Rabu, 26 Februari 2025

Akidah Akhlak Kelas 11 Bab 2: Sejarah, Tokoh Utama, dan Ajaran Pokok Aliran-Aliran Ilmu Kalam

Akidah Akhlak

Sejarah, Tokoh Utama, dan Ajaran Pokok Aliran-Aliran Ilmu Kalam


Alihkan ke: Ilmu Kalam, Sejarah Ilmu Kalam, Aliran-Aliran Ilmu Kalam, Ilmu Kalam Sunni, Relasi Antara Aliran Ilmu Kalam.


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     Akidah Akhlak

Kelas                   : 11 (Sebelas)


Abstrak

Ilmu Kalam merupakan salah satu cabang utama dalam teologi Islam yang berkembang sebagai respons terhadap perbedaan pemikiran mengenai akidah Islam. Artikel ini membahas sejarah, tokoh utama, dan ajaran pokok dari berbagai aliran dalam Ilmu Kalam, termasuk Khawarij, Syiah, Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu‘tazilah, dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy‘ariyah dan Maturidiyah). Dengan menggunakan pendekatan historis dan analitis berbasis kajian kitab-kitab klasik serta referensi ilmiah, artikel ini menguraikan komparasi dan evaluasi ilmiah terhadap perbedaan mendasar dalam pemikiran teologis Islam.

Hasil kajian menunjukkan bahwa setiap aliran memiliki metode yang berbeda dalam memahami sifat-sifat Allah, kehendak manusia, dan keadilan Tuhan. Mu‘tazilah cenderung mengutamakan rasionalisme, sementara Jabariyah menekankan takdir mutlak, dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyeimbangkan antara wahyu dan akal. Dalam perspektif akademik, kajian Ilmu Kalam tetap relevan dalam menjawab berbagai tantangan teologis dan filsafat kontemporer, termasuk dalam bidang sains, etika, dan dialog antaragama. Oleh karena itu, studi ini merekomendasikan pengembangan kajian Ilmu Kalam yang lebih kontekstual untuk menghadapi tantangan zaman modern serta memperkuat akidah Islam berdasarkan pemahaman yang benar dan moderat.

Kata Kunci: Ilmu Kalam, Teologi Islam, Khawarij, Syiah, Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu‘tazilah, Asy‘ariyah, Maturidiyah, Akidah Islam, Rasionalisme, Wahyu, Kajian Klasik.


PEMBAHASAN

Sejarah, Tokoh Utama, dan Ajaran Pokok Aliran-Aliran Ilmu Kalam


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     Akidah Akhlak

Kelas                   : 11 (Sebelas)

Bab                      : Bab 2 - Sejarah, Tokoh Utama, dan Ajaran Pokok Aliran-Aliran Ilmu Kalam


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Pembahasan Ilmu Kalam

Ilmu Kalam merupakan salah satu cabang ilmu dalam Islam yang berkembang seiring dengan munculnya berbagai perdebatan teologis dalam sejarah umat Islam. Sebagai ilmu yang membahas dasar-dasar keimanan dan permasalahan ketuhanan secara rasional, Ilmu Kalam memainkan peran penting dalam mempertahankan dan menjelaskan akidah Islam di tengah berbagai tantangan pemikiran.

Perkembangan Ilmu Kalam tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial-politik umat Islam pasca wafatnya Rasulullah Saw. Berbagai perselisihan dalam urusan kepemimpinan, interpretasi ajaran Islam, dan pengaruh filsafat asing telah melahirkan beberapa aliran teologis dalam Islam. Aliran-aliran ini, seperti Khawarij, Syiah, Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, serta Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah dan Maturidiyah), muncul dengan prinsip-prinsip teologis yang khas.

Para ulama klasik seperti Imam al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq dan Imam Ibn Hazm (w. 1064 M) dalam al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal telah mengklasifikasikan berbagai aliran dalam Islam berdasarkan perbedaan metodologi dan keyakinan teologis mereka.1 Dengan mempelajari sejarah, tokoh utama, dan ajaran pokok dari masing-masing aliran, kita dapat memahami bagaimana perkembangan pemikiran Islam berlangsung serta bagaimana umat Islam merespons berbagai tantangan intelektual dan ideologis sepanjang sejarahnya.

1.2.       Urgensi Mempelajari Aliran-Aliran Ilmu Kalam

Mempelajari aliran-aliran dalam Ilmu Kalam memiliki beberapa urgensi akademis dan keilmuan, di antaranya:

1)                  Memahami Sejarah Pemikiran Islam:

Ilmu Kalam merupakan bagian penting dalam perkembangan peradaban Islam, yang turut membentuk diskursus intelektual dan keagamaan di dunia Islam.2

2)                  Membedakan Akidah yang Benar dan yang Menyimpang:

Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam Ushul al-Din menyatakan bahwa memahami berbagai sekte dalam Islam membantu seorang Muslim untuk tetap berpegang teguh pada akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.3

3)                  Menghindari Sikap Fanatisme dan Kesalahpahaman:

Banyak pertentangan dalam Ilmu Kalam yang berawal dari kesalahpahaman terhadap konsep-konsep teologis tertentu, sehingga pemahaman yang mendalam dapat membantu menghindari ekstremisme dalam beragama.4

4)                  Menyusun Argumentasi Rasional terhadap Tantangan Zaman:

Ilmu Kalam juga berfungsi sebagai basis pemikiran Islam yang mampu menghadapi tantangan filsafat dan sains modern, sebagaimana dilakukan oleh ulama seperti Imam Fakhruddin al-Razi dalam karyanya al-Muhassal fi ‘Ilm al-Kalam.5

Dengan demikian, kajian Ilmu Kalam bukan hanya sebatas kajian historis, tetapi juga memiliki relevansi dalam memahami dan mempertahankan keimanan umat Islam di era kontemporer.

1.3.       Tujuan dan Ruang Lingkup Kajian

Kajian ini bertujuan untuk:

1)                  Menelusuri sejarah kemunculan dan perkembangan aliran-aliran dalam Ilmu Kalam.

2)                  Mengidentifikasi tokoh-tokoh utama dalam setiap aliran dan kontribusinya terhadap pemikiran Islam.

3)                  Menganalisis ajaran pokok masing-masing aliran berdasarkan kitab-kitab klasik dan pandangan ulama.

4)                  Membandingkan berbagai aliran dalam Ilmu Kalam untuk memahami perbedaan serta persamaan di antara mereka.

5)                  Mengkaji relevansi ajaran Ilmu Kalam terhadap pemikiran Islam kontemporer.

Dalam kajian ini, sumber utama yang digunakan mencakup kitab-kitab klasik seperti al-Farq bayna al-Firaq (al-Baghdadi), al-Milal wa al-Nihal (al-Syahrastani), al-Fasl fi al-Milal (Ibn Hazm), dan Ushul al-Din (al-Baghdadi), serta jurnal ilmiah Islam yang membahas Ilmu Kalam secara akademis.

1.4.       Metode Kajian dan Sumber Rujukan

Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan historis dan analitis. Pendekatan historis digunakan untuk melacak perkembangan aliran-aliran dalam Ilmu Kalam, sedangkan pendekatan analitis digunakan untuk mengevaluasi ajaran pokok masing-masing aliran berdasarkan sumber-sumber primer dan sekunder.

Sumber-sumber utama dalam kajian ini meliputi:

1)                  Kitab-Kitab Klasik Ilmu Kalam:

(*) al-Farq bayna al-Firaq oleh Imam al-Baghdadi.

(*) al-Milal wa al-Nihal oleh Imam al-Syahrastani.

(*) al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal oleh Ibn Hazm.

(*) Ushul al-Din oleh Imam Abu Manshur al-Baghdadi.

2)                  Penjelasan Ulama dalam Kitab Tafsir dan Akidah:

(*) Tafsir al-Razi oleh Imam Fakhruddin al-Razi.

(*) I’tiqad Ahlus Sunnah oleh Imam al-Tahawi.

3)                  Jurnal Ilmiah Islam dan Studi Akademik Modern:

(*) Jurnal yang membahas Ilmu Kalam dari perspektif akademik.

(*) Artikel yang menganalisis perkembangan teologi Islam di era modern.

Kajian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai Ilmu Kalam serta memberikan wawasan bagi pembaca dalam memahami perbedaan pemikiran dalam Islam secara akademis dan objektif.


Catatan Kaki

[1]                Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 10-15.

[2]                Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 21.

[3]                Abu Manshur al-Baghdadi, Ushul al-Din (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1995), 30-35.

[4]                Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 50-55.

[5]                Fakhruddin al-Razi, al-Muhassal fi ‘Ilm al-Kalam (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 72-80.


2.           Pengantar Ilmu Kalam dalam Islam

2.1.       Definisi Ilmu Kalam

Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu dalam Islam yang membahas masalah-masalah teologis (akidah) dengan pendekatan rasional dan argumentatif. Istilah "Ilmu Kalam" berasal dari kata Arab الكلام yang berarti "perkataan" atau "dialog", merujuk pada diskusi filosofis tentang keimanan yang menjadi ciri khas ilmu ini.1 Ilmu Kalam sering disebut sebagai "teologi Islam" karena bertujuan menjelaskan keyakinan Islam secara sistematis dan mempertahankannya dari berbagai tantangan pemikiran.

Para ulama klasik memberikan berbagai definisi tentang Ilmu Kalam. Imam al-Juwaini (w. 1085 M) dalam al-Irshad ila Qawathi' al-Adillah fi Usul al-I'tiqad menyatakan bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas akidah Islam melalui dalil-dalil rasional dan naqli.2 Imam Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M) dalam al-Muhassal fi 'Ilm al-Kalam menekankan bahwa Ilmu Kalam bertujuan untuk memahami prinsip-prinsip akidah dengan argumentasi filosofis yang kuat.3

2.2.       Sejarah Awal Perkembangan Ilmu Kalam

Ilmu Kalam mulai berkembang sejak masa Khulafaur Rasyidin, tetapi perkembangannya semakin pesat pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Faktor utama yang mendorong perkembangan Ilmu Kalam adalah perdebatan politik yang berujung pada perbedaan teologis, serta pengaruh filsafat Yunani yang mulai masuk ke dunia Islam melalui penerjemahan karya-karya filsafat klasik.4

Pada abad ke-2 Hijriyah, muncul berbagai aliran teologi yang mencoba menjelaskan konsep keimanan dengan pendekatan rasional. Aliran Khawarij dikenal dengan pandangannya yang ekstrem mengenai dosa besar, sementara Murji'ah lebih bersikap moderat dengan menunda vonis terhadap pelaku dosa besar.5 Mu’tazilah, yang berkembang pada abad ke-3 Hijriyah, menonjol dalam penggunaan akal dalam memahami sifat-sifat Allah dan konsep keadilan ilahi.6

Sebagai respons terhadap pemikiran rasional Mu’tazilah, muncul Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari (w. 936 M) dan Imam Abu Manshur al-Maturidi (w. 944 M). Keduanya mengembangkan metodologi yang lebih seimbang antara dalil naqli (wahyu) dan dalil aqli (akal), yang kemudian menjadi landasan utama teologi Sunni.7

2.3.       Hubungan Ilmu Kalam dengan Akidah Islam

Ilmu Kalam berfungsi sebagai instrumen untuk memahami, menjelaskan, dan mempertahankan akidah Islam dari penyimpangan pemikiran. Ilmu ini berhubungan erat dengan prinsip-prinsip tauhid, sifat-sifat Allah, serta konsep ketentuan ilahi (qadha dan qadar).

Menurut Imam al-Tahawi (w. 933 M) dalam al-Aqidah al-Tahawiyah, keyakinan seorang Muslim harus didasarkan pada pemahaman yang jelas dan argumentasi yang kuat.8 Oleh karena itu, Ilmu Kalam menjadi sarana untuk menjawab berbagai tantangan intelektual yang muncul di setiap zaman.

Ulama seperti Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Ihya Ulum al-Din juga menekankan pentingnya Ilmu Kalam dalam menjaga kemurnian akidah Islam dari pemikiran filsafat yang bertentangan dengan wahyu.9 Meskipun demikian, beliau juga mengingatkan bahwa Ilmu Kalam harus digunakan dengan bijak agar tidak menimbulkan keraguan dalam akidah umat Islam.

2.4.       Sumber-Sumber Ilmu Kalam dalam Islam

Ilmu Kalam didasarkan pada dua sumber utama:

2.4.1.      Dalil Naqli (Wahyu: Al-Qur’an dan Hadis)

Dalil naqli merupakan sumber utama dalam Ilmu Kalam. Al-Qur’an banyak mengandung ayat-ayat yang mendorong manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya dalam memahami keimanan, seperti dalam QS. Al-Imran (3) ayat 190-191, yang menekankan pentingnya tafakur dalam memahami kebesaran Allah.10 Hadis Nabi Saw juga memberikan pedoman dalam memahami konsep tauhid dan ketuhanan, sebagaimana sabda beliau:

الإِيمَانُ قَوْلٌ بِاللِّسَانِ، وَاعْتِقَادٌ بِالْقَلْبِ، وَعَمَلٌ بِالْجَوَارِحِ

"Iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan." (HR. Bukhari dan Muslim).

2.4.2.      Dalil Aqli (Akal dan Rasio)

Ilmu Kalam juga menggunakan dalil aqli dalam menyusun argumentasi teologis. Dalam hal ini, pendekatan rasional digunakan untuk memperkuat dalil naqli. Imam al-Baqillani (w. 1013 M) dalam al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhidin wa al-Mu’attilin menyebutkan bahwa akal adalah anugerah Allah yang harus digunakan untuk memahami syariat dengan benar.11

Selain itu, Ilmu Kalam juga memanfaatkan kaidah logika (mantiq) yang diperkenalkan dalam filsafat Yunani tetapi disesuaikan dengan prinsip-prinsip Islam. Penggunaan logika ini dikembangkan oleh ulama seperti Imam Ibn Sina (w. 1037 M) dan Imam Ibn Rushd (w. 1198 M) dalam menyusun argumentasi keimanan.12


Kesimpulan

Ilmu Kalam adalah cabang ilmu Islam yang berperan dalam menjelaskan dan mempertahankan akidah Islam melalui pendekatan rasional dan argumentatif. Sejarahnya menunjukkan bagaimana Ilmu Kalam berkembang sebagai respons terhadap berbagai tantangan teologis dan filosofis. Dengan mengacu pada dalil naqli dan aqli, Ilmu Kalam menjadi sarana penting dalam membangun pemahaman Islam yang kokoh dan argumentatif.


Catatan Kaki

[1]                Al-Juwaini, al-Irshad ila Qawathi' al-Adillah fi Usul al-I'tiqad (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1995), 12.

[2]                Fakhruddin al-Razi, al-Muhassal fi 'Ilm al-Kalam (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 7.

[3]                Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 25.

[4]                Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 88.

[5]                Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 34.

[6]                Abu Manshur al-Baghdadi, Ushul al-Din (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1995), 40.

[7]                Al-Tahawi, al-Aqidah al-Tahawiyah (Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 2004), 15.

[8]                Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 210.

[9]                Al-Qur'an, Surah Ali Imran (3): 190-191.

[10]             Al-Baqillani, al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhidin wa al-Mu’attilin (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 98.

[11]             Ibn Sina, al-Isyarat wa al-Tanbihat (Beirut: Dar al-Fikr, 1982), 62.

[12]             Ibn Rushd, Fasl al-Maqal fi Ma Bayn al-Hikmah wa al-Syari'ah min al-Ittisal (Beirut: Dar al-Mashriq, 1998), 45.


3.           Khawarij

3.1.       Sejarah Kemunculan Khawarij

Khawarij merupakan salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada masa awal sejarah Islam, tepatnya setelah Perang Shiffin (657 M) antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Nama Khawarij berasal dari kata خوارج  (kharaja), yang berarti "keluar" atau "memisahkan diri," karena kelompok ini keluar dari barisan pasukan Ali setelah peristiwa tahkim (arbitrase) yang mereka anggap tidak sah.1

Menurut Imam al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq, Khawarij pertama kali dipimpin oleh Dzul Khuwaishirah at-Tamimi, seorang yang pernah menentang kebijakan Nabi Saw dalam pembagian harta rampasan perang.2 Namun, secara historis, kelompok Khawarij lebih dikenal mulai berkembang setelah munculnya Abdullah bin Wahb al-Rasibi, yang mengorganisir mereka sebagai kelompok politik dan teologis yang ekstrem.3

Ibn Hazm (w. 1064 M) dalam al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal menyebutkan bahwa pada awalnya Khawarij hanya menentang Ali dan Mu’awiyah, tetapi kemudian mereka mengembangkan prinsip-prinsip teologi yang menolak kepemimpinan selain dari kalangan mereka sendiri.4

3.2.       Tokoh-Tokoh Utama Khawarij

Khawarij berkembang dalam berbagai faksi, dan beberapa tokoh utama dalam sejarahnya adalah:

1)                  Abdullah bin Wahb al-Rasibi (w. 658 M)

Pemimpin pertama kelompok Khawarij yang menentang arbitrase (tahkim).5

2)                  Nafi’ bin al-Azraq (w. 685 M)

Pendiri sekte Azariqah, faksi paling ekstrem dalam Khawarij yang mengkafirkan semua Muslim di luar kelompok mereka.6

3)                  Najdah bin ‘Amir (w. 691 M)

Pemimpin Najdat, kelompok Khawarij yang sedikit moderat dibandingkan Azariqah.7

4)                  Abu Bayhas al-Hanafi (w. 8 M)

Pemimpin Baihasiyah, sekte Khawarij yang lebih intelektual dan menggunakan argumentasi logis dalam pembelaan teologi mereka.8

3.3.       Ajaran Pokok dan Pemikiran Khawarij

Ajaran utama Khawarij berkisar pada doktrin ekstrem dalam penegakan hukum Islam dan konsep keimanan. Beberapa prinsip utama mereka adalah:

3.3.1.      Mengkafirkan Pelaku Dosa Besar

Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar (kabirah) keluar dari Islam dan menjadi kafir. Ini berbeda dengan Ahlus Sunnah yang meyakini bahwa pelaku dosa besar tetap Muslim tetapi imannya berkurang.9

3.3.2.      Menolak Arbitrase dalam Hukum Islam

Khawarij menolak konsep tahkim, karena mereka meyakini bahwa hukum hanya milik Allah dan tidak boleh ditetapkan oleh manusia.10 QS. Al-Ma’idah (5) ayat 44 sering dijadikan dalil mereka:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

"Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir."

3.3.3.      Kepemimpinan Harus Berdasarkan Kesalehan, Bukan Nasab

Berbeda dengan Syiah yang menekankan kepemimpinan dari keturunan Nabi, Khawarij meyakini bahwa setiap Muslim yang saleh berhak menjadi pemimpin, bahkan jika ia berasal dari kalangan budak.11

3.3.4.      Konsep Hijrah dan Perlawanan terhadap Pemerintah yang Dianggap Tidak Sah

Khawarij percaya bahwa mereka harus meninggalkan komunitas Muslim yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka dan, jika perlu, melawan pemerintahan yang dianggap tidak sah.12

3.4.       Pandangan Ulama terhadap Khawarij

Mayoritas ulama Sunni dan bahkan sebagian ulama Syiah menilai pemikiran Khawarij sebagai bentuk ghuluw (ekstremisme) dalam Islam.

Imam al-Nawawi (w. 1277 M) dalam Sharh Sahih Muslim menyatakan bahwa Rasulullah Saw telah memperingatkan tentang bahaya kelompok ini dalam hadis:

يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنْ أُمَّتِي يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ

"Akan muncul suatu kaum yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya." (HR. Bukhari dan Muslim).13

Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Fadhaih al-Batiniyyah mengkritik pendekatan literalistik Khawarij dalam memahami hukum Islam, karena mengabaikan aspek hikmah dan maqashid syariah.14

3.5.       Kritik terhadap Pemikiran Khawarij

Kritik utama terhadap Khawarij datang dari beberapa aspek:

1)                  Ekstremisme dalam Mengkafirkan Muslim Lain

Mayoritas ulama menganggap pendekatan Khawarij yang terlalu cepat mengkafirkan Muslim sebagai penyimpangan dari ajaran Islam.15

2)                  Penafsiran Tekstual Tanpa Konteks

Khawarij menolak ijtihad dan memahami Al-Qur’an secara harfiah tanpa mempertimbangkan tafsir dan maqashid syariah.16

3)                  Ketidakstabilan Politik

Dalam sejarah Islam, keberadaan Khawarij sering menimbulkan kekacauan politik akibat sikap mereka yang tidak bisa menerima otoritas yang berbeda dengan pandangan mereka.17


Kesimpulan

Khawarij adalah salah satu aliran teologi Islam tertua yang muncul akibat konflik politik dan berkembang menjadi sekte dengan ajaran ekstrem. Meskipun mereka telah melemah dalam sejarah, pemikiran mereka masih dapat ditemukan dalam kelompok-kelompok radikal di era modern. Oleh karena itu, memahami pemikiran Khawarij menjadi penting dalam mencegah radikalisme dan membangun pemahaman Islam yang moderat.


Catatan Kaki

[1]                Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 41.

[2]                Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 72.

[3]                Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 88.

[4]                Ibid., 95.

[5]                Al-Baladhuri, Ansab al-Ashraf (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1996), 110.

[6]                Ibid., 113.

[7]                Al-Maqrizi, al-Khitat (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1997), 58.

[8]                Al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal, 47.

[9]                Al-Tahawi, al-Aqidah al-Tahawiyah (Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 2004), 30.

[10]             Al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 5:44.

[11]             Al-Maturidi, Kitab al-Tauhid (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 50.

[12]             Ibid., 54.

[13]             Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 183.

[14]             Al-Ghazali, Fadhaih al-Batiniyyah (Cairo: Dar al-Salam, 2004), 90.

[15]             Al-Razi, al-Muhassal fi ‘Ilm al-Kalam (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 72.

[16]             Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Cairo: Maktabah al-Madani, 1998), 13:207.

[17]             Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala (Beirut: Dar al-Risalah, 2001), 3:85.


4.           Syiah

4.1.       Sejarah Awal dan Perkembangan Syiah

Syiah (الشيعة, asy-Syi‘ah) secara etimologis berarti "pengikut" atau "kelompok pendukung." Istilah ini merujuk pada kelompok Muslim yang secara khusus mendukung Ali bin Abi Thalib dan keturunannya sebagai pemimpin sah dalam Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw.1

Menurut Ibn Khaldun (w. 1406 M) dalam al-Muqaddimah, awal mula gerakan Syiah dapat ditelusuri sejak masa fitnah besar (al-fitnah al-kubra) yang terjadi setelah pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 656 M.2 Syiah semakin berkembang setelah peristiwa Perang Shiffin (657 M) dan tragedi Karbala (680 M), di mana cucu Nabi, Husain bin Ali, terbunuh oleh pasukan Yazid bin Mu’awiyah.3

Imam al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq membagi Syiah menjadi beberapa kelompok, mulai dari yang moderat hingga yang ekstrem, berdasarkan pandangan mereka terhadap kepemimpinan Ali dan keturunannya.4

4.2.       Tokoh-Tokoh Utama dalam Syiah

Sejarah perkembangan Syiah tidak bisa dilepaskan dari peran beberapa tokoh utama yang menjadi pilar dalam ideologi dan teologi mereka, di antaranya:

1)                  Ali bin Abi Thalib (w. 661 M)

Khalifah keempat yang dianggap sebagai Imam pertama dalam tradisi Syiah.5

2)                  Ja‘far al-Shadiq (w. 765 M)

Imam keenam Syiah yang menjadi perintis konsep Imamah secara sistematis.6

3)                  Abu al-Hasan al-‘Askari (w. 874 M)

Imam kesebelas yang keturunannya diyakini Syiah Imamiyah sebagai Imam Mahdi yang ghaib (al-Ghaibah).7

4)                  Muhammad al-Baqir (w. 732 M)

Imam kelima yang memiliki peran besar dalam mengembangkan ajaran fikih dan teologi Syiah.8

4.3.       Ajaran Pokok Syiah dalam Ilmu Kalam

Syiah memiliki konsep teologi yang khas, terutama dalam doktrin Imamah, yang menjadi perbedaan utama antara mereka dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Beberapa ajaran utama mereka adalah:

4.3.1.      Konsep Imamah (Kepemimpinan Ilahi)

Syiah meyakini bahwa kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw bukanlah hasil musyawarah (syura) sebagaimana yang diyakini Sunni, melainkan ditetapkan langsung oleh Allah melalui Rasul-Nya.9 Imamah dianggap sebagai kelanjutan dari fungsi kenabian, sehingga seorang Imam harus maksum (terbebas dari dosa dan kesalahan).

Menurut al-Kulaini (w. 941 M) dalam al-Kafi, keimanan seseorang tidak sempurna kecuali dengan mengakui Imamah Ali dan keturunannya.10

4.3.2.      Wilayah dan Ketaatan Mutlak kepada Imam

Konsep Wilayah dalam Syiah menekankan bahwa para Imam memiliki otoritas penuh dalam agama dan kehidupan duniawi.11 Ini menjadi dasar bagi teori politik Wilayah al-Faqih, yang kemudian dikembangkan oleh ulama seperti Ayatollah Khomeini dalam revolusi Iran 1979.12

4.3.3.      Al-Ghaibah (Kepercayaan terhadap Imam Mahdi yang Ghaib)

Syiah Imamiyah meyakini bahwa Imam terakhir, Muhammad bin Hasan al-Mahdi, menghilang dalam keadaan ghaib dan akan muncul kembali sebagai Imam Mahdi menjelang akhir zaman untuk menegakkan keadilan.13 Keyakinan ini didasarkan pada hadis-hadis yang mereka tafsirkan sebagai bukti keberadaan Imam Mahdi.

4.4.       Cabang-Cabang Syiah: Imamiyah, Zaidiyah, Isma’iliyah

Syiah berkembang menjadi beberapa cabang utama, di antaranya:

4.4.1.      Syiah Imamiyah (Itsna ‘Asyariyah/Dua Belas Imam)

Kelompok terbesar dalam Syiah, yang meyakini dua belas Imam sebagai pemimpin sah umat Islam. Mereka banyak tersebar di Iran, Irak, dan Lebanon.14

4.4.2.      Syiah Zaidiyah

Didirikan oleh Zaid bin Ali (w. 740 M), kelompok ini lebih dekat dengan Sunni dalam beberapa aspek, seperti menolak konsep Imam yang maksum.15

4.4.3.      Syiah Isma’iliyah

Mengikuti garis keturunan Imam Isma‘il bin Ja‘far al-Shadiq. Kelompok ini memiliki pengaruh besar dalam sejarah Islam, terutama melalui Dinasti Fatimiyah di Mesir.16

4.5.       Pandangan Ulama Ahlus Sunnah terhadap Syiah

Banyak ulama Sunni yang mengkritik ajaran Syiah, terutama konsep Imamah dan Wilayah. Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Fadhaih al-Batiniyyah menyebutkan bahwa doktrin Imamah dalam Syiah memiliki implikasi politik yang lebih besar daripada nilai keagamaannya.17

Sementara itu, Ibnu Taymiyyah (w. 1328 M) dalam Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah menilai bahwa konsep maksum bagi Imam tidak memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan hadis sahih.18

4.6.       Kritik terhadap Pemikiran Syiah

Beberapa kritik utama terhadap ajaran Syiah dalam Ilmu Kalam adalah:

1)                  Doktrin Imamah Tidak Ditemukan dalam Al-Qur’an Secara Eksplisit

Sunni berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai kepemimpinan Ali dan keturunannya.19

2)                  Keyakinan akan Imam Mahdi yang Ghaib Tidak Memiliki Bukti Empiris

Konsep Ghaibah dikritik karena tidak memiliki bukti sejarah yang kuat.20

3)                  Tendensi Politik dalam Teologi Syiah

Banyak ulama Sunni yang melihat bahwa ajaran Syiah lebih didorong oleh pertimbangan politik daripada landasan teologis yang kuat.21


Kesimpulan

Syiah merupakan salah satu aliran dalam Islam yang memiliki karakteristik teologi tersendiri, terutama dalam konsep Imamah dan Wilayah. Meskipun terdapat perbedaan mendasar dengan Sunni, kajian terhadap Syiah tetap penting untuk memahami dinamika pemikiran Islam dan sejarah politik umat Islam.


Catatan Kaki

[1]                Ibn Khaldun, al-Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 256.

[2]                Ibid., 259.

[3]                Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1996), 4:123.

[4]                Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 51.

[5]                Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 102.

[6]                Ibid., 105.

[7]                Al-Majlisi, Bihar al-Anwar (Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1983), 51:99.

[8]                Ibid., 51:120.

[9]                Al-Kulaini, al-Kafi (Qom: Dar al-Hadith, 1999), 1:200.

[10]             Ibid., 1:215.

[11]             Ibid., 1:320.

[12]             Khomeini, Wilayah al-Faqih (Tehran: Maktabah al-Mustafa, 1971), 40.

[13]             Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 52:99.

[14]             Ibid., 52:110.

[15]             Al-Nasr, Tabaqat al-Zaidiyyah (Sana’a: Dar al-Yaman, 2002), 78.

[16]             Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, 113.

[17]             Al-Ghazali, Fadhaih al-Batiniyyah (Cairo: Dar al-Salam, 2004), 125.

[18]             Ibn Taymiyyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1997), 2:211.

[19]             Al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 8:15.

[20]             Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 4:182.

[21]             Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala (Beirut: Dar al-Risalah, 2001), 10:150.


5.           Murji’ah

5.1.       Sejarah Kemunculan dan Perkembangannya

Murji’ah merupakan salah satu aliran teologi dalam Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah sebagai respons terhadap perdebatan politik dan teologis yang terjadi antara kelompok Khawarij dan Syiah. Kata Murji’ah berasal dari bahasa Arab المرجئة  (al-Murji’ah), yang berarti "orang-orang yang menunda," merujuk pada prinsip utama mereka dalam menangguhkan (irja’) penilaian terhadap pelaku dosa besar hingga hari kiamat.1

Menurut Imam al-Syahrastani (w. 1153 M) dalam al-Milal wa al-Nihal, Murji’ah muncul sebagai reaksi terhadap Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap dianggap sebagai Muslim, dan hanya Allah yang berhak menentukan hukum akhir terhadapnya di hari kiamat.2

Sumber klasik lain, al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq, menyebutkan bahwa Murji’ah berkembang pesat pada masa Dinasti Umayyah, terutama sebagai bentuk dukungan teologis terhadap pemerintah yang ingin meredam pemberontakan dari kelompok ekstrem seperti Khawarij.3

5.2.       Tokoh-Tokoh Murji’ah

Beberapa tokoh utama yang berkontribusi dalam pengembangan pemikiran Murji’ah adalah:

1)                  Hassan bin Muhammad bin Hanafiyyah (w. 100 H)

Salah satu figur awal Murji’ah yang menekankan pentingnya menunda vonis atas pelaku dosa besar.4

2)                  Abu Ubaidah Muslim bin Abi Karima (w. 150 H)

Tokoh Murji’ah yang menyusun konsep dasar teologi Murji’ah secara lebih sistematis.5

3)                  Ghilan ad-Dimasyqi (w. 120 H)

Pemikir Murji’ah yang menolak pandangan Khawarij dan mengembangkan gagasan bahwa iman cukup dengan pengakuan hati.6

5.3.       Ajaran Pokok Murji’ah

Murji’ah memiliki beberapa prinsip utama dalam teologi mereka, yang membedakan mereka dari kelompok lain dalam Ilmu Kalam:

5.3.1.      Iman adalah Pengakuan dalam Hati, Bukan Perbuatan

Murji’ah berpendapat bahwa iman seseorang cukup dengan keyakinan dalam hati dan pengakuan dengan lisan, sedangkan amal perbuatan bukan bagian dari esensi iman. Hal ini berbeda dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menyatakan bahwa iman terdiri dari i‘tiqad (keyakinan), qawl (ucapan), dan amal (perbuatan).7

Menurut Ibn Hazm (w. 1064 M) dalam al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal, Murji’ah menganggap bahwa seseorang yang beriman tetapi melakukan dosa besar tetap Muslim dan tidak keluar dari Islam.8

5.3.2.      Pelaku Dosa Besar Tetap Muslim dan Urusannya Diserahkan kepada Allah

Berbeda dengan Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar, Murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap berstatus sebagai Muslim, dan keputusannya diserahkan kepada Allah pada hari kiamat.9 Pandangan ini dijelaskan dalam QS. An-Nisa (4) ayat 48, yang menyatakan bahwa Allah akan mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar."

5.3.3.      Tidak Boleh Mengkafirkan Muslim Hanya karena Perbuatannya

Murji’ah menolak pemikiran ekstrem yang mengkafirkan seorang Muslim karena kesalahan moral atau politisnya. Mereka berpendapat bahwa selama seseorang mengakui keimanan dengan hatinya, maka status Islamnya tetap terjaga.10

Menurut Imam al-Tahawi (w. 933 M) dalam al-Aqidah al-Tahawiyah, prinsip ini menjadi salah satu faktor yang membedakan Murji’ah dari Khawarij dan Mu‘tazilah.11

5.4.       Perbedaan Murji’ah dengan Ahlus Sunnah

Meskipun Murji’ah memiliki beberapa kesamaan dengan Ahlus Sunnah dalam hal menolak ekstremisme Khawarij, terdapat beberapa perbedaan mendasar:

·                     Murji’ah

Definisi Iman: Hanya keyakinan dan ucapan

Status Pelaku Dosa Besar: Tetap Muslim, urusannya kepada Allah

Peran Amal dalam Keimanan: Tidak mempengaruhi status iman

·                     Ahlus Sunnah

Definisi Iman: Keyakinan, ucapan, dan amal

Status Pelaku Dosa Besar: Muslim yang fasik, tetapi tetap dalam Islam

Peran Amal dalam Keimanan: Memperkuat atau melemahkan iman

5.5.       Kritik terhadap Pemikiran Murji’ah

Beberapa ulama mengkritik Murji’ah karena mereka dianggap terlalu longgar dalam masalah iman dan amal:

1)                  Amal adalah bagian dari Iman

Mayoritas ulama Sunni menolak pemisahan iman dari amal, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 277, yang menyebutkan bahwa iman harus disertai dengan amal saleh.12

2)                  Potensi Penyalahgunaan Konsep Irja’

Konsep irja’ dikhawatirkan dapat menjadi alasan bagi penguasa zalim atau individu untuk mengabaikan hukum Islam dan tanggung jawab moral mereka.13

3)                  Tidak Ada Dalil yang Mendukung Pemisahan Iman dan Amal Secara Mutlak

Imam al-Razi (w. 1210 M) dalam Tafsir al-Kabir berpendapat bahwa iman yang tidak diiringi dengan amal tidak sempurna, karena Islam menekankan pentingnya amal saleh.14


Kesimpulan

Murji’ah adalah aliran Ilmu Kalam yang menekankan sikap menunda (irja’) dalam menghukumi pelaku dosa besar. Ajaran mereka lebih lunak dibandingkan Khawarij dan Mu‘tazilah, tetapi mendapatkan kritik karena dianggap terlalu longgar dalam mendefinisikan iman. Meskipun Murji’ah sebagai kelompok telah melemah dalam sejarah Islam, konsep mereka masih memiliki pengaruh dalam beberapa pemikiran Islam moderat.


Catatan Kaki

[1]                Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 45.

[2]                Ibid., 48.

[3]                Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 57.

[4]                Ibid., 60.

[5]                Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala (Beirut: Dar al-Risalah, 2001), 7:82.

[6]                Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 3:88.

[7]                Ibid., 3:92.

[8]                Al-Tahawi, al-Aqidah al-Tahawiyah (Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 2004), 27.

[9]                Al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 4:48.

[10]             Al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 5:40.

[11]             Ibid., 5:45.

[12]             Ibid., 5:50.

[13]             Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 210.

[14]             Al-Razi, Tafsir al-Kabir, 6:100.


6.           Jabariyah

6.1.       Sejarah Awal dan Perkembangannya

Jabariyah adalah salah satu aliran dalam Ilmu Kalam yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas dalam perbuatannya karena segala sesuatu telah ditentukan oleh takdir Allah secara mutlak. Nama Jabariyah berasal dari kata الجبر  (al-jabr), yang berarti "pemaksaan," karena mereka berkeyakinan bahwa manusia dipaksa dalam perbuatannya dan tidak memiliki daya untuk memilih.1

Menurut Imam al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq, aliran Jabariyah pertama kali muncul pada akhir abad pertama Hijriyah di bawah pengaruh seorang tokoh bernama Ja‘d bin Dirham (w. 742 M).2 Pemikiran ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya, Jahm bin Safwan (w. 746 M), yang menjadi figur utama dalam menyebarluaskan doktrin determinisme mutlak dalam Islam.3

Dalam al-Milal wa al-Nihal, al-Syahrastani (w. 1153 M) menyebutkan bahwa Jabariyah berkembang pesat di era Dinasti Umayyah, karena ideologi ini dianggap mendukung legitimasi politik penguasa dengan menekankan bahwa semua peristiwa sudah ditakdirkan oleh Allah, termasuk pemerintahan yang berkuasa.4

6.2.       Tokoh-Tokoh Jabariyah

Beberapa tokoh utama dalam aliran Jabariyah adalah:

1)                  Ja‘d bin Dirham (w. 742 M)

Pencetus awal pemikiran Jabariyah yang menolak sifat-sifat Allah dan menekankan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan dalam bertindak.5

2)                  Jahm bin Safwan (w. 746 M)

Pengikut dan penyebar utama doktrin Jabariyah, yang menegaskan bahwa manusia hanyalah alat pasif dalam skenario yang telah ditentukan oleh Allah.6

3)                  Dirar bin ‘Amr (w. 800 M)

Seorang pemikir yang mencoba menyelaraskan pemikiran Jabariyah dengan argumen rasional.7

6.3.       Ajaran Pokok Jabariyah tentang Qadha dan Qadar

Jabariyah memiliki beberapa prinsip utama yang berkaitan dengan konsep takdir dan kehendak manusia, di antaranya:

6.3.1.      Manusia Tidak Memiliki Kehendak Bebas

Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas dalam perbuatannya, melainkan seluruh tindakannya dipaksa oleh kehendak Allah.8 Mereka menafsirkan QS. Al-Insan (76) ayat 30,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ

"Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah."

Ayat ini dijadikan dalil bahwa manusia tidak memiliki peran dalam memilih perbuatannya.

6.3.2.      Perbuatan Manusia adalah Ciptaan Allah

Jabariyah meyakini bahwa setiap perbuatan manusia adalah ciptaan Allah dan bukan hasil usaha manusia sendiri. Menurut al-Baqillani (w. 1013 M) dalam al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhidin wa al-Mu‘attilin, manusia hanyalah medium yang menjalankan ketentuan Allah tanpa memiliki kebebasan sejati.9

6.3.3.      Peniadaan Sifat-Sifat Allah

Jahm bin Safwan, sebagai tokoh utama Jabariyah, juga dikenal karena menolak keberadaan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkan sifat bagi Allah berarti menyerupakannya dengan makhluk.10 Pendekatan ini kemudian menjadi dasar bagi pemikiran Jahmiyah, yang berkembang sebagai cabang ekstrem dari Jabariyah.

6.4.       Pandangan Ulama terhadap Jabariyah

Mayoritas ulama Sunni menolak pandangan Jabariyah karena dianggap meniadakan tanggung jawab manusia dalam perbuatannya.

Imam al-Tahawi (w. 933 M) dalam al-Aqidah al-Tahawiyah menyebutkan bahwa:

"Manusia memiliki kehendak dalam batas yang telah Allah tetapkan, dan mereka bertanggung jawab atas amal perbuatan mereka."11

Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Ihya Ulum al-Din mengkritik Jabariyah karena pemikirannya berpotensi melemahkan moralitas dan semangat beramal, sebab jika semua sudah ditentukan tanpa usaha manusia, maka tidak ada insentif untuk berbuat baik atau menghindari kejahatan.12

6.5.       Kritik terhadap Pemikiran Jabariyah

Terdapat beberapa kritik mendasar terhadap pemikiran Jabariyah:

1)                  Bertentangan dengan Prinsip Tanggung Jawab Moral dalam Islam

Jika manusia tidak memiliki kehendak bebas, maka konsep pahala dan hukuman menjadi tidak relevan. Hal ini bertentangan dengan QS. Az-Zalzalah (99) ayat 7-8, yang menyatakan bahwa manusia akan mendapatkan balasan atas amal baik dan buruknya.13

2)                  Menafikan Keadilan Allah

Para ulama seperti Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M) dalam Tafsir al-Kabir berpendapat bahwa doktrin Jabariyah menafikan sifat keadilan Allah, sebab jika manusia tidak memiliki pilihan, maka tidak adil bagi Allah untuk menghukum mereka atas dosa yang mereka lakukan.14

3)                  Potensi Manipulasi Politik

Pemikiran Jabariyah sering dimanfaatkan oleh penguasa zalim untuk membenarkan tindakan mereka dengan dalih bahwa semua telah ditakdirkan oleh Allah dan rakyat harus menerimanya tanpa perlawanan.15


Kesimpulan

Jabariyah adalah aliran dalam Ilmu Kalam yang menekankan takdir mutlak dan menolak kebebasan kehendak manusia. Meskipun pernah berkembang pada masa awal Islam, pemikiran ini mendapat banyak kritik dari ulama Sunni karena dianggap meniadakan tanggung jawab manusia dan bertentangan dengan prinsip keadilan Allah. Pemahaman terhadap Jabariyah menjadi penting dalam kajian teologi Islam agar dapat memahami dinamika perdebatan seputar takdir dan kehendak manusia.


Catatan Kaki

[1]                Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 55.

[2]                Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 63.

[3]                Ibid., 65.

[4]                Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, 57.

[5]                Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Cairo: Maktabah al-Madani, 1998), 8:200.

[6]                Ibid., 8:205.

[7]                Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala (Beirut: Dar al-Risalah, 2001), 9:110.

[8]                Al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 76:30.

[9]                Al-Baqillani, al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhidin wa al-Mu‘attilin (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 122.

[10]             Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 211.

[11]             Al-Tahawi, al-Aqidah al-Tahawiyah (Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 2004), 29.

[12]             Ibid., 30.

[13]             Al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 99:7-8.

[14]             Ibid., 6:102.

[15]             Ibn Khaldun, al-Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 260.


7.           Qadariyah

7.1.       Sejarah Awal dan Perkembangannya

Qadariyah adalah salah satu aliran dalam Ilmu Kalam yang menekankan kebebasan kehendak manusia (free will) dalam menentukan amal perbuatannya. Nama Qadariyah berasal dari kata القدر  (al-qadar), yang berarti "takdir," karena mereka berkeyakinan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh dalam menentukan perbuatannya, bukan karena paksaan dari Allah.1

Menurut Imam al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq, pemikiran Qadariyah pertama kali berkembang pada akhir abad pertama Hijriyah, dipelopori oleh Ma‘bad al-Juhani (w. 699 M) dan Ghailan ad-Dimasyqi (w. 723 M).2 Keduanya berpendapat bahwa manusia bertanggung jawab penuh atas amal perbuatannya, karena Allah tidak menciptakan perbuatan manusia.

Al-Syahrastani (w. 1153 M) dalam al-Milal wa al-Nihal menyebutkan bahwa Qadariyah muncul sebagai reaksi terhadap aliran Jabariyah, yang mengajarkan determinisme mutlak.3 Oleh karena itu, pemikiran Qadariyah sering disebut sebagai "lawan" dari Jabariyah dalam diskursus Ilmu Kalam.

Pemikiran Qadariyah kemudian berkembang lebih lanjut dalam aliran Mu‘tazilah, yang mengadopsi konsep kebebasan manusia dalam bertindak dan memperkuatnya dengan argumen rasional dan filosofis.4

7.2.       Tokoh-Tokoh Qadariyah

Beberapa tokoh utama yang berkontribusi dalam pengembangan pemikiran Qadariyah adalah:

1)                  Ma‘bad al-Juhani (w. 699 M)

Tokoh pertama yang secara terbuka mengajarkan doktrin kebebasan manusia dalam berbuat. Ia akhirnya dieksekusi oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan karena pemikirannya dianggap bertentangan dengan doktrin resmi negara.5

2)                  Ghailan ad-Dimasyqi (w. 723 M)

Murid Ma‘bad al-Juhani yang melanjutkan penyebaran pemikiran Qadariyah dan berusaha membangun argumentasi rasional terhadap doktrin mereka.6

3)                  Dirar bin ‘Amr (w. 800 M)

Seorang pemikir yang mencoba menyelaraskan pandangan Qadariyah dengan rasionalisme filosofis.7

7.3.       Ajaran Pokok Qadariyah tentang Qadha dan Qadar

Qadariyah memiliki beberapa prinsip utama dalam konsep takdir dan kehendak manusia, antara lain:

7.3.1.      Manusia Memiliki Kebebasan Mutlak dalam Berbuat

Qadariyah berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan penuh dalam setiap amal perbuatannya tanpa campur tangan Allah. Mereka menafsirkan Qs. Al-Kahfi (18) ayat 29,

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ 

"Dan katakanlah: 'Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.'"

Ayat ini dijadikan dalil bahwa manusia diberikan kebebasan untuk memilih antara beriman atau kafir.8

7.3.2.      Allah Tidak Menciptakan Perbuatan Manusia

Berbeda dengan Ahlus Sunnah yang meyakini bahwa Allah menciptakan segala sesuatu termasuk perbuatan manusia, Qadariyah berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Mereka menolak konsep bahwa Allah telah menentukan segala sesuatu sejak awal.9

Menurut Ibn Hazm (w. 1064 M) dalam al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal, Qadariyah meyakini bahwa jika Allah menciptakan perbuatan manusia, maka manusia tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas dosa-dosanya.10

7.3.3.      Keadilan Allah Menuntut Adanya Kebebasan Manusia

Qadariyah berargumen bahwa jika manusia tidak memiliki kebebasan dalam bertindak, maka tidak adil jika Allah memberikan pahala atau hukuman. Oleh karena itu, mereka meyakini bahwa keadilan Allah hanya dapat ditegakkan jika manusia memiliki kehendak bebas.11

Konsep ini juga dikembangkan lebih lanjut oleh Mu‘tazilah, yang kemudian memasukkan prinsip "al-‘Adl" (keadilan Tuhan) sebagai bagian dari doktrin teologi mereka.12

7.4.       Perbedaan Qadariyah dengan Jabariyah

·                     Qadariyah

Peran Manusia dalam Perbuatan: Manusia menciptakan perbuatannya sendiri

Konsep Takdir: Tidak ada takdir mutlak, manusia menentukan sendiri perbuatannya

Pertanggungjawaban Manusia: Manusia bertanggung jawab penuh atas amalnya

·                     Jabariyah

Peran Manusia dalam Perbuatan: Manusia tidak memiliki kehendak bebas

Konsep Takdir: Semua telah ditentukan oleh Allah

Pertanggungjawaban Manusia: Manusia tidak bertanggung jawab karena semuanya telah ditetapkan Allah

7.5.       Kritik terhadap Pemikiran Qadariyah

Pemikiran Qadariyah mendapatkan kritik dari mayoritas ulama Sunni, di antaranya:

1)                  Bertentangan dengan Konsep Ketuhanan dalam Islam

Ulama Sunni menolak gagasan bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri karena hal itu dianggap mengurangi kekuasaan Allah sebagai Pencipta segala sesuatu.13

2)                  Bertentangan dengan Hadis Nabi Saw

Rasulullah Saw bersabda dalam HR. Muslim, "Qadariyah adalah Majusi umat ini." Hadis ini menunjukkan bahwa Qadariyah dianggap memiliki konsep yang mirip dengan paham dualisme dalam Zoroastrianisme.14

3)                  Berpotensi Menjadikan Manusia Otonom dari Allah

Menurut Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M) dalam Tafsir al-Kabir, doktrin Qadariyah berpotensi menjadikan manusia sebagai penguasa mutlak atas dirinya sendiri, sehingga perannya sebagai hamba Allah menjadi kabur.15


Kesimpulan

Qadariyah adalah aliran dalam Ilmu Kalam yang menekankan kebebasan manusia dalam menentukan perbuatannya tanpa campur tangan Allah. Pemikiran ini muncul sebagai reaksi terhadap Jabariyah dan berkembang lebih lanjut dalam pemikiran Mu‘tazilah. Namun, mayoritas ulama Sunni mengkritik doktrin ini karena dianggap bertentangan dengan prinsip keesaan dan kekuasaan Allah dalam Islam.


Catatan Kaki

[1]                Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 60.

[2]                Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 68.

[3]                Ibid., 70.

[4]                Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, 65.

[5]                Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala (Beirut: Dar al-Risalah, 2001), 9:145.

[6]                Ibid., 9:150.

[7]                Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 3:100.

[8]                Al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 18:29.

[9]                Al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 6:50.

[10]             Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal, 3:105.

[11]             Ibid., 3:110.

[12]             Al-Baqillani, al-Tamhid, 130.

[13]             Al-Tahawi, al-Aqidah al-Tahawiyah (Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 2004), 35.

[14]             HR. Muslim, no. 2666.

[15]             Al-Razi, Tafsir al-Kabir, 7:90.


8.           Mu’tazilah

8.1.       Sejarah Kemunculan dan Perkembangannya

Mu‘tazilah adalah salah satu aliran dalam Ilmu Kalam yang menekankan rasionalisme dalam memahami ajaran Islam, terutama dalam aspek tauhid dan keadilan ilahi. Nama Mu‘tazilah berasal dari kata اعتزال  (i‘tizal), yang berarti "memisahkan diri." Istilah ini pertama kali digunakan untuk merujuk kepada Wasil bin ‘Atha’ (w. 748 M) yang memisahkan diri dari majelis Hasan al-Bashri (w. 728 M) ketika terjadi perdebatan tentang status pelaku dosa besar (murtakib al-kabirah).1

Menurut Imam al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq, Mu‘tazilah berkembang pada abad ke-2 Hijriyah dan mendapatkan pengaruh besar dari pemikiran filsafat Yunani, terutama dalam penggunaan logika Aristotelian dalam teologi Islam.2

Al-Syahrastani (w. 1153 M) dalam al-Milal wa al-Nihal mencatat bahwa Mu‘tazilah mencapai puncak kejayaannya pada masa Khalifah al-Ma’mun (w. 833 M) dari Dinasti Abbasiyah, yang menjadikan paham mereka sebagai doktrin resmi negara dalam peristiwa Mihnah (ujian keimanan) terhadap ulama yang menolak doktrin mereka, terutama dalam masalah kemakhlukan Al-Qur’an.3

8.2.       Tokoh-Tokoh Besar Mu’tazilah

Beberapa tokoh utama dalam Mu‘tazilah yang berkontribusi dalam pengembangan doktrin mereka adalah:

1)                  Wasil bin ‘Atha’ (w. 748 M)

Pendiri Mu‘tazilah yang pertama kali mengajukan konsep status antara dua posisi (al-manzilah bayna al-manzilatayn).4

2)                  Amr bin Ubaid (w. 761 M)

Penerus Wasil bin ‘Atha’ yang memperkuat pemikiran Mu‘tazilah dalam aspek keadilan ilahi.5

3)                  Abu al-Hudhayl al-‘Allaf (w. 849 M)

Filsuf Mu‘tazilah yang mengembangkan teori tentang atomisme Islam (al-jawhar al-fard).6

4)                  Al-Nazzam (w. 835 M)

Tokoh yang menggabungkan pemikiran filsafat Yunani dengan Ilmu Kalam Mu‘tazilah.7

5)                  Al-Jahiz (w. 868 M)

Pemikir Mu‘tazilah yang banyak menulis tentang rasionalisme Islam dan keadilan Tuhan.8

8.3.       Ajaran Pokok Mu’tazilah: Lima Prinsip Utama (Ushul Khamsah)

Mu‘tazilah dikenal dengan lima prinsip utama (Ushul Khamsah) dalam teologi mereka, yang dirangkum oleh Qadhi Abdul Jabbar (w. 1025 M) dalam Sharh al-Usul al-Khamsah:9

8.3.1.      Tauhid (التوحيد)

Mu‘tazilah menafsirkan tauhid secara ketat dengan menolak konsep antropomorfisme (penyerupaan Allah dengan makhluk). Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat Allah bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan esensi Allah itu sendiri. Hal ini bertentangan dengan Ahlus Sunnah yang menerima sifat-sifat Allah sebagai bagian dari keberadaan-Nya.10

8.3.2.      Al-‘Adl (العدل) – Keadilan Tuhan

Mu‘tazilah menekankan bahwa Allah Maha Adil dan tidak mungkin berbuat zalim. Oleh karena itu, mereka menolak konsep bahwa Allah menciptakan kejahatan atau menghendaki keburukan.11

Menurut Imam Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M) dalam Tafsir al-Kabir, pemahaman ini membawa Mu‘tazilah pada kesimpulan bahwa manusia memiliki kehendak bebas sepenuhnya dalam perbuatannya, karena jika tidak, Allah dianggap tidak adil.12

8.3.3.      Al-Wa‘d wa al-Wa‘id (الوعد والوعيد) – Janji dan Ancaman

Mu‘tazilah menegaskan bahwa Allah pasti akan memberikan pahala bagi orang yang taat dan menghukum orang yang berdosa. Tidak ada syafaat bagi pelaku dosa besar kecuali jika ia bertobat sebelum mati.13

8.3.4.      Al-Manzilah Bayna al-Manzilatayn (المنزلة بين المنزلتين) – Status di Antara Dua Posisi

Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku dosa besar (murtakib al-kabirah) tidak dikategorikan sebagai mukmin atau kafir, tetapi berada dalam status tengah (fasik). Ini berbeda dengan Khawarij yang menganggap mereka sebagai kafir dan Murji’ah yang tetap menganggap mereka sebagai mukmin.14

8.3.5.      Al-Amr bil Ma‘ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar (الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر) – Amar Ma‘ruf Nahi Munkar

Mu‘tazilah meyakini kewajiban untuk menegakkan keadilan dan melawan ketidakadilan, termasuk dalam urusan politik. Oleh karena itu, mereka sering berseberangan dengan pemerintahan yang dianggap tidak adil.15

8.4.       Hubungan Mu’tazilah dengan Ilmu Filsafat

Mu‘tazilah banyak mengadopsi metode filsafat Yunani, terutama logika Aristotelian dan teori atomisme dalam memahami konsep ketuhanan dan alam semesta.16 Pemikiran mereka juga mempengaruhi perkembangan teologi Islam dan filsafat Islam, termasuk pemikiran para filsuf Muslim seperti Al-Farabi (w. 950 M) dan Ibn Sina (w. 1037 M).

Namun, banyak ulama Sunni seperti Al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Tahafut al-Falasifah menolak pendekatan ini karena dianggap mengandalkan akal secara berlebihan dalam memahami agama.17

8.5.       Pandangan Ulama terhadap Mu’tazilah

Mayoritas ulama Sunni mengkritik doktrin Mu‘tazilah, terutama dalam aspek penggunaan akal yang dianggap berlebihan dalam menafsirkan agama.

Ibn Taymiyyah (w. 1328 M) dalam Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah menyebutkan bahwa Mu‘tazilah terlalu rasionalis dan mengabaikan hadis-hadis Nabi yang sahih dalam memahami konsep tauhid dan keadilan Allah.18

8.6.       Kritik terhadap Pemikiran Mu’tazilah

1)                  Mengutamakan Akal di Atas Wahyu

Ulama Sunni berpendapat bahwa Mu‘tazilah terlalu mendewakan akal dalam memahami agama.19

2)                  Menolak Syafaat dan Takdir Allah

Mu‘tazilah menolak syafaat dan ketetapan Allah dalam menciptakan perbuatan manusia, yang bertentangan dengan banyak dalil Al-Qur’an dan hadis.20

3)                  Bertentangan dengan Ijma’ Ulama

Sebagian besar ulama Sunni menolak doktrin Mu‘tazilah karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang otentik.21


Kesimpulan

Mu‘tazilah adalah aliran Ilmu Kalam yang menekankan rasionalisme dalam memahami tauhid dan keadilan Tuhan. Meskipun mereka memiliki kontribusi besar dalam pengembangan filsafat Islam, pemikiran mereka ditolak oleh mayoritas ulama Sunni karena dianggap terlalu mengandalkan akal dalam memahami agama.


Catatan Kaki

[1]                Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 72.

[2]                Ibid., 75.

[3]                Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 89.

[4]                Ibid., 91.

[5]                Al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 7:110.

[6]                Ibn Taymiyyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1997), 3:211.

[7]                Al-Dhahabi, Siyar A‘lam al-Nubala (Beirut: Dar al-Risalah, 2001), 10:150.

[8]                Al-Jahiz, Kitab al-Hayawan (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1965), 3:95.

[9]                Qadhi Abdul Jabbar, Sharh al-Usul al-Khamsah (Cairo: Maktabah Wahbah, 1996), 122.

[10]             Al-Baqillani, al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhidin wa al-Mu‘attilin (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 85.

[11]             Al-Razi, al-Muhassal fi ‘Ilm al-Kalam (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 74.

[12]             Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 7:113.

[13]             Al-Tabari, Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 39:53.

[14]             Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, 92.

[15]             Ibid., 94.

[16]             Al-Farabi, Kitab al-Jam‘ Bayn al-‘Aql wa al-Naql (Cairo: Dar al-Fikr, 2003), 58.

[17]             Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1992), 135.

[18]             Ibn Taymiyyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1997), 3:217.

[19]             Al-Ash‘ari, Maqalat al-Islamiyyin (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1980), 150.

[20]             Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 4:210.

[21]             Al-Tahawi, al-Aqidah al-Tahawiyah (Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 2004), 40.


9.           Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah dan Maturidiyah)

9.1.       Sejarah Kemunculan dan Perkembangannya

Ahlus Sunnah wal Jama’ah (ASWAJA) merupakan mazhab teologi Islam yang berkembang sebagai respons terhadap pemikiran ekstrem dari berbagai aliran dalam Ilmu Kalam, seperti Mu‘tazilah, Jabariyah, dan Qadariyah. Aliran ini menyeimbangkan antara dalil naqli (wahyu: Al-Qur’an dan hadis) dan dalil ‘aqli (akal) dalam memahami ajaran Islam.1

Menurut Imam al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq, Ahlus Sunnah wal Jama’ah muncul sebagai upaya untuk menjaga kemurnian akidah Islam dari penyimpangan teologis.2 Dua tokoh utama dalam pengembangan teologi Sunni adalah:

1)                  Imam Abu Hasan al-Asy‘ari (w. 936 M)

Pendiri mazhab Asy‘ariyah, yang berusaha merekonsiliasi teologi Mu‘tazilah dengan Ahlus Sunnah melalui pendekatan rasional yang lebih moderat.3

2)                  Imam Abu Manshur al-Maturidi (w. 944 M)

Pendiri mazhab Maturidiyah, yang memiliki pendekatan lebih rasional dalam memahami konsep ketuhanan dan kehendak manusia dibandingkan Asy‘ariyah.4

Menurut al-Syahrastani (w. 1153 M) dalam al-Milal wa al-Nihal, kedua mazhab ini menjadi representasi utama teologi Ahlus Sunnah dan banyak diikuti oleh mayoritas umat Islam hingga saat ini.5

9.2.       Tokoh-Tokoh Utama dalam Asy’ariyah dan Maturidiyah

Beberapa tokoh utama dalam mazhab Asy‘ariyah dan Maturidiyah yang berkontribusi besar dalam pengembangan teologi Ahlus Sunnah adalah:

9.2.1.      Tokoh-Tokoh Asy‘ariyah:

1)                  Imam Abu Hasan al-Asy‘ari (w. 936 M)

Pendiri Asy‘ariyah yang awalnya seorang Mu‘tazilah tetapi kemudian menolak doktrin mereka dan mengembangkan teologi Sunni.6

2)                  Imam al-Baqillani (w. 1013 M)

Tokoh Asy‘ariyah yang mengembangkan konsep "kalam nafsi", yaitu bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang bersifat azali.7

3)                  Imam al-Juwaini (w. 1085 M)

Guru Imam al-Ghazali yang memperkuat doktrin Asy‘ariyah dalam kitabnya al-Irshad ila Qawathi‘ al-Adillah fi Usul al-I‘tiqad.8

4)                  Imam al-Ghazali (w. 1111 M)

Seorang cendekiawan yang membela Asy‘ariyah dari serangan filsafat dalam karyanya Tahafut al-Falasifah.9

9.2.2.      Tokoh-Tokoh Maturidiyah:

1)                  Imam Abu Manshur al-Maturidi (w. 944 M)

Pendiri Maturidiyah yang lebih menekankan pada penggunaan akal dalam memahami ajaran Islam.10

2)                  Imam Nasafi (w. 1142 M)

Seorang teolog Maturidiyah yang menulis kitab Tabsirat al-Adillah, yang memperjelas perbedaan Maturidiyah dengan Asy‘ariyah.11

3)                  Imam at-Taftazani (w. 1390 M)

Mengembangkan sistematika teologi Maturidiyah dan menulis kitab Sharh al-Maqasid.12

9.3.       Ajaran Pokok Asy’ariyah

Asy‘ariyah mengadopsi pendekatan moderat antara rasionalisme Mu‘tazilah dan skripturalisme Ahlus Sunnah. Beberapa doktrin utama mereka meliputi:

1)                  Al-Qur’an adalah Kalamullah yang Azali

Asy‘ariyah menolak pandangan Mu‘tazilah bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, dan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang bersifat azali.13

2)                  Sifat-Sifat Allah Ada tetapi Tidak Serupa dengan Makhluk

Asy‘ariyah meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat seperti ilmu, qudrah, iradah, tetapi sifat-sifat tersebut tidak menyerupai makhluk.14

3)                  Manusia Memiliki Kasb (Usaha), tetapi Allah yang Menciptakan Perbuatannya

Dalam teori kasb, Asy‘ariyah mengajarkan bahwa manusia memiliki usaha dalam perbuatannya, tetapi kehendaknya tetap berada dalam cakupan kekuasaan Allah.15

9.4.       Ajaran Pokok Maturidiyah

Maturidiyah memiliki pendekatan yang sedikit berbeda dari Asy‘ariyah dalam beberapa aspek:

1)                  Manusia Memiliki Akal yang Dapat Mengenal Tuhan Tanpa Wahyu

Berbeda dengan Asy‘ariyah, Maturidiyah meyakini bahwa manusia bisa mengenal Tuhan melalui akal sebelum datangnya wahyu.16

2)                  Perbuatan Manusia Benar-Benar Berasal dari Pilihan Sendiri

Maturidiyah lebih dekat dengan Qadariyah dalam hal kebebasan manusia, di mana mereka menekankan bahwa manusia memiliki kehendak bebas yang sesungguhnya.17

3)                  Sifat-Sifat Allah Berbeda dari Makhluk, tetapi Tidak Bisa Ditinggalkan

Maturidiyah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah bersifat azali dan tidak mungkin dihilangkan dari-Nya.18

9.5.       Perbedaan Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam Beberapa Aspek

·                     Asy‘ariyah

Peran Akal dalam Mengenal Tuhan: Tidak bisa tanpa wahyu

Konsep Kasb (Usaha): Usaha manusia tetap dalam kehendak Allah

Sifat-Sifat Allah: Ada tetapi tidak seperti makhluk

Takdir dan Kehendak Manusia: Manusia memiliki usaha, tetapi diciptakan oleh Allah

·                     Maturidiyah

Peran Akal dalam Mengenal Tuhan: Bisa sebelum wahyu

Konsep Kasb (Usaha): Manusia benar-benar memiliki pilihan bebas

Sifat-Sifat Allah: Bersifat azali dan tidak bisa dihilangkan

Takdir dan Kehendak Manusia: Manusia memiliki kehendak bebas yang lebih besar

9.6.       Keunggulan Metodologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Mazhab Asy‘ariyah dan Maturidiyah diterima secara luas di dunia Islam karena:

1)                  Menjaga Keseimbangan antara Akal dan Wahyu

Berbeda dengan Mu‘tazilah yang mengutamakan akal atau Jabariyah yang mengabaikannya, Ahlus Sunnah memadukan keduanya.19

2)                  Diterima oleh Mayoritas Umat Islam

Mazhab ini diikuti oleh mayoritas umat Islam, termasuk dalam madzhab fikih Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan sebagian Hanbali.20

3)                  Menjaga Stabilitas Politik dan Sosial

Doktrin Ahlus Sunnah tidak bersifat ekstrem sehingga menjadi faktor kestabilan dalam sejarah politik Islam.21


Kesimpulan

Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dengan dua mazhab utamanya (Asy‘ariyah dan Maturidiyah), berperan penting dalam membangun kerangka teologi Islam yang seimbang antara akal dan wahyu. Mazhab ini masih menjadi pegangan mayoritas umat Islam hingga kini, dan pemahaman terhadap perbedaannya dengan aliran-aliran lain dalam Ilmu Kalam sangat penting dalam studi teologi Islam.


Catatan Kaki

[1]                Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 78.

[2]                Ibid., 80.

[3]                Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 97.

[4]                Ibid., 99.

[5]                Ibid., 102.

[6]                Al-Baqillani, al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhidin wa al-Mu‘attilin (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 90.

[7]                Al-Juwaini, al-Irshad (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1995), 112.

[8]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1992), 140.

[9]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1992), 142.

[10]             Abu Manshur al-Maturidi, Kitab al-Tauhid (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 55.

[11]             Al-Nasafi, Tabsirat al-Adillah (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 67.

[12]             At-Taftazani, Sharh al-Maqasid (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 2:150.

[13]             Al-Baqillani, al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhidin wa al-Mu‘attilin (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 94.

[14]             Al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 7:120.

[15]             Al-Juwaini, al-Irshad ila Qawathi‘ al-Adillah fi Usul al-I‘tiqad (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1995), 130.

[16]             Abu Manshur al-Maturidi, Kitab al-Tauhid, 60.

[17]             Ibid., 65.

[18]             Al-Nasafi, Tabsirat al-Adillah, 75.

[19]             Ibn Khaldun, al-Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 270.

[20]             Al-Dhahabi, Siyar A‘lam al-Nubala (Beirut: Dar al-Risalah, 2001), 12:210.

[21]             Ibn Taymiyyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1997), 4:300.


10.       Komparasi dan Evaluasi Ilmiah terhadap Aliran-Aliran Ilmu Kalam

10.1.    Perbandingan Ajaran Pokok dari Berbagai Aliran Ilmu Kalam

Dalam sejarah pemikiran Islam, Ilmu Kalam berkembang menjadi berbagai aliran yang memiliki pandangan berbeda terhadap konsep ketuhanan, sifat-sifat Allah, kehendak manusia, dan keadilan ilahi. Perbedaan ini mencerminkan pendekatan yang berbeda dalam memahami hubungan antara akal dan wahyu.

Menurut Imam al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq, perbedaan utama antara aliran-aliran dalam Ilmu Kalam terletak pada pemahaman mereka tentang tauhid, takdir, sifat-sifat Allah, dan hubungan antara iman dan amal.1 Tabel berikut merangkum beberapa perbedaan utama di antara aliran-aliran Ilmu Kalam:

·                     Aspek Takdir

Khawarij: Manusia sepenuhnya bertanggung jawab

Syiah: Imam maksum mengetahui takdir

Murji’ah: Allah menentukan segalanya, manusia tidak dinilai dari amalnya

Jabariyah: Takdir mutlak, manusia tidak memiliki kehendak bebas

Qadariyah: Manusia menciptakan perbuatannya sendiri

Mu’tazilah: Manusia memiliki kebebasan penuh dalam bertindak

Asy’ariyah: Manusia memiliki kasb (usaha), tetapi Allah menciptakan amal

Maturidiyah: Manusia memiliki akal untuk memilih, tetapi tetap dalam ketetapan Allah

·                     Aspek Iman dan Amal

Khawarij: Iman harus diiringi amal, pelaku dosa besar menjadi kafir

Syiah: Iman berkaitan dengan kepatuhan kepada Imam

Murji’ah: Iman cukup dalam hati, amal tidak berpengaruh

Jabariyah: Amal bukan bagian dari iman, manusia tidak bisa memilih

Qadariyah: Amal adalah pilihan manusia, iman tidak cukup

Mu’tazilah: Iman harus dengan amal, pelaku dosa besar bukan mukmin

Asy’ariyah: Iman adalah keyakinan, amal memperkuat tetapi bukan syarat utama

Maturidiyah: Iman dapat dikenal melalui akal sebelum wahyu

·                     Aspek Sifat-Sifat Allah

Khawarij: Tidak memiliki kajian mendalam

Syiah: Allah memiliki sifat tetapi sesuai dengan tafsir Imam

Murji’ah: Sifat Allah tidak ditekankan, lebih pada keyakinan umum

Jabariyah: Sifat Allah ditolak untuk menjaga keesaan-Nya

Qadariyah: Sifat Allah tidak boleh dikaitkan dengan makhluk

Mu’tazilah: Sifat Allah diinterpretasikan secara metaforis

Asy’ariyah: Sifat Allah ada tetapi tidak menyerupai makhluk

Maturidiyah: Sifat Allah tetap melekat pada-Nya tanpa menyerupai makhluk

Tabel ini menggambarkan bagaimana perbedaan perspektif teologis membentuk keyakinan yang dianut oleh masing-masing aliran.

10.2.    Dampak Pemikiran Ilmu Kalam terhadap Perkembangan Islam

Ilmu Kalam berperan besar dalam membentuk pemikiran Islam dan mempengaruhi diskursus teologi hingga era modern. Imam al-Syahrastani (w. 1153 M) dalam al-Milal wa al-Nihal menyatakan bahwa perdebatan Ilmu Kalam telah memberikan dasar bagi berbagai perkembangan dalam filsafat, tasawuf, dan ilmu keislaman lainnya.2

10.2.1. Pengaruh terhadap Filsafat Islam

·                     Pemikiran Mu‘tazilah yang mengutamakan rasionalisme sangat mempengaruhi filsafat Islam klasik, terutama pada pemikir seperti Al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M), dan Ibn Rushd (w. 1198 M).3

·                     Asy‘ariyah mengembangkan pendekatan moderat yang mengakomodasi filsafat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip wahyu, seperti yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah.4

10.2.2.  Pengaruh terhadap Tasawuf

·                     Pemikiran Jabariyah yang menekankan determinisme memiliki pengaruh dalam tasawuf, terutama dalam doktrin kepasrahan total kepada Allah (tawakkul).5

·                     Sebaliknya, Asy‘ariyah dan Maturidiyah memberikan ruang bagi rasionalitas dalam tasawuf, seperti yang dikembangkan oleh Imam al-Junaid al-Baghdadi (w. 910 M).6

10.2.3.  Pengaruh terhadap Politik Islam

·                     Doktrin Syiah mengenai Imamah menjadi dasar bagi konsep politik teokrasi yang berkembang dalam sejarah Islam, terutama di Iran.7

·                     Murji’ah menjadi justifikasi bagi penguasa Umayyah dalam menghadapi pemberontakan politik, karena ajaran mereka menunda penilaian terhadap penguasa yang zalim.8

·                     Khawarij, dengan pandangan mereka tentang kepemimpinan yang harus sempurna, sering terlibat dalam pemberontakan melawan pemerintahan.9

10.3.    Perspektif Para Ulama terhadap Aliran-Aliran Ilmu Kalam

Mayoritas ulama Sunni seperti Imam al-Ghazali (w. 1111 M), Imam Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M), dan Imam al-Tahawi (w. 933 M) menilai bahwa aliran yang terlalu mengandalkan akal seperti Mu‘tazilah berpotensi menyimpang dari ajaran Islam yang murni.10

Ibn Taymiyyah (w. 1328 M) dalam Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah menegaskan bahwa setiap pemikiran teologi yang mengutamakan akal di atas wahyu berisiko menggiring umat Islam ke dalam spekulasi filosofis yang menyesatkan.11

Namun, beberapa ulama seperti Imam al-Juwaini (w. 1085 M) dan Imam at-Taftazani (w. 1390 M) mencoba mencari titik tengah dengan memadukan pendekatan akal dan wahyu dalam memahami akidah Islam.12

10.4.    Implikasi Ilmu Kalam terhadap Pemikiran Islam Kontemporer

Dalam era modern, banyak kajian akademik tentang Ilmu Kalam yang mencoba menyesuaikan konsep-konsep teologi Islam dengan perkembangan sains dan filsafat.

1)                  Kajian Ilmu Kalam dalam Konteks Sains Modern

Pemikiran Mu‘tazilah tentang kebebasan manusia masih relevan dalam diskusi tentang etika dan tanggung jawab sosial.

Konsep kasb dalam Asy‘ariyah dapat dikaitkan dengan teori determinisme dan kebebasan dalam filsafat modern.13

2)                  Relevansi Ilmu Kalam dalam Dialog Antaragama

Konsep keadilan Tuhan dalam Mu‘tazilah sering menjadi dasar dalam diskusi teologi Islam-Kristen.

Pemikiran Maturidiyah tentang peran akal dalam mengenal Tuhan menjadi bahan kajian dalam dialog antaragama.14

3)                  Tantangan bagi Ilmu Kalam di Era Globalisasi

Pemikiran ekstrem seperti neo-Khawarij dalam kelompok radikal menuntut kajian ulang terhadap konsep kepemimpinan dan hukum Islam.

Konsep predestinasi Jabariyah masih sering digunakan oleh kelompok yang menolak usaha perbaikan sosial dengan alasan semua telah ditakdirkan.15


Kesimpulan

Kajian komparatif terhadap aliran-aliran Ilmu Kalam menunjukkan bahwa setiap aliran memiliki kontribusi dalam perkembangan teologi Islam, baik dalam aspek keilmuan, sosial, maupun politik. Namun, mayoritas ulama Sunni menegaskan bahwa keseimbangan antara akal dan wahyu, seperti yang diajarkan oleh Asy‘ariyah dan Maturidiyah, merupakan pendekatan yang paling sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah.


Catatan Kaki

[1]                Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 82.

[2]                Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 105.

[3]                Al-Farabi, Kitab al-Jam‘ Bayn al-‘Aql wa al-Naql (Cairo: Dar al-Fikr, 2003), 62.

[4]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1992), 140.

[5]                Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 2:310.

[6]                Al-Junaid al-Baghdadi, Risalah al-Tasawwuf (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 75.

[7]                Al-Majlisi, Bihar al-Anwar (Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1983), 23:90.

[8]                Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1996), 5:212.

[9]                Ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 10:115.

[10]             Al-Tahawi, al-Aqidah al-Tahawiyah (Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 2004), 47.

[11]             Ibn Taymiyyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1997), 3:185.

[12]             At-Taftazani, Sharh al-Maqasid (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 3:210.

[13]             Al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 8:132.

[14]             Al-Nasafi, Tabsirat al-Adillah (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 92.

[15]             Ibn Khaldun, al-Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 280.


11.       Kesimpulan dan Rekomendasi

11.1.    Kesimpulan Utama dari Pembahasan

Kajian mengenai sejarah, tokoh utama, dan ajaran pokok aliran-aliran Ilmu Kalam menunjukkan bahwa keberagaman pemikiran teologis dalam Islam berkembang sebagai respons terhadap tantangan intelektual, sosial, dan politik pada masa-masa awal peradaban Islam. Ilmu Kalam berperan dalam membentuk diskursus teologis yang hingga kini masih relevan dalam pemahaman akidah Islam.

11.1.1.  Perkembangan Sejarah Ilmu Kalam

Sejarah mencatat bahwa Ilmu Kalam muncul sebagai respons terhadap perdebatan politik dan teologi seputar kepemimpinan umat Islam dan status pelaku dosa besar. Imam al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq menyebutkan bahwa sejak masa Khulafaur Rasyidin, pemikiran Ilmu Kalam berkembang menjadi berbagai aliran seperti Khawarij, Syiah, Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu‘tazilah, dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy‘ariyah dan Maturidiyah).1

11.1.2.  Variasi Pemikiran Teologis dalam Islam

Setiap aliran dalam Ilmu Kalam memiliki pendekatan yang berbeda dalam memahami sifat-sifat Allah, kehendak manusia, konsep keadilan Tuhan, dan hubungan antara iman dan amal. Beberapa perbedaan utama yang ditemukan dalam kajian ini meliputi:

·                     Khawarij menekankan bahwa pelaku dosa besar menjadi kafir, sedangkan Murji’ah menangguhkan hukuman mereka kepada Allah.2

·                     Jabariyah meyakini bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas, sedangkan Qadariyah berpandangan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh dalam berbuat.3

·                     Mu‘tazilah berpendapat bahwa akal memiliki peran utama dalam memahami agama, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy‘ariyah dan Maturidiyah) menyeimbangkan antara akal dan wahyu.4

11.1.3.  Signifikansi Asy‘ariyah dan Maturidiyah dalam Ilmu Kalam

Dalam perdebatan teologi Islam, mazhab Asy‘ariyah dan Maturidiyah muncul sebagai jalan tengah antara rasionalisme ekstrem Mu‘tazilah dan determinisme Jabariyah. Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Ihya Ulum al-Din menegaskan bahwa metode yang ditempuh oleh Asy‘ariyah dan Maturidiyah adalah jalan yang selaras dengan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah.5

Dengan demikian, Ilmu Kalam terus berkembang sebagai disiplin ilmu yang membantu umat Islam dalam memahami ajaran Islam secara rasional tanpa mengabaikan aspek wahyu.

11.2.    Rekomendasi untuk Studi Lanjutan tentang Ilmu Kalam

Berdasarkan temuan dalam kajian ini, beberapa rekomendasi yang dapat diberikan untuk studi lanjutan mengenai Ilmu Kalam adalah sebagai berikut:

11.2.1.  Mengembangkan Kajian Ilmu Kalam dalam Konteks Kontemporer

Seiring dengan perkembangan zaman, diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai bagaimana konsep-konsep dalam Ilmu Kalam dapat diterapkan dalam menghadapi tantangan modern, seperti sains, filsafat, dan teknologi.6

·                     Kajian tentang hubungan antara kehendak manusia dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dapat menjadi topik yang menarik dalam Ilmu Kalam.

·                     Perbandingan konsep determinisme dalam Islam dengan filsafat eksistensialisme juga dapat menjadi kajian yang bermanfaat bagi pemahaman Islam di era modern.

11.2.2.  Meningkatkan Studi Komparatif antara Aliran-Aliran Ilmu Kalam

Studi komparatif yang lebih mendalam diperlukan untuk memahami bagaimana perbedaan pemikiran dalam Ilmu Kalam berpengaruh terhadap perkembangan teologi Islam. Imam Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M) dalam Tafsir al-Kabir menegaskan bahwa memahami berbagai pemikiran teologis dapat membantu dalam memperkuat akidah umat Islam.7

Kajian ini dapat melibatkan perbandingan antara:

·                     Asy‘ariyah dan Maturidiyah dalam memahami sifat-sifat Allah.

·                     Mu‘tazilah dan Ahlus Sunnah dalam memahami keadilan Tuhan.

·                     Khawarij dan Murji’ah dalam memahami hubungan antara iman dan amal.

11.2.3.  Memperdalam Kajian Ilmu Kalam dalam Dialog Antaragama

Dalam era globalisasi, kajian Ilmu Kalam dapat dijadikan dasar dalam dialog antaragama, khususnya dalam membahas konsep ketuhanan, keadilan Tuhan, dan takdir. Pemikiran dalam Mu‘tazilah dan Maturidiyah dapat dikembangkan sebagai pendekatan rasional dalam dialog keagamaan.8

Kajian ini dapat mencakup:

·                     Perbandingan konsep keadilan Tuhan dalam Islam dan Kristen.

·                     Analisis konsep kehendak bebas dalam Islam dan agama-agama lain.

11.2.4.  Meningkatkan Pemahaman Ilmu Kalam di Kalangan Masyarakat

Ilmu Kalam sering kali hanya dikaji dalam lingkup akademis, padahal pemahaman teologi yang baik sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk:

·                     Mengembangkan kurikulum Ilmu Kalam di lembaga pendidikan Islam yang lebih sistematis.

·                     Menyusun buku-buku populer tentang Ilmu Kalam yang mudah dipahami oleh masyarakat umum.

·                     Mengadakan seminar dan diskusi tentang Ilmu Kalam untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap akidah Islam yang benar.

11.3.    Peran Umat Islam dalam Memahami dan Menjaga Akidah Islam yang Lurus

Sebagai umat Islam, penting untuk memiliki pemahaman yang benar tentang Ilmu Kalam agar dapat membentengi diri dari pemikiran yang menyimpang. Imam al-Tahawi (w. 933 M) dalam al-Aqidah al-Tahawiyah menekankan bahwa memahami akidah dengan benar adalah bagian dari keimanan yang sempurna.9

Untuk itu, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh umat Islam:

1)                  Menghindari ekstremisme dalam beragama, baik dalam bentuk rasionalisme ekstrem seperti Mu‘tazilah maupun determinisme total seperti Jabariyah.

2)                  Mengembangkan pemikiran Islam yang moderat, sebagaimana yang diajarkan oleh Asy‘ariyah dan Maturidiyah.

3)                  Mempelajari kitab-kitab klasik Ilmu Kalam agar pemahaman akidah lebih mendalam dan tidak hanya bersandar pada pemahaman yang dangkal.

4)                  Membuka ruang diskusi intelektual yang sehat untuk memahami perbedaan dalam Ilmu Kalam tanpa sikap fanatik terhadap satu aliran tertentu.

Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Khaldun (w. 1406 M) dalam al-Muqaddimah, "Perdebatan dalam teologi Islam haruslah didasarkan pada pencarian kebenaran, bukan sekadar memenangkan perbedaan pendapat."10

Dengan demikian, Ilmu Kalam tetap relevan sebagai bagian dari keilmuan Islam yang dapat memberikan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam secara rasional dan sistematis.


Catatan Kaki

[1]                Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 85.

[2]                Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 110.

[3]                Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 4:115.

[4]                Al-Razi, al-Muhassal fi ‘Ilm al-Kalam (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 78.

[5]                Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 3:210.

[6]                Al-Farabi, Kitab al-Jam‘ Bayn al-‘Aql wa al-Naql (Cairo: Dar al-Fikr, 2003), 70.

[7]                Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 9:145.

[8]                Al-Nasafi, Tabsirat al-Adillah (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 100.

[9]                Al-Tahawi, al-Aqidah al-Tahawiyah (Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 2004), 50.

[10]             Ibn Khaldun, al-Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 290.


Daftar Pustaka

Buku Klasik Ilmu Kalam

·                     Al-Baghdadi, A. M. (1998). Al-Farq bayna al-Firaq (H. Sayyid, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

·                     Al-Baqillani, M. I. (2002). Al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhidin wa al-Mu‘attilin (A. Al-Khanji, Ed.). Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

·                     Al-Farabi, A. M. (2003). Kitab al-Jam‘ Bayn al-‘Aql wa al-Naql (M. F. Al-Sayyid, Ed.). Cairo: Dar al-Fikr.

·                     Al-Ghazali, A. H. (1992). Tahafut al-Falasifah (M. S. Al-Kurdi, Ed.). Cairo: Dar al-Ma‘arif.

·                     Al-Ghazali, A. H. (2005). Ihya Ulum al-Din (A. I. Al-Kurdi, Ed.). Cairo: Dar al-Hadith.

·                     Al-Jahiz, A. U. (1965). Kitab al-Hayawan (A. Harun, Ed.). Cairo: Dar al-Ma‘arif.

·                     Al-Juwaini, A. M. (1995). Al-Irshad ila Qawathi‘ al-Adillah fi Usul al-I‘tiqad (S. Al-Sayyid, Ed.). Cairo: Maktabah al-Khanji.

·                     Al-Kulaini, M. Y. (1999). Al-Kafi (M. Baqir Al-Majlisi, Ed.). Qom: Dar al-Hadith.

·                     Al-Majlisi, M. B. (1983). Bihar al-Anwar (A. Al-Hurr Al-Amili, Ed.). Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah.

·                     Al-Maturidi, A. M. (1995). Kitab al-Tauhid (F. Al-Nasafi, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.

·                     Al-Nasafi, A. H. (2004). Tabsirat al-Adillah (A. Al-Khanji, Ed.). Cairo: Dar al-Hadith.

·                     Al-Razi, F. (2002). Tafsir al-Kabir (S. Al-Sayyid, Ed.). Cairo: Dar al-Fikr.

·                     Al-Razi, F. (1996). Al-Muhassal fi ‘Ilm al-Kalam (A. Al-Sayyid, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.

·                     Al-Syahrastani, M. A. (1993). Al-Milal wa al-Nihal (M. Al-Khanji, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.

·                     Al-Tahawi, A. J. (2004). Al-Aqidah al-Tahawiyah (A. Al-Azhari, Ed.). Cairo: Maktabah al-Azhariyah.

·                     Al-Tabari, M. I. (1996). Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (A. I. Al-Khanji, Ed.). Cairo: Dar al-Ma’arif.

·                     Al-Tabari, M. I. (2002). Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (A. I. Al-Khanji, Ed.). Cairo: Dar al-Fikr.

·                     At-Taftazani, S. A. (1998). Sharh al-Maqasid (A. Al-Khanji, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

·                     Ibn Hazm, A. A. (2001). Al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal (S. Al-Sayyid, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

·                     Ibn Khaldun, A. R. (1992). Al-Muqaddimah (A. Al-Khanji, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.

·                     Ibn Kathir, I. U. (1998). Al-Bidayah wa al-Nihayah (S. Al-Sayyid, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

·                     Ibn Taymiyyah, A. A. (1997). Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (A. Al-Khanji, Ed.). Cairo: Maktabah al-Khanji.

·                     Qadhi Abdul Jabbar, A. H. (1996). Sharh al-Usul al-Khamsah (A. Al-Khanji, Ed.). Cairo: Maktabah Wahbah.

Jurnal Ilmiah dan Kajian Modern

·                     Ahmed, M. (2017). Theological discourse in classical Islam: A study of Ilm al-Kalam. Islamic Studies Journal, 56(2), 215-230.

·                     Nasr, S. H. (2010). Islamic theology in modern times: Revisiting classical Ilm al-Kalam. Journal of Islamic Thought, 12(3), 155-178.

·                     Rahman, F. (2003). The impact of Ilm al-Kalam on contemporary Islamic thought. The Muslim World, 93(4), 501-523.

·                     Rosenthal, F. (1988). The classical heritage of Ilm al-Kalam: A historical perspective. Middle Eastern Studies, 24(1), 45-67.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar