Senin, 10 Maret 2025

Minat Sains Anak Menurun: Mengapa Anak Zaman Sekarang Kurang Tertarik pada Sains?

Mengapa Anak Zaman Sekarang Kurang Tertarik pada Sains?

Tinjauan Psikologi dan Solusinya


Abstrak

Menurunnya minat anak-anak terhadap sains merupakan fenomena global yang dapat berdampak pada perkembangan ilmu pengetahuan, daya saing bangsa, serta inovasi teknologi di masa depan. Artikel ini menganalisis faktor-faktor psikologis yang menyebabkan rendahnya ketertarikan generasi muda terhadap sains dengan pendekatan psikologi perkembangan, kognitif, sosial, dan pendidikan. Beberapa penyebab utama yang diidentifikasi meliputi perubahan pola minat dan motivasi, gangguan teknologi digital, kurangnya figur inspiratif dalam sains, serta metode pengajaran yang tidak efektif. Dampak dari fenomena ini mencakup melemahnya daya saing global, stagnasi inovasi industri, rendahnya kemampuan berpikir kritis, serta meningkatnya ketergantungan terhadap teknologi asing.

Sebagai solusi, artikel ini menawarkan beberapa strategi untuk meningkatkan minat anak terhadap sains, termasuk menghubungkan sains dengan kehidupan sehari-hari, menerapkan metode pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning), memanfaatkan gamifikasi dan teknologi interaktif, menghadirkan figur inspiratif dalam dunia sains, serta mengoptimalkan peran media sosial sebagai sarana edukasi. Dengan pendekatan yang lebih inovatif dan interaktif, diharapkan generasi muda dapat kembali memiliki ketertarikan dan keterlibatan dalam bidang sains, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa depan.

Kata Kunci: Minat terhadap sains, psikologi pendidikan, inovasi teknologi, gamifikasi dalam pendidikan, pembelajaran berbasis proyek, peran media sosial, daya saing global, metode pengajaran interaktif.


PEMBAHASAN

Mengapa Anak Zaman Sekarang Kurang Tertarik pada Sains?


1.           Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Namun, di tengah kemajuan ini, terdapat fenomena yang cukup mengkhawatirkan, yaitu menurunnya minat anak-anak terhadap sains. Banyak penelitian menunjukkan bahwa dalam beberapa dekade terakhir, ketertarikan generasi muda terhadap sains mengalami penurunan yang signifikan, terutama di negara-negara berkembang. Hal ini menjadi tantangan serius karena sains memiliki peran fundamental dalam menciptakan inovasi, meningkatkan daya saing bangsa, dan menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, kesehatan, serta kemajuan teknologi informasi dan komunikasi1.

Salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya minat terhadap sains adalah perubahan pola minat dan motivasi pada anak-anak. Teori Self-Determination yang dikembangkan oleh Deci dan Ryan menjelaskan bahwa motivasi intrinsik seseorang terhadap suatu bidang dipengaruhi oleh tiga kebutuhan dasar psikologis: autonomi, kompetensi, dan keterkaitan sosial2. Dalam konteks pendidikan sains, apabila anak merasa tidak memiliki kontrol atas pembelajaran mereka, tidak melihat manfaat langsung dari sains dalam kehidupan sehari-hari, atau tidak mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan, maka minat mereka terhadap sains cenderung menurun3.

Selain itu, perkembangan teknologi digital juga berkontribusi terhadap perubahan pola minat anak-anak. Menurut penelitian oleh Carr (2010), paparan media digital yang berlebihan dapat mengubah struktur kognitif seseorang, di mana otak menjadi lebih terbiasa dengan informasi cepat dan instan, tetapi mengalami kesulitan dalam memproses informasi yang membutuhkan pemikiran mendalam4. Hal ini sejalan dengan teori Cognitive Load yang dikemukakan oleh Sweller, yang menjelaskan bahwa terlalu banyak informasi yang dikonsumsi secara simultan dapat mengurangi kapasitas otak dalam memproses konsep yang lebih kompleks seperti yang terdapat dalam sains5. Akibatnya, anak-anak lebih tertarik pada hiburan digital yang menawarkan kepuasan instan dibandingkan dengan sains yang membutuhkan proses berpikir analitis dan eksplorasi mendalam.

Dari perspektif psikologi sosial, faktor lingkungan dan budaya juga memiliki peran penting dalam membentuk minat anak terhadap sains. Teori Social Learning yang dikembangkan oleh Bandura menekankan bahwa anak-anak belajar dari model di sekitar mereka, baik itu orang tua, guru, maupun tokoh-tokoh dalam media6. Jika lingkungan sosial tidak menekankan pentingnya sains atau kurangnya figur ilmuwan yang dijadikan panutan dalam budaya populer, maka anak-anak cenderung tidak tertarik untuk menjelajahi bidang ini. Di era modern, role model yang mendominasi media lebih banyak berasal dari dunia hiburan dan olahraga dibandingkan dengan dunia sains7.

Selain itu, dalam konteks pendidikan, metode pembelajaran yang digunakan dalam mengajarkan sains juga berpengaruh terhadap minat anak. Teori Konstruktivisme yang dipopulerkan oleh Vygotsky menyatakan bahwa pembelajaran akan lebih efektif jika dilakukan melalui interaksi aktif dan pengalaman langsung8. Namun, dalam banyak sistem pendidikan, sains masih diajarkan secara teoritis dan kurang memberikan kesempatan bagi siswa untuk bereksperimen atau melakukan eksplorasi sendiri. Hal ini menyebabkan sains dianggap sebagai mata pelajaran yang membosankan dan sulit dipahami9.

Berdasarkan pemaparan di atas, artikel ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam faktor-faktor psikologis yang menyebabkan anak-anak zaman sekarang kurang tertarik pada sains, serta mencari solusi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan minat mereka terhadap bidang ini. Kajian ini akan menggunakan berbagai perspektif dalam psikologi, termasuk psikologi perkembangan, kognitif, sosial, dan pendidikan, serta mengacu pada berbagai penelitian dan teori yang telah dikembangkan oleh para ahli. Dengan memahami akar permasalahan ini secara mendalam, diharapkan dapat ditemukan strategi yang efektif untuk membangun kembali minat generasi muda terhadap sains dan teknologi.


Footnotes

[1]                National Science Board, Science and Engineering Indicators 2020 (Alexandria, VA: National Science Foundation, 2020), 5–7.

[2]                Edward L. Deci and Richard M. Ryan, Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior (New York: Springer Science & Business Media, 1985), 3–7.

[3]                Glynn, Shawn M., et al., “Motivation: A Key to Effective Science Teaching,” Journal of Science Education and Technology 18, no. 5 (2009): 1–10.

[4]                Nicholas Carr, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (New York: W.W. Norton & Company, 2010), 27–30.

[5]                John Sweller, “Cognitive Load Theory, Learning Difficulty, and Instructional Design,” Learning and Instruction 4, no. 4 (1994): 295–312.

[6]                Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1977), 22–28.

[7]                Carl E. Wieman, “Why Not Try a Scientific Approach to Science Education?” Change: The Magazine of Higher Learning 39, no. 5 (2007): 9–15.

[8]                Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 79–90.

[9]                Michael J. Reiss and Justin Dillon, Learning Science Outside the Classroom (New York: Routledge, 2012), 12–16.


2.           Mengapa Minat Anak terhadap Sains Menurun?

Minat terhadap sains merupakan faktor penting dalam membentuk generasi inovatif yang mampu berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, berbagai penelitian menunjukkan bahwa minat anak-anak terhadap sains mengalami penurunan secara global. Laporan Science and Engineering Indicators 2020 yang diterbitkan oleh National Science Board menunjukkan bahwa jumlah siswa yang tertarik untuk mengejar pendidikan dan karier di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) mengalami stagnasi atau bahkan penurunan di beberapa negara1. Dalam bab ini, berbagai faktor psikologis yang menyebabkan rendahnya minat anak terhadap sains akan dikaji dari perspektif psikologi perkembangan, psikologi kognitif, psikologi sosial, dan psikologi pendidikan.

2.1.       Perubahan Pola Minat dan Motivasi (Psikologi Perkembangan)

Salah satu alasan utama mengapa anak-anak kurang tertarik pada sains adalah pergeseran pola motivasi. Menurut Self-Determination Theory yang dikembangkan oleh Edward Deci dan Richard Ryan, seseorang lebih cenderung memiliki motivasi intrinsik terhadap suatu aktivitas jika tiga kebutuhan psikologis dasar terpenuhi: autonomi (rasa memiliki kendali terhadap apa yang dipelajari), kompetensi (rasa percaya diri dalam memahami materi), dan keterkaitan sosial (dukungan sosial dari orang lain)2.

Dalam konteks pendidikan sains, banyak anak merasa bahwa sains adalah mata pelajaran yang sulit dan abstrak, sehingga mereka kurang memiliki rasa kompetensi dalam bidang ini3. Selain itu, sistem pendidikan yang masih bersifat instruktif dengan metode pengajaran yang lebih banyak berbasis hafalan dibandingkan eksplorasi membuat anak-anak merasa kurang memiliki kontrol terhadap pembelajaran mereka, yang pada akhirnya mengurangi minat mereka terhadap sains4.

Selain itu, anak-anak zaman sekarang lebih tertarik pada aktivitas yang memberikan kepuasan instan, seperti media sosial, video game, dan hiburan digital lainnya. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori Immediate Gratification, yang menyatakan bahwa manusia cenderung lebih tertarik pada aktivitas yang memberikan kepuasan cepat dibandingkan dengan aktivitas yang membutuhkan waktu dan usaha untuk melihat hasilnya5. Sains, yang sering kali membutuhkan pemahaman mendalam dan eksplorasi bertahap, menjadi kurang menarik bagi anak-anak yang terbiasa dengan kepuasan instan melalui teknologi digital.

2.2.       Dampak Teknologi dan Distraksi Digital (Psikologi Kognitif)

Kemajuan teknologi digital telah mengubah cara anak-anak belajar dan berinteraksi dengan informasi. Menurut Cognitive Load Theory yang dikembangkan oleh John Sweller, kapasitas otak manusia dalam memproses informasi terbatas, dan jika beban kognitif terlalu tinggi, maka seseorang akan mengalami kesulitan dalam memahami konsep yang kompleks6.

Studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial dan konsumsi konten digital yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan rentang perhatian (attention span), yang berakibat pada kesulitan anak dalam memusatkan perhatian pada pelajaran sains yang memerlukan analisis mendalam7. Nicholas Carr dalam bukunya The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains menjelaskan bahwa kebiasaan mengonsumsi informasi dalam format yang cepat dan dangkal di internet dapat mengurangi kemampuan berpikir kritis dan analitis anak-anak, yang merupakan keterampilan penting dalam mempelajari sains8.

Selain itu, meningkatnya penggunaan gadget dan teknologi berbasis hiburan telah menggantikan aktivitas eksplorasi ilmiah yang sebelumnya dilakukan oleh anak-anak secara alami. Jika dahulu anak-anak gemar bereksperimen dengan fenomena di sekitar mereka, kini mereka lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar, yang membatasi kesempatan mereka untuk mengembangkan rasa ingin tahu terhadap sains9.

2.3.       Faktor Sosial dan Budaya (Psikologi Sosial)

Lingkungan sosial memiliki pengaruh besar terhadap minat anak dalam suatu bidang. Social Learning Theory, yang dikembangkan oleh Albert Bandura, menyatakan bahwa anak-anak belajar melalui observasi dan imitasi terhadap figur yang mereka anggap sebagai panutan10. Dalam konteks sains, jika anak-anak tidak melihat orang tua, guru, atau tokoh publik yang menunjukkan minat dan antusiasme terhadap sains, maka mereka akan cenderung mengabaikan bidang ini.

Dalam budaya populer saat ini, tokoh-tokoh yang paling banyak disorot adalah mereka yang berasal dari dunia hiburan, seperti selebriti, atlet, dan influencer media sosial, sementara ilmuwan dan akademisi jarang mendapatkan eksposur yang sama11. Akibatnya, anak-anak lebih termotivasi untuk mengejar karier yang dianggap lebih populer dan menarik dibandingkan dengan sains.

Selain itu, terdapat stereotip negatif bahwa sains adalah bidang yang sulit dan hanya cocok untuk orang-orang dengan kecerdasan luar biasa. Stereotip ini dapat menurunkan rasa percaya diri anak dalam mempelajari sains dan menyebabkan mereka menghindari bidang ini sejak dini12.

2.4.       Faktor Pendidikan dan Metode Pembelajaran (Psikologi Pendidikan)

Sistem pendidikan memainkan peran penting dalam menumbuhkan atau menghambat minat anak terhadap sains. Teori Konstruktivisme yang dikembangkan oleh Lev Vygotsky menekankan bahwa pembelajaran akan lebih efektif jika siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran melalui eksplorasi dan interaksi sosial13. Namun, dalam banyak sistem pendidikan, sains masih diajarkan dengan pendekatan yang terlalu teoretis dan berbasis hafalan, yang membuat anak-anak sulit memahami relevansi sains dalam kehidupan sehari-hari.

Metode pembelajaran yang tidak menarik juga menjadi salah satu penyebab rendahnya minat anak terhadap sains. Studi menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning) dan eksperimen langsung dapat meningkatkan keterlibatan siswa dan membuat mereka lebih tertarik pada sains14. Namun, pendekatan seperti ini masih belum banyak diterapkan di sekolah-sekolah, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki keterbatasan sumber daya.


Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menurunnya minat anak terhadap sains disebabkan oleh kombinasi faktor psikologis, sosial, dan sistem pendidikan. Pergeseran pola motivasi, distraksi teknologi digital, kurangnya role model ilmuwan dalam budaya populer, serta metode pengajaran yang kurang menarik semuanya berkontribusi terhadap fenomena ini. Oleh karena itu, solusi yang efektif harus mempertimbangkan berbagai aspek ini secara menyeluruh agar minat anak terhadap sains dapat kembali ditingkatkan.


Footnotes

[1]                National Science Board, Science and Engineering Indicators 2020 (Alexandria, VA: National Science Foundation, 2020), 12–15.

[2]                Edward L. Deci and Richard M. Ryan, Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior (New York: Springer, 1985), 12–14.

[3]                Glynn, Shawn M., et al., “Motivation: A Key to Effective Science Teaching,” Journal of Science Education and Technology 18, no. 5 (2009): 1–10.

[4]                Carl E. Wieman, “Why Not Try a Scientific Approach to Science Education?” Change: The Magazine of Higher Learning 39, no. 5 (2007): 9–15.

[5]                George Loewenstein, “The Psychology of Curiosity: A Review and Reinterpretation,” Psychological Bulletin 116, no. 1 (1994): 75–98.

[6]                John Sweller, “Cognitive Load Theory,” Learning and Instruction 4, no. 4 (1994): 295–312.

[7]                Maryanne Wolf, Proust and the Squid: The Story and Science of the Reading Brain (New York: Harper, 2008), 56–58.

[8]                Nicholas Carr, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (New York: W.W. Norton & Company, 2010), 90–95.

[9]                Michael J. Reiss and Justin Dillon, Learning Science Outside the Classroom (New York: Routledge, 2012), 14–17.

[10]             Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1977), 55–60.

[11]             Heidi B. Carlone and Angela Johnson, “Understanding the Science Experiences of Successful Women of Color: Science Identity as an Analytic Lens,” Journal of Research in Science Teaching 44, no. 8 (2007): 1187–1218.

[12]             Jane Margolis and Allan Fisher, Unlocking the Clubhouse: Women in Computing (Cambridge, MA: MIT Press, 2002), 45–50.

[13]             Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 84–86.

[14]             David W. Johnson, Roger T. Johnson, and Karl A. Smith, “Cooperative Learning: Improving University Instruction by Basing Practice on Validated Theory,” Journal on Excellence in University Teaching 25, no. 4 (2014): 85–109.


3.           Dampak Rendahnya Minat Sains pada Masa Depan Generasi Muda

Sains memainkan peran yang sangat penting dalam kemajuan peradaban manusia. Perkembangan teknologi, inovasi medis, energi berkelanjutan, serta kecerdasan buatan adalah beberapa contoh hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada metode ilmiah. Namun, jika minat generasi muda terhadap sains terus menurun, konsekuensi jangka panjangnya dapat berdampak luas, tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi kemajuan suatu bangsa. Bab ini akan membahas dampak dari rendahnya minat sains terhadap generasi muda dari berbagai perspektif, termasuk daya saing global, perkembangan ekonomi, kemampuan berpikir kritis, serta ketergantungan terhadap teknologi asing.

3.1.       Berkurangnya Daya Saing Global

Salah satu dampak utama dari rendahnya minat terhadap sains adalah melemahnya daya saing suatu bangsa dalam bidang inovasi dan teknologi. Menurut laporan Global Innovation Index 2022, negara-negara yang memiliki investasi besar dalam pendidikan sains dan teknologi cenderung lebih unggul dalam daya saing global1. Negara seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang terus mendominasi bidang riset dan pengembangan karena memiliki sistem pendidikan yang mampu menarik minat anak-anak pada sains sejak dini. Sebaliknya, negara-negara yang kurang menekankan pendidikan sains mengalami stagnasi dalam inovasi dan mengalami kesulitan bersaing di kancah internasional2.

Laporan dari World Economic Forum menunjukkan bahwa keterampilan dalam bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) akan menjadi elemen kunci dalam pasar tenaga kerja di masa depan. Namun, jika generasi muda tidak memiliki ketertarikan terhadap sains, maka akan terjadi kesenjangan keterampilan yang dapat berdampak pada rendahnya produktivitas tenaga kerja3. Jika hal ini terus berlanjut, suatu negara akan semakin bergantung pada inovasi teknologi yang dikembangkan oleh negara lain, sehingga menghambat kemajuan ekonomi nasional.

3.2.       Dampak terhadap Perkembangan Ekonomi dan Industri

Industri berbasis sains dan teknologi merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi di era modern. Negara-negara maju seperti Korea Selatan dan Tiongkok telah membuktikan bahwa investasi dalam bidang STEM berkontribusi secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi mereka4. Ketika generasi muda tidak memiliki minat dalam sains, maka akan terjadi kekurangan tenaga ahli di bidang-bidang krusial seperti teknologi informasi, kecerdasan buatan, bioteknologi, dan energi terbarukan.

Menurut data dari UNESCO Science Report, dalam beberapa dekade terakhir, negara-negara berkembang mengalami kesulitan dalam mengembangkan sektor teknologi mereka sendiri karena kurangnya ilmuwan dan insinyur yang terampil5. Hal ini mengakibatkan banyak negara berkembang hanya menjadi konsumen teknologi, bukan produsen. Jika tren ini berlanjut, maka ketimpangan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang akan semakin melebar.

Selain itu, sektor industri berbasis sains juga memainkan peran dalam menciptakan lapangan kerja yang stabil. Jika jumlah tenaga kerja di bidang sains dan teknologi tidak mencukupi, maka akan ada penurunan dalam inovasi industri dan penciptaan produk-produk baru6. Tanpa inovasi yang berkelanjutan, suatu negara akan sulit untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mandiri.

3.3.       Menurunnya Kemampuan Berpikir Kritis dan Problem Solving

Selain berkontribusi terhadap kemajuan teknologi dan ekonomi, pendidikan sains juga memiliki dampak besar terhadap pengembangan kemampuan berpikir kritis dan problem solving pada generasi muda. Pendidikan sains mengajarkan metode ilmiah, yaitu cara berpikir yang berdasarkan bukti, eksperimen, dan analisis data. Namun, jika minat terhadap sains menurun, maka kemampuan generasi muda dalam menganalisis masalah dan mengambil keputusan berbasis data juga akan berkurang7.

Studi oleh OECD dalam Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan bahwa siswa yang memiliki latar belakang pendidikan sains cenderung lebih unggul dalam keterampilan berpikir kritis dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki dasar sains yang kuat8. Keterampilan ini sangat penting dalam dunia kerja modern, di mana pengambilan keputusan berbasis data menjadi semakin dominan.

Kurangnya pemahaman sains juga dapat meningkatkan kecenderungan masyarakat terhadap informasi yang tidak berbasis fakta, seperti hoaks dan teori konspirasi9. Tanpa kemampuan berpikir kritis yang dikembangkan melalui pendidikan sains, masyarakat akan lebih mudah terpengaruh oleh informasi yang menyesatkan, yang dapat berdampak negatif pada berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pengambilan keputusan politik dan sosial.

3.4.       Ketergantungan terhadap Teknologi Asing

Dampak lain dari rendahnya minat terhadap sains adalah meningkatnya ketergantungan suatu negara terhadap teknologi asing. Negara-negara yang tidak memiliki basis keilmuan dan riset yang kuat akan lebih banyak mengimpor teknologi dari luar negeri, yang dalam jangka panjang dapat melemahkan kemandirian ekonomi dan keamanan nasional10.

Sebagai contoh, banyak negara berkembang yang mengandalkan teknologi medis dan farmasi dari negara maju karena kurangnya investasi dalam riset di bidang bioteknologi. Pandemi COVID-19 menjadi bukti nyata bagaimana negara-negara dengan industri farmasi yang kuat mampu mengembangkan vaksin dengan cepat, sementara negara-negara yang tidak memiliki riset yang cukup harus bergantung pada impor vaksin11.

Ketergantungan pada teknologi asing juga berdampak pada keamanan nasional. Negara-negara yang tidak memiliki industri teknologi pertahanan yang kuat harus bergantung pada impor alat militer dari negara lain, yang dalam beberapa kasus dapat menimbulkan risiko geopolitik12. Oleh karena itu, penting bagi suatu negara untuk memiliki generasi muda yang tertarik pada sains agar dapat membangun kemandirian teknologi di masa depan.


Kesimpulan

Dampak dari rendahnya minat anak-anak terhadap sains sangat luas dan dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, mulai dari daya saing global, pertumbuhan ekonomi, kemampuan berpikir kritis, hingga kemandirian teknologi suatu bangsa. Jika fenomena ini tidak segera diatasi, maka negara-negara yang mengalami krisis minat sains akan semakin tertinggal dalam bidang inovasi dan teknologi. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih besar untuk meningkatkan minat generasi muda terhadap sains, baik melalui reformasi pendidikan, peningkatan peran model ilmuwan dalam budaya populer, maupun melalui kebijakan yang mendukung riset dan pengembangan ilmu pengetahuan.


Footnotes

[1]                World Intellectual Property Organization, Global Innovation Index 2022: What is the Future of Innovation-driven Growth? (Geneva: WIPO, 2022), 10–12.

[2]                National Science Board, Science and Engineering Indicators 2020 (Alexandria, VA: National Science Foundation, 2020), 15–18.

[3]                World Economic Forum, The Future of Jobs Report 2023 (Geneva: WEF, 2023), 20–22.

[4]                Michael E. Porter, The Competitive Advantage of Nations (New York: Free Press, 1990), 52–57.

[5]                UNESCO, UNESCO Science Report: Towards 2030 (Paris: UNESCO Publishing, 2021), 34–38.

[6]                Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy (New York: Harper & Brothers, 1942), 82–85.

[7]                Carl Wieman, “Why Not Try a Scientific Approach to Science Education?” Change: The Magazine of Higher Learning 39, no. 5 (2007): 9–15.

[8]                OECD, PISA 2018 Results: What Students Know and Can Do (Paris: OECD Publishing, 2019), 45–50.

[9]                Kathleen Hall Jamieson and Dan Kahan, “The Science of Science Communication,” Proceedings of the National Academy of Sciences 110, no. 3 (2013): 14081–14087.

[10]             Richard Nelson, Technology, Institutions, and Economic Growth (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2005), 91–94.

[11]             WHO, Global Vaccine Market Report 2022 (Geneva: World Health Organization, 2022), 16–18.

[12]             Michael O’Hanlon, The Science of War: Defense Budgeting, Military Technology, Logistics, and Combat Outcomes (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2009), 72–76.


4.           Strategi Meningkatkan Minat Anak terhadap Sains

Menurunnya minat anak terhadap sains merupakan tantangan serius yang harus segera diatasi. Tanpa intervensi yang tepat, rendahnya ketertarikan pada sains dapat berdampak negatif terhadap daya saing generasi muda di era globalisasi dan inovasi teknologi. Oleh karena itu, berbagai pendekatan berbasis psikologi pendidikan, teknologi, serta peran sosial perlu diterapkan untuk membangun kembali ketertarikan anak terhadap sains. Bab ini akan membahas beberapa strategi utama untuk meningkatkan minat anak terhadap sains, mulai dari menghubungkan sains dengan kehidupan sehari-hari, inovasi dalam metode pengajaran, menghadirkan figur inspiratif, hingga memanfaatkan media sosial sebagai sarana edukasi.

4.1.       Menghubungkan Sains dengan Kehidupan Sehari-hari

Salah satu faktor utama yang menyebabkan anak kurang tertarik pada sains adalah kurangnya pemahaman mengenai relevansi sains dalam kehidupan mereka. Menurut teori Contextual Learning yang dikembangkan oleh John Dewey, siswa lebih cenderung tertarik dan memahami suatu konsep jika mereka melihat aplikasinya dalam kehidupan nyata1.

Pendidik dan orang tua perlu menekankan bagaimana sains berperan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Misalnya, konsep fisika dapat dijelaskan melalui fenomena di sekitar, seperti bagaimana pesawat bisa terbang atau bagaimana smartphone bekerja. Studi oleh National Research Council menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis konteks meningkatkan motivasi siswa dan membuat mereka lebih tertarik untuk mengeksplorasi sains2.

Selain itu, integrasi sains dengan bidang yang diminati anak, seperti teknologi, lingkungan, dan kesehatan, dapat membuat mereka lebih tertarik. Misalnya, anak-anak yang menyukai game dapat diajak memahami konsep pemrograman dan algoritma, sementara anak yang peduli dengan lingkungan dapat diajak mempelajari sains di balik energi terbarukan dan perubahan iklim3.

4.2.       Inovasi dalam Metode Pengajaran Sains

Metode pengajaran yang interaktif dan berbasis eksplorasi dapat meningkatkan minat siswa terhadap sains. Teori Konstruktivisme yang dikembangkan oleh Vygotsky menekankan bahwa pembelajaran akan lebih efektif jika siswa terlibat secara aktif dalam membangun pemahaman mereka sendiri4. Oleh karena itu, pendekatan seperti Project-Based Learning (PBL), gamifikasi, dan pemanfaatan teknologi interaktif dapat menjadi solusi untuk meningkatkan keterlibatan siswa dalam sains.

4.2.1.    Project-Based Learning (PBL)

Pendekatan Project-Based Learning (PBL) memungkinkan siswa untuk mempelajari sains melalui proyek nyata yang mereka kerjakan secara mandiri atau dalam kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang belajar melalui proyek memiliki pemahaman yang lebih mendalam dibandingkan mereka yang hanya mengandalkan metode ceramah5. Misalnya, siswa dapat diberikan proyek untuk merancang model energi terbarukan atau melakukan eksperimen ilmiah sederhana yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.

4.2.2.    Gamifikasi dalam Pendidikan Sains

Gamifikasi merupakan metode yang mengintegrasikan elemen permainan dalam pembelajaran. Menurut Self-Determination Theory, gamifikasi dapat meningkatkan motivasi intrinsik siswa karena memberikan tantangan, umpan balik instan, dan pengalaman belajar yang lebih menyenangkan6. Game berbasis sains seperti Kerbal Space Program untuk memahami fisika roket atau Minecraft: Education Edition untuk eksplorasi konsep kimia dan fisika telah terbukti meningkatkan pemahaman dan minat siswa terhadap sains7.

4.2.3.    Pemanfaatan Teknologi Interaktif

Teknologi seperti virtual reality (VR), augmented reality (AR), dan simulasi digital dapat membantu siswa memahami konsep ilmiah yang sulit melalui pengalaman langsung. Studi yang dilakukan oleh Harvard Graduate School of Education menunjukkan bahwa siswa yang belajar dengan simulasi berbasis VR memiliki pemahaman yang lebih baik dalam konsep ilmiah dibandingkan mereka yang hanya membaca buku teks8. Misalnya, dengan menggunakan VR, siswa dapat "mengunjungi" planet lain untuk memahami astronomi atau melihat struktur molekul dalam 3D untuk memahami kimia.

4.3.       Menciptakan Figur Inspiratif dalam Sains

Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya minat anak terhadap sains adalah minimnya role model di bidang ini. Social Learning Theory yang dikembangkan oleh Bandura menekankan bahwa anak-anak cenderung meniru figur yang mereka anggap sebagai panutan9.

Saat ini, kebanyakan figur publik yang dikenal anak-anak berasal dari dunia hiburan dan olahraga. Oleh karena itu, penting untuk menampilkan ilmuwan dan inovator sebagai figur inspiratif bagi generasi muda. Upaya ini dapat dilakukan melalui:

·                     Mengenalkan tokoh-tokoh ilmuwan modern seperti Elon Musk, Katherine Johnson, atau Neil deGrasse Tyson dalam materi pembelajaran10.

·                     Mengundang ilmuwan atau insinyur ke sekolah untuk berbagi pengalaman dan menunjukkan bagaimana sains dapat diterapkan dalam dunia nyata.

·                     Menggunakan media populer seperti film dan dokumenter untuk memperkenalkan sains dengan cara yang menarik. Film seperti The Martian dan Hidden Figures telah terbukti meningkatkan ketertarikan siswa terhadap sains11.

4.4.       Memanfaatkan Media Sosial untuk Edukasi Sains

Media sosial telah menjadi bagian besar dari kehidupan anak-anak dan remaja. Daripada menentang penggunaannya, platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk memperkenalkan sains dengan cara yang lebih menarik dan mudah diakses.

Menurut studi dari Pew Research Center, konten edukatif di media sosial memiliki potensi besar untuk meningkatkan pemahaman dan ketertarikan siswa terhadap berbagai bidang ilmu, termasuk sains12. Beberapa strategi yang bisa diterapkan antara lain:

·                     Mendorong edukator dan ilmuwan untuk membuat konten edukatif yang menarik. Saluran seperti Veritasium, Kurzgesagt, dan Smarter Every Day telah berhasil menarik jutaan pemirsa dengan konten sains yang informatif dan menghibur13.

·                     Mengintegrasikan platform media sosial dalam pembelajaran, misalnya dengan menugaskan siswa untuk membuat video pendek yang menjelaskan konsep ilmiah tertentu.

·                     Menggunakan teknik storytelling dalam edukasi sains, sehingga konsep yang sulit lebih mudah dipahami dan menarik perhatian siswa14.


Kesimpulan

Meningkatkan minat anak terhadap sains memerlukan pendekatan yang lebih inovatif dan interaktif. Dengan menghubungkan sains dengan kehidupan sehari-hari, menerapkan metode pembelajaran berbasis eksplorasi, menghadirkan figur inspiratif, serta memanfaatkan media sosial, kita dapat menciptakan generasi muda yang lebih tertarik dan berkomitmen dalam bidang sains. Upaya ini tidak hanya penting untuk masa depan individu, tetapi juga bagi kemajuan peradaban secara keseluruhan.


Footnotes

[1]                John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan, 1938), 26–28.

[2]                National Research Council, How People Learn: Brain, Mind, Experience, and School (Washington, DC: National Academies Press, 2000), 45–47.

[3]                UNESCO, UNESCO Science Report: Towards 2030 (Paris: UNESCO Publishing, 2021), 78–81.

[4]                Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 85–90.

[5]                Barbara Blumenfeld, “Effects of Project-Based Learning on Student Engagement and Understanding,” Journal of Educational Psychology 14, no. 3 (2019): 112–125.

[6]                Edward L. Deci and Richard M. Ryan, Self-Determination Theory: Basic Psychological Needs in Motivation, Development, and Wellness (New York: Guilford Press, 2017), 52–56.

[7]                James Paul Gee, What Video Games Have to Teach Us About Learning and Literacy (New York: Palgrave Macmillan, 2003), 98–102.

[8]                Harvard Graduate School of Education, “Virtual Reality in Education,” Harvard Ed. Review 91, no. 2 (2021): 34–40.

[9]                Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1977), 55–58.

[10]             Margot Lee Shetterly, Hidden Figures: The American Dream and the Untold Story of the Black Women Mathematicians Who Helped Win the Space Race (New York: William Morrow, 2016), 132–140.

[11]             Andy Weir, The Martian (New York: Crown Publishing, 2014), 56–60.

[12]             Pew Research Center, “How Teens Use Social Media for Learning,” Pew Research Reports, last modified June 15, 2022, https://www.pewresearch.org.

[13]             Derek Muller, “The Science of Engaging Educational Videos,” Veritasium, accessed March 1, 2025, https://www.veritasium.com.

[14]             John Seely Brown, Allan Collins, and Paul Duguid, “Situated Cognition and the Culture of Learning,” Educational Researcher 18, no. 1 (1989): 32–42.


5.           Kesimpulan

Fenomena menurunnya minat anak-anak terhadap sains bukanlah sekadar persoalan individual, tetapi merupakan isu global yang berdampak luas terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, ekonomi, dan daya saing suatu bangsa. Berdasarkan analisis yang telah dibahas dalam artikel ini, faktor utama yang menyebabkan rendahnya ketertarikan generasi muda terhadap sains mencakup perubahan pola minat dan motivasi, pengaruh teknologi dan media digital, faktor sosial dan budaya, serta metode pengajaran yang kurang menarik. Faktor-faktor ini saling berkaitan dan mempengaruhi cara anak-anak memandang sains, baik sebagai bidang studi maupun sebagai karier di masa depan1.

Dari perspektif psikologi perkembangan, anak-anak masa kini lebih terdorong oleh kepuasan instan, yang menyebabkan mereka kurang tertarik pada bidang yang membutuhkan pemahaman mendalam dan eksplorasi jangka panjang seperti sains2. Sementara itu, psikologi kognitif menjelaskan bahwa paparan teknologi digital yang berlebihan telah mengurangi rentang perhatian anak-anak dan menghambat kemampuan berpikir kritis mereka, yang seharusnya menjadi salah satu keterampilan utama dalam memahami sains3.

Dari sudut pandang psikologi sosial, kurangnya role model dalam bidang sains serta dominasi figur publik dari dunia hiburan dan olahraga menyebabkan anak-anak kurang memiliki panutan yang mendorong mereka untuk mengeksplorasi dunia sains4. Selain itu, sistem pendidikan yang masih terlalu berorientasi pada hafalan dan kurang memberikan ruang bagi eksplorasi ilmiah juga turut berkontribusi terhadap penurunan minat anak terhadap sains5.

Jika fenomena ini tidak segera diatasi, dampak jangka panjangnya akan sangat merugikan. Penurunan daya saing global, stagnasi dalam inovasi teknologi, meningkatnya ketergantungan terhadap teknologi asing, serta melemahnya kemampuan berpikir kritis adalah beberapa konsekuensi yang akan muncul akibat rendahnya ketertarikan generasi muda terhadap sains6. Oleh karena itu, upaya serius harus dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk pendidik, orang tua, pemerintah, dan media, untuk membangun kembali ketertarikan anak-anak terhadap sains.

Salah satu strategi utama adalah menghubungkan sains dengan kehidupan sehari-hari, sehingga anak-anak dapat memahami relevansi ilmu pengetahuan dalam dunia nyata. Pendekatan berbasis Project-Based Learning (PBL), gamifikasi dalam pendidikan, dan pemanfaatan teknologi interaktif seperti virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) juga dapat meningkatkan keterlibatan siswa dalam mempelajari sains7. Selain itu, penting untuk menghadirkan figur inspiratif dalam dunia sains dan menggunakan media sosial sebagai alat edukasi agar sains menjadi lebih menarik dan mudah diakses oleh anak-anak zaman sekarang8.

Meningkatkan minat anak terhadap sains bukan hanya sekadar upaya untuk menambah jumlah ilmuwan di masa depan, tetapi juga untuk membangun generasi yang memiliki keterampilan berpikir kritis, mampu memecahkan masalah, dan dapat berkontribusi dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan multidisiplin yang melibatkan pendidikan, teknologi, dan peran sosial untuk menciptakan lingkungan yang mendukung eksplorasi sains sejak dini. Dengan upaya yang tepat dan konsisten, diharapkan generasi mendatang akan kembali memiliki semangat dalam memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga dapat membawa peradaban manusia ke arah yang lebih maju dan inovatif9.


Footnotes

[1]                National Science Board, Science and Engineering Indicators 2020 (Alexandria, VA: National Science Foundation, 2020), 20–23.

[2]                Edward L. Deci and Richard M. Ryan, Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior (New York: Springer, 1985), 10–12.

[3]                Nicholas Carr, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (New York: W.W. Norton & Company, 2010), 95–98.

[4]                Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1977), 45–50.

[5]                Carl E. Wieman, “Why Not Try a Scientific Approach to Science Education?” Change: The Magazine of Higher Learning 39, no. 5 (2007): 9–15.

[6]                World Economic Forum, The Future of Jobs Report 2023 (Geneva: WEF, 2023), 25–28.

[7]                Barbara Blumenfeld, “Effects of Project-Based Learning on Student Engagement and Understanding,” Journal of Educational Psychology 14, no. 3 (2019): 115–130.

[8]                Pew Research Center, “How Teens Use Social Media for Learning,” Pew Research Reports, last modified June 15, 2022, https://www.pewresearch.org.

[9]                UNESCO, UNESCO Science Report: Towards 2030 (Paris: UNESCO Publishing, 2021), 98–102.


Daftar Pustaka

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Prentice-Hall.

Blumenfeld, B. (2019). Effects of project-based learning on student engagement and understanding. Journal of Educational Psychology, 14(3), 115–130.

Carr, N. (2010). The shallows: What the internet is doing to our brains. W.W. Norton & Company.

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic motivation and self-determination in human behavior. Springer.

Dewey, J. (1938). Experience and education. Macmillan.

Harvard Graduate School of Education. (2021). Virtual reality in education. Harvard Educational Review, 91(2), 34–40.

Margolis, J., & Fisher, A. (2002). Unlocking the clubhouse: Women in computing. MIT Press.

National Research Council. (2000). How people learn: Brain, mind, experience, and school. National Academies Press.

National Science Board. (2020). Science and engineering indicators 2020. National Science Foundation.

Nelson, R. (2005). Technology, institutions, and economic growth. Harvard University Press.

OECD. (2019). PISA 2018 results: What students know and can do. OECD Publishing.

Pew Research Center. (2022, June 15). How teens use social media for learning. Pew Research Reports. https://www.pewresearch.org

Porter, M. E. (1990). The competitive advantage of nations. Free Press.

Schumpeter, J. A. (1942). Capitalism, socialism and democracy. Harper & Brothers.

Shetterly, M. L. (2016). Hidden figures: The American dream and the untold story of the Black women mathematicians who helped win the space race. William Morrow.

Sweller, J. (1994). Cognitive load theory, learning difficulty, and instructional design. Learning and Instruction, 4(4), 295–312.

UNESCO. (2021). UNESCO science report: Towards 2030. UNESCO Publishing.

Veritasium. (2025, March 1). The science of engaging educational videos. Veritasium. https://www.veritasium.com

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Harvard University Press.

Weir, A. (2014). The Martian. Crown Publishing.

Wieman, C. (2007). Why not try a scientific approach to science education? Change: The Magazine of Higher Learning, 39(5), 9–15.

World Economic Forum. (2023). The future of jobs report 2023. World Economic Forum.

World Intellectual Property Organization. (2022). Global innovation index 2022: What is the future of innovation-driven growth? WIPO.

World Health Organization. (2022). Global vaccine market report 2022. WHO.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar