Selasa, 11 Februari 2025

Fiqih I: Prinsip, Metodologi, dan Aplikasinya dalam Kehidupan Umat

Fiqih dalam Islam

Prinsip, Metodologi, dan Aplikasinya dalam Kehidupan Umat


Alihkan ke: Ushul FiqhMasa'il Al-FiqhiyahFiqihNU, Fiqih Muhammadiyah, Fiqih Peersis.


Abstrak

Fiqih Islam merupakan disiplin ilmu yang mengatur hukum-hukum syariat dalam aspek ibadah, muamalah, jinayah, siyasah, dan hukum keluarga. Artikel ini membahas prinsip-prinsip dasar Fiqih, metodologi istinbath hukum, serta perbedaan mazhab yang berkembang dalam Islam. Selain itu, artikel ini menyoroti aplikasi Fiqih dalam kehidupan umat, termasuk peranannya dalam sistem ekonomi syariah, hukum pidana Islam, serta regulasi tata negara berbasis syariah. Dalam menghadapi tantangan era modern, Fiqih terus berkembang melalui pendekatan ijtihad kontemporer dan maqashid syariah untuk menjawab berbagai permasalahan seperti teknologi finansial, bioteknologi, dan hukum internasional. Artikel ini juga menyoroti Fiqih minoritas (Fiqh Aqalliyyat), yang memberikan solusi bagi Muslim yang hidup di negara non-Muslim, serta dinamika Fiqih dalam sistem hukum global. Dengan adanya digitalisasi ilmu Fiqih dan kodifikasi hukum Islam, diharapkan Fiqih tetap relevan dalam menghadapi perubahan zaman tanpa mengorbankan prinsip syariahnya.

Kata Kunci: Fiqih, Ushul Fiqih, Mazhab Fiqih, Ijtihad, Maqashid Syariah, Fiqih Kontemporer, Fiqih Minoritas, Digitalisasi Fiqih, Hukum Islam, Perbankan Syariah, Hak Asasi Manusia.


PEMBAHASAN

Penjelasan Fiqih Berdasarkan Referensi yang Kredibel


1.           Pendahuluan

Fiqih merupakan salah satu cabang ilmu Islam yang memiliki peran penting dalam mengatur berbagai aspek kehidupan umat Muslim. Secara etimologis, kata "Fiqih" (الفقه) berasal dari bahasa Arab yang berarti "pemahaman yang mendalam." Secara terminologis, para ulama mendefinisikan Fiqih sebagai ilmu yang membahas hukum-hukum syariat yang bersifat praktis berdasarkan dalil-dalil yang terperinci dari Al-Qur’an dan Sunnah.1 Ilmu Fiqih tidak hanya membahas aspek ibadah seperti shalat dan puasa, tetapi juga mencakup interaksi sosial, transaksi ekonomi, dan hukum pidana dalam Islam.

1.1.       Perbedaan antara Fiqih dan Syariat

Sering kali, istilah Fiqih dan Syariat digunakan secara bergantian, meskipun keduanya memiliki perbedaan mendasar. Syariat (الشريعة) merujuk pada hukum-hukum Allah yang bersifat tetap dan universal sebagaimana terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah.2 Sementara itu, Fiqih adalah hasil dari pemahaman ulama terhadap Syariat melalui proses ijtihad, sehingga menghasilkan hukum-hukum yang bersifat fleksibel dan dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman.3 Dengan demikian, Fiqih merupakan interpretasi manusia atas hukum Islam, yang dapat mengalami perbedaan dan perubahan sesuai dengan konteks sosial dan geografis.

1.2.       Sumber-Sumber Utama dalam Kajian Fiqih

Fiqih bersandar pada beberapa sumber hukum utama dalam Islam, yang dikenal sebagai adillah al-ahkam (dalil-dalil hukum). Sumber utama dalam Fiqih adalah Al-Qur’an, yang merupakan wahyu Allah dan memiliki otoritas tertinggi dalam hukum Islam.4 Sunnah Rasulullah Saw juga menjadi rujukan utama, karena memberikan penjelasan lebih lanjut tentang hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.5 Selain itu, para ulama juga menggunakan Ijma’ (konsensus ulama) dan Qiyas (analogi hukum) sebagai metode dalam menggali hukum Islam. Dalam konteks perkembangan zaman, beberapa metode lain seperti Maslahah Mursalah (pertimbangan kemaslahatan) dan Urf (adat kebiasaan yang berlaku) juga digunakan sebagai pendekatan dalam menetapkan hukum.6

1.3.       Relevansi Fiqih dalam Kehidupan Modern

Fiqih tidak hanya menjadi bagian dari sejarah Islam, tetapi juga memiliki relevansi yang kuat dalam kehidupan modern. Hukum Islam terus berkembang untuk menjawab tantangan zaman, seperti dalam bidang keuangan Islam, teknologi, dan hukum keluarga. Misalnya, konsep Fiqih Muamalah telah berkontribusi dalam pengembangan ekonomi syariah dan sistem perbankan Islam.7 Selain itu, dalam isu-isu kontemporer seperti bioetika, lingkungan, dan hukum teknologi, para ulama menggunakan metodologi Fiqih untuk memberikan solusi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.8 Oleh karena itu, memahami Fiqih bukan hanya sebatas mempelajari teks klasik, tetapi juga memahami bagaimana hukum Islam dapat diterapkan secara kontekstual dalam dunia modern.


Kesimpulan

Fiqih adalah ilmu yang berkembang dari pemahaman terhadap Syariat dan memainkan peran sentral dalam kehidupan umat Muslim. Dengan berbagai sumber hukum yang menjadi rujukannya, Fiqih mampu menjawab berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam dari masa ke masa. Oleh karena itu, kajian mendalam tentang Fiqih sangat diperlukan agar umat Islam dapat memahami dan mengamalkan hukum Islam dengan benar serta menerapkannya dalam berbagai aspek kehidupan.


Footnotes

[1]                Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 1 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), 13.

[2]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Shariah wa Tathbiqatuha (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004), 21.

[3]                Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958), 43.

[4]                Ibn Qudamah, Rawdat al-Nazir wa Jannat al-Mazhir (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992), 78.

[5]                Syekh Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi, Dawabit al-Maslahah fi al-Shari'ah al-Islamiyyah (Damaskus: Dar al-Fikr, 1998), 92.

[6]                Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), 162.

[7]                Monzer Kahf, Islamic Economics: Notes on Definition and Methodology (Jeddah: Islamic Research and Training Institute, 1995), 35.

[8]                Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 215.


2.           Dasar-Dasar Fiqih Islam

Fiqih Islam memiliki kedudukan yang sangat penting dalam struktur hukum Islam. Ia menjadi instrumen utama dalam memahami, menafsirkan, dan menerapkan hukum-hukum syariat yang bersifat praktis. Pemahaman terhadap dasar-dasar Fiqih Islam sangat diperlukan agar umat Islam dapat mengamalkan ajaran agama dengan benar dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh syariat.

2.1.       Pengertian dan Ruang Lingkup Fiqih

Secara etimologis, istilah Fiqih (الفقه) berasal dari bahasa Arab yang berarti "pemahaman yang mendalam."1 Sedangkan dalam terminologi syariat, Fiqih didefinisikan sebagai ilmu yang membahas hukum-hukum Islam yang bersifat amali (praktis) berdasarkan dalil-dalil syariat yang terperinci.2 Definisi ini dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih seperti Al-Ghazali dan Al-Amidi, yang menekankan bahwa Fiqih merupakan hasil dari proses istinbath (penarikan hukum) yang dilakukan oleh para mujtahid.3

Ruang lingkup Fiqih sangat luas, mencakup berbagai aspek kehidupan manusia. Secara umum, Fiqih dibagi menjadi beberapa kategori utama:

·                     Fiqih Ibadah: Mengatur hubungan manusia dengan Allah, termasuk shalat, puasa, zakat, dan haji.4

·                     Fiqih Muamalah: Mengatur hubungan sosial dan ekonomi, seperti transaksi jual beli, utang-piutang, sewa-menyewa, dan kontrak bisnis.5

·                     Fiqih Munakahat: Membahas hukum-hukum pernikahan, perceraian, nafkah, dan hak-hak dalam keluarga.6

·                     Fiqih Jinayah: Mengatur hukum pidana dalam Islam, seperti hudud, qisas, dan ta'zir.7

·                     Fiqih Siyasah: Berkaitan dengan hukum tata negara dan kepemimpinan Islam.8

Pembagian ini menunjukkan bahwa Fiqih memiliki peranan fundamental dalam menata kehidupan individu dan sosial berdasarkan prinsip-prinsip Islam.

2.2.       Sumber-Sumber Hukum Islam (Adillah al-Ahkam)

Dalam ilmu Fiqih, penetapan hukum Islam bersandar pada beberapa sumber utama yang dikenal sebagai adillah al-ahkam (dalil-dalil hukum). Sumber-sumber ini dikategorikan menjadi sumber primer dan sekunder.

2.2.1.      Sumber Primer

1)                  Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam. Ia memuat berbagai ketentuan hukum yang bersifat qath’i (pasti) maupun hukum yang bersifat global dan membutuhkan penafsiran lebih lanjut.9 Contohnya, dalam masalah ibadah seperti shalat dan zakat, Al-Qur’an menyebutkan kewajibannya, tetapi tata caranya dijelaskan lebih lanjut dalam Sunnah.10

2)                  Sunnah

Sunnah Rasulullah Saw menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Sunnah mencakup segala ucapan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad Saw yang berfungsi sebagai penjelas, penguat, dan pelengkap hukum dalam Al-Qur’an.11 Sunnah menjadi dasar dalam berbagai aspek hukum Islam, seperti tata cara shalat, puasa, dan hukum pidana.

2.2.2.      Sumber Sekunder

Selain Al-Qur’an dan Sunnah, terdapat beberapa sumber hukum sekunder yang digunakan oleh para ulama untuk menetapkan hukum dalam Islam, yaitu:

1)                  Ijma’ (Konsensus Ulama)

Ijma’ adalah kesepakatan para ulama pada suatu masa tertentu terhadap suatu hukum Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw.12 Ijma’ menjadi dasar hukum dalam berbagai persoalan yang tidak ditemukan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunnah, seperti hukum pengumpulan mushaf Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.

2)                  Qiyas (Analogi Hukum)

Qiyas adalah metode penetapan hukum dengan cara menganalogikan suatu permasalahan baru yang belum ada hukumnya dengan permasalahan yang telah memiliki hukum dalam Al-Qur’an atau Sunnah berdasarkan kesamaan illat (alasan hukum).13 Contoh penerapan Qiyas adalah pengharaman narkotika karena illat-nya sama dengan pengharaman khamr, yaitu menyebabkan hilangnya akal.

3)                  Maslahah Mursalah (Pertimbangan Kemaslahatan)

Maslahah Mursalah adalah metode penetapan hukum yang didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan umum yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.14 Contohnya adalah pembuatan undang-undang lalu lintas yang bertujuan menjaga keselamatan masyarakat.

4)                  Urf (Adat atau Kebiasaan yang Berlaku)

Urf adalah kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat dan dapat dijadikan dasar hukum dalam perkara yang tidak diatur secara spesifik dalam Al-Qur’an dan Sunnah.15 Misalnya, mahar dalam pernikahan yang besarannya berbeda-beda tergantung adat setempat.


Kesimpulan

Dasar-dasar Fiqih Islam meliputi pemahaman tentang pengertian, ruang lingkup, serta sumber-sumber hukum yang menjadi pedoman dalam menetapkan aturan kehidupan umat Islam. Sumber hukum Islam tidak hanya terbatas pada Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi juga meliputi metode ijtihad seperti Ijma’, Qiyas, dan Maslahah Mursalah yang memungkinkan hukum Islam tetap relevan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, pemahaman terhadap dasar-dasar Fiqih sangat penting bagi setiap Muslim agar dapat menjalankan kehidupannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariat.


Footnotes

[1]                Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 1 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), 13.

[2]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Shariah wa Tathbiqatuha (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004), 21.

[3]                Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958), 43.

[4]                Ibn Qudamah, Rawdat al-Nazir wa Jannat al-Mazhir (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992), 78.

[5]                Syekh Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi, Dawabit al-Maslahah fi al-Shari'ah al-Islamiyyah (Damaskus: Dar al-Fikr, 1998), 92.

[6]                Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), 162.

[7]                Monzer Kahf, Islamic Economics: Notes on Definition and Methodology (Jeddah: Islamic Research and Training Institute, 1995), 35.

[8]                Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 215.

[9]                Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1970), 87.

[10]             Al-Shafi'i, Al-Risalah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 45.

[11]             Ibn al-Qayyim, I'lam al-Muwaqqi'in 'an Rabb al-'Alamin, Jilid 1 (Kairo: Dar Ibn al-Jawzi, 2002), 83.

[12]             Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1980), 256.

[13]             Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Jilid 1 (Kairo: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983), 119.

[14]             Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi Ilm al-Ushul, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 250.

[15]             Ibn Abidin, Radd al-Muhtar 'ala al-Durr al-Mukhtar, Jilid 1 (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1994), 435.


3.           Metodologi dalam Fiqih

Metodologi dalam Fiqih merupakan aspek fundamental yang memungkinkan hukum Islam berkembang dan tetap relevan sepanjang zaman. Proses ini melibatkan berbagai metode penalaran dan kaidah yang digunakan oleh para ulama dalam memahami, menginterpretasikan, dan menerapkan hukum-hukum Islam. Dengan metodologi yang kuat, Fiqih mampu menjawab berbagai persoalan kontemporer yang dihadapi umat Islam.

3.1.       Kaidah-Kaidah Fiqih (Qawaid Fiqhiyyah)

Kaidah Fiqih (Qawaid Fiqhiyyah) adalah prinsip-prinsip umum yang digunakan dalam memahami dan merumuskan hukum Islam. Kaidah-kaidah ini membantu dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum yang memiliki kemiripan tanpa perlu melakukan ijtihad ulang untuk setiap kasus.1

3.1.1.    Lima Kaidah Induk dalam Fiqih

Menurut para ulama, ada lima kaidah besar yang menjadi landasan utama dalam Fiqih:2

1)                  Al-Umuru bi Maqashidiha (Segala sesuatu tergantung pada niatnya).

Kaidah ini diambil dari hadits Nabi Saw: "Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya."3

Penerapannya dapat dilihat dalam ibadah (seperti niat dalam shalat) dan dalam muamalah (seperti transaksi bisnis yang sah berdasarkan niat pelakunya).

2)                  Al-Masyaqqatu Tajlibu al-Taisir (Kesulitan mendatangkan kemudahan).

Berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur'an: "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu." (QS. Al-Baqarah [02] ayat 185).

Contohnya adalah keringanan dalam shalat bagi musafir (qashar dan jama') atau dibolehkannya tayammum saat tidak ada air.

3)                  Al-Yaqinu La Yazulu bi al-Syak (Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan).

Kaidah ini menjadi dasar dalam hukum ibadah dan muamalah, seperti dalam kasus seseorang yang ragu apakah sudah berwudhu atau belum, maka ia tetap dihukumi dalam keadaan sebelumnya (yakni belum batal wudhunya).4

4)                  Al-Dhararu Yuzal (Kemudharatan harus dihilangkan).

Berdasarkan hadits Nabi Saw: "Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain."5

Penerapannya terlihat dalam hukum kesehatan, misalnya larangan mengonsumsi makanan atau obat yang berbahaya bagi tubuh.

5)                  Al-Adatu Muhakkamah (Adat kebiasaan dapat menjadi hukum).

Prinsip ini menegaskan bahwa adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syariat dapat dijadikan dasar hukum. Misalnya, kebiasaan mahar dalam pernikahan yang berbeda di tiap daerah.6

Kaidah-kaidah ini membentuk kerangka kerja bagi ulama dalam merumuskan hukum dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi umat Islam.

3.2.       Ijtihad dan Perannya dalam Pengembangan Hukum Islam

3.2.1.      Pengertian dan Syarat-Syarat Ijtihad

Ijtihad adalah proses intelektual yang dilakukan oleh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum Islam dari dalil-dalil syariat. Ijtihad menjadi sangat penting karena hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah tidak selalu menyebutkan setiap persoalan secara rinci.7

Seorang mujtahid harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya:8

·                     Menguasai bahasa Arab dengan baik.

·                     Memahami dan menguasai Al-Qur’an dan Sunnah serta metode penafsirannya.

·                     Menguasai ilmu Ushul Fiqih sebagai metodologi hukum Islam.

·                     Memiliki integritas keislaman dan ketakwaan yang tinggi.

3.2.2.      Peran Ijtihad dalam Dinamika Hukum Islam

Ijtihad memungkinkan hukum Islam untuk tetap relevan dalam berbagai konteks zaman. Contohnya adalah penetapan hukum mengenai transaksi digital, perbankan syariah, serta teknologi medis modern seperti transplantasi organ.9

Terdapat beberapa metode ijtihad yang digunakan ulama, antara lain:

1)                  Istihsan (meninggalkan qiyas yang bersifat umum untuk mengambil hukum yang lebih maslahat).

2)                  Maslahah Mursalah (penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash).

3)                  Sadd al-Dzari’ah (mencegah sesuatu yang dapat mengarah pada kemudaratan).

3.3.       Perbedaan Pendapat dalam Fiqih

3.3.1.      Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat

Perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam Fiqih merupakan fenomena yang wajar. Beberapa faktor utama yang menyebabkan perbedaan ini antara lain:10

·                     Perbedaan dalam memahami nash: Misalnya, ada perbedaan dalam memahami makna kata tertentu dalam Al-Qur’an.

·                     Berbeda dalam menerima dan menilai hadits: Tidak semua ulama menerima hadits dengan kualitas yang sama sebagai dasar hukum.

·                     Perbedaan dalam metode ijtihad: Setiap mazhab memiliki pendekatan yang berbeda dalam menetapkan hukum.

3.3.2.      Sikap dalam Menyikapi Perbedaan Pendapat

Perbedaan dalam Fiqih seharusnya tidak menjadi sumber perpecahan. Para ulama sepakat bahwa selama suatu pendapat masih dalam lingkup ijtihad yang sah, maka tidak boleh ada sikap saling menyalahkan.11 Rasulullah Saw sendiri bersabda:

"Jika seorang hakim berijtihad dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Jika ia berijtihad dan keliru, maka ia mendapatkan satu pahala."12

Sikap moderat dalam menyikapi perbedaan pendapat ini sangat penting agar umat Islam tetap bersatu dalam keragaman pendapat yang ada.


Kesimpulan

Metodologi dalam Fiqih memainkan peran penting dalam menjaga keabsahan dan relevansi hukum Islam. Dengan adanya kaidah-kaidah Fiqih, metode ijtihad, serta sikap yang bijak dalam menghadapi perbedaan pendapat, hukum Islam dapat terus berkembang dan tetap aplikatif dalam berbagai konteks kehidupan. Oleh karena itu, memahami metodologi dalam Fiqih adalah suatu keharusan bagi setiap Muslim agar mampu menjalankan agamanya dengan baik dan benar.


Footnotes

[1]                Wahbah al-Zuhaili, Al-Qawa'id al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Mazahib al-Arba'ah (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), 34.

[2]                Al-Suyuti, Al-Asybah wa al-Nazhair (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 12.

[3]                Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Hadits No. 1.

[4]                Ibn Rajab, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 69.

[5]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Hadits No. 2340.

[6]                Ibn Abidin, Radd al-Muhtar 'ala al-Durr al-Mukhtar, Jilid 1 (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1994), 435.

[7]                Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1980), 180.

[8]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Ijtihad fi al-Shariah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Shuruq, 1996), 27.

[9]                Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 215.

[10]             Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 221.

[11]             Ibn Taymiyyah, Raf' al-Malam 'an al-A'immat al-A'lam (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1992), 75.

[12]             Muslim, Shahih Muslim, Hadits No. 1716.


4.           Mazhab-Mazhab Fiqih dalam Islam

Fiqih Islam tidak bersifat monolitik, melainkan berkembang melalui pemikiran para ulama dalam berbagai mazhab yang memiliki metode dan pendekatan hukum yang berbeda. Perbedaan dalam memahami nash syariat, menerima dan menilai hadis, serta penggunaan metode ijtihad menyebabkan lahirnya berbagai mazhab dalam Islam. Secara umum, mazhab dalam Fiqih terbagi menjadi Mazhab Sunni yang dianut oleh mayoritas umat Islam dan Mazhab di luar Ahlus Sunnah yang berkembang dalam kelompok tertentu.

4.1.       Mazhab Sunni

Mazhab Sunni terdiri dari empat mazhab utama yang diakui dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Keempat mazhab ini memiliki metodologi tersendiri dalam menggali hukum Islam, tetapi tetap berpegang pada prinsip yang sama, yaitu bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.1

4.1.1.      Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi adalah mazhab tertua dalam Islam yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah (80-150 H).2 Ciri khas mazhab ini adalah penggunaan ra’yu (penalaran logis) dan istihsan (preferensi hukum berdasarkan maslahat). Mazhab ini banyak dianut di wilayah Turki, India, Pakistan, dan sebagian Timur Tengah.3

Metode istinbath hukum:

1)                  Al-Qur’an

2)                  Sunnah yang sahih

3)                  Ijma’

4)                  Qiyas

5)                  Istihsan

6)                  ‘Urf (adat yang berlaku)

Keunggulan Mazhab Hanafi:

·                     Fleksibilitas dalam menentukan hukum melalui metode qiyas dan istihsan.

·                     Memberikan ruang bagi adat dan kebiasaan masyarakat dalam menetapkan hukum.

4.1.2.      Mazhab Maliki

Mazhab Maliki didirikan oleh Imam Malik bin Anas (93-179 H) di Madinah. Mazhab ini terkenal dengan penggunaan Amal Ahlul Madinah (praktik penduduk Madinah) sebagai sumber hukum.4

Metode istinbath hukum:

1)                  Al-Qur’an

2)                  Sunnah

3)                  Ijma’

4)                  Qiyas

5)                  Istishab (kelanjutan hukum yang sudah ada)

6)                  Maslahah Mursalah (pertimbangan maslahat umum)

7)                  Amal Ahlul Madinah

Keunggulan Mazhab Maliki:

·                     Menggunakan praktik penduduk Madinah yang dianggap sebagai perwujudan Sunnah yang hidup.

·                     Fleksibel dalam menerima maslahat yang tidak disebutkan dalam nash secara eksplisit.

Mazhab ini banyak dianut di Afrika Utara, Sudan, dan sebagian wilayah Hijaz.5

4.1.3.      Mazhab Syafi’i

Mazhab Syafi’i didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H). Ia dikenal sebagai perumus ilmu Ushul Fiqih melalui karyanya Al-Risalah, yang menjadi dasar metodologi hukum Islam.6

Metode istinbath hukum:

1)                  Al-Qur’an

2)                  Sunnah

3)                  Ijma’

4)                  Qiyas

Keunggulan Mazhab Syafi’i:

·                     Ketat dalam penggunaan Sunnah dan tidak mudah menerima istihsan.

·                     Sistematis dalam metode istinbath hukum dan menjadi rujukan dalam Ushul Fiqih.

Mazhab ini dianut di Indonesia, Malaysia, Yaman, dan sebagian Mesir.7

4.1.4.      Mazhab Hanbali

Mazhab Hanbali didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H), yang terkenal dengan keteguhan dalam berpegang pada dalil nash secara literal dan menolak qiyas jika tidak ada kebutuhan mendesak.8

Metode istinbath hukum:

1)                  Al-Qur’an

2)                  Sunnah

3)                  Fatwa sahabat

4)                  Qiyas (hanya dalam kondisi tertentu)

5)                  Istishab

Keunggulan Mazhab Hanbali:

·                     Memiliki landasan kuat dalam hadis dan lebih mengutamakan teks dibandingkan rasionalisasi hukum.

·                     Konservatif dalam penetapan hukum, tetapi tetap berkembang dalam aspek tertentu seperti Fiqih Mu’amalah.

Mazhab ini berkembang di Arab Saudi dan beberapa wilayah Teluk.9

4.2.       Mazhab di Luar Ahlus Sunnah

Selain keempat mazhab Sunni, terdapat beberapa mazhab lain yang berkembang di luar Ahlus Sunnah wal Jamaah, antara lain:

4.2.1.      Mazhab Ja’fari (Fiqih Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah)

Mazhab Ja’fari adalah mazhab Fiqih yang dianut oleh mayoritas Muslim Syiah, dan didasarkan pada ajaran Imam Ja’far Ash-Shadiq (83-148 H).10 Mazhab ini menolak Qiyas dan lebih mengutamakan ijtihad berdasarkan riwayat dari Ahlul Bait.

Mazhab ini banyak dianut di Iran, Irak, Lebanon, dan sebagian Pakistan.11

4.2.2.      Mazhab Zaidiyah

Mazhab Zaidiyah adalah cabang Fiqih Syiah yang lebih dekat dengan mazhab Sunni, terutama dalam aspek Ushul Fiqih. Mazhab ini berkembang di Yaman.12

4.2.3.      Mazhab Ibadiyah

Mazhab Ibadiyah berkembang di Oman dan Afrika Utara. Secara Fiqih, mazhab ini memiliki beberapa kesamaan dengan Mazhab Maliki, tetapi dalam aspek teologi mereka memiliki perbedaan mendasar.13


Kesimpulan

Mazhab-mazhab dalam Islam berkembang sebagai hasil dari ijtihad para ulama dalam memahami syariat. Perbedaan metodologi dalam menggali hukum Islam menyebabkan lahirnya berbagai mazhab, baik dalam kalangan Ahlus Sunnah maupun di luar Ahlus Sunnah. Meskipun terdapat perbedaan, setiap mazhab memiliki tujuan yang sama, yaitu menerapkan hukum Islam dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, memahami berbagai mazhab dalam Islam akan membantu umat Muslim dalam menghargai perbedaan dan memperkaya wawasan dalam memahami hukum Islam.


Footnotes

[1]                Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1970), 102.

[2]                Ibn Abidin, Radd al-Muhtar 'ala al-Durr al-Mukhtar, Jilid 1 (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1994), 435.

[3]                Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 1 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), 50.

[4]                Malik bin Anas, Al-Muwatha’ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), 12.

[5]                Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 152.

[6]                Al-Syafi’i, Al-Risalah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 75.

[7]                Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1987), 90.

[8]                Ibn Qudamah, Al-Mughni (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 215.

[9]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Shariah wa Tathbiqatuha (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004), 36.

[10]             Al-Tusi, Al-Istibsar (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1993), 125.

[11]             Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 219.

[12]             Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 278.

[13]             Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), 170.


5.           Aplikasi Fiqih dalam Kehidupan Umat

Fiqih tidak hanya menjadi ilmu teoretis yang membahas hukum-hukum Islam, tetapi juga merupakan sistem hukum yang mengatur kehidupan umat Islam dalam berbagai aspek. Dari ibadah hingga interaksi sosial, ekonomi, dan hukum keluarga, Fiqih menjadi pedoman dalam menjalankan ajaran Islam secara praktis. Dalam perkembangannya, Fiqih juga menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman, sehingga tetap relevan dalam kehidupan modern.

5.1.       Fiqih Ibadah

Fiqih ibadah merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur tata cara beribadah kepada Allah. Hukum dalam kategori ini bersifat tauqifi, yaitu berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah tanpa boleh ditambah atau dikurangi berdasarkan akal.1

5.1.1.      Fiqih Thaharah (Bersuci)

Bersuci merupakan syarat sah dalam banyak ibadah, seperti shalat dan membaca Al-Qur’an. Hukum thaharah mencakup:2

·                     Wudhu

·                     Tayammum sebagai pengganti wudhu dalam keadaan darurat

·                     Mandi wajib dan tata cara bersuci dari hadas besar

·                     Najis dan cara menyucikannya

5.1.2.      Fiqih Shalat

Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki rukun dan syarat yang telah ditetapkan. Fiqih shalat membahas:3

·                     Syarat sah dan batalnya shalat

·                     Tata cara shalat wajib dan sunnah

·                     Shalat dalam keadaan darurat, seperti di kendaraan atau bagi orang sakit

5.1.3.      Fiqih Zakat, Puasa, dan Haji

Ketiga ibadah ini memiliki hukum yang diatur dengan rinci dalam Fiqih, termasuk:4

·                     Jenis-jenis zakat dan cara penyalurannya

·                     Puasa wajib dan sunnah serta pembatalnya

·                     Tata cara haji dan umrah serta hukum-hukum yang berkaitan dengannya

5.2.       Fiqih Muamalah (Interaksi Sosial & Ekonomi)

Fiqih muamalah mengatur interaksi manusia dalam bidang sosial dan ekonomi dengan prinsip-prinsip keadilan dan kemaslahatan. Prinsip utama dalam muamalah adalah al-ashlu fi al-mu’amalat al-ibahah, yang berarti hukum asal dalam transaksi adalah boleh kecuali ada dalil yang melarangnya.5

5.2.1.      Hukum Jual Beli dalam Islam

Islam mengatur prinsip jual beli agar tidak merugikan salah satu pihak. Beberapa prinsip utama dalam jual beli adalah:6

·                     Larangan riba dalam transaksi keuangan (QS. Al-Baqarah: 275)

·                     Larangan gharar (ketidakjelasan) dan maysir (perjudian) dalam akad

·                     Konsep akad dalam transaksi ekonomi Islam

5.2.2.      Sistem Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah

Fiqih ekonomi berkembang seiring dengan munculnya perbankan syariah yang menerapkan prinsip:7

·                     Mudharabah (kerja sama bagi hasil)

·                     Musyarakah (kemitraan usaha)

·                     Murabahah (jual beli dengan margin keuntungan yang disepakati)

Prinsip-prinsip ini memastikan bahwa ekonomi Islam tetap berjalan dengan etika yang tinggi dan sesuai dengan syariat.

5.3.       Fiqih Jinayah (Hukum Pidana Islam)

Hukum pidana Islam bertujuan untuk menjaga lima prinsip utama (maqashid syariah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Hukum ini terbagi menjadi tiga jenis hukuman:8

1)                  Hudud: Hukuman yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, seperti hukuman untuk zina, pencurian, dan minum khamr.

2)                  Qisas: Hukuman setimpal untuk kejahatan seperti pembunuhan atau luka berat, di mana korban atau keluarganya dapat menuntut qisas atau menerima diyat (tebusan).

3)                  Ta’zir: Hukuman yang tidak memiliki ketentuan khusus dalam syariat dan diserahkan kepada kebijakan hakim atau pemerintah, seperti hukuman bagi pelaku korupsi atau kejahatan dunia maya.9

5.4.       Fiqih Siyasah (Hukum Tata Negara Islam)

Fiqih siyasah mengatur hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan prinsip keadilan, musyawarah, dan kepatuhan terhadap hukum Islam. Beberapa konsep utama dalam Fiqih Siyasah adalah:10

·                     Prinsip Syura (musyawarah) dalam pemerintahan Islam

·                     Kewajiban pemimpin untuk menegakkan hukum dan keadilan

·                     Hak dan kewajiban rakyat dalam Islam

Dalam konteks modern, konsep ini diaplikasikan dalam berbagai sistem pemerintahan yang mengakomodasi nilai-nilai Islam, seperti demokrasi Islam dan sistem hukum berbasis syariah di beberapa negara Muslim.

5.5.       Fiqih Keluarga (Ahkam al-Usrah)

Hukum keluarga dalam Islam mengatur tentang pernikahan, perceraian, dan hak-hak dalam rumah tangga. Beberapa ketentuan utama dalam Fiqih keluarga adalah:11

5.5.1.      Hukum Pernikahan dan Perceraian

·                     Syarat dan rukun pernikahan

·                     Hak dan kewajiban suami istri

·                     Perceraian dan iddah

5.5.2.      Hukum Warisan

Hukum waris Islam diatur dalam QS. An-Nisa [04] ayat 11-12 dan memiliki prinsip keadilan dalam pembagian harta.12

5.6.       Fiqih Kontemporer dan Isu-isu Modern

Dalam era modern, Fiqih mengalami perkembangan untuk menjawab berbagai persoalan kontemporer, seperti:13

·                     Fiqih Teknologi: Hukum penggunaan AI dan media sosial dalam Islam

·                     Fiqih Lingkungan: Prinsip Islam dalam menjaga lingkungan berdasarkan konsep khalifah fil ardh

·                     Fiqih Minoritas Muslim (Fiqih Aqalliyyat): Hukum bagi Muslim yang hidup di negara non-Muslim

Kajian ini menunjukkan bahwa Fiqih terus berkembang dan beradaptasi dengan dinamika zaman tanpa meninggalkan prinsip dasar Islam.


Kesimpulan

Aplikasi Fiqih dalam kehidupan umat sangat luas, mencakup ibadah, muamalah, hukum pidana, siyasah, dan hukum keluarga. Dengan berbagai prinsip yang dikembangkan oleh ulama, Fiqih mampu memberikan solusi bagi berbagai aspek kehidupan, baik dalam lingkup individu maupun sosial. Seiring dengan perkembangan zaman, Fiqih terus dikaji dan dikembangkan agar tetap relevan dalam menjawab tantangan dunia modern.


Footnotes

[1]                Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 1 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), 45.

[2]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 78.

[3]                Ibn Qudamah, Al-Mughni (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 312.

[4]                Al-Nawawi, Al-Majmu' (Kairo: Dar al-Minhaj, 2005), 56.

[5]                Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), 220.

[6]                Ibn Taymiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1992), 129.

[7]                Monzer Kahf, Islamic Economics: Notes on Definition and Methodology (Jeddah: Islamic Research and Training Institute, 1995), 56.

[8]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Jinayah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2000), 85.

[9]                Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 231.

[10]             Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah (Kairo: Dar al-Fikr, 1989), 178.

[11]             Ibn Abidin, Radd al-Muhtar 'ala al-Durr al-Mukhtar, Jilid 2 (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1994), 425.

[12]             Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Jilid 5 (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 2006), 88.

[13]             Mohammad Hashim Kamali, Shariah and Modern Issues (Kuala Lumpur: Ilmiah Publishers, 2007), 102.


6.           Tantangan dan Perkembangan Fiqih di Era Modern

Seiring dengan perkembangan zaman, umat Islam dihadapkan pada berbagai tantangan baru yang menuntut ijtihad dan pembaruan dalam hukum Islam. Fiqih sebagai sistem hukum yang dinamis perlu terus dikaji dan disesuaikan dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan teknologi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip syariat. Pada bagian ini, akan dibahas tantangan dan perkembangan Fiqih di era modern dalam berbagai aspek, termasuk Fiqih kontemporer, Fiqih minoritas Muslim, dan dinamika Fiqih dalam sistem hukum global.

6.1.       Fiqih Kontemporer dan Isu-Isu Modern

Perubahan sosial dan teknologi yang pesat menghadirkan berbagai permasalahan baru yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab Fiqih klasik. Oleh karena itu, para ulama dan akademisi Muslim melakukan ijtihad dalam menghadapi isu-isu kontemporer dengan menggunakan pendekatan maqashid syariah (tujuan-tujuan hukum Islam) dan metode istinbath hukum yang relevan.1

6.1.1.      Fatwa-Fatwa Kontemporer dalam Menghadapi Perkembangan Zaman

Beberapa permasalahan modern yang membutuhkan kajian Fiqih mendalam antara lain:2

·                     Teknologi Finansial Syariah: Hukum terkait cryptocurrency, perbankan digital, dan investasi berbasis syariah.

·                     Bioteknologi dan Kesehatan: Hukum mengenai transplantasi organ, bayi tabung, dan rekayasa genetika dalam Islam.

·                     Hukum Perdagangan Global: Isu halal-haram dalam industri makanan, kosmetik, dan farmasi global.

·                     Hukum Ekologi dan Lingkungan: Prinsip Islam dalam pelestarian lingkungan berdasarkan konsep khalifah fil ardh (manusia sebagai pemimpin di bumi).

Dalam merespons tantangan ini, berbagai lembaga fatwa seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Rabithah Alam Islami, dan Dewan Fatwa Eropa memainkan peran penting dalam memberikan pedoman hukum Islam yang kontekstual.3

6.2.       Fiqih Minoritas Muslim (Fiqih Aqalliyyat)

Dalam era globalisasi, semakin banyak umat Islam yang tinggal di negara-negara non-Muslim, yang menghadirkan tantangan tersendiri dalam menjalankan syariat Islam. Oleh karena itu, berkembang konsep Fiqih Aqalliyyat (Fiqih minoritas Muslim) yang berupaya memberikan solusi hukum yang sesuai dengan kondisi masyarakat Muslim di lingkungan sekuler.4

6.2.1.      Tantangan Muslim di Negara Non-Muslim

Beberapa tantangan utama yang dihadapi oleh Muslim minoritas antara lain:5

·                     Kewajiban menjalankan syariat dalam sistem hukum sekuler (misalnya, hukum pernikahan dan waris Islam di negara Barat).

·                     Keharusan berinteraksi dengan sistem ekonomi berbasis riba (seperti sistem perbankan konvensional).

·                     Kehidupan sosial yang berbeda dengan prinsip Islam (seperti isu makanan halal, pakaian Islami, dan partisipasi politik).

6.2.2.      Fatwa dan Solusi bagi Muslim Minoritas

Beberapa solusi yang ditawarkan oleh ulama kontemporer dalam Fiqih minoritas meliputi:6

·                     Kaedah Dharurat: Membolehkan Muslim minoritas untuk melakukan hal tertentu yang dilarang dalam kondisi normal, seperti bekerja di bank konvensional jika tidak ada pilihan lain.

·                     Tayseer (Kemudahan dalam Beragama): Pendekatan yang memberikan fleksibilitas dalam praktik Islam berdasarkan maqashid syariah.

·                     Fatwa Khusus untuk Minoritas: Lembaga seperti European Council for Fatwa and Research (ECFR) mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan kondisi Muslim di Eropa dan Amerika.

Fiqih minoritas ini bertujuan agar Muslim tetap bisa menjalankan ajaran Islam secara optimal dalam kondisi yang berbeda dengan masyarakat Muslim mayoritas.

6.3.       Dinamika Fiqih dalam Sistem Hukum Global

Salah satu tantangan terbesar dalam perkembangan Fiqih di era modern adalah bagaimana Fiqih beradaptasi dengan sistem hukum global yang cenderung berbasis sekularisme dan HAM internasional.7

6.3.1.      Interaksi Fiqih dengan Hukum Internasional

Beberapa tantangan utama dalam hubungan antara Fiqih dan hukum global meliputi:8

·                     Penerapan hukum Islam dalam sistem hukum negara modern

·                     Isu kebebasan beragama dan hukum syariat

·                     Hak asasi manusia (HAM) dalam perspektif Fiqih

Banyak negara Muslim saat ini mengadopsi sistem hukum ganda yang mengakomodasi hukum Islam dalam bidang tertentu, seperti hukum keluarga dan perbankan syariah, tetapi masih tunduk pada sistem hukum internasional dalam aspek lainnya.9

6.4.       Relevansi Fiqih di Masa Depan

Fiqih terus mengalami perkembangan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan umat Islam. Beberapa arah perkembangan Fiqih di masa depan meliputi:10

6.4.1.      Digitalisasi Ilmu Fiqih

Dengan berkembangnya teknologi, kajian Fiqih kini semakin mudah diakses melalui media digital. Digitalisasi ini memungkinkan:11

·                     Penyebaran fatwa melalui platform digital

·                     Kajian Fiqih berbasis Artificial Intelligence (AI)

·                     Akses lebih luas terhadap kitab-kitab klasik dan kontemporer

6.4.2.      Kodifikasi Hukum Islam

Beberapa negara Muslim mulai mengkodifikasi hukum Islam dalam bentuk undang-undang untuk memperjelas implementasi syariah dalam sistem hukum modern.12

6.4.3.      Fiqih dan Isu-isu Global

Fiqih masa depan juga akan lebih banyak membahas isu-isu global seperti perubahan iklim, keadilan sosial, dan hak perempuan dalam Islam dengan pendekatan yang lebih adaptif tanpa mengabaikan prinsip syariah.13


Kesimpulan

Fiqih Islam menghadapi berbagai tantangan di era modern, mulai dari perubahan sosial, perkembangan teknologi, hingga interaksi dengan sistem hukum global. Namun, melalui pendekatan ijtihad, maqashid syariah, dan adaptasi terhadap konteks zaman, Fiqih terus berkembang untuk menjawab permasalahan umat Islam. Dengan adanya digitalisasi ilmu Fiqih dan penguatan lembaga fatwa, masa depan Fiqih akan tetap relevan dalam menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan esensinya sebagai pedoman hukum Islam.


Footnotes

[1]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Mu’ashir (Kairo: Dar al-Shuruq, 2000), 45.

[2]                Mohammad Hashim Kamali, Shariah and Modern Issues (Kuala Lumpur: Ilmiah Publishers, 2007), 88.

[3]                Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 1 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), 200.

[4]                Taha Jabir al-Alwani, Fiqh al-Aqalliyyat (Virginia: IIIT, 2003), 112.

[5]                Khaled Abou El Fadl, Islam and the Challenge of Democracy (Princeton: Princeton University Press, 2004), 92.

[6]                European Council for Fatwa and Research, Islamic Jurisprudence for Muslim Minorities (Dublin: ECFR, 2010), 65.

[7]                Mohammad Hashim Kamali, The Dignity of Man: An Islamic Perspective (Kuala Lumpur: Ilmiah Publishers, 2011), 132.

[8]                Ibn Taymiyyah, As-Siyasah as-Syar’iyyah (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1992), 78.

[9]                Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah (Kairo: Dar al-Fikr, 1989), 210.

[10]             Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), 162.

[11]             Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 225.

[12]             Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Dawlah (Kairo: Maktabah Wahbah, 2006), 56.

[13]             Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 276.


7.           Kesimpulan

Fiqih Islam merupakan bagian integral dari syariat yang berfungsi sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan umat Muslim. Sebagai ilmu yang mengatur aspek hukum Islam secara praktis, Fiqih berkembang melalui metodologi yang kuat dan beragam mazhab yang memberikan interpretasi hukum berdasarkan dalil-dalil syariat. Pemahaman yang mendalam terhadap dasar-dasar Fiqih, metodologi ijtihad, serta perbedaan mazhab memungkinkan umat Islam untuk mengaplikasikan hukum Islam dengan bijaksana dalam berbagai konteks kehidupan.

Fiqih tidak hanya terbatas pada ibadah, tetapi juga mencakup berbagai aspek seperti muamalah, jinayah, siyasah, dan hukum keluarga. Aplikasinya dalam kehidupan umat terlihat dari bagaimana Fiqih mengatur transaksi ekonomi berbasis syariah, hukum pidana Islam, serta sistem hukum keluarga yang berlandaskan nilai-nilai Islam.1 Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghadirkan tantangan baru yang harus dijawab oleh Fiqih melalui ijtihad kontemporer.

Dalam era modern, tantangan terbesar Fiqih adalah bagaimana ia tetap relevan dalam menghadapi perubahan sosial, ekonomi, dan politik tanpa kehilangan esensi syariahnya. Perkembangan konsep Fiqih Aqalliyyat (Fiqih minoritas) bagi umat Islam yang tinggal di negara non-Muslim menunjukkan fleksibilitas Fiqih dalam menjawab kebutuhan umat dalam kondisi yang berbeda.2 Selain itu, penerapan maqashid syariah dalam berbagai bidang telah membantu ulama dalam menetapkan fatwa yang tidak hanya berlandaskan pada teks, tetapi juga mempertimbangkan maslahat dan kondisi aktual umat Islam.3

Dalam konteks global, interaksi Fiqih dengan sistem hukum modern menghadirkan tantangan baru, terutama dalam menyikapi konsep hak asasi manusia (HAM), perbankan syariah, serta integrasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional di berbagai negara Muslim.4 Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan sistematis dalam mengkodifikasi hukum Islam agar dapat diterapkan secara lebih efektif dalam berbagai negara dengan tetap mempertahankan keautentikan syariah.5

Ke depan, pengembangan Fiqih akan sangat bergantung pada kemampuan ulama dan cendekiawan Muslim dalam memanfaatkan teknologi dan metodologi keilmuan modern. Digitalisasi ilmu Fiqih, seperti penyebaran fatwa melalui platform digital, pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dalam analisis hukum, serta akses lebih luas terhadap literatur klasik dan kontemporer, akan memainkan peran penting dalam memastikan bahwa Fiqih tetap menjadi sumber hukum yang relevan dan dapat diakses oleh umat Islam di seluruh dunia.6

Sebagai kesimpulan, Fiqih adalah ilmu yang dinamis dan memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan antara ketetapan hukum syariat dan kebutuhan umat Islam dalam berbagai situasi. Dengan terus melakukan ijtihad dan memahami maqashid syariah, Fiqih akan tetap menjadi sistem hukum yang tidak hanya berorientasi pada masa lalu, tetapi juga siap menghadapi tantangan masa depan. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk terus mendalami ilmu Fiqih agar dapat menjalankan ajaran Islam dengan baik, sesuai dengan tuntunan syariat dan perkembangan zaman.7


Footnotes

[1]                Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 1 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), 78.

[2]                Taha Jabir al-Alwani, Fiqh al-Aqalliyyat (Virginia: IIIT, 2003), 112.

[3]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Mu’ashir (Kairo: Dar al-Shuruq, 2000), 45.

[4]                Mohammad Hashim Kamali, Shariah and Modern Issues (Kuala Lumpur: Ilmiah Publishers, 2007), 132.

[5]                Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah (Kairo: Dar al-Fikr, 1989), 210.

[6]                Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 225.

[7]                Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 276.


Daftar Pustaka

Abou El Fadl, K. (2004). Islam and the challenge of democracy. Princeton University Press.

Al-Alwani, T. J. (2003). Fiqh al-Aqalliyyat: Rights of Muslim Minorities. International Institute of Islamic Thought (IIIT).

Al-Ghazali, M. (1993). Ihya’ Ulum al-Din (4 vols.). Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Mawardi, A. H. (1989). Al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah. Dar al-Fikr.

Al-Nawawi, Y. (2005). Al-Majmu' (20 vols.). Dar al-Minhaj.

Al-Qaradawi, Y. (2000). Fiqh al-Mu’ashir. Dar al-Shuruq.

Al-Qaradawi, Y. (2004). Fiqh al-Shariah wa Tathbiqatuha. Maktabah Wahbah.

Al-Qaradawi, Y. (2006). Fiqh al-Dawlah: Ma’alim wa Mabadi’. Maktabah Wahbah.

Al-Syafi’i, M. I. (2001). Al-Risalah. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Suyuti, J. (1999). Al-Asybah wa al-Nazhair. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Zuhaili, W. (1985). Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (8 vols.). Dar al-Fikr.

Al-Zuhaili, W. (2006). Al-Qawa'id al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Mazahib al-Arba'ah. Dar al-Fikr.

European Council for Fatwa and Research (ECFR). (2010). Islamic Jurisprudence for Muslim Minorities. ECFR Press.

Hashim Kamali, M. (2003). Principles of Islamic Jurisprudence (3rd ed.). Islamic Texts Society.

Hashim Kamali, M. (2007). Shariah and Modern Issues. Ilmiah Publishers.

Hashim Kamali, M. (2011). The Dignity of Man: An Islamic Perspective. Ilmiah Publishers.

Ibn Abidin, M. A. (1994). Radd al-Muhtar 'ala al-Durr al-Mukhtar (6 vols.). Dar Ihya al-Turath al-Arabi.

Ibn Hajar al-Asqalani, A. (1987). Fath al-Bari fi Sharh Sahih al-Bukhari (13 vols.). Dar al-Ma'arif.

Ibn Hazm, A. A. (1983). Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (4 vols.). Dar al-Afaq al-Jadidah.

Ibn Khaldun, A. R. (1993). Muqaddimah Ibn Khaldun. Dar al-Fikr.

Ibn Qudamah, A. A. (1997). Al-Mughni (10 vols.). Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Ibn Taymiyyah, A. (1992). Al-Hisbah fi al-Islam. Maktabah al-Rushd.

Ibn Taymiyyah, A. (1992). As-Siyasah as-Syar’iyyah fi Islah ar-Ra’i wa ar-Ra’iyyah. Maktabah al-Rushd.

Ibn Qudamah, A. A. (1992). Rawdat al-Nazir wa Jannat al-Mazhir. Muassasah al-Risalah.

Kahf, M. (1995). Islamic Economics: Notes on Definition and Methodology. Islamic Research and Training Institute.

Khallaf, A. W. (1978). Ilm Ushul al-Fiqh. Dar al-Qalam.

Malik bin Anas, I. (2005). Al-Muwatha’. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Monzer, K. (1995). Islamic Economics: Notes on Definition and Methodology. Islamic Research and Training Institute.

Shahrastani, A. A. (1990). Al-Milal wa al-Nihal. Dar al-Fikr.

Taha Jabir al-Alwani, T. (2003). Fiqh al-Aqalliyyat: Rights of Muslim Minorities. International Institute of Islamic Thought (IIIT).

Yusuf al-Qaradawi, Y. (1996). Al-Ijtihad fi al-Shariah al-Islamiyyah. Dar al-Shuruq.

Yusuf al-Qaradawi, Y. (2000). Fiqh al-Jinayah. Dar al-Shuruq.


Lampiran: Madzhab Fiqih dalam yang Pernah Ada dalam Sejarah Fiqih Islam

Dalam sejarah fiqih Islam, terdapat banyak madzhab fiqih yang pernah berkembang, baik yang masih eksis hingga kini maupun yang telah punah. Berikut adalah beberapa madzhab fiqih yang pernah ada:

1.            Madzhab yang Masih Eksis Hingga Kini

1)            Madzhab Hanafi

Pendiri: Imam Abu Hanifah (699–767 M)

Ciri khas: Rasionalis, banyak menggunakan qiyas (analogi) dan istihsan (preferensi hukum)

Wilayah penyebaran: Turki, India, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, dan sebagian Timur Tengah

2)            Madzhab Maliki

Pendiri: Imam Malik bin Anas (711–795 M)

Ciri khas: Mengutamakan amal penduduk Madinah sebagai sumber hukum

Wilayah penyebaran: Afrika Utara (Maroko, Aljazair, Tunisia), sebagian Afrika Barat, dan beberapa wilayah Arab Saudi

3)            Madzhab Syafi'i

Pendiri: Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i (767–820 M)

Ciri khas: Menyeimbangkan antara nash (dalil tekstual) dan metode ijtihad seperti qiyas

Wilayah penyebaran: Indonesia, Malaysia, Mesir, Yaman, dan sebagian besar wilayah Asia Tenggara

4)            Madzhab Hanbali

Pendiri: Imam Ahmad bin Hanbal (780–855 M)

Ciri khas: Berpegang teguh pada dalil dari Al-Qur’an dan Hadis, serta menolak penggunaan ra’yu (pendapat akal) berlebihan

Wilayah penyebaran: Arab Saudi, Qatar, dan beberapa wilayah di Timur Tengah

2.            Madzhab yang Pernah Ada tetapi Punah atau Tidak Dominan

5)            Madzhab Auzai

Pendiri: Imam Al-Auzai (707–774 M)

Ciri khas: Mengutamakan amal penduduk Syam dalam penetapan hukum

Wilayah penyebaran: Pernah berkembang di Syam (Suriah, Lebanon), tetapi akhirnya tergantikan oleh madzhab Maliki

6)            Madzhab Tsauri

Pendiri: Sufyan Ats-Tsauri (716–778 M)

Ciri khas: Mengombinasikan antara hadits dan ra’yu, tetapi cenderung lebih konservatif

Wilayah penyebaran: Pernah berkembang di Kufah (Irak), tetapi akhirnya punah

7)            Madzhab Zahiri

Pendiri: Imam Dawud Ad-Dzahiri (815–883 M)

Ciri khas: Hanya berpegang pada makna tekstual Al-Qur’an dan Hadis tanpa menggunakan qiyas

Wilayah penyebaran: Pernah berkembang di Andalusia dan beberapa wilayah Islam, tetapi akhirnya hampir punah kecuali dalam beberapa kajian akademik

8)            Madzhab Jariri

Pendiri: Muhammad bin Jarir At-Thabari (839–923 M)

Ciri khas: Menekankan istinbat hukum secara independen berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis

Wilayah penyebaran: Tidak berkembang luas dan akhirnya punah

3.            Madzhab Syiah

Selain madzhab dalam Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dalam fiqih Syiah terdapat madzhab-madzhab seperti:

·                     Ja’fari (Imamiyah Itsna 'Asyariyah) → Diikuti oleh mayoritas Syiah di Iran, Irak, dan Lebanon

·                     Zaidiyah → Berkembang di Yaman

·                     Isma’iliyah → Pernah berkembang di Mesir dan India


Kesimpulan

Dalam sejarah fiqih Islam, banyak madzhab yang berkembang dengan metode istinbat (penggalian hukum) yang berbeda. Dari sekian banyak madzhab, yang bertahan hingga kini dalam Ahlus Sunnah Wal Jama'ah adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Sementara beberapa madzhab lainnya telah punah atau tidak lagi memiliki pengikut yang signifikan.


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar