Senin, 02 Juni 2025

Pemikiran Ir. Soekarno: Meneguhkan Nasionalisme dan Revolusi

Pemikiran Ir. Soekarno

Meneguhkan Nasionalisme dan Revolusi


Alihkan ke: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran Ir. Soekarno sebagai salah satu arsitek utama ideologi bangsa Indonesia dan pemimpin revolusioner pada masa transisi dari kolonialisme menuju negara merdeka. Melalui pendekatan historis dan analitis, tulisan ini membahas dimensi-dimensi utama pemikiran Soekarno, mulai dari nasionalisme emansipatoris, gagasan tentang demokrasi dan sistem politik, strategi revolusi sosial, hingga pandangan internasionalnya dalam konteks anti-imperialisme global. Pemikiran Soekarno tidak hanya mewarnai perjalanan sejarah Indonesia modern, tetapi juga menghadirkan kontribusi penting dalam wacana global mengenai dekolonisasi, pembangunan bangsa, dan solidaritas dunia ketiga. Artikel ini juga mengevaluasi secara kritis kompleksitas dan kontroversi dari gagasan-gagasan seperti Nasakom dan Demokrasi Terpimpin yang menjadi fondasi ideologis kepemimpinan Soekarno. Melalui pembacaan yang kontekstual dan reflektif, artikel ini menyimpulkan bahwa pemikiran Soekarno tetap relevan sebagai sumber nilai dan inspirasi bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan kebangsaan dan keadilan sosial di era kontemporer.

Kata Kunci: Soekarno; Nasionalisme; Revolusi Sosial; Demokrasi Terpimpin; Anti-Imperialisme; Nasakom; Marhaenisme; Politik Luar Negeri; Pancasila; Identitas Nasional.


PEMBAHASAN

Kajian Komprehensif atas Pemikiran Ir. Soekarno


1.           Pendahuluan

Ir. Soekarno merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah modern Indonesia. Ia tidak hanya dikenang sebagai proklamator kemerdekaan dan Presiden pertama Republik Indonesia, tetapi juga sebagai pemikir besar yang mengembangkan suatu kerangka ideologis yang kuat bagi pembentukan identitas bangsa. Pemikirannya merentang dari soal kebangsaan, sosialisme, demokrasi, hingga tatanan dunia internasional yang adil dan beradab. Oleh karena itu, menelaah pemikiran Soekarno secara komprehensif bukan sekadar upaya historis, melainkan juga refleksi atas tantangan bangsa dalam membangun jati diri dan masa depan yang berdaulat.

Gagasan-gagasan Soekarno tidak muncul dalam ruang hampa. Ia menginternalisasi pengalaman kolonialisme, ketimpangan sosial, serta interaksi dengan pemikiran global seperti marxisme, pan-islamisme, dan nasionalisme Eropa. Dalam konteks inilah, Soekarno merumuskan nasionalisme sebagai kekuatan emansipatoris dan revolusi sebagai jalan pembebasan, bukan sekadar perubahan politik, tetapi juga transformasi sosial dan budaya bangsa Indonesia. Sebagaimana dinyatakannya dalam berbagai tulisan dan pidato, perjuangan nasional bukan hanya untuk "merdeka dari Belanda", tetapi "merdeka untuk menjadi diri sendiri"—yakni bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri, tanpa dominasi asing, dan berkepribadian dalam kebudayaan sendiri.¹

Pemikiran Soekarno bersifat sintetik dan dinamis. Ia berupaya menyatukan berbagai kekuatan ideologis dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Dalam rumusan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme), Soekarno melihat adanya kemungkinan sintesis dialektis antara kekuatan-kekuatan besar dalam masyarakat yang acap kali dianggap antagonistik.² Melalui pendekatan tersebut, Soekarno tidak hanya tampil sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai arsitek ideologi yang berusaha menciptakan tata nilai baru bagi bangsa yang sedang mencari bentuk.

Namun demikian, pemikiran Soekarno tidak lepas dari kontroversi. Beberapa ide sentralnya, seperti Demokrasi Terpimpin dan konsep Nasakom, mendapat kritik tajam, baik dari kalangan akademisi maupun politikus sezamannya.³ Oleh sebab itu, kajian ini bertujuan untuk menggali secara kritis dan proporsional pemikiran-pemikiran Soekarno, baik dari aspek historis, ideologis, maupun relevansinya di masa kini.

Kajian ini menjadi penting mengingat semakin kuatnya tantangan terhadap nilai-nilai kebangsaan dan revolusi dalam era globalisasi yang sarat dengan pragmatisme politik dan disorientasi identitas nasional. Dengan menggali pemikiran Ir. Soekarno, kita tidak hanya belajar dari masa lalu, tetapi juga dapat menemukan inspirasi ideologis dan moral untuk merespons tantangan kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I (Jakarta: Panitia Penerbit DBR, 1963), 154.

[2]                Benedict R. O’G. Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 125.

[3]                Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1962), 433.


2.           Biografi Intelektual Ir. Soekarno

2.1.        Masa Kecil dan Pendidikan Awal

Ir. Soekarno lahir pada 6 Juni 1901 di Surabaya dengan nama asli Koesno Sosrodihardjo. Ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang guru berpendidikan Barat, sedangkan ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, berasal dari kalangan bangsawan Bali.⁽¹⁾ Latar belakang keluarga ini memberikan fondasi awal bagi Soekarno untuk memahami secara langsung kompleksitas sosial budaya Nusantara yang plural. Sejak kecil ia telah menunjukkan kecerdasan dan minat terhadap ilmu pengetahuan dan politik.

Pendidikan formal Soekarno dimulai di Eerste Inlandsche School (Sekolah Rakyat) dan kemudian dilanjutkan di Europeesche Lagere School (ELS). Ia kemudian masuk ke HBS (Hogere Burger School) di Surabaya dan tinggal di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam, yang kemudian sangat mempengaruhi pandangan ideologisnya.⁽²⁾ Di sinilah benih-benih pemikiran nasionalisme, sosialisme, dan Islam politik mulai berakar dalam kesadaran intelektual Soekarno muda.

2.2.        Pendidikan Tinggi dan Formasi Intelektual

Soekarno melanjutkan studi teknik sipil di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini Institut Teknologi Bandung) dan memperoleh gelar insinyur pada tahun 1926. Meskipun latar pendidikannya adalah teknik, minat intelektual Soekarno justru lebih dominan pada bidang sejarah, filsafat, dan politik. Selama masa kuliah, ia banyak membaca karya-karya Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Rousseau, hingga tokoh-tokoh pan-Islamisme seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.⁽³⁾

Formasi intelektual Soekarno tidak hanya dibentuk oleh bacaan, tetapi juga oleh pergumulannya dengan realitas penjajahan. Ia mengembangkan pemikiran yang bersifat sintetik—menggabungkan semangat nasionalisme dengan inspirasi sosialisme dan nilai-nilai Islam. Dalam artikel dan pidatonya, Soekarno menunjukkan kapasitas untuk mengolah teori-teori Barat dan Timur menjadi narasi pembebasan yang kontekstual bagi bangsa Indonesia.⁽⁴⁾

2.3.        Awal Kiprah Politik dan Ekspresi Pemikiran

Aktivitas politik Soekarno dimulai sejak ia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927. Partai ini menjadi wadah baginya untuk mengekspresikan ide-ide revolusioner tentang kemerdekaan dan keadilan sosial. Melalui pidato dan tulisan seperti “Indonesia Menggugat”, Soekarno menegaskan bahwa kolonialisme bukan hanya bentuk dominasi politik, tetapi juga penjajahan atas kebudayaan dan harga diri bangsa.⁽⁵⁾

Dalam karya-karyanya, terlihat bahwa Soekarno tidak hanya mengkritik kolonialisme, tetapi juga mencoba menawarkan visi ideologis mengenai masa depan Indonesia. Ia mengembangkan paham “Marhaenisme”—suatu bentuk sosialisme khas Indonesia yang berpijak pada kehidupan rakyat kecil sebagai basis perjuangan nasional.⁽⁶⁾ Dengan demikian, sejak masa awal pergerakan, Soekarno telah tampil sebagai pemikir yang menyinergikan teori dan praksis dalam medan perjuangan.


Catatan Kaki

[1]                Soekarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams (Indianapolis: The Bobbs-Merrill Company, 1965), 1–3.

[2]                Lambert Giebels, Soekarno: Biografi Politik 1901–1950 (Jakarta: Grasindo, 2001), 48–52.

[3]                Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: Grafiti Pers, 1980), 89–90.

[4]                Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I (Jakarta: Panitia Penerbit DBR, 1963), 97–100.

[5]                Nugroho Notosusanto, Soekarno: Pemikiran dan Perjuangannya (Jakarta: CV Haji Masagung, 1981), 77–79.

[6]                Benedict R. O’G. Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944–1946 (Ithaca: Cornell University Press, 1972), 144.


3.           Dasar-Dasar Pemikiran Ideologis Soekarno

Pemikiran ideologis Ir. Soekarno berakar kuat dalam pergulatan intelektual, sosial, dan historis bangsa Indonesia yang dijajah selama lebih dari tiga abad. Sebagai seorang pemimpin revolusioner dan pemikir nasional, Soekarno mengembangkan suatu sistem gagasan yang berlandaskan pada nilai-nilai humanisme universal, semangat nasionalisme anti-kolonial, dan keadilan sosial. Karakter khas pemikirannya tampak dalam kemampuannya untuk menyinergikan berbagai sumber ideologi, baik dari tradisi Timur maupun Barat, ke dalam suatu sintesis yang kontekstual dengan realitas Indonesia.

3.1.        Humanisme dan Nasionalisme Emansipatoris

Salah satu fondasi utama dalam pemikiran Soekarno adalah humanisme. Bagi Soekarno, kemerdekaan bangsa bukanlah semata-mata pembebasan politik, tetapi juga pembebasan manusia Indonesia dari penindasan, kebodohan, dan ketertinggalan. Dalam pidatonya, ia menegaskan bahwa "kita bukan hendak merdeka menjadi bangsa besar dalam arti penakluk, tetapi menjadi manusia seutuhnya dalam harkat dan martabat."¹ Nasionalisme Soekarno karenanya bersifat emansipatoris—ia menolak nasionalisme chauvinistik dan mengedepankan solidaritas internasional dengan bangsa-bangsa tertindas di Asia dan Afrika.²

3.2.        Anti-Kolonialisme dan Semangat Revolusioner

Soekarno melihat kolonialisme tidak hanya sebagai penjajahan politik dan ekonomi, tetapi juga sebagai sistem dominasi yang menggerogoti identitas dan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, ia meyakini bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia harus ditempuh melalui jalan revolusi, bukan negosiasi gradual. Dalam tulisannya “Mencapai Indonesia Merdeka” (1933), Soekarno menyatakan bahwa revolusi adalah "perkakas untuk mengubah struktur lama yang tidak adil ke dalam struktur baru yang membebaskan rakyat."³

Revolusi yang dimaksud oleh Soekarno bersifat menyeluruh: politik, sosial, dan kultural. Ia tidak hanya menentang penjajahan asing, tetapi juga struktur feodalisme dalam negeri. Dalam hal ini, Soekarno menyatakan perlunya mobilisasi kekuatan rakyat sebagai subjek utama revolusi.⁴

3.3.        Sintesis Islam, Marxisme, dan Nasionalisme

Ciri paling mencolok dari pemikiran ideologis Soekarno adalah kemampuannya meramu sintesis dari tiga arus besar yang mempengaruhi kehidupan Indonesia: Islam, Marxisme, dan Nasionalisme. Ketiganya, menurut Soekarno, dapat dan harus disatukan dalam satu gerak revolusioner untuk melawan imperialisme. Sintesis ini kemudian diwujudkan dalam konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) yang menjadi kerangka ideologis utama pada masa Demokrasi Terpimpin.⁵

Dalam pandangan Soekarno, Islam memiliki kekuatan spiritual dan etika yang besar, Marxisme menawarkan analisis struktural atas ketimpangan sosial, sementara nasionalisme menyediakan semangat kolektif untuk merdeka.⁶ Ia tidak melihat ketiganya sebagai saling bertentangan secara esensial, melainkan sebagai kekuatan yang bisa dipadukan secara dialektis demi kepentingan revolusi nasional.⁷ Gagasan ini tentu menuai perdebatan, tetapi ia mencerminkan pemikiran Soekarno yang terbuka dan visioner dalam merespons kompleksitas masyarakat Indonesia.

3.4.        Ideologisasi Pancasila

Fondasi ideologis Soekarno mencapai puncaknya dalam rumusan Pancasila, yang ia sampaikan dalam pidato bersejarah pada 1 Juni 1945. Dalam Pancasila, Soekarno memformulasikan lima asas kehidupan berbangsa: kebangsaan, internasionalisme (perikemanusiaan), demokrasi, keadilan sosial, dan ketuhanan.⁸ Pancasila tidak hanya menjadi dasar negara, tetapi juga manifestasi dari pandangan ideologisnya yang integral dan inklusif. Ia menyebut Pancasila sebagai “weltanschauung” atau pandangan hidup bangsa Indonesia.⁹


Catatan Kaki

[1]                Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I (Jakarta: Panitia Penerbit DBR, 1963), 58.

[2]                Richard Wright, The Color Curtain: A Report on the Bandung Conference (Cleveland: World Publishing Company, 1956), 22–24.

[3]                Soekarno, Mencapai Indonesia Merdeka (Jakarta: Panitia Penerbit DBR, 1963), 21–23.

[4]                Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 54.

[5]                Benedict R. O’G. Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 131.

[6]                George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1952), 103–105.

[7]                Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 47–48.

[8]                Soekarno, Pidato 1 Juni 1945: Lahirnya Pancasila (Jakarta: BPIP, 2019), 7–10.

[9]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 117.


4.           Konsepsi tentang Nasionalisme dan Bangsa

4.1.        Nasionalisme sebagai Kekuatan Emansipatoris

Bagi Ir. Soekarno, nasionalisme bukan sekadar ikatan emosional terhadap tanah air, melainkan kekuatan historis dan politis yang mampu membebaskan manusia dari penindasan kolonial. Dalam pemahamannya, nasionalisme Indonesia harus bersifat inklusif, tidak dibangun atas dasar ras, agama, atau etnis, melainkan atas kesadaran bersama sebagai bangsa yang dijajah dan ingin merdeka.¹

Dalam pidato Lahirnya Pancasila (1 Juni 1945), Soekarno menegaskan bahwa Indonesia adalah “nation of unity, not a unity of nations”, yang berarti bangsa Indonesia tidak dibentuk dari federasi bangsa-bangsa kecil, melainkan dari kesadaran sejarah dan tekad politik yang menyatukan.² Pandangan ini menegaskan bahwa bangsa Indonesia adalah konstruksi politik-modern yang dibangun secara sadar sebagai respons atas imperialisme, bukan semata entitas budaya yang eksis secara primordial.

4.2.        Bangsa sebagai Manifestasi Kehendak Bersama

Konsepsi bangsa menurut Soekarno sangat dipengaruhi oleh pemikiran modernis Eropa seperti Ernest Renan, yang menyatakan bahwa bangsa adalah hasil dari “kehendak hidup bersama” (volonté de vivre ensemble).³ Soekarno mengadaptasi gagasan ini ke dalam konteks Indonesia yang majemuk, dengan menegaskan bahwa perbedaan suku, agama, dan bahasa bukan penghalang, melainkan kekayaan yang harus disatukan melalui kehendak kolektif untuk merdeka dan membangun masa depan bersama.⁴

Soekarno menolak nasionalisme yang bersifat etnosentris atau eksklusif. Dalam pandangannya, nasionalisme semacam itu adalah bentuk baru dari penindasan. Oleh karena itu, ia mengembangkan nasionalisme yang bersifat pluralistik dan humanistik, yakni yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan sosial.⁵ Pandangan ini sangat relevan dalam konteks Indonesia sebagai negara multikultural.

4.3.        Paham Persatuan dalam Keberagaman

Salah satu kontribusi konseptual terbesar Soekarno adalah artikulasi prinsip “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai landasan filosofis dan ideologis bangsa. Ia meyakini bahwa keberagaman adalah kodrat bangsa Indonesia, namun persatuan adalah pilihan politis yang harus diperjuangkan.⁶ Dalam banyak pidato, Soekarno menekankan pentingnya “solidaritas nasional” sebagai syarat utama keberhasilan revolusi dan kelangsungan negara.

Persatuan yang dimaksud Soekarno bukanlah keseragaman, melainkan kesediaan untuk hidup bersama dalam perbedaan.⁷ Oleh karena itu, pembangunan bangsa baginya harus didasarkan pada penghormatan terhadap semua golongan, termasuk kelompok agama, etnis, dan ideologi yang beragam, selama semuanya mengabdi pada cita-cita kemerdekaan dan keadilan sosial.

4.4.        Kritik terhadap Nasionalisme Imperialis

Soekarno juga membedakan secara tegas antara nasionalisme progresif dan nasionalisme imperialis. Ia mengecam nasionalisme Barat yang berkembang pada era kolonial sebagai alat ekspansi dan dominasi atas bangsa lain.⁸ Sebaliknya, nasionalisme Indonesia menurutnya adalah nasionalisme pembebasan (nationalism of liberation), yang berpihak kepada kaum tertindas, dan bertujuan untuk membangun tatanan dunia baru yang adil dan setara.

Dalam konteks ini, Soekarno secara aktif mendorong kerja sama antarbangsa di Asia dan Afrika dalam semangat anti-kolonialisme. Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 menjadi manifestasi nyata dari komitmen internasionalnya untuk memperjuangkan solidaritas global yang berbasis pada prinsip anti-imperialisme dan non-intervensi.⁹


Catatan Kaki

[1]                Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I (Jakarta: Panitia Penerbit DBR, 1963), 85.

[2]                Soekarno, Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945 (Jakarta: BPIP, 2019), 9.

[3]                Ernest Renan, “What Is a Nation?” in Becoming National: A Reader, ed. Geoff Eley and Ronald Grigor Suny (New York: Oxford University Press, 1996), 41.

[4]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 105–107.

[5]                George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1952), 112.

[6]                Lambert Giebels, Soekarno: Biografi Politik 1901–1950 (Jakarta: Grasindo, 2001), 221.

[7]                Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 46.

[8]                Richard Wright, The Color Curtain: A Report on the Bandung Conference (Cleveland: World Publishing Company, 1956), 22–24.

[9]                J.D. Legge, Sukarno: A Political Biography (London: Allen Lane, 1972), 289–291.


5.           Pemikiran Soekarno tentang Demokrasi dan Sistem Politik

5.1.        Kritik terhadap Demokrasi Liberal-Parlementer

Ir. Soekarno memiliki pandangan kritis terhadap model demokrasi liberal-parlementer yang diperkenalkan Belanda dan diadopsi pada awal kemerdekaan Indonesia. Menurutnya, sistem tersebut terlalu mengandalkan retorika legal-formal tanpa menyentuh akar permasalahan sosial rakyat. Demokrasi liberal, dalam pandangan Soekarno, terlalu elitis dan sering kali melayani kepentingan golongan tertentu yang justru memperlemah semangat revolusi nasional.¹

Dalam pidatonya pada 1957, Soekarno menyebut demokrasi parlementer sebagai “demokrasi impor” yang tidak cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang memiliki struktur sosial dan budaya berbeda dengan Barat.² Oleh karena itu, ia menggagas bentuk demokrasi alternatif yang dinilainya lebih sesuai dengan kepribadian bangsa: Demokrasi Terpimpin.

5.2.        Demokrasi Terpimpin: Antara Teori dan Praksis

Konsep Demokrasi Terpimpin pertama kali dikemukakan Soekarno secara eksplisit pada masa krisis politik pertengahan 1950-an. Menurut Soekarno, demokrasi terpimpin bukanlah kediktatoran, melainkan bentuk demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan berorientasi pada musyawarah, sebagaimana nilai-nilai asli Indonesia.³ Dalam tulisannya, Soekarno menegaskan bahwa demokrasi terpimpin adalah “jalan tengah” antara anarki parlementer dan otoritarianisme militer.⁴

Secara teoritis, demokrasi terpimpin memiliki basis ideologis dalam nilai-nilai Pancasila dan budaya gotong royong. Namun dalam praktik, sistem ini cenderung memusatkan kekuasaan di tangan Presiden, melemahkan lembaga perwakilan, serta membuka ruang bagi intervensi militer dan partai politik besar, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI).⁵ Hal ini kemudian menimbulkan berbagai kontroversi, baik dari dalam maupun luar negeri, mengenai batas antara demokrasi dan otoritarianisme dalam sistem yang dirancang Soekarno.

5.3.        Konsep Kepemimpinan Politik: Pemimpin Besar Revolusi

Dalam sistem politik yang ia bayangkan, Soekarno memposisikan dirinya sebagai Pemimpin Besar Revolusi, suatu gelar ideologis yang mencerminkan peran sentral pemimpin dalam menggerakkan bangsa.⁶ Ia mengacu pada model “pemimpin-karismatik” sebagaimana dijelaskan oleh Max Weber, di mana legitimasi kekuasaan tidak semata berasal dari hukum positif, tetapi dari kepercayaan rakyat terhadap visi dan misi revolusioner pemimpinnya.⁷

Soekarno meyakini bahwa dalam masa revolusi, dibutuhkan pemimpin yang mampu “memimpinkan” rakyat, bukan sekadar “mengurusi” rakyat secara administratif. Pemimpin ideal adalah mereka yang mampu memobilisasi energi kolektif bangsa demi mencapai transformasi sosial dan ekonomi secara radikal.⁸ Oleh karena itu, ia kerap menggunakan retorika yang menggugah dan simbolisme revolusioner dalam membangun hubungan dengan massa rakyat.

5.4.        Musyawarah dan Gotong Royong sebagai Landasan Demokrasi Asli Indonesia

Dalam menolak demokrasi individualistik Barat, Soekarno menawarkan konsep musyawarah dan gotong royong sebagai nilai demokrasi asli Indonesia. Ia menyatakan bahwa demokrasi yang cocok bagi Indonesia adalah demokrasi yang membangun konsensus melalui diskusi dan musyawarah mufakat, bukan melalui kompetisi elektoral semata.⁹ Prinsip ini mengakar kuat dalam tradisi desa dan adat di berbagai daerah di Nusantara, yang menjadi rujukan dalam membangun sistem politik nasional.

Model demokrasi ini menekankan kohesi sosial dan harmoni sebagai prasyarat keberlangsungan negara yang plural. Namun, dalam implementasinya selama masa Demokrasi Terpimpin, prinsip musyawarah sering kali dikooptasi menjadi legitimasi atas keputusan sepihak yang datang dari pusat kekuasaan.¹⁰


Catatan Kaki

[1]                Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1962), 234.

[2]                Soekarno, Pidato Kenegaraan di Hadapan DPR, 1957, dalam Pidato-Pidato Soekarno (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1966), 116.

[3]                Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid II (Jakarta: Panitia Penerbit DBR, 1965), 67.

[4]                J.D. Legge, Sukarno: A Political Biography (London: Allen Lane, 1972), 273–275.

[5]                Daniel S. Lev, Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957–1959 (Ithaca: Modern Indonesia Project, Cornell University, 1966), 143.

[6]                George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1952), 298.

[7]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 241–242.

[8]                Soekarno, Mencapai Indonesia Merdeka (Jakarta: Panitia Penerbit DBR, 1963), 88.

[9]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 165–167.

[10]             Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 49.


6.           Soekarno dan Revolusi Sosial

6.1.        Revolusi sebagai Keharusan Historis

Bagi Ir. Soekarno, revolusi bukan sekadar aksi politik, tetapi merupakan keharusan historis dalam membangun kembali struktur sosial dan politik yang rusak akibat kolonialisme. Dalam pidatonya, Soekarno menekankan bahwa revolusi Indonesia adalah revolusi nasional, revolusi politik, dan revolusi sosial secara sekaligus—yakni perubahan menyeluruh dalam cara berpikir, bertindak, dan bernegara.¹ Revolusi, dalam kerangka pemikirannya, adalah “jalan untuk menghapuskan segala bentuk struktur lama yang menindas dan membangun struktur baru yang adil.”²

Soekarno sangat dipengaruhi oleh gagasan revolusioner dari berbagai pemikir, mulai dari Karl Marx hingga tokoh-tokoh anti-kolonial Asia dan Afrika. Ia memandang bahwa kemerdekaan politik tidak akan berarti tanpa revolusi sosial yang membebaskan rakyat dari kemiskinan, ketimpangan, dan ketertinggalan.³ Oleh sebab itu, ia menggambarkan revolusi sebagai proses total dan berkelanjutan (continuous revolution) yang belum selesai hanya karena proklamasi telah dibacakan.

6.2.        “Revolusi Belum Selesai”: Makna dan Implikasi

Ungkapan terkenal “Revolusi belum selesai” (Revolusi Belum Selesai) merupakan sintesis dari keyakinan Soekarno bahwa Indonesia belum mencapai cita-cita revolusionernya secara utuh.⁴ Ia menolak gagasan bahwa kemerdekaan formal pada tahun 1945 adalah titik akhir perjuangan. Bagi Soekarno, itu hanyalah awal dari perjuangan besar untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, revolusi harus dilanjutkan secara konsisten dalam bidang ekonomi, sosial, dan kebudayaan.

Konsep ini diperkuat dalam Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol), yang kemudian menjadi dasar ideologi pembangunan negara di masa Demokrasi Terpimpin.⁵ Manipol menegaskan bahwa revolusi Indonesia terdiri dari tiga tahap: (1) revolusi nasional untuk menghapuskan kolonialisme, (2) revolusi politik untuk menegakkan kekuasaan rakyat, dan (3) revolusi sosial untuk menyejahterakan seluruh rakyat.

6.3.        Strategi Revolusi: Massa, Keadilan, dan Marhaenisme

Strategi revolusi sosial dalam pandangan Soekarno sangat bergantung pada mobilisasi massa rakyat sebagai subjek utama sejarah. Ia percaya bahwa revolusi sejati tidak bisa dilakukan oleh segelintir elite, tetapi harus digerakkan oleh kesadaran kolektif kaum tertindas.⁶ Dalam konteks ini, Soekarno memperkenalkan konsep Marhaenisme—suatu bentuk sosialisme khas Indonesia yang bertumpu pada kaum tani dan rakyat kecil (Marhaen), bukan proletariat industrial seperti dalam Marxisme klasik.⁷

Melalui Marhaenisme, Soekarno menyuarakan gagasan keadilan sosial yang berbasis pada kondisi objektif masyarakat Indonesia. Ia menekankan bahwa perjuangan revolusi bukan hanya melawan kolonialisme eksternal, tetapi juga menumbangkan struktur feodal, kapitalis, dan borjuis di dalam negeri. Dalam hal ini, ia memperjuangkan program-program radikal seperti reformasi agraria, nasionalisasi aset asing, dan perencanaan ekonomi nasional yang mengutamakan kepentingan rakyat.⁸

6.4.        Revolusi dan Kebudayaan

Soekarno tidak memisahkan revolusi sosial dari kebudayaan. Ia meyakini bahwa untuk mengubah sistem sosial, perlu juga merevolusi mentalitas rakyat. Oleh karena itu, revolusi kebudayaan menjadi bagian penting dari perjuangan sosial. Dalam pidatonya pada Pekan Kebudayaan Nasional 1959, Soekarno menekankan bahwa revolusi sejati adalah revolusi mental, yaitu perubahan cara berpikir dan cara hidup bangsa yang masih terjajah secara kultural.⁹

Dengan semangat inilah, ia mendorong penciptaan kebudayaan nasional yang progresif, anti-feodal, dan mencerminkan nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia. Ia juga menekankan pentingnya seni, sastra, dan pendidikan sebagai alat transformasi sosial.¹⁰


Catatan Kaki

[1]                Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I (Jakarta: Panitia Penerbit DBR, 1963), 201.

[2]                George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1952), 301.

[3]                Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 43.

[4]                J.D. Legge, Sukarno: A Political Biography (London: Allen Lane, 1972), 297.

[5]                Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1962), 277–278.

[6]                Soekarno, Pidato Kenegaraan di Hadapan DPR, 17 Agustus 1961, dalam Pidato-Pidato Soekarno (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1966), 218.

[7]                Soekarno, Mencapai Indonesia Merdeka (Jakarta: Panitia Penerbit DBR, 1963), 48–50.

[8]                Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 137.

[9]                Soekarno, Revolusi dan Kebudayaan (Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1960), 6–9.

[10]             Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 188.


7.           Soekarno dan Dunia Internasional

7.1.        Anti-Imperialisme sebagai Landasan Politik Luar Negeri

Pemikiran internasional Ir. Soekarno sangat dipengaruhi oleh semangat anti-imperialisme yang menjadi benang merah perjuangan nasional Indonesia. Bagi Soekarno, imperialisme bukan hanya bentuk penjajahan fisik, tetapi juga sistem global yang mempertahankan ketimpangan dan subordinasi negara-negara dunia ketiga terhadap kekuatan besar dunia.¹ Oleh karena itu, sejak awal kemerdekaan Indonesia, Soekarno secara aktif membangun politik luar negeri yang bebas dan mandiri, dengan tujuan menggalang solidaritas internasional di antara negara-negara yang baru merdeka atau sedang memperjuangkan kemerdekaan.

Soekarno menekankan bahwa kemerdekaan politik nasional tidak akan lestari tanpa kemerdekaan ekonomi dan budaya dari dominasi asing. Dalam berbagai forum internasional, ia menyerukan perlunya pembentukan tatanan dunia baru yang lebih adil dan setara, bebas dari hegemoni Barat maupun blok-blok kekuatan besar.²

7.2.        Konferensi Asia-Afrika dan Solidaritas Global Selatan

Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1955 menjadi titik kulminasi dari pemikiran dan aktivitas internasional Soekarno. Ia meyakini bahwa negara-negara di kawasan Asia dan Afrika, yang selama ini menjadi objek eksploitasi kolonialisme, harus bersatu untuk membentuk kekuatan moral dan politik baru dalam percaturan global.³ Dalam pidato pembukaannya yang berjudul “Let a New Asia and a New Africa be Born”, Soekarno menyerukan lahirnya peradaban baru yang menjunjung tinggi keadilan, perdamaian, dan kedaulatan.⁴

Konferensi tersebut menghasilkan Dasasila Bandung, yang menjadi tonggak penting dalam hubungan internasional negara-negara non-Barat, terutama dalam mendorong prinsip non-blok, penghormatan terhadap kedaulatan negara, dan penolakan terhadap dominasi kekuatan besar.⁵ Pemikiran Soekarno tentang solidaritas global ini menjadikan Indonesia bukan sekadar penerima pengaruh internasional, melainkan aktor aktif dalam membentuk geopolitik dunia pascakolonial.

7.3.        Gerakan Non-Blok dan Jalan Ketiga

Komitmen Soekarno terhadap kebebasan dan kemandirian dalam hubungan internasional diwujudkan secara konkret melalui keterlibatan aktif Indonesia dalam pembentukan Gerakan Non-Blok (GNB). Bersama tokoh-tokoh seperti Jawaharlal Nehru (India), Gamal Abdel Nasser (Mesir), dan Josip Broz Tito (Yugoslavia), Soekarno mendorong terbentuknya aliansi negara-negara yang menolak keterikatan pada Blok Barat (AS) maupun Blok Timur (Uni Soviet) dalam Perang Dingin.⁶

Menurut Soekarno, politik luar negeri Indonesia harus berorientasi pada prinsip bebas aktif, yaitu bebas menentukan kebijakan sendiri dan aktif dalam memperjuangkan perdamaian dunia.⁷ Prinsip ini tidak netral dalam arti pasif, melainkan aktif membela kemerdekaan bangsa-bangsa tertindas dan menciptakan tatanan dunia multipolar. Dalam kerangka inilah, Soekarno menyebut Gerakan Non-Blok sebagai jalan ketiga yang moral dan progresif dibanding pertarungan ideologis antara kapitalisme dan komunisme.⁸

7.4.        Konfrontasi sebagai Strategi Anti-Neokolonialisme

Selain diplomasi multilateral, Soekarno juga menggunakan strategi konfrontatif terhadap negara-negara atau institusi internasional yang dianggap memperpanjang kolonialisme dalam bentuk baru (neokolonialisme). Salah satu bentuk nyata dari pendekatan ini adalah Konfrontasi Indonesia-Malaysia (1963–1966), yang oleh Soekarno dipandang sebagai perlawanan terhadap proyek imperialisme Inggris di Asia Tenggara.⁹

Ia bahkan mengecam keras institusi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menurutnya telah gagal menjalankan fungsi keadilan global. Ketika Malaysia diterima menjadi anggota Dewan Keamanan PBB, Soekarno memutuskan untuk menarik Indonesia keluar dari PBB pada tahun 1965 dan mendirikan Conference of the New Emerging Forces (CONEFO) sebagai alternatif yang lebih adil dan representatif bagi negara-negara berkembang.¹⁰


Catatan Kaki

[1]                Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid II (Jakarta: Panitia Penerbit DBR, 1965), 231–233.

[2]                George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1952), 310.

[3]                J.D. Legge, Sukarno: A Political Biography (London: Allen Lane, 1972), 286.

[4]                Soekarno, Let a New Asia and a New Africa Be Born, pidato pembukaan KAA 1955 (Jakarta: Departemen Luar Negeri RI, 1955), 1–5.

[5]                Richard Wright, The Color Curtain: A Report on the Bandung Conference (Cleveland: World Publishing Company, 1956), 43–44.

[6]                Zubir Said, Gerakan Non-Blok dan Politik Luar Negeri Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1985), 45–47.

[7]                Mochtar Mas’oed, Studi tentang Politik Luar Negeri Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), 23–25.

[8]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 211.

[9]                Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 73.

[10]             Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1962), 281–282.


8.           Evaluasi Kritis atas Pemikiran Soekarno

8.1.        Kontribusi Intelektual terhadap Identitas Nasional

Pemikiran Ir. Soekarno telah memberikan kontribusi fundamental terhadap pembentukan identitas nasional Indonesia. Ia adalah tokoh sentral dalam merumuskan ideologi negara, terutama melalui konseptualisasi Pancasila sebagai dasar filosofis dan ideologis bangsa.¹ Gagasannya tentang nasionalisme yang inklusif, progresif, dan anti-imperialis membantu mengikat keberagaman etnis, agama, dan budaya ke dalam suatu kesadaran kolektif sebagai bangsa Indonesia.²

Soekarno juga memperkenalkan istilah-istilah kunci yang terus hidup dalam perbendaharaan politik nasional seperti Marhaenisme, Demokrasi Terpimpin, dan Revolusi Belum Selesai. Ia berhasil membangun bahasa politik yang kuat untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat kecil dalam konteks modernitas pascakolonial.³ Namun demikian, kontribusi intelektualnya tidak bebas dari kritik, baik dalam tataran teoritis maupun implementatif.

8.2.        Problematika Sintesis Ideologis: Nasakom dan Ambiguitas Integratif

Salah satu aspek paling kontroversial dari pemikiran Soekarno adalah upayanya menyatukan tiga kekuatan besar dalam masyarakat Indonesia—nasionalisme, agama, dan komunisme—dalam konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme).⁴ Secara teoritis, ini merupakan upaya integratif yang orisinal dan pragmatis untuk menjaga stabilitas nasional dalam masyarakat yang terpolarisasi secara ideologis. Namun, dalam praktiknya, Nasakom justru memperuncing konflik antar kekuatan politik, terutama antara kelompok Islam dan komunis.

Banyak pengamat berpendapat bahwa konsep ini mengabaikan ketegangan filosofis yang mendasar antara agama dan komunisme, terutama dalam konteks Indonesia yang mayoritas Muslim.⁵ Dalam konteks ini, pendekatan Soekarno dianggap terlalu eklektik dan utopis, tidak cukup memperhitungkan dinamika sosial-politik yang ada. Bahkan, Nasakom dituding sebagai pintu masuk bagi menguatnya pengaruh PKI dalam politik nasional, yang berujung pada tragedi 1965.⁶

8.3.        Demokrasi Terpimpin: Otoritarianisme dalam Balutan Tradisi?

Meskipun Soekarno mempromosikan Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk demokrasi khas Indonesia yang berakar pada nilai musyawarah dan gotong royong, banyak akademisi menilai bahwa sistem ini pada akhirnya membuka jalan bagi otoritarianisme.⁷ Konsentrasi kekuasaan di tangan presiden, pelemahan parlemen, serta pembungkaman oposisi melalui dekre-dekre politik menunjukkan bahwa Demokrasi Terpimpin lebih condong pada praktik kekuasaan sentralistik daripada prinsip demokrasi deliberatif.

Beberapa pengkritik menyamakan Demokrasi Terpimpin dengan bentuk populisme otoriter, di mana legitimasi kekuasaan diperoleh melalui hubungan langsung antara pemimpin karismatik dan massa, dengan melewati institusi-institusi formal negara.⁸ Dalam kerangka ini, Soekarno dinilai telah membentuk sistem yang rapuh secara institusional dan tidak berkelanjutan.

8.4.        Warisan dan Relevansi di Era Kontemporer

Terlepas dari kontroversi tersebut, pemikiran Soekarno tetap relevan untuk dibaca ulang dalam konteks kontemporer. Gagasan-gagasannya mengenai kemandirian nasional, keadilan sosial, dan solidaritas antarbangsa masih aktual di tengah tantangan globalisasi yang mengikis identitas dan kedaulatan negara-negara berkembang.⁹ Banyak intelektual kontemporer menilai bahwa pemikiran Soekarno dapat menjadi sumber inspirasi alternatif untuk mengembangkan model pembangunan yang lebih berkeadilan, humanistik, dan berbasis nilai-nilai lokal.¹⁰

Kendati demikian, pembacaan terhadap warisan pemikiran Soekarno harus dilakukan secara kritis dan historis, bukan secara romantik dan ideologis semata. Sebagai produk zamannya, gagasan Soekarno mengandung kelebihan dan keterbatasan yang perlu dipahami dalam konteks dialektika antara ide dan realitas sosial. Penilaian terhadap Soekarno yang terlalu apologetik justru akan mengaburkan potensi transformatif dari pemikirannya bagi generasi baru Indonesia.


Catatan Kaki

[1]                Soekarno, Pidato 1 Juni 1945: Lahirnya Pancasila (Jakarta: BPIP, 2019), 5–8.

[2]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 101–102.

[3]                Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 42.

[4]                Benedict R. O’G. Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 132.

[5]                Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: Grafiti Pers, 1980), 144.

[6]                Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 218.

[7]                Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1962), 270–275.

[8]                J.D. Legge, Sukarno: A Political Biography (London: Allen Lane, 1972), 308–311.

[9]                Mochtar Mas’oed, Studi tentang Politik Luar Negeri Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), 29.

[10]             George Junus Aditjondro, Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkedok Demokrasi (Yogyakarta: LKiS, 2006), 13–15.


9.           Penutup

Kajian terhadap pemikiran Ir. Soekarno menunjukkan bahwa ia bukan hanya seorang pemimpin politik dan orator ulung, tetapi juga seorang pemikir ideologis yang merumuskan fondasi konseptual bagi terbentuknya identitas dan arah perjuangan bangsa Indonesia. Melalui pemikirannya tentang nasionalisme, revolusi sosial, demokrasi terpimpin, dan solidaritas internasional, Soekarno menawarkan suatu Weltanschauung atau pandangan hidup yang utuh dan menyeluruh bagi bangsa Indonesia yang baru merdeka.¹

Dalam menghadapi tantangan kolonialisme dan ketimpangan global, Soekarno mengembangkan pendekatan yang tidak semata-mata reaksioner, melainkan proaktif dan konstruktif. Ia tidak hanya menolak imperialisme, tetapi juga menawarkan visi dunia yang berkeadilan melalui solidaritas Asia-Afrika, Gerakan Non-Blok, dan perjuangan emansipasi negara-negara tertindas.² Secara internal, ia menggagas sistem-sistem ideologis seperti Marhaenisme dan Demokrasi Terpimpin sebagai alternatif terhadap kapitalisme liberal maupun sosialisme ortodoks.³

Namun, seperti telah diuraikan dalam bagian sebelumnya, pemikiran Soekarno tidak bebas dari kelemahan dan kontroversi. Gagasan seperti Nasakom dan Demokrasi Terpimpin menuai kritik karena dinilai membuka jalan bagi konsentrasi kekuasaan yang berlebihan dan konflik ideologis yang tidak terselesaikan.⁴ Meski demikian, keterbatasan-keterbatasan tersebut tidak menghapus signifikansi historis dan strategis dari pemikirannya.

Dalam konteks Indonesia kontemporer, warisan intelektual Soekarno tetap relevan untuk direfleksikan secara kritis. Krisis identitas nasional, ketimpangan sosial, serta tantangan globalisasi yang mengikis kedaulatan bangsa menjadi latar yang tepat untuk menghidupkan kembali semangat nation-building dan keadilan sosial yang pernah diperjuangkan Soekarno. Seperti diungkapkan Yudi Latif, bangsa yang besar bukan hanya yang mampu mengenang para pendirinya, tetapi yang mampu melanjutkan gagasan-gagasan luhur mereka secara kreatif dan kontekstual.⁵

Oleh karena itu, membaca dan mengkaji kembali pemikiran Soekarno bukanlah sekadar usaha nostalgia, tetapi bagian dari upaya membangun peradaban Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana yang ia impikan. Dengan spirit kritis dan dialektis, generasi kini dapat menggali nilai-nilai universal dari pemikirannya untuk merumuskan solusi atas persoalan-persoalan nasional dan global masa kini.


Catatan Kaki

[1]                Soekarno, Pidato 1 Juni 1945: Lahirnya Pancasila (Jakarta: BPIP, 2019), 9.

[2]                Richard Wright, The Color Curtain: A Report on the Bandung Conference (Cleveland: World Publishing Company, 1956), 41–42.

[3]                Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I (Jakarta: Panitia Penerbit DBR, 1963), 155–158.

[4]                J.D. Legge, Sukarno: A Political Biography (London: Allen Lane, 1972), 293–296.

[5]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 342.


Daftar Pustaka

Anderson, B. R. O’G. (1990). Language and power: Exploring political cultures in Indonesia. Cornell University Press.

Aditjondro, G. J. (2006). Korupsi kepresidenan: Reproduksi oligarki berkedok demokrasi. LKiS.

Dhakidae, D. (2003). Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru. Gramedia Pustaka Utama.

Feith, H. (1962). The decline of constitutional democracy in Indonesia. Cornell University Press.

Giebels, L. (2001). Soekarno: Biografi politik 1901–1950. Grasindo.

Kahin, G. M. (1952). Nationalism and revolution in Indonesia. Cornell University Press.

Latif, Y. (2011). Negara paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Gramedia Pustaka Utama.

Legge, J. D. (1972). Sukarno: A political biography. Allen Lane.

Mas’oed, M. (1989). Studi tentang politik luar negeri Indonesia. Gadjah Mada University Press.

McVey, R. (1965). The rise of Indonesian communism. Cornell University Press.

Noer, D. (1980). Partai Islam di pentas nasional. Grafiti Pers.

Renan, E. (1996). What is a nation? In G. Eley & R. G. Suny (Eds.), Becoming national: A reader (pp. 41–55). Oxford University Press.

Said, Z. (1985). Gerakan Non-Blok dan politik luar negeri Indonesia. LP3ES.

Soekarno. (1955). Let a new Asia and a new Africa be born [Pidato pembukaan Konferensi Asia-Afrika]. Departemen Luar Negeri RI.

Soekarno. (1960). Revolusi dan kebudayaan. Departemen Penerangan RI.

Soekarno. (1963). Di bawah bendera revolusi (Jilid I). Panitia Penerbit DBR.

Soekarno. (1963). Mencapai Indonesia merdeka. Panitia Penerbit DBR.

Soekarno. (1965). Di bawah bendera revolusi (Jilid II). Panitia Penerbit DBR.

Soekarno. (1966). Pidato-pidato Soekarno. PN Balai Pustaka.

Soekarno. (2019). Pidato 1 Juni 1945: Lahirnya Pancasila. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Wright, R. (1956). The color curtain: A report on the Bandung Conference. World Publishing Company.

Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich, Eds.). University of California Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar