Ecofeminisme
Perspektif, Sejarah, dan Relevansi dalam Krisis Ekologi
Kontemporer
Alihkan ke: Etika
Lingkungan
Abstrak
Ecofeminisme merupakan sebuah pendekatan
interdisipliner yang menghubungkan isu ekologi dengan feminisme, menyoroti
bagaimana eksploitasi terhadap alam berkaitan erat dengan sistem patriarki dan
kapitalisme yang menindas perempuan. Artikel ini membahas secara komprehensif
tentang perspektif, sejarah, aliran pemikiran, relevansi, serta kritik
terhadap ecofeminisme dalam menghadapi krisis ekologi kontemporer.
Ecofeminisme berkembang sejak diperkenalkan oleh Françoise d’Eaubonne
pada tahun 1974, lalu mengalami diversifikasi dalam berbagai aliran, seperti ecofeminisme
kultural, sosial, dan materialis. Gerakan ini juga memiliki peran penting
dalam kebijakan lingkungan dan aktivisme, seperti yang terlihat dalam Chipko
Movement di India dan Green Belt Movement di Kenya, yang membuktikan
bagaimana perempuan berada di garis depan dalam perlindungan lingkungan.
Namun, ecofeminisme juga menghadapi berbagai
kritik, terutama mengenai esensialisme gender, kurangnya perhatian
terhadap analisis kelas dan kapitalisme, serta tantangan dalam penerapan
kebijakan berbasis ecofeminisme. Sebagai respons terhadap kritik ini,
ecofeminisme modern mulai mengadopsi pendekatan yang lebih interseksional
dan materialis, yang menghubungkan isu lingkungan dengan perjuangan kelas,
kolonialisme, dan hak-hak kelompok minoritas. Dengan demikian, ecofeminisme
menawarkan perspektif yang lebih luas dan inklusif dalam upaya menciptakan
keadilan sosial dan ekologis.
Ke depan, penelitian dan kebijakan berbasis
ecofeminisme perlu terus dikembangkan agar dapat berkontribusi lebih efektif
dalam menanggulangi krisis lingkungan global. Dengan mengadopsi pendekatan yang
lebih partisipatif dan berbasis komunitas, ecofeminisme dapat menjadi landasan
bagi kebijakan keberlanjutan yang lebih adil dan inklusif, memastikan
keseimbangan antara manusia dan alam dalam jangka panjang.
Kata Kunci: Ecofeminisme, ekologi, feminisme, patriarki,
kapitalisme, keberlanjutan, keadilan sosial, aktivisme lingkungan, perubahan
iklim, kesetaraan gender.
PEMBAHASAN
Kajian Komprehensif tentang Ecofeminisme
1.
Pendahuluan
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia menghadapi
berbagai permasalahan ekologi yang semakin kompleks, termasuk deforestasi,
pemanasan global, krisis air, dan kepunahan spesies secara massal. Krisis ini
tidak hanya mengancam keseimbangan ekosistem tetapi juga memperburuk
ketimpangan sosial, terutama bagi kelompok-kelompok yang secara historis
termarginalkan, seperti perempuan dan masyarakat adat. Dalam konteks ini,
ecofeminisme muncul sebagai sebuah pendekatan kritis yang menghubungkan isu-isu
ekologi dengan sistem penindasan sosial, khususnya patriarki dan kapitalisme.
Ecofeminisme merupakan cabang dari pemikiran
feminisme yang menyoroti bagaimana eksploitasi terhadap alam berkaitan erat
dengan eksploitasi terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya. Konsep ini
pertama kali dikemukakan oleh Françoise d’Eaubonne dalam bukunya Le
Féminisme ou la Mort (1974), di mana ia menegaskan bahwa dominasi terhadap
perempuan dan eksploitasi alam memiliki akar yang sama dalam sistem patriarki
dan kapitalisme yang mengutamakan kontrol serta akumulasi kekayaan.¹ Sejak saat
itu, ecofeminisme berkembang menjadi sebuah disiplin interdisipliner yang
menggabungkan teori ekologi, feminisme, filsafat, dan ekonomi politik.
Dalam pendekatan ecofeminisme, eksploitasi terhadap
alam sering dikaitkan dengan cara perempuan mengalami ketidakadilan dalam
masyarakat. Beberapa pemikir ecofeminisme seperti Vandana Shiva dan Maria Mies
berpendapat bahwa sistem kapitalisme modern telah mengalienasi perempuan dari
peran tradisional mereka sebagai penjaga lingkungan dan sumber daya alam.²
Shiva dalam bukunya Staying Alive: Women, Ecology, and Development
mengkritik bagaimana revolusi hijau yang diperkenalkan di negara-negara
berkembang telah mengurangi kontrol perempuan terhadap praktik pertanian dan
keberlanjutan lingkungan hidup.³ Hal ini menunjukkan bahwa ecofeminisme tidak
hanya berfokus pada aspek teoritis tetapi juga pada realitas sosial dan ekonomi
yang nyata di berbagai belahan dunia.
Relevansi ecofeminisme semakin meningkat di era
krisis lingkungan global saat ini. Laporan dari Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa perubahan iklim berdampak lebih besar
pada perempuan, terutama mereka yang tinggal di wilayah miskin dan bergantung
pada sumber daya alam untuk kelangsungan hidup mereka.⁴ Dalam banyak masyarakat
agraris, perempuan bertanggung jawab atas pertanian subsisten dan pengelolaan
sumber daya alam, sehingga degradasi lingkungan seperti kekeringan dan banjir
dapat memperburuk ketimpangan gender yang sudah ada. Oleh karena itu,
pendekatan ecofeminisme menawarkan sebuah kerangka berpikir yang tidak hanya
melihat isu lingkungan sebagai masalah teknis semata tetapi juga sebagai isu
keadilan sosial yang perlu ditangani secara struktural.
Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
mendalam mengenai ecofeminisme dengan menelaah sejarah, berbagai aliran
pemikiran, serta relevansinya dalam menghadapi tantangan ekologi kontemporer.
Dengan menggunakan pendekatan akademik dan referensi dari sumber-sumber yang
kredibel, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan perspektif yang lebih luas
tentang bagaimana ecofeminisme dapat berkontribusi dalam menciptakan keadilan
sosial dan ekologi yang lebih berkelanjutan.
Catatan Kaki
[1]
Françoise d’Eaubonne, Le Féminisme ou la Mort
(Paris: Pierre Horay, 1974).
[2]
Vandana Shiva dan Maria Mies, Ecofeminism
(London: Zed Books, 1993), 2-5.
[3]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology,
and Development (London: Zed Books, 1988), 30-35.
[4]
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate
Change 2022: Impacts, Adaptation, and Vulnerability (Cambridge: Cambridge
University Press, 2022), 120-125.
2.
Pengertian
dan Dasar Filosofis Ecofeminisme
2.1. Pengertian Ecofeminisme
Ecofeminisme adalah
cabang pemikiran feminisme yang menghubungkan penindasan terhadap perempuan dengan eksploitasi terhadap alam.¹
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Françoise d’Eaubonne dalam bukunya Le
Féminisme ou la Mort (1974), di mana ia mengemukakan bahwa dominasi
laki-laki atas perempuan dan eksploitasi sumber daya alam memiliki akar yang
sama dalam sistem patriarki.² Sejak saat itu, ecofeminisme berkembang menjadi sebuah pendekatan interdisipliner
yang menggabungkan feminisme, ekologi, filsafat, dan teori sosial untuk memahami
bagaimana ketidakadilan gender dan kerusakan lingkungan saling berkaitan.
Menurut Karen J.
Warren, ecofeminisme merupakan sebuah "kerangka berpikir yang
membongkar hubungan hierarkis antara manusia dan alam dengan melihat bagaimana
dominasi laki-laki atas perempuan berkorelasi dengan eksploitasi terhadap lingkungan."³
Ia menekankan bahwa paradigma dualistik yang telah mengakar dalam peradaban
Barat, seperti oposisi antara budaya dan alam, rasionalitas dan emosi, serta
laki-laki dan perempuan, telah menciptakan struktur yang melegitimasi
penindasan terhadap perempuan dan eksploitasi alam secara bersamaan.
Vandana Shiva,
seorang pemikir ecofeminis terkemuka, berpendapat bahwa pendekatan pembangunan
modern yang berbasis kapitalisme telah merusak keterkaitan alami antara perempuan dan lingkungan.⁴ Dalam bukunya
Staying
Alive: Women, Ecology, and Development, ia menyoroti bagaimana
praktik pertanian industri dan Revolusi Hijau telah menggantikan sistem
pertanian tradisional yang sebelumnya dijalankan oleh perempuan, sehingga
melemahkan peran perempuan sebagai pengelola sumber daya alam.⁵ Oleh karena
itu, ecofeminisme berusaha untuk menegaskan
kembali peran perempuan dalam keberlanjutan ekologi dengan menantang sistem
sosial-ekonomi yang mendukung eksploitasi lingkungan.
2.2. Dasar Filosofis Ecofeminisme
Ecofeminisme
didasarkan pada berbagai konsep filosofis yang mengkritisi struktur patriarki,
kapitalisme, dan antroposentrisme dalam relasi manusia dengan alam. Beberapa
prinsip utama yang menjadi dasar filosofis ecofeminisme meliputi:
2.2.1.
Dualisme dan
Hierarki dalam Tradisi Barat
Salah satu kritik
utama ecofeminisme terhadap pemikiran Barat adalah keberadaan dualisme yang
membentuk hierarki nilai. Val Plumwood menjelaskan bahwa pemikiran Barat sejak
zaman Yunani Kuno telah membangun dikotomi antara manusia dan alam, yang
kemudian berkembang menjadi konsep superioritas manusia atas alam.⁶ Ia
berargumen bahwa hierarki ini tidak hanya membentuk relasi manusia dengan
lingkungan tetapi juga mengukuhkan ketimpangan gender, di mana perempuan sering
kali diasosiasikan dengan alam dan dianggap lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yang dikaitkan
dengan rasionalitas dan budaya.⁷
2.2.2.
Kritik terhadap
Antroposentrisme
Antroposentrisme
atau pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta telah
menjadi objek kritik utama dalam ecofeminisme. Greta Gaard dan Lori Gruen dalam
esai mereka Ecofeminism: Toward Global Justice and
Planetary Health menyatakan bahwa pandangan antroposentris ini
menciptakan hubungan eksploitasi antara manusia dan alam, di mana sumber daya
alam diperlakukan sebagai objek yang dapat dimanfaatkan tanpa mempertimbangkan
dampaknya terhadap ekosistem.⁸ Ecofeminisme menawarkan pendekatan alternatif
yang lebih ekosentris, yakni melihat manusia sebagai bagian dari jaringan
kehidupan yang lebih luas dan bukan sebagai entitas yang superior terhadap
alam.
2.2.3.
Peran Perempuan
dalam Keberlanjutan Lingkungan
Pandangan
ecofeminisme juga didasarkan pada pemikiran bahwa perempuan memiliki peran yang
unik dalam keberlanjutan ekologi. Maria Mies berpendapat bahwa dalam banyak masyarakat agraris dan adat,
perempuan memainkan peran penting
dalam pengelolaan sumber daya alam, seperti pertanian berkelanjutan, perawatan
air, dan pemanfaatan keanekaragaman hayati.⁹ Namun, kapitalisme modern dan
industrialisasi telah menggeser peran ini dengan menjadikan eksploitasi
lingkungan sebagai bagian dari strategi akumulasi modal.
Kesimpulan
Ecofeminisme
memberikan kerangka pemikiran yang kritis terhadap relasi antara gender dan
lingkungan. Dengan mengkritisi dualisme budaya-alam, antroposentrisme, serta dampak kapitalisme terhadap perempuan dan
lingkungan, ecofeminisme menawarkan alternatif paradigma yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Pemikiran
ini menekankan pentingnya keadilan ekologi yang tidak hanya mempertimbangkan
keberlanjutan lingkungan tetapi juga kesetaraan gender dan sosial.
Catatan Kaki
[1]
Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective
on What It Is and Why It Matters (Lanham: Rowman & Littlefield,
2000), 21-23.
[2]
Françoise d’Eaubonne, Le Féminisme ou la Mort (Paris:
Pierre Horay, 1974).
[3]
Warren, Ecofeminist Philosophy, 35-38.
[4]
Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice, Sustainability, and
Peace (Cambridge: South End Press, 2005), 56-58.
[5]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development
(London: Zed Books, 1988), 92-96.
[6]
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 41-44.
[7]
Ibid., 78-81.
[8]
Greta Gaard dan Lori Gruen, "Ecofeminism: Toward Global Justice
and Planetary Health," Hypatia 12, no. 1 (1997): 23-24.
[9]
Maria Mies dan Vandana Shiva, Ecofeminism (London: Zed Books,
1993), 111-113.
3.
Sejarah
dan Perkembangan Gerakan Ecofeminisme
3.1. Asal-Usul dan Lahirnya Ecofeminisme
Ecofeminisme sebagai
gerakan intelektual dan sosial muncul pada dekade 1970-an, seiring dengan
berkembangnya feminisme gelombang kedua dan gerakan lingkungan modern.¹ Istilah
"ecofeminisme" pertama kali diperkenalkan oleh Françoise
d’Eaubonne dalam bukunya Le Féminisme ou la Mort (1974), di
mana ia menegaskan bahwa perempuan memiliki peran kunci dalam perjuangan
ekologis karena sistem patriarki telah menempatkan mereka dalam hubungan yang
lebih dekat dengan alam.² D’Eaubonne berpendapat bahwa eksploitasi terhadap
alam dan perempuan berasal dari sistem sosial yang sama, yaitu patriarki dan
kapitalisme, yang mengutamakan dominasi, eksploitasi, dan akumulasi kekayaan.
Pada akhir 1970-an
dan awal 1980-an, berbagai kelompok feminis mulai mengembangkan gagasan ecofeminisme sebagai respons terhadap
kebijakan pembangunan yang merusak lingkungan dan semakin menekan perempuan di
negara-negara berkembang.³ Vandana Shiva dan Maria Mies menyoroti bagaimana
Revolusi Hijau yang diterapkan di negara-negara berkembang telah menggantikan
praktik pertanian lokal yang dikelola perempuan dengan metode pertanian
berbasis teknologi dan kapitalisme yang tidak berkelanjutan.⁴
3.2. Perkembangan Gerakan Ecofeminisme di Barat
Di dunia Barat,
gerakan ecofeminisme berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran terhadap
isu lingkungan dan hak-hak perempuan. Pada 1980-an, sejumlah akademisi dan
aktivis feminis mulai membentuk berbagai teori dan praktik ecofeminisme yang
beragam. Carolyn Merchant, dalam bukunya The Death of Nature (1980),
mengkaji bagaimana Revolusi Ilmiah telah mengubah cara manusia melihat alam,
dari sesuatu yang sakral dan
bernyawa menjadi sekadar objek yang dapat dimanipulasi dan dieksploitasi.⁵
Merchant menunjukkan bahwa narasi ilmiah modern telah berkontribusi pada
dominasi laki-laki atas perempuan dan eksploitasi lingkungan.
Pada tahun 1980,
konferensi Women
and Life on Earth: Ecofeminism in the 1980s yang diadakan di Amerika
Serikat menandai salah satu tonggak penting dalam gerakan ecofeminisme.⁶
Konferensi ini mempertemukan para akademisi, aktivis lingkungan, dan feminis
untuk mendiskusikan hubungan antara gender dan ekologi. Sejak saat itu,
berbagai buku, jurnal akademik, dan gerakan sosial mulai mengadopsi perspektif
ecofeminisme sebagai bagian dari kritik
terhadap pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada eksploitasi sumber
daya alam.
3.3. Ecofeminisme di Negara-Negara Berkembang
Di luar dunia Barat,
ecofeminisme berkembang sebagai respons terhadap kolonialisme, kapitalisme
global, dan degradasi lingkungan. Vandana Shiva, dalam bukunya Staying
Alive: Women, Ecology, and Development, mengkritik bagaimana kebijakan pembangunan yang
didorong oleh negara-negara maju telah menghancurkan sistem kehidupan
tradisional yang bergantung pada keseimbangan ekologi.⁷ Ia menyoroti bagaimana perempuan di India memiliki peran penting
dalam pertanian subsisten, tetapi modernisasi
dan kapitalisasi pertanian telah membuat mereka kehilangan akses terhadap tanah
dan sumber daya alam.
Salah satu contoh
nyata dari gerakan ecofeminisme adalah Gerakan Chipko di India pada
1970-an, di mana sekelompok perempuan dari komunitas petani memeluk pohon-pohon
untuk mencegah penebangan hutan oleh perusahaan.⁸ Gerakan ini mencerminkan
bagaimana perempuan sering kali berada di garis depan perjuangan ekologis karena mereka secara langsung terdampak oleh
eksploitasi sumber daya alam.
Di Afrika, Gerakan
Green Belt yang dipelopori oleh Wangari Maathai menjadi salah
satu contoh sukses dari ecofeminisme dalam aksi nyata. Sejak didirikan pada
1977, gerakan ini telah menanam lebih dari 50 juta pohon di berbagai wilayah
Kenya untuk mengatasi deforestasi dan memberikan kesempatan ekonomi bagi
perempuan.⁹ Maathai menunjukkan bahwa pemulihan lingkungan tidak dapat
dipisahkan dari pemberdayaan perempuan dan keadilan sosial.
3.4. Tantangan dan Kritik terhadap Ecofeminisme
Meskipun
ecofeminisme telah memberikan kontribusi besar terhadap gerakan lingkungan dan
feminisme, ia juga menghadapi berbagai kritik. Beberapa feminis liberal dan
materialis menganggap bahwa ecofeminisme terlalu menekankan hubungan esensialis
antara perempuan dan alam, yang dapat memperkuat stereotip bahwa perempuan
lebih "dekat dengan alam" dibandingkan laki-laki.¹⁰ Selain
itu, beberapa akademisi marxis berpendapat bahwa ecofeminisme sering kali
mengabaikan analisis kelas dan ekonomi politik dalam melihat penyebab utama eksploitasi lingkungan.¹¹
Namun, berbagai
cabang ecofeminisme telah berkembang untuk menanggapi kritik ini. Ecofeminisme
materialis, misalnya, menekankan hubungan antara eksploitasi lingkungan dengan sistem
ekonomi global yang menciptakan
ketimpangan kelas dan gender.¹² Sementara itu, ecofeminisme sosial berfokus
pada perubahan struktural dalam kebijakan lingkungan untuk memastikan
keberlanjutan yang lebih adil bagi seluruh masyarakat.
Kesimpulan
Ecofeminisme telah
berkembang dari sekadar sebuah konsep akademik menjadi gerakan sosial yang memiliki dampak nyata dalam
perjuangan lingkungan dan kesetaraan gender. Dengan akar dalam feminisme dan
ekologi, ecofeminisme terus beradaptasi dengan tantangan zaman untuk memberikan
solusi terhadap krisis ekologi global. Ke depan, gerakan ini diharapkan dapat
semakin terintegrasi dalam kebijakan publik dan strategi pembangunan
berkelanjutan untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan ramah lingkungan.
Catatan Kaki
[1]
Françoise d’Eaubonne, Le Féminisme ou la Mort (Paris:
Pierre Horay, 1974).
[2]
Ibid.
[3]
Vandana Shiva dan Maria Mies, Ecofeminism (London: Zed Books,
1993), 2-5.
[4]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development
(London: Zed Books, 1988), 92-96.
[5]
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980),
17-19.
[6]
Ynestra King, "The Ecology of Feminism and the Feminism of
Ecology," dalam Healing the Wounds: The Promise of Ecofeminism,
ed. Judith Plant (Philadelphia: New Society Publishers, 1989), 20-23.
[7]
Shiva, Staying Alive, 102-105.
[8]
Shiva dan Mies, Ecofeminism, 72-74.
[9]
Wangari Maathai, The Green Belt Movement: Sharing the Approach
and the Experience (New York: Lantern Books, 2003), 5-7.
[10]
Janet Biehl, Rethinking Ecofeminist Politics
(Boston: South End Press, 1991), 28-30.
[11]
Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx, and the
Postmodern (London: Zed Books, 1997), 45-48.
[12]
Salleh, Ecofeminism as Politics, 60-62.
4.
Aliran-Aliran
dalam Ecofeminisme
Ecofeminisme tidak
hanya merupakan satu pemikiran tunggal, tetapi berkembang menjadi berbagai
aliran yang memiliki pendekatan,
fokus, dan perspektif yang berbeda.¹ Secara umum, aliran-aliran dalam
ecofeminisme dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama: ecofeminisme
kultural, ecofeminisme sosial, dan ecofeminisme
materialis. Ketiga aliran ini berupaya menjelaskan hubungan
antara perempuan dan lingkungan dari berbagai sudut pandang, baik dari aspek
spiritualitas, struktur sosial, hingga analisis ekonomi-politik.²
4.1. Ecofeminisme Kultural
4.1.1.
Definisi dan
Karakteristik
Ecofeminisme
kultural adalah aliran yang menekankan hubungan esensial antara perempuan dan
alam.³ Pandangan ini sering kali didasarkan pada konsep bahwa perempuan
memiliki kedekatan alami dengan lingkungan karena peran biologis mereka dalam
reproduksi, keibuan, dan pemeliharaan kehidupan. Pemikir ecofeminisme kultural
berpendapat bahwa patriarki telah
menindas baik perempuan maupun alam dengan cara yang sama, sehingga pembebasan
perempuan juga harus disertai dengan penghormatan kembali terhadap alam sebagai
entitas yang hidup.⁴
4.1.2.
Tokoh dan Pemikiran
Utama
Salah satu tokoh
penting dalam ecofeminisme kultural adalah Starhawk, seorang feminis dan
spiritualis yang mengaitkan ecofeminisme dengan tradisi paganisme dan
spiritualitas bumi. Dalam bukunya The Spiral Dance, ia menekankan
bahwa penghormatan terhadap alam dan perempuan merupakan bagian dari ajaran
kuno yang telah terpinggirkan oleh sistem patriarki dan agama monoteistik.⁵
Val Plumwood juga
mengkritik dualisme yang mendasari pemikiran Barat, di mana perempuan dikaitkan
dengan alam dan laki-laki dikaitkan dengan rasionalitas dan budaya.⁶ Ia
berpendapat bahwa cara pandang ini telah melegitimasi eksploitasi terhadap alam
dan perempuan secara bersamaan, serta memperkuat dominasi laki-laki dalam
sistem sosial.
4.1.3.
Kritik terhadap
Ecofeminisme Kultural
Ecofeminisme
kultural mendapat kritik dari banyak feminis lain karena dianggap terlalu
esensialis. Janet Biehl dalam bukunya Rethinking Ecofeminist Politics
menyatakan bahwa menghubungkan perempuan secara inheren dengan alam hanya akan
memperkuat stereotip bahwa perempuan "lebih alami" dan kurang rasional dibandingkan
laki-laki.⁷ Kritikus lain juga menilai bahwa ecofeminisme kultural cenderung
mengabaikan faktor sosial, ekonomi, dan politik yang berkontribusi terhadap
eksploitasi lingkungan dan perempuan.
4.2. Ecofeminisme Sosial
4.2.1.
Definisi dan
Karakteristik
Ecofeminisme sosial
menolak gagasan bahwa perempuan memiliki hubungan yang "alami"
dengan alam, dan lebih berfokus pada analisis struktural tentang bagaimana
sistem patriarki dan kapitalisme menciptakan eksploitasi terhadap perempuan dan
lingkungan.⁸ Pandangan ini menekankan bahwa hubungan perempuan dengan alam
adalah hasil dari faktor sosial, budaya, dan ekonomi, bukan sekadar kodrat
biologis.
4.2.2.
Tokoh dan Pemikiran
Utama
Salah satu pemikir
utama ecofeminisme sosial adalah Ynestra King, yang menegaskan
bahwa "ekofeminisme bukan hanya tentang perempuan dan alam, tetapi
tentang bagaimana sistem dominasi beroperasi dalam berbagai aspek kehidupan
sosial."⁹ Ia berargumen bahwa perjuangan ecofeminis harus berfokus
pada perubahan sosial dan struktural yang lebih luas, bukan sekadar pada aspek
spiritual atau biologis.
4.2.3.
Kritik terhadap
Ecofeminisme Sosial
Kritik utama
terhadap ecofeminisme sosial adalah bahwa pendekatannya bisa terlalu akademik
dan kurang memperhatikan pengalaman perempuan di tingkat lokal. Beberapa
aktivis lingkungan berpendapat bahwa teori-teori ecofeminisme sosial kurang
memiliki penerapan praktis yang dapat membantu perempuan dan komunitas yang
terdampak oleh eksploitasi lingkungan secara langsung.
4.3. Ecofeminisme Materialis
4.3.1.
Definisi dan
Karakteristik
Ecofeminisme
materialis berakar pada teori Marxis dan feminisme materialis, yang menyoroti
bagaimana kapitalisme, patriarki, dan imperialisme secara bersamaan menciptakan
ketidakadilan bagi perempuan dan merusak lingkungan.¹⁰ Pendekatan ini berfokus
pada eksploitasi tenaga kerja perempuan, keterkaitan antara produksi kapitalis
dan perusakan alam, serta bagaimana sistem ekonomi global menguntungkan
segelintir elite dengan mengorbankan perempuan dan masyarakat miskin.
4.3.2.
Tokoh dan Pemikiran
Utama
Maria Mies dan
Vandana Shiva adalah dua tokoh utama dalam ecofeminisme materialis. Dalam
bukunya Ecofeminism,
mereka mengkritik bagaimana sistem ekonomi global telah menciptakan
keterasingan perempuan dari sumber daya alam yang sebelumnya mereka kelola.¹¹
Mereka menekankan pentingnya gerakan perlawanan lokal dan model ekonomi
alternatif yang lebih berkelanjutan dan adil gender.
Ariel Salleh dalam
bukunya Ecofeminism
as Politics juga menyoroti bahwa eksploitasi perempuan dan alam
merupakan hasil dari hubungan produksi kapitalis yang mendukung eksploitasi
buruh dan sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak ekologis jangka
panjang.¹²
4.3.3.
Kritik terhadap
Ecofeminisme Materialis
Meskipun ecofeminisme
materialis menawarkan kritik ekonomi yang kuat, beberapa pihak berpendapat
bahwa pendekatan ini terlalu mengabaikan aspek budaya dan spiritual yang juga
berperan dalam ekologi dan feminisme.¹³
Kesimpulan
Ecofeminisme telah
berkembang menjadi aliran pemikiran yang beragam dengan fokus yang
berbeda-beda. Ecofeminisme kultural menekankan hubungan spiritual antara
perempuan dan alam, ecofeminisme sosial mengkaji hubungan ini dalam konteks
sosial dan struktural, sementara ecofeminisme materialis mengkritisi
kapitalisme sebagai penyebab utama eksploitasi perempuan dan lingkungan.
Perbedaan dalam pendekatan ini mencerminkan kompleksitas hubungan antara
ekologi dan feminisme, serta memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana
menciptakan keadilan sosial dan lingkungan yang lebih baik.
Catatan Kaki
[1]
Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective
on What It Is and Why It Matters (Lanham: Rowman & Littlefield,
2000), 21-23.
[2]
Vandana Shiva dan Maria Mies, Ecofeminism (London: Zed Books,
1993), 2-5.
[3]
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980),
110-112.
[4]
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 51-54.
[5]
Starhawk, The Spiral Dance: A Rebirth of the Ancient
Religion of the Goddess (San Francisco: HarperOne, 1979), 14-17.
[6]
Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature,
70-72.
[7]
Janet Biehl, Rethinking Ecofeminist Politics
(Boston: South End Press, 1991), 34-36.
[8]
Ynestra King, "The Ecology of Feminism and the Feminism of
Ecology," dalam Healing the Wounds: The Promise of Ecofeminism,
ed. Judith Plant (Philadelphia: New Society Publishers, 1989), 23-25.
[9]
Ibid., 29.
[10]
Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx, and the
Postmodern (London: Zed Books, 1997), 48-50.
[11]
Mies dan Shiva, Ecofeminism, 94-96.
[12]
Salleh, Ecofeminism as Politics, 67-69.
[13]
Biehl, Rethinking Ecofeminist Politics,
50-52.
5.
Perspektif
Ecofeminisme terhadap Krisis Ekologi
Krisis ekologi yang
semakin parah di era modern tidak dapat dipisahkan dari sistem sosial, ekonomi,
dan politik yang menopangnya. Perubahan iklim, deforestasi, polusi, serta
eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran merupakan dampak dari
paradigma antroposentris dan sistem kapitalisme global yang menempatkan alam
sebagai objek eksploitasi tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekologis.¹ Dalam
konteks ini, ecofeminisme memberikan perspektif yang unik dengan menyoroti
keterkaitan antara eksploitasi lingkungan dan penindasan terhadap
kelompok-kelompok marginal, khususnya perempuan.²
5.1. Krisis Ekologi sebagai Dampak Sistem Patriarki dan
Kapitalisme
Ecofeminisme
berpendapat bahwa krisis ekologi tidak hanya disebabkan oleh kesalahan teknis
dalam pengelolaan lingkungan, tetapi merupakan hasil dari struktur sosial yang
berbasis patriarki dan kapitalisme.³ Karen J. Warren menjelaskan bahwa pola
pikir hierarkis yang mendominasi dalam sistem patriarki telah menciptakan
dikotomi antara manusia dan alam, di mana laki-laki diasosiasikan dengan
budaya, rasionalitas, dan dominasi, sementara alam dan perempuan diasosiasikan
dengan kelemahan dan objek eksploitasi.⁴ Paradigma ini telah mengakar dalam
berbagai aspek kehidupan, dari kebijakan ekonomi hingga cara masyarakat
memperlakukan lingkungan.
Maria Mies dan
Vandana Shiva dalam bukunya Ecofeminism menyoroti bahwa
ekspansi kapitalisme global telah menciptakan krisis ekologi yang semakin
parah, dengan mengorbankan perempuan dan komunitas miskin.⁵ Mereka menyoroti
bagaimana Revolusi Hijau di negara-negara berkembang telah mengubah praktik
pertanian lokal yang sebelumnya berbasis komunitas menjadi sistem pertanian
industri yang menguntungkan perusahaan multinasional. Hal ini mengakibatkan
hilangnya keanekaragaman hayati, ketergantungan pada pupuk kimia, serta
marginalisasi perempuan yang sebelumnya berperan sebagai penjaga ekosistem
pertanian.⁶
Salah satu contoh
konkret dari dampak kapitalisme terhadap lingkungan adalah deforestasi
di wilayah Amazon dan Indonesia, yang sebagian besar dilakukan
untuk ekspansi industri agribisnis seperti kelapa sawit dan peternakan sapi.⁷
Dampak dari deforestasi ini tidak hanya mempercepat perubahan iklim, tetapi
juga menghancurkan mata pencaharian masyarakat adat dan perempuan yang
bergantung pada sumber daya hutan.
5.2. Perempuan sebagai Korban Utama Krisis Ekologi
Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa perempuan, terutama di negara-negara berkembang, adalah
kelompok yang paling terdampak oleh krisis ekologi.⁸ Menurut laporan
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), perempuan di wilayah pedesaan
lebih rentan terhadap perubahan iklim karena mereka lebih bergantung pada
sumber daya alam untuk kehidupan sehari-hari.⁹ Dalam banyak masyarakat agraris,
perempuan bertanggung jawab atas produksi pangan dan pengelolaan air, sehingga
kekeringan, banjir, dan degradasi tanah secara langsung berdampak pada
kesejahteraan mereka.
Di banyak tempat,
perempuan juga menghadapi ancaman yang lebih besar akibat bencana alam yang
diperparah oleh perubahan iklim. Misalnya, setelah bencana
tsunami di Samudra Hindia tahun 2004, lebih banyak perempuan
yang menjadi korban dibandingkan laki-laki, karena keterbatasan akses mereka
terhadap informasi, pendidikan, dan pelatihan bertahan hidup.¹⁰
5.3. Ecofeminisme sebagai Alternatif dalam Mengatasi
Krisis Ekologi
Sebagai respons
terhadap krisis ekologi, ecofeminisme menawarkan solusi yang berakar pada
keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial. Ada beberapa prinsip utama dalam
pendekatan ecofeminisme untuk mengatasi krisis ekologi:
5.3.1.
Keberlanjutan
Berbasis Komunitas
Ecofeminisme
menekankan pentingnya kembali ke sistem ekonomi yang lebih berbasis komunitas
dan keberlanjutan.¹¹ Gerakan seperti agroekologi feminis, yang
mempromosikan praktik pertanian berbasis komunitas yang menghormati
keseimbangan ekologi dan peran perempuan, telah berkembang di berbagai negara
berkembang.¹²
5.3.2.
Peran Perempuan
dalam Konservasi Lingkungan
Perempuan telah lama
menjadi pelopor dalam gerakan konservasi lingkungan. Wangari Maathai, pendiri Gerakan
Green Belt di Kenya, membuktikan bagaimana perempuan dapat
berperan aktif dalam pemulihan lingkungan.¹³ Dengan menanam lebih dari 50 juta
pohon di berbagai wilayah Kenya, gerakan ini menunjukkan bagaimana solusi
berbasis komunitas dapat menjadi alat efektif dalam menangani krisis ekologi
sekaligus memberdayakan perempuan secara ekonomi.
5.3.3.
Demokratisasi
Pengelolaan Sumber Daya Alam
Ecofeminisme juga
menyerukan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam.¹⁴ Selama ini,
banyak kebijakan lingkungan dibuat tanpa melibatkan komunitas lokal, terutama
perempuan. Ecofeminisme menekankan pentingnya keterlibatan perempuan dalam
pengambilan keputusan mengenai lingkungan, karena mereka sering kali memiliki
pengalaman langsung dalam mengelola sumber daya alam.
5.4. Kritik terhadap Perspektif Ecofeminisme dalam
Krisis Ekologi
Meskipun
ecofeminisme memberikan wawasan yang berharga dalam memahami krisis ekologi,
pendekatan ini juga menghadapi kritik. Salah satu kritik utama datang dari
kalangan feminis liberal dan marxis yang berpendapat bahwa ecofeminisme terlalu
menekankan hubungan antara perempuan dan alam secara esensialis.¹⁵ Janet Biehl
dalam Rethinking
Ecofeminist Politics berargumen bahwa beberapa pemikiran
ecofeminisme kultural justru memperkuat stereotip bahwa perempuan memiliki
"hubungan alami" dengan lingkungan, yang dapat menghambat
perjuangan kesetaraan gender.¹⁶
Kritik lainnya
datang dari perspektif ekonomi-politik yang menilai bahwa ecofeminisme kurang
memberikan solusi konkret terhadap eksploitasi lingkungan dalam sistem
kapitalisme global.¹⁷ Meskipun demikian, banyak cabang ecofeminisme modern
telah berupaya menjawab kritik ini dengan mengadopsi pendekatan yang lebih
materialis dan struktural dalam melihat permasalahan ekologi.
Kesimpulan
Perspektif
ecofeminisme terhadap krisis ekologi menunjukkan bagaimana eksploitasi terhadap
alam dan perempuan memiliki akar yang sama dalam sistem patriarki dan
kapitalisme. Dengan memahami bagaimana perempuan menjadi korban utama dari
krisis ekologi, ecofeminisme menawarkan alternatif yang lebih berkelanjutan
melalui keberlanjutan berbasis komunitas, demokratisasi pengelolaan sumber daya
alam, dan pemberdayaan perempuan dalam gerakan lingkungan. Meskipun menghadapi
berbagai kritik, ecofeminisme tetap menjadi salah satu pendekatan yang paling
komprehensif dalam memahami dan mengatasi permasalahan lingkungan di era
modern.
Catatan Kaki
[1]
Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective
on What It Is and Why It Matters (Lanham: Rowman & Littlefield,
2000), 21-23.
[2]
Vandana Shiva dan Maria Mies, Ecofeminism (London: Zed Books,
1993), 2-5.
[3]
Carolyn Merchant, The Death of Nature (San Francisco:
Harper & Row, 1980), 110-112.
[4]
Warren, Ecofeminist Philosophy, 35-38.
[5]
Shiva dan Mies, Ecofeminism, 72-74.
[6]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development
(London: Zed Books, 1988), 92-96.
[7]
IPCC, Climate Change 2022: Impacts, Adaptation, and
Vulnerability (Cambridge: Cambridge University Press, 2022),
120-125.
[8]
Wangari Maathai, The Green Belt Movement (New York:
Lantern Books, 2003), 5-7.
[9]
Janet Biehl, Rethinking Ecofeminist Politics
(Boston: South End Press, 1991), 34-36.
[10]
Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics (London:
Zed Books, 1997), 48-50.
[11]
Patricia Hynes, The Recurring Silent Spring
(New York: Pergamon Press, 1989), 56-59.
[12]
Deborah S. Fink, Cutting into the Meatpacking
Line: Workers and Change in the Rural Midwest (Chapel Hill: University of
North Carolina Press, 1998), 112-115.
[13]
Wangari Maathai, Unbowed: A Memoir (New
York: Knopf, 2006), 188-192.
[14]
Carolyn Merchant, Radical Ecology: The Search
for a Livable World (New York: Routledge, 2005), 210-215.
[15]
Noel Sturgeon, Ecofeminist Natures: Race,
Gender, Feminist Theory, and Political Action (New York: Routledge, 1997),
85-89.
[16]
Janet Biehl, Rethinking Ecofeminist Politics
(Boston: South End Press, 1991), 47-49.
[17]
Ariel Salleh, Eco-Sufficiency & Global
Justice: Women Write Political Ecology (London: Pluto Press, 2009),
123-126.
6.
Ecofeminisme
dalam Kebijakan dan Aktivisme Lingkungan
Ecofeminisme tidak
hanya berkembang sebagai teori akademik tetapi juga sebagai gerakan sosial yang
aktif dalam memperjuangkan kebijakan lingkungan yang berkeadilan gender dan
ekologis. Dalam berbagai belahan dunia, aktivis ecofeminis telah memainkan
peran penting dalam mengadvokasi kebijakan yang lebih berkelanjutan, serta
membentuk gerakan sosial yang menentang eksploitasi lingkungan dan ketimpangan
gender.¹ Pendekatan ecofeminisme dalam kebijakan dan aktivisme lingkungan
berfokus pada keberlanjutan ekologis, keadilan sosial, serta
demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam.²
6.1. Ecofeminisme dalam Kebijakan Lingkungan
6.1.1.
Pengaruh
Ecofeminisme terhadap Kebijakan Internasional
Perspektif
ecofeminisme telah mempengaruhi berbagai kebijakan lingkungan internasional,
terutama dalam hal keadilan gender dan akses terhadap sumber daya alam.³ Dalam
Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (Earth Summit) tahun 1992 di
Rio de Janeiro, terdapat perdebatan mengenai bagaimana kebijakan lingkungan
harus mempertimbangkan peran perempuan sebagai pemimpin dalam pelestarian
lingkungan.⁴
Selain itu, Agenda
21, sebuah dokumen hasil dari Earth Summit, menyoroti perlunya
meningkatkan partisipasi perempuan dalam perumusan kebijakan lingkungan.⁵
Konsep ini semakin berkembang dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan
oleh PBB pada tahun 2015, di mana terdapat tujuan spesifik yang mengaitkan
keadilan gender dengan keberlanjutan lingkungan.⁶ Perspektif ecofeminisme
berkontribusi dalam upaya ini dengan menekankan bahwa kebijakan lingkungan yang
efektif harus mempertimbangkan pengalaman dan kebutuhan perempuan sebagai
pemangku kepentingan utama dalam pengelolaan sumber daya alam.
6.1.2.
Implementasi
Kebijakan Ecofeminisme dalam Pembangunan Berkelanjutan
Dalam banyak negara,
perspektif ecofeminisme telah digunakan untuk merancang kebijakan yang lebih
inklusif dalam pengelolaan sumber daya alam. Di India, misalnya, pemerintah
telah menerapkan berbagai program berbasis komunitas yang memberdayakan
perempuan dalam konservasi hutan dan pertanian berkelanjutan. Salah satu
contohnya adalah Joint Forest Management (JFM),
sebuah kebijakan yang memberikan akses kepada komunitas lokal, termasuk
perempuan, dalam mengelola hutan mereka secara berkelanjutan.⁷
Di Afrika,
pendekatan ecofeminisme terlihat dalam kebijakan yang mendorong akses perempuan
terhadap tanah dan air.⁸ Banyak program pembangunan berbasis komunitas yang
mengakui bahwa perempuan sering kali lebih memahami keberlanjutan sumber daya
alam dibandingkan institusi pemerintah atau korporasi.
6.2. Ecofeminisme dalam Aktivisme Lingkungan
6.2.1.
Gerakan Chipko di
India
Salah satu contoh
aktivisme ecofeminisme yang paling terkenal adalah Gerakan
Chipko di India pada tahun 1970-an. Gerakan ini dipelopori oleh
perempuan desa yang memeluk pohon-pohon di hutan mereka untuk mencegah
penebangan oleh perusahaan.⁹ Gerakan ini tidak hanya berhasil menyelamatkan
hutan dari eksploitasi, tetapi juga menunjukkan bagaimana perempuan dapat
menjadi agen perubahan dalam perlindungan lingkungan. Vandana Shiva menyoroti
bahwa Chipko Movement adalah contoh konkret bagaimana perempuan memainkan peran
kunci dalam gerakan ekologi berbasis komunitas.¹⁰
6.2.2.
Green Belt Movement di
Kenya
Di Afrika, Wangari
Maathai, seorang aktivis lingkungan dan penerima Hadiah
Nobel Perdamaian 2004, mendirikan Green
Belt Movement pada tahun 1977.¹¹ Gerakan ini bertujuan untuk
mengatasi deforestasi dengan melibatkan perempuan dalam menanam pohon dan
mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.¹² Hingga kini, lebih dari 50
juta pohon telah ditanam di seluruh Kenya, menunjukkan dampak luar biasa dari
pendekatan ecofeminisme dalam aktivisme lingkungan.¹³
6.2.3.
Perlawanan terhadap
Industri Ekstraktif dan Kapitalisme Global
Ecofeminisme juga
aktif dalam menentang industri ekstraktif seperti pertambangan dan minyak yang
sering kali menyebabkan perusakan lingkungan dan merugikan masyarakat lokal,
terutama perempuan.¹⁴ Di Amerika Latin, gerakan ecofeminis telah berpartisipasi
dalam berbagai aksi protes menentang ekspansi pertambangan yang merusak tanah
pertanian dan sumber air komunitas lokal.¹⁵
Salah satu kasus
yang menonjol adalah perjuangan perempuan adat di Ekuador
dan Peru dalam melawan eksploitasi minyak oleh perusahaan
multinasional.¹⁶ Mereka menuntut penghormatan terhadap hak-hak mereka sebagai
penjaga tanah leluhur dan menolak kebijakan yang mengizinkan perusahaan asing
untuk mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap
ekosistem lokal.¹⁷
6.3. Kritik terhadap Aktivisme dan Kebijakan Berbasis
Ecofeminisme
Meskipun
ecofeminisme telah berkontribusi dalam kebijakan dan aktivisme lingkungan,
pendekatan ini tidak terlepas dari kritik. Salah satu kritik utama adalah bahwa
ecofeminisme terkadang dianggap terlalu fokus pada pengalaman perempuan dan
kurang memperhatikan faktor struktural yang lebih luas, seperti kelas sosial
dan kolonialisme.¹⁸ Beberapa akademisi marxis berpendapat bahwa ecofeminisme
seharusnya lebih menekankan pada hubungan antara kapitalisme dan eksploitasi
lingkungan, daripada sekadar pada peran perempuan dalam konservasi alam.¹⁹
Selain itu, beberapa
kritik juga menyoroti bahwa banyak kebijakan berbasis ecofeminisme masih bersifat
top-down,
di mana kebijakan dibuat tanpa benar-benar melibatkan perempuan dari komunitas
lokal sebagai pemimpin dalam pengambilan keputusan.²⁰
Kesimpulan
Ecofeminisme telah
memainkan peran penting dalam kebijakan dan aktivisme lingkungan, baik di
tingkat lokal maupun global. Melalui kebijakan seperti Agenda 21 dan SDGs,
serta gerakan sosial seperti Chipko dan Green Belt Movement, ecofeminisme telah
membuktikan bahwa keterlibatan perempuan dalam perlindungan lingkungan
sangatlah penting. Namun, tantangan masih ada, termasuk dalam memastikan bahwa
pendekatan ini tidak hanya berfokus pada gender tetapi juga mempertimbangkan
faktor ekonomi dan politik yang lebih luas. Ke depan, ecofeminisme perlu terus
berkembang untuk menjawab kritik dan tantangan zaman agar tetap relevan dalam
perjuangan keadilan ekologis.
Catatan Kaki
[1]
Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective
on What It Is and Why It Matters (Lanham: Rowman & Littlefield,
2000), 21-23.
[2]
Vandana Shiva dan Maria Mies, Ecofeminism (London: Zed Books,
1993), 2-5.
[3]
Carolyn Merchant, Radical Ecology: The Search for a Livable World
(New York: Routledge, 2005), 110-112.
[4]
United Nations, Agenda 21 (New York: United Nations
Publications, 1992), 48-51.
[5]
Ibid., 72-74.
[6]
United Nations, Sustainable Development Goals Report 2015
(New York: United Nations Publications, 2015), 112-115.
[7]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development
(London: Zed Books, 1988), 92-96.
[8]
Carolyn Merchant, The Death of Nature (San Francisco:
Harper & Row, 1980), 210-215.
[9]
Shiva dan Mies, Ecofeminism, 102-105.
[10]
Wangari Maathai, Unbowed: A Memoir (New York: Knopf,
2006), 188-192.
[11]
Ibid., 212-215.
[12]
Ibid., 230-233.
[13]
Noel Sturgeon, Ecofeminist Natures: Race, Gender, Feminist
Theory, and Political Action (New York: Routledge, 1997), 85-89.
[14]
Janet Biehl, Rethinking Ecofeminist Politics
(Boston: South End Press, 1991), 47-49.
[15]
Ariel Salleh, Eco-Sufficiency & Global Justice: Women
Write Political Ecology (London: Pluto Press, 2009), 123-126.
[16]
Wangari Maathai, Unbowed: A Memoir (New
York: Knopf, 2006), 212-215.
[17]
Ibid., 230-233.
[18]
Ibid., 250-252.
[19]
Noel Sturgeon, Ecofeminist Natures: Race,
Gender, Feminist Theory, and Political Action (New York: Routledge, 1997),
85-89.
[20]
Janet Biehl, Rethinking Ecofeminist Politics
(Boston: South End Press, 1991), 47-49.
[21]
Ariel Salleh, Eco-Sufficiency & Global
Justice: Women Write Political Ecology (London: Pluto Press, 2009),
123-126.
[22]
Maria Mies, Patriarchy and Accumulation on a
World Scale: Women in the International Division of Labour (London: Zed
Books, 1986), 178-181.
7.
Kritik
terhadap Ecofeminisme
Meskipun ecofeminisme telah memberikan wawasan baru
dalam memahami hubungan antara ekologi dan
feminisme, pendekatan ini juga menghadapi berbagai kritik dari berbagai
kalangan, termasuk feminis, akademisi marxis, dan aktivis lingkungan.
Kritik-kritik ini mencakup aspek esensialisme gender, fokus yang terlalu
sempit pada perempuan dan alam, kurangnya perhatian terhadap analisis kelas,
serta tantangan dalam penerapan kebijakan berbasis ecofeminisme.¹ Bab ini
akan menguraikan berbagai kritik terhadap ecofeminisme dan bagaimana gerakan
ini merespons tantangan tersebut.
7.1. Kritik terhadap Esensialisme Gender dalam
Ecofeminisme
Salah satu kritik utama terhadap ecofeminisme
adalah anggapan bahwa aliran ini bersifat esensialis, yaitu mengaitkan
perempuan dengan alam secara inheren dan biologis.² Janet Biehl dalam Rethinking
Ecofeminist Politics berpendapat bahwa ecofeminisme kultural sering kali
mendasarkan argumennya pada gagasan bahwa perempuan memiliki hubungan yang
"alami" dengan lingkungan karena kemampuan mereka dalam
melahirkan dan merawat kehidupan.³ Pendekatan ini dianggap problematis karena
dapat memperkuat stereotip bahwa perempuan "secara alami" lebih peduli terhadap lingkungan dibandingkan laki-laki, sehingga mempersempit ruang
gerak perempuan dalam masyarakat.
Val Plumwood juga mengkritik pemikiran ini dengan
menyatakan bahwa dikotomi antara perempuan dan alam yang dibangun oleh
ecofeminisme kultural pada akhirnya tetap mempertahankan cara berpikir
hierarkis yang berakar dalam filsafat Barat.⁴ Ia menekankan bahwa perjuangan
feminis harus berfokus pada membongkar sistem dominasi secara lebih luas, bukan
hanya memperjuangkan "kembali ke alam" sebagai solusi atas
krisis ekologi.
Sebagai tanggapan terhadap kritik ini, banyak
ecofeminis kontemporer, seperti Greta Gaard dan Lori Gruen, mulai mengadopsi
pendekatan yang lebih konstruktivis sosial, yang menekankan bahwa
hubungan antara perempuan dan alam bukanlah sesuatu yang alami, tetapi
merupakan hasil dari proses sosial dan budaya.⁵
7.2. Kritik dari Perspektif Marxis: Kurangnya Analisis
Kelas dan Kapitalisme
Banyak akademisi marxis dan feminis materialis
berpendapat bahwa ecofeminisme sering kali kurang memberikan perhatian pada
analisis kelas dan sistem kapitalisme sebagai penyebab utama eksploitasi
lingkungan.⁶ Ariel Salleh dalam Ecofeminism as Politics menyoroti bahwa
beberapa aliran ecofeminisme lebih banyak membahas spiritualitas dan simbolisme
perempuan-alam daripada membongkar bagaimana kapitalisme global menciptakan
krisis ekologis.⁷
Maria Mies, seorang feminis materialis, berpendapat
bahwa ecofeminisme harus lebih berorientasi pada perjuangan melawan
imperialisme dan sistem ekonomi yang menempatkan perempuan dan alam sebagai
objek eksploitasi.⁸ Ia mengkritik pendekatan ecofeminisme yang terlalu
menitikberatkan pada kesadaran individu dan perubahan gaya hidup tanpa
mengaitkannya dengan struktur ekonomi yang lebih luas.
Sebagai tanggapan terhadap kritik ini, muncul ecofeminisme
materialis, yang berusaha menggabungkan teori ekologi dengan kritik
terhadap kapitalisme dan kolonialisme.⁹ Pendekatan ini menyoroti bagaimana
sistem ekonomi global memperburuk ketimpangan gender dan perusakan lingkungan,
serta menekankan perlunya gerakan perlawanan berbasis kelas dan komunitas.
7.3. Kritik terhadap Fokus yang Terlalu Sempit pada Perempuan
dan Alam
Kritik lainnya terhadap ecofeminisme adalah bahwa
gerakan ini sering kali dianggap terlalu fokus pada perempuan, sehingga
mengabaikan bagaimana kelompok-kelompok lain, seperti laki-laki dari kelas
pekerja, masyarakat adat, dan komunitas LGBTQ+, juga terdampak oleh eksploitasi
lingkungan.¹⁰ Noel Sturgeon dalam Ecofeminist Natures berargumen bahwa
ecofeminisme harus lebih inklusif dan memperluas cakupan perjuangannya untuk
mencakup berbagai bentuk penindasan berbasis ras, kelas, dan identitas
gender.¹¹
Sebagai respons terhadap kritik ini, beberapa
pemikir ecofeminis mulai mengembangkan pendekatan yang lebih interseksional,
yaitu dengan menghubungkan isu-isu ekologi dengan berbagai bentuk ketidakadilan
sosial.¹² Misalnya, aktivis seperti Vandana Shiva telah mengadvokasi pendekatan
yang lebih inklusif dengan menyoroti bagaimana perempuan, petani miskin, dan
masyarakat adat memiliki kepentingan yang sama dalam melawan eksploitasi
lingkungan.¹³
7.4. Tantangan dalam Implementasi Kebijakan Berbasis
Ecofeminisme
Meskipun banyak prinsip ecofeminisme telah diadopsi
dalam kebijakan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, implementasinya
sering kali menghadapi tantangan di lapangan. Salah satu tantangan utama adalah
bahwa kebijakan berbasis ecofeminisme masih cenderung bersifat top-down,
di mana pemerintah atau organisasi internasional menerapkan kebijakan tanpa
benar-benar melibatkan perempuan dari komunitas lokal dalam proses pengambilan
keputusan.¹⁴
Misalnya, dalam beberapa program konservasi hutan
berbasis komunitas, perempuan sering kali hanya dijadikan sebagai
"penerima manfaat" daripada sebagai pemimpin dalam pengelolaan sumber
daya alam.¹⁵ Carolyn Merchant dalam Radical Ecology mengkritik bahwa
banyak program keberlanjutan yang mengadopsi pendekatan ecofeminisme tetapi
tetap mempertahankan struktur kekuasaan yang patriarkal dan hierarkis.¹⁶
Sebagai tanggapan terhadap tantangan ini, banyak
aktivis ecofeminis menyerukan model pembangunan yang lebih demokratis dan partisipatif,
di mana perempuan dan komunitas lokal memiliki kendali yang lebih besar
terhadap pengelolaan lingkungan.¹⁷
Kesimpulan
Kritik terhadap ecofeminisme menunjukkan bahwa
meskipun gerakan ini telah memberikan kontribusi besar dalam pemikiran ekologi
dan feminisme, masih ada banyak tantangan yang harus diatasi agar tetap
relevan. Kritik terhadap esensialisme gender, kurangnya analisis kelas, serta
tantangan dalam implementasi kebijakan menunjukkan bahwa ecofeminisme harus
terus berkembang dan mengadopsi pendekatan yang lebih interseksional dan
materialis. Dengan merespons kritik-kritik ini, ecofeminisme dapat menjadi
lebih inklusif dan efektif dalam memperjuangkan keadilan ekologi dan sosial di
masa depan.
Catatan Kaki
[1]
Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A
Western Perspective on What It Is and Why It Matters (Lanham: Rowman &
Littlefield, 2000), 21-23.
[2]
Vandana Shiva dan Maria Mies, Ecofeminism
(London: Zed Books, 1993), 2-5.
[3]
Janet Biehl, Rethinking Ecofeminist Politics
(Boston: South End Press, 1991), 34-36.
[4]
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 51-54.
[5]
Greta Gaard dan Lori Gruen, "Ecofeminism:
Toward Global Justice and Planetary Health," Hypatia 12, no. 1
(1997): 23-24.
[6]
Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature,
Marx, and the Postmodern (London: Zed Books, 1997), 48-50.
[7]
Ibid., 78-81.
[8]
Maria Mies, Patriarchy and Accumulation on a
World Scale (London: Zed Books, 1986), 94-96.
[9]
Salleh, Ecofeminism as Politics, 60-62.
[10]
Noel Sturgeon, Ecofeminist Natures: Race,
Gender, Feminist Theory, and Political Action (New York: Routledge, 1997),
85-89.
[11]
Ibid., 110-112.
[12]
Shiva dan Mies, Ecofeminism, 112-115.
[13]
Ibid., 120-125.
[14]
Carolyn Merchant, Radical Ecology: The Search
for a Livable World (New York: Routledge, 2005), 210-215.
[15]
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row,
1980), 230-233.
[16]
Janet Biehl, Rethinking Ecofeminist Politics
(Boston: South End Press, 1991), 50-52.
[17]
Ariel Salleh, Eco-Sufficiency & Global
Justice: Women Write Political Ecology (London: Pluto Press, 2009),
145-148.
8.
Penutup
Ecofeminisme telah berkembang dari sekadar sebuah
konsep akademik menjadi gerakan sosial yang aktif dalam memperjuangkan keadilan
ekologis dan kesetaraan gender. Sejak diperkenalkan oleh Françoise
d’Eaubonne pada tahun 1974, ecofeminisme terus mengalami perkembangan
dengan munculnya berbagai aliran pemikiran yang menyoroti keterkaitan antara
eksploitasi terhadap perempuan dan kerusakan lingkungan.¹ Dengan mengkritik
sistem patriarki, kapitalisme, dan paradigma antroposentris yang menempatkan
manusia sebagai pusat dari alam, ecofeminisme menawarkan perspektif alternatif
dalam memahami dan menangani krisis ekologi global.
Sejarah ecofeminisme menunjukkan bahwa gerakan ini
tidak hanya berkembang di dunia akademik, tetapi juga dalam berbagai bentuk
aktivisme lingkungan. Gerakan seperti Chipko Movement di India dan Green
Belt Movement di Kenya menjadi bukti nyata bahwa perempuan memainkan peran
kunci dalam perlindungan lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam.² Kebijakan
lingkungan di tingkat global, seperti Agenda 21 dan Sustainable
Development Goals (SDGs),
juga mulai mengadopsi perspektif ecofeminisme dengan menekankan pentingnya
partisipasi perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan
berkelanjutan.³
Namun, meskipun ecofeminisme memberikan banyak
kontribusi, gerakan ini tidak terlepas dari kritik. Beberapa kalangan menilai
bahwa ecofeminisme terlalu esensialis, dengan menghubungkan perempuan
dan alam secara biologis tanpa mempertimbangkan faktor sosial dan budaya.⁴
Selain itu, ecofeminisme juga dikritik karena kurang memberikan perhatian
terhadap analisis kelas dan kapitalisme, yang dianggap sebagai penyebab
utama eksploitasi lingkungan.⁵ Kritik lainnya menyatakan bahwa ecofeminisme
sering kali terlalu berfokus pada perempuan, sehingga mengabaikan peran
kelompok lain yang juga terdampak oleh krisis ekologi, seperti masyarakat adat
dan komunitas LGBTQ+.⁶
Meski demikian, ecofeminisme terus mengalami
perkembangan dengan munculnya pendekatan yang lebih inklusif, seperti ecofeminisme
materialis dan interseksional, yang mencoba menghubungkan isu lingkungan
dengan perjuangan kelas, kolonialisme, dan hak-hak kelompok minoritas.⁷ Hal ini
menunjukkan bahwa ecofeminisme tetap relevan dalam memahami dinamika ekologi
dan keadilan sosial di era modern.
Sebagai gerakan dan perspektif kritis, ecofeminisme
menawarkan solusi yang lebih holistik dalam menghadapi krisis lingkungan.
Dengan menekankan keadilan sosial, keberlanjutan ekologis, dan pemberdayaan
perempuan, ecofeminisme tidak hanya menyoroti penyebab permasalahan lingkungan
tetapi juga memberikan strategi untuk mengatasinya. Dalam dunia yang semakin
terdampak oleh perubahan iklim, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya alam,
pendekatan ecofeminisme dapat menjadi landasan dalam menciptakan sistem sosial
dan ekonomi yang lebih adil bagi semua makhluk hidup.⁸
Ke depan, penelitian dan kebijakan berbasis
ecofeminisme perlu terus dikembangkan untuk memastikan bahwa perjuangan
terhadap keadilan ekologis dapat diimplementasikan dalam berbagai aspek
kehidupan, mulai dari kebijakan publik hingga praktik kehidupan sehari-hari.
Hanya dengan mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis komunitas,
ecofeminisme dapat mencapai potensinya sebagai gerakan transformatif yang
memberikan solusi nyata terhadap tantangan ekologi dan sosial yang dihadapi
dunia saat ini.⁹
Catatan Kaki
[1]
Françoise d’Eaubonne, Le Féminisme ou la Mort
(Paris: Pierre Horay, 1974).
[2]
Vandana Shiva dan Maria Mies, Ecofeminism
(London: Zed Books, 1993), 72-74.
[3]
United Nations, Agenda 21 (New York: United
Nations Publications, 1992), 48-51.
[4]
Janet Biehl, Rethinking Ecofeminist Politics
(Boston: South End Press, 1991), 34-36.
[5]
Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature,
Marx, and the Postmodern (London: Zed Books, 1997), 60-62.
[6]
Noel Sturgeon, Ecofeminist Natures: Race,
Gender, Feminist Theory, and Political Action (New York: Routledge, 1997),
85-89.
[7]
Maria Mies, Patriarchy and Accumulation on a
World Scale: Women in the International Division of Labour (London: Zed
Books, 1986), 178-181.
[8]
Carolyn Merchant, Radical Ecology: The Search
for a Livable World (New York: Routledge, 2005), 210-215.
[9]
Greta Gaard dan Lori Gruen, "Ecofeminism:
Toward Global Justice and Planetary Health," Hypatia 12, no. 1
(1997): 23-24.
Daftar Pustaka
Buku:
Biehl, J. (1991). Rethinking ecofeminist
politics. Boston: South End Press.
d’Eaubonne, F. (1974). Le féminisme ou la mort.
Paris: Pierre Horay.
Gaard, G., & Gruen, L. (1997). Ecofeminism:
Toward global justice and planetary health. Hypatia, 12(1), 23-24.
Maathai, W. (2003). The Green Belt Movement:
Sharing the approach and the experience. New York: Lantern Books.
Maathai, W. (2006). Unbowed: A memoir. New
York: Knopf.
Merchant, C. (1980). The death of nature: Women,
ecology, and the scientific revolution. San Francisco: Harper & Row.
Merchant, C. (2005). Radical ecology: The search
for a livable world. New York: Routledge.
Mies, M. (1986). Patriarchy and accumulation on
a world scale: Women in the international division of labour. London: Zed
Books.
Mies, M., & Shiva, V. (1993). Ecofeminism.
London: Zed Books.
Plumwood, V. (1993). Feminism and the mastery of
nature. London: Routledge.
Salleh, A. (1997). Ecofeminism as politics:
Nature, Marx, and the postmodern. London: Zed Books.
Salleh, A. (2009). Eco-sufficiency & global
justice: Women write political ecology. London: Pluto Press.
Shiva, V. (1988). Staying alive: Women, ecology,
and development. London: Zed Books.
Shiva, V. (2005). Earth democracy: Justice,
sustainability, and peace. Cambridge: South End Press.
Starhawk. (1979). The spiral dance: A rebirth of
the ancient religion of the Goddess. San Francisco: HarperOne.
Sturgeon, N. (1997). Ecofeminist natures: Race,
gender, feminist theory, and political action. New York: Routledge.
Warren, K. J. (2000). Ecofeminist philosophy: A
Western perspective on what it is and why it matters. Lanham: Rowman &
Littlefield.
Dokumen dan Laporan Organisasi Internasional:
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
(2022). Climate change 2022: Impacts, adaptation, and vulnerability.
Cambridge: Cambridge University Press.
United Nations. (1992). Agenda 21. New York:
United Nations Publications.
United Nations. (2015). Sustainable development
goals report 2015. New York: United Nations Publications.
Artikel dalam Jurnal:
Gaard, G., & Gruen, L. (1997). Ecofeminism:
Toward global justice and planetary health. Hypatia, 12(1), 23-24.
King, Y. (1989). The ecology of feminism and the
feminism of ecology. In J. Plant (Ed.), Healing the wounds: The promise of
ecofeminism (pp. 20-23). Philadelphia: New Society Publishers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar