Sejarah Penurunan dan Penulisan Al-Qur'an
Pembahasan Komprehansif Qurdis
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 10 (Sepuluh)
Abstrak
Sejarah penurunan dan
penulisan Al-Qur’an merupakan kajian fundamental dalam studi Islam yang
menegaskan keautentikan wahyu Allah Swt. Artikel ini membahas secara
komprehensif proses turunnya Al-Qur’an dalam dua tahap utama: pertama, dari
Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izzah di langit dunia, dan kedua, penurunannya secara
bertahap kepada Nabi Muhammad Saw. selama 23 tahun melalui perantaraan Malaikat
Jibril. Selain itu, artikel ini menguraikan proses penghafalan dan penulisan
Al-Qur’an sejak masa Nabi hingga kodifikasi pada masa Khalifah Abu Bakar
Ash-Shiddiq dan standarisasi Mushaf Utsmani oleh Khalifah Utsman bin Affan
untuk menjaga kesatuan qira’at.
Lebih lanjut, perkembangan
ilmu Al-Qur’an seperti ilmu tajwid, qira’at, rasm, asbabun nuzul, dan nasikh wa
mansukh menjadi bukti bahwa umat Islam terus memelihara wahyu dengan sistem
keilmuan yang ketat. Pembukuan ilmu Al-Qur’an dalam kitab-kitab klasik hingga
era digital juga menunjukkan bahwa studi terhadap Al-Qur’an mengalami evolusi
sesuai dengan perkembangan zaman. Berbagai penelitian ilmiah mengenai manuskrip
kuno Al-Qur’an membuktikan bahwa teks suci ini tetap terjaga dari perubahan
sejak pertama kali diturunkan.
Hikmah dari sejarah penurunan
dan penulisan Al-Qur’an adalah jaminan keotentikan wahyu, pentingnya
penghafalan, signifikansi standarisasi mushaf, serta relevansi Al-Qur’an dalam
kehidupan modern. Dengan perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan
dalam studi Al-Qur’an, upaya menjaga dan memahami wahyu terus berkembang,
memastikan bahwa Al-Qur’an tetap menjadi pedoman utama bagi umat Islam
sepanjang masa.
Kata Kunci: Al-Qur’an,
Penurunan Wahyu, Kodifikasi Al-Qur’an, Mushaf Utsmani, Ilmu Tajwid, Ilmu
Qira’at, Rasm Utsmani, Asbabun Nuzul, Digitalisasi Al-Qur’an, Keotentikan
Al-Qur’an.
PEMBAHASAN
Sejarah Penurunan dan Penulisan Al-Qur'an
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 10
(Sepuluh)
Bab : Bab 2 - Sejarah
Penurunan dan Penulisan Al-Qur'an
1.
Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan kitab
suci umat Islam yang diyakini sebagai firman Allah Swt yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw. melalui perantaraan Malaikat Jibril. Sebagai wahyu terakhir,
Al-Qur’an menjadi pedoman utama bagi umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan,
baik dalam ranah teologi, hukum, maupun sosial. Pemahaman yang mendalam mengenai
sejarah penurunan (nuzulul Qur’an) dan penulisan
Al-Qur’an sangat penting untuk menguatkan keyakinan terhadap keotentikan dan
orisinalitasnya.
Kajian tentang sejarah
penurunan dan penulisan Al-Qur’an telah banyak dibahas dalam berbagai literatur
klasik maupun modern. Ulama klasik seperti Al-Suyuthi dalam Al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara
bertahap dalam kurun waktu 23 tahun, dimulai dari wahyu pertama di Gua Hira
hingga wahyu terakhir sebelum wafatnya Nabi Muhammad Saw.¹ Pendapat ini
didasarkan pada firman Allah dalam Qs. Al-Furqan [25] ayat 32, yang menyatakan
bahwa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur agar dapat lebih mudah
dipahami dan diterapkan oleh umat Islam.²
Proses penulisan Al-Qur’an
juga mengalami perjalanan panjang. Sejak masa Nabi Muhammad Saw., wahyu telah
dihafalkan dan ditulis oleh para sahabat yang bertugas sebagai juru tulis wahyu
(kuttab al-wahyi). Beberapa di antara mereka adalah
Zaid bin Tsabit, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Ubay bin Ka’b.³ Namun,
pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf secara sistematis baru terjadi pada
masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq setelah banyak penghafal Al-Qur’an gugur
dalam Perang Yamamah.⁴ Upaya kodifikasi ini dilanjutkan oleh Khalifah Utsman
bin Affan yang membakukan mushaf dengan Rasm Utsmani,
yang kemudian menjadi standar penulisan Al-Qur’an hingga saat ini.
Pembahasan tentang sejarah
penurunan dan penulisan Al-Qur’an tidak hanya menarik dalam aspek historis,
tetapi juga sangat relevan dalam studi ilmu Al-Qur’an dan tafsir. Kajian
kontemporer dalam jurnal-jurnal ilmiah Islam menunjukkan bahwa pemahaman yang
lebih dalam terhadap sejarah kodifikasi Al-Qur’an dapat memperkuat argumentasi
akademis dalam menghadapi berbagai tantangan kritik orientalis. Misalnya, dalam
penelitian yang dimuat dalam Journal of Qur'anic Studies,
dijelaskan bahwa sistem penulisan Al-Qur’an telah mengalami standarisasi yang
ketat sejak awal, sehingga sangat sulit bagi manusia untuk melakukan perubahan
atau interpolasi terhadap isinya.⁵
Dengan demikian, memahami
sejarah penurunan dan penulisan Al-Qur’an merupakan bagian dari upaya menjaga
kemurnian wahyu. Artikel ini akan mengkaji aspek-aspek tersebut berdasarkan
sumber-sumber otoritatif, termasuk tafsir klasik, hadits, serta penelitian akademik
mutakhir, guna memberikan pemahaman yang komprehensif dan autentik kepada
pembaca.
Catatan Kaki
[1]
Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan
fi Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 115.
[2]
Al-Qur'an, QS. Al-Furqan [25] ayat 32: "Dan orang-orang yang kafir berkata: 'Mengapa Al-Qur'an itu
tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?' Demikianlah, agar Kami perkuat
hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur).”
[3]
Abu Bakr Ibn Abi Dawud, Kitab
al-Masahif (Cairo: Maktabah
al-Khanji, 2002), 43.
[4]
Muhammad Mustafa Al-A'zami, The
History of the Qur’anic Text from Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 97.
[5]
M. A. S. Abdel Haleem, "The Qur'an and the Prophet's Hadith: Some
Notes on Their Relationship," Journal
of Qur'anic Studies 5, no. 2 (2003):
36.
2.
Pengertian Wahyu dalam Islam
2.1.
Definisi Wahyu dalam Perspektif Islam
Wahyu dalam Islam adalah
firman Allah Swt yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebagai petunjuk
bagi umat manusia. Dalam bahasa Arab, kata wahyu (الوَحْيُ) berasal dari akar kata wāḥā
- yūḥī (وَحَى - يُوْحِيْ) yang berarti “isyarat cepat, bisikan,
atau pemberitahuan secara rahasia.”¹ Secara terminologis, para ulama
mendefinisikan wahyu sebagai komunikasi Ilahi yang disampaikan kepada nabi
melalui perantaraan Malaikat Jibril atau secara langsung tanpa perantara.
Imam Al-Suyuthi dalam Al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan wahyu sebagai informasi yang Allah
berikan kepada nabi-Nya dengan cara yang khas dan khusus, tidak dapat dipahami
oleh manusia biasa.² Ibn Khaldun dalam Muqaddimah
menjelaskan bahwa wahyu adalah bentuk pengetahuan Ilahi yang berbeda dari akal
manusia biasa, sebab ia datang dari sumber yang lebih tinggi dan bersifat
absolut.³
Dalam Al-Qur'an, Allah Swt menjelaskan
bahwa wahyu merupakan bentuk komunikasi-Nya kepada para nabi dengan tiga cara:
1)
Melalui
ilham langsung ke dalam hati nabi, sebagaimana dalam firman
Allah:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ
وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
"Dan tidak mungkin bagi seorang manusia
bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di
belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu dia
mewahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.” (Qs.
Asy-Syura [42] ayat 51).⁴
2)
Melalui
perantara Malaikat Jibril, sebagaimana disebutkan dalam Qs.
An-Najm [53] ayat 4-5:
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ(4) عَلَّمَهُ
شَدِيدُ الْقُوَىٰ(5)
"Itu tidak lain adalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya), (4) yang diajarkan kepadanya oleh
(Jibril) yang sangat kuat. (5)”⁵
3)
Melalui
pembicaraan langsung dengan Allah Swt, sebagaimana yang dialami
oleh Nabi Musa a.s. dalam Qs. An-Nisa [4] ayat 164:
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا
"Dan Allah telah berbicara
kepada Musa dengan langsung.”⁶
Dari penjelasan ini, wahyu
memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar komunikasi Ilahi kepada
manusia; ia merupakan bentuk transmisi pengetahuan Ilahi yang bertujuan untuk
membimbing manusia ke jalan yang benar.
2.2.
Perbedaan Wahyu dengan Ilham dan Mimpi
Dalam kajian ilmu wahyu, para
ulama membedakan antara wahyu, ilham, dan mimpi berdasarkan sumber dan
validitasnya.
1)
Wahyu
adalah komunikasi langsung dari Allah yang diberikan kepada para nabi dan rasul
sebagai pedoman bagi umat manusia. Wahyu memiliki sifat mutlak, mengandung
hukum syariat, dan terjaga dari kesalahan.
2)
Ilham
adalah inspirasi yang diberikan Allah kepada manusia tertentu, termasuk
orang-orang saleh dan wali, tetapi tidak memiliki sifat wajib diikuti seperti
wahyu. Ilham juga diberikan kepada makhluk selain manusia, sebagaimana dalam Qs.
An-Nahl [16] ayat 68, di mana Allah mewahyukan kepada lebah bagaimana cara
membuat sarang.⁷
3)
Mimpi
dapat menjadi salah satu bentuk wahyu bagi para nabi, sebagaimana yang terjadi
dalam mimpi Nabi Ibrahim a.s. yang diperintahkan untuk menyembelih putranya,
Ismail a.s. (Qs. As-Saffat [37] ayat 102).⁸ Namun, bagi manusia biasa, mimpi
tidak memiliki kekuatan hukum syariat kecuali dikonfirmasi oleh wahyu atau
dalil lain yang sahih.
Dalam hadis yang diriwayatkan
oleh Al-Bukhari, Rasulullah Saw. bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: الرُّؤْيَا
الصَّالِحَةُ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ
"Mimpi yang baik
adalah bagian dari 46 bagian kenabian."⁹ Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun mimpi bisa menjadi petunjuk, ia tidak setara dengan wahyu yang
diberikan kepada nabi.
2.3.
Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Umat Islam
Wahyu memiliki beberapa
fungsi utama dalam kehidupan umat Islam, antara lain:
1)
Sebagai Petunjuk Hidup
Al-Qur’an merupakan wahyu terakhir yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai pedoman bagi seluruh umat manusia.
Allah berfirman dalam Qs. Al-Baqarah [2] ayat 2:
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
"Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada
keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa."¹⁰
2)
Sebagai Pembeda antara
Kebenaran dan Kebatilan
Wahyu membedakan antara yang haq dan yang batil,
sebagaimana dalam Qs. Al-Anfal [8] ayat 29:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ
فُرْقَانًا
"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu
bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu Furqan
(kemampuan membedakan antara yang benar dan yang salah).”¹¹
3)
Sebagai Penyempurna
Syariat
Wahyu merupakan sumber hukum Islam yang utama.
Dalam Qs. Al-Ma’idah [5] ayat 3, Allah menyatakan bahwa Islam telah
disempurnakan melalui wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw.¹²
4)
Sebagai Sumber Kekuatan
Spiritual
Wahyu memberikan ketenangan dan kekuatan
spiritual bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana dijelaskan dalam Qs.
Ar-Ra’d [13] ayat 28:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah
hati menjadi tenteram.”¹³
Dari berbagai fungsi ini,
wahyu tidak hanya menjadi pedoman hukum, tetapi juga memiliki dimensi spiritual
dan sosial yang membentuk kehidupan umat Islam secara keseluruhan.
Kesimpulan
Bab ini membahas tentang
konsep wahyu dalam Islam, bagaimana ia berbeda dengan ilham dan mimpi, serta
peran fundamentalnya dalam kehidupan umat Islam. Melalui kajian ini, dapat
dipahami bahwa wahyu bukan sekadar komunikasi Ilahi, tetapi merupakan sumber
utama bagi pembentukan peradaban Islam yang berdasarkan petunjuk Allah Swt.
Catatan Kaki
[1]
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar
al-Sadir, 1993), 13: 565.
[2]
Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur'an (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 58.
[3]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr,
2004), 223.
[4]
Al-Qur'an, QS. Asy-Syura [42] ayat 51.
[5]
Al-Qur'an, QS. An-Najm [53] ayat 4-5.
[6]
Al-Qur'an, QS. An-Nisa [4] ayat 164.
[7]
Al-Qur'an, QS. An-Nahl [16] ayat 68.
[8]
Al-Qur'an, QS. As-Saffat [37] ayat 102.
[9]
Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Ta’bir,
Bab Ru’ya ash-Shalihah Juz 9 (Riyadh: Darussalam, 1997), Hadis no. 6982.
[10]
Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah [2] ayat 2.
[11]
Al-Qur'an, QS. Al-Anfal [8] ayat 29.
[12]
Al-Qur'an, QS. Al-Ma’idah [5] ayat 3.
[13]
Al-Qur'an, QS. Ar-Ra’d [13] ayat 28.
3.
Teori Penurunan Al-Qur’an
3.1.
Makna Nuzulul Qur’an dan Tahapan Penurunannya
Al-Qur’an adalah wahyu Allah Swt
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai pedoman bagi umat manusia.
Dalam ilmu Al-Qur’an, istilah nuzulul Qur’an (نزول القرآن)
merujuk pada proses turunnya wahyu secara bertahap dalam kurun waktu 23 tahun.¹
Penurunan Al-Qur’an ini terjadi dalam dua tahap utama:
1)
Penurunan
dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izzah (Langit Dunia)
2)
Penurunan
secara bertahap kepada Nabi Muhammad Saw. melalui Malaikat Jibril
Dalil mengenai proses
penurunan ini disebutkan dalam Qs. Al-Qadr [97] ayat 1:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya
(Al-Qur’an) pada malam Lailatul Qadar."²
Menurut Imam Al-Suyuthi dalam
Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, ayat ini menunjukkan
bahwa Al-Qur’an pertama kali diturunkan secara keseluruhan dari Lauhul Mahfudz
ke langit dunia (Baitul ‘Izzah), sebelum
kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad Saw. sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan umat Islam saat itu.³
3.2.
Penurunan Al-Qur’an dari Lauhul Mahfudz ke
Baitul ‘Izzah
Para ulama tafsir menjelaskan
bahwa sebelum disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw., Al-Qur’an telah berada di Lauhul
Mahfudz, sebagaimana dinyatakan dalam Qs. Al-Buruj [85] ayat 21-22:
بَلْ
هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ(21) فِي
لَوْحٍ مَحْفُوظٍ (22)
"Bahkan, (yang didustakan itu) adalah
Al-Qur'an yang mulia, (21) yang (tersimpan) dalam Lauhul Mahfudz.
(22)"⁴
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir
Al-Qur’an al-‘Azhim menyebutkan bahwa penurunan pertama ini merupakan
bentuk pemuliaan terhadap Al-Qur’an, menandakan bahwa ia adalah kitab suci yang
telah ditetapkan oleh Allah Swt sebelum disampaikan kepada manusia.⁵
Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan
fi Ulum al-Qur’an juga menegaskan bahwa penurunan ke langit dunia
bertujuan untuk menegaskan takdir Al-Qur’an sebagai wahyu yang terjaga dan akan
disampaikan secara bertahap kepada Nabi Muhammad Saw.⁶
3.3.
Penurunan Al-Qur’an Secara Bertahap kepada Nabi
Muhammad Saw.
Penurunan Al-Qur’an secara
bertahap berlangsung selama 23 tahun, dimulai dari wahyu pertama di Gua Hira
hingga wahyu terakhir sebelum wafatnya Nabi Muhammad Saw. Dalil mengenai proses
ini terdapat dalam Qs. Al-Furqan [25] ayat 32:
وَقَالَ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ
فُؤَادَكَ ۖ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا
"Dan orang-orang yang kafir berkata:
‘Mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’ Demikianlah,
agar Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil
(teratur).”⁷
Imam Al-Syafi’i dalam Ar-Risalah
menjelaskan bahwa turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur memiliki beberapa
hikmah, di antaranya:⁸
1)
Memudahkan
pemahaman dan penerapan hukum syariat
2)
Menyesuaikan
dengan konteks peristiwa dan kebutuhan umat
3)
Sebagai
bentuk pendidikan bertahap bagi kaum Muslimin
4)
Menguatkan
hati Nabi Muhammad Saw. dalam menjalankan misi kenabian
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani
dalam Fathul Bari, sistem penurunan ini juga menunjukkan
bahwa Al-Qur’an bukanlah hasil pemikiran manusia, melainkan benar-benar firman
Allah yang diturunkan sesuai dengan kehendak-Nya.⁹
3.4.
Periodisasi Turunnya Al-Qur’an: Makkiyah dan
Madaniyah
Para ulama membagi wahyu yang
diterima Nabi Muhammad Saw. menjadi dua periode utama, yaitu:
1)
Wahyu Makkiyah
(Turun sebelum hijrah ke Madinah)
Berisi ajaran tauhid dan keimanan.
Menggunakan bahasa yang kuat dan bernada tegas.
Ditujukan untuk memperkuat keimanan kaum Muslim
dan menghadapi tantangan kaum Quraisy.
2)
Wahyu Madaniyah
(Turun setelah hijrah ke Madinah)
Berisi hukum-hukum syariat, sosial, dan politik
Islam.
Menggunakan gaya bahasa yang lebih panjang dan
rinci.
Ditujukan untuk membangun masyarakat Islam di
Madinah.
Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan
fi Ulum al-Qur’an menegaskan bahwa pembagian ini sangat penting
untuk memahami konteks turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan bagaimana ayat-ayat
tersebut diterapkan dalam kehidupan sosial umat Islam.¹⁰
3.5.
Konteks Sejarah dan Asbabun Nuzul dalam
Penurunan Al-Qur’an
Salah satu aspek penting
dalam memahami penurunan Al-Qur’an adalah ilmu asbabun nuzul
(sebab-sebab turunnya ayat). Ilmu ini berfungsi untuk memahami latar belakang
sosial, politik, dan budaya di balik turunnya wahyu tertentu.
Sebagai contoh, Qs.
Al-Mujadilah [58] ayat 1 turun setelah seorang wanita bernama Khaulah binti
Tsa’labah mengadu kepada Rasulullah Saw. mengenai suaminya yang melakukan zihar
(menyamakan istrinya dengan ibunya, yang dalam tradisi Arab berarti perceraian).
Ayat ini kemudian menghapus tradisi tersebut dalam Islam.¹¹
Ibnu Taimiyyah dalam Muqaddimah
fi Ushul at-Tafsir menyebutkan bahwa mengetahui asbabun
nuzul sangat penting untuk memahami makna ayat dengan benar dan
menghindari kesalahan dalam menafsirkan Al-Qur’an.¹²
Kesimpulan
Teori penurunan Al-Qur’an
mencerminkan sistem wahyu yang terjaga secara ketat dan penuh hikmah. Penurunan
Al-Qur’an secara bertahap menunjukkan bagaimana wahyu Ilahi membentuk umat
Islam secara bertahap, menyesuaikan dengan kebutuhan zaman, dan tetap relevan
hingga saat ini.
Catatan Kaki
[1]
Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur'an (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 34.
[2]
Al-Qur'an, QS. Al-Qadr [97] ayat 1.
[3]
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur'an, 38.
[4]
Al-Qur'an, QS. Al-Buruj [85] ayat 21-22.
[5]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (Riyadh:
Dar Tayyibah, 1999), 12: 256.
[6]
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an (Cairo:
Maktabah Dar al-Turath, 1988), 1: 231.
[7]
Al-Qur'an, QS. Al-Furqan [25] ayat 32.
[8]
Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, Ar-Risalah (Cairo: Dar al-Hadith,
2004), 78.
[9]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1959), 9: 76.
[10]
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, 1:
234.
[11]
Al-Qur'an, QS. Al-Mujadilah [58] ayat 1.
[12]
Ibnu Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir
(Beirut: Dar Ibn Hazm, 1998), 47.
4.
Tata Cara Penurunan Al-Qur’an kepada Nabi
Muhammad Saw.
4.1.
Perantara Malaikat Jibril dalam Penyampaian
Wahyu
Penurunan Al-Qur’an kepada
Nabi Muhammad Saw. tidak terjadi secara langsung dari Allah Swt, tetapi melalui
perantara Malaikat Jibril. Dalil mengenai peran Jibril sebagai penyampai wahyu
dijelaskan dalam Qs. An-Najm [53] ayat 4-5:
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ(4) عَلَّمَهُ
شَدِيدُ الْقُوَىٰ(5)
"Itu tidak lain adalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang
sangat kuat."¹
Imam Al-Tabari dalam Jāmi‘
al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān menjelaskan bahwa Jibril diutus secara
khusus oleh Allah Swt untuk membawa wahyu kepada para nabi, dan dalam konteks
Al-Qur’an, perannya sangat penting dalam memastikan transmisi wahyu yang murni tanpa
distorsi.²
Al-Suyuthi dalam Al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an juga menegaskan bahwa setiap wahyu yang diterima
Nabi Muhammad Saw. berasal dari Allah melalui perantaraan Jibril, kecuali
beberapa kasus khusus di mana Allah berbicara langsung kepada Nabi dalam
peristiwa Isra’ Mi’raj dan dalam
keadaan tertentu.³
4.2.
Metode Penyampaian Wahyu kepada Nabi Muhammad
Saw.
Para ulama dan ahli tafsir
menjelaskan bahwa wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. dengan beberapa
metode berbeda, yang memiliki efek fisik dan psikologis yang khas pada diri
beliau. Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari
mengklasifikasikan metode penyampaian wahyu sebagai berikut:⁴
1)
Melalui Mimpi yang
Benar (Ru’ya Shadiqah)
Sebelum menerima wahyu pertama, Nabi Muhammad
Saw. mengalami mimpi-mimpi yang nyata, yang kemudian terbukti terjadi di dunia
nyata.
Dalil tentang mimpi sebagai bentuk wahyu terdapat
dalam hadis riwayat Al-Bukhari:
"Permulaan wahyu yang datang kepada
Rasulullah Saw. adalah mimpi yang benar dalam tidur. Beliau tidak pernah
melihat mimpi kecuali datang seperti cahaya fajar."⁵
2)
Melalui Bisikan dalam
Hati (Ilham Ilahi)
Wahyu dalam bentuk ini diterima langsung ke dalam
hati Nabi Muhammad Saw. tanpa adanya suara atau perantara fisik.
Contoh dari metode ini adalah wahyu yang
menjelaskan bahwa iman adalah cahaya yang diberikan Allah
ke dalam hati manusia.
3)
Melalui Suara Lonceng
(Shalshalah al-Jaras)
Ini adalah bentuk penyampaian wahyu yang paling
berat bagi Nabi Muhammad Saw.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.,
beliau berkata:
"Kadang wahyu datang kepadanya seperti
suara lonceng, dan itu adalah bentuk yang paling berat bagi beliau."⁶
Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir
Al-Qur’an al-‘Azhim, suara lonceng ini menandakan ketegangan batin
yang tinggi akibat beratnya wahyu yang diterima.⁷
4)
Melalui Kehadiran
Jibril dalam Bentuk Aslinya
Nabi Muhammad Saw. pernah melihat Malaikat Jibril
dalam bentuk aslinya sebanyak dua kali, sebagaimana disebutkan dalam Qs.
An-Najm [53] ayat 6-9.
ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَىٰ(6) وَهُوَ بِالْأُفُقِ
الْأَعْلَىٰ (7) ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّىٰ (8) فَكَانَ
قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَىٰ (9)
“yang mempunyai akal yang cerdas; dan
(Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. (6) sedang dia berada
di ufuk yang tinggi. (7) Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat
lagi. (8) maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua
ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). (9)”
Menurut Imam Muslim dalam Shahih
Muslim, ketika Nabi melihat Jibril dalam bentuk aslinya, beliau
sangat terpengaruh secara fisik karena besarnya sosok malaikat tersebut.⁸
5)
Melalui Kehadiran
Jibril dalam Wujud Manusia
Dalam beberapa kesempatan, Jibril mendatangi Nabi
Muhammad Saw. dalam bentuk manusia, biasanya menyerupai seorang sahabat bernama
Dihyah Al-Kalbi.
Salah satu contoh terkenal adalah hadis Jibril
Hadits, di mana Jibril datang dalam bentuk manusia dan bertanya
tentang iman, Islam, dan ihsan.⁹
6)
Melalui Komunikasi
Langsung dengan Allah Swt
Wahyu dalam bentuk ini terjadi saat peristiwa Isra’
Mi’raj, di mana Nabi Muhammad Saw. menerima perintah shalat
langsung dari Allah Swt tanpa perantaraan Jibril.¹⁰
4.3.
Reaksi Fisik dan Psikologis Nabi Muhammad Saw.
Saat Menerima Wahyu
Penerimaan wahyu bukanlah
proses yang ringan bagi Nabi Muhammad Saw. Dalam beberapa riwayat disebutkan
bahwa saat menerima wahyu, beliau mengalami berbagai kondisi fisik dan
psikologis:
1)
Merasa Sangat Berat
Dalam Qs. Al-Muzzammil [73] ayat 5, Allah
berfirman:
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
"Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu
perkataan yang berat."¹¹
Hadis yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit
menyebutkan bahwa saat wahyu turun, paha Rasulullah Saw. terasa sangat berat
hingga hampir menghancurkan benda di sekitarnya.¹²
2)
Berkeringat Meski dalam
Cuaca Dingin
Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa ketika wahyu turun
kepada Nabi, beliau sering berkeringat deras meskipun cuaca sedang dingin.¹³
3)
Kesadaran Penuh dan
Fokus Mendalam
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim,
disebutkan bahwa Rasulullah Saw. selalu diam dan penuh perhatian saat wahyu
turun, dan baru setelahnya beliau mulai menyampaikan ayat yang diterima.¹⁴
Kesimpulan
Tata cara penurunan Al-Qur’an
kepada Nabi Muhammad Saw. berlangsung dalam beberapa metode, sebagian besar
melalui perantara Malaikat Jibril, dan dalam kondisi tertentu secara langsung
dari Allah Swt. Proses ini bukan hanya berdampak spiritual, tetapi juga
memiliki konsekuensi fisik yang berat bagi Nabi Muhammad Saw., menunjukkan
betapa penting dan agungnya wahyu yang diturunkan.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS. An-Najm [53] ayat 4-5.
[2]
Al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān
(Cairo: Dar al-Ma'arif, 1992), 16: 112.
[3]
Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 45.
[4]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1959), 1: 45.
[5]
Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Bad’
al-Wahy, Hadis no. 3.
[6]
Ibid.
[7]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (Riyadh:
Dar Tayyibah, 1999), 10: 248.
[8]
Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, Hadis
no. 177.
[9]
Ibid., Hadis no. 8.
[10]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, 1: 145.
[11]
Al-Qur'an, QS. Al-Muzzammil [73] ayat 5.
[12]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-Witr,
Hadis no. 1179.
[13]
Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Bad’
al-Wahy, Hadis no. 2.
[14]
Muslim, Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, Hadis
no. 153.
5.
Periode Penulisan dan Penghafalan Al-Qur’an
Sejarah penulisan dan
penghafalan Al-Qur’an adalah bagian penting dalam menjaga otentisitas wahyu
Ilahi. Sejak awal turunnya wahyu, Al-Qur’an telah ditransmisikan melalui dua
metode utama: hafalan (tahfiz) dan penulisan
(tadwin). Kedua metode ini digunakan secara bersamaan untuk
memastikan bahwa wahyu tetap terjaga dari perubahan dan distorsi.
5.1.
Masa Nabi Muhammad Saw.: Penghafalan dan
Penulisan Wahyu
5.1.1.
Penghafalan Al-Qur’an oleh Nabi dan Para
Sahabat
Sejak wahyu pertama turun,
Nabi Muhammad Saw. telah menghafalnya dan kemudian menyampaikannya kepada para
sahabat. Penghafalan menjadi metode utama dalam pelestarian Al-Qur’an karena
tradisi bangsa Arab yang kuat dalam menghafal syair dan perkataan penting.
Allah Swt berfirman dalam Qs. Al-Qiyamah [75] ayat 17-18:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ(17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ
فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18)
"Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
(17) Maka apabila Kami telah membacakannya, ikutilah bacaannya itu. (18)"¹
Imam Al-Qurtubi dalam Tafsir
al-Jami' li Ahkam al-Qur’an menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan
bahwa Allah Swt sendiri menjamin pemeliharaan hafalan Al-Qur’an dalam dada
Rasulullah Saw.² Para sahabat juga aktif menghafal wahyu yang turun dan banyak
dari mereka dikenal sebagai huffazh (penghafal
Al-Qur’an), seperti Abdullah bin Mas'ud, Ubay bin Ka’b, Mu’adz bin Jabal, dan
Zaid bin Tsabit.³
5.1.2.
Penulisan Al-Qur’an oleh Kuttab al-Wahyi
Meskipun penghafalan menjadi
metode utama, wahyu juga didokumentasikan dalam bentuk tertulis. Nabi Muhammad
Saw. menunjuk beberapa sahabat sebagai juru tulis wahyu
(kuttab al-wahyi) yang bertugas mencatat setiap ayat yang
diturunkan. Beberapa sahabat yang menjadi juru tulis wahyu antara lain:
·
Zaid bin Tsabit
·
Abdullah bin Mas'ud
·
Ali bin Abi Thalib
·
Ubay bin Ka’b
·
Mu’awiyah bin Abi Sufyan
Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah
wa An-Nihayah, mereka menuliskan wahyu pada berbagai media seperti
pelepah kurma, tulang unta, kulit binatang, dan batu tipis.⁴ Penulisan ini
dilakukan di hadapan Nabi Muhammad Saw. dan akan dikonfirmasi ulang sebelum
disebarluaskan kepada umat.
Al-Suyuthi dalam Al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an menegaskan bahwa setiap ayat yang ditulis harus
dikonfirmasi oleh Rasulullah Saw. untuk memastikan keasliannya sebelum
disebarluaskan.⁵
5.2.
Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq: Kodifikasi
Awal Al-Qur’an
Setelah wafatnya Nabi
Muhammad Saw., umat Islam menghadapi tantangan besar dalam menjaga keutuhan
Al-Qur’an. Salah satu peristiwa yang mendorong pengumpulan Al-Qur’an dalam satu
mushaf adalah Perang Yamamah (632 M),
di mana banyak penghafal Al-Qur’an gugur.
Melihat kondisi ini, Umar bin
Khattab mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq agar Al-Qur’an
dikodifikasi dalam bentuk kitab. Awalnya, Abu Bakar ragu karena hal ini tidak
pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw., tetapi akhirnya beliau menerima usulan
ini demi menjaga keutuhan wahyu.⁶
Abu Bakar kemudian menunjuk Zaid
bin Tsabit sebagai pemimpin dalam proyek kodifikasi ini. Dalam
hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Zaid berkata:
"Demi Allah! Jika mereka membebaniku
untuk memindahkan sebuah gunung, itu tidak lebih berat bagiku daripada perintah
Abu Bakar untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf."⁷
Zaid mengumpulkan Al-Qur’an
berdasarkan hafalan para sahabat dan catatan tertulis yang telah ada. Mushaf
yang terkodifikasi ini kemudian disimpan oleh Abu Bakar, lalu diwariskan kepada
Umar bin Khattab, dan setelah itu kepada Hafshah binti Umar.⁸
5.3.
Masa Khalifah Utsman bin Affan: Standarisasi
Mushaf Al-Qur’an
Pada masa pemerintahan
Khalifah Utsman bin Affan, Islam telah menyebar luas ke berbagai wilayah,
termasuk Persia, Syam, dan Mesir. Namun, perbedaan dalam cara membaca (qira’at)
Al-Qur’an mulai muncul di berbagai daerah. Untuk menghindari perpecahan, Utsman
memerintahkan standarisasi mushaf.
Zaid bin Tsabit kembali
ditunjuk untuk memimpin tim kodifikasi, yang juga terdiri dari Abdullah bin
Zubair, Sa’id bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Harits. Mereka menyalin mushaf
berdasarkan kodifikasi yang telah disimpan oleh Hafshah.
Utsman kemudian
mendistribusikan Mushaf Utsmani ke
berbagai wilayah dan memerintahkan agar mushaf lain yang berbeda dibakar untuk
menghindari perbedaan qira’at yang berpotensi menimbulkan fitnah. Keputusan ini
didukung oleh mayoritas sahabat dan tetap menjadi standar hingga saat ini.⁹
5.4.
Pengaruh Periode Penghafalan dan Penulisan
dalam Keotentikan Al-Qur’an
Penulisan dan penghafalan
Al-Qur’an yang dilakukan secara ketat sejak zaman Nabi hingga kodifikasi di era
Abu Bakar dan Utsman menjadi bukti keotentikan Al-Qur’an.
Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan
fi Ulum al-Qur’an menjelaskan bahwa metode penulisan dan hafalan
yang dilakukan secara bersamaan menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya kitab
suci yang terjaga keasliannya sepanjang sejarah.¹⁰
Penelitian dalam Journal
of Qur’anic Studies juga menunjukkan bahwa hingga saat ini, tidak
ada versi Al-Qur’an yang berbeda secara isi di seluruh dunia, membuktikan bahwa
metode yang diterapkan sejak zaman Nabi sangat efektif dalam menjaga kemurnian
teks suci ini.¹¹
Kesimpulan
Proses penghafalan dan
penulisan Al-Qur’an sejak zaman Nabi Muhammad Saw. hingga masa Khalifah Utsman
bin Affan menunjukkan sistem yang sangat ketat dalam menjaga otentisitas wahyu.
Metode ini telah memastikan bahwa Al-Qur’an tetap dalam bentuk aslinya tanpa
perubahan sedikit pun, menjadikannya satu-satunya kitab suci yang tetap otentik
sejak awal diturunkan.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur’an, QS. Al-Qiyamah [75] ayat 17-18.
[2]
Al-Qurtubi, Tafsir al-Jami' li Ahkam al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 5: 234.
[3]
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 45.
[4]
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 6: 365.
[5]
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, 54.
[6]
Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab Fadha'il
al-Sahabah, Hadis no. 2378.
[7]
Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Fadha’il
Al-Qur’an, Hadis no. 4986.
[8]
Ibnu Abi Dawud, Kitab al-Masahif (Cairo: Maktabah
al-Khanji, 2002), 33.
[9]
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an (Cairo:
Maktabah Dar al-Turath, 1988), 2: 165.
[10]
Ibid., 2: 172.
[11]
M. A. S. Abdel Haleem, "The Qur'an and the Prophet's Hadith: Some
Notes on Their Relationship," Journal of Qur'anic Studies 5, no.
2 (2003): 36.
6.
Ilmu Rasm al-Qur'an dan Perkembangannya
6.1.
Pengertian Rasm al-Qur'an
Rasm al-Qur'an (رسم المصحف)
merujuk pada sistem penulisan Al-Qur'an yang digunakan dalam mushaf. Istilah rasm
berasal dari bahasa Arab yang berarti "garis" atau "tulisan,"
sehingga rasm al-Qur’an dapat diartikan sebagai kaidah yang
digunakan dalam menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an.¹
Dalam sejarah Islam, terdapat
beberapa istilah yang digunakan dalam pembahasan rasm, di antaranya:
·
Rasm
Utsmani (الرسم العثماني): Metode penulisan Al-Qur’an yang disusun
pada masa Khalifah Utsman bin Affan dan menjadi standar penulisan mushaf hingga
saat ini.
·
Rasm
Imla’i (الرسم الإملائي): Sistem penulisan Al-Qur’an yang
menggunakan kaidah ejaan bahasa Arab modern, berbeda dengan rasm Utsmani dalam
beberapa aspek.²
Para ulama berbeda pendapat
tentang apakah rasm Utsmani bersifat tauqifi
(bersumber dari wahyu) atau hasil ijtihad para sahabat. Mayoritas ulama,
seperti Al-Dani dalam Al-Muqni’ fi Rasm Masahif al-Amsar,
menyatakan bahwa rasm Utsmani didasarkan pada kebijakan ijtihadi sahabat dan
bertujuan untuk menyatukan bacaan Al-Qur’an di berbagai wilayah Islam.³
6.2.
Sejarah dan Standarisasi Rasm Utsmani
6.2.1.
Periode Nabi Muhammad Saw.
Pada masa Rasulullah Saw.,
wahyu dicatat oleh para juru tulis wahyu (kuttab al-wahyi)
dengan berbagai media, seperti pelepah kurma, tulang unta, dan kulit binatang.
Namun, belum ada kaidah khusus dalam penulisan mushaf karena Al-Qur’an lebih
banyak dihafalkan.⁴
6.2.2.
Masa Khalifah Utsman bin Affan
Pada era Khalifah Utsman bin
Affan, perbedaan bacaan (qira’at) mulai muncul di
berbagai wilayah Islam. Untuk mencegah perpecahan, Utsman memerintahkan
kodifikasi dan standarisasi mushaf berdasarkan dialek Quraisy, yang kemudian
dikenal sebagai Mushaf Utsmani.⁵
Menurut Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan
fi Ulum al-Qur’an, Mushaf Utsmani disalin dan dikirim ke berbagai
kota besar seperti Makkah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Syam. Enam atau tujuh
salinan resmi ini menjadi dasar bagi mushaf yang kita gunakan saat ini.⁶
Keunikan mushaf ini terletak
pada sistem penulisannya yang mempertahankan beberapa bentuk pengejaan yang
tidak biasa dalam bahasa Arab standar, seperti:
1)
Penambahan huruf
(ziyadah)
Kata مالك dalam QS.
Al-Fatihah [1] ayat 4 ditulis dengan alif (مالك), padahal dalam qira’at lain dibaca tanpa
alif (ملك).
2)
Penghapusan huruf
(hadf)
Kata الليل dalam beberapa
tempat ditulis tanpa alif (اللّيل),
sementara dalam rasm imla’i biasa ditulis dengan alif.
3)
Penyatuan kata (wasl)
Kata seperti أينما (Qs. Al-Baqarah
[2] ayat 115) dalam mushaf Utsmani ditulis bersambung, meskipun dalam bahasa
Arab modern bisa dipisah menjadi أين
ما.⁷
6.3.
Perkembangan Ilmu Rasm al-Qur'an
Setelah standarisasi mushaf,
para ulama mengembangkan ilmu rasm agar penulisan Al-Qur’an tetap seragam dan
sesuai dengan aturan mushaf Utsmani. Beberapa tokoh yang berperan dalam
perkembangan ilmu rasm antara lain:
6.3.1.
Imam Abu Amr Ad-Dani (w. 444 H)
Beliau menulis kitab Al-Muqni'
fi Rasm Masahif al-Amsar, yang menjadi rujukan utama dalam ilmu
rasm Utsmani. Dalam kitab ini, ia menjelaskan kaidah penulisan Al-Qur'an yang
berbeda dengan ejaan bahasa Arab standar.⁸
6.3.2.
Imam As-Sakhawi (w. 643 H)
Dalam karyanya Jamāl
al-Qurra’, ia mengklasifikasikan berbagai metode penulisan
Al-Qur’an dan perbedaannya dengan tulisan Arab modern.⁹
6.3.3.
Standarisasi dalam Percetakan Al-Qur'an
Pada era modern, upaya untuk
mempertahankan rasm Utsmani terus dilakukan. Mushaf Al-Madinah yang dicetak
oleh Kompleks Percetakan Mushaf Raja Fahd di Arab
Saudi menggunakan standar rasm Utsmani yang telah dikodifikasi oleh para ulama
sejak zaman Utsman bin Affan.¹⁰
6.4.
Perbedaan Rasm Utsmani dan Rasm Imla’i
Meski rasm Utsmani tetap
menjadi standar utama dalam penulisan mushaf, ada beberapa perbedaan antara
rasm Utsmani dan rasm Imla’i, di antaranya:
·
Rasm Utsmani
Kaidah Penulisan: Mengikuti ejaan klasik
yang tidak selalu sesuai dengan tata bahasa Arab modern.
Contoh: الصلاة
(sholat) ditulis tanpa alif sebagai الصلوة.
Penggunaan Huruf: Beberapa kata ditulis
dengan tambahan atau pengurangan huruf.
·
Rasm Imla’i
Kaidah Penulisan: Mengikuti kaidah ejaan
Arab standar saat ini.
Contoh: الصلاة
ditulis dengan alif sesuai tata bahasa modern.
Penggunaan Huruf: Menggunakan standar
ejaan Arab modern tanpa perubahan.
Menurut Dr. Muhammad
Al-Khudhair dalam jurnal Journal of Qur’anic Research,
penggunaan rasm Utsmani dalam mushaf modern bertujuan untuk menjaga keaslian
teks sebagaimana yang disepakati oleh para sahabat di masa Utsman.¹¹
6.5.
Implikasi Ilmu Rasm terhadap Bacaan Al-Qur’an
Ilmu rasm tidak hanya
berfungsi sebagai standar penulisan, tetapi juga berpengaruh terhadap qira’at
(cara membaca Al-Qur’an). Beberapa qira’at berbeda dalam pengucapan karena
perbedaan dalam penulisan.
Misalnya, kata ملك dalam Qs.
Al-Fatihah [1] ayat 4 dapat dibaca sebagai Maalik
(versi Hafs) atau Malik (versi Warsh),
tergantung dari pemahaman qira’at terhadap rasm mushaf.¹²
Kesimpulan
Ilmu rasm al-Qur’an memainkan
peran penting dalam menjaga keaslian mushaf sejak zaman Nabi Muhammad Saw.
hingga sekarang. Standarisasi yang dilakukan oleh Khalifah Utsman bin Affan
memastikan bahwa mushaf yang beredar di seluruh dunia memiliki keseragaman
dalam penulisan. Perkembangan ilmu rasm juga menunjukkan betapa pentingnya
aspek tulisan dalam menjaga kemurnian Al-Qur’an, sehingga generasi Muslim dapat
membaca dan menghafalnya dengan benar.
Catatan Kaki
[1]
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an (Cairo:
Maktabah Dar al-Turath, 1988), 1: 215.
[2]
Ibid., 1: 223.
[3]
Abu Amr Ad-Dani, Al-Muqni' fi Rasm Masahif al-Amsar
(Cairo: Dar al-Fikr, 1988), 13.
[4]
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 6: 390.
[5]
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 67.
[6]
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, 2:
165.
[7]
Ad-Dani, Al-Muqni' fi Rasm Masahif al-Amsar,
32.
[8]
M. A. S. Abdel Haleem, "The Qur'an and the Prophet's Hadith,"
Journal
of Qur'anic Studies 5, no. 2 (2003): 40.
[9]
Al-Sakhawi, Jamāl al-Qurra’ (Cairo: Maktabah
al-Khanji, 2001), 45.
[10]
The King Fahd Complex for the Printing of the Holy Qur’an, The
Standardization of the Uthmanic Mushaf (Madinah: King Fahd Complex,
2010), 15.
[11]
Muhammad Al-Khudhair, “The Influence of Rasm Uthmani on the
Preservation of the Qur'anic Text,” Journal of Qur’anic Research 10,
no. 2 (2017): 77-89.
[12]
Ayman Swaid, Al-Muqaddimah fi ‘Ilm al-Qira’at
(Jeddah: Dar Ibn al-Jazari, 2005), 92.
7.
Pembukuan dan Perkembangan Ilmu Al-Qur’an
7.1.
Pengertian Pembukuan Al-Qur’an
Pembukuan Al-Qur’an (tadwin
al-Qur’an) adalah proses penghimpunan dan kodifikasi wahyu dalam
satu mushaf yang terjaga keasliannya. Dalam sejarah Islam, pembukuan Al-Qur’an
mengalami tiga tahap utama:
1)
Masa
Nabi Muhammad Saw.:
Al-Qur’an dihafalkan oleh para sahabat
dan ditulis secara terpisah pada berbagai media seperti pelepah kurma, tulang,
dan kulit binatang.¹
2)
Masa
Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq:
Pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf
resmi setelah banyak penghafal gugur dalam Perang Yamamah.²
3)
Masa
Khalifah Utsman bin Affan:
Standarisasi bacaan Al-Qur’an dan
distribusi mushaf ke berbagai wilayah Islam untuk mencegah perbedaan qira’at
yang dapat memicu perpecahan.³
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul
Bari menyatakan bahwa keputusan Abu Bakar dan Utsman dalam
membukukan Al-Qur’an adalah bagian dari upaya menjaga keasliannya, sebagaimana
firman Allah dalam Qs. Al-Hijr [15] ayat 9:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya."⁴
7.2.
Perkembangan Ilmu Al-Qur’an
Ilmu Al-Qur’an (ulum
al-Qur’an) berkembang sebagai disiplin yang membahas berbagai aspek
Al-Qur’an, seperti sejarah, penafsiran, dan ilmu bacaannya. Ulama klasik telah
menyusun berbagai cabang ilmu Al-Qur’an, di antaranya:
7.2.1.
Ilmu Tajwid
Ilmu Tajwid adalah ilmu yang
membahas cara membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai dengan makhraj dan
sifat huruf. Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H) dalam Kitab
al-Qira’at menjadi salah satu ulama pertama yang membahas qira’at
dan tajwid dalam bentuk tertulis.⁵
7.2.2.
Ilmu Qira’at
Ilmu ini membahas variasi
bacaan dalam Al-Qur’an yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw. Imam Ibnu Mujahid
(w. 324 H) dalam Kitab al-Sab‘ah
mengkodifikasi tujuh qira’at mutawatir yang diakui secara luas dalam Islam.⁶
7.2.3.
Ilmu Rasm al-Qur’an
Ilmu ini membahas sistem
penulisan mushaf yang sesuai dengan standar Mushaf Utsmani. Abu Amr Ad-Dani
dalam Al-Muqni' fi Rasm Masahif al-Amsar membahas aturan
penulisan Al-Qur’an berdasarkan mushaf standar.⁷
7.2.4.
Ilmu Asbabun Nuzul
Ilmu ini mengkaji sebab-sebab
turunnya ayat Al-Qur’an untuk memahami konteks wahyu. Imam Al-Wahidi (w. 468 H)
dalam Asbab al-Nuzul mengumpulkan berbagai riwayat tentang
latar belakang turunnya ayat-ayat tertentu.⁸
7.2.5.
Ilmu Nasikh wa Mansukh
Ilmu ini membahas ayat-ayat
yang telah dihapus hukumnya oleh ayat lain. Imam Abu Ubaid dalam Kitab
al-Nasikh wa al-Mansukh menjelaskan prinsip-prinsip tentang
bagaimana memahami ayat yang telah digantikan oleh wahyu berikutnya.⁹
7.3.
Pembukuan Ilmu Al-Qur’an pada Masa Klasik
Setelah masa pembukuan
Al-Qur’an, para ulama mulai menyusun kitab-kitab tentang ilmu Al-Qur’an untuk
menjelaskan berbagai aspek yang berkaitan dengan wahyu. Beberapa karya penting
dalam bidang ini antara lain:
1)
Al-Itqan fi Ulum
al-Qur’an – Imam Al-Suyuthi (w. 911 H)
Kitab ini menjadi ensiklopedia ilmu Al-Qur’an
yang membahas berbagai cabang seperti tafsir, asbabun nuzul, nasikh wa mansukh,
dan i’jaz al-Qur’an.¹⁰
2)
Al-Burhan fi Ulum
al-Qur’an – Imam Al-Zarkasyi (w. 794 H)
Salah satu kitab rujukan utama dalam ilmu
Al-Qur’an yang membahas aspek sejarah, kodifikasi, dan metode interpretasi
Al-Qur’an.¹¹
3)
Tafsir Al-Qur’an
al-‘Azhim – Ibnu Katsir (w. 774 H)
Kitab tafsir yang menjelaskan Al-Qur’an dengan
pendekatan riwayat dan hadis-hadis Nabi.¹²
7.4.
Digitalisasi dan Perkembangan Ilmu Al-Qur’an di
Era Modern
Pada era modern, ilmu
Al-Qur’an mengalami perkembangan pesat dengan hadirnya teknologi digital.
Beberapa inovasi dalam pembelajaran Al-Qur’an di antaranya:
7.4.1.
Mushaf Digital dan Aplikasi Al-Qur’an
Berbagai aplikasi Al-Qur’an
seperti Quran.com, Tanzil.net,
dan Mushaf Al-Madinah Digital memungkinkan umat
Islam mengakses Al-Qur’an dengan tafsir dan qira’at yang lengkap.¹³
7.4.2.
Studi Ilmiah tentang Manuskrip Al-Qur’an
Para akademisi dan peneliti
Islam mulai mengkaji manuskrip kuno Al-Qur’an untuk memastikan keautentikan
teks wahyu. Studi oleh Dr. Mustafa Shah dalam Journal of Qur'anic
Studies menunjukkan bahwa manuskrip-manuskrip kuno seperti Mushaf
Topkapi dan Mushaf Sana’a memiliki
kesesuaian dengan mushaf standar saat ini.¹⁴
7.4.3.
Artificial Intelligence (AI) dalam Studi
Al-Qur’an
Teknologi AI kini digunakan
untuk mengidentifikasi variasi qira’at dan analisis bahasa dalam Al-Qur’an,
seperti yang dikembangkan dalam proyek Corpus Qur’an
oleh Universitas Leeds.¹⁵
Kesimpulan
Pembukuan dan perkembangan
ilmu Al-Qur’an menunjukkan betapa umat Islam telah menjaga wahyu dengan sistem
yang terstruktur sejak zaman Nabi Muhammad Saw. hingga era modern. Melalui
ilmu-ilmu Al-Qur’an, pemahaman terhadap wahyu semakin luas dan mendalam,
memastikan bahwa Al-Qur’an tetap autentik dan dapat dipahami oleh setiap
generasi umat Islam.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 6: 368.
[2]
Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Fadha’il
Al-Qur’an, Hadis no. 4986.
[3]
Ibnu Abi Dawud, Kitab al-Masahif (Cairo: Maktabah
al-Khanji, 2002), 33.
[4]
Al-Qur’an, QS. Al-Hijr [15] ayat 9.
[5]
Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, Kitab al-Qira’at (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 28.
[6]
Ibnu Mujahid, Kitab al-Sab‘ah fi al-Qira’at
(Cairo: Maktabah Dar al-Turath, 1997), 11.
[7]
Abu Amr Ad-Dani, Al-Muqni' fi Rasm Masahif al-Amsar
(Cairo: Dar al-Fikr, 1988), 45.
[8]
Al-Wahidi, Asbab al-Nuzul (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 14.
[9]
Abu Ubaid, Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh
(Cairo: Dar al-Hadith, 1990), 33.
[10]
Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 12.
[11]
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an (Cairo:
Maktabah Dar al-Turath, 1988), 2: 178.
[12]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (Riyadh:
Dar Tayyibah, 1999), 10: 248.
[13]
Mustafa Shah, "Early Qur'anic Manuscripts," Journal
of Qur’anic Studies 15, no. 1 (2013): 22.
[14]
Ibid., 29.
[15]
"Corpus Qur’an: AI Analysis of Qur’anic Language," University
of Leeds Research Papers (2021): 55.
8.
Kesimpulan dan Hikmah dari Sejarah Penurunan
dan Penulisan Al-Qur’an
8.1.
Kesimpulan
Sejarah penurunan dan
penulisan Al-Qur’an merupakan bagian yang fundamental dalam studi Islam.
Sebagai wahyu terakhir, Al-Qur’an mengalami proses penurunan secara bertahap
dalam kurun waktu 23 tahun, dimulai dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izzah di
langit dunia, lalu diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantara
Malaikat Jibril.¹
Proses penulisan dan
penghafalan Al-Qur’an sejak masa Nabi Muhammad Saw. hingga pembukuannya pada
masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan standarisasi pada era Utsman bin Affan
menunjukkan bahwa Al-Qur’an telah melalui sistem penjagaan yang sangat ketat.
Hal ini memastikan bahwa teks suci ini tetap otentik dan bebas dari perubahan
atau distorsi sepanjang sejarah.²
Kodifikasi Al-Qur’an dalam
bentuk mushaf Utsmani juga menjadi langkah penting dalam menjaga kesatuan umat
Islam. Mushaf standar yang digunakan hingga saat ini memiliki keterkaitan
langsung dengan versi mushaf yang disebarkan oleh Utsman bin Affan ke berbagai
wilayah Islam pada abad pertama Hijriah.³
Dari segi perkembangan ilmu
Al-Qur’an, para ulama telah menyusun berbagai disiplin ilmu yang berkaitan
dengan wahyu, seperti ilmu tajwid, ilmu qira’at, ilmu asbabun nuzul, ilmu
nasikh wa mansukh, hingga ilmu tafsir. Dengan adanya ilmu-ilmu ini, umat Islam
dapat memahami Al-Qur’an dengan lebih mendalam sesuai dengan konteks dan latar
belakangnya.⁴
Selain itu, perkembangan
teknologi di era modern memungkinkan digitalisasi mushaf, analisis ilmiah
terhadap manuskrip kuno, serta penggunaan kecerdasan buatan (Artificial
Intelligence) dalam studi Al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa
upaya menjaga wahyu tetap berlangsung hingga masa kini.⁵
8.2.
Hikmah dari Sejarah Penurunan dan Penulisan
Al-Qur’an
8.2.1.
Jaminan Keotentikan Al-Qur’an
Salah satu hikmah terbesar
dari sejarah penurunan dan penulisan Al-Qur’an adalah terjaganya keaslian
wahyu. Allah Swt sendiri telah menjamin dalam QS. Al-Hijr [15] ayat 9:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya."⁶
Para ulama tafsir, seperti
Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim,
menegaskan bahwa penjagaan ini dilakukan melalui hafalan para sahabat dan
kodifikasi mushaf sejak masa awal Islam.⁷
8.2.2.
Pentingnya Penghafalan dan Pengamalan Al-Qur’an
Sejarah menunjukkan bahwa
metode utama dalam menjaga Al-Qur’an adalah melalui tahfiz
(penghafalan). Hingga saat ini, jutaan umat Islam masih
menghafalkan Al-Qur’an sebagai bagian dari tradisi keilmuan Islam. Hal ini
sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Qamar [54] ayat 17:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ
لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan
Al-Qur’an untuk diingat, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?"⁸
Imam Al-Suyuthi dalam Al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an menyebutkan bahwa tradisi menghafal Al-Qur’an
adalah bentuk penjagaan wahyu yang tidak ditemukan dalam kitab suci lain.⁹
8.2.3.
Pentingnya Standarisasi dalam Keilmuan Islam
Standarisasi mushaf Utsmani
oleh Khalifah Utsman bin Affan memberikan pelajaran penting tentang bagaimana
Islam menjaga kesatuan umat dalam aspek keilmuan. Dengan adanya mushaf standar,
perbedaan qira’at dapat dikontrol sehingga tidak menimbulkan perpecahan di
antara umat Islam.¹⁰
Dalam Al-Burhan
fi Ulum al-Qur’an, Al-Zarkasyi menegaskan bahwa keputusan Utsman
untuk membakar mushaf yang berbeda dengan standar adalah tindakan strategis
yang bertujuan untuk menjaga kesatuan teks Al-Qur’an.¹¹
8.2.4.
Dinamika Ilmiah dalam Kajian Al-Qur’an
Sejarah penulisan Al-Qur’an
juga menunjukkan bagaimana umat Islam terus mengembangkan ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan wahyu. Perkembangan ilmu tafsir, tajwid, dan qira’at adalah
bukti bahwa Al-Qur’an selalu dipelajari dan dikaji dengan pendekatan akademik
yang mendalam.¹²
Penelitian kontemporer oleh
Dr. Mustafa Shah dalam Journal of Qur’anic Studies
menunjukkan bahwa kajian terhadap manuskrip kuno Al-Qur’an seperti Mushaf
Sana’a dan Mushaf Topkapi telah
membuktikan bahwa teks Al-Qur’an yang ada saat ini sesuai dengan mushaf yang
ditulis sejak abad pertama Hijriah.¹³
8.2.5.
Relevansi Al-Qur’an dalam Kehidupan Modern
Meskipun Al-Qur’an diturunkan
lebih dari 1400 tahun yang lalu, ajarannya tetap relevan dengan kehidupan
modern. Aspek hukum, sosial, dan spiritual yang terdapat dalam Al-Qur’an terus
menjadi pedoman dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam Qs. An-Nahl [16] ayat
89, Allah Swt berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ
تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab
untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri."¹⁴
Penelitian dalam The
Oxford Handbook of Qur’anic Studies juga menegaskan bahwa pemahaman
terhadap Al-Qur’an terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi.¹⁵
Kesimpulan Akhir
Sejarah penurunan dan
penulisan Al-Qur’an merupakan bukti nyata bahwa wahyu ini dijaga dengan ketat
sejak awal diturunkan. Proses penghafalan dan penulisan yang sistematis
menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang tetap otentik
tanpa perubahan.
Selain itu, ilmu-ilmu yang
berkembang di sekitar Al-Qur’an telah memastikan bahwa pemahaman terhadap wahyu
ini selalu dapat diperdalam dan diperluas. Dengan perkembangan teknologi, upaya
penjagaan dan studi tentang Al-Qur’an semakin maju, memastikan bahwa wahyu ini
tetap relevan bagi setiap generasi Muslim di masa depan.
Catatan Kaki
[1]
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an (Cairo:
Maktabah Dar al-Turath, 1988), 1: 215.
[2]
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 6: 368.
[3]
Ibnu Abi Dawud, Kitab al-Masahif (Cairo: Maktabah
al-Khanji, 2002), 33.
[4]
Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 12.
[5]
Mustafa Shah, "Early Qur'anic Manuscripts," Journal
of Qur’anic Studies 15, no. 1 (2013): 22.
[6]
Al-Qur’an, QS. Al-Hijr [15] ayat 9.
[7]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (Riyadh:
Dar Tayyibah, 1999), 10: 248.
[8]
Al-Qur’an, QS. Al-Qamar [54] ayat 17.
[9]
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, 14.
[10]
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, 2:
178.
[11]
Ibid., 2: 182.
[12]
Mustafa Shah, "Qur'anic Studies in the Modern Era," The
Oxford Handbook of Qur’anic Studies (Oxford: Oxford University
Press, 2020), 55.
[13]
Ibid., 61.
[14]
Al-Qur’an, QS. An-Nahl [16] ayat 89.
[15]
Shah, The Oxford Handbook of Qur’anic Studies,
79.
Daftar Pustaka
Buku
·
Abu Amr Ad-Dani. (1988). Al-Muqni'
fi Rasm Masahif al-Amsar. Cairo: Dar al-Fikr.
·
Abu Ubaid Al-Qasim bin
Salam. (2003). Kitab al-Qira’at. Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
·
Al-Sakhawi. (2001). Jamāl
al-Qurra’. Cairo: Maktabah al-Khanji.
·
Al-Suyuthi, J. (2008). Al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
·
Al-Tabari. (1992). Jāmi‘
al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān. Cairo: Dar al-Ma'arif.
·
Al-Wahidi. (2006). Asbab
al-Nuzul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
·
Al-Zarkasyi. (1988). Al-Burhan
fi Ulum al-Qur’an. Cairo: Maktabah Dar al-Turath.
·
Ayman Swaid. (2005). Al-Muqaddimah
fi ‘Ilm al-Qira’at. Jeddah: Dar Ibn al-Jazari.
·
Ibnu Abi Dawud. (2002). Kitab
al-Masahif. Cairo: Maktabah al-Khanji.
·
Ibnu Hajar Al-Asqalani.
(1959). Fathul
Bari. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
·
Ibnu Katsir. (1990). Al-Bidayah
wa An-Nihayah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
·
Ibnu Katsir. (1999). Tafsir
Al-Qur’an al-‘Azhim. Riyadh: Dar Tayyibah.
·
Ibnu Mujahid. (1997). Kitab
al-Sab‘ah fi al-Qira’at. Cairo: Maktabah Dar al-Turath.
·
Muhammad ibn Ismail
Al-Bukhari. (1997). Shahih Al-Bukhari. Riyadh:
Darussalam.
·
Muslim ibn al-Hajjaj.
(2002). Shahih
Muslim. Cairo: Dar al-Hadith.
·
The King Fahd Complex for
the Printing of the Holy Qur’an. (2010). The Standardization of the Uthmanic Mushaf.
Madinah: King Fahd Complex.
Jurnal Ilmiah
·
Abdel Haleem, M. A. S.
(2003). The Qur'an and the Prophet's Hadith: Some Notes on Their Relationship. Journal
of Qur’anic Studies, 5(2), 36-40.
·
Al-Khudhair, M. (2017). The
Influence of Rasm Uthmani on the Preservation of the Qur'anic Text. Journal
of Qur’anic Research, 10(2), 77-89.
·
Mustafa Shah. (2013). Early
Qur'anic Manuscripts. Journal of Qur’anic Studies, 15(1),
22-29.
·
Shah, M. (2020). Qur'anic
Studies in the Modern Era. In The Oxford Handbook of Qur’anic Studies
(pp. 55-79). Oxford: Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar