Senin, 24 Maret 2025

Dwifungsi ABRI: Sejarah, Peran Politik, dan Dampaknya bagi Indonesia

Dwifungsi ABRI

Sejarah, Peran Politik, dan Dampaknya bagi Indonesia


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif doktrin Dwifungsi ABRI sebagai salah satu karakteristik utama sistem politik Orde Baru di Indonesia. Dwifungsi ABRI merupakan kebijakan yang menempatkan militer tidak hanya sebagai kekuatan pertahanan negara, tetapi juga sebagai kekuatan sosial-politik yang terlibat langsung dalam pemerintahan, parlemen, dan kehidupan masyarakat sipil. Artikel ini menguraikan asal-usul historis dari kemunculan Dwifungsi ABRI, pelaksanaannya dalam berbagai aspek kehidupan bernegara, serta dampak positif dan negatif yang ditimbulkannya terhadap stabilitas politik, demokrasi, dan hak asasi manusia. Selanjutnya, artikel ini menelusuri proses penghapusan Dwifungsi sebagai bagian dari agenda besar reformasi pasca-1998, termasuk berbagai upaya reformasi militer seperti pemisahan TNI dan Polri serta pengesahan UU TNI Tahun 2004. Evaluasi kritis juga dilakukan terhadap kondisi kontemporer, di mana muncul kembali praktik keterlibatan militer dalam urusan sipil mengindikasikan bahwa warisan Dwifungsi belum sepenuhnya hilang. Oleh karena itu, artikel ini menegaskan pentingnya penguatan supremasi sipil dan konsistensi dalam menjalankan prinsip militer profesional dalam kerangka negara demokratis.

Kata Kunci: Dwifungsi ABRI, Orde Baru, militer dan politik, reformasi 1998, supremasi sipil, TNI, demokratisasi Indonesia.


PEMBAHASAN

Dwifungsi ABRI Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Peran militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia memiliki sejarah panjang yang unik dan kompleks. Sejak awal kemerdekaan, militer tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan negara, tetapi juga terlibat aktif dalam politik dan pemerintahan. Keterlibatan ini kemudian melembaga dalam sebuah doktrin yang dikenal sebagai Dwifungsi ABRI, yaitu peran ganda militer sebagai kekuatan pertahanan dan sekaligus sebagai kekuatan sosial-politik.

Konsep Dwifungsi ABRI lahir dari dinamika politik Indonesia pasca-revolusi dan diperkuat secara sistematis pada masa Orde Baru. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, militer Indonesia tidak hanya menjaga keamanan nasional, tetapi juga ditempatkan dalam berbagai struktur pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, serta di berbagai sektor kehidupan sipil lainnya. Dalam sistem ini, ABRI dianggap sebagai unsur integral dalam pembangunan nasional dan stabilitas politik, dengan dalih bahwa stabilitas merupakan prasyarat bagi pembangunan ekonomi dan kemajuan bangsa secara keseluruhan.1

Namun demikian, penerapan Dwifungsi ABRI juga menimbulkan berbagai persoalan fundamental dalam sistem demokrasi Indonesia. Dominasi militer dalam pemerintahan sipil berkontribusi terhadap lemahnya kontrol sipil atas militer (civilian supremacy) dan terbatasnya ruang partisipasi masyarakat dalam proses politik. Selain itu, berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan represi terhadap oposisi politik selama masa Orde Baru juga tidak dapat dilepaskan dari struktur kekuasaan yang dibentuk oleh Dwifungsi tersebut.2

Reformasi 1998 menandai titik balik penting dalam hubungan militer dan sipil di Indonesia. Tuntutan reformasi mengarah pada penghapusan Dwifungsi ABRI dan mendorong pembentukan militer yang profesional, netral secara politik, dan tunduk kepada otoritas sipil. Perubahan ini menjadi bagian dari upaya lebih luas dalam membangun sistem demokrasi yang sehat dan menjamin perlindungan hak-hak warga negara.3

Mengingat peran penting dan dampak besar Dwifungsi ABRI dalam sejarah politik Indonesia, pembahasan mengenai asal-usul, pelaksanaan, serta pengaruhnya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sangat relevan. Dengan menelaah secara kritis sejarah Dwifungsi ABRI, masyarakat dapat memahami bagaimana militer membentuk lanskap politik Indonesia serta menilai tantangan yang masih dihadapi dalam upaya mewujudkan supremasi sipil dan demokrasi yang substansial.


Footnotes

[1]                Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1999), 275.

[2]                Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation (Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2009), 45.

[3]                Salim Said, Genesis of Power: Asal-Usul Militer di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 198.


2.           Pengertian Dwifungsi ABRI

Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) adalah sebuah doktrin politik-militer yang menyatakan bahwa militer Indonesia tidak hanya memiliki fungsi pertahanan dan keamanan (fungsi pertahanan negara), tetapi juga memiliki fungsi sosial-politik yang melekat dalam struktur pemerintahan dan kehidupan masyarakat sipil. Doktrin ini menjadi fondasi legal dan ideologis bagi keterlibatan militer dalam berbagai bidang non-militer, seperti politik, ekonomi, pemerintahan, dan pendidikan.

Secara formal, Dwifungsi ABRI mulai diperkenalkan dan dilembagakan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, terutama sejak Sidang Umum MPR tahun 1973 yang menetapkan peran ganda ABRI sebagai kekuatan hankam dan kekuatan sosial-politik bangsa. Dalam naskah resmi Ketetapan MPR No. II/MPR/1973, disebutkan bahwa ABRI memiliki fungsi “sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sekaligus sebagai kekuatan sosial-politik.”1 Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa stabilitas nasional tidak hanya bergantung pada keamanan militer semata, tetapi juga pada keikutsertaan militer dalam pembangunan nasional dan tata kelola pemerintahan.

Doktrin Dwifungsi dikembangkan dari pengalaman historis ABRI yang sejak awal kemerdekaan telah terlibat langsung dalam mempertahankan negara, menjaga kedaulatan, dan mengisi kekosongan pemerintahan. Peran ini kemudian dikukuhkan dalam konsep kekaryaan, yaitu pengabdian prajurit ABRI di luar bidang kemiliteran untuk membantu pembangunan nasional.2 Konsep kekaryaan ini menjadi sarana legal dan moral bagi penempatan perwira militer aktif di berbagai posisi strategis, seperti menteri, gubernur, bupati, rektor, hingga pimpinan BUMN.

Di tingkat ideologis, Dwifungsi ABRI mendapat pembenaran melalui doktrin Saptamarga dan Pancasila, yang menyatakan bahwa prajurit ABRI adalah pejuang dan pengabdi bagi kepentingan rakyat dan negara. Dengan demikian, militer diposisikan bukan semata-mata sebagai alat kekuatan negara, tetapi juga sebagai "kekuatan moral" yang ikut menentukan arah pembangunan bangsa.3

Namun, para pengamat dan akademisi melihat Dwifungsi ABRI sebagai bentuk militerisme terselubung yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Keterlibatan militer dalam urusan sipil cenderung menciptakan dominasi satu institusi di atas institusi lainnya, serta memperlemah fungsi kontrol dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.4 Oleh karena itu, definisi Dwifungsi ABRI tidak hanya bersifat normatif-legal, tetapi juga menyimpan dimensi politis yang berimplikasi luas terhadap struktur kekuasaan di Indonesia selama Orde Baru.


Footnotes

[1]                Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, (Jakarta: Sekretariat MPR, 1973).

[2]                Salim Said, Genesis of Power: Asal-Usul Militer di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 165.

[3]                Abdul Haris Nasution, Pokok-Pokok Kekaryaan ABRI dalam Revolusi Indonesia (Jakarta: Pustaka Kartini, 1971), 23.

[4]                Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation (Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2009), 49.


3.           Latar Belakang dan Sejarah Kelahiran Dwifungsi ABRI

Latar belakang munculnya doktrin Dwifungsi ABRI tidak bisa dilepaskan dari konteks historis peran militer dalam proses pembentukan dan penyelamatan negara Indonesia sejak awal kemerdekaan. ABRI—yang pada masa awal dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR)—dibentuk tidak lama setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai respons atas ancaman kolonialisme dan kekosongan otoritas keamanan negara. Sejak saat itu, militer Indonesia memposisikan diri tidak hanya sebagai kekuatan pertahanan, tetapi juga sebagai aktor politik dan penyelamat revolusi nasional.1

Peran politik militer semakin menonjol pada masa Demokrasi Liberal (1950–1959), ketika instabilitas politik dan lemahnya pemerintahan sipil mendorong munculnya sikap intervensif dari kalangan militer. Ketidakpuasan terhadap praktik parlementer, ditambah dengan pengalaman militer dalam menjaga integrasi wilayah negara, melahirkan aspirasi internal di tubuh TNI untuk turut terlibat dalam pengambilan kebijakan politik dan pembangunan nasional.2

Pijakan ideologis bagi Dwifungsi ABRI mulai terbentuk secara sistematis setelah Presiden Soekarno menetapkan sistem Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959. Dalam sistem ini, peran militer mulai dilembagakan dalam struktur pemerintahan, terutama melalui penempatan jenderal-jenderal dalam jabatan menteri, gubernur, dan kepala daerah. Hal ini dianggap sebagai bentuk kontribusi militer dalam menjaga stabilitas politik dan memperkuat wibawa negara.3 Namun, konsep ini masih bersifat informal dan belum menjadi doktrin resmi.

Kelahiran Dwifungsi sebagai doktrin negara terjadi secara eksplisit pada awal masa pemerintahan Orde Baru. Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, militer, yang saat itu dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto, mengambil alih kendali politik nasional melalui pembentukan Orde Baru. Dalam kerangka menegakkan stabilitas dan pembangunan, Soeharto dan para perwira militer merumuskan konsep Dwifungsi sebagai legitimasi atas dominasi militer dalam pemerintahan. Puncaknya, pada Sidang Umum MPR tahun 1973, Dwifungsi ABRI dilegalisasi dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1973, yang menyatakan bahwa ABRI memiliki dua fungsi utama: sebagai kekuatan pertahanan dan sebagai kekuatan sosial-politik.4

Menurut Harold Crouch, penguatan peran politik ABRI selama Orde Baru tidak hanya terjadi di tingkat elit nasional, tetapi juga menyebar ke seluruh sektor kehidupan masyarakat, dari birokrasi hingga dunia pendidikan. Dwifungsi menjadi sarana bagi militer untuk membangun hegemoni politik yang luas, sekaligus mengontrol potensi oposisi terhadap kekuasaan Soeharto.5 Hal ini menjadikan militer sebagai kekuatan dominan dalam sistem politik Indonesia selama lebih dari tiga dekade.

Dalam perkembangannya, Dwifungsi ABRI tidak hanya mencerminkan peran aktif militer dalam pembangunan, tetapi juga menandai transisi militer dari kekuatan tempur menjadi kekuatan politik. Kelahiran doktrin ini berakar pada dinamika sejarah yang kompleks—mulai dari perjuangan revolusioner, instabilitas politik, hingga keinginan untuk menciptakan stabilitas nasional. Namun, legitimasi tersebut kemudian menjadi persoalan ketika peran militer dalam urusan sipil justru menghambat demokratisasi dan supremasi hukum.


Footnotes

[1]                Salim Said, Genesis of Power: Asal-Usul Militer di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 35.

[2]                Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1999), 87.

[3]                Juwono Sudarsono, “Tentara dalam Politik: Perubahan dan Kontinuitas,” Jurnal Prisma, no. 3 (1989): 34–35.

[4]                Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 tentang GBHN, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 1973).

[5]                Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, 199.


4.           Implementasi Dwifungsi ABRI dalam Pemerintahan Orde Baru

Pada masa Orde Baru (1966–1998), implementasi Dwifungsi ABRI menjadi salah satu ciri utama dari sistem pemerintahan yang dibangun oleh Presiden Soeharto. Dwifungsi, yang secara resmi dilembagakan melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1973, memberi legitimasi bagi militer untuk tidak hanya berperan dalam bidang pertahanan dan keamanan, tetapi juga terlibat aktif dalam ranah sosial-politik. Pelaksanaan Dwifungsi ini menjadikan ABRI sebagai aktor politik dominan dalam hampir seluruh aspek kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan Indonesia.

4.1.       Peran ABRI dalam Struktur Politik dan Pemerintahan

Salah satu bentuk paling nyata dari pelaksanaan Dwifungsi ABRI adalah keikutsertaan militer dalam lembaga legislatif dan eksekutif. Di parlemen, ABRI mendapatkan kursi tetap di DPR dan MPR tanpa melalui proses pemilihan umum. Misalnya, dalam masa bakti DPR 1997–1999, terdapat 75 kursi yang disediakan bagi fraksi ABRI, yang terdiri dari anggota aktif militer dan kepolisian.1 Penempatan ini dimaksudkan untuk menjaga “stabilitas politik” dan memastikan bahwa kebijakan negara tetap sejalan dengan garis-garis besar pemerintahan Orde Baru.

Di dalam eksekutif, militer menempati berbagai posisi strategis, termasuk sebagai menteri koordinator, menteri dalam negeri, gubernur, bupati, bahkan kepala desa. Penempatan perwira militer aktif dalam jabatan sipil dilakukan atas dasar konsep kekaryaan, yakni pengabdian militer dalam bidang non-militer demi kepentingan pembangunan nasional.2 Dengan demikian, militer bukan hanya menjadi pengawal keamanan, tetapi juga pengelola birokrasi negara.

4.2.       Keterlibatan dalam Dunia Sosial dan Ekonomi

Dwifungsi ABRI juga diwujudkan dalam keterlibatan militer di sektor sosial dan ekonomi. ABRI memiliki berbagai yayasan dan badan usaha yang terlibat dalam proyek pembangunan, pendidikan, kesehatan, hingga pengelolaan sumber daya alam. Misalnya, Yayasan Kartika Eka Paksi (AD), Yayasan Adi Upaya (AU), dan Yayasan Bhumyamca (AL), yang mengelola berbagai perusahaan, rumah sakit, dan sekolah.3

Keterlibatan ini memungkinkan militer memperoleh sumber daya keuangan di luar anggaran resmi negara, sekaligus memperluas pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat sipil. Namun, hal ini juga memicu praktik-praktik ekonomi rente dan menimbulkan kesenjangan pengawasan terhadap institusi militer.

4.3.       Militer sebagai Penjaga Stabilitas Politik

Dalam kerangka Dwifungsi, ABRI diposisikan sebagai penjaga utama stabilitas politik dan ideologi negara. Militer aktif melakukan pembinaan terhadap masyarakat melalui program-program seperti Operasi Teritorial, Komando Kewilayahan, dan pembinaan ideologi Pancasila di tingkat desa melalui Babinsa (Bintara Pembina Desa). Selain itu, ABRI juga menjadi alat utama dalam penanggulangan gerakan separatis, komunisme, dan kelompok yang dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan Orde Baru.4

Melalui struktur komando teritorial yang menjangkau hingga desa-desa, ABRI memiliki mata dan telinga yang luas terhadap dinamika sosial-politik masyarakat. Dalam banyak kasus, peran ini juga digunakan untuk meredam oposisi dan menekan kritik terhadap pemerintah.

4.4.       Sentralisasi Kekuasaan dan Monopoli Politik

Pelaksanaan Dwifungsi ABRI turut memperkuat sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik dan otoriter. Dengan kontrol militer atas birokrasi dan lembaga legislatif, sistem checks and balances menjadi sangat lemah. Menurut Marcus Mietzner, Dwifungsi menciptakan “struktur otoriter yang sangat stabil” tetapi mengekang perkembangan institusi demokrasi dan meminggirkan masyarakat sipil dari proses pengambilan kebijakan.5

Situasi ini semakin diperparah oleh dominasi Golkar—partai politik utama pendukung pemerintah—yang memiliki hubungan erat dengan ABRI. Banyak petinggi Golkar berasal dari militer, dan partai ini digunakan sebagai kendaraan politik resmi untuk mempertahankan status quo.


Footnotes

[1]                Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dokumen Keanggotaan DPR 1997–1999, (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 1998).

[2]                Salim Said, Genesis of Power: Asal-Usul Militer di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 176.

[3]                Muhammad A.S. Hikam, “The TNI and the Politics of Reform,” dalam Reformasi Militer di Indonesia ed. Harold Crouch dan A.S. Hikam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), 89.

[4]                Juwono Sudarsono, “Tentara dalam Politik: Perubahan dan Kontinuitas,” Jurnal Prisma, no. 3 (1989): 36–37.

[5]                Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation (Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2009), 52.


5.           Dampak Dwifungsi ABRI terhadap Bangsa Indonesia

Implementasi Dwifungsi ABRI selama masa Orde Baru memberikan dampak yang luas dan multidimensional terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dampak ini dapat dikaji dalam dua dimensi besar: pertama, dari sisi stabilitas dan pembangunan nasional yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai dampak positif; kedua, dari sisi pembatasan demokrasi, pelanggaran hak asasi manusia, serta lemahnya kontrol sipil terhadap militer yang dipandang sebagai dampak negatif. Pemahaman yang komprehensif terhadap kedua sisi ini penting untuk menilai warisan politik Orde Baru dan tantangan reformasi di era pasca-1998.

5.1.       Dampak Positif (Versi Pendukung Orde Baru)

1)                  Stabilitas Politik dan Keamanan Nasional

Pendukung Dwifungsi ABRI sering mengemukakan bahwa keterlibatan militer dalam pemerintahan berhasil menciptakan stabilitas nasional yang relatif terjaga dalam jangka panjang. Setelah periode penuh gejolak pada 1950–1965, kehadiran militer dalam struktur negara dianggap mampu mencegah fragmentasi kekuasaan dan konflik antar kelompok politik. Stabilitas ini menjadi fondasi penting bagi pembangunan ekonomi dan pencapaian pertumbuhan yang cukup tinggi pada era 1980-an hingga awal 1990-an.1

2)                  Akselerasi Pembangunan Nasional

Militer juga terlibat dalam program-program pembangunan, seperti Operasi Bhakti TNI, pembinaan teritorial, dan keterlibatan dalam proyek-proyek infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat desa. Keterlibatan ini, dalam pandangan rezim Orde Baru, menunjukkan komitmen militer terhadap cita-cita pembangunan nasional dan pengabdian di luar fungsi tempurnya.2

3)                  Penguatan Persatuan dan Integrasi Nasional

Melalui struktur komando teritorial dan kehadiran aparat militer hingga ke tingkat desa (Babinsa), militer memainkan peran penting dalam menjaga integrasi wilayah Indonesia yang luas dan majemuk. Dalam situasi konflik horizontal atau gerakan separatis, militer dianggap sebagai garda terdepan dalam menjaga keutuhan wilayah negara.3

5.2.       Dampak Negatif (Versi Kritis dan Pandangan Reformis)

1)                  Lemahnya Supremasi Sipil dan Demokrasi

Salah satu dampak paling serius dari Dwifungsi ABRI adalah tergerusnya prinsip supremasi sipil atas militer. Keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil menciptakan sistem kekuasaan yang sulit diawasi secara demokratis. Sebagaimana dikemukakan oleh Harold Crouch, dominasi militer dalam politik menghambat perkembangan lembaga-lembaga sipil yang sehat dan independen.4

2)                  Militerisasi Birokrasi dan Politik

Penempatan perwira militer dalam jabatan sipil menyebabkan terjadinya “militerisasi birokrasi”, di mana pola-pola kerja militer diadopsi dalam sistem pemerintahan sipil. Hal ini menyebabkan birokrasi cenderung bersifat komando dan tidak partisipatif, yang pada akhirnya merusak prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan akuntabel.5

3)                  Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Keterlibatan militer dalam bidang politik dan sosial kerap diiringi oleh tindakan represif terhadap kelompok oposisi, aktivis prodemokrasi, dan masyarakat adat. Berbagai peristiwa seperti Peristiwa Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), dan penculikan aktivis pada 1997–1998 mencerminkan wajah kelam Dwifungsi ABRI yang sarat dengan pelanggaran HAM.6

4)                  Mematikan Dinamika Politik Sipil

Dwifungsi juga melemahkan partisipasi politik rakyat karena peran-peran utama dalam pengambilan kebijakan publik dikuasai oleh militer. Sistem ini menciptakan apatheisme politik di kalangan masyarakat dan mempersempit ruang tumbuhnya oposisi, pers, serta organisasi masyarakat sipil.7


Secara keseluruhan, meskipun Dwifungsi ABRI memberikan kontribusi terhadap stabilitas dan pembangunan nasional, namun biaya sosial-politik yang ditimbulkannya sangat besar. Dwifungsi terbukti menciptakan sistem kekuasaan yang otoriter, mengekang kebebasan sipil, dan memperlemah institusi demokrasi. Oleh karena itu, reformasi total terhadap peran militer dalam kehidupan politik menjadi tuntutan utama gerakan reformasi 1998 dan menjadi dasar bagi pembangunan demokrasi Indonesia ke depan.


Footnotes

[1]                Juwono Sudarsono, “Tentara dalam Politik: Perubahan dan Kontinuitas,” Jurnal Prisma, no. 3 (1989): 39.

[2]                Salim Said, Genesis of Power: Asal-Usul Militer di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 180.

[3]                Mohammad Agus Yusoff, “ABRI dan Pengaruhnya terhadap Politik Indonesia 1966–1998,” Jurnal Tamaddun 4, no. 1 (2009): 35.

[4]                Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1999), 212.

[5]                Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation (Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2009), 54.

[6]                Human Rights Watch, Indonesia: The Military and Human Rights in the Post-Suharto Era, (New York: HRW, 1999), 12–17.

[7]                Rizal Mallarangeng, Membongkar Orde Baru: Studi tentang Pemikiran Politik Soeharto (Jakarta: Gramedia, 2009), 91.


6.           Gerakan Reformasi dan Akhir dari Dwifungsi ABRI

Akhir dari dominasi militer dalam kehidupan politik Indonesia melalui doktrin Dwifungsi ABRI merupakan hasil dari tekanan kuat gerakan reformasi yang mencapai puncaknya pada tahun 1998. Krisis multidimensi yang melanda Indonesia pada saat itu—meliputi krisis ekonomi, krisis legitimasi politik, dan krisis sosial—telah membuka ruang bagi tuntutan perubahan mendasar terhadap struktur kekuasaan Orde Baru, termasuk posisi dominan militer di panggung politik nasional.

6.1.       Latar Belakang Runtuhnya Orde Baru dan Tuntutan Reformasi

Krisis moneter Asia tahun 1997 berdampak sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. Nilai tukar rupiah anjlok drastis, inflasi melonjak, dan angka pengangguran meningkat. Situasi ini diperparah oleh ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi selama rezim Orde Baru, serta tertutupnya sistem politik akibat dominasi Golkar dan Dwifungsi ABRI. Dalam konteks tersebut, berbagai elemen masyarakat—terutama mahasiswa, LSM, akademisi, dan tokoh-tokoh prodemokrasi—menuntut reformasi total terhadap sistem pemerintahan yang otoriter dan tidak akuntabel.1

Tuntutan utama gerakan reformasi antara lain: pengunduran diri Presiden Soeharto, penghapusan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), pembentukan pemerintahan transisi yang demokratis, serta penghapusan Dwifungsi ABRI. Bagi gerakan reformasi, keberadaan militer dalam bidang politik sipil merupakan akar dari berbagai pelanggaran HAM, pengekangan kebebasan sipil, dan tertundanya proses demokratisasi.2

6.2.       Langkah-Langkah Reformasi Militer Pasca-1998

Setelah Soeharto mengundurkan diri pada Mei 1998 dan digantikan oleh Presiden B.J. Habibie, proses reformasi institusional terhadap ABRI mulai dijalankan. Salah satu tonggak awal adalah pidato Panglima ABRI Jenderal Wiranto dalam Rapim ABRI 1998 yang menyatakan komitmen untuk melaksanakan “reformasi internal” dan menarik ABRI dari dunia politik secara bertahap.3

Beberapa langkah penting dalam proses reformasi militer pasca-1998 antara lain:

·                     Pemisahan TNI dan Polri

Pada tahun 1999, melalui TAP MPR No. VI/MPR/2000 dan UU No. 2 Tahun 2002, dilakukan pemisahan institusi militer (TNI) dan kepolisian (Polri) yang sebelumnya tergabung dalam ABRI. Langkah ini penting untuk memperjelas fungsi pertahanan (TNI) dan fungsi keamanan dalam negeri (Polri).4

·                     Penghapusan Fraksi ABRI di DPR/MPR

Mulai tahun 2004, fraksi TNI/Polri tidak lagi memiliki kursi di DPR dan MPR. Hal ini menandai berakhirnya keterlibatan formal militer dalam lembaga legislatif dan merupakan pencapaian besar dalam demokratisasi parlemen Indonesia.5

·                     Pembentukan UU TNI No. 34 Tahun 2004

Undang-undang ini menegaskan bahwa TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan harus bersikap netral dalam kehidupan politik. TNI juga tidak diperbolehkan lagi menjalankan bisnis, dan hanya dapat dikerahkan atas keputusan politik negara.6

6.3.       Transformasi Menuju Militer Profesional

Reformasi terhadap peran TNI pasca-Dwifungsi membuka jalan bagi pembentukan militer yang profesional, netral, dan tunduk pada otoritas sipil. Dalam kerangka ini, militer diposisikan kembali ke peran utamanya sebagai penjaga pertahanan negara. Transformasi ini didorong oleh kesadaran internal sebagian perwira tinggi, tekanan masyarakat sipil, serta dukungan dari komunitas internasional yang menghendaki demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.7

Namun, proses ini tidak berjalan tanpa tantangan. Beberapa kalangan menilai bahwa residu Dwifungsi masih terasa, terutama dalam bentuk keterlibatan militer dalam kegiatan non-pertahanan seperti penanganan konflik sosial, pengamanan proyek strategis, atau keterlibatan dalam birokrasi daerah melalui “penugasan”. Hal ini menimbulkan diskursus baru mengenai batas-batas keterlibatan militer di era demokrasi.8


Secara umum, gerakan reformasi telah berhasil menghapus Dwifungsi ABRI sebagai doktrin resmi negara, serta meletakkan dasar bagi reformasi sektor keamanan di Indonesia. Meski demikian, konsolidasi supremasi sipil dan profesionalisme militer masih menjadi pekerjaan rumah besar yang menuntut kewaspadaan serta komitmen terus-menerus dari seluruh elemen bangsa.


Footnotes

[1]                Arief Budiman, Reformasi: Crisis and Change in Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1999), 22–24.

[2]                A.E. Priyono, Ignas Kleden, dan Olle Törnquist, Demokrasi dan Good Governance: Pandangan Masyarakat Sipil Indonesia (Jakarta: Demos, 2003), 56–57.

[3]                Juwono Sudarsono, “Military Reform in Indonesia: Seeking a Balance between External and Internal Roles,” Asia-Pacific Review 10, no. 1 (2003): 45.

[4]                TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri; Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

[5]                Rizal Sukma, Security Sector Reform in Indonesia: The Military and the Police (Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung, 2005), 17.

[6]                Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

[7]                Marcus Mietzner, The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance (Washington, DC: East-West Center, 2006), 2–4.

[8]                Iis Gindarsah, “Indonesia’s Defense Policy and Military Reform,” RSIS Working Paper, no. 207 (2010): 11–13.


7.           Evaluasi dan Relevansi Dwifungsi ABRI dalam Konteks Kekinian

Setelah lebih dari dua dekade reformasi, peran militer Indonesia telah mengalami transformasi signifikan. Secara formal, doktrin Dwifungsi ABRI telah dihapus dan digantikan oleh prinsip-prinsip militer profesional yang netral secara politik, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun demikian, evaluasi terhadap perkembangan pasca-reformasi menunjukkan bahwa jejak-jejak Dwifungsi masih muncul dalam berbagai bentuk baru, terutama dalam praktik keterlibatan TNI di luar tugas pertahanan.

7.1.       Evaluasi Pasca-Reformasi: Keberhasilan dan Tantangan

Secara positif, reformasi sektor keamanan telah berhasil mengakhiri keterlibatan TNI dalam lembaga legislatif dan menegaskan posisi TNI sebagai alat pertahanan negara yang tunduk pada otoritas sipil. Pemisahan TNI dan Polri serta pengesahan UU TNI menjadi fondasi utama bagi pembentukan militer profesional di era demokrasi.1 TNI juga secara kelembagaan tidak lagi terlibat dalam kegiatan politik praktis, termasuk tidak mendukung partai politik atau mencalonkan diri dalam pemilu.

Namun, sejumlah praktik pasca-reformasi menunjukkan bahwa ruang sipil belum sepenuhnya steril dari pengaruh militer. Keterlibatan TNI dalam penanganan bencana, pengamanan proyek strategis nasional, hingga pengawasan ketahanan pangan dan program pembangunan desa, menunjukkan bahwa militer tetap diaktifkan dalam urusan non-pertahanan dengan alasan stabilitas dan efektivitas negara.2 Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah keterlibatan tersebut merupakan bentuk baru dari Dwifungsi dengan wajah yang berbeda.

Selain itu, beberapa perwira tinggi aktif atau purnawirawan TNI masih memainkan peran signifikan dalam politik nasional. Meskipun secara formal mereka memasuki ranah politik setelah pensiun, hubungan erat antara militer dan elit kekuasaan seringkali menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya pengaruh militerisme dalam pengambilan kebijakan negara.3

7.2.       Relevansi Historis: Ancaman atau Peluang?

Dalam konteks keamanan nasional yang kompleks—termasuk ancaman terorisme, separatisme, konflik horizontal, dan ketimpangan pembangunan—beberapa kalangan menilai bahwa keterlibatan TNI dalam tugas-tugas non-tempur dapat menjadi solusi pragmatis untuk mengisi kelemahan kapasitas lembaga sipil. Pandangan ini menganggap bahwa militer tetap relevan sebagai alat negara yang siap bergerak cepat dan efisien.4

Namun, dari perspektif demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik, keterlibatan militer dalam urusan sipil harus dibatasi secara ketat dan dikontrol melalui regulasi yang jelas. Kembalinya militer dalam urusan sipil tanpa mekanisme pengawasan dapat membuka ruang baru bagi politisasi militer, penyalahgunaan kekuasaan, dan penurunan kualitas demokrasi.5

Menurut Rizal Sukma, salah satu tantangan besar demokrasi Indonesia saat ini adalah memastikan bahwa supremasi sipil tidak hanya bersifat legal-formal, tetapi juga terlaksana secara substantif dalam praktik pemerintahan sehari-hari.6

7.3.       Kebutuhan Konsolidasi Supremasi Sipil dan Reformasi Berkelanjutan

Evaluasi terhadap relevansi Dwifungsi ABRI di era kini menunjukkan pentingnya penguatan institusi sipil, peningkatan kapasitas birokrasi, dan pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan terhadap sektor pertahanan dan keamanan. Reformasi belum boleh berhenti pada perubahan institusional semata, tetapi harus terus diarahkan pada pembentukan kultur demokratis yang menghormati batas-batas peran militer dan sipil.

Ke depan, Indonesia membutuhkan TNI yang kuat dalam fungsi pertahanannya, namun tidak mencampuri urusan sipil dan politik. Profesionalisme TNI hanya dapat terwujud apabila dibarengi dengan komitmen nasional terhadap prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas.


Footnotes

[1]                Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

[2]                Iis Gindarsah, “Indonesia’s Defence Policy and Military Reform,” RSIS Working Paper, no. 207 (Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies, 2010), 13–14.

[3]                Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation (Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2009), 61–63.

[4]                Al Araf, “Mendorong Peran TNI yang Profesional dan Demokratis,” Jurnal HAM, vol. 5, no. 2 (2014): 112–113.

[5]                A.E. Priyono, Ignas Kleden, dan Olle Törnquist, Demokrasi dan Good Governance: Pandangan Masyarakat Sipil Indonesia (Jakarta: Demos, 2003), 82.

[6]                Rizal Sukma, Security Sector Reform in Indonesia: The Military and the Police (Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung, 2005), 27.


8.           Kesimpulan

Doktrin Dwifungsi ABRI merupakan salah satu fenomena paling signifikan dalam sejarah politik Indonesia modern. Ia mencerminkan bagaimana militer, yang awalnya dibentuk untuk fungsi pertahanan negara, berkembang menjadi kekuatan sosial-politik yang dominan, terutama selama masa pemerintahan Orde Baru. Dengan legitimasi ideologis dan hukum—terutama melalui TAP MPR No. II/MPR/1973—ABRI menempatkan diri dalam posisi strategis sebagai penjaga stabilitas sekaligus pelaksana pembangunan nasional.1

Di satu sisi, Dwifungsi ABRI memberikan kontribusi terhadap terciptanya stabilitas politik dan keamanan nasional pada era pasca-1965. Militer turut serta dalam pemerintahan sipil, pembangunan ekonomi, dan menjaga keutuhan wilayah negara. Peran ini dianggap sebagai bagian dari pengabdian militer dalam membangun negara pascakemerdekaan, serta sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap rakyat dan bangsa.2

Namun di sisi lain, dominasi militer atas ranah sipil dan politik membawa dampak serius terhadap perkembangan demokrasi. Sistem politik yang terbentuk menjadi sangat otoriter, menghambat partisipasi masyarakat sipil, dan mengerdilkan prinsip supremasi sipil atas militer. Lebih jauh, Dwifungsi ABRI juga dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia, praktik militerisasi birokrasi, dan melemahnya institusi-institusi negara yang seharusnya independen dan akuntabel.3

Gerakan Reformasi 1998 menandai titik balik penting dalam sejarah hubungan militer-sipil di Indonesia. Tuntutan penghapusan Dwifungsi menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan militeristik dan dorongan menuju demokratisasi. Sejak saat itu, berbagai reformasi struktural dilakukan, termasuk pemisahan TNI dan Polri, penghapusan fraksi TNI/Polri di DPR/MPR, serta pengesahan UU TNI No. 34 Tahun 2004 yang menegaskan netralitas militer dalam politik.4

Namun, evaluasi terhadap perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa warisan Dwifungsi belum sepenuhnya hilang. Keterlibatan TNI dalam urusan sipil atas nama stabilitas, serta kemunculan perwira aktif atau purnawirawan dalam arena politik, memperlihatkan bahwa tantangan terhadap supremasi sipil masih nyata. Oleh karena itu, reformasi militer tidak boleh berhenti pada aspek legal-formal semata, tetapi harus dilanjutkan ke arah penguatan institusi sipil, transparansi pengawasan, serta internalisasi budaya demokrasi dalam semua elemen kekuasaan negara.5

Sebagai penutup, pelajaran penting dari sejarah Dwifungsi ABRI adalah bahwa kekuasaan yang tidak diawasi secara demokratis—betapapun berdalih untuk stabilitas—berpotensi melahirkan penyalahgunaan wewenang dan stagnasi kebebasan politik. Demokrasi yang sehat hanya dapat dibangun di atas fondasi supremasi hukum, akuntabilitas militer, dan partisipasi aktif masyarakat sipil dalam mengawasi jalannya kekuasaan.


Footnotes

[1]                Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, (Jakarta: Sekretariat MPR RI, 1973).

[2]                Salim Said, Genesis of Power: Asal-Usul Militer di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 180–182.

[3]                Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1999), 212–215.

[4]                Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

[5]                Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation (Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2009), 61–65.


Daftar Pustaka

Budiman, A. (1999). Reformasi: Crisis and change in Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Crouch, H. (1999). Militer dan politik di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Gindarsah, I. (2010). Indonesia’s defence policy and military reform. RSIS Working Paper, (207), 1–20. Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies.

Hikam, M. A. S. (2004). The TNI and the politics of reform. In H. Crouch & M. A. S. Hikam (Eds.), Reformasi militer di Indonesia (pp. 85–112). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Human Rights Watch. (1999). Indonesia: The military and human rights in the post-Suharto era. New York: Human Rights Watch.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. (1973). Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.

Mallarangeng, R. (2009). Membongkar Orde Baru: Studi tentang pemikiran politik Soeharto. Jakarta: Gramedia.

Mietzner, M. (2006). The politics of military reform in post-Suharto Indonesia: Elite conflict, nationalism, and institutional resistance. Washington, DC: East-West Center.

Mietzner, M. (2009). Military politics, Islam, and the state in Indonesia: From turbulent transition to democratic consolidation. Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute.

Nasution, A. H. (1971). Pokok-pokok kekaryaan ABRI dalam revolusi Indonesia. Jakarta: Pustaka Kartini.

Priyono, A. E., Kleden, I., & Törnquist, O. (2003). Demokrasi dan good governance: Pandangan masyarakat sipil Indonesia. Jakarta: Demos.

Said, S. (2000). Genesis of power: Asal-usul militer di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sudarsono, J. (1989). Tentara dalam politik: Perubahan dan kontinuitas. Jurnal Prisma, (3), 33–40.

Sudarsono, J. (2003). Military reform in Indonesia: Seeking a balance between external and internal roles. Asia-Pacific Review, 10(1), 44–51.

Sukma, R. (2005). Security sector reform in Indonesia: The military and the police. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung.

TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Yusoff, M. A. (2009). ABRI dan pengaruhnya terhadap politik Indonesia 1966–1998. Jurnal Tamaddun, 4(1), 31–42.


Lampiran 1: Regulasi Dwifungsi ABRI

Dwifungsi ABRI merupakan doktrin militer yang dilembagakan secara politik, bukan melalui undang-undang tersendiri, melainkan melalui sejumlah dokumen resmi negara, terutama melalui Ketetapan MPR (TAP MPR), pidato kenegaraan, dan kebijakan internal militer pada masa Orde Baru.

Namun, dokumen resmi negara yang menjadi dasar hukum paling penting dan sering disebut sebagai "legalisasi" Dwifungsi ABRI adalah:


TAP MPR No. II/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)

Bagian yang relevan mengenai Dwifungsi ABRI:

"...Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) selain sebagai kekuatan utama pertahanan keamanan negara, juga merupakan kekuatan sosial politik yang bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan sosial politik lainnya turut serta dalam perjuangan bangsa dan pembangunan nasional."

Ketetapan ini secara resmi menetapkan doktrin Dwifungsi ABRI sebagai bagian dari kebijakan nasional dan memberi legitimasi politik serta hukum bagi keterlibatan militer dalam pemerintahan dan kehidupan sipil.


Dokumen Terkait Lainnya:

1)                 TAP MPR No. IV/MPR/1978 tentang GBHN 1978–1983

Melanjutkan pengakuan terhadap peran sosial-politik ABRI.

2)                 TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri

Menandai penghapusan struktur ABRI dan menjadi dasar reformasi militer.

3)                 Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI)

Menegaskan bahwa TNI adalah alat negara di bidang pertahanan dan bersifat netral dalam kehidupan politik, serta tidak lagi menjalankan fungsi sosial-politik.


Lampiran 2: Dokumen Hukum Terkait Dwifungsi ABRI

1.            TAP MPR No. II/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)

TAP MPR No. II/MPR/1973 menetapkan bahwa ABRI memiliki dua fungsi utama: sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan sosial-politik.

Bagian relevan dari ketetapan tersebut berbunyi:

"Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), selain sebagai kekuatan utama pertahanan keamanan negara, juga merupakan kekuatan sosial politik yang bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan sosial politik lainnya turut serta dalam perjuangan bangsa dan pembangunan nasional."

Ketetapan ini menjadi dasar legalisasi keterlibatan ABRI dalam bidang politik, pemerintahan, dan kehidupan sosial masyarakat selama masa Orde Baru.

2.            TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri

TAP MPR No. VI/MPR/2000 menetapkan pemisahan institusional antara TNI dan Polri, mengakhiri struktur gabungan ABRI. Ini merupakan tonggak penting dalam proses reformasi militer dan penghapusan Dwifungsi ABRI.

Isi pokok ketetapan:

·                     TNI berfungsi sebagai alat pertahanan negara.

·                     Polri berfungsi sebagai alat keamanan dan ketertiban masyarakat.

·                     Pemisahan ini untuk memperjelas fungsi dan mendorong profesionalisme di kedua lembaga.

3.            Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI)

UU TNI Tahun 2004 menegaskan bahwa TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan yang tunduk pada otoritas sipil dan bersikap netral dalam politik.

Pasal-pasal penting:

·                     Pasal 2: TNI terdiri dari Angkatan Darat, Laut, dan Udara sebagai alat pertahanan negara.

·                     Pasal 5 ayat (2): TNI tidak berpolitik praktis dan tidak memiliki afiliasi politik.

·                     Pasal 7: Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara dan mempertahankan keutuhan wilayah NKRI.

UU ini mengakhiri secara resmi peran sosial-politik TNI sebagaimana dikenal dalam doktrin Dwifungsi ABRI.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar