Rabu, 26 Februari 2025

Bahan Ajar SKI Kelas 11 Bab 2: Perkembangan Peradaban dan Ilmu Pengetahuan pada Masa Daulah Abbasiyah

Sejarah Kebudayaan Islam

Perkembangan Peradaban dan Ilmu Pengetahuan pada Masa Daulah Abbasiyah


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)

Kelas                   : 11 (Sebelas)


Abstrak

Masa Daulah Abbasiyah (750–1258 M) merupakan periode keemasan dalam sejarah peradaban Islam yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, budaya, dan sistem pemerintahan. Artikel ini mengkaji perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah berdasarkan sumber-sumber klasik Islam, pandangan ulama, serta kajian akademik modern. Kajian ini mencakup perkembangan arsitektur, pendidikan, ilmu agama, kedokteran, matematika, astronomi, fisika, kimia, filsafat, serta peran Baitul Hikmah sebagai pusat keilmuan. Ulama klasik seperti Ibn Khaldun, Al-Ghazali, dan Al-Mas’udi menyoroti faktor keberhasilan serta kemunduran Abbasiyah, sementara sejarawan modern seperti George Saliba, Dimitri Gutas, dan Montgomery Watt menekankan pengaruh besar peradaban ini terhadap Renaissance Eropa dan perkembangan sains modern. Artikel ini juga memberikan rekomendasi bagi umat Islam masa kini untuk mengadopsi semangat keilmuan Abbasiyah guna membangun kembali peradaban Islam yang maju dan berdaya saing. Dengan demikian, kajian ini tidak hanya memberikan wawasan historis tetapi juga refleksi strategis bagi kebangkitan intelektual Islam di era modern.

Kata Kunci: Daulah Abbasiyah, Peradaban Islam, Ilmu Pengetahuan, Baitul Hikmah, Ulama, Kajian Sejarah Islam.


PEMBAHASAN

Perkembangan Peradaban dan Ilmu Pengetahuan pada Masa Daulah Abbasiyah


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)

Kelas                   : 11 (Sebelas)

Bab                      : Bab 2 - Perkembangan Peradaban dan Ilmu Pengetahuan pada Masa Daulah Abbasiyah


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Masa Daulah Abbasiyah (750–1258 M) merupakan periode keemasan dalam sejarah peradaban Islam, di mana ilmu pengetahuan berkembang pesat dan memberi pengaruh besar terhadap dunia Islam serta Barat. Berbeda dengan Daulah Umayyah yang lebih berfokus pada ekspansi wilayah, Daulah Abbasiyah mengutamakan kemajuan intelektual dan administrasi pemerintahan berbasis ilmu.1 Pusat kekuasaan yang sebelumnya berada di Damaskus dipindahkan ke Baghdad, menjadikannya sebagai salah satu kota peradaban terbesar di dunia pada masanya.2

Salah satu pencapaian terbesar pada era ini adalah pendirian Baitul Hikmah, sebuah lembaga keilmuan yang berperan penting dalam penerjemahan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan.3 Keberadaan lembaga ini mendorong lahirnya ilmuwan-ilmuwan besar seperti Al-Khawarizmi dalam bidang matematika, Ibnu Sina dalam ilmu kedokteran, serta Al-Farabi dan Ibnu Rushd dalam filsafat.4

Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah juga didukung oleh kestabilan ekonomi dan politik. Khalifah-khalifah seperti Harun Al-Rasyid (786–809 M) dan Al-Ma’mun (813–833 M) memberikan dukungan penuh terhadap para ilmuwan dengan menyediakan dana riset serta mendirikan perpustakaan besar yang berisi ribuan manuskrip dari berbagai peradaban, termasuk Yunani, Persia, dan India.5 Selain itu, keterbukaan terhadap ilmu dari berbagai sumber serta peran aktif ulama dalam mengembangkan dan menyebarkan ilmu menjadikan era ini sebagai "Zaman Keemasan Islam" (The Islamic Golden Age).6

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang menjadi fokus utama dalam artikel ini:

1)                  Bagaimana perkembangan peradaban Islam pada masa Daulah Abbasiyah?

2)                  Bagaimana peran para khalifah dan ulama dalam mendukung perkembangan ilmu pengetahuan?

3)                  Bagaimana kontribusi para ilmuwan Muslim dalam bidang sains, filsafat, dan kedokteran?

4)                  Apa saja faktor yang mendukung kemajuan intelektual pada masa Abbasiyah?

1.3.       Tujuan Kajian

Kajian ini bertujuan untuk:

1)                  Menjelaskan dinamika peradaban Islam pada masa Daulah Abbasiyah, khususnya dalam aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

2)                  Menguraikan perkembangan ilmu pengetahuan dan peran para ilmuwan Muslim dalam berbagai disiplin ilmu.

3)                  Mengkaji pandangan ulama dan akademisi Islam terkait dengan kejayaan intelektual pada masa Abbasiyah.

4)                  Menyajikan perspektif modern berdasarkan jurnal ilmiah dan kajian akademik tentang relevansi perkembangan ilmu pengetahuan pada era Abbasiyah terhadap dunia Islam masa kini.


Footnotes

[1]                Philip K. Hitti, History of the Arabs: From the Earliest Times to the Present (London: Macmillan Press, 1970), 447.

[2]                Syed Ameer Ali, A Short History of the Saracens (New York: Macmillan, 1899), 294.

[3]                Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 543.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 94.

[5]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 73.

[6]                Montgomery Watt, The Influence of Islam on Medieval Europe (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1972), 110.


2.           Latar Belakang Sejarah Daulah Abbasiyah

2.1.       Awal Berdirinya Daulah Abbasiyah

Daulah Abbasiyah berdiri setelah berhasil menggulingkan kekuasaan Daulah Umayyah pada tahun 750 M. Perubahan ini terjadi melalui serangkaian pemberontakan yang dipimpin oleh Abu Muslim Al-Khurasani atas nama keturunan Al-Abbas bin Abdul Muththalib, paman Rasulullah Saw.1 Revolusi Abbasiyah memperoleh dukungan kuat dari masyarakat Persia dan kelompok Muslim yang merasa tidak puas terhadap kebijakan diskriminatif Daulah Umayyah, terutama terhadap kaum Mawali (non-Arab Muslim).2

Khalifah pertama Daulah Abbasiyah, Abu Al-Abbas As-Saffah (750–754 M), dikenal sebagai pemimpin yang tegas dalam mengokohkan kekuasaan dinasti baru ini.3 Ia memerintahkan pembantaian besar-besaran terhadap keturunan Bani Umayyah guna mencegah kemungkinan bangkitnya kembali pemerintahan lama.4 Setelah wafatnya As-Saffah, kepemimpinan dilanjutkan oleh Abu Ja’far Al-Manshur (754–775 M), yang berperan dalam memperkuat struktur administrasi negara dan mendirikan Baghdad sebagai ibu kota baru pada tahun 762 M.5

2.2.       Kebijakan Politik dan Administrasi

Pemerintahan Abbasiyah dikenal dengan sistem politik yang lebih terstruktur dibandingkan Daulah Umayyah. Berbeda dengan pendahulunya, Abbasiyah mengadopsi model pemerintahan Persia dalam administrasi negara, seperti sistem Diwan (kementerian) yang menangani berbagai aspek pemerintahan.6

Pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid (786–809 M), stabilitas politik mencapai puncaknya, ditandai dengan kemajuan ekonomi dan ekspansi intelektual yang pesat. Harun Al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang mendukung ilmu pengetahuan dan mendirikan Baitul Hikmah, sebuah pusat studi dan penerjemahan karya ilmiah dari berbagai peradaban.7

Namun, setelah wafatnya Harun Al-Rasyid, terjadi konflik internal antara putra-putranya, Al-Amin dan Al-Ma’mun, yang menyebabkan perang saudara. Al-Ma’mun akhirnya berhasil menang dan memerintah dari tahun 813 hingga 833 M. Ia dikenal sebagai khalifah yang paling berorientasi pada ilmu pengetahuan serta mendukung perkembangan ilmu filsafat, kedokteran, dan astronomi.8

Di era berikutnya, Daulah Abbasiyah mulai mengalami fragmentasi politik dengan munculnya kekuatan-kekuatan semi-independen seperti Daulah Tuluniyah di Mesir, Daulah Aghlabiyah di Afrika Utara, serta Kekhalifahan Umayyah di Spanyol (Andalusia).9

2.3.       Keadaan Sosial dan Ekonomi

Masa Abbasiyah dikenal sebagai era keemasan dalam bidang ekonomi dan sosial. Perdagangan berkembang pesat karena letak geografis Baghdad yang strategis di jalur perdagangan antara Timur dan Barat. Sistem keuangan negara didukung oleh sistem Hisbah, yaitu lembaga pengawas pasar dan kesejahteraan sosial yang bertugas menjaga stabilitas harga serta mencegah penipuan dalam perdagangan.10

Ekonomi Abbasiyah juga diperkuat oleh pengembangan sistem Iqtā', yaitu pembagian tanah kepada pejabat dan prajurit sebagai bentuk insentif atas jasa mereka kepada negara.11 Sistem ini tidak hanya memperkuat militer, tetapi juga meningkatkan produktivitas pertanian.

Dari sisi sosial, masyarakat Abbasiyah lebih heterogen dibandingkan dengan era Umayyah. Keterbukaan budaya dan intelektual mendorong interaksi antara Muslim, Kristen, Yahudi, dan Zoroastrianisme dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat dari banyaknya ilmuwan non-Muslim yang berkontribusi dalam Baitul Hikmah, seperti Hunayn bin Ishaq dalam bidang kedokteran dan Matta bin Yunus dalam bidang filsafat.12

Namun, di pertengahan periode Abbasiyah, terjadi perpecahan sosial yang dipicu oleh konflik antara aliran-aliran teologi Islam. Perdebatan antara Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah pada masa Khalifah Al-Ma’mun memunculkan era Mihnah (pengadilan pemikiran), di mana ulama yang menolak doktrin rasionalisme Mu’tazilah mengalami tekanan politik.13

Secara keseluruhan, masa awal Daulah Abbasiyah (750–850 M) ditandai dengan keberhasilan dalam membangun sistem pemerintahan yang kuat, mendukung perkembangan ilmu pengetahuan, serta menciptakan kestabilan ekonomi dan sosial yang menjadi dasar kejayaan Islam di masa mendatang.


Footnotes

[1]                Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 543.

[2]                Philip K. Hitti, History of the Arabs: From the Earliest Times to the Present (London: Macmillan Press, 1970), 447.

[3]                Syed Ameer Ali, A Short History of the Saracens (New York: Macmillan, 1899), 294.

[4]                Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1997), 320.

[5]                Montgomery Watt, The Influence of Islam on Medieval Europe (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1972), 110.

[6]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 73.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 94.

[8]                Al-Mas’udi, Muruj al-Dhahab wa Ma’adin al-Jawhar (Beirut: Dar al-Andalus, 1965), 275.

[9]                Bernard Lewis, The Middle East: A Brief History of the Last 2000 Years (New York: Scribner, 1995), 150.

[10]             Ibn Taymiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam (Cairo: Dar al-Salam, 2005), 46.

[11]             Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates (London: Routledge, 2004), 225.

[12]             Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (London: Routledge, 2001), 120.

[13]             Wilferd Madelung, Religious Trends in Early Islamic Iran (Albany: SUNY Press, 1988), 88.


3.           Perkembangan Peradaban Islam pada Masa Abbasiyah

3.1.       Kemajuan Arsitektur dan Seni

Pada masa Daulah Abbasiyah, seni dan arsitektur mengalami perkembangan pesat, sejalan dengan pertumbuhan kota-kota besar seperti Baghdad dan Samarra. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (754–775 M) mendirikan Baghdad sebagai ibu kota baru pada tahun 762 M, dengan desain kota berbentuk melingkar yang menjadi inovasi dalam perencanaan kota Islam.1 Baghdad dikenal sebagai pusat peradaban yang memiliki infrastruktur megah, seperti Istana Al-Khuld dan berbagai masjid serta madrasah yang menampilkan seni kaligrafi, ukiran geometris, serta pola arabesque khas Islam.2

Selain Baghdad, kota Samarra yang didirikan pada masa Al-Mu’tasim (833–842 M) menjadi pusat militer dan seni arsitektur. Salah satu peninggalan monumental dari era ini adalah Masjid Agung Samarra, yang memiliki menara spiral setinggi 52 meter, mencerminkan keunikan arsitektur Islam Abbasiyah.3 Pengaruh seni Islam Abbasiyah juga terlihat dalam dekorasi keramik, tekstil, dan manuskrip iluminasi yang dikembangkan oleh para seniman Muslim.4

3.2.       Sistem Pendidikan dan Lembaga Keilmuan

Masa Abbasiyah menjadi era keemasan dalam dunia pendidikan, di mana lembaga pendidikan berkembang dari sistem tradisional halaqah di masjid menjadi institusi formal seperti madrasah dan perpustakaan besar. Baitul Hikmah di Baghdad, yang didirikan oleh Khalifah Al-Ma’mun (813–833 M), menjadi pusat ilmu pengetahuan di mana para ilmuwan menerjemahkan teks-teks Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab.5

Lembaga pendidikan lain yang berkembang di berbagai wilayah kekhalifahan antara lain:

·                     Madrasah Nizamiyah di Baghdad, didirikan oleh Nizam al-Mulk pada abad ke-11 M, tempat ulama besar seperti Imam Al-Ghazali mengajar.6

·                     Dar Al-Ilm di Kairo, yang dikembangkan oleh Dinasti Fatimiyah sebagai pusat kajian keislaman dan ilmu umum.7

·                     Perpustakaan Cordoba, yang memiliki lebih dari 400.000 manuskrip, mencerminkan kemajuan keilmuan di dunia Islam Barat (Andalusia).8

Sistem pendidikan Abbasiyah tidak hanya berfokus pada ilmu agama, tetapi juga sains, filsafat, kedokteran, dan matematika, menciptakan generasi cendekiawan Muslim yang berkontribusi bagi peradaban dunia.

3.3.       Sistem Sosial dan Budaya

Pada masa Abbasiyah, struktur sosial lebih terbuka dibandingkan era sebelumnya. Peradaban Islam di era ini menampilkan integrasi antara berbagai etnis seperti Arab, Persia, Turki, dan Berber. Para ilmuwan dan pemikir dari berbagai latar belakang diberi kesempatan untuk berkontribusi dalam bidang intelektual.9

Dari sisi budaya, sastra dan puisi berkembang pesat dengan munculnya tokoh-tokoh seperti Al-Jahiz (775–868 M), Al-Mutanabbi (915–965 M), dan Abu Nuwas (756–814 M).10 Karya-karya mereka tidak hanya membahas tema-tema keislaman, tetapi juga filsafat, moralitas, dan kritik sosial. Kitab Al-Bayan wa Al-Tabyin karya Al-Jahiz, misalnya, menjadi referensi utama dalam ilmu balaghah dan retorika Arab.11

Selain itu, pertumbuhan sufi dan tasawuf juga semakin menguat pada era ini, dengan berkembangnya tarekat-tarekat sufi seperti Qadiriyah, Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah. Pemikiran sufi seperti yang dikembangkan oleh Al-Hallaj dan Abu Hamid Al-Ghazali memberi warna baru dalam pemahaman spiritual Islam.12


Footnotes

[1]                Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 543.

[2]                Philip K. Hitti, History of the Arabs: From the Earliest Times to the Present (London: Macmillan Press, 1970), 447.

[3]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 73.

[4]                Oleg Grabar, The Formation of Islamic Art (New Haven: Yale University Press, 1973), 215.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 94.

[6]                Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates (London: Routledge, 2004), 225.

[7]                Wilferd Madelung, Religious Trends in Early Islamic Iran (Albany: SUNY Press, 1988), 88.

[8]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (London: Routledge, 2001), 120.

[9]                Bernard Lewis, The Middle East: A Brief History of the Last 2000 Years (New York: Scribner, 1995), 150.

[10]             Montgomery Watt, The Influence of Islam on Medieval Europe (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1972), 110.

[11]             Al-Jahiz, Al-Bayan wa Al-Tabyin (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1965), 320.

[12]             Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya' Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 256.


4.           Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Masa Abbasiyah

Masa Daulah Abbasiyah (750–1258 M) dikenal sebagai era keemasan peradaban Islam, terutama dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Pada masa ini, ilmu agama dan ilmu sains berkembang secara pesat berkat dukungan penuh dari para khalifah, terutama Harun Al-Rasyid (786–809 M) dan Al-Ma’mun (813–833 M).1 Banyak ilmuwan Muslim yang memberikan kontribusi besar dalam berbagai bidang, seperti kedokteran, matematika, astronomi, fisika, filsafat, serta ilmu agama. Perkembangan ilmu pada masa ini tidak hanya berlandaskan pada warisan pemikiran Islam, tetapi juga hasil dari proses penerjemahan dan asimilasi ilmu pengetahuan dari peradaban Yunani, Persia, dan India.2

4.1.       Peran Baitul Hikmah sebagai Pusat Ilmu

Salah satu tonggak utama perkembangan ilmu pengetahuan pada era Abbasiyah adalah berdirinya Baitul Hikmah di Baghdad oleh Khalifah Al-Ma’mun pada abad ke-9 M.3 Lembaga ini berfungsi sebagai pusat penerjemahan, penelitian, dan pengajaran berbagai disiplin ilmu. Berkat kebijakan Al-Ma’mun yang mendukung intelektualisme, banyak karya filsafat dan sains dari Yunani, Persia, dan India yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh para ilmuwan Muslim. Di antara para penerjemah yang terkenal adalah Hunayn bin Ishaq, seorang Kristen Nestorian yang menerjemahkan karya-karya Galen dan Hippocrates dalam bidang kedokteran.4

Selain sebagai pusat penerjemahan, Baitul Hikmah juga menjadi tempat berkembangnya ilmu matematika dan astronomi. Al-Khawarizmi, seorang ilmuwan Muslim yang bekerja di lembaga ini, mengembangkan konsep aljabar yang kemudian menjadi dasar matematika modern.5

4.2.       Ilmu Agama dan Kajian Islam

Dalam bidang ilmu agama, masa Abbasiyah merupakan periode perkembangan ilmu tafsir, hadis, dan fiqh yang sangat pesat. Beberapa ulama besar yang muncul pada periode ini antara lain:

·                     Imam Syafi’i (767–820 M), yang mengkodifikasi metodologi hukum Islam dan menulis kitab Al-Risalah sebagai landasan ushul fiqh.6

·                     Imam Ahmad bin Hanbal (780–855 M), yang menyusun kitab hadis Musnad Ahmad dan mempertahankan metode tradisional dalam memahami Islam.7

·                     Abu Hasan Al-Asy’ari (874–936 M), yang mengembangkan teologi Ahlus Sunnah Wal Jamaah sebagai respons terhadap pemikiran Mu’tazilah.8

4.3.       Ilmu Kedokteran dan Farmasi

Ilmu kedokteran pada masa Abbasiyah berkembang pesat dengan adanya rumah sakit (Bimaristan) yang didirikan di berbagai kota seperti Baghdad, Kairo, dan Damaskus. Salah satu tokoh kedokteran terbesar adalah Ibnu Sina (980–1037 M), yang menulis Al-Qanun fi al-Tibb, sebuah ensiklopedia medis yang menjadi rujukan utama di dunia Islam dan Eropa hingga abad ke-17.9

Selain Ibnu Sina, ilmuwan Muslim lainnya yang berkontribusi dalam bidang kedokteran adalah Al-Razi (865–925 M), yang menulis Kitab Al-Hawi dan menjadi pelopor dalam diagnosis penyakit menular seperti cacar dan campak.10

4.4.       Matematika dan Astronomi

Matematika mengalami kemajuan luar biasa pada masa Abbasiyah, terutama dengan kontribusi Al-Khawarizmi dalam bidang aljabar dan algoritma. Karyanya, Kitab Al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wal-Muqabala, menjadi dasar bagi perkembangan matematika modern.11

Di bidang astronomi, Al-Battani (858–929 M) menyusun tabel astronomi yang lebih akurat dari model Ptolemeus, sedangkan Al-Farghani memberikan kontribusi dalam pemahaman gerakan planet.12 Para ilmuwan Abbasiyah juga mengembangkan astrolabe, sebuah alat navigasi astronomi yang digunakan untuk mengukur posisi bintang dan planet.13

4.5.       Fisika, Kimia, dan Teknologi

Dalam bidang fisika dan optik, Ibnu Al-Haytham (965–1040 M) adalah ilmuwan yang paling berpengaruh. Karyanya, Kitab Al-Manazir, membahas prinsip-prinsip optik dan menjadi dasar bagi teori cahaya modern.14

Sementara dalam bidang kimia, Jabir bin Hayyan (721–815 M) dikenal sebagai “Bapak Kimia Modern.” Ia menemukan banyak proses kimia seperti distilasi dan kristalisasi yang masih digunakan hingga saat ini.15

4.6.       Filsafat dan Pemikiran Islam

Filsafat Islam juga mengalami perkembangan signifikan pada masa Abbasiyah dengan adanya pemikiran dari tokoh-tokoh seperti:

·                     Al-Kindi (801–873 M), yang dikenal sebagai filsuf pertama Islam dan berupaya menyelaraskan filsafat Yunani dengan ajaran Islam.16

·                     Al-Farabi (872–950 M), yang menulis Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila, membahas konsep negara ideal berdasarkan pemikiran Plato.17

·                     Ibnu Rushd (1126–1198 M), yang menulis komentar atas karya-karya Aristoteles dan mempengaruhi pemikiran filsafat Barat.18


Kesimpulan

Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah tidak hanya memberikan kontribusi bagi dunia Islam tetapi juga bagi peradaban Barat. Penerjemahan dan pengembangan ilmu dari Yunani, Persia, dan India yang dilakukan oleh ilmuwan Muslim menjadi dasar bagi Renaissance di Eropa.19 Kejayaan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai ilmu dan mendorong umatnya untuk mencari pengetahuan guna kemajuan peradaban.


Footnotes

[1]                Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 543.

[2]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 73.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 94.

[4]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (London: Routledge, 2001), 120.

[5]                Al-Khawarizmi, Kitab Al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wal-Muqabala (Cairo: Dar al-Kutub, 1980).

[6]                Imam Syafi’i, Al-Risalah (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1990).

[7]                Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad (Cairo: Dar al-Hadith, 2002).

[8]                Abu Hasan Al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1985).

[9]                Ibnu Sina, Al-Qanun fi al-Tibb (Cairo: Dar al-Fikr, 1995).

[10]             Al-Razi, Kitab Al-Hawi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997).

[11]             Al-Khawarizmi, Kitab Al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wal-Muqabala.

[12]             Al-Battani, Kitab az-Zij (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1983).

[13]             Al-Farghani, Jawami’ Ilm al-Nujum (Cairo: Dar al-Fikr, 1984).

[14]             Ibnu Al-Haytham, Kitab Al-Manazir (Cairo: Dar al-Hadith, 2005).

[15]             Jabir bin Hayyan, Kitab al-Kimya (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001).

[16]             Al-Kindi, Falsafat al-Ula (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1987).

[17]             Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila (Beirut: Dar al-Fikr, 1990).

[18]             Ibnu Rushd, Tahafut al-Tahafut (Cairo: Dar al-Hadith, 2003).

[19]             Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance, 120.


5.           Pandangan Ulama dan Kajian Modern terhadap Peradaban Abbasiyah

Peradaban Islam pada masa Daulah Abbasiyah mencapai puncak kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan, sosial, dan politik. Kemajuan ini telah menjadi objek kajian para ulama klasik dan sejarawan modern. Banyak ulama Islam memandang masa Abbasiyah sebagai era keemasan yang menampilkan sintesis antara Islam dan ilmu pengetahuan. Sementara itu, kajian akademik modern menunjukkan bahwa peradaban Abbasiyah memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu di dunia Barat.

5.1.       Pandangan Ulama Klasik terhadap Kejayaan Abbasiyah

Banyak ulama klasik yang mencatat perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban pada masa Abbasiyah, di antaranya Ibn Khaldun, Al-Ghazali, dan Al-Mas’udi.

5.1.1.    Ibn Khaldun dan Teori Siklus Peradaban

Dalam karyanya Muqaddimah, Ibn Khaldun (1332–1406 M) menjelaskan bahwa setiap peradaban memiliki siklus kelahiran, kejayaan, dan kemunduran.1 Ia menyebutkan bahwa masa Abbasiyah merupakan contoh bagaimana suatu kekhalifahan dapat berkembang melalui stabilitas politik, dukungan terhadap ilmu pengetahuan, dan interaksi budaya. Menurutnya, kemajuan Abbasiyah disebabkan oleh kemampuannya dalam mengadopsi dan mengembangkan ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia, dan India.2

Namun, Ibn Khaldun juga menyoroti faktor-faktor kemunduran Abbasiyah, seperti melemahnya semangat kesukuan (asabiyyah), meningkatnya ketergantungan pada pasukan bayaran (Mamluk), serta merosotnya moral para penguasa.3 Ia berpendapat bahwa peradaban yang mencapai puncak kejayaannya cenderung mengalami stagnasi dan kemunduran jika tidak mampu mempertahankan dinamisme intelektual dan sosial.

5.1.2.    Al-Ghazali dan Kritik terhadap Filsafat pada Masa Abbasiyah

Imam Al-Ghazali (1058–1111 M) dalam Tahafut al-Falasifah mengkritik pengaruh filsafat Yunani dalam pemikiran Islam, khususnya yang dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina.4 Ia menilai bahwa beberapa aspek filsafat, terutama yang berkaitan dengan metafisika, bertentangan dengan akidah Islam. Namun, Al-Ghazali tetap mengakui kemajuan ilmiah pada masa Abbasiyah, terutama dalam bidang kedokteran, astronomi, dan matematika.5

Meskipun Al-Ghazali mengkritik filsafat, ia tetap berkontribusi besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan Islam dengan menekankan pentingnya tasawuf dan pendidikan moral sebagai elemen utama dalam peradaban Islam. Karyanya, Ihya’ Ulum al-Din, menjadi bukti bahwa pendidikan spiritual harus berjalan seiring dengan pencapaian intelektual.6

5.1.3.    Al-Mas’udi dan Catatan Sejarah Peradaban Abbasiyah

Sejarawan Muslim Al-Mas’udi (896–956 M) dalam Muruj al-Dhahab wa Ma’adin al-Jawhar menggambarkan kejayaan Abbasiyah dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.7 Ia mencatat bagaimana Baitul Hikmah menjadi pusat kajian ilmiah, di mana para ilmuwan dari berbagai latar belakang agama bekerja sama dalam pengembangan ilmu.8

Al-Mas’udi juga mencatat pengaruh besar peradaban Abbasiyah terhadap dunia luar, khususnya dalam perdagangan dan diplomasi dengan Kekaisaran Bizantium dan Dinasti Tang di Tiongkok. Menurutnya, kejayaan Abbasiyah tidak hanya terbatas pada ilmu keislaman, tetapi juga mencakup perkembangan ilmu praktis yang membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat.9

5.2.       Kajian Modern terhadap Peradaban Abbasiyah

Sejarawan dan akademisi modern juga mengakui peran penting peradaban Abbasiyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan pengaruhnya terhadap dunia Barat. Beberapa kajian penting di antaranya datang dari George Saliba, Dimitri Gutas, dan Montgomery Watt.

5.2.1.    George Saliba: Abbasiyah dan Renaissance Eropa

Dalam bukunya Islamic Science and the Making of the European Renaissance, George Saliba berpendapat bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Abbasiyah memainkan peran besar dalam membentuk sains modern di Eropa.10 Ia menolak anggapan bahwa dunia Islam hanya menjadi perantara pasif dalam menyebarkan ilmu Yunani ke Barat, tetapi justru memiliki kontribusi aktif dalam pengembangan metode ilmiah dan teknologi baru.11

Saliba menekankan bahwa ilmuwan seperti Al-Khawarizmi dalam matematika, Ibnu Sina dalam kedokteran, dan Ibnu Al-Haytham dalam optik telah menciptakan sistem keilmuan yang menjadi dasar bagi Revolusi Ilmiah di Eropa pada abad ke-16.12

5.2.2.    Dimitri Gutas: Peran Abbasiyah dalam Penerjemahan dan Asimilasi Ilmu

Dimitri Gutas, dalam bukunya Greek Thought, Arabic Culture, menjelaskan bahwa penerjemahan teks-teks Yunani pada masa Abbasiyah bukan sekadar proses alih bahasa, tetapi juga proses asimilasi dan reinterpretasi ilmu yang lebih luas.13 Menurut Gutas, para ilmuwan Muslim tidak hanya menerjemahkan teks dari Aristoteles dan Plato, tetapi juga mengembangkan konsep-konsep baru yang memperkaya warisan intelektual dunia.14

Ia juga mencatat bahwa Khalifah Al-Ma’mun tidak hanya mendukung penerjemahan teks klasik, tetapi juga mendorong eksperimen dan observasi ilmiah, yang menjadi landasan bagi perkembangan metode ilmiah modern.15

5.2.3.    Montgomery Watt: Peran Islam dalam Peradaban Dunia

Montgomery Watt, dalam bukunya The Influence of Islam on Medieval Europe, mengemukakan bahwa peradaban Abbasiyah memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan budaya dan teknologi di Eropa.16 Ia menyoroti bagaimana Spanyol Islam (Andalusia) menjadi pintu masuk bagi ilmu pengetahuan Abbasiyah ke dunia Kristen Eropa, yang kemudian berkembang menjadi Renaissance.17

Watt menegaskan bahwa kontribusi Islam terhadap peradaban dunia tidak hanya terbatas pada ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam aspek sosial, ekonomi, dan sistem administrasi yang diadopsi oleh kerajaan-kerajaan di Eropa.18


Kesimpulan

Pandangan ulama klasik dan kajian modern terhadap peradaban Abbasiyah menunjukkan bahwa masa ini merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah peradaban Islam dan dunia. Ulama klasik seperti Ibn Khaldun dan Al-Ghazali menyoroti faktor keberhasilan dan tantangan yang dihadapi oleh Abbasiyah, sementara akademisi modern seperti George Saliba dan Dimitri Gutas menegaskan bahwa peradaban Islam berperan aktif dalam membentuk sains dan teknologi modern. Dengan demikian, kajian terhadap peradaban Abbasiyah tidak hanya penting bagi umat Islam, tetapi juga bagi perkembangan ilmu pengetahuan global.


Footnotes

[1]                Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 543.

[2]                Ibid., 550.

[3]                Ibid., 556.

[4]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1993), 145.

[5]                Ibid., 152.

[6]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 256.

[7]                Al-Mas’udi, Muruj al-Dhahab wa Ma’adin al-Jawhar (Beirut: Dar al-Andalus, 1965), 275.

[8]                Ibid., 280.

[9]                Ibid., 285.

[10]             George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 73.

[11]             Ibid., 75.

[12]             Ibid., 78.

[13]             Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 2001), 120.

[14]             Ibid., 122.

[15]             Ibid., 125.

[16]             Montgomery Watt, The Influence of Islam on Medieval Europe (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1972), 110.

[17]             Ibid., 115.

[18]             Ibid., 120.


6.           Kesimpulan dan Rekomendasi

6.1.       Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa masa Daulah Abbasiyah merupakan puncak kejayaan peradaban Islam yang memberikan dampak besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan sistem pemerintahan. Peradaban ini didukung oleh berbagai faktor, antara lain: stabilitas politik, dukungan para khalifah terhadap ilmu pengetahuan, serta keterbukaan terhadap berbagai pemikiran dari peradaban Yunani, Persia, dan India.1

Salah satu pencapaian terbesar pada masa Abbasiyah adalah pengembangan ilmu pengetahuan di Baitul Hikmah, yang berperan dalam penerjemahan, penelitian, dan inovasi ilmiah.2 Ilmuwan Muslim seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan Ibnu Al-Haytham tidak hanya menerjemahkan ilmu dari peradaban sebelumnya tetapi juga mengembangkan teori-teori baru yang menjadi dasar bagi sains modern.3

Di bidang sosial dan budaya, Abbasiyah menciptakan masyarakat yang kosmopolitan, di mana Muslim dan non-Muslim dapat berkontribusi dalam bidang keilmuan dan ekonomi.4 Hal ini terlihat dari integrasi budaya yang terjadi di Baghdad dan Cordoba, di mana berbagai etnis dan agama hidup berdampingan serta saling bertukar ilmu.5

Namun, kejayaan ini tidak berlangsung selamanya. Menurut Ibn Khaldun, setiap peradaban memiliki siklus naik dan turun. Pada abad ke-10 dan ke-11, Abbasiyah mulai mengalami kemunduran akibat melemahnya kepemimpinan, meningkatnya korupsi, serta intervensi kekuatan asing seperti Dinasti Seljuk dan Mongol.6 Penurunan semangat intelektual serta meningkatnya fanatisme sektarian juga menjadi faktor yang mempercepat runtuhnya peradaban ini.7

Meskipun Daulah Abbasiyah akhirnya jatuh pada tahun 1258 M setelah serangan Mongol ke Baghdad, warisan intelektualnya tetap bertahan dan memberikan pengaruh besar terhadap Renaissance Eropa dan perkembangan sains modern.8

6.2.       Rekomendasi

Melihat kejayaan dan kemunduran peradaban Abbasiyah, terdapat beberapa pelajaran yang dapat diambil untuk membangun kembali kejayaan peradaban Islam di era modern:

6.2.1.    Meningkatkan Dukungan terhadap Ilmu Pengetahuan

Sejarah Abbasiyah menunjukkan bahwa kemajuan peradaban tidak dapat dipisahkan dari investasi dalam ilmu pengetahuan dan riset.9 Oleh karena itu, umat Islam perlu kembali menghidupkan tradisi keilmuan, baik dalam bidang ilmu agama maupun sains modern, dengan mendirikan pusat riset dan pendidikan berbasis Islam yang mengedepankan penelitian dan inovasi.

6.2.2.    Mengadopsi Sikap Keterbukaan dan Inklusivitas

Salah satu kunci keberhasilan Abbasiyah adalah keterbukaannya terhadap berbagai pemikiran dan budaya. Oleh karena itu, umat Islam masa kini perlu meningkatkan dialog antaragama dan antarbudaya, serta tidak menutup diri terhadap ilmu pengetahuan yang berasal dari luar Islam, selama tetap dalam kerangka akidah yang benar.10

6.2.3.    Mendorong Integrasi Ilmu Agama dan Sains

Para ilmuwan Abbasiyah seperti Ibnu Sina dan Al-Biruni tidak melihat adanya kontradiksi antara ilmu agama dan ilmu sains. Mereka memahami bahwa ilmu pengetahuan adalah bagian dari ijtihad intelektual dalam memahami ciptaan Allah.11 Oleh karena itu, penting bagi lembaga pendidikan Islam untuk mengintegrasikan kurikulum keislaman dengan sains dan teknologi, sehingga melahirkan generasi Muslim yang unggul dalam ilmu agama dan ilmu dunia.

6.2.4.    Membangun Pemerintahan yang Berbasis Ilmu dan Etika

Kemajuan Abbasiyah pada awalnya ditopang oleh pemerintahan yang kuat dan berbasis ilmu, namun mulai melemah ketika kepemimpinan menjadi korup. Oleh karena itu, negara-negara Muslim modern perlu menerapkan sistem pemerintahan yang berlandaskan keilmuan, keadilan, dan akhlak.12

6.2.5.    Menanamkan Semangat Iqra’ dan Peradaban Islam dalam Generasi Muda

Pendidikan di era Abbasiyah sangat mendukung pengembangan pemikiran kritis dan keilmuan yang luas. Untuk membangun kembali peradaban Islam yang maju, umat Islam perlu menanamkan semangat membaca, meneliti, dan berkarya dalam generasi muda, sesuai dengan perintah pertama dalam Al-Qur'an: "Iqra’" (Bacalah).13


Kesimpulan Akhir

Masa Daulah Abbasiyah memberikan pelajaran berharga bahwa Islam dan ilmu pengetahuan dapat berjalan seiring dalam membangun peradaban yang maju. Umat Islam di era modern perlu mengambil inspirasi dari masa kejayaan ini untuk mengembangkan kembali keilmuan, ekonomi, politik, dan sosial yang berbasis pada nilai-nilai Islam. Dengan demikian, warisan intelektual Abbasiyah dapat menjadi fondasi bagi kebangkitan peradaban Islam di abad ke-21.


Footnotes

[1]                Philip K. Hitti, History of the Arabs: From the Earliest Times to the Present (London: Macmillan Press, 1970), 447.

[2]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 73.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 94.

[4]                Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 543.

[5]                Bernard Lewis, The Middle East: A Brief History of the Last 2000 Years (New York: Scribner, 1995), 150.

[6]                Ibn Khaldun, Muqaddimah, 556.

[7]                Wilferd Madelung, Religious Trends in Early Islamic Iran (Albany: SUNY Press, 1988), 88.

[8]                Montgomery Watt, The Influence of Islam on Medieval Europe (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1972), 110.

[9]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (London: Routledge, 2001), 120.

[10]             Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 256.

[11]             Ibnu Sina, Al-Qanun fi al-Tibb (Cairo: Dar al-Fikr, 1995).

[12]             Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates (London: Routledge, 2004), 225.

[13]             Al-Qur’an, Surat Al-‘Alaq (96): 1-5.


Daftar Pustaka

Kitab Klasik dan Karya Ulama

·                     Al-Ghazali. (2002). Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

·                     Al-Ghazali. (1993). Tahafut al-Falasifah. Cairo: Dar al-Ma’arif.

·                     Al-Khawarizmi. (1980). Kitab Al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wal-Muqabala. Cairo: Dar al-Kutub.

·                     Al-Mas’udi. (1965). Muruj al-Dhahab wa Ma’adin al-Jawhar. Beirut: Dar al-Andalus.

·                     Al-Qur’an. Surat Al-‘Alaq (96): 1-5.

·                     Al-Razi. (1997). Kitab Al-Hawi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

·                     Al-Tabari. (1997). Tarikh al-Rusul wa al-Muluk. Cairo: Dar al-Ma'arif.

·                     Ibn Khaldun. (2000). Muqaddimah. Beirut: Dar al-Fikr.

·                     Ibn Sina. (1995). Al-Qanun fi al-Tibb. Cairo: Dar al-Fikr.

Buku dan Jurnal Modern

·                     Gutas, D. (2001). Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society. London: Routledge.

·                     Hitti, P. K. (1970). History of the Arabs: From the Earliest Times to the Present. London: Macmillan Press.

·                     Kennedy, H. (2004). The Prophet and the Age of the Caliphates. London: Routledge.

·                     Lewis, B. (1995). The Middle East: A Brief History of the Last 2000 Years. New York: Scribner.

·                     Madelung, W. (1988). Religious Trends in Early Islamic Iran. Albany: SUNY Press.

·                     Nasr, S. H. (1968). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.

·                     Saliba, G. (2007). Islamic Science and the Making of the European Renaissance. Cambridge: MIT Press.

·                     Watt, M. (1972). The Influence of Islam on Medieval Europe. Edinburgh: Edinburgh University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar