Pembagian Hadits
Kajian Komprehensif terhadap Kitab Ulumul Hadits dan
Hadits Induk
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 10
(Sepuluh)
Abstrak
Ilmu hadits merupakan cabang keilmuan Islam yang
bertujuan untuk memastikan keautentikan sabda, perbuatan, dan ketetapan
Rasulullah Saw. Salah satu aspek utama dalam ilmu hadits adalah pembagian
hadits berdasarkan kuantitas (jumlah periwayat) dan kualitas (derajat
keabsahan). Artikel ini mengkaji klasifikasi hadits dari dua perspektif
tersebut dengan pendekatan analisis terhadap kitab-kitab hadits induk dan kitab
ulumul hadits klasik.
Hadits berdasarkan kuantitas terbagi menjadi
mutawatir dan ahad, dengan mutawatir memiliki jumlah perawi yang
banyak sehingga memberikan keyakinan pasti (qath'i). Sementara itu,
hadits ahad terbagi menjadi mashhur, aziz, dan gharib, yang
masing-masing memiliki derajat penerimaan yang berbeda dalam syariat. Sedangkan
dalam aspek kualitas, hadits dikategorikan menjadi shahih, hasan, dan
dhaif berdasarkan sanad, matan, serta kredibilitas perawi.
Hubungan antara kuantitas dan kualitas hadits
menunjukkan bahwa tidak semua hadits yang memiliki banyak perawi otomatis
berkualitas tinggi, dan sebaliknya, hadits dengan jumlah perawi sedikit tetap
bisa berkualitas shahih jika sanadnya kuat. Selain itu, metodologi penilaian
hadits yang diterapkan oleh para ulama klasik dan kontemporer menegaskan
pentingnya kritik sanad dan matan dalam menentukan validitas hadits.
Artikel ini menekankan relevansi ilmu hadits di era
kontemporer, terutama dalam menghadapi tantangan penyebaran hadits palsu.
Dengan memahami kaidah dan metodologi yang digunakan oleh para ulama, umat
Islam dapat lebih selektif dalam menerima hadits sebagai sumber ajaran Islam.
Studi ini menegaskan bahwa penguasaan ilmu hadits sangat penting untuk menjaga
kemurnian ajaran Islam dan menghindari kesalahan dalam memahami sunnah Nabi Saw.
Kata Kunci: Hadits, Mutawatir, Ahad, Shahih, Hasan, Dhaif,
Kritik Sanad, Kritik Matan, Ulumul Hadits, Ilmu Hadits.
PEMBAHASAN
Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas dan Kualitas
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 10
(Sepuluh)
Bab : Bab 11 -
Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas dan Kualitas
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Hadits merupakan salah satu
sumber utama ajaran Islam setelah Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup umat
Muslim dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagai wahyu yang dijelaskan melalui
ucapan, perbuatan, dan persetujuan Rasulullah Saw., validitas sebuah hadits
menjadi hal yang sangat krusial untuk memastikan keautentikannya sebelum
dijadikan landasan hukum. Oleh sebab itu, ilmu tentang klasifikasi hadits
sangat penting dipelajari dalam rangka memahami otoritas dan kedudukan suatu
hadits dalam syariat Islam.
Klasifikasi hadits secara
umum terbagi menjadi dua dimensi penting, yaitu berdasarkan kuantitas (jumlah
perawi) dan kualitas (derajat keabsahan). Pembagian ini tidak hanya membantu
memahami karakteristik hadits secara sistematis, tetapi juga menjadi alat
penting bagi ulama untuk menilai derajat keabsahan hadits dalam kerangka kritik
sanad dan matan.¹
Dalam sejarah keilmuan Islam,
pembahasan terkait ilmu hadits telah menjadi perhatian para ulama sejak masa
sahabat, yang kemudian berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri pada era
tabi’in. Para ulama seperti Imam al-Bukhari (w. 256 H) dan Imam Muslim (w. 261
H) melalui karya-karya mereka, seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim, telah meletakkan landasan kuat dalam klasifikasi hadits.²
Selanjutnya, kitab-kitab ulumul hadits seperti Muqaddimah Ibn al-Salah
karya Ibn al-Salah (w. 643 H) dan Tadrib al-Rawi karya Jalaluddin
al-Suyuti (w. 911 H) memperkaya kajian metodologis terhadap pembagian hadits
tersebut.³
1.2. Tujuan Penulisan
Artikel ini bertujuan untuk
memberikan pemahaman komprehensif tentang pembagian hadits berdasarkan
kuantitas dan kualitasnya. Penjelasan ini diharapkan dapat memberikan wawasan
yang mendalam bagi pembaca, baik dari kalangan akademisi maupun praktisi
keislaman, agar mampu menilai dan menggunakan hadits dengan tepat sesuai dengan
derajatnya. Kajian ini akan merujuk kepada kitab-kitab ulumul hadits klasik dan
kitab hadits induk yang telah diakui otoritasnya oleh ulama.
Selain itu, artikel ini juga
bertujuan untuk menjawab kebutuhan umat Islam dalam memahami ilmu hadits
sebagai bagian integral dari syariat Islam. Dengan demikian, pembahasan ini
akan membantu memperkokoh keyakinan terhadap keautentikan hadits dan
relevansinya dalam kehidupan sehari-hari.⁴
1.3. Metode Kajian
Kajian dalam artikel ini
menggunakan pendekatan analisis deskriptif terhadap kitab-kitab klasik ulumul
hadits dan kitab hadits induk. Beberapa kitab utama yang menjadi rujukan adalah
Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan al-Tirmidzi
sebagai representasi kitab hadits induk. Sementara itu, kitab Muqaddimah Ibn
al-Salah dan Tadrib al-Rawi akan menjadi referensi utama untuk
menjelaskan metodologi dan klasifikasi hadits secara teoritis.
Pendekatan ini juga mengacu pada
pendapat ulama seperti al-Dzahabi, Ibn Hajar al-Asqalani, dan ulama kontemporer
seperti al-Albani untuk memperkaya perspektif. Dengan kombinasi antara sumber
klasik dan analisis modern, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman
yang holistik dan terstruktur.⁵
Catatan Kaki
[1]
Ibn al-Salah, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum
al-Hadith (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 6.
[2]
Imam al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih (Riyadh:
Dar al-Salam, 2006), Bab 1, Hadis no. 1.
[3]
Jalaluddin al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib
al-Nawawi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 45.
[4]
M. Mustafa al-Azami, Studies in Hadith
Methodology and Literature (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2009), 29.
[5]
Al-Dzahabi, Tadhkirat al-Huffaz (Cairo: Dar
al-Hadith, 2006), 4:5.
2.
Pembagian
Hadits Berdasarkan Kuantitas (Jumlah Periwayat)
2.1. Definisi dan Ruang Lingkup
Hadits dalam Islam
diklasifikasikan berdasarkan berbagai aspek, salah satunya adalah kuantitas
periwayat yang menyampaikan hadits tersebut dalam setiap tingkatan sanad.
Pembagian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ketersebaran suatu hadits dan
keabsahannya dalam periwayatan. Secara umum, hadits dari segi kuantitasnya
terbagi menjadi mutawatir dan ahad.¹
Para ulama ilmu hadits sejak
masa tabi’in hingga era kodifikasi ilmu hadits telah menjadikan kategori ini
sebagai metode untuk menyaring validitas suatu hadits. Dalam kitab Muqaddimah
Ibn al-Salah, disebutkan bahwa semakin banyak jumlah perawi dalam
sanad suatu hadits, maka semakin kuat kemungkinan hadits tersebut terjaga dari
penyimpangan dan kekeliruan.² Oleh karena itu, pemahaman terhadap klasifikasi
ini menjadi esensial dalam studi hadits.
2.2. Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kuantitas
Hadits berdasarkan kuantitas
periwayatnya terbagi menjadi dua kategori utama:
2.2.1.
Hadits Mutawatir
1)
Definisi
dan Karakteristik Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir adalah
hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada setiap tingkatan
sanad, sehingga mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. Imam al-Suyuti dalam
Tadrib al-Rawi menjelaskan bahwa hadits mutawatir
memiliki empat syarat utama, yaitu:
·
Diriwayatkan oleh banyak
perawi pada setiap tingkatan sanad.
·
Tidak mungkin terjadi
kesepakatan para perawi tersebut untuk berdusta.
·
Hadits disampaikan
berdasarkan pancaindera (bukan dugaan atau analisis).
·
Memiliki kandungan yang
bersifat qath’i (pasti).³
Hadits mutawatir merupakan
jenis hadits yang paling kuat dalam periwayatan, sehingga para ulama sepakat
bahwa hadits ini memberikan faedah berupa ilmu yang bersifat yakin (ilmu
yaqin). Imam al-Nawawi menegaskan dalam Sharh Sahih Muslim
bahwa hadits mutawatir setara dengan dalil qath’i dalam Al-Qur’an dalam hal
kekuatan validitasnya.⁴
2)
Jenis-Jenis
Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir terbagi
menjadi dua jenis utama:
·
Mutawatir
Lafdzi:
Hadits yang memiliki kesamaan dalam lafadz maupun
makna di setiap periwayatannya. Contoh terkenal dari mutawatir lafdzi adalah
hadits:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
"Barang siapa yang berdusta atas namaku
dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka."⁵
·
Mutawatir
Maknawi:
Hadits yang tidak memiliki lafadz yang sama,
tetapi memiliki kesamaan dalam makna dan substansi yang diriwayatkan oleh
banyak perawi. Contoh hadits mengenai sifat mengangkat tangan saat berdoa yang
banyak diriwayatkan dalam berbagai lafadz tetapi memiliki makna yang sama.⁶
2.2.2.
Hadits Ahad
1)
Definisi
dan Karakteristik Hadits Ahad
Hadits ahad adalah hadits
yang jumlah perawinya tidak mencapai tingkat mutawatir. Hadits ini memberikan
faedah berupa ilmu zhanni (dugaan kuat), bukan ilmu qath’i seperti hadits
mutawatir. Ibn Hajar al-Asqalani dalam Nuzhat al-Nazhar
menyebutkan bahwa hadits ahad memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan hadits
mutawatir, tetapi tetap dapat digunakan sebagai hujjah dalam syariat jika
memenuhi syarat kesahihan.⁷
2)
Jenis-Jenis
Hadits Ahad
Hadits ahad dikategorikan
menjadi tiga tingkatan:
·
Mashhur:
Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau
lebih dalam setiap tingkatan sanad, tetapi belum mencapai jumlah mutawatir.
Contoh hadits mashhur adalah hadits yang menyebutkan:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ
عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللّٰهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ
رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا.
"Islam dibangun di atas lima perkara:
syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan
haji ke Baitullah bagi yang mampu menempuh jalannya."⁸
Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari tiga
orang sahabat, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir.
·
Aziz:
Hadits yang dalam salah satu tingkatan sanadnya
diriwayatkan oleh dua perawi saja. Contoh hadits aziz adalah:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ
أَجْمَعِينَ
"Tidak beriman salah seorang dari kalian
hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh
manusia."⁹
Hadits ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik dan
Abu Hurairah.
·
Gharib:
Hadits yang dalam salah satu tingkatan sanadnya
hanya diriwayatkan oleh satu perawi. Contoh hadits gharib adalah hadits tentang
niat:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
"Sesungguhnya setiap amal itu tergantung
pada niatnya."¹⁰
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Umar bin
Khattab di tingkat sahabat.
2.3.
Signifikansi Kuantitas Periwayat dalam
Menentukan Kekuatan Hadits
Kuantitas perawi dalam
periwayatan hadits memiliki dampak besar terhadap tingkat validitas hadits.
Hadits mutawatir diterima sebagai dalil yang qath’i dan menjadi sumber hukum
yang kuat. Sementara itu, hadits ahad meskipun bersifat zhanni, tetap memiliki
otoritas dalam pembentukan hukum Islam jika memenuhi syarat kesahihan. Para
ulama seperti al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Kifayah fi Ilm
al-Riwayah menekankan bahwa hadits ahad dapat dijadikan hujjah
dalam hukum Islam, terutama dalam aspek fiqh dan akhlak.¹¹
Dalam fiqh, misalnya,
mayoritas hukum yang diamalkan berasal dari hadits ahad. Imam al-Syafi’i
menegaskan dalam al-Risalah bahwa hadits ahad
yang sahih dapat menjadi dasar dalam menetapkan hukum-hukum syariat, meskipun
tidak mencapai derajat mutawatir.¹² Oleh karena itu, pemahaman tentang
kuantitas periwayat sangat penting dalam metodologi ilmu hadits.
Catatan Kaki
[1]
Ibn al-Salah, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 27.
[2]
Ibid., 29.
[3]
Jalaluddin al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 85.
[4]
Imam al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Cairo: Dar
al-Hadith, 2005), 1:19.
[5]
Imam al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih (Riyadh: Dar
al-Salam, 2006), Bab 3, Hadis no. 109.
[6]
Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, 87.
[7]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar
(Cairo: Dar al-Hadith, 2001), 33.
[8]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim (Cairo: Dar al-Taqwa,
2005), Hadis no. 16.
[9]
Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih, Bab 1, Hadis
no. 15.
[10]
Ibid., Bab 1, Hadis no. 1.
[11]
Al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah
(Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 122.
[12]
Imam al-Syafi’i, al-Risalah (Cairo: Dar al-Hadith,
2007), 459.
3.
Pembagian
Hadits Berdasarkan Kualitas (Derajat Keabsahan)
3.1.
Definisi dan Parameter Penilaian Hadits
Dalam ilmu hadits, kualitas
atau derajat keabsahan suatu hadits ditentukan berdasarkan penilaian terhadap
sanad (rantai perawi) dan matan (isi hadits). Para ulama hadits telah
menetapkan kriteria ketat dalam menentukan apakah suatu hadits dapat diterima
sebagai hujjah dalam syariat atau tidak.¹
Menurut Ibn al-Salah dalam Muqaddimah-nya,
kualitas hadits ditentukan oleh lima unsur utama:
1)
Sanad
bersambung (ittishal al-sanad), yaitu setiap perawi dalam sanad
menerima hadits langsung dari gurunya tanpa ada perawi yang terputus.
2)
Perawi
bersifat adil (al-‘adalah), yaitu memiliki karakter moral yang
baik, tidak fasik, dan memiliki integritas keagamaan yang kuat.
3)
Perawi
bersifat dhabith (al-dhabt), yaitu memiliki daya ingat yang
kuat dan ketelitian dalam meriwayatkan hadits.
4)
Hadits
tidak memiliki keganjilan (syudzudz), yaitu tidak bertentangan
dengan hadits lain yang lebih kuat.
5)
Hadits
tidak memiliki cacat tersembunyi (‘illah) yang dapat merusak
keabsahannya.²
Berdasarkan parameter di
atas, hadits diklasifikasikan menjadi tiga kategori utama: Shahih,
Hasan, dan Dhaif.
3.2.
Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kualitas
3.2.1.
Hadits Shahih
1)
Definisi
dan Karakteristik Hadits Shahih
Hadits shahih adalah hadits
yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith, serta
tidak mengandung syudzudz atau ‘illah. Hadits ini merupakan hadits dengan
tingkat keabsahan tertinggi dan dapat dijadikan dasar hukum Islam tanpa
keraguan.³
Ibn Hajar al-Asqalani dalam Nukhbat
al-Fikar menyatakan bahwa hadits shahih memberikan faedah berupa
ilmu yang kuat (ilmu yaqin), karena telah
memenuhi semua syarat keabsahan secara ketat.⁴
2)
Pembagian
Hadits Shahih
·
Shahih
li Dzatihi: Hadits yang memenuhi seluruh kriteria shahih secara
sempurna tanpa memerlukan penguatan dari hadits lain. Contoh hadits shahih li dzatihi:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ
"Sesungguhnya setiap amal itu tergantung
pada niatnya."⁵
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan
Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya dan memiliki sanad
yang kuat.
·
Shahih
li Ghairihi: Hadits yang pada dasarnya tidak mencapai derajat
shahih karena kelemahan ringan, tetapi menjadi shahih setelah diperkuat oleh
jalur periwayatan lain. Contohnya adalah hadits-hadits yang diriwayatkan dalam Sunan
Abu Dawud dan Sunan al-Tirmidzi yang
memiliki beberapa jalur yang saling menguatkan.⁶
3.2.2.
Hadits Hasan
1)
Definisi
dan Karakteristik Hadits Hasan
Hadits hasan memiliki
karakteristik yang sama dengan hadits shahih, kecuali bahwa tingkat kedhabitan
perawinya sedikit lebih rendah. Imam al-Tirmidzi dalam Sunan-nya
sering kali menyebut hadits tertentu sebagai hasan, yang
berarti hadits tersebut dapat diterima tetapi tidak sekuat hadits shahih.⁷
Hadits hasan tetap dapat
digunakan sebagai hujjah dalam hukum Islam, terutama dalam bidang fiqh dan
akhlak, sebagaimana ditegaskan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Kifayah
fi Ilm al-Riwayah.⁸
2)
Pembagian
Hadits Hasan
·
Hasan li
Dzatihi:
Hadits yang memiliki sanad bersambung,
perawi adil, dan tidak mengandung syudzudz atau ‘illah, tetapi dengan tingkat
dhabith yang lebih rendah dibandingkan hadits shahih.
·
Hasan li
Ghairihi:
Hadits yang pada dasarnya dhaif tetapi
menjadi hasan karena diperkuat oleh jalur periwayatan lain.
Contoh hadits hasan:
اَلْحَيَاءُ مِنَ
الْإِيمَانِ
"Malu adalah bagian dari iman."⁹
Hadits ini diriwayatkan dalam
Sunan Abu Dawud dan Sunan al-Tirmidzi
dengan jalur yang saling menguatkan.
3.2.3.
Hadits Dhaif
1)
Definisi
dan Karakteristik Hadits Dhaif
Hadits dhaif adalah hadits
yang tidak memenuhi syarat hadits shahih atau hasan, baik karena sanadnya
terputus, perawinya tidak adil atau tidak dhabith, atau mengandung syudzudz dan
‘illah. Imam al-Nawawi dalam Sharh Sahih Muslim menegaskan
bahwa hadits dhaif tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah hukum kecuali
dalam kondisi tertentu.¹⁰
2)
Jenis-Jenis
Hadits Dhaif
·
Mursal:
Hadits yang perawinya dari kalangan tabi’in langsung menyandarkan hadits kepada
Nabi tanpa menyebut sahabat yang meriwayatkannya.
·
Munqathi’:
Hadits yang memiliki satu atau lebih perawi yang terputus di tengah sanadnya.
·
Mu’dhal:
Hadits yang kehilangan dua perawi atau lebih secara berturut-turut dalam
sanadnya.
·
Maqlub:
Hadits yang mengalami perubahan dalam susunan sanad atau matannya.
·
Maudu’:
Hadits palsu yang dibuat oleh seseorang dan dinisbatkan kepada Nabi.¹¹
Hadits maudu’ adalah kategori
yang paling lemah dan tidak boleh dijadikan dalil dalam Islam. Ibn al-Jawzi
dalam al-Mawdu‘at telah mengumpulkan banyak hadits palsu
yang dibuat oleh perawi yang tidak terpercaya.¹²
3.3.
Pendapat Ulama tentang Penggunaan Hadits Dhaif
Terdapat perbedaan pendapat
di kalangan ulama mengenai penggunaan hadits dhaif:
1)
Pendapat
yang Membolehkan:
Beberapa ulama seperti Imam al-Nawawi
dan Ibn Hajar al-Asqalani membolehkan penggunaan hadits dhaif dalam fadha’il
al-a‘mal (keutamaan amal) selama tidak berkaitan dengan hukum atau
akidah.¹³
2)
Pendapat
yang Melarang:
Ulama seperti Imam al-Bukhari dan Imam
Muslim lebih ketat dalam menolak hadits dhaif, terutama dalam hukum dan
akidah.¹⁴
Catatan Kaki
[1]
Ibn al-Salah, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 40.
[2]
Ibid., 42.
[3]
Jalaluddin al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 92.
[4]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nukhbat al-Fikar (Cairo: Dar
al-Hadith, 2001), 29.
[5]
Imam al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih (Riyadh: Dar
al-Salam, 2006), Bab 1, Hadis no. 1.
[6]
Sunan Abu Dawud, Hadis no. 2340.
[7]
Imam al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Cairo: Dar
al-Hadith, 2005), 35.
[8]
Al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah
(Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 150.
[9]
Sunan Abu Dawud, Hadis no. 4796.
[10]
Imam al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Cairo: Dar
al-Hadith, 2005), 2:14.
[11]
Ibid., 3:16.
[12]
Ibn al-Jawzi, al-Mawdu‘at (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2001), 1:45.
[13]
Ibn Hajar al-Asqalani, al-Nukat (Cairo: Dar al-Hadith,
2007), 203.
[14]
Imam Muslim, Sahih Muslim (Cairo: Dar al-Taqwa,
2005), Hadis no. 5.
4.
Hubungan
antara Kuantitas dan Kualitas dalam Hadits
4.1.
Kaitan antara Kuantitas dan Kualitas dalam
Hadits
Ilmu hadits memiliki dua
pendekatan utama dalam menilai validitas periwayatan, yaitu berdasarkan kuantitas
(jumlah periwayat) dan kualitas (derajat
keabsahan). Kuantitas hadits berkaitan dengan jumlah perawi dalam setiap
tingkatan sanad, sedangkan kualitasnya ditentukan oleh kredibilitas perawi dan
kesinambungan sanad.¹
Meskipun kedua aspek ini
memiliki cakupan yang berbeda, keduanya saling berkaitan dalam menentukan
validitas hadits. Hadits dengan jumlah perawi yang banyak tidak selalu memiliki
kualitas yang tinggi, begitu juga hadits dengan jumlah perawi sedikit tidak
otomatis menjadi lemah.² Oleh karena itu, diperlukan analisis komprehensif
terhadap hubungan antara keduanya.
4.2.
Keterkaitan antara Hadits Mutawatir dan Shahih
4.2.1.
Hadits Mutawatir
Selalu Shahih
Dalam ilmu hadits, hadits
mutawatir berada pada tingkatan tertinggi karena jumlah perawinya yang banyak
dan mustahil bersepakat untuk berdusta. Oleh sebab itu, para ulama sepakat
bahwa semua hadits mutawatir secara otomatis memiliki kualitas shahih. Imam
al-Nawawi dalam Sharh Sahih Muslim menegaskan
bahwa hadits mutawatir memberikan faedah ilmu qath’i (kepastian), sehingga tidak
memerlukan penelitian lebih lanjut terhadap sanadnya.³
Sebagai contoh, hadits
tentang ancaman bagi orang yang berdusta atas nama Nabi Saw:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
"Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan
sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka."⁴
Hadits ini diriwayatkan oleh
lebih dari 70 sahabat dan terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari
dan Shahih Muslim, sehingga termasuk hadits mutawatir
lafdzi yang berkualitas shahih.⁵
4.2.2.
Tidak Semua Hadits
Shahih Itu Mutawatir
Sebaliknya, hadits shahih
belum tentu mutawatir. Mayoritas hadits shahih yang terdapat dalam kitab-kitab
induk seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim merupakan hadits ahad, yaitu hadits yang jumlah perawinya tidak
mencapai tingkat mutawatir. Ibn Hajar al-Asqalani dalam Nuzhat
al-Nazhar menjelaskan bahwa hadits shahih bisa bersumber dari
hadits ahad yang sanadnya kuat, meskipun jumlah perawinya tidak banyak.⁶
Sebagai contoh, hadits:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ
"Sesungguhnya setiap amal itu tergantung
pada niatnya."⁷
Hadits ini hanya diriwayatkan
oleh satu orang sahabat, yaitu Umar bin Khattab, sehingga tergolong hadits
gharib dalam kategori kuantitas. Namun, karena sanadnya bersambung, perawinya
terpercaya, dan tidak memiliki kecacatan, maka hadits ini dinilai shahih.⁸
4.3.
Hadits Ahad dan Variasi Kualitasnya
4.3.1.
Hadits Ahad Bisa
Berkualitas Shahih, Hasan, atau Dhaif
Hadits ahad adalah hadits
yang jumlah perawinya tidak mencapai mutawatir. Namun, kualitasnya bisa
bervariasi tergantung pada kredibilitas perawi dan kesinambungan sanad. Hadits
ahad dapat berstatus shahih, hasan, atau dhaif,
tergantung pada kekuatan sanadnya.
·
Hadits
Ahad yang Shahih:
Jika sanadnya kuat, hadits ahad dapat
mencapai derajat shahih dan dijadikan hujjah dalam hukum Islam. Contohnya
adalah hadits tentang keutamaan shalat berjamaah yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah dan terdapat dalam Shahih Muslim.⁹
·
Hadits
Ahad yang Hasan:
Jika sanadnya sedikit lebih lemah karena
tingkat kedhabitan perawinya yang lebih rendah, hadits ahad bisa menjadi hasan.
Imam al-Tirmidzi dalam Sunan-nya sering kali menyebut
hadits sebagai hasan shahih, yang menunjukkan
bahwa hadits tersebut berkualitas baik tetapi tidak sekuat hadits shahih.¹⁰
·
Hadits
Ahad yang Dhaif:
Jika sanadnya terputus atau perawinya
lemah, hadits ahad bisa menjadi dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah dalam
hukum.¹¹
4.4.
Contoh Kasus: Hadits Ahad dalam Kitab Hadits
Induk
Para ulama hadits menyusun
kitab-kitab hadits induk dengan mempertimbangkan kualitas hadits yang diriwayatkan.
Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari hanya
mencantumkan hadits yang memenuhi syarat shahih, meskipun sebagian besar
merupakan hadits ahad.¹² Sebaliknya, kitab seperti Sunan Abu Dawud
dan Sunan al-Tirmidzi mencantumkan hadits shahih, hasan,
bahkan beberapa hadits dhaif dengan penjelasan statusnya.¹³
Sebagai contoh, hadits
tentang tata cara mengangkat tangan dalam doa memiliki beberapa jalur
periwayatan:
·
Diriwayatkan oleh banyak
sahabat dengan lafadz berbeda → Mutawatir Maknawi.
·
Diriwayatkan oleh satu atau
dua sahabat dalam beberapa jalur sanad → Ahad Shahih atau Hasan.
·
Diriwayatkan dengan sanad
yang lemah karena perawi yang tidak tsiqat → Ahad Dhaif.¹⁴
Ini menunjukkan bahwa satu
tema hadits bisa memiliki berbagai derajat kualitas tergantung pada sanad dan
jumlah perawinya.
Kesimpulan: Integrasi Kuantitas dan Kualitas
dalam Menilai Hadits
Dari pembahasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa:
1)
Hadits
Mutawatir selalu shahih, tetapi tidak semua hadits shahih itu mutawatir.
2)
Hadits
Ahad bisa berkualitas shahih, hasan, atau dhaif, tergantung
pada kekuatan sanad dan matannya.
3)
Kitab-kitab
hadits induk mengklasifikasikan hadits berdasarkan kualitasnya,
dan para ulama hadits telah memberikan pedoman untuk menilai kesahihan hadits.
Dengan demikian, pemahaman
yang mendalam terhadap hubungan antara kuantitas dan kualitas hadits sangat
penting dalam kajian ilmu hadits. Ini membantu memastikan bahwa hadits yang
digunakan dalam kehidupan beragama memiliki dasar yang kuat dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Catatan Kaki
[1]
Ibn al-Salah, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 27.
[2]
Ibid., 29.
[3]
Imam al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Cairo: Dar
al-Hadith, 2005), 1:19.
[4]
Imam al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih (Riyadh: Dar
al-Salam, 2006), Bab 3, Hadis no. 109.
[5]
Ibid.
[6]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar
(Cairo: Dar al-Hadith, 2001), 33.
[7]
Imam al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih, Bab 1, Hadis
no. 1.
[8]
Ibid.
[9]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim (Cairo: Dar al-Taqwa,
2005), Hadis no. 654.
[10]
Imam al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Cairo: Dar
al-Hadith, 2005), 35.
[11]
Al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah
(Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 150.
[12]
Ibid.
[13]
Sunan Abu Dawud, Hadis no. 4796.
[14]
Imam al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, 3:16.
5.
Metodologi
Penilaian Hadits menurut Ulama
5.1.
Pentingnya Metodologi dalam Penilaian Hadits
Metodologi penilaian hadits
merupakan disiplin utama dalam ilmu hadits yang bertujuan untuk memastikan
validitas dan keabsahan suatu riwayat. Ulama hadits mengembangkan berbagai
metode yang sistematis untuk menilai sanad dan matan hadits guna memastikan
bahwa hadits yang dijadikan hujjah benar-benar berasal dari Rasulullah Saw.¹
Proses penilaian hadits
melibatkan analisis terhadap sanad (rantai periwayatan) dan matan (isi hadits).
Dua aspek ini menjadi dasar utama dalam menentukan apakah suatu hadits
tergolong shahih, hasan, dhaif, atau bahkan maudu’
(palsu). Imam al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Kifayah
fi Ilm al-Riwayah menegaskan bahwa tanpa metodologi yang ketat,
hadits yang lemah atau palsu dapat dengan mudah diterima dan digunakan secara
tidak semestinya.²
5.2.
Kritik Sanad dan Matan dalam Penilaian Hadits
5.2.1.
Kritik Sanad (Naqd
al-Sanad)
Sanad merupakan rantai perawi
yang menyampaikan hadits dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga
sampai kepada Rasulullah Saw. Ulama hadits menggunakan metode kritik
sanad untuk menilai keabsahan suatu hadits dengan meneliti
perawi dalam sanad tersebut.³
Beberapa aspek utama dalam
kritik sanad adalah:
·
Ittishal
al-Sanad (Ketersambungan Sanad)
Hadits yang sanadnya bersambung (muttasil)
lebih diutamakan dibandingkan hadits yang memiliki sanad terputus (munqathi’).
Ibn al-Salah dalam Muqaddimah-nya menjelaskan
bahwa sanad yang bersambung menandakan bahwa hadits tersebut tidak mengalami
distorsi selama proses periwayatan.⁴
·
‘Adalah
al-Rawi (Integritas Perawi)
Setiap perawi hadits harus memiliki sifat adil,
yaitu seorang Muslim, baligh, berakal, tidak fasik, dan tidak terkenal sebagai
pembohong. Imam al-Nawawi menekankan dalam Sharh Sahih Muslim
bahwa keadilan perawi sangat berpengaruh dalam validitas suatu hadits.⁵
·
Dhabt
al-Rawi (Ketelitian Perawi)
Seorang perawi harus memiliki daya ingat yang
kuat dan ketelitian dalam meriwayatkan hadits. Ibn Hajar al-Asqalani dalam Nuzhat
al-Nazhar menegaskan bahwa perawi yang memiliki kedhabitan lemah
akan menurunkan kualitas hadits menjadi hasan atau bahkan dhaif.⁶
·
Bebas
dari Tadlis (Penyamaran Periwayatan)
Tadlis adalah praktik di mana seorang perawi
menyembunyikan kelemahan sanad dengan menggunakan lafadz periwayatan yang tidak
jelas. Hadits yang diriwayatkan oleh mudallis (perawi yang melakukan tadlis)
tidak diterima kecuali jika terdapat bukti bahwa ia mendengar hadits tersebut
langsung dari gurunya.⁷
5.2.2.
Kritik Matan (Naqd
al-Matan)
Selain sanad, matan hadits
juga dikritisi untuk memastikan bahwa isinya tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam yang telah mapan. Imam al-Suyuti dalam Tadrib
al-Rawi menyebutkan bahwa kritik matan sangat penting untuk
menghindari masuknya hadits palsu ke dalam ajaran Islam.⁸
Aspek utama dalam kritik
matan adalah:
·
Tidak
Bertentangan dengan Al-Qur’an atau Hadits Mutawatir
Jika suatu hadits bertentangan dengan ayat
Al-Qur’an atau hadits yang lebih kuat, maka hadits tersebut perlu ditinjau
kembali. Contohnya, hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan tertentu tetapi
bertentangan dengan ajaran Islam yang sudah mapan sering kali dikategorikan
sebagai hadits palsu oleh Ibn al-Jawzi dalam al-Mawdu‘at.⁹
·
Tidak
Mengandung Kejanggalan (Syudzudz)
Hadits yang bertentangan dengan riwayat yang
lebih kuat disebut sebagai syadz dan dinilai sebagai
hadits lemah. Ibn Hajar al-Asqalani dalam al-Nukat
menegaskan bahwa hadits yang memiliki syudzudz tidak dapat dijadikan hujjah
dalam hukum Islam.¹⁰
·
Tidak
Mengandung Cacat (‘Illah)
‘Illah dalam hadits adalah cacat tersembunyi yang
dapat merusak keabsahan hadits. Contohnya adalah perubahan dalam susunan sanad
atau matan yang tidak sesuai dengan riwayat yang lebih sahih.¹¹
5.3.
Komparasi Metode Penilaian Hadits antara Ulama
Klasik dan Kontemporer
Dalam sejarah ilmu hadits,
terdapat berbagai metode penilaian hadits yang berkembang dari era klasik
hingga kontemporer.
5.3.1.
Metode Klasik:
Pendekatan Tradisional
Ulama hadits klasik seperti
Imam al-Bukhari, Muslim, al-Daraqutni, dan al-Tirmidzi menggunakan pendekatan verifikasi
sanad secara langsung dengan bertemu dan meneliti perawi
hadits. Imam al-Bukhari, misalnya, tidak mencantumkan suatu hadits dalam Shahih-nya
kecuali setelah memastikan bahwa semua perawinya terpercaya dan memiliki sanad
yang bersambung.¹²
5.3.2.
Metode Kontemporer:
Pendekatan Ilmiah
Ulama kontemporer seperti
Muhammad Nasiruddin al-Albani menerapkan pendekatan ilmiah dengan menganalisis
ulang sanad dan matan hadits menggunakan metodologi kritik
hadits klasik. Dalam karyanya Silsilah al-Ahadits al-Dha‘ifah wa
al-Mawdu‘ah, al-Albani mengklasifikasikan hadits berdasarkan
penelitian ulang terhadap sanadnya, sehingga banyak hadits yang sebelumnya
dianggap shahih dinilai ulang sebagai dhaif.¹³
Kesimpulan: Integrasi Metodologi dalam Menilai
Hadits
Dari pembahasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa:
1)
Metodologi
penilaian hadits melibatkan analisis sanad dan matan untuk
menentukan keabsahan hadits.
2)
Ulama
hadits klasik mengandalkan investigasi langsung, sedangkan
ulama kontemporer memanfaatkan analisis ulang berdasarkan sumber
terdokumentasi.
3)
Kritik
sanad dan matan saling melengkapi, sehingga tidak cukup hanya
mengandalkan satu aspek dalam menilai keabsahan hadits.
Dengan demikian, pendekatan
yang sistematis dan ketat dalam menilai hadits sangat penting untuk menjaga
kemurnian ajaran Islam.
Catatan Kaki
[1]
Ibn al-Salah, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 50.
[2]
Al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah
(Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 210.
[3]
Jalaluddin al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 102.
[4]
Ibn al-Salah, Muqaddimah Ibn al-Salah, 55.
[5]
Imam al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Cairo: Dar
al-Hadith, 2005), 1:24.
[6]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar (Cairo: Dar
al-Hadith, 2001), 40.
[7]
Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, 105.
[8]
Ibid., 112.
[9]
Ibn al-Jawzi, al-Mawdu‘at (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2001), 1:67.
[10]
Ibn Hajar al-Asqalani, al-Nukat (Cairo: Dar al-Hadith,
2007), 204.
[11]
Ibid., 210.
[12]
Imam al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih (Riyadh: Dar
al-Salam, 2006), Bab 1, Hadis no. 1.
[13]
Muhammad Nasiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahadits al-Dha‘ifah wa al-Mawdu‘ah
(Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif, 1992), 3:85.
6.
Kesimpulan
dan Penutup
6.1.
Ringkasan Pembahasan
Ilmu hadits merupakan cabang
ilmu Islam yang sangat penting dalam menjaga otentisitas ajaran Nabi Muhammad Saw.
Salah satu aspek utama dalam kajian ilmu hadits adalah klasifikasi
hadits berdasarkan kuantitas (jumlah periwayat) dan kualitas (derajat
keabsahan).
Dalam aspek kuantitas,
hadits terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu mutawatir
dan ahad. Hadits mutawatir
merupakan hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi dalam setiap tingkatan
sanad sehingga mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. Imam al-Nawawi dalam Sharh
Sahih Muslim menegaskan bahwa hadits mutawatir memberikan faedah
ilmu yang qath’i (pasti).¹ Sementara itu, hadits ahad
adalah hadits yang jumlah perawinya tidak mencapai derajat mutawatir, dan
terbagi menjadi mashhur, aziz, dan gharib,
dengan tingkat keabsahan yang berbeda-beda tergantung pada sanad dan matannya.²
Dalam aspek kualitas,
hadits diklasifikasikan menjadi shahih, hasan, dan
dhaif. Hadits shahih
adalah hadits yang sanadnya bersambung, perawinya adil dan dhabith, serta bebas
dari syudzudz dan ‘illah.³ Hadits hasan
mirip dengan hadits shahih tetapi memiliki kelemahan kecil dalam tingkat
kedhabitan perawinya.⁴ Sedangkan hadits dhaif
adalah hadits yang tidak memenuhi kriteria shahih dan hasan karena kelemahan
dalam sanad atau matannya, dan dapat dikategorikan lebih lanjut menjadi mursal,
munqathi’, mu’dhal, dan bahkan maudu’ (palsu).⁵
Dalam analisis hubungan
antara kuantitas dan kualitas hadits, ditemukan bahwa meskipun
hadits mutawatir selalu shahih, tidak semua hadits shahih itu mutawatir.
Mayoritas hadits yang terdapat dalam kitab hadits induk seperti Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim adalah hadits
ahad, tetapi tetap memiliki tingkat keabsahan yang tinggi.⁶ Oleh karena itu,
pemahaman terhadap hubungan ini sangat penting untuk menentukan sejauh mana
sebuah hadits dapat dijadikan sebagai hujjah dalam Islam.
Dari perspektif metodologi
penilaian hadits, para ulama telah mengembangkan metode kritik
sanad dan matan untuk menilai validitas sebuah hadits. Ibn al-Salah dalam Muqaddimah-nya
menjelaskan bahwa penilaian hadits harus didasarkan pada kesinambungan sanad,
kredibilitas perawi, serta kesesuaian matan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam
yang telah mapan.⁷ Ulama hadits klasik seperti Imam al-Bukhari dan Imam Muslim
menggunakan metode verifikasi langsung dengan bertemu perawi dan memastikan
keakuratan sanad. Sementara itu, ulama kontemporer seperti al-Albani melakukan
analisis ulang terhadap sanad dan matan berdasarkan kajian tekstual terhadap
kitab-kitab hadits.⁸
6.2.
Relevansi Ilmu Hadits di Era Kontemporer
Pemahaman tentang ilmu hadits
tetap relevan hingga saat ini, terutama dalam menghadapi tantangan modern
seperti penyebaran hadits palsu di media sosial dan penggunaan hadits tanpa
analisis kritis. Ibn al-Jawzi dalam al-Mawdu‘at
menekankan bahwa penyebaran hadits palsu dapat menyebabkan distorsi dalam
pemahaman ajaran Islam.⁹ Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk
memiliki literasi hadits yang baik dan mengacu pada kitab-kitab hadits yang
telah dikaji oleh ulama terpercaya.
Dalam dunia akademik, kajian
hadits terus berkembang, termasuk dalam studi kritik hadits digital yang
memanfaatkan teknologi untuk meneliti sanad dan matan hadits. Penelitian
tentang hadits dalam bidang big data dan kecerdasan buatan
sedang berkembang untuk membantu mengidentifikasi hadits yang memiliki jalur
sanad yang kuat atau lemah berdasarkan data historis.¹⁰ Dengan demikian, ilmu
hadits tidak hanya berperan dalam menjaga keaslian ajaran Islam, tetapi juga
memiliki potensi besar untuk terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.
6.3.
Ajakan untuk Memperdalam Studi Ilmu Hadits
Sebagai umat Islam, penting
bagi kita untuk terus mendalami ilmu hadits agar tidak mudah terpengaruh oleh hadits-hadits
lemah atau palsu yang dapat mengaburkan pemahaman agama. Kajian terhadap
kitab-kitab ulumul hadits klasik
seperti Muqaddimah Ibn al-Salah, Tadrib al-Rawi
karya al-Suyuti, serta kitab hadits induk seperti Shahih al-Bukhari,
Shahih Muslim, dan Sunan Abu Dawud
menjadi rujukan utama dalam memahami ilmu hadits secara lebih mendalam.¹¹
Para ulama telah berusaha
keras dalam menjaga keaslian hadits, dan tugas kita sebagai umat Islam adalah
terus menghidupkan tradisi ilmiah ini. Imam al-Syafi’i dalam al-Risalah
menegaskan bahwa pemahaman yang mendalam terhadap hadits adalah bagian dari
keilmuan yang wajib dikembangkan oleh setiap generasi Muslim.¹² Dengan memahami
prinsip-prinsip ilmu hadits, kita dapat lebih berhati-hati dalam menerima dan
mengamalkan hadits dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai penutup, kajian ini
menunjukkan bahwa ilmu hadits adalah disiplin ilmu yang sangat penting dalam
Islam. Dengan memahami pembagian hadits berdasarkan kuantitas
dan kualitas, serta metodologi penilaian
yang digunakan oleh para ulama, kita dapat lebih selektif dalam
menerima dan mengamalkan hadits. Semoga kajian ini bermanfaat dalam memperkokoh
keimanan dan pemahaman kita terhadap ajaran Rasulullah Saw.
Catatan Kaki
[1]
Imam al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Cairo: Dar al-Hadith,
2005), 1:19.
[2]
Ibn al-Salah, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 35.
[3]
Jalaluddin al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 92.
[4]
Imam al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Cairo: Dar
al-Hadith, 2005), 38.
[5]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar
(Cairo: Dar al-Hadith, 2001), 45.
[6]
Imam Muslim, Sahih Muslim (Cairo: Dar al-Taqwa,
2005), Hadis no. 5.
[7]
Ibn al-Salah, Muqaddimah Ibn al-Salah, 57.
[8]
Muhammad Nasiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahadits al-Dha‘ifah wa al-Mawdu‘ah
(Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif, 1992), 3:102.
[9]
Ibn al-Jawzi, al-Mawdu‘at (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2001), 1:90.
[10]
Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2009), 155.
[11]
Al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah
(Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 215.
[12]
Imam al-Syafi’i, al-Risalah (Cairo: Dar al-Hadith,
2007), 402.
Daftar Pustaka
Kitab Klasik
·
Al-Baghdadi, Al-Khathib.
(1986). Al-Kifayah
fi Ilm al-Riwayah. Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
·
Al-Bukhari, Imam. (2006). Al-Jami’
al-Shahih. Riyadh: Dar al-Salam.
·
Al-Jawzi, Ibn. (2001). Al-Mawdu‘at.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
·
Al-Nawawi, Imam. (2005). Sharh
Sahih Muslim. Cairo: Dar al-Hadith.
·
Al-Suyuti, Jalaluddin.
(1993). Tadrib
al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah.
·
Al-Syafi’i, Imam. (2007). Al-Risalah.
Cairo: Dar al-Hadith.
·
Al-Tirmidzi, Imam. (2005). Sunan
al-Tirmidzi. Cairo: Dar al-Hadith.
·
Al-Albani, Muhammad
Nasiruddin. (1992). Silsilah al-Ahadits al-Dha‘ifah wa al-Mawdu‘ah.
Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif.
·
Hajar al-Asqalani, Ibn.
(2001). Nuzhat
al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar. Cairo: Dar al-Hadith.
·
Hajar al-Asqalani, Ibn.
(2007). Al-Nukat.
Cairo: Dar al-Hadith.
·
Ibn al-Salah. (1986). Muqaddimah
Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
·
Muslim, Imam. (2005). Sahih
Muslim. Cairo: Dar al-Taqwa.
Buku Modern tentang Hadits
·
Azami, M. M. (2009). Studies
in Hadith Methodology and Literature. Kuala Lumpur: Islamic Book
Trust.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar