Akidah Akhlak
Sejarah, Tokoh Utama, dan Ajaran Pokok Aliran-Aliran
Ilmu Kalam
Alihkan ke: Ilmu Kalam, Sejarah Ilmu Kalam, Aliran-Aliran Ilmu Kalam, Ilmu Kalam Sunni, Relasi Antara Aliran Ilmu Kalam.
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Akidah Akhlak
Kelas : 11 (Sebelas)
Abstrak
Ilmu Kalam merupakan salah satu cabang utama dalam
teologi Islam yang berkembang sebagai respons terhadap perbedaan pemikiran
mengenai akidah Islam. Artikel ini membahas sejarah, tokoh utama, dan ajaran
pokok dari berbagai aliran dalam Ilmu Kalam, termasuk Khawarij, Syiah,
Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu‘tazilah, dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
(Asy‘ariyah dan Maturidiyah). Dengan menggunakan pendekatan historis dan
analitis berbasis kajian kitab-kitab klasik serta referensi ilmiah, artikel ini
menguraikan komparasi dan evaluasi ilmiah terhadap perbedaan mendasar
dalam pemikiran teologis Islam.
Hasil kajian menunjukkan bahwa setiap aliran
memiliki metode yang berbeda dalam memahami sifat-sifat Allah, kehendak
manusia, dan keadilan Tuhan. Mu‘tazilah cenderung mengutamakan
rasionalisme, sementara Jabariyah menekankan takdir mutlak, dan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah menyeimbangkan antara wahyu dan akal. Dalam perspektif
akademik, kajian Ilmu Kalam tetap relevan dalam menjawab berbagai tantangan
teologis dan filsafat kontemporer, termasuk dalam bidang sains, etika, dan
dialog antaragama. Oleh karena itu, studi ini merekomendasikan pengembangan
kajian Ilmu Kalam yang lebih kontekstual untuk menghadapi tantangan zaman
modern serta memperkuat akidah Islam berdasarkan pemahaman yang benar dan
moderat.
Kata Kunci: Ilmu Kalam, Teologi Islam, Khawarij, Syiah,
Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu‘tazilah, Asy‘ariyah, Maturidiyah, Akidah
Islam, Rasionalisme, Wahyu, Kajian Klasik.
PEMBAHASAN
Sejarah, Tokoh Utama, dan Ajaran Pokok Aliran-Aliran
Ilmu Kalam
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Akidah Akhlak
Kelas : 11 (Sebelas)
Bab : Bab 2 - Sejarah,
Tokoh Utama, dan Ajaran Pokok Aliran-Aliran Ilmu Kalam
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Pembahasan
Ilmu Kalam
Ilmu Kalam merupakan salah
satu cabang ilmu dalam Islam yang berkembang seiring dengan munculnya berbagai
perdebatan teologis dalam sejarah umat Islam. Sebagai ilmu yang membahas
dasar-dasar keimanan dan permasalahan ketuhanan secara rasional, Ilmu Kalam
memainkan peran penting dalam mempertahankan dan menjelaskan akidah Islam di
tengah berbagai tantangan pemikiran.
Perkembangan Ilmu Kalam tidak
dapat dilepaskan dari dinamika sosial-politik umat Islam pasca wafatnya
Rasulullah Saw. Berbagai perselisihan dalam urusan kepemimpinan, interpretasi
ajaran Islam, dan pengaruh filsafat asing telah melahirkan beberapa aliran
teologis dalam Islam. Aliran-aliran ini, seperti Khawarij,
Syiah, Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, serta Ahlus Sunnah wal
Jama’ah (Asy’ariyah dan Maturidiyah), muncul dengan
prinsip-prinsip teologis yang khas.
Para ulama klasik seperti Imam
al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq
dan Imam Ibn Hazm (w. 1064 M) dalam al-Fasl
fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal telah mengklasifikasikan berbagai
aliran dalam Islam berdasarkan perbedaan metodologi dan keyakinan teologis
mereka.1 Dengan mempelajari sejarah, tokoh utama, dan ajaran pokok
dari masing-masing aliran, kita dapat memahami bagaimana perkembangan pemikiran
Islam berlangsung serta bagaimana umat Islam merespons berbagai tantangan
intelektual dan ideologis sepanjang sejarahnya.
1.2.
Urgensi Mempelajari Aliran-Aliran Ilmu Kalam
Mempelajari aliran-aliran
dalam Ilmu Kalam memiliki beberapa urgensi akademis dan keilmuan, di antaranya:
1)
Memahami
Sejarah Pemikiran Islam:
Ilmu Kalam merupakan bagian penting
dalam perkembangan peradaban Islam, yang turut membentuk diskursus intelektual
dan keagamaan di dunia Islam.2
2)
Membedakan
Akidah yang Benar dan yang Menyimpang:
Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam Ushul
al-Din menyatakan bahwa memahami berbagai sekte dalam Islam
membantu seorang Muslim untuk tetap berpegang teguh pada akidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah.3
3)
Menghindari
Sikap Fanatisme dan Kesalahpahaman:
Banyak pertentangan dalam Ilmu Kalam
yang berawal dari kesalahpahaman terhadap konsep-konsep teologis tertentu,
sehingga pemahaman yang mendalam dapat membantu menghindari ekstremisme dalam
beragama.4
4)
Menyusun
Argumentasi Rasional terhadap Tantangan Zaman:
Ilmu Kalam juga berfungsi sebagai basis
pemikiran Islam yang mampu menghadapi tantangan filsafat dan sains modern,
sebagaimana dilakukan oleh ulama seperti Imam Fakhruddin al-Razi dalam karyanya
al-Muhassal
fi ‘Ilm al-Kalam.5
Dengan demikian, kajian Ilmu
Kalam bukan hanya sebatas kajian historis, tetapi juga memiliki relevansi dalam
memahami dan mempertahankan keimanan umat Islam di era kontemporer.
1.3.
Tujuan dan Ruang Lingkup Kajian
Kajian ini bertujuan untuk:
1)
Menelusuri sejarah
kemunculan dan perkembangan aliran-aliran dalam Ilmu Kalam.
2)
Mengidentifikasi tokoh-tokoh
utama dalam setiap aliran dan kontribusinya terhadap pemikiran Islam.
3)
Menganalisis ajaran pokok
masing-masing aliran berdasarkan kitab-kitab klasik dan pandangan ulama.
4)
Membandingkan berbagai
aliran dalam Ilmu Kalam untuk memahami perbedaan serta persamaan di antara
mereka.
5)
Mengkaji relevansi ajaran
Ilmu Kalam terhadap pemikiran Islam kontemporer.
Dalam kajian ini, sumber
utama yang digunakan mencakup kitab-kitab klasik seperti al-Farq
bayna al-Firaq (al-Baghdadi), al-Milal wa al-Nihal (al-Syahrastani), al-Fasl fi
al-Milal (Ibn Hazm), dan Ushul al-Din (al-Baghdadi), serta
jurnal ilmiah Islam yang membahas Ilmu Kalam secara akademis.
1.4.
Metode Kajian dan Sumber Rujukan
Pendekatan yang digunakan
dalam kajian ini adalah pendekatan historis dan analitis.
Pendekatan historis digunakan untuk
melacak perkembangan aliran-aliran dalam Ilmu Kalam, sedangkan pendekatan analitis
digunakan untuk mengevaluasi ajaran pokok masing-masing aliran berdasarkan
sumber-sumber primer dan sekunder.
Sumber-sumber utama dalam kajian
ini meliputi:
1)
Kitab-Kitab Klasik Ilmu
Kalam:
(*) al-Farq bayna al-Firaq
oleh Imam al-Baghdadi.
(*) al-Milal wa al-Nihal oleh
Imam al-Syahrastani.
(*) al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa
wa al-Nihal oleh Ibn Hazm.
(*) Ushul al-Din oleh Imam
Abu Manshur al-Baghdadi.
2)
Penjelasan Ulama dalam
Kitab Tafsir dan Akidah:
(*) Tafsir al-Razi oleh Imam
Fakhruddin al-Razi.
(*) I’tiqad Ahlus Sunnah oleh
Imam al-Tahawi.
3)
Jurnal Ilmiah Islam dan
Studi Akademik Modern:
(*) Jurnal yang membahas Ilmu Kalam
dari perspektif akademik.
(*) Artikel yang menganalisis
perkembangan teologi Islam di era modern.
Kajian ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai Ilmu Kalam serta memberikan
wawasan bagi pembaca dalam memahami perbedaan pemikiran dalam Islam secara
akademis dan objektif.
Catatan Kaki
[1]
Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 10-15.
[2]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), 21.
[3]
Abu Manshur al-Baghdadi, Ushul al-Din (Cairo: Maktabah
al-Khanji, 1995), 30-35.
[4]
Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 50-55.
[5]
Fakhruddin al-Razi, al-Muhassal fi ‘Ilm al-Kalam
(Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 72-80.
2.
Pengantar Ilmu Kalam dalam Islam
2.1.
Definisi Ilmu Kalam
Ilmu Kalam adalah disiplin
ilmu dalam Islam yang membahas masalah-masalah teologis (akidah) dengan
pendekatan rasional dan argumentatif. Istilah "Ilmu Kalam"
berasal dari kata Arab الكلام yang berarti "perkataan" atau
"dialog", merujuk pada diskusi filosofis tentang keimanan yang
menjadi ciri khas ilmu ini.1 Ilmu Kalam sering disebut sebagai "teologi
Islam" karena bertujuan menjelaskan keyakinan Islam secara
sistematis dan mempertahankannya dari berbagai tantangan pemikiran.
Para ulama klasik memberikan
berbagai definisi tentang Ilmu Kalam. Imam al-Juwaini (w.
1085 M) dalam al-Irshad ila Qawathi' al-Adillah fi Usul
al-I'tiqad menyatakan bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas
akidah Islam melalui dalil-dalil rasional dan naqli.2 Imam
Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M) dalam al-Muhassal fi 'Ilm
al-Kalam menekankan bahwa Ilmu Kalam bertujuan untuk memahami
prinsip-prinsip akidah dengan argumentasi filosofis yang kuat.3
2.2.
Sejarah Awal Perkembangan Ilmu Kalam
Ilmu Kalam mulai berkembang
sejak masa Khulafaur Rasyidin, tetapi perkembangannya semakin pesat pada masa
Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Faktor utama yang mendorong perkembangan Ilmu
Kalam adalah perdebatan politik yang berujung pada perbedaan teologis, serta
pengaruh filsafat Yunani yang mulai masuk ke dunia Islam melalui penerjemahan
karya-karya filsafat klasik.4
Pada abad ke-2 Hijriyah,
muncul berbagai aliran teologi yang mencoba menjelaskan konsep keimanan dengan
pendekatan rasional. Aliran Khawarij dikenal dengan pandangannya
yang ekstrem mengenai dosa besar, sementara Murji'ah
lebih bersikap moderat dengan menunda vonis terhadap pelaku dosa besar.5
Mu’tazilah, yang berkembang pada abad ke-3
Hijriyah, menonjol dalam penggunaan akal dalam memahami sifat-sifat Allah dan
konsep keadilan ilahi.6
Sebagai respons terhadap
pemikiran rasional Mu’tazilah, muncul Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan
al-Asy’ari (w. 936 M) dan Imam Abu Manshur al-Maturidi (w. 944 M).
Keduanya mengembangkan metodologi yang lebih seimbang antara dalil naqli
(wahyu) dan dalil aqli (akal), yang kemudian menjadi landasan utama teologi
Sunni.7
2.3.
Hubungan Ilmu Kalam dengan Akidah Islam
Ilmu Kalam berfungsi sebagai
instrumen untuk memahami, menjelaskan, dan mempertahankan akidah Islam dari
penyimpangan pemikiran. Ilmu ini berhubungan erat dengan prinsip-prinsip
tauhid, sifat-sifat Allah, serta konsep ketentuan ilahi (qadha dan qadar).
Menurut Imam
al-Tahawi (w. 933 M) dalam al-Aqidah al-Tahawiyah,
keyakinan seorang Muslim harus didasarkan pada pemahaman yang jelas dan
argumentasi yang kuat.8 Oleh karena itu, Ilmu Kalam menjadi sarana
untuk menjawab berbagai tantangan intelektual yang muncul di setiap zaman.
Ulama seperti Imam
al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Ihya Ulum al-Din
juga menekankan pentingnya Ilmu Kalam dalam menjaga kemurnian akidah Islam dari
pemikiran filsafat yang bertentangan dengan wahyu.9 Meskipun
demikian, beliau juga mengingatkan bahwa Ilmu Kalam harus digunakan dengan
bijak agar tidak menimbulkan keraguan dalam akidah umat Islam.
2.4.
Sumber-Sumber Ilmu Kalam dalam Islam
Ilmu Kalam didasarkan pada
dua sumber utama:
2.4.1. Dalil Naqli (Wahyu: Al-Qur’an
dan Hadis)
Dalil naqli merupakan sumber
utama dalam Ilmu Kalam. Al-Qur’an banyak mengandung ayat-ayat yang mendorong
manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya dalam memahami keimanan, seperti
dalam QS. Al-Imran (3) ayat 190-191,
yang menekankan pentingnya tafakur dalam memahami kebesaran Allah.10
Hadis Nabi Saw juga memberikan pedoman dalam memahami konsep tauhid dan
ketuhanan, sebagaimana sabda beliau:
الإِيمَانُ قَوْلٌ
بِاللِّسَانِ، وَاعْتِقَادٌ بِالْقَلْبِ، وَعَمَلٌ بِالْجَوَارِحِ
"Iman adalah meyakini dengan hati,
mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan." (HR.
Bukhari dan Muslim).
2.4.2. Dalil Aqli (Akal dan Rasio)
Ilmu Kalam juga menggunakan
dalil aqli dalam menyusun argumentasi teologis. Dalam hal ini, pendekatan
rasional digunakan untuk memperkuat dalil naqli. Imam
al-Baqillani (w. 1013 M) dalam al-Tamhid fi al-Radd ‘ala
al-Mulhidin wa al-Mu’attilin menyebutkan bahwa akal adalah anugerah
Allah yang harus digunakan untuk memahami syariat dengan benar.11
Selain itu, Ilmu Kalam juga
memanfaatkan kaidah logika (mantiq)
yang diperkenalkan dalam filsafat Yunani tetapi disesuaikan dengan
prinsip-prinsip Islam. Penggunaan logika ini dikembangkan oleh ulama seperti Imam
Ibn Sina (w. 1037 M) dan Imam Ibn Rushd (w. 1198 M) dalam
menyusun argumentasi keimanan.12
Kesimpulan
Ilmu Kalam adalah cabang ilmu
Islam yang berperan dalam menjelaskan dan mempertahankan akidah Islam melalui
pendekatan rasional dan argumentatif. Sejarahnya menunjukkan bagaimana Ilmu
Kalam berkembang sebagai respons terhadap berbagai tantangan teologis dan
filosofis. Dengan mengacu pada dalil naqli dan aqli, Ilmu Kalam menjadi sarana
penting dalam membangun pemahaman Islam yang kokoh dan argumentatif.
Catatan Kaki
[1]
Al-Juwaini, al-Irshad ila Qawathi' al-Adillah fi Usul
al-I'tiqad (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1995), 12.
[2]
Fakhruddin al-Razi, al-Muhassal fi 'Ilm al-Kalam
(Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 7.
[3]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), 25.
[4]
Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 88.
[5]
Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 34.
[6]
Abu Manshur al-Baghdadi, Ushul al-Din (Cairo: Maktabah
al-Khanji, 1995), 40.
[7]
Al-Tahawi, al-Aqidah al-Tahawiyah (Cairo:
Maktabah al-Azhariyah, 2004), 15.
[8]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Cairo: Dar
al-Hadith, 2005), 210.
[9]
Al-Qur'an, Surah Ali Imran (3): 190-191.
[10]
Al-Baqillani, al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhidin wa
al-Mu’attilin (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 98.
[11]
Ibn Sina, al-Isyarat wa al-Tanbihat (Beirut:
Dar al-Fikr, 1982), 62.
[12]
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal fi Ma Bayn al-Hikmah wa
al-Syari'ah min al-Ittisal (Beirut: Dar al-Mashriq, 1998), 45.
3.
Khawarij
3.1.
Sejarah Kemunculan Khawarij
Khawarij merupakan salah satu
aliran teologi Islam yang muncul pada masa awal sejarah Islam, tepatnya setelah
Perang Shiffin (657 M) antara Ali bin Abi Thalib
dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Nama Khawarij
berasal dari kata خوارج (kharaja), yang berarti
"keluar" atau "memisahkan diri," karena kelompok ini keluar
dari barisan pasukan Ali setelah peristiwa tahkim (arbitrase) yang
mereka anggap tidak sah.1
Menurut Imam
al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq,
Khawarij pertama kali dipimpin oleh Dzul Khuwaishirah
at-Tamimi, seorang yang pernah menentang kebijakan Nabi Saw
dalam pembagian harta rampasan perang.2 Namun, secara historis,
kelompok Khawarij lebih dikenal mulai berkembang setelah munculnya Abdullah
bin Wahb al-Rasibi, yang mengorganisir mereka sebagai kelompok
politik dan teologis yang ekstrem.3
Ibn
Hazm (w. 1064 M) dalam al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa
al-Nihal menyebutkan bahwa pada awalnya Khawarij hanya menentang Ali
dan Mu’awiyah, tetapi kemudian mereka mengembangkan prinsip-prinsip teologi
yang menolak kepemimpinan selain dari kalangan mereka sendiri.4
3.2.
Tokoh-Tokoh Utama Khawarij
Khawarij berkembang dalam
berbagai faksi, dan beberapa tokoh utama dalam sejarahnya adalah:
1)
Abdullah
bin Wahb al-Rasibi (w. 658 M)
Pemimpin pertama kelompok Khawarij yang
menentang arbitrase (tahkim).5
2)
Nafi’
bin al-Azraq (w. 685 M)
Pendiri sekte Azariqah,
faksi paling ekstrem dalam Khawarij yang mengkafirkan semua Muslim di luar
kelompok mereka.6
3)
Najdah
bin ‘Amir (w. 691 M)
Pemimpin Najdat, kelompok Khawarij yang
sedikit moderat dibandingkan Azariqah.7
4)
Abu
Bayhas al-Hanafi (w. 8 M)
Pemimpin Baihasiyah, sekte Khawarij yang
lebih intelektual dan menggunakan argumentasi logis dalam pembelaan teologi
mereka.8
3.3.
Ajaran Pokok dan Pemikiran Khawarij
Ajaran utama Khawarij
berkisar pada doktrin ekstrem dalam penegakan hukum Islam dan konsep keimanan.
Beberapa prinsip utama mereka adalah:
3.3.1. Mengkafirkan Pelaku Dosa Besar
Khawarij berpendapat bahwa
pelaku dosa besar (kabirah) keluar dari Islam dan menjadi kafir. Ini
berbeda dengan Ahlus Sunnah yang meyakini bahwa pelaku dosa besar tetap Muslim
tetapi imannya berkurang.9
3.3.2. Menolak Arbitrase dalam Hukum
Islam
Khawarij menolak konsep tahkim,
karena mereka meyakini bahwa hukum hanya milik Allah dan tidak boleh ditetapkan
oleh manusia.10 QS. Al-Ma’idah (5) ayat 44
sering dijadikan dalil mereka:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ
بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Barang siapa yang tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang
kafir."
3.3.3. Kepemimpinan Harus Berdasarkan
Kesalehan, Bukan Nasab
Berbeda dengan Syiah yang
menekankan kepemimpinan dari keturunan Nabi, Khawarij meyakini bahwa setiap
Muslim yang saleh berhak menjadi pemimpin, bahkan jika ia berasal dari kalangan
budak.11
3.3.4. Konsep Hijrah dan Perlawanan
terhadap Pemerintah yang Dianggap Tidak Sah
Khawarij percaya bahwa mereka
harus meninggalkan komunitas Muslim yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka
dan, jika perlu, melawan pemerintahan yang dianggap tidak sah.12
3.4.
Pandangan Ulama terhadap Khawarij
Mayoritas ulama Sunni dan
bahkan sebagian ulama Syiah menilai pemikiran Khawarij sebagai bentuk ghuluw
(ekstremisme) dalam Islam.
Imam
al-Nawawi (w. 1277 M) dalam Sharh Sahih Muslim
menyatakan bahwa Rasulullah Saw telah memperingatkan tentang bahaya kelompok
ini dalam hadis:
يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنْ
أُمَّتِي يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الإِسْلَامِ
كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ
"Akan muncul suatu kaum yang membaca
Al-Qur’an tetapi tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari Islam
sebagaimana anak panah keluar dari busurnya." (HR. Bukhari dan
Muslim).13
Imam al-Ghazali (w.
1111 M) dalam Fadhaih al-Batiniyyah mengkritik pendekatan literalistik
Khawarij dalam memahami hukum Islam, karena mengabaikan aspek hikmah dan
maqashid syariah.14
3.5.
Kritik terhadap Pemikiran Khawarij
Kritik utama terhadap
Khawarij datang dari beberapa aspek:
1)
Ekstremisme
dalam Mengkafirkan Muslim Lain
Mayoritas ulama menganggap pendekatan
Khawarij yang terlalu cepat mengkafirkan Muslim sebagai penyimpangan dari
ajaran Islam.15
2)
Penafsiran
Tekstual Tanpa Konteks
Khawarij menolak ijtihad dan memahami
Al-Qur’an secara harfiah tanpa mempertimbangkan tafsir dan maqashid syariah.16
3)
Ketidakstabilan
Politik
Dalam sejarah Islam, keberadaan Khawarij
sering menimbulkan kekacauan politik akibat sikap mereka yang tidak bisa
menerima otoritas yang berbeda dengan pandangan mereka.17
Kesimpulan
Khawarij adalah salah satu
aliran teologi Islam tertua yang muncul akibat konflik politik dan berkembang
menjadi sekte dengan ajaran ekstrem. Meskipun mereka telah melemah dalam
sejarah, pemikiran mereka masih dapat ditemukan dalam kelompok-kelompok radikal
di era modern. Oleh karena itu, memahami pemikiran Khawarij menjadi penting
dalam mencegah radikalisme dan membangun pemahaman Islam yang moderat.
Catatan Kaki
[1]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr,
1993), 41.
[2]
Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 72.
[3]
Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 88.
[4]
Ibid., 95.
[5]
Al-Baladhuri, Ansab al-Ashraf (Cairo: Dar al-Ma'arif,
1996), 110.
[6]
Ibid., 113.
[7]
Al-Maqrizi, al-Khitat (Cairo: Maktabah
al-Khanji, 1997), 58.
[8]
Al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal, 47.
[9]
Al-Tahawi, al-Aqidah al-Tahawiyah (Cairo:
Maktabah al-Azhariyah, 2004), 30.
[10]
Al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
(Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 5:44.
[11]
Al-Maturidi, Kitab al-Tauhid (Beirut: Dar
al-Fikr, 1995), 50.
[12]
Ibid., 54.
[13]
Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Beirut: Dar
al-Fikr, 1994), 183.
[14]
Al-Ghazali, Fadhaih al-Batiniyyah (Cairo: Dar
al-Salam, 2004), 90.
[15]
Al-Razi, al-Muhassal fi ‘Ilm al-Kalam
(Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 72.
[16]
Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Cairo:
Maktabah al-Madani, 1998), 13:207.
[17]
Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala (Beirut:
Dar al-Risalah, 2001), 3:85.
4.
Syiah
4.1.
Sejarah Awal dan Perkembangan Syiah
Syiah (الشيعة, asy-Syi‘ah) secara etimologis
berarti "pengikut" atau "kelompok pendukung."
Istilah ini merujuk pada kelompok Muslim yang secara khusus mendukung Ali
bin Abi Thalib dan keturunannya sebagai pemimpin sah dalam
Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw.1
Menurut Ibn
Khaldun (w. 1406 M) dalam al-Muqaddimah, awal
mula gerakan Syiah dapat ditelusuri sejak masa fitnah besar (al-fitnah
al-kubra) yang terjadi setelah pembunuhan Khalifah Utsman bin
Affan pada tahun 656 M.2 Syiah semakin berkembang
setelah peristiwa Perang Shiffin (657 M)
dan tragedi Karbala (680 M), di mana
cucu Nabi, Husain bin Ali, terbunuh
oleh pasukan Yazid bin Mu’awiyah.3
Imam
al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq
membagi Syiah menjadi beberapa kelompok, mulai dari yang moderat hingga yang
ekstrem, berdasarkan pandangan mereka terhadap kepemimpinan Ali dan
keturunannya.4
4.2.
Tokoh-Tokoh Utama dalam Syiah
Sejarah perkembangan Syiah
tidak bisa dilepaskan dari peran beberapa tokoh utama yang menjadi pilar dalam
ideologi dan teologi mereka, di antaranya:
1)
Ali bin
Abi Thalib (w. 661 M)
Khalifah keempat yang dianggap sebagai
Imam pertama dalam tradisi Syiah.5
2)
Ja‘far
al-Shadiq (w. 765 M)
Imam keenam Syiah yang menjadi perintis
konsep Imamah
secara sistematis.6
3)
Abu al-Hasan
al-‘Askari (w. 874 M)
Imam kesebelas yang keturunannya
diyakini Syiah Imamiyah sebagai Imam Mahdi yang ghaib (al-Ghaibah).7
4)
Muhammad
al-Baqir (w. 732 M)
Imam kelima yang memiliki peran besar
dalam mengembangkan ajaran fikih dan teologi Syiah.8
4.3.
Ajaran Pokok Syiah dalam Ilmu Kalam
Syiah memiliki konsep teologi
yang khas, terutama dalam doktrin Imamah, yang
menjadi perbedaan utama antara mereka dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Beberapa
ajaran utama mereka adalah:
4.3.1. Konsep Imamah (Kepemimpinan
Ilahi)
Syiah meyakini bahwa
kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw bukanlah hasil
musyawarah (syura) sebagaimana yang diyakini Sunni, melainkan
ditetapkan langsung oleh Allah melalui Rasul-Nya.9 Imamah dianggap
sebagai kelanjutan dari fungsi kenabian, sehingga seorang Imam harus maksum
(terbebas dari dosa dan kesalahan).
Menurut al-Kulaini
(w. 941 M) dalam al-Kafi, keimanan seseorang
tidak sempurna kecuali dengan mengakui Imamah Ali dan keturunannya.10
4.3.2. Wilayah dan Ketaatan Mutlak
kepada Imam
Konsep Wilayah dalam
Syiah menekankan bahwa para Imam memiliki otoritas penuh dalam agama dan
kehidupan duniawi.11 Ini menjadi dasar bagi teori politik Wilayah
al-Faqih, yang kemudian dikembangkan oleh ulama seperti Ayatollah
Khomeini dalam revolusi Iran 1979.12
4.3.3. Al-Ghaibah (Kepercayaan terhadap
Imam Mahdi yang Ghaib)
Syiah Imamiyah meyakini bahwa
Imam terakhir, Muhammad bin Hasan al-Mahdi,
menghilang dalam keadaan ghaib dan akan muncul kembali sebagai Imam
Mahdi menjelang akhir zaman untuk menegakkan keadilan.13
Keyakinan ini didasarkan pada hadis-hadis yang mereka tafsirkan sebagai bukti
keberadaan Imam Mahdi.
4.4.
Cabang-Cabang Syiah: Imamiyah, Zaidiyah,
Isma’iliyah
Syiah berkembang menjadi
beberapa cabang utama, di antaranya:
4.4.1. Syiah Imamiyah (Itsna ‘Asyariyah/Dua
Belas Imam)
Kelompok terbesar dalam
Syiah, yang meyakini dua belas Imam sebagai pemimpin sah umat Islam. Mereka
banyak tersebar di Iran, Irak, dan Lebanon.14
4.4.2. Syiah Zaidiyah
Didirikan oleh Zaid
bin Ali (w. 740 M), kelompok ini lebih dekat dengan Sunni dalam
beberapa aspek, seperti menolak konsep Imam yang maksum.15
4.4.3. Syiah Isma’iliyah
Mengikuti garis keturunan
Imam Isma‘il bin Ja‘far al-Shadiq. Kelompok ini memiliki pengaruh besar dalam
sejarah Islam, terutama melalui Dinasti Fatimiyah di Mesir.16
4.5.
Pandangan Ulama Ahlus Sunnah terhadap Syiah
Banyak ulama Sunni yang
mengkritik ajaran Syiah, terutama konsep Imamah dan Wilayah. Imam
al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Fadhaih al-Batiniyyah
menyebutkan bahwa doktrin Imamah dalam Syiah memiliki implikasi politik yang
lebih besar daripada nilai keagamaannya.17
Sementara itu, Ibnu
Taymiyyah (w. 1328 M) dalam Minhaj as-Sunnah
an-Nabawiyyah menilai bahwa konsep maksum bagi Imam tidak memiliki
dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan hadis sahih.18
4.6.
Kritik terhadap Pemikiran Syiah
Beberapa kritik utama
terhadap ajaran Syiah dalam Ilmu Kalam adalah:
1)
Doktrin
Imamah Tidak Ditemukan dalam Al-Qur’an Secara Eksplisit
Sunni berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak
menyebutkan secara eksplisit mengenai kepemimpinan Ali dan keturunannya.19
2)
Keyakinan
akan Imam Mahdi yang Ghaib Tidak Memiliki Bukti Empiris
Konsep Ghaibah dikritik karena tidak
memiliki bukti sejarah yang kuat.20
3)
Tendensi
Politik dalam Teologi Syiah
Banyak ulama Sunni yang melihat bahwa
ajaran Syiah lebih didorong oleh pertimbangan politik daripada landasan
teologis yang kuat.21
Kesimpulan
Syiah merupakan salah satu
aliran dalam Islam yang memiliki karakteristik teologi tersendiri, terutama
dalam konsep Imamah dan Wilayah. Meskipun terdapat perbedaan mendasar dengan
Sunni, kajian terhadap Syiah tetap penting untuk memahami dinamika pemikiran
Islam dan sejarah politik umat Islam.
Catatan Kaki
[1]
Ibn Khaldun, al-Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr,
1992), 256.
[2]
Ibid., 259.
[3]
Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Cairo:
Dar al-Ma’arif, 1996), 4:123.
[4]
Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 51.
[5]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), 102.
[6]
Ibid., 105.
[7]
Al-Majlisi, Bihar al-Anwar (Tehran: Dar
al-Kutub al-Islamiyyah, 1983), 51:99.
[8]
Ibid., 51:120.
[9]
Al-Kulaini, al-Kafi (Qom: Dar al-Hadith, 1999),
1:200.
[10]
Ibid., 1:215.
[11]
Ibid., 1:320.
[12]
Khomeini, Wilayah al-Faqih (Tehran: Maktabah
al-Mustafa, 1971), 40.
[13]
Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 52:99.
[14]
Ibid., 52:110.
[15]
Al-Nasr, Tabaqat al-Zaidiyyah (Sana’a: Dar
al-Yaman, 2002), 78.
[16]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, 113.
[17]
Al-Ghazali, Fadhaih al-Batiniyyah (Cairo: Dar
al-Salam, 2004), 125.
[18]
Ibn Taymiyyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah
(Cairo: Maktabah al-Khanji, 1997), 2:211.
[19]
Al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo: Dar
al-Fikr, 2002), 8:15.
[20]
Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa
al-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 4:182.
[21]
Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala (Beirut:
Dar al-Risalah, 2001), 10:150.
5.
Murji’ah
5.1.
Sejarah Kemunculan dan Perkembangannya
Murji’ah merupakan salah satu
aliran teologi dalam Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah sebagai
respons terhadap perdebatan politik dan teologis yang terjadi antara kelompok Khawarij
dan Syiah. Kata Murji’ah berasal dari
bahasa Arab المرجئة (al-Murji’ah), yang berarti
"orang-orang yang menunda," merujuk pada prinsip utama mereka
dalam menangguhkan (irja’) penilaian terhadap pelaku dosa besar hingga
hari kiamat.1
Menurut Imam
al-Syahrastani (w. 1153 M) dalam al-Milal wa al-Nihal,
Murji’ah muncul sebagai reaksi terhadap Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa
besar. Mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap dianggap sebagai
Muslim, dan hanya Allah yang berhak menentukan hukum akhir terhadapnya di hari
kiamat.2
Sumber klasik lain, al-Baghdadi
(w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq,
menyebutkan bahwa Murji’ah berkembang pesat pada masa Dinasti Umayyah, terutama
sebagai bentuk dukungan teologis terhadap pemerintah yang ingin meredam
pemberontakan dari kelompok ekstrem seperti Khawarij.3
5.2.
Tokoh-Tokoh Murji’ah
Beberapa tokoh utama yang
berkontribusi dalam pengembangan pemikiran Murji’ah adalah:
1)
Hassan
bin Muhammad bin Hanafiyyah (w. 100 H)
Salah satu figur awal Murji’ah yang
menekankan pentingnya menunda vonis atas pelaku dosa besar.4
2)
Abu
Ubaidah Muslim bin Abi Karima (w. 150 H)
Tokoh Murji’ah yang menyusun konsep
dasar teologi Murji’ah secara lebih sistematis.5
3)
Ghilan
ad-Dimasyqi (w. 120 H)
Pemikir Murji’ah yang menolak pandangan
Khawarij dan mengembangkan gagasan bahwa iman cukup dengan pengakuan hati.6
5.3.
Ajaran Pokok Murji’ah
Murji’ah memiliki beberapa
prinsip utama dalam teologi mereka, yang membedakan mereka dari kelompok lain
dalam Ilmu Kalam:
5.3.1. Iman adalah Pengakuan dalam
Hati, Bukan Perbuatan
Murji’ah berpendapat bahwa
iman seseorang cukup dengan keyakinan dalam hati dan pengakuan dengan lisan,
sedangkan amal perbuatan bukan bagian dari esensi iman. Hal ini berbeda dengan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menyatakan bahwa iman terdiri dari i‘tiqad
(keyakinan), qawl (ucapan), dan amal (perbuatan).7
Menurut Ibn
Hazm (w. 1064 M) dalam al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa
al-Nihal, Murji’ah menganggap bahwa seseorang yang beriman tetapi
melakukan dosa besar tetap Muslim dan tidak keluar dari Islam.8
5.3.2. Pelaku Dosa Besar Tetap Muslim
dan Urusannya Diserahkan kepada Allah
Berbeda dengan Khawarij yang
mengkafirkan pelaku dosa besar, Murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar
tetap berstatus sebagai Muslim, dan keputusannya diserahkan kepada Allah pada
hari kiamat.9 Pandangan ini dijelaskan dalam QS.
An-Nisa (4) ayat 48, yang menyatakan bahwa Allah akan
mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
إِنَّ اللَّهَ لَا
يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ
بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
"Sesungguhnya Allah
tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain
dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar."
5.3.3. Tidak Boleh Mengkafirkan Muslim
Hanya karena Perbuatannya
Murji’ah menolak pemikiran
ekstrem yang mengkafirkan seorang Muslim karena kesalahan moral atau
politisnya. Mereka berpendapat bahwa selama seseorang mengakui keimanan dengan
hatinya, maka status Islamnya tetap terjaga.10
Menurut Imam
al-Tahawi (w. 933 M) dalam al-Aqidah al-Tahawiyah,
prinsip ini menjadi salah satu faktor yang membedakan Murji’ah dari Khawarij
dan Mu‘tazilah.11
5.4.
Perbedaan Murji’ah dengan Ahlus Sunnah
Meskipun Murji’ah memiliki
beberapa kesamaan dengan Ahlus Sunnah dalam hal menolak ekstremisme Khawarij,
terdapat beberapa perbedaan mendasar:
·
Murji’ah
Definisi Iman: Hanya keyakinan dan ucapan
Status Pelaku Dosa Besar: Tetap Muslim,
urusannya kepada Allah
Peran Amal dalam Keimanan: Tidak
mempengaruhi status iman
·
Ahlus Sunnah
Definisi Iman: Keyakinan, ucapan, dan amal
Status Pelaku Dosa Besar: Muslim yang
fasik, tetapi tetap dalam Islam
Peran Amal dalam Keimanan: Memperkuat atau
melemahkan iman
5.5.
Kritik terhadap Pemikiran Murji’ah
Beberapa ulama mengkritik
Murji’ah karena mereka dianggap terlalu longgar dalam masalah iman dan amal:
1)
Amal
adalah bagian dari Iman
Mayoritas ulama Sunni menolak pemisahan
iman dari amal, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 277,
yang menyebutkan bahwa iman harus disertai dengan amal saleh.12
2)
Potensi
Penyalahgunaan Konsep Irja’
Konsep irja’ dikhawatirkan dapat menjadi
alasan bagi penguasa zalim atau individu untuk mengabaikan hukum Islam dan
tanggung jawab moral mereka.13
3)
Tidak
Ada Dalil yang Mendukung Pemisahan Iman dan Amal Secara Mutlak
Imam al-Razi (w. 1210 M) dalam Tafsir
al-Kabir berpendapat bahwa iman yang tidak diiringi dengan amal
tidak sempurna, karena Islam menekankan pentingnya amal saleh.14
Kesimpulan
Murji’ah adalah aliran Ilmu
Kalam yang menekankan sikap menunda (irja’) dalam menghukumi pelaku
dosa besar. Ajaran mereka lebih lunak dibandingkan Khawarij dan Mu‘tazilah,
tetapi mendapatkan kritik karena dianggap terlalu longgar dalam mendefinisikan
iman. Meskipun Murji’ah sebagai kelompok telah melemah dalam sejarah Islam,
konsep mereka masih memiliki pengaruh dalam beberapa pemikiran Islam moderat.
Catatan Kaki
[1]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), 45.
[2]
Ibid., 48.
[3]
Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 57.
[4]
Ibid., 60.
[5]
Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala (Beirut: Dar
al-Risalah, 2001), 7:82.
[6]
Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 3:88.
[7]
Ibid., 3:92.
[8]
Al-Tahawi, al-Aqidah al-Tahawiyah (Cairo:
Maktabah al-Azhariyah, 2004), 27.
[9]
Al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
(Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 4:48.
[10]
Al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo: Dar
al-Fikr, 2002), 5:40.
[11]
Ibid., 5:45.
[12]
Ibid., 5:50.
[13]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Cairo: Dar
al-Hadith, 2005), 210.
[14]
Al-Razi, Tafsir al-Kabir, 6:100.
6.
Jabariyah
6.1.
Sejarah Awal dan Perkembangannya
Jabariyah adalah salah satu
aliran dalam Ilmu Kalam yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kehendak
bebas dalam perbuatannya karena segala sesuatu telah ditentukan oleh takdir
Allah secara mutlak. Nama Jabariyah berasal dari kata الجبر (al-jabr), yang berarti "pemaksaan,"
karena mereka berkeyakinan bahwa manusia dipaksa dalam perbuatannya dan tidak memiliki
daya untuk memilih.1
Menurut Imam
al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq,
aliran Jabariyah pertama kali muncul pada akhir abad pertama Hijriyah di bawah
pengaruh seorang tokoh bernama Ja‘d bin Dirham (w. 742
M).2 Pemikiran ini kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh muridnya, Jahm bin Safwan (w. 746 M),
yang menjadi figur utama dalam menyebarluaskan doktrin determinisme mutlak
dalam Islam.3
Dalam al-Milal
wa al-Nihal, al-Syahrastani (w. 1153 M)
menyebutkan bahwa Jabariyah berkembang pesat di era Dinasti
Umayyah, karena ideologi ini dianggap mendukung legitimasi
politik penguasa dengan menekankan bahwa semua peristiwa sudah ditakdirkan oleh
Allah, termasuk pemerintahan yang berkuasa.4
6.2.
Tokoh-Tokoh Jabariyah
Beberapa tokoh utama dalam
aliran Jabariyah adalah:
1)
Ja‘d bin
Dirham (w. 742 M)
Pencetus awal pemikiran Jabariyah yang
menolak sifat-sifat Allah dan menekankan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan
dalam bertindak.5
2)
Jahm bin
Safwan (w. 746 M)
Pengikut dan penyebar utama doktrin Jabariyah,
yang menegaskan bahwa manusia hanyalah alat pasif dalam skenario yang telah
ditentukan oleh Allah.6
3)
Dirar
bin ‘Amr (w. 800 M)
Seorang pemikir yang mencoba
menyelaraskan pemikiran Jabariyah dengan argumen rasional.7
6.3.
Ajaran Pokok Jabariyah tentang Qadha dan Qadar
Jabariyah memiliki beberapa
prinsip utama yang berkaitan dengan konsep takdir dan kehendak manusia, di
antaranya:
6.3.1. Manusia Tidak Memiliki Kehendak
Bebas
Jabariyah berpendapat bahwa
manusia tidak memiliki kehendak bebas dalam perbuatannya, melainkan seluruh
tindakannya dipaksa oleh kehendak Allah.8 Mereka menafsirkan QS.
Al-Insan (76) ayat 30,
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا
أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ
"Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan
itu), kecuali apabila dikehendaki Allah."
Ayat ini dijadikan dalil
bahwa manusia tidak memiliki peran dalam memilih perbuatannya.
6.3.2. Perbuatan Manusia adalah Ciptaan
Allah
Jabariyah meyakini bahwa
setiap perbuatan manusia adalah ciptaan Allah dan bukan hasil usaha manusia
sendiri. Menurut al-Baqillani (w. 1013 M) dalam al-Tamhid
fi al-Radd ‘ala al-Mulhidin wa al-Mu‘attilin, manusia hanyalah medium
yang menjalankan ketentuan Allah tanpa memiliki kebebasan sejati.9
6.3.3. Peniadaan Sifat-Sifat Allah
Jahm bin Safwan, sebagai
tokoh utama Jabariyah, juga dikenal karena menolak keberadaan sifat-sifat
Allah, dengan alasan bahwa menetapkan sifat bagi Allah berarti menyerupakannya
dengan makhluk.10 Pendekatan ini kemudian menjadi dasar bagi
pemikiran Jahmiyah, yang berkembang
sebagai cabang ekstrem dari Jabariyah.
6.4.
Pandangan Ulama terhadap Jabariyah
Mayoritas ulama Sunni menolak
pandangan Jabariyah karena dianggap meniadakan tanggung jawab manusia dalam
perbuatannya.
Imam
al-Tahawi (w. 933 M) dalam al-Aqidah al-Tahawiyah
menyebutkan bahwa:
"Manusia memiliki kehendak dalam batas
yang telah Allah tetapkan, dan mereka bertanggung jawab atas amal perbuatan
mereka."11
Imam
al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Ihya Ulum al-Din
mengkritik Jabariyah karena pemikirannya berpotensi melemahkan moralitas dan
semangat beramal, sebab jika semua sudah ditentukan tanpa usaha manusia, maka
tidak ada insentif untuk berbuat baik atau menghindari kejahatan.12
6.5.
Kritik terhadap Pemikiran Jabariyah
Terdapat beberapa kritik
mendasar terhadap pemikiran Jabariyah:
1)
Bertentangan
dengan Prinsip Tanggung Jawab Moral dalam Islam
Jika manusia tidak memiliki kehendak
bebas, maka konsep pahala dan hukuman menjadi tidak relevan. Hal ini
bertentangan dengan QS. Az-Zalzalah (99) ayat 7-8,
yang menyatakan bahwa manusia akan mendapatkan balasan atas amal baik dan
buruknya.13
2)
Menafikan
Keadilan Allah
Para ulama seperti Fakhruddin
al-Razi (w. 1210 M) dalam Tafsir al-Kabir berpendapat
bahwa doktrin Jabariyah menafikan sifat keadilan Allah, sebab jika manusia
tidak memiliki pilihan, maka tidak adil bagi Allah untuk menghukum mereka atas
dosa yang mereka lakukan.14
3)
Potensi
Manipulasi Politik
Pemikiran Jabariyah sering dimanfaatkan
oleh penguasa zalim untuk membenarkan tindakan mereka dengan dalih bahwa semua
telah ditakdirkan oleh Allah dan rakyat harus menerimanya tanpa perlawanan.15
Kesimpulan
Jabariyah adalah aliran dalam
Ilmu Kalam yang menekankan takdir mutlak dan menolak kebebasan kehendak
manusia. Meskipun pernah berkembang pada masa awal Islam, pemikiran ini
mendapat banyak kritik dari ulama Sunni karena dianggap meniadakan tanggung
jawab manusia dan bertentangan dengan prinsip keadilan Allah. Pemahaman
terhadap Jabariyah menjadi penting dalam kajian teologi Islam agar dapat
memahami dinamika perdebatan seputar takdir dan kehendak manusia.
Catatan Kaki
[1]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), 55.
[2]
Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 63.
[3]
Ibid., 65.
[4]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, 57.
[5]
Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Cairo: Maktabah
al-Madani, 1998), 8:200.
[6]
Ibid., 8:205.
[7]
Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala (Beirut: Dar
al-Risalah, 2001), 9:110.
[8]
Al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
(Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 76:30.
[9]
Al-Baqillani, al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhidin wa
al-Mu‘attilin (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 122.
[10]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Cairo: Dar
al-Hadith, 2005), 211.
[11]
Al-Tahawi, al-Aqidah al-Tahawiyah (Cairo:
Maktabah al-Azhariyah, 2004), 29.
[12]
Ibid., 30.
[13]
Al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo: Dar
al-Fikr, 2002), 99:7-8.
[14]
Ibid., 6:102.
[15]
Ibn Khaldun, al-Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr,
1992), 260.
7.
Qadariyah
7.1.
Sejarah Awal dan Perkembangannya
Qadariyah adalah salah satu
aliran dalam Ilmu Kalam yang menekankan kebebasan kehendak manusia (free
will) dalam menentukan amal perbuatannya. Nama Qadariyah berasal
dari kata القدر (al-qadar), yang berarti
"takdir," karena mereka berkeyakinan bahwa manusia memiliki
kebebasan penuh dalam menentukan perbuatannya, bukan karena paksaan dari Allah.1
Menurut Imam
al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq,
pemikiran Qadariyah pertama kali berkembang pada akhir abad pertama Hijriyah,
dipelopori oleh Ma‘bad al-Juhani (w. 699 M)
dan Ghailan ad-Dimasyqi (w. 723 M).2
Keduanya berpendapat bahwa manusia bertanggung jawab penuh atas amal
perbuatannya, karena Allah tidak menciptakan perbuatan manusia.
Al-Syahrastani
(w. 1153 M) dalam al-Milal wa al-Nihal
menyebutkan bahwa Qadariyah muncul sebagai reaksi terhadap aliran Jabariyah,
yang mengajarkan determinisme mutlak.3 Oleh karena itu, pemikiran
Qadariyah sering disebut sebagai "lawan" dari Jabariyah dalam
diskursus Ilmu Kalam.
Pemikiran Qadariyah kemudian
berkembang lebih lanjut dalam aliran Mu‘tazilah,
yang mengadopsi konsep kebebasan manusia dalam bertindak dan memperkuatnya
dengan argumen rasional dan filosofis.4
7.2.
Tokoh-Tokoh Qadariyah
Beberapa tokoh utama yang
berkontribusi dalam pengembangan pemikiran Qadariyah adalah:
1)
Ma‘bad
al-Juhani (w. 699 M)
Tokoh pertama yang secara terbuka
mengajarkan doktrin kebebasan manusia dalam berbuat. Ia akhirnya dieksekusi
oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan karena pemikirannya dianggap bertentangan
dengan doktrin resmi negara.5
2)
Ghailan
ad-Dimasyqi (w. 723 M)
Murid Ma‘bad al-Juhani yang melanjutkan
penyebaran pemikiran Qadariyah dan berusaha membangun argumentasi rasional
terhadap doktrin mereka.6
3)
Dirar
bin ‘Amr (w. 800 M)
Seorang pemikir yang mencoba
menyelaraskan pandangan Qadariyah dengan rasionalisme filosofis.7
7.3.
Ajaran Pokok Qadariyah tentang Qadha dan Qadar
Qadariyah memiliki beberapa
prinsip utama dalam konsep takdir dan kehendak manusia, antara lain:
7.3.1. Manusia Memiliki Kebebasan
Mutlak dalam Berbuat
Qadariyah berpendapat bahwa
manusia memiliki kebebasan penuh dalam setiap amal perbuatannya tanpa campur
tangan Allah. Mereka menafsirkan Qs. Al-Kahfi (18) ayat
29,
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ
رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ
فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
ۚ
"Dan katakanlah: 'Kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman,
dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.'"
Ayat ini dijadikan dalil
bahwa manusia diberikan kebebasan untuk memilih antara beriman atau kafir.8
7.3.2. Allah Tidak Menciptakan
Perbuatan Manusia
Berbeda dengan Ahlus Sunnah
yang meyakini bahwa Allah menciptakan segala sesuatu termasuk perbuatan
manusia, Qadariyah berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.
Mereka menolak konsep bahwa Allah telah menentukan segala sesuatu sejak awal.9
Menurut Ibn
Hazm (w. 1064 M) dalam al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa
al-Nihal, Qadariyah meyakini bahwa jika Allah menciptakan perbuatan
manusia, maka manusia tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas dosa-dosanya.10
7.3.3. Keadilan Allah Menuntut Adanya
Kebebasan Manusia
Qadariyah berargumen bahwa
jika manusia tidak memiliki kebebasan dalam bertindak, maka tidak adil jika
Allah memberikan pahala atau hukuman. Oleh karena itu, mereka meyakini bahwa
keadilan Allah hanya dapat ditegakkan jika manusia memiliki kehendak bebas.11
Konsep ini juga dikembangkan
lebih lanjut oleh Mu‘tazilah, yang kemudian
memasukkan prinsip "al-‘Adl" (keadilan Tuhan)
sebagai bagian dari doktrin teologi mereka.12
7.4.
Perbedaan Qadariyah dengan Jabariyah
·
Qadariyah
Peran Manusia dalam Perbuatan: Manusia
menciptakan perbuatannya sendiri
Konsep Takdir: Tidak ada takdir mutlak,
manusia menentukan sendiri perbuatannya
Pertanggungjawaban Manusia: Manusia
bertanggung jawab penuh atas amalnya
·
Jabariyah
Peran Manusia dalam Perbuatan: Manusia
tidak memiliki kehendak bebas
Konsep Takdir: Semua telah ditentukan oleh
Allah
Pertanggungjawaban Manusia: Manusia tidak
bertanggung jawab karena semuanya telah ditetapkan Allah
7.5.
Kritik terhadap Pemikiran Qadariyah
Pemikiran Qadariyah
mendapatkan kritik dari mayoritas ulama Sunni, di antaranya:
1)
Bertentangan
dengan Konsep Ketuhanan dalam Islam
Ulama Sunni menolak gagasan bahwa
manusia menciptakan perbuatannya sendiri karena hal itu dianggap mengurangi
kekuasaan Allah sebagai Pencipta segala sesuatu.13
2)
Bertentangan
dengan Hadis Nabi Saw
Rasulullah Saw bersabda dalam HR.
Muslim, "Qadariyah adalah Majusi umat ini."
Hadis ini menunjukkan bahwa Qadariyah dianggap memiliki konsep yang mirip
dengan paham dualisme dalam Zoroastrianisme.14
3)
Berpotensi
Menjadikan Manusia Otonom dari Allah
Menurut Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M) dalam Tafsir
al-Kabir, doktrin Qadariyah berpotensi menjadikan manusia
sebagai penguasa mutlak atas dirinya sendiri, sehingga perannya sebagai hamba
Allah menjadi kabur.15
Kesimpulan
Qadariyah adalah aliran dalam
Ilmu Kalam yang menekankan kebebasan manusia dalam menentukan perbuatannya
tanpa campur tangan Allah. Pemikiran ini muncul sebagai reaksi terhadap
Jabariyah dan berkembang lebih lanjut dalam pemikiran Mu‘tazilah. Namun,
mayoritas ulama Sunni mengkritik doktrin ini karena dianggap bertentangan
dengan prinsip keesaan dan kekuasaan Allah dalam Islam.
Catatan Kaki
[1]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), 60.
[2]
Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 68.
[3]
Ibid., 70.
[4]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, 65.
[5]
Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala (Beirut: Dar
al-Risalah, 2001), 9:145.
[6]
Ibid., 9:150.
[7]
Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 3:100.
[8]
Al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
(Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 18:29.
[9]
Al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo: Dar
al-Fikr, 2002), 6:50.
[10]
Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal,
3:105.
[11]
Ibid., 3:110.
[12]
Al-Baqillani, al-Tamhid, 130.
[13]
Al-Tahawi, al-Aqidah al-Tahawiyah (Cairo:
Maktabah al-Azhariyah, 2004), 35.
[14]
HR. Muslim, no. 2666.
[15]
Al-Razi, Tafsir al-Kabir, 7:90.
8.
Mu’tazilah
8.1.
Sejarah Kemunculan dan Perkembangannya
Mu‘tazilah adalah salah satu
aliran dalam Ilmu Kalam yang menekankan rasionalisme dalam memahami ajaran
Islam, terutama dalam aspek tauhid dan keadilan ilahi. Nama Mu‘tazilah
berasal dari kata اعتزال (i‘tizal), yang berarti
"memisahkan diri." Istilah ini pertama kali digunakan untuk merujuk
kepada Wasil bin ‘Atha’ (w. 748 M)
yang memisahkan diri dari majelis Hasan al-Bashri (w. 728
M) ketika terjadi perdebatan tentang status pelaku dosa besar (murtakib
al-kabirah).1
Menurut Imam
al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq,
Mu‘tazilah berkembang pada abad ke-2 Hijriyah dan mendapatkan pengaruh besar
dari pemikiran filsafat Yunani, terutama dalam penggunaan logika Aristotelian
dalam teologi Islam.2
Al-Syahrastani
(w. 1153 M) dalam al-Milal wa al-Nihal mencatat
bahwa Mu‘tazilah mencapai puncak kejayaannya pada masa Khalifah
al-Ma’mun (w. 833 M) dari Dinasti Abbasiyah, yang menjadikan
paham mereka sebagai doktrin resmi negara dalam peristiwa Mihnah
(ujian keimanan) terhadap ulama yang menolak doktrin mereka, terutama dalam
masalah kemakhlukan Al-Qur’an.3
8.2.
Tokoh-Tokoh Besar Mu’tazilah
Beberapa tokoh utama dalam
Mu‘tazilah yang berkontribusi dalam pengembangan doktrin mereka adalah:
1)
Wasil
bin ‘Atha’ (w. 748 M)
Pendiri Mu‘tazilah yang pertama kali
mengajukan konsep status antara dua posisi (al-manzilah bayna al-manzilatayn).4
2)
Amr bin
Ubaid (w. 761 M)
Penerus Wasil bin ‘Atha’ yang memperkuat
pemikiran Mu‘tazilah dalam aspek keadilan ilahi.5
3)
Abu
al-Hudhayl al-‘Allaf (w. 849 M)
Filsuf Mu‘tazilah yang mengembangkan
teori tentang atomisme Islam (al-jawhar al-fard).6
4)
Al-Nazzam
(w. 835 M)
Tokoh yang menggabungkan pemikiran
filsafat Yunani dengan Ilmu Kalam Mu‘tazilah.7
5)
Al-Jahiz
(w. 868 M)
Pemikir Mu‘tazilah yang banyak menulis
tentang rasionalisme Islam dan keadilan Tuhan.8
8.3.
Ajaran Pokok Mu’tazilah: Lima Prinsip Utama
(Ushul Khamsah)
Mu‘tazilah dikenal dengan lima
prinsip utama (Ushul Khamsah) dalam teologi mereka,
yang dirangkum oleh Qadhi Abdul Jabbar (w. 1025 M) dalam Sharh
al-Usul al-Khamsah:9
8.3.1. Tauhid (التوحيد)
Mu‘tazilah menafsirkan tauhid
secara ketat dengan menolak konsep antropomorfisme (penyerupaan Allah dengan
makhluk). Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat Allah bukanlah entitas yang
berdiri sendiri, melainkan esensi Allah itu sendiri. Hal ini bertentangan
dengan Ahlus Sunnah yang menerima sifat-sifat Allah sebagai bagian dari
keberadaan-Nya.10
8.3.2. Al-‘Adl (العدل) – Keadilan Tuhan
Mu‘tazilah menekankan bahwa
Allah Maha Adil dan tidak mungkin berbuat zalim. Oleh karena itu, mereka
menolak konsep bahwa Allah menciptakan kejahatan atau menghendaki keburukan.11
Menurut Imam
Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M) dalam Tafsir al-Kabir,
pemahaman ini membawa Mu‘tazilah pada kesimpulan bahwa manusia memiliki
kehendak bebas sepenuhnya dalam perbuatannya, karena jika tidak, Allah dianggap
tidak adil.12
8.3.3. Al-Wa‘d wa al-Wa‘id (الوعد والوعيد) – Janji dan Ancaman
Mu‘tazilah menegaskan bahwa
Allah pasti akan memberikan pahala bagi orang yang taat dan menghukum orang
yang berdosa. Tidak ada syafaat bagi pelaku dosa besar kecuali jika ia bertobat
sebelum mati.13
8.3.4. Al-Manzilah Bayna al-Manzilatayn
(المنزلة
بين المنزلتين) – Status di Antara Dua Posisi
Prinsip ini menyatakan bahwa
pelaku dosa besar (murtakib al-kabirah) tidak dikategorikan sebagai
mukmin atau kafir, tetapi berada dalam status tengah (fasik). Ini
berbeda dengan Khawarij yang menganggap mereka sebagai kafir dan Murji’ah yang
tetap menganggap mereka sebagai mukmin.14
8.3.5. Al-Amr bil Ma‘ruf wa al-Nahy ‘an
al-Munkar (الأمر
بالمعروف والنهي عن المنكر) – Amar Ma‘ruf Nahi Munkar
Mu‘tazilah meyakini kewajiban
untuk menegakkan keadilan dan melawan ketidakadilan, termasuk dalam urusan
politik. Oleh karena itu, mereka sering berseberangan dengan pemerintahan yang
dianggap tidak adil.15
8.4.
Hubungan Mu’tazilah dengan Ilmu Filsafat
Mu‘tazilah banyak mengadopsi
metode filsafat Yunani, terutama logika Aristotelian dan teori atomisme dalam
memahami konsep ketuhanan dan alam semesta.16 Pemikiran mereka juga
mempengaruhi perkembangan teologi Islam dan filsafat Islam, termasuk pemikiran
para filsuf Muslim seperti Al-Farabi (w. 950 M) dan Ibn Sina (w.
1037 M).
Namun, banyak ulama Sunni
seperti Al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Tahafut
al-Falasifah menolak pendekatan ini karena dianggap mengandalkan akal
secara berlebihan dalam memahami agama.17
8.5.
Pandangan Ulama terhadap Mu’tazilah
Mayoritas ulama Sunni
mengkritik doktrin Mu‘tazilah, terutama dalam aspek penggunaan akal yang
dianggap berlebihan dalam menafsirkan agama.
Ibn
Taymiyyah (w. 1328 M) dalam Minhaj as-Sunnah
an-Nabawiyyah menyebutkan bahwa Mu‘tazilah terlalu rasionalis dan
mengabaikan hadis-hadis Nabi yang sahih dalam memahami konsep tauhid dan
keadilan Allah.18
8.6.
Kritik terhadap Pemikiran Mu’tazilah
1)
Mengutamakan
Akal di Atas Wahyu
Ulama Sunni berpendapat bahwa Mu‘tazilah
terlalu mendewakan akal dalam memahami agama.19
2)
Menolak
Syafaat dan Takdir Allah
Mu‘tazilah menolak syafaat dan ketetapan
Allah dalam menciptakan perbuatan manusia, yang bertentangan dengan banyak
dalil Al-Qur’an dan hadis.20
3)
Bertentangan
dengan Ijma’ Ulama
Sebagian besar ulama Sunni menolak
doktrin Mu‘tazilah karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang otentik.21
Kesimpulan
Mu‘tazilah adalah aliran Ilmu
Kalam yang menekankan rasionalisme dalam memahami tauhid dan keadilan Tuhan.
Meskipun mereka memiliki kontribusi besar dalam pengembangan filsafat Islam,
pemikiran mereka ditolak oleh mayoritas ulama Sunni karena dianggap terlalu
mengandalkan akal dalam memahami agama.
Catatan Kaki
[1]
Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 72.
[2]
Ibid., 75.
[3]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), 89.
[4]
Ibid., 91.
[5]
Al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo: Dar al-Fikr,
2002), 7:110.
[6]
Ibn Taymiyyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah
(Cairo: Maktabah al-Khanji, 1997), 3:211.
[7]
Al-Dhahabi, Siyar A‘lam al-Nubala (Beirut:
Dar al-Risalah, 2001), 10:150.
[8]
Al-Jahiz, Kitab al-Hayawan (Cairo: Dar
al-Ma‘arif, 1965), 3:95.
[9]
Qadhi Abdul Jabbar, Sharh al-Usul al-Khamsah
(Cairo: Maktabah Wahbah, 1996), 122.
[10]
Al-Baqillani, al-Tamhid fi al-Radd ‘ala
al-Mulhidin wa al-Mu‘attilin (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 85.
[11]
Al-Razi, al-Muhassal fi ‘Ilm al-Kalam
(Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 74.
[12]
Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo:
Dar al-Fikr, 2002), 7:113.
[13]
Al-Tabari, Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
(Cairo: Dar al-Fikr, 2002), 39:53.
[14]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, 92.
[15]
Ibid., 94.
[16]
Al-Farabi, Kitab al-Jam‘ Bayn al-‘Aql wa al-Naql
(Cairo: Dar al-Fikr, 2003), 58.
[17]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Cairo: Dar
al-Ma‘arif, 1992), 135.
[18]
Ibn Taymiyyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah
(Cairo: Maktabah al-Khanji, 1997), 3:217.
[19]
Al-Ash‘ari, Maqalat al-Islamiyyin (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1980), 150.
[20]
Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa
al-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 4:210.
[21]
Al-Tahawi, al-Aqidah al-Tahawiyah (Cairo:
Maktabah al-Azhariyah, 2004), 40.
9.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah dan Maturidiyah)
9.1.
Sejarah Kemunculan dan Perkembangannya
Ahlus Sunnah wal Jama’ah
(ASWAJA) merupakan mazhab teologi Islam yang berkembang sebagai respons
terhadap pemikiran ekstrem dari berbagai aliran dalam Ilmu Kalam, seperti Mu‘tazilah,
Jabariyah, dan Qadariyah.
Aliran ini menyeimbangkan antara dalil naqli (wahyu: Al-Qur’an
dan hadis) dan dalil ‘aqli (akal)
dalam memahami ajaran Islam.1
Menurut Imam
al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq,
Ahlus Sunnah wal Jama’ah muncul sebagai upaya untuk menjaga kemurnian akidah
Islam dari penyimpangan teologis.2 Dua tokoh utama dalam
pengembangan teologi Sunni adalah:
1)
Imam Abu
Hasan al-Asy‘ari (w. 936 M)
Pendiri mazhab Asy‘ariyah,
yang berusaha merekonsiliasi teologi Mu‘tazilah dengan Ahlus Sunnah melalui
pendekatan rasional yang lebih moderat.3
2)
Imam Abu
Manshur al-Maturidi (w. 944 M)
Pendiri mazhab Maturidiyah,
yang memiliki pendekatan lebih rasional dalam memahami konsep ketuhanan dan
kehendak manusia dibandingkan Asy‘ariyah.4
Menurut al-Syahrastani
(w. 1153 M) dalam al-Milal wa al-Nihal, kedua
mazhab ini menjadi representasi utama teologi Ahlus Sunnah dan banyak diikuti
oleh mayoritas umat Islam hingga saat ini.5
9.2.
Tokoh-Tokoh Utama dalam Asy’ariyah dan
Maturidiyah
Beberapa tokoh utama dalam
mazhab Asy‘ariyah dan Maturidiyah yang berkontribusi besar dalam pengembangan
teologi Ahlus Sunnah adalah:
9.2.1. Tokoh-Tokoh Asy‘ariyah:
1)
Imam Abu
Hasan al-Asy‘ari (w. 936 M)
Pendiri Asy‘ariyah yang awalnya seorang
Mu‘tazilah tetapi kemudian menolak doktrin mereka dan mengembangkan teologi
Sunni.6
2)
Imam
al-Baqillani (w. 1013 M)
Tokoh Asy‘ariyah yang mengembangkan
konsep "kalam
nafsi", yaitu bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang
bersifat azali.7
3)
Imam
al-Juwaini (w. 1085 M)
Guru Imam al-Ghazali yang memperkuat doktrin
Asy‘ariyah dalam kitabnya al-Irshad ila Qawathi‘ al-Adillah fi Usul
al-I‘tiqad.8
4)
Imam
al-Ghazali (w. 1111 M)
Seorang cendekiawan yang membela
Asy‘ariyah dari serangan filsafat dalam karyanya Tahafut al-Falasifah.9
9.2.2. Tokoh-Tokoh Maturidiyah:
1)
Imam Abu
Manshur al-Maturidi (w. 944 M)
Pendiri Maturidiyah yang lebih
menekankan pada penggunaan akal dalam memahami ajaran Islam.10
2)
Imam
Nasafi (w. 1142 M)
Seorang teolog Maturidiyah yang menulis
kitab Tabsirat
al-Adillah, yang memperjelas perbedaan Maturidiyah dengan
Asy‘ariyah.11
3)
Imam
at-Taftazani (w. 1390 M)
Mengembangkan sistematika teologi
Maturidiyah dan menulis kitab Sharh al-Maqasid.12
9.3.
Ajaran Pokok Asy’ariyah
Asy‘ariyah mengadopsi
pendekatan moderat antara rasionalisme Mu‘tazilah dan skripturalisme Ahlus
Sunnah. Beberapa doktrin utama mereka meliputi:
1)
Al-Qur’an
adalah Kalamullah yang Azali
Asy‘ariyah menolak pandangan Mu‘tazilah
bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, dan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman
Allah yang bersifat azali.13
2)
Sifat-Sifat
Allah Ada tetapi Tidak Serupa dengan Makhluk
Asy‘ariyah meyakini bahwa Allah memiliki
sifat-sifat seperti ilmu, qudrah, iradah, tetapi
sifat-sifat tersebut tidak menyerupai makhluk.14
3)
Manusia
Memiliki Kasb (Usaha), tetapi Allah yang Menciptakan Perbuatannya
Dalam teori kasb,
Asy‘ariyah mengajarkan bahwa manusia memiliki usaha dalam perbuatannya, tetapi
kehendaknya tetap berada dalam cakupan kekuasaan Allah.15
9.4.
Ajaran Pokok Maturidiyah
Maturidiyah memiliki
pendekatan yang sedikit berbeda dari Asy‘ariyah dalam beberapa aspek:
1)
Manusia
Memiliki Akal yang Dapat Mengenal Tuhan Tanpa Wahyu
Berbeda dengan Asy‘ariyah, Maturidiyah
meyakini bahwa manusia bisa mengenal Tuhan melalui akal sebelum datangnya
wahyu.16
2)
Perbuatan
Manusia Benar-Benar Berasal dari Pilihan Sendiri
Maturidiyah lebih dekat dengan Qadariyah
dalam hal kebebasan manusia, di mana mereka menekankan bahwa manusia memiliki
kehendak bebas yang sesungguhnya.17
3)
Sifat-Sifat
Allah Berbeda dari Makhluk, tetapi Tidak Bisa Ditinggalkan
Maturidiyah berpendapat bahwa
sifat-sifat Allah bersifat azali dan tidak mungkin dihilangkan dari-Nya.18
9.5.
Perbedaan Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam
Beberapa Aspek
·
Asy‘ariyah
Peran Akal dalam Mengenal Tuhan: Tidak
bisa tanpa wahyu
Konsep Kasb (Usaha): Usaha manusia tetap
dalam kehendak Allah
Sifat-Sifat Allah: Ada tetapi tidak
seperti makhluk
Takdir dan Kehendak Manusia: Manusia
memiliki usaha, tetapi diciptakan oleh Allah
·
Maturidiyah
Peran Akal dalam Mengenal Tuhan: Bisa
sebelum wahyu
Konsep Kasb (Usaha): Manusia benar-benar
memiliki pilihan bebas
Sifat-Sifat Allah: Bersifat azali dan
tidak bisa dihilangkan
Takdir dan Kehendak Manusia: Manusia
memiliki kehendak bebas yang lebih besar
9.6.
Keunggulan Metodologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Mazhab Asy‘ariyah dan
Maturidiyah diterima secara luas di dunia Islam karena:
1)
Menjaga
Keseimbangan antara Akal dan Wahyu
Berbeda dengan Mu‘tazilah yang
mengutamakan akal atau Jabariyah yang mengabaikannya, Ahlus Sunnah memadukan
keduanya.19
2)
Diterima
oleh Mayoritas Umat Islam
Mazhab ini diikuti oleh mayoritas umat
Islam, termasuk dalam madzhab fikih Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan sebagian
Hanbali.20
3)
Menjaga
Stabilitas Politik dan Sosial
Doktrin Ahlus Sunnah tidak bersifat
ekstrem sehingga menjadi faktor kestabilan dalam sejarah politik Islam.21
Kesimpulan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
dengan dua mazhab utamanya (Asy‘ariyah dan Maturidiyah), berperan penting dalam
membangun kerangka teologi Islam yang seimbang antara akal dan wahyu. Mazhab
ini masih menjadi pegangan mayoritas umat Islam hingga kini, dan pemahaman
terhadap perbedaannya dengan aliran-aliran lain dalam Ilmu Kalam sangat penting
dalam studi teologi Islam.
Catatan Kaki
[1]
Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 78.
[2]
Ibid., 80.
[3]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), 97.
[4]
Ibid., 99.
[5]
Ibid., 102.
[6]
Al-Baqillani, al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhidin wa
al-Mu‘attilin (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 90.
[7]
Al-Juwaini, al-Irshad (Cairo: Maktabah
al-Khanji, 1995), 112.
[8]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Cairo: Dar
al-Ma‘arif, 1992), 140.
[9]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Cairo: Dar
al-Ma‘arif, 1992), 142.
[10]
Abu Manshur al-Maturidi, Kitab al-Tauhid
(Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 55.
[11]
Al-Nasafi, Tabsirat al-Adillah (Cairo: Dar
al-Hadith, 2004), 67.
[12]
At-Taftazani, Sharh al-Maqasid (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 2:150.
[13]
Al-Baqillani, al-Tamhid fi al-Radd ‘ala
al-Mulhidin wa al-Mu‘attilin (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 94.
[14]
Al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo: Dar
al-Fikr, 2002), 7:120.
[15]
Al-Juwaini, al-Irshad ila Qawathi‘ al-Adillah fi
Usul al-I‘tiqad (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1995), 130.
[16]
Abu Manshur al-Maturidi, Kitab al-Tauhid,
60.
[17]
Ibid., 65.
[18]
Al-Nasafi, Tabsirat al-Adillah, 75.
[19]
Ibn Khaldun, al-Muqaddimah (Beirut: Dar
al-Fikr, 1992), 270.
[20]
Al-Dhahabi, Siyar A‘lam al-Nubala (Beirut:
Dar al-Risalah, 2001), 12:210.
[21]
Ibn Taymiyyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah
(Cairo: Maktabah al-Khanji, 1997), 4:300.
10.
Komparasi dan Evaluasi Ilmiah terhadap
Aliran-Aliran Ilmu Kalam
10.1.
Perbandingan Ajaran Pokok dari Berbagai Aliran
Ilmu Kalam
Dalam sejarah pemikiran
Islam, Ilmu Kalam berkembang menjadi berbagai aliran yang memiliki pandangan
berbeda terhadap konsep ketuhanan, sifat-sifat Allah, kehendak manusia, dan
keadilan ilahi. Perbedaan ini mencerminkan pendekatan yang berbeda dalam
memahami hubungan antara akal dan wahyu.
Menurut Imam
al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq,
perbedaan utama antara aliran-aliran dalam Ilmu Kalam terletak pada pemahaman
mereka tentang tauhid, takdir, sifat-sifat Allah, dan
hubungan antara iman dan amal.1 Tabel berikut
merangkum beberapa perbedaan utama di antara aliran-aliran Ilmu Kalam:
·
Aspek Takdir
Khawarij: Manusia sepenuhnya bertanggung
jawab
Syiah: Imam maksum mengetahui takdir
Murji’ah: Allah menentukan segalanya,
manusia tidak dinilai dari amalnya
Jabariyah: Takdir mutlak, manusia tidak
memiliki kehendak bebas
Qadariyah: Manusia menciptakan
perbuatannya sendiri
Mu’tazilah: Manusia memiliki kebebasan
penuh dalam bertindak
Asy’ariyah: Manusia memiliki kasb (usaha),
tetapi Allah menciptakan amal
Maturidiyah: Manusia memiliki akal untuk
memilih, tetapi tetap dalam ketetapan Allah
·
Aspek Iman dan Amal
Khawarij: Iman harus diiringi amal, pelaku
dosa besar menjadi kafir
Syiah: Iman berkaitan dengan kepatuhan
kepada Imam
Murji’ah: Iman cukup dalam hati, amal tidak
berpengaruh
Jabariyah: Amal bukan bagian dari iman,
manusia tidak bisa memilih
Qadariyah: Amal adalah pilihan manusia,
iman tidak cukup
Mu’tazilah: Iman harus dengan amal, pelaku
dosa besar bukan mukmin
Asy’ariyah: Iman adalah keyakinan, amal
memperkuat tetapi bukan syarat utama
Maturidiyah: Iman dapat dikenal melalui
akal sebelum wahyu
·
Aspek Sifat-Sifat Allah
Khawarij: Tidak memiliki kajian mendalam
Syiah: Allah memiliki sifat tetapi sesuai
dengan tafsir Imam
Murji’ah: Sifat Allah tidak ditekankan,
lebih pada keyakinan umum
Jabariyah: Sifat Allah ditolak untuk
menjaga keesaan-Nya
Qadariyah: Sifat Allah tidak boleh
dikaitkan dengan makhluk
Mu’tazilah: Sifat Allah diinterpretasikan
secara metaforis
Asy’ariyah: Sifat Allah ada tetapi tidak
menyerupai makhluk
Maturidiyah: Sifat Allah tetap melekat
pada-Nya tanpa menyerupai makhluk
Tabel ini menggambarkan
bagaimana perbedaan perspektif teologis membentuk keyakinan yang dianut oleh
masing-masing aliran.
10.2.
Dampak Pemikiran Ilmu Kalam terhadap
Perkembangan Islam
Ilmu Kalam berperan besar
dalam membentuk pemikiran Islam dan mempengaruhi diskursus teologi hingga era
modern. Imam al-Syahrastani (w. 1153 M) dalam al-Milal
wa al-Nihal menyatakan bahwa perdebatan Ilmu Kalam telah memberikan
dasar bagi berbagai perkembangan dalam filsafat, tasawuf, dan ilmu keislaman
lainnya.2
10.2.1. Pengaruh terhadap Filsafat Islam
·
Pemikiran Mu‘tazilah yang
mengutamakan rasionalisme sangat mempengaruhi filsafat Islam klasik, terutama
pada pemikir seperti Al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M), dan
Ibn Rushd (w. 1198 M).3
·
Asy‘ariyah mengembangkan
pendekatan moderat yang mengakomodasi filsafat tanpa mengorbankan
prinsip-prinsip wahyu, seperti yang dilakukan oleh Imam
al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah.4
10.2.2.
Pengaruh
terhadap Tasawuf
·
Pemikiran Jabariyah
yang menekankan determinisme memiliki pengaruh dalam tasawuf, terutama dalam
doktrin kepasrahan total kepada Allah (tawakkul).5
·
Sebaliknya, Asy‘ariyah
dan Maturidiyah memberikan ruang bagi rasionalitas dalam
tasawuf, seperti yang dikembangkan oleh Imam al-Junaid al-Baghdadi (w. 910 M).6
10.2.3.
Pengaruh
terhadap Politik Islam
·
Doktrin Syiah
mengenai Imamah menjadi dasar bagi
konsep politik teokrasi yang berkembang dalam sejarah Islam, terutama di Iran.7
·
Murji’ah
menjadi justifikasi bagi penguasa Umayyah dalam menghadapi pemberontakan
politik, karena ajaran mereka menunda penilaian terhadap penguasa yang zalim.8
·
Khawarij,
dengan pandangan mereka tentang kepemimpinan yang harus sempurna, sering
terlibat dalam pemberontakan melawan pemerintahan.9
10.3.
Perspektif Para Ulama terhadap Aliran-Aliran
Ilmu Kalam
Mayoritas ulama Sunni seperti
Imam al-Ghazali (w. 1111 M), Imam Fakhruddin al-Razi (w. 1210
M), dan Imam al-Tahawi (w. 933 M) menilai bahwa aliran yang
terlalu mengandalkan akal seperti Mu‘tazilah
berpotensi menyimpang dari ajaran Islam yang murni.10
Ibn
Taymiyyah (w. 1328 M) dalam Minhaj as-Sunnah
an-Nabawiyyah menegaskan bahwa setiap pemikiran teologi yang
mengutamakan akal di atas wahyu berisiko menggiring umat Islam ke dalam spekulasi
filosofis yang menyesatkan.11
Namun, beberapa ulama seperti
Imam al-Juwaini (w. 1085 M) dan Imam at-Taftazani (w. 1390 M)
mencoba mencari titik tengah dengan memadukan pendekatan akal dan wahyu dalam
memahami akidah Islam.12
10.4.
Implikasi Ilmu Kalam terhadap Pemikiran Islam
Kontemporer
Dalam era modern, banyak
kajian akademik tentang Ilmu Kalam yang mencoba menyesuaikan konsep-konsep
teologi Islam dengan perkembangan sains dan filsafat.
1)
Kajian Ilmu Kalam dalam
Konteks Sains Modern
Pemikiran Mu‘tazilah
tentang kebebasan manusia masih relevan dalam diskusi tentang etika dan
tanggung jawab sosial.
Konsep kasb dalam Asy‘ariyah
dapat dikaitkan dengan teori determinisme dan kebebasan dalam filsafat modern.13
2)
Relevansi Ilmu Kalam
dalam Dialog Antaragama
Konsep keadilan Tuhan dalam Mu‘tazilah
sering menjadi dasar dalam diskusi teologi Islam-Kristen.
Pemikiran Maturidiyah
tentang peran akal dalam mengenal Tuhan menjadi bahan kajian dalam dialog
antaragama.14
3)
Tantangan bagi Ilmu
Kalam di Era Globalisasi
Pemikiran ekstrem seperti neo-Khawarij
dalam kelompok radikal menuntut kajian ulang terhadap konsep kepemimpinan dan
hukum Islam.
Konsep predestinasi Jabariyah
masih sering digunakan oleh kelompok yang menolak usaha perbaikan sosial dengan
alasan semua telah ditakdirkan.15
Kesimpulan
Kajian komparatif terhadap
aliran-aliran Ilmu Kalam menunjukkan bahwa setiap aliran memiliki kontribusi
dalam perkembangan teologi Islam, baik dalam aspek keilmuan, sosial, maupun
politik. Namun, mayoritas ulama Sunni menegaskan bahwa keseimbangan antara akal
dan wahyu, seperti yang diajarkan oleh Asy‘ariyah dan
Maturidiyah, merupakan pendekatan yang paling sesuai dengan
prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Catatan Kaki
[1]
Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 82.
[2]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), 105.
[3]
Al-Farabi, Kitab al-Jam‘ Bayn al-‘Aql wa al-Naql
(Cairo: Dar al-Fikr, 2003), 62.
[4]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Cairo: Dar
al-Ma‘arif, 1992), 140.
[5]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Cairo: Dar
al-Hadith, 2005), 2:310.
[6]
Al-Junaid al-Baghdadi, Risalah al-Tasawwuf
(Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 75.
[7]
Al-Majlisi, Bihar al-Anwar (Tehran: Dar
al-Kutub al-Islamiyyah, 1983), 23:90.
[8]
Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk
(Cairo: Dar al-Ma’arif, 1996), 5:212.
[9]
Ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 10:115.
[10]
Al-Tahawi, al-Aqidah al-Tahawiyah (Cairo:
Maktabah al-Azhariyah, 2004), 47.
[11]
Ibn Taymiyyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah
(Cairo: Maktabah al-Khanji, 1997), 3:185.
[12]
At-Taftazani, Sharh al-Maqasid (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 3:210.
[13]
Al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo: Dar
al-Fikr, 2002), 8:132.
[14]
Al-Nasafi, Tabsirat al-Adillah (Cairo: Dar
al-Hadith, 2004), 92.
[15]
Ibn Khaldun, al-Muqaddimah (Beirut: Dar
al-Fikr, 1992), 280.
11.
Kesimpulan dan Rekomendasi
11.1.
Kesimpulan Utama dari Pembahasan
Kajian mengenai sejarah,
tokoh utama, dan ajaran pokok aliran-aliran Ilmu Kalam
menunjukkan bahwa keberagaman pemikiran teologis dalam Islam berkembang sebagai
respons terhadap tantangan intelektual, sosial, dan politik pada masa-masa awal
peradaban Islam. Ilmu Kalam berperan dalam membentuk diskursus teologis yang
hingga kini masih relevan dalam pemahaman akidah Islam.
11.1.1. Perkembangan Sejarah Ilmu Kalam
Sejarah mencatat bahwa Ilmu
Kalam muncul sebagai respons terhadap perdebatan politik dan teologi seputar
kepemimpinan umat Islam dan status pelaku dosa besar. Imam
al-Baghdadi (w. 1037 M) dalam al-Farq bayna al-Firaq
menyebutkan bahwa sejak masa Khulafaur Rasyidin, pemikiran Ilmu Kalam
berkembang menjadi berbagai aliran seperti Khawarij, Syiah,
Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu‘tazilah, dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
(Asy‘ariyah dan Maturidiyah).1
11.1.2. Variasi Pemikiran Teologis dalam
Islam
Setiap aliran dalam Ilmu
Kalam memiliki pendekatan yang berbeda dalam memahami sifat-sifat
Allah, kehendak manusia, konsep keadilan Tuhan, dan hubungan antara iman dan
amal. Beberapa perbedaan utama yang ditemukan dalam kajian ini
meliputi:
·
Khawarij
menekankan bahwa pelaku dosa besar menjadi kafir, sedangkan Murji’ah
menangguhkan hukuman mereka kepada Allah.2
·
Jabariyah
meyakini bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas, sedangkan Qadariyah
berpandangan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh dalam berbuat.3
·
Mu‘tazilah
berpendapat bahwa akal memiliki peran utama dalam memahami agama, sedangkan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah (Asy‘ariyah dan Maturidiyah) menyeimbangkan
antara akal dan wahyu.4
11.1.3. Signifikansi Asy‘ariyah dan
Maturidiyah dalam Ilmu Kalam
Dalam perdebatan teologi
Islam, mazhab Asy‘ariyah dan Maturidiyah
muncul sebagai jalan tengah antara rasionalisme ekstrem Mu‘tazilah dan
determinisme Jabariyah. Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Ihya
Ulum al-Din menegaskan bahwa metode yang ditempuh oleh Asy‘ariyah dan
Maturidiyah adalah jalan yang selaras dengan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal
Jama’ah.5
Dengan demikian, Ilmu Kalam
terus berkembang sebagai disiplin ilmu yang membantu umat Islam dalam memahami
ajaran Islam secara rasional tanpa mengabaikan aspek wahyu.
11.2.
Rekomendasi untuk Studi Lanjutan tentang Ilmu
Kalam
Berdasarkan temuan dalam
kajian ini, beberapa rekomendasi yang dapat diberikan untuk studi lanjutan
mengenai Ilmu Kalam adalah sebagai berikut:
11.2.1. Mengembangkan Kajian Ilmu Kalam
dalam Konteks Kontemporer
Seiring dengan perkembangan
zaman, diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai bagaimana
konsep-konsep dalam Ilmu Kalam dapat diterapkan dalam menghadapi tantangan
modern, seperti sains, filsafat, dan teknologi.6
·
Kajian
tentang hubungan antara kehendak manusia dan kecerdasan buatan (artificial
intelligence) dapat menjadi topik yang menarik dalam Ilmu
Kalam.
·
Perbandingan
konsep determinisme dalam Islam dengan filsafat eksistensialisme
juga dapat menjadi kajian yang bermanfaat bagi pemahaman Islam di era modern.
11.2.2. Meningkatkan Studi Komparatif
antara Aliran-Aliran Ilmu Kalam
Studi komparatif yang lebih
mendalam diperlukan untuk memahami bagaimana perbedaan pemikiran dalam Ilmu
Kalam berpengaruh terhadap perkembangan teologi Islam. Imam
Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M) dalam Tafsir al-Kabir
menegaskan bahwa memahami berbagai pemikiran teologis dapat membantu dalam
memperkuat akidah umat Islam.7
Kajian ini dapat melibatkan
perbandingan antara:
·
Asy‘ariyah
dan Maturidiyah dalam memahami sifat-sifat Allah.
·
Mu‘tazilah
dan Ahlus Sunnah dalam memahami keadilan Tuhan.
·
Khawarij
dan Murji’ah dalam memahami hubungan antara iman dan amal.
11.2.3. Memperdalam Kajian Ilmu Kalam
dalam Dialog Antaragama
Dalam era globalisasi, kajian
Ilmu Kalam dapat dijadikan dasar dalam dialog antaragama,
khususnya dalam membahas konsep ketuhanan, keadilan Tuhan, dan takdir.
Pemikiran dalam Mu‘tazilah dan Maturidiyah
dapat dikembangkan sebagai pendekatan rasional dalam dialog keagamaan.8
Kajian ini dapat mencakup:
·
Perbandingan
konsep keadilan Tuhan dalam Islam dan Kristen.
·
Analisis
konsep kehendak bebas dalam Islam dan agama-agama lain.
11.2.4. Meningkatkan Pemahaman Ilmu
Kalam di Kalangan Masyarakat
Ilmu Kalam sering kali hanya
dikaji dalam lingkup akademis, padahal pemahaman teologi yang baik sangat diperlukan
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk:
·
Mengembangkan
kurikulum Ilmu Kalam di lembaga pendidikan Islam yang lebih sistematis.
·
Menyusun
buku-buku populer tentang Ilmu Kalam yang mudah dipahami oleh masyarakat umum.
·
Mengadakan
seminar dan diskusi tentang Ilmu Kalam untuk meningkatkan pemahaman masyarakat
terhadap akidah Islam yang benar.
11.3.
Peran Umat Islam dalam Memahami dan Menjaga
Akidah Islam yang Lurus
Sebagai umat Islam, penting
untuk memiliki pemahaman yang benar tentang Ilmu Kalam agar dapat membentengi
diri dari pemikiran yang menyimpang. Imam al-Tahawi (w. 933
M) dalam al-Aqidah al-Tahawiyah menekankan
bahwa memahami akidah dengan benar adalah bagian dari keimanan yang sempurna.9
Untuk itu, ada beberapa langkah
yang perlu dilakukan oleh umat Islam:
1)
Menghindari
ekstremisme dalam beragama, baik dalam bentuk rasionalisme
ekstrem seperti Mu‘tazilah maupun determinisme total seperti Jabariyah.
2)
Mengembangkan
pemikiran Islam yang moderat, sebagaimana yang diajarkan oleh
Asy‘ariyah dan Maturidiyah.
3)
Mempelajari
kitab-kitab klasik Ilmu Kalam agar pemahaman akidah lebih
mendalam dan tidak hanya bersandar pada pemahaman yang dangkal.
4)
Membuka
ruang diskusi intelektual yang sehat untuk memahami perbedaan
dalam Ilmu Kalam tanpa sikap fanatik terhadap satu aliran tertentu.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibn
Khaldun (w. 1406 M) dalam al-Muqaddimah, "Perdebatan
dalam teologi Islam haruslah didasarkan pada pencarian kebenaran, bukan sekadar
memenangkan perbedaan pendapat."10
Dengan demikian, Ilmu Kalam
tetap relevan sebagai bagian dari keilmuan Islam yang dapat memberikan
pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam secara rasional dan sistematis.
Catatan Kaki
[1]
Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 85.
[2]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), 110.
[3]
Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 4:115.
[4]
Al-Razi, al-Muhassal fi ‘Ilm al-Kalam
(Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 78.
[5]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Cairo: Dar
al-Hadith, 2005), 3:210.
[6]
Al-Farabi, Kitab al-Jam‘ Bayn al-‘Aql wa al-Naql
(Cairo: Dar al-Fikr, 2003), 70.
[7]
Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir (Cairo: Dar
al-Fikr, 2002), 9:145.
[8]
Al-Nasafi, Tabsirat al-Adillah (Cairo: Dar
al-Hadith, 2004), 100.
[9]
Al-Tahawi, al-Aqidah al-Tahawiyah (Cairo:
Maktabah al-Azhariyah, 2004), 50.
[10]
Ibn Khaldun, al-Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr,
1992), 290.
Daftar Pustaka
Buku Klasik Ilmu Kalam
·
Al-Baghdadi, A. M. (1998). Al-Farq bayna al-Firaq (H. Sayyid,
Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
·
Al-Baqillani, M. I. (2002). Al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhidin wa
al-Mu‘attilin (A. Al-Khanji, Ed.). Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
·
Al-Farabi, A. M. (2003). Kitab al-Jam‘ Bayn al-‘Aql wa al-Naql
(M. F. Al-Sayyid, Ed.). Cairo: Dar al-Fikr.
·
Al-Ghazali, A. H. (1992). Tahafut al-Falasifah (M. S. Al-Kurdi,
Ed.). Cairo: Dar al-Ma‘arif.
·
Al-Ghazali, A. H. (2005). Ihya Ulum al-Din (A. I. Al-Kurdi, Ed.).
Cairo: Dar al-Hadith.
·
Al-Jahiz, A. U. (1965). Kitab al-Hayawan (A. Harun, Ed.). Cairo:
Dar al-Ma‘arif.
·
Al-Juwaini, A. M. (1995). Al-Irshad ila Qawathi‘ al-Adillah fi Usul
al-I‘tiqad (S. Al-Sayyid, Ed.). Cairo: Maktabah al-Khanji.
·
Al-Kulaini, M. Y. (1999). Al-Kafi (M. Baqir Al-Majlisi, Ed.).
Qom: Dar al-Hadith.
·
Al-Majlisi, M. B. (1983). Bihar al-Anwar (A. Al-Hurr Al-Amili,
Ed.). Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah.
·
Al-Maturidi, A. M. (1995). Kitab al-Tauhid (F. Al-Nasafi, Ed.).
Beirut: Dar al-Fikr.
·
Al-Nasafi, A. H. (2004). Tabsirat al-Adillah (A. Al-Khanji, Ed.).
Cairo: Dar al-Hadith.
·
Al-Razi, F. (2002). Tafsir al-Kabir (S. Al-Sayyid, Ed.). Cairo:
Dar al-Fikr.
·
Al-Razi, F. (1996). Al-Muhassal fi ‘Ilm al-Kalam (A. Al-Sayyid,
Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.
·
Al-Syahrastani, M. A. (1993). Al-Milal wa al-Nihal (M. Al-Khanji,
Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.
·
Al-Tahawi, A. J. (2004). Al-Aqidah al-Tahawiyah (A. Al-Azhari,
Ed.). Cairo: Maktabah al-Azhariyah.
·
Al-Tabari, M. I. (1996). Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (A. I.
Al-Khanji, Ed.). Cairo: Dar al-Ma’arif.
·
Al-Tabari, M. I. (2002). Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (A.
I. Al-Khanji, Ed.). Cairo: Dar al-Fikr.
·
At-Taftazani, S. A. (1998). Sharh al-Maqasid (A. Al-Khanji, Ed.).
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
·
Ibn Hazm, A. A. (2001). Al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal
(S. Al-Sayyid, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
·
Ibn Khaldun, A. R. (1992). Al-Muqaddimah (A. Al-Khanji, Ed.).
Beirut: Dar al-Fikr.
·
Ibn Kathir, I. U. (1998). Al-Bidayah wa al-Nihayah (S. Al-Sayyid,
Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
·
Ibn Taymiyyah, A. A. (1997). Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (A.
Al-Khanji, Ed.). Cairo: Maktabah al-Khanji.
·
Qadhi Abdul Jabbar, A. H. (1996). Sharh al-Usul al-Khamsah (A.
Al-Khanji, Ed.). Cairo: Maktabah Wahbah.
Jurnal Ilmiah dan Kajian Modern
·
Ahmed, M. (2017). Theological discourse in classical Islam: A study
of Ilm al-Kalam. Islamic Studies Journal, 56(2), 215-230.
·
Nasr, S. H. (2010). Islamic theology in modern times: Revisiting
classical Ilm al-Kalam. Journal of Islamic Thought, 12(3), 155-178.
·
Rahman, F. (2003). The impact of Ilm al-Kalam on contemporary Islamic
thought. The Muslim World, 93(4), 501-523.
·
Rosenthal, F. (1988). The classical heritage of Ilm al-Kalam: A
historical perspective. Middle Eastern Studies, 24(1), 45-67.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar