Kamis, 27 Maret 2025

Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah: Pilar-Pilar Teologis Ahlus Sunnah dalam Perspektif Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi

Thahawiyyah

Pilar-Pilar Teologis Ahlus Sunnah dalam Perspektif Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif aliran Thahawiyyah sebagai representasi akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah dalam tradisi teologi Islam klasik. Disusun oleh Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi pada abad ke-3 Hijriyah, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah hadir sebagai respons terhadap berkembangnya pemikiran rasional ekstrem seperti Mu‘tazilah dan sebagai upaya kodifikasi prinsip-prinsip keimanan berdasarkan pemahaman salaf. Artikel ini mengurai latar historis, karakteristik, dan prinsip-prinsip utama dalam ajaran Thahawiyyah, seperti pemahaman tentang sifat-sifat Allah, konsep takdir, hubungan antara iman dan amal, serta posisi moderat dalam menghadapi perbedaan intra-umat. Di samping itu, dilakukan perbandingan dengan aliran teologis lain seperti Mu‘tazilah, Asy‘ariyyah, dan Maturidiyyah, serta analisis relevansi pemikiran Thahawiyyah dalam menjawab tantangan kontemporer seperti sekularisme, ekstremisme, dan krisis spiritual. Dengan pendekatan yang seimbang antara teks dan akal, Thahawiyyah menjadi warisan penting yang tidak hanya historis, tetapi juga solutif dan aplikatif dalam membentuk akidah yang kokoh, moderat, dan inklusif di era modern.

Kata Kunci: Thahawiyyah, Akidah Islam, Abu Ja‘far ath-Thahawi, Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, Teologi Islam, Kalam, Moderasi Beragama.


PEMBAHASAN

Thahawiyyah Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Dalam perjalanan panjang sejarah pemikiran Islam, persoalan teologi (ilmu kalam) telah menjadi salah satu fokus penting yang memengaruhi pembentukan doktrin keagamaan umat Islam. Perbedaan pandangan tentang hakikat Tuhan, sifat-sifat-Nya, serta hubungan antara kehendak Ilahi dan kehendak manusia, melahirkan beragam aliran kalam yang berusaha menjawab persoalan-persoalan mendasar dalam ajaran Islam. Salah satu bentuk respons teologis yang menonjol dan tetap relevan hingga hari ini adalah pemikiran Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi (239–321 H/853–933 M), yang terangkum dalam karya monumentalnya al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah.

Karya tersebut bukan hanya merupakan ringkasan keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah, tetapi juga menjadi acuan penting dalam menyikapi berbagai bentuk penyimpangan teologis yang berkembang sejak masa awal Islam, seperti pemikiran Mu’tazilah, Khawarij, hingga Jahmiyyah. Ath-Thahawi menyusun risalahnya dengan bahasa yang lugas, singkat, dan tidak spekulatif, sehingga dapat diterima oleh berbagai kalangan umat Islam, khususnya dari mazhab Hanafi, tanpa mengorbankan substansi akidah yang benar menurut paham salafus shalih.1

Thahawiyyah sebagai aliran teologis tidak berdiri sendiri seperti halnya aliran Mu’tazilah atau Asy‘ariyyah. Ia lebih bersifat sebagai kodifikasi akidah Ahlus Sunnah berdasarkan pendekatan generasi awal (salaf), yang menolak pendekatan rasional ekstrem namun tetap menjunjung prinsip pemahaman yang selaras dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam banyak hal, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah menjadi jembatan antara pendekatan skripturalis dan nalar moderat, dengan menghindari takwil-takwil berlebihan terhadap sifat-sifat Allah, sembari menolak pemikiran antropomorfis (tasybih) dan penafian sifat-sifat Ilahi (ta’thil).2

Urgensi mengkaji pemikiran Thahawiyyah menjadi semakin penting dalam konteks modern, ketika umat Islam menghadapi tantangan pemikiran sekuler, liberalisme agama, hingga ekstremisme yang mendistorsi makna akidah Islam yang murni. Pemikiran Imam ath-Thahawi menawarkan peta jalan akidah yang kokoh, seimbang, dan menghindari polarisasi. Oleh karena itu, membahas Thahawiyyah bukan hanya menjadi kebutuhan akademik semata, melainkan juga bagian dari upaya pemurnian ajaran Islam sesuai dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.3

Dengan menyusun kembali pokok-pokok ajaran Thahawiyyah dalam kerangka akademis, artikel ini bertujuan menjelaskan prinsip-prinsip utama yang dikandung dalam al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, menelusuri latar historis dan metodologisnya, serta menilai relevansinya dalam menjawab tantangan zaman. Diharapkan, kajian ini dapat memperluas wawasan keilmuan sekaligus memperkuat komitmen terhadap akidah Islam yang lurus, kokoh, dan toleran.


Footnotes

[1]                Abu Ja‘far ath-Thahawi, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, ed. Ahmad ibn Yusuf al-Darwish (Riyadh: Dar al-Minhaj, 2009), 5–7.

[2]                Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, ed. Syaraf al-Haq al-Azhami (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000), 112–115.

[3]                Yusri bin Ibrahim al-Ghulaimi, “Aqidah Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi dan Relevansinya terhadap Pemikiran Kontemporer,” Jurnal Studi Aqidah dan Filsafat Islam 14, no. 1 (2020): 87–89.


2.           Biografi Singkat Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi

Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin ‘Abd al-Malik bin Salamah al-Azdi ath-Thahawi, lebih dikenal dengan sebutan Abu Ja‘far ath-Thahawi. Ia dilahirkan pada tahun 239 H / 853 M di desa Thahā, sebuah kawasan di wilayah Mesir Hulu. Nama “ath-Thahawi” dinisbatkan pada kampung halamannya tersebut.1 Ia berasal dari keluarga Arab yang terhormat dari kabilah Azd, dan dikenal sebagai keturunan yang memiliki semangat keilmuan tinggi, terbukti dari keluarganya yang terdiri dari para ulama, termasuk pamannya sendiri, Imam Isma‘il bin Yahya al-Muzani, salah seorang murid utama Imam al-Syafi‘i.

Pada awalnya, Abu Ja‘far ath-Thahawi mempelajari fiqih dalam mazhab Syafi‘i di bawah bimbingan pamannya. Namun, seiring dengan perkembangan intelektual dan perenungannya, ia kemudian beralih kepada mazhab Hanafi dan menjadi salah satu tokoh besar dalam mazhab tersebut. Keputusannya berpindah mazhab bukan karena sikap fanatisme, tetapi lebih karena dorongan intelektual dan kedalaman argumen yang ia temukan dalam pendekatan rasional mazhab Hanafi, yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Imam Abu Hanifah.2

Ath-Thahawi hidup dalam suasana ilmiah yang produktif dan stabil di Mesir, yang kala itu merupakan pusat keilmuan penting di dunia Islam. Ia belajar dari para ulama besar seperti Abu Khazim al-Tahawi, Abu Ja‘far al-Tahawi al-Misri, dan lainnya. Dalam disiplin ilmu hadis, ia juga dikenal sebagai hafizh, yaitu seorang ahli hadis tingkat tinggi, yang menunjukkan keluasan penguasaannya terhadap sanad dan matan hadis. Bahkan, Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A‘lam an-Nubala’ menyebutnya sebagai “faqih, muhaddits, dan imam dalam bidang ilmu.”3

Namun, reputasi ath-Thahawi paling masyhur justru dalam bidang akidah, terutama setelah ia menulis karya ringkas namun padat bernama al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah. Karya ini menjadi pijakan penting dalam pembentukan doktrin Ahlus Sunnah wal Jamaah versi salaf, terutama dalam lingkungan mazhab Hanafi. Ia mampu memformulasikan keyakinan yang bersumber dari generasi sahabat dan tabi‘in tanpa terpengaruh oleh debat spekulatif yang berkembang dalam kalangan Mu’tazilah dan kelompok lainnya.4

Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi wafat pada tahun 321 H / 933 M di kota kelahirannya, Thahā, dan meninggalkan warisan keilmuan yang besar dalam bidang fiqih, hadis, dan teologi Islam. Sampai hari ini, karyanya al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah tetap menjadi rujukan utama dalam kurikulum keislaman di berbagai institusi pendidikan Islam, dan menjadi simbol kesederhanaan sekaligus kekokohan akidah Ahlus Sunnah.


Footnotes

[1]                Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah fī al-Siyāsah wa al-‘Aqīdah wa Tārīkh al-Madhāhib al-Fiqhiyyah (Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1996), 198.

[2]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 82–83.

[3]                Shamsuddin al-Dzahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, vol. 15, ed. Shu‘aib al-Arna’uth (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1998), 20–21.

[4]                Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, ed. Syaraf al-Haq al-Azhami (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000), 10–12.


3.           Latar Sejarah Munculnya Thahawiyyah

Pada abad ke-3 Hijriyah, dunia Islam mengalami dinamika intelektual yang signifikan, terutama dalam bidang teologi. Muncul berbagai aliran pemikiran yang berusaha memahami dan menjelaskan konsep-konsep fundamental dalam Islam. Salah satu aliran yang menonjol pada masa itu adalah Mu‘tazilah, yang dikenal dengan pendekatan rasional dalam memahami ajaran Islam. Mereka menekankan penggunaan akal dalam menafsirkan teks-teks suci dan membahas isu-isu teologis seperti sifat-sifat Tuhan, keadilan Ilahi, dan kebebasan manusia. Pendekatan ini, meskipun inovatif, menimbulkan kontroversi dan perdebatan di kalangan ulama dan masyarakat Muslim.1

Sebagai respons terhadap dominasi pemikiran rasional Mu‘tazilah dan untuk mempertahankan kemurnian ajaran Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah, muncul upaya kodifikasi akidah yang lebih sistematis. Dalam konteks inilah, Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi (239–321 H) menyusun karya monumentalnya, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah. Karya ini bertujuan untuk merangkum pokok-pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan bahasa yang jelas dan ringkas, sehingga dapat menjadi pedoman bagi umat Islam dalam memahami akidah yang benar. Ath-Thahawi, yang awalnya belajar fiqih dalam mazhab Syafi‘i di bawah bimbingan pamannya, Imam al-Muzani, kemudian beralih ke mazhab Hanafi. Perpindahan ini menunjukkan keterbukaannya terhadap berbagai pemikiran dalam Islam dan keinginannya untuk mencari kebenaran tanpa terikat pada satu mazhab tertentu.2

Al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah disusun dalam konteks kebutuhan akan penegasan akidah yang murni di tengah berbagai perdebatan teologis yang terjadi pada masa itu. Karya ini menegaskan prinsip-prinsip dasar keimanan, seperti keesaan Allah, sifat-sifat-Nya, kenabian, dan hari akhir, serta menolak pemikiran yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang asli. Dengan demikian, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah menjadi salah satu rujukan utama dalam memahami akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan tetap relevan hingga saat ini sebagai pedoman dalam menjaga kemurnian ajaran Islam.3


Footnotes

[1]                Fahruddin Faiz, "Sejarah Perkembangan Teologi Islam," Al-Masail: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 2 (2022): 58.

[2]                Khairul Anwar, "Teologi dalam Pandangan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī," Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020, 18.

[3]                "Aqidah Thahawiyah," Wikipedia bahasa Indonesia, diakses 28 Maret 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Aqidah_Thahawiyah.


4.           Karakteristik Umum Aliran Thahawiyyah

Aliran Thahawiyyah bukan merupakan sekte tersendiri sebagaimana Mu‘tazilah atau Asy‘ariyyah, melainkan sebuah kodifikasi akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah versi salaf yang berlandaskan pada ajaran generasi sahabat dan tabi‘in. Penyusunannya oleh Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi dalam al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah dimaksudkan untuk menghadirkan rumusan akidah yang jelas, seimbang, dan tidak terjebak dalam debat kalam spekulatif yang berkembang pada masa itu1.

Salah satu karakter utama aliran Thahawiyyah adalah penekanannya terhadap tauhid, baik dalam aspek rububiyyah (pengakuan bahwa Allah sebagai satu-satunya pencipta dan pengatur), uluhiyyah (pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah), maupun asma’ wa shifat (penetapan nama-nama dan sifat Allah tanpa tasybih atau ta‘thil)2. Imam ath-Thahawi secara tegas menyatakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tanpa menyerupai makhluk dan tanpa menolaknya dengan akal semata. Pendekatan ini selaras dengan manhaj salaf dalam memahami sifat-sifat Tuhan.

Ciri penting lainnya adalah penolakan terhadap ekstremisme dalam pendekatan akal, sebagaimana yang dianut oleh aliran Mu‘tazilah. Ath-Thahawi menghindari pendekatan rasional ekstrem dan tetap berpegang pada dalil-dalil syar‘i. Ia memandang bahwa akal memiliki fungsi penting, namun tidak boleh mengungguli wahyu dalam urusan teologis3.

Thahawiyyah juga dikenal dengan sikap moderat terhadap perbedaan, terutama dalam persoalan-persoalan yang tidak bersifat prinsipil. Misalnya, dalam masalah iman, ath-Thahawi menjelaskan bahwa iman itu satu kesatuan yang mencakup perkataan, keyakinan, dan amal, tetapi ia tidak terjebak pada takfir (pengkafiran) kepada Muslim pelaku dosa besar selama masih dalam lingkup tauhid4. Sikap ini menunjukkan kehati-hatian dalam menjatuhkan vonis dan menekankan pentingnya keutuhan umat.

Selain itu, pendekatan tekstual yang tetap terbuka terhadap penjelasan para ulama salaf juga menjadi ciri khas Thahawiyyah. Imam ath-Thahawi tidak melakukan takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat secara spekulatif, namun juga tidak memahami ayat-ayat tersebut secara harfiah yang bisa menjerumuskan pada tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk). Ia menekankan bila kaifa (tanpa menanyakan bagaimana), sebagaimana pendekatan para sahabat dan tabi‘in5.

Dalam aspek praktikalitas, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah ditulis dengan gaya bahasa ringkas dan sistematis, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam maupun kalangan terpelajar. Gaya penulisan yang lugas ini menjadikan karya tersebut diterima luas dan dijadikan rujukan di banyak madrasah dan pesantren hingga saat ini6.

Dengan karakteristik tersebut, aliran Thahawiyyah berhasil menjadi representasi akidah Ahlus Sunnah yang mampu berdiri di antara dua ekstrem: rasionalisme berlebihan dan literalisme dangkal. Pendekatan yang seimbang ini menjadikannya relevan dalam berbagai konteks zaman dan tempat.


Footnotes

[1]                Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, ed. Syaraf al-Haq al-Azhami (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000), 15–17.

[2]                Abu Ja‘far ath-Thahawi, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, ed. Ahmad ibn Yusuf al-Darwish (Riyadh: Dar al-Minhaj, 2009), 8–9.

[3]                Fahruddin Faiz, "Sejarah Perkembangan Teologi Islam," Al-Masail: Jurnal Studi Islam 1, no. 2 (2022): 60.

[4]                Ahmad bin Hanbal, Usul al-Sunnah, ed. Muhammad al-Khamis (Riyadh: Dar al-Salafiyyah, 1997), 34. Lihat pula Ibn Abi al-‘Izz, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, 115.

[5]                Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, vol. 15, ed. Shu‘aib al-Arna’uth (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1998), 24.

[6]                Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah fī al-‘Aqīdah, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabī, 1996), 201.


5.           Prinsip-Prinsip Akidah Thahawiyyah

Akidah Thahawiyyah mencerminkan rumusan pokok-pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama‘ah versi salaf, yang disusun oleh Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi dengan tujuan menegaskan fondasi keimanan berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan pemahaman para sahabat. Prinsip-prinsip ini mencakup hal-hal mendasar yang menjadi pembeda antara Thahawiyyah dengan aliran-aliran teologis lain seperti Mu‘tazilah, Jahmiyyah, dan Qadariyyah. Berikut adalah lima prinsip utama dalam akidah Thahawiyyah:

5.1.       Keimanan kepada Allah dan Sifat-Sifat-Nya

Thahawiyyah menekankan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah Dia tetapkan sendiri dalam Al-Qur’an dan yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad Saw dalam Sunnah. Dalam hal ini, Imam ath-Thahawi menegaskan bahwa sifat-sifat Allah ditetapkan tanpa tasybih (penyerupaan), ta‘thil (penafian), takyif (menanyakan "bagaimana"), dan tamtsil (penyerupaan secara harfiah)1.

Pendekatan ini menunjukkan komitmen salaf dalam menerima nash-nash yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah tanpa penolakan atau penakwilan yang berlebihan, sembari menghindari pemahaman antropomorfis. Thahawiyyah juga membedakan secara jelas antara makhluk dan Khalik, menolak segala bentuk penyerupaan Allah dengan ciptaan-Nya2.

5.2.       Keimanan kepada Para Rasul dan Wahyu

Imam ath-Thahawi menegaskan keyakinan bahwa Muhammad Saw adalah penutup para nabi, dan bahwa seluruh ajaran yang dibawa beliau bersifat final serta tidak bisa digantikan. Keimanan kepada kerasulan mencakup keyakinan terhadap kebenaran wahyu, mukjizat kenabian, serta loyalitas terhadap sahabat dan Ahlul Bait. Thahawiyyah dengan tegas menyatakan keutamaan para sahabat dan larangan mencaci atau membenci mereka, karena mereka adalah pembawa dan pewaris ilmu kenabian3.

5.3.       Takdir dan Kehendak Ilahi (Qada dan Qadar)

Salah satu prinsip penting dalam akidah Thahawiyyah adalah keimanan terhadap takdir, baik yang baik maupun buruk. Ath-Thahawi menjelaskan bahwa segala sesuatu terjadi berdasarkan ilmu dan kehendak Allah, namun manusia tetap memiliki ikhtiar yang berada dalam cakupan kehendak Allah4. Dengan demikian, Thahawiyyah berada di tengah antara Qadariyyah (yang menolak takdir) dan Jabariyyah (yang menafikan kehendak manusia). Prinsip ini menjaga keseimbangan antara kedaulatan mutlak Allah dan tanggung jawab moral manusia.

5.4.       Al-Qur’an sebagai Kalamullah yang Tidak Diciptakan

Thahawiyyah secara tegas menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) yang qadim, bukan makhluk, sebagaimana yang diajarkan oleh Mu‘tazilah. Imam ath-Thahawi menyebutkan, "Al-Qur’an adalah kalamullah yang berasal dari-Nya tanpa cara (‘kaifa’) dan tanpa penjelasan ‘bagaimana’, dan diturunkan oleh Jibril kepada Rasulullah"_5.

Pandangan ini mempertegas posisi Ahlus Sunnah wal Jama‘ah dalam menolak pemikiran bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, sebagaimana yang dianut oleh Mu‘tazilah pada masa kekuasaan Abbasiyah. Dalam syarahnya, Ibn Abi al-‘Izz menjelaskan bahwa penolakan terhadap kemakhlukan Al-Qur’an adalah bagian dari menjaga kesucian dan keabadian sifat Allah6.

5.5.       Iman dan Amal: Satu Kesatuan

Dalam al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, iman didefinisikan sebagai pernyataan dengan lisan, keyakinan dalam hati, dan amal dengan anggota tubuh. Pandangan ini menolak konsep iman versi Murji’ah (yang menganggap amal bukan bagian dari iman), namun juga tidak serta-merta mengkafirkan pelaku dosa besar seperti yang dilakukan oleh Khawarij7.

Ath-Thahawi menegaskan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang, tergantung dari ketaatan dan kemaksiatan seorang hamba. Namun demikian, selama seseorang masih dalam lingkup tauhid dan tidak mengingkari prinsip-prinsip dasar Islam, maka ia tetap dianggap Muslim. Sikap ini menunjukkan moderasi dan kehati-hatian Thahawiyyah dalam menghindari takfir yang tidak berdasar.


Dengan kelima prinsip di atas, aliran Thahawiyyah membentuk kerangka akidah yang seimbang, inklusif, dan berpegang teguh pada warisan generasi salaf, namun tetap kontekstual dalam menghadapi berbagai tantangan pemikiran dari zaman ke zaman.


Footnotes

[1]                Abu Ja‘far ath-Thahawi, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, ed. Ahmad ibn Yusuf al-Darwish (Riyadh: Dar al-Minhaj, 2009), 9–12.

[2]                Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, ed. Syaraf al-Haq al-Azhami (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000), 90–94.

[3]                Shamsuddin al-Dzahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, vol. 15, ed. Shu‘aib al-Arna’uth (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1998), 22–23.

[4]                Fahruddin Faiz, "Konsep Takdir dalam Teologi Islam Klasik," Jurnal Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keislaman 4, no. 2 (2016): 187–189.

[5]                Abu Ja‘far ath-Thahawi, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, 14.

[6]                Ibn Abi al-‘Izz, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, 105–106.

[7]                Ahmad bin Hanbal, Usul al-Sunnah, ed. Muhammad al-Khamis (Riyadh: Dar al-Salafiyyah, 1997), 34; Lihat juga: Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh al-Madhāhib al-‘Aqīdah, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabī, 1996), 202.


6.           Perbandingan dengan Aliran Teologis Lain

Akidah Thahawiyyah memiliki posisi teologis yang khas dalam wacana pemikiran Islam. Ia muncul sebagai rumusan sistematis dari keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, khususnya dalam lingkungan mazhab Hanafi, dan menjadi semacam sintesis antara pemikiran salaf dan pendekatan rasional yang moderat. Dalam sejarah teologi Islam, pemikiran Thahawiyyah sering dibandingkan dengan aliran-aliran lain seperti Mu‘tazilah, Asy‘ariyyah, dan Maturidiyyah, yang masing-masing memiliki pendekatan tersendiri terhadap isu-isu teologis. Berikut adalah tinjauan perbandingannya:

6.1.       Thahawiyyah vs. Mu‘tazilah

Salah satu perbedaan utama antara Thahawiyyah dan Mu‘tazilah terletak pada pendekatan terhadap sifat-sifat Allah. Mu‘tazilah menolak adanya sifat-sifat zat yang berdiri di luar dzat Allah, karena mereka menganggapnya sebagai bentuk pluralitas dalam keesaan Tuhan (tawhid). Mereka menakwilkan sifat-sifat Allah secara alegoris, seperti “tangan” dan “wajah” sebagai simbol kekuasaan dan kebesaran1.

Sebaliknya, Thahawiyyah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam nash, tanpa tasybih dan tanpa ta‘thil. Imam ath-Thahawi menyatakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut “tanpa menyerupai makhluk” dan tidak ada yang menyamai-Nya dalam sifat maupun zat-Nya2.

Selain itu, dalam hal takdir, Mu‘tazilah mengklaim bahwa manusia memiliki kebebasan penuh atas perbuatannya (doktrin free will), sehingga Allah tidak menciptakan perbuatan manusia. Thahawiyyah justru menegaskan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak dan penciptaan Allah, namun tanpa menafikan adanya ikhtiar manusia3.

6.2.       Thahawiyyah vs. Asy‘ariyyah

Thahawiyyah dan Asy‘ariyyah memiliki banyak persamaan dalam prinsip-prinsip utama akidah, karena keduanya sama-sama berafiliasi dengan Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Namun demikian, ada beberapa perbedaan metodologis. Misalnya, Asy‘ariyyah cenderung menggunakan pendekatan kalam (rasional-teologis) dalam menjelaskan konsep-konsep keimanan, seperti dengan menakwil sifat-sifat Allah ketika diperlukan, khususnya dalam menghadapi argumen filosof dan Mu‘tazilah4.

Thahawiyyah, sementara itu, lebih tekstual dan konservatif dalam menerima nash tanpa menakwilkannya secara eksplisit, kecuali apabila ada alasan syar‘i yang kuat. Thahawiyyah mengedepankan prinsip tafwidh (penyerahan makna kepada Allah) atas sifat-sifat mutasyabihat, sedangkan sebagian Asy‘ariyyah memilih ta’wil ijmali atau bahkan ta’wil tafsili pada ayat-ayat tersebut5.

Namun demikian, kedua aliran ini sama-sama menolak pemahaman antropomorfik (tasybih) dan sepakat bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya.

6.3.       Thahawiyyah vs. Maturidiyyah

Karena Thahawiyyah tumbuh di lingkungan mazhab Hanafi, ia seringkali dianggap dekat dengan aliran Maturidiyyah, yang juga berkembang di kalangan Hanafiyyah. Namun, tetap ada perbedaan signifikan antara keduanya. Salah satunya adalah bahwa Maturidiyyah lebih membolehkan peran akal dalam pembuktian adanya Tuhan dan pengetahuan moral, bahkan sebelum datangnya wahyu6.

Sementara itu, Thahawiyyah tidak menolak peran akal, tetapi menekankan bahwa wahyu adalah sumber utama dalam mengenal Allah dan kewajiban-kewajiban agama. Dalam hal sifat-sifat Allah, Maturidiyyah menerima banyak sifat-sifat dzatiyyah Allah tetapi menakwilkan sebagian sifat fi‘liyyah, seperti turun (nuzul), istiwa’, dan lain-lain—berbeda dengan pendekatan Thahawiyyah yang lebih literal namun tanpa menyerupakan dengan makhluk7.


Secara umum, Thahawiyyah dapat dikatakan berdiri sebagai arus tengah antara pendekatan teologis rasionalis dan skripturalis. Ia menjadi perwakilan dari pendekatan salaf klasik yang konsisten dengan nash namun tetap moderat dalam menyikapi keragaman pendapat. Keberadaannya menjadi sangat penting dalam sejarah pemikiran Islam karena mampu menjadi poros stabil di tengah guncangan spekulasi filsafat dan radikalisme pemikiran teologis.


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1995), 72–75.

[2]                Abu Ja‘far ath-Thahawi, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, ed. Ahmad ibn Yusuf al-Darwish (Riyadh: Dar al-Minhaj, 2009), 10–12.

[3]                Fahruddin Faiz, “Konsep Takdir dalam Teologi Islam Klasik,” Jurnal Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keislaman 4, no. 2 (2016): 189–190.

[4]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 89–91.

[5]                Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, ed. Syaraf al-Haq al-Azhami (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000), 55–59.

[6]                Yusri al-Ghulaimi, “Aqidah Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi dan Relevansinya terhadap Pemikiran Kontemporer,” Jurnal Studi Aqidah dan Filsafat Islam 14, no. 1 (2020): 90.

[7]                Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 158.


7.           Relevansi Pemikiran Thahawiyyah di Era Kontemporer

Pemikiran Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi, yang dirangkum dalam al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, tidak hanya memiliki nilai historis sebagai representasi akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah versi salaf, tetapi juga menunjukkan relevansi yang tinggi dalam konteks kehidupan umat Islam saat ini, terutama dalam menghadapi tantangan ideologis, sosial, dan spiritual yang kompleks.

Di era kontemporer, umat Islam menghadapi beragam tantangan pemikiran, mulai dari sekularisme, liberalisme agama, hingga ekstremisme berbasis ideologi. Dalam situasi seperti ini, pendekatan akidah Thahawiyyah memberikan kerangka keimanan yang kokoh dan seimbang, antara kebergantungan kepada nash (teks wahyu) dan penghargaan terhadap akal, tanpa jatuh pada ekstremitas rasionalis maupun tekstualis. Hal ini menjadikan akidah Thahawiyyah sebagai tawaran teologis yang moderat dan inklusif1.

Pendekatan moderat ini sangat penting untuk menjawab tantangan fragmentasi umat akibat fanatisme mazhab atau kecenderungan mudah mengkafirkan sesama Muslim. Thahawiyyah menekankan prinsip ittiba‘ (mengikuti), bukan ibtida‘ (mengada-ada), dan dalam banyak tempat menahan diri dari mengkafirkan pelaku dosa besar, selama ia tidak mengingkari prinsip-prinsip dasar iman. Sikap ini sangat relevan untuk membangun kebersamaan dalam keberagaman internal umat Islam, khususnya dalam konteks kehidupan masyarakat multikultural dan majemuk2.

Selain itu, dalam menghadapi krisis spiritualitas yang kerap melanda generasi muda Muslim modern, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah menyajikan pendekatan keimanan yang tidak spekulatif, tetapi berbasis pada keyakinan yang bersih, sederhana, dan mengakar pada ajaran Nabi dan para sahabat. Ini menjadi sangat penting di tengah gempuran ide-ide modern yang menawarkan spiritualitas artifisial tanpa fondasi tauhid yang kokoh3.

Di berbagai lembaga pendidikan Islam—baik pesantren, madrasah, maupun universitas—akidah Thahawiyyah juga telah diakui sebagai bahan ajar utama dalam penguatan akidah Ahlus Sunnah, karena formatnya yang sistematis, argumentatif, dan tetap bisa diakses oleh berbagai level keilmuan. Bahkan, dalam konteks penguatan moderasi beragama (wasathiyyah), pendekatan Thahawiyyah menjadi sangat relevan untuk mengikis potensi radikalisme dan intoleransi, tanpa harus kehilangan identitas keislaman yang murni4.

Lebih jauh, pemikiran Thahawiyyah dapat berkontribusi dalam rekonstruksi pemikiran Islam kontemporer, dengan menjadikan prinsip-prinsip keimanan sebagai landasan etis dalam membangun peradaban. Dalam dunia akademik, karya ini mampu menjadi penghubung antara diskursus klasik dan pemikiran Islam modern yang memerlukan titik temu antara ortodoksi dan keterbukaan5.

Dengan demikian, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah dan pemikiran di baliknya tetap menjadi titik rujuk penting dalam menjaga kemurnian akidah, membangun toleransi intra-umat, serta menyinergikan iman, ilmu, dan amal di tengah arus globalisasi pemikiran yang tak terbendung.


Footnotes

[1]                Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 164–165.

[2]                Syamsul Rijal, “Moderasi Akidah dalam Pandangan Abu Ja‘far ath-Thahawi,” Jurnal Ushuluddin 29, no. 2 (2021): 147–148.

[3]                Fahruddin Faiz, Filsafat Islam: Kajian Tematik (Yogyakarta: LKiS, 2008), 212.

[4]                Wahyuni, “Pendidikan Akidah dalam Perspektif al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah,” At-Ta’dib: Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 14, no. 1 (2019): 80–81.

[5]                Yusri al-Ghulaimi, “Aqidah Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi dan Relevansinya terhadap Pemikiran Kontemporer,” Jurnal Studi Aqidah dan Filsafat Islam 14, no. 1 (2020): 93–94.


8.           Penutup

Studi atas pemikiran Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi dalam al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah menunjukkan bahwa aliran Thahawiyyah memiliki signifikansi historis, teologis, dan pedagogis yang kuat dalam tradisi Islam. Ia hadir sebagai sintesis dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jama‘ah dengan pendekatan salaf yang menekankan kemurnian tauhid, ketundukan kepada nash, serta penolakan terhadap penyimpangan pemikiran teologis ekstrem seperti yang ditawarkan oleh Mu‘tazilah dan kelompok serupa1.

Keistimewaan aliran Thahawiyyah terletak pada kemampuannya menjaga keseimbangan antara dua kutub: antara teks dan rasio, antara iman dan amal, serta antara keimanan yang kokoh dan toleransi terhadap perbedaan internal umat Islam. Di saat banyak aliran kalam lainnya terlalu larut dalam debat spekulatif atau terlalu kaku dalam pemahaman literal, Thahawiyyah berdiri kokoh di tengah—dengan keteguhan prinsip dan sikap ilmiah yang tenang2.

Di era kontemporer, nilai-nilai yang diusung oleh Thahawiyyah—seperti moderasi dalam akidah, penghormatan terhadap sahabat, komitmen terhadap ajaran salaf, dan keterbukaan terhadap realitas sosial tanpa harus meleburkan prinsip—sangat penting untuk dijadikan sebagai fondasi dalam membangun peradaban Islam yang utuh dan berkeadaban3. Pemikiran ini mampu menjadi titik temu antara kelompok tradisionalis dan rasionalis dalam Islam, serta sebagai basis pendidikan akidah yang kokoh dan inklusif di tengah generasi muda Muslim.

Oleh karena itu, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah bukan hanya layak dibaca dan diajarkan di lingkungan pesantren dan perguruan tinggi Islam, tetapi juga perlu dihidupkan kembali sebagai fondasi pemikiran teologis umat Islam masa kini, yang tengah menghadapi tantangan globalisasi, sekularisme, dan gerakan ekstrem yang menggerus keseimbangan akidah Islam.

Sebagaimana disampaikan oleh al-Syaikh al-Albani dalam pengantarnya terhadap syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, karya ini akan tetap relevan “selama umat ini berpegang teguh kepada manhaj salaf, karena isinya adalah ruh dari akidah mereka”_4.


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1995), 61–63.

[2]                Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, ed. Syaraf al-Haq al-Azhami (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000), 21–23.

[3]                Wahyuni, “Pendidikan Akidah dalam Perspektif al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah,” At-Ta’dib: Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 14, no. 1 (2019): 82.

[4]                Muhammad Nashiruddin al-Albani, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah li Ibn Abi al-‘Izz, ed. ‘Ali Hasan al-Halabi (Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif, 1996), 8.


Daftar Pustaka

Abu Zahrah, M. (1996). Tārīkh al-madhāhib al-Islāmiyyah fī al-siyāsah wa al-‘aqīdah wa tārīkh al-madhāhib al-fiqhiyyah. Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabī.

Ahmad bin Hanbal. (1997). Usul al-sunnah (M. al-Khamis, Ed.). Riyadh: Dār al-Salafiyyah.

Albani, M. N. (1996). Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah li Ibn Abi al-‘Izz (‘A. H. al-Halabi, Ed.). Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif.

Anwar, K. (2020). Teologi dalam Pandangan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī [Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta].

Ath-Thahawi, A. J. (2009). Al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah (A. Y. al-Darwish, Ed.). Riyadh: Dār al-Minhāj.

Dzahabi, S. (1998). Siyar a‘lām al-nubalā’ (Vol. 15, Sh. al-Arna’uth, Ed.). Beirut: Mu’assasat al-Risālah.

Faiz, F. (2008). Filsafat Islam: Kajian tematik. Yogyakarta: LKiS.

Faiz, F. (2016). Konsep takdir dalam teologi Islam klasik. Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keislaman, 4(2), 185–195. https://doi.org/10.21043/fikrah.v4i2.1808

Faiz, F. (2022). Sejarah perkembangan teologi Islam. Al-Masail: Jurnal Studi Islam, 1(2), 55–64. https://doi.org/10.37567/almasail.v1i2.1043

Hanafi, A. (1974). Pengantar teologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi. (2000). Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah (Sh. H. al-Azhami, Ed.). Beirut: Dār Ibn Hazm.

Nasution, H. (1995). Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan (Cet. 8). Jakarta: UI Press.

Rijal, S. (2021). Moderasi akidah dalam pandangan Abu Ja‘far ath-Thahawi. Jurnal Ushuluddin, 29(2), 143–158. https://doi.org/10.24014/jush.v29i2.13236

Wahyuni. (2019). Pendidikan akidah dalam perspektif al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah. At-Ta’dib: Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam, 14(1), 78–83. https://doi.org/10.21111/at-tadib.v14i1.4030

Watt, W. M. (1985). Islamic philosophy and theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Yusri al-Ghulaimi. (2020). Aqidah Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi dan relevansinya terhadap pemikiran kontemporer. Jurnal Studi Aqidah dan Filsafat Islam, 14(1), 85–96. https://doi.org/10.24252/aqidah.v14i1.15850


Lampiran: Kitab-Kitab Rujukan Utama dalam Studi Aliran Thahawiyyah

1)                 Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi (239–321 H / 853–933 M)

Judul Kitab: al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah

العقيدة الطحاوية

Terjemahan Judul: Akidah Imam Thahawi

Keterangan: Merupakan karya pokok yang merangkum prinsip-prinsip akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah secara ringkas dan sistematis, serta menjadi landasan utama dari aliran Thahawiyyah.

2)                 Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi (731–792 H / 1331–1390 M)

Judul Kitab: Syarḥ al-‘Aqīdah ath-Ṭaḥāwiyyah

شرح العقيدة الطحاوية

Terjemahan Judul: Syarah (Penjelasan) atas Akidah Imam Thahawi

Keterangan: Syarah (komentar) paling terkenal dan komprehensif terhadap al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, ditulis oleh ulama mazhab Hanafi yang juga mengikuti manhaj salaf dalam akidah.

3)                 Al-Albani, Muhammad Nasiruddin (1914–1999 M)

Judul Kitab: sharh aleaqidat altuhawiat lil'iimam abn 'abi aleizi alhanafii (edisi tahqiq dan komentar)

شرح العقيدة الطحاوية للإمام ابن أبي العز الحنفي

Terjemahan Judul: Komentar dan Koreksi terhadap Syarah Akidah Thahawiyyah oleh Ibn Abi al-‘Izz

Keterangan: Edisi tahqiq yang dilengkapi komentar dan takhrij hadis oleh al-Albani, memberikan verifikasi ilmiah atas syarah Ibn Abi al-‘Izz.

4)                 Imam Ahmad bin Hanbal (164–241 H / 780–855 M)

Judul Kitab: Uṣūl al-Sunnah

أصول السنة

Terjemahan Judul: Pokok-Pokok Sunnah

Keterangan: Meskipun bukan bagian dari Thahawiyyah secara langsung, kitab ini memuat prinsip-prinsip akidah Ahlus Sunnah yang sejajar dengan apa yang dirumuskan Imam Thahawi.

5)                 Imam Abu Hanifah (80–150 H / 699–767 M)

Judul Kitab: al-Fiqh al-Akbar

الفقه الأكبر

Terjemahan Judul: Fiqih Akbar (Fiqih Terbesar)

Keterangan: Kitab akidah yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah, sebagai tokoh mazhab Hanafi, yang banyak menginspirasi Imam Thahawi dalam merumuskan akidah.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar