Rabu, 25 Desember 2024

Pancasila: Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa Indonesia

 Pancasila

Fondasi Utama Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara di Indonesia


Alihkan ke: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

 Kajian Filsafat Pancasila, Kajian Filsafat UUD 1945.


Abstrak

Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia memiliki peran sentral dalam membentuk jati diri bangsa dan arah kehidupan bernegara. Pembahasan komprehensif mengenai Pancasila meliputi sejarah perumusannya, nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, serta implementasinya dalam kehidupan sosial, politik, hukum, dan pendidikan. Kajian ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman terhadap makna setiap sila dalam konteks historis dan relevansinya di era kontemporer. Pendekatan multidisipliner digunakan untuk mengulas Pancasila sebagai ideologi terbuka yang mampu beradaptasi terhadap dinamika zaman tanpa kehilangan esensi dasarnya. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa Pancasila bukan hanya fondasi konstitusional, tetapi juga pedoman etika dan moral bangsa dalam mewujudkan keadilan sosial dan persatuan nasional. Dengan demikian, revitalisasi nilai-nilai Pancasila secara konsisten menjadi keharusan dalam rangka memperkuat integritas nasional dan menghadapi tantangan globalisasi.

Kata Kunci: Pancasila, dasar negara, ideologi terbuka, nilai-nilai kebangsaan, implementasi, keadilan sosial, integritas nasional.


PEMBAHASAN

Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia


1.           Pendahuluan

Pancasila adalah fondasi utama kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Sebagai ideologi negara, Pancasila memuat nilai-nilai yang menjadi pedoman dalam membangun kehidupan yang harmonis di tengah kebhinekaan. Dalam era globalisasi dan tantangan ideologis yang terus berkembang, memahami dan mengkaji Pancasila secara komprehensif menjadi kebutuhan mendesak agar nilai-nilainya tetap relevan dan berfungsi sebagai pijakan bersama.

1.1.       Latar Belakang Kajian

Sejarah perjalanan bangsa Indonesia menunjukkan bahwa Pancasila lahir dari pergumulan pemikiran dan semangat kebangsaan para pendiri bangsa. Rumusan Pancasila tidak muncul begitu saja, melainkan melalui proses panjang yang melibatkan perdebatan filosofis, sosial, dan politik pada masa persiapan kemerdekaan. Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) merupakan momen krusial dalam merumuskan dasar negara yang mampu menyatukan seluruh elemen bangsa, termasuk keanekaragaman budaya, agama, dan etnis di Indonesia.¹

Selain itu, Pancasila memiliki keistimewaan sebagai dasar negara yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga ideologis dan praktis. Hal ini tercermin dari nilai-nilai yang terkandung dalam setiap silanya, yang relevan untuk menjawab tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara sepanjang masa.² Dalam konteks kekinian, globalisasi dan perkembangan teknologi informasi menghadirkan tantangan baru yang mengharuskan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, terutama dalam menjaga integrasi bangsa dan membangun kehidupan yang berkeadilan.

1.2.       Tujuan Artikel

Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Pembahasan mencakup sejarah lahirnya Pancasila, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, implementasinya dalam berbagai aspek kehidupan, serta relevansinya dalam menjawab tantangan era modern. Kajian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi masyarakat umum, pendidik, dan pembuat kebijakan untuk terus menguatkan Pancasila sebagai landasan kehidupan bernegara.

1.3.       Metodologi Penulisan

Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan historis, filosofis, dan yuridis, dengan merujuk pada sumber-sumber primer seperti dokumen resmi negara, pidato pendiri bangsa, dan karya-karya ilmiah yang relevan. Misalnya, dokumen Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi acuan utama dalam memahami peran Pancasila sebagai dasar negara.³ Pendekatan ini bertujuan untuk menyajikan pembahasan yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

1.4.       Signifikansi Pembahasan

Kajian ini memiliki signifikansi dalam memperkuat pemahaman kolektif terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai perekat bangsa. Dalam situasi di mana ideologi-ideologi transnasional berpotensi menggoyahkan keutuhan bangsa, Pancasila berperan sebagai benteng utama yang dapat mengatasi perpecahan. Dengan demikian, pembahasan ini tidak hanya menjadi wacana teoretis, tetapi juga memiliki dampak praktis dalam membangun ketahanan ideologis bangsa.


Catatan Kaki

[1]              Soekarno, "Lahirnya Pancasila," dalam Pidato 1 Juni 1945 di Sidang BPUPKI (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1995), 13-17.

[2]              Kaelan, Pancasila: Pendekatan Historis, Filosofis, dan Yuridis (Yogyakarta: Paradigma, 2010), 45.

[3]              Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1945), Pembukaan.


2.           Sejarah Lahirnya Pancasila

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak muncul secara instan, melainkan melalui proses panjang yang melibatkan pergulatan ideologis, politik, dan kebangsaan. Perumusan Pancasila merupakan hasil dialog intensif antara para pendiri bangsa dalam upaya menciptakan landasan bersama untuk negara yang baru merdeka. Proses ini mencerminkan keragaman pandangan dan kebutuhan untuk menyatukan visi bangsa yang beragam dalam bingkai ideologi yang universal dan kontekstual.

2.1.       Perumusan Awal: Pidato Soekarno pada Sidang BPUPKI

Gagasan awal tentang Pancasila disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam pidato tersebut, Soekarno mengajukan lima prinsip yang ia sebut "Pancasila," yaitu: (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau perikemanusiaan, (3) Mufakat atau demokrasi, (4) Kesejahteraan sosial, dan (5) Ketuhanan yang berkebudayaan.¹ Soekarno menekankan bahwa prinsip-prinsip tersebut bersifat fleksibel dan dapat diringkas menjadi tiga (Trisila) atau satu (Ekasila), yang bermuara pada gotong-royong.²

Pidato Soekarno menjadi landasan filosofis yang kuat bagi Pancasila, mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal dengan semangat modernisme. Pandangan ini diterima dengan baik oleh para anggota BPUPKI karena mampu menjembatani perbedaan ideologis antara kelompok nasionalis sekuler dan kelompok Islam.³

2.2.       Penyempurnaan melalui Piagam Jakarta

Langkah berikutnya dalam perumusan Pancasila terjadi dalam rapat Panitia Sembilan yang dibentuk oleh BPUPKI pada 22 Juni 1945. Panitia ini menghasilkan Piagam Jakarta, sebuah dokumen yang memuat lima sila Pancasila dengan formulasi awal.⁴ Salah satu poin penting adalah sila pertama, yang berbunyi: "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."⁵ Namun, setelah diskusi lebih lanjut, terutama dengan mempertimbangkan keberagaman masyarakat Indonesia, kalimat tersebut disesuaikan menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa," seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.⁶

2.3.       Penetapan dalam Pembukaan UUD 1945

Pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) secara resmi menetapkan Pancasila sebagai dasar negara melalui Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Penetapan ini menandai finalisasi Pancasila sebagai landasan filosofis, politik, dan ideologis negara Indonesia yang merdeka.⁷

2.4.       Makna Sejarah Perumusan Pancasila

Sejarah lahirnya Pancasila menunjukkan kemampuan para pendiri bangsa untuk merumuskan konsensus nasional yang inklusif. Proses ini tidak hanya mencerminkan kedalaman pemikiran filosofis, tetapi juga semangat musyawarah dalam menghadapi perbedaan. Dengan demikian, Pancasila menjadi dasar negara yang mencerminkan nilai-nilai universal sekaligus karakter khas bangsa Indonesia.⁸


Catatan Kaki

[1]              Soekarno, "Lahirnya Pancasila," dalam Pidato 1 Juni 1945 di Sidang BPUPKI (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1995), 15.

[2]              Kaelan, Pancasila: Pendekatan Historis, Filosofis, dan Yuridis (Yogyakarta: Paradigma, 2010), 67.

[3]              Anhar Gonggong, Indonesia dalam Kajian Sejarah (Jakarta: Kompas, 2010), 132.

[4]              Mohammad Hatta, Memoar Mohammad Hatta (Jakarta: Tintamas, 1979), 62.

[5]              Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985), 45.

[6]              Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 204.

[7]              Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1945), Pembukaan.

[8]              Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1980), 89.


3.           Nilai-Nilai Dasar Pancasila

Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia mengandung nilai-nilai luhur yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kelima sila dalam Pancasila bukan sekadar rangkaian kata, tetapi merepresentasikan prinsip-prinsip fundamental yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan. Nilai-nilai ini mencerminkan visi bangsa Indonesia dalam menciptakan kehidupan yang adil, makmur, dan harmonis.

3.1.       Ketuhanan Yang Maha Esa

Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar moral dan spiritual bagi kehidupan bangsa Indonesia. Sila ini menegaskan bahwa bangsa Indonesia mengakui keberadaan Tuhan yang menjadi sumber segala kebenaran dan kebaikan.¹ Sila pertama juga mencerminkan penghormatan terhadap kebebasan beragama, sebagaimana tertuang dalam Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Nilai ini mendorong toleransi antarumat beragama dan menjadikan keberagaman keyakinan sebagai kekuatan bangsa.³

3.2.       Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Nilai kemanusiaan menekankan penghormatan terhadap martabat manusia dan hak asasi setiap individu.⁴ Prinsip ini menuntut keadilan sosial tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, atau golongan.⁵ Dalam kehidupan berbangsa, sila kedua menjadi landasan bagi upaya penegakan hak asasi manusia dan keadilan universal.

Sila ini juga menegaskan pentingnya sifat beradab, yakni mencerminkan perilaku yang bermoral, beretika, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.⁶

3.3.       Persatuan Indonesia

Sila ketiga mencerminkan semangat nasionalisme yang mempersatukan seluruh elemen bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nilai ini mengedepankan persatuan di tengah keberagaman budaya, etnis, dan agama yang menjadi ciri khas Indonesia.⁷

Prinsip ini tidak hanya berfungsi sebagai dasar politik negara, tetapi juga menjadi perekat sosial yang menjaga integritas bangsa. Dalam konteks globalisasi, nilai persatuan menuntut komitmen kolektif untuk mempertahankan keutuhan bangsa di tengah tantangan modernitas dan ideologi transnasional.⁸

3.4.       Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Sila keempat menegaskan prinsip demokrasi yang khas Indonesia, yakni demokrasi yang berlandaskan musyawarah untuk mencapai mufakat.⁹ Prinsip ini menolak dominasi mayoritas dan mengutamakan kebersamaan dalam pengambilan keputusan.

Nilai ini juga mencerminkan keadilan prosedural, yaitu proses pengambilan keputusan yang dilakukan dengan hikmat dan kebijaksanaan, bukan berdasarkan kekuasaan semata.¹⁰ Dalam praktiknya, sila keempat menjadi dasar bagi sistem politik yang menjunjung tinggi aspirasi rakyat melalui mekanisme perwakilan.

3.5.       Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sila kelima menggarisbawahi pentingnya pemerataan kesejahteraan dan keadilan dalam seluruh aspek kehidupan.¹¹ Nilai ini berorientasi pada penghapusan ketimpangan sosial dan ekonomi yang menjadi tantangan utama dalam pembangunan nasional.

Prinsip keadilan sosial menghendaki tanggung jawab kolektif dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera, di mana tidak ada golongan yang merasa tertindas atau terabaikan.¹² Nilai ini juga menjadi dasar bagi kebijakan pembangunan yang berpihak kepada masyarakat kecil dan marginal.¹³

3.6.       Kesalingterkaitan Nilai-Nilai Pancasila

Kelima sila dalam Pancasila saling terkait dan membentuk satu kesatuan sistem nilai yang utuh.¹⁴ Nilai Ketuhanan menjadi landasan spiritual, nilai Kemanusiaan memberi arah moral, nilai Persatuan menjadi perekat kebangsaan, nilai Kerakyatan menjadi mekanisme demokrasi, dan nilai Keadilan Sosial menjadi tujuan akhir dari kehidupan bernegara. Kesatuan nilai-nilai ini mencerminkan visi kolektif bangsa Indonesia untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan sejahtera.


Catatan Kaki

[1]              Soekarno, Lahirnya Pancasila: Pidato 1 Juni 1945 (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1995), 15.

[2]              Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1945), Pasal 29 ayat 2.

[3]              Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 65.

[4]              Kaelan, Pancasila: Pendekatan Historis, Filosofis, dan Yuridis (Yogyakarta: Paradigma, 2010), 77.

[5]              Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 45.

[6]              Anhar Gonggong, Indonesia dalam Kajian Sejarah (Jakarta: Kompas, 2010), 132.

[7]              Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1980), 89.

[8]              Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985), 105.

[9]              Mohammad Hatta, Memoar Mohammad Hatta (Jakarta: Tintamas, 1979), 92.

[10]          Kaelan, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 102.

[11]          Yudi Latif, Negara Paripurna, 120.

[12]          Soekarno, Lahirnya Pancasila, 21.

[13]          Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, 112.

[14]          Kaelan, Pancasila: Pendekatan Historis, Filosofis, dan Yuridis, 135.


4.           Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa

Pancasila adalah dasar negara (philosophische grondslag) sekaligus pandangan hidup bangsa Indonesia. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan landasan utama dalam pembentukan dan pelaksanaan sistem politik, hukum, ekonomi, dan sosial. Di sisi lain, sebagai pandangan hidup, Pancasila berfungsi sebagai pedoman moral dan etika bagi masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kedua peran ini menjadikan Pancasila tidak hanya sebagai norma yuridis tetapi juga sebagai prinsip yang bersifat filosofis dan praktis.

4.1.       Pancasila sebagai Dasar Negara

Sebagai dasar negara, Pancasila berfungsi sebagai landasan konstitusional yang memberikan arah dan tujuan bagi bangsa Indonesia. Kedudukan ini secara eksplisit tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Pancasila adalah dasar bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara.¹

Pancasila memberikan legitimasi terhadap kebijakan negara dan menjadi sumber hukum tertinggi.² Setiap peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila agar memiliki kekuatan hukum yang sah.³ Dengan demikian, Pancasila menjadi pedoman normatif dalam membangun sistem hukum yang adil dan demokratis.

Dalam konteks politik, sila keempat Pancasila, yakni “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,” menjadi landasan bagi penerapan demokrasi Pancasila.⁴ Demokrasi ini menekankan musyawarah untuk mencapai mufakat sebagai mekanisme pengambilan keputusan, berbeda dengan demokrasi liberal yang mengutamakan suara mayoritas.⁵

4.2.       Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa

Sebagai pandangan hidup bangsa (way of life), Pancasila menjadi pedoman moral yang memberikan arah dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai dalam Pancasila tidak hanya bersifat abstrak tetapi juga memberikan prinsip-prinsip praktis untuk membangun kehidupan yang harmonis, baik di tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat.⁶

Setiap sila dalam Pancasila memiliki implikasi dalam kehidupan sehari-hari:

·                     Sila pertama mengajarkan pentingnya hubungan antara manusia dengan Tuhan yang Maha Esa, yang diwujudkan melalui kehidupan beragama yang damai dan saling menghormati.⁷

·                     Sila kedua menekankan penghormatan terhadap hak asasi manusia, kesetaraan, dan keadilan sosial.⁸

·                     Sila ketiga menginspirasi semangat persatuan di tengah keberagaman etnis, budaya, dan agama.⁹

·                     Sila keempat mengajarkan pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan masalah bersama.¹⁰

·                     Sila kelima menjadi pengingat akan pentingnya pemerataan ekonomi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.¹¹

Sebagai pandangan hidup, Pancasila juga mendorong terbentuknya karakter bangsa yang berkepribadian kuat, menjunjung tinggi nilai-nilai gotong-royong, toleransi, dan keadilan.¹² Hal ini relevan dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sering kali mengikis nilai-nilai lokal.

4.3.       Hubungan Antara Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa

Peran Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa saling melengkapi. Sebagai dasar negara, Pancasila memberikan landasan hukum dan politik; sebagai pandangan hidup, Pancasila mengilhami kehidupan sosial dan budaya.¹³ Hubungan ini memastikan bahwa Pancasila tetap relevan dalam menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan esensi dasarnya.¹⁴

Dalam sejarah bangsa Indonesia, Pancasila telah terbukti menjadi pedoman yang kokoh dalam mengatasi berbagai tantangan, seperti perpecahan ideologis, konflik sosial, dan dinamika politik global. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang peran Pancasila sangat penting untuk menjamin keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan berkeadilan.¹⁵


Catatan Kaki

[1]              Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1945), Pembukaan.

[2]              Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 32.

[3]              Kaelan, Pancasila: Pendekatan Historis, Filosofis, dan Yuridis (Yogyakarta: Paradigma, 2010), 55.

[4]              Soekarno, "Lahirnya Pancasila," dalam Pidato 1 Juni 1945 di Sidang BPUPKI (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1995), 17.

[5]              Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 89.

[6]              Kaelan, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 102.

[7]              Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1980), 68.

[8]              Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985), 45.

[9]              Mohammad Hatta, Memoar Mohammad Hatta (Jakarta: Tintamas, 1979), 88.

[10]          Anhar Gonggong, Indonesia dalam Kajian Sejarah (Jakarta: Kompas, 2010), 132.

[11]          Yudi Latif, Negara Paripurna, 204.

[12]          Soekarno, Lahirnya Pancasila, 21.

[13]          Kaelan, Pancasila: Pendekatan Historis, Filosofis, dan Yuridis, 67.

[14]          Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, 112.

[15]          Yudi Latif, Negara Paripurna, 245.


5.           Relevansi Pancasila dalam Konteks Kekinian

Dalam era globalisasi yang penuh tantangan, relevansi Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia tetap menjadi aspek penting yang perlu dikuatkan. Globalisasi, perkembangan teknologi informasi, dan dinamika sosial-politik yang kompleks telah membawa berbagai tantangan baru yang menuntut reaktualisasi nilai-nilai Pancasila. Namun, nilai-nilai Pancasila tetap relevan sebagai pedoman bagi bangsa Indonesia untuk menjaga keutuhan, kesejahteraan, dan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

5.1.       Tantangan Globalisasi dan Identitas Nasional

Globalisasi telah membawa dampak signifikan terhadap tatanan ekonomi, budaya, dan politik. Arus informasi yang deras dan penetrasi budaya asing berpotensi melemahkan identitas nasional.¹ Di sinilah nilai-nilai Pancasila, seperti persatuan dan keadilan sosial, memainkan peran penting dalam menjaga jati diri bangsa.

Sila ketiga, “Persatuan Indonesia,” menjadi pedoman untuk memperkuat integrasi nasional di tengah keberagaman.² Selain itu, sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” relevan dalam mendorong kebijakan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan untuk menghadapi ketimpangan sosial yang sering kali diperparah oleh globalisasi.³

5.2.       Pancasila dan Pendidikan Karakter

Pancasila memiliki peran strategis dalam pembentukan karakter generasi muda. Pendidikan Pancasila di sekolah tidak hanya berfungsi untuk memperkenalkan nilai-nilai dasar bangsa tetapi juga untuk menanamkan moralitas dan etika yang kuat.⁴

Dalam konteks kekinian, di mana anak muda terpapar oleh berbagai pengaruh budaya asing, pendidikan berbasis Pancasila dapat menjadi benteng dalam menjaga identitas nasional.⁵ Nilai-nilai seperti gotong-royong, toleransi, dan musyawarah, yang terkandung dalam Pancasila, harus terus diajarkan agar generasi muda memiliki fondasi moral yang kuat untuk menghadapi tantangan masa depan.⁶

5.3.       Relevansi Pancasila dalam Kerukunan Beragama

Indonesia sebagai negara dengan pluralitas agama menghadapi tantangan dalam menjaga harmoni sosial. Konflik berbasis agama yang sering kali muncul dapat mengancam persatuan bangsa jika tidak ditangani dengan baik.⁷

Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” menegaskan bahwa Indonesia menghormati kebebasan beragama dan menolak diskriminasi atas dasar keyakinan.⁸ Nilai ini menjadi landasan penting dalam membangun dialog antarumat beragama, mengatasi konflik, dan menciptakan masyarakat yang toleran.⁹

5.4.       Pancasila dalam Pembangunan Ekonomi

Tantangan ekonomi, seperti ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, menuntut implementasi sila kelima secara nyata. Prinsip keadilan sosial menghendaki pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil dan daerah tertinggal.¹⁰ Dalam konteks ini, Pancasila mendorong pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan kolektif tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.¹¹

Pancasila juga menjadi panduan dalam mengembangkan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan.¹²

5.5.       Pancasila sebagai Solusi di Tengah Politisasi Ideologi

Dalam beberapa tahun terakhir, politisasi ideologi dan penggunaan Pancasila sebagai alat politik telah menjadi isu yang cukup mengkhawatirkan.¹³ Untuk menjaga relevansi Pancasila, penting untuk mengembalikan nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman moral dan tidak menjadikannya instrumen kekuasaan.¹⁴

Prinsip musyawarah untuk mufakat dalam sila keempat dapat menjadi solusi dalam menghadapi konflik politik dan mendorong terciptanya stabilitas nasional.¹⁵

5.6.       Reaktualisasi Nilai Pancasila

Reaktualisasi Pancasila tidak berarti mengubah esensinya, tetapi menafsirkan kembali nilai-nilainya agar dapat diterapkan dalam konteks modern.¹⁶ Pendekatan ini mencakup integrasi nilai-nilai Pancasila dalam teknologi, ekonomi digital, dan kebijakan publik untuk menjawab kebutuhan masyarakat kontemporer.¹⁷

Dengan demikian, Pancasila tetap relevan dalam memberikan solusi bagi tantangan bangsa, baik di bidang sosial, politik, maupun ekonomi. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tidak hanya menjadi pedoman normatif tetapi juga menawarkan arah strategis bagi pembangunan nasional di masa depan.


Catatan Kaki

[1]              Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 120.

[2]              Kaelan, Pancasila: Pendekatan Historis, Filosofis, dan Yuridis (Yogyakarta: Paradigma, 2010), 98.

[3]              Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1980), 145.

[4]              Anhar Gonggong, Indonesia dalam Kajian Sejarah (Jakarta: Kompas, 2010), 132.

[5]              Kaelan, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 88.

[6]              Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985), 135.

[7]              Yudi Latif, Negara Paripurna, 154.

[8]              Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1945), Pasal 29 ayat 1.

[9]              Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, 112.

[10]          Mohammad Hatta, Memoar Mohammad Hatta (Jakarta: Tintamas, 1979), 72.

[11]          Kaelan, Pancasila: Pendekatan Historis, Filosofis, dan Yuridis, 104.

[12]          Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 48.

[13]          Anhar Gonggong, Indonesia dalam Kajian Sejarah, 148.

[14]          Yudi Latif, Negara Paripurna, 165.

[15]          Soekarno, Lahirnya Pancasila, 21.

[16]          Kaelan, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, 122.

[17]          Yudi Latif, Negara Paripurna, 192.


6.           Kritik dan Tantangan terhadap Implementasi Pancasila

Meskipun Pancasila telah ditetapkan sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, implementasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak selalu berjalan mulus. Banyak tantangan dan kritik yang muncul terkait penerapan nilai-nilai Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan. Tantangan ini bukan hanya datang dari faktor internal, seperti lemahnya komitmen elite politik, tetapi juga dari pengaruh eksternal seperti globalisasi dan ideologi transnasional.

6.1.       Masalah Inkonsistensi Implementasi

Salah satu kritik utama terhadap implementasi Pancasila adalah inkonsistensi antara nilai-nilai Pancasila dan praktik kehidupan bernegara.¹ Sering kali, kebijakan pemerintah tidak mencerminkan prinsip-prinsip keadilan sosial, demokrasi, atau penghormatan terhadap hak asasi manusia yang menjadi inti dari Pancasila.²

Misalnya, program pembangunan ekonomi yang cenderung menguntungkan kelompok tertentu masih menunjukkan ketimpangan yang signifikan.³ Hal ini bertentangan dengan sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” yang mengamanatkan pemerataan kesejahteraan.

6.2.       Politisasi Pancasila

Pancasila sering kali dipolitisasi untuk kepentingan tertentu, terutama dalam dunia politik.⁴ Pancasila dijadikan alat legitimasi bagi pihak-pihak yang berkuasa, sehingga mengaburkan esensi nilai-nilainya.⁵ Politisasi ini tidak hanya melemahkan posisi Pancasila sebagai pedoman moral, tetapi juga mengurangi kepercayaan masyarakat terhadapnya.⁶

Contoh konkrit adalah penggunaan Pancasila sebagai senjata politik untuk menyingkirkan kelompok yang dianggap tidak sejalan, tanpa memberikan ruang untuk dialog yang konstruktif.⁷

6.3.       Tantangan Ideologi Transnasional

Tantangan lain yang signifikan adalah masuknya ideologi transnasional yang berusaha menggeser Pancasila sebagai dasar negara.⁸ Ideologi-ideologi ini, baik dalam bentuk ekstremisme agama maupun liberalisme yang berlebihan, sering kali bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila.⁹

Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” yang menekankan toleransi antaragama, menghadapi tantangan dari kelompok ekstrem yang mencoba memaksakan interpretasi agama tertentu.¹⁰ Di sisi lain, globalisasi juga membawa paham materialisme dan individualisme yang dapat mengikis nilai gotong-royong dan solidaritas sosial.¹¹

6.4.       Kurangnya Pendidikan Pancasila yang Efektif

Sistem pendidikan nasional belum sepenuhnya berhasil menanamkan nilai-nilai Pancasila secara efektif. Pendidikan Pancasila sering kali dianggap sebagai mata pelajaran yang hanya menekankan hafalan, bukan penghayatan nilai-nilai.¹² Akibatnya, generasi muda tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang Pancasila sebagai pedoman hidup.¹³

Kekurangan ini menjadi semakin penting untuk diperhatikan mengingat generasi muda adalah tulang punggung masa depan bangsa.

6.5.       Kurangnya Keteladanan dari Pemimpin

Kritik lainnya adalah kurangnya keteladanan dari para pemimpin dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila.¹⁴ Praktik korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan menunjukkan bahwa banyak pemimpin tidak menjadikan Pancasila sebagai pedoman moral.¹⁵ Keteladanan dari pemimpin sangat penting karena mereka menjadi panutan bagi masyarakat dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila.

6.6.       Upaya Mengatasi Tantangan

Untuk menghadapi kritik dan tantangan ini, beberapa langkah dapat dilakukan:

1)                  Reformasi Kebijakan:

Kebijakan publik harus dirancang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, terutama dalam bidang ekonomi dan keadilan sosial.¹⁶

2)                  Penguatan Pendidikan Pancasila:

Kurikulum pendidikan harus lebih menekankan pada penghayatan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.¹⁷

3)                  Keteladanan Pemimpin:

Pemimpin harus menjadi teladan dalam mengamalkan Pancasila untuk membangun kepercayaan masyarakat.¹⁸

4)                  Pemberdayaan Masyarakat:

Masyarakat harus diberdayakan untuk ikut serta dalam mengamalkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.¹⁹


Catatan Kaki

[1]              Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 145.

[2]              Kaelan, Pancasila: Pendekatan Historis, Filosofis, dan Yuridis (Yogyakarta: Paradigma, 2010), 89.

[3]              Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1980), 112.

[4]              Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985), 157.

[5]              Anhar Gonggong, Indonesia dalam Kajian Sejarah (Jakarta: Kompas, 2010), 154.

[6]              Mohammad Hatta, Memoar Mohammad Hatta (Jakarta: Tintamas, 1979), 102.

[7]              Yudi Latif, Negara Paripurna, 165.

[8]              Kaelan, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 122.

[9]              Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 61.

[10]          Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, 145.

[11]          Yudi Latif, Negara Paripurna, 189.

[12]          Kaelan, Pancasila: Pendekatan Historis, Filosofis, dan Yuridis, 102.

[13]          Anhar Gonggong, Indonesia dalam Kajian Sejarah, 168.

[14]          Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, 175.

[15]          Yudi Latif, Negara Paripurna, 192.

[16]          Kaelan, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, 134.

[17]          Yudi Latif, Negara Paripurna, 214.

[18]          Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, 175.

[19]          Mohammad Hatta, Memoar Mohammad Hatta, 120.


7.           Rekomendasi dan Solusi

Untuk memastikan implementasi nilai-nilai Pancasila secara optimal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, diperlukan langkah-langkah strategis yang komprehensif dan terintegrasi. Berikut adalah beberapa rekomendasi dan solusi yang dapat dilakukan untuk menghadapi tantangan dan kritik terhadap penerapan Pancasila:

7.1.       Penguatan Pendidikan Berbasis Pancasila

Pendidikan merupakan kunci utama dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila. Sistem pendidikan nasional harus diperkuat untuk mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum sekolah secara kontekstual dan aplikatif.¹

Alih-alih hanya menghafalkan sila-sila Pancasila, siswa perlu diajarkan untuk memahami dan menerapkan nilai-nilai seperti gotong-royong, toleransi, dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari.² Program pendidikan karakter berbasis Pancasila harus dioptimalkan untuk membentuk generasi muda yang memiliki kepribadian kuat dan berintegritas.³

7.2.       Reformasi Kebijakan Publik

Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil mencerminkan nilai-nilai Pancasila.⁴ Misalnya, kebijakan ekonomi harus berorientasi pada pemerataan kesejahteraan dan pengurangan ketimpangan sosial sebagaimana diamanatkan dalam sila kelima.⁵

Selain itu, reformasi dalam sistem peradilan dan pemberantasan korupsi harus dilakukan untuk memastikan terciptanya keadilan sosial dan kepercayaan masyarakat terhadap negara.⁶

7.3.       Peningkatan Keteladanan dari Pemimpin

Pemimpin, baik di tingkat nasional maupun lokal, harus menjadi teladan dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila.⁷ Keteladanan ini penting untuk menciptakan kepercayaan publik dan mendorong masyarakat untuk ikut mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.⁸

Para pemimpin harus menunjukkan komitmen terhadap prinsip musyawarah, keadilan sosial, dan pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan semangat Pancasila.⁹

7.4.       Peningkatan Partisipasi Masyarakat

Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam proses implementasi Pancasila.¹⁰ Program-program pemberdayaan masyarakat berbasis Pancasila harus dikembangkan, terutama di daerah-daerah yang memiliki potensi konflik sosial.¹¹

Gotong-royong sebagai inti dari Pancasila harus dihidupkan kembali melalui kegiatan sosial, seperti program kerja sama lintas agama dan budaya, yang dapat memperkuat solidaritas nasional.¹²

7.5.       Peningkatan Literasi Pancasila melalui Teknologi

Di era digital, media sosial dan teknologi informasi dapat menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan nilai-nilai Pancasila.¹³ Kampanye literasi Pancasila melalui platform digital harus dilakukan untuk menjangkau generasi muda dan masyarakat luas.¹⁴

Konten kreatif, seperti video pendek, infografis, dan podcast, dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan Pancasila secara menarik dan mudah dipahami.¹⁵

7.6.       Penegakan Hukum Berbasis Pancasila

Penegakan hukum harus didasarkan pada nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam Pancasila.¹⁶ Aparat penegak hukum perlu dilatih untuk memahami Pancasila sebagai landasan dalam menjalankan tugas mereka, sehingga keadilan tidak hanya menjadi slogan tetapi diwujudkan secara nyata.¹⁷

Pencegahan dan pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berintegritas, sesuai dengan semangat keadilan sosial dalam sila kelima.¹⁸

7.7.       Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Modern

Nilai-nilai Pancasila harus terus direaktualisasi agar relevan dengan perkembangan zaman.¹⁹ Ini mencakup penerapan Pancasila dalam pengembangan teknologi, ekonomi digital, dan kebijakan yang responsif terhadap isu-isu global seperti perubahan iklim dan ketimpangan ekonomi.²⁰

Reaktualisasi ini harus dilakukan tanpa menghilangkan esensi asli dari Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa Indonesia.

Kesimpulan

Melalui langkah-langkah strategis ini, implementasi nilai-nilai Pancasila dapat ditingkatkan untuk menjawab tantangan kekinian. Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai dasar negara tetapi juga sebagai panduan dalam menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan harmonis.²¹ Dengan komitmen bersama dari pemerintah, masyarakat, dan semua elemen bangsa, Pancasila akan tetap relevan sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.


Catatan Kaki

[1]              Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 220.

[2]              Kaelan, Pancasila: Pendekatan Historis, Filosofis, dan Yuridis (Yogyakarta: Paradigma, 2010), 104.

[3]              Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1980), 98.

[4]              Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985), 155.

[5]              Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1945), Pasal 33.

[6]              Anhar Gonggong, Indonesia dalam Kajian Sejarah (Jakarta: Kompas, 2010), 160.

[7]              Kaelan, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 132.

[8]              Yudi Latif, Negara Paripurna, 245.

[9]              Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, 112.

[10]          Mohammad Hatta, Memoar Mohammad Hatta (Jakarta: Tintamas, 1979), 102.

[11]          Yudi Latif, Negara Paripurna, 210.

[12]          Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, 165.

[13]          Kaelan, Pancasila: Pendekatan Historis, Filosofis, dan Yuridis, 114.

[14]          Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, 120.

[15]          Yudi Latif, Negara Paripurna, 230.

[16]          Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 74.

[17]          Anhar Gonggong, Indonesia dalam Kajian Sejarah, 172.

[18]          Yudi Latif, Negara Paripurna, 205.

[19]          Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, 140.

[20]          Kaelan, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, 155.

[21]          Yudi Latif, Negara Paripurna, 250.


8.           Kesimpulan

Pancasila merupakan dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia yang tidak hanya berfungsi sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara tetapi juga sebagai pandangan hidup yang membimbing masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Sejarah lahirnya Pancasila menunjukkan kejeniusan para pendiri bangsa dalam merumuskan landasan filosofis yang mampu menyatukan keberagaman Indonesia.¹ Dalam perkembangannya, Pancasila telah menjadi pedoman moral, politik, dan sosial yang relevan dalam menghadapi berbagai tantangan di tingkat nasional maupun global.

Sebagai dasar negara, Pancasila memberikan kerangka konstitusional yang memastikan keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.² Setiap kebijakan dan peraturan yang diambil oleh pemerintah harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila untuk menjaga legitimasi dan keadilan.³ Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila menginspirasi perilaku masyarakat dalam menjunjung tinggi toleransi, gotong-royong, dan penghormatan terhadap kemanusiaan.⁴

Namun, implementasi Pancasila dihadapkan pada sejumlah tantangan, seperti politisasi nilai-nilainya, inkonsistensi dalam kebijakan, dan pengaruh ideologi transnasional.⁵ Globalisasi juga memperkenalkan nilai-nilai baru yang sering kali bertentangan dengan karakteristik Pancasila, seperti individualisme dan materialisme.⁶ Pendidikan berbasis Pancasila, yang menjadi kunci pembentukan karakter bangsa, juga belum sepenuhnya efektif dalam menanamkan nilai-nilai luhur ini pada generasi muda.⁷

Untuk menjawab tantangan ini, reaktualisasi Pancasila menjadi penting. Proses ini tidak berarti mengubah esensi Pancasila tetapi menafsirkan kembali nilai-nilainya dalam konteks kekinian, seperti dalam pengembangan teknologi, ekonomi digital, dan kebijakan publik yang responsif terhadap isu-isu global.⁸ Pendidikan karakter berbasis Pancasila, keteladanan pemimpin, serta partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci dalam menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.⁹

Secara keseluruhan, Pancasila tetap relevan sebagai ideologi bangsa yang mempersatukan, memberikan arah pembangunan, dan menjadi solusi bagi tantangan masa depan.¹⁰ Dengan komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat, dan generasi muda, Pancasila dapat terus berfungsi sebagai pilar utama dalam membangun Indonesia yang adil, makmur, dan harmonis.


Catatan Kaki

[1]              Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 45.

[2]              Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1945), Pembukaan.

[3]              Kaelan, Pancasila: Pendekatan Historis, Filosofis, dan Yuridis (Yogyakarta: Paradigma, 2010), 89.

[4]              Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1980), 132.

[5]              Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985), 145.

[6]              Anhar Gonggong, Indonesia dalam Kajian Sejarah (Jakarta: Kompas, 2010), 160.

[7]              Kaelan, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 102.

[8]              Yudi Latif, Negara Paripurna, 189.

[9]              Mohammad Hatta, Memoar Mohammad Hatta (Jakarta: Tintamas, 1979), 88.

[10]          Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, 175.


Daftar Pustaka

Alfian. (1980). Pemikiran dan perubahan politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Gonggong, A. (2010). Indonesia dalam kajian sejarah. Jakarta: Kompas.

Hatta, M. (1979). Memoar Mohammad Hatta. Jakarta: Tintamas.

Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Kaelan. (2010). Pancasila: Pendekatan historis, filosofis, dan yuridis. Yogyakarta: Paradigma.

Kaelan. (2013). Filsafat Pancasila: Pandangan hidup bangsa Indonesia. Yogyakarta: Paradigma.

Latif, Y. (2011). Negara paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.

Notonagoro. (1995). Pancasila secara ilmiah populer. Jakarta: Bumi Aksara.

Soekarno. (1995). Lahirnya Pancasila: Pidato 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.

Syafii Maarif, A. (1985). Islam dan masalah kenegaraan: Studi tentang percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar