Adab dan Akhlak dalam Perspektif Filsafat
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Adab dan akhlak adalah dua konsep fundamental dalam
pembentukan karakter manusia yang berperan penting dalam menciptakan tatanan
sosial yang harmonis. Secara umum, adab merujuk pada tata krama atau kesopanan
yang tercermin dalam perilaku sehari-hari, sementara akhlak berkaitan dengan
kualitas moral dan nilai-nilai intrinsik seseorang. Dalam konteks filsafat,
adab dan akhlak menjadi bagian integral dari etika, cabang filsafat yang
mempelajari prinsip-prinsip moralitas dan perilaku manusia.
Pandangan filsafat terhadap adab dan akhlak
memberikan pendekatan yang unik, baik dari segi teoritis maupun aplikatif.
Misalnya, Plato dalam The Republic menggambarkan pentingnya keadilan
sebagai salah satu pilar utama moralitas, yang selaras dengan adab manusia
dalam kehidupan sosial.1 Dalam filsafat Islam, Al-Ghazali menekankan
bahwa akhlak yang baik adalah manifestasi dari hubungan manusia dengan Tuhan,
dirinya sendiri, dan sesama.2 Kedua perspektif ini menunjukkan
bagaimana adab dan akhlak melintasi batas budaya dan agama untuk menjadi
nilai-nilai universal.
Di era modern, kemajuan teknologi dan globalisasi
membawa tantangan baru terhadap penerapan adab dan akhlak. Fenomena seperti
polarisasi di media sosial, penurunan rasa hormat dalam interaksi sehari-hari,
dan individualisme ekstrem menuntut pendekatan baru dalam memahami dan
mengimplementasikan nilai-nilai ini.3 Oleh karena itu, kajian
komprehensif yang mengintegrasikan pandangan filsafat klasik, Islam, dan modern
menjadi semakin relevan untuk menjawab kebutuhan zaman.
1.2. Rumusan Masalah
Artikel ini mengajukan beberapa pertanyaan
mendasar:
·
Bagaimana filsafat memandang konsep adab dan akhlak?
·
Apa saja persamaan dan perbedaan pendekatan filsafat klasik, Islam, dan
modern terhadap adab dan akhlak?
·
Bagaimana relevansi adab dan akhlak dalam menjawab tantangan era digital
dan globalisasi?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan utama dari pembahasan ini adalah memberikan
gambaran mendalam tentang konsep adab dan akhlak dari berbagai perspektif
filsafat serta menjelaskan pentingnya nilai-nilai ini dalam membangun individu
dan masyarakat. Dengan demikian, artikel ini diharapkan dapat:
1)
Menyediakan wawasan yang mendalam tentang pandangan filsafat terhadap
adab dan akhlak.
2)
Menawarkan analisis relevansi nilai-nilai tersebut dalam menghadapi
tantangan etis era modern.
3)
Memberikan rekomendasi praktis untuk mengintegrasikan adab dan akhlak
dalam pendidikan dan kehidupan sosial.
Catatan Kaki:
[1]
Plato, The Republic, trans. Benjamin Jowett (New York: The Modern
Library, 1941), Book IV.
[2]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1997), vol. 3, p. 17.
[3]
Manuel Castells, The Internet Galaxy: Reflections on the Internet,
Business, and Society (Oxford: Oxford University Press, 2001), p. 23.
2.
Konsep
Dasar Adab dan Akhlak
2.1. Definisi Adab dan Akhlak
Adab dan akhlak sering kali digunakan secara
bergantian, namun keduanya memiliki cakupan makna yang berbeda. Adab
berasal dari bahasa Arab adab yang berarti kesopanan, tata krama, atau
etiket. Dalam tradisi Islam, adab meliputi perilaku yang menunjukkan penghormatan
terhadap orang lain, lingkungan, dan diri sendiri, yang mencerminkan keimanan
seseorang.1 Sementara itu, akhlak berasal dari kata khuluq
yang berarti karakter atau sifat bawaan yang menentukan tindakan seseorang,
baik atau buruk, berdasarkan panduan moral dan agama.2
Dari perspektif filsafat, akhlak terkait erat
dengan etika, yang merupakan studi tentang prinsip-prinsip moralitas.
Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics, mendefinisikan kebajikan moral
sebagai kebiasaan yang baik yang diperoleh melalui praktik berulang, yang
selaras dengan konsep akhlak sebagai pembentukan karakter.3 Dalam
Islam, Al-Ghazali mengemukakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa yang secara spontan menghasilkan tindakan yang baik tanpa perlu berpikir
panjang.4
2.2. Perbedaan dan Hubungan antara Adab dan Akhlak
Meskipun berbeda, adab dan akhlak saling
melengkapi. Adab lebih berfokus pada ekspresi lahiriah berupa perilaku dan tata
krama dalam hubungan sosial, sedangkan akhlak berakar pada nilai-nilai batiniah
yang mendasari tindakan seseorang. Sebagai contoh, seseorang yang beradab akan
menunjukkan penghormatan terhadap orang tua, sementara akhlaknya tercermin
dalam ketulusan yang mendasari tindakan tersebut.5
Dalam filsafat, hubungan ini dapat dilihat dalam
pandangan Kant tentang moralitas. Menurut Kant, tindakan bermoral tidak hanya
ditentukan oleh kepatuhan pada aturan sosial (adab), tetapi juga oleh maksud
dan motivasi di balik tindakan tersebut (akhlak).6 Konsep ini
paralel dengan pandangan Islam yang menempatkan keikhlasan sebagai inti dari
tindakan berakhlak.7
2.3. Dimensi Konseptual Adab dan Akhlak
Adab dan akhlak tidak hanya relevan dalam hubungan
interpersonal tetapi juga memiliki dimensi spiritual dan sosial.
1)
Dimensi Spiritual:
Dalam Islam,
akhlak dipandang sebagai cerminan iman seseorang. Nabi Muhammad Saw bersabda, "Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia."8 Adab,
sebagai ekstensi akhlak, menunjukkan tingkat kedewasaan spiritual melalui
perilaku yang menghormati hak-hak Allah dan makhluk-Nya.
2)
Dimensi Sosial:
Adab dan
akhlak memainkan peran penting dalam menciptakan harmoni sosial. Aristoteles
menyebutkan bahwa kebajikan moral tidak hanya bermanfaat bagi individu tetapi
juga bagi masyarakat.9 Dalam Islam, konsep ukhuwwah
(persaudaraan) menggambarkan pentingnya adab dan akhlak dalam memperkuat
solidaritas sosial.10
3)
Dimensi Pendidikan:
Pendidikan
adalah sarana utama dalam menanamkan adab dan akhlak. Dalam filsafat, Plato
menekankan pentingnya pendidikan moral dalam The Republic, di mana
karakter individu dibentuk melalui kebiasaan dan pembelajaran yang terarah.11
Dalam Islam, pendidikan akhlak dikenal sebagai tarbiyah, yang menanamkan
nilai-nilai kebaikan sejak dini.12
Catatan Kaki:
[1]
Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1985), p.
39.
[2]
Raghib al-Isfahani, Mufradat Alfaz al-Quran (Beirut: Dar
al-Qalam, 2001), p. 293.
[3]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W.D. Ross (Oxford: Oxford
University Press, 1980), Book II.
[4]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1997), vol. 3, p. 17.
[5]
Yusuf al-Qaradawi, Morality and Ethics in Islam (Cairo: Islamic
Book Trust, 1995), p. 22.
[6]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), p. 14.
[7]
Muhammad bin Salih al-Uthaymeen, Sharh al-Arba'in al-Nawawi
(Riyadh: Dar al-Watan, 2004), p. 36.
[8]
Hadis Riwayat Ahmad, no. 8729.
[9]
Aristotle, Nicomachean Ethics, Book X.
[10]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton:
Princeton University Press, 1967), p. 198.
[11]
Plato, The Republic, trans. Benjamin Jowett (New York: The Modern
Library, 1941), Book VII.
[12]
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Analisis Psikologi dan
Pendidikan (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1995), p. 98.
3.
Pandangan Filsafat tentang Adab dan Akhlak
3.1. Pandangan Filsafat Klasik
Filsafat klasik memberikan dasar yang kokoh dalam
memahami adab dan akhlak melalui konsep-konsep etika dan moralitas. Socrates,
salah satu pionir etika, menekankan bahwa kebajikan (virtue) adalah
pengetahuan. Menurutnya, seseorang yang mengetahui apa yang baik pasti akan
melakukan kebaikan. Pemahaman ini menempatkan akhlak sebagai hasil dari
pemikiran rasional yang mendalam.1
Plato, murid Socrates, dalam The Republic, memandang keadilan sebagai
prinsip utama moralitas yang menciptakan harmoni dalam individu dan masyarakat.
Ia juga menjelaskan empat kebajikan utama (cardinal virtues):
kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, dan keadilan, yang semuanya
berakar pada pembentukan karakter yang baik.2
Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics, memperluas diskusi tentang akhlak
dengan konsep eudaimonia (kebahagiaan sejati) sebagai tujuan akhir
kehidupan manusia. Ia menekankan bahwa kebajikan adalah kebiasaan yang baik
yang diperoleh melalui praktik berulang dan berada di antara dua ekstrem
(prinsip golden mean). Misalnya, keberanian adalah jalan tengah antara
pengecut dan nekat.3
3.2. Pandangan Filsafat Islam
Dalam filsafat Islam, adab dan akhlak menjadi tema
sentral yang mengintegrasikan prinsip-prinsip moralitas dengan dimensi
spiritual. Al-Farabi mengaitkan kebajikan moral dengan masyarakat ideal
(al-Madina al-Fadhilah), di mana adab dan akhlak setiap individu
berkontribusi pada kesejahteraan kolektif. Ia berpendapat bahwa pendidikan
moral adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang harmonis.4
Ibn Sina (Avicenna) memandang akhlak sebagai pembentukan karakter yang
didasarkan pada harmoni antara akal, jiwa, dan nafsu. Dalam Kitab al-Najat,
ia menjelaskan bahwa keseimbangan ini menghasilkan perilaku yang baik, sedangkan
ketidakseimbangan menghasilkan keburukan.5
Al-Ghazali, dalam Ihya Ulum al-Din, menekankan hubungan antara akhlak
dengan iman. Ia mendefinisikan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa
yang mendorong seseorang untuk bertindak secara spontan menuju kebaikan atau
keburukan.6 Al-Ghazali juga menyoroti pentingnya mujahadah
(upaya spiritual) untuk membersihkan hati dan membentuk akhlak mulia.
3.3. Pandangan Filsafat Modern
Filsafat modern menawarkan perspektif baru tentang
adab dan akhlak yang didasarkan pada prinsip-prinsip rasionalitas dan
utilitarianisme. Immanuel Kant, dalam Groundwork for the Metaphysics
of Morals, memperkenalkan konsep imperatif kategoris, yaitu prinsip
moral universal yang tidak bergantung pada kondisi atau tujuan tertentu.
Menurut Kant, tindakan yang bermoral adalah tindakan yang didasarkan pada
kewajiban dan bukan pada kepentingan pribadi.7
Sebaliknya, John Stuart Mill, dalam Utilitarianism,
berpendapat bahwa moralitas ditentukan oleh konsekuensi dari tindakan, di mana
tindakan yang baik adalah yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah
orang terbanyak. Perspektif ini memberikan perhatian pada dampak sosial dari
adab dan akhlak.8
3.4. Komparasi dan Integrasi
Meskipun ada perbedaan antara filsafat klasik,
Islam, dan modern, semuanya menekankan pentingnya akhlak dalam membangun
individu dan masyarakat. Dalam filsafat klasik, fokusnya adalah pada
pembentukan karakter melalui kebiasaan yang baik. Filsafat Islam
mengintegrasikan aspek spiritual dan etika, sementara filsafat modern lebih
menekankan rasionalitas dan manfaat sosial. Pendekatan ini dapat saling
melengkapi dalam memahami adab dan akhlak sebagai nilai-nilai universal.
Catatan Kaki:
[1]
Xenophon, Memorabilia, trans. Amy L. Bonnette (Ithaca: Cornell
University Press, 1994), Book IV, Chapter 6.
[2]
Plato, The Republic, trans. Benjamin Jowett (New York: The Modern
Library, 1941), Book IV.
[3]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W.D. Ross (Oxford: Oxford
University Press, 1980), Book II.
[4]
Al-Farabi, Ara Ahl al-Madina al-Fadhila (Beirut: Dar al-Mashriq,
1991), p. 22.
[5]
Ibn Sina, Kitab al-Najat, trans. Fazlur Rahman (Chicago:
University of Chicago Press, 1952), p. 150.
[6]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1997), vol. 3, p. 15.
[7]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), p. 17.
[8]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher (Indianapolis:
Hackett Publishing Company, 2001), p. 9.
4.
Dimensi
Adab dan Akhlak dalam Kehidupan
4.1. Adab dan Akhlak dalam Hubungan Individu
Adab dan akhlak berperan penting dalam pembentukan
karakter individu. Dalam pandangan filsafat, Aristoteles menyatakan bahwa
kebajikan moral (moral virtue) adalah hasil dari kebiasaan yang baik
yang dibentuk melalui pengulangan tindakan.1 Kebiasaan ini
menciptakan integritas pribadi yang menjadi dasar kepercayaan diri dan rasa
tanggung jawab.
Dalam tradisi Islam, adab terhadap diri sendiri
mencakup menjaga kebersihan, mengontrol hawa nafsu, dan memelihara hati dari
sifat-sifat tercela seperti iri dan dengki. Al-Ghazali menjelaskan bahwa
pengendalian diri (mujahadah) adalah langkah penting dalam membentuk
akhlak mulia, yang melibatkan upaya terus-menerus untuk menyelaraskan perilaku
dengan nilai-nilai keimanan.2
Relevansi adab dan akhlak dalam hubungan individu
terlihat dalam bagaimana seseorang mengelola emosi, menjaga tutur kata, dan
berperilaku jujur. Misalnya, dalam konteks modern, etika pribadi juga
melibatkan tanggung jawab terhadap informasi di media sosial, seperti
menyebarkan berita yang benar dan tidak memprovokasi konflik.3
4.2. Adab dan Akhlak dalam Hubungan Sosial
Adab dan akhlak merupakan elemen fundamental dalam
menciptakan harmoni sosial. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menegaskan
bahwa masyarakat yang kuat dibangun di atas nilai-nilai solidaritas (asabiyyah)
dan saling menghormati.4 Dalam konteks ini, adab mencakup sopan
santun, toleransi, dan penghormatan terhadap keberagaman, sedangkan akhlak
mencakup kejujuran, keadilan, dan empati.
Pandangan ini selaras dengan konsep etika sosial
John Rawls dalam A Theory of Justice, yang menekankan pentingnya
keadilan sebagai landasan moral untuk menjaga hubungan antarindividu dalam
masyarakat.5 Dalam Islam, nilai ukhuwwah (persaudaraan)
mengajarkan pentingnya solidaritas sosial, yang tercermin dalam perilaku seperti
membantu tetangga, menghormati orang tua, dan berbagi dengan yang membutuhkan.6
Di era modern, penerapan adab dan akhlak menghadapi
tantangan besar seperti polarisasi sosial, materialisme, dan hedonisme. Namun,
melalui penguatan pendidikan moral dan pengembangan kesadaran kolektif,
nilai-nilai ini dapat terus dijaga.
4.3. Adab dan Akhlak dalam Pendidikan
Pendidikan adalah salah satu instrumen paling
efektif untuk menanamkan adab dan akhlak. Plato dalam The Republic menekankan
bahwa pendidikan moral adalah kunci untuk membentuk individu yang memiliki
integritas dan mampu berkontribusi pada masyarakat yang ideal.7
Dalam Islam, pendidikan akhlak atau tarbiyah
menempati posisi sentral dalam pembentukan generasi yang berkarakter. Al-Attas
dalam bukunya Prolegomena to the Metaphysics of Islam menjelaskan bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan adab sebagai refleksi dari pemahaman
yang benar terhadap hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam semesta.8
Penerapan nilai-nilai adab dan akhlak dalam
pendidikan melibatkan pengajaran yang holistik, yang tidak hanya fokus pada
aspek intelektual, tetapi juga emosional dan spiritual. Misalnya, program
pendidikan karakter yang diterapkan di banyak sekolah modern bertujuan untuk
membangun disiplin diri, empati, dan rasa tanggung jawab pada peserta didik.9
Catatan Kaki:
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W.D. Ross (Oxford: Oxford
University Press, 1980), Book II.
[2]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1997), vol. 3, p. 19.
[3]
Manuel Castells, The Internet Galaxy: Reflections on the Internet,
Business, and Society (Oxford: Oxford University Press, 2001), p. 23.
[4]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton:
Princeton University Press, 1967), p. 98.
[5]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University
Press, 1971), p. 53.
[6]
Yusuf Al-Qaradawi, Morality and Ethics in Islam (Cairo: Islamic
Book Trust, 1995), p. 25.
[7]
Plato, The Republic, trans. Benjamin Jowett (New York: The Modern
Library, 1941), Book VII.
[8]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), p. 34.
[9]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), p. 45.
5.
Relevansi
Adab dan Akhlak dalam Era Modern
5.1. Tantangan Etis dalam Era Digital
Era modern, yang ditandai oleh kemajuan teknologi dan
globalisasi, menghadirkan tantangan baru bagi penerapan adab dan akhlak. Media
sosial sebagai salah satu produk teknologi telah mengubah cara manusia
berkomunikasi, namun sering kali mengaburkan batas-batas kesopanan dan etika.
Fenomena seperti ujaran kebencian, hoaks, dan polarisasi di dunia maya
menunjukkan penurunan adab dalam interaksi digital.1
Manuel Castells dalam The Internet Galaxy
menjelaskan bahwa ruang virtual telah menciptakan lingkungan di mana norma
sosial sering kali terabaikan karena anonimitas dan kurangnya akuntabilitas.2
Dalam konteks ini, nilai-nilai adab seperti kesantunan dan penghormatan
terhadap orang lain menjadi sangat penting untuk menjaga harmoni digital.
Selain itu, individualisme ekstrem yang
diperkuat oleh ideologi kapitalisme modern telah menggeser fokus manusia dari
nilai-nilai kolektif menuju kepentingan pribadi. Akibatnya, sifat-sifat seperti
empati, solidaritas, dan tanggung jawab sosial sering kali terabaikan.
Tantangan ini memerlukan revitalisasi nilai-nilai akhlak yang menekankan
keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat.3
5.2. Adab dan Akhlak sebagai Solusi Modern
Untuk menjawab tantangan era modern, adab dan
akhlak dapat menjadi solusi yang relevan dalam berbagai aspek kehidupan:
5.2.1. Interaksi Digital yang Etis
Etika digital menjadi kebutuhan mendesak dalam era
informasi. Immanuel Kant, dalam Groundwork for the Metaphysics of Morals,
menekankan pentingnya tindakan berdasarkan kewajiban moral yang universal, termasuk
dalam interaksi online.4 Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung
jawab, dan penghormatan terhadap privasi dapat membantu menciptakan ruang
digital yang lebih sehat.
5.2.2. Pendidikan Akhlak Berbasis Teknologi
Kemajuan teknologi dapat dimanfaatkan untuk
mengajarkan nilai-nilai adab dan akhlak. Misalnya, penggunaan aplikasi
pembelajaran berbasis nilai moral atau program virtual untuk mendidik generasi
muda tentang pentingnya etika dalam kehidupan sehari-hari. Thomas Lickona dalam
Educating for Character menekankan bahwa pendidikan karakter harus
beradaptasi dengan perkembangan zaman untuk tetap relevan.5
5.2.3. Penguatan Nilai Kebersamaan
Dalam masyarakat modern, nilai-nilai kolektif
seperti toleransi, keadilan, dan empati menjadi semakin penting. Al-Ghazali
dalam Ihya Ulum al-Din menekankan bahwa hubungan harmonis antarindividu
hanya dapat terwujud jika nilai-nilai akhlak seperti kejujuran dan saling
menghormati diterapkan secara konsisten.6 Nilai-nilai ini relevan
untuk menghadapi tantangan global seperti konflik sosial, perubahan iklim, dan
ketimpangan ekonomi.
5.3. Relevansi dalam Konteks Globalisasi
Globalisasi telah menciptakan dunia yang saling
terhubung, tetapi juga memunculkan konflik nilai antara budaya lokal dan budaya
global. Nilai-nilai adab dan akhlak dapat berfungsi sebagai jembatan untuk
menciptakan pemahaman lintas budaya. Konsep ethics of care yang
diperkenalkan oleh Carol Gilligan, misalnya, menunjukkan bahwa etika berbasis
empati dan perhatian terhadap orang lain dapat membantu memecahkan
masalah-masalah global.7
Dalam Islam, konsep rahmatan lil alamin
menegaskan relevansi adab dan akhlak dalam menciptakan perdamaian global.
Prinsip ini mengajarkan bahwa nilai-nilai Islam bersifat universal dan dapat diterapkan
untuk memajukan kesejahteraan umat manusia tanpa memandang perbedaan agama atau
budaya.8
5.4. Integrasi dengan Kebijakan Publik
Penerapan adab dan akhlak tidak hanya menjadi
tanggung jawab individu, tetapi juga memerlukan dukungan kebijakan publik.
Pemerintah dan lembaga pendidikan dapat memainkan peran penting dalam
mengintegrasikan nilai-nilai etis ke dalam kurikulum, regulasi, dan program
pembangunan. John Rawls, dalam A Theory of Justice, menekankan pentingnya
menciptakan institusi yang adil untuk memastikan penerapan prinsip-prinsip
moral dalam masyarakat.9
Catatan Kaki:
[1]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and
Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), p. 43.
[2]
Manuel Castells, The Internet Galaxy: Reflections on the Internet,
Business, and Society (Oxford: Oxford University Press, 2001), p. 123.
[3]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000),
p. 76.
[4]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), p. 17.
[5]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), p. 89.
[6]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1997), vol. 3, p. 22.
[7]
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and
Women’s Development (Cambridge: Harvard University Press, 1982), p. 19.
[8]
Yusuf Al-Qaradawi, Islamic Awakening Between Rejection and Extremism
(Herndon: IIIT, 1991), p. 45.
[9]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press,
1971), p. 253.
6.
Penutup
6.1. Kesimpulan
Kajian komprehensif mengenai adab dan akhlak dalam
perspektif filsafat menunjukkan bahwa nilai-nilai ini memiliki peran yang
sangat penting dalam membangun individu dan masyarakat yang berintegritas. Dari
perspektif filsafat klasik hingga modern, dan dari ajaran Islam hingga
pendekatan sekuler, adab dan akhlak selalu ditekankan sebagai landasan utama
moralitas.
Aristoteles, melalui konsep eudaimonia,
menekankan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui kebajikan moral
yang dipraktikkan secara konsisten.1 Dalam Islam, akhlak yang mulia
dipandang sebagai refleksi dari iman yang kokoh, sebagaimana ditegaskan oleh
Al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din bahwa akhlak yang baik merupakan hasil
dari perjuangan jiwa yang terus-menerus untuk mencapai keridhaan Allah.2
Di era modern, relevansi adab dan akhlak semakin
nyata ketika menghadapi tantangan global seperti polarisasi sosial,
individualisme, dan krisis etika digital. Nilai-nilai ini tidak hanya menjadi
solusi untuk menciptakan harmoni sosial, tetapi juga menawarkan kerangka moral
yang universal untuk menjawab tantangan zaman.3
6.2. Rekomendasi
Agar nilai-nilai adab dan akhlak dapat terus
relevan dan diterapkan secara efektif dalam kehidupan modern, beberapa langkah
strategis perlu dilakukan:
6.2.1. Revitalisasi Pendidikan Moral
Pendidikan yang berbasis nilai-nilai adab dan
akhlak harus menjadi prioritas di lembaga pendidikan. Hal ini sejalan dengan
pandangan Thomas Lickona dalam Educating for Character, yang menekankan pentingnya
pendidikan karakter untuk membangun generasi yang berintegritas.4
6.2.2. Penguatan Kebijakan Publik yang Berbasis Etika
Pemerintah perlu mengintegrasikan nilai-nilai etis
ke dalam regulasi dan kebijakan publik, seperti pengawasan terhadap konten digital
yang mempromosikan kesopanan dan penghormatan terhadap keberagaman.5
6.2.3. Penerapan Teknologi untuk Mendukung Nilai-Nilai
Etika
Kemajuan teknologi harus diarahkan untuk
mempromosikan nilai-nilai adab dan akhlak. Misalnya, aplikasi pendidikan berbasis
teknologi dapat digunakan untuk mengajarkan prinsip-prinsip moral kepada
generasi muda, sebagaimana diusulkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam
pendekatannya terhadap pendidikan Islam.6
6.2.4. Penguatan Peran Keluarga dan Komunitas
Keluarga dan komunitas adalah pilar utama dalam
menanamkan nilai-nilai adab dan akhlak. Sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Khaldun
dalam Muqaddimah, pembentukan karakter dimulai dari lingkungan keluarga
dan diperkuat oleh komunitas tempat individu berinteraksi.7
Catatan Kaki:
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W.D. Ross (Oxford: Oxford
University Press, 1980), Book X.
[2]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1997), vol. 3, p. 21.
[3]
Manuel Castells, The Internet Galaxy: Reflections on the Internet,
Business, and Society (Oxford: Oxford University Press, 2001), p. 123.
[4]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), p. 56.
[5]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University
Press, 1971), p. 253.
[6]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), p. 45.
[7]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton:
Princeton University Press, 1967), p. 129.
Daftar Pustaka
Buku
·
Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the metaphysics of Islam.
Kuala Lumpur: ISTAC.
·
Al-Ghazali, A. H. (1997). Ihya Ulum al-Din (Vol. 3). Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah.
·
Aristotle. (1980). Nicomachean ethics (W. D. Ross, Trans.).
Oxford: Oxford University Press.
·
Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Cambridge: Polity Press.
·
Castells, M. (2001). The internet galaxy: Reflections on the
internet, business, and society. Oxford: Oxford University Press.
·
Gilligan, C. (1982). In a different voice: Psychological theory and
women’s development. Cambridge: Harvard University Press.
·
Ibn Khaldun. (1967). Muqaddimah (F. Rosenthal, Trans.).
Princeton: Princeton University Press.
·
Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M.
Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
·
Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can
teach respect and responsibility. New York: Bantam Books.
·
Mill, J. S. (2001). Utilitarianism (G. Sher, Ed.). Indianapolis:
Hackett Publishing Company.
·
Plato. (1941). The republic (B. Jowett, Trans.). New York: The
Modern Library.
·
Rawls, J. (1971). A theory of justice. Cambridge: Harvard
University Press.
·
Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology
and less from each other. New York: Basic Books.
Artikel atau
Bab Buku
·
Lickona, T. (1991). Principles of character education. In Educating
for character: How our schools can teach respect and responsibility (pp.
45–89). New York: Bantam Books.
Lampiran: Daftar Buku dan Kitab yang Relevan dengan Tema Akhlak, Adab,
dan Etika.
A.
Kitab-Kitab
Akhlak Karya Ulama Klasik
1)
Ihya Ulum al-Din
o
Penulis: Imam Abu
Hamid Al-Ghazali (1058–1111 M)
o
Isi: Kitab
monumental yang membahas aspek spiritual dan akhlak dalam Islam, termasuk
panduan untuk membersihkan hati dan membentuk akhlak mulia.
2)
Adab al-Dunya wa al-Din
o
Penulis: Imam
Al-Mawardi (972–1058 M)
o
Isi: Panduan
tentang bagaimana mengintegrasikan akhlak mulia dalam kehidupan duniawi dan
agama.
3)
Bidayat al-Hidayah
o
Penulis: Imam Abu
Hamid Al-Ghazali (1058–1111 M)
o
Isi: Panduan
praktis untuk menjalani kehidupan dengan disiplin akhlak dan spiritualitas.
4)
Tahdhib al-Akhlaq
o
Penulis: Ibn
Miskawayh (932–1030 M)
o
Isi: Karya
filosofis yang membahas pembentukan karakter dan moralitas manusia.
5)
Al-Akhlaq wa al-Siyar fi Mudawat al-Nufus
o
Penulis: Ibn Hazm
(994–1064 M)
o
Isi: Pembahasan
mendalam tentang sifat manusia dan cara mengatasi kekurangan diri untuk
mencapai kesempurnaan akhlak.
B.
Kitab-Kitab
Tentang Adab
1)
Adab al-Mufti wa al-Mustafti
o
Penulis: Imam Ibn
al-Qayyim al-Jawziyyah (1292–1350 M)
o
Isi: Kitab yang
membahas adab dan etika seorang mufti serta cara berinteraksi dengan masyarakat
dalam proses fatwa.
2)
Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim
o
Penulis: Imam
An-Nawawi (1233–1277 M)
o
Isi: Panduan
tentang adab yang harus dimiliki oleh seorang guru dan murid dalam proses
pembelajaran.
3)
Kitab al-Adab al-Mufrad
o
Penulis: Imam
Al-Bukhari (810–870 M)
o
Isi: Kompilasi
hadis yang berfokus pada berbagai aspek adab dan etika dalam kehidupan
sehari-hari.
4)
Adab al-Suluk al-Murid
o
Penulis: Imam
Al-Harawi (1006–1089 M)
o
Isi: Panduan
tentang adab dalam perjalanan spiritual menuju Allah SWT.
5)
Al-Risalah al-Qushayriyyah
o
Penulis: Imam
Al-Qushayri (986–1074 M)
o
Isi: Kitab
tentang tasawuf yang mencakup panduan adab bagi para murid dalam hubungan
dengan Allah, guru, dan sesama.
C.
Buku
Tentang Etika Klasik dan Modern
1)
Nicomachean Ethics
o
Penulis: Aristotle
(384–322 SM)
o
Isi: Karya
fundamental tentang kebajikan dan etika dalam kehidupan individu dan sosial.
2)
The Republic
o
Penulis: Plato
(428/427–348/347 SM)
o
Isi: Diskusi
tentang keadilan dan bagaimana membangun masyarakat yang harmonis berdasarkan
prinsip etika.
3)
Groundwork for the Metaphysics of Morals
o
Penulis: Immanuel
Kant (1724–1804 M)
o
Isi: Buku
penting tentang etika deontologis yang menekankan prinsip moral universal.
4)
Utilitarianism
o
Penulis: John
Stuart Mill (1806–1873 M)
o
Isi: Pembahasan
tentang etika utilitarianisme, yang berfokus pada tindakan yang menghasilkan
kebahagiaan terbesar bagi banyak orang.
5)
Al-Akhlaq al-Kamilah
o
Penulis: Muhammad
Abdullah Draz (1894–1958 M)
o
Isi: Analisis
mendalam tentang konsep etika dalam Al-Quran dan hubungannya dengan moralitas
universal.
6)
Ethics: Inventing Right and Wrong
o
Penulis: J. L.
Mackie (1917–1981 M)
o
Isi: Kritik
terhadap teori etika tradisional dan pembahasan tentang relativisme moral.
D.
Referensi
Tambahan Tentang Pendidikan Karakter
2)
Educating for Character
o
Penulis: Thomas
Lickona (1937–sekarang)
o
Isi: Buku
panduan tentang pendidikan karakter yang relevan untuk era modern.
3)
Prolegomena to the Metaphysics of Islam
o
Penulis: Syed
Muhammad Naquib al-Attas (1931–sekarang)
o
Isi: Kajian
tentang pentingnya adab dalam pendidikan Islam untuk membentuk karakter
manusia.
4)
Al-Tarbiyah al-Akhlaqiyyah fi al-Islam
o
Penulis: Muhammad
Qutb (1919–2014 M)
o
Isi: Pendekatan
Islami dalam pendidikan akhlak untuk membentuk generasi berakhlak mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar