Dwifungsi ABRI
Sejarah, Peran Politik, dan Dampaknya bagi Indonesia
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif doktrin Dwifungsi
ABRI sebagai salah satu karakteristik utama sistem politik Orde Baru di
Indonesia. Dwifungsi ABRI merupakan kebijakan yang menempatkan militer tidak
hanya sebagai kekuatan pertahanan negara, tetapi juga sebagai kekuatan
sosial-politik yang terlibat langsung dalam pemerintahan, parlemen, dan
kehidupan masyarakat sipil. Artikel ini menguraikan asal-usul historis dari
kemunculan Dwifungsi ABRI, pelaksanaannya dalam berbagai aspek kehidupan
bernegara, serta dampak positif dan negatif yang ditimbulkannya terhadap
stabilitas politik, demokrasi, dan hak asasi manusia. Selanjutnya, artikel ini
menelusuri proses penghapusan Dwifungsi sebagai bagian dari agenda besar
reformasi pasca-1998, termasuk berbagai upaya reformasi militer seperti
pemisahan TNI dan Polri serta pengesahan UU TNI Tahun 2004. Evaluasi kritis
juga dilakukan terhadap kondisi kontemporer, di mana muncul kembali praktik
keterlibatan militer dalam urusan sipil mengindikasikan bahwa warisan Dwifungsi
belum sepenuhnya hilang. Oleh karena itu, artikel ini menegaskan pentingnya
penguatan supremasi sipil dan konsistensi dalam menjalankan prinsip militer
profesional dalam kerangka negara demokratis.
Kata Kunci: Dwifungsi ABRI, Orde Baru, militer dan politik,
reformasi 1998, supremasi sipil, TNI, demokratisasi Indonesia.
PEMBAHASAN
Dwifungsi ABRI Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Peran militer dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia memiliki sejarah panjang yang
unik dan kompleks. Sejak awal kemerdekaan, militer tidak hanya berfungsi
sebagai alat pertahanan negara, tetapi juga terlibat aktif dalam politik dan
pemerintahan. Keterlibatan ini kemudian melembaga dalam sebuah doktrin yang
dikenal sebagai Dwifungsi ABRI, yaitu peran
ganda militer sebagai kekuatan pertahanan dan sekaligus sebagai kekuatan
sosial-politik.
Konsep Dwifungsi
ABRI lahir dari dinamika politik Indonesia pasca-revolusi dan diperkuat secara
sistematis pada masa Orde Baru. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto,
militer Indonesia tidak hanya menjaga keamanan nasional, tetapi juga
ditempatkan dalam berbagai struktur pemerintahan, mulai dari tingkat pusat
hingga daerah, serta di berbagai sektor kehidupan sipil lainnya. Dalam sistem
ini, ABRI dianggap sebagai unsur integral dalam pembangunan nasional dan
stabilitas politik, dengan dalih bahwa stabilitas merupakan prasyarat bagi
pembangunan ekonomi dan kemajuan bangsa secara keseluruhan.1
Namun demikian,
penerapan Dwifungsi ABRI juga menimbulkan berbagai persoalan fundamental dalam
sistem demokrasi Indonesia. Dominasi militer dalam pemerintahan sipil
berkontribusi terhadap lemahnya kontrol sipil atas militer (civilian
supremacy) dan terbatasnya ruang partisipasi masyarakat dalam
proses politik. Selain itu, berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan represi
terhadap oposisi politik selama masa Orde Baru juga tidak dapat dilepaskan dari
struktur kekuasaan yang dibentuk oleh Dwifungsi tersebut.2
Reformasi 1998
menandai titik balik penting dalam hubungan militer dan sipil di Indonesia.
Tuntutan reformasi mengarah pada penghapusan Dwifungsi ABRI dan mendorong
pembentukan militer yang profesional, netral secara politik, dan tunduk kepada
otoritas sipil. Perubahan ini menjadi bagian dari upaya lebih luas dalam
membangun sistem demokrasi yang sehat dan menjamin perlindungan hak-hak warga
negara.3
Mengingat peran
penting dan dampak besar Dwifungsi ABRI dalam sejarah politik Indonesia,
pembahasan mengenai asal-usul, pelaksanaan, serta pengaruhnya terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sangat relevan. Dengan menelaah
secara kritis sejarah Dwifungsi ABRI, masyarakat dapat memahami bagaimana
militer membentuk lanskap politik Indonesia serta menilai tantangan yang masih
dihadapi dalam upaya mewujudkan supremasi sipil dan demokrasi yang substansial.
Footnotes
[1]
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta:
LP3ES, 1999), 275.
[2]
Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in
Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation (Singapore:
ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2009), 45.
[3]
Salim Said, Genesis of Power: Asal-Usul Militer di Indonesia
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 198.
2.
Pengertian Dwifungsi ABRI
Dwifungsi ABRI
(Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) adalah sebuah doktrin politik-militer
yang menyatakan bahwa militer Indonesia tidak hanya memiliki fungsi pertahanan
dan keamanan (fungsi pertahanan negara), tetapi juga memiliki fungsi
sosial-politik yang melekat dalam struktur pemerintahan dan kehidupan
masyarakat sipil. Doktrin ini menjadi fondasi legal dan ideologis bagi
keterlibatan militer dalam berbagai bidang non-militer, seperti politik,
ekonomi, pemerintahan, dan pendidikan.
Secara formal,
Dwifungsi ABRI mulai diperkenalkan dan dilembagakan pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto, terutama sejak Sidang Umum MPR tahun 1973 yang menetapkan
peran ganda ABRI sebagai kekuatan hankam dan kekuatan sosial-politik bangsa.
Dalam naskah resmi Ketetapan MPR No. II/MPR/1973, disebutkan bahwa ABRI
memiliki fungsi “sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sekaligus sebagai
kekuatan sosial-politik.”1 Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa
stabilitas nasional tidak hanya bergantung pada keamanan militer semata, tetapi
juga pada keikutsertaan militer dalam pembangunan nasional dan tata kelola
pemerintahan.
Doktrin Dwifungsi
dikembangkan dari pengalaman historis ABRI yang sejak awal kemerdekaan telah
terlibat langsung dalam mempertahankan negara, menjaga kedaulatan, dan mengisi
kekosongan pemerintahan. Peran ini kemudian dikukuhkan dalam konsep kekaryaan,
yaitu pengabdian prajurit ABRI di luar bidang kemiliteran untuk membantu
pembangunan nasional.2 Konsep kekaryaan ini menjadi sarana legal dan
moral bagi penempatan perwira militer aktif di berbagai posisi strategis,
seperti menteri, gubernur, bupati, rektor, hingga pimpinan BUMN.
Di tingkat
ideologis, Dwifungsi ABRI mendapat pembenaran melalui doktrin Saptamarga dan
Pancasila, yang menyatakan bahwa prajurit ABRI adalah pejuang dan pengabdi bagi
kepentingan rakyat dan negara. Dengan demikian, militer diposisikan bukan
semata-mata sebagai alat kekuatan negara, tetapi juga sebagai "kekuatan moral" yang ikut
menentukan arah pembangunan bangsa.3
Namun, para pengamat
dan akademisi melihat Dwifungsi ABRI sebagai bentuk militerisme terselubung
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Keterlibatan
militer dalam urusan sipil cenderung menciptakan dominasi satu institusi di
atas institusi lainnya, serta memperlemah fungsi kontrol dan akuntabilitas
dalam penyelenggaraan pemerintahan.4 Oleh karena itu, definisi
Dwifungsi ABRI tidak hanya bersifat normatif-legal, tetapi juga menyimpan
dimensi politis yang berimplikasi luas terhadap struktur kekuasaan di Indonesia
selama Orde Baru.
Footnotes
[1]
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan MPR
No. II/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, (Jakarta:
Sekretariat MPR, 1973).
[2]
Salim Said, Genesis of Power: Asal-Usul Militer di Indonesia
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 165.
[3]
Abdul Haris Nasution, Pokok-Pokok Kekaryaan ABRI dalam Revolusi
Indonesia (Jakarta: Pustaka Kartini, 1971), 23.
[4]
Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in
Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation
(Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2009), 49.
3.
Latar Belakang dan Sejarah Kelahiran Dwifungsi
ABRI
Latar belakang
munculnya doktrin Dwifungsi ABRI tidak bisa
dilepaskan dari konteks historis peran militer dalam proses pembentukan dan
penyelamatan negara Indonesia sejak awal kemerdekaan. ABRI—yang pada masa awal
dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR)—dibentuk tidak lama setelah
Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai respons atas ancaman kolonialisme dan
kekosongan otoritas keamanan negara. Sejak saat itu, militer Indonesia
memposisikan diri tidak hanya sebagai kekuatan pertahanan, tetapi juga sebagai
aktor politik dan penyelamat revolusi nasional.1
Peran politik
militer semakin menonjol pada masa Demokrasi Liberal (1950–1959), ketika
instabilitas politik dan lemahnya pemerintahan sipil mendorong munculnya sikap
intervensif dari kalangan militer. Ketidakpuasan terhadap praktik parlementer,
ditambah dengan pengalaman militer dalam menjaga integrasi wilayah negara,
melahirkan aspirasi internal di tubuh TNI untuk turut terlibat dalam
pengambilan kebijakan politik dan pembangunan nasional.2
Pijakan ideologis
bagi Dwifungsi ABRI mulai terbentuk secara sistematis setelah Presiden Soekarno
menetapkan sistem Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959. Dalam sistem ini, peran
militer mulai dilembagakan dalam struktur pemerintahan, terutama melalui
penempatan jenderal-jenderal dalam jabatan menteri, gubernur, dan kepala
daerah. Hal ini dianggap sebagai bentuk kontribusi militer dalam menjaga
stabilitas politik dan memperkuat wibawa negara.3 Namun, konsep ini
masih bersifat informal dan belum menjadi doktrin resmi.
Kelahiran Dwifungsi
sebagai doktrin negara terjadi secara
eksplisit pada awal masa pemerintahan Orde Baru. Setelah peristiwa Gerakan 30
September 1965, militer, yang saat itu dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto,
mengambil alih kendali politik nasional melalui pembentukan Orde Baru. Dalam
kerangka menegakkan stabilitas dan pembangunan, Soeharto dan para perwira
militer merumuskan konsep Dwifungsi sebagai legitimasi atas dominasi militer
dalam pemerintahan. Puncaknya, pada Sidang Umum MPR tahun 1973, Dwifungsi ABRI
dilegalisasi dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1973, yang menyatakan bahwa ABRI
memiliki dua fungsi utama: sebagai kekuatan pertahanan dan sebagai kekuatan sosial-politik.4
Menurut Harold
Crouch, penguatan peran politik ABRI selama Orde Baru tidak
hanya terjadi di tingkat elit nasional, tetapi juga menyebar ke seluruh sektor
kehidupan masyarakat, dari birokrasi hingga dunia pendidikan. Dwifungsi menjadi
sarana bagi militer untuk membangun hegemoni politik yang luas, sekaligus
mengontrol potensi oposisi terhadap kekuasaan Soeharto.5 Hal ini
menjadikan militer sebagai kekuatan dominan dalam sistem politik Indonesia
selama lebih dari tiga dekade.
Dalam
perkembangannya, Dwifungsi ABRI tidak hanya mencerminkan peran aktif militer
dalam pembangunan, tetapi juga menandai transisi militer dari kekuatan tempur
menjadi kekuatan politik. Kelahiran doktrin ini berakar pada dinamika sejarah
yang kompleks—mulai dari perjuangan revolusioner, instabilitas politik, hingga
keinginan untuk menciptakan stabilitas nasional. Namun, legitimasi tersebut
kemudian menjadi persoalan ketika peran militer dalam urusan sipil justru
menghambat demokratisasi dan supremasi hukum.
Footnotes
[1]
Salim Said, Genesis of Power: Asal-Usul Militer di Indonesia
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 35.
[2]
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta:
LP3ES, 1999), 87.
[3]
Juwono Sudarsono, “Tentara dalam Politik: Perubahan dan Kontinuitas,” Jurnal
Prisma, no. 3 (1989): 34–35.
[4]
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan MPR
No. II/MPR/1973 tentang GBHN, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 1973).
[5]
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, 199.
4.
Implementasi Dwifungsi ABRI dalam Pemerintahan
Orde Baru
Pada masa Orde Baru
(1966–1998), implementasi Dwifungsi ABRI menjadi salah
satu ciri utama dari sistem pemerintahan yang dibangun oleh Presiden Soeharto.
Dwifungsi, yang secara resmi dilembagakan melalui Ketetapan MPR No.
II/MPR/1973, memberi legitimasi bagi militer untuk tidak hanya berperan dalam
bidang pertahanan dan keamanan, tetapi juga terlibat aktif dalam ranah sosial-politik.
Pelaksanaan Dwifungsi ini menjadikan ABRI sebagai aktor politik dominan dalam
hampir seluruh aspek kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan Indonesia.
4.1.
Peran ABRI dalam
Struktur Politik dan Pemerintahan
Salah satu bentuk
paling nyata dari pelaksanaan Dwifungsi ABRI adalah keikutsertaan militer dalam
lembaga legislatif dan eksekutif. Di parlemen, ABRI mendapatkan kursi tetap di
DPR dan MPR tanpa melalui proses pemilihan umum. Misalnya, dalam masa bakti DPR
1997–1999, terdapat 75 kursi yang disediakan bagi fraksi ABRI, yang terdiri
dari anggota aktif militer dan kepolisian.1 Penempatan ini
dimaksudkan untuk menjaga “stabilitas politik” dan memastikan bahwa kebijakan
negara tetap sejalan dengan garis-garis besar pemerintahan Orde Baru.
Di dalam eksekutif,
militer menempati berbagai posisi strategis, termasuk sebagai menteri
koordinator, menteri dalam negeri, gubernur, bupati, bahkan kepala desa. Penempatan
perwira militer aktif dalam jabatan sipil dilakukan atas dasar konsep kekaryaan,
yakni pengabdian militer dalam bidang non-militer demi kepentingan pembangunan
nasional.2 Dengan demikian, militer bukan hanya menjadi pengawal
keamanan, tetapi juga pengelola birokrasi negara.
4.2.
Keterlibatan dalam
Dunia Sosial dan Ekonomi
Dwifungsi ABRI juga
diwujudkan dalam keterlibatan militer di sektor sosial dan ekonomi. ABRI
memiliki berbagai yayasan dan badan usaha yang terlibat dalam proyek
pembangunan, pendidikan, kesehatan, hingga pengelolaan sumber daya alam.
Misalnya, Yayasan Kartika Eka Paksi (AD), Yayasan Adi Upaya (AU), dan Yayasan
Bhumyamca (AL), yang mengelola berbagai perusahaan, rumah sakit, dan sekolah.3
Keterlibatan ini
memungkinkan militer memperoleh sumber daya keuangan di luar anggaran resmi
negara, sekaligus memperluas pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat sipil.
Namun, hal ini juga memicu praktik-praktik ekonomi rente dan menimbulkan
kesenjangan pengawasan terhadap institusi militer.
4.3.
Militer sebagai
Penjaga Stabilitas Politik
Dalam kerangka
Dwifungsi, ABRI diposisikan sebagai penjaga utama stabilitas politik dan
ideologi negara. Militer aktif melakukan pembinaan terhadap masyarakat melalui
program-program seperti Operasi Teritorial, Komando Kewilayahan, dan pembinaan
ideologi Pancasila di tingkat desa melalui Babinsa (Bintara Pembina Desa).
Selain itu, ABRI juga menjadi alat utama dalam penanggulangan gerakan
separatis, komunisme, dan kelompok yang dianggap sebagai ancaman terhadap
kekuasaan Orde Baru.4
Melalui struktur
komando teritorial yang menjangkau hingga desa-desa, ABRI memiliki mata dan
telinga yang luas terhadap dinamika sosial-politik masyarakat. Dalam banyak
kasus, peran ini juga digunakan untuk meredam oposisi dan menekan kritik
terhadap pemerintah.
4.4.
Sentralisasi
Kekuasaan dan Monopoli Politik
Pelaksanaan
Dwifungsi ABRI turut memperkuat sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik
dan otoriter. Dengan kontrol militer atas birokrasi dan lembaga legislatif,
sistem checks and balances menjadi sangat lemah. Menurut Marcus
Mietzner, Dwifungsi menciptakan “struktur otoriter yang sangat
stabil” tetapi mengekang perkembangan institusi demokrasi dan meminggirkan
masyarakat sipil dari proses pengambilan kebijakan.5
Situasi ini semakin
diperparah oleh dominasi Golkar—partai politik utama pendukung pemerintah—yang
memiliki hubungan erat dengan ABRI. Banyak petinggi Golkar berasal dari
militer, dan partai ini digunakan sebagai kendaraan politik resmi untuk
mempertahankan status quo.
Footnotes
[1]
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dokumen Keanggotaan DPR
1997–1999, (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 1998).
[2]
Salim Said, Genesis of Power: Asal-Usul Militer di Indonesia
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 176.
[3]
Muhammad A.S. Hikam, “The TNI and the Politics of Reform,” dalam Reformasi
Militer di Indonesia ed. Harold Crouch dan A.S. Hikam (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2004), 89.
[4]
Juwono Sudarsono, “Tentara dalam Politik: Perubahan dan Kontinuitas,” Jurnal
Prisma, no. 3 (1989): 36–37.
[5]
Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in
Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation
(Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2009), 52.
5.
Dampak Dwifungsi ABRI terhadap Bangsa Indonesia
Implementasi Dwifungsi
ABRI selama masa Orde Baru memberikan dampak yang luas dan
multidimensional terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Dampak ini dapat dikaji dalam dua dimensi besar: pertama, dari sisi stabilitas
dan pembangunan nasional yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai dampak
positif; kedua, dari sisi pembatasan demokrasi, pelanggaran hak asasi manusia,
serta lemahnya kontrol sipil terhadap militer yang dipandang sebagai dampak
negatif. Pemahaman yang komprehensif terhadap kedua sisi ini penting untuk menilai
warisan politik Orde Baru dan tantangan reformasi di era pasca-1998.
5.1.
Dampak Positif
(Versi Pendukung Orde Baru)
1)
Stabilitas Politik dan
Keamanan Nasional
Pendukung Dwifungsi
ABRI sering mengemukakan bahwa keterlibatan militer dalam pemerintahan berhasil
menciptakan stabilitas nasional yang relatif terjaga dalam jangka panjang.
Setelah periode penuh gejolak pada 1950–1965, kehadiran militer dalam struktur
negara dianggap mampu mencegah fragmentasi kekuasaan dan konflik antar kelompok
politik. Stabilitas ini menjadi fondasi penting bagi pembangunan ekonomi dan
pencapaian pertumbuhan yang cukup tinggi pada era 1980-an hingga awal 1990-an.1
2)
Akselerasi Pembangunan
Nasional
Militer juga
terlibat dalam program-program pembangunan, seperti Operasi Bhakti TNI,
pembinaan teritorial, dan keterlibatan dalam proyek-proyek infrastruktur dan
pemberdayaan masyarakat desa. Keterlibatan ini, dalam pandangan rezim Orde
Baru, menunjukkan komitmen militer terhadap cita-cita pembangunan nasional dan
pengabdian di luar fungsi tempurnya.2
3)
Penguatan Persatuan dan
Integrasi Nasional
Melalui struktur
komando teritorial dan kehadiran aparat militer hingga ke tingkat desa
(Babinsa), militer memainkan peran penting dalam menjaga integrasi wilayah
Indonesia yang luas dan majemuk. Dalam situasi konflik horizontal atau gerakan
separatis, militer dianggap sebagai garda terdepan dalam menjaga keutuhan
wilayah negara.3
5.2.
Dampak Negatif
(Versi Kritis dan Pandangan Reformis)
1)
Lemahnya Supremasi Sipil
dan Demokrasi
Salah satu dampak
paling serius dari Dwifungsi ABRI adalah tergerusnya prinsip supremasi sipil atas militer. Keterlibatan militer dalam pemerintahan
sipil menciptakan sistem kekuasaan yang sulit diawasi secara demokratis.
Sebagaimana dikemukakan oleh Harold Crouch, dominasi militer dalam politik
menghambat perkembangan lembaga-lembaga sipil yang sehat dan independen.4
2)
Militerisasi Birokrasi dan
Politik
Penempatan perwira
militer dalam jabatan sipil menyebabkan terjadinya “militerisasi birokrasi”, di
mana pola-pola kerja militer diadopsi dalam sistem pemerintahan sipil. Hal ini
menyebabkan birokrasi cenderung bersifat komando dan tidak partisipatif, yang pada
akhirnya merusak prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan akuntabel.5
3)
Pelanggaran Hak Asasi
Manusia
Keterlibatan militer
dalam bidang politik dan sosial kerap diiringi oleh tindakan represif terhadap
kelompok oposisi, aktivis prodemokrasi, dan masyarakat adat. Berbagai peristiwa
seperti Peristiwa Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), dan penculikan
aktivis pada 1997–1998 mencerminkan wajah kelam Dwifungsi ABRI yang sarat
dengan pelanggaran HAM.6
4)
Mematikan Dinamika Politik
Sipil
Dwifungsi juga
melemahkan partisipasi politik rakyat karena peran-peran utama dalam
pengambilan kebijakan publik dikuasai oleh militer. Sistem ini menciptakan apatheisme
politik di kalangan masyarakat dan mempersempit ruang tumbuhnya
oposisi, pers, serta organisasi masyarakat sipil.7
Secara keseluruhan,
meskipun Dwifungsi ABRI memberikan kontribusi terhadap stabilitas dan
pembangunan nasional, namun biaya sosial-politik yang ditimbulkannya sangat besar.
Dwifungsi terbukti menciptakan sistem kekuasaan yang otoriter, mengekang
kebebasan sipil, dan memperlemah institusi demokrasi. Oleh karena itu,
reformasi total terhadap peran militer dalam kehidupan politik menjadi tuntutan
utama gerakan reformasi 1998 dan menjadi dasar bagi pembangunan demokrasi
Indonesia ke depan.
Footnotes
[1]
Juwono Sudarsono, “Tentara dalam Politik: Perubahan dan Kontinuitas,” Jurnal
Prisma, no. 3 (1989): 39.
[2]
Salim Said, Genesis of Power: Asal-Usul Militer di Indonesia
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 180.
[3]
Mohammad Agus Yusoff, “ABRI dan Pengaruhnya terhadap Politik Indonesia
1966–1998,” Jurnal Tamaddun 4, no. 1 (2009): 35.
[4]
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta:
LP3ES, 1999), 212.
[5]
Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in
Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation
(Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2009), 54.
[6]
Human Rights Watch, Indonesia: The Military and Human Rights in the
Post-Suharto Era, (New York: HRW, 1999), 12–17.
[7]
Rizal Mallarangeng, Membongkar Orde Baru: Studi tentang Pemikiran
Politik Soeharto (Jakarta: Gramedia, 2009), 91.
6.
Gerakan Reformasi dan Akhir dari Dwifungsi ABRI
Akhir dari dominasi
militer dalam kehidupan politik Indonesia melalui doktrin Dwifungsi
ABRI merupakan hasil dari tekanan kuat gerakan reformasi yang
mencapai puncaknya pada tahun 1998. Krisis multidimensi yang melanda Indonesia
pada saat itu—meliputi krisis ekonomi, krisis legitimasi politik, dan krisis
sosial—telah membuka ruang bagi tuntutan perubahan mendasar terhadap struktur
kekuasaan Orde Baru, termasuk posisi dominan militer di panggung politik
nasional.
6.1.
Latar Belakang
Runtuhnya Orde Baru dan Tuntutan Reformasi
Krisis moneter Asia
tahun 1997 berdampak sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. Nilai tukar
rupiah anjlok drastis, inflasi melonjak, dan angka pengangguran meningkat.
Situasi ini diperparah oleh ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi selama
rezim Orde Baru, serta tertutupnya sistem politik akibat dominasi Golkar dan
Dwifungsi ABRI. Dalam konteks tersebut, berbagai elemen masyarakat—terutama
mahasiswa, LSM, akademisi, dan tokoh-tokoh prodemokrasi—menuntut reformasi
total terhadap sistem pemerintahan yang otoriter dan tidak akuntabel.1
Tuntutan utama
gerakan reformasi antara lain: pengunduran diri Presiden Soeharto, penghapusan
KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), pembentukan pemerintahan transisi yang
demokratis, serta penghapusan Dwifungsi ABRI.
Bagi gerakan reformasi, keberadaan militer dalam bidang politik sipil merupakan
akar dari berbagai pelanggaran HAM, pengekangan kebebasan sipil, dan
tertundanya proses demokratisasi.2
6.2.
Langkah-Langkah
Reformasi Militer Pasca-1998
Setelah Soeharto
mengundurkan diri pada Mei 1998 dan digantikan oleh Presiden B.J. Habibie,
proses reformasi institusional terhadap ABRI mulai dijalankan. Salah satu
tonggak awal adalah pidato Panglima ABRI Jenderal Wiranto dalam Rapim ABRI 1998
yang menyatakan komitmen untuk melaksanakan “reformasi internal” dan menarik
ABRI dari dunia politik secara bertahap.3
Beberapa langkah
penting dalam proses reformasi militer pasca-1998 antara lain:
·
Pemisahan TNI dan
Polri
Pada tahun 1999, melalui TAP MPR No. VI/MPR/2000
dan UU No. 2 Tahun 2002, dilakukan pemisahan institusi militer (TNI) dan
kepolisian (Polri) yang sebelumnya tergabung dalam ABRI. Langkah ini penting
untuk memperjelas fungsi pertahanan (TNI) dan fungsi keamanan dalam negeri
(Polri).4
·
Penghapusan Fraksi
ABRI di DPR/MPR
Mulai tahun 2004, fraksi TNI/Polri tidak lagi
memiliki kursi di DPR dan MPR. Hal ini menandai berakhirnya keterlibatan formal
militer dalam lembaga legislatif dan merupakan pencapaian besar dalam
demokratisasi parlemen Indonesia.5
·
Pembentukan UU TNI
No. 34 Tahun 2004
Undang-undang ini menegaskan bahwa TNI merupakan
alat negara di bidang pertahanan dan harus bersikap netral dalam kehidupan
politik. TNI juga tidak diperbolehkan lagi menjalankan bisnis, dan hanya dapat
dikerahkan atas keputusan politik negara.6
6.3.
Transformasi Menuju
Militer Profesional
Reformasi terhadap
peran TNI pasca-Dwifungsi membuka jalan bagi pembentukan militer
yang profesional, netral, dan tunduk pada otoritas sipil. Dalam
kerangka ini, militer diposisikan kembali ke peran utamanya sebagai penjaga
pertahanan negara. Transformasi ini didorong oleh kesadaran internal sebagian
perwira tinggi, tekanan masyarakat sipil, serta dukungan dari komunitas
internasional yang menghendaki demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.7
Namun, proses ini
tidak berjalan tanpa tantangan. Beberapa kalangan menilai bahwa residu
Dwifungsi masih terasa, terutama dalam bentuk keterlibatan militer dalam
kegiatan non-pertahanan seperti penanganan konflik sosial, pengamanan proyek
strategis, atau keterlibatan dalam birokrasi daerah melalui “penugasan”.
Hal ini menimbulkan diskursus baru mengenai batas-batas keterlibatan militer di
era demokrasi.8
Secara umum, gerakan
reformasi telah berhasil menghapus Dwifungsi ABRI sebagai doktrin resmi negara,
serta meletakkan dasar bagi reformasi sektor keamanan di Indonesia. Meski
demikian, konsolidasi supremasi sipil dan profesionalisme militer masih menjadi
pekerjaan rumah besar yang menuntut kewaspadaan serta komitmen terus-menerus
dari seluruh elemen bangsa.
Footnotes
[1]
Arief Budiman, Reformasi: Crisis and Change in Indonesia
(Jakarta: LP3ES, 1999), 22–24.
[2]
A.E. Priyono, Ignas Kleden, dan Olle Törnquist, Demokrasi dan Good
Governance: Pandangan Masyarakat Sipil Indonesia (Jakarta: Demos, 2003),
56–57.
[3]
Juwono Sudarsono, “Military Reform in Indonesia: Seeking a Balance
between External and Internal Roles,” Asia-Pacific Review 10, no. 1
(2003): 45.
[4]
TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri; Undang-Undang
Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
[5]
Rizal Sukma, Security Sector Reform in Indonesia: The Military and
the Police (Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung, 2005), 17.
[6]
Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia.
[7]
Marcus Mietzner, The Politics of Military Reform in Post-Suharto
Indonesia: Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance
(Washington, DC: East-West Center, 2006), 2–4.
[8]
Iis Gindarsah, “Indonesia’s Defense Policy and Military Reform,” RSIS
Working Paper, no. 207 (2010): 11–13.
7.
Evaluasi dan Relevansi Dwifungsi ABRI dalam
Konteks Kekinian
Setelah lebih dari
dua dekade reformasi, peran militer Indonesia telah mengalami transformasi
signifikan. Secara formal, doktrin Dwifungsi ABRI telah dihapus
dan digantikan oleh prinsip-prinsip militer profesional yang netral secara politik,
sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia (TNI). Namun demikian, evaluasi terhadap perkembangan
pasca-reformasi menunjukkan bahwa jejak-jejak Dwifungsi masih muncul
dalam berbagai bentuk baru, terutama dalam praktik keterlibatan TNI di luar
tugas pertahanan.
7.1.
Evaluasi
Pasca-Reformasi: Keberhasilan dan Tantangan
Secara positif,
reformasi sektor keamanan telah berhasil mengakhiri keterlibatan TNI dalam
lembaga legislatif dan menegaskan posisi TNI sebagai alat pertahanan negara
yang tunduk pada otoritas sipil. Pemisahan TNI dan Polri serta pengesahan UU
TNI menjadi fondasi utama bagi pembentukan militer profesional di era demokrasi.1
TNI juga secara kelembagaan tidak lagi terlibat dalam kegiatan politik praktis,
termasuk tidak mendukung partai politik atau mencalonkan diri dalam pemilu.
Namun, sejumlah praktik
pasca-reformasi menunjukkan bahwa ruang sipil belum sepenuhnya
steril dari pengaruh militer. Keterlibatan TNI dalam penanganan bencana,
pengamanan proyek strategis nasional, hingga pengawasan ketahanan pangan dan
program pembangunan desa, menunjukkan bahwa militer tetap diaktifkan dalam
urusan non-pertahanan dengan alasan stabilitas dan efektivitas negara.2
Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah keterlibatan tersebut merupakan bentuk
baru dari Dwifungsi dengan wajah yang berbeda.
Selain itu, beberapa
perwira tinggi aktif atau purnawirawan TNI masih memainkan peran signifikan
dalam politik nasional. Meskipun secara formal mereka memasuki ranah politik
setelah pensiun, hubungan erat antara militer dan elit kekuasaan seringkali
menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya pengaruh militerisme dalam pengambilan
kebijakan negara.3
7.2.
Relevansi Historis:
Ancaman atau Peluang?
Dalam konteks
keamanan nasional yang kompleks—termasuk ancaman terorisme, separatisme,
konflik horizontal, dan ketimpangan pembangunan—beberapa kalangan menilai bahwa
keterlibatan TNI dalam tugas-tugas non-tempur dapat menjadi solusi pragmatis
untuk mengisi kelemahan kapasitas lembaga sipil. Pandangan ini menganggap bahwa
militer tetap relevan sebagai alat negara yang siap bergerak cepat dan efisien.4
Namun, dari
perspektif demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik, keterlibatan
militer dalam urusan sipil harus dibatasi secara ketat dan dikontrol melalui
regulasi yang jelas. Kembalinya militer dalam urusan sipil
tanpa mekanisme pengawasan dapat membuka ruang baru bagi politisasi militer,
penyalahgunaan kekuasaan, dan penurunan kualitas demokrasi.5
Menurut Rizal
Sukma, salah satu tantangan besar demokrasi Indonesia saat ini
adalah memastikan bahwa supremasi sipil tidak hanya bersifat legal-formal,
tetapi juga terlaksana secara substantif dalam praktik pemerintahan sehari-hari.6
7.3.
Kebutuhan
Konsolidasi Supremasi Sipil dan Reformasi Berkelanjutan
Evaluasi terhadap
relevansi Dwifungsi ABRI di era kini menunjukkan pentingnya penguatan
institusi sipil, peningkatan kapasitas birokrasi, dan pelibatan
masyarakat sipil dalam pengawasan terhadap sektor pertahanan dan keamanan.
Reformasi belum boleh berhenti pada perubahan institusional semata, tetapi
harus terus diarahkan pada pembentukan kultur demokratis yang menghormati
batas-batas peran militer dan sipil.
Ke depan, Indonesia
membutuhkan TNI yang kuat dalam fungsi pertahanannya, namun tidak mencampuri
urusan sipil dan politik. Profesionalisme TNI hanya dapat terwujud apabila
dibarengi dengan komitmen nasional terhadap prinsip-prinsip demokrasi,
transparansi, dan akuntabilitas.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia.
[2]
Iis Gindarsah, “Indonesia’s Defence Policy and Military Reform,” RSIS
Working Paper, no. 207 (Singapore: S. Rajaratnam School of International
Studies, 2010), 13–14.
[3]
Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in
Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation
(Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2009), 61–63.
[4]
Al Araf, “Mendorong Peran TNI yang Profesional dan Demokratis,” Jurnal
HAM, vol. 5, no. 2 (2014): 112–113.
[5]
A.E. Priyono, Ignas Kleden, dan Olle Törnquist, Demokrasi dan Good
Governance: Pandangan Masyarakat Sipil Indonesia (Jakarta: Demos, 2003),
82.
[6]
Rizal Sukma, Security Sector Reform in Indonesia: The Military and
the Police (Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung, 2005), 27.
8.
Kesimpulan
Doktrin Dwifungsi
ABRI merupakan salah satu fenomena paling signifikan dalam
sejarah politik Indonesia modern. Ia mencerminkan bagaimana militer, yang
awalnya dibentuk untuk fungsi pertahanan negara, berkembang menjadi kekuatan
sosial-politik yang dominan, terutama selama masa pemerintahan Orde Baru.
Dengan legitimasi ideologis dan hukum—terutama melalui TAP MPR No.
II/MPR/1973—ABRI menempatkan diri dalam posisi strategis sebagai penjaga
stabilitas sekaligus pelaksana pembangunan nasional.1
Di satu sisi,
Dwifungsi ABRI memberikan kontribusi terhadap terciptanya stabilitas politik
dan keamanan nasional pada era pasca-1965. Militer turut serta dalam
pemerintahan sipil, pembangunan ekonomi, dan menjaga keutuhan wilayah negara.
Peran ini dianggap sebagai bagian dari pengabdian militer dalam membangun
negara pascakemerdekaan, serta sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap
rakyat dan bangsa.2
Namun di sisi lain,
dominasi militer atas ranah sipil dan politik membawa dampak serius terhadap
perkembangan demokrasi. Sistem politik yang terbentuk menjadi sangat otoriter,
menghambat partisipasi masyarakat sipil, dan mengerdilkan prinsip supremasi sipil atas militer. Lebih jauh, Dwifungsi ABRI juga dikaitkan dengan
pelanggaran hak asasi manusia, praktik militerisasi birokrasi, dan melemahnya
institusi-institusi negara yang seharusnya independen dan akuntabel.3
Gerakan Reformasi
1998 menandai titik balik penting dalam sejarah hubungan militer-sipil di
Indonesia. Tuntutan penghapusan Dwifungsi menjadi simbol perlawanan terhadap
kekuasaan militeristik dan dorongan menuju demokratisasi. Sejak saat itu,
berbagai reformasi struktural dilakukan, termasuk pemisahan TNI dan Polri,
penghapusan fraksi TNI/Polri di DPR/MPR, serta pengesahan UU TNI No. 34 Tahun
2004 yang menegaskan netralitas militer dalam politik.4
Namun, evaluasi
terhadap perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa warisan Dwifungsi belum
sepenuhnya hilang. Keterlibatan TNI dalam urusan sipil atas
nama stabilitas, serta kemunculan perwira aktif atau purnawirawan dalam arena
politik, memperlihatkan bahwa tantangan terhadap supremasi sipil masih nyata.
Oleh karena itu, reformasi militer tidak boleh berhenti pada aspek legal-formal
semata, tetapi harus dilanjutkan ke arah penguatan institusi sipil,
transparansi pengawasan, serta internalisasi budaya demokrasi dalam semua
elemen kekuasaan negara.5
Sebagai penutup,
pelajaran penting dari sejarah Dwifungsi ABRI adalah bahwa kekuasaan yang tidak
diawasi secara demokratis—betapapun berdalih untuk stabilitas—berpotensi
melahirkan penyalahgunaan wewenang dan stagnasi kebebasan politik. Demokrasi
yang sehat hanya dapat dibangun di atas fondasi supremasi hukum, akuntabilitas militer, dan
partisipasi aktif masyarakat sipil dalam mengawasi jalannya
kekuasaan.
Footnotes
[1]
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan MPR
No. II/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, (Jakarta:
Sekretariat MPR RI, 1973).
[2]
Salim Said, Genesis of Power: Asal-Usul Militer di Indonesia
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 180–182.
[3]
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta:
LP3ES, 1999), 212–215.
[4]
Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia.
[5]
Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in
Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation
(Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2009), 61–65.
Daftar Pustaka
Budiman, A. (1999). Reformasi: Crisis and change
in Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Crouch, H. (1999). Militer dan politik di
Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Gindarsah, I. (2010). Indonesia’s defence policy
and military reform. RSIS Working Paper, (207), 1–20. Singapore: S. Rajaratnam
School of International Studies.
Hikam, M. A. S. (2004). The TNI and the politics of
reform. In H. Crouch & M. A. S. Hikam (Eds.), Reformasi militer di
Indonesia (pp. 85–112). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Human Rights Watch. (1999). Indonesia: The
military and human rights in the post-Suharto era. New York: Human Rights
Watch.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
(1973). Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
Mallarangeng, R. (2009). Membongkar Orde Baru:
Studi tentang pemikiran politik Soeharto. Jakarta: Gramedia.
Mietzner, M. (2006). The politics of military
reform in post-Suharto Indonesia: Elite conflict, nationalism, and
institutional resistance. Washington, DC: East-West Center.
Mietzner, M. (2009). Military politics, Islam,
and the state in Indonesia: From turbulent transition to democratic
consolidation. Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute.
Nasution, A. H. (1971). Pokok-pokok kekaryaan
ABRI dalam revolusi Indonesia. Jakarta: Pustaka Kartini.
Priyono, A. E., Kleden, I., & Törnquist, O.
(2003). Demokrasi dan good governance: Pandangan masyarakat sipil Indonesia.
Jakarta: Demos.
Said, S. (2000). Genesis of power: Asal-usul
militer di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Sudarsono, J. (1989). Tentara dalam politik:
Perubahan dan kontinuitas. Jurnal Prisma, (3), 33–40.
Sudarsono, J. (2003). Military reform in Indonesia:
Seeking a balance between external and internal roles. Asia-Pacific Review,
10(1), 44–51.
Sukma, R. (2005). Security sector reform in
Indonesia: The military and the police. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung.
TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan
Polri.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia.
Yusoff, M. A. (2009). ABRI dan pengaruhnya terhadap
politik Indonesia 1966–1998. Jurnal Tamaddun, 4(1), 31–42.
Lampiran 1: Regulasi Dwifungsi ABRI
Dwifungsi ABRI
merupakan doktrin militer yang dilembagakan secara politik,
bukan melalui undang-undang tersendiri, melainkan melalui sejumlah dokumen
resmi negara, terutama melalui Ketetapan MPR (TAP MPR), pidato
kenegaraan, dan kebijakan internal militer pada masa Orde Baru.
Namun, dokumen resmi
negara yang menjadi dasar hukum paling penting dan sering disebut sebagai
"legalisasi" Dwifungsi ABRI adalah:
TAP MPR No. II/MPR/1973 tentang Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN)
Bagian yang relevan mengenai Dwifungsi ABRI:
"...Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) selain sebagai kekuatan utama pertahanan keamanan negara, juga
merupakan kekuatan sosial politik yang bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan
sosial politik lainnya turut serta dalam perjuangan bangsa dan pembangunan
nasional."
Ketetapan ini secara resmi
menetapkan doktrin Dwifungsi ABRI sebagai bagian dari kebijakan
nasional dan memberi legitimasi politik serta hukum bagi keterlibatan
militer dalam pemerintahan dan kehidupan sipil.
Dokumen Terkait Lainnya:
1)
TAP MPR No. IV/MPR/1978
tentang GBHN 1978–1983
Melanjutkan pengakuan terhadap peran
sosial-politik ABRI.
2)
TAP MPR No. VI/MPR/2000
tentang Pemisahan TNI dan Polri
Menandai penghapusan struktur ABRI
dan menjadi dasar reformasi militer.
3)
Undang-Undang Republik
Indonesia No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI)
Menegaskan bahwa TNI adalah alat negara
di bidang pertahanan dan bersifat netral dalam kehidupan
politik, serta tidak lagi menjalankan fungsi sosial-politik.
Lampiran 2: Dokumen Hukum Terkait Dwifungsi ABRI
1.
TAP MPR No.
II/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
TAP MPR No. II/MPR/1973 menetapkan
bahwa ABRI memiliki dua fungsi utama: sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai
kekuatan sosial-politik.
Bagian relevan dari ketetapan tersebut
berbunyi:
"Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI), selain sebagai kekuatan utama pertahanan keamanan negara,
juga merupakan kekuatan sosial politik yang bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan
sosial politik lainnya turut serta dalam perjuangan bangsa dan pembangunan
nasional."
Ketetapan ini menjadi dasar legalisasi
keterlibatan ABRI dalam bidang politik, pemerintahan, dan kehidupan sosial
masyarakat selama masa Orde Baru.
2.
TAP MPR No.
VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri
TAP MPR No. VI/MPR/2000 menetapkan
pemisahan institusional antara TNI dan Polri, mengakhiri struktur gabungan
ABRI. Ini merupakan tonggak penting dalam proses reformasi militer dan
penghapusan Dwifungsi ABRI.
Isi pokok ketetapan:
·
TNI berfungsi sebagai alat
pertahanan negara.
·
Polri berfungsi sebagai
alat keamanan dan ketertiban masyarakat.
·
Pemisahan ini untuk
memperjelas fungsi dan mendorong profesionalisme di kedua lembaga.
3.
Undang-Undang Republik
Indonesia No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI)
UU TNI Tahun 2004 menegaskan bahwa TNI
merupakan alat negara di bidang pertahanan yang tunduk pada otoritas sipil dan
bersikap netral dalam politik.
Pasal-pasal penting:
·
Pasal 2: TNI terdiri
dari Angkatan Darat, Laut, dan Udara sebagai alat pertahanan negara.
·
Pasal 5 ayat (2):
TNI tidak berpolitik praktis dan tidak memiliki afiliasi politik.
·
Pasal 7: Tugas pokok
TNI adalah menegakkan kedaulatan negara dan mempertahankan keutuhan wilayah
NKRI.
UU ini mengakhiri secara resmi peran
sosial-politik TNI sebagaimana dikenal dalam doktrin Dwifungsi ABRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar