Teori Deflasi (Redundansi)
Sebuah Tinjauan Kritis
Alihkan ke: Kebenaran.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif teori deflasi
(redundansi) tentang kebenaran sebagai salah satu pendekatan penting dalam
filsafat analitik. Teori ini menolak pandangan bahwa kebenaran adalah sifat
metafisis atau entitas substantif, dan sebaliknya menegaskan bahwa predikat “benar”
hanya berfungsi sebagai perangkat linguistik yang bersifat logis dan ekspresif.
Pembahasan dimulai dengan konteks historis yang melibatkan gagasan awal Frank
P. Ramsey, kontribusi semantik Alfred Tarski, teori diskuotasi W.V.O. Quine,
hingga pengembangan varian minimalis (Paul Horwich) dan prosentensial
(Grover–Camp–Belnap). Selanjutnya, artikel ini menguraikan konsep dasar teori
deflasi, menekankan pada skema ekuivalensi (T-schema) sebagai prinsip utama,
serta menjelaskan fungsi linguistik predikat benar. Analisis filosofis
mengulas argumen pendukung—seperti kesederhanaan logis dan parsimoni
ontologis—sekaligus kritik terhadap keterbatasannya, terutama terkait
normativitas kebenaran, problem generalisasi tak terbatas, dan relevansinya
dalam epistemologi serta filsafat ilmu. Pada bagian akhir, artikel menegaskan
bahwa meskipun teori deflasi tidak mampu memberikan penjelasan substantif penuh
tentang kebenaran, ia tetap relevan dalam diskursus kontemporer karena
berfungsi sebagai alat klarifikasi konseptual dan titik pijak bagi perdebatan
filosofis modern.
Kata kunci: Teori Deflasi, Teori Redundansi, Kebenaran, Filsafat Analitik, Epistemologi,
Filsafat Bahasa, Minimalisme.
PEMBAHASAN
Teori Deflasi (Redundansi) tentang Kebenaran
1.
Pendahuluan
Di antara tema-tema klasik filsafat, kebenaran
menempati posisi yang sangat sentral: hampir semua cabang filsafat—metafisika, epistemologi,
logika, dan filsafat bahasa—bertumpu pada asumsi-asumsi tentang apa arti “benar”.¹
Di tengah berbagai teori (korespondensi, koherensi, pragmatis, pluralisme,
dll.), teori deflasi (redundansi) menonjol karena sikapnya yang “mengempiskan”
muatan metafisis konsep kebenaran: alih-alih menjelaskan “hakikat”
kebenaran, deflasi menilai bahwa fungsi kata benar terutama bersifat
logis-linguistik.² Dengan demikian, proyek teoretisnya bukan menambah entitas
atau relasi baru ke dalam ontologi, melainkan menerangkan kegunaan ekspresif
dari predikat kebenaran dalam praktik berbahasa.³
Secara ringkas, tesis inti deflasi menyatakan bahwa
mengatakan “‘P’ itu benar” tidak lebih dari sekadar menegaskan P.
Pernyataan kunci ini sering diekspresikan melalui skema ekuivalensi (kadang
disebut T-schema atau equivalence schema): “‘P’ benar jika dan
hanya jika P.” Skema tersebut memperlihatkan bahwa peran benar
adalah perangkat disquotational/ekspresif: ia memungkinkan kita
mengafirmasi, menegaskan ulang, atau menggeneralisasi tanpa harus mengutip satu
per satu kalimat yang hendak kita setujui.⁴ Pendekatan deflasi karena itu
memusatkan perhatian pada fungsi (mis. untuk generalisasi dan pendukung
pernyataan tak terhingga banyaknya) ketimbang substansi (sifat metafisis
yang diduga melekat pada kebenaran).⁵
Akar gagasan ini dapat ditelusuri setidaknya ke tiga
jalur historis. Pertama, F. P. Ramsey (1927) merumuskan apa yang
kemudian disebut teori redundansi: frasa “It is true that p”
dalam penggunaan lazim tidak menambahkan apa pun atas p itu sendiri.⁶
Kedua, A. Tarski (1930-an) merumuskan Konvensi T dan definisi
semantik kebenaran bagi bahasa terformal, yang mengilhami ragam deflasi karena
memperlihatkan kecukupan skema “‘P’ benar iff P” sebagai kondisi
kepantasan definisi kebenaran.⁷ Ketiga, W.V.O. Quine mendorong
pembacaan disquotational: menyebut “‘salju itu putih’ benar” pada
dasarnya hanyalah—melalui pemrosesan kutip—menyebut salju itu putih; predikat benar
adalah perangkat diskuotasi yang dibutuhkan terutama saat kita melakukan
pendakian semantik untuk tujuan generalisasi.⁸
Dari fondasi itu, berkembang beberapa varian
dalam keluarga deflasi: (a) redundansi (Ramsey), (b) disquotational
(sering dikaitkan dengan Quine), (c) minimalisme (Horwich), dan (d) prosentensial
(Grover–Camp–Belnap). Kesemuanya berbagi komitmen umum: menolak “kebenaran”
sebagai properti substantif yang membutuhkan metafisika berat, seraya
menjelaskan kegunaan predikat benar lewat skema-skema ekuivalensi atau
fungsi prosintaksis.⁹ Pada versi minimalis, Paul Horwich menyatakan
bahwa teori kebenaran memadai jika mencakup semua instans skema “‘P’
benar iff P” (dengan pembatasan anti-paradoks), sementara versi prosentensial
memahami “—itu benar” bukan sebagai predikat, melainkan operator
yang membentuk pro-sentence untuk mengulang/menyetujui kalimat
sebelumnya.¹⁰
Motivasi utama pendekatan ini adalah parsimoni
teoretis dan kejelasan logis: kita memperoleh alat yang kita
butuhkan (endorsement, generalisasi, penghilangan kutip) tanpa mengimpor entitas-entitas
ontologis seperti “fakta penguat ke-benar-an”. Namun literatur
kontemporer juga menyoroti tantangan: (i) masalah generalisasi (“semua
yang dikatakan N benar”) yang tampaknya menuntut lebih dari sekadar daftar
instans T-schema; (ii) keterkaitan kebenaran dengan normativitas diskursus
(rasionalitas, validitas, bukti) yang dikhawatirkan tak terjelaskan jika
kebenaran sepenuhnya “kosong”; dan (iii) kekhawatiran bahwa daftar
instans ekuivalensi tak berhingga itu membebani minimalisme.¹¹ Horwich
dan para pendukungnya menanggapi keberatan-keberatan ini dengan menekankan
fungsi logis kebenaran sebagai perangkat skematisasi serta menunjukkan
bagaimana generalisasi dapat dipulihkan tanpa menghipotesiskan “sifat dalam”
kebenaran.¹²
Dari sudut pandang filsafat bahasa dan logika,
implikasi deflasi menjalar ke wilayah semantik formal (mis. model-teori
Tarskian) dan cara kita memahami hubungan antara kebenaran, referensi, dan
penalaran umum—terutama untuk menjelaskan pernyataan skematis seperti “semua
teorema teori T adalah benar”.¹³ Oleh karena itu, artikel ini meninjau
secara kritis teori deflasi/ redundansi: latar historis-konseptualnya, ragam
modelnya, argumen pendukung dan keberatan, serta relevansinya bagi perdebatan
mutakhir di filsafat kontemporer.¹⁴
Footnotes
[1]
“Truth,” Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (dan pengganti), terakhir direvisi 27 Juni
2025, diakses 27 Agustus 2025, truth. (Stanford Encyclopedia of Philosophy)
[2]
Bradley Armour-Garb, “Deflationism
About Truth,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta,
versi arsip dan pembaruan berkala, diakses 27 Agustus 2025, truth-deflationary. (Stanford
Encyclopedia of Philosophy)
[3]
Daniel Stoljar, “The Deflationary
Theory of Truth,” Philosophy Compass 3 (2008): 1–16. Ringkasan tersedia
melalui PhilPapers, diakses 27 Agustus 2025, STOTDT. (PhilPapers)
[4]
Ibid.; Armour-Garb, “Deflationism
About Truth.” (Stanford
Encyclopedia of Philosophy, PhilPapers)
[5]
Armour-Garb, “Deflationism About
Truth.” (Stanford
Encyclopedia of Philosophy)
[6]
Frank P. Ramsey, “Facts and
Propositions,” Proceedings of the Aristotelian Society, Supplementary
Volume 7 (1927): 153–206, kutipan pada sekitar hlm. 199 (pdf). (Gwern)
[7]
Alfred Tarski, Logic, Semantics,
Metamathematics, ed. John Corcoran (Indianapolis: Hackett, 1983 [edisi
Inggris 1956]); lihat juga Marian David, “Tarski’s Convention T and the Concept
of Truth,” dalam New Essays on Tarski and Philosophy, ed. Douglas
Patterson (Oxford: Oxford University Press, 2008), 133–57. (University of Pittsburgh, static.uni-graz.at)
[8]
W. V. O. Quine, gagasan diskuotasi
diringkas dalam Richard K. Heck, “Disquotationalism and the Compositional
Principles,” Philosophers’ Imprint 21 (2021): 1–27, kutip Quine 1986,
12. (PhilArchive)
[9]
Armour-Garb, “Deflationism About
Truth”; serta Horwich dan Grover–Camp–Belnap pada catatan 10. (Stanford
Encyclopedia of Philosophy)
[10]
Paul Horwich, Truth, 2nd ed.
(Oxford: Oxford University Press, 1998); Dorothy L. Grover, Joseph L. Camp Jr.,
dan Nuel D. Belnap Jr., “A Prosentential Theory of Truth,” Philosophical
Studies 27 (1975): 73–125. (eclass.uoa.gr, SpringerLink)
[11]
John O’Leary-Hawthorne, “Minimalism
and Truth,” naskah yang beredar (1997); Panu Raatikainen, “On Horwich’s Way
Out,” Analysis 65 (2005): 142–46; Michael Devitt, “Minimalist Truth: A
Review of Paul Horwich, Truth,” Mind 100 (1991): 566–73. (PhilPapers, PhilArchive, CUNY Commons)
[12]
Horwich, Truth, 2nd ed.,
prakata edisi kedua; Devitt, “Minimalist Truth.” (eclass.uoa.gr, CUNY Commons)
[13]
“Semantic Theory of Truth,” Internet
Encyclopedia of Philosophy, diakses 27 Agustus 2025, https://iep.utm.edu/s-truth/; lihat juga
Gary Kemp, “Quine’s Tarskian Angle on Truth,” Philosophers’ Imprint 24
(2024): khususnya pembahasan generalisasi. (Internet Encyclopedia of Philosophy, Michigan
Publishing)
[14]
Lihat catatan 1–13 untuk rujukan
teoretis dan historis utama.
2.
Konteks Historis dan
Asal-Usul Teori Deflasi
Perdebatan mengenai
hakikat kebenaran telah berlangsung sejak masa filsafat klasik. Dalam tradisi
Barat, teori-teori kebenaran seperti korespondensi (Aristoteles dan para
penerus realis), koherensi (idealism Jerman), serta pragmatisme (Peirce, James,
dan Dewey) mendominasi percakapan filosofis hingga awal abad ke-20.¹ Akan
tetapi, pada paruh pertama abad ke-20, muncul sebuah arus baru yang berupaya “mengempiskan”
peran kebenaran dengan menolak anggapan bahwa kebenaran adalah sifat metafisis
atau entitas yang harus dijelaskan secara substantif. Arus ini kemudian dikenal
sebagai teori deflasi (deflationary theories of truth),
yang pada awalnya diperkenalkan melalui teori redundansi.²
2.1.
1. Gagasan Awal F.P.
Ramsey
Tokoh kunci yang
pertama kali memformulasikan ide deflasi adalah Frank Plumpton Ramsey dalam
esainya Facts
and Propositions (1927).³ Ramsey berargumen bahwa pernyataan
seperti “‘Salju
itu putih’ adalah benar” tidak menambahkan apa pun terhadap klaim “Salju
itu putih”. Dengan kata lain, menyebut sebuah kalimat “benar”
hanyalah cara lain untuk menegaskan kalimat itu sendiri.⁴ Oleh sebab itu,
istilah benar
dianggap redundan—tidak membawa muatan
ontologis tambahan selain afirmasi terhadap proposisi yang dimaksud. Karena
pandangan ini, teori Ramsey kemudian dikenal sebagai redundancy
theory of truth.⁵
Pandangan Ramsey
menandai pergeseran penting dalam filsafat analitik awal abad ke-20, yang saat
itu sedang didominasi oleh analisis logika dan kritik terhadap metafisika
tradisional. Dengan membuang “substansi” dari kebenaran, Ramsey membuka
jalan bagi pandangan yang lebih hemat ontologi dan lebih fokus pada fungsi
bahasa.⁶
2.2.
Kontribusi Alfred
Tarski
Gagasan Ramsey
menemukan penguatan dalam karya Alfred Tarski pada 1930-an,
terutama melalui esainya yang berpengaruh The Concept of Truth in Formalized Languages
(1933, edisi Inggris 1956).⁷ Tarski mengembangkan apa yang dikenal sebagai Konvensi-T,
yaitu syarat formal bahwa definisi kebenaran harus menghasilkan kalimat-kalimat
berbentuk:
“‘P’ adalah benar jika dan hanya jika P.”
Sebagai contoh:
“‘Salju itu putih’ adalah benar jika dan
hanya jika salju itu putih.”
Konvensi ini tidak
dimaksudkan Tarski untuk memberikan teori filosofis tentang kebenaran secara
umum, melainkan definisi semantik kebenaran dalam bahasa
formal.⁸ Namun demikian, rumusannya memiliki dampak besar bagi teori deflasi,
karena memperlihatkan bahwa peran konsep kebenaran dapat dijelaskan melalui
skema ekuivalensi sederhana tanpa harus mengandaikan sifat metafisis.⁹
2.3.
Peran W.V.O. Quine dan
Disquotationalism
Sumbangan berikutnya
datang dari Willard Van Orman Quine, yang
mengembangkan varian teori diskuotasi (disquotational theory of
truth).¹⁰ Menurut Quine, predikat benar berfungsi terutama untuk
menghapus tanda kutip (disquotation). Ketika kita
mengatakan: “‘Salju itu putih’ adalah benar”,
pada dasarnya kita hanya menghapus kutip dan menyatakan kembali “Salju
itu putih”.¹¹ Fungsi predikat benar dengan demikian bukanlah
menyebut sifat atau entitas baru, melainkan perangkat linguistik yang
memudahkan ekspresi—khususnya ketika kita melakukan pendakian
semantik (semantic ascent), misalnya untuk menyatakan
generalisasi: “Segala sesuatu yang dikatakan ilmuwan itu benar.”¹²
Dengan demikian,
Quine menegaskan posisi deflasi: kebenaran tidak menambah konten ontologis,
melainkan sekadar alat untuk menyederhanakan bahasa dan memfasilitasi inferensi
logis.¹³
2.4.
Lahirnya Ragam Deflasi
Lain
Dari landasan
historis ini, berbagai varian teori deflasi kemudian berkembang. Selain teori
redundansi dan diskuotasi, muncul pula minimalist theory yang
dipopulerkan oleh Paul Horwich pada akhir abad ke-20, serta prosentential
theory yang dirumuskan oleh Dorothy Grover, Joseph Camp, dan
Nuel Belnap pada 1970-an.¹⁴ Meskipun berbeda pendekatan, semuanya berangkat
dari tradisi yang diletakkan oleh Ramsey, Tarski, dan Quine: menolak kebenaran
sebagai sifat metafisis substantif dan menjelaskannya dalam kerangka fungsi
linguistik-logis.
Dengan demikian,
konteks historis teori deflasi menunjukkan bagaimana gagasan ini lahir dari
kritik terhadap pendekatan metafisis kebenaran, kemudian diperkuat oleh
semantik formal, dan akhirnya berkembang menjadi beragam bentuk yang tetap
memegang prinsip inti: kebenaran hanyalah perangkat linguistik, bukan
entitas metafisis.
Footnotes
[1]
Simon Blackburn, Truth: A Guide for the
Perplexed (London: Allen Lane,
2005), 13–20.
[2]
Bradley Armour-Garb, “Deflationism About Truth,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2021 Edition), ed. Edward N. Zalta, diakses
27 Agustus 2025, truth-deflationary.
[3]
Frank P. Ramsey, “Facts and Propositions,” Proceedings of the Aristotelian Society, Supplementary Volume 7 (1927): 153–206.
[4]
Ibid., 199.
[5]
Marian David, The Correspondence
Theory of Truth (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 4–6.
[6]
Daniel Stoljar, “The Deflationary Theory of Truth,” Philosophy Compass 3,
no. 1 (2008): 1–16.
[7]
Alfred Tarski, Logic, Semantics,
Metamathematics, ed. John Corcoran
(Indianapolis: Hackett, 1983).
[8]
Ibid., 152–155.
[9]
Anil Gupta, “Truth and Paradox,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2019 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth-paradox.
[10]
W. V. O. Quine, Philosophy of Logic (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1970), 10–12.
[11]
Richard K. Heck, “Disquotationalism and the Compositional Principles,” Philosophers’ Imprint
21, no. 3 (2021): 3–5.
[12]
Quine, Philosophy of Logic, 14–16.
[13]
Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1998),
33–35.
[14]
Dorothy L. Grover, Joseph L. Camp Jr., dan Nuel D. Belnap Jr., “A
Prosentential Theory of Truth,” Philosophical
Studies 27, no. 2 (1975): 73–125.
3.
Konsep Dasar Teori
Deflasi (Redundansi)
Teori
deflasi—khususnya varian teori redundansi—menawarkan
pandangan yang radikal mengenai kebenaran. Alih-alih menjelaskan kebenaran
sebagai sifat
metafisis yang melekat pada proposisi atau kalimat, teori ini
menegaskan bahwa predikat “benar” tidak memiliki isi
substantif, melainkan berfungsi sebagai perangkat linguistik yang memungkinkan
efisiensi dalam komunikasi.¹
3.1.
Definisi dan Prinsip
Utama
Inti dari teori
redundansi dirumuskan pertama kali oleh F. P. Ramsey (1927). Ia
menyatakan bahwa menambahkan kata “benar” pada sebuah proposisi tidak
memberikan makna tambahan. Dengan kata lain, “‘Salju itu putih’ adalah benar”
secara logis setara dengan “Salju itu putih.”² Menurut Ramsey, kebenaran hanyalah “kata
kosong” (redundant word) yang tidak menunjuk
pada sifat atau entitas baru di luar proposisi itu sendiri.³
Definisi ini memperlihatkan
bahwa predikat
kebenaran bersifat redundan: klaim kebenaran tidak lebih dari
pengulangan atau afirmasi proposisi yang sama.⁴ Oleh karena itu, teori ini
berbeda dari teori korespondensi yang menganggap kebenaran sebagai relasi
antara proposisi dan fakta, atau teori pragmatis yang menilai kebenaran
berdasarkan kegunaan praktis.
3.2.
Skema Ekuivalensi
(T-schema)
Prinsip inti teori
deflasi sering diekspresikan melalui skema ekuivalensi, yang dikenal
sebagai T-schema:
“‘P’ adalah benar jika dan hanya jika P.”
Contoh:
“‘Air mendidih pada 100°C (di permukaan
laut)’ adalah benar jika dan hanya jika air memang mendidih pada 100°C (di
permukaan laut).”
Skema ini
menunjukkan bahwa penambahan predikat “benar” tidak mengubah isi
proposisi. Fungsi predikat tersebut hanyalah untuk menegaskan proposisi yang
sama tanpa menambahkan kandungan informasi baru.⁵
3.3.
Fungsi Linguistik
Predikat “Benar”
Meskipun dianggap “kosong”
secara metafisis, predikat “benar” tetap memiliki kegunaan
linguistik. Para deflasionis menegaskan setidaknya tiga fungsi utama:
1)
Endorsement (penegasan
ulang): memungkinkan kita untuk menegaskan sebuah pernyataan tanpa
harus mengulanginya secara eksplisit. Misalnya, “Apa yang dikatakan
oleh Al-Ghazali itu benar” berarti kita menyetujui seluruh
pernyataannya tanpa menyebut satu per satu.⁶
2)
Generalisasi:
memfasilitasi pernyataan umum seperti “Segala sesuatu yang
dikatakan oleh sains modern adalah benar.” Tanpa konsep benar,
kita akan kesulitan mengekspresikan generalisasi semacam itu.⁷
3)
Ekonomi bahasa:
penggunaan predikat benar menyederhanakan
komunikasi dan mencegah repetisi proposisi yang panjang.
Dengan demikian,
teori deflasi tidak meniadakan fungsi praktis predikat benar,
tetapi menolak bahwa fungsi tersebut mengimplikasikan eksistensi sifat
metafisis “kebenaran”.⁸
3.4.
Penolakan terhadap
Kebenaran sebagai Properti Substantif
Karena hanya
bersifat linguistik, teori deflasi menolak pandangan bahwa kebenaran adalah properti
substantif. Dalam pandangan deflasi, kebenaran bukanlah sesuatu
yang dijelaskan,
melainkan sesuatu yang dilarutkan ke dalam fungsi
ekspresif bahasa.⁹ Hal ini menandai perbedaan tajam dengan teori korespondensi
(yang menekankan hubungan proposisi dengan fakta dunia), teori koherensi
(konsistensi antar keyakinan), maupun teori pragmatis (keberhasilan praktis).
Deflasi berargumen
bahwa upaya menjelaskan kebenaran secara substansial justru menimbulkan problem
metafisis dan paradoks (misalnya paradoks pembohong), sementara memahami
kebenaran sebagai alat linguistik membuat konsep ini lebih sederhana dan bebas
dari beban metafisika.¹⁰
3.5.
Kritik Awal dan
Signifikansi Konseptual
Meskipun sederhana,
teori deflasi telah menuai kritik. Beberapa filsuf menilai bahwa fungsi
generalisasi atau normativitas epistemik tidak dapat dijelaskan cukup hanya
dengan skema ekuivalensi.¹¹ Namun, kelebihan utama teori deflasi adalah
kemampuannya menghindari spekulasi metafisis berlebih tentang kebenaran, seraya
tetap menjelaskan kegunaan praktis predikat benar. Oleh karena itu, teori ini
menempati posisi unik dalam peta teori kebenaran: bukan memberikan teori “substantif”,
melainkan menunjukkan bahwa mungkin kita tidak memerlukan teori semacam itu
sama sekali.¹²
Footnotes
[1]
Bradley Armour-Garb, “Deflationism About Truth,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2021 Edition), ed. Edward N. Zalta, diakses
27 Agustus 2025, truth-deflationary.
[2]
Frank P. Ramsey, “Facts and Propositions,” Proceedings of the Aristotelian Society, Supplementary Volume 7 (1927): 153–206.
[3]
Ibid., 199.
[4]
Marian David, The Correspondence
Theory of Truth (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 5.
[5]
Alfred Tarski, Logic, Semantics,
Metamathematics, ed. John Corcoran
(Indianapolis: Hackett, 1983), 152–155.
[6]
Daniel Stoljar, “The Deflationary Theory of Truth,” Philosophy Compass 3,
no. 1 (2008): 1–16.
[7]
Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1998),
34–36.
[8]
Anil Gupta, “Truth and Paradox,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2019 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth-paradox.
[9]
Simon Blackburn, Truth: A Guide for the
Perplexed (London: Allen Lane,
2005), 27–29.
[10]
Richard K. Heck, “Disquotationalism and the Compositional Principles,” Philosophers’ Imprint
21, no. 3 (2021): 3–5.
[11]
Michael Devitt, “Minimalist Truth: A Review of Paul Horwich, Truth,” Mind 100, no. 4
(1991): 566–73.
[12]
Stoljar, “The Deflationary Theory of Truth,” 10–12.
4.
Varian dan
Perkembangan Teori Deflasi
Sejak gagasan awal teori
redundansi yang dirumuskan oleh F.P. Ramsey pada 1927, teori
deflasi berkembang menjadi beberapa varian penting dalam filsafat analitik
kontemporer. Meskipun masing-masing memiliki fokus berbeda, seluruh varian
berbagi komitmen utama: menolak kebenaran sebagai properti
substantif dan menegaskan bahwa predikat “benar”
hanya berfungsi sebagai perangkat linguistik atau logis.¹
4.1.
Teori Redundansi
(Ramsey)
Teori
redundansi merupakan bentuk paling awal dari deflasi. Ramsey
berargumen bahwa menyebut proposisi sebagai “benar” tidak menambahkan
apa pun terhadap proposisi itu sendiri. Dengan demikian, predikat benar
adalah redundan.²
Misalnya, kalimat “‘2+2=4’ adalah benar” sama persis
maknanya dengan “2+2=4.” Gagasan ini lahir dari
dorongan untuk menghindari komitmen metafisis yang tidak perlu dan menekankan
kesederhanaan analisis logis.³
Meskipun demikian,
teori redundansi menghadapi kritik karena dianggap terlalu sempit: ia gagal
menjelaskan peran praktis predikat benar dalam kasus generalisasi,
misalnya dalam kalimat “Segala yang dikatakan ilmuwan itu benar.”⁴
4.2.
Teori Diskuotasi
(Disquotational Theory – Quine)
Varian kedua adalah teori
diskuotasi, yang banyak dikaitkan dengan W.V.O.
Quine.⁵ Menurut Quine, fungsi utama predikat benar
adalah untuk menghapus tanda kutip (disquotation).
Misalnya, kalimat “‘Salju itu putih’ adalah benar”
tidak lebih dari cara lain untuk mengucapkan “Salju itu putih.”⁶
Kelebihan teori ini
adalah kemampuannya menjelaskan fungsi generalisasi. Dengan
konsep diskuotasi, kita dapat menyatakan kalimat seperti “Semua
yang ia katakan adalah benar” tanpa harus mengutip satu per satu
kalimat yang dimaksud.⁷ Namun, kritiknya serupa dengan teori redundansi: teori
ini dianggap gagal menangkap dimensi normatif dari kebenaran, misalnya perannya
dalam membedakan klaim yang sahih dari yang menyesatkan.⁸
4.3.
Teori Minimalis (Paul
Horwich)
Paul
Horwich mengembangkan varian yang lebih sistematis dalam
bukunya Truth
(1990, edisi kedua 1998). Ia menyebut pendekatannya minimalisme.⁹
Prinsip dasarnya adalah bahwa konsep kebenaran cukup dijelaskan dengan
menghimpun semua instansiasi dari skema Tarski:
“‘P’ adalah benar jika dan hanya jika P.”
Menurut Horwich, himpunan
tak terbatas dari instansi skema ini sudah memadai untuk
menjelaskan seluruh fungsi konsep kebenaran.¹⁰ Dengan kata lain, teori
kebenaran tidak memerlukan penjelasan substantif tambahan.
Kelebihan
minimalisme terletak pada kemampuan sistematisasinya: ia
menyatukan aspek redundansi dan diskuotasi ke dalam kerangka logis yang
koheren. Akan tetapi, Horwich menghadapi kritik karena harus berkomitmen pada
daftar instansi skema T yang secara konseptual tak terbatas, sehingga
menimbulkan masalah terkait kepraktisan dan kelengkapan teori.¹¹
4.4.
Teori Prosentensial
(Grover–Camp–Belnap)
Varian lain yang
cukup berpengaruh adalah teori prosentensial,
diperkenalkan oleh Dorothy Grover, Joseph Camp, dan Nuel Belnap pada 1975.¹²
Teori ini berangkat dari analogi dengan pronomina dalam bahasa: seperti
pronomina yang menggantikan nomina, ekspresi prosentensial seperti “itu
benar” berfungsi menggantikan sebuah kalimat sebelumnya.
Sebagai contoh:
·
A: “Salju
itu putih.”
·
B: “Itu
benar.”
Dalam kerangka
prosentensial, “itu benar” bukanlah predikat yang
menyatakan sifat, tetapi sebuah pro-sentence (kalimat
pengganti) yang menunjuk pada kalimat sebelumnya.¹³ Keunggulan teori ini adalah
kemampuannya menjelaskan dinamika percakapan sehari-hari dan penggunaan
ekspresif predikat benar. Namun, kelemahannya adalah
keterbatasan dalam menjelaskan generalisasi yang lebih kompleks.¹⁴
Perkembangan
Mutakhir
Seiring perkembangan
filsafat analitik, teori deflasi juga diperkaya oleh berbagai adaptasi baru.
Beberapa filsuf menggabungkan unsur minimalisme dengan teori semantik Tarskian,
sementara yang lain mencoba mempertahankan deflasi sekaligus mengakomodasi
fungsi normatif kebenaran dalam epistemologi.¹⁵ Meskipun ragamnya beragam,
kesamaan mendasar tetap terjaga: predikat “benar” tidak menunjuk pada sifat
metafisis yang mendalam, melainkan sekadar perangkat linguistik yang memudahkan
komunikasi, generalisasi, dan penegasan.
Footnotes
[1]
Bradley Armour-Garb, “Deflationism About Truth,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2021 Edition), ed. Edward N. Zalta, diakses
28 Agustus 2025, truth-deflationary.
[2]
Frank P. Ramsey, “Facts and Propositions,” Proceedings of the Aristotelian Society, Supplementary Volume 7 (1927): 153–206.
[3]
Simon Blackburn, Truth: A Guide for the
Perplexed (London: Allen Lane,
2005), 27–29.
[4]
Daniel Stoljar, “The Deflationary Theory of Truth,” Philosophy Compass 3,
no. 1 (2008): 5–6.
[5]
W. V. O. Quine, Philosophy of Logic (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1970), 10–14.
[6]
Richard K. Heck, “Disquotationalism and the Compositional Principles,” Philosophers’ Imprint
21, no. 3 (2021): 3–5.
[7]
Quine, Philosophy of Logic, 15.
[8]
Anil Gupta, “Truth and Paradox,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2019 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth-paradox.
[9]
Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1998),
1–5.
[10]
Ibid., 33–37.
[11]
Michael Devitt, “Minimalist Truth: A Review of Paul Horwich, Truth,” Mind 100, no. 4
(1991): 566–73.
[12]
Dorothy L. Grover, Joseph L. Camp Jr., dan Nuel D. Belnap Jr., “A
Prosentential Theory of Truth,” Philosophical
Studies 27, no. 2 (1975): 73–125.
[13]
Ibid., 80–82.
[14]
Marian David, The Correspondence
Theory of Truth (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 19–20.
[15]
Armour-Garb, “Deflationism About Truth.”
5.
Analisis Filosofis
Teori deflasi,
khususnya dalam bentuk teori redundansi, diskuotasi, minimalis, dan
prosentensial, telah memantik diskusi filosofis yang intens. Bab ini
menguraikan analisis terhadap kelebihan dan kelemahan teori deflasi, serta
membandingkannya dengan teori kebenaran lain yang lebih substantif.
5.1.
Argumen Pendukung
Teori Deflasi
Pendukung teori
deflasi menekankan kesederhanaan ontologis sebagai
kelebihan utamanya. Menurut mereka, konsep kebenaran tidak memerlukan fondasi
metafisis yang rumit.¹ Prinsip skema ekuivalensi ala Tarski—“‘P’
benar jika dan hanya jika P”—sudah cukup untuk menjelaskan seluruh
fungsi predikat benar.² Dengan mengadopsi
pendekatan ini, teori deflasi menghindari problem yang muncul pada teori
korespondensi, misalnya pertanyaan sulit tentang hakikat “fakta” atau relasi
antara bahasa dan realitas.³
Selain itu, teori deflasi
menyediakan alat linguistik yang praktis.
Ia menjelaskan bagaimana predikat benar memungkinkan kita:
·
Melakukan
generalisasi (“Segala pernyataan dalam teori X adalah
benar”),
·
Menegaskan ulang
(“Apa yang Anda katakan itu benar”), serta
·
Menghindari repetisi
proposisi dalam komunikasi sehari-hari.⁴
Bagi deflasionis,
fungsi-fungsi ini cukup untuk menjelaskan mengapa kita membutuhkan konsep
kebenaran, tanpa harus menganggapnya sebagai entitas metafisis.⁵
5.2.
Kritik Filosofis
terhadap Teori Deflasi
Meskipun elegan
secara logis, teori deflasi menghadapi berbagai kritik serius.
5.2.1.
Masalah Generalisasi Tak Terhingga
Paul Horwich, dengan
minimalismenya,
mengandaikan himpunan tak terbatas instansi skema T (T-schema)
sebagai dasar teori kebenaran. Namun, kritik muncul karena daftar semacam itu
tidak praktis dan sulit diformulasikan secara tuntas.⁶ Kritikus seperti Michael
Devitt menilai bahwa deflasi gagal menjelaskan bagaimana skema tak terhingga
ini bisa dimiliki agen epistemik terbatas.⁷
5.2.2.
Normativitas Kebenaran
Teori deflasi
dianggap tidak mampu menangkap aspek normatif kebenaran. Misalnya, ketika kita
berkata “keyakinan
haruslah benar”, terdapat dimensi normatif yang menghubungkan
kebenaran dengan rasionalitas, pembenaran, dan epistemologi.⁸ Jika kebenaran
hanya sekadar perangkat linguistik, bagaimana ia bisa menjelaskan peran
normatifnya dalam membimbing keyakinan dan tindakan?⁹
5.2.3.
Hubungan dengan Ilmu Pengetahuan
Kritik lain datang
dari filsafat ilmu. Teori deflasi tampak kurang memadai dalam menjelaskan peran
kebenaran dalam sains, di mana klaim kebenaran sering diperlakukan sebagai
tujuan regulatif penelitian.¹⁰ Richard Kirkham berpendapat bahwa deflasi tidak
dapat memadai untuk menjelaskan motivasi ilmiah, karena ilmuwan tidak hanya
mengulang proposisi, tetapi mencari kebenaran sebagai ideal epistemik.¹¹
5.2.4.
Masalah Paradoks
Teori deflasi juga
menghadapi masalah serius ketika berhadapan dengan paradoks
liar, seperti paradoks pembohong (liar paradox). Jika semua instansi
skema T diterima tanpa batasan, maka kita terjerumus pada kontradiksi.¹² Karena
itu, deflasionis seperti Horwich harus menambahkan pembatasan tertentu—yang
justru menimbulkan pertanyaan apakah teori ini tetap “deflasi” atau
diam-diam menyelundupkan komitmen substantif.¹³
5.3.
Perbandingan dengan
Teori Kebenaran Substantif
Jika dibandingkan
dengan teori kebenaran lain, posisi deflasi cukup unik:
·
Dibanding teori
korespondensi, deflasi lebih hemat ontologi karena tidak menganggap
adanya relasi metafisis “fakta–proposisi”. Namun, ia kehilangan daya jelaskan
tentang bagaimana bahasa berhubungan dengan realitas.¹⁴
·
Dibanding teori
koherensi, deflasi lebih sederhana, tetapi gagal menjelaskan struktur
rasionalitas internal dari sistem keyakinan.¹⁵
·
Dibanding teori
pragmatis, deflasi menghindari relativisme, tetapi tidak mampu
menjelaskan peran kegunaan praktis kebenaran dalam kehidupan manusia.¹⁶
Dengan demikian,
teori deflasi tampak unggul dalam kesederhanaan dan konsistensi logis, tetapi
lemah dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menjadi motivasi
tradisional filsafat tentang kebenaran.
5.4.
Signifikansi dalam
Diskursus Kontemporer
Meskipun mendapat
kritik, teori deflasi tetap berpengaruh besar. Ia mendorong filsafat bahasa dan
logika untuk memandang kebenaran sebagai konsep fungsional ketimbang substansial.¹⁷
Dalam filsafat analitik kontemporer, deflasi sering dijadikan titik awal
diskusi epistemologis dan semantik, bahkan oleh mereka yang menolak
kesimpulannya.¹⁸
Bahkan sebagian
filsuf kontemporer mencoba merumuskan hibrida: menggabungkan intuisi
deflasi (bahwa benar adalah perangkat linguistik)
dengan pandangan normatif bahwa kebenaran tetap memiliki fungsi regulatif dalam
ilmu pengetahuan dan epistemologi.¹⁹ Dengan cara ini, teori deflasi tetap
relevan, meskipun mungkin perlu dilengkapi untuk menjawab kelemahan-kelemahan
filosofisnya.
Footnotes
[1]
Bradley Armour-Garb, “Deflationism About Truth,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2021 Edition), ed. Edward N. Zalta, diakses
28 Agustus 2025, truth-deflationary.
[2]
Alfred Tarski, Logic, Semantics,
Metamathematics, ed. John Corcoran
(Indianapolis: Hackett, 1983), 152–155.
[3]
Marian David, The Correspondence
Theory of Truth (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 14–15.
[4]
Daniel Stoljar, “The Deflationary Theory of Truth,” Philosophy Compass 3,
no. 1 (2008): 5–7.
[5]
Simon Blackburn, Truth: A Guide for the
Perplexed (London: Allen Lane,
2005), 27–29.
[6]
Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1998),
36–38.
[7]
Michael Devitt, “Minimalist Truth: A Review of Paul Horwich, Truth,” Mind 100, no. 4
(1991): 566–73.
[8]
Anil Gupta, “Truth and Paradox,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2019 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth-paradox.
[9]
Ralph Walker, The Coherence Theory of
Truth (London: Routledge, 1989),
88–90.
[10]
Hilary Putnam, Reason, Truth and
History (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), 123–126.
[11]
Richard Kirkham, Theories of Truth: A
Critical Introduction (Cambridge,
MA: MIT Press, 1992), 74–77.
[12]
Saul A. Kripke, “Outline of a Theory of Truth,” Journal of Philosophy
72, no. 19 (1975): 690–716.
[13]
Horwich, Truth, 2nd ed., 45–47.
[14]
David, The Correspondence
Theory of Truth, 23–25.
[15]
Walker, The Coherence Theory of
Truth, 91–94.
[16]
William James, Pragmatism (Indianapolis: Hackett, 1981 [1907]), 97–102.
[17]
Armour-Garb, “Deflationism About Truth.”
[18]
Stoljar, “The Deflationary Theory of Truth,” 12–14.
[19]
Crispin Wright, Truth and Objectivity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992),
25–29.
6.
Relevansi Kontemporer
Teori deflasi
tentang kebenaran, sejak kemunculannya pada awal abad ke-20, tetap menjadi
salah satu topik penting dalam filsafat analitik kontemporer. Meskipun sering
dikritik karena kesederhanaannya yang ekstrem, teori ini tetap relevan karena
menawarkan pendekatan minimalis yang sangat berpengaruh dalam filsafat bahasa,
epistemologi, serta logika formal.
6.1.
Relevansi dalam
Filsafat Bahasa
Dalam filsafat
bahasa, teori deflasi membantu menjelaskan peran predikat “benar”
sebagai perangkat linguistik, bukan metafisis. Dengan pandangan ini, predikat
kebenaran dapat dipahami sebagai mekanisme penegasan ulang, generalisasi, dan penghilangan
kutip (disquotation) yang memudahkan
komunikasi.¹ Pandangan ini memengaruhi studi tentang makna (semantics)
dan penggunaan (pragmatics), karena menegaskan
bahwa fungsi kebenaran tidak lebih dari bagian dari praktik bahasa sehari-hari.²
Selain itu, teori
deflasi juga berkontribusi pada perdebatan tentang komposisionalitas
bahasa. Richard Heck menunjukkan bahwa teori diskuotasi dapat
dijadikan model untuk memahami bagaimana makna kalimat kompleks dibentuk dari
bagian-bagiannya tanpa memerlukan konsep kebenaran sebagai entitas independen.³
6.2.
Relevansi dalam
Epistemologi
Dalam epistemologi,
teori deflasi berimplikasi besar pada diskusi tentang normativitas kebenaran.
Sejumlah filsuf berargumen bahwa deflasi gagal menjelaskan peran normatif
kebenaran—misalnya, bahwa keyakinan seharusnya diarahkan pada kebenaran.⁴
Namun, pendukung deflasi seperti Paul Horwich berusaha menjawab kritik ini
dengan menegaskan bahwa normativitas kebenaran dapat dipahami melalui fungsi
praktis predikat benar dalam membimbing keyakinan
tanpa perlu mengandaikan kebenaran sebagai sifat substantif.⁵
Lebih jauh, Crispin
Wright mencoba mengembangkan apa yang disebut quasi-realism atau truth
pluralism, yang berupaya menggabungkan intuisi deflasi dengan
kebutuhan untuk mempertahankan fungsi regulatif kebenaran dalam pengetahuan.⁶
Hal ini menunjukkan bahwa teori deflasi tetap menjadi titik acuan utama, baik
bagi pendukung maupun bagi kritikusnya.
6.3.
Relevansi dalam
Filsafat Ilmu
Dalam konteks filsafat
ilmu, deflasi memiliki pengaruh dalam cara ilmuwan dan filsuf
memandang status klaim ilmiah. Hilary Putnam, meskipun bukan deflasionis,
mengakui bahwa teori deflasi menantang gagasan klasik bahwa kebenaran ilmiah
harus dijelaskan secara metafisis.⁷ Namun, kritik juga muncul: Richard Kirkham
menilai bahwa deflasi tidak memadai untuk menjelaskan peran ideal regulatif
kebenaran dalam ilmu pengetahuan.⁸ Meski demikian, gagasan deflasi tetap
relevan karena menekan ilmuwan untuk tidak berlebihan dalam menganggap
“kebenaran ilmiah” sebagai korespondensi sempurna dengan realitas, melainkan
sebagai perangkat konseptual yang berfungsi dalam praktik ilmiah.
6.4.
Relevansi dalam Logika
dan Semantik Formal
Dalam logika
dan semantik formal, teori deflasi berhubungan erat dengan definisi
semantik kebenaran yang diperkenalkan oleh Alfred Tarski.⁹
Pendekatan ini memperlihatkan bahwa konsep kebenaran dapat dirumuskan dalam
kerangka formal tanpa melibatkan metafisika tambahan. Pada level kontemporer,
teori deflasi menjadi acuan dalam diskusi tentang paradoks
semantik seperti paradoks pembohong. Saul Kripke, misalnya,
mengembangkan teori semantik parsial untuk menanggulangi paradoks tersebut, dan
kerangka ini sering dipertimbangkan bersama teori deflasi untuk mencari solusi
yang konsisten.¹⁰
6.5.
Kritik dan Modifikasi
Kontemporer
Meskipun banyak
digunakan, teori deflasi tetap menuai kritik. Pertama, beberapa filsuf menilai
bahwa deflasi terlalu reduktif karena gagal menjelaskan peran normatif
kebenaran dalam penalaran praktis dan ilmiah.¹¹ Kedua, problem generalisasi tak
terhingga tetap menjadi kelemahan teoretis utama.¹²
Namun, justru karena
kritik-kritik inilah teori deflasi tetap relevan. Para filsuf kontemporer tidak
sekadar meninggalkan deflasi, melainkan berusaha memodifikasi atau
melengkapinya. Beberapa pendekatan mutakhir mencoba memadukan deflasi dengan
pluralisme kebenaran, yaitu pandangan bahwa ada banyak cara sesuatu bisa benar
tergantung pada domain wacana (misalnya, sains, etika, atau matematika).¹³
Signifikansi
Keseluruhan
Secara keseluruhan,
teori deflasi tetap penting dalam filsafat kontemporer karena:
1)
Menjadi model dasar
untuk memahami kebenaran sebagai konsep linguistik minimalis.
2)
Memberikan kontribusi
metodologis dalam filsafat bahasa, epistemologi, dan logika formal.
3)
Menjadi lawan diskusi
permanen bagi teori-teori kebenaran substantif.
Dengan demikian,
meskipun teori deflasi mungkin tidak memadai untuk menjelaskan seluruh aspek
kebenaran, ia tetap relevan sebagai pijakan konseptual yang membentuk arah
diskusi filosofis modern tentang kebenaran.¹⁴
Footnotes
[1]
Bradley Armour-Garb, “Deflationism About Truth,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2021 Edition), ed. Edward N. Zalta, diakses
29 Agustus 2025, truth-deflationary.
[2]
Daniel Stoljar, “The Deflationary Theory of Truth,” Philosophy Compass 3,
no. 1 (2008): 5–6.
[3]
Richard K. Heck, “Disquotationalism and the Compositional Principles,” Philosophers’ Imprint
21, no. 3 (2021): 4–6.
[4]
Anil Gupta, “Truth and Paradox,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2019 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth-paradox.
[5]
Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1998),
37–40.
[6]
Crispin Wright, Truth and Objectivity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992),
25–29.
[7]
Hilary Putnam, Reason, Truth and
History (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), 123–126.
[8]
Richard Kirkham, Theories of Truth: A
Critical Introduction (Cambridge,
MA: MIT Press, 1992), 74–77.
[9]
Alfred Tarski, Logic, Semantics,
Metamathematics, ed. John Corcoran
(Indianapolis: Hackett, 1983), 152–155.
[10]
Saul A. Kripke, “Outline of a Theory of Truth,” Journal of Philosophy
72, no. 19 (1975): 690–716.
[11]
Michael Devitt, “Minimalist Truth: A Review of Paul Horwich, Truth,” Mind 100, no. 4
(1991): 566–73.
[12]
Horwich, Truth, 2nd ed., 45–47.
[13]
Michael P. Lynch, Truth in Context: An
Essay on Pluralism and Objectivity
(Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 10–14.
[14]
Armour-Garb, “Deflationism About Truth.”
7.
Penutup
Pembahasan mengenai teori deflasi (redundansi)
tentang kebenaran menunjukkan bahwa teori ini memiliki posisi yang unik
dalam peta filsafat kontemporer. Sejak perumusan awal oleh Frank P. Ramsey
(1927), gagasan deflasi berkembang melalui kontribusi Alfred Tarski, W.V.O.
Quine, Paul Horwich, serta teori prosentensial dari Grover–Camp–Belnap.¹
Semua varian ini berpijak pada pandangan dasar bahwa predikat “benar”
bukanlah sebuah properti metafisis, melainkan perangkat linguistik yang
bersifat logis dan ekspresif.²
Dari sisi keunggulan, teori deflasi menawarkan parsimoni
ontologis dan kesederhanaan logis. Dengan menegaskan bahwa
pernyataan seperti “‘P’ benar jika dan hanya jika P” sudah mencukupi,
teori ini menghindarkan filsafat dari komitmen metafisis yang berlebihan
sebagaimana terjadi pada teori korespondensi atau koherensi.³ Selain itu,
deflasi berhasil menjelaskan fungsi-fungsi penting predikat benar, seperti
generalisasi, penegasan ulang, dan ekonomi bahasa.⁴ Hal ini menjadikannya
sebagai salah satu teori yang paling elegan dalam menjelaskan penggunaan
praktis konsep kebenaran.
Namun, dari sisi keterbatasan, deflasi
menghadapi sejumlah kritik serius. Pertama, masalah normativitas: banyak
filsuf berpendapat bahwa deflasi gagal menjelaskan peran kebenaran sebagai
standar normatif bagi keyakinan dan pengetahuan.⁵ Kedua, masalah generalisasi
tak terbatas, khususnya pada varian minimalisme Horwich, yang bergantung
pada himpunan instansi tak berhingga dari skema T.⁶ Ketiga, deflasi juga
dinilai tidak cukup memadai dalam konteks filsafat ilmu, karena
mengabaikan peran kebenaran sebagai tujuan regulatif penelitian ilmiah.⁷
Meskipun demikian, teori deflasi tetap memiliki relevansi
kontemporer. Ia terus menjadi titik awal diskusi dalam filsafat bahasa,
epistemologi, dan logika formal, serta memengaruhi teori pluralisme kebenaran
yang mencoba menggabungkan aspek deflasi dengan kebutuhan normatif.⁸ Bahkan,
beberapa filsuf kontemporer mengakui bahwa meskipun teori deflasi mungkin tidak
mampu memberikan jawaban akhir mengenai “apa itu kebenaran,” ia tetap
berfungsi sebagai alat klarifikasi konseptual yang sangat penting dalam
filsafat modern.⁹
Dengan demikian, posisi teori deflasi dapat diringkas
sebagai berikut: ia adalah teori negatif-positif. Negatif, karena
menolak komitmen metafisis tentang kebenaran sebagai entitas substantif;
positif, karena menegaskan peran praktis dan linguistik dari predikat benar.¹⁰
Pada akhirnya, meskipun teori deflasi bukanlah penjelasan tuntas mengenai
kebenaran, ia tetap menjadi kontribusi besar bagi filsafat analitik modern—baik
sebagai teori minimalis maupun sebagai tantangan kritis bagi teori-teori
kebenaran substantif.¹¹
Footnotes
[1]
Frank P. Ramsey, “Facts and
Propositions,” Proceedings of the Aristotelian Society, Supplementary Volume
7 (1927): 153–206; Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics, ed.
John Corcoran (Indianapolis: Hackett, 1983); W. V. O. Quine, Philosophy of
Logic (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1970); Paul Horwich, Truth,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1998); Dorothy L. Grover, Joseph L.
Camp Jr., dan Nuel D. Belnap Jr., “A Prosentential Theory of Truth,” Philosophical
Studies 27, no. 2 (1975): 73–125.
[2]
Bradley Armour-Garb, “Deflationism
About Truth,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2021
Edition), ed. Edward N. Zalta, diakses 29 Agustus 2025, truth-deflationary.
[3]
Alfred Tarski, Logic, Semantics,
Metamathematics, 152–155.
[4]
Daniel Stoljar, “The Deflationary
Theory of Truth,” Philosophy Compass 3, no. 1 (2008): 5–7.
[5]
Anil Gupta, “Truth and Paradox,”
dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2019 Edition), ed.
Edward N. Zalta, truth-paradox.
[6]
Michael Devitt, “Minimalist Truth: A
Review of Paul Horwich, Truth,” Mind 100, no. 4 (1991): 566–73.
[7]
Richard Kirkham, Theories of
Truth: A Critical Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 74–77.
[8]
Crispin Wright, Truth and
Objectivity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992), 25–29.
[9]
Simon Blackburn, Truth: A Guide
for the Perplexed (London: Allen Lane, 2005), 119–122.
[10]
Armour-Garb, “Deflationism About
Truth.”
[11]
Paul Horwich, Truth, 2nd ed.,
45–47.
Daftar
Pustaka
Armour-Garb, B. (2021). Deflationism about truth.
In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer
2021 Edition). Stanford University. truth-deflationary
Blackburn, S. (2005). Truth: A guide for the
perplexed. London: Allen Lane.
David, M. (1994). The correspondence theory of
truth. Cambridge: Cambridge University Press.
David, M. (2008). Tarski’s Convention T and the
concept of truth. In D. Patterson (Ed.), New essays on Tarski and philosophy
(pp. 133–157). Oxford: Oxford University Press.
Devitt, M. (1991). Minimalist truth: A review of Paul
Horwich, Truth. Mind, 100(4), 566–573.
Grover, D. L., Camp, J. L., Jr., & Belnap, N. D.
(1975). A prosentential theory of truth. Philosophical Studies, 27(2),
73–125.
Gupta, A. (2019). Truth and paradox. In E. N.
Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2019
Edition). Stanford University. truth-paradox
Heck, R. K. (2021). Disquotationalism and the
compositional principles. Philosophers’ Imprint, 21(3), 1–27.
Horwich, P. (1998). Truth (2nd ed.). Oxford:
Oxford University Press.
James, W. (1981). Pragmatism. Indianapolis:
Hackett. (Original work published 1907)
Kemp, G. (2024). Quine’s Tarskian angle on truth. Philosophers’
Imprint, 24, 1–18.
Kirkham, R. (1992). Theories of truth: A critical
introduction. Cambridge, MA: MIT Press.
Kripke, S. A. (1975). Outline of a theory of truth. Journal
of Philosophy, 72(19), 690–716.
Lynch, M. P. (1998). Truth in context: An essay on
pluralism and objectivity. Cambridge, MA: MIT Press.
O’Leary-Hawthorne, J. (1997). Minimalism and truth.
Manuscript.
Putnam, H. (1981). Reason, truth and history.
Cambridge: Cambridge University Press.
Quine, W. V. O. (1970). Philosophy of logic.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Quine, W. V. O. (1986). Philosophy of logic
(2nd ed.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Ramsey, F. P. (1927). Facts and propositions. Proceedings
of the Aristotelian Society, Supplementary Volume, 7, 153–206.
Raatikainen, P. (2005). On Horwich’s way out. Analysis,
65(2), 142–146.
Stoljar, D. (2008). The deflationary theory of truth. Philosophy
Compass, 3(1), 1–16.
Tarski, A. (1983). Logic, semantics,
metamathematics (J. Corcoran, Ed.). Indianapolis: Hackett. (Original work
published 1956)
Walker, R. (1989). The coherence theory of truth.
London: Routledge.
Wright, C. (1992). Truth and objectivity.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Zalta, E. N. (Ed.). (2025). Truth. In The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Fall 2025 Edition). Stanford University. truth
Zalta, E. N. (Ed.). (n.d.). Semantic theory of
truth. In The Internet Encyclopedia of Philosophy. Retrieved August
28, 2025, from s-truth

Tidak ada komentar:
Posting Komentar