Kamis, 13 Februari 2025

Ushul Fiqh: Landasan Teori dalam Hukum Islam

Ushul Fiqh

Landasan Teori dalam Hukum Islam


Abstrak

Ushul Fiqh merupakan cabang ilmu dalam hukum Islam yang berfungsi sebagai metodologi dalam menggali, memahami, dan menetapkan hukum syariat berdasarkan sumber-sumber utama, yaitu Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Artikel ini menguraikan secara komprehensif sejarah perkembangan Ushul Fiqh, sumber-sumber hukum Islam, dalil-dalil tambahan, kaidah-kaidah ushuliyah, serta metodologi ijtihad yang digunakan oleh para ulama dalam mengeluarkan fatwa dan keputusan hukum. Lebih lanjut, artikel ini juga membahas bagaimana Ushul Fiqh memainkan peran penting dalam legislasi hukum Islam di negara-negara Muslim, fatwa kontemporer, serta tantangan yang dihadapi dalam era digital dan teknologi modern. Melalui pendekatan sistematis dalam Ushul Fiqh, hukum Islam tetap dapat diterapkan secara fleksibel, kontekstual, dan solutif tanpa mengabaikan prinsip-prinsip syariat. Oleh karena itu, Ushul Fiqh menjadi instrumen utama dalam menjawab problematika hukum Islam modern, baik dalam bidang ekonomi, teknologi, kesehatan, maupun sosial kemasyarakatan.

Kata Kunci: Ushul Fiqh, Hukum Islam, Ijtihad, Fatwa Kontemporer, Kaidah Ushuliyah, Legislasi Hukum Islam, Era Digital, Teknologi Modern.


PEMBAHASAN

Landasan Teori dalam Hukum Islam


1.           Pendahuluan

1.1.       Pengertian Ushul Fiqh

Ushul Fiqh secara etimologis terdiri dari dua kata, yaitu ushul (أصول) yang berarti "dasar" atau "fondasi", dan fiqh (فقه) yang berarti "pemahaman yang mendalam". Secara terminologis, Ushul Fiqh adalah ilmu yang membahas prinsip-prinsip dasar dalam menetapkan hukum Islam berdasarkan sumber-sumbernya, seperti Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Al-Juwayni (w. 478 H) dalam Al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh mendefinisikan Ushul Fiqh sebagai kaidah-kaidah yang digunakan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya secara terperinci.1 Imam Syafi’i (w. 204 H), dalam kitabnya Ar-Risalah, menjadi pionir dalam merumuskan konsep metodologi hukum Islam yang sistematis dengan prinsip-prinsip Ushul Fiqh yang hingga kini menjadi rujukan utama dalam studi hukum Islam.2

1.2.       Urgensi Ushul Fiqh dalam Studi Hukum Islam

Ushul Fiqh memiliki peran fundamental dalam studi hukum Islam karena ia berfungsi sebagai alat untuk memahami dan menafsirkan hukum dari sumber-sumber syariat. Tanpa metodologi yang jelas, interpretasi hukum dapat menjadi subjektif dan tidak konsisten. Al-Ghazali (w. 505 H) dalam Al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushul menekankan bahwa Ushul Fiqh adalah instrumen penting dalam menjaga otoritas hukum Islam agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariat yang sahih.3 Oleh karena itu, ilmu ini berperan dalam membangun metodologi istinbath hukum yang kokoh serta membedakan antara hukum yang bersifat qat'i (pasti) dan zhanni (dugaan kuat).4

1.3.       Perbedaan antara Fiqh dan Ushul Fiqh

Fiqh dan Ushul Fiqh sering disamakan, tetapi keduanya memiliki perbedaan mendasar. Fiqh adalah ilmu yang membahas hukum-hukum Islam yang telah ditetapkan untuk berbagai aspek kehidupan manusia, seperti ibadah, muamalah, dan jinayah. Sementara itu, Ushul Fiqh membahas metode yang digunakan untuk menetapkan hukum-hukum tersebut. Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam Muqaddimah menyebutkan bahwa Ushul Fiqh adalah ilmu yang menyediakan metodologi dalam menafsirkan nash dan menyusun kaidah-kaidah hukum, sedangkan Fiqh adalah hasil dari penerapan metodologi tersebut.5 Dengan kata lain, Ushul Fiqh merupakan alat, sedangkan Fiqh adalah hasilnya.

1.4.       Ruang Lingkup Pembahasan Ushul Fiqh

Ilmu Ushul Fiqh memiliki cakupan pembahasan yang luas, yang secara garis besar dapat dikategorikan menjadi empat bidang utama:6

1)                  Sumber Hukum Islam (Adillah Syari'yyah) – Membahas Al-Qur'an, Hadis, Ijma', dan Qiyas sebagai sumber utama, serta dalil-dalil tambahan seperti Istihsan, Maslahah Mursalah, dan 'Urf.

2)                  Hukum Syariat (Ahkam Syari'yyah) – Mengkaji pembagian hukum Islam, seperti wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.

3)                  Kaedah Istinbath Hukum – Menguraikan metode ijtihad yang digunakan dalam merumuskan hukum.

4)                  Dalil-Dalil dan Metodologi Penalaran Hukum – Membahas bagaimana memahami teks-teks syariat dengan pendekatan linguistik dan logika hukum Islam.

Dalam praktiknya, ilmu Ushul Fiqh menjadi pedoman utama dalam pengambilan keputusan hukum Islam di berbagai mazhab fiqh. Ulama dari berbagai mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mengembangkan metode yang khas dalam Ushul Fiqh sesuai dengan pendekatan mazhab masing-masing.7 Oleh karena itu, kajian Ushul Fiqh tidak hanya berfungsi sebagai teori hukum, tetapi juga sebagai alat dalam penerapan hukum Islam di berbagai konteks sosial dan zaman.


Footnotes

[1]                Al-Juwayni, Al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 12.

[2]                Muhammad ibn Idris al-Syafi'i, Ar-Risalah (Cairo: Maktabah al-Taufiqiyyah, 2005), 19.

[3]                Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 45.

[4]                Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damascus: Dar al-Fikr, 2002), 134.

[5]                Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 356.

[6]                Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadith, 2008), 28.

[7]                Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 87.


2.           Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu mengalami perkembangan yang panjang dalam sejarah Islam. Perkembangan ini dapat dibagi ke dalam beberapa periode utama, mulai dari masa Rasulullah Saw hingga era kontemporer. Dalam setiap tahapannya, terdapat kontribusi signifikan dari para ulama yang berperan dalam menyusun metodologi hukum Islam.

2.1.       Ushul Fiqh pada Masa Rasulullah Saw dan Khulafaurasyidin

Pada masa Rasulullah Saw, sumber hukum Islam berlandaskan pada wahyu yang terdiri dari Al-Qur’an dan Sunnah. Rasulullah Saw sendiri merupakan satu-satunya rujukan dalam memahami dan menjelaskan hukum Islam. Setiap permasalahan hukum yang muncul langsung diklarifikasi oleh beliau melalui wahyu atau ijtihad pribadi yang dikoreksi oleh wahyu jika diperlukan.1

Setelah wafatnya Rasulullah Saw, masa Khulafaurasyidin (632–661 M) ditandai dengan berkembangnya metode pengambilan hukum yang lebih sistematis. Para khalifah menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama, namun dalam menghadapi permasalahan baru, mereka mengandalkan ijtihad, baik dalam bentuk ijma' (konsensus sahabat) maupun qiyas (analogi). Abu Bakar Ash-Shiddiq, misalnya, dalam menghadapi kasus pewarisan nenek, meminta pendapat para sahabat dan akhirnya menetapkan bagian nenek berdasarkan hasil ijma' mereka.2

2.2.       Perkembangan Ushul Fiqh pada Masa Imam Mazhab (Abad ke-2–3 H / 8–9 M)

Periode ini merupakan era kodifikasi hukum Islam yang ditandai dengan munculnya mazhab-mazhab fiqh utama. Para imam mazhab tidak hanya menetapkan hukum, tetapi juga menyusun metodologi istinbath hukum yang kemudian menjadi dasar dalam ilmu Ushul Fiqh.

1)                  Mazhab Hanafi (Imam Abu Hanifah, w. 150 H)

Imam Abu Hanifah dikenal sebagai pionir dalam penggunaan ra’yu (pendapat rasional) dalam menetapkan hukum. Ia mengembangkan metode qiyas, istihsan, dan urf sebagai bagian dari istinbath hukum Islam.3

2)                  Mazhab Maliki (Imam Malik ibn Anas, w. 179 H)

Imam Malik mengembangkan metodologi yang mengutamakan amal ahl al-Madinah (praktik masyarakat Madinah) sebagai sumber hukum selain Al-Qur’an dan Hadis.4

3)                  Mazhab Syafi'i (Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi'i, w. 204 H)

Imam Syafi'i dikenal sebagai peletak dasar ilmu Ushul Fiqh dengan menyusun kitab Ar-Risalah, yang menjadi karya monumental dalam disiplin ini. Dalam kitab tersebut, ia menetapkan empat sumber utama hukum Islam: Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas.5

4)                  Mazhab Hanbali (Imam Ahmad ibn Hanbal, w. 241 H)

Imam Ahmad menekankan pada penggunaan Hadis dan fatwa sahabat, serta menolak metode qiyas kecuali dalam kondisi darurat.6

2.3.       Perkembangan Ushul Fiqh pada Masa Klasik dan Kodifikasi (Abad ke-4–7 H / 10–13 M)

Pada periode ini, Ushul Fiqh mengalami perkembangan pesat dengan munculnya berbagai kitab yang lebih sistematis dan komprehensif. Beberapa ulama yang berperan besar dalam menyusun teori Ushul Fiqh adalah:

·                     Al-Juwayni (w. 478 H) dalam Al-Waraqat, yang menyusun teori Ushul Fiqh dalam bentuk ringkas dan menjadi buku wajib dalam studi Ushul Fiqh.7

·                     Al-Ghazali (w. 505 H) dalam Al-Mustashfa, yang mengintegrasikan logika filsafat ke dalam metodologi Ushul Fiqh.8

·                     Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H) dalam Al-Mahshul fi Ushul al-Fiqh, yang memberikan perincian mendalam terhadap metode ijtihad.9

·                     Al-Amidi (w. 631 H) dalam Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, yang mengkaji perbedaan metode Ushul Fiqh antar mazhab.10

Pada periode ini, ilmu Ushul Fiqh telah menjadi disiplin akademik yang memiliki sistematika dan kaidah yang baku.

2.4.       Ushul Fiqh di Era Kontemporer

Di era modern, Ushul Fiqh mengalami perkembangan dalam menghadapi tantangan zaman. Beberapa ulama modern yang berkontribusi dalam pembaruan Ushul Fiqh adalah:

·                     Muhammad Abduh (w. 1905 M) dan Rasyid Ridha (w. 1935 M), yang berusaha mereformasi Ushul Fiqh agar lebih kontekstual dengan perkembangan zaman.11

·                     Wahbah al-Zuhaili (w. 2015 M), yang dalam Ushul al-Fiqh al-Islami menyesuaikan metode Ushul Fiqh dengan berbagai perubahan sosial dan ekonomi global.12

Peran Ushul Fiqh dalam hukum Islam saat ini juga berkembang dalam ranah fiqh muamalat kontemporer, seperti perbankan syariah dan hukum teknologi modern, menunjukkan bahwa Ushul Fiqh tetap relevan dalam menghadapi perkembangan zaman.


Kesimpulan

Sejarah perkembangan Ushul Fiqh mencerminkan dinamika intelektual Islam dalam memahami hukum-hukum syariat. Dari masa Rasulullah Saw hingga era modern, Ushul Fiqh terus berkembang melalui kontribusi para ulama, baik dalam bentuk kodifikasi hukum maupun reformasi metodologi istinbath. Dengan adanya Ushul Fiqh, hukum Islam dapat tetap relevan dan adaptif terhadap perubahan zaman, tanpa kehilangan esensi dasar syariat.


Footnotes

[1]                Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1997), 45.

[2]                Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadith, 2008), 132.

[3]                Ibn Abidin, Radd al-Muhtar 'ala al-Durr al-Mukhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 23.

[4]                Malik ibn Anas, Al-Muwatta’ (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 67.

[5]                Muhammad ibn Idris al-Syafi'i, Ar-Risalah (Cairo: Maktabah al-Taufiqiyyah, 2005), 19.

[6]                Ibn Qudamah, Rawdhat al-Nazir wa Junnat al-Munazir (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, 1999), 87.

[7]                Al-Juwayni, Al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 12.

[8]                Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 45.

[9]                Fakhruddin al-Razi, Al-Mahshul fi 'Ilm Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 78.

[10]             Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Cairo: Dar al-Hadith, 2010), 91.

[11]             Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), 56.

[12]             Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damascus: Dar al-Fikr, 2002), 134.


3.           Sumber-Sumber Hukum Islam dalam Ushul Fiqh

Dalam kajian Ushul Fiqh, sumber-sumber hukum Islam dikenal sebagai adillah syar’iyyah (dalil-dalil syar’i). Para ulama telah menetapkan bahwa sumber hukum Islam terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu sumber hukum primer (disepakati oleh seluruh ulama) dan sumber hukum sekunder (diperselisihkan keberlakuannya). Dalam pembahasan ini, kita akan menguraikan empat sumber utama hukum Islam, yakni Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas, yang disepakati oleh seluruh mazhab fiqh.1

3.1.       Al-Qur'an sebagai Sumber Utama Hukum Islam

Al-Qur'an merupakan sumber hukum pertama dan paling utama dalam Islam. Sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah Saw, Al-Qur'an mengandung berbagai hukum syariat yang mencakup aspek ibadah, muamalah, jinayah, dan hukum keluarga.2

Secara metodologis, hukum dalam Al-Qur'an dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori utama:3

1)                  Ayat-ayat hukum yang bersifat qat’i (pasti), seperti hukum waris dalam Surah An-Nisa: 11–12.

2)                  Ayat-ayat hukum yang bersifat mujmal (global) dan memerlukan penjelasan dari Sunnah, seperti perintah salat dalam Surah Al-Baqarah: 43.

3)                  Ayat-ayat hukum yang mengandung prinsip umum, seperti keadilan (al-adl), kemaslahatan (al-maslahah), dan larangan terhadap kezaliman.

Dalam Ar-Risalah, Imam Syafi’i menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah dasar utama syariat, dan setiap hukum Islam harus merujuk padanya sebelum mempertimbangkan sumber lain.4

3.2.       Sunnah sebagai Penjelas Hukum dalam Al-Qur'an

Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah Saw yang menjadi sumber hukum kedua dalam Islam. Sunnah berfungsi untuk:5

1)                  Menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mujmal, seperti rincian tata cara shalat dan zakat.

2)                  Menegaskan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an, seperti larangan riba (HR. Muslim No. 1598).

3)                  Membentuk hukum baru yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti larangan memakan daging keledai jinak (HR. Bukhari No. 4219).

Para ulama telah menyusun metode seleksi hadis untuk memastikan validitasnya dalam Ushul Fiqh. Al-Syafi’i, dalam Ar-Risalah, menegaskan bahwa Sunnah tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur'an, tetapi dapat berperan sebagai tafsir dan perincian hukum.6

3.3.       Ijma' sebagai Konsensus Ulama dalam Pembentukan Hukum

Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari suatu generasi setelah wafatnya Rasulullah Saw terhadap suatu hukum syar’i. Ijma’ dijadikan dalil hukum berdasarkan hadis Rasulullah Saw:

"Umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan." (HR. Abu Dawud No. 4253)

Ijma’ memiliki peran penting dalam menetapkan hukum-hukum baru yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Contohnya adalah penulisan Mushaf Al-Qur’an pada masa Khalifah Utsman bin Affan, yang disepakati oleh seluruh sahabat.7

Para ulama membedakan Ijma’ menjadi dua jenis:8

1)                  Ijma’ Sarih (Eksplisit) – ketika semua ulama menyatakan kesepakatan mereka secara eksplisit.

2)                  Ijma’ Sukuti (Implisit) – ketika sebagian ulama mengeluarkan pendapat, sementara ulama lainnya tidak menentang pendapat tersebut.

Imam Al-Amidi dalam Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam menegaskan bahwa Ijma' memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat karena mencerminkan kesepakatan ulama dalam memahami syariat Islam.9

3.4.       Qiyas sebagai Metode Analogi dalam Hukum Islam

Qiyas adalah metode analogi yang digunakan dalam Ushul Fiqh untuk menetapkan hukum bagi suatu kasus baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, Sunnah, atau Ijma’. Qiyas didasarkan pada kesamaan illat (sebab hukum) antara hukum yang sudah ada dan hukum yang akan ditetapkan.10

Contoh penerapan Qiyas adalah pengharaman narkoba berdasarkan analogi dengan hukum khamr dalam Surah Al-Ma'idah [05] ayat 90, karena keduanya memiliki illat yang sama, yaitu menyebabkan hilangnya akal.11

Empat unsur utama dalam Qiyas adalah:12

1)                  Ashl – kasus asal yang memiliki hukum dalam Al-Qur’an/Sunnah (contoh: khamr).

2)                  Far’ – kasus baru yang ingin ditetapkan hukumnya (contoh: narkoba).

3)                  Illat – kesamaan alasan hukum antara Ashl dan Far’ (contoh: efek memabukkan).

4)                  Hukm – hukum yang ditetapkan pada Far’ berdasarkan Ashl (contoh: narkoba dihukumi haram).

Ibn Qudamah dalam Rawdhat al-Nazir menjelaskan bahwa Qiyas merupakan metode rasional yang sah dalam Ushul Fiqh, selama illat yang digunakan jelas dan konsisten.13


Kesimpulan

Empat sumber utama hukum Islam ini – Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas – menjadi dasar bagi setiap hukum Islam yang diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Ushul Fiqh berperan dalam memastikan bahwa hukum-hukum Islam tetap relevan dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat melalui metodologi yang jelas dan sistematis.


Footnotes

[1]                Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damascus: Dar al-Fikr, 2002), 145.

[2]                Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1997), 65.

[3]                Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadith, 2008), 102.

[4]                Muhammad ibn Idris al-Syafi'i, Ar-Risalah (Cairo: Maktabah al-Taufiqiyyah, 2005), 21.

[5]                Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 89.

[6]                Al-Syafi'i, Ar-Risalah, 32.

[7]                Ibn Kathir, Al-Bidayah wa an-Nihayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 276.

[8]                Ibn Qudamah, Rawdhat al-Nazir wa Junnat al-Munazir (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, 1999), 56.

[9]                Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Cairo: Dar al-Hadith, 2010), 124.

[10]             Fakhruddin al-Razi, Al-Mahshul fi 'Ilm Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 142.

[11]             Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 178.

[12]             Abdul Karim Zaydan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (Baghdad: Maktabah al-Irshad, 2001), 93.

[13]             Ibn Qudamah, Rawdhat al-Nazir, 102.


4.           Dalil-Dalil Hukum Tambahan dalam Ushul Fiqh

Selain empat sumber utama hukum Islam (Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas), para ulama juga menggunakan dalil-dalil hukum tambahan dalam istinbath (penetapan hukum). Dalil-dalil ini digunakan dalam kasus-kasus yang tidak secara eksplisit dijelaskan dalam sumber utama. Beberapa di antaranya disepakati oleh sebagian besar ulama, sementara yang lain menjadi perdebatan dalam kalangan fuqaha. Dalil-dalil hukum tambahan ini mencakup Istihsan, Maslahah Mursalah, ‘Urf, Saddudz-Dzari'ah, dan Istishab.1

4.1.       Istihsan (Preferensi Hukum Berdasarkan Kemaslahatan)

Istihsan secara etimologis berasal dari kata "hasuna" (حسن) yang berarti "baik". Secara terminologis, Istihsan adalah metode penetapan hukum dengan meninggalkan dalil yang bersifat umum dan menggunakan dalil lain yang lebih sesuai dalam kondisi tertentu untuk mencapai keadilan atau kemaslahatan.2

Imam Abu Hanifah sering menggunakan Istihsan dalam menetapkan hukum, khususnya dalam kasus di mana penerapan hukum secara tekstual akan menyebabkan kesulitan. Contoh penerapan Istihsan adalah dalam jual beli salam (pemesanan barang yang belum tersedia). Secara umum, jual beli barang yang belum ada hukumnya tidak sah, tetapi dalam kondisi tertentu, seperti pemesanan hasil pertanian, jual beli ini diperbolehkan karena adanya kebutuhan masyarakat.3

Para ulama berbeda pendapat mengenai Istihsan:

·                     Mazhab Hanafi dan Maliki menerima Istihsan sebagai metode hukum.

·                     Mazhab Syafi’i menolak Istihsan karena dianggap sebagai hukum yang lebih didasarkan pada subjektivitas.4

4.2.       Maslahah Mursalah (Kemaslahatan yang Tidak Disebutkan dalam Nash)

Maslahah Mursalah adalah dalil hukum yang berdasarkan pada kemaslahatan umum yang tidak secara spesifik disebutkan dalam Al-Qur’an atau Sunnah tetapi dianggap penting untuk menjaga lima prinsip dasar syariat (maqashid syariah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.5

Contoh penerapan Maslahah Mursalah adalah pembuatan dokumen resmi seperti akta kelahiran dan sertifikat tanah, yang tidak ada dalam masa Nabi Saw tetapi dianggap penting dalam sistem administrasi modern untuk mencegah sengketa dan kezaliman.6

Mazhab yang menerima Maslahah Mursalah:

·                     Mazhab Maliki dan Hanbali menggunakan Maslahah Mursalah sebagai dalil hukum dalam kondisi tertentu.

·                     Mazhab Syafi’i lebih berhati-hati dalam menerapkannya dan cenderung menolak jika tidak memiliki dasar kuat dalam nash.7

4.3.       ‘Urf (Adat Istiadat yang Diterima sebagai Dasar Hukum)

‘Urf adalah kebiasaan atau adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat dan dapat menjadi dasar hukum Islam selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.8

Dalam Ushul Fiqh, ‘Urf diklasifikasikan menjadi:

1)                  ‘Urf Shahih (adat yang sesuai dengan syariat), seperti kebiasaan penggunaan mahar dalam pernikahan.

2)                  ‘Urf Fasid (adat yang bertentangan dengan syariat), seperti riba yang dianggap wajar dalam beberapa komunitas.9

Contoh penerapan ‘Urf adalah dalam hukum transaksi bisnis modern seperti penggunaan kartu kredit, di mana beberapa bentuk transaksi diadaptasi berdasarkan kebiasaan ekonomi kontemporer.10

Mazhab yang menggunakan ‘Urf sebagai dalil:

·                     Mazhab Maliki dan Hanafi menggunakannya secara luas dalam menetapkan hukum.

·                     Mazhab Syafi’i dan Hanbali lebih selektif dalam penggunaannya.11

4.4.       Saddudz-Dzari'ah (Mencegah Hal yang Membawa kepada Keburukan)

Saddudz-Dzari'ah adalah prinsip hukum yang digunakan untuk menutup pintu yang dapat mengarah kepada kerusakan atau maksiat.12

Contoh penerapannya adalah larangan terhadap transaksi jual beli barang yang dapat digunakan untuk kejahatan, seperti larangan menjual senjata pada masa fitnah (konflik internal umat Islam), meskipun pada dasarnya jual beli senjata adalah mubah.13

Mazhab yang menerima Saddudz-Dzari’ah:

·                     Mazhab Maliki dan Hanbali sangat menekankan metode ini.

·                     Mazhab Syafi’i dan Hanafi menerima prinsip ini tetapi dengan batasan tertentu.14

4.5.       Istishab (Asumsi Hukum Tetap hingga Ada Dalil yang Mengubahnya)

Istishab adalah prinsip hukum yang menyatakan bahwa suatu keadaan hukum dianggap tetap berlaku sampai ada dalil yang mengubahnya.15

Contoh penerapan Istishab adalah prinsip kebebasan dari tanggung jawab hukum sampai ada bukti sebaliknya. Dalam hukum Islam, seseorang dianggap tidak memiliki tanggungan utang kecuali ada bukti yang sah yang menunjukkan sebaliknya.16

Mazhab yang menerima Istishab:

·                     Semua mazhab menerima prinsip Istishab, tetapi penerapannya lebih banyak digunakan dalam mazhab Maliki dan Hanbali.17


Kesimpulan

Dalil-dalil hukum tambahan dalam Ushul Fiqh—Istihsan, Maslahah Mursalah, ‘Urf, Saddudz-Dzari'ah, dan Istishab—menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Meskipun tidak semua mazhab menerima setiap dalil dengan tingkat penerimaan yang sama, keberadaan dalil-dalil ini tetap menjadi bagian penting dalam metodologi istinbath hukum Islam.


Footnotes

[1]                Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damascus: Dar al-Fikr, 2002), 212.

[2]                Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1997), 187.

[3]                Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadith, 2008), 179.

[4]                Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Cairo: Dar al-Hadith, 2010), 152.

[5]                Fakhruddin al-Razi, Al-Mahshul fi Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 234.

[6]                Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 220.

[7]                Ibn Qudamah, Rawdhat al-Nazir wa Junnat al-Munazir (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, 1999), 111.

[8]                Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 93.

[9]                Al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 143.

[10]             Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 312.

[11]             Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 224.

[12]             Ibn Taymiyyah, Majmu' al-Fatawa (Riyadh: Maktabah Al-Rushd, 1998), 63.

[13]             Al-Syafi’i, Ar-Risalah, 109.

[14]             Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 231.

[15]             Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, 176.

[16]             Ibn Qudamah, Rawdhat al-Nazir, 123.

[17]             Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 242.


5.           Kaidah-Kaidah Ushuliyah dalam Ushul Fiqh

Kaidah-kaidah Ushuliyah dalam Ushul Fiqh adalah prinsip-prinsip hukum yang digunakan untuk memahami, menafsirkan, dan mengistinbath (mengambil) hukum dari sumber-sumber syariat. Kaidah-kaidah ini disusun berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas, serta melalui pendekatan analitis terhadap realitas hukum Islam. Para ulama menyusun kaidah-kaidah ini sebagai kerangka kerja sistematis untuk memastikan bahwa hukum Islam diterapkan secara adil, fleksibel, dan konsisten dalam berbagai situasi.1

Di antara kaidah-kaidah paling fundamental dalam Ushul Fiqh adalah lima kaidah utama yang menjadi dasar bagi berbagai hukum cabang (furu’). Kaidah-kaidah ini dikenal sebagai Al-Qawa'id Al-Khamsah Al-Kubra (Lima Kaidah Induk).

5.1.       Kaidah "Al-Ashlu Fil Asyya’ Al-Ibahah" (Hukum Asal Segala Sesuatu Adalah Mubah)

Kaidah ini menetapkan bahwa pada dasarnya, segala sesuatu yang tidak memiliki dalil larangan dianggap halal atau diperbolehkan. Dalil yang mendasari kaidah ini terdapat dalam firman Allah:

"Dia-lah yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kalian..." (QS. Al-Baqarah [02] ayat 29).

Menurut Ibn Taymiyyah, kaidah ini berlaku dalam urusan duniawi seperti perdagangan, pertanian, dan teknologi, kecuali terdapat dalil yang secara eksplisit mengharamkannya.2

Namun, dalam masalah ibadah, kaidah ini tidak berlaku, karena dalam ibadah prinsip dasarnya adalah tawaqquf, yaitu tidak boleh dilakukan kecuali ada dalil syar’i yang membolehkannya.3

5.2.       Kaidah "Al-Yaqin La Yuzalu Bis Syak" (Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan dengan Keraguan)

Kaidah ini menegaskan bahwa suatu hukum yang telah ditetapkan berdasarkan keyakinan tidak dapat dibatalkan hanya dengan adanya keraguan. Kaidah ini didasarkan pada hadis Rasulullah Saw:

"Jika salah seorang dari kalian ragu dalam salatnya, apakah telah melaksanakan tiga atau empat rakaat, maka hendaklah ia memilih yang paling meyakinkan (yakni tiga rakaat) dan kemudian menyempurnakannya." (HR. Muslim No. 571).

Contoh penerapan kaidah ini dalam fiqh adalah dalam masalah kesucian dan wudhu. Jika seseorang sudah berwudhu dan ragu apakah telah batal atau belum, maka hukumnya tetap suci karena keyakinan (wudhu) tidak dapat dihilangkan oleh keraguan (kemungkinan batal).4

5.3.       Kaidah "Adh-Dhararu Yuzal" (Bahaya Harus Dihilangkan)

Kaidah ini menegaskan bahwa segala bentuk bahaya atau kemudaratan harus dihilangkan atau diminimalkan dalam hukum Islam. Kaidah ini bersumber dari hadis Rasulullah Saw:

"Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain." (HR. Ibnu Majah No. 2340).

Penerapan kaidah ini banyak ditemukan dalam hukum Islam, misalnya:

·                     Dibolehkannya operasi medis yang darurat meskipun secara umum menyakiti tubuh.

·                     Diharamkannya monopoli (ihtikar) karena menyebabkan kesulitan bagi masyarakat.5

5.4.       Kaidah "Al-Masyaqqah Tajlibut Taisir" (Kesulitan Membawa Kemudahan)

Kaidah ini menyatakan bahwa jika seseorang menghadapi kesulitan dalam menjalankan hukum Islam, maka syariat memberikan keringanan (rukhshah). Hal ini sesuai dengan firman Allah:

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu." (QS. Al-Baqarah [02] ayat 185).

Contoh penerapan kaidah ini:

·                     Dibolehkannya tayammum bagi orang yang tidak menemukan air.

·                     Dibolehkannya berbuka puasa bagi orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan.6

Menurut Imam Asy-Syatibi, kaidah ini sangat penting dalam memastikan bahwa syariat Islam tetap fleksibel dan dapat diterapkan dalam berbagai kondisi kehidupan manusia.7

5.5.       Kaidah "La Dharara wa La Dhirar" (Tidak Boleh Membahayakan Diri Sendiri dan Orang Lain)

Kaidah ini mirip dengan kaidah sebelumnya tetapi lebih spesifik dalam melarang tindakan yang bisa merugikan diri sendiri atau orang lain secara langsung.

Contoh penerapannya dalam fiqh adalah:

·                     Larangan menjual barang yang berbahaya, seperti narkoba.

·                     Larangan menimbun barang kebutuhan pokok untuk menaikkan harga secara tidak wajar.

·                     Pencegahan terhadap pencemaran lingkungan karena dapat merusak ekosistem.8

Menurut Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, kaidah ini sangat erat kaitannya dengan prinsip maqashid syariah, yaitu menjaga jiwa, harta, dan ketertiban sosial.9


Kesimpulan

Lima kaidah ushuliyah di atas menjadi fondasi utama dalam Ushul Fiqh yang membantu ulama dalam menggali dan menerapkan hukum Islam secara sistematis, logis, dan fleksibel. Meskipun kaidah-kaidah ini bersifat umum, penerapannya tetap harus merujuk pada dalil-dalil syar’i dan kondisi sosial yang berlaku. Oleh karena itu, Ushul Fiqh tidak hanya bersifat normatif tetapi juga adaptif dalam menghadapi perubahan zaman.


Footnotes

[1]                Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damascus: Dar al-Fikr, 2002), 278.

[2]                Ibn Taymiyyah, Majmu' al-Fatawa (Riyadh: Maktabah Al-Rushd, 1998), 86.

[3]                Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadith, 2008), 132.

[4]                Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1997), 165.

[5]                Al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 243.

[6]                Fakhruddin al-Razi, Al-Mahshul fi 'Ilm Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 189.

[7]                Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Shari'ah (Cairo: Dar Ibn Affan, 1997), 211.

[8]                Ibn Qudamah, Rawdhat al-Nazir wa Junnat al-Munazir (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, 1999), 156.

[9]                Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in 'an Rabb al-'Alamin (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 234.


6.           Metodologi Ijtihad dalam Ushul Fiqh

Ijtihad merupakan upaya seorang mujtahid dalam menggali dan menetapkan hukum Islam berdasarkan dalil-dalil syariat. Dalam Ushul Fiqh, ijtihad memiliki peran yang sangat penting karena ia menjadi instrumen utama dalam menghadapi persoalan-persoalan baru yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Para ulama menekankan bahwa ijtihad harus dilakukan berdasarkan metode yang sistematis dan kaidah-kaidah hukum yang jelas untuk memastikan kesesuaian dengan prinsip-prinsip syariat Islam.1

6.1.       Pengertian dan Urgensi Ijtihad

Secara etimologis, ijtihad berasal dari kata جَهَدَ (jahada) yang berarti "bersungguh-sungguh dalam berusaha". Dalam istilah Ushul Fiqh, ijtihad didefinisikan oleh Al-Amidi sebagai "pengerahan seluruh kemampuan seorang faqih dalam mengistinbath hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci".2

Urgensi ijtihad dalam hukum Islam dijelaskan dalam hadis Rasulullah Saw kepada Mu’adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman:

"Bagaimana engkau memutuskan perkara?" Mu'adz menjawab, "Saya akan memutuskan berdasarkan Kitabullah." Rasulullah bertanya, "Jika engkau tidak menemukannya dalam Kitabullah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan memutuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah." Rasulullah bertanya lagi, "Jika engkau tidak menemukannya dalam Sunnah Rasulullah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan berijtihad dengan pikiranku dan tidak akan melampaui batas." Rasulullah Saw pun memuji jawaban tersebut. (HR. Abu Dawud No. 3592).

Hadis ini menunjukkan bahwa ijtihad merupakan metode yang diperintahkan dalam Islam ketika tidak ditemukan dalil yang eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunnah.3

6.2.       Syarat-Syarat Seorang Mujtahid

Seorang mujtahid adalah ulama yang memiliki kemampuan untuk menggali hukum langsung dari dalil-dalil syariat. Para ulama telah menetapkan beberapa syarat bagi seseorang yang ingin melakukan ijtihad, di antaranya:4

1)                  Menguasai bahasa Arab untuk memahami teks-teks syariat secara mendalam.

2)                  Memahami Al-Qur’an dan Sunnah beserta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.

3)                  Menguasai ilmu Ushul Fiqh sebagai metodologi utama dalam istinbath hukum.

4)                  Mengetahui ijma' para ulama untuk menghindari fatwa yang bertentangan dengan konsensus ulama.

5)                  Mengetahui maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat) agar hukum yang ditetapkan tidak bertentangan dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan.5

Menurut Ibn Qudamah, seorang mujtahid juga harus memiliki ketakwaan yang tinggi dan tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu dalam menetapkan hukum.6

6.3.       Macam-Macam Metode Ijtihad dalam Ushul Fiqh

Para ulama Ushul Fiqh telah mengembangkan beberapa metode dalam berijtihad, antara lain:

6.3.1.    Ijtihad Bayani (Penafsiran Teks Secara Langsung)

Metode ini digunakan ketika dalil hukum sudah jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Seorang mujtahid cukup memahami teks secara langsung tanpa perlu menggunakan metode analogi.

Contoh:

Hukum larangan memakan bangkai dinyatakan secara eksplisit dalam Surah Al-Ma'idah [05] ayat 3, sehingga mujtahid cukup menetapkan hukum tanpa perlu melakukan analogi.7

6.3.2.    Ijtihad Qiyasi (Analogi Hukum dengan Qiyas)

Metode ini digunakan ketika tidak ada nash yang secara langsung menyebutkan suatu hukum, sehingga mujtahid melakukan analogi dengan hukum lain yang memiliki illat (sebab hukum) yang sama.

Contoh:

Pengharaman narkoba yang diqiyaskan dengan khamr berdasarkan dalil dalam Surah Al-Ma'idah: 90, karena keduanya memiliki illat yang sama, yaitu memabukkan dan merusak akal.8

6.3.3.    Ijtihad Istishlahi (Berdasarkan Maslahah Mursalah)

Metode ini digunakan untuk menetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan yang tidak disebutkan dalam nash, tetapi sejalan dengan tujuan syariat.

Contoh:

Pembuatan kartu identitas untuk mendata penduduk yang tidak ada dalam zaman Nabi Saw, tetapi dianggap penting dalam menjaga keteraturan sosial.9

6.3.4.    Ijtihad Istihsani (Preferensi Hukum yang Lebih Kemaslahatan)

Metode ini digunakan ketika mujtahid memilih hukum yang lebih ringan atau lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat, meskipun terdapat dalil umum yang mengarah ke arah lain.

Contoh:

Dibolehkannya jual beli salam (pemesanan barang yang belum ada) dalam perdagangan karena adanya kebutuhan mendesak, meskipun secara umum jual beli barang yang belum ada dianggap tidak sah.10

6.3.5.    Ijtihad Istishhabi (Berdasarkan Hukum Asal yang Tetap)

Metode ini digunakan untuk mempertahankan hukum yang sudah ada sampai ditemukan dalil yang mengubahnya.

Contoh:

Seseorang yang sudah bersuci tetap dianggap dalam keadaan suci sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa wudhunya batal.11

6.4.       Perbedaan antara Ijtihad, Fatwa, dan Qadha'

Para ulama membedakan antara ijtihad, fatwa, dan qadha' dalam penerapan hukum Islam:

1)                  Ijtihad adalah proses penggalian hukum dari sumber-sumber syariat oleh mujtahid.

2)                  Fatwa adalah pendapat hukum yang diberikan oleh seorang mufti berdasarkan hasil ijtihad. Fatwa bersifat tidak mengikat.

3)                  Qadha' adalah keputusan hukum yang dikeluarkan oleh seorang hakim (qadhi) yang bersifat mengikat dan harus ditaati.12

Menurut Ibn Khaldun, perbedaan ini penting untuk dipahami agar masyarakat tidak salah dalam memahami peran mujtahid, mufti, dan qadhi dalam sistem hukum Islam.13


Kesimpulan

Ijtihad adalah instrumen utama dalam hukum Islam yang memastikan syariat tetap relevan dengan perkembangan zaman. Dengan metodologi yang ketat dan sistematis, para ulama dapat menggali hukum Islam berdasarkan prinsip-prinsip syariat tanpa keluar dari batasan yang telah ditentukan. Oleh karena itu, kemampuan ijtihad merupakan aspek yang sangat penting dalam Ushul Fiqh, karena ia menentukan bagaimana hukum Islam dapat diterapkan dengan fleksibilitas tanpa menghilangkan esensi dasar syariat.


Footnotes

[1]                Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damascus: Dar al-Fikr, 2002), 310.

[2]                Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Cairo: Dar al-Hadith, 2010), 178.

[3]                Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in 'an Rabb al-'Alamin (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 95.

[4]                Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadith, 2008), 208.

[5]                Ibn Qudamah, Rawdhat al-Nazir wa Junnat al-Munazir (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, 1999), 87.

[6]                Al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 193.

[7]                Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1997), 213.

[8]                Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 111.

[9]                Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 318.

[10]             Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 332.

[11]             Fakhruddin al-Razi, Al-Mahshul fi Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 275.

[12]             Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 341.

[13]             Ibn Khaldun, Muqaddimah, 354.


7.           Ushul Fiqh dan Perannya dalam Konteks Hukum Islam Kontemporer

Ushul Fiqh sebagai metodologi hukum Islam memiliki peran yang sangat penting dalam menghadapi perkembangan zaman. Dalam era modern yang ditandai dengan kemajuan teknologi, globalisasi, dan kompleksitas sosial, ilmu Ushul Fiqh menjadi alat utama bagi para ulama dalam menjawab berbagai persoalan kontemporer yang belum ada pada masa klasik. Perkembangan dalam bidang hukum, ekonomi, kedokteran, politik, dan teknologi menuntut kajian Ushul Fiqh yang lebih adaptif tetapi tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip syariat.1

7.1.       Ushul Fiqh dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer

Fatwa dalam Islam merupakan salah satu produk dari Ushul Fiqh, yang bertujuan memberikan panduan hukum bagi umat Islam dalam menghadapi situasi yang baru. Dewan fatwa di berbagai negara Islam, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dar al-Ifta Mesir, dan Majma' Fiqh Islami, menggunakan metodologi Ushul Fiqh dalam menetapkan fatwa yang sesuai dengan kondisi zaman.2

Beberapa contoh fatwa kontemporer yang berdasarkan prinsip Ushul Fiqh:

·                     Hukum transaksi digital dan cryptocurrency

Fatwa MUI No. 4 Tahun 2021 tentang hukum mata uang kripto dalam Islam menggunakan pendekatan Qiyas dan Maslahah Mursalah untuk menetapkan kebolehan atau larangan penggunaannya.3

·                     Donor organ dalam kedokteran Islam

Dewan fatwa di berbagai negara menggunakan konsep Saddudz-Dzari'ah untuk mempertimbangkan apakah donor organ diperbolehkan berdasarkan pertimbangan maslahat bagi kehidupan manusia.4

·                     Hukum bayi tabung dalam Islam

Fatwa dari Dar al-Ifta Mesir menggunakan prinsip Maqashid Syariah dalam menetapkan kebolehan bayi tabung dengan syarat tertentu.5

Dari contoh-contoh di atas, terlihat bahwa Ushul Fiqh tetap menjadi instrumen utama dalam menjawab problematika modern, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariat.

7.2.       Ushul Fiqh dan Legislasi Hukum Islam di Negara-Negara Muslim

Banyak negara Islam menggunakan Ushul Fiqh sebagai dasar dalam pembentukan hukum positif, terutama dalam sistem peradilan yang berbasis syariat. Contohnya adalah:

1)                  Arab Saudi

Menggunakan pendekatan Mazhab Hanbali dalam sistem peradilannya, di mana banyak undang-undang disusun berdasarkan Ushul Fiqh, terutama dalam bidang perbankan syariah dan hukum keluarga.6

2)                  Malaysia

Menggunakan kombinasi antara Mazhab Syafi’i dan sistem hukum perdata modern, di mana fatwa Majelis Fatwa Kebangsaan memainkan peran penting dalam penentuan hukum Islam di negara tersebut.7

3)                  Indonesia

Undang-Undang Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008 serta regulasi ekonomi Islam lainnya banyak merujuk pada Ushul Fiqh dalam penerapan akad-akad syariah, seperti murabahah, ijarah, dan istisna'.8

Dari sini dapat disimpulkan bahwa Ushul Fiqh bukan hanya kajian akademik, tetapi juga memiliki implikasi langsung dalam legislasi hukum Islam di berbagai negara.

7.3.       Tantangan dan Peluang Ushul Fiqh dalam Era Digital

Perkembangan teknologi digital membawa tantangan tersendiri bagi Ushul Fiqh. Beberapa isu yang perlu ditangani dengan pendekatan Ushul Fiqh antara lain:

7.3.1.    Hukum E-Commerce dan Transaksi Digital

Dengan berkembangnya marketplace, fintech, dan mata uang digital, muncul pertanyaan terkait keabsahan transaksi online dalam Islam. Prinsip Qiyas dan ‘Urf banyak digunakan dalam menetapkan hukum transaksi digital.9

7.3.2.    Hukum Artificial Intelligence (AI) dan Robotika dalam Fiqh

Bagaimana hukum penggunaan robot sebagai imam shalat atau AI dalam memberikan fatwa? Ushul Fiqh memberikan pendekatan berbasis Istihsan dan Maqashid Syariah untuk menyesuaikan hukum dengan perkembangan ini.10

7.3.3.    Regulasi Media Sosial dalam Perspektif Ushul Fiqh

Apakah ghibah (menggunjing) di media sosial memiliki hukum yang sama dengan ghibah di dunia nyata? Kaedah Saddudz-Dzari'ah digunakan untuk membahas bagaimana hukum Islam menangani fitnah dan ujaran kebencian di dunia digital.11

Perkembangan teknologi ini menunjukkan bahwa Ushul Fiqh memiliki potensi besar dalam memberikan solusi hukum yang fleksibel dan kontekstual.

7.4.       Integrasi Ushul Fiqh dalam Pendidikan dan Pemikiran Islam Modern

Dalam dunia pendidikan, Ushul Fiqh kini menjadi bagian penting dalam kurikulum perguruan tinggi Islam. Beberapa universitas Islam terkemuka di dunia telah mengembangkan metode baru dalam pengajaran Ushul Fiqh, seperti:

·                     Universitas Al-Azhar Mesir → Mempelajari Ushul Fiqh dalam perspektif interdisipliner dengan hukum internasional dan ekonomi Islam.12

·                     Universitas Islam Madinah → Fokus pada pendekatan klasik dan kontemporer dalam pembelajaran Ushul Fiqh untuk menghasilkan mujtahid yang kompeten.13

·                     Universitas Islam Negeri (UIN) di Indonesia → Mengembangkan kajian Ushul Fiqh dalam konteks pluralisme hukum dan demokrasi.14

Pendidikan Ushul Fiqh yang berkembang ini menunjukkan bahwa kajian Ushul Fiqh tetap relevan di era modern dan dapat beradaptasi dengan tantangan zaman.


Kesimpulan

Peran Ushul Fiqh dalam hukum Islam kontemporer sangatlah besar, baik dalam fatwa, legislasi hukum, teknologi digital, maupun pendidikan Islam modern. Dengan pendekatan yang berbasis Qiyas, Istihsan, Maslahah Mursalah, dan Maqashid Syariah, Ushul Fiqh dapat menjadi alat yang efektif dalam menyesuaikan hukum Islam dengan tantangan zaman. Oleh karena itu, Ushul Fiqh harus terus dikembangkan agar tetap menjadi pedoman dalam penerapan hukum Islam yang relevan dan kontekstual.


Footnotes

[1]                Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damascus: Dar al-Fikr, 2002), 410.

[2]                Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1997), 230.

[3]                Fatwa MUI No. 4 Tahun 2021 tentang Cryptocurrency.

[4]                Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi’in (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 312.

[5]                Fatwa Dar al-Ifta Mesir, Hukum Bayi Tabung dalam Islam (2020).

[6]                Undang-Undang Arab Saudi tentang Hukum Perbankan Syariah.

[7]                Majelis Fatwa Kebangsaan Malaysia, Hukum Nikah Online (2021).

[8]                Undang-Undang Perbankan Syariah Indonesia No. 21 Tahun 2008.

[9]                Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadith, 2008), 278.

[10]             Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 145.

[11]             Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 389.

[12]             Kurikulum Universitas Al-Azhar, Fakultas Syariah (2022).

[13]             Kurikulum Universitas Islam Madinah, Program Ushul Fiqh (2022).

[14]             UIN Jakarta, Integrasi Ushul Fiqh dan Demokrasi (2023).


8.           Kesimpulan

Kajian Ushul Fiqh merupakan pilar utama dalam sistem hukum Islam, berfungsi sebagai kerangka metodologis yang memungkinkan ulama menggali dan menetapkan hukum berdasarkan prinsip-prinsip syariat. Sejarah perkembangan Ushul Fiqh menunjukkan bahwa ilmu ini telah mengalami proses kodifikasi dan sistematisasi yang kuat, dimulai dari masa Rasulullah Saw, berkembang di era para imam mazhab, hingga menjadi disiplin ilmu yang mapan dalam hukum Islam klasik dan modern.1

Dalam perjalanan sejarahnya, Ushul Fiqh telah menjadi alat penting dalam menjaga relevansi hukum Islam dalam berbagai konteks sosial. Empat sumber utama hukum Islam—Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas—menjadi fondasi utama dalam menetapkan hukum. Sementara itu, dalil-dalil hukum tambahan seperti Istihsan, Maslahah Mursalah, ‘Urf, Saddudz-Dzari'ah, dan Istishab menunjukkan bahwa hukum Islam memiliki fleksibilitas dan kemampuan adaptasi terhadap perubahan zaman.2

Selain itu, kaidah-kaidah ushuliyah dalam Ushul Fiqh, seperti Al-Yaqin La Yuzalu Bis Syak (Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan dengan Keraguan) dan Al-Masyaqqah Tajlibut Taisir (Kesulitan Membawa Kemudahan), membuktikan bahwa hukum Islam memiliki struktur yang tidak hanya ketat dalam aturan, tetapi juga mengakomodasi kebutuhan manusia dalam situasi tertentu.3

Dalam konteks ijtihad, Ushul Fiqh tetap memainkan peran sentral dalam menghadapi tantangan hukum Islam di era modern. Dengan berbagai metode ijtihad, seperti Ijtihad Bayani, Qiyasi, Istishlahi, Istihsani, dan Istishhabi, hukum Islam dapat terus berkembang untuk memberikan solusi atas permasalahan kontemporer seperti ekonomi syariah, teknologi digital, kedokteran modern, dan hukum internasional.4

Peran Ushul Fiqh dalam hukum Islam kontemporer semakin nyata dalam fatwa-fatwa modern dan legislasi hukum Islam di berbagai negara Muslim. Lembaga-lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dar al-Ifta Mesir, dan Majma' Fiqh Islami secara aktif menggunakan Ushul Fiqh dalam menetapkan hukum terkait kripto, transaksi digital, teknologi kecerdasan buatan (AI), dan hukum keluarga modern.5 Ushul Fiqh juga menjadi dasar dalam sistem hukum syariah di berbagai negara seperti Arab Saudi, Malaysia, dan Indonesia, yang menerapkan pendekatan mazhab tertentu dalam peradilan Islam.6

Namun, tantangan terbesar bagi Ushul Fiqh di era digital adalah bagaimana mempertahankan prinsip-prinsip dasar syariat sambil tetap memberikan solusi hukum yang kontekstual dan relevan. Perkembangan teknologi seperti metaverse, artificial intelligence, dan blockchain menuntut ijtihad yang lebih mendalam agar hukum Islam tidak tertinggal oleh dinamika zaman.7 Oleh karena itu, Ushul Fiqh harus terus dikembangkan melalui penelitian dan pendidikan, sebagaimana dilakukan oleh Universitas Al-Azhar, Universitas Islam Madinah, dan UIN di Indonesia, yang kini mengintegrasikan Ushul Fiqh dengan disiplin ilmu lain seperti hukum internasional dan ekonomi Islam.8


Kesimpulan Akhir

Ushul Fiqh tidak hanya menjadi metodologi dalam memahami hukum Islam, tetapi juga menjadi alat untuk memastikan bahwa hukum Islam tetap hidup dan dinamis. Dengan metodologi yang kuat dan prinsip yang fleksibel, Ushul Fiqh telah membuktikan bahwa hukum Islam tidak hanya berorientasi pada masa lalu, tetapi juga siap menghadapi tantangan zaman modern. Oleh karena itu, kajian Ushul Fiqh harus terus dikembangkan oleh para ulama dan akademisi agar tetap menjadi sumber hukum yang solutif, kontekstual, dan relevan dalam kehidupan umat Islam di seluruh dunia.


Footnotes

[1]                Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damascus: Dar al-Fikr, 2002), 450.

[2]                Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1997), 289.

[3]                Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Cairo: Dar al-Hadith, 2008), 312.

[4]                Fakhruddin al-Razi, Al-Mahshul fi Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 345.

[5]                Majelis Ulama Indonesia, Fatwa MUI tentang Cryptocurrency dan E-Commerce (2021).

[6]                Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 401.

[7]                Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 203.

[8]                Kurikulum Universitas Al-Azhar, Fakultas Syariah dan Hukum (2022).


Daftar Pustaka

Abu Zahrah, M. (1997). Ushul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi.

Al-Amidi, S. (2010). Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Cairo: Dar al-Hadith.

Al-Ghazali, A. H. (1997). Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Juwayni, I. A. (1996). Al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Syafi’i, M. I. (2005). Ar-Risalah. Cairo: Maktabah al-Taufiqiyyah.

Dar al-Ifta Mesir. (2020). Hukum Bayi Tabung dalam Islam. Retrieved from https://www.dar-alifta.org

Fakhruddin al-Razi. (2002). Al-Mahshul fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Hashim Kamali. (2003). Principles of Islamic Jurisprudence. Cambridge: Islamic Texts Society.

Ibn Hazm. (1996). Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Khaldun. (2004). Muqaddimah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Qayyim al-Jauziyyah. (2005). I'lam al-Muwaqqi'in 'an Rabb al-'Alamin. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Qudamah. (1999). Rawdhat al-Nazir wa Junnat al-Munazir. Riyadh: Maktabah al-Ma'arif.

Ibn Taymiyyah. (1998). Majmu' al-Fatawa. Riyadh: Maktabah Al-Rushd.

Majelis Ulama Indonesia (MUI). (2021). Fatwa MUI tentang Cryptocurrency dan E-Commerce. Retrieved from https://mui.or.id

Malik ibn Anas. (2000). Al-Muwatta’. Beirut: Dar al-Fikr.

Undang-Undang Arab Saudi tentang Hukum Perbankan Syariah. (n.d.). Retrieved from https://saudilaws.gov.sa

Undang-Undang Perbankan Syariah Indonesia No. 21 Tahun 2008. (2008). Retrieved from https://jdih.kemenkeu.go.id

Universitas Al-Azhar. (2022). Kurikulum Fakultas Syariah dan Hukum. Cairo: Universitas Al-Azhar.

Universitas Islam Madinah. (2022). Program Ushul Fiqh. Madinah: Universitas Islam Madinah.

Wahbah al-Zuhaili. (2002). Ushul al-Fiqh al-Islami. Damascus: Dar al-Fikr.


Lampiran: Daftar Kitab-Kitab Ushul Fiqh Berdasarkan Mazhab

Berikut adalah daftar kitab-kitab Ushul Fiqh dari berbagai mazhab beserta nama penulis, masa hidupnya, dan isi pokoknya.

1.            Mazhab Hanafi

·                     Al-Usul – Abu Yusuf (113–182 H)

Kitab ini merupakan salah satu karya awal dalam Ushul Fiqh yang menguraikan metode ijtihad mazhab Hanafi, dengan penekanan pada penggunaan Qiyas, Istihsan, dan ‘Urf dalam penetapan hukum Islam.

·                     Kitab Ushul al-Karkhi – Abu al-Hasan al-Karkhi (w. 340 H)

Kitab ini membahas prinsip-prinsip dasar Ushul Fiqh dalam mazhab Hanafi dengan penekanan pada kaidah-kaidah fiqhiyah, serta pendekatan metodologi dalam menginterpretasikan nash.

·                     Taqwim al-Adillah fi Ushul al-Fiqh – Abu Zayd al-Dabusi (w. 430 H)

Karya ini menjelaskan metode Hanafi dalam melakukan istinbath hukum dengan pembahasan mendalam mengenai Qiyas dan Istihsan sebagai instrumen utama dalam ijtihad.

·                     Al-Muntakhab fi Ushul al-Fiqh – Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 482 H)

Kitab ini menjadi salah satu referensi utama dalam Ushul Fiqh Hanafi, mengupas kaidah-kaidah ushul yang digunakan dalam metodologi istinbath hukum mazhab ini.

2.            Mazhab Maliki

·                     Al-Risalah fi Ushul al-Fiqh – Ibn Abi Zayd al-Qayrawani (310–386 H)

Karya ini menguraikan dasar-dasar Ushul Fiqh dalam mazhab Maliki, dengan penekanan pada Amal Ahl Madinah (praktek penduduk Madinah) sebagai salah satu sumber hukum selain Al-Qur’an dan Sunnah.

·                     Muwafaqat fi Ushul al-Shari'ah – Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H)

Kitab ini menyoroti konsep Maqashid al-Syari'ah (tujuan-tujuan syariat) dan mengaitkannya dengan metode ijtihad dalam Ushul Fiqh.

·                     Bayan al-Wujub fi Ushul al-Fiqh – Ibn al-Arabi (w. 543 H)

Karya ini membahas metodologi pengambilan hukum dalam mazhab Maliki dengan menitikberatkan pada Maslahah Mursalah dan Saddudz-Dzari'ah.

3.            Mazhab Syafi'i

·                     Ar-Risalah – Imam al-Syafi'i (150–204 H)

Kitab ini merupakan karya pionir dalam Ushul Fiqh yang mengodifikasikan metodologi hukum Islam dengan menguraikan hubungan antara Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas dalam pengambilan hukum.

·                     Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh – Imam al-Juwayni (419–478 H)

Karya ini menyusun kaidah-kaidah dasar dalam Ushul Fiqh dengan pendekatan yang lebih sistematis dalam interpretasi teks-teks syariat.

·                     Al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushul – Abu Hamid al-Ghazali (450–505 H)

Kitab ini menjadi referensi utama dalam Ushul Fiqh Syafi’i, menekankan pembahasan tentang Qiyas, Ijma', dan Istihsan, serta pendekatan filsafat dalam hukum Islam.

·                     Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam – Fakhruddin al-Razi (543–606 H)

Kitab ini membahas secara luas berbagai metode Ushul Fiqh, termasuk perbedaan mazhab dalam memahami dalil-dalil syariat.

4.            Mazhab Hanbali

·                     Rawdhat al-Nazir wa Junnat al-Munazir – Ibn Qudamah (w. 620 H)

Kitab ini membahas Ushul Fiqh dari perspektif Hanbali, dengan fokus pada penguatan Sunnah sebagai sumber utama hukum dan penolakan terhadap Qiyas yang tidak memenuhi syarat ketat.

·                     Sharh al-Kawkab al-Munir – Ibn Najjar al-Futuhi (w. 972 H)

Karya ini memberikan analisis mendalam tentang Ushul Fiqh Hanbali dengan pendekatan yang lebih sistematis dan akademis.

·                     Al-Musawwadah fi Ushul al-Fiqh – Ibn Taymiyyah, Ibn al-Qayyim, dan Ibn Muflih

Kitab ini menguraikan konsep ijtihad dan fatwa dalam mazhab Hanbali, serta membahas bagaimana metode istinbath hukum harus sesuai dengan Maqashid Syariah.

5.            Mazhab Zahiriyah

·                     Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam – Ibn Hazm (384–456 H)

Kitab ini mewakili pendekatan Ushul Fiqh dalam mazhab Zahiriyah yang menolak Qiyas dan hanya menerima dalil yang bersifat tekstual (literalist).

·                     Al-Muhalla – Ibn Hazm (384–456 H)

Selain membahas fiqh, kitab ini juga mengandung prinsip-prinsip Ushul Fiqh mazhab Zahiriyah, dengan menekankan penolakan terhadap Ijma' yang tidak bersumber dari nash.

6.            Ushul Fiqh Kontemporer

·                     Ushul al-Fiqh al-Islami – Wahbah al-Zuhaili (w. 2015)

Kitab ini merupakan salah satu referensi modern dalam Ushul Fiqh yang mengadaptasi metodologi klasik dengan tantangan hukum Islam di era kontemporer.

·                     Principles of Islamic Jurisprudence – Muhammad Hashim Kamali

Buku ini membahas Ushul Fiqh dalam perspektif akademik modern, dengan pendekatan interdisipliner yang menghubungkan hukum Islam dengan sistem hukum internasional.

·                     Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh – Abdul Karim Zaydan

Karya ini memberikan ringkasan sistematis mengenai berbagai konsep Ushul Fiqh klasik dan modern, serta relevansinya dalam hukum Islam saat ini.


Kesimpulan

Kitab-kitab Ushul Fiqh dari berbagai mazhab menunjukkan kekayaan intelektual dalam pemikiran hukum Islam. Setiap mazhab memiliki metodologi yang unik dalam mengambil dan menginterpretasikan hukum, baik yang berorientasi pada tekstualisme (literal), rasionalisme (analogi), atau maslahat (kemaslahatan umum). Kitab-kitab Ushul Fiqh kontemporer juga terus dikembangkan untuk menjawab tantangan zaman modern, sehingga Ushul Fiqh tetap menjadi ilmu yang relevan dan dinamis dalam sistem hukum Islam.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar