Madilog
Materialisme, Dialektika, dan Logika
Alihkan ke: Pemikiran Tan Malaka.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara kritis pemikiran Tan
Malaka dalam karya monumentalnya, Madilog: Materialisme, Dialektika, dan
Logika, yang ditulis pada masa penjajahan Jepang sebagai respons terhadap
struktur berpikir mistik dan feodal yang mendominasi masyarakat Indonesia.
Dengan menggunakan pendekatan historis-tekstual dan filsafat kritis, artikel
ini menelaah bangunan epistemologis Madilog sebagai proyek pencerahan
dan pembebasan bangsa melalui penguatan rasionalitas ilmiah. Penelitian ini
menemukan bahwa Tan Malaka mengusulkan sistem berpikir alternatif berbasis
materialisme dialektis dan logika ilmiah yang tidak hanya bersifat teoritis,
tetapi juga praksis. Madilog tampil sebagai proyek emansipatoris yang
bertujuan untuk membentuk kesadaran kritis dan membebaskan nalar rakyat dari
dominasi kolonial, dogma religius, dan feodalisme. Namun, artikel ini juga
menyoroti sejumlah keterbatasan epistemologis Madilog, terutama
kecenderungannya pada reduksionisme materialis dan ketertutupan terhadap
bentuk-bentuk pengetahuan non-rasional. Meski demikian, Madilog tetap
memiliki relevansi dalam konteks kontemporer, terutama dalam membangun literasi
kritis, etos ilmiah, dan rasionalitas politik. Artikel ini merekomendasikan
pembacaan ulang Madilog dalam dialog dengan keragaman epistemologi lokal
untuk memperluas jangkauan transformasi sosial yang lebih inklusif.
Kata Kunci: Tan Malaka, Madilog, epistemologi kritis,
materialisme dialektis, logika ilmiah, rasionalitas, mistisisme, feodalisme,
emansipasi, filsafat Indonesia.
PEMBAHASAN
Kajian Kritis atas Pemikiran Tan Malaka dalam Madilog
1.
Pendahuluan
Pemikiran Tan Malaka
merupakan salah satu pilar penting dalam sejarah intelektual dan politik
Indonesia modern. Sebagai tokoh revolusioner, ideolog, dan penulis, Tan Malaka
menorehkan warisan intelektual yang unik melalui Madilog—singkatan dari Materialisme,
Dialektika, dan Logika—yang ia tulis di tengah pengasingannya di
Asia Tenggara pada awal 1940-an. Buku ini tidak sekadar merupakan catatan
ideologis, tetapi lebih sebagai proyek intelektual besar yang bertujuan untuk
mentransformasikan cara berpikir masyarakat Indonesia yang kala itu masih
banyak dipengaruhi oleh mistisisme, takhayul, dan warisan feodalisme kolonial.¹
Dalam Madilog,
Tan Malaka berupaya memperkenalkan sistem berpikir rasional yang berakar pada
prinsip-prinsip ilmiah dan logika modern. Ia menggugat keberadaan cara berpikir
yang ia sebut sebagai “mistik dan feodal,” dan menyarankan penerapan
cara berpikir ilmiah berbasis materialisme dialektis untuk mewujudkan
emansipasi bangsa.² Gagasan ini tidak terlepas dari pengaruh kuat filsafat
materialisme dialektis Marxisme yang Tan Malaka pelajari secara mendalam selama
masa hidupnya di Belanda dan Uni Soviet.³ Namun demikian, Madilog
bukanlah duplikasi mekanis dari Marxisme klasik; Tan Malaka menyesuaikan
prinsip-prinsipnya dengan realitas sosial dan kultural Indonesia, menjadikannya
sebagai model rasionalitas revolusioner yang kontekstual dan progresif.⁴
Urgensi kajian
kritis terhadap Madilog semakin terasa mengingat
relevansinya dengan problem-problem kontemporer seperti kebodohan struktural,
subordinasi nalar kritis dalam pendidikan, dan dominasi wacana pragmatis dalam
politik. Dalam era ketika rasionalitas sering dikalahkan oleh populisme dan
anti-intelektualisme, pemikiran Tan Malaka menawarkan kerangka epistemologis
yang menantang status quo. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk
menelaah isi dan metode berpikir dalam Madilog secara mendalam, dengan
pendekatan kritis yang berpijak pada kerangka filsafat ilmu dan dialektika
historis.
Rumusan masalah
dalam kajian ini mencakup: (1) bagaimana struktur pemikiran Tan Malaka dalam Madilog
merefleksikan upaya pembangunan rasionalitas bangsa?, (2) sejauh mana Madilog
merepresentasikan sintesis antara tradisi berpikir Timur dan Barat?, dan (3)
apa relevansi epistemologis dan praksis dari Madilog dalam konteks Indonesia
kontemporer?
Kajian ini
menggunakan pendekatan historis-tekstual dan filsafat kritis sebagai metode
utama. Pendekatan historis digunakan untuk memetakan konteks sosio-politik yang
melatarbelakangi penulisan Madilog, sedangkan pendekatan
filsafat kritis digunakan untuk menilai kekuatan dan kelemahan dari sistem
berpikir Tan Malaka secara argumentatif dan konseptual. Dengan demikian,
pembacaan atas Madilog dalam artikel ini tidak
dimaksudkan sebagai glorifikasi terhadap tokohnya, tetapi sebagai upaya
intelektual untuk menilai kembali kontribusi Tan Malaka terhadap pembangunan
nalar kritis dan rasionalitas bangsa Indonesia.
Footnotes
[1]
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia
(Jakarta: KITLV dan Pustaka Utama Grafiti, 2008), 635.
[2]
Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika
(Jakarta: Narasi, 2016), 13–15.
[3]
Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri,
2012), 112–114.
[4]
Amir Sjarifuddin, “Tan Malaka dan Dialektika Sejarah,” dalam Pemikiran
Politik Kiri Indonesia (Yogyakarta: Resist Book, 2004), 88–90.
2.
Biografi Intelektual Tan Malaka
Tan Malaka, yang
bernama asli Ibrahim Datuk Tan Malaka, lahir pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandan
Gadang, Suliki, Sumatera Barat, dalam lingkungan Minangkabau yang sarat dengan
tradisi intelektual Islam dan etos merantau.¹ Sejak usia muda, Tan Malaka telah
menunjukkan ketertarikan pada dunia pengetahuan dan ide-ide besar. Ia
memperoleh pendidikan awal di Sekolah Raja di Bukittinggi, kemudian melanjutkan
ke Rijkskweekschool (sekolah guru Belanda) di Haarlem, Belanda, pada 1913.²
Pendidikan ini memainkan peran penting dalam membentuk dasar pemikirannya,
terutama dalam penguasaan bahasa, ilmu alam, dan pengenalan terhadap filsafat
Barat.
Di Belanda, Tan
Malaka mulai bersentuhan dengan pemikiran sosialis, Marxisme, dan gerakan kiri
internasional. Ia membaca karya-karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir
Lenin, serta aktif dalam diskusi-diskusi politik di kalangan mahasiswa Hindia
Belanda dan tokoh-tokoh sosialis Eropa.³ Ketika kembali ke tanah air, ia
mengembangkan pandangan revolusioner yang berakar pada ide pembebasan kelas
tertindas dan kemerdekaan nasional dari imperialisme Belanda.
Namun, karier
perjuangannya tidak berlangsung secara linear. Karena aktivitas politiknya yang
dianggap radikal dan mengancam otoritas kolonial, Tan Malaka mengalami
penangkapan, pengasingan, dan pelarian di berbagai negara Asia dan Eropa.
Antara tahun 1922 hingga 1942, ia hidup dalam pelarian di Filipina, Siam,
Burma, China, dan Jepang.⁴ Selama masa-masa ini, Tan Malaka tidak hanya
bergerak sebagai aktivis politik, tetapi juga sebagai pengamat dan penulis
intelektual yang terus mengembangkan pemikiran kritisnya.
Puncak dari
pergulatan intelektual tersebut terwujud dalam karyanya Madilog,
yang ditulis selama masa persembunyian di Batavia sekitar tahun 1942–1943,
dalam situasi penuh ketegangan akibat pendudukan militer Jepang.⁵ Buku ini
menjadi manifestasi filsafat praksis Tan Malaka, sebagai hasil sintesis antara
pengetahuan Eropa modern (khususnya Marxisme dan logika Barat) dengan kesadaran
sosial Indonesia yang tengah mencari arah pembebasan. Dalam Madilog,
Tan Malaka menunjukkan dirinya bukan sekadar revolusioner jalanan, melainkan
seorang intelektual organik dalam pengertian Gramscian—yang berupaya menyadarkan
massa melalui pendidikan dan transformasi cara berpikir.⁶
Biografi intelektual
Tan Malaka memperlihatkan transformasi dari seorang pelajar kolonial menjadi
tokoh revolusioner dan filsuf pembebasan. Gaya berpikirnya tidak dogmatis,
tetapi reflektif dan dialektis. Ia bukan hanya mengimpor Marxisme, tetapi
membumikannya dalam realitas Indonesia yang plural, agraris, dan spiritual.
Dalam konteks inilah Madilog dapat dipahami sebagai
hasil dari perjalanan intelektual yang panjang dan penuh pengorbanan, sekaligus
sebagai upaya membentuk fondasi rasionalitas kritis bagi bangsa yang sedang
menuju kemerdekaan.
Footnotes
[1]
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia
(Jakarta: KITLV dan Pustaka Utama Grafiti, 2008), 35–37.
[2]
Tempo, Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), 19–21.
[3]
Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell
University Press, 1965), 64–66.
[4]
Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri,
2012), 98–101.
[5]
Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika
(Jakarta: Narasi, 2016), viii.
[6]
Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks (New
York: International Publishers, 1971), 10–12.
3.
Struktur dan Isi Pokok Madilog
Karya Madilog
yang ditulis oleh Tan Malaka pada masa pendudukan Jepang (1942–1943) di Jakarta
merupakan sebuah proyek pemikiran monumental yang bertujuan untuk merevolusi
cara berpikir bangsa Indonesia. Buku ini menyatukan tiga kerangka epistemologis
utama: Materialisme,
Dialektika,
dan Logika,
yang secara keseluruhan dirancang untuk menggantikan pola pikir “mistik-feodal”
yang menurut Tan Malaka menghambat perkembangan rasionalitas dan kemerdekaan
nasional.¹ Dengan kata lain, Madilog merupakan upaya pembentukan
fondasi berpikir ilmiah dan kritis yang dapat mendorong emansipasi intelektual
dan sosial-politik rakyat Indonesia.
Secara struktur, Madilog
terdiri dari delapan bab utama, yang membentang dari pembahasan mengenai
pengaruh mistik dan metafisika dalam masyarakat kolonial, hingga eksplorasi
sistematis terhadap prinsip-prinsip materialisme, dialektika, dan logika
ilmiah.² Buku ini tidak ditulis dengan sistematika akademik yang kaku,
melainkan menggunakan gaya argumentatif naratif yang bersifat persuasif dan
populis. Hal ini menunjukkan bahwa Tan Malaka tidak hanya berbicara kepada
kalangan intelektual, tetapi juga berupaya menjangkau rakyat luas dengan bahasa
yang dapat mereka pahami.
Bab-bab awal Madilog
membahas kondisi berpikir rakyat Indonesia yang masih tunduk pada pengaruh
tradisi mistik, tahayul, dan otoritas feodal.³ Dalam bagian ini, Tan Malaka
mengidentifikasi “mistik-metafisika-feodalisme” sebagai struktur
kognitif yang diwariskan oleh kolonialisme dan diperkuat oleh sistem pendidikan
yang tidak ilmiah. Dengan tegas, ia menilai bahwa cara berpikir seperti itu
menjadi penghalang utama bagi kemajuan bangsa dan perlu digantikan oleh “jalan
pikiran ilmiah dan logis.”⁴
Setelah itu, Tan
Malaka memperkenalkan konsep materialisme sebagai fondasi pengetahuan ilmiah.
Berbeda dengan materialisme metafisika yang dianggapnya sempit, ia lebih
mendekati materialisme
dialektis ala Marx dan Engels—sebuah pandangan bahwa dunia ini
bersifat material dan berkembang melalui kontradiksi-kontradiksi internal yang
bersifat dinamis.⁵ Dalam pandangan ini, realitas dipahami sebagai sesuatu yang
bergerak, berubah, dan tidak statis, serta harus dipahami secara historis dan
dialektis.
Selanjutnya, bab-bab
tengah Madilog
membahas dialektika sebagai metode berpikir yang mengedepankan pertentangan,
negasi, dan transformasi dalam memahami kenyataan.⁶ Tan Malaka menolak cara
berpikir yang linier dan dogmatis, serta mendorong penggunaan dialektika
sebagai alat analisis sosial yang kritis. Ia menyebut bahwa dialektika bukan
sekadar teori filsafat, melainkan metode aktif dalam melihat perubahan sosial
dan perjuangan politik.
Bagian terakhir buku
ini membahas logika, terutama logika ilmiah yang menjadi sarana berpikir
sistematis dan rasional. Ia membedakan antara logika “mistik” dan logika
ilmiah—yang pertama bersifat dogmatis dan tertutup, sedangkan yang kedua
terbuka terhadap koreksi dan berdasarkan pada observasi empiris.⁷ Tan Malaka
mendorong penggunaan logika dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam
pendidikan dan penyusunan strategi politik rakyat.
Secara keseluruhan, Madilog
adalah sintesis antara tiga elemen penting berpikir modern: (1) Materialisme
sebagai fondasi ontologis; (2) Dialektika sebagai metode
memahami perubahan; dan (3) Logika ilmiah sebagai instrumen
berpikir rasional. Ketiganya membentuk kerangka epistemologis yang bertujuan
untuk mentransformasikan kesadaran rakyat dari ketundukan pada mitos dan
kekuasaan, menuju kemandirian intelektual dan pembebasan politik.
Namun yang membuat Madilog
istimewa bukan hanya isinya, melainkan juga orientasinya: Tan Malaka tidak
menulis untuk menara gading, tetapi untuk rakyat. Ia mengintegrasikan
pembahasan ilmiah dengan semangat perjuangan, menjadikan Madilog
sebagai manifestasi pemikiran revolusioner yang berbasis pada rasionalitas
praksis.⁸ Dalam kerangka itu, Madilog menjadi bukan hanya buku,
tetapi juga instrumen ideologis dan pedagogis bagi perubahan struktural bangsa.
Footnotes
[1]
Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika
(Jakarta: Narasi, 2016), 9–11.
[2]
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia
(Jakarta: KITLV dan Pustaka Utama Grafiti, 2008), 645.
[3]
Tan Malaka, Madilog, 15–20.
[4]
Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell
University Press, 1965), 76.
[5]
Karl Marx dan Friedrich Engels, The German Ideology, ed. C.J.
Arthur (New York: International Publishers, 1970), 42–46.
[6]
Tan Malaka, Madilog, 63–74.
[7]
Ibid., 81–89.
[8]
Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri, 2012),
125–127.
4.
Materialisme dalam Madilog
Materialisme
merupakan pilar pertama dan sekaligus fondasi ontologis dalam konstruksi
pemikiran Madilog.
Tan Malaka memulai pembahasannya tentang materialisme sebagai bentuk perlawanan
terhadap cara berpikir metafisis dan spiritualistik yang dianggap mendominasi
kesadaran kolektif bangsa Indonesia pada masa kolonial. Dalam pandangannya,
keberlangsungan sistem kolonial dan feodalisme sangat berkaitan dengan
keberadaan pola pikir yang tidak rasional, mistik, dan anti-ilmiah. Oleh karena
itu, materialisme dalam Madilog tidak hanya dimaksudkan
sebagai pandangan filsafat, melainkan juga sebagai alat pembebasan ideologis.¹
Tan Malaka
membedakan secara eksplisit antara materialisme metafisis dan materialisme
dialektis. Materialisme metafisis dianggap bersifat mekanistik dan
statis, karena memandang dunia sebagai kumpulan benda-benda mati yang tidak
berubah kecuali oleh kekuatan eksternal.² Sebaliknya, Tan Malaka menempatkan
dirinya dalam tradisi materialisme dialektis, yaitu
sebuah pandangan yang meyakini bahwa dunia materi bukan hanya nyata, tetapi
juga bergerak, berubah, dan berkembang karena kontradiksi internal di
dalamnya.³ Dalam konteks ini, ia jelas menunjukkan pengaruh dari Marx, Engels,
dan Lenin, tetapi dengan pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat
Indonesia.
Tan Malaka menulis
bahwa “Segala kejadian dan perubahan dalam dunia ini adalah kejadian dan
perubahan dalam dunia nyata, yang bisa dipelajari dengan jalan pengalaman dan
percobaan, dan yang bergerak menurut hukum-hukum alam.”⁴ Pandangan ini
menegaskan posisi empiris-rasional dalam kerangka berpikirnya. Materialisme
bagi Tan Malaka bukan hanya keyakinan bahwa dunia bersifat material, melainkan
juga keyakinan bahwa segala kebenaran harus diverifikasi melalui pengalaman
inderawi dan pembuktian ilmiah. Ini merupakan langkah awal menuju apa yang
disebutnya sebagai “jalan pikiran ilmiah.”
Kendati Madilog
banyak mengacu pada kerangka Marxisme, pendekatan Tan Malaka terhadap
materialisme memperlihatkan kekhasan tersendiri. Ia tidak menyalin secara
mekanis teori-teori Barat, tetapi mencoba membumikan prinsip materialisme ke
dalam konteks sosial Indonesia yang penuh dengan kepercayaan mistik, ketundukan
terhadap otoritas tradisional, serta ketimpangan pendidikan. Dalam hal ini, materialisme
Madilog bisa dibaca sebagai bentuk “materialisme pedagogis,”
yakni upaya untuk mendidik bangsa agar melepaskan diri dari cara berpikir
irasional menuju cara berpikir objektif dan kritis.⁵
Namun demikian,
pendekatan Tan Malaka terhadap materialisme tidak bebas dari kritik. Beberapa
pengamat menilai bahwa konsepsi materialismenya cenderung mengandung reduksionisme
epistemologis, karena menolak kemungkinan validitas pengetahuan
non-material, seperti pengalaman religius atau spiritualitas lokal.⁶ Dalam
masyarakat Indonesia yang pluralistik, pandangan yang terlalu menekankan pada
materialisme ilmiah dapat bersinggungan dengan sistem nilai kultural yang tidak
sepenuhnya rasional dalam pengertian positivistik. Di sinilah letak ketegangan
antara Madilog
sebagai proyek pencerahan dan kompleksitas realitas budaya yang coba diubahnya.
Meski begitu,
kontribusi Tan Malaka dalam memperkenalkan materialisme sebagai alat berpikir
ilmiah tidak dapat diabaikan. Ia berhasil memformulasikan suatu sistem filsafat
yang bersifat transformatif dan kontekstual. Materialisme Madilog bukan sekadar
doktrin ontologis, melainkan juga strategi pembebasan dan pengembangan nalar
kritis bangsa. Dalam konteks ini, Tan Malaka menempati posisi penting sebagai
pelopor penerapan prinsip materialisme dialektis dalam diskursus pemikiran
Indonesia modern.⁷
Footnotes
[1]
Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika
(Jakarta: Narasi, 2016), 13–15.
[2]
Ibid., 45–48.
[3]
Karl Marx dan Friedrich Engels, The German Ideology, ed. C.J.
Arthur (New York: International Publishers, 1970), 42–46.
[4]
Tan Malaka, Madilog, 52.
[5]
Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri,
2012), 126.
[6]
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (Bandung: Mizan, 2001),
108–110.
[7]
Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell
University Press, 1965), 78.
5.
Dialektika dalam Madilog
Dialektika merupakan
komponen kedua dalam sistem filsafat yang dirumuskan Tan Malaka dalam Madilog.
Bersama materialisme dan logika, dialektika menjadi kerangka metodologis untuk
memahami perubahan realitas sosial dan alam semesta secara dinamis. Dalam
pengertian Tan Malaka, dialektika bukan sekadar teknik retorika atau perdebatan
logis, melainkan metode berpikir yang memungkinkan manusia memahami gerak dan
kontradiksi dalam kehidupan nyata.¹
Tan Malaka secara
eksplisit merujuk pada tradisi dialektika Hegel dan Marx, tetapi menolak aspek
metafisis dari dialektika idealis Hegel yang menempatkan ide sebagai realitas
primer.² Sebaliknya, ia mengadopsi dialektika materialis dalam pengertian
Marxis, yang menekankan bahwa perubahan dalam masyarakat dan alam berasal dari
kontradiksi internal dalam struktur material itu sendiri.³ Dalam Madilog,
ia menulis, “Gerakan dan perubahan itu bukan berasal dari luar, melainkan
dari dalam, dari pertentangan dalam sesuatu hal itu sendiri.”⁴ Pernyataan
ini menunjukkan bahwa Tan Malaka memaknai dialektika sebagai prinsip inheren
dalam kenyataan, bukan sekadar sebagai alat refleksi.
Sebagai metode,
dialektika digunakan oleh Tan Malaka untuk mengajak rakyat berpikir tidak
secara linier dan statis, melainkan secara kritis dan historis. Ia
menggambarkan realitas sosial-politik Indonesia sebagai arena pertentangan
antara kekuatan-kekuatan progresif dan kekuatan-kekuatan reaksioner. Oleh
karena itu, dialektika menjadi alat analisis yang sangat penting dalam membaca
perubahan sosial. Ia mencontohkan bahwa mistik dan feodalisme bukanlah kondisi
yang abadi, tetapi merupakan produk sejarah yang dapat diubah melalui
perjuangan kolektif.⁵
Pendekatan dialektis
dalam Madilog
juga dapat dilihat sebagai upaya mendemokratisasi filsafat. Tan Malaka tidak
menyajikan dialektika sebagai konsep abstrak atau esoterik, tetapi sebagai
metode berpikir yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ia memberi
contoh-contoh konkret, seperti pertumbuhan tanaman, revolusi alam, atau
dinamika masyarakat sebagai bentuk manifestasi dialektika dalam realitas
empiris.⁶ Dengan demikian, dialektika dalam Madilog tidak bersifat spekulatif,
tetapi praksis dan terarah pada aksi.
Namun demikian,
penerapan dialektika oleh Tan Malaka tidak sepenuhnya bebas dari problematika.
Dalam upayanya menyederhanakan dialektika agar dapat dipahami oleh rakyat
kebanyakan, ia terkadang mengabaikan kompleksitas epistemologis dari tradisi
dialektika itu sendiri. Beberapa pengamat menyebut pendekatannya sebagai populis-radikal,
karena cenderung menekankan utilitas politis dialektika daripada ketelitian logisnya.⁷
Akan tetapi, pendekatan ini justru memperlihatkan karakter khas Madilog
sebagai filsafat revolusioner yang tidak hanya ditujukan untuk memahami dunia,
tetapi juga untuk mengubahnya.
Dari sisi filsafat
ilmu, dialektika dalam Madilog menempati posisi
metodologis yang kuat. Ia berfungsi sebagai penghubung antara prinsip ontologis
materialisme dan kerangka rasional logika ilmiah. Dengan kata lain, dialektika
adalah mekanisme dinamis yang menggerakkan sistem berpikir Tan Malaka secara
keseluruhan.⁸ Dalam konteks bangsa yang tengah berjuang untuk kemerdekaan,
pemanfaatan dialektika sebagai metode kesadaran kritis menegaskan Madilog
sebagai upaya pembebasan yang bersifat epistemologis dan politis sekaligus.
Footnotes
[1]
Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika
(Jakarta: Narasi, 2016), 61.
[2]
Friedrich Hegel, The Phenomenology of Spirit, trans. A.V.
Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 27–32.
[3]
Karl Marx dan Friedrich Engels, Dialectics of Nature, ed. and
trans. C. Dutt (New York: International Publishers, 1940), 131–135.
[4]
Tan Malaka, Madilog, 63.
[5]
Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell
University Press, 1965), 85.
[6]
Tan Malaka, Madilog, 66–70.
[7]
Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri,
2012), 132.
[8]
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia
(Jakarta: KITLV dan Pustaka Utama Grafiti, 2008), 655.
6.
Logika sebagai Pilar Ketiga
Dalam kerangka
pemikiran Madilog,
logika merupakan pilar ketiga yang melengkapi prinsip materialisme dan
dialektika. Jika materialisme menjadi fondasi ontologis dan dialektika sebagai
metode perubahan, maka logika adalah alat epistemologis yang memungkinkan
manusia berpikir secara sistematis, teratur, dan dapat dipertanggungjawabkan.¹
Tan Malaka memandang bahwa tanpa logika, pemahaman terhadap kenyataan akan
terjebak pada kesimpulan-kesimpulan prematur, irasional, bahkan menyesatkan.
Oleh karena itu, ia menempatkan logika sebagai sarana revolusi mental yang
esensial dalam pembentukan manusia Indonesia yang bebas dan rasional.
Tan Malaka
membedakan dengan tajam antara logika ilmiah dan logika mistik. Yang pertama
berdasarkan pada kaidah-kaidah berpikir rasional, observasi empiris, dan
verifikasi; sementara yang kedua bersandar pada dogma, otoritas tradisional,
dan asumsi-asumsi metafisik yang tidak dapat diuji secara kritis.² Dalam Madilog,
ia menulis bahwa “kebanyakan rakyat Indonesia dididik dengan logika mistik
yang tidak mencari sebab akibat, melainkan menerima segala kejadian sebagai
kehendak roh, dewa, atau kekuatan gaib.”³ Pernyataan ini tidak hanya
mengandung kritik terhadap warisan kultural-feodal, tetapi juga seruan untuk
menggantinya dengan logika ilmiah sebagai fondasi pendidikan dan pembangunan
nasional.
Pemahaman Tan Malaka
terhadap logika banyak dipengaruhi oleh logika Aristotelian (silogisme) dan
logika ilmiah modern yang berkembang dalam tradisi empirisme dan positivisme.
Namun, ia tidak hanya meminjam kerangka dari Barat, melainkan menyesuaikannya
dengan konteks dan tujuan emansipatoris masyarakat Indonesia.⁴ Logika ilmiah
versi Madilog
bersifat praktis—bukan sekadar alat analisis formal, tetapi sarana untuk
melatih rakyat berpikir kritis dalam menghadapi realitas sosial dan politik
yang menindas. Dalam hal ini, logika bukanlah tujuan akhir, tetapi instrumen
transformatif.
Dalam Madilog,
Tan Malaka menyusun beberapa prinsip berpikir logis yang dapat digunakan untuk
membongkar kebodohan struktural. Ia menekankan pentingnya berpikir kausal
(sebab-akibat), berpikir konsisten (tidak kontradiktif), dan berpikir
berdasarkan bukti.⁵ Dengan prinsip-prinsip ini, ia berharap rakyat tidak lagi
tunduk pada takhayul atau dogma feodal, melainkan mampu membangun kesadaran
kritis dan otonomi intelektual. Hal ini sangat penting dalam strategi
pembebasan nasional, karena logika ilmiah merupakan dasar dari pengambilan
keputusan rasional dalam organisasi, politik, dan perjuangan sosial.
Namun demikian,
gagasan Tan Malaka tentang logika juga memunculkan beberapa catatan kritis. Ia
sangat menekankan pentingnya berpikir rasional dalam kerangka ilmu empiris,
tetapi hampir tidak memberi ruang bagi bentuk-bentuk pengetahuan lain yang
berkembang dalam tradisi spiritual atau kearifan lokal.⁶ Dalam konteks
masyarakat Indonesia yang plural dan berakar pada warisan kultural yang
kompleks, pendekatan logika yang terlalu positivistik dapat dianggap sebagai
bentuk reduksionisme epistemologis.⁷ Maka, relevansi logika Madilog
perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan integrasi antara rasionalitas ilmiah
dan nilai-nilai kultural yang hidup dalam masyarakat.
Meski demikian,
kontribusi Tan Malaka tetap besar dalam meletakkan dasar pemikiran logis dan
ilmiah di tengah bangsa yang saat itu belum memiliki sistem pendidikan massal
yang kuat. Gagasannya tentang logika tidak hanya penting secara intelektual,
tetapi juga strategis dalam konteks perjuangan anti-kolonial. Dengan menjadikan
logika sebagai alat pembebasan, Tan Malaka membuktikan bahwa filsafat dapat
menjadi instrumen praksis untuk transformasi sosial.⁸
Footnotes
[1]
Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (Jakarta:
Narasi, 2016), 79–80.
[2]
Ibid., 81–85.
[3]
Ibid., 84.
[4]
Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell
University Press, 1965), 87.
[5]
Tan Malaka, Madilog, 86–93.
[6]
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (Bandung: Mizan, 2001),
112–115.
[7]
Franz Magnis-Suseno, Etika Sosial: Sebuah Pengantar
(Yogyakarta: Kanisius, 1987), 54.
[8]
Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri,
2012), 133–134.
7.
Madilog dan Kritik terhadap Mistisisme-Feodalisme
Salah satu ciri
paling menonjol dari Madilog adalah kritik Tan Malaka
yang tajam terhadap apa yang ia sebut sebagai “cara berpikir mistik dan
feodal.”¹ Bagi Tan Malaka, keberadaan pola pikir semacam ini bukan sekadar
masalah kultural, melainkan juga merupakan fondasi ideologis dari
ketertinggalan, ketundukan politik, dan kemiskinan intelektual bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, Madilog bukan hanya merupakan
risalah filsafat, tetapi juga merupakan proyek dekonstruksi terhadap struktur
mentalitas yang dianggap memperkuat dominasi kolonial dan menghambat
rasionalitas nasional.
Mistisisme, menurut
Tan Malaka, adalah cara pandang yang menempatkan kekuatan adikodrati—seperti
roh, dewa, atau takdir sebagai penentu utama peristiwa alam dan sosial.² Cara
berpikir ini, menurutnya, membunuh rasa ingin tahu ilmiah dan menutup
kemungkinan munculnya nalar kritis. Feodalisme, di sisi lain, adalah sistem
sosial-politik yang mengagungkan hierarki, patronase, dan kepatuhan tanpa
kritik terhadap kekuasaan tradisional atau kolonial.³ Kedua unsur ini saling
melanggengkan dan menciptakan struktur kognitif yang pasif, fatalistik, serta
mudah dieksploitasi oleh kekuatan luar.
Dalam Madilog,
Tan Malaka secara eksplisit menulis bahwa bangsa Indonesia harus “meninggalkan
jalan pikiran mistik dan feodal serta mengambil jalan pikiran ilmiah.”⁴
Seruan ini bukan sekadar retorika, melainkan refleksi dari upaya radikal untuk
membentuk homo
rationalis—manusia Indonesia yang berpikir berdasarkan fakta,
logika, dan hukum-hukum alam. Ia percaya bahwa hanya melalui jalan pikiran
ilmiah, rakyat Indonesia dapat membebaskan diri dari penjajahan fisik maupun
mental.
Kritik terhadap
mistisisme dan feodalisme dalam Madilog juga mengandung dimensi
ideologis. Tan Malaka menyadari bahwa kolonialisme Belanda sangat bergantung
pada pelestarian struktur feodal lokal dan praktik mistik religio-magis sebagai
alat legitimasi.⁵ Oleh karena itu, penyerangan terhadap kedua bentuk kesadaran
ini merupakan bagian dari strategi revolusioner untuk menghancurkan struktur
hegemonik kolonial dari akarnya. Dalam hal ini, Madilog dapat dipahami sebagai
perangkat dekolonisasi epistemologis yang mencoba membebaskan rakyat dari
bentuk-bentuk subordinasi mental.
Namun demikian,
kritik Tan Malaka terhadap mistisisme dan feodalisme tidak bebas dari problem.
Beberapa pemikir pascakolonial menilai pendekatannya cenderung terlalu rationalist-centered,
hingga berisiko menafsirkan seluruh warisan budaya non-Barat sebagai irasional
atau tidak ilmiah.⁶ Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk secara
spiritual dan adat, pendekatan seperti ini dapat berujung pada semacam
kolonialisme epistemik dalam bentuk baru—yakni pemaksaan nalar Barat atas keragaman
lokal.
Kritik ini mendapat
penguatan dari sejumlah pemikir Indonesia seperti Kuntowijoyo dan Nurcholish
Madjid yang berpendapat bahwa transformasi intelektual Indonesia harus
dilakukan melalui pendekatan kontekstualisasi kultural, bukan
pemutusan total terhadap tradisi.⁷ Mereka menyarankan agar rasionalitas ilmiah
tidak bertentangan, tetapi berdialog dengan nilai-nilai spiritual dan adat yang
hidup dalam masyarakat. Dalam kerangka ini, proyek Tan Malaka perlu ditinjau
kembali agar lebih inklusif dan akomodatif terhadap kompleksitas sosial
Indonesia.
Meskipun demikian,
tidak dapat disangkal bahwa Madilog tetap memiliki nilai
historis dan filosofis yang besar dalam sejarah intelektual Indonesia.
Kritiknya terhadap mistisisme dan feodalisme membuka ruang baru bagi pemikiran
kritis yang berpijak pada prinsip-prinsip ilmiah dan pembebasan nalar. Madilog
menjadi representasi penting dari semangat pencerahan modern yang muncul dari
dalam bangsa sendiri—bukan sekadar meniru Barat, tetapi sebagai hasil dari dialektika
panjang antara realitas lokal dan gagasan universal.⁸
Footnotes
[1]
Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika
(Jakarta: Narasi, 2016), 12–14.
[2]
Ibid., 16–18.
[3]
Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri,
2012), 120–122.
[4]
Tan Malaka, Madilog, 20.
[5]
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia
(Jakarta: KITLV dan Pustaka Utama Grafiti, 2008), 652.
[6]
Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought
and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000),
10–13.
[7]
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Bandung: Tiara Wacana, 2006),
45–47; Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1993), 29.
[8]
Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell
University Press, 1965), 88.
8.
Relevansi Madilog bagi Pemikiran
Kontemporer
Lebih dari tujuh
dekade sejak ditulis, Madilog tetap berdiri sebagai karya
yang menantang dan inspiratif dalam lanskap pemikiran Indonesia. Buku ini tidak
hanya merepresentasikan pergulatan intelektual Tan Malaka melawan dominasi
kolonial dan feodalisme, tetapi juga menyuguhkan tawaran metodologis yang dapat
dibaca ulang dalam konteks kekinian. Dalam era pascakolonial, digital, dan
post-truth seperti saat ini, gagasan-gagasan dalam Madilog justru memperoleh
urgensinya kembali, terutama dalam kaitannya dengan krisis rasionalitas publik,
kemunduran berpikir kritis, dan menguatnya wacana keagamaan atau politik yang
bersifat dogmatis.
Pertama, Madilog
menawarkan model rasionalitas yang berakar pada prinsip materialisme ilmiah,
logika deduktif-induktif, dan dialektika sebagai metode perubahan. Dalam
masyarakat yang masih kerap dibayang-bayangi oleh pola pikir konspiratif,
hoaks, dan pseudo-science, prinsip berpikir ilmiah yang ditawarkan Tan Malaka
menjadi sangat relevan.¹ Ia mengajak pembaca untuk membebaskan diri dari dogma
yang tidak teruji dan menggantinya dengan cara berpikir berbasis observasi dan
pembuktian empiris. Dengan demikian, Madilog dapat berfungsi sebagai
fondasi bagi pendidikan kritis dan literasi epistemologis di era digital.
Kedua, Madilog
relevan dalam konteks pembangunan nalar politik yang otonom. Dalam situasi
ketika politik sering dikendalikan oleh sentimen identitas, populisme, atau
loyalitas pragmatis, pendekatan logika dan dialektika Tan Malaka menyodorkan
alternatif: bahwa politik harus dibangun berdasarkan nalar, analisis struktur sosial,
dan kesadaran sejarah.² Dalam hal ini, Madilog sejalan dengan gagasan
Paulo Freire tentang conscientização—yakni kesadaran
kritis yang lahir dari refleksi terhadap realitas sosial.³ Tan Malaka
menempatkan filsafat bukan sebagai spekulasi, tetapi sebagai praktik
pembebasan.
Ketiga, dari sudut
pandang filsafat pendidikan, Madilog dapat dilihat sebagai
bagian dari proyek pencerahan (enlightenment) Indonesia. Buku ini menyerukan
transformasi mental rakyat dari cara berpikir tradisional menuju cara berpikir
modern yang berbasis ilmu pengetahuan.⁴ Hal ini sejalan dengan gagasan Ki
Hadjar Dewantara tentang pendidikan sebagai proses memerdekakan manusia. Namun,
berbeda dengan Dewantara yang menekankan pendekatan kultural dan etik, Tan
Malaka lebih radikal karena menyasar struktur berpikir rasional secara
sistemik.⁵ Keduanya, bagaimanapun, memiliki visi yang saling melengkapi dalam
membentuk manusia Indonesia yang utuh.
Keempat, Madilog
memiliki relevansi strategis dalam kajian postkolonial dan kritik pengetahuan.
Sebagai teks yang ditulis oleh intelektual kolonial yang tercerabut dari tanah
air dan terpapar arus besar pemikiran dunia, Madilog adalah bukti bahwa
epistemologi modern tidak selalu datang dari Barat. Sebaliknya, Tan Malaka
menunjukkan bahwa cara berpikir ilmiah, dialektis, dan logis bisa tumbuh dari
tanah perlawanan, dan dengan demikian memiliki otoritas epistemik tersendiri.⁶
Hal ini membongkar anggapan bahwa rasionalitas hanya milik dunia
modern-rasional Barat dan memperkuat posisi Madilog dalam diskursus global.
Namun demikian, agar
relevansi Madilog
tetap kontekstual, perlu ada pembacaan kritis ulang terhadap teks ini.
Pendekatan Tan Malaka yang sangat mengandalkan materialisme ilmiah dan logika
formal kadang dianggap terlalu sempit dalam memahami keragaman bentuk
rasionalitas—terutama yang berbasis pada spiritualitas, etika komunitarian,
atau intuisi budaya.⁷ Dalam hal ini, pemikiran Madilog dapat diperkaya melalui
dialog dengan tradisi-tradisi pemikiran lain, baik dari Islam, filsafat Timur,
maupun tradisi kritis kontemporer seperti post-strukturalisme dan hermeneutika.
Dengan segala
kelebihan dan keterbatasannya, Madilog tetap merupakan warisan
intelektual yang bernilai tinggi. Ia membuka jalan bagi pembentukan filsafat
Indonesia yang berpijak pada realitas konkret, berorientasi pada pembebasan
rakyat, dan berani berpikir melampaui dogma. Dalam konteks kontemporer, tugas
generasi intelektual berikutnya bukan hanya mengagumi Madilog,
tetapi juga meneruskannya dalam bentuk baru yang relevan dengan tantangan
zaman.
Footnotes
[1]
Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika
(Jakarta: Narasi, 2016), 78–80.
[2]
Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri,
2012), 132–134.
[3]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 39–40.
[4]
Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell
University Press, 1965), 89.
[5]
Ki Hadjar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap
Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 2004), 51–53.
[6]
Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought
and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000),
249–251.
[7]
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Bandung: Tiara Wacana, 2006),
95–97.
9.
Evaluasi Kritis atas Epistemologi Madilog
Sebagai proyek
filsafat nasional yang bercorak revolusioner, Madilog dapat dibaca sebagai
fondasi bagi bangunan epistemologis baru yang ingin dikembangkan oleh Tan
Malaka untuk menggantikan kerangka berpikir kolonial dan feodal. Gagasan utama
dalam Madilog—yakni
materialisme, dialektika, dan logika—merupakan satu kesatuan sistem pengetahuan
yang bertujuan membentuk manusia Indonesia yang berpikir ilmiah, kritis, dan
transformatif. Namun, sebagai sebuah konstruksi epistemologis, Madilog
tidak bebas dari persoalan. Evaluasi kritis terhadapnya menjadi penting agar
warisan intelektual Tan Malaka dapat terus disesuaikan dengan kebutuhan dan
dinamika zaman.
9.1.
Kekuatan: Rasionalitas Progresif dan
Emansipatoris
Epistemologi Madilog
menunjukkan kekuatan yang luar biasa dalam membangun dasar rasionalitas
progresif bagi bangsa Indonesia. Tan Malaka dengan tajam mengidentifikasi bahwa
masalah utama rakyat Indonesia bukan hanya politik dan ekonomi, tetapi cara
berpikir.¹ Ia melihat bahwa pembebasan sejati harus dimulai dari pembebasan
nalar, dan dalam hal ini Madilog menawarkan sistem berpikir
yang berbasis pada realitas empiris dan hukum-hukum alam. Pendekatan ini
sejalan dengan nilai-nilai Pencerahan (Aufklärung), di mana penggunaan
akal menjadi pusat kebebasan manusia dari ketertundukan pada dogma.²
Selain itu,
orientasi praksis Madilog juga menjadi nilai tambah
dari epistemologi yang ditawarkannya. Tan Malaka tidak mengembangkan sistem
pengetahuan demi kontemplasi filosofis semata, melainkan untuk tujuan
transformasi sosial. Pengetahuan dalam kerangka ini tidak netral, melainkan
berposisi untuk membebaskan.⁴ Dengan demikian, epistemologi Madilog
sejalan dengan paradigma critical theory sebagaimana
dikembangkan oleh para pemikir Mazhab Frankfurt seperti Horkheimer dan Marcuse,
di mana ilmu pengetahuan harus bersifat emansipatoris dan politis.⁵
9.2.
Kelemahan: Determinisme Materialis dan
Reduksionisme Epistemologis
Kendati memiliki
visi rasional yang kuat, epistemologi Madilog mengandung kecenderungan determinisme
materialis. Dalam model ini, realitas dipahami secara tunggal
sebagai dunia materi yang dapat dikenali melalui metode ilmiah dan logika
formal.⁶ Tan Malaka tampaknya menutup kemungkinan adanya validitas
bentuk-bentuk pengetahuan lain, seperti intuisi, pengalaman religius, atau
kearifan tradisional, yang tidak dapat diukur melalui kerangka positivistik.
Hal ini menimbulkan
problem reduksionisme
epistemologis, yaitu kecenderungan untuk mereduksi keragaman cara
mengetahui ke dalam satu model tunggal: ilmu alam modern.⁷ Dalam konteks
Indonesia yang sangat plural, hal ini berisiko menciptakan hierarki epistemik
baru, di mana pengetahuan yang tidak sesuai dengan logika ilmiah dianggap
irasional atau tidak berguna. Kritik ini sejalan dengan analisis Dipesh
Chakrabarty dalam Provincializing Europe, yang
menunjukkan bahwa universalisasi nalar modern sering kali mengabaikan lokalitas
dan spiritualitas yang menjadi fondasi kognitif masyarakat non-Barat.⁸
9.3.
Apakah Madilog Merupakan Sintesis
Timur-Barat?
Pertanyaan menarik
yang muncul adalah: apakah epistemologi Madilog berhasil menjadi jembatan
antara cara berpikir Timur dan Barat? Di satu sisi, Tan Malaka memang meminjam
kerangka dari Marxisme Eropa, logika Aristotelian, dan rasionalitas ilmiah
modern.⁹ Namun di sisi lain, ia menulis dari konteks kolonial Asia Tenggara, di
tengah masyarakat yang berpikir secara simbolik, religius, dan komunal. Dalam
hal ini, Madilog
dapat dilihat sebagai proyek sintesis yang belum selesai. Ia mencoba merumuskan
filsafat universal dari tanah yang terjajah, tetapi masih terjebak dalam
kerangka dominan Eropa modern yang ia kritik secara tidak langsung.
Keberhasilan Madilog
sebagai sintesis epistemologis tampaknya lebih bersifat deklaratif daripada
integratif. Meski Tan Malaka mengklaim memperjuangkan cara berpikir rakyat, ia
tetap menggunakan bahasa filsafat yang sulit diakses oleh massa pada
zamannya.¹⁰ Dengan demikian, epistemologi Madilog menghadapi paradoks: antara
aspirasi emansipatoris dengan instrumen epistemik yang masih elitis.
9.4.
Kontribusi Terhadap Filsafat Ilmu Indonesia
Terlepas dari
problem-problem tersebut, Madilog tetap menjadi salah satu
tonggak penting dalam sejarah filsafat ilmu Indonesia. Ia membuka ruang baru
untuk membicarakan ilmu pengetahuan dalam relasi dengan ideologi, politik, dan
kebudayaan lokal. Gagasan Tan Malaka menjadi inspirasi bagi pendekatan kritis
terhadap sistem pendidikan, struktur kekuasaan, dan dominasi wacana dalam
masyarakat.¹¹ Dalam konteks ini, Madilog tidak sekadar menawarkan
sistem epistemik alternatif, tetapi juga menyarankan perlunya pembudayaan
nalar dalam proses nation-building.
Footnotes
[1]
Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika
(Jakarta: Narasi, 2016), 9–12.
[2]
Immanuel Kant, An Answer to the Question: What is Enlightenment?,
trans. H.B. Nisbet (London: Penguin, 2009), 1–4.
[3]
Ibid., 13.
[4]
Tan Malaka, Madilog, 91–93.
[5]
Max Horkheimer, Critical Theory: Selected Essays, trans.
Matthew J. O’Connell (New York: Continuum, 2002), 188.
[6]
Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell
University Press, 1965), 87–89.
[7]
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Bandung: Tiara Wacana, 2006),
93–96.
[8]
Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought
and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000),
4–6.
[9]
Karl Marx dan Friedrich Engels, The German Ideology, ed. C.J.
Arthur (New York: International Publishers, 1970), 47.
[10]
Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri,
2012), 127–130.
[11]
Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta:
Kanisius, 1992), 121–123.
10.
Penutup
Pemikiran Tan Malaka
dalam Madilog
merupakan salah satu tonggak paling penting dalam sejarah intelektual dan
filsafat pembebasan di Indonesia. Melalui tiga pilar utama—materialisme,
dialektika, dan logika—Tan Malaka tidak hanya membangun kerangka berpikir
ilmiah dan kritis, tetapi juga merumuskan suatu epistemologi yang bersifat
praksis, revolusioner, dan anti-kolonial.¹ Madilog adalah manifestasi dari
upaya membebaskan bangsa Indonesia dari bentuk-bentuk penindasan epistemik yang
bersumber dari kolonialisme, feodalisme, dan mistisisme, sekaligus proyek untuk
membangun rasionalitas modern yang kontekstual dan berpihak pada rakyat.
Kajian kritis
terhadap isi dan struktur Madilog menunjukkan bahwa Tan
Malaka memiliki keunggulan dalam merumuskan filsafat yang berpijak pada
realitas dan diarahkan pada transformasi sosial.² Ia berhasil mengidentifikasi
bahwa masalah utama dalam perjuangan bangsa Indonesia bukan hanya kekuasaan
politik atau ekonomi, tetapi juga struktur kesadaran dan cara berpikir. Dengan
demikian, Madilog
tampil sebagai semacam “pedoman epistemologis” untuk membangun manusia
Indonesia yang berpikir secara ilmiah, rasional, dan progresif.
Namun, Madilog
juga tidak lepas dari keterbatasan. Pendekatannya yang sangat menekankan pada
materialisme ilmiah dan logika formal berisiko mengabaikan bentuk-bentuk
pengetahuan alternatif yang hidup dalam tradisi kultural dan spiritual masyarakat
Indonesia.³ Ketegangan ini memperlihatkan bahwa Madilog, meskipun revolusioner,
tetap perlu dikaji ulang dan didialogkan dengan perkembangan epistemologi
kontemporer yang lebih plural dan reflektif. Hal ini penting agar warisan
pemikiran Tan Malaka tidak menjadi dogma baru, tetapi tetap hidup sebagai
inspirasi kritis yang terus tumbuh dalam konteks zaman yang berubah.
Dalam perspektif
kontemporer, relevansi Madilog menjadi sangat nyata di
tengah krisis rasionalitas, banalitas politik, dan merosotnya mutu pendidikan
kritis di Indonesia.⁴ Gagasan Tan Malaka dapat digunakan kembali untuk
membangun gerakan intelektual yang berakar pada ilmu pengetahuan, kesadaran
sejarah, dan keberpihakan terhadap rakyat. Tidak hanya sebagai bahan studi
sejarah, Madilog
harus ditempatkan sebagai sumber inspirasi metodologis dan ideologis dalam
membangun peradaban Indonesia modern yang berkeadaban dan berpikiran terbuka.
Oleh karena itu,
pembacaan terhadap Madilog tidak boleh berhenti pada
sekadar pengagungan terhadap tokoh, tetapi harus dilanjutkan dengan kritik,
dialog, dan penerjemahan ulang ke dalam konteks zaman. Warisan Tan Malaka
mengajarkan bahwa filsafat bukanlah milik ruang akademik semata, melainkan
harus berpijak pada kenyataan dan bertujuan untuk mengubah dunia.⁵ Dalam
semangat itulah, Madilog tetap dan akan terus
menjadi sumber cahaya bagi pembangunan rasionalitas bangsa Indonesia.
Footnotes
[1]
Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika
(Jakarta: Narasi, 2016), 9–15.
[2]
Benedict Anderson, Revolusi Pemuda (Jakarta: Marjin Kiri,
2012), 125–130.
[3]
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Bandung: Tiara Wacana, 2006),
96–98.
[4]
Komaruddin Hidayat, Psikologi Beragama (Jakarta: Paramadina,
2003), 55–57.
[5]
Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and
trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International
Publishers, 1971), 10–12.
Daftar Pustaka
Anderson, B. (2012). Revolusi pemuda (M. F.
Anam, Trans.). Marjin Kiri. (Karya asli diterbitkan 2001)
Chakrabarty, D. (2000). Provincializing Europe:
Postcolonial thought and historical difference. Princeton University Press.
Dewantara, K. H. (2004). Pemikiran, konsepsi,
keteladanan, dan sikap merdeka. Majelis Luhur Taman Siswa.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Karya asli diterbitkan 1970)
Gramsci, A. (1971). Selections from the prison
notebooks (Q. Hoare & G. N. Smith, Eds. & Trans.). International
Publishers.
Hidayat, K. (2003). Psikologi beragama.
Paramadina.
Horkheimer, M. (2002). Critical theory: Selected
essays (M. J. O’Connell, Trans.). Continuum. (Karya asli diterbitkan 1968)
Kant, I. (2009). An answer to the question: What
is enlightenment? (H. B. Nisbet, Trans.). Penguin Books. (Karya asli
diterbitkan 1784)
Kuntowijoyo. (2001). Muslim tanpa masjid.
Mizan.
Kuntowijoyo. (2006). Islam sebagai ilmu.
Tiara Wacana.
Magnis-Suseno, F. (1987). Etika sosial: Sebuah
pengantar. Kanisius.
Magnis-Suseno, F. (1992). Filsafat sebagai ilmu
kritis. Kanisius.
Marx, K., & Engels, F. (1970). The German
ideology (C. J. Arthur, Ed.). International Publishers. (Karya asli
diterbitkan 1846)
Marx, K., & Engels, F. (1940). Dialectics of
nature (C. Dutt, Ed. & Trans.). International Publishers.
McVey, R. T. (1965). The rise of Indonesian
communism. Cornell University Press.
Madjid, N. (1993). Islam, kemodernan, dan
keindonesiaan. Mizan.
Poeze, H. A. (2008). Tan Malaka, gerakan kiri,
dan revolusi Indonesia (Vol. 1–3). KITLV & Pustaka Utama Grafiti.
Tan Malaka. (2016). Madilog: Materialisme,
dialektika, logika. Narasi. (Karya asli ditulis 1942–1943)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar