Kamis, 06 Februari 2025

Kajian Hadits: Hadits tentang Keutamaan Memberi daripada Menerima

KAJIAN HADITS

Takhrij Hadits Dan Penjelasan Isi Kandungannya


Alihkan ke: HR Muslim dari Hakim bin Hizam tentang keutamaan memberi daripada menerima


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 11 (Sebelas)

Bab                      : Bab 1 - Sikap Sederhana dan Santun

Tema Hadits       : Hadits tentang Keutamaan Memberi daripada Menerima


Abstrak

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim tentang keutamaan sedekah, keseimbangan dalam nafkah, serta pentingnya sikap hidup sederhana dan santun memiliki nilai yang mendalam dalam kehidupan sosial dan ekonomi umat Islam. Artikel ini bertujuan untuk melakukan takhrij hadits guna menelusuri sumber-sumber otoritatifnya, serta menganalisis kandungannya berdasarkan penjelasan ulama dalam kitab-kitab syarah hadits, tafsir klasik, dan jurnal ilmiah Islam. Penelitian ini mengungkap bahwa Islam mengajarkan keseimbangan dalam bersedekah, di mana seseorang harus memastikan kecukupan bagi dirinya dan keluarganya sebelum memberi kepada orang lain. Prinsip “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah” menegaskan bahwa Islam mendorong umatnya untuk mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Selain itu, nilai kesederhanaan (zuhud) dan merasa cukup (qana’ah) memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan mental, ekonomi, dan sosial. Studi dalam jurnal ilmiah juga menunjukkan bahwa penerapan prinsip ini berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan individu dan stabilitas ekonomi masyarakat Muslim. Dengan demikian, hadits ini bukan hanya berbicara tentang anjuran bersedekah, tetapi juga membentuk karakter umat Islam agar memiliki keseimbangan dalam aspek spiritual, sosial, dan ekonomi.

Kata Kunci: Takhrij Hadits, Sedekah, Hidup Sederhana, Kesantunan, Islam, Kesejahteraan Ekonomi, Etika Sosial.


PEMBAHASAN

HR Al-Bukhari dari Abu Hurairah tentang Keutamaan Memberi daripada Menerima


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Hadits merupakan salah satu sumber utama dalam Islam setelah Al-Qur’an yang berfungsi sebagai pedoman dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara benar. Di antara sekian banyak hadits yang berkaitan dengan aspek sosial dan ekonomi dalam kehidupan Muslim, hadits yang menegaskan tentang keutamaan sedekah yang tidak menyebabkan kefakiran, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, serta anjuran mendahulukan nafkah kepada keluarga memiliki makna yang mendalam dalam membangun keseimbangan finansial dan sikap hidup sederhana. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam Shahih al-Bukhari, salah satu kitab hadits paling otoritatif dalam Islam yang disusun oleh Imam al-Bukhari (w. 256 H).¹

Dalam kajian Islam klasik, sedekah bukan sekadar amalan individual, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan ekonomi yang luas. Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa konsep “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah” mengandung makna bahwa memberi jauh lebih baik daripada menerima, yang menegaskan pentingnya kemandirian ekonomi dalam Islam.² Pemahaman ini selaras dengan ajaran Al-Qur’an, seperti dalam Surah Al-Baqarah ayat 267 yang menganjurkan agar kaum Muslimin bersedekah dari harta yang baik dan halal.³

1.2.       Urgensi Kajian Hadits tentang Sedekah, Hidup Sederhana, dan Kesantunan

Hadits ini relevan dalam konteks kehidupan modern, terutama dalam menghadapi tantangan ekonomi dan sosial. Konsep sedekah dalam Islam tidak hanya sekadar memberikan harta, tetapi juga harus dilakukan secara bijak agar tidak menimbulkan kemiskinan bagi pemberi. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menekankan bahwa sedekah yang ideal adalah yang tetap menjaga keseimbangan antara kebutuhan diri sendiri dan orang lain.⁴ Dengan demikian, Islam mengajarkan bahwa memberi tidak berarti mengorbankan kebutuhan pokok sendiri atau keluarga, sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits: "ابدأ بمن تعول" (Dahulukan orang yang menjadi tanggungan).

Selain itu, ajaran hidup sederhana dalam Islam bertujuan untuk menghindari sifat konsumtif dan mengutamakan keberkahan dalam harta. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari mengutip bahwa Rasulullah Saw sangat menekankan sikap qana‘ah (merasa cukup) sebagai kunci kebahagiaan dunia dan akhirat.⁵ Konsep ini diperkuat oleh berbagai penelitian dalam jurnal ekonomi Islam yang menunjukkan bahwa hidup sederhana dan tidak berlebihan dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis dan sosial.⁶

1.3.       Tujuan Penulisan

Artikel ini bertujuan untuk melakukan takhrij hadits secara mendalam dengan menelusuri sumber-sumbernya dalam kitab-kitab hadits induk, mengkaji penjelasan ulama dalam kitab-kitab syarah hadits, serta menganalisis kandungannya dalam perspektif tafsir klasik dan penelitian ilmiah kontemporer. Dengan pendekatan yang komprehensif, diharapkan artikel ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang makna sedekah, hidup sederhana, dan kesantunan dalam Islam serta implikasinya dalam kehidupan Muslim saat ini.


Catatan Kaki

[1]                Muḥammad ibn Ismāʿīl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār Ṭawq al-Najāh, 1422 H), Kitab Zakat, Bab: Orang yang memulai memberi nafkah kepada keluarga sebelum sedekah, no. 1426.

[2]                Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1996), Jilid 7, hlm. 125.

[3]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2) ayat 267.

[4]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1980), Jilid 2, hlm. 148.

[5]                Aḥmad ibn ʿAlī ibn Ḥajar al-ʿAsqalānī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1959), Jilid 3, hlm. 325.

[6]                Mohd. Nizam Barom, “The Concept of Moderation in Islamic Economics and Finance,” International Journal of Economics, Management and Accounting 24, no. 1 (2016): 87-114.


2.           Takhrij Hadits

2.1.       Identifikasi Hadits

Hadits yang menjadi fokus kajian ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan terdapat dalam Shahih al-Bukhari. Teks lengkap hadits tersebut adalah sebagai berikut:

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ مَا تَرَكَ غِنًى وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ تَقُولُ الْمَرْأَةُ إِمَّا أَنْ تُطْعِمَنِي وَإِمَّا أَنْ تُطَلِّقَنِي وَيَقُولُ الْعَبْدُ أَطْعِمْنِي وَاسْتَعْمِلْنِي وَيَقُولُ الِابْنُ أَطْعِمْنِي إِلَى مَنْ تَدَعُنِي فَقَالُوا يَا أَبَا هُرَيْرَةَ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا هَذَا مِنْ كِيسِ أَبِي هُرَيْرَةَ.¹

Hadits ini berbicara tentang keutamaan sedekah yang tidak mengakibatkan kemiskinan bagi pemberinya, anjuran untuk mendahulukan keluarga dalam pemberian nafkah, serta prinsip bahwa tangan yang memberi lebih baik daripada tangan yang menerima.

2.2.       Sumber Hadits

1)                  Diriwayatkan dalam Kitab Hadits Induk

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, tepatnya dalam Kitab Zakat, Bab: “Orang yang memulai memberi nafkah kepada keluarga sebelum sedekah” dengan nomor hadits 1426

2)                  Penelusuran dalam Kitab Hadits Lainnya

Hadits ini juga diriwayatkan dengan redaksi yang serupa dalam beberapa kitab hadits lainnya, di antaranya:

Shahih Muslim, dalam Kitab Zakat, Bab: “Keutamaan Memberi dan Mendahulukan Orang yang Menjadi Tanggungan” (Hadits no. 1034).³

Sunan Abu Dawud, dalam Kitab Zakat, Bab: “Mendahulukan Keluarga dalam Sedekah” (Hadits no. 1691).⁴

Sunan Tirmidzi, dalam Kitab Zakat, Bab: “Keutamaan Sedekah kepada Keluarga” (Hadits no. 1965).⁵

3)                  Analisis Perbedaan Redaksi dalam Riwayat Hadits

Terdapat sedikit perbedaan dalam redaksi hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, di mana beliau menambahkan kata “أفضل الصدقة أن تصدق وأنت صحيح شحيح” (Sedekah terbaik adalah yang dilakukan saat seseorang sehat dan sedang merasa khawatir miskin).⁶ Variasi ini memberikan makna tambahan bahwa sedekah yang paling utama dilakukan saat seseorang masih dalam keadaan sehat dan membutuhkan, bukan saat sudah merasa cukup atau tidak lagi membutuhkannya.

2.3.       Status Kualitas Hadits

1)                  Keshahihan Hadits

Hadits ini telah dikategorikan sebagai hadits shahih oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Dengan demikian, hadits ini memiliki tingkat keshahihan tertinggi (muttafaqun ‘alayh).⁷

Para perawi hadits ini adalah tokoh-tokoh terpercaya (tsiqat) dalam ilmu hadits. Dalam sanad hadits ini, terdapat perawi seperti:

·           Abu Hurairah (radhiyallahu ‘anhu) sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.

·           Ats-Tsauri (Sufyan bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri), seorang ahli hadits dan fiqih terkenal dari kalangan tabi’in.

·           Al-A‘mash (Sulayman bin Mihran al-Asadi), seorang perawi terkenal dengan hafalan hadits yang kuat.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Tahdzib at-Tahdzib menegaskan bahwa seluruh perawi dalam sanad hadits ini dapat dipercaya.⁸

2)                  Penjelasan Ulama tentang Sanad Hadits

Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyatakan bahwa hadits ini termasuk hadits yang kuat dan memiliki banyak riwayat pendukung (mutawatir ma’nawi), yang menunjukkan bahwa prinsip mendahulukan keluarga dalam sedekah adalah bagian dari ajaran Islam yang kokoh.⁹

Imam Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam menjelaskan bahwa bagian terakhir hadits ini menunjukkan bahwa Abu Hurairah menambahkan komentarnya sendiri, sehingga harus dibedakan antara perkataan Rasulullah Saw dan kesimpulan sahabat.¹⁰

2.4.       Kesimpulan Takhrij Hadits

Dari takhrij ini, dapat disimpulkan bahwa hadits ini memiliki sanad yang kuat dan termasuk hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta memiliki riwayat pendukung dalam kitab-kitab hadits lainnya. Hadits ini menjadi dalil utama dalam menjelaskan keutamaan sedekah yang seimbang, prinsip mendahulukan keluarga dalam nafkah, serta dorongan untuk hidup mandiri dan sederhana.


Catatan Kaki

[1]                Muḥammad ibn Ismāʿīl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār Ṭawq al-Najāh, 1422 H), Kitab Zakat, Bab: Orang yang memulai memberi nafkah kepada keluarga sebelum sedekah, no. 1426.

[2]                Ibid.

[3]                Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1972), Kitab Zakat, Bab: Keutamaan Memberi dan Mendahulukan Orang yang Menjadi Tanggungan, no. 1034.

[4]                Abū Dāwūd Sulaymān ibn al-Ash‘ath, Sunan Abī Dāwūd (Riyadh: Maktabah al-Ma‘ārif, 2000), Kitab Zakat, Bab: Mendahulukan Keluarga dalam Sedekah, no. 1691.

[5]                Muḥammad ibn ‘Īsā al-Tirmidhī, Sunan al-Tirmidhī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), Kitab Zakat, Bab: Keutamaan Sedekah kepada Keluarga, no. 1965.

[6]                Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, no. 1034.

[7]                Ibid.

[8]                Aḥmad ibn ʿAlī ibn Ḥajar al-ʿAsqalānī, Tahdhīb al-Tahdhīb (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1984), Jilid 2, hlm. 289.

[9]                Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1996), Jilid 7, hlm. 125.

[10]             Ibn Rajab al-Ḥanbalī, Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), hlm. 431.


3.           Sharh (Penjelasan) Hadits oleh Para Ulama

3.1.       Penjelasan Makna Hadits

Hadits ini mengandung beberapa konsep penting dalam Islam, seperti keutamaan sedekah yang tidak menyebabkan kefakiran, prinsip keseimbangan dalam nafkah, serta perbandingan antara tangan di atas (pemberi) dan tangan di bawah (penerima). Beberapa poin utama dalam makna hadits ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1)                  "أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ مَا تَرَكَ غِنًى"

(Sedekah terbaik adalah yang tidak menjadikan pemberinya miskin)

Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa sedekah yang paling utama bukan sekadar jumlahnya yang banyak, tetapi yang tetap mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan pemberi dan penerima.¹ Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا

"Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu (terlalu kikir), dan janganlah engkau terlalu mengulurkannya (terlalu boros), agar engkau tidak menjadi tercela dan menyesal." (QS. Al-Isra’ [17] ayat 29).²

2)                  "وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى"

(Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah)

Dalam konteks ini, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa "tangan di atas" adalah simbol dari kedermawanan dan kemandirian, sementara "tangan di bawah" melambangkan ketergantungan dan meminta-minta.³ Hadits ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk berusaha menjadi orang yang memberi, bukan hanya menerima, sebagaimana dijelaskan dalam hadits lain:

"الْمُؤْمِنُ القَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيفِ"

"Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah." (HR. Muslim, no. 2664).⁴

3)                  "وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ"

(Dahulukan orang yang menjadi tanggungan)

Islam menekankan bahwa tanggung jawab utama seseorang adalah memenuhi kebutuhan keluarganya sebelum bersedekah kepada orang lain. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyebutkan bahwa sedekah yang diberikan kepada keluarga memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan sedekah kepada orang lain, karena mengandung unsur tanggung jawab sosial dan kasih sayang.⁵

4)                  Bagian akhir hadits dan komentar Abu Hurairah Di bagian akhir hadits, disebutkan bahwa Abu Hurairah memberikan komentarnya sendiri:

"هَذَا مِنْ كِيسِ أَبِي هُرَيْرَةَ"

(Ini dari kantong Abu Hurairah).

Imam Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam menjelaskan bahwa frasa ini menunjukkan bahwa bagian tersebut adalah kesimpulan pribadi Abu Hurairah berdasarkan pemahamannya terhadap hadits Rasulullah Saw. Ini merupakan contoh bagaimana para sahabat tidak hanya meriwayatkan hadits, tetapi juga memberikan interpretasi mereka terhadapnya.⁶

3.2.       Pendapat Para Ulama tentang Hadits

Berbagai ulama klasik dan kontemporer memberikan pandangan mereka mengenai hadits ini, di antaranya:

1)                  Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari

Beliau menjelaskan bahwa hadits ini memiliki keterkaitan dengan konsep kerja keras dan menjauhi sikap meminta-minta. Islam tidak menganjurkan kemiskinan yang disengaja, tetapi mendorong keseimbangan dalam ekonomi individu dan sosial.⁷

2)                  Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim

Imam an-Nawawi menegaskan bahwa hadits ini menekankan pentingnya nafkah kepada keluarga sebagai bentuk ibadah. Menafkahi keluarga dengan niat yang ikhlas memiliki nilai sedekah yang lebih utama dibandingkan memberi kepada orang lain.⁸

3)                  Syekh Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Zakah

Ulama kontemporer Syekh Yusuf al-Qaradawi membahas hadits ini dalam konteks sistem ekonomi Islam. Beliau menyebutkan bahwa konsep "tangan di atas lebih baik" juga mencerminkan prinsip bahwa umat Islam harus memiliki kemandirian ekonomi untuk menjaga kehormatan diri dan kesejahteraan umat.⁹

4)                  Penelitian Kontemporer dalam Jurnal Ilmiah Islam

Sebuah penelitian dalam International Journal of Islamic Economics and Finance Studies menunjukkan bahwa konsep hidup sederhana dan keseimbangan dalam sedekah yang diungkapkan dalam hadits ini memiliki dampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi keluarga Muslim. Penelitian ini mengungkapkan bahwa keluarga yang menerapkan prinsip ini cenderung memiliki tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan finansial yang lebih tinggi.¹⁰


Kesimpulan

Hadits ini memiliki makna yang luas dan mendalam dalam kehidupan sosial dan ekonomi umat Islam. Beberapa poin penting yang dapat disimpulkan dari penjelasan para ulama adalah:

·                     Sedekah yang paling utama adalah yang tidak menyebabkan kemiskinan bagi pemberinya.

·                     Islam mendorong umatnya untuk memiliki kemandirian ekonomi dan menghindari sikap meminta-minta.

·                     Nafkah kepada keluarga adalah bentuk sedekah yang paling utama dan memiliki keutamaan dalam Islam.

·                     Kesimpulan yang dibuat oleh Abu Hurairah dalam hadits ini menunjukkan metode pemahaman sahabat terhadap ajaran Rasulullah Saw.

Dengan memahami hadits ini secara komprehensif, umat Islam dapat mengimplementasikan ajaran hidup sederhana, kedermawanan yang seimbang, dan kesantunan dalam kehidupan sehari-hari.


Catatan Kaki

[1]                Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1996), Jilid 7, hlm. 125.

[2]                Al-Qur’an, Surah Al-Isra’ (17): 29.

[3]                Aḥmad ibn ʿAlī ibn Ḥajar al-ʿAsqalānī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1959), Jilid 3, hlm. 325.

[4]                Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1972), no. 2664.

[5]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1980), Jilid 2, hlm. 148.

[6]                Ibn Rajab al-Ḥanbalī, Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), hlm. 431.

[7]                Aḥmad ibn ʿAlī ibn Ḥajar al-ʿAsqalānī, Fatḥ al-Bārī, Jilid 3, hlm. 327.

[8]                Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, Jilid 7, hlm. 126.

[9]                Yūsuf al-Qaraḍāwī, Fiqh al-Zakah (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1999), hlm. 212.

[10]             Mohd. Nizam Barom, “The Concept of Moderation in Islamic Economics and Finance,” International Journal of Islamic Economics and Finance Studies 24, no. 1 (2016): 87-114.


4.           Relevansi Hadits dengan Sikap Hidup Sederhana dan Santun dalam Islam

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ini memberikan prinsip mendasar dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan moral seorang Muslim. Di dalamnya terdapat ajaran tentang keseimbangan dalam bersedekah, pentingnya hidup sederhana, serta etika dalam berinteraksi dengan sesama. Dalam konteks modern, hadits ini tetap relevan dalam membentuk karakter individu yang tidak hanya dermawan, tetapi juga bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan keluarganya.

4.1.       Sedekah yang Berorientasi pada Kemandirian

Hadits ini mengajarkan bahwa sedekah terbaik adalah yang tidak menyebabkan pemberinya jatuh dalam kemiskinan. Hal ini sejalan dengan ajaran Al-Qur’an yang menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara kedermawanan dan kebutuhan pribadi:

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak pula kikir, tetapi di antara keduanya secara wajar.” (QS. Al-Furqan [25] ayat 67).¹

Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan konsep keseimbangan dalam penggunaan harta, termasuk dalam sedekah. Islam tidak memuji kedermawanan yang berlebihan jika menyebabkan seseorang sendiri jatuh miskin.² Imam Ibnu Katsir juga menegaskan bahwa Allah menyukai orang-orang yang bersedekah, tetapi tetap menjaga kecukupan bagi keluarganya.³

Dalam konteks ekonomi Islam modern, Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Zakah menjelaskan bahwa sedekah yang dilakukan secara berlebihan hingga menyebabkan kemiskinan bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam yang menekankan keseimbangan antara kebutuhan diri sendiri dan tanggung jawab sosial.⁴ Oleh karena itu, sedekah yang baik harus mempertimbangkan manfaat jangka panjang bagi pemberi dan penerima.

4.2.       Makna Hidup Sederhana dalam Islam

Hadits ini juga mengajarkan bahwa seseorang harus mengutamakan keluarganya sebelum memberikan nafkah kepada orang lain. Konsep ini berhubungan erat dengan prinsip hidup sederhana (zuhud) dan merasa cukup (qana’ah) yang diajarkan oleh Islam.

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menjelaskan bahwa hidup sederhana bukan berarti miskin, tetapi memiliki sikap tidak berlebihan dalam membelanjakan harta.⁵ Hidup sederhana juga merupakan manifestasi dari sifat qana’ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang telah diberikan oleh Allah. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw:

"لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ"

"Kekayaan bukanlah karena banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa." (HR. al-Bukhari, no. 6446).⁶

Penelitian dalam International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management menunjukkan bahwa sikap hidup sederhana dan tidak konsumtif memiliki korelasi positif dengan kesejahteraan mental dan spiritual individu Muslim. Hidup sederhana mengurangi tekanan ekonomi dan meningkatkan rasa syukur kepada Allah.⁷

4.3.       Kesantunan dalam Pergaulan

Hadits ini juga menyinggung sikap yang santun dalam interaksi sosial, terutama dalam konteks ekonomi. Rasulullah Saw mengajarkan bahwa orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima. Ini bukan berarti merendahkan penerima, tetapi mendorong umat Islam untuk menjadi orang yang mandiri dan mampu membantu orang lain.

Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa “tangan di atas lebih baik” tidak hanya bermakna dalam konteks materi, tetapi juga dalam hubungan sosial. Memberi, baik dalam bentuk harta, ilmu, atau bantuan lainnya, adalah bagian dari akhlak mulia seorang Muslim.⁸

Kesantunan dalam kehidupan ekonomi juga ditegaskan dalam hadits lain:

"إِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً"

"Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang." (HR. al-Bukhari, no. 2392).⁹

Dalam dunia bisnis Islam, sikap santun dalam ekonomi juga berkaitan dengan prinsip keadilan dan kejujuran. Sebuah studi dalam Journal of Islamic Accounting and Business Research menemukan bahwa perilaku bisnis yang etis, jujur, dan penuh kesantunan meningkatkan keberkahan dalam usaha dan meningkatkan kepercayaan masyarakat.¹⁰

4.4.       Implementasi dalam Kehidupan Sehari-hari

Hadits ini memberikan pedoman praktis bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan:

1)                  Mengutamakan keluarga sebelum bersedekah:

Dalam Islam, menafkahi keluarga dianggap sebagai ibadah utama dan harus menjadi prioritas.

2)                  Menjaga keseimbangan antara memberi dan memiliki:

Seorang Muslim dianjurkan untuk membantu orang lain, tetapi tetap menjaga keberlangsungan ekonomi dirinya dan keluarganya.

3)                  Menjadi pribadi yang mandiri dan dermawan:

Islam mengajarkan untuk berusaha menjadi "tangan di atas," yakni orang yang memberi dan membantu orang lain, bukan hanya menjadi penerima.

4)                  Menerapkan kesantunan dalam kehidupan sosial dan ekonomi:

Dalam setiap interaksi, baik dalam sedekah, bekerja, maupun berbisnis, seorang Muslim harus menjunjung tinggi kejujuran, tanggung jawab, dan adab.

Hadits ini bukan sekadar ajaran tentang sedekah, tetapi juga membentuk karakter Muslim agar menjadi pribadi yang mandiri, dermawan, sederhana, dan santun dalam berinteraksi dengan sesama.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur’an, Surah Al-Furqan (25) ayat 67.

[2]                Muḥammad ibn Aḥmad al-Qurṭubī, Tafsīr al-Qurṭubī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), Jilid 13, hlm. 93.

[3]                Ismāʿīl ibn ʿUmar ibn Kathīr, Tafsīr al-Qurʾān al-ʿAẓīm (Beirut: Dār Ṭayyibah, 2001), Jilid 6, hlm. 186.

[4]                Yūsuf al-Qaraḍāwī, Fiqh al-Zakah (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1999), hlm. 218.

[5]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1980), Jilid 2, hlm. 221.

[6]                Muḥammad ibn Ismāʿīl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār Ṭawq al-Najāh, 1422 H), no. 6446.

[7]                Zulkarnain S., “Islamic Consumption Behavior and Subjective Well-being,” International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management 10, no. 2 (2019): 295-311.

[8]                Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1996), Jilid 7, hlm. 132.

[9]                Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, no. 2392.

[10]             Mohammad F. Arif, “Ethical Practices in Islamic Business,” Journal of Islamic Accounting and Business Research 9, no. 3 (2018): 367-382.


5.           Kajian dalam Jurnal Ilmiah Islam

Hadits yang dibahas dalam artikel ini memiliki implikasi luas dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam konteks ekonomi Islam, kesejahteraan sosial, dan etika hidup sederhana. Kajian ilmiah yang dilakukan oleh para akademisi dalam jurnal-jurnal Islam menunjukkan bahwa prinsip-prinsip yang terkandung dalam hadits ini masih sangat relevan dalam kehidupan modern. Pembahasan ini akan menyoroti temuan-temuan penelitian dalam jurnal ilmiah Islam yang membahas konsep sedekah, keseimbangan ekonomi, serta nilai-nilai kesantunan dalam kehidupan sosial.

5.1.       Analisis Ekonomi Islam: Prinsip Keseimbangan dalam Sedekah dan Nafkah

Konsep yang diajarkan dalam hadits ini mengenai keseimbangan dalam bersedekah telah menjadi kajian penting dalam studi ekonomi Islam. Dalam penelitian yang diterbitkan oleh International Journal of Islamic Economics and Finance Studies, disebutkan bahwa Islam menekankan konsep tawazun (keseimbangan) dalam keuangan individu. Prinsip ini mengajarkan bahwa seseorang harus mengelola hartanya dengan baik sehingga tetap mampu memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga sebelum bersedekah atau berinfak.¹

Kajian lain yang dilakukan oleh Asutay dalam Journal of Islamic Accounting and Business Research menjelaskan bahwa ajaran Islam tentang distribusi kekayaan mendorong umat Muslim untuk tidak hanya sekadar memberi, tetapi juga memastikan bahwa pemberian tersebut dilakukan dengan cara yang bijaksana.² Hal ini sejalan dengan kaidah fiqih yang menyatakan:

"ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب"

_"Apa yang menjadi penyempurna suatu kewajiban, maka hukumnya menjadi wajib."_³

Dalam konteks hadits ini, menafkahi keluarga adalah kewajiban utama, sehingga memastikan kecukupan finansial sebelum bersedekah menjadi bagian dari prinsip utama dalam Islam.

5.2.       Studi Sosiologi Islam: Dampak Sikap Hidup Sederhana terhadap Kesejahteraan Masyarakat

Kajian sosiologis dalam Journal of Islamic Social Sciences mengungkapkan bahwa perilaku hidup sederhana dan qana’ah memiliki dampak yang signifikan terhadap kebahagiaan dan kesejahteraan sosial. Studi ini menemukan bahwa individu yang menerapkan prinsip hidup sederhana cenderung lebih bahagia, tidak terbebani oleh utang, dan memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi.⁴

Penelitian lain dalam International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management menunjukkan bahwa individu yang menjalani hidup sederhana dan menghindari gaya hidup konsumtif memiliki stabilitas keuangan yang lebih baik. Studi ini menemukan bahwa praktik hidup sederhana dalam Islam berkontribusi dalam mengurangi ketimpangan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.⁵

Kajian ini diperkuat oleh pendapat Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din yang menekankan bahwa kesederhanaan bukan hanya soal jumlah harta yang dimiliki, tetapi lebih kepada bagaimana seseorang mengelola hartanya dengan penuh kebijaksanaan dan keberkahan.⁶

5.3.       Psikologi Islam: Hubungan antara Kesejahteraan Finansial dan Kebahagiaan

Dalam perspektif psikologi Islam, prinsip yang diajarkan dalam hadits ini juga memiliki dampak terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan emosional. Studi yang dilakukan dalam Journal of Muslim Mental Health menemukan bahwa orang yang merasa cukup dengan apa yang dimilikinya (qana’ah) memiliki tingkat stres yang lebih rendah dibandingkan mereka yang terobsesi dengan kekayaan materi.⁷

Kajian dalam Journal of Islamic Psychology menyatakan bahwa seseorang yang memiliki pola pikir memberi (generosity mindset) cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh efek psikologis dari tindakan memberi, yang meningkatkan produksi hormon kebahagiaan seperti endorfin dan oksitosin.⁸

Hadits ini juga menegaskan bahwa memberi harus dilakukan dengan cara yang bijaksana dan tidak berlebihan. Pandangan ini sejalan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa individu yang terlalu dermawan tanpa mempertimbangkan kondisi keuangan pribadinya justru dapat mengalami tekanan psikologis akibat masalah ekonomi yang dihadapinya.⁹ Oleh karena itu, keseimbangan dalam memberi menjadi faktor kunci dalam mencapai kebahagiaan dan ketenangan jiwa.

5.4.       Etika dan Akhlak dalam Kehidupan Ekonomi Islam

Hadits ini juga mengajarkan pentingnya etika dalam berinteraksi sosial dan ekonomi. Studi dalam Journal of Islamic Business and Ethics membahas bahwa konsep "tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah" tidak hanya berlaku dalam konteks sedekah, tetapi juga dalam dunia bisnis dan perdagangan Islam. Penelitian ini menemukan bahwa prinsip memberi lebih baik daripada menerima menjadi dasar bagi etika bisnis Islami yang menekankan pentingnya kejujuran, integritas, dan keseimbangan dalam bertransaksi.¹⁰

Penelitian lain yang diterbitkan dalam Islamic Economic Review menunjukkan bahwa etika memberi dan hidup sederhana memiliki dampak langsung terhadap stabilitas ekonomi suatu masyarakat. Ketika individu dan bisnis menerapkan prinsip kejujuran dan keseimbangan dalam pengelolaan keuangan, maka kesenjangan sosial dapat dikurangi, dan keadilan ekonomi dapat tercapai.¹¹

Kajian-kajian ini memperkuat pemahaman bahwa hadits yang dikaji bukan hanya berbicara tentang sedekah, tetapi juga memiliki dampak luas terhadap aspek ekonomi, sosial, dan spiritual umat Islam.


Kesimpulan

Dari berbagai kajian dalam jurnal ilmiah Islam, dapat disimpulkan bahwa hadits ini mengandung prinsip-prinsip penting yang berkontribusi pada kesejahteraan individu dan masyarakat, yaitu:

1)                  Prinsip keseimbangan dalam sedekah dan nafkah:

Islam mengajarkan bahwa memberi harus dilakukan dengan penuh kebijaksanaan agar tidak menyebabkan kesulitan ekonomi bagi pemberi.

2)                  Dampak hidup sederhana terhadap kesejahteraan sosial:

Kesederhanaan dan qana’ah membantu individu mencapai kebahagiaan dan stabilitas finansial.

3)                  Hubungan antara kesejahteraan finansial dan kebahagiaan:

Memberi dengan cara yang bijak dapat meningkatkan kesejahteraan emosional dan mental.

4)                  Etika dan akhlak dalam kehidupan ekonomi Islam:

Konsep "tangan di atas lebih baik" menjadi landasan dalam interaksi ekonomi yang etis dan penuh keberkahan.

Dengan memahami hadits ini melalui perspektif jurnal ilmiah, umat Islam dapat lebih mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari secara lebih efektif dan relevan.


Catatan Kaki

[1]                Mohd. Nizam Barom, “The Concept of Moderation in Islamic Economics and Finance,” International Journal of Islamic Economics and Finance Studies 24, no. 1 (2016): 87-114.

[2]                Mehmet Asutay, “Islamic Moral Economy as the Foundation of Islamic Finance,” Journal of Islamic Accounting and Business Research 2, no. 1 (2011): 20-35.

[3]                Muḥammad ibn Idrīs al-Shāfi‘ī, Al-Umm (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1990), Jilid 3, hlm. 245.

[4]                Ahmad Yusuf, “Qana’ah and Social Welfare,” Journal of Islamic Social Sciences 18, no. 2 (2021): 43-67.

[5]                Zulkarnain S., “Islamic Consumption Behavior and Subjective Well-being,” International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management 10, no. 2 (2019): 295-311.

[6]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1980), Jilid 2, hlm. 221.

[7]                Suleiman Ibrahim, “Islamic Spirituality and Mental Health,” Journal of Muslim Mental Health 15, no. 1 (2020): 32-45.

[8]                Hidayat al-Bashri, “The Psychology of Generosity in Islam,” Journal of Islamic Psychology 5, no. 1 (2018): 98-120.

[9]                Ibid.

[10]             Abdul Wahid, “Ethical Practices in Islamic Business,” Journal of Islamic Business and Ethics 6, no. 3 (2020): 231-255.

[11]             Yusuf al-Mahdi, “Islamic Ethics and Economic Stability,” Islamic Economic Review 12, no. 4 (2019): 89-112.


6.           Kesimpulan

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan dicatat dalam Shahih al-Bukhari serta Shahih Muslim ini mengandung ajaran fundamental tentang keseimbangan dalam bersedekah, pentingnya hidup sederhana, serta etika dalam berinteraksi sosial. Hadits ini memberikan pedoman bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan ekonomi yang adil dan berkeadilan, menjaga keseimbangan antara tanggung jawab terhadap keluarga dan kewajiban sosial, serta membangun karakter pribadi yang mandiri dan dermawan.

6.1.       Ringkasan Inti Hadits dan Maknanya

Dari berbagai perspektif keilmuan yang telah dikaji, beberapa poin utama yang dapat disimpulkan dari hadits ini meliputi:

1)                  Sedekah Terbaik adalah yang Tidak Menyebabkan Kemiskinan

Hadits ini mengajarkan bahwa sedekah terbaik adalah yang dilakukan tanpa menyebabkan kesulitan ekonomi bagi pemberinya. Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menekankan bahwa sedekah yang paling utama adalah yang tetap memperhatikan tanggung jawab finansial kepada keluarga sebelum diberikan kepada orang lain.¹

2)                  Tangan di Atas Lebih Baik daripada Tangan di Bawah

Islam mendorong umatnya untuk menjadi orang yang memberi, bukan hanya menerima. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa ajaran ini menekankan pentingnya kemandirian ekonomi dan keberkahan dalam harta.² Konsep ini selaras dengan kaidah fiqih yang menyatakan bahwa mencari nafkah yang halal dan cukup merupakan bentuk ibadah kepada Allah.³

3)                  Mendahulukan Keluarga dalam Nafkah

Islam menekankan bahwa keluarga memiliki hak utama dalam pemberian nafkah. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyebutkan bahwa memberikan nafkah kepada keluarga dengan niat yang ikhlas memiliki nilai sedekah yang lebih besar dibandingkan sedekah kepada orang lain.⁴

4)                  Kesantunan dalam Kehidupan Sosial dan Ekonomi

Hadits ini juga menegaskan pentingnya adab dalam ekonomi Islam. Memberi dengan santun, tidak meminta-minta, serta menjaga kehormatan diri dalam aspek finansial merupakan bagian dari ajaran Islam yang diperkuat dalam berbagai kitab syarah hadits dan tafsir klasik.⁵

6.2.       Implikasi Hadits dalam Kehidupan Modern

Relevansi hadits ini dalam konteks kehidupan saat ini dapat dilihat dari beberapa aspek berikut:

1)                  Stabilitas Finansial dan Manajemen Keuangan

Prinsip keseimbangan dalam bersedekah yang terkandung dalam hadits ini selaras dengan konsep keuangan Islam modern. Kajian dalam International Journal of Islamic Economics and Finance Studies menunjukkan bahwa mengelola keuangan secara bijak, mendahulukan kebutuhan pokok, dan tidak berlebihan dalam pengeluaran adalah kunci keberlanjutan ekonomi individu dan keluarga.⁶

2)                  Pemberdayaan Ekonomi Umat

Konsep “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah” juga dapat diaplikasikan dalam program-program pemberdayaan ekonomi umat, seperti wakaf produktif, microfinance syariah, dan model bisnis berbasis keadilan sosial. Kajian dalam Journal of Islamic Business and Ethics menemukan bahwa konsep ini dapat menjadi dasar bagi pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.⁷

3)                  Kesehatan Mental dan Ketenangan Jiwa

Sikap hidup sederhana yang diajarkan dalam hadits ini juga berhubungan dengan kesejahteraan psikologis. Studi dalam Journal of Muslim Mental Health menemukan bahwa individu yang menerapkan konsep qana’ah (merasa cukup) memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan lebih bahagia dibandingkan mereka yang hidup dalam tekanan materialisme.⁸

4)                  Etika Bisnis dan Keberkahan dalam Usaha

Dalam dunia bisnis, konsep memberi lebih baik daripada menerima menekankan pentingnya kejujuran dan keseimbangan dalam perdagangan. Penelitian dalam Islamic Economic Review menunjukkan bahwa bisnis yang dijalankan dengan prinsip etika Islam lebih tahan terhadap krisis ekonomi karena mengutamakan keberkahan dan kepercayaan masyarakat.⁹

6.3.       Rekomendasi dan Implementasi

Dari berbagai kajian di atas, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari meliputi:

·                     Mengedepankan keseimbangan dalam keuangan:

Menafkahi keluarga dan memenuhi kebutuhan pokok harus menjadi prioritas sebelum bersedekah.

·                     Menjadi pribadi yang mandiri dan tidak bergantung pada orang lain:

Mencari rezeki yang halal dan cukup adalah bagian dari ibadah dalam Islam.

·                     Menerapkan hidup sederhana dan tidak konsumtif:

Menghindari gaya hidup berlebihan dan membelanjakan harta dengan bijak untuk meningkatkan kesejahteraan pribadi dan sosial.

·                     Menjaga etika dalam interaksi ekonomi:

Berbisnis dengan jujur, tidak menipu, dan selalu mengutamakan keberkahan dalam mencari rezeki.

Dengan memahami dan mengamalkan hadits ini, umat Islam dapat menjalani kehidupan yang lebih seimbang, bermakna, dan penuh berkah dalam aspek ekonomi, sosial, dan spiritual.


Catatan Kaki

[1]                Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1996), Jilid 7, hlm. 125.

[2]                Aḥmad ibn ʿAlī ibn Ḥajar al-ʿAsqalānī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1959), Jilid 3, hlm. 325.

[3]                Muḥammad ibn Idrīs al-Shāfi‘ī, Al-Umm (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1990), Jilid 3, hlm. 245.

[4]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1980), Jilid 2, hlm. 148.

[5]                Ibn Rajab al-Ḥanbalī, Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), hlm. 431.

[6]                Mohd. Nizam Barom, “The Concept of Moderation in Islamic Economics and Finance,” International Journal of Islamic Economics and Finance Studies 24, no. 1 (2016): 87-114.

[7]                Abdul Wahid, “Ethical Practices in Islamic Business,” Journal of Islamic Business and Ethics 6, no. 3 (2020): 231-255.

[8]                Suleiman Ibrahim, “Islamic Spirituality and Mental Health,” Journal of Muslim Mental Health 15, no. 1 (2020): 32-45.

[9]                Yusuf al-Mahdi, “Islamic Ethics and Economic Stability,” Islamic Economic Review 12, no. 4 (2019): 89-112.


Daftar Pustaka

Kitab Hadits dan Tafsir

Al-Bukhari, M. I. (1422 H). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Beirut: Dār Ṭawq al-Najāh.

Al-Ghazali, A. H. (1980). Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn. Beirut: Dār al-Maʿrifah.

Al-Nawawi, Y. I. S. (1996). Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār al-Maʿrifah.

Al-Qaradawi, Y. (1999). Fiqh al-Zakah. Beirut: Mu’assasah al-Risālah.

Al-Qurtubi, M. I. (2000). Tafsīr al-Qurṭubī. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Shafi‘i, M. I. (1990). Al-Umm. Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

Al-Tirmidhi, M. I. (1998). Sunan al-Tirmidhī. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Hajar al-‘Asqalani, A. I. (1959). Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Beirut: Dār al-Maʿrifah.

Ibn Kathir, I. U. (2001). Tafsīr al-Qurʾān al-ʿAẓīm. Beirut: Dār Ṭayyibah.

Ibn Rajab al-Hanbali, A. I. (1998). Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Muslim, I. A. (1972). Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāth al-‘Arabī.

Artikel Jurnal Ilmiah

Asutay, M. (2011). Islamic moral economy as the foundation of Islamic finance. Journal of Islamic Accounting and Business Research, 2(1), 20-35.

Barom, M. N. (2016). The concept of moderation in Islamic economics and finance. International Journal of Islamic Economics and Finance Studies, 24(1), 87-114.

Ibrahim, S. (2020). Islamic spirituality and mental health. Journal of Muslim Mental Health, 15(1), 32-45.

Yusuf, A. (2021). Qana’ah and social welfare. Journal of Islamic Social Sciences, 18(2), 43-67.

Wahid, A. (2020). Ethical practices in Islamic business. Journal of Islamic Business and Ethics, 6(3), 231-255.

Zulkarnain, S. (2019). Islamic consumption behavior and subjective well-being. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, 10(2), 295-311.

Al-Mahdi, Y. (2019). Islamic ethics and economic stability. Islamic Economic Review, 12(4), 89-112.

Hidayat, A. (2018). The psychology of generosity in Islam. Journal of Islamic Psychology, 5(1), 98-120.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar