Senin, 17 Februari 2025

Bahan Ajar Qurdis Kelas 10 Bab 8: Sejarah Perkembangan Hadits

Sejarah Perkembangan Hadits

Kajian Komprehensif Berdasarkan Ulumul Hadits, Penjelasan Ulama, dan Kitab Hadits Induk


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 10 (Sepuluh)


Abstrak

Hadits merupakan sumber utama ajaran Islam setelah Al-Qur'an yang memiliki peran penting dalam pembentukan hukum Islam, akhlak, serta tata kehidupan Muslim. Artikel ini membahas sejarah perkembangan hadits secara komprehensif, mulai dari masa Nabi Muhammad Saw hingga era kodifikasi dan lahirnya ilmu Musthalah Hadits. Pada masa Nabi, hadits disampaikan secara lisan dan dihafal oleh para sahabat, kemudian berkembang menjadi bentuk tertulis pada masa Khulafaurasyidin dan Tabi’in. Kodifikasi hadits secara sistematis terjadi pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah dengan disusunnya kitab-kitab hadits induk seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Seiring dengan itu, ilmu Musthalah Hadits lahir sebagai metodologi ilmiah untuk menilai keabsahan hadits melalui kritik sanad dan matan.

Artikel ini juga membahas tantangan dalam perkembangan hadits, termasuk munculnya hadits palsu, perbedaan pendekatan antara ahli hadits dan ahli fiqh, serta kritik terhadap hadits di era modern, terutama dari kalangan orientalis. Meskipun demikian, berbagai upaya telah dilakukan oleh para ulama untuk menjaga kemurnian hadits dengan menerapkan metode verifikasi yang ketat. Studi ini menegaskan pentingnya pemahaman yang mendalam terhadap ilmu hadits dalam menghadapi tantangan kontemporer serta perlunya pemanfaatan teknologi dalam kajian hadits. Dengan demikian, umat Islam diharapkan dapat memahami dan mengamalkan hadits secara benar serta mampu membedakan antara hadits yang shahih dan yang tidak valid.

Kata Kunci: Hadits, Ulumul Hadits, Musthalah Hadits, Kodifikasi Hadits, Kritik Sanad, Kritik Matan, Hadits Palsu, Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Orientalisme.


PEMBAHASAN

Sejarah Perkembangan Hadits


1.           Pendahuluan

1.1.       Pengertian Hadits

Hadits merupakan salah satu elemen penting dalam ajaran Islam. Secara etimologis, kata hadits berasal dari bahasa Arab yang berarti “ucapan,” “perkataan baru,” atau “kabar.” Sementara itu, secara terminologi, hadits didefinisikan sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan (taqrir), maupun sifat-sifat beliau. Hadits menjadi sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an, yang berfungsi untuk menjelaskan, menafsirkan, dan melengkapi ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an.¹

Dalam konteks hukum Islam, hadits memainkan peran sebagai pedoman dalam berbagai aspek kehidupan umat Muslim. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’i dalam Ar-Risalah, “Setiap hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah berdasarkan wahyu adalah bagian dari ketaatan kepada Allah.”² Dengan demikian, keaslian dan pemahaman terhadap hadits menjadi krusial dalam praktik keislaman.

1.2.       Urgensi Pembahasan Perkembangan Hadits

Sejarah perkembangan hadits tidak hanya menunjukkan bagaimana hadits itu diriwayatkan dan dikodifikasi, tetapi juga mencerminkan dinamika keilmuan umat Islam. Pada masa Rasulullah Saw, hadits disampaikan secara lisan dan dihafal oleh para sahabat. Setelah wafatnya Nabi, kebutuhan untuk menjaga keotentikan hadits semakin mendesak, terutama karena penyebaran Islam ke berbagai wilayah menyebabkan risiko distorsi dan penyimpangan. Hal ini melahirkan usaha-usaha serius dalam periwayatan, kritik sanad, dan kodifikasi hadits.³

Mempelajari sejarah perkembangan hadits memberikan wawasan tentang pentingnya metodologi ilmiah dalam menjaga keaslian ajaran Islam. Selain itu, kajian ini juga membuka pemahaman tentang hubungan hadits dengan disiplin ilmu lainnya, seperti fikih, tafsir, dan sejarah Islam. Imam Nawawi menekankan bahwa memahami ilmu hadits adalah fondasi untuk memahami agama secara keseluruhan, karena dari hadits-lah umat Islam mengetahui penjelasan rinci tentang syariat.⁴

Sebagai salah satu pilar utama dalam keilmuan Islam, studi tentang sejarah perkembangan hadits tidak hanya memberikan landasan akademis yang kokoh tetapi juga memperkuat keyakinan umat Muslim terhadap otoritas ajaran agama yang diwariskan melalui Nabi Muhammad Saw.


Catatan Kaki

[1]                A. J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1932), 52.

[2]                Muhammad ibn Idris al-Shafi’i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Cairo: Dar al-Turath, 1979), 34.

[3]                Mustafa al-A’zami, Studies in Early Hadith Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), 87.

[4]                Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1994), 12.


2.           Perkembangan Hadits pada Masa Nabi Muhammad Saw

2.1.       Penyampaian Hadits oleh Rasulullah Saw

Sejak diangkat sebagai Rasul, Nabi Muhammad Saw tidak hanya menyampaikan wahyu Al-Qur’an tetapi juga memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat yang diturunkan. Hadits, sebagai bentuk ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi, menjadi bagian integral dalam memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam. Nabi sendiri sering kali memberikan bimbingan kepada para sahabat dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang berkaitan dengan ibadah, hukum, maupun adab sosial.¹

Metode penyampaian hadits di era Rasulullah sebagian besar bersifat oral (talaqqi wa sama’), di mana para sahabat mendengar langsung dari Nabi dan menghafalkannya.² Beberapa di antara mereka juga mencatat hadits dalam bentuk tulisan, meskipun pada masa awal terdapat larangan untuk menuliskan selain Al-Qur’an.³ Namun, dalam beberapa kesempatan, Nabi memperbolehkan penulisan hadits, sebagaimana tercermin dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, ‘Bolehkah kami menulis hadits darimu?’ Rasulullah menjawab, ‘Tulislah, karena aku tidak mengatakan sesuatu kecuali yang benar’.”⁴ Hal ini menunjukkan bahwa ada sahabat tertentu yang diizinkan menulis hadits sebagai catatan pribadi.

2.2.       Larangan Penulisan Hadits di Masa Awal Islam

Pada masa awal Islam, Nabi Muhammad Saw mengeluarkan larangan untuk menulis hadits di samping Al-Qur’an. Salah satu hadits yang sering dikutip dalam hal ini adalah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an. Barang siapa yang telah menulis sesuatu selain Al-Qur’an, hendaknya ia menghapusnya.”⁵ Larangan ini dimaksudkan agar Al-Qur’an tidak bercampur dengan perkataan Rasulullah dan untuk menghindari kebingungan di kalangan umat Islam.

Namun, seiring waktu, kebutuhan untuk mendokumentasikan hadits mulai muncul. Beberapa sahabat seperti Abdullah ibn Amr ibn al-As mulai mencatat hadits dalam apa yang dikenal sebagai As-Sahifah As-Sadiqah, yang berisi sekitar seribu hadits.⁶ Hadits-hadits ini tidak dikodifikasi secara sistematis seperti di era setelahnya, tetapi menjadi bukti awal bahwa penulisan hadits sudah berlangsung sejak zaman Rasulullah.

2.3.       Praktik Para Sahabat dalam Menerima dan Menghafal Hadits

Para sahabat memainkan peran utama dalam menyebarluaskan hadits dengan cara menghafal dan meriwayatkannya kepada generasi berikutnya. Sahabat yang dikenal sebagai perawi hadits terbanyak di antaranya adalah Abu Hurairah (5.374 hadits), Abdullah ibn Umar (2.630 hadits), Anas ibn Malik (2.286 hadits), dan Aisyah binti Abu Bakar (2.210 hadits).⁷ Mereka tidak hanya menghafal tetapi juga menyampaikan hadits dengan sangat hati-hati, sesuai dengan prinsip kejujuran dalam periwayatan.

Salah satu metode yang digunakan sahabat dalam menghafal hadits adalah dengan cara mengulanginya di hadapan Rasulullah atau sahabat lainnya untuk memastikan ketepatan periwayatan. Anas bin Malik, misalnya, pernah berkata, “Kami sering kali mengulang hadits yang kami dengar dari Rasulullah agar tidak lupa.”⁸ Praktik ini menegaskan pentingnya hafalan sebagai metode utama dalam menjaga keotentikan hadits sebelum sistem kodifikasi berkembang di era setelahnya.

Keseluruhan proses periwayatan hadits di masa Nabi ini menjadi dasar bagi perkembangan ilmu hadits di kemudian hari. Para sahabat bertindak sebagai perantara utama dalam menyebarluaskan ajaran Rasulullah, yang kemudian diwariskan kepada generasi tabi’in dan tabi’ut tabi’in dengan sistem yang lebih terstruktur.


Catatan Kaki

[1]                Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar (Cairo: Dar al-Hadith, 2006), 15.

[2]                Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2010), 22.

[3]                Muhammad Mustafa al-Azami, The History of the Qur'anic Text from Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 69.

[4]                Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 2 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1999), 162.

[5]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), Hadits No. 3004.

[6]                Harold Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools (Leiden: Brill, 2002), 89.

[7]                Ibn Hajar al-Asqalani, Taqrib al-Tahdhib, ed. Abu Ishaq al-Huwaini (Cairo: Dar al-Taqwa, 2004), 49.

[8]                Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyat al-Awliya wa Tabaqat al-Asfiya, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), 380.


3.           Perkembangan Hadits pada Masa Khulafaurasyidin

3.1.       Upaya Pengumpulan dan Verifikasi Hadits

Setelah wafatnya Rasulullah Saw, para sahabat menghadapi tantangan besar dalam menjaga keaslian dan penyebaran hadits. Masa Khulafaurasyidin (632–661 M) menjadi periode penting dalam perkembangan hadits karena meningkatnya perhatian terhadap keotentikan riwayat dan upaya verifikasi hadits sebelum disebarluaskan.¹

Khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq (r. 632–634 M), dikenal sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Ia tidak langsung menerima hadits kecuali setelah memperoleh kesaksian dari sahabat lain. Hal ini tercermin dalam salah satu riwayat ketika seorang sahabat meriwayatkan hadits kepada Abu Bakar, lalu ia meminta saksi lain sebelum menerimanya.² Langkah ini menunjukkan betapa ketatnya pengujian hadits pada masa itu guna menghindari kesalahan dalam periwayatan.

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab (r. 634–644 M), kebijakan terkait periwayatan hadits semakin diperketat. Umar bahkan melarang sahabat untuk terlalu banyak meriwayatkan hadits karena khawatir akan adanya distorsi.³ Umar pernah berkata kepada para sahabat:

"Kurangi periwayatan hadits dari Rasulullah, kecuali jika berkaitan dengan hukum. Jika ada yang meriwayatkan hadits secara berlebihan, aku akan menghukumnya."⁴

Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga otentisitas hadits dan memastikan bahwa tidak ada penyimpangan dalam ajaran yang diwariskan oleh Rasulullah.

3.2.       Metode Hafalan dan Periwayatan oleh Para Sahabat

Periwayatan hadits di era Khulafaurasyidin masih dominan dilakukan melalui hafalan dan lisan. Para sahabat utama, seperti Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar, dan Aisyah, memiliki peran besar dalam menyebarluaskan hadits di berbagai wilayah Islam yang semakin luas. Abu Hurairah, misalnya, adalah perawi terbanyak dengan sekitar 5.374 hadits yang diriwayatkannya.⁵

Selain metode hafalan, sahabat juga mulai menggunakan catatan pribadi sebagai sarana untuk mengingat hadits, meskipun belum ada upaya resmi untuk melakukan kodifikasi secara sistematis. Abdullah ibn Amr ibn al-As, misalnya, memiliki kitab pribadi yang dikenal sebagai As-Sahifah As-Sadiqah, yang memuat hadits-hadits yang ia tulis langsung dari Rasulullah.⁶ Praktik ini menunjukkan adanya kesadaran dalam menjaga keabsahan hadits melalui dokumentasi tertulis.

3.3.       Penyebaran Hadits ke Berbagai Wilayah Islam

Pada masa Khulafaurasyidin, wilayah Islam berkembang pesat hingga mencakup Jazirah Arab, Persia, Syam, dan Mesir. Seiring dengan ekspansi ini, banyak sahabat yang bermigrasi ke berbagai wilayah, membawa serta ilmu hadits. Perpindahan mereka membantu dalam menyebarluaskan hadits dan membangun jaringan transmisi hadits di berbagai kota Islam utama seperti Kufah, Basrah, Damaskus, dan Fustat.⁷

Beberapa sahabat utama yang berperan dalam penyebaran hadits di berbagai wilayah antara lain:

·                     Abdullah ibn Mas’ud – menetap di Kufah dan menjadi otoritas utama dalam periwayatan hadits dan hukum Islam di Irak.

·                     Abu Darda – tinggal di Damaskus dan menyebarkan hadits di kalangan penduduk Syam.

·                     Anas ibn Malik – menetap di Basrah dan meriwayatkan banyak hadits kepada generasi tabi’in di sana.⁸

Jaringan transmisi hadits ini menjadi dasar bagi generasi tabi’in dalam memahami dan mengembangkan ilmu hadits, yang nantinya berujung pada kodifikasi resmi di era setelahnya.

3.4.       Tantangan dalam Periwayatan Hadits

Meskipun periwayatan hadits dilakukan dengan ketat, tantangan mulai muncul, terutama karena semakin banyaknya individu yang mengklaim meriwayatkan hadits tanpa sanad yang jelas. Salah satu tantangan utama adalah munculnya riwayat-riwayat yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Oleh karena itu, pada masa ini mulai berkembang prinsip-prinsip kritik sanad yang kelak menjadi dasar ilmu musthalah hadits.

Ali bin Abi Thalib (r. 656–661 M), misalnya, menekankan pentingnya meneliti sanad hadits dengan mengatakan:

"Jika kalian mendengar sebuah hadits, periksalah siapa perawinya. Jika mereka adalah orang-orang yang terpercaya, maka ambillah. Jika tidak, maka tinggalkanlah."⁹

Prinsip kehati-hatian dalam periwayatan ini nantinya menjadi salah satu dasar penting dalam ilmu kritik hadits.


Kesimpulan

Periode Khulafaurasyidin merupakan fase penting dalam perkembangan hadits, di mana terjadi penyebaran luas dan penguatan prinsip verifikasi hadits. Meski belum ada kodifikasi resmi, langkah-langkah ketat yang diterapkan oleh para khalifah dan sahabat utama membantu menjaga keabsahan hadits sebelum era kodifikasi di masa tabi’in. Upaya ini menjadi fondasi bagi perkembangan ilmu hadits di generasi berikutnya.


Catatan Kaki

[1]                Muhammad Mustafa al-Azami, Studies in Early Hadith Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), 45.

[2]                Ibn Sa’d, Tabaqat al-Kubra, ed. Muhammad Abdul Qadir Ata (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 1:231.

[3]                Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1986), 1:199.

[4]                Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyat al-Awliya wa Tabaqat al-Asfiya, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 382.

[5]                Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, ed. Ibn Baz (Riyadh: Dar al-Salam, 1999), Hadits No. 118.

[6]                Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools (Leiden: Brill, 2002), 95.

[7]                Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 62.

[8]                Ibn Hajar al-Asqalani, Taqrib al-Tahdhib (Cairo: Dar al-Taqwa, 2004), 51.

[9]                Ibn al-Jawzi, Talbis Iblis (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 55.


4.           Periode Tabi’in dan Kodifikasi Hadits

4.1.       Penyebaran Ilmu Hadits ke Berbagai Wilayah Islam

Setelah wafatnya para sahabat, periwayatan hadits berlanjut ke generasi tabi’in, yaitu mereka yang bertemu dan belajar langsung dari para sahabat. Pada periode ini, Islam telah menyebar luas ke berbagai wilayah, termasuk Kufah, Basrah, Damaskus, dan Mesir.¹ Para tabi’in berperan penting dalam menyalurkan hadits kepada generasi berikutnya serta memperkenalkan metode baru dalam periwayatan dan pengajaran hadits.

Pusat-pusat keilmuan utama yang berkembang pada masa tabi’in antara lain:

·                     Madinah – Kota ini menjadi pusat utama studi hadits karena keberadaan sahabat-sahabat senior seperti Said ibn al-Musayyib dan Urwah ibn al-Zubair.

·                     Kufah – Para tabi’in seperti Alqamah ibn Qais dan Ibrahim al-Nakha’i banyak meriwayatkan hadits di wilayah ini.

·                     Basrah – Anas ibn Malik dan Hasan al-Basri menjadi tokoh utama dalam pengajaran hadits di daerah ini.

·                     Syam – Perawi seperti Abu Darda dan Makhul al-Syami banyak mengajarkan hadits di Damaskus dan sekitarnya.²

Karena penyebaran Islam semakin luas, kebutuhan akan metode periwayatan yang lebih terstruktur menjadi semakin mendesak. Sistem transmisi hadits mengalami perkembangan, dengan munculnya praktik pembacaan hadits secara formal dalam majelis-majelis keilmuan.³

4.2.       Kodifikasi Awal Hadits: Inisiatif Umar bin Abdul Aziz

Kodifikasi hadits secara resmi dimulai pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (r. 717–720 M). Khalifah dari Bani Umayyah ini melihat urgensi dalam mendokumentasikan hadits secara tertulis agar tidak terjadi penyimpangan atau hilangnya hadits akibat wafatnya para perawi terpercaya. Dalam sebuah surat kepada gubernur Madinah, Abu Bakr ibn Hazm, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar hadits-hadits Rasulullah dikumpulkan dan ditulis secara sistematis. Ia berkata:

"Periksalah hadits-hadits Rasulullah dan tulislah, karena aku khawatir ilmu akan hilang dan para ulama akan meninggal dunia."⁴

Inisiatif ini merupakan tonggak awal dalam sistematisasi kodifikasi hadits, meskipun masih dalam tahap awal dan belum berbentuk kitab-kitab hadits seperti yang kita kenal sekarang.

4.3.       Tokoh-Tokoh Utama dalam Proses Kodifikasi

Beberapa ulama tabi’in yang berperan dalam kodifikasi hadits antara lain:

·                     Muhammad ibn Muslim ibn Shihab al-Zuhri (w. 124 H/741 M)

Al-Zuhri dianggap sebagai salah satu perintis dalam upaya sistematisasi hadits secara tertulis. Ia adalah seorang ulama Madinah yang dipercaya oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk mengumpulkan dan mencatat hadits-hadits yang tersebar di berbagai tempat.⁵

·                     Imam Malik ibn Anas (w. 179 H/795 M)

Imam Malik menyusun kitab Al-Muwatta’, yang merupakan salah satu koleksi hadits tertua yang masih tersedia hingga saat ini. Kitab ini tidak hanya berisi hadits, tetapi juga mencakup fatwa sahabat dan tabi’in.⁶

Ulama-ulama tabi’in lainnya, seperti Sufyan al-Thawri dan Sufyan ibn Uyainah, juga turut berkontribusi dalam upaya pengumpulan hadits, meskipun belum dalam bentuk kitab hadits yang terstruktur seperti di era berikutnya.

4.4.       Metodologi Periwayatan dan Kritik Hadits pada Masa Tabi’in

Pada masa tabi’in, metode periwayatan hadits mengalami perkembangan yang lebih maju dibanding era sahabat. Beberapa metode utama yang digunakan dalam periwayatan hadits adalah:

·                     Sima’ (Mendengar Langsung)

Seorang murid mendengarkan hadits langsung dari gurunya dan meriwayatkannya kembali.

·                     Qira’ah (Membacakan Hadits)

Seorang murid membacakan hadits di hadapan gurunya untuk dikoreksi.

·                     Ijazah (Pemberian Izin Riwayat)

Seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits tanpa harus mendengarnya langsung.

·                     Kitabah (Penulisan Hadits)

Hadits mulai ditulis sebagai upaya menjaga keotentikannya.⁷

Selain metode periwayatan, pada masa ini juga berkembang prinsip kritik sanad dan matan hadits. Tabi’in mulai melakukan seleksi terhadap hadits yang mereka terima dengan cara meneliti sanadnya, mengevaluasi kredibilitas perawi, serta menolak riwayat yang dianggap bermasalah. Hal ini menjadi cikal bakal ilmu musthalah hadits yang berkembang pesat di era setelahnya.⁸

4.5.       Peran Khalifah dalam Pengembangan Ilmu Hadits

Selain Umar bin Abdul Aziz, beberapa khalifah Dinasti Umayyah dan Abbasiyah juga menunjukkan perhatian terhadap perkembangan hadits. Pada masa Khalifah Al-Mansur (r. 754–775 M) dan Harun al-Rasyid (r. 786–809 M), pengumpulan dan pembukuan hadits semakin mendapat perhatian. Harun al-Rasyid bahkan meminta para ulama hadits untuk mengajarkan ilmu hadits secara lebih luas di wilayah kekuasaan Islam.⁹

Kebijakan ini mencerminkan kesadaran para penguasa Islam akan pentingnya hadits sebagai sumber utama dalam hukum Islam dan praktik keagamaan.


Kesimpulan

Periode tabi’in merupakan fase transisi penting dalam perkembangan hadits, di mana periwayatan masih dilakukan secara lisan tetapi mulai mengalami kodifikasi awal. Inisiatif Umar bin Abdul Aziz dalam menulis hadits serta peran para tabi’in dalam mengembangkan metode periwayatan menjadi fondasi bagi sistem pembukuan hadits yang lebih sistematis di era berikutnya. Dengan berkembangnya ilmu kritik hadits, periode ini juga menjadi awal bagi pembentukan standar keabsahan hadits yang terus digunakan hingga saat ini.


Catatan Kaki

[1]                Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools (Leiden: Brill, 2002), 102.

[2]                Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2010), 67.

[3]                Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 85.

[4]                Ibn Sa’d, Tabaqat al-Kubra, ed. Muhammad Abdul Qadir Ata (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 2:135.

[5]                Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdhib al-Tahdhib (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 9:450.

[6]                Malik ibn Anas, Al-Muwatta’, ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 5.

[7]                Muhammad Mustafa al-Azami, The History of the Qur'anic Text from Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 105.

[8]                Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar (Cairo: Dar al-Hadith, 2006), 23.

[9]                Khaled Abou El Fadl, The Search for Beauty in Islam: A Conference of the Books (Lanham: Rowman & Littlefield, 2006), 55.


5.           Era Penyusunan Kitab Hadits Induk

5.1.       Latar Belakang Penyusunan Kitab Hadits Induk

Seiring berkembangnya ilmu hadits, para ulama mulai merasakan urgensi untuk membukukan hadits secara sistematis. Periwayatan hadits yang sebelumnya lebih banyak dilakukan secara lisan dan melalui catatan pribadi mulai diarahkan ke dalam bentuk kompilasi yang lebih terstruktur.¹ Proses kodifikasi ini semakin berkembang pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, terutama sebagai respons terhadap tantangan seperti munculnya hadits-hadits palsu (maudhu') serta meningkatnya kebutuhan akan sumber referensi hadits yang lebih terpercaya dalam hukum Islam (fiqh).²

Salah satu faktor utama yang mendorong penyusunan kitab hadits induk adalah permintaan dari para ulama dan penguasa Muslim untuk mengkodifikasi hadits secara ilmiah. Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa Harun al-Rasyid (r. 786–809 M) dan Al-Ma'mun (r. 813–833 M), memberikan dukungan terhadap perkembangan ilmu hadits dengan menyediakan fasilitas bagi para ulama untuk menyusun kitab hadits yang autentik.³

5.2.       Kategori Kitab Hadits yang Disusun

Kitab-kitab hadits induk yang muncul pada periode ini dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan metode penyusunannya:

·                     Al-Muwatta’ (Kitab Fiqh-Hadits)

Ditulis oleh Imam Malik ibn Anas (w. 179 H/795 M), Al-Muwatta’ adalah salah satu kitab hadits tertua yang masih tersedia hingga saat ini. Kitab ini tidak hanya berisi hadits tetapi juga mencakup pendapat para sahabat dan tabi’in dalam konteks hukum Islam.⁴

·                     Al-Musnad (Hadits Berdasarkan Perawi Sahabat)

Musnad adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkannya. Salah satu kitab musnad yang terkenal adalah Musnad Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H/855 M), yang mencakup lebih dari 27.000 hadits.⁵

·                     Al-Jami’ al-Shahih (Kompilasi Hadits Shahih Secara Tematik)

Kategori ini mencakup kitab-kitab hadits yang disusun secara tematik dengan metode penyaringan hadits yang ketat. Kitab hadits dalam kategori ini mencakup:

() Shahih al-Bukhari oleh Imam al-Bukhari (w. 256 H/870 M).

() Shahih Muslim oleh Imam Muslim ibn al-Hajjaj (w. 261 H/875 M).⁶

·                     Kitab Sunan (Hadits Berdasarkan Bab Fiqh)

Kitab sunan disusun berdasarkan bab-bab fikih, sehingga lebih mudah digunakan oleh para ulama fikih dalam menentukan hukum Islam. Contoh kitab sunan yang terkenal adalah:

() Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H/888 M).

() Sunan al-Tirmidzi oleh Imam al-Tirmidzi (w. 279 H/892 M).

() Sunan al-Nasa’i oleh Imam al-Nasa’i (w. 303 H/915 M).

() Sunan Ibn Majah oleh Ibn Majah (w. 273 H/887 M).⁷

5.3.       Metodologi Ulama Hadits dalam Penyusunan Kitab

Para ulama hadits menggunakan metodologi yang sangat ketat dalam menyusun kitab-kitab hadits induk. Beberapa prinsip utama yang mereka terapkan meliputi:

·                     Seleksi Sanad yang Ketat

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim hanya memasukkan hadits yang memenuhi kriteria sanad yang kuat (muttaṣil, tanpa perawi yang cacat atau lemah).⁸

·                     Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kualitasnya

Para ulama membagi hadits ke dalam kategori shahih, hasan, dan dha’if berdasarkan kredibilitas perawinya serta kesesuaian matan dengan kaidah keilmuan Islam.⁹

·                     Perbandingan dengan Riwayat Lain

Para muhadditsin membandingkan hadits yang mereka terima dengan riwayat lain untuk memastikan konsistensi dan keabsahan periwayatan.¹⁰

5.4.       Kontribusi Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam Penyusunan Hadits Shahih

Salah satu momen penting dalam kodifikasi hadits adalah penyusunan kitab Shahih al-Bukhari oleh Imam al-Bukhari (w. 256 H/870 M). Kitab ini dianggap sebagai koleksi hadits yang paling otoritatif dalam Islam Sunni. Imam al-Bukhari menyusun kitab ini dengan seleksi yang sangat ketat, di mana ia hanya menerima hadits dari perawi yang tsiqah (terpercaya) dan memiliki sanad yang bersambung.¹¹

Imam Muslim (w. 261 H/875 M) melanjutkan metode yang serupa dalam penyusunan Shahih Muslim. Salah satu perbedaan utama antara Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim adalah bahwa Imam Muslim mengatur hadits secara lebih sistematis berdasarkan tema, sehingga lebih mudah dipelajari oleh para penuntut ilmu.¹²

5.5.       Pengaruh Penyusunan Kitab Hadits Induk terhadap Ilmu Hadits

Era penyusunan kitab hadits induk memberikan dampak yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu hadits dan keilmuan Islam secara umum. Dengan adanya kodifikasi hadits dalam kitab-kitab utama, standar periwayatan hadits menjadi lebih jelas, dan ilmu hadits semakin berkembang dalam bentuk yang lebih sistematis. Beberapa dampak utama dari kodifikasi ini antara lain:

·                     Mempermudah Pengkajian Hadits dalam Fikih

Dengan tersusunnya hadits dalam bentuk kitab tematik dan sunan, para ulama fikih dapat dengan mudah merujuk hadits untuk menetapkan hukum.¹³

·                     Memunculkan Ilmu Musthalah Hadits

Standarisasi periwayatan dan penyusunan kitab hadits memunculkan ilmu musthalah hadits, yang menjadi disiplin tersendiri dalam mengkaji kualitas hadits.¹⁴

·                     Menjaga Keaslian Hadits di Tengah Munculnya Hadits Palsu

Dengan metode seleksi yang ketat, kitab-kitab hadits induk menjadi benteng utama dalam menjaga kemurnian hadits dari penyimpangan dan pemalsuan.¹⁵


Kesimpulan

Era penyusunan kitab hadits induk merupakan tonggak penting dalam sejarah perkembangan hadits. Dengan adanya kodifikasi dalam bentuk kitab-kitab hadits yang sistematis, hadits Rasulullah dapat terjaga keasliannya dan lebih mudah diakses oleh generasi setelahnya. Standarisasi periwayatan yang diperkenalkan oleh para muhadditsin juga memberikan landasan bagi perkembangan ilmu hadits dan studi keislaman secara lebih luas.


Catatan Kaki

[1]                Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools (Leiden: Brill, 2002), 115.

[2]                Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2010), 82.

[3]                Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 103.

[4]                Malik ibn Anas, Al-Muwatta’, ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 7.

[5]                Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1999), 2.

[6]                Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1986), 1.

[7]                Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 3.

[8]                Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1986), 9:252.

[9]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 2002), 5.

[10]             Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar (Cairo: Dar al-Hadith, 2006), 39.

[11]             Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Al-Tarikh al-Kabir, ed. Abdul Rahman al-Mu’allimi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 1:23.

[12]             Muslim ibn al-Hajjaj, Muqaddimah Shahih Muslim, ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 14.

[13]             Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin (Cairo: Dar al-Hadith, 1996), 2:12.

[14]             Ibn Hajar al-Asqalani, Nukhbat al-Fikar fi Mustalah Ahl al-Athar (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 18.

[15]             M. M. Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Islamic Texts Society, 1996), 95.


6.           Lahirnya Ilmu Musthalah Hadits (Ulumul Hadits)

6.1.       Latar Belakang Perkembangan Ilmu Musthalah Hadits

Setelah proses kodifikasi hadits pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, para ulama menyadari perlunya standar ilmiah dalam menilai validitas hadits. Hal ini dikarenakan semakin luasnya penyebaran hadits, munculnya perawi dengan kredibilitas yang beragam, serta adanya hadits-hadits palsu (maudhu’).¹ Oleh karena itu, berkembanglah Ilmu Musthalah Hadits (Ulumul Hadits), yang merupakan cabang ilmu Islam yang membahas terminologi, klasifikasi, serta metode verifikasi hadits.²

Ilmu Musthalah Hadits bertujuan untuk memberikan alat analisis bagi para ulama dalam menentukan derajat keotentikan hadits dan membedakan antara hadits yang dapat dijadikan hujjah (dalil) dan yang harus ditolak. Pada era ini, sistem kritik sanad dan matan berkembang pesat, dan metode evaluasi perawi mulai digunakan secara sistematis.³

6.2.       Kontribusi Ulama dalam Ilmu Musthalah Hadits

Beberapa ulama memainkan peran penting dalam pembentukan ilmu Musthalah Hadits, di antaranya:

·                     Ar-Ramahurmuzi (w. 360 H/970 M)

Ulama pertama yang menyusun karya khusus tentang ilmu hadits adalah Al-Hafizh Abu Muhammad al-Hasan ibn Abdurrahman ar-Ramahurmuzi. Bukunya, Al-Muhaddits al-Fasil bayna ar-Rawi wal-Wa’i, membahas prinsip-prinsip dasar dalam periwayatan hadits, kualifikasi perawi, serta metode kritik hadits. Namun, pada tahap ini, sistem klasifikasi hadits masih belum sepenuhnya berkembang.⁴

·                     Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H/1071 M)

Pada abad ke-5 Hijriyah, ilmu hadits mengalami kemajuan signifikan dengan karya Al-Khatib al-Baghdadi, seorang ulama hadits dari Baghdad. Dalam bukunya Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah, ia membahas secara rinci kaidah-kaidah ilmu hadits, termasuk kriteria perawi yang tsiqah (terpercaya) serta metode dalam meneliti sanad dan matan hadits.⁵

·                     Ibnu Shalah (w. 643 H/1245 M)

Ibnu Shalah dianggap sebagai salah satu figur paling berpengaruh dalam penyusunan ilmu Musthalah Hadits. Karyanya yang terkenal, Muqaddimah Ibnu Shalah, menjadi rujukan utama dalam klasifikasi hadits dan metodologi kritik hadits. Dalam kitab ini, ia mengelompokkan hadits ke dalam berbagai kategori, seperti shahih, hasan, dha’if, serta konsep-konsep seperti mutawatir dan ahad.⁶

6.3.       Klasifikasi Hadits dalam Ilmu Musthalah Hadits

Dalam ilmu Musthalah Hadits, hadits diklasifikasikan berdasarkan beberapa aspek utama:

·                     Berdasarkan Keabsahan Sanad

Shahih – Hadits yang memiliki sanad bersambung, perawinya adil dan kuat hafalannya, serta tidak mengandung kejanggalan (syadz) atau cacat (‘illah).⁷

Hasan – Hadits yang sanadnya bersambung, tetapi perawinya memiliki tingkat kredibilitas sedikit di bawah hadits shahih.⁸

Dha’if – Hadits yang mengandung kelemahan dalam sanad atau matan, seperti adanya perawi yang tidak kuat hafalannya.⁹

·                     Berdasarkan Kuantitas Perawi

Mutawatir – Hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi dalam setiap tingkatan sanadnya sehingga mustahil terjadi kebohongan secara bersama-sama.¹⁰

Ahad – Hadits yang diriwayatkan oleh satu atau beberapa perawi saja dalam setiap tingkatan sanadnya, yang terbagi menjadi masyhur, aziz, dan gharib.¹¹

·                     Berdasarkan Status Penerimaan

Maqbul – Hadits yang dapat diterima dan diamalkan, seperti hadits shahih dan hasan.¹²

Mardud – Hadits yang tertolak, seperti hadits dha’if atau palsu.¹³

6.4.       Metodologi Kritik Sanad dan Matan

Para ulama hadits mengembangkan metode untuk memastikan keabsahan hadits melalui dua aspek utama:

·                     Kritik Sanad (Naqd al-Isnad)

Kritik sanad bertujuan untuk meneliti keabsahan rantai periwayatan hadits dengan mempertimbangkan keadilan (‘adalah) dan kapasitas hafalan (dabt) para perawi. Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim menyatakan bahwa sanad merupakan kunci utama dalam menentukan otoritas suatu hadits.¹⁴

·                     Kritik Matan (Naqd al-Matan)

Kritik matan dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya kejanggalan dalam teks hadits. Para ulama membandingkan isi hadits dengan Al-Qur’an, hadits-hadits lain, serta akal sehat. Imam Al-Daraqutni misalnya, sering kali mengkritik hadits yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.¹⁵

6.5.       Perkembangan Ilmu Musthalah Hadits di Era Selanjutnya

Setelah Ibnu Shalah, beberapa ulama terus mengembangkan ilmu Musthalah Hadits dengan menyusun kitab-kitab penting, seperti:

·                     An-Nawawi (w. 676 H/1277 M) – Menyusun Taqrib wa Taysir, ringkasan dari Muqaddimah Ibnu Shalah.

·                     Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H/1449 M) – Menulis Nukhbat al-Fikar, yang menjadi rujukan dalam kritik sanad dan matan.

·                     As-Suyuthi (w. 911 H/1505 M) – Menulis Tadrib al-Rawi, yang berisi penjelasan rinci tentang ilmu Musthalah Hadits.

Ilmu Musthalah Hadits terus berkembang hingga era modern dan tetap menjadi dasar dalam studi hadits hingga saat ini.


Kesimpulan

Lahirnya ilmu Musthalah Hadits merupakan respons terhadap kebutuhan akan standarisasi dalam periwayatan hadits. Dengan adanya metode kritik sanad dan matan, serta klasifikasi hadits, ilmu ini menjadi alat utama dalam menentukan validitas hadits. Perkembangan ilmu ini menunjukkan betapa pentingnya upaya para ulama dalam menjaga kemurnian ajaran Islam.


Catatan Kaki

[1]                Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2010), 91.

[2]                Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 122.

[3]                Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools (Leiden: Brill, 2002), 140.

[4]                Al-Ramahurmuzi, Al-Muhaddits al-Fasil bayna ar-Rawi wal-Wa’i (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 15.

[5]                Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 43.

[6]                Ibn Shalah, Muqaddimah Ibn Shalah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 9.

[7]                Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 18.

[8]                Ibn Hajar al-Asqalani, Nukhbat al-Fikar (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 22.

[9]                Al-Daraqutni, Al-‘Ilal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 5:27.

[10]             Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar al-Wafa’, 2004), 18:10.

[11]             Ibn al-Salah, Muqaddimah, 30.

[12]             As-Suyuthi, Tadrib al-Rawi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 39.

[13]             Ibid., 41.

[14]             Muslim, Muqaddimah Shahih Muslim, 12.

[15]             Al-Daraqutni, Al-‘Ilal, 3:98.


7.           Tantangan dan Kontroversi dalam Perkembangan Hadits

7.1.       Munculnya Hadits Palsu (Maudhu’)

Salah satu tantangan terbesar dalam sejarah perkembangan hadits adalah munculnya hadits-hadits palsu (maudhu’). Hadits palsu adalah hadits yang sengaja dibuat dan disandarkan kepada Rasulullah Saw tanpa dasar yang sah. Faktor utama yang menyebabkan munculnya hadits palsu antara lain:

·                     Motif Politik

Sejak awal perkembangan Islam, perpecahan politik antara berbagai kelompok, terutama setelah wafatnya Utsman bin Affan, berkontribusi pada penyebaran hadits palsu. Kelompok-kelompok tertentu menggunakan hadits palsu untuk memperkuat legitimasi politik mereka.¹ Misalnya, kelompok Syi’ah dan Khawarij sering dituduh membuat hadits untuk mendukung pandangan mereka.

·                     Persaingan Mazhab dan Sekte

Perbedaan pandangan dalam hukum Islam (fiqh) dan teologi (kalam) juga mendorong beberapa kelompok untuk menciptakan hadits guna mendukung argumentasi mereka.² Imam Malik bahkan pernah berkata:

Tidak ada kelompok yang lebih banyak berdusta dalam hadits dibandingkan ahli bid’ah.”³

·                     Keinginan Masyarakat Akan Keutamaan Ibadah

Sebagian orang yang kurang memahami ilmu hadits menciptakan hadits-hadits yang berisi janji pahala besar bagi ibadah tertentu dengan tujuan memotivasi umat Islam. Contohnya, banyak hadits palsu yang menjanjikan pahala tinggi bagi amalan tertentu di bulan Rajab dan Sya’ban.⁴

7.2.       Usaha Ulama dalam Memerangi Hadits Palsu

Para ulama hadits sejak awal menyadari bahaya hadits palsu dan mengembangkan metode untuk mendeteksinya. Beberapa langkah yang mereka lakukan antara lain:

·                     Ilmu Jarh wa Ta’dil (Kritik Perawi)

Ilmu ini digunakan untuk menilai kredibilitas perawi hadits. Perawi yang terbukti berdusta atau memiliki kecenderungan bid’ah ditolak riwayatnya. Al-Bukhari, misalnya, sangat ketat dalam menerima hadits dan hanya mencatat hadits dari perawi yang tsiqah (terpercaya).⁵

·                     Penyusunan Kitab Khusus Hadits Palsu

Ulama seperti Ibn al-Jawzi (w. 597 H) dalam Al-Mawdu‘at dan As-Suyuthi dalam Al-La’ali al-Mashnu’ah menyusun kitab-kitab khusus untuk mengumpulkan hadits-hadits palsu agar masyarakat tidak tertipu.⁶

·                     Prinsip Al-Dhabt (Ketelitian dalam Periwayatan)

Para ulama mensyaratkan bahwa perawi hadits harus memiliki ingatan kuat dan mencatat hadits dengan ketelitian tinggi. Imam Muslim menolak hadits dari perawi yang dikenal ceroboh dalam meriwayatkan.⁷

7.3.       Perbedaan dalam Metode Kritik Hadits antara Ahli Hadits dan Ahli Fiqh

Kontroversi lain dalam perkembangan hadits adalah perbedaan pendekatan antara ulama ahli hadits dan ahli fiqh dalam menerima hadits:

·                     Pendekatan Ahli Hadits

Ulama hadits seperti Al-Bukhari dan Muslim menerapkan kriteria sangat ketat dalam menerima hadits. Mereka lebih menekankan keakuratan sanad daripada konten hadits itu sendiri.⁸

·                     Pendekatan Ahli Fiqh

Ulama fiqh seperti Imam Abu Hanifah lebih fleksibel dalam menerima hadits, terutama jika hadits tersebut memiliki kesesuaian dengan prinsip umum dalam hukum Islam. Imam Malik dalam Al-Muwatta’ sering kali mendahulukan amalan penduduk Madinah dibandingkan hadits ahad yang belum dikenal luas.⁹

Perbedaan ini menyebabkan beberapa hadits yang diterima oleh ahli hadits ditolak oleh sebagian ahli fiqh karena dianggap bertentangan dengan prinsip hukum Islam yang telah mapan.

7.4.       Tantangan dalam Menyebarkan Hadits Shahih di Era Modern

Di era modern, hadits menghadapi tantangan baru, di antaranya:

·                     Serangan dari Orientalis Barat

Beberapa orientalis, seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, meragukan keotentikan hadits dan menganggapnya sebagai produk rekayasa politik di abad ke-2 Hijriyah.¹⁰ Pandangan ini dikritik oleh ulama Muslim seperti Mustafa al-A’zami yang dalam karyanya On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence membantah klaim Schacht dengan menunjukkan bukti bahwa hadits telah diriwayatkan secara sahih sejak generasi awal Islam.¹¹

·                     Distorsi Hadits di Media Sosial

Penyebaran hadits tanpa validasi ilmiah di media sosial menjadi tantangan baru. Banyak hadits yang beredar di internet tanpa sumber yang jelas, sehingga masyarakat sering kali mengutip hadits yang lemah atau bahkan palsu.¹²

·                     Upaya Revitalisasi Kajian Hadits

Beberapa lembaga Islam modern, seperti Dar al-Ifta' al-Misriyyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), telah berupaya mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memahami hadits dari sumber yang sahih.¹³

7.5.       Kontroversi Seputar Hadits Ahad dalam Akidah

Sebagian ulama teologi berpendapat bahwa hadits ahad tidak dapat dijadikan dasar dalam masalah akidah karena tingkat kepastiannya lebih rendah dibandingkan hadits mutawatir.¹⁴ Pandangan ini dipegang oleh sebagian ulama dari kalangan Asy’ariyah dan Maturidiyah, sementara mayoritas ahli hadits menerima hadits ahad sebagai dalil dalam akidah selama sanadnya sahih.¹⁵


Kesimpulan

Sejarah perkembangan hadits tidak lepas dari berbagai tantangan dan kontroversi, mulai dari hadits palsu, perbedaan metode kritik hadits, hingga tantangan era modern. Namun, upaya keras para ulama dalam menjaga keaslian hadits menunjukkan pentingnya ilmu hadits sebagai pilar utama dalam pemahaman Islam. Dengan adanya metodologi yang ketat dalam ilmu musthalah hadits, umat Islam dapat memastikan bahwa hadits yang diamalkan benar-benar berasal dari Rasulullah Saw.


Catatan Kaki

[1]                Muhammad Mustafa al-Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2010), 78.

[2]                Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools (Leiden: Brill, 2002), 143.

[3]                Ibn Hajar al-Asqalani, Lisan al-Mizan (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 1:34.

[4]                Ibn al-Jawzi, Al-Mawdu‘at (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 2:56.

[5]                Muslim ibn al-Hajjaj, Muqaddimah Shahih Muslim, ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 9.

[6]                Jalaluddin as-Suyuthi, Al-La’ali al-Mashnu’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 3:78.

[7]                Ibn Hajar al-Asqalani, Nukhbat al-Fikar (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 41.

[8]                Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 135.

[9]                Malik ibn Anas, Al-Muwatta’, ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 12.

[10]             Ignaz Goldziher, Muslim Studies, trans. S. M. Stern (London: George Allen & Unwin, 1971), 2:98.

[11]             M. M. Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Islamic Texts Society, 1996), 112.

[12]             Yusuf al-Qaradawi, Kayfa Nata‘amal Ma’a al-Sunnah (Cairo: Dar al-Shuruq, 2005), 67.

[13]             Majelis Ulama Indonesia, Panduan Hadits dalam Kehidupan Muslim (Jakarta: MUI Press, 2020), 22.

[14]             Al-Baqillani, Al-Insaf (Beirut: Dar al-Fikr, 1999), 76.

[15]             Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar al-Wafa’, 2004), 18:232.


8.           Kesimpulan dan Penutup

8.1.       Rekapitulasi Sejarah Perkembangan Hadits

Perjalanan hadits dari masa Nabi Muhammad Saw hingga era kodifikasi dan perkembangan ilmu Musthalah Hadits menunjukkan bagaimana Islam memiliki sistem yang ketat dalam menjaga keaslian dan transmisi ajaran Rasulullah Saw.

Pada masa Nabi Saw, hadits disampaikan secara lisan dan dihafal oleh para sahabat. Setelah wafatnya Nabi, kebutuhan untuk mendokumentasikan hadits semakin meningkat, terutama karena Islam berkembang ke berbagai wilayah. Masa Khulafaurasyidin ditandai dengan kehati-hatian dalam periwayatan hadits, sedangkan era tabi’in menjadi titik awal kodifikasi hadits dalam bentuk tertulis.¹ Puncaknya terjadi pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, ketika kitab-kitab hadits induk seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan kitab sunan lainnya mulai disusun dengan metode yang lebih sistematis.²

Seiring berkembangnya ilmu hadits, para ulama merancang standar ilmiah dalam menilai validitas hadits, yang kemudian melahirkan Ilmu Musthalah Hadits. Ilmu ini berperan dalam membedakan hadits shahih, hasan, dan dha’if serta mengembangkan prinsip-prinsip kritik sanad dan matan.³ Namun, dalam perjalanannya, hadits menghadapi berbagai tantangan, termasuk hadits palsu, perbedaan metodologi kritik hadits, hingga serangan skeptisisme di era modern.

8.2.       Peran Hadits dalam Kehidupan Muslim Kontemporer

Di era modern, hadits tetap menjadi pilar utama dalam kehidupan Muslim, baik dalam aspek ibadah, hukum, maupun etika sosial. Namun, tantangan dalam memahami hadits semakin kompleks karena adanya penyebaran hadits yang tidak valid melalui media sosial dan meningkatnya kritik dari akademisi non-Muslim.⁴ Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk kembali merujuk kepada kitab-kitab hadits yang autentik serta memahami metodologi kritik hadits yang telah dikembangkan oleh para ulama.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk memperkuat peran hadits dalam kehidupan modern antara lain:

·                     Penguatan Kajian Ilmu Hadits

Institusi keislaman harus terus mengajarkan ilmu hadits berdasarkan metodologi yang benar agar generasi muda memahami hadits dengan perspektif ilmiah.⁵

·                     Pemanfaatan Teknologi dalam Studi Hadits

Digitalisasi kitab hadits dan aplikasi yang menyediakan database hadits shahih dapat membantu masyarakat dalam mengakses hadits secara valid.⁶

·                     Kampanye Literasi Hadits

Penyebaran informasi yang benar mengenai hadits melalui media massa dan platform digital menjadi salah satu cara untuk menangkal hadits palsu yang beredar luas.⁷

8.3.       Pentingnya Menjaga Keotentikan Hadits

Upaya menjaga keaslian hadits bukan hanya tanggung jawab para ulama, tetapi juga umat Islam secara umum. Sejarah telah membuktikan bahwa ulama hadits telah mengembangkan metodologi yang ketat untuk memverifikasi hadits, dan metode ini tetap relevan untuk diterapkan hingga saat ini. Ibn Hajar al-Asqalani dalam Nukhbat al-Fikar menegaskan bahwa prinsip ilmu hadits harus tetap digunakan untuk menjaga integritas sumber hukum Islam.⁸

Sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an, hadits memiliki peran esensial dalam membentuk hukum Islam, menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an, serta memberikan pedoman moral bagi umat Islam. Oleh karena itu, menjaga kemurnian hadits berarti menjaga keutuhan ajaran Islam itu sendiri.⁹

8.4.       Rekomendasi untuk Studi Hadits di Masa Depan

Melihat kompleksitas studi hadits di era modern, ada beberapa rekomendasi yang dapat diambil untuk mengembangkan kajian hadits di masa depan:

·                     Peningkatan Studi Interdisipliner dalam Ilmu Hadits

Kajian hadits dapat dikembangkan dengan pendekatan interdisipliner, seperti menggunakan teknologi digital dalam verifikasi sanad dan analisis linguistik dalam studi matan hadits.ⁱ⁰

·                     Kerjasama Akademik antara Ulama dan Ilmuwan Muslim

Kerjasama antara ulama hadits dengan akademisi Muslim dari berbagai disiplin ilmu dapat menghasilkan pendekatan yang lebih holistik dalam memahami hadits, termasuk dalam menghadapi kritik dari para orientalis.ⁱ¹

·                     Peningkatan Kajian Kritik Hadits dalam Kurikulum Pendidikan Islam

Pendidikan Islam, baik di tingkat pesantren maupun perguruan tinggi, perlu memperkuat kurikulum ilmu hadits agar generasi Muslim memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai validitas hadits.ⁱ²


Penutup

Sejarah perkembangan hadits adalah cerminan dari ketelitian ulama dalam menjaga keaslian ajaran Islam. Dari masa sahabat hingga era kodifikasi dan perkembangan ilmu musthalah hadits, setiap generasi Muslim telah berkontribusi dalam memastikan bahwa hadits yang sampai kepada kita tetap terjaga keautentikannya.

Di era digital ini, tantangan dalam penyebaran hadits semakin besar, namun dengan kemajuan teknologi dan peningkatan kajian akademik, umat Islam dapat terus menjaga kemurnian hadits dan menjadikannya sebagai pedoman yang relevan dalam kehidupan modern. Dengan memahami metodologi kritik hadits dan merujuk kepada kitab-kitab hadits yang sahih, kita dapat terus menjaga kemurnian warisan Rasulullah Saw bagi generasi mendatang.


Catatan Kaki

[1]                Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2010), 105.

[2]                Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 137.

[3]                Ibn Hajar al-Asqalani, Nukhbat al-Fikar (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 48.

[4]                Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools (Leiden: Brill, 2002), 156.

[5]                Yusuf al-Qaradawi, Kayfa Nata‘amal Ma’a al-Sunnah (Cairo: Dar al-Shuruq, 2005), 78.

[6]                Majelis Ulama Indonesia, Panduan Hadits dalam Kehidupan Muslim (Jakarta: MUI Press, 2020), 45.

[7]                Muhammad bin Ali al-Shaukani, Irshad al-Fuhul (Cairo: Dar al-Hadith, 1998), 92.

[8]                Ibn Hajar al-Asqalani, Nukhbat al-Fikar, 51.

[9]                Malik ibn Anas, Al-Muwatta’, ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 28.

[10]             Muhammad Mustafa al-Azami, The History of the Qur'anic Text from Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 137.

[11]             M. M. Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Islamic Texts Society, 1996), 119.

[12]             Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 67.


Daftar Pustaka

Al-Asqalani, I. H. (2003). Nukhbat al-Fikar fi Mustalah Ahl al-Athar. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Asqalani, I. H. (1986). Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari. Cairo: Dar al-Ma’rifah.

Al-Baghdadi, A. K. (2005). Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah. Cairo: Dar al-Hadith.

Al-Baqillani, A. (1999). Al-Insaf. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Bukhari, M. I. (1986). Shahih al-Bukhari. Cairo: Dar al-Ma’rifah.

Al-Daraqutni, A. (2001). Al-‘Ilal. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Jawzi, I. (1995). Al-Mawdu‘at. Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Khatib, A. B. (2005). Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah. Cairo: Dar al-Hadith.

Al-Muwatta’, M. I. A. (2004). Al-Muwatta’, Ed. M. F. A. al-Baqi. Cairo: Dar al-Hadith.

Al-Qaradawi, Y. (2005). Kayfa Nata‘amal Ma’a al-Sunnah. Cairo: Dar al-Shuruq.

Al-Ramahurmuzi, A. M. (1990). Al-Muhaddits al-Fasil bayna ar-Rawi wal-Wa’i. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Shaukani, M. A. (1998). Irshad al-Fuhul. Cairo: Dar al-Hadith.

Al-Suyuthi, J. (1998). Tadrib al-Rawi. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Suyuthi, J. (1990). Al-La’ali al-Mashnu’ah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Azami, M. M. (2003). The History of the Qur'anic Text from Revelation to Compilation. Leicester: UK Islamic Academy.

Azami, M. M. (2010). Studies in Hadith Methodology and Literature. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

Brown, J. A. C. (2009). Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World. Oxford: Oneworld Publications.

Goldziher, I. (1971). Muslim Studies, Trans. S. M. Stern. London: George Allen & Unwin.

Ibn Hajar al-Asqalani. (2004). Taqrib al-Tahdhib, Ed. A. I. al-Huwaini. Cairo: Dar al-Taqwa.

Ibn Hajar al-Asqalani. (2002). Lisan al-Mizan. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Sa’d. (2001). Tabaqat al-Kubra, Ed. M. A. Q. Ata. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Ibn Shalah. (2002). Muqaddimah Ibn Shalah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Taymiyyah. (2004). Majmu’ al-Fatawa. Riyadh: Dar al-Wafa’.

Majelis Ulama Indonesia. (2020). Panduan Hadits dalam Kehidupan Muslim. Jakarta: MUI Press.

Malik, I. A. (2004). Al-Muwatta’, Ed. M. F. A. al-Baqi. Cairo: Dar al-Hadith.

Motzki, H. (2002). The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools. Leiden: Brill.

Muslim ibn al-Hajjaj. (2005). Muqaddimah Shahih Muslim, Ed. M. F. A. al-Baqi. Cairo: Dar al-Hadith.

Muslim ibn al-Hajjaj. (1991). Sahih Muslim, Ed. M. F. A. al-Baqi. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Mustafa, A. (1978). Studies in Early Hadith Literature. Indianapolis: American Trust Publications.

Schacht, J. (1996). On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence. Oxford: The Islamic Texts Society.

Wensinck, A. J. (1932). The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development. Cambridge: Cambridge University Press.


Lampiran 1: Perbandingan Kitab Hadits Induk

Berikut adalah perbandingan kitab-kitab hadits induk berdasarkan penyusunnya, jumlah hadits, metodologi, dan kategori kitabnya:

1)                 Shahih al-Bukhari

Penyusun: Imam al-Bukhari (w. 256 H)

Jumlah Hadits: 7.563 hadits (termasuk pengulangan)

Metodologi: Hanya mencantumkan hadits yang shahih dengan sanad bersambung dan perawi yang terpercaya. Hadits yang mengandung kejanggalan (syadz) atau cacat (‘illah) ditolak.

Kategori Kitab: Jami’ (komprehensif), yaitu kitab hadits yang mencakup berbagai aspek kehidupan.

2)                 Shahih Muslim

Penyusun: Imam Muslim ibn al-Hajjaj (w. 261 H)

Jumlah Hadits: 4.000 hadits (tanpa pengulangan)

Metodologi: Hanya mencantumkan hadits shahih, tetapi dengan standar yang sedikit lebih longgar dibandingkan Shahih al-Bukhari. Hadits dalam kitab ini disusun lebih sistematis berdasarkan tema.

Kategori Kitab: Jami’ (komprehensif).

3)                 Sunan Abu Dawud

Penyusun: Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H)

Jumlah Hadits: 4.800 hadits

Metodologi: Mengandung hadits shahih, hasan, dan dha’if, tetapi perawi dha’if yang ekstrem dihindari. Kitab ini berfokus pada hadits yang berhubungan dengan hukum Islam (fiqh).

Kategori Kitab: Sunan (berdasarkan bab fiqh).

4)                 Sunan al-Tirmidzi

Penyusun: Imam al-Tirmidzi (w. 279 H)

Jumlah Hadits: 3.956 hadits

Metodologi: Mengandung hadits shahih, hasan, dan dha’if. Imam al-Tirmidzi juga memberikan komentar tentang derajat hadits dan pendapat para ulama mengenai hadits tertentu.

Kategori Kitab: Sunan (berdasarkan bab fiqh).

5)                 Sunan al-Nasa’i

Penyusun: Imam al-Nasa’i (w. 303 H)

Jumlah Hadits: 5.762 hadits

Metodologi: Lebih ketat dalam sanad dibandingkan Sunan lainnya, dengan banyak hadits yang mendekati derajat shahih.

Kategori Kitab: Sunan (berdasarkan bab fiqh).

6)                 Sunan Ibn Majah

Penyusun: Ibn Majah (w. 273 H)

Jumlah Hadits: 4.341 hadits

Metodologi: Mengandung hadits shahih, hasan, dan dha’if. Beberapa hadits dalam kitab ini dikritik oleh ulama karena kelemahan sanadnya.

Kategori Kitab: Sunan (berdasarkan bab fiqh).

7)                 Musnad Ahmad

Penyusun: Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H)

Jumlah Hadits: Lebih dari 27.000 hadits

Metodologi: Dikumpulkan berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkan hadits (musnad). Kitab ini mencakup hadits-hadits shahih, hasan, dan dha’if.

Kategori Kitab: Musnad (berdasarkan sahabat).

8)                 Al-Muwatta’

Penyusun: Imam Malik ibn Anas (w. 179 H)

Jumlah Hadits: 1.720 hadits

Metodologi: Mengandung hadits shahih dan amalan penduduk Madinah yang dijadikan landasan hukum oleh Imam Malik.

Kategori Kitab: Kitab fiqh-hadits, yaitu kitab yang menggabungkan hadits dan fatwa para sahabat serta tabi’in dalam hukum Islam.


Catatan Kaki

[1]                Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, ed. Ibn Baz (Riyadh: Dar al-Salam, 1999).

[2]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002).

[3]                Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990).

[4]                Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Cairo: Dar al-Hadith, 2004).

[5]                Ahmad ibn Shu'ayb al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 2002).

[6]                Muhammad ibn Yazid ibn Majah, Sunan Ibn Majah (Cairo: Dar al-Hadith, 2005).

[7]                Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1999).

[8]                Malik ibn Anas, Al-Muwatta’, ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2004).


Lampiran 2: Glosarium

1)                 Al-Hadits (الحديث)

Secara bahasa, al-hadits berarti “berita” atau “perkataan.” Dalam terminologi Islam, hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan (taqrir), maupun sifat-sifat beliau.¹

2)                 As-Sunnah (السنة)

Sunnah adalah istilah yang sering digunakan secara sinonim dengan hadits. Namun, dalam konteks ushul fiqh, sunnah merujuk pada semua tindakan, perkataan, dan ketetapan Nabi yang dijadikan pedoman hukum Islam.²

3)                 Al-Isnad (الإسناد)

Isnad adalah rangkaian perawi yang menyampaikan suatu hadits dari Rasulullah Saw hingga ke periwayat terakhir yang mencatatnya. Isnad berfungsi sebagai dasar dalam menentukan validitas suatu hadits.³

4)                 Al-Sanad (السند)

Sanad adalah jalur atau mata rantai periwayatan hadits yang menghubungkan suatu hadits dari perawi pertama hingga perawi terakhir.⁴

5)                 Al-Matan (المتن)

Matan adalah isi atau teks dari suatu hadits setelah bagian sanad. Matan merupakan bagian utama hadits yang berisi pesan atau informasi yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw.⁵

6)                 Al-Musnad (المسند)

Musnad adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkannya. Contoh kitab musnad yang terkenal adalah Musnad Ahmad karya Imam Ahmad ibn Hanbal.⁶

7)                 Al-Musthalah (المصطلح)

Musthalah adalah istilah yang digunakan untuk menyebut ilmu yang membahas terminologi dan kaidah dalam ilmu hadits, seperti klasifikasi hadits berdasarkan sanad, matan, dan perawi.⁷

8)                 Hadits Shahih (الحديث الصحيح)

Hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung (muttasil), diriwayatkan oleh perawi yang adil dan kuat hafalannya (dhabit), serta tidak mengandung kejanggalan (syadz) dan cacat tersembunyi (‘illah).⁸

9)                 Hadits Hasan (الحديث الحسن)

Hadits hasan memiliki kriteria yang hampir sama dengan hadits shahih, tetapi perawinya sedikit lebih lemah dalam hafalan dibandingkan perawi hadits shahih. Hadits ini masih dapat dijadikan hujjah dalam hukum Islam.⁹

10)             Hadits Dha’if (الحديث الضعيف)

Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat sebagai hadits shahih atau hasan karena adanya kelemahan dalam sanad atau matannya, seperti perawi yang lemah hafalannya atau sanad yang terputus.¹⁰

11)             Hadits Maudhu’ (الحديث الموضوع)

Hadits maudhu’ adalah hadits palsu yang dibuat dan disandarkan kepada Rasulullah Saw tanpa dasar yang sah. Para ulama hadits mengembangkan metode untuk mendeteksi hadits palsu agar tidak dijadikan sumber hukum Islam.¹¹

12)             Hadits Mutawatir (الحديث المتواتر)

Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi di setiap tingkatan sanadnya, sehingga mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. Hadits ini memiliki derajat kepastian yang tinggi dalam Islam.¹²

13)             Hadits Ahad (الحديث الآحاد)

Hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya dalam satu tingkatan sanad kurang dari jumlah yang diperlukan untuk menjadi hadits mutawatir. Hadits ahad terbagi menjadi masyhur, aziz, dan gharib.¹³

14)             Jarh wa Ta’dil (الجرح والتعديل)

Jarh wa Ta’dil adalah cabang ilmu hadits yang membahas tentang kriteria untuk menilai kredibilitas perawi hadits. Jarh berarti kritik terhadap kelemahan perawi, sedangkan Ta’dil berarti penilaian positif terhadap keadilan dan ketepatan hafalan perawi.¹⁴

15)             Muttasil (المتصل)

Hadits muttasil adalah hadits yang sanadnya bersambung tanpa ada perawi yang hilang dalam rantai periwayatan.¹⁵

16)             Munqathi’ (المنقطع)

Hadits munqathi’ adalah hadits yang sanadnya terputus di salah satu tingkatan periwayatan. Hadits ini umumnya dinilai lemah karena adanya kemungkinan hilangnya keabsahan riwayat.¹⁶

17)             Mursal (المرسل)

Hadits mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang tabi’in langsung dari Nabi Saw, tanpa menyebutkan perantara sahabat dalam sanadnya.¹⁷

18)             Mu’dal (المعضل)

Hadits mu’dal adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat dua atau lebih perawi yang hilang secara berurutan.¹⁸

19)             Syadz (الشاذ)

Hadits syadz adalah hadits yang perawinya tsiqah tetapi bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat dalam sanadnya.¹⁹

20)             Mudraj (المدرج)

Hadits mudraj adalah hadits yang dalam matannya terdapat tambahan dari perawi yang bukan bagian dari sabda asli Nabi Saw.²⁰


Catatan Kaki

[1]                Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2010), 17.

[2]                Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 22.

[3]                Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence (Leiden: Brill, 2002), 74.

[4]                Ibn Hajar al-Asqalani, Nukhbat al-Fikar (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 25.

[5]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 11.

[6]                Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1999), 7.

[7]                Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 18.

[8]                Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1994), 21.

[9]                Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar al-Wafa’, 2004), 2:34.

[10]             Al-Daraqutni, Al-‘Ilal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 5:27.

[11]             Ibn al-Jawzi, Al-Mawdu‘at (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 3:56.

[12]             Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 67.

[13]             Ibn Shalah, Muqaddimah Ibn Shalah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 42.

[14]             Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 3.

[15]             Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1986), 1.

[16]             Malik ibn Anas, Al-Muwatta’, ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 5.

[17]             Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 12.

[18]             Ibn Majah, Sunan Ibn Majah (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 9.

[19]             Muslim, Muqaddimah Shahih Muslim, 14.

[20]             Ibn Hajar al-Asqalani, Lisan al-Mizan (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 1:34.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar