Fiqih dalam Islam
Prinsip, Metodologi, dan Aplikasinya dalam Kehidupan Umat
Alihkan ke: Ushul Fiqh, Masa'il Al-Fiqhiyah, FiqihNU, Fiqih Muhammadiyah, Fiqih Peersis.
Abstrak
Fiqih Islam merupakan disiplin ilmu yang mengatur
hukum-hukum syariat dalam aspek ibadah, muamalah, jinayah, siyasah, dan hukum
keluarga. Artikel ini membahas prinsip-prinsip dasar Fiqih, metodologi
istinbath hukum, serta perbedaan mazhab yang berkembang dalam Islam. Selain
itu, artikel ini menyoroti aplikasi Fiqih dalam kehidupan umat, termasuk
peranannya dalam sistem ekonomi syariah, hukum pidana Islam, serta regulasi
tata negara berbasis syariah. Dalam menghadapi tantangan era modern, Fiqih
terus berkembang melalui pendekatan ijtihad kontemporer dan maqashid syariah
untuk menjawab berbagai permasalahan seperti teknologi finansial, bioteknologi,
dan hukum internasional. Artikel ini juga menyoroti Fiqih minoritas (Fiqh
Aqalliyyat), yang memberikan solusi bagi Muslim yang hidup di negara
non-Muslim, serta dinamika Fiqih dalam sistem hukum global. Dengan adanya
digitalisasi ilmu Fiqih dan kodifikasi hukum Islam, diharapkan Fiqih tetap
relevan dalam menghadapi perubahan zaman tanpa mengorbankan prinsip syariahnya.
Kata Kunci: Fiqih, Ushul Fiqih, Mazhab Fiqih, Ijtihad, Maqashid
Syariah, Fiqih Kontemporer, Fiqih Minoritas, Digitalisasi Fiqih, Hukum Islam,
Perbankan Syariah, Hak Asasi Manusia.
PEMBAHASAN
Penjelasan Fiqih Berdasarkan Referensi yang Kredibel
1.
Pendahuluan
Fiqih merupakan
salah satu cabang ilmu Islam yang memiliki peran penting dalam mengatur
berbagai aspek kehidupan umat Muslim. Secara etimologis, kata "Fiqih"
(الفقه) berasal dari bahasa
Arab yang berarti "pemahaman yang mendalam." Secara
terminologis, para ulama mendefinisikan Fiqih sebagai ilmu yang membahas
hukum-hukum syariat yang bersifat praktis berdasarkan dalil-dalil yang
terperinci dari Al-Qur’an dan Sunnah.1 Ilmu Fiqih tidak hanya membahas aspek ibadah seperti shalat
dan puasa, tetapi juga mencakup interaksi sosial, transaksi ekonomi, dan hukum
pidana dalam Islam.
1.1. Perbedaan antara Fiqih dan
Syariat
Sering kali, istilah
Fiqih dan Syariat digunakan secara bergantian, meskipun keduanya memiliki
perbedaan mendasar. Syariat (الشريعة)
merujuk pada hukum-hukum Allah yang bersifat tetap dan universal sebagaimana
terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah.2 Sementara itu, Fiqih adalah
hasil dari pemahaman ulama terhadap Syariat melalui proses ijtihad, sehingga menghasilkan hukum-hukum yang
bersifat fleksibel dan dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman.3
Dengan demikian, Fiqih merupakan interpretasi manusia atas hukum Islam, yang
dapat mengalami perbedaan dan perubahan sesuai dengan konteks sosial dan
geografis.
1.2.
Sumber-Sumber Utama dalam Kajian Fiqih
Fiqih bersandar pada
beberapa sumber hukum utama dalam Islam, yang dikenal sebagai adillah
al-ahkam (dalil-dalil hukum). Sumber utama dalam Fiqih adalah Al-Qur’an,
yang merupakan wahyu Allah dan memiliki otoritas tertinggi dalam hukum Islam.4
Sunnah Rasulullah Saw juga menjadi
rujukan utama, karena memberikan penjelasan lebih lanjut tentang hukum yang
terdapat dalam Al-Qur’an.5 Selain itu, para ulama juga menggunakan Ijma’
(konsensus ulama) dan Qiyas (analogi hukum) sebagai
metode dalam menggali hukum Islam. Dalam konteks perkembangan zaman, beberapa metode lain seperti Maslahah
Mursalah (pertimbangan kemaslahatan) dan Urf
(adat kebiasaan yang berlaku) juga digunakan sebagai pendekatan dalam
menetapkan hukum.6
1.3.
Relevansi Fiqih dalam Kehidupan Modern
Fiqih tidak hanya
menjadi bagian dari sejarah Islam, tetapi juga memiliki relevansi yang kuat
dalam kehidupan modern. Hukum Islam terus berkembang untuk menjawab tantangan
zaman, seperti dalam bidang keuangan Islam, teknologi, dan hukum keluarga.
Misalnya, konsep Fiqih Muamalah telah berkontribusi dalam pengembangan
ekonomi syariah dan sistem perbankan Islam.7 Selain itu, dalam
isu-isu kontemporer seperti bioetika, lingkungan, dan hukum teknologi, para
ulama menggunakan metodologi Fiqih untuk memberikan solusi yang sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam.8 Oleh karena itu, memahami Fiqih bukan hanya
sebatas mempelajari teks klasik, tetapi juga memahami bagaimana hukum Islam dapat
diterapkan secara kontekstual dalam dunia modern.
Kesimpulan
Fiqih adalah ilmu
yang berkembang dari pemahaman terhadap Syariat dan memainkan peran sentral
dalam kehidupan umat Muslim. Dengan berbagai sumber hukum yang menjadi
rujukannya, Fiqih mampu menjawab berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam dari masa ke masa. Oleh karena
itu, kajian mendalam tentang Fiqih sangat diperlukan agar umat Islam dapat
memahami dan mengamalkan hukum Islam dengan benar serta menerapkannya dalam
berbagai aspek kehidupan.
Footnotes
[1]
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 1
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), 13.
[2]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Shariah wa Tathbiqatuha (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2004), 21.
[3]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr
al-Arabi, 1958), 43.
[4]
Ibn Qudamah, Rawdat al-Nazir wa Jannat al-Mazhir (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1992), 78.
[5]
Syekh Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi, Dawabit al-Maslahah fi
al-Shari'ah al-Islamiyyah (Damaskus: Dar al-Fikr, 1998), 92.
[6]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam,
1978), 162.
[7]
Monzer Kahf, Islamic Economics: Notes on Definition and Methodology
(Jeddah: Islamic Research and Training Institute, 1995), 35.
[8]
Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence
(Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 215.
2.
Dasar-Dasar Fiqih Islam
Fiqih Islam memiliki
kedudukan yang sangat penting dalam struktur hukum Islam. Ia menjadi instrumen
utama dalam memahami, menafsirkan, dan menerapkan hukum-hukum syariat yang
bersifat praktis. Pemahaman terhadap
dasar-dasar Fiqih Islam sangat diperlukan agar umat Islam dapat mengamalkan
ajaran agama dengan benar dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah
ditetapkan oleh syariat.
2.1.
Pengertian dan Ruang Lingkup Fiqih
Secara etimologis,
istilah Fiqih
(الفقه) berasal dari bahasa
Arab yang berarti "pemahaman yang mendalam."1
Sedangkan dalam terminologi syariat, Fiqih didefinisikan sebagai ilmu yang
membahas hukum-hukum Islam yang bersifat amali (praktis) berdasarkan dalil-dalil syariat yang terperinci.2
Definisi ini dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih seperti Al-Ghazali dan
Al-Amidi, yang menekankan bahwa Fiqih merupakan hasil dari proses istinbath
(penarikan hukum) yang dilakukan oleh para mujtahid.3
Ruang lingkup Fiqih
sangat luas, mencakup berbagai
aspek kehidupan manusia. Secara umum, Fiqih dibagi menjadi beberapa kategori
utama:
·
Fiqih
Ibadah: Mengatur hubungan manusia dengan Allah, termasuk
shalat, puasa, zakat, dan haji.4
·
Fiqih
Muamalah: Mengatur hubungan sosial dan ekonomi, seperti
transaksi jual beli, utang-piutang, sewa-menyewa, dan kontrak bisnis.5
·
Fiqih
Munakahat: Membahas hukum-hukum pernikahan, perceraian, nafkah,
dan hak-hak dalam keluarga.6
·
Fiqih
Jinayah: Mengatur hukum pidana dalam Islam, seperti hudud,
qisas, dan ta'zir.7
·
Fiqih
Siyasah: Berkaitan dengan hukum tata negara dan kepemimpinan
Islam.8
Pembagian ini
menunjukkan bahwa Fiqih memiliki peranan fundamental dalam menata kehidupan
individu dan sosial berdasarkan prinsip-prinsip Islam.
2.2.
Sumber-Sumber Hukum Islam (Adillah al-Ahkam)
Dalam ilmu Fiqih,
penetapan hukum Islam bersandar pada
beberapa sumber utama yang dikenal sebagai adillah al-ahkam (dalil-dalil
hukum). Sumber-sumber ini dikategorikan menjadi sumber primer dan sekunder.
2.2.1. Sumber Primer
1)
Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam
Islam. Ia memuat berbagai ketentuan hukum yang bersifat qath’i (pasti) maupun
hukum yang bersifat global dan membutuhkan penafsiran lebih lanjut.9
Contohnya, dalam masalah ibadah seperti shalat dan zakat, Al-Qur’an menyebutkan
kewajibannya, tetapi tata caranya dijelaskan lebih lanjut dalam Sunnah.10
2)
Sunnah
Sunnah Rasulullah Saw menjadi sumber hukum kedua
setelah Al-Qur’an. Sunnah mencakup segala ucapan, perbuatan, dan persetujuan
Nabi Muhammad Saw yang berfungsi sebagai penjelas, penguat, dan pelengkap hukum
dalam Al-Qur’an.11 Sunnah menjadi dasar dalam berbagai aspek hukum
Islam, seperti tata cara shalat, puasa, dan hukum pidana.
2.2.2. Sumber Sekunder
Selain Al-Qur’an dan
Sunnah, terdapat beberapa
sumber hukum sekunder yang digunakan oleh para ulama untuk menetapkan hukum
dalam Islam, yaitu:
1)
Ijma’ (Konsensus Ulama)
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama pada suatu
masa tertentu terhadap suatu hukum Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw.12
Ijma’ menjadi dasar hukum dalam berbagai persoalan yang tidak ditemukan secara
eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunnah, seperti hukum pengumpulan mushaf
Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
2)
Qiyas (Analogi Hukum)
Qiyas adalah metode penetapan hukum dengan cara
menganalogikan suatu permasalahan baru yang belum ada hukumnya dengan
permasalahan yang telah memiliki hukum dalam Al-Qur’an atau Sunnah berdasarkan
kesamaan illat (alasan hukum).13 Contoh penerapan Qiyas adalah
pengharaman narkotika karena illat-nya sama dengan pengharaman khamr, yaitu
menyebabkan hilangnya akal.
3)
Maslahah Mursalah
(Pertimbangan Kemaslahatan)
Maslahah Mursalah adalah metode penetapan hukum
yang didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan umum yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariat.14 Contohnya adalah pembuatan
undang-undang lalu lintas yang bertujuan menjaga keselamatan masyarakat.
4)
Urf (Adat atau
Kebiasaan yang Berlaku)
Urf adalah kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat
yang tidak bertentangan dengan syariat dan dapat dijadikan dasar hukum dalam
perkara yang tidak diatur secara spesifik dalam Al-Qur’an dan Sunnah.15
Misalnya, mahar dalam pernikahan yang besarannya berbeda-beda tergantung adat
setempat.
Kesimpulan
Dasar-dasar Fiqih
Islam meliputi pemahaman tentang pengertian, ruang lingkup, serta sumber-sumber
hukum yang menjadi pedoman dalam menetapkan aturan kehidupan umat Islam. Sumber
hukum Islam tidak hanya terbatas pada Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi juga meliputi
metode ijtihad seperti Ijma’, Qiyas, dan Maslahah Mursalah yang memungkinkan
hukum Islam tetap relevan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, pemahaman terhadap dasar-dasar Fiqih
sangat penting bagi setiap
Muslim agar dapat menjalankan kehidupannya sesuai dengan prinsip-prinsip
syariat.
Footnotes
[1]
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 1
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), 13.
[2]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Shariah wa Tathbiqatuha (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2004), 21.
[3]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr
al-Arabi, 1958), 43.
[4]
Ibn Qudamah, Rawdat al-Nazir wa Jannat al-Mazhir (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1992), 78.
[5]
Syekh Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi, Dawabit al-Maslahah fi
al-Shari'ah al-Islamiyyah (Damaskus: Dar al-Fikr, 1998), 92.
[6]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam,
1978), 162.
[7]
Monzer Kahf, Islamic Economics: Notes on Definition and Methodology
(Jeddah: Islamic Research and Training Institute, 1995), 35.
[8]
Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence
(Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 215.
[9]
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah (Kairo: Dar
al-Fikr al-Arabi, 1970), 87.
[10]
Al-Shafi'i, Al-Risalah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001),
45.
[11]
Ibn al-Qayyim, I'lam al-Muwaqqi'in 'an Rabb al-'Alamin, Jilid 1
(Kairo: Dar Ibn al-Jawzi, 2002), 83.
[12]
Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Jilid 2 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1980), 256.
[13]
Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Jilid 1 (Kairo: Dar
al-Afaq al-Jadidah, 1983), 119.
[14]
Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi Ilm al-Ushul, Jilid 2 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 250.
[15]
Ibn Abidin, Radd al-Muhtar 'ala al-Durr al-Mukhtar, Jilid 1
(Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1994), 435.
3.
Metodologi dalam Fiqih
Metodologi dalam
Fiqih merupakan aspek fundamental yang memungkinkan hukum Islam berkembang dan
tetap relevan sepanjang zaman. Proses ini melibatkan berbagai metode penalaran
dan kaidah yang digunakan oleh para ulama
dalam memahami, menginterpretasikan, dan menerapkan hukum-hukum Islam. Dengan
metodologi yang kuat, Fiqih mampu menjawab berbagai persoalan kontemporer yang
dihadapi umat Islam.
3.1.
Kaidah-Kaidah Fiqih (Qawaid Fiqhiyyah)
Kaidah Fiqih (Qawaid
Fiqhiyyah) adalah prinsip-prinsip umum yang digunakan dalam
memahami dan merumuskan hukum Islam.
Kaidah-kaidah ini membantu dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum yang
memiliki kemiripan tanpa perlu melakukan ijtihad ulang untuk setiap kasus.1
3.1.1.
Lima
Kaidah Induk dalam Fiqih
Menurut para ulama,
ada lima kaidah besar yang menjadi landasan utama dalam Fiqih:2
1)
Al-Umuru bi Maqashidiha
(Segala sesuatu tergantung pada niatnya).
Kaidah ini diambil dari hadits Nabi Saw:
"Sesungguhnya
amal itu tergantung pada niatnya."3
Penerapannya dapat dilihat dalam ibadah
(seperti niat dalam shalat) dan dalam muamalah (seperti transaksi bisnis yang
sah berdasarkan niat pelakunya).
2)
Al-Masyaqqatu Tajlibu
al-Taisir (Kesulitan mendatangkan kemudahan).
Berdasarkan firman Allah dalam
Al-Qur'an: "Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu."
(QS. Al-Baqarah [02] ayat 185).
Contohnya adalah keringanan dalam shalat
bagi musafir (qashar dan jama') atau dibolehkannya tayammum saat tidak ada air.
3)
Al-Yaqinu La Yazulu bi
al-Syak (Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan).
Kaidah ini menjadi dasar dalam hukum
ibadah dan muamalah, seperti dalam kasus seseorang yang ragu apakah sudah
berwudhu atau belum, maka ia tetap dihukumi dalam keadaan sebelumnya (yakni
belum batal wudhunya).4
4)
Al-Dhararu Yuzal
(Kemudharatan harus dihilangkan).
Berdasarkan hadits Nabi Saw: "Tidak
boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain."5
Penerapannya terlihat dalam hukum
kesehatan, misalnya larangan mengonsumsi makanan atau obat yang berbahaya bagi
tubuh.
5)
Al-Adatu Muhakkamah
(Adat kebiasaan dapat menjadi hukum).
Prinsip ini menegaskan bahwa adat
istiadat yang tidak bertentangan dengan syariat dapat dijadikan dasar hukum.
Misalnya, kebiasaan mahar dalam pernikahan yang berbeda di tiap daerah.6
Kaidah-kaidah ini
membentuk kerangka kerja bagi ulama dalam merumuskan hukum dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi
umat Islam.
3.2.
Ijtihad dan Perannya dalam Pengembangan Hukum
Islam
3.2.1. Pengertian dan Syarat-Syarat
Ijtihad
Ijtihad adalah
proses intelektual yang dilakukan oleh seorang mujtahid dalam mengeluarkan
hukum Islam dari dalil-dalil syariat. Ijtihad menjadi sangat penting karena hukum-hukum dalam Al-Qur’an
dan Sunnah tidak selalu menyebutkan setiap persoalan secara rinci.7
Seorang mujtahid harus memenuhi beberapa syarat, di
antaranya:8
·
Menguasai bahasa Arab
dengan baik.
·
Memahami dan menguasai
Al-Qur’an dan Sunnah serta metode penafsirannya.
·
Menguasai ilmu Ushul Fiqih
sebagai metodologi hukum Islam.
·
Memiliki integritas
keislaman dan ketakwaan yang tinggi.
3.2.2. Peran Ijtihad dalam Dinamika
Hukum Islam
Ijtihad memungkinkan
hukum Islam untuk tetap relevan dalam berbagai konteks zaman. Contohnya adalah
penetapan hukum mengenai transaksi digital, perbankan syariah, serta teknologi medis modern seperti
transplantasi organ.9
Terdapat beberapa
metode ijtihad yang digunakan ulama, antara lain:
1)
Istihsan
(meninggalkan qiyas yang bersifat umum untuk mengambil hukum yang lebih
maslahat).
2)
Maslahah
Mursalah (penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan yang tidak
disebutkan secara eksplisit dalam nash).
3)
Sadd
al-Dzari’ah (mencegah sesuatu yang dapat mengarah pada
kemudaratan).
3.3.
Perbedaan Pendapat dalam Fiqih
3.3.1. Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat
Perbedaan pendapat
di kalangan ulama dalam Fiqih merupakan fenomena yang wajar. Beberapa faktor utama yang menyebabkan perbedaan ini
antara lain:10
·
Perbedaan
dalam memahami nash: Misalnya, ada perbedaan dalam memahami
makna kata tertentu dalam Al-Qur’an.
·
Berbeda
dalam menerima dan menilai hadits: Tidak semua ulama menerima
hadits dengan kualitas yang sama sebagai dasar hukum.
·
Perbedaan
dalam metode ijtihad: Setiap mazhab memiliki pendekatan yang
berbeda dalam menetapkan hukum.
3.3.2. Sikap dalam Menyikapi Perbedaan
Pendapat
Perbedaan dalam
Fiqih seharusnya tidak menjadi sumber perpecahan. Para ulama sepakat bahwa selama suatu pendapat masih
dalam lingkup ijtihad yang sah, maka tidak boleh ada sikap saling menyalahkan.11
Rasulullah Saw sendiri bersabda:
"Jika seorang hakim berijtihad dan
benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Jika ia berijtihad dan keliru, maka ia
mendapatkan satu pahala."12
Sikap moderat dalam
menyikapi perbedaan pendapat ini sangat penting agar umat Islam tetap bersatu dalam keragaman pendapat yang
ada.
Kesimpulan
Metodologi dalam
Fiqih memainkan peran penting dalam menjaga keabsahan dan relevansi hukum
Islam. Dengan adanya kaidah-kaidah Fiqih, metode ijtihad, serta sikap yang
bijak dalam menghadapi perbedaan pendapat,
hukum Islam dapat terus berkembang dan tetap aplikatif dalam berbagai konteks
kehidupan. Oleh karena itu, memahami metodologi dalam Fiqih adalah suatu
keharusan bagi setiap Muslim agar mampu menjalankan agamanya dengan baik dan
benar.
Footnotes
[1]
Wahbah al-Zuhaili, Al-Qawa'id al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi
al-Mazahib al-Arba'ah (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), 34.
[2]
Al-Suyuti, Al-Asybah wa al-Nazhair (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1999), 12.
[3]
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Hadits No. 1.
[4]
Ibn Rajab, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2001), 69.
[5]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Hadits No. 2340.
[6]
Ibn Abidin, Radd al-Muhtar 'ala al-Durr al-Mukhtar, Jilid 1
(Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1994), 435.
[7]
Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Jilid 2 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1980), 180.
[8]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Ijtihad fi al-Shariah al-Islamiyyah
(Kairo: Dar al-Shuruq, 1996), 27.
[9]
Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence
(Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 215.
[10]
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dar al-Fikr,
1993), 221.
[11]
Ibn Taymiyyah, Raf' al-Malam 'an al-A'immat al-A'lam (Riyadh:
Maktabah al-Rushd, 1992), 75.
[12]
Muslim, Shahih Muslim, Hadits No. 1716.
4.
Mazhab-Mazhab Fiqih dalam Islam
Fiqih Islam tidak
bersifat monolitik, melainkan berkembang melalui pemikiran para ulama dalam
berbagai mazhab yang memiliki metode dan pendekatan hukum yang berbeda.
Perbedaan dalam memahami nash syariat, menerima dan menilai hadis, serta
penggunaan metode ijtihad menyebabkan
lahirnya berbagai mazhab dalam Islam. Secara umum, mazhab dalam Fiqih terbagi
menjadi Mazhab Sunni yang dianut oleh
mayoritas umat Islam dan Mazhab di luar Ahlus Sunnah
yang berkembang dalam kelompok tertentu.
4.1.
Mazhab Sunni
Mazhab Sunni terdiri
dari empat mazhab utama yang diakui dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Keempat
mazhab ini memiliki metodologi tersendiri dalam menggali hukum Islam, tetapi tetap berpegang pada prinsip yang
sama, yaitu bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.1
4.1.1. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi adalah
mazhab tertua dalam Islam yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah (80-150 H).2
Ciri khas mazhab ini adalah penggunaan ra’yu (penalaran logis) dan istihsan
(preferensi hukum berdasarkan maslahat). Mazhab ini banyak dianut di wilayah
Turki, India, Pakistan, dan sebagian
Timur Tengah.3
Metode istinbath hukum:
1)
Al-Qur’an
2)
Sunnah yang sahih
3)
Ijma’
4)
Qiyas
5)
Istihsan
6)
‘Urf (adat yang berlaku)
Keunggulan Mazhab
Hanafi:
·
Fleksibilitas dalam
menentukan hukum melalui metode qiyas dan istihsan.
·
Memberikan ruang bagi adat
dan kebiasaan masyarakat dalam menetapkan hukum.
4.1.2. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki
didirikan oleh Imam Malik bin Anas (93-179 H) di Madinah. Mazhab ini terkenal dengan penggunaan Amal
Ahlul Madinah (praktik penduduk Madinah) sebagai sumber hukum.4
Metode istinbath hukum:
1)
Al-Qur’an
2)
Sunnah
3)
Ijma’
4)
Qiyas
5)
Istishab (kelanjutan hukum
yang sudah ada)
6)
Maslahah Mursalah
(pertimbangan maslahat umum)
7)
Amal Ahlul Madinah
Keunggulan Mazhab
Maliki:
·
Menggunakan praktik
penduduk Madinah yang dianggap sebagai perwujudan Sunnah yang hidup.
·
Fleksibel dalam menerima
maslahat yang tidak disebutkan dalam nash secara eksplisit.
Mazhab ini banyak dianut di Afrika Utara, Sudan, dan sebagian
wilayah Hijaz.5
4.1.3. Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i
didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H). Ia dikenal
sebagai perumus ilmu Ushul
Fiqih melalui karyanya Al-Risalah, yang menjadi dasar
metodologi hukum Islam.6
Metode istinbath hukum:
1)
Al-Qur’an
2)
Sunnah
3)
Ijma’
4)
Qiyas
Keunggulan Mazhab
Syafi’i:
·
Ketat dalam penggunaan
Sunnah dan tidak mudah menerima istihsan.
·
Sistematis dalam metode
istinbath hukum dan menjadi rujukan dalam Ushul Fiqih.
Mazhab ini dianut di
Indonesia, Malaysia, Yaman, dan sebagian Mesir.7
4.1.4. Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali
didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H), yang terkenal dengan
keteguhan dalam berpegang pada dalil
nash secara literal dan menolak qiyas jika tidak ada kebutuhan
mendesak.8
Metode istinbath hukum:
1)
Al-Qur’an
2)
Sunnah
3)
Fatwa sahabat
4)
Qiyas (hanya dalam kondisi
tertentu)
5)
Istishab
Keunggulan Mazhab
Hanbali:
·
Memiliki landasan kuat
dalam hadis dan lebih mengutamakan teks dibandingkan rasionalisasi hukum.
·
Konservatif dalam penetapan
hukum, tetapi tetap berkembang dalam aspek tertentu seperti Fiqih
Mu’amalah.
Mazhab ini
berkembang di Arab Saudi
dan beberapa wilayah Teluk.9
4.2.
Mazhab di Luar Ahlus Sunnah
Selain keempat
mazhab Sunni, terdapat beberapa mazhab lain yang berkembang di luar Ahlus
Sunnah wal Jamaah, antara lain:
4.2.1. Mazhab Ja’fari (Fiqih Syiah
Imamiyah Itsna ‘Asyariyah)
Mazhab Ja’fari
adalah mazhab Fiqih yang dianut oleh mayoritas Muslim Syiah, dan didasarkan pada ajaran Imam Ja’far
Ash-Shadiq (83-148 H).10 Mazhab ini menolak Qiyas dan lebih
mengutamakan ijtihad berdasarkan riwayat dari Ahlul Bait.
Mazhab ini banyak
dianut di Iran, Irak, Lebanon, dan sebagian Pakistan.11
4.2.2. Mazhab Zaidiyah
Mazhab Zaidiyah
adalah cabang Fiqih Syiah yang lebih dekat dengan mazhab Sunni, terutama dalam
aspek Ushul Fiqih. Mazhab ini berkembang di Yaman.12
4.2.3. Mazhab Ibadiyah
Mazhab Ibadiyah
berkembang di Oman dan Afrika Utara. Secara Fiqih, mazhab ini memiliki beberapa
kesamaan dengan Mazhab
Maliki, tetapi dalam aspek teologi mereka memiliki perbedaan mendasar.13
Kesimpulan
Mazhab-mazhab dalam
Islam berkembang sebagai hasil dari ijtihad para ulama dalam memahami syariat.
Perbedaan metodologi dalam menggali hukum Islam menyebabkan lahirnya berbagai
mazhab, baik dalam kalangan Ahlus Sunnah maupun di luar Ahlus Sunnah. Meskipun
terdapat perbedaan, setiap mazhab memiliki tujuan yang sama, yaitu menerapkan
hukum Islam dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, memahami berbagai mazhab
dalam Islam akan membantu umat Muslim dalam menghargai perbedaan dan memperkaya
wawasan dalam memahami hukum Islam.
Footnotes
[1]
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah (Kairo:
Dar al-Fikr al-Arabi, 1970), 102.
[2]
Ibn Abidin, Radd al-Muhtar 'ala al-Durr al-Mukhtar, Jilid 1
(Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1994), 435.
[3]
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 1
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), 50.
[4]
Malik bin Anas, Al-Muwatha’ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2005), 12.
[5]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 152.
[6]
Al-Syafi’i, Al-Risalah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2001), 75.
[7]
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Kairo: Dar al-Ma'arif,
1987), 90.
[8]
Ibn Qudamah, Al-Mughni (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1997), 215.
[9]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Shariah wa Tathbiqatuha (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2004), 36.
[10]
Al-Tusi, Al-Istibsar (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah,
1993), 125.
[11]
Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence
(Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 219.
[12]
Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr,
1990), 278.
[13]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam,
1978), 170.
5.
Aplikasi Fiqih dalam Kehidupan Umat
Fiqih tidak hanya
menjadi ilmu teoretis yang membahas hukum-hukum Islam, tetapi juga merupakan
sistem hukum yang mengatur kehidupan umat Islam dalam berbagai aspek. Dari
ibadah hingga interaksi sosial, ekonomi, dan hukum keluarga, Fiqih menjadi
pedoman dalam menjalankan ajaran Islam secara praktis. Dalam perkembangannya,
Fiqih juga menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman, sehingga tetap relevan
dalam kehidupan modern.
5.1.
Fiqih Ibadah
Fiqih ibadah
merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur tata cara beribadah kepada Allah. Hukum dalam kategori ini bersifat tauqifi,
yaitu berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah tanpa boleh ditambah atau
dikurangi berdasarkan akal.1
5.1.1. Fiqih Thaharah (Bersuci)
Bersuci merupakan
syarat sah dalam banyak ibadah,
seperti shalat dan membaca Al-Qur’an. Hukum thaharah mencakup:2
·
Wudhu
·
Tayammum sebagai pengganti
wudhu dalam keadaan darurat
·
Mandi wajib dan tata cara
bersuci dari hadas besar
·
Najis dan cara
menyucikannya
5.1.2. Fiqih Shalat
Shalat adalah ibadah
utama dalam Islam yang memiliki rukun dan syarat yang telah ditetapkan. Fiqih
shalat membahas:3
·
Syarat sah dan batalnya
shalat
·
Tata cara shalat wajib dan
sunnah
·
Shalat dalam keadaan
darurat, seperti di kendaraan atau bagi orang sakit
5.1.3. Fiqih Zakat, Puasa, dan Haji
Ketiga ibadah ini
memiliki hukum yang diatur dengan rinci dalam Fiqih, termasuk:4
·
Jenis-jenis zakat dan cara
penyalurannya
·
Puasa wajib dan sunnah serta
pembatalnya
·
Tata cara haji dan umrah
serta hukum-hukum yang berkaitan dengannya
5.2.
Fiqih Muamalah (Interaksi Sosial & Ekonomi)
Fiqih muamalah
mengatur interaksi manusia dalam bidang sosial dan ekonomi dengan prinsip-prinsip keadilan dan kemaslahatan. Prinsip
utama dalam muamalah adalah al-ashlu fi al-mu’amalat al-ibahah,
yang berarti hukum asal dalam transaksi adalah boleh kecuali ada dalil yang
melarangnya.5
5.2.1. Hukum Jual Beli dalam Islam
Islam mengatur
prinsip jual beli agar tidak merugikan salah satu pihak. Beberapa prinsip utama dalam jual beli adalah:6
·
Larangan riba dalam
transaksi keuangan (QS. Al-Baqarah: 275)
·
Larangan gharar
(ketidakjelasan) dan maysir (perjudian) dalam akad
·
Konsep akad dalam transaksi
ekonomi Islam
5.2.2. Sistem Ekonomi Islam dan
Perbankan Syariah
Fiqih ekonomi
berkembang seiring dengan munculnya perbankan syariah yang menerapkan prinsip:7
·
Mudharabah
(kerja sama bagi hasil)
·
Musyarakah
(kemitraan usaha)
·
Murabahah
(jual beli dengan margin keuntungan yang disepakati)
Prinsip-prinsip ini
memastikan bahwa ekonomi Islam tetap berjalan dengan etika yang tinggi dan sesuai dengan syariat.
5.3.
Fiqih Jinayah (Hukum Pidana Islam)
Hukum pidana Islam
bertujuan untuk menjaga lima prinsip utama (maqashid syariah): agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Hukum ini terbagi menjadi tiga jenis hukuman:8
1)
Hudud:
Hukuman yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, seperti hukuman untuk
zina, pencurian, dan minum khamr.
2)
Qisas:
Hukuman setimpal untuk kejahatan seperti pembunuhan atau luka berat, di mana
korban atau keluarganya dapat menuntut qisas atau menerima diyat (tebusan).
3)
Ta’zir:
Hukuman yang tidak memiliki ketentuan khusus dalam syariat dan diserahkan
kepada kebijakan hakim atau pemerintah, seperti hukuman bagi pelaku korupsi
atau kejahatan dunia maya.9
5.4.
Fiqih Siyasah (Hukum Tata Negara Islam)
Fiqih siyasah
mengatur hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan prinsip keadilan,
musyawarah, dan kepatuhan terhadap hukum Islam. Beberapa konsep utama dalam
Fiqih Siyasah adalah:10
·
Prinsip
Syura (musyawarah) dalam pemerintahan Islam
·
Kewajiban
pemimpin untuk menegakkan hukum dan keadilan
·
Hak dan
kewajiban rakyat dalam Islam
Dalam konteks
modern, konsep ini diaplikasikan dalam berbagai sistem pemerintahan yang
mengakomodasi nilai-nilai Islam, seperti demokrasi Islam dan sistem hukum berbasis syariah di beberapa negara Muslim.
5.5.
Fiqih Keluarga (Ahkam al-Usrah)
Hukum keluarga dalam
Islam mengatur tentang pernikahan, perceraian, dan hak-hak dalam rumah tangga. Beberapa ketentuan utama dalam Fiqih
keluarga adalah:11
5.5.1. Hukum Pernikahan dan Perceraian
·
Syarat dan rukun pernikahan
·
Hak dan kewajiban suami
istri
·
Perceraian dan iddah
5.5.2. Hukum Warisan
Hukum waris Islam
diatur dalam QS. An-Nisa [04] ayat 11-12 dan memiliki prinsip keadilan dalam pembagian harta.12
5.6.
Fiqih Kontemporer dan Isu-isu Modern
Dalam era modern,
Fiqih mengalami perkembangan untuk menjawab berbagai persoalan kontemporer, seperti:13
·
Fiqih
Teknologi: Hukum penggunaan AI dan media sosial dalam Islam
·
Fiqih
Lingkungan: Prinsip Islam dalam menjaga lingkungan berdasarkan
konsep khalifah
fil ardh
·
Fiqih
Minoritas Muslim (Fiqih Aqalliyyat): Hukum bagi Muslim yang
hidup di negara non-Muslim
Kajian ini
menunjukkan bahwa Fiqih terus berkembang dan beradaptasi dengan dinamika zaman tanpa meninggalkan prinsip dasar Islam.
Kesimpulan
Aplikasi Fiqih dalam
kehidupan umat sangat luas, mencakup ibadah, muamalah, hukum pidana, siyasah,
dan hukum keluarga. Dengan berbagai prinsip yang dikembangkan oleh ulama, Fiqih
mampu memberikan solusi bagi berbagai aspek kehidupan, baik dalam lingkup
individu maupun sosial. Seiring dengan perkembangan zaman, Fiqih terus dikaji
dan dikembangkan agar tetap
relevan dalam menjawab tantangan dunia modern.
Footnotes
[1]
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 1
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), 45.
[2]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1993), 78.
[3]
Ibn Qudamah, Al-Mughni (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1997), 312.
[4]
Al-Nawawi, Al-Majmu' (Kairo: Dar al-Minhaj, 2005), 56.
[5]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam,
1978), 220.
[6]
Ibn Taymiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam (Riyadh: Maktabah
al-Rushd, 1992), 129.
[7]
Monzer Kahf, Islamic Economics: Notes on Definition and Methodology
(Jeddah: Islamic Research and Training Institute, 1995), 56.
[8]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Jinayah (Kairo: Dar al-Shuruq,
2000), 85.
[9]
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dar al-Fikr,
1993), 231.
[10]
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah (Kairo: Dar al-Fikr,
1989), 178.
[11]
Ibn Abidin, Radd al-Muhtar 'ala al-Durr al-Mukhtar, Jilid 2
(Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1994), 425.
[12]
Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Jilid 5 (Beirut: Dar Ihya
al-Turath al-Arabi, 2006), 88.
[13]
Mohammad Hashim Kamali, Shariah and Modern Issues (Kuala
Lumpur: Ilmiah Publishers, 2007), 102.
6.
Tantangan dan Perkembangan Fiqih di Era Modern
Seiring dengan
perkembangan zaman, umat Islam dihadapkan pada berbagai tantangan baru yang
menuntut ijtihad dan pembaruan dalam hukum Islam. Fiqih sebagai sistem hukum
yang dinamis perlu terus dikaji dan disesuaikan dengan perkembangan sosial,
ekonomi, dan teknologi tanpa mengorbankan
prinsip-prinsip syariat. Pada bagian ini, akan dibahas tantangan dan
perkembangan Fiqih di era modern dalam berbagai aspek, termasuk Fiqih
kontemporer, Fiqih minoritas Muslim, dan dinamika Fiqih dalam sistem hukum
global.
6.1.
Fiqih Kontemporer dan Isu-Isu Modern
Perubahan sosial dan
teknologi yang pesat menghadirkan berbagai permasalahan baru yang tidak
ditemukan dalam kitab-kitab Fiqih klasik. Oleh karena itu, para ulama dan
akademisi Muslim melakukan ijtihad dalam menghadapi isu-isu kontemporer dengan
menggunakan pendekatan maqashid syariah (tujuan-tujuan hukum Islam) dan metode
istinbath hukum yang
relevan.1
6.1.1. Fatwa-Fatwa Kontemporer dalam
Menghadapi Perkembangan Zaman
Beberapa
permasalahan modern yang membutuhkan kajian Fiqih mendalam antara lain:2
·
Teknologi
Finansial Syariah: Hukum terkait cryptocurrency, perbankan
digital, dan investasi berbasis syariah.
·
Bioteknologi
dan Kesehatan: Hukum mengenai transplantasi organ, bayi tabung,
dan rekayasa genetika dalam Islam.
·
Hukum
Perdagangan Global: Isu halal-haram dalam industri makanan,
kosmetik, dan farmasi global.
·
Hukum
Ekologi dan Lingkungan: Prinsip Islam dalam pelestarian
lingkungan berdasarkan konsep khalifah fil ardh (manusia sebagai
pemimpin di bumi).
Dalam merespons
tantangan ini, berbagai lembaga fatwa seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI),
Rabithah Alam Islami, dan Dewan Fatwa Eropa memainkan peran penting dalam memberikan pedoman hukum Islam yang
kontekstual.3
6.2.
Fiqih Minoritas Muslim (Fiqih Aqalliyyat)
Dalam era
globalisasi, semakin banyak umat Islam yang tinggal di negara-negara
non-Muslim, yang menghadirkan tantangan tersendiri dalam menjalankan syariat
Islam. Oleh karena itu, berkembang konsep Fiqih Aqalliyyat (Fiqih minoritas Muslim) yang berupaya memberikan
solusi hukum yang sesuai dengan kondisi masyarakat Muslim di lingkungan
sekuler.4
6.2.1. Tantangan Muslim di Negara
Non-Muslim
Beberapa tantangan
utama yang dihadapi oleh Muslim minoritas antara lain:5
·
Kewajiban
menjalankan syariat dalam sistem hukum sekuler (misalnya, hukum
pernikahan dan waris Islam di negara Barat).
·
Keharusan
berinteraksi dengan sistem ekonomi berbasis riba (seperti
sistem perbankan konvensional).
·
Kehidupan
sosial yang berbeda dengan prinsip Islam (seperti isu makanan
halal, pakaian Islami, dan partisipasi politik).
6.2.2. Fatwa dan Solusi bagi Muslim
Minoritas
Beberapa solusi yang
ditawarkan oleh ulama kontemporer dalam Fiqih minoritas meliputi:6
·
Kaedah
Dharurat: Membolehkan Muslim minoritas untuk melakukan hal
tertentu yang dilarang dalam kondisi normal, seperti bekerja di bank
konvensional jika tidak ada pilihan lain.
·
Tayseer
(Kemudahan dalam Beragama): Pendekatan yang memberikan
fleksibilitas dalam praktik Islam berdasarkan maqashid syariah.
·
Fatwa
Khusus untuk Minoritas: Lembaga seperti European Council for
Fatwa and Research (ECFR) mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan kondisi Muslim
di Eropa dan Amerika.
Fiqih minoritas ini
bertujuan agar Muslim tetap bisa menjalankan ajaran Islam secara optimal dalam
kondisi yang berbeda dengan masyarakat Muslim mayoritas.
6.3.
Dinamika Fiqih dalam Sistem Hukum Global
Salah satu tantangan
terbesar dalam perkembangan Fiqih di era modern adalah bagaimana Fiqih
beradaptasi dengan sistem hukum global yang cenderung berbasis sekularisme dan
HAM internasional.7
6.3.1. Interaksi Fiqih dengan Hukum
Internasional
Beberapa tantangan
utama dalam hubungan antara Fiqih dan hukum global meliputi:8
·
Penerapan
hukum Islam dalam sistem hukum negara modern
·
Isu
kebebasan beragama dan hukum syariat
·
Hak
asasi manusia (HAM) dalam perspektif Fiqih
Banyak negara Muslim
saat ini mengadopsi sistem hukum ganda yang mengakomodasi hukum Islam dalam
bidang tertentu, seperti hukum keluarga dan perbankan syariah, tetapi masih
tunduk pada sistem hukum internasional
dalam aspek lainnya.9
6.4.
Relevansi Fiqih di Masa Depan
Fiqih terus
mengalami perkembangan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan umat Islam. Beberapa
arah perkembangan Fiqih di masa depan meliputi:10
6.4.1. Digitalisasi Ilmu Fiqih
Dengan berkembangnya
teknologi, kajian Fiqih
kini semakin mudah diakses melalui media digital. Digitalisasi ini
memungkinkan:11
·
Penyebaran
fatwa melalui platform digital
·
Kajian
Fiqih berbasis Artificial Intelligence (AI)
·
Akses
lebih luas terhadap kitab-kitab klasik dan kontemporer
6.4.2. Kodifikasi Hukum Islam
Beberapa negara
Muslim mulai mengkodifikasi hukum Islam dalam bentuk undang-undang untuk
memperjelas implementasi syariah dalam sistem hukum modern.12
6.4.3. Fiqih dan Isu-isu Global
Fiqih masa depan
juga akan lebih banyak membahas isu-isu global seperti perubahan iklim,
keadilan sosial, dan hak perempuan dalam Islam dengan pendekatan yang lebih adaptif tanpa mengabaikan prinsip syariah.13
Kesimpulan
Fiqih Islam
menghadapi berbagai tantangan di era modern, mulai dari perubahan sosial,
perkembangan teknologi, hingga interaksi dengan sistem hukum global. Namun,
melalui pendekatan ijtihad, maqashid syariah, dan adaptasi terhadap konteks zaman,
Fiqih terus berkembang untuk menjawab permasalahan umat Islam. Dengan adanya
digitalisasi ilmu Fiqih dan penguatan lembaga fatwa, masa depan Fiqih akan
tetap relevan dalam menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan esensinya
sebagai pedoman hukum Islam.
Footnotes
[1]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Mu’ashir (Kairo: Dar al-Shuruq,
2000), 45.
[2]
Mohammad Hashim Kamali, Shariah and Modern Issues (Kuala
Lumpur: Ilmiah Publishers, 2007), 88.
[3]
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 1
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), 200.
[4]
Taha Jabir al-Alwani, Fiqh al-Aqalliyyat (Virginia: IIIT,
2003), 112.
[5]
Khaled Abou El Fadl, Islam and the Challenge of Democracy
(Princeton: Princeton University Press, 2004), 92.
[6]
European Council for Fatwa and Research, Islamic Jurisprudence for
Muslim Minorities (Dublin: ECFR, 2010), 65.
[7]
Mohammad Hashim Kamali, The Dignity of Man: An Islamic Perspective
(Kuala Lumpur: Ilmiah Publishers, 2011), 132.
[8]
Ibn Taymiyyah, As-Siyasah as-Syar’iyyah (Riyadh: Maktabah
al-Rushd, 1992), 78.
[9]
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah (Kairo: Dar al-Fikr, 1989),
210.
[10]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam,
1978), 162.
[11]
Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence
(Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 225.
[12]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Dawlah (Kairo: Maktabah Wahbah,
2006), 56.
[13]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 276.
7.
Kesimpulan
Fiqih Islam
merupakan bagian integral dari syariat yang berfungsi sebagai pedoman dalam
menjalankan kehidupan umat Muslim. Sebagai ilmu yang mengatur aspek hukum Islam
secara praktis, Fiqih berkembang melalui metodologi yang kuat dan beragam mazhab yang memberikan
interpretasi hukum berdasarkan dalil-dalil syariat. Pemahaman yang mendalam
terhadap dasar-dasar Fiqih, metodologi ijtihad, serta perbedaan mazhab
memungkinkan umat Islam untuk mengaplikasikan hukum Islam dengan bijaksana
dalam berbagai konteks kehidupan.
Fiqih tidak hanya
terbatas pada ibadah, tetapi juga mencakup berbagai aspek seperti muamalah,
jinayah, siyasah, dan hukum keluarga. Aplikasinya dalam kehidupan umat terlihat dari bagaimana Fiqih mengatur
transaksi ekonomi berbasis syariah, hukum pidana Islam, serta sistem hukum
keluarga yang berlandaskan nilai-nilai Islam.1 Selain itu,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghadirkan tantangan baru
yang harus dijawab oleh Fiqih melalui ijtihad kontemporer.
Dalam era modern,
tantangan terbesar Fiqih adalah bagaimana ia tetap relevan dalam menghadapi
perubahan sosial, ekonomi, dan politik tanpa kehilangan esensi syariahnya.
Perkembangan konsep Fiqih Aqalliyyat (Fiqih minoritas)
bagi umat Islam yang tinggal di negara non-Muslim menunjukkan fleksibilitas Fiqih dalam menjawab kebutuhan
umat dalam kondisi yang berbeda.2 Selain itu, penerapan maqashid
syariah dalam berbagai bidang telah
membantu ulama dalam menetapkan fatwa yang tidak hanya berlandaskan pada teks,
tetapi juga mempertimbangkan maslahat dan kondisi aktual umat Islam.3
Dalam konteks
global, interaksi Fiqih dengan sistem hukum modern menghadirkan tantangan baru,
terutama dalam menyikapi konsep hak asasi manusia (HAM), perbankan syariah, serta integrasi hukum
Islam dalam sistem hukum nasional di berbagai negara Muslim.4
Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan sistematis dalam mengkodifikasi hukum
Islam agar dapat diterapkan secara lebih efektif dalam berbagai negara dengan
tetap mempertahankan keautentikan syariah.5
Ke depan,
pengembangan Fiqih akan sangat bergantung pada kemampuan ulama dan cendekiawan
Muslim dalam memanfaatkan teknologi dan metodologi keilmuan modern.
Digitalisasi ilmu Fiqih, seperti penyebaran fatwa melalui platform digital,
pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dalam analisis hukum, serta akses lebih luas
terhadap literatur klasik dan kontemporer, akan memainkan peran penting dalam
memastikan bahwa Fiqih tetap menjadi sumber hukum yang relevan dan dapat diakses
oleh umat Islam di seluruh dunia.6
Sebagai kesimpulan,
Fiqih adalah ilmu yang dinamis dan memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan antara ketetapan hukum
syariat dan kebutuhan umat Islam dalam berbagai situasi. Dengan terus melakukan
ijtihad dan memahami maqashid syariah, Fiqih akan tetap menjadi sistem hukum
yang tidak hanya berorientasi pada masa lalu, tetapi juga siap menghadapi
tantangan masa depan. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk terus
mendalami ilmu Fiqih agar dapat menjalankan ajaran Islam dengan baik, sesuai
dengan tuntunan syariat dan perkembangan zaman.7
Footnotes
[1]
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, Jilid 1 (Damaskus: Dar
al-Fikr, 1985), 78.
[2]
Taha Jabir al-Alwani, Fiqh
al-Aqalliyyat (Virginia: IIIT,
2003), 112.
[3]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Mu’ashir (Kairo: Dar al-Shuruq, 2000), 45.
[4]
Mohammad Hashim Kamali, Shariah
and Modern Issues (Kuala Lumpur: Ilmiah
Publishers, 2007), 132.
[5]
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah (Kairo: Dar al-Fikr, 1989), 210.
[6]
Mohammad Hashim Kamali, Principles
of Islamic Jurisprudence (Cambridge:
Islamic Texts Society, 2003), 225.
[7]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 276.
Daftar Pustaka
Abou El Fadl, K. (2004). Islam
and the challenge of democracy. Princeton University Press.
Al-Alwani, T. J. (2003). Fiqh
al-Aqalliyyat: Rights of Muslim Minorities. International Institute of
Islamic Thought (IIIT).
Al-Ghazali, M. (1993). Ihya’
Ulum al-Din (4 vols.). Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Mawardi, A. H. (1989). Al-Ahkam
al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah. Dar al-Fikr.
Al-Nawawi, Y. (2005). Al-Majmu'
(20 vols.). Dar al-Minhaj.
Al-Qaradawi, Y. (2000). Fiqh
al-Mu’ashir. Dar al-Shuruq.
Al-Qaradawi, Y. (2004). Fiqh
al-Shariah wa Tathbiqatuha. Maktabah Wahbah.
Al-Qaradawi, Y. (2006). Fiqh
al-Dawlah: Ma’alim wa Mabadi’. Maktabah Wahbah.
Al-Syafi’i, M. I. (2001). Al-Risalah.
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Suyuti, J. (1999). Al-Asybah
wa al-Nazhair. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Zuhaili, W. (1985). Al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu (8 vols.). Dar al-Fikr.
Al-Zuhaili, W. (2006). Al-Qawa'id
al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Mazahib al-Arba'ah. Dar al-Fikr.
European Council for Fatwa
and Research (ECFR). (2010). Islamic Jurisprudence for Muslim Minorities.
ECFR Press.
Hashim Kamali, M. (2003). Principles
of Islamic Jurisprudence (3rd ed.). Islamic Texts Society.
Hashim Kamali, M. (2007). Shariah
and Modern Issues. Ilmiah Publishers.
Hashim Kamali, M. (2011). The
Dignity of Man: An Islamic Perspective. Ilmiah Publishers.
Ibn Abidin, M. A. (1994). Radd
al-Muhtar 'ala al-Durr al-Mukhtar (6 vols.). Dar Ihya al-Turath al-Arabi.
Ibn Hajar al-Asqalani, A.
(1987). Fath al-Bari fi Sharh Sahih al-Bukhari (13 vols.). Dar
al-Ma'arif.
Ibn Hazm, A. A. (1983). Al-Ihkam
fi Ushul al-Ahkam (4 vols.). Dar al-Afaq al-Jadidah.
Ibn Khaldun, A. R. (1993). Muqaddimah
Ibn Khaldun. Dar al-Fikr.
Ibn Qudamah, A. A. (1997). Al-Mughni
(10 vols.). Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Ibn Taymiyyah, A. (1992). Al-Hisbah
fi al-Islam. Maktabah al-Rushd.
Ibn Taymiyyah, A. (1992). As-Siyasah
as-Syar’iyyah fi Islah ar-Ra’i wa ar-Ra’iyyah. Maktabah al-Rushd.
Ibn Qudamah, A. A. (1992). Rawdat
al-Nazir wa Jannat al-Mazhir. Muassasah al-Risalah.
Kahf, M. (1995). Islamic
Economics: Notes on Definition and Methodology. Islamic Research and
Training Institute.
Khallaf, A. W. (1978). Ilm
Ushul al-Fiqh. Dar al-Qalam.
Malik bin Anas, I. (2005). Al-Muwatha’.
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Monzer, K. (1995). Islamic
Economics: Notes on Definition and Methodology. Islamic Research and
Training Institute.
Shahrastani, A. A. (1990). Al-Milal
wa al-Nihal. Dar al-Fikr.
Taha Jabir al-Alwani, T.
(2003). Fiqh al-Aqalliyyat: Rights of Muslim Minorities. International
Institute of Islamic Thought (IIIT).
Yusuf al-Qaradawi, Y.
(1996). Al-Ijtihad fi al-Shariah al-Islamiyyah. Dar al-Shuruq.
Yusuf al-Qaradawi, Y.
(2000). Fiqh al-Jinayah. Dar al-Shuruq.
Lampiran: Madzhab Fiqih dalam yang Pernah Ada dalam Sejarah Fiqih Islam
Dalam sejarah fiqih Islam,
terdapat banyak madzhab fiqih yang pernah berkembang, baik yang masih eksis
hingga kini maupun yang telah punah. Berikut adalah beberapa madzhab fiqih yang
pernah ada:
1.
Madzhab yang Masih Eksis Hingga Kini
1)
Madzhab Hanafi
Pendiri: Imam Abu Hanifah
(699–767 M)
Ciri khas: Rasionalis, banyak
menggunakan qiyas (analogi) dan istihsan (preferensi hukum)
Wilayah penyebaran: Turki,
India, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, dan sebagian Timur Tengah
2)
Madzhab Maliki
Pendiri: Imam Malik bin Anas
(711–795 M)
Ciri khas: Mengutamakan amal
penduduk Madinah sebagai sumber hukum
Wilayah penyebaran: Afrika
Utara (Maroko, Aljazair, Tunisia), sebagian Afrika Barat, dan beberapa wilayah Arab
Saudi
3)
Madzhab Syafi'i
Pendiri: Imam Muhammad bin
Idris Asy-Syafi'i (767–820 M)
Ciri khas: Menyeimbangkan
antara nash (dalil tekstual) dan metode ijtihad seperti qiyas
Wilayah penyebaran: Indonesia,
Malaysia, Mesir, Yaman, dan sebagian besar wilayah Asia Tenggara
4)
Madzhab Hanbali
Pendiri: Imam Ahmad bin Hanbal
(780–855 M)
Ciri khas: Berpegang teguh pada
dalil dari Al-Qur’an dan Hadis, serta menolak penggunaan ra’yu (pendapat akal)
berlebihan
Wilayah penyebaran: Arab Saudi,
Qatar, dan beberapa wilayah di Timur Tengah
2.
Madzhab yang Pernah Ada tetapi Punah atau Tidak
Dominan
5)
Madzhab Auzai
Pendiri: Imam Al-Auzai (707–774
M)
Ciri khas: Mengutamakan amal penduduk
Syam dalam penetapan hukum
Wilayah penyebaran: Pernah
berkembang di Syam (Suriah, Lebanon), tetapi akhirnya tergantikan oleh madzhab
Maliki
6)
Madzhab Tsauri
Pendiri: Sufyan Ats-Tsauri
(716–778 M)
Ciri khas: Mengombinasikan
antara hadits dan ra’yu, tetapi cenderung lebih konservatif
Wilayah penyebaran: Pernah
berkembang di Kufah (Irak), tetapi akhirnya punah
7)
Madzhab Zahiri
Pendiri: Imam Dawud Ad-Dzahiri
(815–883 M)
Ciri khas: Hanya berpegang pada
makna tekstual Al-Qur’an dan Hadis tanpa menggunakan qiyas
Wilayah penyebaran: Pernah
berkembang di Andalusia dan beberapa wilayah Islam, tetapi akhirnya hampir
punah kecuali dalam beberapa kajian akademik
8)
Madzhab Jariri
Pendiri: Muhammad bin Jarir
At-Thabari (839–923 M)
Ciri khas: Menekankan istinbat
hukum secara independen berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis
Wilayah penyebaran: Tidak
berkembang luas dan akhirnya punah
3.
Madzhab Syiah
Selain madzhab dalam Ahlus
Sunnah wal Jama'ah, dalam fiqih Syiah terdapat madzhab-madzhab seperti:
·
Ja’fari
(Imamiyah Itsna 'Asyariyah) → Diikuti oleh mayoritas Syiah di
Iran, Irak, dan Lebanon
·
Zaidiyah
→ Berkembang di Yaman
·
Isma’iliyah
→ Pernah berkembang di Mesir dan India
Kesimpulan
Dalam sejarah fiqih Islam,
banyak madzhab yang berkembang dengan metode istinbat (penggalian hukum) yang
berbeda. Dari sekian banyak madzhab, yang bertahan hingga kini dalam Ahlus
Sunnah Wal Jama'ah adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Sementara beberapa madzhab lainnya telah punah atau tidak lagi memiliki
pengikut yang signifikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar