Rabu, 12 Februari 2025

Fiqih II: Prinsip, Metodologi, dan Implementasi Fiqih Nahdlatul Ulama (NU)

Fiqih Nahdlatul Ulama (NU)

Prinsip, Metodologi, dan Implementasi


Alihkan ke: FiqihUshul Fiqh, Masa'il Al-FiqhiyahFiqih Muhammadiyah, Fiqih Pesis.


Abstrak

Fiqih Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sistem hukum Islam yang berpijak pada manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) dengan rujukan utama pada mazhab Syafi’i. Artikel ini membahas secara komprehensif tentang prinsip, metodologi, dan implementasi fiqih NU dalam kehidupan sosial, serta tantangan yang dihadapinya di era kontemporer. Secara metodologis, NU menggunakan empat sumber utama hukum Islam, yaitu Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas, serta mempertimbangkan Maslahah Mursalah, Istihsan, Sadd al-Dzari’ah, dan Urf dalam pengambilan keputusan hukum.

NU menerapkan Bahtsul Masail sebagai forum diskusi ulama dalam merespons berbagai isu kontemporer, termasuk dalam fiqih ibadah, muamalah, dan siyasah. Implementasi fiqih NU terlihat dalam berbagai aspek, seperti ibadah berbasis tradisi, ekonomi syariah, hubungan Islam dan negara, serta moderasi beragama. Di era digital, NU menghadapi tantangan dalam digitalisasi fatwa, isu gender dan HAM, fiqih lingkungan, serta penyebaran Islam moderat.

Artikel ini menyimpulkan bahwa NU memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan antara tradisi fiqih klasik dan tuntutan zaman. Melalui pendekatan ijtihad jama’i dan pendidikan pesantren, NU diharapkan dapat terus mempertahankan metodologi fiqih yang moderat, adaptif, dan tetap berakar pada sanad keilmuan yang kuat.

Kata Kunci: Fiqih Nahdlatul Ulama, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Mazhab Syafi’i, Bahtsul Masail, Ijtihad Jama’i, Digitalisasi Fatwa, Fiqih Kontemporer, Islam Moderat.


PEMBAHASAN

Prinsip, Metodologi, dan Implementasi Fiqih NU


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang dan Urgensi Kajian Fiqih dalam Kehidupan Umat Islam

Fiqih merupakan cabang ilmu dalam Islam yang mengatur tata kehidupan umat Muslim berdasarkan hukum syariat yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Sebagai ilmu yang membahas aspek hukum Islam secara rinci, fiqih memiliki peran fundamental dalam membimbing umat Islam dalam menjalankan ibadah dan muamalah sehari-hari. Imam Abu Hanifah mendefinisikan fiqih sebagai "pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci"1.

Di Indonesia, fiqih memiliki peran yang sangat penting karena menjadi pedoman dalam mengatur berbagai aspek kehidupan beragama dan bermasyarakat. Dalam konteks ini, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia berperan aktif dalam merumuskan dan mengimplementasikan fiqih berdasarkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) dengan pendekatan moderat. NU menekankan pada prinsip keseimbangan (tawassuth), toleransi (tasamuh), keadilan (i’tidal), dan persatuan (tawazun), yang berakar pada metode fiqih mazhab Syafi’i dan sumber-sumber Islam klasik2.

Kajian fiqih NU bukan hanya relevan dalam aspek ibadah, tetapi juga dalam aspek sosial, politik, dan ekonomi. Perkembangan zaman dan munculnya permasalahan-permasalahan kontemporer menuntut adanya pendekatan fiqih yang tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariat, namun juga fleksibel dalam merespons perubahan sosial. Oleh karena itu, memahami fiqih NU sangat penting untuk memahami pola pikir, sikap, dan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh organisasi ini dalam menyikapi berbagai persoalan umat Islam di Indonesia3.

1.2.       Peran Nahdlatul Ulama dalam Menjaga dan Mengembangkan Fiqih di Indonesia

Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada tahun 1926 di Surabaya sebagai respons terhadap dinamika sosial dan keagamaan yang berkembang di dunia Islam, khususnya di Indonesia4. Sebagai organisasi keagamaan, NU memiliki visi untuk menjaga tradisi Islam yang berlandaskan pada manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, terutama dengan mengikuti mazhab Syafi’i dalam bidang fiqih. NU tidak hanya berperan dalam dakwah dan pendidikan Islam, tetapi juga dalam menetapkan fatwa-fatwa yang berlandaskan pada istinbath hukum yang kokoh melalui forum Bahtsul Masail, yaitu diskusi para ulama NU dalam menjawab permasalahan hukum Islam yang muncul di tengah masyarakat5.

Fiqih NU berkembang seiring dengan perubahan zaman dan tuntutan masyarakat. Dalam beberapa dekade terakhir, NU telah merespons berbagai persoalan kontemporer seperti hukum perbankan syariah, ekologi Islam, fatwa tentang vaksinasi, serta etika penggunaan teknologi digital dalam dakwah6. Dalam konteks ini, NU bukan hanya sekadar menjaga warisan fiqih klasik, tetapi juga aktif melakukan ijtihad dengan tetap berpijak pada metodologi ulama terdahulu.

Melalui lembaga seperti Lajnah Bahtsul Masail NU, organisasi ini terus melakukan kajian mendalam terhadap berbagai persoalan modern dengan merujuk pada sumber-sumber klasik serta mempertimbangkan maslahat dan konteks kekinian. Proses pengambilan keputusan hukum dalam NU melibatkan metode Qawa‘id Fiqhiyyah, Istihsan, Maslahah Mursalah, dan Sadd al-Dzari’ah guna memastikan bahwa setiap fatwa yang dikeluarkan tetap sejalan dengan prinsip-prinsip Islam dan relevan dengan kondisi masyarakat7.

1.3.       Tujuan Pembahasan dalam Artikel Ini

Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang Fiqih Nahdlatul Ulama (NU), mulai dari prinsip dasar, metodologi istinbath hukum, hingga implementasi fiqih dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian, artikel ini akan:

1)                  Menjelaskan sumber dan dasar hukum fiqih NU, serta bagaimana metode istinbath hukum diterapkan dalam merumuskan fatwa.

2)                  Mengulas peran dan metode Bahtsul Masail NU, yang menjadi forum utama dalam menyelesaikan permasalahan hukum Islam kontemporer.

3)                  Menganalisis bagaimana fiqih NU diterapkan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, serta tantangan yang dihadapi di era modern.

4)                  Memberikan wawasan tentang peran NU dalam menjaga moderasi Islam, sekaligus merespons isu-isu baru seperti digitalisasi fatwa, etika lingkungan, dan ekonomi Islam.

Diharapkan dengan pembahasan ini, pembaca dapat memahami bagaimana fiqih NU bukan hanya sekadar warisan intelektual Islam klasik, tetapi juga sebagai panduan hidup yang dinamis yang mampu menjawab tantangan zaman dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariah.


Footnotes

[1]                Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1958), 17.

[2]                Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi (Jakarta: Mizan, 2006), 42-45.

[3]                Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2015), 79.

[4]                Greg Fealy dan Greg Barton, Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia (Clayton: Monash Asia Institute, 1996), 5.

[5]                Hasyim Asy’ari, Qanun Asasi Nahdlatul Ulama (Surabaya: Lajnah Ta’lif wan Nasyr, 1926), 22.

[6]                Lajnah Bahtsul Masail NU, Himpunan Fatwa NU: Fiqih Kontemporer (Jakarta: PBNU, 2021), 145-160.

[7]                Abdul Wahid, Metodologi Istinbath Hukum dalam Nahdlatul Ulama (Bandung: Pustaka Setia, 2020), 120-123.


2.           Landasan Fiqih Nahdlatul Ulama

2.1.       Sumber Hukum dalam Fiqih NU

Fiqih Nahdlatul Ulama (NU) berlandaskan pada prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja), dengan mengikuti mazhab Syafi’i dalam bidang fikih dan metode istinbath hukumnya1. NU mendasarkan fiqihnya pada empat sumber hukum utama dalam Islam, yang telah diakui dalam metodologi ushul fiqh:

1)                  Al-Qur’an

Sebagai sumber utama hukum Islam, Al-Qur’an memberikan prinsip-prinsip dasar dalam perumusan hukum. Ayat-ayat yang bersifat qat’i (pasti) menjadi pedoman utama dalam fiqih NU, sementara ayat yang bersifat dzanni (interpretatif) ditafsirkan melalui metode tafsir mazhab Syafi’i dan tradisi ulama salaf2.

2)                  Hadis

NU berpegang pada hadis-hadis sahih yang dikategorikan oleh ulama hadis seperti Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Dalam hal ini, NU mengikuti metodologi Imam Syafi’i yang mengutamakan hadis mutawatir dan sahih sebagai dasar hukum, serta menggunakan hadis ahad yang memenuhi standar qabul (diterima) dalam ilmu hadis3.

3)                  Ijma’

NU mengikuti konsep ijma’ (konsensus ulama) sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an dan Hadis. NU memandang ijma’ ulama sebagai keputusan kolektif yang memiliki kekuatan hukum, khususnya ijma’ dari ulama mujtahid pada masa-masa awal Islam4.

4)                  Qiyas

NU menerima qiyas sebagai metode analogi hukum yang digunakan untuk menemukan solusi bagi persoalan yang tidak memiliki nash yang eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadis. Sebagai organisasi yang mengadopsi mazhab Syafi’i, NU menekankan pentingnya qiyas dalam hukum Islam selama didasarkan pada illat (sebab hukum) yang jelas5.

Selain empat sumber utama tersebut, NU juga mempertimbangkan pendekatan Maslahah Mursalah, Istihsan, Sadd al-Dzari’ah, dan Urf (tradisi yang tidak bertentangan dengan syariat) dalam merumuskan hukum, terutama dalam menyikapi isu-isu kontemporer yang tidak secara langsung disebutkan dalam nash6.

2.2.       Mazhab yang Diikuti

Sebagai organisasi Islam yang berpijak pada Ahlus Sunnah wal Jama’ah, NU berpegang pada mazhab Syafi’i dalam bidang fiqih, meskipun tetap menghormati mazhab lain seperti Hanafi, Maliki, dan Hanbali7. Pemilihan mazhab Syafi’i sebagai pedoman utama didasarkan pada beberapa faktor:

1)                  Sanad Ilmu dan Kesesuaian dengan Tradisi Islam Nusantara

Mazhab Syafi’i memiliki keterkaitan historis yang kuat dengan para ulama Nusantara. Sejak era Wali Songo, mazhab ini telah diterapkan dalam sistem pendidikan pesantren dan berkembang dalam tradisi Islam di Indonesia8.

2)                  Metode Istinbath Hukum yang Kuat

Imam Syafi’i dikenal sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqh dengan metode istinbath hukum yang sistematis. NU mengadopsi prinsip-prinsip ini dalam merumuskan hukum Islam, termasuk dalam forum Bahtsul Masail yang menjadi mekanisme diskusi dan perumusan fatwa dalam organisasi NU9.

3)                  Sikap Moderat dalam Menyikapi Perbedaan Mazhab

Meskipun mengikuti mazhab Syafi’i, NU tetap menghargai perbedaan pendapat dalam Islam. Konsep talaqqi bil qabul (penerimaan tradisi keilmuan dengan sanad yang bersambung) dijadikan prinsip dalam mengkaji fiqih, sehingga tidak menutup diri dari pendapat ulama mazhab lain ketika menghadapi permasalahan yang membutuhkan ijtihad yang lebih luas10.

Sikap NU yang tidak kaku dalam bermazhab ditunjukkan dengan adanya beberapa keputusan Bahtsul Masail yang mempertimbangkan pendapat mazhab lain, terutama dalam isu-isu kontemporer yang membutuhkan pendekatan fiqih yang lebih fleksibel11.


Footnotes

[1]                Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Surabaya: Lajnah Ta’lif wan Nasyr, 1924), 18.

[2]                Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 215-217.

[3]                Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1997), Kitab al-Ilm, Hadis no. 56.

[4]                Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2001), jilid 3, 482.

[5]                Muhammad al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Maktabi, 2005), 221-223.

[6]                Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), 1095-1102.

[7]                Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 134-136.

[8]                Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara (Bandung: Mizan, 2004), 45-49.

[9]                Lajnah Bahtsul Masail NU, Himpunan Fatwa NU: Fiqih Kontemporer (Jakarta: PBNU, 2021), 67-75.

[10]             Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Mizan, 2006), 82.

[11]             Abdul Wahid, Metodologi Istinbath Hukum dalam Nahdlatul Ulama (Bandung: Pustaka Setia, 2020), 125.


3.           Metodologi Istinbath Hukum dalam Nahdlatul Ulama (NU)

Fiqih Nahdlatul Ulama (NU) didasarkan pada metodologi istinbath hukum yang berpijak pada warisan keilmuan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja), khususnya mazhab Syafi’i. NU tidak hanya berpegang teguh pada sumber hukum Islam yang klasik, tetapi juga menggunakan metode istinbath hukum yang sistematis dalam merespons permasalahan kontemporer. Dalam kerangka ini, NU mengadopsi pendekatan ushul fiqh mazhab Syafi’i dan mekanisme Bahtsul Masail sebagai forum kolektif dalam menentukan hukum.

3.1.       Pendekatan Ushul Fiqh dalam NU

Ushul fiqh merupakan ilmu yang menjadi dasar dalam merumuskan hukum Islam. Dalam tradisi NU, metode ini merujuk pada kaidah yang telah dirumuskan oleh Imam Syafi’i dalam Ar-Risalah, yang menjadi fondasi bagi metode istinbath hukum1. Pendekatan ushul fiqh dalam NU dapat dijelaskan melalui beberapa prinsip berikut:

1)                  Berpegang pada Dalil Naqli dan Aqli

NU menggunakan dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadis) sebagai dasar utama hukum Islam. Namun, dalam kondisi tertentu, dalil aqli (rasionalitas yang didasarkan pada kaidah fiqih) digunakan untuk memahami makna hukum dalam konteks yang lebih luas2.

2)                  Qawa‘id Fiqhiyyah (Kaidah-kaidah Fiqih)

NU memanfaatkan kaidah fiqih sebagai alat bantu dalam menentukan hukum, terutama dalam masalah yang tidak memiliki nash yang eksplisit. Beberapa kaidah utama yang sering digunakan adalah:

(*) Ad-dhararu yuzalu (Kemudaratan harus dihilangkan)

(*) Al-‘adah muhakkamah (Adat kebiasaan dapat menjadi dasar hukum)

(*) Al-masyaqqah tajlibut taisir (Kesulitan membawa kemudahan)

(*) Yuqdarul amr bi qadrih (Suatu perkara ditentukan sesuai dengan kadar kebutuhannya)3.

3)                  Pendekatan Maslahah Mursalah

NU mengadopsi konsep maslahah mursalah (kemaslahatan yang tidak memiliki dalil khusus) dalam menetapkan hukum, terutama dalam kasus-kasus modern seperti kebijakan ekonomi syariah, vaksinasi, atau perbankan Islam4.

4)                  Sadd al-Dzari’ah (Mencegah Kerusakan)

NU menggunakan metode ini untuk mencegah sesuatu yang berpotensi membawa keburukan, meskipun secara asal hukumnya diperbolehkan. Contohnya, dalam fatwa NU mengenai pinjaman berbasis riba, meskipun terdapat keadaan darurat, tetapi tetap ada batasan agar tidak membawa dampak negatif yang lebih luas5.

3.2.       Metode Bahtsul Masail dalam Pengambilan Hukum

Salah satu metode utama dalam istinbath hukum NU adalah Bahtsul Masail, yaitu forum diskusi ulama NU dalam membahas dan menetapkan hukum atas permasalahan baru yang muncul di masyarakat. Forum ini berperan penting dalam menjaga relevansi fiqih dengan dinamika sosial.

1)                  Struktur dan Proses Bahtsul Masail

Bahtsul Masail diselenggarakan di berbagai tingkatan dalam struktur organisasi NU, mulai dari tingkat cabang (kecamatan) hingga tingkat pusat (PBNU). Proses diskusi dilakukan dengan pendekatan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) yang mempertimbangkan pendapat para ulama dari berbagai daerah6.

2)                  Klasifikasi Bahtsul Masail

NU membagi Bahtsul Masail ke dalam 3 (tiga) kategori utama:

(1) Waqi’iyyah (masalah faktual): membahas persoalan yang terjadi di masyarakat, seperti hukum transaksi digital, penggunaan AI dalam dakwah, dan ekologi Islam.

(2) Maudhu’iyyah (kajian tematik): membahas suatu tema khusus secara mendalam, misalnya fiqih sosial, politik, dan ekonomi.

(3) Qanuniyyah (perundang-undangan): membahas persoalan hukum yang terkait dengan perundang-undangan di Indonesia, seperti Undang-Undang Perkawinan dan hukum pidana syariah7.

3)                  Contoh Kasus dalam Bahtsul Masail

Fatwa tentang Vaksinasi Halal

NU melalui Bahtsul Masail pernah mengeluarkan fatwa mengenai vaksinasi sebagai bagian dari ikhtiar dalam menjaga kesehatan umat. Fatwa ini didasarkan pada kaidah fiqih dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (mencegah keburukan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan)8.

Fatwa tentang Cryptocurrency

NU mengeluarkan fatwa mengenai hukum cryptocurrency dengan mempertimbangkan aspek spekulatif yang tinggi dalam perdagangan aset digital. Berdasarkan kajian Bahtsul Masail, cryptocurrency dikategorikan sebagai gharar (ketidakjelasan) yang dilarang dalam Islam9.

4)                  Keunggulan Metode Bahtsul Masail

Bahtsul Masail memastikan bahwa setiap hukum yang ditetapkan didasarkan pada kajian mendalam dan melibatkan banyak ulama, sehingga memiliki landasan akademis dan teologis yang kuat.

Keputusan yang dihasilkan tidak hanya mempertimbangkan aspek hukum Islam, tetapi juga sosiologi masyarakat, perkembangan teknologi, dan kebijakan pemerintah10.


Kesimpulan

Metodologi istinbath hukum dalam NU berpijak pada pendekatan ushul fiqh mazhab Syafi’i dan mekanisme Bahtsul Masail. Pendekatan ini memastikan bahwa hukum yang dihasilkan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariat, tetapi juga relevan dengan konteks sosial. Dengan metode ini, NU mampu merespons berbagai tantangan zaman tanpa keluar dari koridor keislaman yang moderat.


Footnotes

[1]                Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Ar-Risalah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 20-22.

[2]                Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 109.

[3]                Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha’ir (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 28.

[4]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Awlawiyyat (Kairo: Dar asy-Syuruq, 1995), 75-77.

[5]                Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Surabaya: Lajnah Ta’lif wan Nasyr, 1924), 45.

[6]                Lajnah Bahtsul Masail NU, Himpunan Fatwa NU: Fiqih Kontemporer (Jakarta: PBNU, 2021), 112-118.

[7]                Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2015), 89-90.

[8]                Lajnah Bahtsul Masail NU, Fatwa tentang Vaksinasi (Jakarta: PBNU, 2021), 23-26.

[9]                PBNU, Keputusan Bahtsul Masail tentang Cryptocurrency (Jakarta: PBNU, 2022), 14-17.

[10]             Greg Fealy dan Greg Barton, Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia (Clayton: Monash Asia Institute, 1996), 97.


4.           Implementasi Fiqih NU dalam Kehidupan Sosial

Fiqih Nahdlatul Ulama (NU) tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan sosial. NU memahami bahwa fiqih bukan sekadar kumpulan aturan hukum, melainkan suatu sistem nilai yang membimbing umat Islam dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan beribadah. Implementasi fiqih NU dalam kehidupan sosial mencakup bidang ibadah, muamalah, dan siyasah.

4.1.       Fiqih Ibadah dalam Tradisi NU

Fiqih ibadah dalam NU berlandaskan mazhab Syafi’i dengan tetap memperhatikan dimensi sosial dan budaya masyarakat. Beberapa aspek ibadah yang menjadi ciri khas fiqih NU adalah:

1)                  Pelaksanaan Ibadah Berbasis Tradisi

NU mengamalkan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis dengan tetap mempertimbangkan urf shahih (tradisi yang tidak bertentangan dengan syariat). Praktik seperti tahlilan, maulid, manaqib, dan ziarah kubur merupakan bagian dari ibadah yang memiliki dasar dalam fiqih dan telah menjadi tradisi dalam Islam Nusantara1.

2)                  Prinsip Kemudahan dalam Ibadah

Dalam fiqih NU, prinsip al-masyaqqah tajlibut taisir (kesulitan membawa kemudahan) diterapkan dalam berbagai persoalan ibadah. Contohnya, dalam situasi darurat seperti pandemi COVID-19, NU membolehkan shalat Jumat diganti dengan shalat Zuhur di rumah berdasarkan kaidah fiqih yang menyatakan bahwa kemaslahatan harus diutamakan2.

3)                  Fatwa NU tentang Ibadah Kontemporer

NU melalui Bahtsul Masail telah mengeluarkan berbagai fatwa terkait persoalan ibadah modern, seperti hukum penggunaan alat elektronik untuk adzan, hukum shalat dengan masker, dan penggunaan air daur ulang untuk bersuci3.

4.2.       Fiqih Muamalah dan Kehidupan Bermasyarakat

NU memandang muamalah sebagai aspek penting dalam fiqih Islam yang berperan dalam menjaga harmoni sosial. Beberapa prinsip utama dalam fiqih muamalah yang diterapkan NU meliputi:

1)                  Prinsip Keadilan dan Kemashlahatan dalam Ekonomi Syariah

NU mendukung penerapan ekonomi syariah yang berbasis prinsip keadilan (al-‘adl) dan kemaslahatan (al-mashlahah). Oleh karena itu, NU aktif dalam mengembangkan perbankan syariah, koperasi Islam, dan zakat produktif sebagai solusi ekonomi Islam yang adil4.

2)                  Hukum Perdagangan dan Bisnis Syariah

NU menekankan pentingnya transaksi ekonomi yang bersih dari unsur gharar (ketidakpastian) dan riba. Melalui berbagai fatwa, NU menetapkan bahwa sistem ekonomi berbasis spekulasi tinggi, seperti cryptocurrency, memiliki unsur gharar dan lebih dekat kepada praktik yang dilarang dalam Islam5.

3)                  Fatwa tentang Hukum Media Sosial

Dalam menghadapi tantangan digital, NU mengeluarkan fatwa terkait etika bermedia sosial, termasuk larangan menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah. NU mendasarkan fatwa ini pada kaidah dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (menghindari kerusakan lebih utama daripada menarik manfaat)6.

4.3.       Fiqih Siyasah dan Peran NU dalam Kehidupan Bernegara

NU memiliki peran penting dalam siyasah (politik) dengan menegaskan bahwa Islam dan negara dapat berjalan beriringan. Beberapa implementasi fiqih siyasah dalam NU antara lain:

1)                  Prinsip Hubungan Islam dan Negara

NU menegaskan bahwa Pancasila sejalan dengan Islam dan dapat dijadikan sebagai dasar negara yang sah. Sikap ini diambil berdasarkan konsep dar’ul mafasid, yakni menjaga stabilitas sosial dan menghindari konflik antar umat beragama7.

2)                  Fatwa NU tentang Pemilu dan Kepemimpinan

NU memberikan panduan hukum terkait pemilu, termasuk hukum memilih pemimpin non-Muslim, hukum money politics, serta hak dan kewajiban warga negara dalam Islam. Dalam fatwa Bahtsul Masail, NU menyatakan bahwa memilih pemimpin adalah bagian dari mas’uliyyah (tanggung jawab) sosial dan harus didasarkan pada pertimbangan maslahat8.

3)                  Peran NU dalam Moderasi Beragama

NU aktif dalam mengampanyekan Islam wasathiyyah (Islam moderat) guna menangkal ekstremisme dan radikalisme. Dalam berbagai forum internasional, NU menegaskan bahwa negara harus melindungi kebebasan beragama dan mencegah penyebaran ideologi intoleran9.


Kesimpulan

Implementasi fiqih NU dalam kehidupan sosial mencakup ibadah, muamalah, dan siyasah, dengan tetap mengacu pada prinsip maslahah, moderasi, dan keseimbangan. NU berusaha menjaga tradisi keislaman yang selaras dengan budaya lokal tanpa mengabaikan ketentuan syariat. Selain itu, NU terus merespons isu-isu kontemporer melalui Bahtsul Masail, sehingga fiqih tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman.


Footnotes

[1]                Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Surabaya: Lajnah Ta’lif wan Nasyr, 1924), 52.

[2]                Lajnah Bahtsul Masail NU, Fatwa tentang Ibadah di Masa Pandemi (Jakarta: PBNU, 2021), 14-18.

[3]                PBNU, Himpunan Fatwa NU: Ibadah Kontemporer (Jakarta: PBNU, 2022), 32-35.

[4]                Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), 1403-1410.

[5]                PBNU, Keputusan Bahtsul Masail tentang Cryptocurrency (Jakarta: PBNU, 2022), 27-30.

[6]                Abdul Moqsith Ghazali, Fiqih Media Sosial: Etika Bermedia dalam Islam (Jakarta: Mizan, 2020), 55-60.

[7]                Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 98-100.

[8]                Lajnah Bahtsul Masail NU, Panduan Pemilu dalam Islam (Jakarta: PBNU, 2019), 21-24.

[9]                Greg Fealy dan Greg Barton, Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia (Clayton: Monash Asia Institute, 1996), 120-125.


5.           Tantangan dan Dinamika Fiqih NU di Era Kontemporer

Fiqih Nahdlatul Ulama (NU) terus mengalami dinamika seiring dengan perkembangan zaman. Sebagai organisasi yang berbasis pada manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, NU berusaha mempertahankan nilai-nilai fiqih tradisional yang berakar pada mazhab Syafi’i, sembari merespons perubahan sosial, politik, ekonomi, dan teknologi di era kontemporer. Tantangan yang dihadapi NU dalam mempertahankan fiqih yang kontekstual dan responsif meliputi berbagai aspek, mulai dari digitalisasi fatwa, isu-isu gender, hak asasi manusia (HAM), hingga peran NU dalam menjaga Islam moderat di tengah polarisasi ideologi.

5.1.       Respons NU terhadap Isu-isu Modern

1)                  Digitalisasi Fatwa dan Dakwah Berbasis Teknologi

Perkembangan teknologi informasi membawa perubahan dalam cara penyebaran fatwa dan dakwah Islam. NU menghadapi tantangan dalam menyesuaikan metodologi fiqih dengan digitalisasi hukum Islam, termasuk penggunaan media sosial dan platform daring sebagai sarana dakwah1.

Forum Bahtsul Masail NU telah membahas hukum penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam dakwah, penerbitan fatwa melalui media digital, dan etika beragama di dunia maya. Salah satu kaidah yang digunakan adalah al-‘adah muhakkamah (adat kebiasaan dapat menjadi dasar hukum), yang memungkinkan penggunaan teknologi selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah2.

NU juga memberikan perhatian terhadap fenomena hoaks dan ujaran kebencian dalam dakwah digital, menegaskan bahwa menyebarkan berita palsu bertentangan dengan prinsip Islam dan bisa masuk dalam kategori ghibah dan namimah yang dilarang3.

2)                  Isu Gender dan Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Fiqih NU

NU telah lama terlibat dalam diskusi tentang kesetaraan gender dalam Islam, dengan tetap berpijak pada fiqih mazhab Syafi’i. NU menerima konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam hak pendidikan, ekonomi, dan sosial, tetapi tetap memegang prinsip fiqih bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran masing-masing dalam keluarga dan masyarakat4.

Salah satu fatwa NU yang cukup progresif adalah tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang menyatakan bahwa KDRT bertentangan dengan prinsip rahmatan lil ‘alamin dan bertolak belakang dengan sunnah Rasulullah yang mencontohkan kasih sayang terhadap istri5.

Dalam bidang kepemimpinan, NU masih mengikuti pendapat mayoritas ulama Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa kepemimpinan politik utama berada di tangan laki-laki (qawwamun), tetapi NU juga mengakui bahwa perempuan dapat berperan dalam posisi kepemimpinan di bidang sosial dan ekonomi berdasarkan konsep maslahah mursalah6.

3)                  Fiqih Lingkungan dan Krisis Ekologi

Tantangan ekologis seperti perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam, dan pencemaran lingkungan telah mendorong NU untuk membahas fiqih lingkungan dalam berbagai forum. NU menekankan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari maqashid syariah, yaitu hifz al-bi’ah (menjaga kelestarian alam)7.

Fatwa NU tentang ekologi menegaskan bahwa eksploitasi alam yang berlebihan dapat dikategorikan sebagai fasad fil ardh (kerusakan di muka bumi) yang dilarang dalam Islam. Oleh karena itu, NU mendorong praktik ekonomi hijau, pengelolaan sampah berbasis syariah, serta pelestarian lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab keagamaan8.

5.2.       Peran NU dalam Menjaga Keutuhan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah

1)                  Menghadapi Tantangan Liberalisme dan Sekularisme

NU menegaskan posisi moderat dalam menyikapi liberalisme dan sekularisme. NU mengakui pentingnya ijtihad dalam fiqih, tetapi tetap menolak pendekatan yang mengabaikan taqlid kepada mazhab dan berpotensi merusak struktur fiqih tradisional9.

Dalam beberapa forum keagamaan, NU mengkritik pemikiran Islam liberal yang menafsirkan syariat Islam secara ekstrem tanpa mempertimbangkan metodologi ushul fiqh. NU juga menolak sekularisme yang ingin memisahkan Islam dari ranah sosial dan politik secara total10.

2)                  Menangkal Ekstremisme dan Radikalisme

NU berkomitmen menjaga Islam wasathiyyah (Islam moderat) dan menolak segala bentuk radikalisme, baik yang berasal dari kelompok Islam ekstrem kanan (seperti takfirisme) maupun ekstrem kiri (seperti liberalisme radikal)11.

NU menekankan pentingnya dialog antaragama dan toleransi dalam beragama sebagai bagian dari warisan Islam Nusantara. Konsep fiqh al-ta'ayusy (fiqih kebersamaan) yang dikembangkan oleh NU bertujuan untuk menciptakan harmoni sosial tanpa mengorbankan prinsip-prinsip Islam12.

3)                  Pendidikan dan Kaderisasi Ulama dalam NU

Tantangan besar bagi NU adalah menjaga kesinambungan keilmuan fiqih di tengah modernisasi pendidikan Islam. Oleh karena itu, NU berupaya mengembangkan sistem pendidikan pesantren yang berbasis kitab kuning, sekaligus menyesuaikannya dengan metode pendidikan modern13.

NU juga berusaha mencetak ulama-ulama yang kompeten melalui program Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU) serta mendorong santri untuk mendalami bahasa Arab, ilmu ushul fiqh, dan maqashid syariah guna mempertahankan metodologi fiqih yang berlandaskan sanad keilmuan yang sahih14.


Kesimpulan

Tantangan yang dihadapi fiqih NU di era kontemporer mencakup berbagai aspek, dari digitalisasi fatwa, isu gender, fiqih lingkungan, hingga upaya mempertahankan Islam moderat di tengah dinamika pemikiran Islam global. NU tetap berpegang pada manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tetapi juga terbuka terhadap ijtihad kontekstual guna menjawab tantangan zaman. Melalui Bahtsul Masail, pendidikan pesantren, dan moderasi Islam, NU terus menjaga relevansi fiqih dalam menghadapi permasalahan kontemporer.


Footnotes

[1]                Lajnah Bahtsul Masail NU, Fatwa Digital dalam Islam (Jakarta: PBNU, 2022), 18-22.

[2]                Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Ar-Risalah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 40.

[3]                Abdul Moqsith Ghazali, Fiqih Media Sosial (Jakarta: Mizan, 2020), 67-70.

[4]                Nur Rofiah, Fiqh Perempuan: Refleksi Kritis atas Wacana Gender dalam Islam (Jakarta: KUPI, 2021), 88-90.

[5]                PBNU, Fatwa NU tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (Jakarta: PBNU, 2019), 23-27.

[6]                Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara (Bandung: Mizan, 2004), 120-123.

[7]                KH. Said Aqil Siradj, Islam Ramah Lingkungan (Jakarta: Mizan, 2018), 45-50.

[8]                PBNU, Fiqih Ekologi dan Fatwa Lingkungan (Jakarta: PBNU, 2021), 15-19.

[9]                Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Surabaya: Lajnah Ta’lif wan Nasyr, 1924), 78.

[10]             Greg Fealy, Nahdlatul Ulama and the Politics of Religious Tolerance (Jakarta: LP3ES, 2020), 155-160.

[11]             Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 102.

[12]             KH. Yahya Cholil Staquf, Fiqh al-Ta'ayusy: Konsep NU dalam Membangun Kehidupan Harmonis (Jakarta: PBNU, 2022), 58-62.

[13]             Lajnah Ta’lif wan Nasyr NU, Pendidikan Pesantren dan Tantangan Modernitas (Jakarta: PBNU, 2021), 97-101.

[14]             PBNU, Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU): Strategi Kaderisasi Ulama NU (Jakarta: PBNU, 2020), 45-50.


6.           Kesimpulan

Fiqih Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sistem hukum Islam yang berbasis pada manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) dengan rujukan utama pada mazhab Syafi’i. Dengan tetap mempertahankan tradisi fiqih klasik, NU juga mengembangkan pendekatan kontekstual untuk menjawab tantangan zaman. Kajian ini telah menunjukkan bahwa prinsip, metodologi, dan implementasi fiqih NU tetap relevan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik umat Islam di Indonesia serta dunia Islam secara umum.

6.1.       Ringkasan Prinsip dan Metodologi Fiqih NU

Fiqih NU berpijak pada empat sumber utama hukum Islam, yaitu Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas, serta mempertimbangkan konsep Maslahah Mursalah, Istihsan, Sadd al-Dzari’ah, dan Urf dalam pengambilan keputusan hukum1. Dalam penerapan fiqih, NU mengikuti metodologi mazhab Syafi’i, tetapi tetap membuka ruang ijtihad kontekstual melalui Bahtsul Masail, forum diskusi yang berperan dalam merespons berbagai permasalahan hukum Islam kontemporer2.

Metodologi istinbath hukum NU didasarkan pada pendekatan ushul fiqh, dengan prinsip-prinsip utama seperti Qawa‘id Fiqhiyyah (kaidah fiqih), Istihsan (preferensi hukum berdasarkan maslahat), dan Ijtihad Jama’i (ijtihad kolektif melalui Bahtsul Masail)3. Pendekatan ini memungkinkan NU untuk memberikan fatwa yang sesuai dengan kondisi masyarakat, tanpa meninggalkan akar tradisi Islam yang telah mapan.

6.2.       Implementasi Fiqih NU dalam Kehidupan Sosial

Implementasi fiqih NU mencakup berbagai aspek kehidupan:

1)                  Dalam bidang ibadah, NU menerapkan fiqih dengan mempertahankan tradisi Islam Nusantara yang sesuai dengan syariat. Praktik seperti tahlilan, maulid, manaqib, dan ziarah kubur tetap dilestarikan dengan dasar hukum yang kuat4.

2)                  Dalam bidang muamalah, NU mengembangkan fiqih ekonomi Islam yang menekankan pada keadilan, transparansi, dan kesejahteraan sosial. NU aktif dalam mendukung ekonomi syariah, koperasi Islam, dan zakat produktif, serta memberikan fatwa terkait transaksi keuangan modern seperti perbankan syariah dan cryptocurrency5.

3)                  Dalam bidang siyasah (politik), NU menegaskan bahwa Islam dan negara dapat berjalan beriringan. NU berkomitmen terhadap Pancasila sebagai dasar negara yang sejalan dengan nilai-nilai Islam, serta menekankan pentingnya partisipasi politik umat Islam dalam sistem demokrasi6.

6.3.       Tantangan dan Dinamika Fiqih NU di Era Kontemporer

Seiring perkembangan zaman, fiqih NU menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan adaptasi metodologi hukum Islam. Beberapa tantangan utama yang dihadapi NU meliputi:

1)                  Digitalisasi fatwa dan dakwah berbasis teknologi

NU telah merespons perkembangan media digital dengan membahas hukum dakwah melalui media sosial, kecerdasan buatan (AI) dalam penyebaran fatwa, serta etika komunikasi digital7.

2)                  Isu gender dan hak asasi manusia (HAM)

NU menegaskan kesetaraan gender dalam Islam, dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip fiqih mazhab Syafi’i dalam hukum keluarga dan kepemimpinan perempuan8.

3)                  Fiqih lingkungan dan krisis ekologi

NU telah mengeluarkan fatwa tentang konservasi lingkungan, ekonomi hijau, dan larangan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, dengan menggunakan konsep hifz al-bi’ah (menjaga kelestarian lingkungan) sebagai bagian dari maqashid syariah9.

4)                  Menangkal liberalisme dan ekstremisme

NU terus menjaga Islam moderat (wasathiyyah) dengan menolak sekularisme yang menafikan peran Islam dalam kehidupan publik, sekaligus menentang radikalisme dan takfirisme yang mengancam persatuan umat Islam10.

6.4.       Harapan terhadap Pengembangan Fiqih NU di Masa Depan

Fiqih NU tidak hanya berfungsi sebagai pedoman hukum Islam yang dinamis dan responsif, tetapi juga sebagai pilar moderasi Islam di Indonesia dan dunia Islam. Dalam menghadapi tantangan global, NU perlu memperkuat pendidikan pesantren berbasis fiqih klasik, serta mengembangkan ijtihad kontekstual yang tetap berakar pada metodologi ulama salaf.

Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan NU dalam pengembangan fiqih ke depan antara lain:

1)                  Memperkuat kajian fiqih digital untuk menghadapi tantangan era revolusi industri 4.0 dan kecerdasan buatan.

2)                  Meningkatkan peran perempuan dalam kajian fiqih melalui program pendidikan dan kaderisasi ulama perempuan.

3)                  Mengembangkan fiqih lingkungan sebagai bagian dari maqashid syariah, dengan merumuskan kebijakan-kebijakan hukum Islam yang mendukung keberlanjutan ekologi.

4)                  Memperluas jangkauan dakwah dan fatwa NU di tingkat global, sehingga fiqih NU dapat menjadi model Islam moderat yang relevan di berbagai negara.

Dengan strategi tersebut, diharapkan NU dapat terus menjaga identitas keislaman yang moderat, berlandaskan sanad keilmuan yang kuat, serta mampu menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan akar tradisionalnya.


Footnotes

[1]                Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Ar-Risalah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 40-42.

[2]                Lajnah Bahtsul Masail NU, Himpunan Fatwa NU: Fiqih Kontemporer (Jakarta: PBNU, 2021), 112-118.

[3]                Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 95-98.

[4]                Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Surabaya: Lajnah Ta’lif wan Nasyr, 1924), 78-80.

[5]                PBNU, Fatwa NU tentang Perbankan Syariah (Jakarta: PBNU, 2019), 32-35.

[6]                Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 98-102.

[7]                Abdul Moqsith Ghazali, Fiqih Media Sosial: Etika Bermedia dalam Islam (Jakarta: Mizan, 2020), 55-60.

[8]                Nur Rofiah, Fiqh Perempuan: Refleksi Kritis atas Wacana Gender dalam Islam (Jakarta: KUPI, 2021), 88-90.

[9]                KH. Said Aqil Siradj, Islam Ramah Lingkungan (Jakarta: Mizan, 2018), 45-50.

[10]             Greg Fealy, Nahdlatul Ulama and the Politics of Religious Tolerance (Jakarta: LP3ES, 2020), 155-160.


Daftar Pustaka

Abdurrahman Wahid. (2007). Islam kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan transformasi kebudayaan. The Wahid Institute.

Ahmad Baso. (2015). Islam Nusantara: Ijtihad jenius & ijma’ ulama Indonesia. LKiS.

Al-Bukhari, M. I. (1997). Shahih al-Bukhari. Dar Ibn Kathir.

Al-Qaradawi, Y. (1995). Fiqh al-awlawiyyat. Dar asy-Syuruq.

Al-Zuhayli, M. (2005). Ushul al-fiqh al-Islami. Dar al-Maktabi.

Al-Zuhaili, W. (1986). Ushul al-fiqh al-Islami. Dar al-Fikr.

Al-Zuhaili, W. (1985). Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu. Dar al-Fikr.

Aqil Siradj, S. (2006). Tasawuf sebagai kritik sosial: Mengedepankan Islam sebagai inspirasi, bukan aspirasi. Mizan.

Aqil Siradj, S. (2018). Islam ramah lingkungan. Mizan.

As-Suyuthi, J. (1996). Al-Itqan fi Ulum al-Qur'an. Dar al-Fikr.

As-Suyuthi, J. (2003). Al-Asybah wa An-Nazha’ir. Dar al-Fikr.

Asy-Syafi’i, M. I. (1997). Ar-Risalah. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Azra, A. (2004). Jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara. Mizan.

Fealy, G., & Barton, G. (1996). Nahdlatul Ulama, traditional Islam and modernity in Indonesia. Monash Asia Institute.

Fealy, G. (2020). Nahdlatul Ulama and the politics of religious tolerance. LP3ES.

Ghazali, A. M. (2020). Fiqih media sosial: Etika bermedia dalam Islam. Mizan.

Hasyim Asy’ari. (1924). Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Lajnah Ta’lif wan Nasyr.

Ibn Hanbal, A. (2001). Musnad Ahmad. Muassasah ar-Risalah.

Lajnah Bahtsul Masail NU. (2019). Panduan pemilu dalam Islam. PBNU.

Lajnah Bahtsul Masail NU. (2021). Fatwa NU tentang ibadah di masa pandemi. PBNU.

Lajnah Bahtsul Masail NU. (2021). Himpunan fatwa NU: Fiqih kontemporer. PBNU.

Lajnah Bahtsul Masail NU. (2022). Fatwa digital dalam Islam. PBNU.

Lajnah Bahtsul Masail NU. (2022). Keputusan Bahtsul Masail tentang cryptocurrency. PBNU.

Lajnah Ta’lif wan Nasyr NU. (2021). Pendidikan pesantren dan tantangan modernitas. PBNU.

Nur Rofiah. (2021). Fiqh perempuan: Refleksi kritis atas wacana gender dalam Islam. KUPI.

PBNU. (2019). Fatwa NU tentang kekerasan dalam rumah tangga. PBNU.

PBNU. (2019). Fatwa NU tentang perbankan syariah. PBNU.

PBNU. (2020). Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU): Strategi kaderisasi ulama NU. PBNU.

PBNU. (2021). Fiqih ekologi dan fatwa lingkungan. PBNU.

Staquf, Y. C. (2022). Fiqh al-ta'ayusy: Konsep NU dalam membangun kehidupan harmonis. PBNU.

Zahrah, A. (1958). Ushul al-fiqh. Dar al-Fikr.


Lampiran: Daftar Kitab Rujukan Pemikiran Nahdlatul Ulama

Sebagai organisasi yang berbasis pada Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja), Nahdlatul Ulama (NU) merujuk kepada berbagai kitab klasik (turats) yang menjadi dasar dalam pemikiran fiqih, akidah, tasawuf, serta berbagai aspek keilmuan Islam lainnya. Berikut adalah daftar kitab-kitab utama yang menjadi rujukan dalam pemikiran NU, beserta penulisnya dan pokok pembahasannya.

1.            Kitab Rujukan dalam Bidang Fiqih (Mazhab Syafi’i)

·                     Al-Umm – Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H / 767-820 M)

Pokok Pembahasan: Kitab induk fiqih mazhab Syafi’i yang mencakup berbagai hukum ibadah, muamalah, dan jinayah berdasarkan dalil-dalil syar’i.

·                     Tuhfah al-Muhtaj – Imam Ibnu Hajar al-Haitami (909-974 H / 1504-1567 M)

Pokok Pembahasan: Penjelasan (syarah) terhadap Minhaj at-Talibin karya Imam Nawawi, yang menjadi rujukan utama fiqih Syafi’i dalam NU.

·                     Mughni al-Muhtaj – Imam Muhammad asy-Syarbini al-Khatib (w. 977 H / 1570 M)

Pokok Pembahasan: Syarah terhadap Minhaj at-Talibin, menjelaskan kaidah-kaidah fiqih dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.

·                     Fath al-Wahhab – Imam Zakariya al-Anshari (823-926 H / 1420-1520 M)

Pokok Pembahasan: Kajian fiqih Syafi’i yang membahas berbagai aspek ibadah dan muamalah secara mendalam.

·                     Bughyatul Mustarsyidin – Syekh Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi (w. 1320 H / 1902 M)

Pokok Pembahasan: Kumpulan fatwa dan solusi hukum Islam yang sesuai dengan mazhab Syafi’i, banyak dijadikan pedoman di pesantren NU.

·                     I’anatuth Thalibin – Syekh Sayyid Abu Bakr bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi (w. 1310 H / 1893 M)

Pokok Pembahasan: Syarah terhadap Fath al-Mu’in, membahas hukum fiqih Syafi’i dengan contoh-contoh praktis yang relevan di masyarakat.

2.            Kitab Rujukan dalam Bidang Ushul Fiqih

·                     Ar-Risalah – Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H / 767-820 M)

Pokok Pembahasan: Kitab pertama yang secara sistematis membahas metodologi ushul fiqh dalam Islam.

·                     Al-Mahalli fi Ushul al-Fiqh – Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849-911 H / 1445-1505 M)

Pokok Pembahasan: Prinsip-prinsip dasar ushul fiqh dengan pendekatan yang memudahkan pemahaman.

·                     Jam’ul Jawami’ – Imam Tajuddin as-Subki (727-771 H / 1327-1370 M)

Pokok Pembahasan: Kompilasi kaidah ushul fiqh dari berbagai mazhab, digunakan dalam pendidikan hukum Islam di NU.

·                     Ghayatul Wushul – Imam Zakariya al-Anshari (823-926 H / 1420-1520 M)

Pokok Pembahasan: Kajian mendalam tentang metodologi istinbath hukum dan ijtihad dalam mazhab Syafi’i.

3.            Kitab Rujukan dalam Bidang Akidah (Ahlus Sunnah wal Jama’ah)

·                     Al-Fiqh al-Akbar – Imam Abu Hanifah (80-150 H / 699-767 M)

Pokok Pembahasan: Pembahasan mendasar tentang tauhid dan sifat-sifat Allah, yang menjadi dasar akidah Asy’ariyah-Maturidiyah.

·                     Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah – Imam Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H / 874-936 M)

Pokok Pembahasan: Penjelasan mengenai prinsip-prinsip akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

·                     Al-Maqashid – Imam Fakhruddin ar-Razi (543-606 H / 1149-1210 M)

Pokok Pembahasan: Kajian mendalam tentang sifat-sifat Allah dan prinsip-prinsip keimanan Islam.

·                     Kifayatul ‘Awam – Syekh Muhammad al-Fadhil al-Jawi (w. 1320 H / 1902 M)

Pokok Pembahasan: Akidah Asy’ariyah yang mudah dipahami dan menjadi referensi di pesantren NU.

4.            Kitab Rujukan dalam Bidang Tasawuf

·                     Ihya’ Ulumiddin – Imam Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H / 1058-1111 M)

Pokok Pembahasan: Kajian akhlak, spiritualitas, dan hubungan antara fiqih serta tasawuf dalam kehidupan Muslim.

·                     Risalah al-Qusyairiyyah – Imam Abdul Karim al-Qusyairi (376-465 H / 986-1072 M)

Pokok Pembahasan: Prinsip dasar tasawuf Sunni yang menekankan hubungan antara syariat dan hakikat.

·                     Tanwir al-Qulub – Syekh Muhammad Amin al-Kurdi (w. 1332 H / 1913 M)

Pokok Pembahasan: Panduan tasawuf berdasarkan mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

·                     Al-Hikam – Ibnu Atha’illah as-Sakandari (658-709 H / 1259-1310 M)

Pokok Pembahasan: Hikmah-hikmah dalam perjalanan spiritual seorang Muslim untuk mencapai makrifatullah.

5.            Kitab Rujukan dalam Bidang Kaidah Fiqhiyyah

·                     Al-Asybah wa an-Nazha'ir – Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849-911 H / 1445-1505 M)

Pokok Pembahasan: Kaidah fiqih dan penerapannya dalam berbagai hukum Islam.

·                     Al-Muwafaqat – Imam Asy-Syatibi (720-790 H / 1320-1388 M)

Pokok Pembahasan: Pembahasan tentang maqashid syariah (tujuan hukum Islam) dan urgensi memahami maksud di balik hukum.


Kesimpulan

Kitab-kitab ini menjadi rujukan utama dalam pemikiran Nahdlatul Ulama, baik dalam bidang fiqih, ushul fiqh, akidah, tasawuf, maupun kaidah fiqhiyyah. Kitab-kitab ini terus dikaji di pesantren-pesantren NU dan menjadi pedoman dalam merumuskan fatwa serta kebijakan keislaman yang kontekstual sesuai perkembangan zaman.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar