Thahawiyyah
Pilar-Pilar Teologis Ahlus Sunnah dalam Perspektif Imam
Abu Ja‘far ath-Thahawi
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif aliran
Thahawiyyah sebagai representasi akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah dalam tradisi
teologi Islam klasik. Disusun oleh Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi pada abad ke-3
Hijriyah, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah hadir sebagai respons terhadap
berkembangnya pemikiran rasional ekstrem seperti Mu‘tazilah dan sebagai upaya
kodifikasi prinsip-prinsip keimanan berdasarkan pemahaman salaf. Artikel ini
mengurai latar historis, karakteristik, dan prinsip-prinsip utama dalam ajaran
Thahawiyyah, seperti pemahaman tentang sifat-sifat Allah, konsep takdir,
hubungan antara iman dan amal, serta posisi moderat dalam menghadapi perbedaan intra-umat.
Di samping itu, dilakukan perbandingan dengan aliran teologis lain seperti
Mu‘tazilah, Asy‘ariyyah, dan Maturidiyyah, serta analisis relevansi pemikiran
Thahawiyyah dalam menjawab tantangan kontemporer seperti sekularisme,
ekstremisme, dan krisis spiritual. Dengan pendekatan yang seimbang antara teks
dan akal, Thahawiyyah menjadi warisan penting yang tidak hanya historis, tetapi
juga solutif dan aplikatif dalam membentuk akidah yang kokoh, moderat, dan
inklusif di era modern.
Kata Kunci: Thahawiyyah, Akidah Islam, Abu Ja‘far
ath-Thahawi, Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, Teologi Islam, Kalam, Moderasi Beragama.
PEMBAHASAN
Thahawiyyah Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Dalam perjalanan
panjang sejarah pemikiran Islam, persoalan teologi (ilmu kalam) telah menjadi
salah satu fokus penting yang memengaruhi pembentukan doktrin keagamaan umat
Islam. Perbedaan pandangan tentang hakikat Tuhan, sifat-sifat-Nya, serta
hubungan antara kehendak Ilahi dan kehendak manusia, melahirkan beragam aliran
kalam yang berusaha menjawab persoalan-persoalan mendasar dalam ajaran Islam.
Salah satu bentuk respons teologis yang menonjol dan tetap relevan hingga hari
ini adalah pemikiran Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi (239–321 H/853–933 M), yang
terangkum dalam karya monumentalnya al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah.
Karya tersebut bukan
hanya merupakan ringkasan keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah, tetapi juga
menjadi acuan penting dalam menyikapi berbagai bentuk penyimpangan teologis yang
berkembang sejak masa awal Islam, seperti pemikiran Mu’tazilah, Khawarij,
hingga Jahmiyyah. Ath-Thahawi menyusun risalahnya dengan bahasa yang lugas,
singkat, dan tidak spekulatif, sehingga dapat diterima oleh berbagai kalangan
umat Islam, khususnya dari mazhab Hanafi, tanpa mengorbankan substansi akidah
yang benar menurut paham salafus shalih.1
Thahawiyyah sebagai
aliran teologis tidak berdiri sendiri seperti halnya aliran Mu’tazilah atau
Asy‘ariyyah. Ia lebih bersifat sebagai kodifikasi akidah Ahlus Sunnah
berdasarkan pendekatan generasi awal (salaf), yang menolak pendekatan rasional
ekstrem namun tetap menjunjung prinsip pemahaman yang selaras dengan Al-Qur’an
dan Sunnah. Dalam banyak hal, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah menjadi
jembatan antara pendekatan skripturalis dan nalar moderat, dengan menghindari
takwil-takwil berlebihan terhadap sifat-sifat Allah, sembari menolak pemikiran
antropomorfis (tasybih) dan penafian sifat-sifat Ilahi (ta’thil).2
Urgensi mengkaji
pemikiran Thahawiyyah menjadi semakin penting dalam konteks modern, ketika umat
Islam menghadapi tantangan pemikiran sekuler, liberalisme agama, hingga
ekstremisme yang mendistorsi makna akidah Islam yang murni. Pemikiran Imam
ath-Thahawi menawarkan peta jalan akidah yang kokoh, seimbang, dan menghindari
polarisasi. Oleh karena itu, membahas Thahawiyyah bukan hanya menjadi kebutuhan
akademik semata, melainkan juga bagian dari upaya pemurnian ajaran Islam sesuai
dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.3
Dengan menyusun
kembali pokok-pokok ajaran Thahawiyyah dalam kerangka akademis, artikel ini
bertujuan menjelaskan prinsip-prinsip utama yang dikandung dalam al-‘Aqidah
ath-Thahawiyyah, menelusuri latar historis dan metodologisnya,
serta menilai relevansinya dalam menjawab tantangan zaman. Diharapkan, kajian
ini dapat memperluas wawasan keilmuan sekaligus memperkuat komitmen terhadap
akidah Islam yang lurus, kokoh, dan toleran.
Footnotes
[1]
Abu Ja‘far ath-Thahawi, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, ed. Ahmad
ibn Yusuf al-Darwish (Riyadh: Dar al-Minhaj, 2009), 5–7.
[2]
Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah,
ed. Syaraf al-Haq al-Azhami (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000), 112–115.
[3]
Yusri bin Ibrahim al-Ghulaimi, “Aqidah Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi dan
Relevansinya terhadap Pemikiran Kontemporer,” Jurnal Studi Aqidah dan
Filsafat Islam 14, no. 1 (2020): 87–89.
2.
Biografi
Singkat Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi
Nama lengkap beliau
adalah Ahmad
bin Muhammad bin Salamah bin ‘Abd al-Malik bin Salamah al-Azdi ath-Thahawi,
lebih dikenal dengan sebutan Abu Ja‘far ath-Thahawi. Ia
dilahirkan pada tahun 239 H / 853 M di desa Thahā,
sebuah kawasan di wilayah Mesir Hulu. Nama “ath-Thahawi” dinisbatkan
pada kampung halamannya tersebut.1 Ia berasal dari keluarga Arab
yang terhormat dari kabilah Azd, dan dikenal sebagai keturunan yang memiliki
semangat keilmuan tinggi, terbukti dari keluarganya yang terdiri dari para
ulama, termasuk pamannya sendiri, Imam Isma‘il bin Yahya al-Muzani,
salah seorang murid utama Imam al-Syafi‘i.
Pada awalnya, Abu
Ja‘far ath-Thahawi mempelajari fiqih dalam mazhab Syafi‘i di bawah bimbingan
pamannya. Namun, seiring dengan perkembangan intelektual dan perenungannya, ia
kemudian beralih kepada mazhab Hanafi dan menjadi salah
satu tokoh besar dalam mazhab tersebut. Keputusannya berpindah mazhab bukan
karena sikap fanatisme, tetapi lebih karena dorongan intelektual dan kedalaman
argumen yang ia temukan dalam pendekatan rasional mazhab Hanafi, yang banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Imam Abu Hanifah.2
Ath-Thahawi hidup
dalam suasana ilmiah yang produktif dan stabil di Mesir, yang kala itu
merupakan pusat keilmuan penting di dunia Islam. Ia belajar dari para ulama
besar seperti Abu Khazim al-Tahawi, Abu
Ja‘far al-Tahawi al-Misri, dan lainnya. Dalam disiplin ilmu
hadis, ia juga dikenal sebagai hafizh, yaitu seorang ahli
hadis tingkat tinggi, yang menunjukkan keluasan penguasaannya terhadap sanad
dan matan hadis. Bahkan, Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A‘lam an-Nubala’ menyebutnya
sebagai “faqih, muhaddits, dan imam dalam bidang ilmu.”3
Namun, reputasi
ath-Thahawi paling masyhur justru dalam bidang akidah, terutama setelah ia
menulis karya ringkas namun padat bernama al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah. Karya
ini menjadi pijakan penting dalam pembentukan doktrin Ahlus Sunnah wal Jamaah
versi salaf, terutama dalam lingkungan mazhab Hanafi. Ia mampu memformulasikan
keyakinan yang bersumber dari generasi sahabat dan tabi‘in tanpa terpengaruh
oleh debat spekulatif yang berkembang dalam kalangan Mu’tazilah dan kelompok
lainnya.4
Imam Abu Ja‘far
ath-Thahawi wafat pada tahun 321 H / 933 M di kota
kelahirannya, Thahā, dan meninggalkan warisan keilmuan yang besar dalam bidang
fiqih, hadis, dan teologi Islam. Sampai hari ini, karyanya al-‘Aqidah
ath-Thahawiyyah tetap menjadi rujukan utama dalam kurikulum
keislaman di berbagai institusi pendidikan Islam, dan menjadi simbol
kesederhanaan sekaligus kekokohan akidah Ahlus Sunnah.
Footnotes
[1]
Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah fī al-Siyāsah
wa al-‘Aqīdah wa Tārīkh al-Madhāhib al-Fiqhiyyah (Beirut: Dār al-Fikr
al-‘Arabī, 1996), 198.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 82–83.
[3]
Shamsuddin al-Dzahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, vol. 15, ed.
Shu‘aib al-Arna’uth (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1998), 20–21.
[4]
Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah,
ed. Syaraf al-Haq al-Azhami (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000), 10–12.
3.
Latar
Sejarah Munculnya Thahawiyyah
Pada abad ke-3 Hijriyah, dunia Islam mengalami
dinamika intelektual yang signifikan, terutama dalam bidang teologi. Muncul
berbagai aliran pemikiran yang berusaha memahami dan menjelaskan konsep-konsep
fundamental dalam Islam. Salah satu aliran yang menonjol pada masa itu adalah Mu‘tazilah,
yang dikenal dengan pendekatan rasional dalam memahami ajaran Islam. Mereka
menekankan penggunaan akal dalam menafsirkan teks-teks suci dan membahas
isu-isu teologis seperti sifat-sifat Tuhan, keadilan Ilahi, dan kebebasan
manusia. Pendekatan ini, meskipun inovatif, menimbulkan kontroversi dan
perdebatan di kalangan ulama dan masyarakat Muslim.1
Sebagai respons terhadap dominasi pemikiran
rasional Mu‘tazilah dan untuk mempertahankan kemurnian ajaran Islam berdasarkan
Al-Qur'an dan Sunnah, muncul upaya kodifikasi akidah yang lebih sistematis.
Dalam konteks inilah, Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi (239–321 H) menyusun
karya monumentalnya, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah. Karya ini bertujuan
untuk merangkum pokok-pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan bahasa
yang jelas dan ringkas, sehingga dapat menjadi pedoman bagi umat Islam dalam
memahami akidah yang benar. Ath-Thahawi, yang awalnya belajar fiqih dalam
mazhab Syafi‘i di bawah bimbingan pamannya, Imam al-Muzani, kemudian beralih ke
mazhab Hanafi. Perpindahan ini menunjukkan keterbukaannya terhadap berbagai
pemikiran dalam Islam dan keinginannya untuk mencari kebenaran tanpa terikat
pada satu mazhab tertentu.2
Al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah disusun dalam konteks kebutuhan akan penegasan
akidah yang murni di tengah berbagai perdebatan teologis yang terjadi pada masa
itu. Karya ini menegaskan prinsip-prinsip dasar keimanan, seperti keesaan
Allah, sifat-sifat-Nya, kenabian, dan hari akhir, serta menolak pemikiran yang
dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang asli. Dengan demikian, al-‘Aqidah
ath-Thahawiyyah menjadi salah satu rujukan utama dalam memahami akidah
Ahlus Sunnah wal Jamaah dan tetap relevan hingga saat ini sebagai pedoman dalam
menjaga kemurnian ajaran Islam.3
Footnotes
[1]
Fahruddin Faiz, "Sejarah Perkembangan Teologi
Islam," Al-Masail: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 2 (2022): 58.
[2]
Khairul Anwar, "Teologi dalam Pandangan Imām
Aṭ-Ṭaḥāwī," Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2020, 18.
[3]
"Aqidah Thahawiyah," Wikipedia bahasa
Indonesia, diakses 28 Maret 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Aqidah_Thahawiyah.
4.
Karakteristik
Umum Aliran Thahawiyyah
Aliran Thahawiyyah
bukan merupakan sekte tersendiri sebagaimana Mu‘tazilah atau Asy‘ariyyah,
melainkan sebuah kodifikasi akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah versi
salaf yang berlandaskan pada ajaran generasi sahabat dan
tabi‘in. Penyusunannya oleh Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi dalam al-‘Aqidah
ath-Thahawiyyah dimaksudkan untuk menghadirkan rumusan akidah yang
jelas, seimbang, dan tidak terjebak dalam debat kalam spekulatif yang
berkembang pada masa itu1.
Salah satu karakter
utama aliran Thahawiyyah adalah penekanannya terhadap tauhid,
baik dalam aspek rububiyyah (pengakuan bahwa Allah sebagai satu-satunya
pencipta dan pengatur), uluhiyyah (pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak
disembah), maupun asma’ wa shifat (penetapan nama-nama dan sifat Allah tanpa
tasybih atau ta‘thil)2. Imam ath-Thahawi secara tegas menyatakan
bahwa Allah memiliki sifat-sifat sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an
dan Sunnah, tanpa menyerupai makhluk dan tanpa menolaknya dengan akal semata.
Pendekatan ini selaras dengan manhaj salaf dalam memahami sifat-sifat Tuhan.
Ciri penting lainnya
adalah penolakan
terhadap ekstremisme dalam pendekatan akal, sebagaimana yang
dianut oleh aliran Mu‘tazilah. Ath-Thahawi menghindari pendekatan rasional
ekstrem dan tetap berpegang pada dalil-dalil syar‘i. Ia memandang bahwa akal
memiliki fungsi penting, namun tidak boleh mengungguli wahyu dalam urusan
teologis3.
Thahawiyyah juga
dikenal dengan sikap moderat terhadap perbedaan,
terutama dalam persoalan-persoalan yang tidak bersifat prinsipil. Misalnya,
dalam masalah iman, ath-Thahawi menjelaskan bahwa iman itu satu kesatuan yang
mencakup perkataan, keyakinan, dan amal, tetapi ia tidak terjebak pada takfir
(pengkafiran) kepada Muslim pelaku dosa besar selama masih dalam lingkup tauhid4.
Sikap ini menunjukkan kehati-hatian dalam menjatuhkan vonis dan menekankan
pentingnya keutuhan umat.
Selain itu, pendekatan
tekstual yang tetap terbuka terhadap penjelasan para ulama salaf
juga menjadi ciri khas Thahawiyyah. Imam ath-Thahawi tidak melakukan takwil
terhadap ayat-ayat mutasyabihat secara spekulatif, namun juga tidak memahami
ayat-ayat tersebut secara harfiah yang bisa menjerumuskan pada tasybih
(penyerupaan Allah dengan makhluk). Ia menekankan bila kaifa (tanpa menanyakan
bagaimana), sebagaimana pendekatan para sahabat dan tabi‘in5.
Dalam aspek
praktikalitas, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah ditulis
dengan gaya bahasa ringkas dan sistematis, sehingga mudah dipahami oleh
masyarakat awam maupun kalangan terpelajar. Gaya penulisan yang lugas ini
menjadikan karya tersebut diterima luas dan dijadikan rujukan di banyak
madrasah dan pesantren hingga saat ini6.
Dengan karakteristik
tersebut, aliran Thahawiyyah berhasil menjadi representasi akidah Ahlus Sunnah
yang mampu berdiri di antara dua ekstrem: rasionalisme berlebihan dan
literalisme dangkal. Pendekatan yang seimbang ini menjadikannya relevan dalam
berbagai konteks zaman dan tempat.
Footnotes
[1]
Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah,
ed. Syaraf al-Haq al-Azhami (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000), 15–17.
[2]
Abu Ja‘far ath-Thahawi, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, ed. Ahmad
ibn Yusuf al-Darwish (Riyadh: Dar al-Minhaj, 2009), 8–9.
[3]
Fahruddin Faiz, "Sejarah Perkembangan Teologi Islam," Al-Masail:
Jurnal Studi Islam 1, no. 2 (2022): 60.
[4]
Ahmad bin Hanbal, Usul al-Sunnah, ed. Muhammad al-Khamis
(Riyadh: Dar al-Salafiyyah, 1997), 34. Lihat pula Ibn Abi al-‘Izz, Syarh
al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, 115.
[5]
Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, vol. 15, ed. Shu‘aib
al-Arna’uth (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1998), 24.
[6]
Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah fī al-‘Aqīdah,
(Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabī, 1996), 201.
5.
Prinsip-Prinsip
Akidah Thahawiyyah
Akidah Thahawiyyah
mencerminkan rumusan pokok-pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal
Jama‘ah versi salaf, yang disusun oleh Imam Abu Ja‘far
ath-Thahawi dengan tujuan menegaskan fondasi keimanan berdasarkan Al-Qur’an,
Sunnah, dan pemahaman para sahabat. Prinsip-prinsip ini mencakup hal-hal
mendasar yang menjadi pembeda antara Thahawiyyah dengan aliran-aliran teologis
lain seperti Mu‘tazilah, Jahmiyyah, dan Qadariyyah. Berikut adalah lima prinsip
utama dalam akidah Thahawiyyah:
5.1.
Keimanan kepada
Allah dan Sifat-Sifat-Nya
Thahawiyyah
menekankan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa,
tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara
dengan-Nya. Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah Dia tetapkan
sendiri dalam Al-Qur’an dan yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad Saw dalam
Sunnah. Dalam hal ini, Imam ath-Thahawi menegaskan bahwa sifat-sifat
Allah ditetapkan tanpa tasybih (penyerupaan), ta‘thil (penafian), takyif
(menanyakan "bagaimana"), dan tamtsil (penyerupaan secara harfiah)1.
Pendekatan ini
menunjukkan komitmen salaf dalam menerima
nash-nash yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah tanpa penolakan atau
penakwilan yang berlebihan, sembari menghindari pemahaman antropomorfis.
Thahawiyyah juga membedakan secara jelas antara makhluk dan Khalik, menolak
segala bentuk penyerupaan Allah dengan ciptaan-Nya2.
5.2.
Keimanan kepada Para
Rasul dan Wahyu
Imam ath-Thahawi
menegaskan keyakinan bahwa Muhammad Saw adalah penutup para nabi,
dan bahwa seluruh ajaran yang dibawa beliau bersifat final serta tidak bisa
digantikan. Keimanan kepada kerasulan mencakup keyakinan terhadap kebenaran
wahyu, mukjizat kenabian, serta loyalitas terhadap sahabat dan Ahlul Bait.
Thahawiyyah dengan tegas menyatakan keutamaan para sahabat dan
larangan mencaci atau membenci mereka, karena mereka adalah pembawa dan pewaris
ilmu kenabian3.
5.3.
Takdir dan Kehendak
Ilahi (Qada dan Qadar)
Salah satu prinsip
penting dalam akidah Thahawiyyah adalah keimanan terhadap takdir, baik
yang baik maupun buruk. Ath-Thahawi menjelaskan bahwa segala
sesuatu terjadi berdasarkan ilmu dan kehendak Allah, namun
manusia tetap memiliki ikhtiar yang berada dalam cakupan kehendak Allah4.
Dengan demikian, Thahawiyyah berada di tengah antara Qadariyyah
(yang menolak takdir) dan Jabariyyah (yang menafikan kehendak manusia). Prinsip
ini menjaga keseimbangan antara kedaulatan mutlak Allah dan tanggung
jawab moral manusia.
5.4.
Al-Qur’an sebagai
Kalamullah yang Tidak Diciptakan
Thahawiyyah secara
tegas menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) yang
qadim, bukan makhluk, sebagaimana yang diajarkan oleh
Mu‘tazilah. Imam ath-Thahawi menyebutkan, "Al-Qur’an adalah kalamullah
yang berasal dari-Nya tanpa cara (‘kaifa’) dan tanpa penjelasan
‘bagaimana’, dan diturunkan oleh Jibril kepada Rasulullah"_5.
Pandangan ini
mempertegas posisi Ahlus Sunnah wal Jama‘ah dalam menolak pemikiran bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk, sebagaimana yang dianut oleh Mu‘tazilah pada masa
kekuasaan Abbasiyah. Dalam syarahnya, Ibn Abi al-‘Izz menjelaskan bahwa
penolakan terhadap kemakhlukan Al-Qur’an adalah bagian dari menjaga kesucian
dan keabadian sifat Allah6.
5.5.
Iman dan Amal: Satu
Kesatuan
Dalam al-‘Aqidah
ath-Thahawiyyah, iman didefinisikan sebagai pernyataan
dengan lisan, keyakinan dalam hati, dan amal dengan anggota tubuh.
Pandangan ini menolak konsep iman versi Murji’ah (yang menganggap amal bukan
bagian dari iman), namun juga tidak serta-merta mengkafirkan pelaku dosa besar
seperti yang dilakukan oleh Khawarij7.
Ath-Thahawi
menegaskan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang,
tergantung dari ketaatan dan kemaksiatan seorang hamba. Namun demikian, selama
seseorang masih dalam lingkup tauhid dan tidak mengingkari prinsip-prinsip
dasar Islam, maka ia tetap dianggap Muslim. Sikap ini menunjukkan moderasi dan
kehati-hatian Thahawiyyah dalam menghindari takfir yang tidak berdasar.
Dengan kelima
prinsip di atas, aliran Thahawiyyah membentuk kerangka akidah yang seimbang, inklusif, dan
berpegang teguh pada warisan generasi salaf, namun tetap
kontekstual dalam menghadapi berbagai tantangan pemikiran dari zaman ke zaman.
Footnotes
[1]
Abu Ja‘far ath-Thahawi, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, ed. Ahmad
ibn Yusuf al-Darwish (Riyadh: Dar al-Minhaj, 2009), 9–12.
[2]
Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah,
ed. Syaraf al-Haq al-Azhami (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000), 90–94.
[3]
Shamsuddin al-Dzahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, vol. 15, ed.
Shu‘aib al-Arna’uth (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1998), 22–23.
[4]
Fahruddin Faiz, "Konsep Takdir dalam Teologi Islam Klasik," Jurnal
Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keislaman 4, no. 2 (2016): 187–189.
[5]
Abu Ja‘far ath-Thahawi, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, 14.
[6]
Ibn Abi al-‘Izz, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, 105–106.
[7]
Ahmad bin Hanbal, Usul al-Sunnah, ed. Muhammad al-Khamis
(Riyadh: Dar al-Salafiyyah, 1997), 34; Lihat juga: Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh
al-Madhāhib al-‘Aqīdah, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabī, 1996), 202.
6.
Perbandingan
dengan Aliran Teologis Lain
Akidah Thahawiyyah
memiliki posisi teologis yang khas dalam wacana pemikiran Islam. Ia muncul
sebagai rumusan sistematis dari keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama‘ah,
khususnya dalam lingkungan mazhab Hanafi, dan menjadi semacam sintesis antara
pemikiran salaf dan pendekatan rasional yang moderat. Dalam sejarah teologi
Islam, pemikiran Thahawiyyah sering dibandingkan dengan aliran-aliran lain
seperti Mu‘tazilah, Asy‘ariyyah,
dan Maturidiyyah,
yang masing-masing memiliki pendekatan tersendiri terhadap isu-isu teologis.
Berikut adalah tinjauan perbandingannya:
6.1.
Thahawiyyah vs.
Mu‘tazilah
Salah satu perbedaan
utama antara Thahawiyyah dan Mu‘tazilah terletak pada pendekatan
terhadap sifat-sifat Allah. Mu‘tazilah menolak adanya
sifat-sifat zat yang berdiri di luar dzat Allah, karena mereka menganggapnya
sebagai bentuk pluralitas dalam keesaan Tuhan (tawhid). Mereka menakwilkan
sifat-sifat Allah secara alegoris, seperti “tangan” dan “wajah”
sebagai simbol kekuasaan dan kebesaran1.
Sebaliknya,
Thahawiyyah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan
dalam nash, tanpa tasybih dan tanpa ta‘thil. Imam ath-Thahawi
menyatakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut “tanpa menyerupai
makhluk” dan tidak ada yang menyamai-Nya dalam sifat maupun zat-Nya2.
Selain itu, dalam
hal takdir,
Mu‘tazilah mengklaim bahwa manusia memiliki kebebasan penuh atas perbuatannya
(doktrin free
will), sehingga Allah tidak menciptakan perbuatan manusia.
Thahawiyyah justru menegaskan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak dan
penciptaan Allah, namun tanpa menafikan adanya ikhtiar manusia3.
6.2.
Thahawiyyah vs.
Asy‘ariyyah
Thahawiyyah dan
Asy‘ariyyah memiliki banyak persamaan dalam prinsip-prinsip utama akidah,
karena keduanya sama-sama berafiliasi dengan Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Namun
demikian, ada beberapa perbedaan metodologis. Misalnya, Asy‘ariyyah
cenderung menggunakan pendekatan kalam (rasional-teologis)
dalam menjelaskan konsep-konsep keimanan, seperti dengan menakwil sifat-sifat
Allah ketika diperlukan, khususnya dalam menghadapi argumen filosof dan
Mu‘tazilah4.
Thahawiyyah,
sementara itu, lebih tekstual dan konservatif
dalam menerima nash tanpa menakwilkannya secara eksplisit, kecuali apabila ada
alasan syar‘i yang kuat. Thahawiyyah mengedepankan prinsip tafwidh
(penyerahan makna kepada Allah) atas sifat-sifat mutasyabihat, sedangkan
sebagian Asy‘ariyyah memilih ta’wil ijmali atau bahkan ta’wil
tafsili pada ayat-ayat tersebut5.
Namun demikian,
kedua aliran ini sama-sama menolak pemahaman antropomorfik (tasybih) dan
sepakat bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya.
6.3.
Thahawiyyah vs.
Maturidiyyah
Karena Thahawiyyah
tumbuh di lingkungan mazhab Hanafi, ia seringkali dianggap dekat dengan aliran
Maturidiyyah, yang juga berkembang di kalangan Hanafiyyah.
Namun, tetap ada perbedaan signifikan antara keduanya. Salah satunya adalah
bahwa Maturidiyyah lebih membolehkan peran akal dalam pembuktian
adanya Tuhan dan pengetahuan moral, bahkan sebelum datangnya
wahyu6.
Sementara itu,
Thahawiyyah tidak menolak peran akal,
tetapi menekankan bahwa wahyu adalah sumber utama dalam mengenal Allah
dan kewajiban-kewajiban agama. Dalam hal sifat-sifat Allah,
Maturidiyyah menerima banyak sifat-sifat dzatiyyah Allah tetapi menakwilkan
sebagian sifat fi‘liyyah, seperti turun (nuzul), istiwa’, dan lain-lain—berbeda
dengan pendekatan Thahawiyyah yang lebih literal namun tanpa menyerupakan
dengan makhluk7.
Secara umum,
Thahawiyyah dapat dikatakan berdiri sebagai arus tengah antara pendekatan teologis rasionalis
dan skripturalis. Ia menjadi perwakilan dari pendekatan salaf
klasik yang konsisten dengan nash namun tetap moderat dalam menyikapi keragaman
pendapat. Keberadaannya menjadi sangat penting dalam sejarah pemikiran Islam
karena mampu menjadi poros stabil di tengah
guncangan spekulasi filsafat dan radikalisme pemikiran teologis.
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1995), 72–75.
[2]
Abu Ja‘far ath-Thahawi, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, ed. Ahmad
ibn Yusuf al-Darwish (Riyadh: Dar al-Minhaj, 2009), 10–12.
[3]
Fahruddin Faiz, “Konsep Takdir dalam Teologi Islam Klasik,” Jurnal
Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keislaman 4, no. 2 (2016): 189–190.
[4]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 89–91.
[5]
Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah,
ed. Syaraf al-Haq al-Azhami (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000), 55–59.
[6]
Yusri al-Ghulaimi, “Aqidah Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi dan Relevansinya
terhadap Pemikiran Kontemporer,” Jurnal Studi Aqidah dan Filsafat Islam
14, no. 1 (2020): 90.
[7]
Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), 158.
7.
Relevansi
Pemikiran Thahawiyyah di Era Kontemporer
Pemikiran Imam Abu
Ja‘far ath-Thahawi, yang dirangkum dalam al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, tidak
hanya memiliki nilai historis sebagai representasi akidah Ahlus Sunnah wal
Jama‘ah versi salaf, tetapi juga menunjukkan relevansi yang tinggi dalam konteks kehidupan
umat Islam saat ini, terutama dalam menghadapi tantangan
ideologis, sosial, dan spiritual yang kompleks.
Di era kontemporer,
umat Islam menghadapi beragam tantangan pemikiran,
mulai dari sekularisme, liberalisme agama, hingga ekstremisme berbasis
ideologi. Dalam situasi seperti ini, pendekatan akidah Thahawiyyah memberikan kerangka
keimanan yang kokoh dan seimbang, antara kebergantungan kepada
nash (teks wahyu) dan penghargaan terhadap akal, tanpa jatuh pada ekstremitas
rasionalis maupun tekstualis. Hal ini menjadikan akidah Thahawiyyah sebagai
tawaran teologis yang moderat dan inklusif1.
Pendekatan moderat
ini sangat penting untuk menjawab tantangan fragmentasi umat
akibat fanatisme mazhab atau kecenderungan mudah mengkafirkan sesama Muslim.
Thahawiyyah menekankan prinsip ittiba‘ (mengikuti), bukan ibtida‘
(mengada-ada), dan dalam banyak tempat menahan diri dari mengkafirkan pelaku dosa
besar, selama ia tidak mengingkari prinsip-prinsip dasar iman. Sikap ini sangat
relevan untuk membangun kebersamaan dalam keberagaman internal umat
Islam, khususnya dalam konteks kehidupan masyarakat
multikultural dan majemuk2.
Selain itu, dalam
menghadapi krisis spiritualitas yang kerap melanda generasi muda Muslim modern,
al-‘Aqidah
ath-Thahawiyyah menyajikan pendekatan keimanan yang tidak
spekulatif, tetapi berbasis pada keyakinan yang bersih, sederhana,
dan mengakar pada ajaran Nabi dan para sahabat. Ini menjadi
sangat penting di tengah gempuran ide-ide modern yang menawarkan spiritualitas
artifisial tanpa fondasi tauhid yang kokoh3.
Di berbagai lembaga
pendidikan Islam—baik pesantren, madrasah, maupun universitas—akidah
Thahawiyyah juga telah diakui sebagai bahan ajar utama dalam penguatan akidah Ahlus
Sunnah, karena formatnya yang sistematis, argumentatif, dan
tetap bisa diakses oleh berbagai level keilmuan. Bahkan, dalam konteks
penguatan moderasi beragama (wasathiyyah), pendekatan Thahawiyyah menjadi
sangat relevan untuk mengikis potensi radikalisme dan intoleransi,
tanpa harus kehilangan identitas keislaman yang murni4.
Lebih jauh,
pemikiran Thahawiyyah dapat berkontribusi dalam rekonstruksi pemikiran Islam kontemporer,
dengan menjadikan prinsip-prinsip keimanan sebagai landasan etis dalam
membangun peradaban. Dalam dunia akademik, karya ini mampu menjadi penghubung
antara diskursus klasik dan pemikiran Islam modern yang memerlukan titik temu
antara ortodoksi dan keterbukaan5.
Dengan demikian, al-‘Aqidah
ath-Thahawiyyah dan pemikiran di baliknya tetap menjadi titik
rujuk penting dalam menjaga kemurnian akidah, membangun toleransi intra-umat,
serta menyinergikan iman, ilmu, dan amal di tengah arus globalisasi pemikiran
yang tak terbendung.
Footnotes
[1]
Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), 164–165.
[2]
Syamsul Rijal, “Moderasi Akidah dalam Pandangan Abu Ja‘far
ath-Thahawi,” Jurnal Ushuluddin 29, no. 2 (2021): 147–148.
[3]
Fahruddin Faiz, Filsafat Islam: Kajian Tematik (Yogyakarta:
LKiS, 2008), 212.
[4]
Wahyuni, “Pendidikan Akidah dalam Perspektif al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah,”
At-Ta’dib: Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 14, no. 1
(2019): 80–81.
[5]
Yusri al-Ghulaimi, “Aqidah Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi dan Relevansinya
terhadap Pemikiran Kontemporer,” Jurnal Studi Aqidah dan Filsafat Islam
14, no. 1 (2020): 93–94.
8.
Penutup
Studi atas pemikiran
Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi dalam al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah
menunjukkan bahwa aliran Thahawiyyah memiliki signifikansi historis, teologis, dan pedagogis
yang kuat dalam tradisi Islam. Ia hadir sebagai sintesis dari ajaran Ahlus
Sunnah wal Jama‘ah dengan pendekatan salaf yang menekankan kemurnian tauhid,
ketundukan kepada nash, serta penolakan terhadap penyimpangan pemikiran
teologis ekstrem seperti yang ditawarkan oleh Mu‘tazilah dan kelompok serupa1.
Keistimewaan aliran
Thahawiyyah terletak pada kemampuannya menjaga keseimbangan
antara dua kutub: antara teks dan rasio, antara iman dan amal, serta antara
keimanan yang kokoh dan toleransi terhadap perbedaan internal umat Islam. Di
saat banyak aliran kalam lainnya terlalu larut dalam debat spekulatif atau
terlalu kaku dalam pemahaman literal, Thahawiyyah berdiri kokoh di
tengah—dengan keteguhan prinsip dan sikap ilmiah yang tenang2.
Di era kontemporer,
nilai-nilai yang diusung oleh Thahawiyyah—seperti moderasi
dalam akidah, penghormatan terhadap sahabat, komitmen terhadap ajaran salaf,
dan keterbukaan terhadap realitas sosial tanpa harus meleburkan prinsip—sangat
penting untuk dijadikan sebagai fondasi dalam membangun peradaban Islam yang
utuh dan berkeadaban3. Pemikiran ini mampu menjadi titik temu antara
kelompok tradisionalis dan rasionalis dalam Islam, serta sebagai basis
pendidikan akidah yang kokoh dan inklusif di tengah generasi muda Muslim.
Oleh karena itu, al-‘Aqidah
ath-Thahawiyyah bukan hanya layak dibaca dan diajarkan di lingkungan
pesantren dan perguruan tinggi Islam, tetapi juga perlu dihidupkan
kembali sebagai fondasi pemikiran teologis umat Islam masa kini,
yang tengah menghadapi tantangan globalisasi, sekularisme, dan gerakan ekstrem
yang menggerus keseimbangan akidah Islam.
Sebagaimana
disampaikan oleh al-Syaikh al-Albani dalam pengantarnya terhadap syarah al-‘Aqidah
ath-Thahawiyyah, karya ini akan tetap relevan “selama umat ini
berpegang teguh kepada manhaj salaf, karena isinya adalah ruh dari akidah
mereka”_4.
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1995), 61–63.
[2]
Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah,
ed. Syaraf al-Haq al-Azhami (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000), 21–23.
[3]
Wahyuni, “Pendidikan Akidah dalam Perspektif al-‘Aqidah
ath-Thahawiyyah,” At-Ta’dib: Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam
14, no. 1 (2019): 82.
[4]
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah li
Ibn Abi al-‘Izz, ed. ‘Ali Hasan al-Halabi (Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif,
1996), 8.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, M. (1996). Tārīkh al-madhāhib
al-Islāmiyyah fī al-siyāsah wa al-‘aqīdah wa tārīkh al-madhāhib al-fiqhiyyah.
Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabī.
Ahmad bin Hanbal. (1997). Usul al-sunnah (M.
al-Khamis, Ed.). Riyadh: Dār al-Salafiyyah.
Albani, M. N. (1996). Syarh al-‘Aqidah
ath-Thahawiyyah li Ibn Abi al-‘Izz (‘A. H. al-Halabi, Ed.). Riyadh:
Maktabah al-Ma‘arif.
Anwar, K. (2020). Teologi dalam Pandangan Imām
Aṭ-Ṭaḥāwī [Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta].
Ath-Thahawi, A. J. (2009). Al-‘Aqidah
ath-Thahawiyyah (A. Y. al-Darwish, Ed.). Riyadh: Dār al-Minhāj.
Dzahabi, S. (1998). Siyar a‘lām al-nubalā’
(Vol. 15, Sh. al-Arna’uth, Ed.). Beirut: Mu’assasat al-Risālah.
Faiz, F. (2008). Filsafat Islam: Kajian tematik.
Yogyakarta: LKiS.
Faiz, F. (2016). Konsep takdir dalam teologi Islam
klasik. Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keislaman, 4(2), 185–195. https://doi.org/10.21043/fikrah.v4i2.1808
Faiz, F. (2022). Sejarah perkembangan teologi
Islam. Al-Masail: Jurnal Studi Islam, 1(2), 55–64. https://doi.org/10.37567/almasail.v1i2.1043
Hanafi, A. (1974). Pengantar teologi Islam.
Jakarta: Bulan Bintang.
Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi. (2000). Syarh
al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah (Sh. H. al-Azhami, Ed.). Beirut: Dār Ibn Hazm.
Nasution, H. (1995). Teologi Islam:
Aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan (Cet. 8). Jakarta: UI Press.
Rijal, S. (2021). Moderasi akidah dalam pandangan
Abu Ja‘far ath-Thahawi. Jurnal Ushuluddin, 29(2), 143–158. https://doi.org/10.24014/jush.v29i2.13236
Wahyuni. (2019). Pendidikan akidah dalam perspektif
al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah. At-Ta’dib: Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama
Islam, 14(1), 78–83. https://doi.org/10.21111/at-tadib.v14i1.4030
Watt, W. M. (1985). Islamic philosophy and
theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Yusri al-Ghulaimi. (2020). Aqidah Imam Abu Ja‘far
ath-Thahawi dan relevansinya terhadap pemikiran kontemporer. Jurnal Studi
Aqidah dan Filsafat Islam, 14(1), 85–96. https://doi.org/10.24252/aqidah.v14i1.15850
Lampiran: Kitab-Kitab Rujukan Utama dalam Studi Aliran Thahawiyyah
1)
Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi (239–321 H / 853–933 M)
Judul Kitab: al-‘Aqidah
ath-Thahawiyyah
العقيدة الطحاوية
Terjemahan Judul: Akidah
Imam Thahawi
Keterangan: Merupakan
karya pokok yang merangkum prinsip-prinsip akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah
secara ringkas dan sistematis, serta menjadi landasan utama dari aliran
Thahawiyyah.
2)
Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi (731–792 H / 1331–1390 M)
Judul Kitab: Syarḥ
al-‘Aqīdah ath-Ṭaḥāwiyyah
شرح العقيدة الطحاوية
Terjemahan Judul: Syarah
(Penjelasan) atas Akidah Imam Thahawi
Keterangan: Syarah
(komentar) paling terkenal dan komprehensif terhadap al-‘Aqidah
ath-Thahawiyyah, ditulis oleh ulama mazhab Hanafi yang juga mengikuti
manhaj salaf dalam akidah.
3)
Al-Albani, Muhammad Nasiruddin (1914–1999 M)
Judul Kitab: sharh
aleaqidat altuhawiat lil'iimam abn 'abi aleizi alhanafii (edisi tahqiq
dan komentar)
شرح العقيدة الطحاوية للإمام ابن أبي العز الحنفي
Terjemahan Judul: Komentar
dan Koreksi terhadap Syarah Akidah Thahawiyyah oleh Ibn Abi al-‘Izz
Keterangan: Edisi
tahqiq yang dilengkapi komentar dan takhrij hadis oleh al-Albani, memberikan
verifikasi ilmiah atas syarah Ibn Abi al-‘Izz.
4)
Imam Ahmad bin Hanbal (164–241 H / 780–855 M)
Judul Kitab: Uṣūl
al-Sunnah
أصول السنة
Terjemahan Judul: Pokok-Pokok
Sunnah
Keterangan: Meskipun
bukan bagian dari Thahawiyyah secara langsung, kitab ini memuat prinsip-prinsip
akidah Ahlus Sunnah yang sejajar dengan apa yang dirumuskan Imam Thahawi.
5)
Imam Abu Hanifah (80–150 H / 699–767 M)
Judul Kitab: al-Fiqh
al-Akbar
الفقه الأكبر
Terjemahan Judul: Fiqih
Akbar (Fiqih Terbesar)
Keterangan: Kitab
akidah yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah, sebagai tokoh mazhab Hanafi,
yang banyak menginspirasi Imam Thahawi dalam merumuskan akidah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar