ghazali, berpendapat bahwa pandangan ini tidak hanya membingungkan tetapi juga gagal memberikan solusi teologis yang memadai atas status pelaku dosa besar.⁶

6.3.       Kritik Sosial dan Politik

Kebijakan Mihnah (inkuisisi teologis) yang didukung oleh Mu'tazilah di bawah Khalifah Al-Ma'mun juga menjadi salah satu alasan utama turunnya popularitas mereka. Ulama-ulama Sunni menilai bahwa Mihnah adalah bentuk penindasan intelektual, di mana Mu'tazilah menggunakan kekuasaan politik untuk memaksakan doktrin mereka.⁷

Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah satu korban terkenal dari kebijakan ini. Penolakannya terhadap doktrin Mu'tazilah tentang Khalq al-Qur'an menjadikannya simbol perlawanan terhadap penyalahgunaan otoritas agama oleh Mu'tazilah. Setelah era Khalifah Al-Mutawakkil (r. 847–861 M), yang menghentikan kebijakan Mihnah, doktrin Mu'tazilah secara bertahap kehilangan dukungan politik.⁸

6.4.       Kritik Ulama Kontemporer

Di era modern, sebagian ulama melihat pendekatan rasionalis Mu'tazilah sebagai cikal bakal modernisme dalam Islam. Namun, banyak yang menganggap bahwa Mu'tazilah gagal menjaga keseimbangan antara akal dan wahyu. Fazlur Rahman, misalnya, mengakui bahwa pendekatan rasional Mu'tazilah bermanfaat, tetapi ia juga mengkritik mereka karena terlalu mengandalkan akal dalam memahami doktrin-doktrin agama yang seharusnya berada di luar jangkauan logika manusia.⁹

6.5.       Relevansi Kritik dalam Perspektif Modern

Meskipun Mu'tazilah sering kali dikritik, pendekatan mereka tetap relevan dalam menjawab tantangan intelektual modern, seperti dialog antaragama dan filsafat. Kritik terhadap Mu'tazilah menunjukkan pentingnya menjaga keseimbangan antara wahyu dan akal, serta antara tradisi dan modernitas.


Catatan Kaki

[1]              Al-Ash'ari, Abu al-Hasan, Maqalat al-Islamiyyin, ed. H. Ritter (Istanbul: Matba'at al-Dawlah, 1929), 258–260.

[2]              Al-Juwayni, Imam al-Haramayn, Al-Irshad ila Qawati' al-Adillah fi Usul al-I'tiqad (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1950), 99.

[3]              Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 150.

[4]              Watt, W. Montgomery, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 82.

[5]              Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad Ahmad ibn Hanbal, ed. Shu'aib Al-Arna'ut (Beirut: Mu'assasah al-Risalah, 1999), 1:235.

[6]              Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Munqidh min al-Dalal (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1961), 45.

[7]              Ibn al-Jawzi, Al-Muntazam fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 10:213.

[8]              Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, ed. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 2005), 366.

[9]              Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 52.


7.           Warisan Pemikiran Mu'tazilah

Warisan pemikiran Mu'tazilah memiliki pengaruh yang luas dalam tradisi intelektual Islam, meskipun popularitasnya menurun setelah periode Mihnah. Gagasan rasional mereka menjadi salah satu elemen penting dalam perkembangan ilmu kalam dan filsafat Islam. Selain itu, pendekatan mereka yang mengutamakan akal memiliki relevansi dalam diskursus modern tentang teologi dan etika Islam.

7.1.       Pengaruh pada Ilmu Kalam

Mu'tazilah dianggap sebagai pelopor ilmu kalam dalam Islam.¹ Pendekatan sistematis mereka terhadap doktrin-doktrin teologi menjadi dasar bagi perkembangan aliran-aliran lain, seperti Asy'ariyah dan Maturidiyah. Meskipun aliran-aliran ini menolak sebagian besar pandangan Mu'tazilah, mereka mengadopsi metode rasional dalam membangun argumen teologis.²

Sebagai contoh, al-Asy'ari, yang awalnya seorang anggota Mu'tazilah, mengintegrasikan pendekatan logis Mu'tazilah dengan pandangan tekstual Ahlus Sunnah, menciptakan teologi Asy'ariyah yang lebih moderat.³ Dengan demikian, pengaruh Mu'tazilah tetap terasa dalam tradisi Sunni meskipun doktrin mereka secara formal ditolak.

7.2.       Kontribusi pada Filsafat Islam

Mu'tazilah memiliki peran penting dalam mengintegrasikan filsafat Yunani ke dalam pemikiran Islam.⁴ Para pemikir Mu'tazilah, seperti Abu al-Hudhayl al-Allaf dan Al-Jahiz, menggunakan metode logis Aristoteles untuk menjelaskan konsep-konsep teologis Islam.⁵

Warisan ini diteruskan oleh filsuf-filsuf besar seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd, yang mengembangkan filsafat Islam berdasarkan fondasi rasional yang serupa.⁶ Pemikiran Mu'tazilah juga menjadi bagian dari tradisi intelektual yang menghubungkan filsafat Yunani, Kristen, dan Islam dalam dialog antarperadaban.

7.3.       Relevansi Sosial dan Etika

Doktrin Mu'tazilah tentang keadilan ilahi (al-'adl) dan kebebasan manusia (ikhtiyar) memberikan dasar bagi pemikiran etika dalam Islam.⁷ Gagasan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya dan bahwa Allah tidak berbuat zalim dianggap relevan dalam membangun konsep keadilan sosial dan akuntabilitas individu.⁸

Pemikiran ini menjadi inspirasi bagi beberapa pemikir Muslim modern, seperti Fazlur Rahman dan Muhammad Abduh, yang menekankan perlunya pendekatan rasional dalam memahami Islam di era modern.⁹ Warisan etika Mu'tazilah juga relevan dalam diskusi tentang hak asasi manusia dan keadilan global.

7.4.       Kritik terhadap Warisan Mu'tazilah

Meskipun memiliki banyak kontribusi, warisan Mu'tazilah juga mendapat kritik. Sebagian ulama tradisional menganggap pendekatan mereka yang terlalu mengedepankan akal sebagai penyebab munculnya penyimpangan dalam teologi.¹⁰ Selain itu, penggunaan kekuasaan politik untuk memaksakan doktrin mereka selama Mihnah meninggalkan kesan negatif yang sulit dihapus.¹¹

7.5.       Pengaruh di Dunia Kontemporer

Pemikiran Mu'tazilah kembali mendapatkan perhatian di era modern sebagai bagian dari upaya untuk mengintegrasikan Islam dengan nilai-nilai modern, seperti demokrasi dan pluralisme.¹² Para cendekiawan Muslim progresif menganggap pendekatan rasional Mu'tazilah sebagai solusi untuk menjembatani tradisi Islam dengan tantangan intelektual kontemporer.¹³

Namun, pendekatan ini tetap menjadi perdebatan. Sebagian pihak merasa bahwa Mu'tazilah terlalu jauh dalam menempatkan akal di atas wahyu, yang dapat menyebabkan distorsi dalam memahami inti ajaran Islam.¹⁴


Kesimpulan

Warisan Mu'tazilah mencerminkan kontribusi mereka yang signifikan dalam tradisi intelektual Islam, baik dalam ilmu kalam, filsafat, maupun etika. Meskipun doktrin mereka banyak ditolak, metode mereka dalam mengintegrasikan akal dan wahyu terus menjadi bagian penting dari diskursus Islam, baik dalam konteks klasik maupun modern.


Catatan Kaki

[1]              Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 147–149.

[2]              Watt, W. Montgomery, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 79.

[3]              Al-Ash'ari, Abu al-Hasan, Maqalat al-Islamiyyin, ed. H. Ritter (Istanbul: Matba'at al-Dawlah, 1929), 260–261.

[4]              Frank, Richard M., Beings and Their Attributes: The Teaching of the Basrian School of the Mu'tazila in the Classical Period (Albany: State University of New York Press, 1978), 45–46.

[5]              Al-Jahiz, Kitab al-Hayawan, ed. Charles Pellat (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1965), 3:56.

[6]              Nasr, Seyyed Hossein, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World Wisdom, 1976), 112–113.

[7]              Madelung, Wilferd, Religious Trends in Early Islamic Iran (Albany: State University of New York Press, 1987), 157.

[8]              Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 52.

[9]              Abduh, Muhammad, Risalat al-Tawhid, ed. Muhammad Imarah (Cairo: Dar al-Shuruq, 1960), 89–91.

[10]          Ibn Taymiyyah, Majmu' al-Fatawa, ed. Abd al-Rahman bin Muhammad bin Qasim (Riyadh: Dar al-'Alamiyyah, 1981), 3:217.

[11]          Ibn al-Jawzi, Al-Muntazam fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 10:211.

[12]          Soroush, Abdolkarim, Reason, Freedom, and Democracy in Islam (Oxford: Oxford University Press, 2000), 71–73.

[13]          Esposito, John L., Islam and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 1996), 92.

[14]          Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Munqidh min al-Dalal (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1961), 45.


8.           Kesimpulan

Kajian terhadap aliran Mu'tazilah yang didirikan oleh Wasil bin 'Atha' menunjukkan peran penting mereka dalam membentuk sejarah pemikiran Islam. Sebagai salah satu aliran teologi yang menonjolkan pendekatan rasional, Mu'tazilah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan ilmu kalam, filsafat Islam, dan diskursus etika. Namun, pendekatan ini juga memunculkan perdebatan dan kritik tajam, baik pada masa mereka maupun di era kontemporer.

8.1.       Rangkuman Pembahasan

Sebagai aliran yang lahir dari kebutuhan menjawab tantangan intelektual pada masa awal Islam, Mu'tazilah memformulasikan doktrin teologis yang dikenal sebagai al-ushul al-khamsah (lima prinsip utama).¹ Doktrin-doktrin ini berusaha menjelaskan keesaan Allah (tawhid), keadilan ilahi (al-'adl), kebebasan manusia, status pelaku dosa besar, serta kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Pendekatan rasional mereka menawarkan solusi teologis terhadap perdebatan tentang sifat Allah, kehendak bebas, dan hubungan antara akal dan wahyu.²

Namun, dalam praktiknya, Mu'tazilah juga menghadapi tantangan besar, terutama melalui kebijakan Mihnah (inkuisisi teologis) yang diterapkan oleh Khalifah Al-Ma'mun. Kebijakan ini tidak hanya merusak citra mereka, tetapi juga menandai awal penurunan pengaruh mereka dalam tradisi Islam arus utama.³

8.2.       Refleksi dan Pelajaran

Kisah Mu'tazilah memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara akal dan wahyu dalam memahami agama. Pendekatan rasional mereka menginspirasi pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam, tetapi ketergantungan yang berlebihan pada akal juga mengundang kritik bahwa mereka cenderung merasionalisasi aspek-aspek doktrin yang bersifat transendental.⁴

Selain itu, penggunaan kekuasaan politik untuk memaksakan pandangan teologis selama masa Mihnah menggarisbawahi bahaya ketika otoritas agama dan politik bersinggungan secara berlebihan.⁵ Imam Ahmad bin Hanbal, dengan penolakannya terhadap Mihnah, menjadi simbol perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan agama dan pembela utama tradisi Ahlus Sunnah wal Jamaah.⁶

8.3.       Saran untuk Kajian Lebih Lanjut

Meskipun doktrin-doktrin Mu'tazilah banyak ditolak dalam arus utama Islam, metode mereka yang mengedepankan analisis rasional tetap relevan, terutama dalam menjawab tantangan intelektual modern. Para cendekiawan Islam kontemporer dapat belajar dari pendekatan Mu'tazilah untuk membangun dialog antara tradisi Islam dan isu-isu modern, seperti hak asasi manusia, pluralisme, dan etika global.⁷

Kajian lebih lanjut tentang hubungan antara akal dan wahyu, yang menjadi tema sentral dalam pemikiran Mu'tazilah, dapat membantu menciptakan kerangka kerja yang lebih inklusif dan relevan bagi masyarakat Muslim di era globalisasi. Namun, pendekatan ini harus dilakukan dengan tetap menghormati prinsip-prinsip inti Islam yang berakar pada Al-Qur'an dan Sunnah.⁸


Catatan Kaki

[1]              Al-Ash'ari, Abu al-Hasan, Maqalat al-Islamiyyin, ed. H. Ritter (Istanbul: Matba'at al-Dawlah, 1929), 258–260.

[2]              Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 147–149.

[3]              Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, ed. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 2005), 366.

[4]              Frank, Richard M., Beings and Their Attributes: The Teaching of the Basrian School of the Mu'tazila in the Classical Period (Albany: State University of New York Press, 1978), 46.

[5]              Ibn al-Jawzi, Al-Muntazam fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 10:211.

[6]              Watt, W. Montgomery, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 82.

[7]              Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 52.

[8]              Esposito, John L., Islam and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 1996), 92.


Daftar Pustaka (APA Style)

Al-Ash'ari, A. H. (1929). Maqalat al-Islamiyyin (H. Ritter, Ed.). Istanbul: Matba'at al-Dawlah.

Al-Ghazali, A. H. (1961). Al-Munqidh min al-Dalal. Cairo: Dar al-Ma'arif.

Al-Jahiz. (1965). Kitab al-Hayawan (C. Pellat, Ed.). Cairo: Dar al-Ma'arif.

Al-Juwayni, I. al-H. (1950). Al-Irshad ila Qawati' al-Adillah fi Usul al-I'tiqad. Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah.

Al-Nadim, I. (1997). Kitab al-Fihrist (B. Dodge, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Esposito, J. L. (1996). Islam and Democracy. Oxford: Oxford University Press.

Fakhry, M. (2004). A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press.

Frank, R. M. (1978). Beings and Their Attributes: The Teaching of the Basrian School of the Mu'tazila in the Classical Period. Albany: State University of New York Press.

Ibn al-Jawzi. (1992). Al-Muntazam fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam. Beirut: Dar al-Fikr.

Ibn Hanbal, A. (1999). Musnad Ahmad ibn Hanbal (S. Al-Arna'ut, Ed.). Beirut: Mu'assasah al-Risalah.

Ibn Khaldun. (2005). The Muqaddimah: An Introduction to History (F. Rosenthal, Ed.). Princeton: Princeton University Press.

Madelung, W. (1987). Religious Trends in Early Islamic Iran. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1976). Islamic Science: An Illustrated Study. London: World Wisdom.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Soroush, A. (2000). Reason, Freedom, and Democracy in Islam. Oxford: Oxford University Press.

Watt, W. M. (1985). Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.


Lampiran: Daftar Kitab yang Relevan


1.            Kitab al-Fihrist

·                     Penulis: Ibn al-Nadim (w. 995 M)

·                     Deskripsi:

Kitab ini merupakan ensiklopedia yang memuat informasi tentang karya-karya ilmiah dalam berbagai bidang, termasuk teologi Mu'tazilah. Ibn al-Nadim menyebutkan nama-nama tokoh Mu'tazilah dan karya-karya mereka, sehingga menjadi referensi penting untuk memahami perkembangan pemikiran rasional dalam Islam.


2.            Maqalat al-Islamiyyin

·                     Penulis: Abu al-Hasan al-Ash'ari (873–936 M)

·                     Deskripsi:

Kitab ini menyajikan pandangan berbagai aliran teologi Islam, termasuk Mu'tazilah. Meskipun al-Ash'ari akhirnya menjadi kritikus utama Mu'tazilah, kitab ini memberikan gambaran tentang doktrin-doktrin mereka dari sudut pandang seorang mantan anggota aliran tersebut.


3.            Sharh al-Usul al-Khamsah

·                     Penulis: Qadhi Abdul Jabbar (935–1025 M)

·                     Deskripsi:

Karya monumental ini menjelaskan secara rinci lima prinsip utama (al-ushul al-khamsah) dalam doktrin Mu'tazilah. Abdul Jabbar adalah salah satu teolog terkemuka dari Mu'tazilah yang menyusun argumen-argumen sistematis untuk mendukung ajaran mereka.


4.            Al-Hayawan

·                     Penulis: Al-Jahiz (781–869 M)

·                     Deskripsi:

Meskipun dikenal sebagai karya zoologi, kitab ini juga memuat pemikiran teologis dan filosofis Al-Jahiz, salah satu intelektual Mu'tazilah yang terkenal. Di dalamnya terdapat diskusi-diskusi rasional yang mencerminkan pengaruh teologi Mu'tazilah pada pemikiran etika dan sains.


5.            Al-Munyah wa al-Amal fi Sharh al-Milal wa al-Nihal

·                     Penulis: Ibn al-Murtadha (1363–1437 M)

·                     Deskripsi:

Kitab ini merupakan karya penting dalam menjelaskan sejarah dan ajaran berbagai aliran Islam, termasuk Mu'tazilah. Ibn al-Murtadha memberikan penjelasan detail tentang prinsip-prinsip dasar dan sejarah perkembangan Mu'tazilah.


6.            Tabaqat al-Mu'tazilah

·                     Penulis: Ibn al-Murtadha (1363–1437 M)

·                     Deskripsi:

Karya ini menyajikan biografi para tokoh Mu'tazilah dari generasi awal hingga masa Ibn al-Murtadha. Kitab ini sangat berguna untuk memahami perkembangan pemikiran Mu'tazilah dan kontribusi individu-individu di dalamnya.


7.            Kitab al-Intisar

·                     Penulis: Qadhi Abdul Jabbar (935–1025 M)

·                     Deskripsi:

Kitab ini adalah pembelaan terhadap doktrin Mu'tazilah dari berbagai kritik yang diarahkan oleh aliran lain, terutama Asy'ariyah. Karya ini mencerminkan kekuatan argumentasi teologis Mu'tazilah dalam mempertahankan pandangan mereka.


8.            Kitab al-Mughni fi Abwab al-Tawhid wa al-Adl

·                     Penulis: Qadhi Abdul Jabbar (935–1025 M)

·                     Deskripsi:

Kitab ini adalah ensiklopedia teologi Mu'tazilah yang paling komprehensif, mencakup berbagai tema seperti sifat Allah, keadilan, dan kehendak bebas. Karya ini menjadi rujukan utama bagi kajian tentang Mu'tazilah.


9.            Al-Tahdhib

·                     Penulis: Abu al-Hudhayl al-Allaf (753–841 M)

·                     Deskripsi:

Kitab ini memuat diskusi filosofis dan teologis yang mendalam, termasuk argumen rasional tentang sifat-sifat Allah dan kehendak manusia. Abu al-Hudhayl adalah salah satu tokoh awal Mu'tazilah yang berperan besar dalam merumuskan doktrin mereka.


10.         Al-Kamil

·                     Penulis: Al-Mubarrad (826–898 M)

·                     Deskripsi:

Kitab ini adalah karya sastra yang juga mengandung banyak elemen teologis, termasuk pandangan-pandangan Al-Mubarrad yang dipengaruhi oleh Mu'tazilah. Karya ini membantu memahami bagaimana pemikiran Mu'tazilah meresap ke dalam literatur dan budaya Islam.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar