Pemikiran Ir. Soekarno
Meneguhkan Nasionalisme dan Revolusi
Alihkan ke: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran
Ir. Soekarno sebagai salah satu arsitek utama ideologi bangsa Indonesia dan
pemimpin revolusioner pada masa transisi dari kolonialisme menuju negara
merdeka. Melalui pendekatan historis dan analitis, tulisan ini membahas
dimensi-dimensi utama pemikiran Soekarno, mulai dari nasionalisme
emansipatoris, gagasan tentang demokrasi dan sistem politik, strategi revolusi
sosial, hingga pandangan internasionalnya dalam konteks anti-imperialisme
global. Pemikiran Soekarno tidak hanya mewarnai perjalanan sejarah Indonesia
modern, tetapi juga menghadirkan kontribusi penting dalam wacana global
mengenai dekolonisasi, pembangunan bangsa, dan solidaritas dunia ketiga.
Artikel ini juga mengevaluasi secara kritis kompleksitas dan kontroversi dari
gagasan-gagasan seperti Nasakom dan Demokrasi Terpimpin yang menjadi fondasi
ideologis kepemimpinan Soekarno. Melalui pembacaan yang kontekstual dan
reflektif, artikel ini menyimpulkan bahwa pemikiran Soekarno tetap relevan
sebagai sumber nilai dan inspirasi bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi
tantangan kebangsaan dan keadilan sosial di era kontemporer.
Kata Kunci: Soekarno; Nasionalisme; Revolusi Sosial; Demokrasi
Terpimpin; Anti-Imperialisme; Nasakom; Marhaenisme; Politik Luar Negeri;
Pancasila; Identitas Nasional.
PEMBAHASAN
Kajian Komprehensif atas Pemikiran Ir. Soekarno
1.
Pendahuluan
Ir. Soekarno
merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah modern Indonesia.
Ia tidak hanya dikenang sebagai proklamator kemerdekaan dan Presiden pertama
Republik Indonesia, tetapi juga sebagai pemikir besar yang mengembangkan suatu
kerangka ideologis yang kuat bagi pembentukan identitas bangsa. Pemikirannya
merentang dari soal kebangsaan, sosialisme, demokrasi, hingga tatanan dunia
internasional yang adil dan beradab. Oleh karena itu, menelaah pemikiran
Soekarno secara komprehensif bukan sekadar upaya historis, melainkan juga
refleksi atas tantangan bangsa dalam membangun jati diri dan masa depan yang
berdaulat.
Gagasan-gagasan
Soekarno tidak muncul dalam ruang hampa. Ia menginternalisasi pengalaman
kolonialisme, ketimpangan sosial, serta interaksi dengan pemikiran global
seperti marxisme, pan-islamisme, dan nasionalisme Eropa. Dalam konteks inilah,
Soekarno merumuskan nasionalisme sebagai kekuatan emansipatoris dan revolusi
sebagai jalan pembebasan, bukan sekadar perubahan politik, tetapi juga
transformasi sosial dan budaya bangsa Indonesia. Sebagaimana dinyatakannya
dalam berbagai tulisan dan pidato, perjuangan nasional bukan hanya untuk "merdeka
dari Belanda", tetapi "merdeka untuk menjadi diri sendiri"—yakni
bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri, tanpa dominasi asing, dan
berkepribadian dalam kebudayaan sendiri.¹
Pemikiran Soekarno
bersifat sintetik dan dinamis. Ia berupaya menyatukan berbagai kekuatan
ideologis dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Dalam rumusan Nasakom
(Nasionalisme, Agama, Komunisme), Soekarno melihat adanya kemungkinan sintesis
dialektis antara kekuatan-kekuatan besar dalam masyarakat yang acap kali
dianggap antagonistik.² Melalui pendekatan tersebut, Soekarno tidak hanya
tampil sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai arsitek ideologi yang
berusaha menciptakan tata nilai baru bagi bangsa yang sedang mencari bentuk.
Namun demikian,
pemikiran Soekarno tidak lepas dari kontroversi. Beberapa ide sentralnya,
seperti Demokrasi Terpimpin dan konsep Nasakom, mendapat kritik tajam, baik
dari kalangan akademisi maupun politikus sezamannya.³ Oleh sebab itu, kajian
ini bertujuan untuk menggali secara kritis dan proporsional pemikiran-pemikiran
Soekarno, baik dari aspek historis, ideologis, maupun relevansinya di masa
kini.
Kajian ini menjadi
penting mengingat semakin kuatnya tantangan terhadap nilai-nilai kebangsaan dan
revolusi dalam era globalisasi yang sarat dengan pragmatisme politik dan
disorientasi identitas nasional. Dengan menggali pemikiran Ir. Soekarno, kita
tidak hanya belajar dari masa lalu, tetapi juga dapat menemukan inspirasi
ideologis dan moral untuk merespons tantangan kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I (Jakarta: Panitia
Penerbit DBR, 1963), 154.
[2]
Benedict R. O’G. Anderson, Language and Power: Exploring Political
Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 125.
[3]
Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1962), 433.
2.
Biografi Intelektual Ir. Soekarno
2.1.
Masa Kecil dan
Pendidikan Awal
Ir. Soekarno lahir
pada 6 Juni 1901 di Surabaya dengan nama asli Koesno Sosrodihardjo. Ayahnya,
Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang guru berpendidikan Barat, sedangkan
ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, berasal dari kalangan bangsawan Bali.⁽¹⁾ Latar
belakang keluarga ini memberikan fondasi awal bagi Soekarno untuk memahami
secara langsung kompleksitas sosial budaya Nusantara yang plural. Sejak kecil
ia telah menunjukkan kecerdasan dan minat terhadap ilmu pengetahuan dan
politik.
Pendidikan formal
Soekarno dimulai di Eerste Inlandsche School (Sekolah Rakyat) dan kemudian
dilanjutkan di Europeesche Lagere School (ELS). Ia kemudian masuk ke HBS
(Hogere Burger School) di Surabaya dan tinggal di rumah Haji Oemar Said
Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam, yang kemudian sangat mempengaruhi pandangan
ideologisnya.⁽²⁾ Di sinilah benih-benih pemikiran nasionalisme, sosialisme, dan
Islam politik mulai berakar dalam kesadaran intelektual Soekarno muda.
2.2.
Pendidikan Tinggi
dan Formasi Intelektual
Soekarno melanjutkan
studi teknik sipil di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini Institut
Teknologi Bandung) dan memperoleh gelar insinyur pada tahun 1926. Meskipun
latar pendidikannya adalah teknik, minat intelektual Soekarno justru lebih
dominan pada bidang sejarah, filsafat, dan politik. Selama masa kuliah, ia
banyak membaca karya-karya Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Rousseau, hingga
tokoh-tokoh pan-Islamisme seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.⁽³⁾
Formasi intelektual
Soekarno tidak hanya dibentuk oleh bacaan, tetapi juga oleh pergumulannya
dengan realitas penjajahan. Ia mengembangkan pemikiran yang bersifat
sintetik—menggabungkan semangat nasionalisme dengan inspirasi sosialisme dan
nilai-nilai Islam. Dalam artikel dan pidatonya, Soekarno menunjukkan kapasitas
untuk mengolah teori-teori Barat dan Timur menjadi narasi pembebasan yang
kontekstual bagi bangsa Indonesia.⁽⁴⁾
2.3.
Awal Kiprah Politik
dan Ekspresi Pemikiran
Aktivitas politik
Soekarno dimulai sejak ia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun
1927. Partai ini menjadi wadah baginya untuk mengekspresikan ide-ide
revolusioner tentang kemerdekaan dan keadilan sosial. Melalui pidato dan
tulisan seperti “Indonesia Menggugat”, Soekarno
menegaskan bahwa kolonialisme bukan hanya bentuk dominasi politik, tetapi juga
penjajahan atas kebudayaan dan harga diri bangsa.⁽⁵⁾
Dalam
karya-karyanya, terlihat bahwa Soekarno tidak hanya mengkritik kolonialisme,
tetapi juga mencoba menawarkan visi ideologis mengenai masa depan Indonesia. Ia
mengembangkan paham “Marhaenisme”—suatu
bentuk sosialisme khas Indonesia yang berpijak pada kehidupan rakyat kecil
sebagai basis perjuangan nasional.⁽⁶⁾ Dengan demikian, sejak masa awal
pergerakan, Soekarno telah tampil sebagai pemikir yang menyinergikan teori dan
praksis dalam medan perjuangan.
Catatan Kaki
[1]
Soekarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams
(Indianapolis: The Bobbs-Merrill Company, 1965), 1–3.
[2]
Lambert Giebels, Soekarno: Biografi Politik 1901–1950
(Jakarta: Grasindo, 2001), 48–52.
[3]
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: Grafiti
Pers, 1980), 89–90.
[4]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I (Jakarta: Panitia
Penerbit DBR, 1963), 97–100.
[5]
Nugroho Notosusanto, Soekarno: Pemikiran dan Perjuangannya
(Jakarta: CV Haji Masagung, 1981), 77–79.
[6]
Benedict R. O’G. Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation
and Resistance, 1944–1946 (Ithaca: Cornell University Press, 1972), 144.
3.
Dasar-Dasar Pemikiran Ideologis Soekarno
Pemikiran ideologis
Ir. Soekarno berakar kuat dalam pergulatan intelektual, sosial, dan historis
bangsa Indonesia yang dijajah selama lebih dari tiga abad. Sebagai seorang
pemimpin revolusioner dan pemikir nasional, Soekarno mengembangkan suatu sistem
gagasan yang berlandaskan pada nilai-nilai humanisme universal, semangat
nasionalisme anti-kolonial, dan keadilan sosial. Karakter khas pemikirannya
tampak dalam kemampuannya untuk menyinergikan berbagai sumber ideologi, baik
dari tradisi Timur maupun Barat, ke dalam suatu sintesis yang kontekstual
dengan realitas Indonesia.
3.1.
Humanisme dan
Nasionalisme Emansipatoris
Salah satu fondasi
utama dalam pemikiran Soekarno adalah humanisme. Bagi Soekarno, kemerdekaan
bangsa bukanlah semata-mata pembebasan politik, tetapi juga pembebasan manusia
Indonesia dari penindasan, kebodohan, dan ketertinggalan. Dalam pidatonya, ia
menegaskan bahwa "kita bukan hendak merdeka menjadi bangsa besar dalam
arti penakluk, tetapi menjadi manusia seutuhnya dalam harkat dan martabat."¹
Nasionalisme Soekarno karenanya bersifat emansipatoris—ia menolak nasionalisme
chauvinistik dan mengedepankan solidaritas internasional dengan bangsa-bangsa
tertindas di Asia dan Afrika.²
3.2.
Anti-Kolonialisme
dan Semangat Revolusioner
Soekarno melihat
kolonialisme tidak hanya sebagai penjajahan politik dan ekonomi, tetapi juga
sebagai sistem dominasi yang menggerogoti identitas dan kepribadian bangsa.
Oleh karena itu, ia meyakini bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia harus
ditempuh melalui jalan revolusi, bukan negosiasi gradual. Dalam tulisannya “Mencapai
Indonesia Merdeka” (1933), Soekarno menyatakan bahwa revolusi
adalah "perkakas untuk mengubah struktur lama yang tidak adil ke dalam
struktur baru yang membebaskan rakyat."³
Revolusi yang
dimaksud oleh Soekarno bersifat menyeluruh: politik, sosial, dan kultural. Ia
tidak hanya menentang penjajahan asing, tetapi juga struktur feodalisme dalam
negeri. Dalam hal ini, Soekarno menyatakan perlunya mobilisasi kekuatan rakyat
sebagai subjek utama revolusi.⁴
3.3.
Sintesis Islam,
Marxisme, dan Nasionalisme
Ciri paling mencolok
dari pemikiran ideologis Soekarno adalah kemampuannya meramu sintesis dari tiga
arus besar yang mempengaruhi kehidupan Indonesia: Islam, Marxisme, dan
Nasionalisme. Ketiganya, menurut Soekarno, dapat dan harus disatukan dalam satu
gerak revolusioner untuk melawan imperialisme. Sintesis ini kemudian diwujudkan
dalam konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama,
Komunisme) yang menjadi kerangka ideologis utama pada masa Demokrasi Terpimpin.⁵
Dalam pandangan
Soekarno, Islam memiliki kekuatan spiritual dan etika yang besar, Marxisme
menawarkan analisis struktural atas ketimpangan sosial, sementara nasionalisme
menyediakan semangat kolektif untuk merdeka.⁶ Ia tidak melihat ketiganya
sebagai saling bertentangan secara esensial, melainkan sebagai kekuatan yang
bisa dipadukan secara dialektis demi kepentingan revolusi nasional.⁷ Gagasan
ini tentu menuai perdebatan, tetapi ia mencerminkan pemikiran Soekarno yang
terbuka dan visioner dalam merespons kompleksitas masyarakat Indonesia.
3.4.
Ideologisasi
Pancasila
Fondasi ideologis
Soekarno mencapai puncaknya dalam rumusan Pancasila, yang ia sampaikan dalam
pidato bersejarah pada 1 Juni 1945. Dalam Pancasila, Soekarno memformulasikan
lima asas kehidupan berbangsa: kebangsaan, internasionalisme (perikemanusiaan),
demokrasi, keadilan sosial, dan ketuhanan.⁸ Pancasila tidak hanya menjadi dasar
negara, tetapi juga manifestasi dari pandangan ideologisnya yang integral dan
inklusif. Ia menyebut Pancasila sebagai “weltanschauung” atau pandangan
hidup bangsa Indonesia.⁹
Catatan Kaki
[1]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I (Jakarta: Panitia
Penerbit DBR, 1963), 58.
[2]
Richard Wright, The Color Curtain: A Report on the Bandung
Conference (Cleveland: World Publishing Company, 1956), 22–24.
[3]
Soekarno, Mencapai Indonesia Merdeka (Jakarta: Panitia
Penerbit DBR, 1963), 21–23.
[4]
Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell
University Press, 1965), 54.
[5]
Benedict R. O’G. Anderson, Language and Power: Exploring Political
Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 131.
[6]
George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1952), 103–105.
[7]
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 47–48.
[8]
Soekarno, Pidato 1 Juni 1945: Lahirnya Pancasila (Jakarta:
BPIP, 2019), 7–10.
[9]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 117.
4.
Konsepsi tentang Nasionalisme dan Bangsa
4.1.
Nasionalisme sebagai
Kekuatan Emansipatoris
Bagi Ir. Soekarno,
nasionalisme bukan sekadar ikatan emosional terhadap tanah air, melainkan
kekuatan historis dan politis yang mampu membebaskan manusia dari penindasan
kolonial. Dalam pemahamannya, nasionalisme Indonesia harus bersifat inklusif,
tidak dibangun atas dasar ras, agama, atau etnis, melainkan atas kesadaran
bersama sebagai bangsa yang dijajah dan ingin merdeka.¹
Dalam pidato Lahirnya
Pancasila (1 Juni 1945), Soekarno menegaskan bahwa Indonesia adalah
“nation
of unity, not a unity of nations”, yang berarti bangsa Indonesia
tidak dibentuk dari federasi bangsa-bangsa kecil, melainkan dari kesadaran
sejarah dan tekad politik yang menyatukan.² Pandangan ini menegaskan bahwa
bangsa Indonesia adalah konstruksi politik-modern yang dibangun secara sadar
sebagai respons atas imperialisme, bukan semata entitas budaya yang eksis
secara primordial.
4.2.
Bangsa sebagai
Manifestasi Kehendak Bersama
Konsepsi bangsa
menurut Soekarno sangat dipengaruhi oleh pemikiran modernis Eropa seperti
Ernest Renan, yang menyatakan bahwa bangsa adalah hasil dari “kehendak
hidup bersama” (volonté de vivre ensemble).³ Soekarno mengadaptasi
gagasan ini ke dalam konteks Indonesia yang majemuk, dengan menegaskan bahwa
perbedaan suku, agama, dan bahasa bukan penghalang, melainkan kekayaan yang
harus disatukan melalui kehendak kolektif untuk merdeka dan membangun masa
depan bersama.⁴
Soekarno menolak
nasionalisme yang bersifat etnosentris atau eksklusif. Dalam pandangannya,
nasionalisme semacam itu adalah bentuk baru dari penindasan. Oleh karena itu,
ia mengembangkan nasionalisme yang bersifat pluralistik dan humanistik, yakni
yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan sosial.⁵ Pandangan ini sangat
relevan dalam konteks Indonesia sebagai negara multikultural.
4.3.
Paham Persatuan
dalam Keberagaman
Salah satu
kontribusi konseptual terbesar Soekarno adalah artikulasi prinsip “Bhinneka
Tunggal Ika” sebagai landasan filosofis dan ideologis bangsa.
Ia meyakini bahwa keberagaman adalah kodrat bangsa Indonesia, namun persatuan
adalah pilihan politis yang harus diperjuangkan.⁶ Dalam banyak pidato, Soekarno
menekankan pentingnya “solidaritas nasional” sebagai
syarat utama keberhasilan revolusi dan kelangsungan negara.
Persatuan yang
dimaksud Soekarno bukanlah keseragaman, melainkan kesediaan untuk hidup bersama
dalam perbedaan.⁷ Oleh karena itu, pembangunan bangsa baginya harus didasarkan
pada penghormatan terhadap semua golongan, termasuk kelompok agama, etnis, dan
ideologi yang beragam, selama semuanya mengabdi pada cita-cita kemerdekaan dan
keadilan sosial.
4.4.
Kritik terhadap
Nasionalisme Imperialis
Soekarno juga
membedakan secara tegas antara nasionalisme progresif dan nasionalisme
imperialis. Ia mengecam nasionalisme Barat yang berkembang pada era kolonial
sebagai alat ekspansi dan dominasi atas bangsa lain.⁸ Sebaliknya, nasionalisme
Indonesia menurutnya adalah nasionalisme pembebasan (nationalism
of liberation), yang berpihak kepada kaum tertindas, dan bertujuan
untuk membangun tatanan dunia baru yang adil dan setara.
Dalam konteks ini,
Soekarno secara aktif mendorong kerja sama antarbangsa di Asia dan Afrika dalam
semangat anti-kolonialisme. Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955
menjadi manifestasi nyata dari komitmen internasionalnya untuk memperjuangkan
solidaritas global yang berbasis pada prinsip anti-imperialisme dan
non-intervensi.⁹
Catatan Kaki
[1]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I (Jakarta: Panitia
Penerbit DBR, 1963), 85.
[2]
Soekarno, Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945 (Jakarta:
BPIP, 2019), 9.
[3]
Ernest Renan, “What Is a Nation?” in Becoming National: A Reader,
ed. Geoff Eley and Ronald Grigor Suny (New York: Oxford University Press,
1996), 41.
[4]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 105–107.
[5]
George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1952), 112.
[6]
Lambert Giebels, Soekarno: Biografi Politik 1901–1950
(Jakarta: Grasindo, 2001), 221.
[7]
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 46.
[8]
Richard Wright, The Color Curtain: A Report on the Bandung
Conference (Cleveland: World Publishing Company, 1956), 22–24.
[9]
J.D. Legge, Sukarno: A Political Biography (London: Allen
Lane, 1972), 289–291.
5.
Pemikiran Soekarno tentang Demokrasi dan Sistem
Politik
5.1.
Kritik terhadap
Demokrasi Liberal-Parlementer
Ir. Soekarno
memiliki pandangan kritis terhadap model demokrasi liberal-parlementer yang
diperkenalkan Belanda dan diadopsi pada awal kemerdekaan Indonesia. Menurutnya,
sistem tersebut terlalu mengandalkan retorika legal-formal tanpa menyentuh akar
permasalahan sosial rakyat. Demokrasi liberal, dalam pandangan Soekarno,
terlalu elitis dan sering kali melayani kepentingan golongan tertentu yang
justru memperlemah semangat revolusi nasional.¹
Dalam pidatonya pada
1957, Soekarno menyebut demokrasi parlementer sebagai “demokrasi impor”
yang tidak cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang memiliki struktur
sosial dan budaya berbeda dengan Barat.² Oleh karena itu, ia menggagas bentuk
demokrasi alternatif yang dinilainya lebih sesuai dengan kepribadian bangsa: Demokrasi
Terpimpin.
5.2.
Demokrasi Terpimpin:
Antara Teori dan Praksis
Konsep Demokrasi
Terpimpin pertama kali dikemukakan Soekarno secara eksplisit pada
masa krisis politik pertengahan 1950-an. Menurut Soekarno, demokrasi terpimpin
bukanlah kediktatoran, melainkan bentuk demokrasi yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dan berorientasi pada musyawarah, sebagaimana nilai-nilai asli
Indonesia.³ Dalam tulisannya, Soekarno menegaskan bahwa demokrasi terpimpin
adalah “jalan tengah” antara anarki parlementer dan otoritarianisme militer.⁴
Secara teoritis,
demokrasi terpimpin memiliki basis ideologis dalam nilai-nilai Pancasila dan
budaya gotong royong. Namun dalam praktik, sistem ini cenderung memusatkan
kekuasaan di tangan Presiden, melemahkan lembaga perwakilan, serta membuka
ruang bagi intervensi militer dan partai politik besar, termasuk Partai Komunis
Indonesia (PKI).⁵ Hal ini kemudian menimbulkan berbagai kontroversi, baik dari
dalam maupun luar negeri, mengenai batas antara demokrasi dan otoritarianisme
dalam sistem yang dirancang Soekarno.
5.3.
Konsep Kepemimpinan
Politik: Pemimpin Besar Revolusi
Dalam sistem politik
yang ia bayangkan, Soekarno memposisikan dirinya sebagai Pemimpin
Besar Revolusi, suatu gelar ideologis yang mencerminkan peran
sentral pemimpin dalam menggerakkan bangsa.⁶ Ia mengacu pada model “pemimpin-karismatik”
sebagaimana dijelaskan oleh Max Weber, di mana legitimasi kekuasaan tidak
semata berasal dari hukum positif, tetapi dari kepercayaan rakyat terhadap visi
dan misi revolusioner pemimpinnya.⁷
Soekarno meyakini
bahwa dalam masa revolusi, dibutuhkan pemimpin yang mampu “memimpinkan”
rakyat, bukan sekadar “mengurusi” rakyat secara administratif. Pemimpin
ideal adalah mereka yang mampu memobilisasi energi kolektif bangsa demi
mencapai transformasi sosial dan ekonomi secara radikal.⁸ Oleh karena itu, ia
kerap menggunakan retorika yang menggugah dan simbolisme revolusioner dalam
membangun hubungan dengan massa rakyat.
5.4.
Musyawarah dan
Gotong Royong sebagai Landasan Demokrasi Asli Indonesia
Dalam menolak
demokrasi individualistik Barat, Soekarno menawarkan konsep musyawarah dan
gotong royong sebagai nilai demokrasi asli Indonesia. Ia menyatakan bahwa
demokrasi yang cocok bagi Indonesia adalah demokrasi yang membangun konsensus
melalui diskusi dan musyawarah mufakat, bukan melalui kompetisi elektoral
semata.⁹ Prinsip ini mengakar kuat dalam tradisi desa dan adat di berbagai
daerah di Nusantara, yang menjadi rujukan dalam membangun sistem politik
nasional.
Model demokrasi ini
menekankan kohesi sosial dan harmoni sebagai prasyarat keberlangsungan negara
yang plural. Namun, dalam implementasinya selama masa Demokrasi Terpimpin,
prinsip musyawarah sering kali dikooptasi menjadi legitimasi atas keputusan
sepihak yang datang dari pusat kekuasaan.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1962), 234.
[2]
Soekarno, Pidato Kenegaraan di Hadapan DPR, 1957, dalam Pidato-Pidato
Soekarno (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1966), 116.
[3]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid II (Jakarta:
Panitia Penerbit DBR, 1965), 67.
[4]
J.D. Legge, Sukarno: A Political Biography (London: Allen
Lane, 1972), 273–275.
[5]
Daniel S. Lev, Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics
1957–1959 (Ithaca: Modern Indonesia Project, Cornell University, 1966),
143.
[6]
George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1952), 298.
[7]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive
Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of
California Press, 1978), 241–242.
[8]
Soekarno, Mencapai Indonesia Merdeka (Jakarta: Panitia
Penerbit DBR, 1963), 88.
[9]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 165–167.
[10]
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 49.
6.
Soekarno dan Revolusi Sosial
6.1.
Revolusi sebagai
Keharusan Historis
Bagi Ir. Soekarno,
revolusi bukan sekadar aksi politik, tetapi merupakan keharusan historis dalam
membangun kembali struktur sosial dan politik yang rusak akibat kolonialisme.
Dalam pidatonya, Soekarno menekankan bahwa revolusi Indonesia adalah revolusi nasional,
revolusi politik, dan revolusi sosial secara sekaligus—yakni perubahan
menyeluruh dalam cara berpikir, bertindak, dan bernegara.¹ Revolusi, dalam
kerangka pemikirannya, adalah “jalan untuk menghapuskan segala bentuk
struktur lama yang menindas dan membangun struktur baru yang adil.”²
Soekarno sangat
dipengaruhi oleh gagasan revolusioner dari berbagai pemikir, mulai dari Karl
Marx hingga tokoh-tokoh anti-kolonial Asia dan Afrika. Ia memandang bahwa
kemerdekaan politik tidak akan berarti tanpa revolusi sosial yang membebaskan
rakyat dari kemiskinan, ketimpangan, dan ketertinggalan.³ Oleh sebab itu, ia
menggambarkan revolusi sebagai proses total dan berkelanjutan (continuous
revolution) yang belum selesai hanya karena proklamasi telah
dibacakan.
6.2.
“Revolusi Belum
Selesai”: Makna dan Implikasi
Ungkapan terkenal “Revolusi
belum selesai” (Revolusi Belum Selesai) merupakan
sintesis dari keyakinan Soekarno bahwa Indonesia belum mencapai cita-cita
revolusionernya secara utuh.⁴ Ia menolak gagasan bahwa kemerdekaan formal pada
tahun 1945 adalah titik akhir perjuangan. Bagi Soekarno, itu hanyalah awal dari
perjuangan besar untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu,
revolusi harus dilanjutkan secara konsisten dalam bidang ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Konsep ini diperkuat
dalam Manifesto
Politik Republik Indonesia (Manipol), yang kemudian menjadi dasar
ideologi pembangunan negara di masa Demokrasi Terpimpin.⁵ Manipol menegaskan
bahwa revolusi Indonesia terdiri dari tiga tahap: (1) revolusi nasional untuk
menghapuskan kolonialisme, (2) revolusi politik untuk menegakkan kekuasaan
rakyat, dan (3) revolusi sosial untuk menyejahterakan seluruh rakyat.
6.3.
Strategi Revolusi:
Massa, Keadilan, dan Marhaenisme
Strategi revolusi
sosial dalam pandangan Soekarno sangat bergantung pada mobilisasi massa rakyat
sebagai subjek utama sejarah. Ia percaya bahwa revolusi sejati tidak bisa
dilakukan oleh segelintir elite, tetapi harus digerakkan oleh kesadaran
kolektif kaum tertindas.⁶ Dalam konteks ini, Soekarno memperkenalkan konsep Marhaenisme—suatu
bentuk sosialisme khas Indonesia yang bertumpu pada kaum tani dan rakyat kecil
(Marhaen), bukan proletariat industrial seperti dalam Marxisme klasik.⁷
Melalui Marhaenisme,
Soekarno menyuarakan gagasan keadilan sosial yang berbasis pada kondisi
objektif masyarakat Indonesia. Ia menekankan bahwa perjuangan revolusi bukan
hanya melawan kolonialisme eksternal, tetapi juga menumbangkan struktur feodal,
kapitalis, dan borjuis di dalam negeri. Dalam hal ini, ia memperjuangkan program-program
radikal seperti reformasi agraria, nasionalisasi aset asing, dan perencanaan
ekonomi nasional yang mengutamakan kepentingan rakyat.⁸
6.4.
Revolusi dan
Kebudayaan
Soekarno tidak
memisahkan revolusi sosial dari kebudayaan. Ia meyakini bahwa untuk mengubah
sistem sosial, perlu juga merevolusi mentalitas rakyat. Oleh karena itu,
revolusi kebudayaan menjadi bagian penting dari perjuangan sosial. Dalam
pidatonya pada Pekan Kebudayaan Nasional 1959, Soekarno menekankan bahwa
revolusi sejati adalah revolusi mental, yaitu perubahan cara berpikir dan cara
hidup bangsa yang masih terjajah secara kultural.⁹
Dengan semangat
inilah, ia mendorong penciptaan kebudayaan nasional yang progresif,
anti-feodal, dan mencerminkan nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia. Ia juga
menekankan pentingnya seni, sastra, dan pendidikan sebagai alat transformasi
sosial.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I (Jakarta: Panitia
Penerbit DBR, 1963), 201.
[2]
George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1952), 301.
[3]
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 43.
[4]
J.D. Legge, Sukarno: A Political Biography (London: Allen
Lane, 1972), 297.
[5]
Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1962), 277–278.
[6]
Soekarno, Pidato Kenegaraan di Hadapan DPR, 17 Agustus 1961,
dalam Pidato-Pidato Soekarno (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1966), 218.
[7]
Soekarno, Mencapai Indonesia Merdeka (Jakarta: Panitia
Penerbit DBR, 1963), 48–50.
[8]
Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell
University Press, 1965), 137.
[9]
Soekarno, Revolusi dan Kebudayaan (Jakarta: Departemen
Penerangan RI, 1960), 6–9.
[10]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 188.
7.
Soekarno dan Dunia Internasional
7.1.
Anti-Imperialisme
sebagai Landasan Politik Luar Negeri
Pemikiran
internasional Ir. Soekarno sangat dipengaruhi oleh semangat anti-imperialisme
yang menjadi benang merah perjuangan nasional Indonesia. Bagi Soekarno,
imperialisme bukan hanya bentuk penjajahan fisik, tetapi juga sistem global
yang mempertahankan ketimpangan dan subordinasi negara-negara dunia ketiga
terhadap kekuatan besar dunia.¹ Oleh karena itu, sejak awal kemerdekaan
Indonesia, Soekarno secara aktif membangun politik luar negeri yang bebas dan
mandiri, dengan tujuan menggalang solidaritas internasional di antara
negara-negara yang baru merdeka atau sedang memperjuangkan kemerdekaan.
Soekarno menekankan
bahwa kemerdekaan politik nasional tidak akan lestari tanpa kemerdekaan ekonomi
dan budaya dari dominasi asing. Dalam berbagai forum internasional, ia
menyerukan perlunya pembentukan tatanan dunia baru yang lebih adil dan setara,
bebas dari hegemoni Barat maupun blok-blok kekuatan besar.²
7.2.
Konferensi
Asia-Afrika dan Solidaritas Global Selatan
Konferensi
Asia-Afrika (KAA) yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1955 menjadi titik
kulminasi dari pemikiran dan aktivitas internasional Soekarno. Ia meyakini
bahwa negara-negara di kawasan Asia dan Afrika, yang selama ini menjadi objek
eksploitasi kolonialisme, harus bersatu untuk membentuk kekuatan moral dan
politik baru dalam percaturan global.³ Dalam pidato pembukaannya yang berjudul “Let a
New Asia and a New Africa be Born”, Soekarno menyerukan lahirnya
peradaban baru yang menjunjung tinggi keadilan, perdamaian, dan kedaulatan.⁴
Konferensi tersebut
menghasilkan Dasasila Bandung, yang menjadi
tonggak penting dalam hubungan internasional negara-negara non-Barat, terutama
dalam mendorong prinsip non-blok, penghormatan terhadap kedaulatan negara, dan
penolakan terhadap dominasi kekuatan besar.⁵ Pemikiran Soekarno tentang
solidaritas global ini menjadikan Indonesia bukan sekadar penerima pengaruh
internasional, melainkan aktor aktif dalam membentuk geopolitik dunia
pascakolonial.
7.3.
Gerakan Non-Blok dan
Jalan Ketiga
Komitmen Soekarno
terhadap kebebasan dan kemandirian dalam hubungan internasional diwujudkan
secara konkret melalui keterlibatan aktif Indonesia dalam pembentukan Gerakan
Non-Blok (GNB). Bersama tokoh-tokoh seperti Jawaharlal Nehru
(India), Gamal Abdel Nasser (Mesir), dan Josip Broz Tito (Yugoslavia), Soekarno
mendorong terbentuknya aliansi negara-negara yang menolak keterikatan pada Blok
Barat (AS) maupun Blok Timur (Uni Soviet) dalam Perang Dingin.⁶
Menurut Soekarno,
politik luar negeri Indonesia harus berorientasi pada prinsip bebas
aktif, yaitu bebas menentukan kebijakan sendiri dan aktif dalam
memperjuangkan perdamaian dunia.⁷ Prinsip ini tidak netral dalam arti pasif,
melainkan aktif membela kemerdekaan bangsa-bangsa tertindas dan menciptakan
tatanan dunia multipolar. Dalam kerangka inilah, Soekarno menyebut Gerakan
Non-Blok sebagai jalan ketiga yang moral dan
progresif dibanding pertarungan ideologis antara kapitalisme dan komunisme.⁸
7.4.
Konfrontasi sebagai
Strategi Anti-Neokolonialisme
Selain diplomasi
multilateral, Soekarno juga menggunakan strategi konfrontatif terhadap
negara-negara atau institusi internasional yang dianggap memperpanjang
kolonialisme dalam bentuk baru (neokolonialisme). Salah satu bentuk nyata dari
pendekatan ini adalah Konfrontasi Indonesia-Malaysia
(1963–1966), yang oleh Soekarno dipandang sebagai perlawanan terhadap proyek
imperialisme Inggris di Asia Tenggara.⁹
Ia bahkan mengecam
keras institusi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menurutnya telah
gagal menjalankan fungsi keadilan global. Ketika Malaysia diterima menjadi
anggota Dewan Keamanan PBB, Soekarno memutuskan untuk menarik Indonesia keluar
dari PBB pada tahun 1965 dan mendirikan Conference of the New Emerging Forces
(CONEFO) sebagai alternatif yang lebih adil dan representatif bagi
negara-negara berkembang.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid II (Jakarta:
Panitia Penerbit DBR, 1965), 231–233.
[2]
George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1952), 310.
[3]
J.D. Legge, Sukarno: A Political Biography (London: Allen
Lane, 1972), 286.
[4]
Soekarno, Let a New Asia and a New Africa Be Born, pidato
pembukaan KAA 1955 (Jakarta: Departemen Luar Negeri RI, 1955), 1–5.
[5]
Richard Wright, The Color Curtain: A Report on the Bandung
Conference (Cleveland: World Publishing Company, 1956), 43–44.
[6]
Zubir Said, Gerakan Non-Blok dan Politik Luar Negeri Indonesia
(Jakarta: LP3ES, 1985), 45–47.
[7]
Mochtar Mas’oed, Studi tentang Politik Luar Negeri Indonesia
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), 23–25.
[8]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 211.
[9]
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 73.
[10]
Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1962), 281–282.
8.
Evaluasi Kritis atas Pemikiran Soekarno
8.1.
Kontribusi
Intelektual terhadap Identitas Nasional
Pemikiran Ir.
Soekarno telah memberikan kontribusi fundamental terhadap pembentukan identitas
nasional Indonesia. Ia adalah tokoh sentral dalam merumuskan ideologi negara,
terutama melalui konseptualisasi Pancasila sebagai dasar filosofis dan
ideologis bangsa.¹ Gagasannya tentang nasionalisme yang inklusif, progresif,
dan anti-imperialis membantu mengikat keberagaman etnis, agama, dan budaya ke
dalam suatu kesadaran kolektif sebagai bangsa Indonesia.²
Soekarno juga
memperkenalkan istilah-istilah kunci yang terus hidup dalam perbendaharaan
politik nasional seperti Marhaenisme, Demokrasi
Terpimpin, dan Revolusi Belum Selesai. Ia berhasil
membangun bahasa politik yang kuat untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat
kecil dalam konteks modernitas pascakolonial.³ Namun demikian, kontribusi
intelektualnya tidak bebas dari kritik, baik dalam tataran teoritis maupun
implementatif.
8.2.
Problematika
Sintesis Ideologis: Nasakom dan Ambiguitas Integratif
Salah satu aspek
paling kontroversial dari pemikiran Soekarno adalah upayanya menyatukan tiga
kekuatan besar dalam masyarakat Indonesia—nasionalisme, agama, dan
komunisme—dalam konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama,
Komunisme).⁴ Secara teoritis, ini merupakan upaya integratif yang orisinal dan
pragmatis untuk menjaga stabilitas nasional dalam masyarakat yang terpolarisasi
secara ideologis. Namun, dalam praktiknya, Nasakom justru memperuncing konflik
antar kekuatan politik, terutama antara kelompok Islam dan komunis.
Banyak pengamat
berpendapat bahwa konsep ini mengabaikan ketegangan filosofis yang mendasar
antara agama dan komunisme, terutama dalam konteks Indonesia yang mayoritas
Muslim.⁵ Dalam konteks ini, pendekatan Soekarno dianggap terlalu eklektik dan
utopis, tidak cukup memperhitungkan dinamika sosial-politik yang ada. Bahkan,
Nasakom dituding sebagai pintu masuk bagi menguatnya pengaruh PKI dalam politik
nasional, yang berujung pada tragedi 1965.⁶
8.3.
Demokrasi Terpimpin:
Otoritarianisme dalam Balutan Tradisi?
Meskipun Soekarno
mempromosikan Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk
demokrasi khas Indonesia yang berakar pada nilai musyawarah dan gotong royong,
banyak akademisi menilai bahwa sistem ini pada akhirnya membuka jalan bagi
otoritarianisme.⁷ Konsentrasi kekuasaan di tangan presiden, pelemahan parlemen,
serta pembungkaman oposisi melalui dekre-dekre politik menunjukkan bahwa
Demokrasi Terpimpin lebih condong pada praktik kekuasaan sentralistik daripada
prinsip demokrasi deliberatif.
Beberapa pengkritik
menyamakan Demokrasi Terpimpin dengan bentuk populisme otoriter, di mana
legitimasi kekuasaan diperoleh melalui hubungan langsung antara pemimpin
karismatik dan massa, dengan melewati institusi-institusi formal negara.⁸ Dalam
kerangka ini, Soekarno dinilai telah membentuk sistem yang rapuh secara
institusional dan tidak berkelanjutan.
8.4.
Warisan dan
Relevansi di Era Kontemporer
Terlepas dari
kontroversi tersebut, pemikiran Soekarno tetap relevan untuk dibaca ulang dalam
konteks kontemporer. Gagasan-gagasannya mengenai kemandirian nasional, keadilan
sosial, dan solidaritas antarbangsa masih aktual di tengah tantangan
globalisasi yang mengikis identitas dan kedaulatan negara-negara berkembang.⁹
Banyak intelektual kontemporer menilai bahwa pemikiran Soekarno dapat menjadi
sumber inspirasi alternatif untuk mengembangkan model pembangunan yang lebih
berkeadilan, humanistik, dan berbasis nilai-nilai lokal.¹⁰
Kendati demikian,
pembacaan terhadap warisan pemikiran Soekarno harus dilakukan secara kritis dan
historis, bukan secara romantik dan ideologis semata. Sebagai produk zamannya, gagasan
Soekarno mengandung kelebihan dan keterbatasan yang perlu dipahami dalam
konteks dialektika antara ide dan realitas sosial. Penilaian terhadap Soekarno
yang terlalu apologetik justru akan mengaburkan potensi transformatif dari
pemikirannya bagi generasi baru Indonesia.
Catatan Kaki
[1]
Soekarno, Pidato 1 Juni 1945: Lahirnya Pancasila (Jakarta:
BPIP, 2019), 5–8.
[2]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 101–102.
[3]
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 42.
[4]
Benedict R. O’G. Anderson, Language and Power: Exploring Political
Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 132.
[5]
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: Grafiti
Pers, 1980), 144.
[6]
Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell
University Press, 1965), 218.
[7]
Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1962), 270–275.
[8]
J.D. Legge, Sukarno: A Political Biography (London: Allen
Lane, 1972), 308–311.
[9]
Mochtar Mas’oed, Studi tentang Politik Luar Negeri Indonesia
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), 29.
[10]
George Junus Aditjondro, Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki
Berkedok Demokrasi (Yogyakarta: LKiS, 2006), 13–15.
9.
Penutup
Kajian terhadap
pemikiran Ir. Soekarno menunjukkan bahwa ia bukan hanya seorang pemimpin
politik dan orator ulung, tetapi juga seorang pemikir ideologis yang merumuskan
fondasi konseptual bagi terbentuknya identitas dan arah perjuangan bangsa
Indonesia. Melalui pemikirannya tentang nasionalisme, revolusi sosial,
demokrasi terpimpin, dan solidaritas internasional, Soekarno menawarkan suatu Weltanschauung
atau pandangan hidup yang utuh dan menyeluruh bagi bangsa Indonesia yang baru
merdeka.¹
Dalam menghadapi
tantangan kolonialisme dan ketimpangan global, Soekarno mengembangkan
pendekatan yang tidak semata-mata reaksioner, melainkan proaktif dan
konstruktif. Ia tidak hanya menolak imperialisme, tetapi juga menawarkan visi
dunia yang berkeadilan melalui solidaritas Asia-Afrika, Gerakan Non-Blok, dan
perjuangan emansipasi negara-negara tertindas.² Secara internal, ia menggagas
sistem-sistem ideologis seperti Marhaenisme dan Demokrasi Terpimpin sebagai
alternatif terhadap kapitalisme liberal maupun sosialisme ortodoks.³
Namun, seperti telah
diuraikan dalam bagian sebelumnya, pemikiran Soekarno tidak bebas dari kelemahan
dan kontroversi. Gagasan seperti Nasakom dan Demokrasi Terpimpin menuai kritik
karena dinilai membuka jalan bagi konsentrasi kekuasaan yang berlebihan dan
konflik ideologis yang tidak terselesaikan.⁴ Meski demikian,
keterbatasan-keterbatasan tersebut tidak menghapus signifikansi historis dan
strategis dari pemikirannya.
Dalam konteks
Indonesia kontemporer, warisan intelektual Soekarno tetap relevan untuk
direfleksikan secara kritis. Krisis identitas nasional, ketimpangan sosial,
serta tantangan globalisasi yang mengikis kedaulatan bangsa menjadi latar yang
tepat untuk menghidupkan kembali semangat nation-building dan keadilan sosial
yang pernah diperjuangkan Soekarno. Seperti diungkapkan Yudi Latif, bangsa yang
besar bukan hanya yang mampu mengenang para pendirinya, tetapi yang mampu
melanjutkan gagasan-gagasan luhur mereka secara kreatif dan kontekstual.⁵
Oleh karena itu,
membaca dan mengkaji kembali pemikiran Soekarno bukanlah sekadar usaha
nostalgia, tetapi bagian dari upaya membangun peradaban Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana yang ia impikan. Dengan spirit
kritis dan dialektis, generasi kini dapat menggali nilai-nilai universal dari
pemikirannya untuk merumuskan solusi atas persoalan-persoalan nasional dan global
masa kini.
Catatan Kaki
[1]
Soekarno, Pidato 1 Juni 1945: Lahirnya Pancasila (Jakarta:
BPIP, 2019), 9.
[2]
Richard Wright, The Color Curtain: A Report on the Bandung
Conference (Cleveland: World Publishing Company, 1956), 41–42.
[3]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I (Jakarta: Panitia
Penerbit DBR, 1963), 155–158.
[4]
J.D. Legge, Sukarno: A Political Biography (London: Allen
Lane, 1972), 293–296.
[5]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 342.
Daftar Pustaka
Anderson, B. R. O’G. (1990). Language and power:
Exploring political cultures in Indonesia. Cornell University Press.
Aditjondro, G. J. (2006). Korupsi kepresidenan:
Reproduksi oligarki berkedok demokrasi. LKiS.
Dhakidae, D. (2003). Cendekiawan dan kekuasaan
dalam negara Orde Baru. Gramedia Pustaka Utama.
Feith, H. (1962). The decline of constitutional
democracy in Indonesia. Cornell University Press.
Giebels, L. (2001). Soekarno: Biografi politik
1901–1950. Grasindo.
Kahin, G. M. (1952). Nationalism and revolution
in Indonesia. Cornell University Press.
Latif, Y. (2011). Negara paripurna:
Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Gramedia Pustaka
Utama.
Legge, J. D. (1972). Sukarno: A political
biography. Allen Lane.
Mas’oed, M. (1989). Studi tentang politik luar
negeri Indonesia. Gadjah Mada University Press.
McVey, R. (1965). The rise of Indonesian
communism. Cornell University Press.
Noer, D. (1980). Partai Islam di pentas nasional.
Grafiti Pers.
Renan, E. (1996). What is a nation? In G. Eley
& R. G. Suny (Eds.), Becoming national: A reader (pp. 41–55). Oxford
University Press.
Said, Z. (1985). Gerakan Non-Blok dan politik
luar negeri Indonesia. LP3ES.
Soekarno. (1955). Let a new Asia and a new
Africa be born [Pidato pembukaan Konferensi Asia-Afrika]. Departemen Luar
Negeri RI.
Soekarno. (1960). Revolusi dan kebudayaan.
Departemen Penerangan RI.
Soekarno. (1963). Di bawah bendera revolusi
(Jilid I). Panitia Penerbit DBR.
Soekarno. (1963). Mencapai Indonesia merdeka.
Panitia Penerbit DBR.
Soekarno. (1965). Di bawah bendera revolusi
(Jilid II). Panitia Penerbit DBR.
Soekarno. (1966). Pidato-pidato Soekarno. PN
Balai Pustaka.
Soekarno. (2019). Pidato 1 Juni 1945: Lahirnya
Pancasila. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Wright, R. (1956). The color curtain: A report
on the Bandung Conference. World Publishing Company.
Weber, M. (1978). Economy and society: An
outline of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich, Eds.).
University of California Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar