Green Economy
Konsep, Implementasi, dan Tantangan Menuju Pembangunan
Berkelanjutan
Alihkan ke: Konsep-Konsep Ekonomi
Abstrak
Green Economy atau ekonomi hijau merupakan konsep pembangunan ekonomi yang bertujuan
untuk menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan
lingkungan, dan kesejahteraan sosial. Artikel ini membahas secara komprehensif
tentang konsep ekonomi hijau, prinsip-prinsip dasarnya, serta pilar-pilar utama
yang meliputi energi terbarukan, pengelolaan sumber daya alam yang
berkelanjutan, produksi dan konsumsi hijau, pembangunan infrastruktur hijau,
serta keuangan berkelanjutan. Selain itu, artikel ini juga menguraikan
implementasi green economy di berbagai negara, termasuk kebijakan European
Green Deal di Uni Eropa, revolusi energi hijau di Tiongkok, serta
langkah-langkah strategis yang diambil oleh Indonesia dalam transisi menuju
ekonomi berkelanjutan.
Namun, implementasi ekonomi hijau menghadapi
berbagai tantangan, seperti hambatan regulasi, ketergantungan terhadap energi
fosil, tingginya biaya investasi awal, serta rendahnya kesadaran masyarakat.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan strategi yang melibatkan sinergi
antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Artikel ini merekomendasikan
berbagai langkah strategis, termasuk reformasi kebijakan lingkungan, insentif
bagi industri hijau, investasi dalam infrastruktur ramah lingkungan, serta
peningkatan edukasi dan kesadaran publik mengenai pentingnya ekonomi hijau.
Dengan dukungan kebijakan yang efektif dan teknologi inovatif, ekonomi hijau
dapat menjadi model pembangunan yang berkelanjutan untuk masa depan.
Kata Kunci: Ekonomi hijau, pembangunan berkelanjutan, energi
terbarukan, kebijakan lingkungan, keuangan hijau, konsumsi berkelanjutan,
infrastruktur hijau.
PEMBAHASAN
Pembahasan Komprehensif tentang Green Economy
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Dalam beberapa dekade
terakhir, dunia menghadapi krisis lingkungan yang semakin parah akibat
eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dan meningkatnya emisi gas rumah
kaca. Perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, serta pencemaran air
dan udara telah menjadi ancaman global yang menuntut pendekatan ekonomi yang
lebih berkelanjutan. Model ekonomi konvensional yang berbasis pada eksploitasi
sumber daya alam dan pertumbuhan tanpa batas semakin dipertanyakan
efektivitasnya dalam jangka panjang. Dalam konteks inilah, konsep green
economy atau ekonomi hijau muncul sebagai solusi
untuk mengatasi krisis lingkungan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan.
Green economy tidak hanya
berfokus pada pengurangan dampak lingkungan dari aktivitas ekonomi, tetapi juga
menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan,
dan kesejahteraan sosial. Menurut United Nations Environment Programme
(UNEP), ekonomi hijau adalah "ekonomi yang menghasilkan
peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sembari secara
signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis."_1
Dengan kata lain, green economy menekankan transisi menuju ekonomi rendah
karbon, efisiensi sumber daya, dan inklusivitas sosial sebagai strategi utama
dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Pentingnya green economy
semakin mendapat perhatian di berbagai forum internasional. Misalnya, pada Konferensi
Rio+20 tahun 2012, ekonomi hijau diakui sebagai salah satu instrumen
utama dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development Goals/SDGs).2 Selain itu, Paris
Agreement 2015 juga mendorong negara-negara untuk menerapkan kebijakan
ekonomi hijau guna mengurangi emisi karbon dan mempercepat transisi menuju
energi bersih.3 Sejumlah negara telah mengadopsi kebijakan dan
strategi untuk mendukung ekonomi hijau, seperti insentif pajak bagi energi
terbarukan, regulasi pengelolaan limbah, serta investasi dalam infrastruktur
ramah lingkungan.
Artikel ini bertujuan untuk
memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai konsep green economy,
pilar-pilar utamanya, implementasi di berbagai negara, serta tantangan yang
dihadapi dalam mewujudkan ekonomi yang lebih berkelanjutan. Dengan demikian,
diharapkan pembaca dapat memperoleh wawasan mendalam tentang bagaimana green
economy dapat berkontribusi dalam menghadapi krisis lingkungan sekaligus mendorong
pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
1.2.
Definisi Green Economy
Berbagai organisasi dan
akademisi telah memberikan definisi mengenai green economy,
yang umumnya mengacu pada pendekatan ekonomi yang berkelanjutan dan ramah
lingkungan. Definisi yang paling banyak digunakan adalah dari United
Nations Environment Programme (UNEP), yang menyatakan bahwa green
economy adalah "ekonomi yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan
manusia dan kesetaraan sosial, sembari secara signifikan mengurangi risiko
lingkungan dan kelangkaan ekologis."_4 Dalam definisi ini,
UNEP menekankan bahwa ekonomi hijau harus berorientasi pada pertumbuhan
inklusif, mengurangi emisi gas rumah kaca, serta mengelola sumber daya alam
secara lebih efisien dan berkelanjutan.
Sebagai tambahan, Organisasi
Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengartikan green economy
sebagai "sebuah sistem ekonomi yang mempertimbangkan dampak lingkungan
dari aktivitas ekonomi, dan menempatkan efisiensi sumber daya serta keberlanjutan
sebagai prioritas utama."_5 Definisi ini menyoroti
pentingnya perubahan paradigma dalam kebijakan ekonomi, di mana pertumbuhan
ekonomi tidak lagi hanya diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB),
tetapi juga berdasarkan kesejahteraan ekologis dan sosial.
Green economy juga sering
dibandingkan dengan konsep lain seperti circular economy dan blue economy. Circular economy atau ekonomi sirkular menekankan pada penggunaan
kembali, daur ulang, dan pengurangan limbah dalam rantai produksi
untuk mengurangi eksploitasi sumber daya alam.6 Sementara itu, blue economy berfokus pada pemanfaatan sumber daya laut secara
berkelanjutan, terutama dalam sektor perikanan, energi laut, dan konservasi
ekosistem pesisir.7
Dengan memahami definisi dan
prinsip utama dari green economy, kita dapat melihat bagaimana konsep ini
menawarkan solusi inovatif untuk mengatasi tantangan lingkungan sekaligus
mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan inklusif.
Catatan Kaki
[1]
United Nations Environment Programme, Towards a Green Economy: Pathways to
Sustainable Development and Poverty Eradication (Nairobi: UNEP,
2011), 16.
[2]
United Nations, The Future We Want: Outcome Document of the United
Nations Conference on Sustainable Development (Rio+20) (New York:
United Nations, 2012), 3.
[3]
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Paris
Agreement (Paris: UNFCCC, 2015), 2.
[4]
UNEP, Towards a Green Economy, 16.
[5]
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Green
Growth Indicators 2017 (Paris: OECD Publishing, 2017), 11.
[6]
Ellen MacArthur Foundation, The Circular Economy: A Wealth of Flows
(Cowes: Ellen MacArthur Foundation, 2016), 22.
[7]
Gunter Pauli, The Blue Economy: 10 Years, 100 Innovations,
100 Million Jobs (Paradigm Publications, 2010), 8.
2.
Konsep
dan Pilar Green Economy
2.1.
Prinsip-Prinsip Dasar Green Economy
Green economy berlandaskan
pada sejumlah prinsip dasar yang menekankan keseimbangan antara pembangunan
ekonomi, kesejahteraan sosial, dan kelestarian lingkungan. United
Nations Environment Programme (UNEP) merumuskan bahwa ekonomi hijau
harus berorientasi pada peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan
sosial, seraya mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam.1
Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat beberapa prinsip utama dalam green
economy:
1)
Efisiensi dalam Penggunaan
Sumber Daya Alam dan Energi
Green economy mendorong penggunaan sumber daya yang lebih efisien melalui
pendekatan ekonomi sirkular, yang mencakup konsep reduce, reuse, dan
recycle (3R) guna mengurangi limbah dan meningkatkan ketahanan ekonomi
terhadap keterbatasan sumber daya alam.2 Hal ini sejalan dengan
laporan dari OECD, yang menekankan bahwa optimalisasi
penggunaan sumber daya akan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan
mempercepat transisi menuju sistem produksi yang lebih berkelanjutan.3
2)
Pengurangan Emisi Karbon
dan Polusi Lingkungan
Prinsip utama ekonomi hijau adalah mengurangi jejak karbon melalui penggunaan
energi terbarukan, efisiensi energi, serta inovasi teknologi rendah karbon.
Paris Agreement 2015 menjadi tonggak penting dalam mendorong negara-negara
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca guna membatasi kenaikan suhu global di
bawah 2°C.4
3)
Pembangunan Berkelanjutan
dan Inklusif
Green economy tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
tetapi juga memastikan bahwa manfaatnya dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat, termasuk kelompok rentan. World Bank menekankan
bahwa pendekatan ini akan menciptakan lapangan kerja baru dalam sektor ekonomi
hijau, seperti energi terbarukan dan industri daur ulang.5
4)
Perlindungan terhadap
Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem
Green economy menekankan pentingnya konservasi sumber daya alam, seperti hutan,
laut, dan lahan pertanian yang menjadi penyedia layanan ekosistem penting. Intergovernmental
Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES)
melaporkan bahwa degradasi ekosistem yang tidak terkendali dapat mengancam
ketahanan pangan, ketahanan air, dan kesehatan manusia secara global.6
2.2.
Pilar-Pilar Utama Green Economy
Untuk menerapkan
prinsip-prinsip ekonomi hijau, terdapat lima pilar utama yang menjadi fokus
utama dalam transisi menuju sistem ekonomi yang lebih berkelanjutan.
2.2.1.
Energi Terbarukan
Salah satu pilar utama green
economy adalah transisi dari bahan bakar fosil ke sumber energi yang lebih
ramah lingkungan, seperti energi matahari, angin, dan biomassa. International
Renewable Energy Agency (IRENA) mencatat bahwa investasi dalam energi
terbarukan dapat menciptakan lebih dari 42 juta lapangan kerja di seluruh dunia
pada tahun 2050, sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.7
Selain itu, kebijakan subsidi energi terbarukan dan pajak karbon telah
diterapkan di berbagai negara untuk mempercepat peralihan menuju sistem energi
bersih.8
2.2.2.
Pengelolaan Sumber
Daya Alam yang Berkelanjutan
Pengelolaan air, hutan, dan
tanah secara bijak menjadi komponen penting dalam ekonomi hijau. Konsep ini
menekankan pentingnya pertanian berkelanjutan, yang mengurangi penggunaan bahan
kimia berbahaya dan meningkatkan efisiensi irigasi. Food and
Agriculture Organization (FAO) melaporkan bahwa pertanian berbasis ekologi
dapat meningkatkan produktivitas pangan sambil mengurangi dampak negatif
terhadap lingkungan.9
2.2.3.
Produksi dan
Konsumsi Berkelanjutan
Green economy mendorong pola
produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab. Ini mencakup penerapan ekonomi
sirkular, di mana limbah dari satu industri dapat menjadi bahan baku bagi
industri lainnya. Ellen MacArthur Foundation mengemukakan
bahwa ekonomi sirkular dapat menghemat hingga $4,5 triliun dalam nilai ekonomi
global pada tahun 2030.10
2.2.4.
Pembangunan Infrastruktur
Hijau
Investasi dalam infrastruktur
hijau, seperti transportasi publik yang ramah lingkungan dan bangunan hemat
energi, menjadi prioritas dalam banyak kebijakan ekonomi hijau. World
Economic Forum (WEF) melaporkan bahwa pengembangan kota pintar (smart
cities) yang berbasis infrastruktur hijau dapat mengurangi emisi karbon hingga
40% pada tahun 2050.11
2.2.5.
Keuangan
Berkelanjutan (Green Finance)
Peran sektor keuangan sangat
penting dalam mendukung transisi menuju ekonomi hijau. Green bonds,
atau obligasi hijau, telah menjadi instrumen utama dalam mendanai proyek-proyek
ramah lingkungan. International Finance Corporation (IFC)
mencatat bahwa pasar obligasi hijau global telah mencapai lebih dari $1 triliun
sejak diperkenalkan pertama kali pada tahun 2007.12
Catatan Kaki
[1]
United Nations Environment Programme, Towards a Green Economy: Pathways to
Sustainable Development and Poverty Eradication (Nairobi: UNEP,
2011), 16.
[2]
Ellen MacArthur Foundation, The Circular Economy: A Wealth of Flows
(Cowes: Ellen MacArthur Foundation, 2016), 14.
[3]
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Green
Growth Indicators 2017 (Paris: OECD Publishing, 2017), 23.
[4]
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Paris
Agreement (Paris: UNFCCC, 2015), 4.
[5]
The World Bank, Inclusive Green Growth: The Pathway to
Sustainable Development (Washington, DC: The World Bank, 2012), 5.
[6]
Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem
Services (IPBES), Global Assessment Report on Biodiversity and
Ecosystem Services (Bonn: IPBES, 2019), 3.
[7]
International Renewable Energy Agency (IRENA), Renewable
Energy and Jobs Annual Review 2021 (Abu Dhabi: IRENA, 2021), 7.
[8]
Ibid., 9.
[9]
Food and Agriculture Organization (FAO), The State of Food and Agriculture 2019: Moving
Forward on Food Loss and Waste Reduction (Rome: FAO, 2019), 12.
[10]
Ellen MacArthur Foundation, The Circular Economy, 18.
[11]
World Economic Forum, The Future of Urban Development and Services
Initiative (Geneva: WEF, 2019), 6.
[12]
International Finance Corporation (IFC), Green Bond Impact Report 2021
(Washington, DC: IFC, 2021), 8.
3.
Implementasi
dan Studi Kasus Green Economy
3.1.
Kebijakan dan Regulasi Green Economy
Green economy telah menjadi
bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan di banyak negara melalui
kebijakan dan regulasi yang mendukung transisi menuju sistem ekonomi yang lebih
ramah lingkungan. Sejumlah regulasi dan perjanjian internasional telah
disepakati untuk mempercepat implementasi ekonomi hijau, di antaranya:
3.1.1.
Kebijakan Nasional
dalam Mendukung Green Economy
Pemerintah di berbagai negara
telah mengadopsi kebijakan yang mendorong investasi dalam sektor energi terbarukan,
efisiensi energi, serta pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik.
Contohnya, Uni Eropa menerapkan kebijakan European Green Deal,
yang bertujuan mencapai netralitas karbon pada tahun 2050.1 Program
ini mencakup investasi dalam energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi,
serta pajak karbon untuk industri yang menghasilkan emisi tinggi.
Selain itu, Tiongkok
telah mengadopsi konsep "Ecological Civilization",
yang menempatkan keberlanjutan lingkungan sebagai pilar utama dalam kebijakan
ekonomi nasionalnya.2 Negara ini berinvestasi besar-besaran dalam
industri energi bersih, terutama tenaga surya dan angin, serta memperkenalkan
mekanisme perdagangan karbon untuk mengurangi emisi industri.
Sementara itu, di Indonesia,
kebijakan ekonomi hijau telah menjadi bagian dari Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yang mencakup strategi
untuk meningkatkan efisiensi energi, mengurangi deforestasi, dan mendorong
penggunaan bahan bakar terbarukan.3
3.1.2.
Perjanjian
Internasional Terkait Green Economy
Beberapa perjanjian global
juga berperan penting dalam mendorong implementasi ekonomi hijau, antara lain:
·
Paris
Agreement 2015, yang mengikat negara-negara untuk membatasi
kenaikan suhu global di bawah 2°C di atas tingkat pra-industri.4
·
Sustainable
Development Goals (SDGs), khususnya Tujuan 7
(Energi Bersih dan Terjangkau) dan Tujuan
13 (Aksi Iklim), yang mendorong peralihan ke energi bersih dan
pengurangan emisi gas rumah kaca.5
·
The
Kigali Amendment to the Montreal Protocol, yang menargetkan
pengurangan penggunaan hidrofluorokarbon (HFC) sebagai bagian dari upaya
mitigasi perubahan iklim.6
3.2.
Penerapan Green Economy di Berbagai Negara
Setiap negara menghadapi
tantangan yang berbeda dalam menerapkan kebijakan ekonomi hijau, tetapi ada
beberapa contoh sukses implementasi yang dapat menjadi acuan bagi negara lain.
3.2.1.
Studi Kasus: Uni
Eropa dan European Green Deal
Uni Eropa
merupakan salah satu kawasan yang paling progresif dalam menerapkan kebijakan
ekonomi hijau. European Green Deal yang diluncurkan pada tahun
2019 menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 55% pada tahun
2030 dan netralitas karbon pada tahun 2050.7 Salah satu langkah
konkret dalam program ini adalah implementasi pajak karbon dan investasi
sebesar €1 triliun dalam energi terbarukan serta infrastruktur
hijau.
Keberhasilan Uni Eropa juga
terlihat dalam transisi ke energi bersih. Denmark dan Jerman
telah menjadi pemimpin dalam sektor energi angin dan surya, dengan lebih dari 50%
listrik mereka berasal dari energi terbarukan pada tahun 2021.8
3.2.2.
Studi Kasus: China
dan Revolusi Energi Hijau
Tiongkok merupakan negara
dengan investasi terbesar dalam energi hijau. Pada tahun 2020, Tiongkok
mengalokasikan lebih dari $400 miliar untuk pengembangan
energi terbarukan.9 Langkah strategisnya meliputi:
·
Menjadi produsen
panel surya terbesar di dunia, dengan kapasitas produksi lebih
dari 70% dari total global.
·
Menerapkan sistem
perdagangan karbon terbesar di dunia untuk mengurangi emisi
industri berat.
·
Meningkatkan kapasitas
pembangkit listrik tenaga angin dan surya lebih cepat dibanding negara lain.10
3.2.3.
Studi Kasus:
Indonesia dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau
Sebagai negara yang kaya akan
sumber daya alam, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengurangi
deforestasi dan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, sejumlah langkah
telah diambil:
·
Pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata, yang
menjadi salah satu proyek PLTS terbesar di Asia Tenggara.11
·
Moratorium
izin perkebunan sawit baru untuk mengurangi deforestasi dan
meningkatkan keberlanjutan industri kelapa sawit.12
·
Penerapan program
biodiesel B30, yang mengurangi ketergantungan pada bahan bakar
fosil dengan mencampurkan minyak sawit dalam bahan bakar solar.13
3.3.
Peran Sektor Swasta dan Masyarakat dalam Green
Economy
Implementasi green economy
tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah, tetapi juga membutuhkan
keterlibatan sektor swasta dan masyarakat.
3.3.1.
Inovasi Industri
dalam Ekonomi Hijau
Banyak perusahaan
multinasional yang telah berkomitmen untuk menerapkan prinsip green economy
dalam model bisnis mereka, misalnya:
·
Tesla
Inc., yang memimpin inovasi kendaraan listrik dan energi
terbarukan.14
·
Unilever,
yang menerapkan konsep supply chain berkelanjutan dengan
mengurangi jejak karbon dan mengutamakan bahan baku ramah lingkungan.15
·
Google
dan Apple, yang telah beralih ke 100%
energi terbarukan dalam operasional pusat data mereka.16
3.3.2.
Peran Masyarakat
dalam Mendukung Green Economy
Kesadaran masyarakat juga
memainkan peran penting dalam mempercepat transisi menuju ekonomi hijau. Adopsi
gaya hidup ramah lingkungan, seperti penggunaan transportasi publik,
pengurangan plastik sekali pakai, serta konsumsi produk organik dan daur ulang,
semakin meningkat di berbagai negara.17
Catatan Kaki
[1]
European Commission, The European Green Deal (Brussels:
European Commission, 2019), 5.
[2]
Ministry of Ecology and Environment of China, China’s
Policies and Actions for Addressing Climate Change (Beijing: MEE,
2020), 3.
[3]
Bappenas, Low Carbon Development: A Paradigm Shift
Towards a Green Economy in Indonesia (Jakarta: Bappenas, 2021), 8.
[4]
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Paris
Agreement (Paris: UNFCCC, 2015), 2.
[5]
United Nations, Transforming Our World: The 2030 Agenda for
Sustainable Development (New York: United Nations, 2015), 7.
[6]
UNEP, The Kigali Amendment to the Montreal Protocol
(Nairobi: UNEP, 2016), 4.
[7]
European Commission, The European Green Deal, 9.
[8]
International Energy Agency (IEA), Renewables 2021 (Paris: IEA, 2021),
14.
[9]
Bloomberg New Energy Finance, China's Clean Energy Boom (New
York: Bloomberg, 2020), 11.
[10]
Ibid., 12.
[11]
PLN, Proyek PLTS Terapung Cirata
(Jakarta: PLN, 2021), 3.
[12]
Ministry of Environment and Forestry of Indonesia, Indonesia’s
Forestry Moratorium (Jakarta: KLHK, 2020), 6.
[13]
Pertamina, Program Biodiesel B30 (Jakarta:
Pertamina, 2021), 2.
[14]
Tesla, Impact Report 2021 (Palo Alto:
Tesla, 2021), 5.
[15]
Unilever, Sustainable Living Plan 2020
(London: Unilever, 2020), 4.
[16]
Apple, Environmental Progress Report 2021
(Cupertino: Apple, 2021), 3.
[17]
World Economic Forum, The Future of Sustainable Consumption
(Geneva: WEF, 2021), 6.
4.
Tantangan
dan Prospek Green Economy
4.1.
Tantangan dalam Implementasi Green Economy
Meskipun konsep green
economy menjanjikan solusi terhadap krisis lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan, implementasinya menghadapi sejumlah tantangan yang kompleks.
Beberapa hambatan utama dalam transisi ke ekonomi hijau meliputi aspek
kebijakan, ekonomi, sosial, dan teknologi.
4.1.1.
Hambatan Kebijakan
dan Regulasi
Banyak negara masih
menghadapi kesulitan dalam menyusun dan menegakkan kebijakan yang mendukung
green economy. Salah satu tantangan utama adalah kurangnya harmonisasi
regulasi antar negara, yang menghambat investasi lintas batas dalam
proyek energi hijau dan teknologi rendah karbon.1
Selain itu, regulasi terkait
subsidi bahan bakar fosil di banyak negara masih menjadi penghalang utama dalam
transisi ke energi bersih. International Energy Agency (IEA)
melaporkan bahwa subsidi global untuk bahan bakar fosil mencapai $450
miliar pada tahun 2021, jauh lebih besar dibandingkan subsidi untuk
energi terbarukan.2 Tanpa reformasi kebijakan yang lebih agresif,
transisi menuju energi hijau akan terus mengalami hambatan.
4.1.2.
Ketergantungan pada
Energi Fosil dan Transisi yang Lambat
Meskipun banyak negara telah
mengadopsi kebijakan energi terbarukan, ketergantungan terhadap bahan bakar
fosil masih tinggi. Global Energy Review 2022 dari IEA
mencatat bahwa konsumsi batu bara justru meningkat lebih dari 6% pada
tahun 2021, seiring dengan pemulihan ekonomi pasca-pandemi COVID-19.3
Banyak negara berkembang,
termasuk Indonesia, masih menghadapi tantangan besar dalam mengalihkan sektor
industrinya ke sumber energi yang lebih bersih. Infrastruktur yang belum
memadai serta keterbatasan akses ke teknologi ramah lingkungan memperlambat
proses transisi.4
4.1.3.
Biaya Investasi Awal
yang Tinggi
Green economy sering kali
membutuhkan investasi awal yang besar dalam sektor energi terbarukan, efisiensi
sumber daya, dan infrastruktur hijau. World Bank memperkirakan
bahwa untuk mencapai target netral karbon global pada tahun 2050, diperlukan
investasi tahunan sebesar $4,5 triliun di berbagai sektor
ekonomi.5
Meskipun investasi jangka
panjang dalam ekonomi hijau dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial, banyak
negara berkembang menghadapi keterbatasan dana dan akses terhadap pinjaman
hijau. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme pembiayaan yang lebih inklusif,
seperti obligasi hijau (green bonds) dan kemitraan
publik-swasta untuk mempercepat implementasi proyek hijau.6
4.1.4.
Kurangnya Kesadaran
dan Partisipasi Masyarakat
Kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya green economy masih beragam, terutama di negara-negara berkembang.
Kebiasaan konsumsi yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan plastik
sekali pakai dan ketergantungan pada kendaraan berbahan bakar fosil, masih
menjadi kendala besar dalam mempercepat transisi ke ekonomi hijau.7
Kampanye edukasi dan advokasi
tentang manfaat ekonomi hijau sangat diperlukan untuk meningkatkan partisipasi
publik dalam menciptakan gaya hidup yang lebih berkelanjutan. Pemerintah dan
sektor swasta memiliki peran kunci dalam memperkuat program kesadaran
lingkungan dan memberikan insentif bagi individu serta perusahaan yang
menerapkan praktik hijau.8
4.2.
Masa Depan Green Economy: Peluang dan Prospek
Meskipun menghadapi banyak
tantangan, green economy tetap menjadi tren utama dalam pembangunan ekonomi
global. Sejumlah inovasi dan kebijakan strategis telah menunjukkan bahwa
transisi menuju ekonomi hijau memiliki prospek yang positif.
4.2.1.
Peran Inovasi
Teknologi dalam Ekonomi Hijau
Kemajuan teknologi memainkan
peran sentral dalam mempercepat implementasi ekonomi hijau. Beberapa inovasi
yang mendukung transisi ini meliputi:
·
Teknologi
energi terbarukan, seperti panel surya dengan efisiensi tinggi
dan turbin angin generasi baru, yang semakin terjangkau dan dapat diakses oleh
lebih banyak negara.9
·
Artificial
Intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT) yang diterapkan
dalam manajemen energi dan efisiensi sumber daya di berbagai sektor industri.10
·
Mobil
listrik dan baterai berkapasitas tinggi, yang dapat mengurangi
emisi karbon dari sektor transportasi dan mempercepat transisi dari kendaraan
berbahan bakar fosil.11
Investasi dalam teknologi
hijau ini telah menunjukkan dampak yang signifikan dalam menurunkan biaya
produksi energi bersih, sehingga meningkatkan daya saing ekonomi hijau di pasar
global.
4.2.2.
Peningkatan
Investasi dan Keuangan Hijau
Keuangan berkelanjutan (sustainable
finance) menjadi pendorong utama dalam mendukung transisi ekonomi
hijau. Green bonds dan investasi ESG (Environmental,
Social, and Governance) semakin berkembang pesat, dengan nilai pasar
obligasi hijau global mencapai $1,6 triliun pada tahun 2022.12
Banyak lembaga keuangan dan
bank sentral mulai menerapkan kebijakan untuk memprioritaskan proyek yang
mendukung keberlanjutan lingkungan. Misalnya, European Central Bank
(ECB) telah mengalokasikan dana khusus untuk mendukung perusahaan yang
memiliki kebijakan hijau dalam operasional bisnisnya.13
4.2.3.
Sinergi antara
Pemerintah, Sektor Swasta, dan Masyarakat
Keberhasilan implementasi
ekonomi hijau sangat bergantung pada kolaborasi antara pemerintah, sektor
swasta, dan masyarakat. Beberapa strategi yang dapat mempercepat transisi
menuju ekonomi hijau meliputi:
·
Insentif
bagi perusahaan hijau, seperti pajak karbon dan subsidi untuk
energi terbarukan.
·
Kebijakan
pendidikan dan pelatihan tenaga kerja hijau, untuk menciptakan
keterampilan yang sesuai dengan tuntutan industri berkelanjutan.14
·
Kampanye
kesadaran publik, guna mendorong masyarakat untuk mengadopsi
gaya hidup yang lebih ramah lingkungan.
Dengan dukungan kebijakan
yang tepat, teknologi yang berkembang, dan partisipasi aktif dari berbagai
pemangku kepentingan, green economy dapat menjadi pilar utama dalam membangun
masa depan yang lebih berkelanjutan dan inklusif.
Catatan Kaki
[1]
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Green
Growth and Environmental Policies (Paris: OECD Publishing, 2020),
7.
[2]
International Energy Agency (IEA), Fossil Fuel Subsidies Tracker 2021
(Paris: IEA, 2021), 3.
[3]
IEA, Global Energy Review 2022 (Paris:
IEA, 2022), 5.
[4]
United Nations Development Programme (UNDP), Energy
Transition in Developing Countries (New York: UNDP, 2021), 9.
[5]
The World Bank, Financing the Green Transition
(Washington, DC: The World Bank, 2022), 4.
[6]
Ibid., 5.
[7]
World Economic Forum, Public Awareness and Green Economy
(Geneva: WEF, 2021), 6.
[8]
United Nations, Advancing Public Engagement in Sustainability
(New York: UN, 2022), 8.
[9]
Bloomberg New Energy Finance, Clean Energy Trends 2022 (New York:
Bloomberg, 2022), 11.
[10]
Ibid., 12.
[11]
International Transport Forum, Electric Vehicles and Future Mobility
(Paris: ITF, 2021), 7.
[12]
International Finance Corporation (IFC), Green Bonds Market Update 2022 (Washington,
DC: IFC, 2022), 3.
[13]
European Central Bank (ECB), Sustainable Finance Strategy 2022
(Frankfurt: ECB, 2022), 2.
[14]
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO), Green
Skills for the Future (Paris: UNESCO, 2022), 5.
5.
Kesimpulan
dan Rekomendasi
5.1.
Kesimpulan
Green economy merupakan
konsep yang menawarkan solusi jangka panjang bagi tantangan lingkungan, sosial,
dan ekonomi global. Dengan menekankan pada efisiensi sumber daya, energi
terbarukan, pengurangan emisi karbon, serta pembangunan yang inklusif dan
berkelanjutan, ekonomi hijau bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara
pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. United Nations
Environment Programme (UNEP) mendefinisikan green economy sebagai
sistem ekonomi yang meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial,
sembari mengurangi risiko lingkungan serta kelangkaan sumber daya alam.1
Berbagai negara telah
mengadopsi kebijakan dan strategi ekonomi hijau sebagai bagian dari agenda
pembangunan mereka. Uni Eropa, misalnya, telah menerapkan European
Green Deal, yang bertujuan untuk mencapai netralitas karbon pada tahun
2050 melalui kebijakan energi bersih, pajak karbon, dan investasi dalam
infrastruktur hijau.2 Tiongkok, sebagai salah satu
negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat, telah menjadi pemimpin global dalam
investasi energi terbarukan dan pengembangan teknologi hijau.3
Sementara itu, Indonesia telah mulai mengadopsi strategi
pembangunan rendah karbon dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) dengan fokus pada transisi energi dan perlindungan hutan.4
Meskipun terdapat banyak
kemajuan, implementasi ekonomi hijau masih menghadapi tantangan yang
signifikan. Ketergantungan pada bahan bakar fosil, kurangnya
regulasi yang harmonis, serta biaya investasi awal yang tinggi
menjadi hambatan utama bagi banyak negara dalam beralih ke sistem ekonomi yang
lebih berkelanjutan.5 Selain itu, kesadaran masyarakat dan
partisipasi sektor swasta juga berperan krusial dalam mempercepat
transisi menuju green economy.6
Secara keseluruhan, meskipun
masih ada tantangan yang harus diatasi, tren global menunjukkan bahwa ekonomi
hijau akan menjadi model ekonomi dominan di masa depan. Dengan dukungan inovasi
teknologi, kebijakan yang efektif, dan partisipasi berbagai pemangku
kepentingan, ekonomi hijau dapat mewujudkan pertumbuhan yang berkelanjutan
sekaligus melindungi lingkungan bagi generasi mendatang.
5.2.
Rekomendasi
Untuk mempercepat
implementasi ekonomi hijau dan mengatasi berbagai tantangan yang ada, sejumlah
rekomendasi strategis dapat diterapkan oleh pemerintah, sektor swasta, serta
masyarakat sipil.
5.2.1.
Langkah Konkret bagi
Pemerintah
1)
Reformasi Kebijakan dan
Regulasi
Pemerintah perlu memperkuat kebijakan yang mendukung ekonomi hijau, termasuk:
Menghapus subsidi bahan bakar fosil
secara bertahap dan mengalihkan dana tersebut ke investasi energi terbarukan.7
Menetapkan pajak karbon dan mekanisme
perdagangan emisi untuk mendorong industri mengurangi jejak karbon
mereka.8
Meningkatkan standar lingkungan
bagi sektor industri dan konstruksi untuk mengurangi polusi serta meningkatkan
efisiensi sumber daya.9
2)
Peningkatan Investasi
dalam Infrastruktur Hijau
Pemerintah harus mendorong pengembangan transportasi
publik yang ramah lingkungan, seperti kendaraan listrik dan jaringan
transportasi berbasis energi bersih.10
Mendukung pengembangan energi terbarukan
dengan memberikan insentif kepada produsen energi bersih dan mempermudah
perizinan proyek energi hijau.11
3)
Peningkatan Kapasitas dan
Pendidikan
Pemerintah perlu mengintegrasikan kurikulum
pendidikan berbasis keberlanjutan untuk meningkatkan kesadaran dan
keterampilan generasi mendatang dalam menghadapi tantangan lingkungan.12
Pelatihan tenaga kerja dalam industri hijau harus
ditingkatkan guna memastikan kesiapan sumber daya manusia dalam menghadapi
transformasi ekonomi hijau.13
5.2.2.
Peran Sektor Swasta
dalam Ekonomi Hijau
1)
Integrasi Prinsip ESG
(Environmental, Social, and Governance) dalam Bisnis
Perusahaan harus berkomitmen untuk menerapkan praktik bisnis yang berkelanjutan
dengan:
Mengurangi jejak karbon dalam rantai
pasok melalui efisiensi energi dan bahan baku.14
Mengembangkan produk dan layanan ramah
lingkungan, seperti kemasan yang dapat didaur ulang dan model bisnis
berbasis circular economy.15
2)
Investasi dalam Inovasi
dan Teknologi Hijau
Perusahaan dapat berkontribusi dengan
mengembangkan teknologi energi bersih, seperti baterai
berkapasitas tinggi dan sistem energi pintar berbasis AI.16
Memanfaatkan keuangan hijau,
seperti green bonds dan investasi berkelanjutan untuk membiayai proyek-proyek
yang mendukung transisi ke ekonomi hijau.17
5.2.3.
Mendorong Kesadaran
dan Partisipasi Masyarakat
1)
Mengadopsi Gaya Hidup
Berkelanjutan
Masyarakat perlu meningkatkan konsumsi produk
yang lebih ramah lingkungan, seperti menggunakan kendaraan listrik, mengurangi
limbah plastik, dan mendukung bisnis yang menerapkan praktik berkelanjutan.18
Pola konsumsi berkelanjutan,
seperti diet berbasis nabati dan pengurangan food waste, dapat memberikan
dampak besar dalam mengurangi jejak karbon individu.19
2)
Partisipasi dalam Gerakan
Lingkungan
Kampanye kesadaran publik harus diperkuat untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya ekonomi hijau.20
Kolaborasi antara pemerintah, LSM, dan
komunitas lokal sangat penting untuk menciptakan aksi kolektif dalam
upaya perlindungan lingkungan dan transisi ekonomi hijau.21
Catatan Kaki
[1]
United Nations Environment Programme, Towards a Green Economy: Pathways to
Sustainable Development and Poverty Eradication (Nairobi: UNEP,
2011), 16.
[2]
European Commission, The European Green Deal (Brussels:
European Commission, 2019), 3.
[3]
Bloomberg New Energy Finance, China’s Clean Energy Boom (New
York: Bloomberg, 2020), 9.
[4]
Bappenas, Low Carbon Development: A Paradigm Shift
Towards a Green Economy in Indonesia (Jakarta: Bappenas, 2021), 4.
[5]
International Energy Agency (IEA), World Energy Outlook 2022 (Paris:
IEA, 2022), 12.
[6]
World Economic Forum, The Future of Sustainable Consumption
(Geneva: WEF, 2021), 6.
[7]
IEA, Fossil Fuel Subsidies Tracker 2021
(Paris: IEA, 2021), 2.
[8]
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Paris
Agreement (Paris: UNFCCC, 2015), 4.
[9]
OECD, Green Growth and Environmental Policies
(Paris: OECD Publishing, 2020), 5.
[10]
International Transport Forum, Electric Vehicles and Future Mobility
(Paris: ITF, 2021), 7.
[11]
World Bank, Financing the Green Transition
(Washington, DC: The World Bank, 2022), 4.
[12]
UNESCO, Green Skills for the Future (Paris:
UNESCO, 2022), 5.
[13]
Ibid., 6.
[14]
Unilever, Sustainable Living Plan 2020
(London: Unilever, 2020), 7.
[15]
Ellen MacArthur Foundation, The Circular Economy: A Wealth of Flows
(Cowes: Ellen MacArthur Foundation, 2016), 9.
[16]
Bloomberg, Clean Energy Trends 2022, 11.
[17]
International Finance Corporation (IFC), Green Bonds Market Update 2022
(Washington, DC: IFC, 2022), 3.
[18]
WEF, The Future of Sustainable Consumption,
6.
[19]
FAO, Food Waste Index Report 2021 (Rome:
FAO, 2021), 8.
[20]
UNEP, Advancing Public Engagement in Sustainability,
5.
[21]
Ibid., 6.
Daftar Pustaka
Bloomberg New Energy Finance. (2020). China’s
clean energy boom. Bloomberg.
Bloomberg New Energy Finance. (2022). Clean
energy trends 2022. Bloomberg.
Bappenas. (2021). Low carbon development: A
paradigm shift towards a green economy in Indonesia. Bappenas.
European Commission. (2019). The European Green
Deal. European Commission.
Ellen MacArthur Foundation. (2016). The circular
economy: A wealth of flows. Ellen MacArthur Foundation.
FAO. (2021). Food waste index report 2021.
Food and Agriculture Organization of the United Nations.
IEA. (2021). Fossil fuel subsidies tracker 2021.
International Energy Agency.
IEA. (2022). Global energy review 2022.
International Energy Agency.
IEA. (2022). World energy outlook 2022.
International Energy Agency.
International Finance Corporation (IFC). (2022). Green
bonds market update 2022. IFC.
International Transport Forum (ITF). (2021). Electric
vehicles and future mobility. ITF.
Ministry of Ecology and Environment of China.
(2020). China’s policies and actions for addressing climate change.
Ministry of Ecology and Environment of China.
Ministry of Environment and Forestry of Indonesia.
(2020). Indonesia’s forestry moratorium. Ministry of Environment and
Forestry of Indonesia.
Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD). (2020). Green growth and environmental policies.
OECD Publishing.
Pertamina. (2021). Program biodiesel B30.
Pertamina.
PLN. (2021). Proyek PLTS terapung Cirata.
PLN.
Tesla. (2021). Impact report 2021. Tesla
Inc.
UNESCO. (2022). Green skills for the future.
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
United Nations. (2015). Transforming our world:
The 2030 agenda for sustainable development. United Nations.
United Nations Development Programme (UNDP).
(2021). Energy transition in developing countries. UNDP.
United Nations Environment Programme (UNEP).
(2011). Towards a green economy: Pathways to sustainable development and
poverty eradication. UNEP.
United Nations Environment Programme (UNEP).
(2016). The Kigali amendment to the Montreal Protocol. UNEP.
United Nations Environment Programme (UNEP).
(2022). Advancing public engagement in sustainability. UNEP.
United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC). (2015). Paris Agreement. UNFCCC.
Unilever. (2020). Sustainable living plan 2020.
Unilever.
World Bank. (2012). Inclusive green growth: The
pathway to sustainable development. World Bank.
World Bank. (2022). Financing the green
transition. World Bank.
World Economic Forum (WEF). (2019). The future
of urban development and services initiative. WEF.
World Economic Forum (WEF). (2021). The future
of sustainable consumption. WEF.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar