Senin, 02 Juni 2025

Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika

Madilog

Materialisme, Dialektika, dan Logika


Alihkan ke: Pemikiran Tan Malaka.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara kritis pemikiran Tan Malaka dalam karya monumentalnya, Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika, yang ditulis pada masa penjajahan Jepang sebagai respons terhadap struktur berpikir mistik dan feodal yang mendominasi masyarakat Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan historis-tekstual dan filsafat kritis, artikel ini menelaah bangunan epistemologis Madilog sebagai proyek pencerahan dan pembebasan bangsa melalui penguatan rasionalitas ilmiah. Penelitian ini menemukan bahwa Tan Malaka mengusulkan sistem berpikir alternatif berbasis materialisme dialektis dan logika ilmiah yang tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga praksis. Madilog tampil sebagai proyek emansipatoris yang bertujuan untuk membentuk kesadaran kritis dan membebaskan nalar rakyat dari dominasi kolonial, dogma religius, dan feodalisme. Namun, artikel ini juga menyoroti sejumlah keterbatasan epistemologis Madilog, terutama kecenderungannya pada reduksionisme materialis dan ketertutupan terhadap bentuk-bentuk pengetahuan non-rasional. Meski demikian, Madilog tetap memiliki relevansi dalam konteks kontemporer, terutama dalam membangun literasi kritis, etos ilmiah, dan rasionalitas politik. Artikel ini merekomendasikan pembacaan ulang Madilog dalam dialog dengan keragaman epistemologi lokal untuk memperluas jangkauan transformasi sosial yang lebih inklusif.

Kata Kunci: Tan Malaka, Madilog, epistemologi kritis, materialisme dialektis, logika ilmiah, rasionalitas, mistisisme, feodalisme, emansipasi, filsafat Indonesia.


PEMBAHASAN

Kajian Kritis atas Pemikiran Tan Malaka dalam Madilog


1.           Pendahuluan

Pemikiran Tan Malaka merupakan salah satu pilar penting dalam sejarah intelektual dan politik Indonesia modern. Sebagai tokoh revolusioner, ideolog, dan penulis, Tan Malaka menorehkan warisan intelektual yang unik melalui Madilog—singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika—yang ia tulis di tengah pengasingannya di Asia Tenggara pada awal 1940-an. Buku ini tidak sekadar merupakan catatan ideologis, tetapi lebih sebagai proyek intelektual besar yang bertujuan untuk mentransformasikan cara berpikir masyarakat Indonesia yang kala itu masih banyak dipengaruhi oleh mistisisme, takhayul, dan warisan feodalisme kolonial.¹

Dalam Madilog, Tan Malaka berupaya memperkenalkan sistem berpikir rasional yang berakar pada prinsip-prinsip ilmiah dan logika modern. Ia menggugat keberadaan cara berpikir yang ia sebut sebagai “mistik dan feodal,” dan menyarankan penerapan cara berpikir ilmiah berbasis materialisme dialektis untuk mewujudkan emansipasi bangsa.² Gagasan ini tidak terlepas dari pengaruh kuat filsafat materialisme dialektis Marxisme yang Tan Malaka pelajari secara mendalam selama masa hidupnya di Belanda dan Uni Soviet.³ Namun demikian, Madilog bukanlah duplikasi mekanis dari Marxisme klasik; Tan Malaka menyesuaikan prinsip-prinsipnya dengan realitas sosial dan kultural Indonesia, menjadikannya sebagai model rasionalitas revolusioner yang kontekstual dan progresif.⁴

Urgensi kajian kritis terhadap Madilog semakin terasa mengingat relevansinya dengan problem-problem kontemporer seperti kebodohan struktural, subordinasi nalar kritis dalam pendidikan, dan dominasi wacana pragmatis dalam politik. Dalam era ketika rasionalitas sering dikalahkan oleh populisme dan anti-intelektualisme, pemikiran Tan Malaka menawarkan kerangka epistemologis yang menantang status quo. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menelaah isi dan metode berpikir dalam Madilog secara mendalam, dengan pendekatan kritis yang berpijak pada kerangka filsafat ilmu dan dialektika historis.

Rumusan masalah dalam kajian ini mencakup: (1) bagaimana struktur pemikiran Tan Malaka dalam Madilog merefleksikan upaya pembangunan rasionalitas bangsa?, (2) sejauh mana Madilog merepresentasikan sintesis antara tradisi berpikir Timur dan Barat?, dan (3) apa relevansi epistemologis dan praksis dari Madilog dalam konteks Indonesia kontemporer?

Kajian ini menggunakan pendekatan historis-tekstual dan filsafat kritis sebagai metode utama. Pendekatan historis digunakan untuk memetakan konteks sosio-politik yang melatarbelakangi penulisan Madilog, sedangkan pendekatan filsafat kritis digunakan untuk menilai kekuatan dan kelemahan dari sistem berpikir Tan Malaka secara argumentatif dan konseptual. Dengan demikian, pembacaan atas Madilog dalam artikel ini tidak dimaksudkan sebagai glorifikasi terhadap tokohnya, tetapi sebagai upaya intelektual untuk menilai kembali kontribusi Tan Malaka terhadap pembangunan nalar kritis dan rasionalitas bangsa Indonesia.


Footnotes

[1]                Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Jakarta: KITLV dan Pustaka Utama Grafiti, 2008), 635.

[2]                Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (Jakarta: Narasi, 2016), 13–15.

[3]                Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri, 2012), 112–114.

[4]                Amir Sjarifuddin, “Tan Malaka dan Dialektika Sejarah,” dalam Pemikiran Politik Kiri Indonesia (Yogyakarta: Resist Book, 2004), 88–90.


2.           Biografi Intelektual Tan Malaka

Tan Malaka, yang bernama asli Ibrahim Datuk Tan Malaka, lahir pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, dalam lingkungan Minangkabau yang sarat dengan tradisi intelektual Islam dan etos merantau.¹ Sejak usia muda, Tan Malaka telah menunjukkan ketertarikan pada dunia pengetahuan dan ide-ide besar. Ia memperoleh pendidikan awal di Sekolah Raja di Bukittinggi, kemudian melanjutkan ke Rijkskweekschool (sekolah guru Belanda) di Haarlem, Belanda, pada 1913.² Pendidikan ini memainkan peran penting dalam membentuk dasar pemikirannya, terutama dalam penguasaan bahasa, ilmu alam, dan pengenalan terhadap filsafat Barat.

Di Belanda, Tan Malaka mulai bersentuhan dengan pemikiran sosialis, Marxisme, dan gerakan kiri internasional. Ia membaca karya-karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin, serta aktif dalam diskusi-diskusi politik di kalangan mahasiswa Hindia Belanda dan tokoh-tokoh sosialis Eropa.³ Ketika kembali ke tanah air, ia mengembangkan pandangan revolusioner yang berakar pada ide pembebasan kelas tertindas dan kemerdekaan nasional dari imperialisme Belanda.

Namun, karier perjuangannya tidak berlangsung secara linear. Karena aktivitas politiknya yang dianggap radikal dan mengancam otoritas kolonial, Tan Malaka mengalami penangkapan, pengasingan, dan pelarian di berbagai negara Asia dan Eropa. Antara tahun 1922 hingga 1942, ia hidup dalam pelarian di Filipina, Siam, Burma, China, dan Jepang.⁴ Selama masa-masa ini, Tan Malaka tidak hanya bergerak sebagai aktivis politik, tetapi juga sebagai pengamat dan penulis intelektual yang terus mengembangkan pemikiran kritisnya.

Puncak dari pergulatan intelektual tersebut terwujud dalam karyanya Madilog, yang ditulis selama masa persembunyian di Batavia sekitar tahun 1942–1943, dalam situasi penuh ketegangan akibat pendudukan militer Jepang.⁵ Buku ini menjadi manifestasi filsafat praksis Tan Malaka, sebagai hasil sintesis antara pengetahuan Eropa modern (khususnya Marxisme dan logika Barat) dengan kesadaran sosial Indonesia yang tengah mencari arah pembebasan. Dalam Madilog, Tan Malaka menunjukkan dirinya bukan sekadar revolusioner jalanan, melainkan seorang intelektual organik dalam pengertian Gramscian—yang berupaya menyadarkan massa melalui pendidikan dan transformasi cara berpikir.⁶

Biografi intelektual Tan Malaka memperlihatkan transformasi dari seorang pelajar kolonial menjadi tokoh revolusioner dan filsuf pembebasan. Gaya berpikirnya tidak dogmatis, tetapi reflektif dan dialektis. Ia bukan hanya mengimpor Marxisme, tetapi membumikannya dalam realitas Indonesia yang plural, agraris, dan spiritual. Dalam konteks inilah Madilog dapat dipahami sebagai hasil dari perjalanan intelektual yang panjang dan penuh pengorbanan, sekaligus sebagai upaya membentuk fondasi rasionalitas kritis bagi bangsa yang sedang menuju kemerdekaan.


Footnotes

[1]                Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Jakarta: KITLV dan Pustaka Utama Grafiti, 2008), 35–37.

[2]                Tempo, Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), 19–21.

[3]                Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 64–66.

[4]                Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri, 2012), 98–101.

[5]                Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (Jakarta: Narasi, 2016), viii.

[6]                Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks (New York: International Publishers, 1971), 10–12.


3.           Struktur dan Isi Pokok Madilog

Karya Madilog yang ditulis oleh Tan Malaka pada masa pendudukan Jepang (1942–1943) di Jakarta merupakan sebuah proyek pemikiran monumental yang bertujuan untuk merevolusi cara berpikir bangsa Indonesia. Buku ini menyatukan tiga kerangka epistemologis utama: Materialisme, Dialektika, dan Logika, yang secara keseluruhan dirancang untuk menggantikan pola pikir “mistik-feodal” yang menurut Tan Malaka menghambat perkembangan rasionalitas dan kemerdekaan nasional.¹ Dengan kata lain, Madilog merupakan upaya pembentukan fondasi berpikir ilmiah dan kritis yang dapat mendorong emansipasi intelektual dan sosial-politik rakyat Indonesia.

Secara struktur, Madilog terdiri dari delapan bab utama, yang membentang dari pembahasan mengenai pengaruh mistik dan metafisika dalam masyarakat kolonial, hingga eksplorasi sistematis terhadap prinsip-prinsip materialisme, dialektika, dan logika ilmiah.² Buku ini tidak ditulis dengan sistematika akademik yang kaku, melainkan menggunakan gaya argumentatif naratif yang bersifat persuasif dan populis. Hal ini menunjukkan bahwa Tan Malaka tidak hanya berbicara kepada kalangan intelektual, tetapi juga berupaya menjangkau rakyat luas dengan bahasa yang dapat mereka pahami.

Bab-bab awal Madilog membahas kondisi berpikir rakyat Indonesia yang masih tunduk pada pengaruh tradisi mistik, tahayul, dan otoritas feodal.³ Dalam bagian ini, Tan Malaka mengidentifikasi “mistik-metafisika-feodalisme” sebagai struktur kognitif yang diwariskan oleh kolonialisme dan diperkuat oleh sistem pendidikan yang tidak ilmiah. Dengan tegas, ia menilai bahwa cara berpikir seperti itu menjadi penghalang utama bagi kemajuan bangsa dan perlu digantikan oleh “jalan pikiran ilmiah dan logis.”⁴

Setelah itu, Tan Malaka memperkenalkan konsep materialisme sebagai fondasi pengetahuan ilmiah. Berbeda dengan materialisme metafisika yang dianggapnya sempit, ia lebih mendekati materialisme dialektis ala Marx dan Engels—sebuah pandangan bahwa dunia ini bersifat material dan berkembang melalui kontradiksi-kontradiksi internal yang bersifat dinamis.⁵ Dalam pandangan ini, realitas dipahami sebagai sesuatu yang bergerak, berubah, dan tidak statis, serta harus dipahami secara historis dan dialektis.

Selanjutnya, bab-bab tengah Madilog membahas dialektika sebagai metode berpikir yang mengedepankan pertentangan, negasi, dan transformasi dalam memahami kenyataan.⁶ Tan Malaka menolak cara berpikir yang linier dan dogmatis, serta mendorong penggunaan dialektika sebagai alat analisis sosial yang kritis. Ia menyebut bahwa dialektika bukan sekadar teori filsafat, melainkan metode aktif dalam melihat perubahan sosial dan perjuangan politik.

Bagian terakhir buku ini membahas logika, terutama logika ilmiah yang menjadi sarana berpikir sistematis dan rasional. Ia membedakan antara logika “mistik” dan logika ilmiah—yang pertama bersifat dogmatis dan tertutup, sedangkan yang kedua terbuka terhadap koreksi dan berdasarkan pada observasi empiris.⁷ Tan Malaka mendorong penggunaan logika dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pendidikan dan penyusunan strategi politik rakyat.

Secara keseluruhan, Madilog adalah sintesis antara tiga elemen penting berpikir modern: (1) Materialisme sebagai fondasi ontologis; (2) Dialektika sebagai metode memahami perubahan; dan (3) Logika ilmiah sebagai instrumen berpikir rasional. Ketiganya membentuk kerangka epistemologis yang bertujuan untuk mentransformasikan kesadaran rakyat dari ketundukan pada mitos dan kekuasaan, menuju kemandirian intelektual dan pembebasan politik.

Namun yang membuat Madilog istimewa bukan hanya isinya, melainkan juga orientasinya: Tan Malaka tidak menulis untuk menara gading, tetapi untuk rakyat. Ia mengintegrasikan pembahasan ilmiah dengan semangat perjuangan, menjadikan Madilog sebagai manifestasi pemikiran revolusioner yang berbasis pada rasionalitas praksis.⁸ Dalam kerangka itu, Madilog menjadi bukan hanya buku, tetapi juga instrumen ideologis dan pedagogis bagi perubahan struktural bangsa.


Footnotes

[1]                Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (Jakarta: Narasi, 2016), 9–11.

[2]                Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Jakarta: KITLV dan Pustaka Utama Grafiti, 2008), 645.

[3]                Tan Malaka, Madilog, 15–20.

[4]                Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 76.

[5]                Karl Marx dan Friedrich Engels, The German Ideology, ed. C.J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 42–46.

[6]                Tan Malaka, Madilog, 63–74.

[7]                Ibid., 81–89.

[8]                Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri, 2012), 125–127.


4.           Materialisme dalam Madilog

Materialisme merupakan pilar pertama dan sekaligus fondasi ontologis dalam konstruksi pemikiran Madilog. Tan Malaka memulai pembahasannya tentang materialisme sebagai bentuk perlawanan terhadap cara berpikir metafisis dan spiritualistik yang dianggap mendominasi kesadaran kolektif bangsa Indonesia pada masa kolonial. Dalam pandangannya, keberlangsungan sistem kolonial dan feodalisme sangat berkaitan dengan keberadaan pola pikir yang tidak rasional, mistik, dan anti-ilmiah. Oleh karena itu, materialisme dalam Madilog tidak hanya dimaksudkan sebagai pandangan filsafat, melainkan juga sebagai alat pembebasan ideologis.¹

Tan Malaka membedakan secara eksplisit antara materialisme metafisis dan materialisme dialektis. Materialisme metafisis dianggap bersifat mekanistik dan statis, karena memandang dunia sebagai kumpulan benda-benda mati yang tidak berubah kecuali oleh kekuatan eksternal.² Sebaliknya, Tan Malaka menempatkan dirinya dalam tradisi materialisme dialektis, yaitu sebuah pandangan yang meyakini bahwa dunia materi bukan hanya nyata, tetapi juga bergerak, berubah, dan berkembang karena kontradiksi internal di dalamnya.³ Dalam konteks ini, ia jelas menunjukkan pengaruh dari Marx, Engels, dan Lenin, tetapi dengan pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia.

Tan Malaka menulis bahwa “Segala kejadian dan perubahan dalam dunia ini adalah kejadian dan perubahan dalam dunia nyata, yang bisa dipelajari dengan jalan pengalaman dan percobaan, dan yang bergerak menurut hukum-hukum alam.”⁴ Pandangan ini menegaskan posisi empiris-rasional dalam kerangka berpikirnya. Materialisme bagi Tan Malaka bukan hanya keyakinan bahwa dunia bersifat material, melainkan juga keyakinan bahwa segala kebenaran harus diverifikasi melalui pengalaman inderawi dan pembuktian ilmiah. Ini merupakan langkah awal menuju apa yang disebutnya sebagai “jalan pikiran ilmiah.”

Kendati Madilog banyak mengacu pada kerangka Marxisme, pendekatan Tan Malaka terhadap materialisme memperlihatkan kekhasan tersendiri. Ia tidak menyalin secara mekanis teori-teori Barat, tetapi mencoba membumikan prinsip materialisme ke dalam konteks sosial Indonesia yang penuh dengan kepercayaan mistik, ketundukan terhadap otoritas tradisional, serta ketimpangan pendidikan. Dalam hal ini, materialisme Madilog bisa dibaca sebagai bentuk “materialisme pedagogis,” yakni upaya untuk mendidik bangsa agar melepaskan diri dari cara berpikir irasional menuju cara berpikir objektif dan kritis.⁵

Namun demikian, pendekatan Tan Malaka terhadap materialisme tidak bebas dari kritik. Beberapa pengamat menilai bahwa konsepsi materialismenya cenderung mengandung reduksionisme epistemologis, karena menolak kemungkinan validitas pengetahuan non-material, seperti pengalaman religius atau spiritualitas lokal.⁶ Dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik, pandangan yang terlalu menekankan pada materialisme ilmiah dapat bersinggungan dengan sistem nilai kultural yang tidak sepenuhnya rasional dalam pengertian positivistik. Di sinilah letak ketegangan antara Madilog sebagai proyek pencerahan dan kompleksitas realitas budaya yang coba diubahnya.

Meski begitu, kontribusi Tan Malaka dalam memperkenalkan materialisme sebagai alat berpikir ilmiah tidak dapat diabaikan. Ia berhasil memformulasikan suatu sistem filsafat yang bersifat transformatif dan kontekstual. Materialisme Madilog bukan sekadar doktrin ontologis, melainkan juga strategi pembebasan dan pengembangan nalar kritis bangsa. Dalam konteks ini, Tan Malaka menempati posisi penting sebagai pelopor penerapan prinsip materialisme dialektis dalam diskursus pemikiran Indonesia modern.⁷


Footnotes

[1]                Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (Jakarta: Narasi, 2016), 13–15.

[2]                Ibid., 45–48.

[3]                Karl Marx dan Friedrich Engels, The German Ideology, ed. C.J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 42–46.

[4]                Tan Malaka, Madilog, 52.

[5]                Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri, 2012), 126.

[6]                Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (Bandung: Mizan, 2001), 108–110.

[7]                Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 78.


5.           Dialektika dalam Madilog

Dialektika merupakan komponen kedua dalam sistem filsafat yang dirumuskan Tan Malaka dalam Madilog. Bersama materialisme dan logika, dialektika menjadi kerangka metodologis untuk memahami perubahan realitas sosial dan alam semesta secara dinamis. Dalam pengertian Tan Malaka, dialektika bukan sekadar teknik retorika atau perdebatan logis, melainkan metode berpikir yang memungkinkan manusia memahami gerak dan kontradiksi dalam kehidupan nyata.¹

Tan Malaka secara eksplisit merujuk pada tradisi dialektika Hegel dan Marx, tetapi menolak aspek metafisis dari dialektika idealis Hegel yang menempatkan ide sebagai realitas primer.² Sebaliknya, ia mengadopsi dialektika materialis dalam pengertian Marxis, yang menekankan bahwa perubahan dalam masyarakat dan alam berasal dari kontradiksi internal dalam struktur material itu sendiri.³ Dalam Madilog, ia menulis, “Gerakan dan perubahan itu bukan berasal dari luar, melainkan dari dalam, dari pertentangan dalam sesuatu hal itu sendiri.”⁴ Pernyataan ini menunjukkan bahwa Tan Malaka memaknai dialektika sebagai prinsip inheren dalam kenyataan, bukan sekadar sebagai alat refleksi.

Sebagai metode, dialektika digunakan oleh Tan Malaka untuk mengajak rakyat berpikir tidak secara linier dan statis, melainkan secara kritis dan historis. Ia menggambarkan realitas sosial-politik Indonesia sebagai arena pertentangan antara kekuatan-kekuatan progresif dan kekuatan-kekuatan reaksioner. Oleh karena itu, dialektika menjadi alat analisis yang sangat penting dalam membaca perubahan sosial. Ia mencontohkan bahwa mistik dan feodalisme bukanlah kondisi yang abadi, tetapi merupakan produk sejarah yang dapat diubah melalui perjuangan kolektif.⁵

Pendekatan dialektis dalam Madilog juga dapat dilihat sebagai upaya mendemokratisasi filsafat. Tan Malaka tidak menyajikan dialektika sebagai konsep abstrak atau esoterik, tetapi sebagai metode berpikir yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ia memberi contoh-contoh konkret, seperti pertumbuhan tanaman, revolusi alam, atau dinamika masyarakat sebagai bentuk manifestasi dialektika dalam realitas empiris.⁶ Dengan demikian, dialektika dalam Madilog tidak bersifat spekulatif, tetapi praksis dan terarah pada aksi.

Namun demikian, penerapan dialektika oleh Tan Malaka tidak sepenuhnya bebas dari problematika. Dalam upayanya menyederhanakan dialektika agar dapat dipahami oleh rakyat kebanyakan, ia terkadang mengabaikan kompleksitas epistemologis dari tradisi dialektika itu sendiri. Beberapa pengamat menyebut pendekatannya sebagai populis-radikal, karena cenderung menekankan utilitas politis dialektika daripada ketelitian logisnya.⁷ Akan tetapi, pendekatan ini justru memperlihatkan karakter khas Madilog sebagai filsafat revolusioner yang tidak hanya ditujukan untuk memahami dunia, tetapi juga untuk mengubahnya.

Dari sisi filsafat ilmu, dialektika dalam Madilog menempati posisi metodologis yang kuat. Ia berfungsi sebagai penghubung antara prinsip ontologis materialisme dan kerangka rasional logika ilmiah. Dengan kata lain, dialektika adalah mekanisme dinamis yang menggerakkan sistem berpikir Tan Malaka secara keseluruhan.⁸ Dalam konteks bangsa yang tengah berjuang untuk kemerdekaan, pemanfaatan dialektika sebagai metode kesadaran kritis menegaskan Madilog sebagai upaya pembebasan yang bersifat epistemologis dan politis sekaligus.


Footnotes

[1]                Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (Jakarta: Narasi, 2016), 61.

[2]                Friedrich Hegel, The Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 27–32.

[3]                Karl Marx dan Friedrich Engels, Dialectics of Nature, ed. and trans. C. Dutt (New York: International Publishers, 1940), 131–135.

[4]                Tan Malaka, Madilog, 63.

[5]                Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 85.

[6]                Tan Malaka, Madilog, 66–70.

[7]                Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri, 2012), 132.

[8]                Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Jakarta: KITLV dan Pustaka Utama Grafiti, 2008), 655.


6.           Logika sebagai Pilar Ketiga

Dalam kerangka pemikiran Madilog, logika merupakan pilar ketiga yang melengkapi prinsip materialisme dan dialektika. Jika materialisme menjadi fondasi ontologis dan dialektika sebagai metode perubahan, maka logika adalah alat epistemologis yang memungkinkan manusia berpikir secara sistematis, teratur, dan dapat dipertanggungjawabkan.¹ Tan Malaka memandang bahwa tanpa logika, pemahaman terhadap kenyataan akan terjebak pada kesimpulan-kesimpulan prematur, irasional, bahkan menyesatkan. Oleh karena itu, ia menempatkan logika sebagai sarana revolusi mental yang esensial dalam pembentukan manusia Indonesia yang bebas dan rasional.

Tan Malaka membedakan dengan tajam antara logika ilmiah dan logika mistik. Yang pertama berdasarkan pada kaidah-kaidah berpikir rasional, observasi empiris, dan verifikasi; sementara yang kedua bersandar pada dogma, otoritas tradisional, dan asumsi-asumsi metafisik yang tidak dapat diuji secara kritis.² Dalam Madilog, ia menulis bahwa “kebanyakan rakyat Indonesia dididik dengan logika mistik yang tidak mencari sebab akibat, melainkan menerima segala kejadian sebagai kehendak roh, dewa, atau kekuatan gaib.”³ Pernyataan ini tidak hanya mengandung kritik terhadap warisan kultural-feodal, tetapi juga seruan untuk menggantinya dengan logika ilmiah sebagai fondasi pendidikan dan pembangunan nasional.

Pemahaman Tan Malaka terhadap logika banyak dipengaruhi oleh logika Aristotelian (silogisme) dan logika ilmiah modern yang berkembang dalam tradisi empirisme dan positivisme. Namun, ia tidak hanya meminjam kerangka dari Barat, melainkan menyesuaikannya dengan konteks dan tujuan emansipatoris masyarakat Indonesia.⁴ Logika ilmiah versi Madilog bersifat praktis—bukan sekadar alat analisis formal, tetapi sarana untuk melatih rakyat berpikir kritis dalam menghadapi realitas sosial dan politik yang menindas. Dalam hal ini, logika bukanlah tujuan akhir, tetapi instrumen transformatif.

Dalam Madilog, Tan Malaka menyusun beberapa prinsip berpikir logis yang dapat digunakan untuk membongkar kebodohan struktural. Ia menekankan pentingnya berpikir kausal (sebab-akibat), berpikir konsisten (tidak kontradiktif), dan berpikir berdasarkan bukti.⁵ Dengan prinsip-prinsip ini, ia berharap rakyat tidak lagi tunduk pada takhayul atau dogma feodal, melainkan mampu membangun kesadaran kritis dan otonomi intelektual. Hal ini sangat penting dalam strategi pembebasan nasional, karena logika ilmiah merupakan dasar dari pengambilan keputusan rasional dalam organisasi, politik, dan perjuangan sosial.

Namun demikian, gagasan Tan Malaka tentang logika juga memunculkan beberapa catatan kritis. Ia sangat menekankan pentingnya berpikir rasional dalam kerangka ilmu empiris, tetapi hampir tidak memberi ruang bagi bentuk-bentuk pengetahuan lain yang berkembang dalam tradisi spiritual atau kearifan lokal.⁶ Dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural dan berakar pada warisan kultural yang kompleks, pendekatan logika yang terlalu positivistik dapat dianggap sebagai bentuk reduksionisme epistemologis.⁷ Maka, relevansi logika Madilog perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan integrasi antara rasionalitas ilmiah dan nilai-nilai kultural yang hidup dalam masyarakat.

Meski demikian, kontribusi Tan Malaka tetap besar dalam meletakkan dasar pemikiran logis dan ilmiah di tengah bangsa yang saat itu belum memiliki sistem pendidikan massal yang kuat. Gagasannya tentang logika tidak hanya penting secara intelektual, tetapi juga strategis dalam konteks perjuangan anti-kolonial. Dengan menjadikan logika sebagai alat pembebasan, Tan Malaka membuktikan bahwa filsafat dapat menjadi instrumen praksis untuk transformasi sosial.⁸


Footnotes

[1]                Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (Jakarta: Narasi, 2016), 79–80.

[2]                Ibid., 81–85.

[3]                Ibid., 84.

[4]                Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 87.

[5]                Tan Malaka, Madilog, 86–93.

[6]                Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (Bandung: Mizan, 2001), 112–115.

[7]                Franz Magnis-Suseno, Etika Sosial: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 54.

[8]                Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri, 2012), 133–134.


7.           Madilog dan Kritik terhadap Mistisisme-Feodalisme

Salah satu ciri paling menonjol dari Madilog adalah kritik Tan Malaka yang tajam terhadap apa yang ia sebut sebagai “cara berpikir mistik dan feodal.”¹ Bagi Tan Malaka, keberadaan pola pikir semacam ini bukan sekadar masalah kultural, melainkan juga merupakan fondasi ideologis dari ketertinggalan, ketundukan politik, dan kemiskinan intelektual bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Madilog bukan hanya merupakan risalah filsafat, tetapi juga merupakan proyek dekonstruksi terhadap struktur mentalitas yang dianggap memperkuat dominasi kolonial dan menghambat rasionalitas nasional.

Mistisisme, menurut Tan Malaka, adalah cara pandang yang menempatkan kekuatan adikodrati—seperti roh, dewa, atau takdir sebagai penentu utama peristiwa alam dan sosial.² Cara berpikir ini, menurutnya, membunuh rasa ingin tahu ilmiah dan menutup kemungkinan munculnya nalar kritis. Feodalisme, di sisi lain, adalah sistem sosial-politik yang mengagungkan hierarki, patronase, dan kepatuhan tanpa kritik terhadap kekuasaan tradisional atau kolonial.³ Kedua unsur ini saling melanggengkan dan menciptakan struktur kognitif yang pasif, fatalistik, serta mudah dieksploitasi oleh kekuatan luar.

Dalam Madilog, Tan Malaka secara eksplisit menulis bahwa bangsa Indonesia harus “meninggalkan jalan pikiran mistik dan feodal serta mengambil jalan pikiran ilmiah.”⁴ Seruan ini bukan sekadar retorika, melainkan refleksi dari upaya radikal untuk membentuk homo rationalis—manusia Indonesia yang berpikir berdasarkan fakta, logika, dan hukum-hukum alam. Ia percaya bahwa hanya melalui jalan pikiran ilmiah, rakyat Indonesia dapat membebaskan diri dari penjajahan fisik maupun mental.

Kritik terhadap mistisisme dan feodalisme dalam Madilog juga mengandung dimensi ideologis. Tan Malaka menyadari bahwa kolonialisme Belanda sangat bergantung pada pelestarian struktur feodal lokal dan praktik mistik religio-magis sebagai alat legitimasi.⁵ Oleh karena itu, penyerangan terhadap kedua bentuk kesadaran ini merupakan bagian dari strategi revolusioner untuk menghancurkan struktur hegemonik kolonial dari akarnya. Dalam hal ini, Madilog dapat dipahami sebagai perangkat dekolonisasi epistemologis yang mencoba membebaskan rakyat dari bentuk-bentuk subordinasi mental.

Namun demikian, kritik Tan Malaka terhadap mistisisme dan feodalisme tidak bebas dari problem. Beberapa pemikir pascakolonial menilai pendekatannya cenderung terlalu rationalist-centered, hingga berisiko menafsirkan seluruh warisan budaya non-Barat sebagai irasional atau tidak ilmiah.⁶ Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk secara spiritual dan adat, pendekatan seperti ini dapat berujung pada semacam kolonialisme epistemik dalam bentuk baru—yakni pemaksaan nalar Barat atas keragaman lokal.

Kritik ini mendapat penguatan dari sejumlah pemikir Indonesia seperti Kuntowijoyo dan Nurcholish Madjid yang berpendapat bahwa transformasi intelektual Indonesia harus dilakukan melalui pendekatan kontekstualisasi kultural, bukan pemutusan total terhadap tradisi.⁷ Mereka menyarankan agar rasionalitas ilmiah tidak bertentangan, tetapi berdialog dengan nilai-nilai spiritual dan adat yang hidup dalam masyarakat. Dalam kerangka ini, proyek Tan Malaka perlu ditinjau kembali agar lebih inklusif dan akomodatif terhadap kompleksitas sosial Indonesia.

Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa Madilog tetap memiliki nilai historis dan filosofis yang besar dalam sejarah intelektual Indonesia. Kritiknya terhadap mistisisme dan feodalisme membuka ruang baru bagi pemikiran kritis yang berpijak pada prinsip-prinsip ilmiah dan pembebasan nalar. Madilog menjadi representasi penting dari semangat pencerahan modern yang muncul dari dalam bangsa sendiri—bukan sekadar meniru Barat, tetapi sebagai hasil dari dialektika panjang antara realitas lokal dan gagasan universal.⁸


Footnotes

[1]                Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (Jakarta: Narasi, 2016), 12–14.

[2]                Ibid., 16–18.

[3]                Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri, 2012), 120–122.

[4]                Tan Malaka, Madilog, 20.

[5]                Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Jakarta: KITLV dan Pustaka Utama Grafiti, 2008), 652.

[6]                Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000), 10–13.

[7]                Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Bandung: Tiara Wacana, 2006), 45–47; Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1993), 29.

[8]                Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 88.


8.           Relevansi Madilog bagi Pemikiran Kontemporer

Lebih dari tujuh dekade sejak ditulis, Madilog tetap berdiri sebagai karya yang menantang dan inspiratif dalam lanskap pemikiran Indonesia. Buku ini tidak hanya merepresentasikan pergulatan intelektual Tan Malaka melawan dominasi kolonial dan feodalisme, tetapi juga menyuguhkan tawaran metodologis yang dapat dibaca ulang dalam konteks kekinian. Dalam era pascakolonial, digital, dan post-truth seperti saat ini, gagasan-gagasan dalam Madilog justru memperoleh urgensinya kembali, terutama dalam kaitannya dengan krisis rasionalitas publik, kemunduran berpikir kritis, dan menguatnya wacana keagamaan atau politik yang bersifat dogmatis.

Pertama, Madilog menawarkan model rasionalitas yang berakar pada prinsip materialisme ilmiah, logika deduktif-induktif, dan dialektika sebagai metode perubahan. Dalam masyarakat yang masih kerap dibayang-bayangi oleh pola pikir konspiratif, hoaks, dan pseudo-science, prinsip berpikir ilmiah yang ditawarkan Tan Malaka menjadi sangat relevan.¹ Ia mengajak pembaca untuk membebaskan diri dari dogma yang tidak teruji dan menggantinya dengan cara berpikir berbasis observasi dan pembuktian empiris. Dengan demikian, Madilog dapat berfungsi sebagai fondasi bagi pendidikan kritis dan literasi epistemologis di era digital.

Kedua, Madilog relevan dalam konteks pembangunan nalar politik yang otonom. Dalam situasi ketika politik sering dikendalikan oleh sentimen identitas, populisme, atau loyalitas pragmatis, pendekatan logika dan dialektika Tan Malaka menyodorkan alternatif: bahwa politik harus dibangun berdasarkan nalar, analisis struktur sosial, dan kesadaran sejarah.² Dalam hal ini, Madilog sejalan dengan gagasan Paulo Freire tentang conscientização—yakni kesadaran kritis yang lahir dari refleksi terhadap realitas sosial.³ Tan Malaka menempatkan filsafat bukan sebagai spekulasi, tetapi sebagai praktik pembebasan.

Ketiga, dari sudut pandang filsafat pendidikan, Madilog dapat dilihat sebagai bagian dari proyek pencerahan (enlightenment) Indonesia. Buku ini menyerukan transformasi mental rakyat dari cara berpikir tradisional menuju cara berpikir modern yang berbasis ilmu pengetahuan.⁴ Hal ini sejalan dengan gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan sebagai proses memerdekakan manusia. Namun, berbeda dengan Dewantara yang menekankan pendekatan kultural dan etik, Tan Malaka lebih radikal karena menyasar struktur berpikir rasional secara sistemik.⁵ Keduanya, bagaimanapun, memiliki visi yang saling melengkapi dalam membentuk manusia Indonesia yang utuh.

Keempat, Madilog memiliki relevansi strategis dalam kajian postkolonial dan kritik pengetahuan. Sebagai teks yang ditulis oleh intelektual kolonial yang tercerabut dari tanah air dan terpapar arus besar pemikiran dunia, Madilog adalah bukti bahwa epistemologi modern tidak selalu datang dari Barat. Sebaliknya, Tan Malaka menunjukkan bahwa cara berpikir ilmiah, dialektis, dan logis bisa tumbuh dari tanah perlawanan, dan dengan demikian memiliki otoritas epistemik tersendiri.⁶ Hal ini membongkar anggapan bahwa rasionalitas hanya milik dunia modern-rasional Barat dan memperkuat posisi Madilog dalam diskursus global.

Namun demikian, agar relevansi Madilog tetap kontekstual, perlu ada pembacaan kritis ulang terhadap teks ini. Pendekatan Tan Malaka yang sangat mengandalkan materialisme ilmiah dan logika formal kadang dianggap terlalu sempit dalam memahami keragaman bentuk rasionalitas—terutama yang berbasis pada spiritualitas, etika komunitarian, atau intuisi budaya.⁷ Dalam hal ini, pemikiran Madilog dapat diperkaya melalui dialog dengan tradisi-tradisi pemikiran lain, baik dari Islam, filsafat Timur, maupun tradisi kritis kontemporer seperti post-strukturalisme dan hermeneutika.

Dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, Madilog tetap merupakan warisan intelektual yang bernilai tinggi. Ia membuka jalan bagi pembentukan filsafat Indonesia yang berpijak pada realitas konkret, berorientasi pada pembebasan rakyat, dan berani berpikir melampaui dogma. Dalam konteks kontemporer, tugas generasi intelektual berikutnya bukan hanya mengagumi Madilog, tetapi juga meneruskannya dalam bentuk baru yang relevan dengan tantangan zaman.


Footnotes

[1]                Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (Jakarta: Narasi, 2016), 78–80.

[2]                Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri, 2012), 132–134.

[3]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 39–40.

[4]                Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 89.

[5]                Ki Hadjar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 2004), 51–53.

[6]                Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000), 249–251.

[7]                Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Bandung: Tiara Wacana, 2006), 95–97.


9.           Evaluasi Kritis atas Epistemologi Madilog

Sebagai proyek filsafat nasional yang bercorak revolusioner, Madilog dapat dibaca sebagai fondasi bagi bangunan epistemologis baru yang ingin dikembangkan oleh Tan Malaka untuk menggantikan kerangka berpikir kolonial dan feodal. Gagasan utama dalam Madilog—yakni materialisme, dialektika, dan logika—merupakan satu kesatuan sistem pengetahuan yang bertujuan membentuk manusia Indonesia yang berpikir ilmiah, kritis, dan transformatif. Namun, sebagai sebuah konstruksi epistemologis, Madilog tidak bebas dari persoalan. Evaluasi kritis terhadapnya menjadi penting agar warisan intelektual Tan Malaka dapat terus disesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika zaman.

9.1.       Kekuatan: Rasionalitas Progresif dan Emansipatoris

Epistemologi Madilog menunjukkan kekuatan yang luar biasa dalam membangun dasar rasionalitas progresif bagi bangsa Indonesia. Tan Malaka dengan tajam mengidentifikasi bahwa masalah utama rakyat Indonesia bukan hanya politik dan ekonomi, tetapi cara berpikir.¹ Ia melihat bahwa pembebasan sejati harus dimulai dari pembebasan nalar, dan dalam hal ini Madilog menawarkan sistem berpikir yang berbasis pada realitas empiris dan hukum-hukum alam. Pendekatan ini sejalan dengan nilai-nilai Pencerahan (Aufklärung), di mana penggunaan akal menjadi pusat kebebasan manusia dari ketertundukan pada dogma.²

Selain itu, orientasi praksis Madilog juga menjadi nilai tambah dari epistemologi yang ditawarkannya. Tan Malaka tidak mengembangkan sistem pengetahuan demi kontemplasi filosofis semata, melainkan untuk tujuan transformasi sosial. Pengetahuan dalam kerangka ini tidak netral, melainkan berposisi untuk membebaskan.⁴ Dengan demikian, epistemologi Madilog sejalan dengan paradigma critical theory sebagaimana dikembangkan oleh para pemikir Mazhab Frankfurt seperti Horkheimer dan Marcuse, di mana ilmu pengetahuan harus bersifat emansipatoris dan politis.⁵

9.2.       Kelemahan: Determinisme Materialis dan Reduksionisme Epistemologis

Kendati memiliki visi rasional yang kuat, epistemologi Madilog mengandung kecenderungan determinisme materialis. Dalam model ini, realitas dipahami secara tunggal sebagai dunia materi yang dapat dikenali melalui metode ilmiah dan logika formal.⁶ Tan Malaka tampaknya menutup kemungkinan adanya validitas bentuk-bentuk pengetahuan lain, seperti intuisi, pengalaman religius, atau kearifan tradisional, yang tidak dapat diukur melalui kerangka positivistik.

Hal ini menimbulkan problem reduksionisme epistemologis, yaitu kecenderungan untuk mereduksi keragaman cara mengetahui ke dalam satu model tunggal: ilmu alam modern.⁷ Dalam konteks Indonesia yang sangat plural, hal ini berisiko menciptakan hierarki epistemik baru, di mana pengetahuan yang tidak sesuai dengan logika ilmiah dianggap irasional atau tidak berguna. Kritik ini sejalan dengan analisis Dipesh Chakrabarty dalam Provincializing Europe, yang menunjukkan bahwa universalisasi nalar modern sering kali mengabaikan lokalitas dan spiritualitas yang menjadi fondasi kognitif masyarakat non-Barat.⁸

9.3.       Apakah Madilog Merupakan Sintesis Timur-Barat?

Pertanyaan menarik yang muncul adalah: apakah epistemologi Madilog berhasil menjadi jembatan antara cara berpikir Timur dan Barat? Di satu sisi, Tan Malaka memang meminjam kerangka dari Marxisme Eropa, logika Aristotelian, dan rasionalitas ilmiah modern.⁹ Namun di sisi lain, ia menulis dari konteks kolonial Asia Tenggara, di tengah masyarakat yang berpikir secara simbolik, religius, dan komunal. Dalam hal ini, Madilog dapat dilihat sebagai proyek sintesis yang belum selesai. Ia mencoba merumuskan filsafat universal dari tanah yang terjajah, tetapi masih terjebak dalam kerangka dominan Eropa modern yang ia kritik secara tidak langsung.

Keberhasilan Madilog sebagai sintesis epistemologis tampaknya lebih bersifat deklaratif daripada integratif. Meski Tan Malaka mengklaim memperjuangkan cara berpikir rakyat, ia tetap menggunakan bahasa filsafat yang sulit diakses oleh massa pada zamannya.¹⁰ Dengan demikian, epistemologi Madilog menghadapi paradoks: antara aspirasi emansipatoris dengan instrumen epistemik yang masih elitis.

9.4.       Kontribusi Terhadap Filsafat Ilmu Indonesia

Terlepas dari problem-problem tersebut, Madilog tetap menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah filsafat ilmu Indonesia. Ia membuka ruang baru untuk membicarakan ilmu pengetahuan dalam relasi dengan ideologi, politik, dan kebudayaan lokal. Gagasan Tan Malaka menjadi inspirasi bagi pendekatan kritis terhadap sistem pendidikan, struktur kekuasaan, dan dominasi wacana dalam masyarakat.¹¹ Dalam konteks ini, Madilog tidak sekadar menawarkan sistem epistemik alternatif, tetapi juga menyarankan perlunya pembudayaan nalar dalam proses nation-building.


Footnotes

[1]                Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (Jakarta: Narasi, 2016), 9–12.

[2]                Immanuel Kant, An Answer to the Question: What is Enlightenment?, trans. H.B. Nisbet (London: Penguin, 2009), 1–4.

[3]                Ibid., 13.

[4]                Tan Malaka, Madilog, 91–93.

[5]                Max Horkheimer, Critical Theory: Selected Essays, trans. Matthew J. O’Connell (New York: Continuum, 2002), 188.

[6]                Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 87–89.

[7]                Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Bandung: Tiara Wacana, 2006), 93–96.

[8]                Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000), 4–6.

[9]                Karl Marx dan Friedrich Engels, The German Ideology, ed. C.J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 47.

[10]             Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri, 2012), 127–130.

[11]             Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 121–123.


10.       Penutup

Pemikiran Tan Malaka dalam Madilog merupakan salah satu tonggak paling penting dalam sejarah intelektual dan filsafat pembebasan di Indonesia. Melalui tiga pilar utama—materialisme, dialektika, dan logika—Tan Malaka tidak hanya membangun kerangka berpikir ilmiah dan kritis, tetapi juga merumuskan suatu epistemologi yang bersifat praksis, revolusioner, dan anti-kolonial.¹ Madilog adalah manifestasi dari upaya membebaskan bangsa Indonesia dari bentuk-bentuk penindasan epistemik yang bersumber dari kolonialisme, feodalisme, dan mistisisme, sekaligus proyek untuk membangun rasionalitas modern yang kontekstual dan berpihak pada rakyat.

Kajian kritis terhadap isi dan struktur Madilog menunjukkan bahwa Tan Malaka memiliki keunggulan dalam merumuskan filsafat yang berpijak pada realitas dan diarahkan pada transformasi sosial.² Ia berhasil mengidentifikasi bahwa masalah utama dalam perjuangan bangsa Indonesia bukan hanya kekuasaan politik atau ekonomi, tetapi juga struktur kesadaran dan cara berpikir. Dengan demikian, Madilog tampil sebagai semacam “pedoman epistemologis” untuk membangun manusia Indonesia yang berpikir secara ilmiah, rasional, dan progresif.

Namun, Madilog juga tidak lepas dari keterbatasan. Pendekatannya yang sangat menekankan pada materialisme ilmiah dan logika formal berisiko mengabaikan bentuk-bentuk pengetahuan alternatif yang hidup dalam tradisi kultural dan spiritual masyarakat Indonesia.³ Ketegangan ini memperlihatkan bahwa Madilog, meskipun revolusioner, tetap perlu dikaji ulang dan didialogkan dengan perkembangan epistemologi kontemporer yang lebih plural dan reflektif. Hal ini penting agar warisan pemikiran Tan Malaka tidak menjadi dogma baru, tetapi tetap hidup sebagai inspirasi kritis yang terus tumbuh dalam konteks zaman yang berubah.

Dalam perspektif kontemporer, relevansi Madilog menjadi sangat nyata di tengah krisis rasionalitas, banalitas politik, dan merosotnya mutu pendidikan kritis di Indonesia.⁴ Gagasan Tan Malaka dapat digunakan kembali untuk membangun gerakan intelektual yang berakar pada ilmu pengetahuan, kesadaran sejarah, dan keberpihakan terhadap rakyat. Tidak hanya sebagai bahan studi sejarah, Madilog harus ditempatkan sebagai sumber inspirasi metodologis dan ideologis dalam membangun peradaban Indonesia modern yang berkeadaban dan berpikiran terbuka.

Oleh karena itu, pembacaan terhadap Madilog tidak boleh berhenti pada sekadar pengagungan terhadap tokoh, tetapi harus dilanjutkan dengan kritik, dialog, dan penerjemahan ulang ke dalam konteks zaman. Warisan Tan Malaka mengajarkan bahwa filsafat bukanlah milik ruang akademik semata, melainkan harus berpijak pada kenyataan dan bertujuan untuk mengubah dunia.⁵ Dalam semangat itulah, Madilog tetap dan akan terus menjadi sumber cahaya bagi pembangunan rasionalitas bangsa Indonesia.


Footnotes

[1]                Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (Jakarta: Narasi, 2016), 9–15.

[2]                Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri, 2012), 125–130.

[3]                Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Bandung: Tiara Wacana, 2006), 96–98.

[4]                Komaruddin Hidayat, Psikologi Beragama (Jakarta: Paramadina, 2003), 55–57.

[5]                Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), 10–12.


Daftar Pustaka

Anderson, B. (2012). Revolusi pemuda (M. F. Anam, Trans.). Marjin Kiri. (Karya asli diterbitkan 2001)

Chakrabarty, D. (2000). Provincializing Europe: Postcolonial thought and historical difference. Princeton University Press.

Dewantara, K. H. (2004). Pemikiran, konsepsi, keteladanan, dan sikap merdeka. Majelis Luhur Taman Siswa.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Karya asli diterbitkan 1970)

Gramsci, A. (1971). Selections from the prison notebooks (Q. Hoare & G. N. Smith, Eds. & Trans.). International Publishers.

Hidayat, K. (2003). Psikologi beragama. Paramadina.

Horkheimer, M. (2002). Critical theory: Selected essays (M. J. O’Connell, Trans.). Continuum. (Karya asli diterbitkan 1968)

Kant, I. (2009). An answer to the question: What is enlightenment? (H. B. Nisbet, Trans.). Penguin Books. (Karya asli diterbitkan 1784)

Kuntowijoyo. (2001). Muslim tanpa masjid. Mizan.

Kuntowijoyo. (2006). Islam sebagai ilmu. Tiara Wacana.

Magnis-Suseno, F. (1987). Etika sosial: Sebuah pengantar. Kanisius.

Magnis-Suseno, F. (1992). Filsafat sebagai ilmu kritis. Kanisius.

Marx, K., & Engels, F. (1970). The German ideology (C. J. Arthur, Ed.). International Publishers. (Karya asli diterbitkan 1846)

Marx, K., & Engels, F. (1940). Dialectics of nature (C. Dutt, Ed. & Trans.). International Publishers.

McVey, R. T. (1965). The rise of Indonesian communism. Cornell University Press.

Madjid, N. (1993). Islam, kemodernan, dan keindonesiaan. Mizan.

Poeze, H. A. (2008). Tan Malaka, gerakan kiri, dan revolusi Indonesia (Vol. 1–3). KITLV & Pustaka Utama Grafiti.

Tan Malaka. (2016). Madilog: Materialisme, dialektika, logika. Narasi. (Karya asli ditulis 1942–1943)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar