Fiqih Nahdlatul Ulama (NU)
Prinsip, Metodologi, dan Implementasi
Alihkan ke: Fiqih, Ushul Fiqh, Masa'il Al-Fiqhiyah, Fiqih Muhammadiyah, Fiqih Pesis.
Abstrak
Fiqih Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sistem hukum
Islam yang berpijak pada manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) dengan
rujukan utama pada mazhab Syafi’i. Artikel ini membahas secara
komprehensif tentang prinsip, metodologi, dan implementasi fiqih NU
dalam kehidupan sosial, serta tantangan yang dihadapinya di era kontemporer.
Secara metodologis, NU menggunakan empat sumber utama hukum Islam, yaitu
Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas, serta mempertimbangkan Maslahah
Mursalah, Istihsan, Sadd al-Dzari’ah, dan Urf dalam pengambilan keputusan
hukum.
NU menerapkan Bahtsul Masail sebagai forum
diskusi ulama dalam merespons berbagai isu kontemporer, termasuk dalam fiqih
ibadah, muamalah, dan siyasah. Implementasi fiqih NU terlihat dalam
berbagai aspek, seperti ibadah berbasis tradisi, ekonomi syariah, hubungan
Islam dan negara, serta moderasi beragama. Di era digital, NU menghadapi
tantangan dalam digitalisasi fatwa, isu gender dan HAM, fiqih lingkungan,
serta penyebaran Islam moderat.
Artikel ini menyimpulkan bahwa NU memiliki peran
penting dalam menjaga keseimbangan antara tradisi fiqih klasik dan tuntutan
zaman. Melalui pendekatan ijtihad jama’i dan pendidikan pesantren,
NU diharapkan dapat terus mempertahankan metodologi fiqih yang moderat,
adaptif, dan tetap berakar pada sanad keilmuan yang kuat.
Kata Kunci: Fiqih Nahdlatul Ulama, Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
Mazhab Syafi’i, Bahtsul Masail, Ijtihad Jama’i, Digitalisasi Fatwa, Fiqih
Kontemporer, Islam Moderat.
PEMBAHASAN
Prinsip, Metodologi, dan Implementasi Fiqih NU
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang dan Urgensi Kajian Fiqih dalam
Kehidupan Umat Islam
Fiqih merupakan
cabang ilmu dalam Islam yang mengatur tata kehidupan umat Muslim berdasarkan
hukum syariat yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Sebagai
ilmu yang membahas aspek hukum Islam secara rinci, fiqih memiliki peran
fundamental dalam membimbing umat Islam dalam menjalankan ibadah dan muamalah sehari-hari. Imam Abu Hanifah
mendefinisikan fiqih sebagai "pengetahuan tentang hukum-hukum
syariat yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci"1.
Di Indonesia, fiqih
memiliki peran yang sangat penting karena menjadi pedoman dalam mengatur
berbagai aspek kehidupan beragama dan bermasyarakat. Dalam konteks ini, Nahdlatul
Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia berperan aktif dalam merumuskan dan
mengimplementasikan fiqih berdasarkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja)
dengan pendekatan moderat. NU menekankan pada prinsip keseimbangan (tawassuth),
toleransi (tasamuh), keadilan (i’tidal), dan persatuan (tawazun),
yang berakar pada metode fiqih mazhab Syafi’i dan sumber-sumber Islam klasik2.
Kajian fiqih NU
bukan hanya relevan dalam aspek ibadah, tetapi juga dalam aspek sosial,
politik, dan ekonomi. Perkembangan
zaman dan munculnya permasalahan-permasalahan kontemporer menuntut adanya
pendekatan fiqih yang tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariat, namun
juga fleksibel dalam merespons perubahan sosial. Oleh karena itu, memahami
fiqih NU sangat penting untuk memahami pola pikir, sikap, dan fatwa-fatwa yang
dikeluarkan oleh organisasi ini dalam menyikapi berbagai persoalan umat Islam di
Indonesia3.
1.2.
Peran Nahdlatul Ulama dalam Menjaga dan
Mengembangkan Fiqih di Indonesia
Nahdlatul Ulama (NU)
berdiri pada tahun 1926 di Surabaya sebagai respons terhadap dinamika sosial
dan keagamaan yang berkembang di dunia Islam, khususnya di Indonesia4. Sebagai organisasi
keagamaan, NU memiliki visi untuk menjaga tradisi Islam yang berlandaskan pada
manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, terutama dengan mengikuti mazhab Syafi’i dalam
bidang fiqih. NU tidak hanya berperan dalam dakwah dan pendidikan Islam, tetapi
juga dalam menetapkan fatwa-fatwa yang berlandaskan pada istinbath hukum yang
kokoh melalui forum Bahtsul Masail, yaitu diskusi
para ulama NU dalam menjawab permasalahan hukum Islam yang muncul di tengah
masyarakat5.
Fiqih NU berkembang
seiring dengan perubahan zaman dan tuntutan masyarakat. Dalam beberapa dekade
terakhir, NU telah merespons berbagai persoalan kontemporer seperti hukum perbankan syariah, ekologi Islam, fatwa
tentang vaksinasi, serta etika penggunaan teknologi digital dalam dakwah6.
Dalam konteks ini, NU bukan hanya sekadar menjaga warisan fiqih klasik, tetapi
juga aktif melakukan ijtihad dengan tetap berpijak pada metodologi ulama
terdahulu.
Melalui lembaga
seperti Lajnah Bahtsul Masail NU,
organisasi ini terus melakukan kajian mendalam terhadap berbagai persoalan
modern dengan merujuk pada sumber-sumber klasik serta mempertimbangkan maslahat
dan konteks kekinian. Proses pengambilan keputusan hukum dalam NU melibatkan
metode Qawa‘id
Fiqhiyyah, Istihsan, Maslahah
Mursalah, dan Sadd al-Dzari’ah guna
memastikan bahwa setiap fatwa yang dikeluarkan tetap sejalan dengan
prinsip-prinsip Islam dan relevan dengan kondisi masyarakat7.
1.3.
Tujuan Pembahasan dalam Artikel Ini
Artikel ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang Fiqih Nahdlatul Ulama (NU),
mulai dari prinsip dasar, metodologi istinbath hukum, hingga implementasi fiqih
dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian, artikel ini akan:
1)
Menjelaskan sumber
dan dasar hukum fiqih NU, serta bagaimana metode istinbath
hukum diterapkan dalam merumuskan fatwa.
2)
Mengulas peran
dan metode Bahtsul Masail NU, yang menjadi forum utama dalam
menyelesaikan permasalahan hukum Islam kontemporer.
3)
Menganalisis bagaimana
fiqih NU diterapkan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik,
serta tantangan yang dihadapi di era modern.
4)
Memberikan wawasan tentang peran NU
dalam menjaga moderasi Islam, sekaligus merespons isu-isu baru
seperti digitalisasi fatwa, etika lingkungan, dan ekonomi Islam.
Diharapkan dengan
pembahasan ini, pembaca dapat memahami bagaimana fiqih NU bukan hanya sekadar
warisan intelektual Islam klasik, tetapi
juga sebagai panduan hidup yang dinamis yang
mampu menjawab tantangan zaman dengan tetap berpegang teguh pada
prinsip-prinsip syariah.
Footnotes
[1]
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1958), 17.
[2]
Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan
Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi (Jakarta: Mizan, 2006), 42-45.
[3]
Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama
Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2015), 79.
[4]
Greg Fealy dan Greg Barton, Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and
Modernity in Indonesia (Clayton: Monash Asia Institute, 1996), 5.
[5]
Hasyim Asy’ari, Qanun Asasi Nahdlatul Ulama (Surabaya: Lajnah
Ta’lif wan Nasyr, 1926), 22.
[6]
Lajnah Bahtsul Masail NU, Himpunan Fatwa NU: Fiqih Kontemporer
(Jakarta: PBNU, 2021), 145-160.
[7]
Abdul Wahid, Metodologi Istinbath Hukum dalam Nahdlatul Ulama
(Bandung: Pustaka Setia, 2020), 120-123.
2.
Landasan Fiqih Nahdlatul Ulama
2.1.
Sumber Hukum dalam Fiqih NU
Fiqih Nahdlatul
Ulama (NU) berlandaskan pada prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh ulama
Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja), dengan mengikuti mazhab Syafi’i dalam bidang
fikih dan metode istinbath
hukumnya1. NU mendasarkan fiqihnya pada empat sumber hukum utama
dalam Islam, yang telah diakui dalam metodologi ushul fiqh:
1)
Al-Qur’an
Sebagai sumber utama hukum Islam,
Al-Qur’an memberikan prinsip-prinsip dasar dalam perumusan hukum. Ayat-ayat
yang bersifat qat’i (pasti) menjadi pedoman utama dalam fiqih NU, sementara
ayat yang bersifat dzanni (interpretatif) ditafsirkan melalui metode tafsir
mazhab Syafi’i dan tradisi ulama salaf2.
2)
Hadis
NU berpegang pada hadis-hadis sahih yang
dikategorikan oleh ulama hadis seperti Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Tirmidzi, dan lainnya. Dalam hal ini, NU mengikuti metodologi Imam Syafi’i yang
mengutamakan hadis mutawatir dan sahih sebagai dasar hukum, serta menggunakan
hadis ahad yang memenuhi standar qabul (diterima) dalam ilmu hadis3.
3)
Ijma’
NU mengikuti konsep ijma’ (konsensus
ulama) sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an dan Hadis. NU memandang ijma’
ulama sebagai keputusan kolektif yang memiliki kekuatan hukum, khususnya ijma’
dari ulama mujtahid pada masa-masa awal Islam4.
4)
Qiyas
NU menerima qiyas sebagai metode analogi
hukum yang digunakan untuk menemukan solusi bagi persoalan yang tidak memiliki
nash yang eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadis. Sebagai organisasi yang
mengadopsi mazhab Syafi’i, NU menekankan pentingnya qiyas dalam hukum Islam
selama didasarkan pada illat (sebab hukum) yang jelas5.
Selain empat sumber
utama tersebut, NU juga mempertimbangkan pendekatan Maslahah
Mursalah, Istihsan, Sadd al-Dzari’ah, dan Urf (tradisi yang
tidak bertentangan dengan syariat) dalam merumuskan hukum, terutama dalam menyikapi isu-isu kontemporer yang tidak secara
langsung disebutkan dalam nash6.
2.2.
Mazhab yang Diikuti
Sebagai organisasi
Islam yang berpijak pada Ahlus Sunnah wal Jama’ah, NU berpegang pada mazhab Syafi’i dalam bidang fiqih,
meskipun tetap menghormati mazhab lain seperti Hanafi, Maliki, dan Hanbali7.
Pemilihan mazhab Syafi’i sebagai pedoman utama didasarkan pada beberapa faktor:
1)
Sanad Ilmu dan Kesesuaian
dengan Tradisi Islam Nusantara
Mazhab Syafi’i memiliki keterkaitan
historis yang kuat dengan para ulama Nusantara. Sejak era Wali Songo, mazhab
ini telah diterapkan dalam sistem pendidikan pesantren dan berkembang dalam
tradisi Islam di Indonesia8.
2)
Metode Istinbath Hukum
yang Kuat
Imam Syafi’i dikenal sebagai peletak
dasar ilmu ushul fiqh dengan metode istinbath hukum yang sistematis. NU
mengadopsi prinsip-prinsip ini dalam merumuskan hukum Islam, termasuk dalam
forum Bahtsul
Masail yang menjadi mekanisme diskusi dan perumusan fatwa dalam
organisasi NU9.
3)
Sikap Moderat dalam
Menyikapi Perbedaan Mazhab
Meskipun mengikuti mazhab Syafi’i, NU
tetap menghargai perbedaan pendapat dalam Islam. Konsep talaqqi
bil qabul (penerimaan tradisi keilmuan dengan sanad yang
bersambung) dijadikan prinsip dalam mengkaji fiqih, sehingga tidak menutup diri
dari pendapat ulama mazhab lain ketika menghadapi permasalahan yang membutuhkan
ijtihad yang lebih luas10.
Sikap NU yang tidak
kaku dalam bermazhab ditunjukkan dengan adanya beberapa keputusan Bahtsul
Masail yang mempertimbangkan pendapat mazhab lain, terutama dalam isu-isu
kontemporer yang membutuhkan pendekatan fiqih yang lebih fleksibel11.
Footnotes
[1]
Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Surabaya:
Lajnah Ta’lif wan Nasyr, 1924), 18.
[2]
Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar
al-Fikr, 1996), 215-217.
[3]
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar
Ibn Kathir, 1997), Kitab al-Ilm, Hadis no. 56.
[4]
Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad (Beirut: Muassasah ar-Risalah,
2001), jilid 3, 482.
[5]
Muhammad al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar
al-Maktabi, 2005), 221-223.
[6]
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1985), 1095-1102.
[7]
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan
Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 134-136.
[8]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
(Bandung: Mizan, 2004), 45-49.
[9]
Lajnah Bahtsul Masail NU, Himpunan Fatwa NU: Fiqih Kontemporer
(Jakarta: PBNU, 2021), 67-75.
[10]
Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial (Jakarta:
Mizan, 2006), 82.
[11]
Abdul Wahid, Metodologi Istinbath Hukum dalam Nahdlatul Ulama
(Bandung: Pustaka Setia, 2020), 125.
3.
Metodologi Istinbath Hukum dalam Nahdlatul
Ulama (NU)
Fiqih Nahdlatul
Ulama (NU) didasarkan pada metodologi istinbath hukum yang berpijak pada
warisan keilmuan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja), khususnya mazhab Syafi’i.
NU tidak hanya berpegang teguh pada sumber hukum Islam yang klasik, tetapi juga menggunakan metode istinbath
hukum yang sistematis dalam merespons permasalahan kontemporer. Dalam kerangka
ini, NU mengadopsi pendekatan ushul fiqh mazhab Syafi’i dan
mekanisme Bahtsul Masail sebagai forum
kolektif dalam menentukan hukum.
3.1.
Pendekatan Ushul Fiqh dalam NU
Ushul fiqh merupakan
ilmu yang menjadi dasar dalam merumuskan hukum Islam. Dalam tradisi NU, metode
ini merujuk pada kaidah yang telah dirumuskan oleh Imam Syafi’i dalam Ar-Risalah,
yang menjadi fondasi bagi metode
istinbath hukum1. Pendekatan ushul fiqh dalam NU dapat dijelaskan
melalui beberapa prinsip berikut:
1)
Berpegang pada Dalil Naqli
dan Aqli
NU menggunakan dalil
naqli (Al-Qur’an dan Hadis) sebagai dasar utama hukum Islam.
Namun, dalam kondisi tertentu, dalil aqli (rasionalitas yang
didasarkan pada kaidah fiqih) digunakan untuk memahami makna hukum dalam
konteks yang lebih luas2.
2)
Qawa‘id Fiqhiyyah
(Kaidah-kaidah Fiqih)
NU memanfaatkan kaidah fiqih sebagai
alat bantu dalam menentukan hukum, terutama dalam masalah yang tidak memiliki
nash yang eksplisit. Beberapa kaidah utama yang sering digunakan adalah:
(*) Ad-dhararu
yuzalu (Kemudaratan harus dihilangkan)
(*) Al-‘adah
muhakkamah (Adat kebiasaan dapat menjadi dasar hukum)
(*) Al-masyaqqah
tajlibut taisir (Kesulitan membawa kemudahan)
(*) Yuqdarul
amr bi qadrih (Suatu perkara ditentukan sesuai dengan kadar
kebutuhannya)3.
3)
Pendekatan Maslahah
Mursalah
NU mengadopsi konsep maslahah
mursalah (kemaslahatan yang tidak memiliki dalil khusus) dalam
menetapkan hukum, terutama dalam kasus-kasus modern seperti kebijakan ekonomi
syariah, vaksinasi, atau perbankan Islam4.
4)
Sadd al-Dzari’ah (Mencegah
Kerusakan)
NU menggunakan metode ini untuk mencegah
sesuatu yang berpotensi membawa keburukan, meskipun secara asal hukumnya
diperbolehkan. Contohnya, dalam fatwa NU mengenai pinjaman berbasis riba,
meskipun terdapat keadaan darurat, tetapi tetap ada batasan agar tidak membawa
dampak negatif yang lebih luas5.
3.2.
Metode Bahtsul Masail dalam Pengambilan Hukum
Salah satu metode
utama dalam istinbath hukum NU adalah Bahtsul Masail, yaitu forum diskusi ulama NU dalam membahas dan
menetapkan hukum atas permasalahan baru yang muncul di masyarakat. Forum ini
berperan penting dalam menjaga relevansi fiqih dengan dinamika sosial.
1)
Struktur dan Proses
Bahtsul Masail
Bahtsul Masail diselenggarakan di
berbagai tingkatan dalam struktur organisasi NU, mulai dari tingkat cabang
(kecamatan) hingga tingkat pusat (PBNU). Proses diskusi dilakukan dengan
pendekatan ijtihad jama’i (ijtihad
kolektif) yang mempertimbangkan pendapat para ulama dari berbagai daerah6.
2)
Klasifikasi Bahtsul Masail
NU membagi Bahtsul Masail ke dalam 3 (tiga)
kategori utama:
(1) Waqi’iyyah
(masalah faktual): membahas persoalan yang terjadi di masyarakat, seperti hukum
transaksi digital, penggunaan AI dalam dakwah, dan ekologi Islam.
(2) Maudhu’iyyah
(kajian tematik): membahas suatu tema khusus secara mendalam, misalnya fiqih
sosial, politik, dan ekonomi.
(3) Qanuniyyah
(perundang-undangan): membahas persoalan hukum yang terkait dengan
perundang-undangan di Indonesia, seperti Undang-Undang Perkawinan dan hukum
pidana syariah7.
3)
Contoh Kasus dalam Bahtsul
Masail
Fatwa tentang Vaksinasi Halal
NU melalui Bahtsul Masail pernah
mengeluarkan fatwa mengenai vaksinasi sebagai bagian dari ikhtiar dalam menjaga
kesehatan umat. Fatwa ini didasarkan pada kaidah fiqih dar’ul
mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (mencegah keburukan lebih
diutamakan daripada menarik kemaslahatan)8.
Fatwa tentang Cryptocurrency
NU mengeluarkan fatwa mengenai hukum
cryptocurrency dengan mempertimbangkan aspek spekulatif yang
tinggi dalam perdagangan aset digital. Berdasarkan kajian Bahtsul Masail,
cryptocurrency dikategorikan sebagai gharar (ketidakjelasan) yang
dilarang dalam Islam9.
4)
Keunggulan Metode Bahtsul
Masail
Bahtsul Masail memastikan bahwa setiap
hukum yang ditetapkan didasarkan pada kajian mendalam dan melibatkan banyak
ulama, sehingga memiliki landasan akademis dan teologis yang kuat.
Keputusan yang dihasilkan tidak hanya
mempertimbangkan aspek hukum Islam, tetapi juga sosiologi masyarakat, perkembangan teknologi,
dan kebijakan pemerintah10.
Kesimpulan
Metodologi istinbath
hukum dalam NU berpijak pada pendekatan ushul fiqh mazhab Syafi’i dan mekanisme
Bahtsul Masail. Pendekatan ini memastikan bahwa hukum yang dihasilkan tetap
berpegang pada prinsip-prinsip syariat, tetapi juga relevan dengan konteks sosial. Dengan metode ini, NU
mampu merespons berbagai tantangan zaman tanpa keluar dari koridor keislaman
yang moderat.
Footnotes
[1]
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Ar-Risalah (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 20-22.
[2]
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar
al-Fikr, 1986), 109.
[3]
Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha’ir (Beirut: Dar
al-Fikr, 2003), 28.
[4]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Awlawiyyat (Kairo: Dar asy-Syuruq,
1995), 75-77.
[5]
Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Surabaya:
Lajnah Ta’lif wan Nasyr, 1924), 45.
[6]
Lajnah Bahtsul Masail NU, Himpunan Fatwa NU: Fiqih Kontemporer
(Jakarta: PBNU, 2021), 112-118.
[7]
Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama
Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2015), 89-90.
[8]
Lajnah Bahtsul Masail NU, Fatwa tentang Vaksinasi (Jakarta:
PBNU, 2021), 23-26.
[9]
PBNU, Keputusan Bahtsul Masail tentang Cryptocurrency
(Jakarta: PBNU, 2022), 14-17.
[10]
Greg Fealy dan Greg Barton, Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and
Modernity in Indonesia (Clayton: Monash Asia Institute, 1996), 97.
4.
Implementasi Fiqih NU dalam Kehidupan Sosial
Fiqih Nahdlatul
Ulama (NU) tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga diterapkan dalam berbagai
aspek kehidupan sosial. NU
memahami bahwa fiqih bukan sekadar kumpulan aturan hukum, melainkan suatu
sistem nilai yang membimbing umat Islam dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat, bernegara, dan beribadah. Implementasi fiqih NU dalam kehidupan
sosial mencakup bidang ibadah, muamalah,
dan siyasah.
4.1.
Fiqih Ibadah dalam Tradisi NU
Fiqih ibadah dalam
NU berlandaskan mazhab Syafi’i dengan tetap memperhatikan dimensi sosial dan budaya masyarakat. Beberapa aspek
ibadah yang menjadi ciri khas fiqih NU adalah:
1)
Pelaksanaan Ibadah
Berbasis Tradisi
NU mengamalkan ajaran Islam yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis dengan tetap mempertimbangkan urf
shahih (tradisi yang tidak bertentangan dengan syariat).
Praktik seperti tahlilan, maulid, manaqib, dan ziarah
kubur merupakan bagian dari ibadah yang memiliki dasar dalam
fiqih dan telah menjadi tradisi dalam Islam Nusantara1.
2)
Prinsip Kemudahan dalam
Ibadah
Dalam fiqih NU, prinsip al-masyaqqah
tajlibut taisir (kesulitan membawa kemudahan) diterapkan dalam
berbagai persoalan ibadah. Contohnya, dalam situasi darurat seperti pandemi
COVID-19, NU membolehkan shalat Jumat diganti dengan shalat Zuhur di rumah
berdasarkan kaidah fiqih yang menyatakan bahwa kemaslahatan harus diutamakan2.
3)
Fatwa NU tentang Ibadah
Kontemporer
NU melalui Bahtsul Masail telah
mengeluarkan berbagai fatwa terkait persoalan ibadah modern, seperti hukum
penggunaan alat elektronik untuk adzan,
hukum shalat
dengan masker, dan penggunaan air daur ulang untuk bersuci3.
4.2.
Fiqih Muamalah dan Kehidupan Bermasyarakat
NU memandang
muamalah sebagai aspek penting dalam fiqih Islam yang berperan dalam menjaga harmoni sosial. Beberapa prinsip
utama dalam fiqih muamalah yang diterapkan NU meliputi:
1)
Prinsip Keadilan dan
Kemashlahatan dalam Ekonomi Syariah
NU mendukung penerapan ekonomi
syariah yang berbasis prinsip keadilan (al-‘adl) dan kemaslahatan
(al-mashlahah). Oleh karena itu, NU aktif dalam mengembangkan perbankan
syariah, koperasi Islam, dan zakat produktif sebagai solusi
ekonomi Islam yang adil4.
2)
Hukum Perdagangan dan
Bisnis Syariah
NU menekankan pentingnya transaksi
ekonomi yang bersih dari unsur gharar (ketidakpastian) dan riba.
Melalui berbagai fatwa, NU menetapkan bahwa sistem ekonomi berbasis spekulasi
tinggi, seperti cryptocurrency, memiliki unsur
gharar dan lebih dekat kepada praktik yang dilarang dalam Islam5.
3)
Fatwa tentang Hukum Media
Sosial
Dalam menghadapi tantangan digital, NU
mengeluarkan fatwa terkait etika bermedia sosial, termasuk
larangan menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah.
NU mendasarkan fatwa ini pada kaidah dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih
(menghindari kerusakan lebih utama daripada menarik manfaat)6.
4.3.
Fiqih Siyasah dan Peran NU dalam Kehidupan
Bernegara
NU memiliki peran
penting dalam siyasah (politik) dengan menegaskan bahwa Islam dan negara dapat
berjalan beriringan. Beberapa implementasi fiqih siyasah dalam NU antara lain:
1)
Prinsip Hubungan Islam dan
Negara
NU menegaskan bahwa Pancasila
sejalan dengan Islam dan dapat dijadikan sebagai dasar negara
yang sah. Sikap ini diambil berdasarkan konsep dar’ul mafasid, yakni menjaga
stabilitas sosial dan menghindari konflik antar umat beragama7.
2)
Fatwa NU tentang Pemilu
dan Kepemimpinan
NU memberikan panduan hukum terkait
pemilu, termasuk hukum memilih pemimpin non-Muslim,
hukum money
politics, serta hak dan kewajiban warga negara dalam Islam.
Dalam fatwa Bahtsul Masail, NU menyatakan bahwa memilih pemimpin adalah bagian
dari mas’uliyyah
(tanggung jawab) sosial dan harus didasarkan pada pertimbangan
maslahat8.
3)
Peran NU dalam Moderasi
Beragama
NU aktif dalam mengampanyekan Islam
wasathiyyah (Islam moderat) guna menangkal ekstremisme
dan radikalisme. Dalam berbagai forum internasional, NU
menegaskan bahwa negara harus melindungi kebebasan beragama dan
mencegah penyebaran ideologi intoleran9.
Kesimpulan
Implementasi fiqih
NU dalam kehidupan sosial mencakup ibadah, muamalah, dan siyasah,
dengan tetap mengacu pada prinsip maslahah, moderasi, dan keseimbangan.
NU berusaha menjaga tradisi keislaman yang selaras dengan budaya lokal tanpa mengabaikan ketentuan syariat. Selain
itu, NU terus merespons isu-isu kontemporer melalui Bahtsul
Masail, sehingga fiqih tetap relevan dalam menghadapi tantangan
zaman.
Footnotes
[1]
Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Surabaya:
Lajnah Ta’lif wan Nasyr, 1924), 52.
[2]
Lajnah Bahtsul Masail NU, Fatwa tentang Ibadah di Masa Pandemi
(Jakarta: PBNU, 2021), 14-18.
[3]
PBNU, Himpunan Fatwa NU: Ibadah Kontemporer (Jakarta: PBNU,
2022), 32-35.
[4]
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1985), 1403-1410.
[5]
PBNU, Keputusan Bahtsul Masail tentang Cryptocurrency
(Jakarta: PBNU, 2022), 27-30.
[6]
Abdul Moqsith Ghazali, Fiqih Media Sosial: Etika Bermedia dalam
Islam (Jakarta: Mizan, 2020), 55-60.
[7]
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan
Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 98-100.
[8]
Lajnah Bahtsul Masail NU, Panduan Pemilu dalam Islam (Jakarta:
PBNU, 2019), 21-24.
[9]
Greg Fealy dan Greg Barton, Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and
Modernity in Indonesia (Clayton: Monash Asia Institute, 1996), 120-125.
5.
Tantangan dan Dinamika Fiqih NU di Era Kontemporer
Fiqih Nahdlatul
Ulama (NU) terus mengalami dinamika seiring dengan perkembangan zaman. Sebagai organisasi yang berbasis pada manhaj
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, NU berusaha mempertahankan
nilai-nilai fiqih tradisional yang berakar pada mazhab Syafi’i, sembari
merespons perubahan sosial, politik, ekonomi, dan teknologi di era kontemporer.
Tantangan yang dihadapi NU dalam mempertahankan fiqih yang kontekstual dan responsif
meliputi berbagai aspek, mulai dari digitalisasi fatwa, isu-isu gender, hak asasi manusia (HAM), hingga peran NU
dalam menjaga Islam moderat di tengah
polarisasi ideologi.
5.1.
Respons NU terhadap Isu-isu Modern
1)
Digitalisasi Fatwa dan
Dakwah Berbasis Teknologi
Perkembangan teknologi informasi membawa
perubahan dalam cara penyebaran fatwa dan dakwah Islam. NU menghadapi tantangan
dalam menyesuaikan metodologi fiqih dengan digitalisasi hukum Islam,
termasuk penggunaan media sosial dan platform daring sebagai sarana dakwah1.
Forum Bahtsul Masail NU telah
membahas hukum penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam dakwah,
penerbitan
fatwa melalui media digital, dan etika
beragama di dunia maya. Salah satu kaidah yang digunakan adalah
al-‘adah
muhakkamah (adat kebiasaan dapat menjadi dasar hukum), yang
memungkinkan penggunaan teknologi selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah2.
NU juga memberikan perhatian terhadap fenomena
hoaks dan ujaran kebencian dalam dakwah digital, menegaskan
bahwa menyebarkan berita palsu bertentangan dengan prinsip Islam dan bisa masuk
dalam kategori ghibah dan namimah
yang dilarang3.
2)
Isu Gender dan Hak Asasi
Manusia dalam Perspektif Fiqih NU
NU telah lama terlibat dalam diskusi
tentang kesetaraan gender dalam Islam,
dengan tetap berpijak pada fiqih mazhab Syafi’i. NU menerima konsep kesetaraan
laki-laki dan perempuan dalam hak pendidikan, ekonomi, dan sosial,
tetapi tetap memegang prinsip fiqih bahwa laki-laki dan perempuan memiliki
peran masing-masing dalam keluarga dan masyarakat4.
Salah satu fatwa NU yang cukup progresif
adalah tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
yang menyatakan bahwa KDRT bertentangan dengan prinsip rahmatan
lil ‘alamin dan bertolak belakang dengan sunnah Rasulullah yang
mencontohkan kasih sayang terhadap istri5.
Dalam bidang kepemimpinan, NU masih
mengikuti pendapat mayoritas ulama Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa
kepemimpinan politik utama berada di tangan laki-laki (qawwamun),
tetapi NU juga mengakui bahwa perempuan dapat berperan dalam posisi
kepemimpinan di bidang sosial dan ekonomi berdasarkan konsep maslahah
mursalah6.
3)
Fiqih Lingkungan dan
Krisis Ekologi
Tantangan ekologis seperti perubahan
iklim, eksploitasi sumber daya alam, dan pencemaran lingkungan telah mendorong
NU untuk membahas fiqih lingkungan dalam berbagai
forum. NU menekankan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari maqashid
syariah, yaitu hifz al-bi’ah (menjaga
kelestarian alam)7.
Fatwa NU tentang ekologi menegaskan
bahwa eksploitasi alam yang berlebihan dapat dikategorikan sebagai fasad
fil ardh (kerusakan di muka bumi) yang dilarang dalam Islam. Oleh
karena itu, NU mendorong praktik ekonomi hijau, pengelolaan
sampah berbasis syariah, serta pelestarian lingkungan sebagai bagian dari
tanggung jawab keagamaan8.
5.2.
Peran NU dalam Menjaga Keutuhan Manhaj Ahlus
Sunnah wal Jama’ah
1)
Menghadapi Tantangan
Liberalisme dan Sekularisme
NU menegaskan posisi moderat dalam
menyikapi liberalisme dan sekularisme. NU mengakui pentingnya ijtihad
dalam fiqih, tetapi tetap menolak pendekatan yang mengabaikan taqlid
kepada mazhab dan berpotensi merusak struktur fiqih tradisional9.
Dalam beberapa forum keagamaan, NU
mengkritik pemikiran Islam liberal yang
menafsirkan syariat Islam secara ekstrem tanpa mempertimbangkan metodologi
ushul fiqh. NU juga menolak sekularisme yang ingin memisahkan Islam dari ranah
sosial dan politik secara total10.
2)
Menangkal Ekstremisme dan
Radikalisme
NU berkomitmen menjaga Islam
wasathiyyah (Islam moderat) dan menolak segala bentuk
radikalisme, baik yang berasal dari kelompok Islam ekstrem kanan (seperti
takfirisme) maupun ekstrem kiri (seperti
liberalisme radikal)11.
NU menekankan pentingnya dialog
antaragama dan toleransi dalam beragama
sebagai bagian dari warisan Islam Nusantara. Konsep fiqh al-ta'ayusy (fiqih
kebersamaan) yang dikembangkan oleh NU bertujuan untuk menciptakan harmoni
sosial tanpa mengorbankan prinsip-prinsip Islam12.
3)
Pendidikan dan Kaderisasi
Ulama dalam NU
Tantangan besar bagi NU adalah menjaga
kesinambungan keilmuan fiqih di tengah modernisasi pendidikan Islam.
Oleh karena itu, NU berupaya mengembangkan sistem pendidikan
pesantren yang berbasis kitab kuning, sekaligus menyesuaikannya
dengan metode pendidikan modern13.
NU juga berusaha mencetak ulama-ulama yang
kompeten melalui program Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU)
serta mendorong santri untuk mendalami bahasa Arab, ilmu ushul fiqh, dan maqashid
syariah guna mempertahankan metodologi fiqih yang berlandaskan sanad
keilmuan yang sahih14.
Kesimpulan
Tantangan yang
dihadapi fiqih NU di era kontemporer mencakup berbagai aspek, dari digitalisasi
fatwa, isu gender, fiqih lingkungan, hingga upaya mempertahankan Islam moderat
di tengah dinamika pemikiran Islam global. NU tetap berpegang pada manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
tetapi juga terbuka terhadap ijtihad kontekstual
guna menjawab tantangan zaman. Melalui Bahtsul Masail, pendidikan pesantren, dan
moderasi Islam, NU terus menjaga relevansi fiqih dalam
menghadapi permasalahan kontemporer.
Footnotes
[1]
Lajnah Bahtsul Masail NU, Fatwa Digital dalam Islam (Jakarta:
PBNU, 2022), 18-22.
[2]
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Ar-Risalah (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 40.
[3]
Abdul Moqsith Ghazali, Fiqih Media Sosial (Jakarta: Mizan,
2020), 67-70.
[4]
Nur Rofiah, Fiqh Perempuan: Refleksi Kritis atas Wacana Gender
dalam Islam (Jakarta: KUPI, 2021), 88-90.
[5]
PBNU, Fatwa NU tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (Jakarta:
PBNU, 2019), 23-27.
[6]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
(Bandung: Mizan, 2004), 120-123.
[7]
KH. Said Aqil Siradj, Islam Ramah Lingkungan (Jakarta: Mizan,
2018), 45-50.
[8]
PBNU, Fiqih Ekologi dan Fatwa Lingkungan (Jakarta: PBNU,
2021), 15-19.
[9]
Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Surabaya:
Lajnah Ta’lif wan Nasyr, 1924), 78.
[10]
Greg Fealy, Nahdlatul Ulama and the Politics of Religious Tolerance
(Jakarta: LP3ES, 2020), 155-160.
[11]
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan (Jakarta: The Wahid
Institute, 2007), 102.
[12]
KH. Yahya Cholil Staquf, Fiqh al-Ta'ayusy: Konsep NU dalam Membangun
Kehidupan Harmonis (Jakarta: PBNU, 2022), 58-62.
[13]
Lajnah Ta’lif wan Nasyr NU, Pendidikan Pesantren dan Tantangan
Modernitas (Jakarta: PBNU, 2021), 97-101.
[14]
PBNU, Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU): Strategi
Kaderisasi Ulama NU (Jakarta: PBNU, 2020), 45-50.
6.
Kesimpulan
Fiqih Nahdlatul
Ulama (NU) merupakan sistem hukum Islam yang berbasis pada manhaj Ahlus
Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) dengan rujukan utama pada mazhab Syafi’i. Dengan tetap
mempertahankan tradisi fiqih klasik, NU juga mengembangkan pendekatan
kontekstual untuk menjawab tantangan zaman. Kajian ini telah menunjukkan bahwa prinsip,
metodologi, dan implementasi fiqih NU tetap relevan dalam
kehidupan sosial, ekonomi, dan politik umat Islam di Indonesia serta dunia
Islam secara umum.
6.1.
Ringkasan Prinsip dan Metodologi Fiqih NU
Fiqih NU berpijak
pada empat sumber utama hukum Islam, yaitu Al-Qur’an,
Hadis, Ijma’, dan Qiyas, serta mempertimbangkan konsep Maslahah
Mursalah, Istihsan, Sadd al-Dzari’ah, dan Urf dalam pengambilan
keputusan hukum1. Dalam penerapan fiqih, NU mengikuti metodologi mazhab Syafi’i, tetapi tetap
membuka ruang ijtihad kontekstual melalui Bahtsul Masail, forum diskusi
yang berperan dalam merespons berbagai permasalahan hukum Islam kontemporer2.
Metodologi istinbath
hukum NU didasarkan pada pendekatan ushul
fiqh, dengan prinsip-prinsip utama seperti Qawa‘id
Fiqhiyyah (kaidah fiqih), Istihsan (preferensi hukum berdasarkan maslahat), dan
Ijtihad Jama’i (ijtihad kolektif melalui Bahtsul Masail)3.
Pendekatan ini memungkinkan NU untuk memberikan fatwa yang sesuai dengan
kondisi masyarakat, tanpa meninggalkan
akar tradisi Islam yang telah mapan.
6.2.
Implementasi Fiqih NU dalam Kehidupan Sosial
Implementasi fiqih
NU mencakup berbagai aspek kehidupan:
1)
Dalam bidang ibadah,
NU menerapkan fiqih dengan mempertahankan tradisi Islam Nusantara yang sesuai
dengan syariat. Praktik seperti tahlilan, maulid, manaqib, dan ziarah
kubur tetap dilestarikan dengan dasar hukum yang kuat4.
2)
Dalam bidang muamalah,
NU mengembangkan fiqih ekonomi Islam yang menekankan pada keadilan,
transparansi, dan kesejahteraan sosial. NU aktif dalam mendukung ekonomi
syariah, koperasi Islam, dan zakat produktif, serta memberikan fatwa
terkait transaksi keuangan modern seperti perbankan syariah dan cryptocurrency5.
3)
Dalam bidang siyasah
(politik), NU menegaskan bahwa Islam dan negara dapat berjalan
beriringan. NU berkomitmen terhadap Pancasila sebagai dasar
negara yang sejalan dengan nilai-nilai Islam, serta menekankan
pentingnya partisipasi politik umat Islam dalam sistem demokrasi6.
6.3.
Tantangan dan Dinamika Fiqih NU di Era
Kontemporer
Seiring perkembangan
zaman, fiqih NU menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan adaptasi metodologi hukum Islam. Beberapa tantangan
utama yang dihadapi NU meliputi:
1)
Digitalisasi fatwa dan
dakwah berbasis teknologi
NU telah merespons perkembangan media digital
dengan membahas hukum dakwah melalui media sosial, kecerdasan buatan
(AI) dalam penyebaran fatwa, serta etika komunikasi digital7.
2)
Isu gender dan hak asasi
manusia (HAM)
NU menegaskan kesetaraan gender dalam
Islam, dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip fiqih mazhab
Syafi’i dalam hukum keluarga dan kepemimpinan perempuan8.
3)
Fiqih lingkungan dan
krisis ekologi
NU telah mengeluarkan fatwa tentang konservasi
lingkungan, ekonomi hijau, dan larangan eksploitasi sumber daya alam secara
berlebihan, dengan menggunakan konsep hifz al-bi’ah (menjaga
kelestarian lingkungan) sebagai bagian dari maqashid syariah9.
4)
Menangkal liberalisme dan
ekstremisme
NU terus menjaga Islam moderat
(wasathiyyah) dengan menolak sekularisme yang menafikan peran
Islam dalam kehidupan publik, sekaligus menentang radikalisme
dan takfirisme yang mengancam persatuan umat Islam10.
6.4.
Harapan terhadap Pengembangan Fiqih NU di Masa
Depan
Fiqih NU tidak hanya
berfungsi sebagai pedoman hukum Islam yang dinamis dan responsif, tetapi
juga sebagai pilar moderasi Islam di Indonesia dan dunia
Islam. Dalam menghadapi tantangan global, NU perlu memperkuat pendidikan
pesantren berbasis fiqih klasik, serta mengembangkan ijtihad
kontekstual yang tetap berakar pada metodologi ulama salaf.
Beberapa langkah
strategis yang dapat dilakukan NU dalam pengembangan fiqih ke depan antara lain:
1)
Memperkuat
kajian fiqih digital untuk menghadapi tantangan era revolusi
industri 4.0 dan kecerdasan buatan.
2)
Meningkatkan
peran perempuan dalam kajian fiqih melalui program pendidikan
dan kaderisasi ulama perempuan.
3)
Mengembangkan
fiqih lingkungan sebagai bagian dari maqashid syariah, dengan
merumuskan kebijakan-kebijakan hukum Islam yang mendukung keberlanjutan
ekologi.
4)
Memperluas
jangkauan dakwah dan fatwa NU di tingkat global, sehingga fiqih
NU dapat menjadi model Islam moderat yang relevan di berbagai negara.
Dengan strategi tersebut, diharapkan NU dapat terus menjaga identitas
keislaman yang moderat, berlandaskan sanad keilmuan yang kuat, serta mampu
menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan akar tradisionalnya.
Footnotes
[1]
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Ar-Risalah (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 40-42.
[2]
Lajnah Bahtsul Masail NU, Himpunan Fatwa NU: Fiqih Kontemporer
(Jakarta: PBNU, 2021), 112-118.
[3]
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar
al-Fikr, 1986), 95-98.
[4]
Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Surabaya:
Lajnah Ta’lif wan Nasyr, 1924), 78-80.
[5]
PBNU, Fatwa NU tentang Perbankan Syariah (Jakarta: PBNU,
2019), 32-35.
[6]
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan
Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 98-102.
[7]
Abdul Moqsith Ghazali, Fiqih Media Sosial: Etika Bermedia dalam
Islam (Jakarta: Mizan, 2020), 55-60.
[8]
Nur Rofiah, Fiqh Perempuan: Refleksi Kritis atas Wacana Gender
dalam Islam (Jakarta: KUPI, 2021), 88-90.
[9]
KH. Said Aqil Siradj, Islam Ramah Lingkungan (Jakarta: Mizan,
2018), 45-50.
[10]
Greg Fealy, Nahdlatul Ulama and the Politics of Religious Tolerance
(Jakarta: LP3ES, 2020), 155-160.
Daftar Pustaka
Abdurrahman Wahid. (2007). Islam kosmopolitan:
Nilai-nilai Indonesia dan transformasi kebudayaan. The Wahid Institute.
Ahmad Baso. (2015). Islam Nusantara: Ijtihad
jenius & ijma’ ulama Indonesia. LKiS.
Al-Bukhari, M. I. (1997). Shahih al-Bukhari.
Dar Ibn Kathir.
Al-Qaradawi, Y. (1995). Fiqh al-awlawiyyat.
Dar asy-Syuruq.
Al-Zuhayli, M. (2005). Ushul al-fiqh al-Islami.
Dar al-Maktabi.
Al-Zuhaili, W. (1986). Ushul al-fiqh al-Islami.
Dar al-Fikr.
Al-Zuhaili, W. (1985). Al-fiqh al-Islami wa
adillatuhu. Dar al-Fikr.
Aqil Siradj, S. (2006). Tasawuf sebagai kritik
sosial: Mengedepankan Islam sebagai inspirasi, bukan aspirasi. Mizan.
Aqil Siradj, S. (2018). Islam ramah lingkungan.
Mizan.
As-Suyuthi, J. (1996). Al-Itqan fi Ulum
al-Qur'an. Dar al-Fikr.
As-Suyuthi, J. (2003). Al-Asybah wa An-Nazha’ir.
Dar al-Fikr.
Asy-Syafi’i, M. I. (1997). Ar-Risalah. Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Azra, A. (2004). Jaringan ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara. Mizan.
Fealy, G., & Barton, G. (1996). Nahdlatul
Ulama, traditional Islam and modernity in Indonesia. Monash Asia Institute.
Fealy, G. (2020). Nahdlatul Ulama and the
politics of religious tolerance. LP3ES.
Ghazali, A. M. (2020). Fiqih media sosial: Etika
bermedia dalam Islam. Mizan.
Hasyim Asy’ari. (1924). Risalah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Lajnah Ta’lif wan Nasyr.
Ibn Hanbal, A. (2001). Musnad Ahmad.
Muassasah ar-Risalah.
Lajnah Bahtsul Masail NU. (2019). Panduan pemilu
dalam Islam. PBNU.
Lajnah Bahtsul Masail NU. (2021). Fatwa NU
tentang ibadah di masa pandemi. PBNU.
Lajnah Bahtsul Masail NU. (2021). Himpunan fatwa
NU: Fiqih kontemporer. PBNU.
Lajnah Bahtsul Masail NU. (2022). Fatwa digital
dalam Islam. PBNU.
Lajnah Bahtsul Masail NU. (2022). Keputusan
Bahtsul Masail tentang cryptocurrency. PBNU.
Lajnah Ta’lif wan Nasyr NU. (2021). Pendidikan
pesantren dan tantangan modernitas. PBNU.
Nur Rofiah. (2021). Fiqh perempuan: Refleksi
kritis atas wacana gender dalam Islam. KUPI.
PBNU. (2019). Fatwa NU tentang kekerasan dalam
rumah tangga. PBNU.
PBNU. (2019). Fatwa NU tentang perbankan
syariah. PBNU.
PBNU. (2020). Madrasah Kader Nahdlatul Ulama
(MKNU): Strategi kaderisasi ulama NU. PBNU.
PBNU. (2021). Fiqih ekologi dan fatwa
lingkungan. PBNU.
Staquf, Y. C. (2022). Fiqh al-ta'ayusy: Konsep
NU dalam membangun kehidupan harmonis. PBNU.
Zahrah, A. (1958). Ushul al-fiqh. Dar
al-Fikr.
Lampiran: Daftar Kitab Rujukan Pemikiran
Nahdlatul Ulama
Sebagai organisasi yang
berbasis pada Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja), Nahdlatul
Ulama (NU) merujuk kepada berbagai kitab klasik (turats) yang menjadi
dasar dalam pemikiran fiqih, akidah, tasawuf, serta berbagai aspek keilmuan
Islam lainnya. Berikut adalah daftar kitab-kitab utama yang menjadi rujukan
dalam pemikiran NU, beserta penulisnya dan pokok pembahasannya.
1.
Kitab Rujukan dalam Bidang Fiqih (Mazhab
Syafi’i)
·
Al-Umm –
Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H / 767-820 M)
Pokok Pembahasan: Kitab induk fiqih
mazhab Syafi’i yang mencakup berbagai hukum ibadah, muamalah, dan jinayah
berdasarkan dalil-dalil syar’i.
·
Tuhfah al-Muhtaj
– Imam Ibnu Hajar al-Haitami (909-974 H / 1504-1567 M)
Pokok Pembahasan: Penjelasan (syarah)
terhadap Minhaj at-Talibin karya Imam Nawawi, yang menjadi rujukan
utama fiqih Syafi’i dalam NU.
·
Mughni al-Muhtaj
– Imam Muhammad asy-Syarbini al-Khatib (w. 977 H / 1570 M)
Pokok Pembahasan: Syarah terhadap Minhaj
at-Talibin, menjelaskan kaidah-kaidah fiqih dan aplikasinya dalam
kehidupan sehari-hari.
·
Fath al-Wahhab
– Imam Zakariya al-Anshari (823-926 H / 1420-1520 M)
Pokok Pembahasan: Kajian fiqih Syafi’i
yang membahas berbagai aspek ibadah dan muamalah secara mendalam.
·
Bughyatul
Mustarsyidin – Syekh Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi (w. 1320 H /
1902 M)
Pokok Pembahasan: Kumpulan fatwa dan
solusi hukum Islam yang sesuai dengan mazhab Syafi’i, banyak dijadikan pedoman
di pesantren NU.
·
I’anatuth Thalibin
– Syekh Sayyid Abu Bakr bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi (w. 1310 H / 1893 M)
Pokok Pembahasan: Syarah terhadap Fath
al-Mu’in, membahas hukum fiqih Syafi’i dengan contoh-contoh praktis yang
relevan di masyarakat.
2.
Kitab Rujukan dalam Bidang Ushul Fiqih
·
Ar-Risalah
– Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H / 767-820 M)
Pokok Pembahasan: Kitab pertama yang
secara sistematis membahas metodologi ushul fiqh dalam Islam.
·
Al-Mahalli fi Ushul
al-Fiqh – Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849-911 H / 1445-1505 M)
Pokok Pembahasan: Prinsip-prinsip dasar
ushul fiqh dengan pendekatan yang memudahkan pemahaman.
·
Jam’ul Jawami’
– Imam Tajuddin as-Subki (727-771 H / 1327-1370 M)
Pokok Pembahasan: Kompilasi kaidah ushul
fiqh dari berbagai mazhab, digunakan dalam pendidikan hukum Islam di NU.
·
Ghayatul Wushul
– Imam Zakariya al-Anshari (823-926 H / 1420-1520 M)
Pokok Pembahasan: Kajian mendalam
tentang metodologi istinbath hukum dan ijtihad dalam mazhab Syafi’i.
3.
Kitab Rujukan dalam Bidang Akidah (Ahlus Sunnah
wal Jama’ah)
·
Al-Fiqh al-Akbar
– Imam Abu Hanifah (80-150 H / 699-767 M)
Pokok Pembahasan: Pembahasan mendasar
tentang tauhid dan sifat-sifat Allah, yang menjadi dasar akidah
Asy’ariyah-Maturidiyah.
·
Al-Ibanah ‘an Ushul
ad-Diyanah – Imam Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H / 874-936 M)
Pokok Pembahasan: Penjelasan mengenai
prinsip-prinsip akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
·
Al-Maqashid
– Imam Fakhruddin ar-Razi (543-606 H / 1149-1210 M)
Pokok Pembahasan: Kajian mendalam
tentang sifat-sifat Allah dan prinsip-prinsip keimanan Islam.
·
Kifayatul ‘Awam
– Syekh Muhammad al-Fadhil al-Jawi (w. 1320 H / 1902 M)
Pokok Pembahasan: Akidah Asy’ariyah yang
mudah dipahami dan menjadi referensi di pesantren NU.
4.
Kitab Rujukan dalam Bidang Tasawuf
·
Ihya’ Ulumiddin
– Imam Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H / 1058-1111 M)
Pokok Pembahasan: Kajian akhlak,
spiritualitas, dan hubungan antara fiqih serta tasawuf dalam kehidupan Muslim.
·
Risalah
al-Qusyairiyyah – Imam Abdul Karim al-Qusyairi (376-465 H / 986-1072
M)
Pokok Pembahasan: Prinsip dasar tasawuf
Sunni yang menekankan hubungan antara syariat dan hakikat.
·
Tanwir al-Qulub
– Syekh Muhammad Amin al-Kurdi (w. 1332 H / 1913 M)
Pokok Pembahasan: Panduan tasawuf
berdasarkan mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
·
Al-Hikam –
Ibnu Atha’illah as-Sakandari (658-709 H / 1259-1310 M)
Pokok Pembahasan: Hikmah-hikmah dalam
perjalanan spiritual seorang Muslim untuk mencapai makrifatullah.
5.
Kitab Rujukan dalam Bidang Kaidah Fiqhiyyah
·
Al-Asybah wa
an-Nazha'ir – Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849-911 H / 1445-1505 M)
Pokok Pembahasan: Kaidah fiqih dan
penerapannya dalam berbagai hukum Islam.
·
Al-Muwafaqat
– Imam Asy-Syatibi (720-790 H / 1320-1388 M)
Pokok Pembahasan: Pembahasan tentang
maqashid syariah (tujuan hukum Islam) dan urgensi memahami maksud di balik
hukum.
Kesimpulan
Kitab-kitab ini menjadi rujukan
utama dalam pemikiran Nahdlatul Ulama, baik dalam bidang fiqih,
ushul fiqh, akidah, tasawuf, maupun kaidah fiqhiyyah. Kitab-kitab ini
terus dikaji di pesantren-pesantren NU dan menjadi pedoman dalam merumuskan
fatwa serta kebijakan keislaman yang kontekstual sesuai perkembangan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar