Kamis, 20 Februari 2025

Bahan Ajar Qurdis Kelas 10 Bab 11: Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas dan Kualitas

Pembagian Hadits

Kajian Komprehensif terhadap Kitab Ulumul Hadits dan Hadits Induk


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 10 (Sepuluh)


Abstrak

Ilmu hadits merupakan cabang keilmuan Islam yang bertujuan untuk memastikan keautentikan sabda, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah Saw. Salah satu aspek utama dalam ilmu hadits adalah pembagian hadits berdasarkan kuantitas (jumlah periwayat) dan kualitas (derajat keabsahan). Artikel ini mengkaji klasifikasi hadits dari dua perspektif tersebut dengan pendekatan analisis terhadap kitab-kitab hadits induk dan kitab ulumul hadits klasik.

Hadits berdasarkan kuantitas terbagi menjadi mutawatir dan ahad, dengan mutawatir memiliki jumlah perawi yang banyak sehingga memberikan keyakinan pasti (qath'i). Sementara itu, hadits ahad terbagi menjadi mashhur, aziz, dan gharib, yang masing-masing memiliki derajat penerimaan yang berbeda dalam syariat. Sedangkan dalam aspek kualitas, hadits dikategorikan menjadi shahih, hasan, dan dhaif berdasarkan sanad, matan, serta kredibilitas perawi.

Hubungan antara kuantitas dan kualitas hadits menunjukkan bahwa tidak semua hadits yang memiliki banyak perawi otomatis berkualitas tinggi, dan sebaliknya, hadits dengan jumlah perawi sedikit tetap bisa berkualitas shahih jika sanadnya kuat. Selain itu, metodologi penilaian hadits yang diterapkan oleh para ulama klasik dan kontemporer menegaskan pentingnya kritik sanad dan matan dalam menentukan validitas hadits.

Artikel ini menekankan relevansi ilmu hadits di era kontemporer, terutama dalam menghadapi tantangan penyebaran hadits palsu. Dengan memahami kaidah dan metodologi yang digunakan oleh para ulama, umat Islam dapat lebih selektif dalam menerima hadits sebagai sumber ajaran Islam. Studi ini menegaskan bahwa penguasaan ilmu hadits sangat penting untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dan menghindari kesalahan dalam memahami sunnah Nabi Saw.

Kata Kunci: Hadits, Mutawatir, Ahad, Shahih, Hasan, Dhaif, Kritik Sanad, Kritik Matan, Ulumul Hadits, Ilmu Hadits.


PEMBAHASAN

Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas dan Kualitas


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 10 (Sepuluh)

Bab                      : Bab 11 - Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas dan Kualitas


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Hadits merupakan salah satu sumber utama ajaran Islam setelah Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup umat Muslim dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagai wahyu yang dijelaskan melalui ucapan, perbuatan, dan persetujuan Rasulullah Saw., validitas sebuah hadits menjadi hal yang sangat krusial untuk memastikan keautentikannya sebelum dijadikan landasan hukum. Oleh sebab itu, ilmu tentang klasifikasi hadits sangat penting dipelajari dalam rangka memahami otoritas dan kedudukan suatu hadits dalam syariat Islam.

Klasifikasi hadits secara umum terbagi menjadi dua dimensi penting, yaitu berdasarkan kuantitas (jumlah perawi) dan kualitas (derajat keabsahan). Pembagian ini tidak hanya membantu memahami karakteristik hadits secara sistematis, tetapi juga menjadi alat penting bagi ulama untuk menilai derajat keabsahan hadits dalam kerangka kritik sanad dan matan.¹

Dalam sejarah keilmuan Islam, pembahasan terkait ilmu hadits telah menjadi perhatian para ulama sejak masa sahabat, yang kemudian berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri pada era tabi’in. Para ulama seperti Imam al-Bukhari (w. 256 H) dan Imam Muslim (w. 261 H) melalui karya-karya mereka, seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, telah meletakkan landasan kuat dalam klasifikasi hadits.² Selanjutnya, kitab-kitab ulumul hadits seperti Muqaddimah Ibn al-Salah karya Ibn al-Salah (w. 643 H) dan Tadrib al-Rawi karya Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H) memperkaya kajian metodologis terhadap pembagian hadits tersebut.³

1.2.       Tujuan Penulisan

Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman komprehensif tentang pembagian hadits berdasarkan kuantitas dan kualitasnya. Penjelasan ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang mendalam bagi pembaca, baik dari kalangan akademisi maupun praktisi keislaman, agar mampu menilai dan menggunakan hadits dengan tepat sesuai dengan derajatnya. Kajian ini akan merujuk kepada kitab-kitab ulumul hadits klasik dan kitab hadits induk yang telah diakui otoritasnya oleh ulama.

Selain itu, artikel ini juga bertujuan untuk menjawab kebutuhan umat Islam dalam memahami ilmu hadits sebagai bagian integral dari syariat Islam. Dengan demikian, pembahasan ini akan membantu memperkokoh keyakinan terhadap keautentikan hadits dan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari.⁴

1.3.       Metode Kajian

Kajian dalam artikel ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif terhadap kitab-kitab klasik ulumul hadits dan kitab hadits induk. Beberapa kitab utama yang menjadi rujukan adalah Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan al-Tirmidzi sebagai representasi kitab hadits induk. Sementara itu, kitab Muqaddimah Ibn al-Salah dan Tadrib al-Rawi akan menjadi referensi utama untuk menjelaskan metodologi dan klasifikasi hadits secara teoritis.

Pendekatan ini juga mengacu pada pendapat ulama seperti al-Dzahabi, Ibn Hajar al-Asqalani, dan ulama kontemporer seperti al-Albani untuk memperkaya perspektif. Dengan kombinasi antara sumber klasik dan analisis modern, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang holistik dan terstruktur.⁵


Catatan Kaki

[1]                Ibn al-Salah, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 6.

[2]                Imam al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih (Riyadh: Dar al-Salam, 2006), Bab 1, Hadis no. 1.

[3]                Jalaluddin al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 45.

[4]                M. Mustafa al-Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2009), 29.

[5]                Al-Dzahabi, Tadhkirat al-Huffaz (Cairo: Dar al-Hadith, 2006), 4:5.


2.           Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas (Jumlah Periwayat)

2.1.       Definisi dan Ruang Lingkup

Hadits dalam Islam diklasifikasikan berdasarkan berbagai aspek, salah satunya adalah kuantitas periwayat yang menyampaikan hadits tersebut dalam setiap tingkatan sanad. Pembagian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ketersebaran suatu hadits dan keabsahannya dalam periwayatan. Secara umum, hadits dari segi kuantitasnya terbagi menjadi mutawatir dan ahad

Para ulama ilmu hadits sejak masa tabi’in hingga era kodifikasi ilmu hadits telah menjadikan kategori ini sebagai metode untuk menyaring validitas suatu hadits. Dalam kitab Muqaddimah Ibn al-Salah, disebutkan bahwa semakin banyak jumlah perawi dalam sanad suatu hadits, maka semakin kuat kemungkinan hadits tersebut terjaga dari penyimpangan dan kekeliruan.² Oleh karena itu, pemahaman terhadap klasifikasi ini menjadi esensial dalam studi hadits.

2.2.       Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kuantitas

Hadits berdasarkan kuantitas periwayatnya terbagi menjadi dua kategori utama:

2.2.1.    Hadits Mutawatir

1)                  Definisi dan Karakteristik Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada setiap tingkatan sanad, sehingga mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. Imam al-Suyuti dalam Tadrib al-Rawi menjelaskan bahwa hadits mutawatir memiliki empat syarat utama, yaitu:

·                     Diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan sanad.

·                     Tidak mungkin terjadi kesepakatan para perawi tersebut untuk berdusta.

·                     Hadits disampaikan berdasarkan pancaindera (bukan dugaan atau analisis).

·                     Memiliki kandungan yang bersifat qath’i (pasti).³

Hadits mutawatir merupakan jenis hadits yang paling kuat dalam periwayatan, sehingga para ulama sepakat bahwa hadits ini memberikan faedah berupa ilmu yang bersifat yakin (ilmu yaqin). Imam al-Nawawi menegaskan dalam Sharh Sahih Muslim bahwa hadits mutawatir setara dengan dalil qath’i dalam Al-Qur’an dalam hal kekuatan validitasnya.⁴

2)                  Jenis-Jenis Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir terbagi menjadi dua jenis utama:

·                     Mutawatir Lafdzi:

Hadits yang memiliki kesamaan dalam lafadz maupun makna di setiap periwayatannya. Contoh terkenal dari mutawatir lafdzi adalah hadits:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

"Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka."⁵

·                     Mutawatir Maknawi:

Hadits yang tidak memiliki lafadz yang sama, tetapi memiliki kesamaan dalam makna dan substansi yang diriwayatkan oleh banyak perawi. Contoh hadits mengenai sifat mengangkat tangan saat berdoa yang banyak diriwayatkan dalam berbagai lafadz tetapi memiliki makna yang sama.⁶

2.2.2.    Hadits Ahad

1)                  Definisi dan Karakteristik Hadits Ahad

Hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak mencapai tingkat mutawatir. Hadits ini memberikan faedah berupa ilmu zhanni (dugaan kuat), bukan ilmu qath’i seperti hadits mutawatir. Ibn Hajar al-Asqalani dalam Nuzhat al-Nazhar menyebutkan bahwa hadits ahad memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan hadits mutawatir, tetapi tetap dapat digunakan sebagai hujjah dalam syariat jika memenuhi syarat kesahihan.⁷

2)                  Jenis-Jenis Hadits Ahad

Hadits ahad dikategorikan menjadi tiga tingkatan:

·                     Mashhur:

Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dalam setiap tingkatan sanad, tetapi belum mencapai jumlah mutawatir. Contoh hadits mashhur adalah hadits yang menyebutkan:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللّٰهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا.

"Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah bagi yang mampu menempuh jalannya."⁸

Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari tiga orang sahabat, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir.

·                     Aziz:

Hadits yang dalam salah satu tingkatan sanadnya diriwayatkan oleh dua perawi saja. Contoh hadits aziz adalah:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

"Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia."⁹

Hadits ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik dan Abu Hurairah.

·                     Gharib:

Hadits yang dalam salah satu tingkatan sanadnya hanya diriwayatkan oleh satu perawi. Contoh hadits gharib adalah hadits tentang niat:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

"Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya."¹⁰

Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khattab di tingkat sahabat.

2.3.       Signifikansi Kuantitas Periwayat dalam Menentukan Kekuatan Hadits

Kuantitas perawi dalam periwayatan hadits memiliki dampak besar terhadap tingkat validitas hadits. Hadits mutawatir diterima sebagai dalil yang qath’i dan menjadi sumber hukum yang kuat. Sementara itu, hadits ahad meskipun bersifat zhanni, tetap memiliki otoritas dalam pembentukan hukum Islam jika memenuhi syarat kesahihan. Para ulama seperti al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah menekankan bahwa hadits ahad dapat dijadikan hujjah dalam hukum Islam, terutama dalam aspek fiqh dan akhlak.¹¹

Dalam fiqh, misalnya, mayoritas hukum yang diamalkan berasal dari hadits ahad. Imam al-Syafi’i menegaskan dalam al-Risalah bahwa hadits ahad yang sahih dapat menjadi dasar dalam menetapkan hukum-hukum syariat, meskipun tidak mencapai derajat mutawatir.¹² Oleh karena itu, pemahaman tentang kuantitas periwayat sangat penting dalam metodologi ilmu hadits.


Catatan Kaki

[1]                Ibn al-Salah, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 27.

[2]                Ibid., 29.

[3]                Jalaluddin al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 85.

[4]                Imam al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 1:19.

[5]                Imam al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih (Riyadh: Dar al-Salam, 2006), Bab 3, Hadis no. 109.

[6]                Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, 87.

[7]                Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar (Cairo: Dar al-Hadith, 2001), 33.

[8]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim (Cairo: Dar al-Taqwa, 2005), Hadis no. 16.

[9]                Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih, Bab 1, Hadis no. 15.

[10]             Ibid., Bab 1, Hadis no. 1.

[11]             Al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah (Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 122.

[12]             Imam al-Syafi’i, al-Risalah (Cairo: Dar al-Hadith, 2007), 459.


3.           Pembagian Hadits Berdasarkan Kualitas (Derajat Keabsahan)

3.1.       Definisi dan Parameter Penilaian Hadits

Dalam ilmu hadits, kualitas atau derajat keabsahan suatu hadits ditentukan berdasarkan penilaian terhadap sanad (rantai perawi) dan matan (isi hadits). Para ulama hadits telah menetapkan kriteria ketat dalam menentukan apakah suatu hadits dapat diterima sebagai hujjah dalam syariat atau tidak.¹

Menurut Ibn al-Salah dalam Muqaddimah-nya, kualitas hadits ditentukan oleh lima unsur utama:

1)                  Sanad bersambung (ittishal al-sanad), yaitu setiap perawi dalam sanad menerima hadits langsung dari gurunya tanpa ada perawi yang terputus.

2)                  Perawi bersifat adil (al-‘adalah), yaitu memiliki karakter moral yang baik, tidak fasik, dan memiliki integritas keagamaan yang kuat.

3)                  Perawi bersifat dhabith (al-dhabt), yaitu memiliki daya ingat yang kuat dan ketelitian dalam meriwayatkan hadits.

4)                  Hadits tidak memiliki keganjilan (syudzudz), yaitu tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat.

5)                  Hadits tidak memiliki cacat tersembunyi (‘illah) yang dapat merusak keabsahannya.²

Berdasarkan parameter di atas, hadits diklasifikasikan menjadi tiga kategori utama: Shahih, Hasan, dan Dhaif.

3.2.       Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kualitas

3.2.1.    Hadits Shahih

1)                  Definisi dan Karakteristik Hadits Shahih

Hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith, serta tidak mengandung syudzudz atau ‘illah. Hadits ini merupakan hadits dengan tingkat keabsahan tertinggi dan dapat dijadikan dasar hukum Islam tanpa keraguan.³

Ibn Hajar al-Asqalani dalam Nukhbat al-Fikar menyatakan bahwa hadits shahih memberikan faedah berupa ilmu yang kuat (ilmu yaqin), karena telah memenuhi semua syarat keabsahan secara ketat.⁴

2)                  Pembagian Hadits Shahih

·                     Shahih li Dzatihi: Hadits yang memenuhi seluruh kriteria shahih secara sempurna tanpa memerlukan penguatan dari hadits lain. Contoh hadits shahih li dzatihi:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

"Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya."⁵

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya dan memiliki sanad yang kuat.

·                     Shahih li Ghairihi: Hadits yang pada dasarnya tidak mencapai derajat shahih karena kelemahan ringan, tetapi menjadi shahih setelah diperkuat oleh jalur periwayatan lain. Contohnya adalah hadits-hadits yang diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan al-Tirmidzi yang memiliki beberapa jalur yang saling menguatkan.⁶

3.2.2.    Hadits Hasan

1)                  Definisi dan Karakteristik Hadits Hasan

Hadits hasan memiliki karakteristik yang sama dengan hadits shahih, kecuali bahwa tingkat kedhabitan perawinya sedikit lebih rendah. Imam al-Tirmidzi dalam Sunan-nya sering kali menyebut hadits tertentu sebagai hasan, yang berarti hadits tersebut dapat diterima tetapi tidak sekuat hadits shahih.⁷

Hadits hasan tetap dapat digunakan sebagai hujjah dalam hukum Islam, terutama dalam bidang fiqh dan akhlak, sebagaimana ditegaskan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah.⁸

2)                  Pembagian Hadits Hasan

·                     Hasan li Dzatihi:

Hadits yang memiliki sanad bersambung, perawi adil, dan tidak mengandung syudzudz atau ‘illah, tetapi dengan tingkat dhabith yang lebih rendah dibandingkan hadits shahih.

·                     Hasan li Ghairihi:

Hadits yang pada dasarnya dhaif tetapi menjadi hasan karena diperkuat oleh jalur periwayatan lain.

Contoh hadits hasan:

اَلْحَيَاءُ مِنَ الْإِيمَانِ

"Malu adalah bagian dari iman."⁹

Hadits ini diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan al-Tirmidzi dengan jalur yang saling menguatkan.

3.2.3.    Hadits Dhaif

1)                  Definisi dan Karakteristik Hadits Dhaif

Hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat hadits shahih atau hasan, baik karena sanadnya terputus, perawinya tidak adil atau tidak dhabith, atau mengandung syudzudz dan ‘illah. Imam al-Nawawi dalam Sharh Sahih Muslim menegaskan bahwa hadits dhaif tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah hukum kecuali dalam kondisi tertentu.¹⁰

2)                  Jenis-Jenis Hadits Dhaif

·                     Mursal: Hadits yang perawinya dari kalangan tabi’in langsung menyandarkan hadits kepada Nabi tanpa menyebut sahabat yang meriwayatkannya.

·                     Munqathi’: Hadits yang memiliki satu atau lebih perawi yang terputus di tengah sanadnya.

·                     Mu’dhal: Hadits yang kehilangan dua perawi atau lebih secara berturut-turut dalam sanadnya.

·                     Maqlub: Hadits yang mengalami perubahan dalam susunan sanad atau matannya.

·                     Maudu’: Hadits palsu yang dibuat oleh seseorang dan dinisbatkan kepada Nabi.¹¹

Hadits maudu’ adalah kategori yang paling lemah dan tidak boleh dijadikan dalil dalam Islam. Ibn al-Jawzi dalam al-Mawdu‘at telah mengumpulkan banyak hadits palsu yang dibuat oleh perawi yang tidak terpercaya.¹²

3.3.       Pendapat Ulama tentang Penggunaan Hadits Dhaif

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai penggunaan hadits dhaif:

1)                  Pendapat yang Membolehkan:

Beberapa ulama seperti Imam al-Nawawi dan Ibn Hajar al-Asqalani membolehkan penggunaan hadits dhaif dalam fadha’il al-a‘mal (keutamaan amal) selama tidak berkaitan dengan hukum atau akidah.¹³

2)                  Pendapat yang Melarang:

Ulama seperti Imam al-Bukhari dan Imam Muslim lebih ketat dalam menolak hadits dhaif, terutama dalam hukum dan akidah.¹⁴


Catatan Kaki

[1]                Ibn al-Salah, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 40.

[2]                Ibid., 42.

[3]                Jalaluddin al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 92.

[4]                Ibn Hajar al-Asqalani, Nukhbat al-Fikar (Cairo: Dar al-Hadith, 2001), 29.

[5]                Imam al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih (Riyadh: Dar al-Salam, 2006), Bab 1, Hadis no. 1.

[6]                Sunan Abu Dawud, Hadis no. 2340.

[7]                Imam al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 35.

[8]                Al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah (Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 150.

[9]                Sunan Abu Dawud, Hadis no. 4796.

[10]             Imam al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 2:14.

[11]             Ibid., 3:16.

[12]             Ibn al-Jawzi, al-Mawdu‘at (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 1:45.

[13]             Ibn Hajar al-Asqalani, al-Nukat (Cairo: Dar al-Hadith, 2007), 203.

[14]             Imam Muslim, Sahih Muslim (Cairo: Dar al-Taqwa, 2005), Hadis no. 5.


4.           Hubungan antara Kuantitas dan Kualitas dalam Hadits

4.1.       Kaitan antara Kuantitas dan Kualitas dalam Hadits

Ilmu hadits memiliki dua pendekatan utama dalam menilai validitas periwayatan, yaitu berdasarkan kuantitas (jumlah periwayat) dan kualitas (derajat keabsahan). Kuantitas hadits berkaitan dengan jumlah perawi dalam setiap tingkatan sanad, sedangkan kualitasnya ditentukan oleh kredibilitas perawi dan kesinambungan sanad.¹

Meskipun kedua aspek ini memiliki cakupan yang berbeda, keduanya saling berkaitan dalam menentukan validitas hadits. Hadits dengan jumlah perawi yang banyak tidak selalu memiliki kualitas yang tinggi, begitu juga hadits dengan jumlah perawi sedikit tidak otomatis menjadi lemah.² Oleh karena itu, diperlukan analisis komprehensif terhadap hubungan antara keduanya.

4.2.       Keterkaitan antara Hadits Mutawatir dan Shahih

4.2.1.    Hadits Mutawatir Selalu Shahih

Dalam ilmu hadits, hadits mutawatir berada pada tingkatan tertinggi karena jumlah perawinya yang banyak dan mustahil bersepakat untuk berdusta. Oleh sebab itu, para ulama sepakat bahwa semua hadits mutawatir secara otomatis memiliki kualitas shahih. Imam al-Nawawi dalam Sharh Sahih Muslim menegaskan bahwa hadits mutawatir memberikan faedah ilmu qath’i (kepastian), sehingga tidak memerlukan penelitian lebih lanjut terhadap sanadnya.³

Sebagai contoh, hadits tentang ancaman bagi orang yang berdusta atas nama Nabi Saw:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

"Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka."⁴

Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 sahabat dan terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, sehingga termasuk hadits mutawatir lafdzi yang berkualitas shahih.⁵

4.2.2.    Tidak Semua Hadits Shahih Itu Mutawatir

Sebaliknya, hadits shahih belum tentu mutawatir. Mayoritas hadits shahih yang terdapat dalam kitab-kitab induk seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim merupakan hadits ahad, yaitu hadits yang jumlah perawinya tidak mencapai tingkat mutawatir. Ibn Hajar al-Asqalani dalam Nuzhat al-Nazhar menjelaskan bahwa hadits shahih bisa bersumber dari hadits ahad yang sanadnya kuat, meskipun jumlah perawinya tidak banyak.⁶

Sebagai contoh, hadits:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

"Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya."⁷

Hadits ini hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat, yaitu Umar bin Khattab, sehingga tergolong hadits gharib dalam kategori kuantitas. Namun, karena sanadnya bersambung, perawinya terpercaya, dan tidak memiliki kecacatan, maka hadits ini dinilai shahih.⁸

4.3.       Hadits Ahad dan Variasi Kualitasnya

4.3.1.    Hadits Ahad Bisa Berkualitas Shahih, Hasan, atau Dhaif

Hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak mencapai mutawatir. Namun, kualitasnya bisa bervariasi tergantung pada kredibilitas perawi dan kesinambungan sanad. Hadits ahad dapat berstatus shahih, hasan, atau dhaif, tergantung pada kekuatan sanadnya.

·                     Hadits Ahad yang Shahih:

Jika sanadnya kuat, hadits ahad dapat mencapai derajat shahih dan dijadikan hujjah dalam hukum Islam. Contohnya adalah hadits tentang keutamaan shalat berjamaah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan terdapat dalam Shahih Muslim.⁹

·                     Hadits Ahad yang Hasan:

Jika sanadnya sedikit lebih lemah karena tingkat kedhabitan perawinya yang lebih rendah, hadits ahad bisa menjadi hasan. Imam al-Tirmidzi dalam Sunan-nya sering kali menyebut hadits sebagai hasan shahih, yang menunjukkan bahwa hadits tersebut berkualitas baik tetapi tidak sekuat hadits shahih.¹⁰

·                     Hadits Ahad yang Dhaif:

Jika sanadnya terputus atau perawinya lemah, hadits ahad bisa menjadi dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah dalam hukum.¹¹

4.4.       Contoh Kasus: Hadits Ahad dalam Kitab Hadits Induk

Para ulama hadits menyusun kitab-kitab hadits induk dengan mempertimbangkan kualitas hadits yang diriwayatkan. Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari hanya mencantumkan hadits yang memenuhi syarat shahih, meskipun sebagian besar merupakan hadits ahad.¹² Sebaliknya, kitab seperti Sunan Abu Dawud dan Sunan al-Tirmidzi mencantumkan hadits shahih, hasan, bahkan beberapa hadits dhaif dengan penjelasan statusnya.¹³

Sebagai contoh, hadits tentang tata cara mengangkat tangan dalam doa memiliki beberapa jalur periwayatan:

·                     Diriwayatkan oleh banyak sahabat dengan lafadz berbeda → Mutawatir Maknawi.

·                     Diriwayatkan oleh satu atau dua sahabat dalam beberapa jalur sanad → Ahad Shahih atau Hasan.

·                     Diriwayatkan dengan sanad yang lemah karena perawi yang tidak tsiqat → Ahad Dhaif.¹⁴

Ini menunjukkan bahwa satu tema hadits bisa memiliki berbagai derajat kualitas tergantung pada sanad dan jumlah perawinya.


Kesimpulan: Integrasi Kuantitas dan Kualitas dalam Menilai Hadits

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1)                  Hadits Mutawatir selalu shahih, tetapi tidak semua hadits shahih itu mutawatir.

2)                  Hadits Ahad bisa berkualitas shahih, hasan, atau dhaif, tergantung pada kekuatan sanad dan matannya.

3)                  Kitab-kitab hadits induk mengklasifikasikan hadits berdasarkan kualitasnya, dan para ulama hadits telah memberikan pedoman untuk menilai kesahihan hadits.

Dengan demikian, pemahaman yang mendalam terhadap hubungan antara kuantitas dan kualitas hadits sangat penting dalam kajian ilmu hadits. Ini membantu memastikan bahwa hadits yang digunakan dalam kehidupan beragama memiliki dasar yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.


Catatan Kaki

[1]                Ibn al-Salah, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 27.

[2]                Ibid., 29.

[3]                Imam al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 1:19.

[4]                Imam al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih (Riyadh: Dar al-Salam, 2006), Bab 3, Hadis no. 109.

[5]                Ibid.

[6]                Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar (Cairo: Dar al-Hadith, 2001), 33.

[7]                Imam al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih, Bab 1, Hadis no. 1.

[8]                Ibid.

[9]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim (Cairo: Dar al-Taqwa, 2005), Hadis no. 654.

[10]             Imam al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 35.

[11]             Al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah (Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 150.

[12]             Ibid.

[13]             Sunan Abu Dawud, Hadis no. 4796.

[14]             Imam al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, 3:16.


5.           Metodologi Penilaian Hadits menurut Ulama

5.1.       Pentingnya Metodologi dalam Penilaian Hadits

Metodologi penilaian hadits merupakan disiplin utama dalam ilmu hadits yang bertujuan untuk memastikan validitas dan keabsahan suatu riwayat. Ulama hadits mengembangkan berbagai metode yang sistematis untuk menilai sanad dan matan hadits guna memastikan bahwa hadits yang dijadikan hujjah benar-benar berasal dari Rasulullah Saw

Proses penilaian hadits melibatkan analisis terhadap sanad (rantai periwayatan) dan matan (isi hadits). Dua aspek ini menjadi dasar utama dalam menentukan apakah suatu hadits tergolong shahih, hasan, dhaif, atau bahkan maudu’ (palsu). Imam al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah menegaskan bahwa tanpa metodologi yang ketat, hadits yang lemah atau palsu dapat dengan mudah diterima dan digunakan secara tidak semestinya.²

5.2.       Kritik Sanad dan Matan dalam Penilaian Hadits

5.2.1.    Kritik Sanad (Naqd al-Sanad)

Sanad merupakan rantai perawi yang menyampaikan hadits dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga sampai kepada Rasulullah Saw. Ulama hadits menggunakan metode kritik sanad untuk menilai keabsahan suatu hadits dengan meneliti perawi dalam sanad tersebut.³

Beberapa aspek utama dalam kritik sanad adalah:

·                     Ittishal al-Sanad (Ketersambungan Sanad)

Hadits yang sanadnya bersambung (muttasil) lebih diutamakan dibandingkan hadits yang memiliki sanad terputus (munqathi’). Ibn al-Salah dalam Muqaddimah-nya menjelaskan bahwa sanad yang bersambung menandakan bahwa hadits tersebut tidak mengalami distorsi selama proses periwayatan.⁴

·                     ‘Adalah al-Rawi (Integritas Perawi)

Setiap perawi hadits harus memiliki sifat adil, yaitu seorang Muslim, baligh, berakal, tidak fasik, dan tidak terkenal sebagai pembohong. Imam al-Nawawi menekankan dalam Sharh Sahih Muslim bahwa keadilan perawi sangat berpengaruh dalam validitas suatu hadits.⁵

·                     Dhabt al-Rawi (Ketelitian Perawi)

Seorang perawi harus memiliki daya ingat yang kuat dan ketelitian dalam meriwayatkan hadits. Ibn Hajar al-Asqalani dalam Nuzhat al-Nazhar menegaskan bahwa perawi yang memiliki kedhabitan lemah akan menurunkan kualitas hadits menjadi hasan atau bahkan dhaif.⁶

·                     Bebas dari Tadlis (Penyamaran Periwayatan)

Tadlis adalah praktik di mana seorang perawi menyembunyikan kelemahan sanad dengan menggunakan lafadz periwayatan yang tidak jelas. Hadits yang diriwayatkan oleh mudallis (perawi yang melakukan tadlis) tidak diterima kecuali jika terdapat bukti bahwa ia mendengar hadits tersebut langsung dari gurunya.⁷

5.2.2.    Kritik Matan (Naqd al-Matan)

Selain sanad, matan hadits juga dikritisi untuk memastikan bahwa isinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang telah mapan. Imam al-Suyuti dalam Tadrib al-Rawi menyebutkan bahwa kritik matan sangat penting untuk menghindari masuknya hadits palsu ke dalam ajaran Islam.⁸

Aspek utama dalam kritik matan adalah:

·                     Tidak Bertentangan dengan Al-Qur’an atau Hadits Mutawatir

Jika suatu hadits bertentangan dengan ayat Al-Qur’an atau hadits yang lebih kuat, maka hadits tersebut perlu ditinjau kembali. Contohnya, hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan tertentu tetapi bertentangan dengan ajaran Islam yang sudah mapan sering kali dikategorikan sebagai hadits palsu oleh Ibn al-Jawzi dalam al-Mawdu‘at.⁹

·                     Tidak Mengandung Kejanggalan (Syudzudz)

Hadits yang bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat disebut sebagai syadz dan dinilai sebagai hadits lemah. Ibn Hajar al-Asqalani dalam al-Nukat menegaskan bahwa hadits yang memiliki syudzudz tidak dapat dijadikan hujjah dalam hukum Islam.¹⁰

·                     Tidak Mengandung Cacat (‘Illah)

‘Illah dalam hadits adalah cacat tersembunyi yang dapat merusak keabsahan hadits. Contohnya adalah perubahan dalam susunan sanad atau matan yang tidak sesuai dengan riwayat yang lebih sahih.¹¹

5.3.       Komparasi Metode Penilaian Hadits antara Ulama Klasik dan Kontemporer

Dalam sejarah ilmu hadits, terdapat berbagai metode penilaian hadits yang berkembang dari era klasik hingga kontemporer.

5.3.1.    Metode Klasik: Pendekatan Tradisional

Ulama hadits klasik seperti Imam al-Bukhari, Muslim, al-Daraqutni, dan al-Tirmidzi menggunakan pendekatan verifikasi sanad secara langsung dengan bertemu dan meneliti perawi hadits. Imam al-Bukhari, misalnya, tidak mencantumkan suatu hadits dalam Shahih-nya kecuali setelah memastikan bahwa semua perawinya terpercaya dan memiliki sanad yang bersambung.¹²

5.3.2.    Metode Kontemporer: Pendekatan Ilmiah

Ulama kontemporer seperti Muhammad Nasiruddin al-Albani menerapkan pendekatan ilmiah dengan menganalisis ulang sanad dan matan hadits menggunakan metodologi kritik hadits klasik. Dalam karyanya Silsilah al-Ahadits al-Dha‘ifah wa al-Mawdu‘ah, al-Albani mengklasifikasikan hadits berdasarkan penelitian ulang terhadap sanadnya, sehingga banyak hadits yang sebelumnya dianggap shahih dinilai ulang sebagai dhaif.¹³


Kesimpulan: Integrasi Metodologi dalam Menilai Hadits

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1)                  Metodologi penilaian hadits melibatkan analisis sanad dan matan untuk menentukan keabsahan hadits.

2)                  Ulama hadits klasik mengandalkan investigasi langsung, sedangkan ulama kontemporer memanfaatkan analisis ulang berdasarkan sumber terdokumentasi.

3)                  Kritik sanad dan matan saling melengkapi, sehingga tidak cukup hanya mengandalkan satu aspek dalam menilai keabsahan hadits.

Dengan demikian, pendekatan yang sistematis dan ketat dalam menilai hadits sangat penting untuk menjaga kemurnian ajaran Islam.


Catatan Kaki

[1]                Ibn al-Salah, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 50.

[2]                Al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah (Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 210.

[3]                Jalaluddin al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 102.

[4]                Ibn al-Salah, Muqaddimah Ibn al-Salah, 55.

[5]                Imam al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 1:24.

[6]                Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar (Cairo: Dar al-Hadith, 2001), 40.

[7]                Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, 105.

[8]                Ibid., 112.

[9]                Ibn al-Jawzi, al-Mawdu‘at (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 1:67.

[10]             Ibn Hajar al-Asqalani, al-Nukat (Cairo: Dar al-Hadith, 2007), 204.

[11]             Ibid., 210.

[12]             Imam al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih (Riyadh: Dar al-Salam, 2006), Bab 1, Hadis no. 1.

[13]             Muhammad Nasiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahadits al-Dha‘ifah wa al-Mawdu‘ah (Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif, 1992), 3:85.


6.           Kesimpulan dan Penutup

6.1.       Ringkasan Pembahasan

Ilmu hadits merupakan cabang ilmu Islam yang sangat penting dalam menjaga otentisitas ajaran Nabi Muhammad Saw. Salah satu aspek utama dalam kajian ilmu hadits adalah klasifikasi hadits berdasarkan kuantitas (jumlah periwayat) dan kualitas (derajat keabsahan).

Dalam aspek kuantitas, hadits terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi dalam setiap tingkatan sanad sehingga mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. Imam al-Nawawi dalam Sharh Sahih Muslim menegaskan bahwa hadits mutawatir memberikan faedah ilmu yang qath’i (pasti).¹ Sementara itu, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak mencapai derajat mutawatir, dan terbagi menjadi mashhur, aziz, dan gharib, dengan tingkat keabsahan yang berbeda-beda tergantung pada sanad dan matannya.²

Dalam aspek kualitas, hadits diklasifikasikan menjadi shahih, hasan, dan dhaif. Hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, perawinya adil dan dhabith, serta bebas dari syudzudz dan ‘illah.³ Hadits hasan mirip dengan hadits shahih tetapi memiliki kelemahan kecil dalam tingkat kedhabitan perawinya.⁴ Sedangkan hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi kriteria shahih dan hasan karena kelemahan dalam sanad atau matannya, dan dapat dikategorikan lebih lanjut menjadi mursal, munqathi’, mu’dhal, dan bahkan maudu’ (palsu).⁵

Dalam analisis hubungan antara kuantitas dan kualitas hadits, ditemukan bahwa meskipun hadits mutawatir selalu shahih, tidak semua hadits shahih itu mutawatir. Mayoritas hadits yang terdapat dalam kitab hadits induk seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim adalah hadits ahad, tetapi tetap memiliki tingkat keabsahan yang tinggi.⁶ Oleh karena itu, pemahaman terhadap hubungan ini sangat penting untuk menentukan sejauh mana sebuah hadits dapat dijadikan sebagai hujjah dalam Islam.

Dari perspektif metodologi penilaian hadits, para ulama telah mengembangkan metode kritik sanad dan matan untuk menilai validitas sebuah hadits. Ibn al-Salah dalam Muqaddimah-nya menjelaskan bahwa penilaian hadits harus didasarkan pada kesinambungan sanad, kredibilitas perawi, serta kesesuaian matan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang telah mapan.⁷ Ulama hadits klasik seperti Imam al-Bukhari dan Imam Muslim menggunakan metode verifikasi langsung dengan bertemu perawi dan memastikan keakuratan sanad. Sementara itu, ulama kontemporer seperti al-Albani melakukan analisis ulang terhadap sanad dan matan berdasarkan kajian tekstual terhadap kitab-kitab hadits.⁸

6.2.       Relevansi Ilmu Hadits di Era Kontemporer

Pemahaman tentang ilmu hadits tetap relevan hingga saat ini, terutama dalam menghadapi tantangan modern seperti penyebaran hadits palsu di media sosial dan penggunaan hadits tanpa analisis kritis. Ibn al-Jawzi dalam al-Mawdu‘at menekankan bahwa penyebaran hadits palsu dapat menyebabkan distorsi dalam pemahaman ajaran Islam.⁹ Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk memiliki literasi hadits yang baik dan mengacu pada kitab-kitab hadits yang telah dikaji oleh ulama terpercaya.

Dalam dunia akademik, kajian hadits terus berkembang, termasuk dalam studi kritik hadits digital yang memanfaatkan teknologi untuk meneliti sanad dan matan hadits. Penelitian tentang hadits dalam bidang big data dan kecerdasan buatan sedang berkembang untuk membantu mengidentifikasi hadits yang memiliki jalur sanad yang kuat atau lemah berdasarkan data historis.¹⁰ Dengan demikian, ilmu hadits tidak hanya berperan dalam menjaga keaslian ajaran Islam, tetapi juga memiliki potensi besar untuk terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.

6.3.       Ajakan untuk Memperdalam Studi Ilmu Hadits

Sebagai umat Islam, penting bagi kita untuk terus mendalami ilmu hadits agar tidak mudah terpengaruh oleh hadits-hadits lemah atau palsu yang dapat mengaburkan pemahaman agama. Kajian terhadap kitab-kitab ulumul hadits klasik seperti Muqaddimah Ibn al-Salah, Tadrib al-Rawi karya al-Suyuti, serta kitab hadits induk seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan Abu Dawud menjadi rujukan utama dalam memahami ilmu hadits secara lebih mendalam.¹¹

Para ulama telah berusaha keras dalam menjaga keaslian hadits, dan tugas kita sebagai umat Islam adalah terus menghidupkan tradisi ilmiah ini. Imam al-Syafi’i dalam al-Risalah menegaskan bahwa pemahaman yang mendalam terhadap hadits adalah bagian dari keilmuan yang wajib dikembangkan oleh setiap generasi Muslim.¹² Dengan memahami prinsip-prinsip ilmu hadits, kita dapat lebih berhati-hati dalam menerima dan mengamalkan hadits dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai penutup, kajian ini menunjukkan bahwa ilmu hadits adalah disiplin ilmu yang sangat penting dalam Islam. Dengan memahami pembagian hadits berdasarkan kuantitas dan kualitas, serta metodologi penilaian yang digunakan oleh para ulama, kita dapat lebih selektif dalam menerima dan mengamalkan hadits. Semoga kajian ini bermanfaat dalam memperkokoh keimanan dan pemahaman kita terhadap ajaran Rasulullah Saw.


Catatan Kaki

[1]                Imam al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 1:19.

[2]                Ibn al-Salah, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 35.

[3]                Jalaluddin al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 92.

[4]                Imam al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 38.

[5]                Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar (Cairo: Dar al-Hadith, 2001), 45.

[6]                Imam Muslim, Sahih Muslim (Cairo: Dar al-Taqwa, 2005), Hadis no. 5.

[7]                Ibn al-Salah, Muqaddimah Ibn al-Salah, 57.

[8]                Muhammad Nasiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahadits al-Dha‘ifah wa al-Mawdu‘ah (Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif, 1992), 3:102.

[9]                Ibn al-Jawzi, al-Mawdu‘at (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 1:90.

[10]             Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2009), 155.

[11]             Al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah (Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 215.

[12]             Imam al-Syafi’i, al-Risalah (Cairo: Dar al-Hadith, 2007), 402.


Daftar Pustaka

Kitab Klasik

·                     Al-Baghdadi, Al-Khathib. (1986). Al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah. Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

·                     Al-Bukhari, Imam. (2006). Al-Jami’ al-Shahih. Riyadh: Dar al-Salam.

·                     Al-Jawzi, Ibn. (2001). Al-Mawdu‘at. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

·                     Al-Nawawi, Imam. (2005). Sharh Sahih Muslim. Cairo: Dar al-Hadith.

·                     Al-Suyuti, Jalaluddin. (1993). Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

·                     Al-Syafi’i, Imam. (2007). Al-Risalah. Cairo: Dar al-Hadith.

·                     Al-Tirmidzi, Imam. (2005). Sunan al-Tirmidzi. Cairo: Dar al-Hadith.

·                     Al-Albani, Muhammad Nasiruddin. (1992). Silsilah al-Ahadits al-Dha‘ifah wa al-Mawdu‘ah. Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif.

·                     Hajar al-Asqalani, Ibn. (2001). Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar. Cairo: Dar al-Hadith.

·                     Hajar al-Asqalani, Ibn. (2007). Al-Nukat. Cairo: Dar al-Hadith.

·                     Ibn al-Salah. (1986). Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

·                     Muslim, Imam. (2005). Sahih Muslim. Cairo: Dar al-Taqwa.

Buku Modern tentang Hadits

·                     Azami, M. M. (2009). Studies in Hadith Methodology and Literature. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar