Jumat, 21 Februari 2025

Bahan Ajar Qurdis Kelas 10 Bab 2: Sejarah Penurunan dan Penulisan Al-Qur'an

Sejarah Penurunan dan Penulisan Al-Qur'an

Pembahasan Komprehansif Qurdis


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 10 (Sepuluh)


Abstrak

Sejarah penurunan dan penulisan Al-Qur’an merupakan kajian fundamental dalam studi Islam yang menegaskan keautentikan wahyu Allah Swt. Artikel ini membahas secara komprehensif proses turunnya Al-Qur’an dalam dua tahap utama: pertama, dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izzah di langit dunia, dan kedua, penurunannya secara bertahap kepada Nabi Muhammad Saw. selama 23 tahun melalui perantaraan Malaikat Jibril. Selain itu, artikel ini menguraikan proses penghafalan dan penulisan Al-Qur’an sejak masa Nabi hingga kodifikasi pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan standarisasi Mushaf Utsmani oleh Khalifah Utsman bin Affan untuk menjaga kesatuan qira’at.

Lebih lanjut, perkembangan ilmu Al-Qur’an seperti ilmu tajwid, qira’at, rasm, asbabun nuzul, dan nasikh wa mansukh menjadi bukti bahwa umat Islam terus memelihara wahyu dengan sistem keilmuan yang ketat. Pembukuan ilmu Al-Qur’an dalam kitab-kitab klasik hingga era digital juga menunjukkan bahwa studi terhadap Al-Qur’an mengalami evolusi sesuai dengan perkembangan zaman. Berbagai penelitian ilmiah mengenai manuskrip kuno Al-Qur’an membuktikan bahwa teks suci ini tetap terjaga dari perubahan sejak pertama kali diturunkan.

Hikmah dari sejarah penurunan dan penulisan Al-Qur’an adalah jaminan keotentikan wahyu, pentingnya penghafalan, signifikansi standarisasi mushaf, serta relevansi Al-Qur’an dalam kehidupan modern. Dengan perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan dalam studi Al-Qur’an, upaya menjaga dan memahami wahyu terus berkembang, memastikan bahwa Al-Qur’an tetap menjadi pedoman utama bagi umat Islam sepanjang masa.

Kata Kunci: Al-Qur’an, Penurunan Wahyu, Kodifikasi Al-Qur’an, Mushaf Utsmani, Ilmu Tajwid, Ilmu Qira’at, Rasm Utsmani, Asbabun Nuzul, Digitalisasi Al-Qur’an, Keotentikan Al-Qur’an.


PEMBAHASAN

Sejarah Penurunan dan Penulisan Al-Qur'an


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 10 (Sepuluh)

Bab                      : Bab 2 - Sejarah Penurunan dan Penulisan Al-Qur'an


1.           Pendahuluan

Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang diyakini sebagai firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantaraan Malaikat Jibril. Sebagai wahyu terakhir, Al-Qur’an menjadi pedoman utama bagi umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam ranah teologi, hukum, maupun sosial. Pemahaman yang mendalam mengenai sejarah penurunan (nuzulul Qur’an) dan penulisan Al-Qur’an sangat penting untuk menguatkan keyakinan terhadap keotentikan dan orisinalitasnya.

Kajian tentang sejarah penurunan dan penulisan Al-Qur’an telah banyak dibahas dalam berbagai literatur klasik maupun modern. Ulama klasik seperti Al-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara bertahap dalam kurun waktu 23 tahun, dimulai dari wahyu pertama di Gua Hira hingga wahyu terakhir sebelum wafatnya Nabi Muhammad Saw.¹ Pendapat ini didasarkan pada firman Allah dalam Qs. Al-Furqan [25] ayat 32, yang menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur agar dapat lebih mudah dipahami dan diterapkan oleh umat Islam.²

Proses penulisan Al-Qur’an juga mengalami perjalanan panjang. Sejak masa Nabi Muhammad Saw., wahyu telah dihafalkan dan ditulis oleh para sahabat yang bertugas sebagai juru tulis wahyu (kuttab al-wahyi). Beberapa di antara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Ubay bin Ka’b.³ Namun, pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf secara sistematis baru terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq setelah banyak penghafal Al-Qur’an gugur dalam Perang Yamamah.⁴ Upaya kodifikasi ini dilanjutkan oleh Khalifah Utsman bin Affan yang membakukan mushaf dengan Rasm Utsmani, yang kemudian menjadi standar penulisan Al-Qur’an hingga saat ini.

Pembahasan tentang sejarah penurunan dan penulisan Al-Qur’an tidak hanya menarik dalam aspek historis, tetapi juga sangat relevan dalam studi ilmu Al-Qur’an dan tafsir. Kajian kontemporer dalam jurnal-jurnal ilmiah Islam menunjukkan bahwa pemahaman yang lebih dalam terhadap sejarah kodifikasi Al-Qur’an dapat memperkuat argumentasi akademis dalam menghadapi berbagai tantangan kritik orientalis. Misalnya, dalam penelitian yang dimuat dalam Journal of Qur'anic Studies, dijelaskan bahwa sistem penulisan Al-Qur’an telah mengalami standarisasi yang ketat sejak awal, sehingga sangat sulit bagi manusia untuk melakukan perubahan atau interpolasi terhadap isinya.⁵

Dengan demikian, memahami sejarah penurunan dan penulisan Al-Qur’an merupakan bagian dari upaya menjaga kemurnian wahyu. Artikel ini akan mengkaji aspek-aspek tersebut berdasarkan sumber-sumber otoritatif, termasuk tafsir klasik, hadits, serta penelitian akademik mutakhir, guna memberikan pemahaman yang komprehensif dan autentik kepada pembaca.


Catatan Kaki

[1]                Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 115.

[2]                Al-Qur'an, QS. Al-Furqan [25] ayat 32: "Dan orang-orang yang kafir berkata: 'Mengapa Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?' Demikianlah, agar Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur).”

[3]                Abu Bakr Ibn Abi Dawud, Kitab al-Masahif (Cairo: Maktabah al-Khanji, 2002), 43.

[4]                Muhammad Mustafa Al-A'zami, The History of the Qur’anic Text from Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 97.

[5]                M. A. S. Abdel Haleem, "The Qur'an and the Prophet's Hadith: Some Notes on Their Relationship," Journal of Qur'anic Studies 5, no. 2 (2003): 36.


2.           Pengertian Wahyu dalam Islam

2.1.       Definisi Wahyu dalam Perspektif Islam

Wahyu dalam Islam adalah firman Allah Swt yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebagai petunjuk bagi umat manusia. Dalam bahasa Arab, kata wahyu (الوَحْيُ) berasal dari akar kata wāḥā - yūḥī (وَحَى - يُوْحِيْ) yang berarti “isyarat cepat, bisikan, atau pemberitahuan secara rahasia.”¹ Secara terminologis, para ulama mendefinisikan wahyu sebagai komunikasi Ilahi yang disampaikan kepada nabi melalui perantaraan Malaikat Jibril atau secara langsung tanpa perantara.

Imam Al-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan wahyu sebagai informasi yang Allah berikan kepada nabi-Nya dengan cara yang khas dan khusus, tidak dapat dipahami oleh manusia biasa.² Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menjelaskan bahwa wahyu adalah bentuk pengetahuan Ilahi yang berbeda dari akal manusia biasa, sebab ia datang dari sumber yang lebih tinggi dan bersifat absolut.³

Dalam Al-Qur'an, Allah Swt menjelaskan bahwa wahyu merupakan bentuk komunikasi-Nya kepada para nabi dengan tiga cara:

1)                  Melalui ilham langsung ke dalam hati nabi, sebagaimana dalam firman Allah:

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ

"Dan tidak mungkin bagi seorang manusia bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu dia mewahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Asy-Syura [42] ayat 51).⁴

2)                  Melalui perantara Malaikat Jibril, sebagaimana disebutkan dalam Qs. An-Najm [53] ayat 4-5:

إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ(4)  عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَىٰ(5)

"Itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), (4) yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. (5)”⁵

3)                  Melalui pembicaraan langsung dengan Allah Swt, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Musa a.s. dalam Qs. An-Nisa [4] ayat 164:

وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا

"Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.”⁶

Dari penjelasan ini, wahyu memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar komunikasi Ilahi kepada manusia; ia merupakan bentuk transmisi pengetahuan Ilahi yang bertujuan untuk membimbing manusia ke jalan yang benar.

2.2.       Perbedaan Wahyu dengan Ilham dan Mimpi

Dalam kajian ilmu wahyu, para ulama membedakan antara wahyu, ilham, dan mimpi berdasarkan sumber dan validitasnya.

1)                  Wahyu adalah komunikasi langsung dari Allah yang diberikan kepada para nabi dan rasul sebagai pedoman bagi umat manusia. Wahyu memiliki sifat mutlak, mengandung hukum syariat, dan terjaga dari kesalahan.

2)                  Ilham adalah inspirasi yang diberikan Allah kepada manusia tertentu, termasuk orang-orang saleh dan wali, tetapi tidak memiliki sifat wajib diikuti seperti wahyu. Ilham juga diberikan kepada makhluk selain manusia, sebagaimana dalam Qs. An-Nahl [16] ayat 68, di mana Allah mewahyukan kepada lebah bagaimana cara membuat sarang.⁷

3)                  Mimpi dapat menjadi salah satu bentuk wahyu bagi para nabi, sebagaimana yang terjadi dalam mimpi Nabi Ibrahim a.s. yang diperintahkan untuk menyembelih putranya, Ismail a.s. (Qs. As-Saffat [37] ayat 102).⁸ Namun, bagi manusia biasa, mimpi tidak memiliki kekuatan hukum syariat kecuali dikonfirmasi oleh wahyu atau dalil lain yang sahih.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rasulullah Saw. bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ

"Mimpi yang baik adalah bagian dari 46 bagian kenabian."⁹ Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mimpi bisa menjadi petunjuk, ia tidak setara dengan wahyu yang diberikan kepada nabi.

2.3.       Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Umat Islam

Wahyu memiliki beberapa fungsi utama dalam kehidupan umat Islam, antara lain:

1)                  Sebagai Petunjuk Hidup

Al-Qur’an merupakan wahyu terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai pedoman bagi seluruh umat manusia. Allah berfirman dalam Qs. Al-Baqarah [2] ayat 2:

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

"Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa."¹⁰

2)                  Sebagai Pembeda antara Kebenaran dan Kebatilan

Wahyu membedakan antara yang haq dan yang batil, sebagaimana dalam Qs. Al-Anfal [8] ayat 29:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا

"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu Furqan (kemampuan membedakan antara yang benar dan yang salah).”¹¹

3)                  Sebagai Penyempurna Syariat

Wahyu merupakan sumber hukum Islam yang utama. Dalam Qs. Al-Ma’idah [5] ayat 3, Allah menyatakan bahwa Islam telah disempurnakan melalui wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw.¹²

4)                  Sebagai Sumber Kekuatan Spiritual

Wahyu memberikan ketenangan dan kekuatan spiritual bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana dijelaskan dalam Qs. Ar-Ra’d [13] ayat 28:

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”¹³

Dari berbagai fungsi ini, wahyu tidak hanya menjadi pedoman hukum, tetapi juga memiliki dimensi spiritual dan sosial yang membentuk kehidupan umat Islam secara keseluruhan.


Kesimpulan

Bab ini membahas tentang konsep wahyu dalam Islam, bagaimana ia berbeda dengan ilham dan mimpi, serta peran fundamentalnya dalam kehidupan umat Islam. Melalui kajian ini, dapat dipahami bahwa wahyu bukan sekadar komunikasi Ilahi, tetapi merupakan sumber utama bagi pembentukan peradaban Islam yang berdasarkan petunjuk Allah Swt.


Catatan Kaki

[1]                Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar al-Sadir, 1993), 13: 565.

[2]                Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 58.

[3]                Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), 223.

[4]                Al-Qur'an, QS. Asy-Syura [42] ayat 51.

[5]                Al-Qur'an, QS. An-Najm [53] ayat 4-5.

[6]                Al-Qur'an, QS. An-Nisa [4] ayat 164.

[7]                Al-Qur'an, QS. An-Nahl [16] ayat 68.

[8]                Al-Qur'an, QS. As-Saffat [37] ayat 102.

[9]                Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Ta’bir, Bab Ru’ya ash-Shalihah Juz 9 (Riyadh: Darussalam, 1997), Hadis no. 6982.

[10]             Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah [2] ayat 2.

[11]             Al-Qur'an, QS. Al-Anfal [8] ayat 29.

[12]             Al-Qur'an, QS. Al-Ma’idah [5] ayat 3.

[13]             Al-Qur'an, QS. Ar-Ra’d [13] ayat 28.


3.           Teori Penurunan Al-Qur’an

3.1.       Makna Nuzulul Qur’an dan Tahapan Penurunannya

Al-Qur’an adalah wahyu Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai pedoman bagi umat manusia. Dalam ilmu Al-Qur’an, istilah nuzulul Qur’an (نزول القرآن) merujuk pada proses turunnya wahyu secara bertahap dalam kurun waktu 23 tahun.¹ Penurunan Al-Qur’an ini terjadi dalam dua tahap utama:

1)                  Penurunan dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izzah (Langit Dunia)

2)                  Penurunan secara bertahap kepada Nabi Muhammad Saw. melalui Malaikat Jibril

Dalil mengenai proses penurunan ini disebutkan dalam Qs. Al-Qadr [97] ayat 1:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam Lailatul Qadar.

Menurut Imam Al-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an pertama kali diturunkan secara keseluruhan dari Lauhul Mahfudz ke langit dunia (Baitul ‘Izzah), sebelum kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad Saw. sesuai dengan kondisi dan kebutuhan umat Islam saat itu.³

3.2.       Penurunan Al-Qur’an dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izzah

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa sebelum disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw., Al-Qur’an telah berada di Lauhul Mahfudz, sebagaimana dinyatakan dalam Qs. Al-Buruj [85] ayat 21-22:

بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ(21)  فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ (22)

"Bahkan, (yang didustakan itu) adalah Al-Qur'an yang mulia, (21) yang (tersimpan) dalam Lauhul Mahfudz. (22)"⁴

Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim menyebutkan bahwa penurunan pertama ini merupakan bentuk pemuliaan terhadap Al-Qur’an, menandakan bahwa ia adalah kitab suci yang telah ditetapkan oleh Allah Swt sebelum disampaikan kepada manusia.⁵

Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an juga menegaskan bahwa penurunan ke langit dunia bertujuan untuk menegaskan takdir Al-Qur’an sebagai wahyu yang terjaga dan akan disampaikan secara bertahap kepada Nabi Muhammad Saw.⁶

3.3.       Penurunan Al-Qur’an Secara Bertahap kepada Nabi Muhammad Saw.

Penurunan Al-Qur’an secara bertahap berlangsung selama 23 tahun, dimulai dari wahyu pertama di Gua Hira hingga wahyu terakhir sebelum wafatnya Nabi Muhammad Saw. Dalil mengenai proses ini terdapat dalam Qs. Al-Furqan [25] ayat 32:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا

"Dan orang-orang yang kafir berkata: ‘Mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’ Demikianlah, agar Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur).”⁷

Imam Al-Syafi’i dalam Ar-Risalah menjelaskan bahwa turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur memiliki beberapa hikmah, di antaranya:⁸

1)                  Memudahkan pemahaman dan penerapan hukum syariat

2)                  Menyesuaikan dengan konteks peristiwa dan kebutuhan umat

3)                  Sebagai bentuk pendidikan bertahap bagi kaum Muslimin

4)                  Menguatkan hati Nabi Muhammad Saw. dalam menjalankan misi kenabian

Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, sistem penurunan ini juga menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukanlah hasil pemikiran manusia, melainkan benar-benar firman Allah yang diturunkan sesuai dengan kehendak-Nya.⁹

3.4.       Periodisasi Turunnya Al-Qur’an: Makkiyah dan Madaniyah

Para ulama membagi wahyu yang diterima Nabi Muhammad Saw. menjadi dua periode utama, yaitu:

1)                  Wahyu Makkiyah (Turun sebelum hijrah ke Madinah)

Berisi ajaran tauhid dan keimanan.

Menggunakan bahasa yang kuat dan bernada tegas.

Ditujukan untuk memperkuat keimanan kaum Muslim dan menghadapi tantangan kaum Quraisy.

2)                  Wahyu Madaniyah (Turun setelah hijrah ke Madinah)

Berisi hukum-hukum syariat, sosial, dan politik Islam.

Menggunakan gaya bahasa yang lebih panjang dan rinci.

Ditujukan untuk membangun masyarakat Islam di Madinah.

Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an menegaskan bahwa pembagian ini sangat penting untuk memahami konteks turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan bagaimana ayat-ayat tersebut diterapkan dalam kehidupan sosial umat Islam.¹⁰

3.5.       Konteks Sejarah dan Asbabun Nuzul dalam Penurunan Al-Qur’an

Salah satu aspek penting dalam memahami penurunan Al-Qur’an adalah ilmu asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat). Ilmu ini berfungsi untuk memahami latar belakang sosial, politik, dan budaya di balik turunnya wahyu tertentu.

Sebagai contoh, Qs. Al-Mujadilah [58] ayat 1 turun setelah seorang wanita bernama Khaulah binti Tsa’labah mengadu kepada Rasulullah Saw. mengenai suaminya yang melakukan zihar (menyamakan istrinya dengan ibunya, yang dalam tradisi Arab berarti perceraian). Ayat ini kemudian menghapus tradisi tersebut dalam Islam.¹¹

Ibnu Taimiyyah dalam Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir menyebutkan bahwa mengetahui asbabun nuzul sangat penting untuk memahami makna ayat dengan benar dan menghindari kesalahan dalam menafsirkan Al-Qur’an.¹²


Kesimpulan

Teori penurunan Al-Qur’an mencerminkan sistem wahyu yang terjaga secara ketat dan penuh hikmah. Penurunan Al-Qur’an secara bertahap menunjukkan bagaimana wahyu Ilahi membentuk umat Islam secara bertahap, menyesuaikan dengan kebutuhan zaman, dan tetap relevan hingga saat ini.


Catatan Kaki

[1]                Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 34.

[2]                Al-Qur'an, QS. Al-Qadr [97] ayat 1.

[3]                Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur'an, 38.

[4]                Al-Qur'an, QS. Al-Buruj [85] ayat 21-22.

[5]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (Riyadh: Dar Tayyibah, 1999), 12: 256.

[6]                Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an (Cairo: Maktabah Dar al-Turath, 1988), 1: 231.

[7]                Al-Qur'an, QS. Al-Furqan [25] ayat 32.

[8]                Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, Ar-Risalah (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 78.

[9]                Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1959), 9: 76.

[10]             Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, 1: 234.

[11]             Al-Qur'an, QS. Al-Mujadilah [58] ayat 1.

[12]             Ibnu Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1998), 47.


4.           Tata Cara Penurunan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw.

4.1.       Perantara Malaikat Jibril dalam Penyampaian Wahyu

Penurunan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw. tidak terjadi secara langsung dari Allah Swt, tetapi melalui perantara Malaikat Jibril. Dalil mengenai peran Jibril sebagai penyampai wahyu dijelaskan dalam Qs. An-Najm [53] ayat 4-5:

إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ(4)  عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَىٰ(5)

"Itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat."¹

Imam Al-Tabari dalam Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān menjelaskan bahwa Jibril diutus secara khusus oleh Allah Swt untuk membawa wahyu kepada para nabi, dan dalam konteks Al-Qur’an, perannya sangat penting dalam memastikan transmisi wahyu yang murni tanpa distorsi.²

Al-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an juga menegaskan bahwa setiap wahyu yang diterima Nabi Muhammad Saw. berasal dari Allah melalui perantaraan Jibril, kecuali beberapa kasus khusus di mana Allah berbicara langsung kepada Nabi dalam peristiwa Isra’ Mi’raj dan dalam keadaan tertentu.³

4.2.       Metode Penyampaian Wahyu kepada Nabi Muhammad Saw.

Para ulama dan ahli tafsir menjelaskan bahwa wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. dengan beberapa metode berbeda, yang memiliki efek fisik dan psikologis yang khas pada diri beliau. Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari mengklasifikasikan metode penyampaian wahyu sebagai berikut:⁴

1)                  Melalui Mimpi yang Benar (Ru’ya Shadiqah)

Sebelum menerima wahyu pertama, Nabi Muhammad Saw. mengalami mimpi-mimpi yang nyata, yang kemudian terbukti terjadi di dunia nyata.

Dalil tentang mimpi sebagai bentuk wahyu terdapat dalam hadis riwayat Al-Bukhari:

"Permulaan wahyu yang datang kepada Rasulullah Saw. adalah mimpi yang benar dalam tidur. Beliau tidak pernah melihat mimpi kecuali datang seperti cahaya fajar."⁵

2)                  Melalui Bisikan dalam Hati (Ilham Ilahi)

Wahyu dalam bentuk ini diterima langsung ke dalam hati Nabi Muhammad Saw. tanpa adanya suara atau perantara fisik.

Contoh dari metode ini adalah wahyu yang menjelaskan bahwa iman adalah cahaya yang diberikan Allah ke dalam hati manusia.

3)                  Melalui Suara Lonceng (Shalshalah al-Jaras)

Ini adalah bentuk penyampaian wahyu yang paling berat bagi Nabi Muhammad Saw.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a., beliau berkata:

"Kadang wahyu datang kepadanya seperti suara lonceng, dan itu adalah bentuk yang paling berat bagi beliau."⁶

Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim, suara lonceng ini menandakan ketegangan batin yang tinggi akibat beratnya wahyu yang diterima.⁷

4)                  Melalui Kehadiran Jibril dalam Bentuk Aslinya

Nabi Muhammad Saw. pernah melihat Malaikat Jibril dalam bentuk aslinya sebanyak dua kali, sebagaimana disebutkan dalam Qs. An-Najm [53] ayat 6-9.

ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَىٰ(6)  وَهُوَ بِالْأُفُقِ الْأَعْلَىٰ (7) ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّىٰ (8) فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَىٰ (9)

yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. (6) sedang dia berada di ufuk yang tinggi. (7) Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. (8) maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). (9)”

Menurut Imam Muslim dalam Shahih Muslim, ketika Nabi melihat Jibril dalam bentuk aslinya, beliau sangat terpengaruh secara fisik karena besarnya sosok malaikat tersebut.⁸

5)                  Melalui Kehadiran Jibril dalam Wujud Manusia

Dalam beberapa kesempatan, Jibril mendatangi Nabi Muhammad Saw. dalam bentuk manusia, biasanya menyerupai seorang sahabat bernama Dihyah Al-Kalbi.

Salah satu contoh terkenal adalah hadis Jibril Hadits, di mana Jibril datang dalam bentuk manusia dan bertanya tentang iman, Islam, dan ihsan.⁹

6)                  Melalui Komunikasi Langsung dengan Allah Swt

Wahyu dalam bentuk ini terjadi saat peristiwa Isra’ Mi’raj, di mana Nabi Muhammad Saw. menerima perintah shalat langsung dari Allah Swt tanpa perantaraan Jibril.¹⁰

4.3.       Reaksi Fisik dan Psikologis Nabi Muhammad Saw. Saat Menerima Wahyu

Penerimaan wahyu bukanlah proses yang ringan bagi Nabi Muhammad Saw. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa saat menerima wahyu, beliau mengalami berbagai kondisi fisik dan psikologis:

1)                  Merasa Sangat Berat

Dalam Qs. Al-Muzzammil [73] ayat 5, Allah berfirman:

إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا

"Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat."¹¹

Hadis yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit menyebutkan bahwa saat wahyu turun, paha Rasulullah Saw. terasa sangat berat hingga hampir menghancurkan benda di sekitarnya.¹²

2)                  Berkeringat Meski dalam Cuaca Dingin

Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa ketika wahyu turun kepada Nabi, beliau sering berkeringat deras meskipun cuaca sedang dingin.¹³

3)                  Kesadaran Penuh dan Fokus Mendalam

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. selalu diam dan penuh perhatian saat wahyu turun, dan baru setelahnya beliau mulai menyampaikan ayat yang diterima.¹⁴


Kesimpulan

Tata cara penurunan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw. berlangsung dalam beberapa metode, sebagian besar melalui perantara Malaikat Jibril, dan dalam kondisi tertentu secara langsung dari Allah Swt. Proses ini bukan hanya berdampak spiritual, tetapi juga memiliki konsekuensi fisik yang berat bagi Nabi Muhammad Saw., menunjukkan betapa penting dan agungnya wahyu yang diturunkan.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, QS. An-Najm [53] ayat 4-5.

[2]                Al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1992), 16: 112.

[3]                Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 45.

[4]                Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1959), 1: 45.

[5]                Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Bad’ al-Wahy, Hadis no. 3.

[6]                Ibid.

[7]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (Riyadh: Dar Tayyibah, 1999), 10: 248.

[8]                Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, Hadis no. 177.

[9]                Ibid., Hadis no. 8.

[10]             Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, 1: 145.

[11]             Al-Qur'an, QS. Al-Muzzammil [73] ayat 5.

[12]             Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-Witr, Hadis no. 1179.

[13]             Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Bad’ al-Wahy, Hadis no. 2.

[14]             Muslim, Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, Hadis no. 153.


5.           Periode Penulisan dan Penghafalan Al-Qur’an

Sejarah penulisan dan penghafalan Al-Qur’an adalah bagian penting dalam menjaga otentisitas wahyu Ilahi. Sejak awal turunnya wahyu, Al-Qur’an telah ditransmisikan melalui dua metode utama: hafalan (tahfiz) dan penulisan (tadwin). Kedua metode ini digunakan secara bersamaan untuk memastikan bahwa wahyu tetap terjaga dari perubahan dan distorsi.

5.1.       Masa Nabi Muhammad Saw.: Penghafalan dan Penulisan Wahyu

5.1.1.    Penghafalan Al-Qur’an oleh Nabi dan Para Sahabat

Sejak wahyu pertama turun, Nabi Muhammad Saw. telah menghafalnya dan kemudian menyampaikannya kepada para sahabat. Penghafalan menjadi metode utama dalam pelestarian Al-Qur’an karena tradisi bangsa Arab yang kuat dalam menghafal syair dan perkataan penting. Allah Swt berfirman dalam Qs. Al-Qiyamah [75] ayat 17-18:

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ(17)  فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18)

"Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. (17) Maka apabila Kami telah membacakannya, ikutilah bacaannya itu. (18)"¹

Imam Al-Qurtubi dalam Tafsir al-Jami' li Ahkam al-Qur’an menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa Allah Swt sendiri menjamin pemeliharaan hafalan Al-Qur’an dalam dada Rasulullah Saw.² Para sahabat juga aktif menghafal wahyu yang turun dan banyak dari mereka dikenal sebagai huffazh (penghafal Al-Qur’an), seperti Abdullah bin Mas'ud, Ubay bin Ka’b, Mu’adz bin Jabal, dan Zaid bin Tsabit.³

5.1.2.    Penulisan Al-Qur’an oleh Kuttab al-Wahyi

Meskipun penghafalan menjadi metode utama, wahyu juga didokumentasikan dalam bentuk tertulis. Nabi Muhammad Saw. menunjuk beberapa sahabat sebagai juru tulis wahyu (kuttab al-wahyi) yang bertugas mencatat setiap ayat yang diturunkan. Beberapa sahabat yang menjadi juru tulis wahyu antara lain:

·                     Zaid bin Tsabit

·                     Abdullah bin Mas'ud

·                     Ali bin Abi Thalib

·                     Ubay bin Ka’b

·                     Mu’awiyah bin Abi Sufyan

Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, mereka menuliskan wahyu pada berbagai media seperti pelepah kurma, tulang unta, kulit binatang, dan batu tipis.⁴ Penulisan ini dilakukan di hadapan Nabi Muhammad Saw. dan akan dikonfirmasi ulang sebelum disebarluaskan kepada umat.

Al-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an menegaskan bahwa setiap ayat yang ditulis harus dikonfirmasi oleh Rasulullah Saw. untuk memastikan keasliannya sebelum disebarluaskan.⁵

5.2.       Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq: Kodifikasi Awal Al-Qur’an

Setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., umat Islam menghadapi tantangan besar dalam menjaga keutuhan Al-Qur’an. Salah satu peristiwa yang mendorong pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf adalah Perang Yamamah (632 M), di mana banyak penghafal Al-Qur’an gugur.

Melihat kondisi ini, Umar bin Khattab mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq agar Al-Qur’an dikodifikasi dalam bentuk kitab. Awalnya, Abu Bakar ragu karena hal ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw., tetapi akhirnya beliau menerima usulan ini demi menjaga keutuhan wahyu.⁶

Abu Bakar kemudian menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai pemimpin dalam proyek kodifikasi ini. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Zaid berkata:

"Demi Allah! Jika mereka membebaniku untuk memindahkan sebuah gunung, itu tidak lebih berat bagiku daripada perintah Abu Bakar untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf."⁷

Zaid mengumpulkan Al-Qur’an berdasarkan hafalan para sahabat dan catatan tertulis yang telah ada. Mushaf yang terkodifikasi ini kemudian disimpan oleh Abu Bakar, lalu diwariskan kepada Umar bin Khattab, dan setelah itu kepada Hafshah binti Umar.⁸

5.3.       Masa Khalifah Utsman bin Affan: Standarisasi Mushaf Al-Qur’an

Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, Islam telah menyebar luas ke berbagai wilayah, termasuk Persia, Syam, dan Mesir. Namun, perbedaan dalam cara membaca (qira’at) Al-Qur’an mulai muncul di berbagai daerah. Untuk menghindari perpecahan, Utsman memerintahkan standarisasi mushaf.

Zaid bin Tsabit kembali ditunjuk untuk memimpin tim kodifikasi, yang juga terdiri dari Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Harits. Mereka menyalin mushaf berdasarkan kodifikasi yang telah disimpan oleh Hafshah.

Utsman kemudian mendistribusikan Mushaf Utsmani ke berbagai wilayah dan memerintahkan agar mushaf lain yang berbeda dibakar untuk menghindari perbedaan qira’at yang berpotensi menimbulkan fitnah. Keputusan ini didukung oleh mayoritas sahabat dan tetap menjadi standar hingga saat ini.⁹

5.4.       Pengaruh Periode Penghafalan dan Penulisan dalam Keotentikan Al-Qur’an

Penulisan dan penghafalan Al-Qur’an yang dilakukan secara ketat sejak zaman Nabi hingga kodifikasi di era Abu Bakar dan Utsman menjadi bukti keotentikan Al-Qur’an.

Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an menjelaskan bahwa metode penulisan dan hafalan yang dilakukan secara bersamaan menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya kitab suci yang terjaga keasliannya sepanjang sejarah.¹⁰

Penelitian dalam Journal of Qur’anic Studies juga menunjukkan bahwa hingga saat ini, tidak ada versi Al-Qur’an yang berbeda secara isi di seluruh dunia, membuktikan bahwa metode yang diterapkan sejak zaman Nabi sangat efektif dalam menjaga kemurnian teks suci ini.¹¹


Kesimpulan

Proses penghafalan dan penulisan Al-Qur’an sejak zaman Nabi Muhammad Saw. hingga masa Khalifah Utsman bin Affan menunjukkan sistem yang sangat ketat dalam menjaga otentisitas wahyu. Metode ini telah memastikan bahwa Al-Qur’an tetap dalam bentuk aslinya tanpa perubahan sedikit pun, menjadikannya satu-satunya kitab suci yang tetap otentik sejak awal diturunkan.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur’an, QS. Al-Qiyamah [75] ayat 17-18.

[2]                Al-Qurtubi, Tafsir al-Jami' li Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 5: 234.

[3]                Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 45.

[4]                Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 6: 365.

[5]                Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, 54.

[6]                Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab Fadha'il al-Sahabah, Hadis no. 2378.

[7]                Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Fadha’il Al-Qur’an, Hadis no. 4986.

[8]                Ibnu Abi Dawud, Kitab al-Masahif (Cairo: Maktabah al-Khanji, 2002), 33.

[9]                Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an (Cairo: Maktabah Dar al-Turath, 1988), 2: 165.

[10]             Ibid., 2: 172.

[11]             M. A. S. Abdel Haleem, "The Qur'an and the Prophet's Hadith: Some Notes on Their Relationship," Journal of Qur'anic Studies 5, no. 2 (2003): 36.


6.           Ilmu Rasm al-Qur'an dan Perkembangannya

6.1.       Pengertian Rasm al-Qur'an

Rasm al-Qur'an (رسم المصحف) merujuk pada sistem penulisan Al-Qur'an yang digunakan dalam mushaf. Istilah rasm berasal dari bahasa Arab yang berarti "garis" atau "tulisan," sehingga rasm al-Qur’an dapat diartikan sebagai kaidah yang digunakan dalam menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an.¹

Dalam sejarah Islam, terdapat beberapa istilah yang digunakan dalam pembahasan rasm, di antaranya:

·                     Rasm Utsmani (الرسم العثماني): Metode penulisan Al-Qur’an yang disusun pada masa Khalifah Utsman bin Affan dan menjadi standar penulisan mushaf hingga saat ini.

·                     Rasm Imla’i (الرسم الإملائي): Sistem penulisan Al-Qur’an yang menggunakan kaidah ejaan bahasa Arab modern, berbeda dengan rasm Utsmani dalam beberapa aspek.²

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah rasm Utsmani bersifat tauqifi (bersumber dari wahyu) atau hasil ijtihad para sahabat. Mayoritas ulama, seperti Al-Dani dalam Al-Muqni’ fi Rasm Masahif al-Amsar, menyatakan bahwa rasm Utsmani didasarkan pada kebijakan ijtihadi sahabat dan bertujuan untuk menyatukan bacaan Al-Qur’an di berbagai wilayah Islam.³

6.2.       Sejarah dan Standarisasi Rasm Utsmani

6.2.1.    Periode Nabi Muhammad Saw.

Pada masa Rasulullah Saw., wahyu dicatat oleh para juru tulis wahyu (kuttab al-wahyi) dengan berbagai media, seperti pelepah kurma, tulang unta, dan kulit binatang. Namun, belum ada kaidah khusus dalam penulisan mushaf karena Al-Qur’an lebih banyak dihafalkan.⁴

6.2.2.    Masa Khalifah Utsman bin Affan

Pada era Khalifah Utsman bin Affan, perbedaan bacaan (qira’at) mulai muncul di berbagai wilayah Islam. Untuk mencegah perpecahan, Utsman memerintahkan kodifikasi dan standarisasi mushaf berdasarkan dialek Quraisy, yang kemudian dikenal sebagai Mushaf Utsmani.⁵

Menurut Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Mushaf Utsmani disalin dan dikirim ke berbagai kota besar seperti Makkah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Syam. Enam atau tujuh salinan resmi ini menjadi dasar bagi mushaf yang kita gunakan saat ini.⁶

Keunikan mushaf ini terletak pada sistem penulisannya yang mempertahankan beberapa bentuk pengejaan yang tidak biasa dalam bahasa Arab standar, seperti:

1)                  Penambahan huruf (ziyadah)

Kata مالك  dalam QS. Al-Fatihah [1] ayat 4 ditulis dengan alif (مالك), padahal dalam qira’at lain dibaca tanpa alif (ملك).

2)                  Penghapusan huruf (hadf)

Kata الليل  dalam beberapa tempat ditulis tanpa alif (اللّيل), sementara dalam rasm imla’i biasa ditulis dengan alif.

3)                  Penyatuan kata (wasl)

Kata seperti أينما  (Qs. Al-Baqarah [2] ayat 115) dalam mushaf Utsmani ditulis bersambung, meskipun dalam bahasa Arab modern bisa dipisah menjadi أين ما.⁷

6.3.       Perkembangan Ilmu Rasm al-Qur'an

Setelah standarisasi mushaf, para ulama mengembangkan ilmu rasm agar penulisan Al-Qur’an tetap seragam dan sesuai dengan aturan mushaf Utsmani. Beberapa tokoh yang berperan dalam perkembangan ilmu rasm antara lain:

6.3.1.    Imam Abu Amr Ad-Dani (w. 444 H)

Beliau menulis kitab Al-Muqni' fi Rasm Masahif al-Amsar, yang menjadi rujukan utama dalam ilmu rasm Utsmani. Dalam kitab ini, ia menjelaskan kaidah penulisan Al-Qur'an yang berbeda dengan ejaan bahasa Arab standar.⁸

6.3.2.    Imam As-Sakhawi (w. 643 H)

Dalam karyanya Jamāl al-Qurra’, ia mengklasifikasikan berbagai metode penulisan Al-Qur’an dan perbedaannya dengan tulisan Arab modern.⁹

6.3.3.    Standarisasi dalam Percetakan Al-Qur'an

Pada era modern, upaya untuk mempertahankan rasm Utsmani terus dilakukan. Mushaf Al-Madinah yang dicetak oleh Kompleks Percetakan Mushaf Raja Fahd di Arab Saudi menggunakan standar rasm Utsmani yang telah dikodifikasi oleh para ulama sejak zaman Utsman bin Affan.¹⁰

6.4.       Perbedaan Rasm Utsmani dan Rasm Imla’i

Meski rasm Utsmani tetap menjadi standar utama dalam penulisan mushaf, ada beberapa perbedaan antara rasm Utsmani dan rasm Imla’i, di antaranya:

·                     Rasm Utsmani

Kaidah Penulisan: Mengikuti ejaan klasik yang tidak selalu sesuai dengan tata bahasa Arab modern.

Contoh: الصلاة (sholat) ditulis tanpa alif sebagai الصلوة.

Penggunaan Huruf: Beberapa kata ditulis dengan tambahan atau pengurangan huruf.

·                     Rasm Imla’i

Kaidah Penulisan: Mengikuti kaidah ejaan Arab standar saat ini.

Contoh: الصلاة ditulis dengan alif sesuai tata bahasa modern.

Penggunaan Huruf: Menggunakan standar ejaan Arab modern tanpa perubahan.

Menurut Dr. Muhammad Al-Khudhair dalam jurnal Journal of Qur’anic Research, penggunaan rasm Utsmani dalam mushaf modern bertujuan untuk menjaga keaslian teks sebagaimana yang disepakati oleh para sahabat di masa Utsman.¹¹

6.5.       Implikasi Ilmu Rasm terhadap Bacaan Al-Qur’an

Ilmu rasm tidak hanya berfungsi sebagai standar penulisan, tetapi juga berpengaruh terhadap qira’at (cara membaca Al-Qur’an). Beberapa qira’at berbeda dalam pengucapan karena perbedaan dalam penulisan.

Misalnya, kata ملك  dalam Qs. Al-Fatihah [1] ayat 4 dapat dibaca sebagai Maalik (versi Hafs) atau Malik (versi Warsh), tergantung dari pemahaman qira’at terhadap rasm mushaf.¹²


Kesimpulan

Ilmu rasm al-Qur’an memainkan peran penting dalam menjaga keaslian mushaf sejak zaman Nabi Muhammad Saw. hingga sekarang. Standarisasi yang dilakukan oleh Khalifah Utsman bin Affan memastikan bahwa mushaf yang beredar di seluruh dunia memiliki keseragaman dalam penulisan. Perkembangan ilmu rasm juga menunjukkan betapa pentingnya aspek tulisan dalam menjaga kemurnian Al-Qur’an, sehingga generasi Muslim dapat membaca dan menghafalnya dengan benar.


Catatan Kaki

[1]                Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an (Cairo: Maktabah Dar al-Turath, 1988), 1: 215.

[2]                Ibid., 1: 223.

[3]                Abu Amr Ad-Dani, Al-Muqni' fi Rasm Masahif al-Amsar (Cairo: Dar al-Fikr, 1988), 13.

[4]                Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 6: 390.

[5]                Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 67.

[6]                Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, 2: 165.

[7]                Ad-Dani, Al-Muqni' fi Rasm Masahif al-Amsar, 32.

[8]                M. A. S. Abdel Haleem, "The Qur'an and the Prophet's Hadith," Journal of Qur'anic Studies 5, no. 2 (2003): 40.

[9]                Al-Sakhawi, Jamāl al-Qurra’ (Cairo: Maktabah al-Khanji, 2001), 45.

[10]             The King Fahd Complex for the Printing of the Holy Qur’an, The Standardization of the Uthmanic Mushaf (Madinah: King Fahd Complex, 2010), 15.

[11]             Muhammad Al-Khudhair, “The Influence of Rasm Uthmani on the Preservation of the Qur'anic Text,” Journal of Qur’anic Research 10, no. 2 (2017): 77-89.

[12]             Ayman Swaid, Al-Muqaddimah fi ‘Ilm al-Qira’at (Jeddah: Dar Ibn al-Jazari, 2005), 92.


7.           Pembukuan dan Perkembangan Ilmu Al-Qur’an

7.1.       Pengertian Pembukuan Al-Qur’an

Pembukuan Al-Qur’an (tadwin al-Qur’an) adalah proses penghimpunan dan kodifikasi wahyu dalam satu mushaf yang terjaga keasliannya. Dalam sejarah Islam, pembukuan Al-Qur’an mengalami tiga tahap utama:

1)                  Masa Nabi Muhammad Saw.:

Al-Qur’an dihafalkan oleh para sahabat dan ditulis secara terpisah pada berbagai media seperti pelepah kurma, tulang, dan kulit binatang.¹

2)                  Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq:

Pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf resmi setelah banyak penghafal gugur dalam Perang Yamamah.²

3)                  Masa Khalifah Utsman bin Affan:

Standarisasi bacaan Al-Qur’an dan distribusi mushaf ke berbagai wilayah Islam untuk mencegah perbedaan qira’at yang dapat memicu perpecahan.³

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menyatakan bahwa keputusan Abu Bakar dan Utsman dalam membukukan Al-Qur’an adalah bagian dari upaya menjaga keasliannya, sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al-Hijr [15] ayat 9:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya."⁴

7.2.       Perkembangan Ilmu Al-Qur’an

Ilmu Al-Qur’an (ulum al-Qur’an) berkembang sebagai disiplin yang membahas berbagai aspek Al-Qur’an, seperti sejarah, penafsiran, dan ilmu bacaannya. Ulama klasik telah menyusun berbagai cabang ilmu Al-Qur’an, di antaranya:

7.2.1.    Ilmu Tajwid

Ilmu Tajwid adalah ilmu yang membahas cara membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai dengan makhraj dan sifat huruf. Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H) dalam Kitab al-Qira’at menjadi salah satu ulama pertama yang membahas qira’at dan tajwid dalam bentuk tertulis.⁵

7.2.2.    Ilmu Qira’at

Ilmu ini membahas variasi bacaan dalam Al-Qur’an yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw. Imam Ibnu Mujahid (w. 324 H) dalam Kitab al-Sab‘ah mengkodifikasi tujuh qira’at mutawatir yang diakui secara luas dalam Islam.⁶

7.2.3.    Ilmu Rasm al-Qur’an

Ilmu ini membahas sistem penulisan mushaf yang sesuai dengan standar Mushaf Utsmani. Abu Amr Ad-Dani dalam Al-Muqni' fi Rasm Masahif al-Amsar membahas aturan penulisan Al-Qur’an berdasarkan mushaf standar.⁷

7.2.4.    Ilmu Asbabun Nuzul

Ilmu ini mengkaji sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an untuk memahami konteks wahyu. Imam Al-Wahidi (w. 468 H) dalam Asbab al-Nuzul mengumpulkan berbagai riwayat tentang latar belakang turunnya ayat-ayat tertentu.⁸

7.2.5.    Ilmu Nasikh wa Mansukh

Ilmu ini membahas ayat-ayat yang telah dihapus hukumnya oleh ayat lain. Imam Abu Ubaid dalam Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh menjelaskan prinsip-prinsip tentang bagaimana memahami ayat yang telah digantikan oleh wahyu berikutnya.⁹

7.3.       Pembukuan Ilmu Al-Qur’an pada Masa Klasik

Setelah masa pembukuan Al-Qur’an, para ulama mulai menyusun kitab-kitab tentang ilmu Al-Qur’an untuk menjelaskan berbagai aspek yang berkaitan dengan wahyu. Beberapa karya penting dalam bidang ini antara lain:

1)                  Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an – Imam Al-Suyuthi (w. 911 H)

Kitab ini menjadi ensiklopedia ilmu Al-Qur’an yang membahas berbagai cabang seperti tafsir, asbabun nuzul, nasikh wa mansukh, dan i’jaz al-Qur’an.¹⁰

2)                  Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an – Imam Al-Zarkasyi (w. 794 H)

Salah satu kitab rujukan utama dalam ilmu Al-Qur’an yang membahas aspek sejarah, kodifikasi, dan metode interpretasi Al-Qur’an.¹¹

3)                  Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim – Ibnu Katsir (w. 774 H)

Kitab tafsir yang menjelaskan Al-Qur’an dengan pendekatan riwayat dan hadis-hadis Nabi.¹²

7.4.       Digitalisasi dan Perkembangan Ilmu Al-Qur’an di Era Modern

Pada era modern, ilmu Al-Qur’an mengalami perkembangan pesat dengan hadirnya teknologi digital. Beberapa inovasi dalam pembelajaran Al-Qur’an di antaranya:

7.4.1.    Mushaf Digital dan Aplikasi Al-Qur’an

Berbagai aplikasi Al-Qur’an seperti Quran.com, Tanzil.net, dan Mushaf Al-Madinah Digital memungkinkan umat Islam mengakses Al-Qur’an dengan tafsir dan qira’at yang lengkap.¹³

7.4.2.    Studi Ilmiah tentang Manuskrip Al-Qur’an

Para akademisi dan peneliti Islam mulai mengkaji manuskrip kuno Al-Qur’an untuk memastikan keautentikan teks wahyu. Studi oleh Dr. Mustafa Shah dalam Journal of Qur'anic Studies menunjukkan bahwa manuskrip-manuskrip kuno seperti Mushaf Topkapi dan Mushaf Sana’a memiliki kesesuaian dengan mushaf standar saat ini.¹⁴

7.4.3.    Artificial Intelligence (AI) dalam Studi Al-Qur’an

Teknologi AI kini digunakan untuk mengidentifikasi variasi qira’at dan analisis bahasa dalam Al-Qur’an, seperti yang dikembangkan dalam proyek Corpus Qur’an oleh Universitas Leeds.¹⁵


Kesimpulan

Pembukuan dan perkembangan ilmu Al-Qur’an menunjukkan betapa umat Islam telah menjaga wahyu dengan sistem yang terstruktur sejak zaman Nabi Muhammad Saw. hingga era modern. Melalui ilmu-ilmu Al-Qur’an, pemahaman terhadap wahyu semakin luas dan mendalam, memastikan bahwa Al-Qur’an tetap autentik dan dapat dipahami oleh setiap generasi umat Islam.


Catatan Kaki

[1]                Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 6: 368.

[2]                Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Fadha’il Al-Qur’an, Hadis no. 4986.

[3]                Ibnu Abi Dawud, Kitab al-Masahif (Cairo: Maktabah al-Khanji, 2002), 33.

[4]                Al-Qur’an, QS. Al-Hijr [15] ayat 9.

[5]                Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, Kitab al-Qira’at (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 28.

[6]                Ibnu Mujahid, Kitab al-Sab‘ah fi al-Qira’at (Cairo: Maktabah Dar al-Turath, 1997), 11.

[7]                Abu Amr Ad-Dani, Al-Muqni' fi Rasm Masahif al-Amsar (Cairo: Dar al-Fikr, 1988), 45.

[8]                Al-Wahidi, Asbab al-Nuzul (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 14.

[9]                Abu Ubaid, Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh (Cairo: Dar al-Hadith, 1990), 33.

[10]             Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 12.

[11]             Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an (Cairo: Maktabah Dar al-Turath, 1988), 2: 178.

[12]             Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (Riyadh: Dar Tayyibah, 1999), 10: 248.

[13]             Mustafa Shah, "Early Qur'anic Manuscripts," Journal of Qur’anic Studies 15, no. 1 (2013): 22.

[14]             Ibid., 29.

[15]             "Corpus Qur’an: AI Analysis of Qur’anic Language," University of Leeds Research Papers (2021): 55.


8.           Kesimpulan dan Hikmah dari Sejarah Penurunan dan Penulisan Al-Qur’an

8.1.       Kesimpulan

Sejarah penurunan dan penulisan Al-Qur’an merupakan bagian yang fundamental dalam studi Islam. Sebagai wahyu terakhir, Al-Qur’an mengalami proses penurunan secara bertahap dalam kurun waktu 23 tahun, dimulai dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izzah di langit dunia, lalu diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantara Malaikat Jibril.¹

Proses penulisan dan penghafalan Al-Qur’an sejak masa Nabi Muhammad Saw. hingga pembukuannya pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan standarisasi pada era Utsman bin Affan menunjukkan bahwa Al-Qur’an telah melalui sistem penjagaan yang sangat ketat. Hal ini memastikan bahwa teks suci ini tetap otentik dan bebas dari perubahan atau distorsi sepanjang sejarah.²

Kodifikasi Al-Qur’an dalam bentuk mushaf Utsmani juga menjadi langkah penting dalam menjaga kesatuan umat Islam. Mushaf standar yang digunakan hingga saat ini memiliki keterkaitan langsung dengan versi mushaf yang disebarkan oleh Utsman bin Affan ke berbagai wilayah Islam pada abad pertama Hijriah.³

Dari segi perkembangan ilmu Al-Qur’an, para ulama telah menyusun berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan wahyu, seperti ilmu tajwid, ilmu qira’at, ilmu asbabun nuzul, ilmu nasikh wa mansukh, hingga ilmu tafsir. Dengan adanya ilmu-ilmu ini, umat Islam dapat memahami Al-Qur’an dengan lebih mendalam sesuai dengan konteks dan latar belakangnya.⁴

Selain itu, perkembangan teknologi di era modern memungkinkan digitalisasi mushaf, analisis ilmiah terhadap manuskrip kuno, serta penggunaan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dalam studi Al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa upaya menjaga wahyu tetap berlangsung hingga masa kini.⁵

8.2.       Hikmah dari Sejarah Penurunan dan Penulisan Al-Qur’an

8.2.1.    Jaminan Keotentikan Al-Qur’an

Salah satu hikmah terbesar dari sejarah penurunan dan penulisan Al-Qur’an adalah terjaganya keaslian wahyu. Allah Swt sendiri telah menjamin dalam QS. Al-Hijr [15] ayat 9:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya."⁶

Para ulama tafsir, seperti Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim, menegaskan bahwa penjagaan ini dilakukan melalui hafalan para sahabat dan kodifikasi mushaf sejak masa awal Islam.⁷

8.2.2.    Pentingnya Penghafalan dan Pengamalan Al-Qur’an

Sejarah menunjukkan bahwa metode utama dalam menjaga Al-Qur’an adalah melalui tahfiz (penghafalan). Hingga saat ini, jutaan umat Islam masih menghafalkan Al-Qur’an sebagai bagian dari tradisi keilmuan Islam. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Qamar [54] ayat 17:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk diingat, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?"⁸

Imam Al-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an menyebutkan bahwa tradisi menghafal Al-Qur’an adalah bentuk penjagaan wahyu yang tidak ditemukan dalam kitab suci lain.⁹

8.2.3.    Pentingnya Standarisasi dalam Keilmuan Islam

Standarisasi mushaf Utsmani oleh Khalifah Utsman bin Affan memberikan pelajaran penting tentang bagaimana Islam menjaga kesatuan umat dalam aspek keilmuan. Dengan adanya mushaf standar, perbedaan qira’at dapat dikontrol sehingga tidak menimbulkan perpecahan di antara umat Islam.¹⁰

Dalam Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Al-Zarkasyi menegaskan bahwa keputusan Utsman untuk membakar mushaf yang berbeda dengan standar adalah tindakan strategis yang bertujuan untuk menjaga kesatuan teks Al-Qur’an.¹¹

8.2.4.    Dinamika Ilmiah dalam Kajian Al-Qur’an

Sejarah penulisan Al-Qur’an juga menunjukkan bagaimana umat Islam terus mengembangkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wahyu. Perkembangan ilmu tafsir, tajwid, dan qira’at adalah bukti bahwa Al-Qur’an selalu dipelajari dan dikaji dengan pendekatan akademik yang mendalam.¹²

Penelitian kontemporer oleh Dr. Mustafa Shah dalam Journal of Qur’anic Studies menunjukkan bahwa kajian terhadap manuskrip kuno Al-Qur’an seperti Mushaf Sana’a dan Mushaf Topkapi telah membuktikan bahwa teks Al-Qur’an yang ada saat ini sesuai dengan mushaf yang ditulis sejak abad pertama Hijriah.¹³

8.2.5.    Relevansi Al-Qur’an dalam Kehidupan Modern

Meskipun Al-Qur’an diturunkan lebih dari 1400 tahun yang lalu, ajarannya tetap relevan dengan kehidupan modern. Aspek hukum, sosial, dan spiritual yang terdapat dalam Al-Qur’an terus menjadi pedoman dalam berbagai bidang kehidupan.

Dalam Qs. An-Nahl [16] ayat 89, Allah Swt berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri."¹⁴

Penelitian dalam The Oxford Handbook of Qur’anic Studies juga menegaskan bahwa pemahaman terhadap Al-Qur’an terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.¹⁵


Kesimpulan Akhir

Sejarah penurunan dan penulisan Al-Qur’an merupakan bukti nyata bahwa wahyu ini dijaga dengan ketat sejak awal diturunkan. Proses penghafalan dan penulisan yang sistematis menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang tetap otentik tanpa perubahan.

Selain itu, ilmu-ilmu yang berkembang di sekitar Al-Qur’an telah memastikan bahwa pemahaman terhadap wahyu ini selalu dapat diperdalam dan diperluas. Dengan perkembangan teknologi, upaya penjagaan dan studi tentang Al-Qur’an semakin maju, memastikan bahwa wahyu ini tetap relevan bagi setiap generasi Muslim di masa depan.


Catatan Kaki

[1]                Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an (Cairo: Maktabah Dar al-Turath, 1988), 1: 215.

[2]                Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 6: 368.

[3]                Ibnu Abi Dawud, Kitab al-Masahif (Cairo: Maktabah al-Khanji, 2002), 33.

[4]                Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 12.

[5]                Mustafa Shah, "Early Qur'anic Manuscripts," Journal of Qur’anic Studies 15, no. 1 (2013): 22.

[6]                Al-Qur’an, QS. Al-Hijr [15] ayat 9.

[7]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (Riyadh: Dar Tayyibah, 1999), 10: 248.

[8]                Al-Qur’an, QS. Al-Qamar [54] ayat 17.

[9]                Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, 14.

[10]             Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, 2: 178.

[11]             Ibid., 2: 182.

[12]             Mustafa Shah, "Qur'anic Studies in the Modern Era," The Oxford Handbook of Qur’anic Studies (Oxford: Oxford University Press, 2020), 55.

[13]             Ibid., 61.

[14]             Al-Qur’an, QS. An-Nahl [16] ayat 89.

[15]             Shah, The Oxford Handbook of Qur’anic Studies, 79.


Daftar Pustaka

Buku

·                     Abu Amr Ad-Dani. (1988). Al-Muqni' fi Rasm Masahif al-Amsar. Cairo: Dar al-Fikr.

·                     Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam. (2003). Kitab al-Qira’at. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

·                     Al-Sakhawi. (2001). Jamāl al-Qurra’. Cairo: Maktabah al-Khanji.

·                     Al-Suyuthi, J. (2008). Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

·                     Al-Tabari. (1992). Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān. Cairo: Dar al-Ma'arif.

·                     Al-Wahidi. (2006). Asbab al-Nuzul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

·                     Al-Zarkasyi. (1988). Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an. Cairo: Maktabah Dar al-Turath.

·                     Ayman Swaid. (2005). Al-Muqaddimah fi ‘Ilm al-Qira’at. Jeddah: Dar Ibn al-Jazari.

·                     Ibnu Abi Dawud. (2002). Kitab al-Masahif. Cairo: Maktabah al-Khanji.

·                     Ibnu Hajar Al-Asqalani. (1959). Fathul Bari. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

·                     Ibnu Katsir. (1990). Al-Bidayah wa An-Nihayah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

·                     Ibnu Katsir. (1999). Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim. Riyadh: Dar Tayyibah.

·                     Ibnu Mujahid. (1997). Kitab al-Sab‘ah fi al-Qira’at. Cairo: Maktabah Dar al-Turath.

·                     Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari. (1997). Shahih Al-Bukhari. Riyadh: Darussalam.

·                     Muslim ibn al-Hajjaj. (2002). Shahih Muslim. Cairo: Dar al-Hadith.

·                     The King Fahd Complex for the Printing of the Holy Qur’an. (2010). The Standardization of the Uthmanic Mushaf. Madinah: King Fahd Complex.

Jurnal Ilmiah

·                     Abdel Haleem, M. A. S. (2003). The Qur'an and the Prophet's Hadith: Some Notes on Their Relationship. Journal of Qur’anic Studies, 5(2), 36-40.

·                     Al-Khudhair, M. (2017). The Influence of Rasm Uthmani on the Preservation of the Qur'anic Text. Journal of Qur’anic Research, 10(2), 77-89.

·                     Mustafa Shah. (2013). Early Qur'anic Manuscripts. Journal of Qur’anic Studies, 15(1), 22-29.

·                     Shah, M. (2020). Qur'anic Studies in the Modern Era. In The Oxford Handbook of Qur’anic Studies (pp. 55-79). Oxford: Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar