Jumat, 28 Maret 2025

Ikhwan al-Shafa: Harmoni Ilmu dan Agama dalam Filsafat Islam Klasik

Ikhwan al-Shafa

Harmoni Ilmu dan Agama dalam Filsafat Islam Klasik


Abstrak

Artikel ini membahas pemikiran dan kontribusi Ikhwan al-Shafa, sebuah kelompok intelektual Muslim yang berkembang pada abad ke-10 M di Basrah, yang dikenal melalui karya ensiklopedis mereka Rasāʾil Ikhwān al-Ṣafāʾ. Melalui pendekatan multidisipliner, mereka menyatukan berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan spiritualitas Islam dalam kerangka filsafat yang bersifat rasional, simbolik, dan transformatif. Artikel ini menguraikan latar historis kemunculan Ikhwan al-Shafa, struktur dan isi risalah mereka, pandangan filosofis dan teologis, serta konsep pendidikan dan epistemologi yang mereka bangun. Selain itu, dibahas pula pengaruh pemikiran mereka terhadap filsafat Islam dan pendidikan, serta relevansinya dalam konteks keilmuan kontemporer. Meskipun pemikiran mereka menghadapi berbagai kritik, terutama terkait sinkretisme dan ambiguitas metode penyampaian, Ikhwan al-Shafa tetap menjadi representasi penting dari usaha harmonisasi antara ilmu dan agama dalam tradisi Islam klasik.

Kata Kunci: Ikhwan al-Shafa, filsafat Islam, ensiklopedia, rasionalisme, pendidikan Islam, tazkiyah, harmoni ilmu dan agama, spiritualitas.


PEMBAHASAN

Ikhwan al-Shafa Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam klasik, abad ke-9 hingga ke-11 Masehi menandai era kejayaan intelektual yang ditandai oleh semangat penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, kemajuan dalam ilmu pengetahuan, dan lahirnya berbagai aliran filsafat Islam. Salah satu kelompok intelektual yang menonjol dalam periode ini adalah Ikhwan al-Shafa’ wa Khullan al-Wafa’ (Persaudaraan Suci dan Sahabat Setia), sebuah kelompok rahasia yang dikenal melalui karya ensiklopedis mereka, Rasāʾil Ikhwān al-Ṣafāʾ, yang terdiri atas 52 risalah. Karya ini menjadi salah satu bukti penting dari sintesis antara rasionalitas filsafat dan spiritualitas agama dalam peradaban Islam abad pertengahan.¹

Ikhwan al-Shafa muncul di tengah dinamika perdebatan antara ilmu dan agama, serta antara akal dan wahyu. Dalam konteks ini, mereka berusaha merumuskan suatu kerangka pemikiran yang menyatukan berbagai disiplin ilmu, mulai dari matematika, logika, astronomi, hingga metafisika dan spiritualitas Islam.² Gagasan mereka mencerminkan pengaruh kuat dari filsafat Yunani kuno (khususnya Pythagoras dan Plato), Neo-Platonisme, serta unsur-unsur esoterisme dan sufisme.³ Dengan demikian, mereka tidak hanya menawarkan model pemikiran ensiklopedis, tetapi juga suatu visi filosofis-religius yang mendalam tentang kesatuan dan keharmonisan kosmos.

Tujuan utama dari penulisan Rasāʾil adalah pendidikan dan penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs), dengan meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.⁴ Mereka mengembangkan gagasan bahwa pemahaman rasional terhadap alam semesta sejalan dengan wahyu ilahi, sehingga tidak perlu ada dikotomi antara filsafat dan agama. Dalam pandangan Ikhwan al-Shafa, kebenaran bersifat universal dan dapat ditemukan melalui berbagai jalan, selama seseorang mencari dengan niat yang tulus dan akal yang sehat.⁵

Kajian terhadap Ikhwan al-Shafa menjadi penting tidak hanya karena kontribusi historis mereka, tetapi juga karena relevansi pemikiran mereka dalam menjawab tantangan integrasi ilmu dan agama pada masa kini. Di tengah kecenderungan modern terhadap pemisahan antara sains dan spiritualitas, pendekatan mereka yang harmonis dan inklusif memberikan inspirasi bagi pembentukan paradigma pendidikan dan pemikiran Islam yang seimbang dan utuh.⁶


Footnotes

[1]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 1–3.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 61–64.

[3]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 138–142.

[4]                Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 132–136.

[5]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 153–155.

[6]                Nasr, Science and Civilization in Islam, 66.


2.           Konteks Historis dan Sosial

Kemunculan kelompok Ikhwan al-Shafa tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah dan sosial intelektual Islam pada abad ke-10 M, khususnya di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu, dunia Islam berada dalam puncak kemajuan peradaban ilmiah, filosofis, dan budaya, yang ditandai dengan berdirinya lembaga-lembaga ilmu seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad dan merebaknya gerakan penerjemahan besar-besaran karya-karya Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab.¹

Secara geografis, kelompok Ikhwan al-Shafa diyakini berasal dari kota Basrah, sebuah kota pelabuhan penting di wilayah selatan Irak yang menjadi pusat perdagangan dan pertukaran gagasan. Basrah saat itu merupakan tempat pertemuan berbagai mazhab pemikiran: dari Mu’tazilah dan Asy’ariyah, hingga Syi’ah, Zindiq, dan komunitas filsuf Muslim yang memadukan tradisi rasionalisme Yunani dengan spiritualitas Islam.² Dalam lingkungan yang plural inilah, Ikhwan al-Shafa mengembangkan visi mereka tentang persaudaraan intelektual dan penyucian jiwa yang tidak eksklusif terhadap satu mazhab teologis tertentu, melainkan bersifat inklusif dan filosofis.

Secara politik, era tersebut ditandai oleh melemahnya kekuasaan pusat Abbasiyah dan meningkatnya fragmentasi wilayah kekuasaan Islam menjadi dinasti-dinasti otonom seperti Buwaihi (Buyid) di Persia dan Irak.³ Dinasti Buwaihi, yang berhaluan Syiah Zaydi dan bersikap relatif toleran terhadap perbedaan mazhab dan aliran, memberi ruang bagi berkembangnya pemikiran filsafat dan tasawuf, meskipun sering kali harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Ikhwan al-Shafa, yang sebagian pemikirannya cenderung pada simbolisme, alegori, dan pendekatan esoterik, kemungkinan besar beroperasi dalam suasana politik yang menuntut kerahasiaan identitas mereka.⁴

Secara sosial, kalangan terpelajar Muslim mulai menunjukkan minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat, tetapi pada saat yang sama muncul pula resistensi dari kelompok tradisionalis yang mencurigai filsafat sebagai ancaman terhadap otoritas wahyu. Kelompok seperti Ikhwan al-Shafa mencoba menjembatani ketegangan ini dengan mengintegrasikan ajaran filsafat ke dalam kerangka keislaman yang bersifat spiritual dan etis.⁵ Mereka memandang bahwa ilmu tidak boleh dipisahkan dari kebijaksanaan dan penyucian diri, dan karena itu, tujuan utama dari ilmu adalah untuk membimbing manusia menuju kesempurnaan moral dan spiritual.⁶

Dari segi intelektual, para pemikir Ikhwan al-Shafa hidup dalam tradisi filsafat yang telah menerima pengaruh dari Platonisme, Aristotelianisme, Pythagoreanisme, dan Neo-Platonisme, yang telah terlebih dahulu diadaptasi oleh pemikir Muslim sebelumnya seperti al-Kindi dan al-Farabi.⁷ Namun berbeda dari filsuf murni, Ikhwan al-Shafa memadukan rasionalisme filsafat dengan nuansa mistik dan simbolik yang menyerupai pendekatan kaum sufi, menjadikan pemikiran mereka unik dalam khazanah filsafat Islam.

Dengan demikian, lahirnya Ikhwan al-Shafa merupakan respons terhadap kondisi zaman yang kompleks, di mana kecintaan terhadap ilmu bertemu dengan pencarian spiritual, dan semangat filsafat berhadapan dengan otoritas agama. Dalam lanskap ini, Ikhwan al-Shafa menawarkan jalan tengah: suatu sintesis antara akal dan iman, filsafat dan syariat, ilmu dan tazkiyah, dalam bingkai kosmologi yang harmonis dan transendental.


Footnotes

[1]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 13–14.

[2]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 18–21.

[3]                Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the Sixth to the Eleventh Century (London: Longman, 2004), 271–274.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 145.

[5]                Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 137–139.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 68.

[7]                Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2015), 35–37.


3.           Profil dan Karakteristik Ikhwan al-Shafa

Ikhwan al-Shafa’ wa Khullan al-Wafa’ (Persaudaraan Suci dan Sahabat Setia) merupakan kelompok intelektual rahasia yang berkembang sekitar abad ke-10 M di kota Basrah. Meskipun karya mereka—Rasāʾil Ikhwān al-Ṣafāʾ—sangat berpengaruh dalam tradisi filsafat Islam, identitas personal para anggotanya tetap menjadi misteri hingga kini. Mereka tidak menyebutkan nama atau latar belakang mereka secara eksplisit dalam karya-karyanya, kemungkinan besar untuk menjaga keselamatan dan kebebasan berpikir mereka dalam konteks sosial-politik yang rawan terhadap pemikiran yang dianggap menyimpang.¹

Beberapa sejarawan dan sarjana Muslim klasik maupun modern mencoba mengidentifikasi tokoh-tokoh di balik kelompok ini. Nama-nama seperti al-Tawhidi, Abu Sulayman al-Busti (al-Muqaddasi), dan al-'Amiri sempat dikaitkan dengan Ikhwan al-Shafa, tetapi tidak ada konsensus yang pasti.² Keputusan mereka untuk tetap anonim dipahami sebagai bagian dari filosofi kolektif dan kerendahan hati yang menekankan pentingnya substansi pemikiran, bukan ketenaran pribadi.³ Mereka menyebut diri mereka sebagai ikhwan (saudara) yang terikat oleh persaudaraan intelektual dan spiritual, bukan oleh status sosial atau garis keturunan.

Tujuan utama dari kelompok ini adalah pembentukan manusia ideal melalui pengembangan ilmu pengetahuan, etika, dan spiritualitas. Mereka memandang bahwa kehidupan yang baik hanya dapat dicapai jika manusia memadukan kekuatan akal dengan kemurnian hati, dan bahwa kebahagiaan sejati hanya mungkin bila jiwa manusia mencapai kesempurnaan dan kembali kepada Sang Pencipta.⁴ Hal ini sejalan dengan semangat filsafat Yunani klasik yang digabungkan dengan nilai-nilai Islam, terutama dalam pemahaman tentang tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa) dan hikmah (kebijaksanaan).

Ikhwan al-Shafa memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan mereka dari kelompok filsuf lainnya dalam Islam. Pertama, mereka menekankan pendekatan ensiklopedis dan sistematis terhadap ilmu pengetahuan. Mereka menyusun ilmu-ilmu rasional dan religius secara hierarkis, mulai dari matematika dan logika hingga teologi dan spiritualitas, dengan keyakinan bahwa pemahaman yang benar atas alam semesta akan membawa manusia kepada kebenaran ilahi.⁵ Kedua, mereka mengusung pandangan inklusif dan universal, tidak membatasi kebenaran hanya pada satu mazhab atau agama. Mereka mengakui adanya kebenaran dalam berbagai tradisi, termasuk filsafat Yunani, agama-agama Abrahamik, dan bahkan hikmah-hikmah India dan Persia.⁶

Karakter lain dari kelompok ini adalah gaya penyampaian alegoris dan simbolik. Dalam banyak risalahnya, mereka menggunakan kisah fabel atau narasi simbolis, seperti dalam risalah terkenal “Epistle of the Animals” yang mengisahkan pengadilan antara hewan dan manusia. Kisah tersebut bukan sekadar hiburan, melainkan sarana untuk menyampaikan kritik sosial, etika, dan spiritual secara halus.⁷

Secara internal, Ikhwan al-Shafa menerapkan struktur keanggotaan bertingkat yang mencerminkan proses pembinaan jiwa. Mereka membagi tingkatan spiritual ke dalam empat jenjang: (1) pemuda yang mencintai kebajikan, (2) anggota aktif yang terlibat dalam pembinaan moral, (3) orang bijak yang telah mencapai penguasaan ilmu dan etika, dan (4) pemimpin spiritual sejati yang berperan sebagai pembimbing.⁸ Hal ini menunjukkan bahwa kelompok ini tidak hanya bersifat intelektual, tetapi juga memiliki sistem pendidikan dan pembinaan spiritual yang mapan.

Dengan demikian, Ikhwan al-Shafa dapat dipahami sebagai komunitas filsuf Muslim yang berupaya membentuk tatanan masyarakat yang ideal, berdasarkan kesatuan ilmu dan iman, akal dan wahyu, serta rasionalitas dan spiritualitas. Mereka tidak hanya menghasilkan pemikiran teoritis, tetapi juga menawarkan model pembentukan manusia sempurna (insān kāmil) yang tetap relevan dalam wacana filsafat dan pendidikan Islam kontemporer.


Footnotes

[1]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 4–6.

[2]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 146.

[3]                Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 135.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 65.

[5]                Nader El-Bizri, “Epistles of the Brethren of Purity,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 124–125.

[6]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 158.

[7]                Lenn E. Goodman, “Ikhwān al-Ṣafāʾ: A Brotherhood of Idealists,” The Journal of the American Oriental Society 81, no. 1 (1961): 11–13.

[8]                Corbin, History of Islamic Philosophy, 149.


4.           Karya Utama: Rasāʾil Ikhwān al-Ṣafāʾ

Kontribusi paling monumental dari Ikhwan al-Shafa adalah penyusunan karya ensiklopedis berjudul Rasāʾil Ikhwān al-Ṣafāʾ wa Khullān al-Wafāʾ (Risalah-Risalah Persaudaraan Suci dan Sahabat Setia). Karya ini terdiri atas 52 risalah yang disusun dalam empat bagian utama, mencakup berbagai bidang ilmu pengetahuan, mulai dari matematika hingga metafisika.¹ Dalam dunia Islam klasik, belum ada karya filsafat dan ilmu pengetahuan yang setara dengan keluasan, kedalaman, dan sistematika yang dicapai dalam Rasāʾil ini.

Struktur Rasāʾil mencerminkan pendekatan ensiklopedis yang khas dari Ikhwan al-Shafa.² Mereka membagi risalah-risalah tersebut ke dalam empat kategori besar:

1)                  Ilmu-ilmu matematika dan logika (risalah 1–14), mencakup aritmetika, geometri, musik, astronomi, dan logika. Bagi Ikhwan, matematika merupakan dasar bagi pemahaman tentang keteraturan alam semesta.³ Mereka menganggap angka sebagai simbol ketertiban kosmik, dan meyakini bahwa mempelajari angka berarti mendekati struktur ilahi dari ciptaan.

2)                  Ilmu-ilmu alam dan fisika (risalah 15–25), membahas biologi, mineralogi, geografi, meteorologi, serta kosmologi. Dalam bagian ini, mereka menyampaikan pandangan neo-platonik tentang emanasi (fayd)—bahwa seluruh ciptaan berasal dari Tuhan secara bertingkat melalui akal universal, jiwa dunia, dan materi.⁴

3)                  Ilmu-ilmu psikologis dan rasional (risalah 26–39), menjelaskan hakikat jiwa manusia, asal-usul akal, kebahagiaan, dan hubungan manusia dengan alam spiritual. Konsep tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa) dan pengembaraan jiwa untuk kembali kepada asalnya merupakan tema sentral dalam bagian ini.⁵

4)                  Ilmu-ilmu ilahiyah dan spiritualitas (risalah 40–52), mencakup pembahasan tentang agama-agama, wahyu, para nabi, hidup setelah mati, kebangkitan, dan tujuan akhir manusia. Dalam risalah-risalah ini terlihat jelas semangat inklusivisme teologis dan penghormatan terhadap berbagai jalan menuju kebenaran.⁶

Salah satu risalah paling terkenal dalam koleksi ini adalah Risālah fī Ḥayawānāt (The Epistle of the Animals), yaitu sebuah alegori filosofis berbentuk cerita satir tentang pengadilan antara binatang dan manusia. Dalam kisah ini, binatang menggugat manusia karena merasa dizalimi, sementara para malaikat menjadi hakimnya. Kisah ini tidak hanya menunjukkan kecintaan Ikhwan terhadap simbolisme, tetapi juga berfungsi sebagai kritik sosial dan refleksi etis yang mendalam.⁷

Gaya penulisan Rasāʾil juga memperlihatkan usaha Ikhwan al-Shafa untuk memadukan rasionalisme filsafat Yunani dengan ajaran Islam. Mereka menggunakan kerangka logika Aristotelian, teori angka Pythagoras, dan metafisika Neoplatonik, namun selalu diintegrasikan ke dalam pandangan kosmologis yang Islami, di mana Tuhan adalah sumber segala pengetahuan dan tujuan akhir pencarian akal.⁸

Yang unik dari Rasāʾil adalah bahwa ia bukan sekadar teks ilmiah, tetapi sekaligus program pendidikan rohani dan intelektual.⁹ Tujuan akhir dari keseluruhan risalah bukan hanya untuk memberikan informasi, tetapi untuk membentuk pribadi manusia yang sempurna (insān kāmil), yang mengenal hakikat dirinya, memahami struktur alam semesta, dan berjalan menuju Tuhan dengan akal dan hati yang bersih.

Karena kedalaman dan keluasan cakupannya, Rasāʾil Ikhwān al-Ṣafāʾ menjadi salah satu karya yang paling banyak dikaji dan diberi komentar dalam tradisi filsafat Islam. Pengaruhnya dirasakan dalam pemikiran para tokoh seperti Suhrawardi, Mulla Sadra, bahkan dalam gerakan esoterik Syiah dan Ismailiyah.¹⁰ Dalam era modern, Rasāʾil tetap menarik minat para peneliti karena relevansinya dalam membahas hubungan antara ilmu, etika, dan spiritualitas.


Footnotes

[1]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 23–25.

[2]                Nader El-Bizri, “Epistles of the Brethren of Purity,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 121.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 67.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 151.

[5]                Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 138–140.

[6]                Lenn E. Goodman, “Ikhwān al-Ṣafāʾ: A Brotherhood of Idealists,” The Journal of the American Oriental Society 81, no. 1 (1961): 8–10.

[7]                Netton, Muslim Neoplatonists, 33–35.

[8]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 155–157.

[9]                Nasr, Science and Civilization in Islam, 69.

[10]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 154.


5.           Pandangan Filosofis dan Teologis

Ikhwan al-Shafa mengembangkan suatu sistem pemikiran filosofis-teologis yang bercorak ensiklopedis, spiritual, dan rasional. Pemikiran mereka dipengaruhi oleh tradisi filsafat Yunani kuno, khususnya Platonisme, Aristotelianisme, dan Neoplatonisme, yang mereka padukan secara kreatif dengan ajaran-ajaran Islam.¹ Tujuan utama dari pandangan mereka bukan semata penalaran filosofis spekulatif, tetapi juga pembinaan etika dan spiritual menuju kesempurnaan manusia dan kedekatan dengan Tuhan.

5.1.       Kosmologi dan Konsep Emanasi

Pandangan metafisika dan kosmologi Ikhwan al-Shafa sangat dipengaruhi oleh skema emanasi Neoplatonis. Mereka menggambarkan proses penciptaan sebagai fayd (emanasi) bertingkat dari Tuhan Yang Maha Esa, menuju Akal Universal (al-‘Aql al-Kullī), Jiwa Universal (al-Nafs al-Kullī), alam langit (‘ālam al-aflāk), dan akhirnya alam materi.² Dalam kerangka ini, alam semesta dianggap sebagai refleksi dari kesempurnaan Ilahi, dan setiap entitas di dalamnya memiliki posisi dalam hierarki wujud yang harmonis.

Konsepsi emanasi ini tidak dimaksudkan untuk merendahkan kedudukan Tuhan sebagai Pencipta, melainkan untuk menjelaskan bagaimana keanekaragaman makhluk berasal dari Tuhan tanpa merusak keesaan-Nya.³ Pandangan ini menekankan prinsip tatanan dan keteraturan kosmos, di mana segala sesuatu berfungsi sesuai dengan maqam-nya. Karena itu, mempelajari alam berarti menelusuri jejak-jejak Tuhan dalam ciptaan-Nya.

5.2.       Antropologi dan Jiwa Manusia

Ikhwan al-Shafa memandang manusia sebagai mikrokosmos (al-‘ālam al-ṣaghīr) yang merefleksikan struktur alam semesta. Jiwa manusia memiliki asal mula ilahi dan harus melalui proses penyucian (tazkiyah) untuk kembali kepada asalnya.⁴ Mereka menekankan pentingnya mengenal diri sendiri sebagai jalan untuk mengenal Tuhan, sebagaimana tercermin dalam pepatah yang mereka kutip dari tradisi Nabi: “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu.”

Jiwa terdiri atas tiga kekuatan: kekuatan rasional (al-quwwah al-‘aqliyyah), kekuatan nafsu (al-quwwah al-shahwiyyah), dan kekuatan kemarahan (al-quwwah al-ghadabiyyah). Pendidikan dan filsafat berfungsi untuk menyeimbangkan ketiganya, agar akal dapat mengendalikan nafsu dan amarah demi tercapainya kebajikan dan kebahagiaan hakiki.⁵

5.3.       Agama, Wahyu, dan Filosofi

Bagi Ikhwan al-Shafa, agama dan filsafat tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi. Filsafat dipandang sebagai bentuk tertinggi dari ilmu, sedangkan agama merupakan sarana penyampaian hikmah kepada masyarakat umum melalui simbol, ibadah, dan perumpamaan.⁶ Para nabi adalah guru spiritual yang menyampaikan kebenaran metafisik dalam bentuk yang dapat dipahami oleh semua lapisan masyarakat.

Mereka juga mengusung gagasan inklusivisme agama, yang mengakui adanya kebenaran dalam berbagai agama dan filsafat.⁷ Dalam pandangan mereka, Tuhan telah mengutus para nabi di setiap bangsa dan zaman, dan meskipun bentuk ajarannya berbeda-beda, intinya tetap sama: menyeru kepada keesaan Tuhan, keadilan, dan kesucian jiwa.

Ikhwan al-Shafa membedakan antara syariat lahiriah yang dibutuhkan oleh masyarakat umum, dan hikmah batiniah yang hanya dapat dicapai oleh mereka yang telah menempuh jalan filsafat dan tazkiyah.⁸ Ini menunjukkan adanya corak esoterik dalam pemikiran mereka, mirip dengan pendekatan para sufi dan sebagian kelompok Ismailiyah.

5.4.       Tujuan Hidup dan Kebahagiaan

Tujuan akhir kehidupan menurut Ikhwan al-Shafa adalah mencapai al-sa‘ādah al-quṣwā (kebahagiaan tertinggi), yaitu penyatuan jiwa dengan dunia akal (al-‘ālam al-‘aqli) dan pembebasan dari dunia materi. Proses ini hanya dapat dicapai melalui ilmu, amal, dan penyucian diri.⁹

Bagi mereka, filsafat adalah jalan menuju kebahagiaan karena ia membawa manusia kepada kebenaran, mengarahkan etika, dan menumbuhkan cinta kepada Tuhan. Dengan demikian, filsafat bukan sekadar ilmu teoritis, melainkan juga praktik rohani dan moral.


Footnotes

[1]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 36–38.

[2]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 150–152.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 70–71.

[4]                Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 141.

[5]                Nader El-Bizri, “Epistles of the Brethren of Purity,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 129–130.

[6]                Lenn E. Goodman, “Ikhwān al-Ṣafāʾ: A Brotherhood of Idealists,” The Journal of the American Oriental Society 81, no. 1 (1961): 12–13.

[7]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 160.

[8]                Netton, Muslim Neoplatonists, 41.

[9]                Nasr, Science and Civilization in Islam, 73.


6.           Konsep Pendidikan dan Epistemologi

Konsep pendidikan dan epistemologi dalam pemikiran Ikhwan al-Shafa merupakan bagian integral dari visi mereka tentang penyempurnaan manusia melalui ilmu dan akhlak. Pendidikan bukan sekadar transmisi pengetahuan, tetapi merupakan proses pembentukan jiwa yang bertujuan mengangkat manusia dari dunia materi menuju realitas spiritual.¹ Dalam pandangan mereka, pendidikan adalah jalan menuju sa‘ādah (kebahagiaan sejati), yaitu kebersatuan jiwa dengan Akal Universal dan Tuhan Yang Maha Esa.

6.1.       Tujuan Pendidikan: Tazkiyah dan Kesempurnaan

Tujuan pendidikan dalam pemikiran Ikhwan al-Shafa sangat erat kaitannya dengan tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa) dan pencapaian al-insān al-kāmil (manusia paripurna). Mereka meyakini bahwa manusia, sebagai makhluk rasional, memiliki potensi untuk menyempurnakan diri melalui ilmu dan akhlak.² Proses pendidikan, dalam kerangka ini, tidak hanya membentuk kemampuan intelektual, tetapi juga memperhalus jiwa dan memurnikan hati dari sifat-sifat tercela.

Dalam salah satu risalahnya, Ikhwan menyatakan bahwa ilmu adalah "perhiasan bagi jiwa" dan bahwa akal yang sehat akan memimpin manusia kepada kebajikan dan cinta akan kebenaran.³ Dengan demikian, pendidikan dipandang sebagai bentuk ibadah, yaitu cara manusia kembali kepada asalnya yang ilahi.

6.2.       Hirarki Ilmu dan Jalan Pencarian Pengetahuan

Ikhwan al-Shafa membagi ilmu ke dalam tingkatan-tingkatan hierarkis, dimulai dari ilmu-ilmu eksak (seperti matematika dan logika), kemudian naik ke ilmu-ilmu alam dan jiwa, dan berakhir pada ilmu-ilmu ilahiyah dan metafisika.⁴ Pembagian ini menggambarkan epistemologi bertingkat, di mana pencarian pengetahuan dimulai dari realitas lahiriah menuju kepada realitas batiniah yang lebih tinggi dan suci.

Ilmu matematika, misalnya, dipandang sebagai latihan awal yang melatih keteraturan berpikir dan menanamkan keteraturan dalam jiwa. Setelah itu, siswa diajak untuk memahami hukum-hukum alam, kemudian menjelajahi hakikat jiwa, hingga akhirnya mencapai pengenalan terhadap Tuhan melalui filsafat dan intuisi spiritual.⁵

6.3.       Sumber Pengetahuan: Akal, Wahyu, dan Intuisi

Epistemologi Ikhwan al-Shafa mencakup tiga sumber utama pengetahuan: akal (‘aql), wahyu (naql), dan intuisi batin (wijdān). Mereka tidak menolak wahyu, tetapi meletakkannya dalam harmoni dengan akal, karena keduanya sama-sama berasal dari Tuhan.⁶ Dalam pemikiran mereka, akal tidak bertentangan dengan wahyu, tetapi merupakan alat untuk memahami dan menafsirkan pesan-pesan ilahi secara lebih mendalam.

Lebih dari itu, mereka juga mengakui peran intuisi spiritual (kasyf) dalam memperoleh pengetahuan tingkat tinggi, terutama dalam ranah metafisika.⁷ Bagi mereka, kebenaran tertinggi tidak selalu dapat diraih dengan logika semata, tetapi memerlukan pensucian jiwa dan penyatuan dengan hakikat kebenaran.

6.4.       Metode Pendidikan: Kolektif, Bertahap, dan Transformatif

Dalam praktiknya, Ikhwan al-Shafa menekankan pentingnya pendidikan kolektif, yakni belajar dalam komunitas yang saling mendukung dan menasihati dalam kebaikan. Mereka menganjurkan diskusi, musyawarah, dan pertukaran gagasan sebagai cara memperluas wawasan dan memperdalam pemahaman.⁸

Proses pendidikan juga berlangsung secara bertahap sesuai dengan perkembangan intelektual dan spiritual seseorang. Oleh karena itu, dalam sistem keanggotaan mereka, terdapat jenjang-jenjang yang menunjukkan tahap kematangan jiwa, mulai dari pemuda pencari ilmu, hingga orang bijak yang membimbing sesama.⁹

Pendidikan tidak berakhir pada pengetahuan teoretis, tetapi bersifat transformatif. Ilmu yang diperoleh harus membuahkan amal, dan pengetahuan yang benar adalah yang menuntun manusia kepada kebajikan, kasih sayang, dan keikhlasan dalam beribadah.


Footnotes

[1]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 42–43.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 75.

[3]                Nader El-Bizri, “Epistles of the Brethren of Purity,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 132.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 156–157.

[5]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 162.

[6]                Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 143.

[7]                Nasr, Science and Civilization in Islam, 76.

[8]                Lenn E. Goodman, “Ikhwān al-Ṣafāʾ: A Brotherhood of Idealists,” The Journal of the American Oriental Society 81, no. 1 (1961): 14.

[9]                Netton, Muslim Neoplatonists, 44.


7.           Pengaruh dan Relevansi Pemikiran Ikhwan al-Shafa

Pemikiran Ikhwan al-Shafa memberikan dampak yang luas dan berlapis dalam sejarah intelektual Islam, baik dalam bidang filsafat, tasawuf, pendidikan, maupun pemikiran keagamaan. Ensiklopedia Rasāʾil Ikhwān al-Ṣafāʾ mereka tidak hanya menjadi rujukan penting bagi generasi filsuf dan ilmuwan sesudahnya, tetapi juga menjadi inspirasi dalam penyatuan ilmu dan agama yang terus relevan hingga era modern.

7.1.       Pengaruh terhadap Filsafat Islam

Ikhwan al-Shafa menjadi salah satu penghubung penting antara filsafat Yunani dan Islam. Gagasan mereka mengenai emanasi, jiwa universal, dan struktur kosmos berpengaruh besar terhadap pemikir-pemikir seperti Suhrawardi, yang mengembangkan hikmah al-isyrāq (filsafat iluminasi), serta Mulla Sadra, yang memperluas konsep jiwa dan gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah) dalam filsafatnya.¹ Pandangan metafisika Ikhwan juga memperkuat integrasi antara filsafat dan tasawuf dalam kerangka filsafat Islam peripatetik dan mistik.

Lebih dari itu, para pemikir Ismailiyah sangat terpengaruh oleh struktur kosmologi dan esoterisme Ikhwan al-Shafa, terutama dalam pemahaman hierarki wujud dan takwil (penafsiran batin) terhadap wahyu.² Bahkan, beberapa peneliti berpendapat bahwa Ikhwan al-Shafa sendiri mungkin berasal dari atau terkait erat dengan kalangan Ismailiyah awal, meskipun ini masih menjadi perdebatan di kalangan akademik.³

7.2.       Pengaruh terhadap Pendidikan dan Pemikiran Keislaman

Ikhwan al-Shafa memberikan kontribusi penting dalam pengembangan konsep pendidikan integral yang menyatukan akal, etika, dan spiritualitas. Pendekatan mereka terhadap pendidikan menekankan pentingnya kurikulum multidisipliner, dengan fokus pada transformasi batin dan pengembangan karakter.⁴ Model ini memberikan inspirasi bagi madrasah-madrasah klasik dan, dalam bentuk tertentu, diwariskan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam di berbagai wilayah dunia Islam.

Selain itu, semangat inklusivisme dan toleransi beragama yang mereka bawa menjadi rujukan penting dalam dialog antaragama dan wacana pluralisme.⁵ Dalam dunia yang semakin plural dan kompleks secara kultural, pendekatan Ikhwan al-Shafa dalam mengakui kebenaran dalam berbagai agama dan filosofi memberikan kerangka penting untuk membangun hubungan yang harmonis antara tradisi-tradisi keagamaan.

7.3.       Relevansi Kontemporer

Di era modern, pemikiran Ikhwan al-Shafa menarik kembali perhatian para sarjana karena kemampuannya menjawab tantangan dikotomi antara ilmu dan agama. Gagasan mereka tentang keterpaduan antara sains dan spiritualitas, serta etika ilmu pengetahuan, menjadi alternatif terhadap pendekatan sekuler yang sering mengabaikan dimensi transenden.⁶

Dalam konteks pendidikan Islam kontemporer, pemikiran Ikhwan menawarkan paradigma holistik dan humanistik, yang mengedepankan pembentukan manusia seutuhnya, bukan hanya aspek kognitif.⁷ Mereka menjadi inspirasi untuk merancang sistem pendidikan yang tidak hanya menghasilkan tenaga ahli, tetapi juga pribadi-pribadi yang beretika, beriman, dan memiliki kesadaran kosmologis.

Lebih dari itu, cara mereka menyampaikan filsafat dalam bentuk naratif dan simbolik (seperti dalam Epistle of the Animals) juga menjadi model pedagogi kreatif yang bisa dikembangkan untuk pembelajaran filsafat dan etika pada generasi muda.⁸


Footnotes

[1]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 160–163.

[2]                Farhad Daftary, The Ismailis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 152–154.

[3]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 10–12.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 78.

[5]                Lenn E. Goodman, “Ikhwān al-Ṣafāʾ: A Brotherhood of Idealists,” The Journal of the American Oriental Society 81, no. 1 (1961): 16–17.

[6]                Nader El-Bizri, “Epistles of the Brethren of Purity,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 137–138.

[7]                Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 145.

[8]                Netton, Muslim Neoplatonists, 48–49.


8.           Kritik dan Kontroversi

Meskipun pemikiran Ikhwan al-Shafa dikenal luas karena kedalaman filosofis dan integrasi antara ilmu dan agama, tidak sedikit pula kritik dan kontroversi yang diarahkan terhadap mereka. Kritik ini datang dari berbagai kalangan, mulai dari teolog ortodoks, pemikir rasionalis, hingga sejarawan modern, yang menyoroti baik isi ajaran mereka maupun metode penyampaiannya.

8.1.       Tuduhan Sinkretisme dan Pengaburan Ajaran Islam

Salah satu kritik utama yang diarahkan kepada Ikhwan al-Shafa adalah kecenderungan mereka yang sinkretik, yaitu mencampuradukkan berbagai unsur filsafat Yunani (terutama Platonisme dan Neoplatonisme), mistisisme Persia, dan doktrin-doktrin keagamaan dari berbagai tradisi, lalu dibingkai dalam bahasa Islam.¹ Kritikus seperti al-Ghazali, meskipun tidak menyebut mereka secara eksplisit, menentang keras upaya-upaya filsafat yang dianggap mencemari kesucian wahyu dan menyamarkan kebenaran Islam dengan argumen-argumen spekulatif.²

Beberapa kalangan juga menuduh bahwa pendekatan Ikhwan terlalu liberal dalam menyamakan esensi agama-agama dunia, dan oleh karenanya berbahaya bagi kemurnian akidah Islam. Pandangan mereka tentang kenabian yang dikaitkan dengan filsuf sebagai pemimpin spiritual, serta paham bahwa semua agama sejatinya mengandung kebenaran universal yang sama, dipandang melemahkan otoritas syariat.³

8.2.       Asosiasi dengan Kelompok Esoterik (Ismailiyah)

Kontroversi lain berkaitan dengan dugaan keterkaitan Ikhwan al-Shafa dengan mazhab Ismailiyah. Banyak studi menunjukkan adanya kesamaan doktrin antara kedua kelompok, terutama dalam hal kosmologi bertingkat, hierarki spiritual, dan pendekatan alegoris terhadap teks suci.⁴ Farhad Daftary dan beberapa peneliti Barat meyakini bahwa Ikhwan merupakan bagian dari jaringan intelektual Ismailiyah awal, meskipun tetap beroperasi secara terselubung karena tekanan politik dan sosial pada saat itu.⁵

Kaitan ini menjadikan mereka sasaran kecurigaan dari kalangan Sunni ortodoks, yang memandang kelompok-kelompok esoterik sebagai ancaman terhadap stabilitas doktrin dan otoritas ulama. Namun, beberapa peneliti lain berpendapat bahwa meskipun terdapat pengaruh Ismailiyah, Ikhwan tetap mengembangkan kerangka pemikirannya yang unik dan tidak dapat disamakan sepenuhnya dengan aliran mana pun.⁶

8.3.       Gaya Alegoris dan Ambiguitas Makna

Ikhwan al-Shafa sering menggunakan bahasa alegoris, simbolik, dan naratif, seperti dalam Risalah tentang Hewan (Epistle of the Animals), yang membuat pesan mereka terbuka terhadap berbagai interpretasi.⁷ Meskipun pendekatan ini efektif untuk menyampaikan ide-ide filsafat kepada publik yang lebih luas, sebagian kalangan menilai metode ini sebagai bentuk ambiguitas yang menyulitkan penilaian teologis dan akademik terhadap posisi mereka yang sebenarnya.

Selain itu, penggunaan metafora dan cerita dalam penyampaian doktrin agama membuat sebagian ulama mempertanyakan ketulusan mereka dalam beragama. Ada yang menuduh mereka lebih condong kepada “filsafat terselubung” ketimbang komitmen terhadap akidah yang eksplisit dan normatif.⁸

8.4.       Kritik Modern: Kelemahan Sistematisasi dan Ketidakjelasan Posisi

Beberapa kritik dari kalangan akademisi modern menyasar aspek sistematisasi dan metodologi Rasāʾil. Meskipun bersifat ensiklopedis, struktur risalah dianggap kurang konsisten dalam urutan logika atau keterpaduan argumentasi.⁹ Dalam banyak bagian, terdapat tumpang tindih antara topik dan pengulangan konsep, yang dinilai menunjukkan bahwa risalah-risalah tersebut mungkin disusun oleh lebih dari satu orang dengan latar belakang yang berbeda, tanpa koordinasi redaksional yang kuat.

Namun demikian, meskipun banyak menuai kritik, nilai historis dan filosofis Ikhwan al-Shafa tetap diakui. Karya mereka merepresentasikan usaha luar biasa dalam menjembatani sains dan agama, rasio dan intuisi, serta dunia inderawi dan metafisik. Kritik terhadap mereka, justru menunjukkan betapa karya dan pemikiran mereka telah memicu respons intelektual yang serius sepanjang sejarah pemikiran Islam.


Footnotes

[1]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 57–59.

[2]                Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah (Incoherence of the Philosophers), trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 6–8.

[3]                Lenn E. Goodman, “Ikhwān al-Ṣafāʾ: A Brotherhood of Idealists,” The Journal of the American Oriental Society 81, no. 1 (1961): 17–18.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 163–165.

[5]                Farhad Daftary, The Ismailis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 155–157.

[6]                Nader El-Bizri, “Epistles of the Brethren of Purity,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 139–140.

[7]                Netton, Muslim Neoplatonists, 60–61.

[8]                Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 146.

[9]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 165.


9.           Penutup

Ikhwan al-Shafa menempati posisi yang unik dan penting dalam sejarah intelektual Islam. Sebagai sebuah kelompok rahasia yang muncul pada abad ke-10 M, mereka berhasil merumuskan suatu sintesis antara ilmu pengetahuan, filsafat, dan ajaran agama yang tidak hanya mencerminkan kejayaan intelektual dunia Islam, tetapi juga memberikan kontribusi jangka panjang dalam khazanah pemikiran Islam.¹

Melalui karya besar mereka, Rasāʾil Ikhwān al-Ṣafāʾ, mereka mengembangkan model pengetahuan yang bersifat ensiklopedis dan hirarkis, mencakup ilmu-ilmu eksak, ilmu alam, psikologi, dan spiritualitas. Dalam kerangka ini, ilmu bukan hanya untuk menguasai alam, tetapi sebagai sarana pembersihan jiwa dan pendekatan diri kepada Tuhan.² Pendekatan integratif mereka terhadap akal dan wahyu, sains dan agama, serta logika dan mistisisme menunjukkan upaya serius dalam menciptakan kerangka keilmuan Islam yang menyeluruh dan seimbang.

Kekuatan terbesar pemikiran Ikhwan al-Shafa terletak pada kemampuannya untuk menjembatani dikotomi yang sering muncul dalam tradisi keilmuan Islam—antara rasionalisme dan spiritualitas, antara eksoterisme syariat dan esoterisme hikmah. Mereka tidak memposisikan filsafat sebagai tandingan agama, melainkan sebagai pelengkap dan penafsir batin dari pesan-pesan ilahi.³

Namun demikian, pemikiran mereka juga tidak lepas dari kontroversi. Kecenderungan sinkretisme, penggunaan simbolisme yang ambigu, dan dugaan keterkaitan dengan kelompok esoterik seperti Ismailiyah memicu berbagai kritik dari kalangan ortodoks.⁴ Meski demikian, warisan intelektual mereka tetap berharga sebagai cermin dari dinamika pemikiran Islam klasik yang terbuka, kritis, dan reflektif.

Dalam konteks kontemporer, pendekatan Ikhwan al-Shafa menjadi sangat relevan. Dunia Islam kini menghadapi tantangan besar dalam membangun sistem pendidikan yang tidak hanya mencetak ilmuwan teknokrat, tetapi juga insan berintegritas dan spiritual. Visi Ikhwan tentang pendidikan sebagai proses penyempurnaan akal dan jiwa, serta pemahaman mereka akan pentingnya harmoni antara ilmu dan agama, dapat menjadi inspirasi dalam merancang model pendidikan Islam yang holistik dan transformatif.⁵

Akhirnya, Ikhwan al-Shafa mengajarkan bahwa pencarian kebenaran adalah perjalanan yang membutuhkan keberanian intelektual, ketulusan spiritual, dan keterbukaan terhadap perbedaan. Melalui risalah-risalah mereka, mereka meninggalkan warisan yang bukan hanya untuk zamannya, tetapi juga untuk masa depan umat Islam yang ingin meraih kebijaksanaan sejati di tengah kompleksitas zaman.


Footnotes

[1]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 1–2.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 65–66.

[3]                Nader El-Bizri, “Epistles of the Brethren of Purity,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 138.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 165.

[5]                Lenn E. Goodman, “Ikhwān al-Ṣafāʾ: A Brotherhood of Idealists,” The Journal of the American Oriental Society 81, no. 1 (1961): 18–19.


Daftar Pustaka

Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy (L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). London: Kegan Paul International.

Daftary, F. (1990). The Ismailis: Their history and doctrines. Cambridge: Cambridge University Press.

El-Bizri, N. (2016). Epistles of the Brethren of Purity. In K. El-Rouayheb & S. Schmidtke (Eds.), The Oxford handbook of Islamic philosophy (pp. 121–140). Oxford: Oxford University Press.

Ghazali, A. (2000). The incoherence of the philosophers (Tahāfut al-Falāsifah) (M. Marmura, Trans.). Provo: Brigham Young University Press.

Goodman, L. E. (1961). Ikhwān al-Ṣafāʾ: A brotherhood of idealists. Journal of the American Oriental Society, 81(1), 11–20. https://doi.org/10.2307/595062

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ‘Abbasid society. London: Routledge.

Kennedy, H. (2004). The Prophet and the age of the caliphates: The Islamic Near East from the sixth to the eleventh century (2nd ed.). London: Longman.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Netton, I. R. (1991). Muslim Neoplatonists: An introduction to the thought of the Brethren of Purity. London: Routledge.

Rosenthal, F. (1970). Knowledge triumphant: The concept of knowledge in medieval Islam. Leiden: Brill.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar