Sejarah Perkembangan Hadits
Kajian Komprehensif
Berdasarkan Ulumul Hadits, Penjelasan Ulama, dan Kitab Hadits Induk
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 10 (Sepuluh)
Abstrak
Hadits merupakan sumber utama ajaran Islam setelah
Al-Qur'an yang memiliki peran penting dalam pembentukan hukum Islam, akhlak,
serta tata kehidupan Muslim. Artikel ini membahas sejarah perkembangan hadits
secara komprehensif, mulai dari masa Nabi Muhammad Saw hingga era kodifikasi
dan lahirnya ilmu Musthalah Hadits. Pada masa Nabi, hadits disampaikan secara
lisan dan dihafal oleh para sahabat, kemudian berkembang menjadi bentuk
tertulis pada masa Khulafaurasyidin dan Tabi’in. Kodifikasi hadits secara
sistematis terjadi pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah dengan disusunnya
kitab-kitab hadits induk seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Seiring dengan itu, ilmu Musthalah Hadits lahir sebagai metodologi ilmiah untuk
menilai keabsahan hadits melalui kritik sanad dan matan.
Artikel ini juga membahas tantangan dalam
perkembangan hadits, termasuk munculnya hadits palsu, perbedaan pendekatan
antara ahli hadits dan ahli fiqh, serta kritik terhadap hadits di era modern,
terutama dari kalangan orientalis. Meskipun demikian, berbagai upaya telah
dilakukan oleh para ulama untuk menjaga kemurnian hadits dengan menerapkan
metode verifikasi yang ketat. Studi ini menegaskan pentingnya pemahaman yang
mendalam terhadap ilmu hadits dalam menghadapi tantangan kontemporer serta
perlunya pemanfaatan teknologi dalam kajian hadits. Dengan demikian, umat Islam
diharapkan dapat memahami dan mengamalkan hadits secara benar serta mampu
membedakan antara hadits yang shahih dan yang tidak valid.
Kata Kunci: Hadits,
Ulumul Hadits, Musthalah Hadits, Kodifikasi Hadits, Kritik Sanad, Kritik Matan,
Hadits Palsu, Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Orientalisme.
PEMBAHASAN
Sejarah Perkembangan Hadits
1.
Pendahuluan
1.1. Pengertian Hadits
Hadits merupakan
salah satu elemen penting dalam ajaran Islam. Secara etimologis, kata hadits
berasal dari bahasa Arab yang berarti “ucapan,” “perkataan baru,”
atau “kabar.” Sementara itu, secara terminologi, hadits didefinisikan
sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa
perkataan, perbuatan, persetujuan (taqrir), maupun sifat-sifat beliau. Hadits
menjadi sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an, yang berfungsi untuk
menjelaskan, menafsirkan, dan melengkapi ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an.¹
Dalam konteks hukum
Islam, hadits memainkan peran sebagai pedoman dalam berbagai aspek kehidupan
umat Muslim. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’i dalam Ar-Risalah,
“Setiap hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah berdasarkan wahyu adalah
bagian dari ketaatan kepada Allah.”² Dengan demikian, keaslian dan
pemahaman terhadap hadits menjadi krusial dalam praktik keislaman.
1.2.
Urgensi Pembahasan Perkembangan Hadits
Sejarah perkembangan
hadits tidak hanya menunjukkan bagaimana hadits itu diriwayatkan dan
dikodifikasi, tetapi juga mencerminkan dinamika keilmuan umat Islam. Pada masa
Rasulullah Saw, hadits disampaikan
secara lisan dan dihafal oleh para sahabat. Setelah wafatnya Nabi, kebutuhan
untuk menjaga keotentikan hadits semakin mendesak, terutama karena penyebaran
Islam ke berbagai wilayah menyebabkan risiko distorsi dan penyimpangan. Hal ini
melahirkan usaha-usaha serius dalam periwayatan, kritik sanad, dan kodifikasi
hadits.³
Mempelajari sejarah
perkembangan hadits memberikan wawasan tentang pentingnya metodologi ilmiah
dalam menjaga keaslian ajaran Islam. Selain itu, kajian ini juga membuka
pemahaman tentang hubungan hadits dengan disiplin ilmu lainnya, seperti fikih,
tafsir, dan sejarah Islam. Imam Nawawi menekankan bahwa memahami ilmu hadits
adalah fondasi untuk memahami agama secara keseluruhan, karena dari hadits-lah
umat Islam mengetahui penjelasan rinci tentang syariat.⁴
Sebagai salah satu
pilar utama dalam keilmuan Islam, studi tentang sejarah perkembangan hadits
tidak hanya memberikan landasan akademis yang kokoh tetapi juga memperkuat keyakinan
umat Muslim terhadap otoritas ajaran agama yang diwariskan melalui Nabi
Muhammad Saw.
Catatan Kaki
[1]
A. J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical
Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1932), 52.
[2]
Muhammad ibn Idris al-Shafi’i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad
Shakir (Cairo: Dar al-Turath, 1979), 34.
[3]
Mustafa al-A’zami, Studies in Early Hadith Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1978), 87.
[4]
Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1994), 12.
2.
Perkembangan Hadits pada
Masa Nabi Muhammad Saw
2.1.
Penyampaian Hadits oleh Rasulullah Saw
Sejak diangkat
sebagai Rasul, Nabi Muhammad Saw tidak hanya menyampaikan wahyu Al-Qur’an
tetapi juga memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat yang diturunkan. Hadits,
sebagai bentuk ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi, menjadi bagian integral
dalam memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam. Nabi sendiri sering kali
memberikan bimbingan kepada para sahabat dalam berbagai aspek kehidupan, baik
yang berkaitan dengan ibadah, hukum, maupun adab sosial.¹
Metode penyampaian
hadits di era Rasulullah sebagian besar bersifat oral (talaqqi
wa sama’), di mana para sahabat mendengar langsung dari Nabi dan
menghafalkannya.² Beberapa di antara mereka juga mencatat hadits dalam bentuk
tulisan, meskipun pada masa awal terdapat larangan untuk menuliskan selain
Al-Qur’an.³ Namun, dalam beberapa kesempatan, Nabi memperbolehkan penulisan
hadits, sebagaimana tercermin dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
“Salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, ‘Bolehkah kami menulis
hadits darimu?’ Rasulullah menjawab, ‘Tulislah, karena aku tidak mengatakan
sesuatu kecuali yang benar’.”⁴ Hal ini menunjukkan bahwa ada sahabat
tertentu yang diizinkan menulis hadits sebagai catatan pribadi.
2.2.
Larangan Penulisan Hadits di Masa Awal Islam
Pada masa awal
Islam, Nabi Muhammad Saw mengeluarkan larangan untuk menulis hadits di samping
Al-Qur’an. Salah satu hadits yang sering dikutip dalam hal ini adalah riwayat
dari Abu Sa’id al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah
kalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an. Barang siapa yang telah menulis
sesuatu selain Al-Qur’an, hendaknya ia menghapusnya.”⁵ Larangan ini
dimaksudkan agar Al-Qur’an tidak bercampur dengan perkataan Rasulullah dan
untuk menghindari kebingungan di kalangan umat Islam.
Namun, seiring
waktu, kebutuhan untuk mendokumentasikan hadits mulai muncul. Beberapa sahabat
seperti Abdullah ibn Amr ibn al-As mulai mencatat hadits dalam apa yang dikenal
sebagai As-Sahifah
As-Sadiqah, yang berisi sekitar seribu hadits.⁶ Hadits-hadits ini
tidak dikodifikasi secara sistematis seperti di era setelahnya, tetapi menjadi
bukti awal bahwa penulisan hadits sudah berlangsung sejak zaman Rasulullah.
2.3.
Praktik Para Sahabat dalam Menerima dan
Menghafal Hadits
Para sahabat
memainkan peran utama dalam menyebarluaskan hadits dengan cara menghafal dan
meriwayatkannya kepada generasi berikutnya. Sahabat yang dikenal sebagai perawi
hadits terbanyak di antaranya adalah Abu Hurairah (5.374 hadits), Abdullah ibn
Umar (2.630 hadits), Anas ibn Malik (2.286 hadits), dan Aisyah binti Abu Bakar
(2.210 hadits).⁷ Mereka tidak hanya menghafal tetapi juga menyampaikan hadits
dengan sangat hati-hati, sesuai dengan prinsip kejujuran dalam periwayatan.
Salah satu metode
yang digunakan sahabat dalam menghafal hadits adalah dengan cara mengulanginya
di hadapan Rasulullah atau sahabat lainnya untuk memastikan ketepatan
periwayatan. Anas bin Malik, misalnya, pernah berkata, “Kami sering kali
mengulang hadits yang kami dengar dari Rasulullah agar tidak lupa.”⁸
Praktik ini menegaskan pentingnya hafalan sebagai metode utama dalam menjaga
keotentikan hadits sebelum sistem kodifikasi berkembang di era setelahnya.
Keseluruhan proses
periwayatan hadits di masa Nabi ini menjadi dasar bagi perkembangan ilmu hadits
di kemudian hari. Para sahabat bertindak sebagai perantara utama dalam
menyebarluaskan ajaran Rasulullah, yang kemudian diwariskan kepada generasi
tabi’in dan tabi’ut tabi’in dengan sistem yang lebih terstruktur.
Catatan Kaki
[1]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar
(Cairo: Dar al-Hadith, 2006), 15.
[2]
Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2010), 22.
[3]
Muhammad Mustafa al-Azami, The History of the Qur'anic Text from
Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003),
69.
[4]
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 2 (Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, 1999), 162.
[5]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fu’ad
Abd al-Baqi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), Hadits No. 3004.
[6]
Harold Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan
Fiqh before the Classical Schools (Leiden: Brill, 2002), 89.
[7]
Ibn Hajar al-Asqalani, Taqrib al-Tahdhib, ed. Abu Ishaq
al-Huwaini (Cairo: Dar al-Taqwa, 2004), 49.
[8]
Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyat al-Awliya wa Tabaqat al-Asfiya,
vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), 380.
3.
Perkembangan Hadits pada
Masa Khulafaurasyidin
3.1.
Upaya Pengumpulan dan Verifikasi Hadits
Setelah wafatnya
Rasulullah Saw, para sahabat menghadapi tantangan besar dalam menjaga keaslian
dan penyebaran hadits. Masa Khulafaurasyidin (632–661 M) menjadi periode
penting dalam perkembangan hadits karena meningkatnya perhatian terhadap
keotentikan riwayat dan upaya verifikasi hadits sebelum disebarluaskan.¹
Khalifah pertama,
Abu Bakar Ash-Shiddiq (r. 632–634 M), dikenal sangat berhati-hati dalam
meriwayatkan hadits. Ia tidak langsung menerima hadits kecuali setelah memperoleh
kesaksian dari sahabat lain. Hal ini tercermin dalam salah satu riwayat ketika
seorang sahabat meriwayatkan hadits kepada Abu Bakar, lalu ia meminta saksi
lain sebelum menerimanya.² Langkah ini menunjukkan betapa ketatnya pengujian
hadits pada masa itu guna menghindari kesalahan dalam periwayatan.
Pada masa
pemerintahan Umar bin Khattab (r. 634–644 M), kebijakan terkait periwayatan
hadits semakin diperketat. Umar bahkan melarang sahabat untuk terlalu banyak
meriwayatkan hadits karena khawatir akan adanya distorsi.³ Umar pernah berkata
kepada para sahabat:
"Kurangi
periwayatan hadits dari Rasulullah, kecuali jika berkaitan dengan hukum. Jika
ada yang meriwayatkan hadits secara berlebihan, aku akan menghukumnya."⁴
Kebijakan ini
bertujuan untuk menjaga otentisitas hadits dan memastikan bahwa tidak ada
penyimpangan dalam ajaran yang diwariskan oleh Rasulullah.
3.2.
Metode Hafalan dan Periwayatan oleh Para
Sahabat
Periwayatan hadits
di era Khulafaurasyidin masih dominan dilakukan melalui hafalan dan lisan. Para
sahabat utama, seperti Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar, dan Aisyah, memiliki
peran besar dalam menyebarluaskan hadits di berbagai wilayah Islam yang semakin
luas. Abu Hurairah, misalnya, adalah perawi terbanyak dengan sekitar 5.374
hadits yang diriwayatkannya.⁵
Selain metode
hafalan, sahabat juga mulai menggunakan catatan pribadi sebagai sarana untuk
mengingat hadits, meskipun belum ada upaya resmi untuk melakukan kodifikasi
secara sistematis. Abdullah ibn Amr ibn al-As, misalnya, memiliki kitab pribadi
yang dikenal sebagai As-Sahifah As-Sadiqah, yang memuat
hadits-hadits yang ia tulis langsung dari Rasulullah.⁶ Praktik ini menunjukkan
adanya kesadaran dalam menjaga keabsahan hadits melalui dokumentasi tertulis.
3.3.
Penyebaran Hadits ke Berbagai Wilayah Islam
Pada masa
Khulafaurasyidin, wilayah Islam berkembang pesat hingga mencakup Jazirah Arab,
Persia, Syam, dan Mesir. Seiring dengan ekspansi ini, banyak sahabat yang
bermigrasi ke berbagai wilayah, membawa serta ilmu hadits. Perpindahan mereka membantu
dalam menyebarluaskan hadits dan membangun jaringan transmisi hadits di
berbagai kota Islam utama seperti Kufah, Basrah, Damaskus, dan Fustat.⁷
Beberapa sahabat
utama yang berperan dalam penyebaran hadits di berbagai wilayah antara lain:
·
Abdullah
ibn Mas’ud – menetap di Kufah dan menjadi otoritas utama dalam
periwayatan hadits dan hukum Islam di Irak.
·
Abu
Darda – tinggal di Damaskus dan menyebarkan hadits di kalangan
penduduk Syam.
·
Anas ibn
Malik – menetap di Basrah dan meriwayatkan banyak hadits kepada
generasi tabi’in di sana.⁸
Jaringan transmisi
hadits ini menjadi dasar bagi generasi tabi’in dalam memahami dan mengembangkan
ilmu hadits, yang nantinya berujung pada kodifikasi resmi di era setelahnya.
3.4.
Tantangan dalam Periwayatan Hadits
Meskipun periwayatan
hadits dilakukan dengan ketat, tantangan mulai muncul, terutama karena semakin
banyaknya individu yang mengklaim meriwayatkan hadits tanpa sanad yang jelas.
Salah satu tantangan utama adalah munculnya riwayat-riwayat yang tidak dapat
diverifikasi kebenarannya. Oleh karena itu, pada masa ini mulai berkembang
prinsip-prinsip kritik sanad yang kelak menjadi dasar ilmu musthalah hadits.
Ali bin Abi Thalib
(r. 656–661 M), misalnya, menekankan pentingnya meneliti sanad hadits dengan
mengatakan:
"Jika kalian
mendengar sebuah hadits, periksalah siapa perawinya. Jika mereka adalah
orang-orang yang terpercaya, maka ambillah. Jika tidak, maka tinggalkanlah."⁹
Prinsip
kehati-hatian dalam periwayatan ini nantinya menjadi salah satu dasar penting
dalam ilmu kritik hadits.
Kesimpulan
Periode
Khulafaurasyidin merupakan fase penting dalam perkembangan hadits, di mana
terjadi penyebaran luas dan penguatan prinsip verifikasi hadits. Meski belum
ada kodifikasi resmi, langkah-langkah ketat yang diterapkan oleh para khalifah
dan sahabat utama membantu menjaga keabsahan hadits sebelum era kodifikasi di
masa tabi’in. Upaya ini menjadi fondasi bagi perkembangan ilmu hadits di
generasi berikutnya.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Mustafa al-Azami, Studies in Early Hadith Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1978), 45.
[2]
Ibn Sa’d, Tabaqat al-Kubra, ed. Muhammad
Abdul Qadir Ata (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 1:231.
[3]
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari
(Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1986), 1:199.
[4]
Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyat al-Awliya wa Tabaqat al-Asfiya,
vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 382.
[5]
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, ed. Ibn Baz
(Riyadh: Dar al-Salam, 1999), Hadits No. 118.
[6]
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan
Fiqh before the Classical Schools (Leiden: Brill, 2002), 95.
[7]
Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 62.
[8]
Ibn Hajar al-Asqalani, Taqrib al-Tahdhib (Cairo: Dar
al-Taqwa, 2004), 51.
[9]
Ibn al-Jawzi, Talbis Iblis (Cairo: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1994), 55.
4.
Periode Tabi’in dan
Kodifikasi Hadits
4.1.
Penyebaran Ilmu Hadits ke Berbagai Wilayah
Islam
Setelah wafatnya
para sahabat, periwayatan hadits berlanjut ke generasi tabi’in, yaitu mereka
yang bertemu dan belajar langsung dari para sahabat. Pada periode ini, Islam
telah menyebar luas ke berbagai wilayah, termasuk Kufah, Basrah, Damaskus, dan
Mesir.¹ Para tabi’in berperan penting dalam menyalurkan hadits kepada generasi
berikutnya serta memperkenalkan metode baru dalam periwayatan dan pengajaran
hadits.
Pusat-pusat keilmuan
utama yang berkembang pada masa tabi’in antara lain:
·
Madinah
– Kota ini menjadi pusat utama studi hadits karena keberadaan sahabat-sahabat
senior seperti Said ibn al-Musayyib dan Urwah ibn al-Zubair.
·
Kufah
– Para tabi’in seperti Alqamah ibn Qais dan Ibrahim al-Nakha’i banyak
meriwayatkan hadits di wilayah ini.
·
Basrah
– Anas ibn Malik dan Hasan al-Basri menjadi tokoh utama dalam pengajaran hadits
di daerah ini.
·
Syam
– Perawi seperti Abu Darda dan Makhul al-Syami banyak mengajarkan hadits di
Damaskus dan sekitarnya.²
Karena penyebaran
Islam semakin luas, kebutuhan akan metode periwayatan yang lebih terstruktur
menjadi semakin mendesak. Sistem transmisi hadits mengalami perkembangan,
dengan munculnya praktik pembacaan hadits secara formal dalam majelis-majelis
keilmuan.³
4.2.
Kodifikasi Awal Hadits: Inisiatif Umar bin
Abdul Aziz
Kodifikasi hadits
secara resmi dimulai pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (r. 717–720 M).
Khalifah dari Bani Umayyah ini melihat urgensi dalam mendokumentasikan hadits
secara tertulis agar tidak terjadi penyimpangan atau hilangnya hadits akibat
wafatnya para perawi terpercaya. Dalam sebuah surat kepada gubernur Madinah,
Abu Bakr ibn Hazm, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar hadits-hadits
Rasulullah dikumpulkan dan ditulis secara sistematis. Ia berkata:
"Periksalah
hadits-hadits Rasulullah dan tulislah, karena aku khawatir ilmu akan hilang dan
para ulama akan meninggal dunia."⁴
Inisiatif ini
merupakan tonggak awal dalam sistematisasi kodifikasi hadits, meskipun masih
dalam tahap awal dan belum berbentuk kitab-kitab hadits seperti yang kita kenal
sekarang.
4.3.
Tokoh-Tokoh Utama dalam Proses Kodifikasi
Beberapa ulama
tabi’in yang berperan dalam kodifikasi hadits antara lain:
·
Muhammad
ibn Muslim ibn Shihab al-Zuhri (w. 124 H/741 M)
Al-Zuhri dianggap sebagai salah satu
perintis dalam upaya sistematisasi hadits secara tertulis. Ia adalah seorang ulama
Madinah yang dipercaya oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk mengumpulkan dan
mencatat hadits-hadits yang tersebar di berbagai tempat.⁵
·
Imam
Malik ibn Anas (w. 179 H/795 M)
Imam Malik menyusun kitab Al-Muwatta’,
yang merupakan salah satu koleksi hadits tertua yang masih tersedia hingga saat
ini. Kitab ini tidak hanya berisi hadits, tetapi juga mencakup fatwa sahabat
dan tabi’in.⁶
Ulama-ulama tabi’in
lainnya, seperti Sufyan al-Thawri dan Sufyan ibn Uyainah, juga turut
berkontribusi dalam upaya pengumpulan hadits, meskipun belum dalam bentuk kitab
hadits yang terstruktur seperti di era berikutnya.
4.4.
Metodologi Periwayatan dan Kritik Hadits pada
Masa Tabi’in
Pada masa tabi’in,
metode periwayatan hadits mengalami perkembangan yang lebih maju dibanding era
sahabat. Beberapa metode utama yang digunakan dalam periwayatan hadits adalah:
·
Sima’
(Mendengar Langsung)
Seorang murid mendengarkan hadits
langsung dari gurunya dan meriwayatkannya kembali.
·
Qira’ah
(Membacakan Hadits)
Seorang murid membacakan hadits di
hadapan gurunya untuk dikoreksi.
·
Ijazah
(Pemberian Izin Riwayat)
Seorang guru memberikan izin kepada
muridnya untuk meriwayatkan hadits tanpa harus mendengarnya langsung.
·
Kitabah
(Penulisan Hadits)
Hadits mulai ditulis sebagai upaya menjaga
keotentikannya.⁷
Selain metode
periwayatan, pada masa ini juga berkembang prinsip kritik sanad dan matan
hadits. Tabi’in mulai melakukan seleksi terhadap hadits yang mereka terima
dengan cara meneliti sanadnya, mengevaluasi kredibilitas perawi, serta menolak
riwayat yang dianggap bermasalah. Hal ini menjadi cikal bakal ilmu musthalah
hadits yang berkembang pesat di era setelahnya.⁸
4.5.
Peran Khalifah dalam Pengembangan Ilmu Hadits
Selain Umar bin
Abdul Aziz, beberapa khalifah Dinasti Umayyah dan Abbasiyah juga menunjukkan
perhatian terhadap perkembangan hadits. Pada masa Khalifah Al-Mansur (r.
754–775 M) dan Harun al-Rasyid (r. 786–809 M), pengumpulan dan pembukuan hadits
semakin mendapat perhatian. Harun al-Rasyid bahkan meminta para ulama hadits
untuk mengajarkan ilmu hadits secara lebih luas di wilayah kekuasaan Islam.⁹
Kebijakan ini
mencerminkan kesadaran para penguasa Islam akan pentingnya hadits sebagai
sumber utama dalam hukum Islam dan praktik keagamaan.
Kesimpulan
Periode tabi’in
merupakan fase transisi penting dalam perkembangan hadits, di mana periwayatan
masih dilakukan secara lisan tetapi mulai mengalami kodifikasi awal. Inisiatif
Umar bin Abdul Aziz dalam menulis hadits serta peran para tabi’in dalam
mengembangkan metode periwayatan menjadi fondasi bagi sistem pembukuan hadits
yang lebih sistematis di era berikutnya. Dengan berkembangnya ilmu kritik
hadits, periode ini juga menjadi awal bagi pembentukan standar keabsahan hadits
yang terus digunakan hingga saat ini.
Catatan Kaki
[1]
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan
Fiqh before the Classical Schools (Leiden: Brill, 2002), 102.
[2]
Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2010), 67.
[3]
Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 85.
[4]
Ibn Sa’d, Tabaqat al-Kubra, ed. Muhammad
Abdul Qadir Ata (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 2:135.
[5]
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdhib al-Tahdhib (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 9:450.
[6]
Malik ibn Anas, Al-Muwatta’, ed. Muhammad Fu’ad Abd
al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 5.
[7]
Muhammad Mustafa al-Azami, The History of the Qur'anic Text from
Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003),
105.
[8]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar
(Cairo: Dar al-Hadith, 2006), 23.
[9]
Khaled Abou El Fadl, The Search for Beauty in Islam: A Conference of
the Books (Lanham: Rowman & Littlefield, 2006), 55.
5.
Era Penyusunan Kitab Hadits
Induk
5.1.
Latar Belakang Penyusunan Kitab Hadits Induk
Seiring
berkembangnya ilmu hadits, para ulama mulai merasakan urgensi untuk membukukan
hadits secara sistematis. Periwayatan hadits yang sebelumnya lebih banyak
dilakukan secara lisan dan melalui catatan pribadi mulai diarahkan ke dalam
bentuk kompilasi yang lebih terstruktur.¹ Proses kodifikasi ini semakin
berkembang pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, terutama sebagai respons terhadap
tantangan seperti munculnya hadits-hadits palsu (maudhu') serta meningkatnya
kebutuhan akan sumber referensi hadits yang lebih terpercaya dalam hukum Islam
(fiqh).²
Salah satu faktor
utama yang mendorong penyusunan kitab hadits induk adalah permintaan dari para
ulama dan penguasa Muslim untuk mengkodifikasi hadits secara ilmiah. Dinasti
Abbasiyah, khususnya pada masa Harun al-Rasyid (r. 786–809 M) dan Al-Ma'mun (r.
813–833 M), memberikan dukungan terhadap perkembangan ilmu hadits dengan
menyediakan fasilitas bagi para ulama untuk menyusun kitab hadits yang autentik.³
5.2.
Kategori Kitab Hadits yang Disusun
Kitab-kitab hadits
induk yang muncul pada periode ini dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis
berdasarkan metode penyusunannya:
·
Al-Muwatta’
(Kitab Fiqh-Hadits)
Ditulis oleh Imam Malik ibn Anas (w. 179 H/795
M), Al-Muwatta’ adalah salah satu kitab hadits tertua yang masih
tersedia hingga saat ini. Kitab ini tidak hanya berisi hadits tetapi juga
mencakup pendapat para sahabat dan tabi’in dalam konteks hukum Islam.⁴
·
Al-Musnad
(Hadits Berdasarkan Perawi Sahabat)
Musnad adalah kitab hadits yang disusun
berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkannya. Salah satu kitab musnad yang
terkenal adalah Musnad Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H/855 M), yang
mencakup lebih dari 27.000 hadits.⁵
·
Al-Jami’
al-Shahih (Kompilasi Hadits Shahih Secara Tematik)
Kategori ini mencakup kitab-kitab hadits yang
disusun secara tematik dengan metode penyaringan hadits yang ketat. Kitab
hadits dalam kategori ini mencakup:
() Shahih al-Bukhari oleh Imam
al-Bukhari (w. 256 H/870 M).
() Shahih Muslim oleh Imam Muslim ibn
al-Hajjaj (w. 261 H/875 M).⁶
·
Kitab
Sunan (Hadits Berdasarkan Bab Fiqh)
Kitab sunan disusun berdasarkan bab-bab fikih,
sehingga lebih mudah digunakan oleh para ulama fikih dalam menentukan hukum
Islam. Contoh kitab sunan yang terkenal adalah:
() Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud
al-Sijistani (w. 275 H/888 M).
() Sunan al-Tirmidzi oleh Imam
al-Tirmidzi (w. 279 H/892 M).
() Sunan al-Nasa’i oleh Imam
al-Nasa’i (w. 303 H/915 M).
() Sunan Ibn Majah oleh Ibn Majah (w.
273 H/887 M).⁷
5.3.
Metodologi Ulama Hadits dalam Penyusunan Kitab
Para ulama hadits
menggunakan metodologi yang sangat ketat dalam menyusun kitab-kitab hadits
induk. Beberapa prinsip utama yang mereka terapkan meliputi:
·
Seleksi
Sanad yang Ketat
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim hanya
memasukkan hadits yang memenuhi kriteria sanad yang kuat (muttaṣil,
tanpa perawi yang cacat atau lemah).⁸
·
Klasifikasi
Hadits Berdasarkan Kualitasnya
Para ulama membagi hadits ke dalam
kategori shahih, hasan, dan dha’if berdasarkan kredibilitas perawinya serta
kesesuaian matan dengan kaidah keilmuan Islam.⁹
·
Perbandingan
dengan Riwayat Lain
Para muhadditsin membandingkan hadits
yang mereka terima dengan riwayat lain untuk memastikan konsistensi dan
keabsahan periwayatan.¹⁰
5.4.
Kontribusi Imam al-Bukhari dan Imam Muslim
dalam Penyusunan Hadits Shahih
Salah satu momen
penting dalam kodifikasi hadits adalah penyusunan kitab Shahih
al-Bukhari oleh Imam al-Bukhari (w. 256 H/870 M). Kitab ini
dianggap sebagai koleksi hadits yang paling otoritatif dalam Islam Sunni. Imam
al-Bukhari menyusun kitab ini dengan seleksi yang sangat ketat, di mana ia
hanya menerima hadits dari perawi yang tsiqah (terpercaya) dan memiliki sanad
yang bersambung.¹¹
Imam Muslim (w. 261
H/875 M) melanjutkan metode yang serupa dalam penyusunan Shahih
Muslim. Salah satu perbedaan utama antara Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim adalah bahwa Imam
Muslim mengatur hadits secara lebih sistematis berdasarkan tema, sehingga lebih
mudah dipelajari oleh para penuntut ilmu.¹²
5.5.
Pengaruh Penyusunan Kitab Hadits Induk terhadap
Ilmu Hadits
Era penyusunan kitab
hadits induk memberikan dampak yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu
hadits dan keilmuan Islam secara umum. Dengan adanya kodifikasi hadits dalam
kitab-kitab utama, standar periwayatan hadits menjadi lebih jelas, dan ilmu
hadits semakin berkembang dalam bentuk yang lebih sistematis. Beberapa dampak
utama dari kodifikasi ini antara lain:
·
Mempermudah
Pengkajian Hadits dalam Fikih
Dengan tersusunnya hadits dalam bentuk kitab
tematik dan sunan, para ulama fikih dapat dengan mudah merujuk hadits untuk
menetapkan hukum.¹³
·
Memunculkan
Ilmu Musthalah Hadits
Standarisasi periwayatan dan penyusunan
kitab hadits memunculkan ilmu musthalah hadits, yang menjadi disiplin
tersendiri dalam mengkaji kualitas hadits.¹⁴
·
Menjaga
Keaslian Hadits di Tengah Munculnya Hadits Palsu
Dengan metode seleksi yang ketat,
kitab-kitab hadits induk menjadi benteng utama dalam menjaga kemurnian hadits
dari penyimpangan dan pemalsuan.¹⁵
Kesimpulan
Era penyusunan kitab
hadits induk merupakan tonggak penting dalam sejarah perkembangan hadits.
Dengan adanya kodifikasi dalam bentuk kitab-kitab hadits yang sistematis,
hadits Rasulullah dapat terjaga keasliannya dan lebih mudah diakses oleh
generasi setelahnya. Standarisasi periwayatan yang diperkenalkan oleh para
muhadditsin juga memberikan landasan bagi perkembangan ilmu hadits dan studi
keislaman secara lebih luas.
Catatan Kaki
[1]
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan
Fiqh before the Classical Schools (Leiden: Brill, 2002), 115.
[2]
Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2010), 82.
[3]
Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 103.
[4]
Malik ibn Anas, Al-Muwatta’, ed. Muhammad Fu’ad Abd
al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 7.
[5]
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1 (Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, 1999), 2.
[6]
Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Cairo: Dar al-Ma’rifah,
1986), 1.
[7]
Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 3.
[8]
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Cairo: Dar
al-Ma’rifah, 1986), 9:252.
[9]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya’
al-Turath al-‘Arabi, 2002), 5.
[10]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar (Cairo: Dar
al-Hadith, 2006), 39.
[11]
Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Al-Tarikh al-Kabir, ed. Abdul
Rahman al-Mu’allimi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 1:23.
[12]
Muslim ibn al-Hajjaj, Muqaddimah Shahih Muslim, ed. Muhammad
Fu’ad Abd al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 14.
[13]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin
(Cairo: Dar al-Hadith, 1996), 2:12.
[14]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nukhbat al-Fikar fi Mustalah Ahl al-Athar
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 18.
[15]
M. M. Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence
(Oxford: The Islamic Texts Society, 1996), 95.
6.
Lahirnya Ilmu Musthalah
Hadits (Ulumul Hadits)
6.1.
Latar Belakang Perkembangan Ilmu Musthalah
Hadits
Setelah proses
kodifikasi hadits pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, para ulama menyadari
perlunya standar ilmiah dalam menilai validitas hadits. Hal ini dikarenakan
semakin luasnya penyebaran hadits, munculnya perawi dengan kredibilitas yang
beragam, serta adanya hadits-hadits palsu (maudhu’).¹ Oleh karena itu,
berkembanglah Ilmu Musthalah Hadits (Ulumul
Hadits), yang merupakan cabang ilmu Islam yang membahas terminologi,
klasifikasi, serta metode verifikasi hadits.²
Ilmu Musthalah Hadits
bertujuan untuk memberikan alat analisis bagi para ulama dalam menentukan
derajat keotentikan hadits dan membedakan antara hadits yang dapat dijadikan
hujjah (dalil)
dan yang harus ditolak. Pada era ini, sistem kritik sanad dan matan berkembang
pesat, dan metode evaluasi perawi mulai digunakan secara sistematis.³
6.2.
Kontribusi Ulama dalam Ilmu Musthalah Hadits
Beberapa ulama
memainkan peran penting dalam pembentukan ilmu Musthalah Hadits, di antaranya:
·
Ar-Ramahurmuzi
(w. 360 H/970 M)
Ulama pertama yang menyusun karya khusus tentang
ilmu hadits adalah Al-Hafizh Abu Muhammad al-Hasan ibn Abdurrahman
ar-Ramahurmuzi. Bukunya, Al-Muhaddits al-Fasil bayna ar-Rawi wal-Wa’i,
membahas prinsip-prinsip dasar dalam periwayatan hadits, kualifikasi perawi,
serta metode kritik hadits. Namun, pada tahap ini, sistem klasifikasi hadits
masih belum sepenuhnya berkembang.⁴
·
Al-Khatib
al-Baghdadi (w. 463 H/1071 M)
Pada abad ke-5 Hijriyah, ilmu hadits mengalami
kemajuan signifikan dengan karya Al-Khatib al-Baghdadi, seorang ulama hadits
dari Baghdad. Dalam bukunya Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah, ia membahas
secara rinci kaidah-kaidah ilmu hadits, termasuk kriteria perawi yang tsiqah
(terpercaya) serta metode dalam meneliti sanad dan matan hadits.⁵
·
Ibnu
Shalah (w. 643 H/1245 M)
Ibnu Shalah dianggap sebagai salah satu figur
paling berpengaruh dalam penyusunan ilmu Musthalah Hadits. Karyanya yang
terkenal, Muqaddimah Ibnu Shalah, menjadi rujukan utama dalam
klasifikasi hadits dan metodologi kritik hadits. Dalam kitab ini, ia mengelompokkan
hadits ke dalam berbagai kategori, seperti shahih, hasan, dha’if,
serta konsep-konsep seperti mutawatir dan ahad.⁶
6.3.
Klasifikasi Hadits dalam Ilmu Musthalah Hadits
Dalam ilmu Musthalah
Hadits, hadits diklasifikasikan berdasarkan beberapa aspek utama:
·
Berdasarkan
Keabsahan Sanad
Shahih – Hadits yang memiliki sanad
bersambung, perawinya adil dan kuat hafalannya, serta tidak mengandung
kejanggalan (syadz) atau cacat (‘illah).⁷
Hasan – Hadits yang sanadnya
bersambung, tetapi perawinya memiliki tingkat kredibilitas sedikit di bawah
hadits shahih.⁸
Dha’if – Hadits yang mengandung
kelemahan dalam sanad atau matan, seperti adanya perawi yang tidak kuat
hafalannya.⁹
·
Berdasarkan
Kuantitas Perawi
Mutawatir – Hadits yang
diriwayatkan oleh banyak perawi dalam setiap tingkatan sanadnya sehingga
mustahil terjadi kebohongan secara bersama-sama.¹⁰
Ahad – Hadits yang diriwayatkan
oleh satu atau beberapa perawi saja dalam setiap tingkatan sanadnya, yang
terbagi menjadi masyhur, aziz,
dan gharib.¹¹
·
Berdasarkan
Status Penerimaan
Maqbul – Hadits yang dapat diterima
dan diamalkan, seperti hadits shahih dan hasan.¹²
Mardud – Hadits yang tertolak,
seperti hadits dha’if atau palsu.¹³
6.4.
Metodologi Kritik Sanad dan Matan
Para ulama hadits
mengembangkan metode untuk memastikan keabsahan hadits melalui dua aspek utama:
·
Kritik
Sanad (Naqd al-Isnad)
Kritik sanad bertujuan untuk meneliti keabsahan
rantai periwayatan hadits dengan mempertimbangkan keadilan (‘adalah)
dan kapasitas hafalan (dabt) para perawi. Imam Muslim dalam Muqaddimah
Shahih Muslim menyatakan bahwa sanad merupakan kunci utama dalam
menentukan otoritas suatu hadits.¹⁴
·
Kritik
Matan (Naqd al-Matan)
Kritik matan dilakukan untuk mengidentifikasi
kemungkinan adanya kejanggalan dalam teks hadits. Para ulama membandingkan isi
hadits dengan Al-Qur’an, hadits-hadits lain, serta akal sehat. Imam
Al-Daraqutni misalnya, sering kali mengkritik hadits yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar Islam.¹⁵
6.5.
Perkembangan Ilmu Musthalah Hadits di Era
Selanjutnya
Setelah Ibnu Shalah,
beberapa ulama terus mengembangkan ilmu Musthalah Hadits dengan menyusun
kitab-kitab penting, seperti:
·
An-Nawawi
(w. 676 H/1277 M) – Menyusun Taqrib wa Taysir, ringkasan dari Muqaddimah
Ibnu Shalah.
·
Ibnu
Hajar al-Asqalani (w. 852 H/1449 M) – Menulis Nukhbat
al-Fikar, yang menjadi rujukan dalam kritik sanad dan matan.
·
As-Suyuthi
(w. 911 H/1505 M) – Menulis Tadrib al-Rawi, yang berisi
penjelasan rinci tentang ilmu Musthalah Hadits.
Ilmu Musthalah
Hadits terus berkembang hingga era modern dan tetap menjadi dasar dalam studi
hadits hingga saat ini.
Kesimpulan
Lahirnya ilmu
Musthalah Hadits merupakan respons terhadap kebutuhan akan standarisasi dalam
periwayatan hadits. Dengan adanya metode kritik sanad dan matan, serta
klasifikasi hadits, ilmu ini menjadi alat utama dalam menentukan validitas
hadits. Perkembangan ilmu ini menunjukkan betapa pentingnya upaya para ulama
dalam menjaga kemurnian ajaran Islam.
Catatan Kaki
[1]
Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2010), 91.
[2]
Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 122.
[3]
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan
Fiqh before the Classical Schools (Leiden: Brill, 2002), 140.
[4]
Al-Ramahurmuzi, Al-Muhaddits al-Fasil bayna ar-Rawi wal-Wa’i
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 15.
[5]
Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah
(Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 43.
[6]
Ibn Shalah, Muqaddimah Ibn Shalah (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 9.
[7]
Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, ed. Muhammad Fu’ad
Abd al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 18.
[8]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nukhbat al-Fikar (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 22.
[9]
Al-Daraqutni, Al-‘Ilal (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2001), 5:27.
[10]
Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar
al-Wafa’, 2004), 18:10.
[11]
Ibn al-Salah, Muqaddimah, 30.
[12]
As-Suyuthi, Tadrib al-Rawi (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 39.
[13]
Ibid., 41.
[14]
Muslim, Muqaddimah Shahih Muslim, 12.
[15]
Al-Daraqutni, Al-‘Ilal, 3:98.
7.
Tantangan dan Kontroversi
dalam Perkembangan Hadits
7.1.
Munculnya Hadits Palsu (Maudhu’)
Salah satu tantangan
terbesar dalam sejarah perkembangan hadits adalah munculnya hadits-hadits palsu
(maudhu’).
Hadits palsu adalah hadits yang sengaja dibuat dan disandarkan kepada
Rasulullah Saw tanpa dasar yang sah. Faktor utama yang menyebabkan munculnya
hadits palsu antara lain:
·
Motif
Politik
Sejak awal perkembangan Islam, perpecahan politik
antara berbagai kelompok, terutama setelah wafatnya Utsman bin Affan,
berkontribusi pada penyebaran hadits palsu. Kelompok-kelompok tertentu
menggunakan hadits palsu untuk memperkuat legitimasi politik mereka.¹ Misalnya,
kelompok Syi’ah dan Khawarij sering dituduh membuat hadits untuk mendukung
pandangan mereka.
·
Persaingan
Mazhab dan Sekte
Perbedaan pandangan dalam hukum Islam (fiqh)
dan teologi (kalam) juga mendorong beberapa kelompok untuk menciptakan
hadits guna mendukung argumentasi mereka.² Imam Malik bahkan pernah berkata:
“Tidak ada kelompok yang lebih banyak berdusta
dalam hadits dibandingkan ahli bid’ah.”³
·
Keinginan
Masyarakat Akan Keutamaan Ibadah
Sebagian orang yang kurang memahami ilmu hadits
menciptakan hadits-hadits yang berisi janji pahala besar bagi ibadah tertentu
dengan tujuan memotivasi umat Islam. Contohnya, banyak hadits palsu yang
menjanjikan pahala tinggi bagi amalan tertentu di bulan Rajab dan Sya’ban.⁴
7.2.
Usaha Ulama dalam Memerangi Hadits Palsu
Para ulama hadits
sejak awal menyadari bahaya hadits palsu dan mengembangkan metode untuk
mendeteksinya. Beberapa langkah yang mereka lakukan antara lain:
·
Ilmu
Jarh wa Ta’dil (Kritik Perawi)
Ilmu ini digunakan untuk menilai kredibilitas
perawi hadits. Perawi yang terbukti berdusta atau memiliki kecenderungan bid’ah
ditolak riwayatnya. Al-Bukhari, misalnya, sangat ketat dalam menerima hadits
dan hanya mencatat hadits dari perawi yang tsiqah (terpercaya).⁵
·
Penyusunan
Kitab Khusus Hadits Palsu
Ulama seperti Ibn al-Jawzi (w. 597 H) dalam Al-Mawdu‘at
dan As-Suyuthi dalam Al-La’ali al-Mashnu’ah menyusun kitab-kitab
khusus untuk mengumpulkan hadits-hadits palsu agar masyarakat tidak tertipu.⁶
·
Prinsip
Al-Dhabt (Ketelitian dalam
Periwayatan)
Para ulama mensyaratkan bahwa perawi hadits harus
memiliki ingatan kuat dan mencatat hadits dengan ketelitian tinggi. Imam Muslim
menolak hadits dari perawi yang dikenal ceroboh dalam meriwayatkan.⁷
7.3.
Perbedaan dalam Metode Kritik Hadits antara
Ahli Hadits dan Ahli Fiqh
Kontroversi lain
dalam perkembangan hadits adalah perbedaan pendekatan antara ulama ahli hadits
dan ahli fiqh dalam menerima hadits:
·
Pendekatan
Ahli Hadits
Ulama hadits seperti Al-Bukhari dan Muslim
menerapkan kriteria sangat ketat dalam menerima hadits. Mereka lebih menekankan
keakuratan sanad daripada konten hadits itu sendiri.⁸
·
Pendekatan
Ahli Fiqh
Ulama fiqh seperti Imam Abu Hanifah lebih
fleksibel dalam menerima hadits, terutama jika hadits tersebut memiliki
kesesuaian dengan prinsip umum dalam hukum Islam. Imam Malik dalam Al-Muwatta’
sering kali mendahulukan amalan penduduk Madinah dibandingkan hadits ahad yang
belum dikenal luas.⁹
Perbedaan ini
menyebabkan beberapa hadits yang diterima oleh ahli hadits ditolak oleh
sebagian ahli fiqh karena dianggap bertentangan dengan prinsip hukum Islam yang
telah mapan.
7.4.
Tantangan dalam Menyebarkan Hadits Shahih di
Era Modern
Di era modern,
hadits menghadapi tantangan baru, di antaranya:
·
Serangan
dari Orientalis Barat
Beberapa orientalis, seperti Ignaz Goldziher dan
Joseph Schacht, meragukan keotentikan hadits dan menganggapnya sebagai produk
rekayasa politik di abad ke-2 Hijriyah.¹⁰ Pandangan ini dikritik oleh ulama
Muslim seperti Mustafa al-A’zami yang dalam karyanya On Schacht’s Origins
of Muhammadan Jurisprudence membantah klaim Schacht dengan menunjukkan
bukti bahwa hadits telah diriwayatkan secara sahih sejak generasi awal Islam.¹¹
·
Distorsi
Hadits di Media Sosial
Penyebaran hadits tanpa validasi ilmiah di media
sosial menjadi tantangan baru. Banyak hadits yang beredar di internet tanpa
sumber yang jelas, sehingga masyarakat sering kali mengutip hadits yang lemah
atau bahkan palsu.¹²
·
Upaya
Revitalisasi Kajian Hadits
Beberapa lembaga Islam modern, seperti Dar
al-Ifta' al-Misriyyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), telah
berupaya mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memahami hadits dari sumber
yang sahih.¹³
7.5.
Kontroversi Seputar Hadits Ahad dalam Akidah
Sebagian ulama
teologi berpendapat bahwa hadits ahad tidak dapat dijadikan dasar dalam masalah
akidah karena tingkat kepastiannya lebih rendah dibandingkan hadits
mutawatir.¹⁴ Pandangan ini dipegang oleh sebagian ulama dari kalangan
Asy’ariyah dan Maturidiyah, sementara mayoritas ahli hadits menerima hadits
ahad sebagai dalil dalam akidah selama sanadnya sahih.¹⁵
Kesimpulan
Sejarah perkembangan
hadits tidak lepas dari berbagai tantangan dan kontroversi, mulai dari hadits
palsu, perbedaan metode kritik hadits, hingga tantangan era modern. Namun,
upaya keras para ulama dalam menjaga keaslian hadits menunjukkan pentingnya
ilmu hadits sebagai pilar utama dalam pemahaman Islam. Dengan adanya metodologi
yang ketat dalam ilmu musthalah hadits, umat Islam dapat memastikan bahwa
hadits yang diamalkan benar-benar berasal dari Rasulullah Saw.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Mustafa al-Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2010), 78.
[2]
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan
Fiqh before the Classical Schools (Leiden: Brill, 2002), 143.
[3]
Ibn Hajar al-Asqalani, Lisan al-Mizan (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 1:34.
[4]
Ibn al-Jawzi, Al-Mawdu‘at (Cairo: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1995), 2:56.
[5]
Muslim ibn al-Hajjaj, Muqaddimah Shahih Muslim, ed.
Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 9.
[6]
Jalaluddin as-Suyuthi, Al-La’ali al-Mashnu’ah (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 3:78.
[7]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nukhbat al-Fikar (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 41.
[8]
Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 135.
[9]
Malik ibn Anas, Al-Muwatta’, ed. Muhammad Fu’ad Abd
al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 12.
[10]
Ignaz Goldziher, Muslim Studies, trans. S. M. Stern
(London: George Allen & Unwin, 1971), 2:98.
[11]
M. M. Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan
Jurisprudence (Oxford: The Islamic Texts Society, 1996), 112.
[12]
Yusuf al-Qaradawi, Kayfa Nata‘amal Ma’a al-Sunnah
(Cairo: Dar al-Shuruq, 2005), 67.
[13]
Majelis Ulama Indonesia, Panduan Hadits dalam Kehidupan Muslim
(Jakarta: MUI Press, 2020), 22.
[14]
Al-Baqillani, Al-Insaf (Beirut: Dar al-Fikr,
1999), 76.
[15]
Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar
al-Wafa’, 2004), 18:232.
8.
Kesimpulan dan Penutup
8.1.
Rekapitulasi Sejarah Perkembangan Hadits
Perjalanan hadits
dari masa Nabi Muhammad Saw hingga era kodifikasi dan perkembangan ilmu
Musthalah Hadits menunjukkan bagaimana Islam memiliki sistem yang ketat dalam
menjaga keaslian dan transmisi ajaran Rasulullah Saw.
Pada masa Nabi Saw,
hadits disampaikan secara lisan dan dihafal oleh para sahabat. Setelah wafatnya
Nabi, kebutuhan untuk mendokumentasikan hadits semakin meningkat, terutama
karena Islam berkembang ke berbagai wilayah. Masa Khulafaurasyidin ditandai
dengan kehati-hatian dalam periwayatan hadits, sedangkan era tabi’in menjadi
titik awal kodifikasi hadits dalam bentuk tertulis.¹ Puncaknya terjadi pada
abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, ketika kitab-kitab hadits induk seperti Shahih
al-Bukhari, Shahih Muslim, dan kitab sunan
lainnya mulai disusun dengan metode yang lebih sistematis.²
Seiring
berkembangnya ilmu hadits, para ulama merancang standar ilmiah dalam menilai
validitas hadits, yang kemudian melahirkan Ilmu Musthalah Hadits. Ilmu ini
berperan dalam membedakan hadits shahih, hasan, dan dha’if serta mengembangkan
prinsip-prinsip kritik sanad dan matan.³ Namun, dalam perjalanannya, hadits
menghadapi berbagai tantangan, termasuk hadits palsu, perbedaan metodologi
kritik hadits, hingga serangan skeptisisme di era modern.
8.2.
Peran Hadits dalam Kehidupan Muslim Kontemporer
Di era modern,
hadits tetap menjadi pilar utama dalam kehidupan Muslim, baik dalam aspek
ibadah, hukum, maupun etika sosial. Namun, tantangan dalam memahami hadits
semakin kompleks karena adanya penyebaran hadits yang tidak valid melalui media
sosial dan meningkatnya kritik dari akademisi non-Muslim.⁴ Oleh karena itu,
penting bagi umat Islam untuk kembali merujuk kepada kitab-kitab hadits yang
autentik serta memahami metodologi kritik hadits yang telah dikembangkan oleh
para ulama.
Beberapa langkah
yang dapat dilakukan untuk memperkuat peran hadits dalam kehidupan modern
antara lain:
·
Penguatan
Kajian Ilmu Hadits
Institusi keislaman harus terus
mengajarkan ilmu hadits berdasarkan metodologi yang benar agar generasi muda
memahami hadits dengan perspektif ilmiah.⁵
·
Pemanfaatan
Teknologi dalam Studi Hadits
Digitalisasi kitab hadits dan aplikasi
yang menyediakan database hadits shahih dapat membantu masyarakat dalam
mengakses hadits secara valid.⁶
·
Kampanye
Literasi Hadits
Penyebaran informasi yang benar mengenai
hadits melalui media massa dan platform digital menjadi salah satu cara untuk
menangkal hadits palsu yang beredar luas.⁷
8.3.
Pentingnya Menjaga Keotentikan Hadits
Upaya menjaga
keaslian hadits bukan hanya tanggung jawab para ulama, tetapi juga umat Islam
secara umum. Sejarah telah membuktikan bahwa ulama hadits telah mengembangkan
metodologi yang ketat untuk memverifikasi hadits, dan metode ini tetap relevan
untuk diterapkan hingga saat ini. Ibn Hajar al-Asqalani dalam Nukhbat
al-Fikar menegaskan bahwa prinsip ilmu hadits harus tetap digunakan
untuk menjaga integritas sumber hukum Islam.⁸
Sebagai sumber kedua
setelah Al-Qur’an, hadits memiliki peran esensial dalam membentuk hukum Islam,
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an, serta memberikan pedoman moral bagi umat
Islam. Oleh karena itu, menjaga kemurnian hadits berarti menjaga keutuhan
ajaran Islam itu sendiri.⁹
8.4.
Rekomendasi untuk Studi Hadits di Masa Depan
Melihat kompleksitas
studi hadits di era modern, ada beberapa rekomendasi yang dapat diambil untuk
mengembangkan kajian hadits di masa depan:
·
Peningkatan
Studi Interdisipliner dalam Ilmu Hadits
Kajian hadits dapat dikembangkan dengan
pendekatan interdisipliner, seperti menggunakan teknologi digital dalam
verifikasi sanad dan analisis linguistik dalam studi matan hadits.ⁱ⁰
·
Kerjasama
Akademik antara Ulama dan Ilmuwan Muslim
Kerjasama antara ulama hadits dengan akademisi
Muslim dari berbagai disiplin ilmu dapat menghasilkan pendekatan yang lebih
holistik dalam memahami hadits, termasuk dalam menghadapi kritik dari para
orientalis.ⁱ¹
·
Peningkatan
Kajian Kritik Hadits dalam Kurikulum Pendidikan Islam
Pendidikan Islam, baik di tingkat pesantren
maupun perguruan tinggi, perlu memperkuat kurikulum ilmu hadits agar generasi
Muslim memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai validitas hadits.ⁱ²
Penutup
Sejarah perkembangan
hadits adalah cerminan dari ketelitian ulama dalam menjaga keaslian ajaran
Islam. Dari masa sahabat hingga era kodifikasi dan perkembangan ilmu musthalah
hadits, setiap generasi Muslim telah berkontribusi dalam memastikan bahwa hadits
yang sampai kepada kita tetap terjaga keautentikannya.
Di era digital ini,
tantangan dalam penyebaran hadits semakin besar, namun dengan kemajuan
teknologi dan peningkatan kajian akademik, umat Islam dapat terus menjaga
kemurnian hadits dan menjadikannya sebagai pedoman yang relevan dalam kehidupan
modern. Dengan memahami metodologi kritik hadits dan merujuk kepada kitab-kitab
hadits yang sahih, kita dapat terus menjaga kemurnian warisan Rasulullah Saw bagi
generasi mendatang.
Catatan Kaki
[1]
Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2010), 105.
[2]
Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 137.
[3]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nukhbat al-Fikar (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 48.
[4]
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan
Fiqh before the Classical Schools (Leiden: Brill, 2002), 156.
[5]
Yusuf al-Qaradawi, Kayfa Nata‘amal Ma’a al-Sunnah
(Cairo: Dar al-Shuruq, 2005), 78.
[6]
Majelis Ulama Indonesia, Panduan Hadits dalam Kehidupan Muslim
(Jakarta: MUI Press, 2020), 45.
[7]
Muhammad bin Ali al-Shaukani, Irshad al-Fuhul (Cairo: Dar
al-Hadith, 1998), 92.
[8]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nukhbat al-Fikar, 51.
[9]
Malik ibn Anas, Al-Muwatta’, ed. Muhammad Fu’ad Abd
al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 28.
[10]
Muhammad Mustafa al-Azami, The History of the Qur'anic Text from
Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003),
137.
[11]
M. M. Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence
(Oxford: The Islamic Texts Society, 1996), 119.
[12]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 67.
Daftar Pustaka
Al-Asqalani, I. H. (2003). Nukhbat
al-Fikar fi Mustalah Ahl al-Athar. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Asqalani, I. H. (1986). Fath
al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari. Cairo: Dar al-Ma’rifah.
Al-Baghdadi, A. K. (2005). Al-Kifayah
fi ‘Ilm al-Riwayah. Cairo: Dar al-Hadith.
Al-Baqillani, A. (1999). Al-Insaf.
Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Bukhari, M. I. (1986). Shahih
al-Bukhari. Cairo: Dar al-Ma’rifah.
Al-Daraqutni, A. (2001). Al-‘Ilal.
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Jawzi, I. (1995). Al-Mawdu‘at.
Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Khatib, A. B. (2005). Al-Kifayah
fi ‘Ilm al-Riwayah. Cairo: Dar al-Hadith.
Al-Muwatta’, M. I. A.
(2004). Al-Muwatta’, Ed. M. F. A. al-Baqi. Cairo: Dar al-Hadith.
Al-Qaradawi, Y. (2005). Kayfa
Nata‘amal Ma’a al-Sunnah. Cairo: Dar al-Shuruq.
Al-Ramahurmuzi, A. M.
(1990). Al-Muhaddits al-Fasil bayna ar-Rawi wal-Wa’i. Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Shaukani, M. A. (1998). Irshad
al-Fuhul. Cairo: Dar al-Hadith.
Al-Suyuthi, J. (1998). Tadrib
al-Rawi. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Suyuthi, J. (1990). Al-La’ali
al-Mashnu’ah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Azami, M. M. (2003). The
History of the Qur'anic Text from Revelation to Compilation. Leicester: UK
Islamic Academy.
Azami, M. M. (2010). Studies
in Hadith Methodology and Literature. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
Brown, J. A. C. (2009). Hadith:
Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World. Oxford: Oneworld
Publications.
Goldziher, I. (1971). Muslim
Studies, Trans. S. M. Stern. London: George Allen & Unwin.
Ibn Hajar al-Asqalani.
(2004). Taqrib al-Tahdhib, Ed. A. I. al-Huwaini. Cairo: Dar al-Taqwa.
Ibn Hajar al-Asqalani.
(2002). Lisan al-Mizan. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibn Sa’d. (2001). Tabaqat
al-Kubra, Ed. M. A. Q. Ata. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Ibn Shalah. (2002). Muqaddimah
Ibn Shalah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibn Taymiyyah. (2004). Majmu’
al-Fatawa. Riyadh: Dar al-Wafa’.
Majelis Ulama Indonesia.
(2020). Panduan Hadits dalam Kehidupan Muslim. Jakarta: MUI Press.
Malik, I. A. (2004). Al-Muwatta’,
Ed. M. F. A. al-Baqi. Cairo: Dar al-Hadith.
Motzki, H. (2002). The
Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools.
Leiden: Brill.
Muslim ibn al-Hajjaj.
(2005). Muqaddimah Shahih Muslim, Ed. M. F. A. al-Baqi. Cairo: Dar
al-Hadith.
Muslim ibn al-Hajjaj.
(1991). Sahih Muslim, Ed. M. F. A. al-Baqi. Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
Mustafa, A. (1978). Studies
in Early Hadith Literature. Indianapolis: American Trust Publications.
Schacht, J. (1996). On
Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence. Oxford: The Islamic Texts
Society.
Wensinck, A. J. (1932). The
Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development. Cambridge: Cambridge
University Press.
Lampiran 1: Perbandingan Kitab Hadits Induk
Berikut adalah perbandingan kitab-kitab hadits
induk berdasarkan penyusunnya, jumlah hadits, metodologi, dan kategori
kitabnya:
1)
Shahih al-Bukhari
Penyusun: Imam
al-Bukhari (w. 256 H)
Jumlah Hadits: 7.563
hadits (termasuk pengulangan)
Metodologi: Hanya
mencantumkan hadits yang shahih dengan sanad bersambung dan perawi yang terpercaya.
Hadits yang mengandung kejanggalan (syadz) atau cacat (‘illah)
ditolak.
Kategori Kitab: Jami’
(komprehensif), yaitu kitab hadits yang mencakup berbagai aspek kehidupan.
2)
Shahih Muslim
Penyusun: Imam
Muslim ibn al-Hajjaj (w. 261 H)
Jumlah Hadits: 4.000
hadits (tanpa pengulangan)
Metodologi: Hanya
mencantumkan hadits shahih, tetapi dengan standar yang sedikit lebih longgar
dibandingkan Shahih al-Bukhari. Hadits dalam kitab ini disusun lebih
sistematis berdasarkan tema.
Kategori Kitab: Jami’
(komprehensif).
3)
Sunan Abu Dawud
Penyusun: Abu Dawud
al-Sijistani (w. 275 H)
Jumlah Hadits: 4.800
hadits
Metodologi: Mengandung
hadits shahih, hasan, dan dha’if, tetapi perawi dha’if yang ekstrem dihindari.
Kitab ini berfokus pada hadits yang berhubungan dengan hukum Islam (fiqh).
Kategori Kitab: Sunan
(berdasarkan bab fiqh).
4)
Sunan al-Tirmidzi
Penyusun: Imam
al-Tirmidzi (w. 279 H)
Jumlah Hadits: 3.956
hadits
Metodologi: Mengandung
hadits shahih, hasan, dan dha’if. Imam al-Tirmidzi juga memberikan komentar
tentang derajat hadits dan pendapat para ulama mengenai hadits tertentu.
Kategori Kitab: Sunan
(berdasarkan bab fiqh).
5)
Sunan al-Nasa’i
Penyusun: Imam
al-Nasa’i (w. 303 H)
Jumlah Hadits: 5.762
hadits
Metodologi: Lebih
ketat dalam sanad dibandingkan Sunan lainnya, dengan banyak hadits yang
mendekati derajat shahih.
Kategori Kitab: Sunan
(berdasarkan bab fiqh).
6)
Sunan Ibn Majah
Penyusun: Ibn Majah
(w. 273 H)
Jumlah Hadits: 4.341
hadits
Metodologi: Mengandung
hadits shahih, hasan, dan dha’if. Beberapa hadits dalam kitab ini dikritik oleh
ulama karena kelemahan sanadnya.
Kategori Kitab: Sunan
(berdasarkan bab fiqh).
7)
Musnad Ahmad
Penyusun: Imam Ahmad
ibn Hanbal (w. 241 H)
Jumlah Hadits: Lebih dari
27.000 hadits
Metodologi:
Dikumpulkan berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkan hadits (musnad). Kitab
ini mencakup hadits-hadits shahih, hasan, dan dha’if.
Kategori Kitab: Musnad
(berdasarkan sahabat).
8)
Al-Muwatta’
Penyusun: Imam Malik
ibn Anas (w. 179 H)
Jumlah Hadits: 1.720
hadits
Metodologi: Mengandung
hadits shahih dan amalan penduduk Madinah yang dijadikan landasan hukum oleh
Imam Malik.
Kategori Kitab: Kitab
fiqh-hadits, yaitu kitab yang menggabungkan hadits dan fatwa para sahabat
serta tabi’in dalam hukum Islam.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, ed. Ibn Baz (Riyadh: Dar al-Salam, 1999).
[2]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed.
Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002).
[3]
Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990).
[4]
Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi
(Cairo: Dar al-Hadith, 2004).
[5]
Ahmad ibn Shu'ayb al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i
(Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 2002).
[6]
Muhammad ibn Yazid ibn Majah, Sunan Ibn Majah
(Cairo: Dar al-Hadith, 2005).
[7]
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1
(Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1999).
[8]
Malik ibn Anas, Al-Muwatta’, ed. Muhammad
Fu’ad Abd al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2004).
Lampiran 2: Glosarium
1)
Al-Hadits (الحديث)
Secara bahasa, al-hadits berarti “berita” atau “perkataan.”
Dalam terminologi Islam, hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad Saw, baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan (taqrir),
maupun sifat-sifat beliau.¹
2)
As-Sunnah (السنة)
Sunnah adalah istilah yang sering digunakan secara sinonim dengan
hadits. Namun, dalam konteks ushul fiqh, sunnah merujuk pada semua tindakan,
perkataan, dan ketetapan Nabi yang dijadikan pedoman hukum Islam.²
3)
Al-Isnad (الإسناد)
Isnad adalah rangkaian perawi yang menyampaikan suatu hadits dari
Rasulullah Saw hingga ke periwayat terakhir yang mencatatnya. Isnad berfungsi
sebagai dasar dalam menentukan validitas suatu hadits.³
4)
Al-Sanad (السند)
Sanad adalah jalur atau mata rantai periwayatan hadits yang
menghubungkan suatu hadits dari perawi pertama hingga perawi terakhir.⁴
5)
Al-Matan (المتن)
Matan adalah isi atau teks dari suatu hadits setelah bagian sanad. Matan
merupakan bagian utama hadits yang berisi pesan atau informasi yang disampaikan
oleh Nabi Muhammad Saw.⁵
6)
Al-Musnad (المسند)
Musnad adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan nama sahabat yang
meriwayatkannya. Contoh kitab musnad yang terkenal adalah Musnad Ahmad
karya Imam Ahmad ibn Hanbal.⁶
7)
Al-Musthalah (المصطلح)
Musthalah adalah istilah yang digunakan untuk menyebut ilmu yang
membahas terminologi dan kaidah dalam ilmu hadits, seperti klasifikasi hadits
berdasarkan sanad, matan, dan perawi.⁷
8)
Hadits Shahih (الحديث الصحيح)
Hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung (muttasil),
diriwayatkan oleh perawi yang adil dan kuat hafalannya (dhabit), serta
tidak mengandung kejanggalan (syadz) dan cacat tersembunyi (‘illah).⁸
9)
Hadits Hasan (الحديث الحسن)
Hadits hasan memiliki kriteria yang hampir sama dengan hadits shahih,
tetapi perawinya sedikit lebih lemah dalam hafalan dibandingkan perawi hadits
shahih. Hadits ini masih dapat dijadikan hujjah dalam hukum Islam.⁹
10)
Hadits Dha’if (الحديث الضعيف)
Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat sebagai hadits
shahih atau hasan karena adanya kelemahan dalam sanad atau matannya, seperti
perawi yang lemah hafalannya atau sanad yang terputus.¹⁰
11)
Hadits Maudhu’ (الحديث الموضوع)
Hadits maudhu’ adalah hadits palsu yang dibuat dan disandarkan kepada
Rasulullah Saw tanpa dasar yang sah. Para ulama hadits mengembangkan metode
untuk mendeteksi hadits palsu agar tidak dijadikan sumber hukum Islam.¹¹
12)
Hadits Mutawatir (الحديث المتواتر)
Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
perawi di setiap tingkatan sanadnya, sehingga mustahil mereka bersepakat untuk
berdusta. Hadits ini memiliki derajat kepastian yang tinggi dalam Islam.¹²
13)
Hadits Ahad (الحديث الآحاد)
Hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya dalam satu tingkatan
sanad kurang dari jumlah yang diperlukan untuk menjadi hadits mutawatir. Hadits
ahad terbagi menjadi masyhur, aziz, dan gharib.¹³
14)
Jarh wa Ta’dil (الجرح والتعديل)
Jarh wa Ta’dil adalah cabang ilmu hadits yang membahas tentang kriteria
untuk menilai kredibilitas perawi hadits. Jarh berarti kritik terhadap
kelemahan perawi, sedangkan Ta’dil berarti penilaian positif terhadap
keadilan dan ketepatan hafalan perawi.¹⁴
15)
Muttasil (المتصل)
Hadits muttasil adalah hadits yang sanadnya bersambung tanpa ada perawi
yang hilang dalam rantai periwayatan.¹⁵
16)
Munqathi’ (المنقطع)
Hadits munqathi’ adalah hadits yang sanadnya terputus di salah satu
tingkatan periwayatan. Hadits ini umumnya dinilai lemah karena adanya
kemungkinan hilangnya keabsahan riwayat.¹⁶
17)
Mursal (المرسل)
Hadits mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang tabi’in
langsung dari Nabi Saw, tanpa menyebutkan perantara sahabat dalam sanadnya.¹⁷
18)
Mu’dal (المعضل)
Hadits mu’dal adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat dua atau lebih
perawi yang hilang secara berurutan.¹⁸
19)
Syadz (الشاذ)
Hadits syadz adalah hadits yang perawinya tsiqah tetapi bertentangan
dengan hadits lain yang lebih kuat dalam sanadnya.¹⁹
20)
Mudraj (المدرج)
Hadits mudraj adalah hadits yang dalam matannya terdapat tambahan dari
perawi yang bukan bagian dari sabda asli Nabi Saw.²⁰
Catatan Kaki
[1]
Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and
Literature (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2010), 17.
[2]
Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy
in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 22.
[3]
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence
(Leiden: Brill, 2002), 74.
[4]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nukhbat al-Fikar
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 25.
[5]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed.
Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 11.
[6]
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1
(Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1999), 7.
[7]
Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ‘Ilm
al-Riwayah (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 18.
[8]
Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1994), 21.
[9]
Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar
al-Wafa’, 2004), 2:34.
[10]
Al-Daraqutni, Al-‘Ilal (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2001), 5:27.
[11]
Ibn al-Jawzi, Al-Mawdu‘at (Cairo: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 3:56.
[12]
Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 67.
[13]
Ibn Shalah, Muqaddimah Ibn Shalah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 42.
[14]
Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 3.
[15]
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Cairo: Dar
al-Ma’rifah, 1986), 1.
[16]
Malik ibn Anas, Al-Muwatta’, ed. Muhammad
Fu’ad Abd al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 5.
[17]
Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Cairo: Dar
al-Hadith, 2004), 12.
[18]
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah (Cairo: Dar
al-Hadith, 2005), 9.
[19]
Muslim, Muqaddimah Shahih Muslim, 14.
[20]
Ibn Hajar al-Asqalani, Lisan al-Mizan
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 1:34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar