KAJIAN HADITS
Takhrij Hadits Dan Penjelasan Isi Kandungannya
Alihkan ke: HR Muslim dari Hakim bin Hizam tentang keutamaan memberi daripada menerima
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 11
(Sebelas)
Bab : Bab 1 - Sikap
Sederhana dan Santun
Tema Hadits : Hadits tentang Keutamaan
Memberi daripada Menerima
Abstrak
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim tentang keutamaan sedekah, keseimbangan
dalam nafkah, serta pentingnya sikap hidup sederhana dan santun memiliki nilai
yang mendalam dalam kehidupan sosial dan ekonomi umat Islam. Artikel ini
bertujuan untuk melakukan takhrij hadits guna menelusuri sumber-sumber
otoritatifnya, serta menganalisis kandungannya berdasarkan penjelasan ulama
dalam kitab-kitab syarah hadits, tafsir klasik, dan jurnal ilmiah Islam.
Penelitian ini mengungkap bahwa Islam mengajarkan keseimbangan dalam
bersedekah, di mana seseorang harus memastikan kecukupan bagi dirinya dan
keluarganya sebelum memberi kepada orang lain. Prinsip “tangan di atas lebih
baik daripada tangan di bawah” menegaskan bahwa Islam mendorong umatnya
untuk mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Selain itu, nilai
kesederhanaan (zuhud) dan merasa cukup (qana’ah) memiliki dampak
positif terhadap kesejahteraan mental, ekonomi, dan sosial. Studi dalam jurnal
ilmiah juga menunjukkan bahwa penerapan prinsip ini berkontribusi dalam
meningkatkan kesejahteraan individu dan stabilitas ekonomi masyarakat Muslim.
Dengan demikian, hadits ini bukan hanya berbicara tentang anjuran bersedekah,
tetapi juga membentuk karakter umat Islam agar memiliki keseimbangan dalam
aspek spiritual, sosial, dan ekonomi.
Kata Kunci: Takhrij
Hadits, Sedekah, Hidup Sederhana, Kesantunan, Islam, Kesejahteraan Ekonomi,
Etika Sosial.
PEMBAHASAN
HR Al-Bukhari dari Abu Hurairah tentang Keutamaan Memberi daripada Menerima
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Hadits merupakan
salah satu sumber utama dalam Islam setelah Al-Qur’an yang berfungsi sebagai
pedoman dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara benar. Di antara
sekian banyak hadits yang berkaitan dengan aspek sosial dan ekonomi dalam
kehidupan Muslim, hadits yang menegaskan
tentang keutamaan sedekah yang tidak menyebabkan kefakiran, tangan di atas
lebih baik daripada tangan di bawah, serta anjuran mendahulukan nafkah kepada
keluarga memiliki makna yang mendalam dalam membangun keseimbangan finansial
dan sikap hidup sederhana. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam Shahih
al-Bukhari, salah satu kitab hadits paling otoritatif dalam Islam
yang disusun oleh Imam al-Bukhari (w. 256 H).¹
Dalam kajian Islam
klasik, sedekah bukan sekadar amalan individual, tetapi juga memiliki dimensi
sosial dan ekonomi yang luas. Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan
bahwa konsep “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah” mengandung
makna bahwa memberi jauh lebih baik daripada menerima, yang menegaskan
pentingnya kemandirian ekonomi dalam
Islam.² Pemahaman ini selaras dengan ajaran Al-Qur’an, seperti dalam Surah
Al-Baqarah ayat 267 yang menganjurkan agar kaum Muslimin bersedekah dari harta
yang baik dan halal.³
1.2.
Urgensi Kajian Hadits tentang Sedekah, Hidup
Sederhana, dan Kesantunan
Hadits ini relevan
dalam konteks kehidupan modern, terutama dalam menghadapi tantangan ekonomi dan
sosial. Konsep sedekah dalam Islam tidak hanya sekadar memberikan harta, tetapi
juga harus dilakukan secara bijak agar tidak menimbulkan kemiskinan bagi pemberi.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menekankan bahwa
sedekah yang ideal adalah yang tetap menjaga keseimbangan antara kebutuhan diri
sendiri dan orang lain.⁴ Dengan demikian, Islam mengajarkan bahwa memberi tidak
berarti mengorbankan kebutuhan pokok sendiri atau keluarga, sebagaimana yang
ditegaskan dalam hadits: "ابدأ بمن تعول"
(Dahulukan orang yang menjadi tanggungan).
Selain itu, ajaran
hidup sederhana dalam Islam bertujuan untuk menghindari sifat konsumtif dan
mengutamakan keberkahan dalam harta. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath
al-Bari mengutip bahwa Rasulullah Saw sangat menekankan sikap
qana‘ah (merasa cukup) sebagai kunci kebahagiaan dunia dan akhirat.⁵ Konsep ini
diperkuat oleh berbagai penelitian dalam jurnal ekonomi Islam yang menunjukkan bahwa
hidup sederhana dan tidak berlebihan dapat meningkatkan kesejahteraan
psikologis dan sosial.⁶
1.3.
Tujuan Penulisan
Artikel ini
bertujuan untuk melakukan takhrij hadits secara mendalam dengan menelusuri
sumber-sumbernya dalam kitab-kitab hadits induk, mengkaji penjelasan ulama
dalam kitab-kitab syarah hadits, serta menganalisis kandungannya dalam
perspektif tafsir klasik dan penelitian ilmiah kontemporer. Dengan pendekatan yang komprehensif, diharapkan
artikel ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang makna sedekah,
hidup sederhana, dan kesantunan dalam Islam serta implikasinya dalam kehidupan
Muslim saat ini.
Catatan Kaki
[1]
Muḥammad ibn Ismāʿīl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār Ṭawq
al-Najāh, 1422 H), Kitab Zakat, Bab: Orang yang memulai memberi nafkah kepada
keluarga sebelum sedekah, no. 1426.
[2]
Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār
al-Maʿrifah, 1996), Jilid 7, hlm. 125.
[3]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2) ayat 267.
[4]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn (Beirut: Dār
al-Maʿrifah, 1980), Jilid 2, hlm. 148.
[5]
Aḥmad ibn ʿAlī ibn Ḥajar al-ʿAsqalānī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī
(Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1959), Jilid 3, hlm. 325.
[6]
Mohd. Nizam Barom, “The Concept of Moderation in Islamic Economics and
Finance,” International
Journal of Economics, Management and Accounting 24, no. 1 (2016):
87-114.
2.
Takhrij Hadits
2.1.
Identifikasi Hadits
Hadits yang menjadi
fokus kajian ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan terdapat dalam Shahih al-Bukhari. Teks lengkap
hadits tersebut adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ حَدَّثَنَا أَبُو
صَالِحٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ مَا تَرَكَ
غِنًى وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ
تَعُولُ تَقُولُ الْمَرْأَةُ إِمَّا أَنْ تُطْعِمَنِي وَإِمَّا أَنْ تُطَلِّقَنِي
وَيَقُولُ الْعَبْدُ أَطْعِمْنِي وَاسْتَعْمِلْنِي وَيَقُولُ الِابْنُ أَطْعِمْنِي
إِلَى مَنْ تَدَعُنِي فَقَالُوا يَا أَبَا هُرَيْرَةَ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا هَذَا مِنْ كِيسِ أَبِي
هُرَيْرَةَ.¹
Hadits ini berbicara
tentang keutamaan sedekah yang tidak mengakibatkan kemiskinan bagi pemberinya, anjuran untuk mendahulukan keluarga
dalam pemberian nafkah, serta prinsip bahwa tangan yang memberi lebih baik
daripada tangan yang menerima.
2.2.
Sumber Hadits
1)
Diriwayatkan dalam Kitab
Hadits Induk
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari
dalam Shahih al-Bukhari, tepatnya dalam Kitab Zakat, Bab: “Orang
yang memulai memberi nafkah kepada keluarga sebelum sedekah” dengan nomor
hadits 1426.²
2)
Penelusuran dalam Kitab
Hadits Lainnya
Hadits ini juga diriwayatkan dengan redaksi yang
serupa dalam beberapa kitab hadits lainnya, di antaranya:
Shahih Muslim, dalam Kitab
Zakat, Bab: “Keutamaan Memberi dan Mendahulukan Orang yang Menjadi
Tanggungan” (Hadits no. 1034).³
Sunan Abu Dawud, dalam Kitab
Zakat, Bab: “Mendahulukan Keluarga dalam Sedekah” (Hadits no. 1691).⁴
Sunan Tirmidzi, dalam Kitab
Zakat, Bab: “Keutamaan Sedekah kepada Keluarga” (Hadits no. 1965).⁵
3)
Analisis Perbedaan Redaksi
dalam Riwayat Hadits
Terdapat sedikit perbedaan dalam redaksi hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, di mana beliau menambahkan kata “أفضل الصدقة أن تصدق
وأنت صحيح شحيح” (Sedekah terbaik adalah yang dilakukan
saat seseorang sehat dan sedang merasa khawatir miskin).⁶ Variasi ini
memberikan makna tambahan bahwa sedekah yang paling utama dilakukan saat
seseorang masih dalam keadaan sehat dan membutuhkan, bukan saat sudah merasa
cukup atau tidak lagi membutuhkannya.
2.3.
Status Kualitas Hadits
1)
Keshahihan Hadits
Hadits ini telah dikategorikan sebagai
hadits shahih
oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Dengan demikian, hadits ini memiliki
tingkat keshahihan tertinggi (muttafaqun ‘alayh).⁷
Para perawi hadits ini adalah
tokoh-tokoh terpercaya (tsiqat) dalam ilmu hadits. Dalam
sanad hadits ini, terdapat perawi seperti:
·
Abu
Hurairah (radhiyallahu ‘anhu) sebagai sahabat yang paling
banyak meriwayatkan hadits.
·
Ats-Tsauri
(Sufyan bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri), seorang ahli hadits
dan fiqih terkenal dari kalangan tabi’in.
·
Al-A‘mash
(Sulayman bin Mihran al-Asadi), seorang perawi terkenal dengan
hafalan hadits yang kuat.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Tahdzib
at-Tahdzib menegaskan bahwa seluruh perawi dalam sanad hadits ini
dapat dipercaya.⁸
2)
Penjelasan Ulama tentang
Sanad Hadits
Imam an-Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim menyatakan bahwa hadits ini termasuk hadits yang kuat
dan memiliki banyak riwayat pendukung (mutawatir ma’nawi), yang
menunjukkan bahwa prinsip mendahulukan keluarga dalam sedekah adalah bagian
dari ajaran Islam yang kokoh.⁹
Imam Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jami’
al-‘Ulum wa al-Hikam menjelaskan bahwa bagian terakhir hadits ini
menunjukkan bahwa Abu Hurairah menambahkan komentarnya sendiri, sehingga harus
dibedakan antara perkataan Rasulullah Saw dan kesimpulan sahabat.¹⁰
2.4.
Kesimpulan Takhrij Hadits
Dari takhrij ini,
dapat disimpulkan bahwa hadits ini memiliki sanad yang kuat dan termasuk hadits
shahih
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta memiliki riwayat pendukung
dalam kitab-kitab hadits lainnya. Hadits ini menjadi dalil utama dalam
menjelaskan keutamaan sedekah yang seimbang, prinsip mendahulukan keluarga
dalam nafkah, serta dorongan untuk hidup mandiri dan sederhana.
Catatan Kaki
[1]
Muḥammad ibn Ismāʿīl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār Ṭawq
al-Najāh, 1422 H), Kitab Zakat, Bab: Orang yang memulai memberi nafkah kepada
keluarga sebelum sedekah, no. 1426.
[2]
Ibid.
[3]
Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār Ihyā’
al-Turāth al-‘Arabī, 1972), Kitab Zakat, Bab: Keutamaan Memberi dan
Mendahulukan Orang yang Menjadi Tanggungan, no. 1034.
[4]
Abū Dāwūd Sulaymān ibn al-Ash‘ath, Sunan Abī Dāwūd (Riyadh: Maktabah
al-Ma‘ārif, 2000), Kitab Zakat, Bab: Mendahulukan Keluarga dalam Sedekah, no.
1691.
[5]
Muḥammad ibn ‘Īsā al-Tirmidhī, Sunan al-Tirmidhī (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), Kitab Zakat, Bab: Keutamaan Sedekah kepada
Keluarga, no. 1965.
[6]
Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, no. 1034.
[7]
Ibid.
[8]
Aḥmad ibn ʿAlī ibn Ḥajar al-ʿAsqalānī, Tahdhīb al-Tahdhīb (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1984), Jilid 2, hlm. 289.
[9]
Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār
al-Maʿrifah, 1996), Jilid 7, hlm. 125.
[10]
Ibn Rajab al-Ḥanbalī, Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam (Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), hlm. 431.
3.
Sharh (Penjelasan) Hadits oleh Para Ulama
3.1.
Penjelasan Makna Hadits
Hadits ini
mengandung beberapa konsep penting dalam Islam, seperti keutamaan sedekah yang
tidak menyebabkan kefakiran, prinsip keseimbangan dalam nafkah, serta
perbandingan antara tangan di atas (pemberi) dan tangan di bawah (penerima). Beberapa poin utama dalam makna
hadits ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)
"أَفْضَلُ
الصَّدَقَةِ مَا تَرَكَ غِنًى"
(Sedekah terbaik adalah yang tidak
menjadikan pemberinya miskin)
Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
menjelaskan bahwa sedekah yang paling utama bukan sekadar jumlahnya yang banyak,
tetapi yang tetap mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan pemberi dan
penerima.¹ Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ
مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ
مَلُومًا مَحْسُورًا
"Dan janganlah engkau jadikan tanganmu
terbelenggu di lehermu (terlalu kikir), dan janganlah engkau terlalu
mengulurkannya (terlalu boros), agar engkau tidak menjadi tercela dan
menyesal." (QS. Al-Isra’ [17] ayat 29).²
2)
"وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى"
(Tangan di atas lebih baik daripada
tangan di bawah)
Dalam konteks ini, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa "tangan di atas"
adalah simbol dari kedermawanan dan kemandirian, sementara "tangan di
bawah" melambangkan ketergantungan dan meminta-minta.³ Hadits ini
menunjukkan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk berusaha menjadi orang yang
memberi, bukan hanya menerima, sebagaimana dijelaskan dalam hadits lain:
"الْمُؤْمِنُ القَوِيُّ
خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيفِ"
"Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan
lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah." (HR. Muslim, no.
2664).⁴
3)
"وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ"
(Dahulukan orang yang menjadi tanggungan)
Islam menekankan bahwa tanggung jawab utama seseorang
adalah memenuhi kebutuhan keluarganya sebelum bersedekah kepada orang lain.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyebutkan bahwa sedekah yang
diberikan kepada keluarga memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan sedekah
kepada orang lain, karena mengandung unsur tanggung jawab sosial dan kasih
sayang.⁵
4)
Bagian akhir hadits dan
komentar Abu Hurairah Di bagian akhir hadits, disebutkan bahwa Abu
Hurairah memberikan komentarnya sendiri:
"هَذَا مِنْ كِيسِ أَبِي
هُرَيْرَةَ"
(Ini dari kantong Abu Hurairah).
Imam Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jami’
al-‘Ulum wa al-Hikam menjelaskan bahwa frasa ini menunjukkan bahwa bagian
tersebut adalah kesimpulan pribadi Abu Hurairah berdasarkan pemahamannya
terhadap hadits Rasulullah Saw. Ini merupakan contoh bagaimana para sahabat
tidak hanya meriwayatkan hadits, tetapi juga memberikan interpretasi mereka
terhadapnya.⁶
3.2.
Pendapat Para Ulama tentang Hadits
Berbagai ulama
klasik dan kontemporer memberikan pandangan mereka mengenai hadits ini, di antaranya:
1)
Ibnu Hajar al-Asqalani
dalam Fath al-Bari
Beliau menjelaskan bahwa hadits ini memiliki
keterkaitan dengan konsep kerja keras dan menjauhi sikap meminta-minta. Islam
tidak menganjurkan kemiskinan yang disengaja, tetapi mendorong keseimbangan
dalam ekonomi individu dan sosial.⁷
2)
Imam an-Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim
Imam an-Nawawi menegaskan bahwa hadits ini
menekankan pentingnya nafkah kepada keluarga sebagai bentuk ibadah. Menafkahi
keluarga dengan niat yang ikhlas memiliki nilai sedekah yang lebih utama
dibandingkan memberi kepada orang lain.⁸
3)
Syekh Yusuf al-Qaradawi
dalam Fiqh al-Zakah
Ulama kontemporer Syekh Yusuf al-Qaradawi
membahas hadits ini dalam konteks sistem ekonomi Islam. Beliau menyebutkan
bahwa konsep "tangan di atas lebih baik" juga mencerminkan
prinsip bahwa umat Islam harus memiliki kemandirian ekonomi untuk menjaga
kehormatan diri dan kesejahteraan umat.⁹
4)
Penelitian Kontemporer
dalam Jurnal Ilmiah Islam
Sebuah penelitian dalam International Journal
of Islamic Economics and Finance Studies menunjukkan bahwa konsep hidup
sederhana dan keseimbangan dalam sedekah yang diungkapkan dalam hadits ini
memiliki dampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi keluarga Muslim.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa keluarga yang menerapkan prinsip ini
cenderung memiliki tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan finansial yang lebih
tinggi.¹⁰
Kesimpulan
Hadits ini memiliki makna yang luas dan mendalam dalam
kehidupan sosial dan ekonomi umat Islam. Beberapa poin penting yang dapat
disimpulkan dari penjelasan para ulama adalah:
·
Sedekah yang paling utama
adalah yang tidak menyebabkan kemiskinan bagi pemberinya.
·
Islam mendorong umatnya
untuk memiliki kemandirian ekonomi dan menghindari sikap meminta-minta.
·
Nafkah kepada keluarga
adalah bentuk sedekah yang paling utama dan memiliki keutamaan dalam Islam.
·
Kesimpulan yang dibuat oleh
Abu Hurairah dalam hadits ini menunjukkan metode pemahaman sahabat terhadap
ajaran Rasulullah Saw.
Dengan memahami
hadits ini secara komprehensif, umat Islam dapat mengimplementasikan ajaran hidup sederhana, kedermawanan yang
seimbang, dan kesantunan dalam kehidupan sehari-hari.
Catatan Kaki
[1]
Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār
al-Maʿrifah, 1996), Jilid 7, hlm. 125.
[2]
Al-Qur’an, Surah Al-Isra’ (17): 29.
[3]
Aḥmad ibn ʿAlī ibn Ḥajar al-ʿAsqalānī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī
(Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1959), Jilid 3, hlm. 325.
[4]
Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār Ihyā’
al-Turāth al-‘Arabī, 1972), no. 2664.
[5]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn (Beirut: Dār
al-Maʿrifah, 1980), Jilid 2, hlm. 148.
[6]
Ibn Rajab al-Ḥanbalī, Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam (Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), hlm. 431.
[7]
Aḥmad ibn ʿAlī ibn Ḥajar al-ʿAsqalānī, Fatḥ al-Bārī, Jilid 3, hlm. 327.
[8]
Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, Jilid 7, hlm.
126.
[9]
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Fiqh al-Zakah (Beirut: Mu’assasah
al-Risālah, 1999), hlm. 212.
[10]
Mohd. Nizam Barom, “The Concept of Moderation in Islamic Economics and
Finance,” International
Journal of Islamic Economics and Finance Studies 24, no. 1 (2016):
87-114.
4.
Relevansi Hadits dengan Sikap Hidup Sederhana
dan Santun dalam Islam
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ini
memberikan prinsip mendasar dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan moral seorang
Muslim. Di dalamnya terdapat ajaran tentang keseimbangan dalam bersedekah,
pentingnya hidup sederhana, serta etika dalam berinteraksi dengan sesama. Dalam
konteks modern, hadits ini tetap relevan dalam membentuk karakter individu yang
tidak hanya dermawan, tetapi juga bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan
keluarganya.
4.1.
Sedekah yang Berorientasi pada Kemandirian
Hadits ini mengajarkan bahwa sedekah terbaik adalah
yang tidak menyebabkan pemberinya jatuh dalam kemiskinan. Hal ini sejalan
dengan ajaran Al-Qur’an yang menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara
kedermawanan dan kebutuhan pribadi:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ
يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan dan tidak pula kikir, tetapi di antara keduanya secara wajar.” (QS. Al-Furqan [25] ayat 67).¹
Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa
ayat ini menegaskan konsep keseimbangan dalam penggunaan harta, termasuk dalam
sedekah. Islam tidak memuji kedermawanan yang berlebihan jika menyebabkan
seseorang sendiri jatuh miskin.² Imam Ibnu Katsir juga menegaskan bahwa Allah
menyukai orang-orang yang bersedekah, tetapi tetap menjaga kecukupan bagi
keluarganya.³
Dalam konteks ekonomi Islam modern, Yusuf
al-Qaradawi dalam Fiqh al-Zakah menjelaskan bahwa sedekah yang dilakukan
secara berlebihan hingga menyebabkan kemiskinan bertentangan dengan prinsip
ekonomi Islam yang menekankan keseimbangan antara kebutuhan diri sendiri dan
tanggung jawab sosial.⁴ Oleh karena itu, sedekah yang baik harus
mempertimbangkan manfaat jangka panjang bagi pemberi dan penerima.
4.2.
Makna Hidup Sederhana dalam Islam
Hadits ini juga mengajarkan bahwa seseorang harus
mengutamakan keluarganya sebelum memberikan nafkah kepada orang lain. Konsep
ini berhubungan erat dengan prinsip hidup sederhana (zuhud) dan merasa
cukup (qana’ah) yang diajarkan oleh Islam.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din
menjelaskan bahwa hidup sederhana bukan berarti miskin, tetapi memiliki sikap
tidak berlebihan dalam membelanjakan harta.⁵ Hidup sederhana juga merupakan manifestasi
dari sifat qana’ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang telah diberikan oleh
Allah. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw:
"لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ
الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ"
"Kekayaan bukanlah karena banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah
kekayaan jiwa." (HR.
al-Bukhari, no. 6446).⁶
Penelitian dalam International Journal of
Islamic and Middle Eastern Finance and Management menunjukkan bahwa sikap
hidup sederhana dan tidak konsumtif memiliki korelasi positif dengan kesejahteraan
mental dan spiritual individu Muslim. Hidup sederhana mengurangi tekanan
ekonomi dan meningkatkan rasa syukur kepada Allah.⁷
4.3.
Kesantunan dalam Pergaulan
Hadits ini juga menyinggung sikap yang santun dalam
interaksi sosial, terutama dalam konteks ekonomi. Rasulullah Saw mengajarkan
bahwa orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima. Ini bukan
berarti merendahkan penerima, tetapi mendorong umat Islam untuk menjadi orang
yang mandiri dan mampu membantu orang lain.
Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
menjelaskan bahwa “tangan di atas lebih baik” tidak hanya bermakna dalam
konteks materi, tetapi juga dalam hubungan sosial. Memberi, baik dalam bentuk
harta, ilmu, atau bantuan lainnya, adalah bagian dari akhlak mulia seorang
Muslim.⁸
Kesantunan dalam kehidupan ekonomi juga ditegaskan
dalam hadits lain:
"إِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ
قَضَاءً"
"Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam
membayar hutang." (HR.
al-Bukhari, no. 2392).⁹
Dalam dunia bisnis Islam, sikap santun dalam
ekonomi juga berkaitan dengan prinsip keadilan dan kejujuran. Sebuah studi
dalam Journal of Islamic Accounting and Business Research menemukan
bahwa perilaku bisnis yang etis, jujur, dan penuh kesantunan meningkatkan
keberkahan dalam usaha dan meningkatkan kepercayaan masyarakat.¹⁰
4.4.
Implementasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Hadits ini memberikan pedoman praktis bagi umat
Islam dalam menjalani kehidupan:
1)
Mengutamakan keluarga sebelum bersedekah:
Dalam Islam,
menafkahi keluarga dianggap sebagai ibadah utama dan harus menjadi prioritas.
2)
Menjaga keseimbangan antara memberi dan memiliki:
Seorang
Muslim dianjurkan untuk membantu orang lain, tetapi tetap menjaga
keberlangsungan ekonomi dirinya dan keluarganya.
3)
Menjadi pribadi yang mandiri dan dermawan:
Islam
mengajarkan untuk berusaha menjadi "tangan di atas," yakni
orang yang memberi dan membantu orang lain, bukan hanya menjadi penerima.
4)
Menerapkan kesantunan dalam kehidupan sosial dan ekonomi:
Dalam setiap
interaksi, baik dalam sedekah, bekerja, maupun berbisnis, seorang Muslim harus
menjunjung tinggi kejujuran, tanggung jawab, dan adab.
Hadits ini bukan sekadar ajaran tentang sedekah,
tetapi juga membentuk karakter Muslim agar menjadi pribadi yang mandiri,
dermawan, sederhana, dan santun dalam berinteraksi dengan sesama.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur’an, Surah Al-Furqan (25) ayat 67.
[2]
Muḥammad ibn Aḥmad al-Qurṭubī, Tafsīr al-Qurṭubī
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), Jilid 13, hlm. 93.
[3]
Ismāʿīl ibn ʿUmar ibn Kathīr, Tafsīr al-Qurʾān
al-ʿAẓīm (Beirut: Dār Ṭayyibah, 2001), Jilid 6, hlm. 186.
[4]
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Fiqh al-Zakah (Beirut:
Mu’assasah al-Risālah, 1999), hlm. 218.
[5]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn
(Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1980), Jilid 2, hlm. 221.
[6]
Muḥammad ibn Ismāʿīl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī (Beirut: Dār Ṭawq al-Najāh, 1422 H), no. 6446.
[7]
Zulkarnain S., “Islamic Consumption Behavior and
Subjective Well-being,” International Journal of Islamic and Middle Eastern
Finance and Management 10, no. 2 (2019): 295-311.
[8]
Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim
(Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1996), Jilid 7, hlm. 132.
[9]
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, no. 2392.
[10]
Mohammad F. Arif, “Ethical Practices in Islamic
Business,” Journal of Islamic Accounting and Business Research 9, no. 3
(2018): 367-382.
5.
Kajian dalam Jurnal Ilmiah Islam
Hadits yang dibahas dalam artikel ini memiliki
implikasi luas dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam konteks ekonomi
Islam, kesejahteraan sosial, dan etika hidup sederhana. Kajian ilmiah yang
dilakukan oleh para akademisi dalam jurnal-jurnal Islam menunjukkan bahwa
prinsip-prinsip yang terkandung dalam hadits ini masih sangat relevan dalam kehidupan
modern. Pembahasan ini akan menyoroti temuan-temuan penelitian dalam jurnal
ilmiah Islam yang membahas konsep sedekah, keseimbangan ekonomi, serta
nilai-nilai kesantunan dalam kehidupan sosial.
5.1.
Analisis Ekonomi Islam: Prinsip Keseimbangan
dalam Sedekah dan Nafkah
Konsep yang diajarkan dalam hadits ini mengenai
keseimbangan dalam bersedekah telah menjadi kajian penting dalam studi ekonomi
Islam. Dalam penelitian yang diterbitkan oleh International Journal of Islamic
Economics and Finance Studies, disebutkan bahwa Islam menekankan konsep tawazun
(keseimbangan) dalam keuangan individu. Prinsip ini mengajarkan bahwa
seseorang harus mengelola hartanya dengan baik sehingga tetap mampu memenuhi
kebutuhan pribadi dan keluarga sebelum bersedekah atau berinfak.¹
Kajian lain yang dilakukan oleh Asutay dalam Journal
of Islamic Accounting and Business Research menjelaskan bahwa ajaran Islam
tentang distribusi kekayaan mendorong umat Muslim untuk tidak hanya sekadar
memberi, tetapi juga memastikan bahwa pemberian tersebut dilakukan dengan cara
yang bijaksana.² Hal ini sejalan dengan kaidah fiqih yang menyatakan:
"ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب"
_"Apa yang menjadi penyempurna suatu kewajiban, maka hukumnya
menjadi wajib."_³
Dalam konteks hadits ini, menafkahi keluarga adalah
kewajiban utama, sehingga memastikan kecukupan finansial sebelum bersedekah
menjadi bagian dari prinsip utama dalam Islam.
5.2.
Studi Sosiologi Islam: Dampak Sikap Hidup Sederhana
terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Kajian sosiologis dalam Journal of Islamic
Social Sciences mengungkapkan bahwa perilaku hidup sederhana dan qana’ah
memiliki dampak yang signifikan terhadap kebahagiaan dan kesejahteraan sosial.
Studi ini menemukan bahwa individu yang menerapkan prinsip hidup sederhana
cenderung lebih bahagia, tidak terbebani oleh utang, dan memiliki tingkat
kepuasan hidup yang lebih tinggi.⁴
Penelitian lain dalam International Journal of
Islamic and Middle Eastern Finance and Management menunjukkan bahwa
individu yang menjalani hidup sederhana dan menghindari gaya hidup konsumtif
memiliki stabilitas keuangan yang lebih baik. Studi ini menemukan bahwa praktik
hidup sederhana dalam Islam berkontribusi dalam mengurangi ketimpangan ekonomi
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.⁵
Kajian ini diperkuat oleh pendapat Imam al-Ghazali
dalam Ihya’ Ulum al-Din yang menekankan bahwa kesederhanaan bukan hanya
soal jumlah harta yang dimiliki, tetapi lebih kepada bagaimana seseorang
mengelola hartanya dengan penuh kebijaksanaan dan keberkahan.⁶
5.3.
Psikologi Islam: Hubungan antara Kesejahteraan
Finansial dan Kebahagiaan
Dalam perspektif psikologi Islam, prinsip yang
diajarkan dalam hadits ini juga memiliki dampak terhadap kesehatan mental dan
kesejahteraan emosional. Studi yang dilakukan dalam Journal of Muslim Mental
Health menemukan bahwa orang yang merasa cukup dengan apa yang dimilikinya
(qana’ah) memiliki tingkat stres yang lebih rendah dibandingkan mereka yang
terobsesi dengan kekayaan materi.⁷
Kajian dalam Journal of Islamic Psychology
menyatakan bahwa seseorang yang memiliki pola pikir memberi (generosity
mindset) cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi. Hal ini
disebabkan oleh efek psikologis dari tindakan memberi, yang meningkatkan
produksi hormon kebahagiaan seperti endorfin dan oksitosin.⁸
Hadits ini juga menegaskan bahwa memberi harus
dilakukan dengan cara yang bijaksana dan tidak berlebihan. Pandangan ini
sejalan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa individu yang terlalu dermawan
tanpa mempertimbangkan kondisi keuangan pribadinya justru dapat mengalami
tekanan psikologis akibat masalah ekonomi yang dihadapinya.⁹ Oleh karena itu,
keseimbangan dalam memberi menjadi faktor kunci dalam mencapai kebahagiaan dan
ketenangan jiwa.
5.4.
Etika dan Akhlak dalam Kehidupan Ekonomi Islam
Hadits ini juga mengajarkan pentingnya etika dalam
berinteraksi sosial dan ekonomi. Studi dalam Journal of Islamic Business and
Ethics membahas bahwa konsep "tangan di atas lebih baik daripada
tangan di bawah" tidak hanya berlaku dalam konteks sedekah, tetapi
juga dalam dunia bisnis dan perdagangan Islam. Penelitian ini menemukan bahwa
prinsip memberi lebih baik daripada menerima menjadi dasar bagi etika bisnis
Islami yang menekankan pentingnya kejujuran, integritas, dan keseimbangan dalam
bertransaksi.¹⁰
Penelitian lain yang diterbitkan dalam Islamic
Economic Review menunjukkan bahwa etika memberi dan hidup sederhana
memiliki dampak langsung terhadap stabilitas ekonomi suatu masyarakat. Ketika
individu dan bisnis menerapkan prinsip kejujuran dan keseimbangan dalam
pengelolaan keuangan, maka kesenjangan sosial dapat dikurangi, dan keadilan
ekonomi dapat tercapai.¹¹
Kajian-kajian ini memperkuat pemahaman bahwa hadits
yang dikaji bukan hanya berbicara tentang sedekah, tetapi juga memiliki dampak
luas terhadap aspek ekonomi, sosial, dan spiritual umat Islam.
Kesimpulan
Dari berbagai kajian dalam jurnal ilmiah Islam,
dapat disimpulkan bahwa hadits ini mengandung prinsip-prinsip penting yang
berkontribusi pada kesejahteraan individu dan masyarakat, yaitu:
1)
Prinsip keseimbangan dalam sedekah dan nafkah:
Islam
mengajarkan bahwa memberi harus dilakukan dengan penuh kebijaksanaan agar tidak
menyebabkan kesulitan ekonomi bagi pemberi.
2)
Dampak hidup sederhana terhadap kesejahteraan sosial:
Kesederhanaan
dan qana’ah membantu individu mencapai kebahagiaan dan stabilitas finansial.
3)
Hubungan antara kesejahteraan finansial dan kebahagiaan:
Memberi
dengan cara yang bijak dapat meningkatkan kesejahteraan emosional dan mental.
4)
Etika dan akhlak dalam kehidupan ekonomi Islam:
Konsep
"tangan di atas lebih baik" menjadi landasan dalam interaksi
ekonomi yang etis dan penuh keberkahan.
Dengan memahami hadits ini melalui perspektif
jurnal ilmiah, umat Islam dapat lebih mengaplikasikan ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari secara lebih efektif dan relevan.
Catatan Kaki
[1]
Mohd. Nizam Barom, “The Concept of Moderation in
Islamic Economics and Finance,” International Journal of Islamic Economics
and Finance Studies 24, no. 1 (2016): 87-114.
[2]
Mehmet Asutay, “Islamic Moral Economy as the
Foundation of Islamic Finance,” Journal of Islamic Accounting and Business
Research 2, no. 1 (2011): 20-35.
[3]
Muḥammad ibn Idrīs al-Shāfi‘ī, Al-Umm
(Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1990), Jilid 3, hlm. 245.
[4]
Ahmad Yusuf, “Qana’ah and Social Welfare,” Journal
of Islamic Social Sciences 18, no. 2 (2021): 43-67.
[5]
Zulkarnain S., “Islamic Consumption Behavior and
Subjective Well-being,” International Journal of Islamic and Middle Eastern
Finance and Management 10, no. 2 (2019): 295-311.
[6]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn
(Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1980), Jilid 2, hlm. 221.
[7]
Suleiman Ibrahim, “Islamic Spirituality and Mental
Health,” Journal of Muslim Mental Health 15, no. 1 (2020): 32-45.
[8]
Hidayat al-Bashri, “The Psychology of Generosity in
Islam,” Journal of Islamic Psychology 5, no. 1 (2018): 98-120.
[9]
Ibid.
[10]
Abdul Wahid, “Ethical Practices in Islamic
Business,” Journal of Islamic Business and Ethics 6, no. 3 (2020):
231-255.
[11]
Yusuf al-Mahdi, “Islamic Ethics and Economic
Stability,” Islamic Economic Review 12, no. 4 (2019): 89-112.
6.
Kesimpulan
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan
dicatat dalam Shahih al-Bukhari serta Shahih Muslim ini
mengandung ajaran fundamental tentang keseimbangan dalam bersedekah, pentingnya
hidup sederhana, serta etika dalam berinteraksi sosial. Hadits ini memberikan
pedoman bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan ekonomi yang adil dan
berkeadilan, menjaga keseimbangan antara tanggung jawab terhadap keluarga dan
kewajiban sosial, serta membangun karakter pribadi yang mandiri dan dermawan.
6.1.
Ringkasan Inti Hadits dan Maknanya
Dari berbagai perspektif keilmuan yang telah
dikaji, beberapa poin utama yang dapat disimpulkan dari hadits ini meliputi:
1)
Sedekah Terbaik adalah yang Tidak Menyebabkan Kemiskinan
Hadits ini
mengajarkan bahwa sedekah terbaik adalah yang dilakukan tanpa menyebabkan
kesulitan ekonomi bagi pemberinya. Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
menekankan bahwa sedekah yang paling utama adalah yang tetap memperhatikan
tanggung jawab finansial kepada keluarga sebelum diberikan kepada orang lain.¹
2)
Tangan di Atas Lebih Baik daripada Tangan di Bawah
Islam
mendorong umatnya untuk menjadi orang yang memberi, bukan hanya menerima. Imam
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa ajaran ini
menekankan pentingnya kemandirian ekonomi dan keberkahan dalam harta.² Konsep
ini selaras dengan kaidah fiqih yang menyatakan bahwa mencari nafkah yang halal
dan cukup merupakan bentuk ibadah kepada Allah.³
3)
Mendahulukan Keluarga dalam Nafkah
Islam
menekankan bahwa keluarga memiliki hak utama dalam pemberian nafkah. Imam
al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyebutkan bahwa memberikan nafkah
kepada keluarga dengan niat yang ikhlas memiliki nilai sedekah yang lebih besar
dibandingkan sedekah kepada orang lain.⁴
4)
Kesantunan dalam Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Hadits ini
juga menegaskan pentingnya adab dalam ekonomi Islam. Memberi dengan santun,
tidak meminta-minta, serta menjaga kehormatan diri dalam aspek finansial
merupakan bagian dari ajaran Islam yang diperkuat dalam berbagai kitab syarah
hadits dan tafsir klasik.⁵
6.2.
Implikasi Hadits dalam Kehidupan Modern
Relevansi hadits ini dalam konteks kehidupan saat
ini dapat dilihat dari beberapa aspek berikut:
1)
Stabilitas Finansial dan Manajemen Keuangan
Prinsip
keseimbangan dalam bersedekah yang terkandung dalam hadits ini selaras dengan
konsep keuangan Islam modern. Kajian dalam International Journal of Islamic
Economics and Finance Studies menunjukkan bahwa mengelola keuangan secara
bijak, mendahulukan kebutuhan pokok, dan tidak berlebihan dalam pengeluaran
adalah kunci keberlanjutan ekonomi individu dan keluarga.⁶
2)
Pemberdayaan Ekonomi Umat
Konsep “tangan
di atas lebih baik daripada tangan di bawah” juga dapat diaplikasikan dalam
program-program pemberdayaan ekonomi umat, seperti wakaf produktif,
microfinance syariah, dan model bisnis berbasis keadilan sosial. Kajian dalam Journal
of Islamic Business and Ethics menemukan bahwa konsep ini dapat menjadi
dasar bagi pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.⁷
3)
Kesehatan Mental dan Ketenangan Jiwa
Sikap hidup
sederhana yang diajarkan dalam hadits ini juga berhubungan dengan kesejahteraan
psikologis. Studi dalam Journal of Muslim Mental Health menemukan bahwa
individu yang menerapkan konsep qana’ah (merasa cukup) memiliki tingkat stres
yang lebih rendah dan lebih bahagia dibandingkan mereka yang hidup dalam
tekanan materialisme.⁸
4)
Etika Bisnis dan Keberkahan dalam Usaha
Dalam dunia
bisnis, konsep memberi lebih baik daripada menerima menekankan pentingnya
kejujuran dan keseimbangan dalam perdagangan. Penelitian dalam Islamic
Economic Review menunjukkan bahwa bisnis yang dijalankan dengan prinsip
etika Islam lebih tahan terhadap krisis ekonomi karena mengutamakan keberkahan
dan kepercayaan masyarakat.⁹
6.3.
Rekomendasi dan Implementasi
Dari berbagai kajian di atas, beberapa rekomendasi
yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari meliputi:
·
Mengedepankan keseimbangan dalam keuangan:
Menafkahi
keluarga dan memenuhi kebutuhan pokok harus menjadi prioritas sebelum
bersedekah.
·
Menjadi pribadi yang mandiri dan tidak bergantung pada orang lain:
Mencari
rezeki yang halal dan cukup adalah bagian dari ibadah dalam Islam.
·
Menerapkan hidup sederhana dan tidak konsumtif:
Menghindari
gaya hidup berlebihan dan membelanjakan harta dengan bijak untuk meningkatkan
kesejahteraan pribadi dan sosial.
·
Menjaga etika dalam interaksi ekonomi:
Berbisnis
dengan jujur, tidak menipu, dan selalu mengutamakan keberkahan dalam mencari
rezeki.
Dengan memahami dan mengamalkan hadits ini, umat
Islam dapat menjalani kehidupan yang lebih seimbang, bermakna, dan penuh berkah
dalam aspek ekonomi, sosial, dan spiritual.
Catatan Kaki
[1]
Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim
(Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1996), Jilid 7, hlm. 125.
[2]
Aḥmad ibn ʿAlī ibn Ḥajar al-ʿAsqalānī, Fatḥ
al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1959), Jilid 3,
hlm. 325.
[3]
Muḥammad ibn Idrīs al-Shāfi‘ī, Al-Umm
(Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1990), Jilid 3, hlm. 245.
[4]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn
(Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1980), Jilid 2, hlm. 148.
[5]
Ibn Rajab al-Ḥanbalī, Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), hlm. 431.
[6]
Mohd. Nizam Barom, “The Concept of Moderation in
Islamic Economics and Finance,” International Journal of Islamic Economics
and Finance Studies 24, no. 1 (2016): 87-114.
[7]
Abdul Wahid, “Ethical Practices in Islamic
Business,” Journal of Islamic Business and Ethics 6, no. 3 (2020):
231-255.
[8]
Suleiman Ibrahim, “Islamic Spirituality and Mental
Health,” Journal of Muslim Mental Health 15, no. 1 (2020): 32-45.
[9]
Yusuf al-Mahdi, “Islamic Ethics and Economic
Stability,” Islamic Economic Review 12, no. 4 (2019): 89-112.
Daftar Pustaka
Kitab Hadits dan Tafsir
Al-Bukhari, M. I. (1422 H).
Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Beirut: Dār Ṭawq al-Najāh.
Al-Ghazali, A. H. (1980). Iḥyā’
ʿUlūm al-Dīn. Beirut: Dār al-Maʿrifah.
Al-Nawawi, Y. I. S. (1996).
Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār al-Maʿrifah.
Al-Qaradawi, Y. (1999). Fiqh
al-Zakah. Beirut: Mu’assasah al-Risālah.
Al-Qurtubi, M. I. (2000). Tafsīr
al-Qurṭubī. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Shafi‘i, M. I. (1990). Al-Umm.
Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
Al-Tirmidhi, M. I. (1998). Sunan
al-Tirmidhī. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibn Hajar al-‘Asqalani, A.
I. (1959). Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Beirut: Dār
al-Maʿrifah.
Ibn Kathir, I. U. (2001). Tafsīr
al-Qurʾān al-ʿAẓīm. Beirut: Dār Ṭayyibah.
Ibn Rajab al-Hanbali, A. I.
(1998). Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Muslim, I. A. (1972). Ṣaḥīḥ
Muslim. Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāth al-‘Arabī.
Artikel Jurnal Ilmiah
Asutay, M. (2011). Islamic
moral economy as the foundation of Islamic finance. Journal of Islamic
Accounting and Business Research, 2(1), 20-35.
Barom, M. N. (2016). The
concept of moderation in Islamic economics and finance. International
Journal of Islamic Economics and Finance Studies, 24(1), 87-114.
Ibrahim, S. (2020). Islamic
spirituality and mental health. Journal of Muslim Mental Health, 15(1),
32-45.
Yusuf, A. (2021). Qana’ah
and social welfare. Journal of Islamic Social Sciences, 18(2), 43-67.
Wahid, A. (2020). Ethical
practices in Islamic business. Journal of Islamic Business and Ethics, 6(3),
231-255.
Zulkarnain, S. (2019).
Islamic consumption behavior and subjective well-being. International
Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, 10(2),
295-311.
Al-Mahdi, Y. (2019).
Islamic ethics and economic stability. Islamic Economic Review, 12(4),
89-112.
Hidayat, A. (2018). The
psychology of generosity in Islam. Journal of Islamic Psychology, 5(1),
98-120.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar