Ikhwan al-Shafa
Harmoni Ilmu dan Agama dalam Filsafat Islam Klasik
Abstrak
Artikel ini membahas pemikiran dan kontribusi
Ikhwan al-Shafa, sebuah kelompok intelektual Muslim yang berkembang pada abad
ke-10 M di Basrah, yang dikenal melalui karya ensiklopedis mereka Rasāʾil
Ikhwān al-Ṣafāʾ. Melalui pendekatan multidisipliner, mereka menyatukan
berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan spiritualitas Islam dalam kerangka
filsafat yang bersifat rasional, simbolik, dan transformatif. Artikel ini
menguraikan latar historis kemunculan Ikhwan al-Shafa, struktur dan isi risalah
mereka, pandangan filosofis dan teologis, serta konsep pendidikan dan
epistemologi yang mereka bangun. Selain itu, dibahas pula pengaruh pemikiran
mereka terhadap filsafat Islam dan pendidikan, serta relevansinya dalam konteks
keilmuan kontemporer. Meskipun pemikiran mereka menghadapi berbagai kritik,
terutama terkait sinkretisme dan ambiguitas metode penyampaian, Ikhwan al-Shafa
tetap menjadi representasi penting dari usaha harmonisasi antara ilmu dan agama
dalam tradisi Islam klasik.
Kata Kunci: Ikhwan al-Shafa, filsafat Islam, ensiklopedia,
rasionalisme, pendidikan Islam, tazkiyah, harmoni ilmu dan agama, spiritualitas.
PEMBAHASAN
Ikhwan al-Shafa Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam klasik,
abad ke-9 hingga ke-11 Masehi menandai era kejayaan intelektual yang ditandai
oleh semangat penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab,
kemajuan dalam ilmu pengetahuan, dan lahirnya berbagai aliran filsafat Islam.
Salah satu kelompok intelektual yang menonjol dalam periode ini adalah Ikhwan
al-Shafa’ wa Khullan al-Wafa’ (Persaudaraan Suci dan Sahabat Setia), sebuah
kelompok rahasia yang dikenal melalui karya ensiklopedis mereka, Rasāʾil Ikhwān
al-Ṣafāʾ, yang terdiri atas 52 risalah. Karya ini menjadi salah satu bukti
penting dari sintesis antara rasionalitas filsafat dan spiritualitas agama
dalam peradaban Islam abad pertengahan.¹
Ikhwan al-Shafa muncul di tengah dinamika
perdebatan antara ilmu dan agama, serta antara akal dan wahyu. Dalam konteks
ini, mereka berusaha merumuskan suatu kerangka pemikiran yang menyatukan
berbagai disiplin ilmu, mulai dari matematika, logika, astronomi, hingga
metafisika dan spiritualitas Islam.² Gagasan mereka mencerminkan pengaruh kuat
dari filsafat Yunani kuno (khususnya Pythagoras dan Plato), Neo-Platonisme,
serta unsur-unsur esoterisme dan sufisme.³ Dengan demikian, mereka tidak hanya
menawarkan model pemikiran ensiklopedis, tetapi juga suatu visi filosofis-religius
yang mendalam tentang kesatuan dan keharmonisan kosmos.
Tujuan utama dari penulisan Rasāʾil adalah
pendidikan dan penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs), dengan meyakini bahwa ilmu
pengetahuan adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.⁴ Mereka
mengembangkan gagasan bahwa pemahaman rasional terhadap alam semesta sejalan
dengan wahyu ilahi, sehingga tidak perlu ada dikotomi antara filsafat dan
agama. Dalam pandangan Ikhwan al-Shafa, kebenaran bersifat universal dan dapat
ditemukan melalui berbagai jalan, selama seseorang mencari dengan niat yang
tulus dan akal yang sehat.⁵
Kajian terhadap Ikhwan al-Shafa menjadi penting
tidak hanya karena kontribusi historis mereka, tetapi juga karena relevansi
pemikiran mereka dalam menjawab tantangan integrasi ilmu dan agama pada masa
kini. Di tengah kecenderungan modern terhadap pemisahan antara sains dan
spiritualitas, pendekatan mereka yang harmonis dan inklusif memberikan
inspirasi bagi pembentukan paradigma pendidikan dan pemikiran Islam yang
seimbang dan utuh.⁶
Footnotes
[1]
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge,
1991), 1–3.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 61–64.
[3]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International,
1993), 138–142.
[4]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The
Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 132–136.
[5]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society
(London: Routledge, 1998), 153–155.
[6]
Nasr, Science and Civilization in Islam, 66.
2.
Konteks
Historis dan Sosial
Kemunculan kelompok Ikhwan al-Shafa tidak dapat
dilepaskan dari konteks sejarah dan sosial intelektual Islam pada abad ke-10 M,
khususnya di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu, dunia Islam
berada dalam puncak kemajuan peradaban ilmiah, filosofis, dan budaya, yang
ditandai dengan berdirinya lembaga-lembaga ilmu seperti Bayt al-Hikmah
di Baghdad dan merebaknya gerakan penerjemahan besar-besaran karya-karya
Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab.¹
Secara geografis, kelompok Ikhwan al-Shafa diyakini
berasal dari kota Basrah, sebuah kota pelabuhan penting di wilayah
selatan Irak yang menjadi pusat perdagangan dan pertukaran gagasan. Basrah saat
itu merupakan tempat pertemuan berbagai mazhab pemikiran: dari Mu’tazilah dan
Asy’ariyah, hingga Syi’ah, Zindiq, dan komunitas filsuf Muslim yang memadukan
tradisi rasionalisme Yunani dengan spiritualitas Islam.² Dalam lingkungan yang
plural inilah, Ikhwan al-Shafa mengembangkan visi mereka tentang persaudaraan
intelektual dan penyucian jiwa yang tidak eksklusif terhadap satu mazhab teologis
tertentu, melainkan bersifat inklusif dan filosofis.
Secara politik, era tersebut ditandai oleh
melemahnya kekuasaan pusat Abbasiyah dan meningkatnya fragmentasi wilayah
kekuasaan Islam menjadi dinasti-dinasti otonom seperti Buwaihi (Buyid) di
Persia dan Irak.³ Dinasti Buwaihi, yang berhaluan Syiah Zaydi dan bersikap
relatif toleran terhadap perbedaan mazhab dan aliran, memberi ruang bagi
berkembangnya pemikiran filsafat dan tasawuf, meskipun sering kali harus
dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Ikhwan al-Shafa, yang sebagian pemikirannya
cenderung pada simbolisme, alegori, dan pendekatan esoterik, kemungkinan besar
beroperasi dalam suasana politik yang menuntut kerahasiaan identitas mereka.⁴
Secara sosial, kalangan terpelajar Muslim mulai
menunjukkan minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat, tetapi
pada saat yang sama muncul pula resistensi dari kelompok tradisionalis yang
mencurigai filsafat sebagai ancaman terhadap otoritas wahyu. Kelompok seperti
Ikhwan al-Shafa mencoba menjembatani ketegangan ini dengan mengintegrasikan
ajaran filsafat ke dalam kerangka keislaman yang bersifat spiritual dan etis.⁵
Mereka memandang bahwa ilmu tidak boleh dipisahkan dari kebijaksanaan dan
penyucian diri, dan karena itu, tujuan utama dari ilmu adalah untuk membimbing
manusia menuju kesempurnaan moral dan spiritual.⁶
Dari segi intelektual, para pemikir Ikhwan al-Shafa
hidup dalam tradisi filsafat yang telah menerima pengaruh dari Platonisme,
Aristotelianisme, Pythagoreanisme, dan Neo-Platonisme, yang telah terlebih
dahulu diadaptasi oleh pemikir Muslim sebelumnya seperti al-Kindi dan
al-Farabi.⁷ Namun berbeda dari filsuf murni, Ikhwan al-Shafa memadukan
rasionalisme filsafat dengan nuansa mistik dan simbolik yang menyerupai
pendekatan kaum sufi, menjadikan pemikiran mereka unik dalam khazanah filsafat
Islam.
Dengan demikian, lahirnya Ikhwan al-Shafa merupakan
respons terhadap kondisi zaman yang kompleks, di mana kecintaan terhadap ilmu
bertemu dengan pencarian spiritual, dan semangat filsafat berhadapan dengan
otoritas agama. Dalam lanskap ini, Ikhwan al-Shafa menawarkan jalan tengah:
suatu sintesis antara akal dan iman, filsafat dan syariat, ilmu dan tazkiyah,
dalam bingkai kosmologi yang harmonis dan transendental.
Footnotes
[1]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society
(London: Routledge, 1998), 13–14.
[2]
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991),
18–21.
[3]
Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the
Caliphates: The Islamic Near East from the Sixth to the Eleventh Century
(London: Longman, 2004), 271–274.
[4]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International,
1993), 145.
[5]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The
Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 137–139.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 68.
[7]
Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World:
A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2015), 35–37.
3.
Profil
dan Karakteristik Ikhwan al-Shafa
Ikhwan al-Shafa’ wa Khullan al-Wafa’ (Persaudaraan
Suci dan Sahabat Setia) merupakan kelompok intelektual rahasia yang berkembang
sekitar abad ke-10 M di kota Basrah. Meskipun karya mereka—Rasāʾil Ikhwān
al-Ṣafāʾ—sangat berpengaruh dalam tradisi filsafat Islam, identitas
personal para anggotanya tetap menjadi misteri hingga kini. Mereka tidak
menyebutkan nama atau latar belakang mereka secara eksplisit dalam
karya-karyanya, kemungkinan besar untuk menjaga keselamatan dan kebebasan
berpikir mereka dalam konteks sosial-politik yang rawan terhadap pemikiran yang
dianggap menyimpang.¹
Beberapa sejarawan dan sarjana Muslim klasik maupun
modern mencoba mengidentifikasi tokoh-tokoh di balik kelompok ini. Nama-nama
seperti al-Tawhidi, Abu Sulayman al-Busti (al-Muqaddasi), dan al-'Amiri sempat
dikaitkan dengan Ikhwan al-Shafa, tetapi tidak ada konsensus yang pasti.²
Keputusan mereka untuk tetap anonim dipahami sebagai bagian dari filosofi
kolektif dan kerendahan hati yang menekankan pentingnya substansi pemikiran,
bukan ketenaran pribadi.³ Mereka menyebut diri mereka sebagai ikhwan
(saudara) yang terikat oleh persaudaraan intelektual dan spiritual, bukan oleh
status sosial atau garis keturunan.
Tujuan utama dari kelompok ini adalah pembentukan
manusia ideal melalui pengembangan ilmu pengetahuan, etika, dan
spiritualitas. Mereka memandang bahwa kehidupan yang baik hanya dapat dicapai
jika manusia memadukan kekuatan akal dengan kemurnian hati, dan bahwa
kebahagiaan sejati hanya mungkin bila jiwa manusia mencapai kesempurnaan dan
kembali kepada Sang Pencipta.⁴ Hal ini sejalan dengan semangat filsafat Yunani
klasik yang digabungkan dengan nilai-nilai Islam, terutama dalam pemahaman
tentang tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa) dan hikmah
(kebijaksanaan).
Ikhwan al-Shafa memiliki ciri khas tersendiri yang
membedakan mereka dari kelompok filsuf lainnya dalam Islam. Pertama, mereka
menekankan pendekatan ensiklopedis dan sistematis terhadap ilmu
pengetahuan. Mereka menyusun ilmu-ilmu rasional dan religius secara hierarkis,
mulai dari matematika dan logika hingga teologi dan spiritualitas, dengan
keyakinan bahwa pemahaman yang benar atas alam semesta akan membawa manusia
kepada kebenaran ilahi.⁵ Kedua, mereka mengusung pandangan inklusif dan
universal, tidak membatasi kebenaran hanya pada satu mazhab atau agama.
Mereka mengakui adanya kebenaran dalam berbagai tradisi, termasuk filsafat
Yunani, agama-agama Abrahamik, dan bahkan hikmah-hikmah India dan Persia.⁶
Karakter lain dari kelompok ini adalah gaya
penyampaian alegoris dan simbolik. Dalam banyak risalahnya, mereka
menggunakan kisah fabel atau narasi simbolis, seperti dalam risalah terkenal “Epistle
of the Animals” yang mengisahkan pengadilan antara hewan dan manusia. Kisah
tersebut bukan sekadar hiburan, melainkan sarana untuk menyampaikan kritik
sosial, etika, dan spiritual secara halus.⁷
Secara internal, Ikhwan al-Shafa menerapkan
struktur keanggotaan bertingkat yang mencerminkan proses pembinaan jiwa. Mereka
membagi tingkatan spiritual ke dalam empat jenjang: (1) pemuda yang mencintai
kebajikan, (2) anggota aktif yang terlibat dalam pembinaan moral, (3) orang
bijak yang telah mencapai penguasaan ilmu dan etika, dan (4) pemimpin spiritual
sejati yang berperan sebagai pembimbing.⁸ Hal ini menunjukkan bahwa kelompok
ini tidak hanya bersifat intelektual, tetapi juga memiliki sistem pendidikan
dan pembinaan spiritual yang mapan.
Dengan demikian, Ikhwan al-Shafa dapat dipahami
sebagai komunitas filsuf Muslim yang berupaya membentuk tatanan masyarakat yang
ideal, berdasarkan kesatuan ilmu dan iman, akal dan wahyu, serta rasionalitas
dan spiritualitas. Mereka tidak hanya menghasilkan pemikiran teoritis, tetapi
juga menawarkan model pembentukan manusia sempurna (insān kāmil) yang
tetap relevan dalam wacana filsafat dan pendidikan Islam kontemporer.
Footnotes
[1]
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge,
1991), 4–6.
[2]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International,
1993), 146.
[3]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The
Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 135.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 65.
[5]
Nader El-Bizri, “Epistles of the Brethren of
Purity,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled
El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016),
124–125.
[6]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society
(London: Routledge, 1998), 158.
[7]
Lenn E. Goodman, “Ikhwān al-Ṣafāʾ: A Brotherhood of
Idealists,” The Journal of the American Oriental Society 81, no. 1
(1961): 11–13.
[8]
Corbin, History of Islamic Philosophy, 149.
4.
Karya
Utama: Rasāʾil Ikhwān al-Ṣafāʾ
Kontribusi paling monumental dari Ikhwan al-Shafa
adalah penyusunan karya ensiklopedis berjudul Rasāʾil Ikhwān al-Ṣafāʾ wa
Khullān al-Wafāʾ (Risalah-Risalah Persaudaraan Suci dan Sahabat Setia).
Karya ini terdiri atas 52 risalah yang disusun dalam empat bagian utama,
mencakup berbagai bidang ilmu pengetahuan, mulai dari matematika hingga
metafisika.¹ Dalam dunia Islam klasik, belum ada karya filsafat dan ilmu
pengetahuan yang setara dengan keluasan, kedalaman, dan sistematika yang
dicapai dalam Rasāʾil ini.
Struktur Rasāʾil mencerminkan pendekatan
ensiklopedis yang khas dari Ikhwan al-Shafa.² Mereka membagi risalah-risalah
tersebut ke dalam empat kategori besar:
1)
Ilmu-ilmu matematika dan logika (risalah 1–14), mencakup aritmetika, geometri, musik, astronomi, dan
logika. Bagi Ikhwan, matematika merupakan dasar bagi pemahaman tentang
keteraturan alam semesta.³ Mereka menganggap angka sebagai simbol ketertiban
kosmik, dan meyakini bahwa mempelajari angka berarti mendekati struktur ilahi
dari ciptaan.
2)
Ilmu-ilmu alam dan fisika (risalah 15–25), membahas biologi, mineralogi, geografi, meteorologi,
serta kosmologi. Dalam bagian ini, mereka menyampaikan pandangan neo-platonik
tentang emanasi (fayd)—bahwa seluruh ciptaan berasal dari Tuhan secara
bertingkat melalui akal universal, jiwa dunia, dan materi.⁴
3)
Ilmu-ilmu psikologis dan rasional (risalah 26–39), menjelaskan hakikat jiwa manusia, asal-usul akal, kebahagiaan,
dan hubungan manusia dengan alam spiritual. Konsep tazkiyat al-nafs
(penyucian jiwa) dan pengembaraan jiwa untuk kembali kepada asalnya merupakan
tema sentral dalam bagian ini.⁵
4)
Ilmu-ilmu ilahiyah dan spiritualitas (risalah 40–52), mencakup pembahasan tentang agama-agama, wahyu, para
nabi, hidup setelah mati, kebangkitan, dan tujuan akhir manusia. Dalam
risalah-risalah ini terlihat jelas semangat inklusivisme teologis dan
penghormatan terhadap berbagai jalan menuju kebenaran.⁶
Salah satu risalah paling terkenal dalam koleksi
ini adalah Risālah fī Ḥayawānāt (The Epistle of the Animals),
yaitu sebuah alegori filosofis berbentuk cerita satir tentang pengadilan antara
binatang dan manusia. Dalam kisah ini, binatang menggugat manusia karena merasa
dizalimi, sementara para malaikat menjadi hakimnya. Kisah ini tidak hanya
menunjukkan kecintaan Ikhwan terhadap simbolisme, tetapi juga berfungsi sebagai
kritik sosial dan refleksi etis yang mendalam.⁷
Gaya penulisan Rasāʾil juga memperlihatkan
usaha Ikhwan al-Shafa untuk memadukan rasionalisme filsafat Yunani
dengan ajaran Islam. Mereka menggunakan kerangka logika Aristotelian,
teori angka Pythagoras, dan metafisika Neoplatonik, namun selalu diintegrasikan
ke dalam pandangan kosmologis yang Islami, di mana Tuhan adalah sumber segala
pengetahuan dan tujuan akhir pencarian akal.⁸
Yang unik dari Rasāʾil adalah bahwa ia bukan
sekadar teks ilmiah, tetapi sekaligus program pendidikan rohani dan
intelektual.⁹ Tujuan akhir dari keseluruhan risalah bukan hanya untuk
memberikan informasi, tetapi untuk membentuk pribadi manusia yang sempurna (insān
kāmil), yang mengenal hakikat dirinya, memahami struktur alam semesta, dan
berjalan menuju Tuhan dengan akal dan hati yang bersih.
Karena kedalaman dan keluasan cakupannya, Rasāʾil
Ikhwān al-Ṣafāʾ menjadi salah satu karya yang paling banyak dikaji dan
diberi komentar dalam tradisi filsafat Islam. Pengaruhnya dirasakan dalam
pemikiran para tokoh seperti Suhrawardi, Mulla Sadra, bahkan dalam gerakan
esoterik Syiah dan Ismailiyah.¹⁰ Dalam era modern, Rasāʾil tetap menarik
minat para peneliti karena relevansinya dalam membahas hubungan antara ilmu,
etika, dan spiritualitas.
Footnotes
[1]
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge,
1991), 23–25.
[2]
Nader El-Bizri, “Epistles of the Brethren of
Purity,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled
El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 121.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 67.
[4]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International,
1993), 151.
[5]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The
Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 138–140.
[6]
Lenn E. Goodman, “Ikhwān al-Ṣafāʾ: A Brotherhood of
Idealists,” The Journal of the American Oriental Society 81, no. 1
(1961): 8–10.
[7]
Netton, Muslim Neoplatonists, 33–35.
[8]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society
(London: Routledge, 1998), 155–157.
[9]
Nasr, Science and Civilization in Islam, 69.
[10]
Corbin, History of Islamic Philosophy, 154.
5.
Pandangan
Filosofis dan Teologis
Ikhwan al-Shafa
mengembangkan suatu sistem pemikiran filosofis-teologis yang bercorak ensiklopedis,
spiritual, dan rasional. Pemikiran mereka dipengaruhi oleh
tradisi filsafat Yunani kuno, khususnya Platonisme, Aristotelianisme, dan Neoplatonisme,
yang mereka padukan secara kreatif dengan ajaran-ajaran Islam.¹ Tujuan utama
dari pandangan mereka bukan semata penalaran filosofis spekulatif, tetapi juga
pembinaan etika dan spiritual menuju kesempurnaan manusia dan kedekatan dengan
Tuhan.
5.1. Kosmologi dan Konsep Emanasi
Pandangan metafisika
dan kosmologi Ikhwan al-Shafa sangat dipengaruhi oleh skema emanasi
Neoplatonis. Mereka menggambarkan proses penciptaan sebagai fayd
(emanasi) bertingkat dari Tuhan Yang Maha Esa, menuju Akal Universal (al-‘Aql
al-Kullī), Jiwa Universal (al-Nafs al-Kullī), alam langit (‘ālam
al-aflāk), dan akhirnya alam materi.² Dalam kerangka ini, alam
semesta dianggap sebagai refleksi dari kesempurnaan Ilahi, dan setiap entitas
di dalamnya memiliki posisi dalam hierarki wujud yang harmonis.
Konsepsi emanasi ini
tidak dimaksudkan untuk merendahkan kedudukan Tuhan sebagai Pencipta, melainkan
untuk menjelaskan bagaimana keanekaragaman makhluk berasal dari Tuhan tanpa
merusak keesaan-Nya.³ Pandangan ini menekankan prinsip tatanan
dan keteraturan kosmos, di mana segala sesuatu berfungsi sesuai
dengan maqam-nya. Karena itu, mempelajari alam berarti menelusuri jejak-jejak
Tuhan dalam ciptaan-Nya.
5.2. Antropologi dan Jiwa Manusia
Ikhwan al-Shafa
memandang manusia sebagai mikrokosmos (al-‘ālam al-ṣaghīr) yang merefleksikan
struktur alam semesta. Jiwa manusia memiliki asal mula ilahi dan harus melalui
proses penyucian (tazkiyah) untuk kembali kepada asalnya.⁴ Mereka menekankan
pentingnya mengenal diri sendiri sebagai jalan untuk mengenal Tuhan,
sebagaimana tercermin dalam pepatah yang mereka kutip dari tradisi Nabi: “Man
‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu.”
Jiwa terdiri atas
tiga kekuatan: kekuatan rasional (al-quwwah al-‘aqliyyah), kekuatan
nafsu (al-quwwah
al-shahwiyyah), dan kekuatan kemarahan (al-quwwah al-ghadabiyyah).
Pendidikan dan filsafat berfungsi untuk menyeimbangkan ketiganya, agar akal
dapat mengendalikan nafsu dan amarah demi tercapainya kebajikan dan kebahagiaan
hakiki.⁵
5.3. Agama, Wahyu, dan Filosofi
Bagi Ikhwan
al-Shafa, agama dan filsafat tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi.
Filsafat dipandang sebagai bentuk tertinggi dari ilmu, sedangkan agama
merupakan sarana penyampaian hikmah kepada masyarakat umum melalui simbol,
ibadah, dan perumpamaan.⁶ Para nabi adalah guru spiritual yang menyampaikan kebenaran
metafisik dalam bentuk yang dapat dipahami oleh semua lapisan masyarakat.
Mereka juga
mengusung gagasan inklusivisme agama, yang
mengakui adanya kebenaran dalam berbagai agama dan filsafat.⁷ Dalam pandangan
mereka, Tuhan telah mengutus para nabi di setiap bangsa dan zaman, dan meskipun
bentuk ajarannya berbeda-beda, intinya tetap sama: menyeru kepada keesaan
Tuhan, keadilan, dan kesucian jiwa.
Ikhwan al-Shafa
membedakan antara syariat lahiriah yang
dibutuhkan oleh masyarakat umum, dan hikmah batiniah yang hanya
dapat dicapai oleh mereka yang telah menempuh jalan filsafat dan tazkiyah.⁸ Ini
menunjukkan adanya corak esoterik dalam pemikiran mereka, mirip dengan
pendekatan para sufi dan sebagian kelompok Ismailiyah.
5.4. Tujuan Hidup dan Kebahagiaan
Tujuan akhir
kehidupan menurut Ikhwan al-Shafa adalah mencapai al-sa‘ādah
al-quṣwā (kebahagiaan tertinggi), yaitu penyatuan jiwa dengan
dunia akal (al-‘ālam al-‘aqli) dan pembebasan dari dunia materi. Proses ini
hanya dapat dicapai melalui ilmu, amal, dan penyucian diri.⁹
Bagi mereka,
filsafat adalah jalan menuju kebahagiaan karena ia membawa manusia kepada
kebenaran, mengarahkan etika, dan menumbuhkan cinta kepada Tuhan. Dengan
demikian, filsafat bukan sekadar ilmu teoritis, melainkan juga praktik rohani
dan moral.
Footnotes
[1]
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the
Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 36–38.
[2]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 150–152.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 70–71.
[4]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in
Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 141.
[5]
Nader El-Bizri, “Epistles of the Brethren of Purity,” in The Oxford
Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine
Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 129–130.
[6]
Lenn E. Goodman, “Ikhwān al-Ṣafāʾ: A Brotherhood of Idealists,” The
Journal of the American Oriental Society 81, no. 1 (1961): 12–13.
[7]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (London:
Routledge, 1998), 160.
[8]
Netton, Muslim Neoplatonists, 41.
[9]
Nasr, Science and Civilization in Islam, 73.
6.
Konsep
Pendidikan dan Epistemologi
Konsep pendidikan
dan epistemologi dalam pemikiran Ikhwan al-Shafa merupakan bagian integral dari
visi mereka tentang penyempurnaan manusia melalui ilmu dan akhlak. Pendidikan
bukan sekadar transmisi pengetahuan, tetapi merupakan proses pembentukan jiwa
yang bertujuan mengangkat manusia dari dunia materi menuju realitas spiritual.¹
Dalam pandangan mereka, pendidikan adalah jalan menuju sa‘ādah
(kebahagiaan sejati), yaitu kebersatuan jiwa dengan Akal Universal dan Tuhan
Yang Maha Esa.
6.1. Tujuan Pendidikan: Tazkiyah dan Kesempurnaan
Tujuan pendidikan
dalam pemikiran Ikhwan al-Shafa sangat erat kaitannya dengan tazkiyat
al-nafs (penyucian jiwa) dan pencapaian al-insān al-kāmil (manusia
paripurna). Mereka meyakini bahwa manusia, sebagai makhluk rasional, memiliki
potensi untuk menyempurnakan diri melalui ilmu dan akhlak.² Proses pendidikan,
dalam kerangka ini, tidak hanya membentuk kemampuan intelektual, tetapi juga
memperhalus jiwa dan memurnikan hati dari sifat-sifat tercela.
Dalam salah satu
risalahnya, Ikhwan menyatakan bahwa ilmu adalah "perhiasan bagi jiwa"
dan bahwa akal yang sehat akan memimpin manusia kepada kebajikan dan cinta akan
kebenaran.³ Dengan demikian, pendidikan dipandang sebagai bentuk ibadah, yaitu
cara manusia kembali kepada asalnya yang ilahi.
6.2. Hirarki Ilmu dan Jalan Pencarian Pengetahuan
Ikhwan al-Shafa
membagi ilmu ke dalam tingkatan-tingkatan hierarkis, dimulai dari ilmu-ilmu
eksak (seperti matematika dan logika), kemudian naik ke ilmu-ilmu alam dan
jiwa, dan berakhir pada ilmu-ilmu ilahiyah dan metafisika.⁴ Pembagian ini
menggambarkan epistemologi bertingkat, di mana pencarian pengetahuan dimulai dari
realitas lahiriah menuju kepada realitas batiniah yang lebih tinggi dan suci.
Ilmu matematika,
misalnya, dipandang sebagai latihan awal yang melatih keteraturan berpikir dan
menanamkan keteraturan dalam jiwa. Setelah itu, siswa diajak untuk memahami hukum-hukum
alam, kemudian menjelajahi hakikat jiwa, hingga akhirnya mencapai pengenalan
terhadap Tuhan melalui filsafat dan intuisi spiritual.⁵
6.3. Sumber Pengetahuan: Akal, Wahyu, dan Intuisi
Epistemologi Ikhwan
al-Shafa mencakup tiga sumber utama pengetahuan: akal
(‘aql), wahyu (naql), dan intuisi batin (wijdān). Mereka tidak
menolak wahyu, tetapi meletakkannya dalam harmoni dengan akal, karena keduanya
sama-sama berasal dari Tuhan.⁶ Dalam pemikiran mereka, akal tidak bertentangan
dengan wahyu, tetapi merupakan alat untuk memahami dan menafsirkan pesan-pesan
ilahi secara lebih mendalam.
Lebih dari itu,
mereka juga mengakui peran intuisi spiritual (kasyf) dalam memperoleh
pengetahuan tingkat tinggi, terutama dalam ranah metafisika.⁷ Bagi mereka,
kebenaran tertinggi tidak selalu dapat diraih dengan logika semata, tetapi
memerlukan pensucian jiwa dan penyatuan dengan hakikat kebenaran.
6.4. Metode Pendidikan: Kolektif, Bertahap, dan
Transformatif
Dalam praktiknya,
Ikhwan al-Shafa menekankan pentingnya pendidikan kolektif, yakni
belajar dalam komunitas yang saling mendukung dan menasihati dalam kebaikan.
Mereka menganjurkan diskusi, musyawarah, dan pertukaran gagasan sebagai cara
memperluas wawasan dan memperdalam pemahaman.⁸
Proses pendidikan
juga berlangsung secara bertahap sesuai dengan
perkembangan intelektual dan spiritual seseorang. Oleh karena itu, dalam sistem
keanggotaan mereka, terdapat jenjang-jenjang yang menunjukkan tahap kematangan
jiwa, mulai dari pemuda pencari ilmu, hingga orang bijak yang membimbing sesama.⁹
Pendidikan tidak
berakhir pada pengetahuan teoretis, tetapi bersifat transformatif.
Ilmu yang diperoleh harus membuahkan amal, dan pengetahuan yang benar adalah
yang menuntun manusia kepada kebajikan, kasih sayang, dan keikhlasan dalam
beribadah.
Footnotes
[1]
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the
Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 42–43.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 75.
[3]
Nader El-Bizri, “Epistles of the Brethren of Purity,” in The Oxford
Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine
Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 132.
[4]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 156–157.
[5]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (London:
Routledge, 1998), 162.
[6]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in
Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 143.
[7]
Nasr, Science and Civilization in Islam, 76.
[8]
Lenn E. Goodman, “Ikhwān al-Ṣafāʾ: A Brotherhood of Idealists,” The
Journal of the American Oriental Society 81, no. 1 (1961): 14.
[9]
Netton, Muslim Neoplatonists, 44.
7.
Pengaruh
dan Relevansi Pemikiran Ikhwan al-Shafa
Pemikiran Ikhwan
al-Shafa memberikan dampak yang luas dan berlapis dalam sejarah intelektual
Islam, baik dalam bidang filsafat, tasawuf, pendidikan, maupun pemikiran
keagamaan. Ensiklopedia Rasāʾil Ikhwān al-Ṣafāʾ mereka
tidak hanya menjadi rujukan penting bagi generasi filsuf dan ilmuwan
sesudahnya, tetapi juga menjadi inspirasi dalam penyatuan ilmu dan agama yang
terus relevan hingga era modern.
7.1. Pengaruh terhadap Filsafat Islam
Ikhwan al-Shafa
menjadi salah satu penghubung penting antara filsafat Yunani dan Islam. Gagasan
mereka mengenai emanasi, jiwa universal, dan struktur kosmos berpengaruh besar
terhadap pemikir-pemikir seperti Suhrawardi, yang mengembangkan hikmah
al-isyrāq (filsafat iluminasi), serta Mulla
Sadra, yang memperluas konsep jiwa dan gerak substansial (al-ḥarakah
al-jawhariyyah) dalam filsafatnya.¹ Pandangan metafisika Ikhwan
juga memperkuat integrasi antara filsafat dan tasawuf dalam kerangka filsafat
Islam peripatetik dan mistik.
Lebih dari itu, para
pemikir Ismailiyah sangat terpengaruh
oleh struktur kosmologi dan esoterisme Ikhwan al-Shafa, terutama dalam
pemahaman hierarki wujud dan takwil (penafsiran batin) terhadap wahyu.² Bahkan,
beberapa peneliti berpendapat bahwa Ikhwan al-Shafa sendiri mungkin berasal
dari atau terkait erat dengan kalangan Ismailiyah awal, meskipun ini masih
menjadi perdebatan di kalangan akademik.³
7.2. Pengaruh terhadap Pendidikan dan Pemikiran
Keislaman
Ikhwan al-Shafa
memberikan kontribusi penting dalam pengembangan konsep
pendidikan integral yang menyatukan akal, etika, dan
spiritualitas. Pendekatan mereka terhadap pendidikan menekankan pentingnya
kurikulum multidisipliner, dengan fokus pada transformasi batin dan
pengembangan karakter.⁴ Model ini memberikan inspirasi bagi madrasah-madrasah
klasik dan, dalam bentuk tertentu, diwariskan oleh lembaga-lembaga pendidikan
Islam di berbagai wilayah dunia Islam.
Selain itu, semangat
inklusivisme
dan toleransi beragama yang mereka bawa menjadi rujukan penting
dalam dialog antaragama dan wacana pluralisme.⁵ Dalam dunia yang semakin plural
dan kompleks secara kultural, pendekatan Ikhwan al-Shafa dalam mengakui
kebenaran dalam berbagai agama dan filosofi memberikan kerangka penting untuk
membangun hubungan yang harmonis antara tradisi-tradisi keagamaan.
7.3. Relevansi Kontemporer
Di era modern,
pemikiran Ikhwan al-Shafa menarik kembali perhatian para sarjana karena
kemampuannya menjawab tantangan dikotomi antara ilmu dan agama.
Gagasan mereka tentang keterpaduan antara sains dan spiritualitas, serta etika
ilmu pengetahuan, menjadi alternatif terhadap pendekatan sekuler yang sering
mengabaikan dimensi transenden.⁶
Dalam konteks
pendidikan Islam kontemporer, pemikiran Ikhwan menawarkan paradigma holistik
dan humanistik, yang mengedepankan pembentukan manusia
seutuhnya, bukan hanya aspek kognitif.⁷ Mereka menjadi inspirasi untuk
merancang sistem pendidikan yang tidak hanya menghasilkan tenaga ahli, tetapi
juga pribadi-pribadi yang beretika, beriman, dan memiliki kesadaran kosmologis.
Lebih dari itu, cara
mereka menyampaikan filsafat dalam bentuk naratif dan simbolik (seperti dalam Epistle
of the Animals) juga menjadi model pedagogi kreatif yang bisa
dikembangkan untuk pembelajaran filsafat dan etika pada generasi muda.⁸
Footnotes
[1]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 160–163.
[2]
Farhad Daftary, The Ismailis: Their History and Doctrines
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 152–154.
[3]
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the
Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 10–12.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 78.
[5]
Lenn E. Goodman, “Ikhwān al-Ṣafāʾ: A Brotherhood of Idealists,” The
Journal of the American Oriental Society 81, no. 1 (1961): 16–17.
[6]
Nader El-Bizri, “Epistles of the Brethren of Purity,” in The Oxford
Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine
Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 137–138.
[7]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in
Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 145.
[8]
Netton, Muslim Neoplatonists, 48–49.
8.
Kritik
dan Kontroversi
Meskipun pemikiran
Ikhwan al-Shafa dikenal luas karena kedalaman filosofis dan integrasi antara
ilmu dan agama, tidak sedikit pula kritik dan kontroversi yang diarahkan
terhadap mereka. Kritik ini datang dari berbagai kalangan, mulai dari teolog
ortodoks, pemikir rasionalis, hingga sejarawan modern, yang menyoroti baik isi
ajaran mereka maupun metode penyampaiannya.
8.1. Tuduhan Sinkretisme dan Pengaburan Ajaran Islam
Salah satu kritik
utama yang diarahkan kepada Ikhwan al-Shafa adalah kecenderungan mereka yang sinkretik,
yaitu mencampuradukkan berbagai unsur filsafat Yunani (terutama Platonisme dan
Neoplatonisme), mistisisme Persia, dan doktrin-doktrin keagamaan dari berbagai
tradisi, lalu dibingkai dalam bahasa Islam.¹ Kritikus seperti al-Ghazali,
meskipun tidak menyebut mereka secara eksplisit, menentang keras upaya-upaya
filsafat yang dianggap mencemari kesucian wahyu dan menyamarkan kebenaran Islam
dengan argumen-argumen spekulatif.²
Beberapa kalangan
juga menuduh bahwa pendekatan Ikhwan terlalu liberal dalam menyamakan esensi
agama-agama dunia, dan oleh karenanya berbahaya bagi kemurnian akidah Islam.
Pandangan mereka tentang kenabian yang dikaitkan dengan filsuf sebagai pemimpin
spiritual, serta paham bahwa semua agama sejatinya mengandung kebenaran universal
yang sama, dipandang melemahkan otoritas syariat.³
8.2. Asosiasi dengan Kelompok Esoterik (Ismailiyah)
Kontroversi lain
berkaitan dengan dugaan keterkaitan Ikhwan al-Shafa dengan
mazhab Ismailiyah. Banyak studi menunjukkan adanya kesamaan
doktrin antara kedua kelompok, terutama dalam hal kosmologi bertingkat,
hierarki spiritual, dan pendekatan alegoris terhadap teks suci.⁴ Farhad Daftary
dan beberapa peneliti Barat meyakini bahwa Ikhwan merupakan bagian dari
jaringan intelektual Ismailiyah awal, meskipun tetap beroperasi secara
terselubung karena tekanan politik dan sosial pada saat itu.⁵
Kaitan ini
menjadikan mereka sasaran kecurigaan dari kalangan Sunni ortodoks, yang
memandang kelompok-kelompok esoterik sebagai ancaman terhadap stabilitas
doktrin dan otoritas ulama. Namun, beberapa peneliti lain berpendapat bahwa
meskipun terdapat pengaruh Ismailiyah, Ikhwan tetap mengembangkan kerangka
pemikirannya yang unik dan tidak dapat disamakan sepenuhnya dengan aliran mana
pun.⁶
8.3. Gaya Alegoris dan Ambiguitas Makna
Ikhwan al-Shafa
sering menggunakan bahasa alegoris, simbolik, dan naratif,
seperti dalam Risalah tentang Hewan (Epistle
of the Animals), yang membuat pesan mereka terbuka terhadap
berbagai interpretasi.⁷ Meskipun pendekatan ini efektif untuk menyampaikan
ide-ide filsafat kepada publik yang lebih luas, sebagian kalangan menilai
metode ini sebagai bentuk ambiguitas yang menyulitkan penilaian teologis dan
akademik terhadap posisi mereka yang sebenarnya.
Selain itu,
penggunaan metafora dan cerita dalam penyampaian doktrin agama membuat sebagian
ulama mempertanyakan ketulusan mereka dalam beragama. Ada yang menuduh mereka
lebih condong kepada “filsafat terselubung”
ketimbang komitmen terhadap akidah yang eksplisit dan normatif.⁸
8.4. Kritik Modern: Kelemahan Sistematisasi dan
Ketidakjelasan Posisi
Beberapa kritik dari
kalangan akademisi modern menyasar aspek sistematisasi dan metodologi Rasāʾil.
Meskipun bersifat ensiklopedis, struktur risalah dianggap kurang konsisten
dalam urutan logika atau keterpaduan argumentasi.⁹ Dalam banyak bagian,
terdapat tumpang tindih antara topik dan pengulangan konsep, yang dinilai
menunjukkan bahwa risalah-risalah tersebut mungkin disusun oleh lebih dari satu
orang dengan latar belakang yang berbeda, tanpa koordinasi redaksional yang
kuat.
Namun demikian,
meskipun banyak menuai kritik, nilai historis dan filosofis Ikhwan al-Shafa
tetap diakui. Karya mereka merepresentasikan usaha luar biasa dalam
menjembatani sains dan agama, rasio dan intuisi, serta dunia inderawi dan
metafisik. Kritik terhadap mereka, justru menunjukkan betapa karya dan
pemikiran mereka telah memicu respons intelektual yang serius sepanjang sejarah
pemikiran Islam.
Footnotes
[1]
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the
Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 57–59.
[2]
Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah (Incoherence of the
Philosophers), trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press,
2000), 6–8.
[3]
Lenn E. Goodman, “Ikhwān al-Ṣafāʾ: A Brotherhood of Idealists,” The
Journal of the American Oriental Society 81, no. 1 (1961): 17–18.
[4]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 163–165.
[5]
Farhad Daftary, The Ismailis: Their History and Doctrines
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 155–157.
[6]
Nader El-Bizri, “Epistles of the Brethren of Purity,” in The Oxford
Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine
Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 139–140.
[7]
Netton, Muslim Neoplatonists, 60–61.
[8]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in
Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 146.
[9]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (London:
Routledge, 1998), 165.
9.
Penutup
Ikhwan al-Shafa menempati posisi yang unik dan
penting dalam sejarah intelektual Islam. Sebagai sebuah kelompok rahasia yang
muncul pada abad ke-10 M, mereka berhasil merumuskan suatu sintesis antara ilmu
pengetahuan, filsafat, dan ajaran agama yang tidak hanya mencerminkan kejayaan
intelektual dunia Islam, tetapi juga memberikan kontribusi jangka panjang dalam
khazanah pemikiran Islam.¹
Melalui karya besar mereka, Rasāʾil Ikhwān
al-Ṣafāʾ, mereka mengembangkan model pengetahuan yang bersifat ensiklopedis
dan hirarkis, mencakup ilmu-ilmu eksak, ilmu alam, psikologi, dan
spiritualitas. Dalam kerangka ini, ilmu bukan hanya untuk menguasai alam,
tetapi sebagai sarana pembersihan jiwa dan pendekatan diri kepada
Tuhan.² Pendekatan integratif mereka terhadap akal dan wahyu, sains dan
agama, serta logika dan mistisisme menunjukkan upaya serius dalam menciptakan
kerangka keilmuan Islam yang menyeluruh dan seimbang.
Kekuatan terbesar pemikiran Ikhwan al-Shafa
terletak pada kemampuannya untuk menjembatani dikotomi yang sering
muncul dalam tradisi keilmuan Islam—antara rasionalisme dan spiritualitas,
antara eksoterisme syariat dan esoterisme hikmah. Mereka tidak memposisikan
filsafat sebagai tandingan agama, melainkan sebagai pelengkap dan penafsir
batin dari pesan-pesan ilahi.³
Namun demikian, pemikiran mereka juga tidak lepas
dari kontroversi. Kecenderungan sinkretisme, penggunaan simbolisme yang ambigu,
dan dugaan keterkaitan dengan kelompok esoterik seperti Ismailiyah memicu
berbagai kritik dari kalangan ortodoks.⁴ Meski demikian, warisan intelektual
mereka tetap berharga sebagai cermin dari dinamika pemikiran Islam klasik yang
terbuka, kritis, dan reflektif.
Dalam konteks kontemporer, pendekatan Ikhwan
al-Shafa menjadi sangat relevan. Dunia Islam kini menghadapi tantangan besar
dalam membangun sistem pendidikan yang tidak hanya mencetak ilmuwan teknokrat,
tetapi juga insan berintegritas dan spiritual. Visi Ikhwan tentang pendidikan
sebagai proses penyempurnaan akal dan jiwa, serta pemahaman mereka akan
pentingnya harmoni antara ilmu dan agama, dapat menjadi inspirasi dalam
merancang model pendidikan Islam yang holistik dan transformatif.⁵
Akhirnya, Ikhwan al-Shafa mengajarkan bahwa
pencarian kebenaran adalah perjalanan yang membutuhkan keberanian intelektual,
ketulusan spiritual, dan keterbukaan terhadap perbedaan. Melalui
risalah-risalah mereka, mereka meninggalkan warisan yang bukan hanya untuk
zamannya, tetapi juga untuk masa depan umat Islam yang ingin meraih
kebijaksanaan sejati di tengah kompleksitas zaman.
Footnotes
[1]
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge,
1991), 1–2.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 65–66.
[3]
Nader El-Bizri, “Epistles of the Brethren of
Purity,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled
El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 138.
[4]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International,
1993), 165.
[5]
Lenn E. Goodman, “Ikhwān al-Ṣafāʾ: A Brotherhood of
Idealists,” The Journal of the American Oriental Society 81, no. 1
(1961): 18–19.
Daftar Pustaka
Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy
(L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). London: Kegan Paul International.
Daftary, F. (1990). The Ismailis: Their history
and doctrines. Cambridge: Cambridge University Press.
El-Bizri, N. (2016). Epistles of the Brethren of
Purity. In K. El-Rouayheb & S. Schmidtke (Eds.), The Oxford handbook of
Islamic philosophy (pp. 121–140). Oxford: Oxford University Press.
Ghazali, A. (2000). The incoherence of the
philosophers (Tahāfut al-Falāsifah) (M. Marmura, Trans.). Provo: Brigham
Young University Press.
Goodman, L. E. (1961). Ikhwān al-Ṣafāʾ: A
brotherhood of idealists. Journal of the American Oriental Society, 81(1),
11–20. https://doi.org/10.2307/595062
Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture:
The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ‘Abbasid society.
London: Routledge.
Kennedy, H. (2004). The Prophet and the age of
the caliphates: The Islamic Near East from the sixth to the eleventh century
(2nd ed.). London: Longman.
Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in
Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Netton, I. R. (1991). Muslim Neoplatonists: An
introduction to the thought of the Brethren of Purity. London: Routledge.
Rosenthal, F. (1970). Knowledge triumphant: The
concept of knowledge in medieval Islam. Leiden: Brill.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar