Senin, 06 Oktober 2025

Teori Deflasi (Redundansi): Sebuah Tinjauan Kritis

Teori Deflasi (Redundansi)

Sebuah Tinjauan Kritis


Alihkan ke: Kebenaran.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif teori deflasi (redundansi) tentang kebenaran sebagai salah satu pendekatan penting dalam filsafat analitik. Teori ini menolak pandangan bahwa kebenaran adalah sifat metafisis atau entitas substantif, dan sebaliknya menegaskan bahwa predikat “benar” hanya berfungsi sebagai perangkat linguistik yang bersifat logis dan ekspresif. Pembahasan dimulai dengan konteks historis yang melibatkan gagasan awal Frank P. Ramsey, kontribusi semantik Alfred Tarski, teori diskuotasi W.V.O. Quine, hingga pengembangan varian minimalis (Paul Horwich) dan prosentensial (Grover–Camp–Belnap). Selanjutnya, artikel ini menguraikan konsep dasar teori deflasi, menekankan pada skema ekuivalensi (T-schema) sebagai prinsip utama, serta menjelaskan fungsi linguistik predikat benar. Analisis filosofis mengulas argumen pendukung—seperti kesederhanaan logis dan parsimoni ontologis—sekaligus kritik terhadap keterbatasannya, terutama terkait normativitas kebenaran, problem generalisasi tak terbatas, dan relevansinya dalam epistemologi serta filsafat ilmu. Pada bagian akhir, artikel menegaskan bahwa meskipun teori deflasi tidak mampu memberikan penjelasan substantif penuh tentang kebenaran, ia tetap relevan dalam diskursus kontemporer karena berfungsi sebagai alat klarifikasi konseptual dan titik pijak bagi perdebatan filosofis modern.

Kata kunci: Teori Deflasi, Teori Redundansi, Kebenaran, Filsafat Analitik, Epistemologi, Filsafat Bahasa, Minimalisme.


PEMBAHASAN

Teori Deflasi (Redundansi) tentang Kebenaran


1.           Pendahuluan

Di antara tema-tema klasik filsafat, kebenaran menempati posisi yang sangat sentral: hampir semua cabang filsafat—metafisika, epistemologi, logika, dan filsafat bahasa—bertumpu pada asumsi-asumsi tentang apa arti “benar”.¹ Di tengah berbagai teori (korespondensi, koherensi, pragmatis, pluralisme, dll.), teori deflasi (redundansi) menonjol karena sikapnya yang “mengempiskan” muatan metafisis konsep kebenaran: alih-alih menjelaskan “hakikat” kebenaran, deflasi menilai bahwa fungsi kata benar terutama bersifat logis-linguistik.² Dengan demikian, proyek teoretisnya bukan menambah entitas atau relasi baru ke dalam ontologi, melainkan menerangkan kegunaan ekspresif dari predikat kebenaran dalam praktik berbahasa.³

Secara ringkas, tesis inti deflasi menyatakan bahwa mengatakan “‘P’ itu benar” tidak lebih dari sekadar menegaskan P. Pernyataan kunci ini sering diekspresikan melalui skema ekuivalensi (kadang disebut T-schema atau equivalence schema): “‘P’ benar jika dan hanya jika P.” Skema tersebut memperlihatkan bahwa peran benar adalah perangkat disquotational/ekspresif: ia memungkinkan kita mengafirmasi, menegaskan ulang, atau menggeneralisasi tanpa harus mengutip satu per satu kalimat yang hendak kita setujui.⁴ Pendekatan deflasi karena itu memusatkan perhatian pada fungsi (mis. untuk generalisasi dan pendukung pernyataan tak terhingga banyaknya) ketimbang substansi (sifat metafisis yang diduga melekat pada kebenaran).⁵

Akar gagasan ini dapat ditelusuri setidaknya ke tiga jalur historis. Pertama, F. P. Ramsey (1927) merumuskan apa yang kemudian disebut teori redundansi: frasa “It is true that p” dalam penggunaan lazim tidak menambahkan apa pun atas p itu sendiri.⁶ Kedua, A. Tarski (1930-an) merumuskan Konvensi T dan definisi semantik kebenaran bagi bahasa terformal, yang mengilhami ragam deflasi karena memperlihatkan kecukupan skema “‘P’ benar iff P” sebagai kondisi kepantasan definisi kebenaran.⁷ Ketiga, W.V.O. Quine mendorong pembacaan disquotational: menyebut “‘salju itu putih’ benar” pada dasarnya hanyalah—melalui pemrosesan kutip—menyebut salju itu putih; predikat benar adalah perangkat diskuotasi yang dibutuhkan terutama saat kita melakukan pendakian semantik untuk tujuan generalisasi.⁸

Dari fondasi itu, berkembang beberapa varian dalam keluarga deflasi: (a) redundansi (Ramsey), (b) disquotational (sering dikaitkan dengan Quine), (c) minimalisme (Horwich), dan (d) prosentensial (Grover–Camp–Belnap). Kesemuanya berbagi komitmen umum: menolak “kebenaran” sebagai properti substantif yang membutuhkan metafisika berat, seraya menjelaskan kegunaan predikat benar lewat skema-skema ekuivalensi atau fungsi prosintaksis.⁹ Pada versi minimalis, Paul Horwich menyatakan bahwa teori kebenaran memadai jika mencakup semua instans skema “‘P’ benar iff P” (dengan pembatasan anti-paradoks), sementara versi prosentensial memahami “—itu benar” bukan sebagai predikat, melainkan operator yang membentuk pro-sentence untuk mengulang/menyetujui kalimat sebelumnya.¹⁰

Motivasi utama pendekatan ini adalah parsimoni teoretis dan kejelasan logis: kita memperoleh alat yang kita butuhkan (endorsement, generalisasi, penghilangan kutip) tanpa mengimpor entitas-entitas ontologis seperti “fakta penguat ke-benar-an”. Namun literatur kontemporer juga menyoroti tantangan: (i) masalah generalisasi (“semua yang dikatakan N benar”) yang tampaknya menuntut lebih dari sekadar daftar instans T-schema; (ii) keterkaitan kebenaran dengan normativitas diskursus (rasionalitas, validitas, bukti) yang dikhawatirkan tak terjelaskan jika kebenaran sepenuhnya “kosong”; dan (iii) kekhawatiran bahwa daftar instans ekuivalensi tak berhingga itu membebani minimalisme.¹¹ Horwich dan para pendukungnya menanggapi keberatan-keberatan ini dengan menekankan fungsi logis kebenaran sebagai perangkat skematisasi serta menunjukkan bagaimana generalisasi dapat dipulihkan tanpa menghipotesiskan “sifat dalam” kebenaran.¹²

Dari sudut pandang filsafat bahasa dan logika, implikasi deflasi menjalar ke wilayah semantik formal (mis. model-teori Tarskian) dan cara kita memahami hubungan antara kebenaran, referensi, dan penalaran umum—terutama untuk menjelaskan pernyataan skematis seperti “semua teorema teori T adalah benar”.¹³ Oleh karena itu, artikel ini meninjau secara kritis teori deflasi/ redundansi: latar historis-konseptualnya, ragam modelnya, argumen pendukung dan keberatan, serta relevansinya bagi perdebatan mutakhir di filsafat kontemporer.¹⁴


Footnotes

[1]                “Truth,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (dan pengganti), terakhir direvisi 27 Juni 2025, diakses 27 Agustus 2025, truth. (Stanford Encyclopedia of Philosophy)

[2]                Bradley Armour-Garb, “Deflationism About Truth,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, versi arsip dan pembaruan berkala, diakses 27 Agustus 2025, truth-deflationary. (Stanford Encyclopedia of Philosophy)

[3]                Daniel Stoljar, “The Deflationary Theory of Truth,” Philosophy Compass 3 (2008): 1–16. Ringkasan tersedia melalui PhilPapers, diakses 27 Agustus 2025, STOTDT. (PhilPapers)

[4]                Ibid.; Armour-Garb, “Deflationism About Truth.” (Stanford Encyclopedia of Philosophy, PhilPapers)

[5]                Armour-Garb, “Deflationism About Truth.” (Stanford Encyclopedia of Philosophy)

[6]                Frank P. Ramsey, “Facts and Propositions,” Proceedings of the Aristotelian Society, Supplementary Volume 7 (1927): 153–206, kutipan pada sekitar hlm. 199 (pdf). (Gwern)

[7]                Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics, ed. John Corcoran (Indianapolis: Hackett, 1983 [edisi Inggris 1956]); lihat juga Marian David, “Tarski’s Convention T and the Concept of Truth,” dalam New Essays on Tarski and Philosophy, ed. Douglas Patterson (Oxford: Oxford University Press, 2008), 133–57. (University of Pittsburgh, static.uni-graz.at)

[8]                W. V. O. Quine, gagasan diskuotasi diringkas dalam Richard K. Heck, “Disquotationalism and the Compositional Principles,” Philosophers’ Imprint 21 (2021): 1–27, kutip Quine 1986, 12. (PhilArchive)

[9]                Armour-Garb, “Deflationism About Truth”; serta Horwich dan Grover–Camp–Belnap pada catatan 10. (Stanford Encyclopedia of Philosophy)

[10]             Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1998); Dorothy L. Grover, Joseph L. Camp Jr., dan Nuel D. Belnap Jr., “A Prosentential Theory of Truth,” Philosophical Studies 27 (1975): 73–125. (eclass.uoa.gr, SpringerLink)

[11]             John O’Leary-Hawthorne, “Minimalism and Truth,” naskah yang beredar (1997); Panu Raatikainen, “On Horwich’s Way Out,” Analysis 65 (2005): 142–46; Michael Devitt, “Minimalist Truth: A Review of Paul Horwich, Truth,” Mind 100 (1991): 566–73. (PhilPapers, PhilArchive, CUNY Commons)

[12]             Horwich, Truth, 2nd ed., prakata edisi kedua; Devitt, “Minimalist Truth.” (eclass.uoa.gr, CUNY Commons)

[13]             “Semantic Theory of Truth,” Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses 27 Agustus 2025, https://iep.utm.edu/s-truth/; lihat juga Gary Kemp, “Quine’s Tarskian Angle on Truth,” Philosophers’ Imprint 24 (2024): khususnya pembahasan generalisasi. (Internet Encyclopedia of Philosophy, Michigan Publishing)

[14]             Lihat catatan 1–13 untuk rujukan teoretis dan historis utama.


2.           Konteks Historis dan Asal-Usul Teori Deflasi

Perdebatan mengenai hakikat kebenaran telah berlangsung sejak masa filsafat klasik. Dalam tradisi Barat, teori-teori kebenaran seperti korespondensi (Aristoteles dan para penerus realis), koherensi (idealism Jerman), serta pragmatisme (Peirce, James, dan Dewey) mendominasi percakapan filosofis hingga awal abad ke-20.¹ Akan tetapi, pada paruh pertama abad ke-20, muncul sebuah arus baru yang berupaya “mengempiskan” peran kebenaran dengan menolak anggapan bahwa kebenaran adalah sifat metafisis atau entitas yang harus dijelaskan secara substantif. Arus ini kemudian dikenal sebagai teori deflasi (deflationary theories of truth), yang pada awalnya diperkenalkan melalui teori redundansi

2.1.       1. Gagasan Awal F.P. Ramsey

Tokoh kunci yang pertama kali memformulasikan ide deflasi adalah Frank Plumpton Ramsey dalam esainya Facts and Propositions (1927).³ Ramsey berargumen bahwa pernyataan seperti “‘Salju itu putih’ adalah benar” tidak menambahkan apa pun terhadap klaim “Salju itu putih”. Dengan kata lain, menyebut sebuah kalimat “benar” hanyalah cara lain untuk menegaskan kalimat itu sendiri.⁴ Oleh sebab itu, istilah benar dianggap redundan—tidak membawa muatan ontologis tambahan selain afirmasi terhadap proposisi yang dimaksud. Karena pandangan ini, teori Ramsey kemudian dikenal sebagai redundancy theory of truth.⁵

Pandangan Ramsey menandai pergeseran penting dalam filsafat analitik awal abad ke-20, yang saat itu sedang didominasi oleh analisis logika dan kritik terhadap metafisika tradisional. Dengan membuang “substansi” dari kebenaran, Ramsey membuka jalan bagi pandangan yang lebih hemat ontologi dan lebih fokus pada fungsi bahasa.⁶

2.2.       Kontribusi Alfred Tarski

Gagasan Ramsey menemukan penguatan dalam karya Alfred Tarski pada 1930-an, terutama melalui esainya yang berpengaruh The Concept of Truth in Formalized Languages (1933, edisi Inggris 1956).⁷ Tarski mengembangkan apa yang dikenal sebagai Konvensi-T, yaitu syarat formal bahwa definisi kebenaran harus menghasilkan kalimat-kalimat berbentuk:

“‘P’ adalah benar jika dan hanya jika P.”

Sebagai contoh:

“‘Salju itu putih’ adalah benar jika dan hanya jika salju itu putih.”

Konvensi ini tidak dimaksudkan Tarski untuk memberikan teori filosofis tentang kebenaran secara umum, melainkan definisi semantik kebenaran dalam bahasa formal.⁸ Namun demikian, rumusannya memiliki dampak besar bagi teori deflasi, karena memperlihatkan bahwa peran konsep kebenaran dapat dijelaskan melalui skema ekuivalensi sederhana tanpa harus mengandaikan sifat metafisis.⁹

2.3.       Peran W.V.O. Quine dan Disquotationalism

Sumbangan berikutnya datang dari Willard Van Orman Quine, yang mengembangkan varian teori diskuotasi (disquotational theory of truth).¹⁰ Menurut Quine, predikat benar berfungsi terutama untuk menghapus tanda kutip (disquotation). Ketika kita mengatakan: “‘Salju itu putih’ adalah benar”, pada dasarnya kita hanya menghapus kutip dan menyatakan kembali “Salju itu putih”.¹¹ Fungsi predikat benar dengan demikian bukanlah menyebut sifat atau entitas baru, melainkan perangkat linguistik yang memudahkan ekspresi—khususnya ketika kita melakukan pendakian semantik (semantic ascent), misalnya untuk menyatakan generalisasi: “Segala sesuatu yang dikatakan ilmuwan itu benar.”¹²

Dengan demikian, Quine menegaskan posisi deflasi: kebenaran tidak menambah konten ontologis, melainkan sekadar alat untuk menyederhanakan bahasa dan memfasilitasi inferensi logis.¹³

2.4.       Lahirnya Ragam Deflasi Lain

Dari landasan historis ini, berbagai varian teori deflasi kemudian berkembang. Selain teori redundansi dan diskuotasi, muncul pula minimalist theory yang dipopulerkan oleh Paul Horwich pada akhir abad ke-20, serta prosentential theory yang dirumuskan oleh Dorothy Grover, Joseph Camp, dan Nuel Belnap pada 1970-an.¹⁴ Meskipun berbeda pendekatan, semuanya berangkat dari tradisi yang diletakkan oleh Ramsey, Tarski, dan Quine: menolak kebenaran sebagai sifat metafisis substantif dan menjelaskannya dalam kerangka fungsi linguistik-logis.

Dengan demikian, konteks historis teori deflasi menunjukkan bagaimana gagasan ini lahir dari kritik terhadap pendekatan metafisis kebenaran, kemudian diperkuat oleh semantik formal, dan akhirnya berkembang menjadi beragam bentuk yang tetap memegang prinsip inti: kebenaran hanyalah perangkat linguistik, bukan entitas metafisis.


Footnotes

[1]                Simon Blackburn, Truth: A Guide for the Perplexed (London: Allen Lane, 2005), 13–20.

[2]                Bradley Armour-Garb, “Deflationism About Truth,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2021 Edition), ed. Edward N. Zalta, diakses 27 Agustus 2025, truth-deflationary.

[3]                Frank P. Ramsey, “Facts and Propositions,” Proceedings of the Aristotelian Society, Supplementary Volume 7 (1927): 153–206.

[4]                Ibid., 199.

[5]                Marian David, The Correspondence Theory of Truth (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 4–6.

[6]                Daniel Stoljar, “The Deflationary Theory of Truth,” Philosophy Compass 3, no. 1 (2008): 1–16.

[7]                Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics, ed. John Corcoran (Indianapolis: Hackett, 1983).

[8]                Ibid., 152–155.

[9]                Anil Gupta, “Truth and Paradox,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2019 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth-paradox.

[10]             W. V. O. Quine, Philosophy of Logic (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1970), 10–12.

[11]             Richard K. Heck, “Disquotationalism and the Compositional Principles,” Philosophers’ Imprint 21, no. 3 (2021): 3–5.

[12]             Quine, Philosophy of Logic, 14–16.

[13]             Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1998), 33–35.

[14]             Dorothy L. Grover, Joseph L. Camp Jr., dan Nuel D. Belnap Jr., “A Prosentential Theory of Truth,” Philosophical Studies 27, no. 2 (1975): 73–125.


3.           Konsep Dasar Teori Deflasi (Redundansi)

Teori deflasi—khususnya varian teori redundansi—menawarkan pandangan yang radikal mengenai kebenaran. Alih-alih menjelaskan kebenaran sebagai sifat metafisis yang melekat pada proposisi atau kalimat, teori ini menegaskan bahwa predikat “benar” tidak memiliki isi substantif, melainkan berfungsi sebagai perangkat linguistik yang memungkinkan efisiensi dalam komunikasi.¹

3.1.       Definisi dan Prinsip Utama

Inti dari teori redundansi dirumuskan pertama kali oleh F. P. Ramsey (1927). Ia menyatakan bahwa menambahkan kata “benar” pada sebuah proposisi tidak memberikan makna tambahan. Dengan kata lain, “‘Salju itu putih’ adalah benar” secara logis setara dengan “Salju itu putih.”² Menurut Ramsey, kebenaran hanyalah “kata kosong” (redundant word) yang tidak menunjuk pada sifat atau entitas baru di luar proposisi itu sendiri.³

Definisi ini memperlihatkan bahwa predikat kebenaran bersifat redundan: klaim kebenaran tidak lebih dari pengulangan atau afirmasi proposisi yang sama.⁴ Oleh karena itu, teori ini berbeda dari teori korespondensi yang menganggap kebenaran sebagai relasi antara proposisi dan fakta, atau teori pragmatis yang menilai kebenaran berdasarkan kegunaan praktis.

3.2.       Skema Ekuivalensi (T-schema)

Prinsip inti teori deflasi sering diekspresikan melalui skema ekuivalensi, yang dikenal sebagai T-schema:

“‘P’ adalah benar jika dan hanya jika P.”

Contoh:

“‘Air mendidih pada 100°C (di permukaan laut)’ adalah benar jika dan hanya jika air memang mendidih pada 100°C (di permukaan laut).”

Skema ini menunjukkan bahwa penambahan predikat “benar” tidak mengubah isi proposisi. Fungsi predikat tersebut hanyalah untuk menegaskan proposisi yang sama tanpa menambahkan kandungan informasi baru.⁵

3.3.       Fungsi Linguistik Predikat “Benar”

Meskipun dianggap “kosong” secara metafisis, predikat “benar” tetap memiliki kegunaan linguistik. Para deflasionis menegaskan setidaknya tiga fungsi utama:

1)                  Endorsement (penegasan ulang): memungkinkan kita untuk menegaskan sebuah pernyataan tanpa harus mengulanginya secara eksplisit. Misalnya, “Apa yang dikatakan oleh Al-Ghazali itu benar” berarti kita menyetujui seluruh pernyataannya tanpa menyebut satu per satu.⁶

2)                  Generalisasi: memfasilitasi pernyataan umum seperti “Segala sesuatu yang dikatakan oleh sains modern adalah benar.” Tanpa konsep benar, kita akan kesulitan mengekspresikan generalisasi semacam itu.⁷

3)                  Ekonomi bahasa: penggunaan predikat benar menyederhanakan komunikasi dan mencegah repetisi proposisi yang panjang.

Dengan demikian, teori deflasi tidak meniadakan fungsi praktis predikat benar, tetapi menolak bahwa fungsi tersebut mengimplikasikan eksistensi sifat metafisis “kebenaran”.⁸

3.4.       Penolakan terhadap Kebenaran sebagai Properti Substantif

Karena hanya bersifat linguistik, teori deflasi menolak pandangan bahwa kebenaran adalah properti substantif. Dalam pandangan deflasi, kebenaran bukanlah sesuatu yang dijelaskan, melainkan sesuatu yang dilarutkan ke dalam fungsi ekspresif bahasa.⁹ Hal ini menandai perbedaan tajam dengan teori korespondensi (yang menekankan hubungan proposisi dengan fakta dunia), teori koherensi (konsistensi antar keyakinan), maupun teori pragmatis (keberhasilan praktis).

Deflasi berargumen bahwa upaya menjelaskan kebenaran secara substansial justru menimbulkan problem metafisis dan paradoks (misalnya paradoks pembohong), sementara memahami kebenaran sebagai alat linguistik membuat konsep ini lebih sederhana dan bebas dari beban metafisika.¹⁰

3.5.       Kritik Awal dan Signifikansi Konseptual

Meskipun sederhana, teori deflasi telah menuai kritik. Beberapa filsuf menilai bahwa fungsi generalisasi atau normativitas epistemik tidak dapat dijelaskan cukup hanya dengan skema ekuivalensi.¹¹ Namun, kelebihan utama teori deflasi adalah kemampuannya menghindari spekulasi metafisis berlebih tentang kebenaran, seraya tetap menjelaskan kegunaan praktis predikat benar. Oleh karena itu, teori ini menempati posisi unik dalam peta teori kebenaran: bukan memberikan teori “substantif”, melainkan menunjukkan bahwa mungkin kita tidak memerlukan teori semacam itu sama sekali.¹²


Footnotes

[1]                Bradley Armour-Garb, “Deflationism About Truth,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2021 Edition), ed. Edward N. Zalta, diakses 27 Agustus 2025, truth-deflationary.

[2]                Frank P. Ramsey, “Facts and Propositions,” Proceedings of the Aristotelian Society, Supplementary Volume 7 (1927): 153–206.

[3]                Ibid., 199.

[4]                Marian David, The Correspondence Theory of Truth (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 5.

[5]                Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics, ed. John Corcoran (Indianapolis: Hackett, 1983), 152–155.

[6]                Daniel Stoljar, “The Deflationary Theory of Truth,” Philosophy Compass 3, no. 1 (2008): 1–16.

[7]                Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1998), 34–36.

[8]                Anil Gupta, “Truth and Paradox,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2019 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth-paradox.

[9]                Simon Blackburn, Truth: A Guide for the Perplexed (London: Allen Lane, 2005), 27–29.

[10]             Richard K. Heck, “Disquotationalism and the Compositional Principles,” Philosophers’ Imprint 21, no. 3 (2021): 3–5.

[11]             Michael Devitt, “Minimalist Truth: A Review of Paul Horwich, Truth,” Mind 100, no. 4 (1991): 566–73.

[12]             Stoljar, “The Deflationary Theory of Truth,” 10–12.


4.           Varian dan Perkembangan Teori Deflasi

Sejak gagasan awal teori redundansi yang dirumuskan oleh F.P. Ramsey pada 1927, teori deflasi berkembang menjadi beberapa varian penting dalam filsafat analitik kontemporer. Meskipun masing-masing memiliki fokus berbeda, seluruh varian berbagi komitmen utama: menolak kebenaran sebagai properti substantif dan menegaskan bahwa predikat “benar” hanya berfungsi sebagai perangkat linguistik atau logis.¹

4.1.       Teori Redundansi (Ramsey)

Teori redundansi merupakan bentuk paling awal dari deflasi. Ramsey berargumen bahwa menyebut proposisi sebagai “benar” tidak menambahkan apa pun terhadap proposisi itu sendiri. Dengan demikian, predikat benar adalah redundan.² Misalnya, kalimat “‘2+2=4’ adalah benar” sama persis maknanya dengan “2+2=4.” Gagasan ini lahir dari dorongan untuk menghindari komitmen metafisis yang tidak perlu dan menekankan kesederhanaan analisis logis.³

Meskipun demikian, teori redundansi menghadapi kritik karena dianggap terlalu sempit: ia gagal menjelaskan peran praktis predikat benar dalam kasus generalisasi, misalnya dalam kalimat “Segala yang dikatakan ilmuwan itu benar.”⁴

4.2.       Teori Diskuotasi (Disquotational Theory – Quine)

Varian kedua adalah teori diskuotasi, yang banyak dikaitkan dengan W.V.O. Quine.⁵ Menurut Quine, fungsi utama predikat benar adalah untuk menghapus tanda kutip (disquotation). Misalnya, kalimat “‘Salju itu putih’ adalah benar” tidak lebih dari cara lain untuk mengucapkan “Salju itu putih.”⁶

Kelebihan teori ini adalah kemampuannya menjelaskan fungsi generalisasi. Dengan konsep diskuotasi, kita dapat menyatakan kalimat seperti “Semua yang ia katakan adalah benar” tanpa harus mengutip satu per satu kalimat yang dimaksud.⁷ Namun, kritiknya serupa dengan teori redundansi: teori ini dianggap gagal menangkap dimensi normatif dari kebenaran, misalnya perannya dalam membedakan klaim yang sahih dari yang menyesatkan.⁸

4.3.       Teori Minimalis (Paul Horwich)

Paul Horwich mengembangkan varian yang lebih sistematis dalam bukunya Truth (1990, edisi kedua 1998). Ia menyebut pendekatannya minimalisme.⁹ Prinsip dasarnya adalah bahwa konsep kebenaran cukup dijelaskan dengan menghimpun semua instansiasi dari skema Tarski:

“‘P’ adalah benar jika dan hanya jika P.”

Menurut Horwich, himpunan tak terbatas dari instansi skema ini sudah memadai untuk menjelaskan seluruh fungsi konsep kebenaran.¹⁰ Dengan kata lain, teori kebenaran tidak memerlukan penjelasan substantif tambahan.

Kelebihan minimalisme terletak pada kemampuan sistematisasinya: ia menyatukan aspek redundansi dan diskuotasi ke dalam kerangka logis yang koheren. Akan tetapi, Horwich menghadapi kritik karena harus berkomitmen pada daftar instansi skema T yang secara konseptual tak terbatas, sehingga menimbulkan masalah terkait kepraktisan dan kelengkapan teori.¹¹

4.4.       Teori Prosentensial (Grover–Camp–Belnap)

Varian lain yang cukup berpengaruh adalah teori prosentensial, diperkenalkan oleh Dorothy Grover, Joseph Camp, dan Nuel Belnap pada 1975.¹² Teori ini berangkat dari analogi dengan pronomina dalam bahasa: seperti pronomina yang menggantikan nomina, ekspresi prosentensial seperti “itu benar” berfungsi menggantikan sebuah kalimat sebelumnya.

Sebagai contoh:

·                     A: “Salju itu putih.”

·                     B: “Itu benar.”

Dalam kerangka prosentensial, “itu benar” bukanlah predikat yang menyatakan sifat, tetapi sebuah pro-sentence (kalimat pengganti) yang menunjuk pada kalimat sebelumnya.¹³ Keunggulan teori ini adalah kemampuannya menjelaskan dinamika percakapan sehari-hari dan penggunaan ekspresif predikat benar. Namun, kelemahannya adalah keterbatasan dalam menjelaskan generalisasi yang lebih kompleks.¹⁴


Perkembangan Mutakhir

Seiring perkembangan filsafat analitik, teori deflasi juga diperkaya oleh berbagai adaptasi baru. Beberapa filsuf menggabungkan unsur minimalisme dengan teori semantik Tarskian, sementara yang lain mencoba mempertahankan deflasi sekaligus mengakomodasi fungsi normatif kebenaran dalam epistemologi.¹⁵ Meskipun ragamnya beragam, kesamaan mendasar tetap terjaga: predikat “benar” tidak menunjuk pada sifat metafisis yang mendalam, melainkan sekadar perangkat linguistik yang memudahkan komunikasi, generalisasi, dan penegasan.


Footnotes

[1]                Bradley Armour-Garb, “Deflationism About Truth,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2021 Edition), ed. Edward N. Zalta, diakses 28 Agustus 2025, truth-deflationary.

[2]                Frank P. Ramsey, “Facts and Propositions,” Proceedings of the Aristotelian Society, Supplementary Volume 7 (1927): 153–206.

[3]                Simon Blackburn, Truth: A Guide for the Perplexed (London: Allen Lane, 2005), 27–29.

[4]                Daniel Stoljar, “The Deflationary Theory of Truth,” Philosophy Compass 3, no. 1 (2008): 5–6.

[5]                W. V. O. Quine, Philosophy of Logic (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1970), 10–14.

[6]                Richard K. Heck, “Disquotationalism and the Compositional Principles,” Philosophers’ Imprint 21, no. 3 (2021): 3–5.

[7]                Quine, Philosophy of Logic, 15.

[8]                Anil Gupta, “Truth and Paradox,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2019 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth-paradox.

[9]                Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1998), 1–5.

[10]             Ibid., 33–37.

[11]             Michael Devitt, “Minimalist Truth: A Review of Paul Horwich, Truth,” Mind 100, no. 4 (1991): 566–73.

[12]             Dorothy L. Grover, Joseph L. Camp Jr., dan Nuel D. Belnap Jr., “A Prosentential Theory of Truth,” Philosophical Studies 27, no. 2 (1975): 73–125.

[13]             Ibid., 80–82.

[14]             Marian David, The Correspondence Theory of Truth (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 19–20.

[15]             Armour-Garb, “Deflationism About Truth.”


5.           Analisis Filosofis

Teori deflasi, khususnya dalam bentuk teori redundansi, diskuotasi, minimalis, dan prosentensial, telah memantik diskusi filosofis yang intens. Bab ini menguraikan analisis terhadap kelebihan dan kelemahan teori deflasi, serta membandingkannya dengan teori kebenaran lain yang lebih substantif.

5.1.       Argumen Pendukung Teori Deflasi

Pendukung teori deflasi menekankan kesederhanaan ontologis sebagai kelebihan utamanya. Menurut mereka, konsep kebenaran tidak memerlukan fondasi metafisis yang rumit.¹ Prinsip skema ekuivalensi ala Tarski—“‘P’ benar jika dan hanya jika P”—sudah cukup untuk menjelaskan seluruh fungsi predikat benar.² Dengan mengadopsi pendekatan ini, teori deflasi menghindari problem yang muncul pada teori korespondensi, misalnya pertanyaan sulit tentang hakikat “fakta” atau relasi antara bahasa dan realitas.³

Selain itu, teori deflasi menyediakan alat linguistik yang praktis. Ia menjelaskan bagaimana predikat benar memungkinkan kita:

·                     Melakukan generalisasi (“Segala pernyataan dalam teori X adalah benar”),

·                     Menegaskan ulang (“Apa yang Anda katakan itu benar”), serta

·                     Menghindari repetisi proposisi dalam komunikasi sehari-hari.⁴

Bagi deflasionis, fungsi-fungsi ini cukup untuk menjelaskan mengapa kita membutuhkan konsep kebenaran, tanpa harus menganggapnya sebagai entitas metafisis.⁵

5.2.       Kritik Filosofis terhadap Teori Deflasi

Meskipun elegan secara logis, teori deflasi menghadapi berbagai kritik serius.

5.2.1.    Masalah Generalisasi Tak Terhingga

Paul Horwich, dengan minimalismenya, mengandaikan himpunan tak terbatas instansi skema T (T-schema) sebagai dasar teori kebenaran. Namun, kritik muncul karena daftar semacam itu tidak praktis dan sulit diformulasikan secara tuntas.⁶ Kritikus seperti Michael Devitt menilai bahwa deflasi gagal menjelaskan bagaimana skema tak terhingga ini bisa dimiliki agen epistemik terbatas.⁷

5.2.2.    Normativitas Kebenaran

Teori deflasi dianggap tidak mampu menangkap aspek normatif kebenaran. Misalnya, ketika kita berkata “keyakinan haruslah benar”, terdapat dimensi normatif yang menghubungkan kebenaran dengan rasionalitas, pembenaran, dan epistemologi.⁸ Jika kebenaran hanya sekadar perangkat linguistik, bagaimana ia bisa menjelaskan peran normatifnya dalam membimbing keyakinan dan tindakan?⁹

5.2.3.    Hubungan dengan Ilmu Pengetahuan

Kritik lain datang dari filsafat ilmu. Teori deflasi tampak kurang memadai dalam menjelaskan peran kebenaran dalam sains, di mana klaim kebenaran sering diperlakukan sebagai tujuan regulatif penelitian.¹⁰ Richard Kirkham berpendapat bahwa deflasi tidak dapat memadai untuk menjelaskan motivasi ilmiah, karena ilmuwan tidak hanya mengulang proposisi, tetapi mencari kebenaran sebagai ideal epistemik.¹¹

5.2.4.    Masalah Paradoks

Teori deflasi juga menghadapi masalah serius ketika berhadapan dengan paradoks liar, seperti paradoks pembohong (liar paradox). Jika semua instansi skema T diterima tanpa batasan, maka kita terjerumus pada kontradiksi.¹² Karena itu, deflasionis seperti Horwich harus menambahkan pembatasan tertentu—yang justru menimbulkan pertanyaan apakah teori ini tetap “deflasi” atau diam-diam menyelundupkan komitmen substantif.¹³

5.3.       Perbandingan dengan Teori Kebenaran Substantif

Jika dibandingkan dengan teori kebenaran lain, posisi deflasi cukup unik:

·                     Dibanding teori korespondensi, deflasi lebih hemat ontologi karena tidak menganggap adanya relasi metafisis “fakta–proposisi”. Namun, ia kehilangan daya jelaskan tentang bagaimana bahasa berhubungan dengan realitas.¹⁴

·                     Dibanding teori koherensi, deflasi lebih sederhana, tetapi gagal menjelaskan struktur rasionalitas internal dari sistem keyakinan.¹⁵

·                     Dibanding teori pragmatis, deflasi menghindari relativisme, tetapi tidak mampu menjelaskan peran kegunaan praktis kebenaran dalam kehidupan manusia.¹⁶

Dengan demikian, teori deflasi tampak unggul dalam kesederhanaan dan konsistensi logis, tetapi lemah dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menjadi motivasi tradisional filsafat tentang kebenaran.

5.4.       Signifikansi dalam Diskursus Kontemporer

Meskipun mendapat kritik, teori deflasi tetap berpengaruh besar. Ia mendorong filsafat bahasa dan logika untuk memandang kebenaran sebagai konsep fungsional ketimbang substansial.¹⁷ Dalam filsafat analitik kontemporer, deflasi sering dijadikan titik awal diskusi epistemologis dan semantik, bahkan oleh mereka yang menolak kesimpulannya.¹⁸

Bahkan sebagian filsuf kontemporer mencoba merumuskan hibrida: menggabungkan intuisi deflasi (bahwa benar adalah perangkat linguistik) dengan pandangan normatif bahwa kebenaran tetap memiliki fungsi regulatif dalam ilmu pengetahuan dan epistemologi.¹⁹ Dengan cara ini, teori deflasi tetap relevan, meskipun mungkin perlu dilengkapi untuk menjawab kelemahan-kelemahan filosofisnya.


Footnotes

[1]                Bradley Armour-Garb, “Deflationism About Truth,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2021 Edition), ed. Edward N. Zalta, diakses 28 Agustus 2025, truth-deflationary.

[2]                Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics, ed. John Corcoran (Indianapolis: Hackett, 1983), 152–155.

[3]                Marian David, The Correspondence Theory of Truth (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 14–15.

[4]                Daniel Stoljar, “The Deflationary Theory of Truth,” Philosophy Compass 3, no. 1 (2008): 5–7.

[5]                Simon Blackburn, Truth: A Guide for the Perplexed (London: Allen Lane, 2005), 27–29.

[6]                Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1998), 36–38.

[7]                Michael Devitt, “Minimalist Truth: A Review of Paul Horwich, Truth,” Mind 100, no. 4 (1991): 566–73.

[8]                Anil Gupta, “Truth and Paradox,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2019 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth-paradox.

[9]                Ralph Walker, The Coherence Theory of Truth (London: Routledge, 1989), 88–90.

[10]             Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 123–126.

[11]             Richard Kirkham, Theories of Truth: A Critical Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 74–77.

[12]             Saul A. Kripke, “Outline of a Theory of Truth,” Journal of Philosophy 72, no. 19 (1975): 690–716.

[13]             Horwich, Truth, 2nd ed., 45–47.

[14]             David, The Correspondence Theory of Truth, 23–25.

[15]             Walker, The Coherence Theory of Truth, 91–94.

[16]             William James, Pragmatism (Indianapolis: Hackett, 1981 [1907]), 97–102.

[17]             Armour-Garb, “Deflationism About Truth.”

[18]             Stoljar, “The Deflationary Theory of Truth,” 12–14.

[19]             Crispin Wright, Truth and Objectivity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992), 25–29.


6.           Relevansi Kontemporer

Teori deflasi tentang kebenaran, sejak kemunculannya pada awal abad ke-20, tetap menjadi salah satu topik penting dalam filsafat analitik kontemporer. Meskipun sering dikritik karena kesederhanaannya yang ekstrem, teori ini tetap relevan karena menawarkan pendekatan minimalis yang sangat berpengaruh dalam filsafat bahasa, epistemologi, serta logika formal.

6.1.       Relevansi dalam Filsafat Bahasa

Dalam filsafat bahasa, teori deflasi membantu menjelaskan peran predikat “benar” sebagai perangkat linguistik, bukan metafisis. Dengan pandangan ini, predikat kebenaran dapat dipahami sebagai mekanisme penegasan ulang, generalisasi, dan penghilangan kutip (disquotation) yang memudahkan komunikasi.¹ Pandangan ini memengaruhi studi tentang makna (semantics) dan penggunaan (pragmatics), karena menegaskan bahwa fungsi kebenaran tidak lebih dari bagian dari praktik bahasa sehari-hari.²

Selain itu, teori deflasi juga berkontribusi pada perdebatan tentang komposisionalitas bahasa. Richard Heck menunjukkan bahwa teori diskuotasi dapat dijadikan model untuk memahami bagaimana makna kalimat kompleks dibentuk dari bagian-bagiannya tanpa memerlukan konsep kebenaran sebagai entitas independen.³

6.2.       Relevansi dalam Epistemologi

Dalam epistemologi, teori deflasi berimplikasi besar pada diskusi tentang normativitas kebenaran. Sejumlah filsuf berargumen bahwa deflasi gagal menjelaskan peran normatif kebenaran—misalnya, bahwa keyakinan seharusnya diarahkan pada kebenaran.⁴ Namun, pendukung deflasi seperti Paul Horwich berusaha menjawab kritik ini dengan menegaskan bahwa normativitas kebenaran dapat dipahami melalui fungsi praktis predikat benar dalam membimbing keyakinan tanpa perlu mengandaikan kebenaran sebagai sifat substantif.⁵

Lebih jauh, Crispin Wright mencoba mengembangkan apa yang disebut quasi-realism atau truth pluralism, yang berupaya menggabungkan intuisi deflasi dengan kebutuhan untuk mempertahankan fungsi regulatif kebenaran dalam pengetahuan.⁶ Hal ini menunjukkan bahwa teori deflasi tetap menjadi titik acuan utama, baik bagi pendukung maupun bagi kritikusnya.

6.3.       Relevansi dalam Filsafat Ilmu

Dalam konteks filsafat ilmu, deflasi memiliki pengaruh dalam cara ilmuwan dan filsuf memandang status klaim ilmiah. Hilary Putnam, meskipun bukan deflasionis, mengakui bahwa teori deflasi menantang gagasan klasik bahwa kebenaran ilmiah harus dijelaskan secara metafisis.⁷ Namun, kritik juga muncul: Richard Kirkham menilai bahwa deflasi tidak memadai untuk menjelaskan peran ideal regulatif kebenaran dalam ilmu pengetahuan.⁸ Meski demikian, gagasan deflasi tetap relevan karena menekan ilmuwan untuk tidak berlebihan dalam menganggap “kebenaran ilmiah” sebagai korespondensi sempurna dengan realitas, melainkan sebagai perangkat konseptual yang berfungsi dalam praktik ilmiah.

6.4.       Relevansi dalam Logika dan Semantik Formal

Dalam logika dan semantik formal, teori deflasi berhubungan erat dengan definisi semantik kebenaran yang diperkenalkan oleh Alfred Tarski.⁹ Pendekatan ini memperlihatkan bahwa konsep kebenaran dapat dirumuskan dalam kerangka formal tanpa melibatkan metafisika tambahan. Pada level kontemporer, teori deflasi menjadi acuan dalam diskusi tentang paradoks semantik seperti paradoks pembohong. Saul Kripke, misalnya, mengembangkan teori semantik parsial untuk menanggulangi paradoks tersebut, dan kerangka ini sering dipertimbangkan bersama teori deflasi untuk mencari solusi yang konsisten.¹⁰

6.5.       Kritik dan Modifikasi Kontemporer

Meskipun banyak digunakan, teori deflasi tetap menuai kritik. Pertama, beberapa filsuf menilai bahwa deflasi terlalu reduktif karena gagal menjelaskan peran normatif kebenaran dalam penalaran praktis dan ilmiah.¹¹ Kedua, problem generalisasi tak terhingga tetap menjadi kelemahan teoretis utama.¹²

Namun, justru karena kritik-kritik inilah teori deflasi tetap relevan. Para filsuf kontemporer tidak sekadar meninggalkan deflasi, melainkan berusaha memodifikasi atau melengkapinya. Beberapa pendekatan mutakhir mencoba memadukan deflasi dengan pluralisme kebenaran, yaitu pandangan bahwa ada banyak cara sesuatu bisa benar tergantung pada domain wacana (misalnya, sains, etika, atau matematika).¹³


Signifikansi Keseluruhan

Secara keseluruhan, teori deflasi tetap penting dalam filsafat kontemporer karena:

1)                  Menjadi model dasar untuk memahami kebenaran sebagai konsep linguistik minimalis.

2)                  Memberikan kontribusi metodologis dalam filsafat bahasa, epistemologi, dan logika formal.

3)                  Menjadi lawan diskusi permanen bagi teori-teori kebenaran substantif.

Dengan demikian, meskipun teori deflasi mungkin tidak memadai untuk menjelaskan seluruh aspek kebenaran, ia tetap relevan sebagai pijakan konseptual yang membentuk arah diskusi filosofis modern tentang kebenaran.¹⁴


Footnotes

[1]                Bradley Armour-Garb, “Deflationism About Truth,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2021 Edition), ed. Edward N. Zalta, diakses 29 Agustus 2025, truth-deflationary.

[2]                Daniel Stoljar, “The Deflationary Theory of Truth,” Philosophy Compass 3, no. 1 (2008): 5–6.

[3]                Richard K. Heck, “Disquotationalism and the Compositional Principles,” Philosophers’ Imprint 21, no. 3 (2021): 4–6.

[4]                Anil Gupta, “Truth and Paradox,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2019 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth-paradox.

[5]                Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1998), 37–40.

[6]                Crispin Wright, Truth and Objectivity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992), 25–29.

[7]                Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 123–126.

[8]                Richard Kirkham, Theories of Truth: A Critical Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 74–77.

[9]                Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics, ed. John Corcoran (Indianapolis: Hackett, 1983), 152–155.

[10]             Saul A. Kripke, “Outline of a Theory of Truth,” Journal of Philosophy 72, no. 19 (1975): 690–716.

[11]             Michael Devitt, “Minimalist Truth: A Review of Paul Horwich, Truth,” Mind 100, no. 4 (1991): 566–73.

[12]             Horwich, Truth, 2nd ed., 45–47.

[13]             Michael P. Lynch, Truth in Context: An Essay on Pluralism and Objectivity (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 10–14.

[14]             Armour-Garb, “Deflationism About Truth.”


7.           Penutup

Pembahasan mengenai teori deflasi (redundansi) tentang kebenaran menunjukkan bahwa teori ini memiliki posisi yang unik dalam peta filsafat kontemporer. Sejak perumusan awal oleh Frank P. Ramsey (1927), gagasan deflasi berkembang melalui kontribusi Alfred Tarski, W.V.O. Quine, Paul Horwich, serta teori prosentensial dari Grover–Camp–Belnap.¹ Semua varian ini berpijak pada pandangan dasar bahwa predikat “benar” bukanlah sebuah properti metafisis, melainkan perangkat linguistik yang bersifat logis dan ekspresif.²

Dari sisi keunggulan, teori deflasi menawarkan parsimoni ontologis dan kesederhanaan logis. Dengan menegaskan bahwa pernyataan seperti “‘P’ benar jika dan hanya jika P” sudah mencukupi, teori ini menghindarkan filsafat dari komitmen metafisis yang berlebihan sebagaimana terjadi pada teori korespondensi atau koherensi.³ Selain itu, deflasi berhasil menjelaskan fungsi-fungsi penting predikat benar, seperti generalisasi, penegasan ulang, dan ekonomi bahasa.⁴ Hal ini menjadikannya sebagai salah satu teori yang paling elegan dalam menjelaskan penggunaan praktis konsep kebenaran.

Namun, dari sisi keterbatasan, deflasi menghadapi sejumlah kritik serius. Pertama, masalah normativitas: banyak filsuf berpendapat bahwa deflasi gagal menjelaskan peran kebenaran sebagai standar normatif bagi keyakinan dan pengetahuan.⁵ Kedua, masalah generalisasi tak terbatas, khususnya pada varian minimalisme Horwich, yang bergantung pada himpunan instansi tak berhingga dari skema T.⁶ Ketiga, deflasi juga dinilai tidak cukup memadai dalam konteks filsafat ilmu, karena mengabaikan peran kebenaran sebagai tujuan regulatif penelitian ilmiah.⁷

Meskipun demikian, teori deflasi tetap memiliki relevansi kontemporer. Ia terus menjadi titik awal diskusi dalam filsafat bahasa, epistemologi, dan logika formal, serta memengaruhi teori pluralisme kebenaran yang mencoba menggabungkan aspek deflasi dengan kebutuhan normatif.⁸ Bahkan, beberapa filsuf kontemporer mengakui bahwa meskipun teori deflasi mungkin tidak mampu memberikan jawaban akhir mengenai “apa itu kebenaran,” ia tetap berfungsi sebagai alat klarifikasi konseptual yang sangat penting dalam filsafat modern.⁹

Dengan demikian, posisi teori deflasi dapat diringkas sebagai berikut: ia adalah teori negatif-positif. Negatif, karena menolak komitmen metafisis tentang kebenaran sebagai entitas substantif; positif, karena menegaskan peran praktis dan linguistik dari predikat benar.¹⁰ Pada akhirnya, meskipun teori deflasi bukanlah penjelasan tuntas mengenai kebenaran, ia tetap menjadi kontribusi besar bagi filsafat analitik modern—baik sebagai teori minimalis maupun sebagai tantangan kritis bagi teori-teori kebenaran substantif.¹¹


Footnotes

[1]                Frank P. Ramsey, “Facts and Propositions,” Proceedings of the Aristotelian Society, Supplementary Volume 7 (1927): 153–206; Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics, ed. John Corcoran (Indianapolis: Hackett, 1983); W. V. O. Quine, Philosophy of Logic (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1970); Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1998); Dorothy L. Grover, Joseph L. Camp Jr., dan Nuel D. Belnap Jr., “A Prosentential Theory of Truth,” Philosophical Studies 27, no. 2 (1975): 73–125.

[2]                Bradley Armour-Garb, “Deflationism About Truth,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2021 Edition), ed. Edward N. Zalta, diakses 29 Agustus 2025, truth-deflationary.

[3]                Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics, 152–155.

[4]                Daniel Stoljar, “The Deflationary Theory of Truth,” Philosophy Compass 3, no. 1 (2008): 5–7.

[5]                Anil Gupta, “Truth and Paradox,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2019 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth-paradox.

[6]                Michael Devitt, “Minimalist Truth: A Review of Paul Horwich, Truth,” Mind 100, no. 4 (1991): 566–73.

[7]                Richard Kirkham, Theories of Truth: A Critical Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 74–77.

[8]                Crispin Wright, Truth and Objectivity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992), 25–29.

[9]                Simon Blackburn, Truth: A Guide for the Perplexed (London: Allen Lane, 2005), 119–122.

[10]             Armour-Garb, “Deflationism About Truth.”

[11]             Paul Horwich, Truth, 2nd ed., 45–47.


Daftar Pustaka

Armour-Garb, B. (2021). Deflationism about truth. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2021 Edition). Stanford University. truth-deflationary

Blackburn, S. (2005). Truth: A guide for the perplexed. London: Allen Lane.

David, M. (1994). The correspondence theory of truth. Cambridge: Cambridge University Press.

David, M. (2008). Tarski’s Convention T and the concept of truth. In D. Patterson (Ed.), New essays on Tarski and philosophy (pp. 133–157). Oxford: Oxford University Press.

Devitt, M. (1991). Minimalist truth: A review of Paul Horwich, Truth. Mind, 100(4), 566–573.

Grover, D. L., Camp, J. L., Jr., & Belnap, N. D. (1975). A prosentential theory of truth. Philosophical Studies, 27(2), 73–125.

Gupta, A. (2019). Truth and paradox. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2019 Edition). Stanford University. truth-paradox

Heck, R. K. (2021). Disquotationalism and the compositional principles. Philosophers’ Imprint, 21(3), 1–27.

Horwich, P. (1998). Truth (2nd ed.). Oxford: Oxford University Press.

James, W. (1981). Pragmatism. Indianapolis: Hackett. (Original work published 1907)

Kemp, G. (2024). Quine’s Tarskian angle on truth. Philosophers’ Imprint, 24, 1–18.

Kirkham, R. (1992). Theories of truth: A critical introduction. Cambridge, MA: MIT Press.

Kripke, S. A. (1975). Outline of a theory of truth. Journal of Philosophy, 72(19), 690–716.

Lynch, M. P. (1998). Truth in context: An essay on pluralism and objectivity. Cambridge, MA: MIT Press.

O’Leary-Hawthorne, J. (1997). Minimalism and truth. Manuscript.

Putnam, H. (1981). Reason, truth and history. Cambridge: Cambridge University Press.

Quine, W. V. O. (1970). Philosophy of logic. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Quine, W. V. O. (1986). Philosophy of logic (2nd ed.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Ramsey, F. P. (1927). Facts and propositions. Proceedings of the Aristotelian Society, Supplementary Volume, 7, 153–206.

Raatikainen, P. (2005). On Horwich’s way out. Analysis, 65(2), 142–146.

Stoljar, D. (2008). The deflationary theory of truth. Philosophy Compass, 3(1), 1–16.

Tarski, A. (1983). Logic, semantics, metamathematics (J. Corcoran, Ed.). Indianapolis: Hackett. (Original work published 1956)

Walker, R. (1989). The coherence theory of truth. London: Routledge.

Wright, C. (1992). Truth and objectivity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Zalta, E. N. (Ed.). (2025). Truth. In The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2025 Edition). Stanford University. truth

Zalta, E. N. (Ed.). (n.d.). Semantic theory of truth. In The Internet Encyclopedia of Philosophy. Retrieved August 28, 2025, from s-truth


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar